Perkawinan Di Indonesia
Abstract
The main purpose of marriage is the formation of an eternal, happy, and
loving family between husband and wife. However, to anticipate the
possibility of problems in marriage, of course a marriage agreement is
needed, especially in the distribution of assets. The arrangement of the
marriage agreement on the assets of husband and wife is in principle to
provide legal protection for husband and wife against their property, if in
the future they must divorce. However, the implementation of the
marriage agreement as regulated in the Civil Code and Law no. 1 of 1974
concerning Marriage is still limited in time when making a marriage
agreement. The legal reforms carried out by the Constitutional Court have
given a time limit for the holding of a marriage agreement to be wider so
that the factor of wanting to protect each other's property or protect
themselves or their families from the threat of domestic violence can be
anticipated through a marriage agreement.
Keywords: Property protection, Marriage Agreement
Abstrak
Tujuan utama dari perkawinan yaitu terbentuknya keluarga yang kekal,
bahagia, dan penuh kasih sayang di antara suami istri. Akan tetapi,
sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya permasalahan dalam
perkawinan tentu dibutuhkan sebuah perjanjian perkawinan khususnya
dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan perjanjian perkawinan
tentang harta kekayaan suami-isteri pada prinsipnya untuk
memberikan perlindungan hukum bagi suami-istri terhadap hartanya,
apabila di kemudian hari mereka harus bercerai. Akan tetapi
pelaksanaan perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata dan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih terbatas waktu pada
PENDAHULUAN
Harta benda seseorang dalam konteks perkawinan jika tidak ada
pengecualian dalam suatu perjanjian maka bersifat imperatif
(memaksa) atas kepemilikannya. Struktur harta benda dalam sebuah
perkawinan dikenal terdiri dari harta pribadi suami, harta pribadi isteri
dan harta bersama. Pelaksanaan perjanjian perkawinan tentang
pengaturan terhadap harta benda suami-isteri menurut hukum positif
diatur dalam KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan sehingga hal tersebut dapat membatasi dua
orang yang melakukan perjanjian.
Dalam suatu perkawinan pada prinsipnya kedua pasangan dapat
memberikan kesenangan serta kebahagian untuk selamanya karena hal
tersebut merupakan tujuan dari perkawinan. Akan tetapi, pada
kenyataannya terdapat banyak faktor yang memicu keretakan
bangunan rumah tangga dan menimbulkan akibat hukum sebagai
konsekuensi dari putusnya suatu perkawinan seperti hak asuh anak
(hadhonah), nafkah istri dan anak, dan harta bersama. 1 Dalam hal ini
1
Muhamad Beni Kurniawan, ‘Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi
Suami Istri Dalam Perkawinan’, Jurnal Yudisial, 11.1 (2018), 41
<https://doi.org/10.29123/jy.v11i1.224>. 42.
2
Zainul Fanani, ‘Implementasi Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami’,
Negara Dan Keadilan, 10.1 (2021), 1 <https://doi.org/10.33474/hukum.v10i1.4485>. 3.
3
M. Idris Ramulyo, ‘Masalah Harta Bersama Dalam Proses Pemutusan Hubungan
Perkawinan’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 14.1 (1984). 45.
4
Abdul Hariss and Nurul Wulan Kasmara, ‘Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Perjanjian
Harta Bersama Yang Dibuat Oleh Suami Istri Setelah Perkawinan Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015’, Wajah Hukum, 3.1 (2019), 65
<https://doi.org/10.33087/wjh.v3i1.56>. 67.
5
Isetyowati Andayani, ‘Keberadaan Harta Perkawinan Dalam Problematika Perkawinan’,
Perspektif, 10.4 (2005), 350 <https://doi.org/10.30742/perspektif.v10i4.197>. 370.
sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan diatur dalam Pasal
29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan secara
jelas dan tegas mengenai pengertian perjanjian kawin maupun tentang
isi Perjanjian Kawin itu sendiri.6
6
Andika Prayoga; and Billquis Kamil Arasy, ‘Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang
Dibuat Selama Perkawinan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-
XIII/2015’, JOURNAL CONTENT, 3.1 (2021). 637.
7
Iskandar Laka, ‘Kedudukan Harta Perkawinan Setelah Perceraian Ditinjau Dari
Kompilasi Hukum Islam’, RES JUDICATA, 2.2 (2019). 289.
8
Adhitya Dimas Pratama, ‘Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan
Campuran Tanpa Adanya Perjanjian Pisah Harta’, Jurnal Panorama Hukum, 3.2 (2018),
247–63 <https://doi.org/10.21067/jph.v3i2.2828>.
9
Felicitas Marcelina Waha, ‘Penyelesaian Sengketa Atas Harta Perkawinan Setelah
Bercerai’, Lex et Societatis, 1.1 (2013).
10
Marsidah, ‘Perjanjian Perkawinan Antara Suami Istri Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan’, Solusi, 18.2 (2020). 220.
11
M. Beni Kurniawan, ‘Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi Dalam
Perkawinan’, AHKAM, 17.2 (2017). 359.
12
Sugih Ayu Pratitis, ‘Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Benda Perkawinan’,
Doktrina: Journal of Law, 2.2 (2019), 151–63 <https://doi.org/10.31289/doktrina.v>. 154.
13
Nourma Dewi; Raharno, ‘Konsep Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam
Perkawinan Siri’, Jurnal Supremasi, 9.2 (2019), 69–76. 72.
14
Bukhari, ‘Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam Perspektif UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam’, AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi
Muamalah, 13.2 (2021), 127–36. 130.
15
Jamaluddin, ‘Pembaharuan Hukum Di Dalam Perjanjian Perkawinan’, Jurnal Al
Ashriyyah, 5.1 (2019), 117–32. 117.
16
Natalia Ningsih and I Made Arya Utama; I Made Sarjana, ‘Kekuatan Mengikat Akta
Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan
Perkawinan’, Acta Comitas, 2.1 (2017), 12–26.
17
Puji Kurniawan, ‘Perjanjian Perkawinan: Asas Keseimbangan Dalam Perkawinan’, -
Jurnal El-Qanuniy, 6.1 (2020), 125–37. 127.
perkawinan suatu hal yang tidak umum, kurang etis, penuh kecurigaan
dan tidak sesuai dengan budaya orang timur. Akan tetapi, perjanjian
perkawinan yang dianggap masih tabu oleh masyarakat awam ini, justru
telah menjadi gejala baru di kalangan tertentu seperti pengusaha,
selebritis dan lain-lain yang mana mereka berpandangan bahwa dengan
adanya perjanjian perkawinan maka harta miliknya akan terjamin aman
apabila terjadi perceraian.18
Pada dasarnya, sebab diadakannya suatu perjanjian perkawinan
adalah untuk menyimpang dari ketentuan hukum perundang-undangan
yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada
asasnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat. 19 Persatuan harta
bulat maksudnya adalah harta suami dan istri setelah menikah akan
bersatu tanpa ada pemisahan harta, tidak termasuk harta yang
diperoleh sebelum perkawinan (harta bawaan), harta yang diperoleh
berdasarkan pewarisan, dan harta yang diperoleh berdasarkan
pemberian (hibah).20 Tetapi, Perjanjian perkawinan tidak hanya
sebatas memperjanjikan masalah keuangan ataupun harta kekayaan,
ada hal lain yang juga penting diperjanjikan sebelum berlangsungnya
suatu perkawinan, misalnya tentang mengenai kekerasan dalam
rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap
melanjutkan kuliah meski sudah menikah dan lain sebagainya. 21
18
Haedah Faradz, ‘Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan’, Jurnal Dinamika Hukum,
8.3 (2008), 249–52. 251.
19
St. Habibah, ‘Analisis Hukum Islam Tentang Pelanggaran Perjanjian Perkawinan’, Al-
Bayyinah: Journal of Islamic Law, 1.1 (2017), 75–86. 78.
20
Faradilla Asyatama and Fully Handayani Ridwan, ‘Analisis Perjanjian Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia’, AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum,
5.2 (2021).
21
Liky Faizal Idrus Alghifarry, A. Kumedi Ja’far, ‘Urgensitas Perjanjian Perkawinan
Dalam Membentuk Keluarga Sakinah Perspektif Hukum Keluarga Islam (Analisis Pasal 29
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974’, Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial
Islam, 3.2 (2021), 180–202. 181.
22
Fhauzi Prasetyawan, ‘Peran Notaris Terkait Pengesahan Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015’, JUSTITIA JURNAL HUKUM,
2.1 (2018). 89-90.
23
Syaefuddin Haris, ‘Kedudukan Taklik Talak Dalam Perkawinan Islam Ditinjau Dari
Hukum Perjanjian’, ARENA HUKUM, 6.3 (2013), 336–59. 342.
24
Iin Ratna Sumirat, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Analisis
Hukum Positif Dan Hukum Islam’, Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam, 20.2 (2019),
279–301. 281.
25
Abdur Rohman, ‘Pelaksanaan Putusan Nomor: 1719/Pdt.G/2018/PA.BWI Dalam
Pembagian Harta Perkawinan Dalam Perkara Poligami’, Negara Dan Keadilan, 8.2
(2019). 3.
26
I Nyoman Putu Budiartha dan Ida Ayu Putu Widiat Ni Kadek Ani, ‘Perjanjian
Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bersama Akibat Perceraian’,
Jurnal Analogi Hukum, 3.1 (2021), 17–21. 20.
27
Oly Viana Agustne, ‘Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan
(Legal Policy on Marriage Agreement Afer Consttutonal Court Decision No. 69/PUU-
XIII/2015 to Creatng Harmony in Marriage’, Jurnal RechtsVinding, 6.1 (2017), 53–68. 61.
28
Respati Nadia; Sonny Dewi Judiasih; Nanda Anisa Lubis Putri, ‘Perlindungan Hukum
Terhadap Kreditor Dan Upaya Notaris Membuat Perjanjian Perkawinan Setelah
Perkawinan’, Veritas et Justitia, 5.2 (2019), 464–91 <https://doi.org/10.25123/vej.3353>.
472.
29
Sri; Arfianna Novera; Annalisa Y Turatmiyah, ‘Kedudukan Hukum Perjanjian
Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015’, Syiar Hukum
Jurnal Ilmu Hukum, 16.1 (2018), 61–81. 71.
30
Iswantoro Iswantoro, ‘Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015’, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 11.1 (2019), 43 <https://doi.org/10.14421/ahwal.2018.11104>. 45.
31
Mambaul; Lia Noviana; Ika Rusdiana Ngadhimah, ‘Formulasi Perjanjian Perkawinan
Pasca Putusan MK NO. 69/PUU-XIII/2015’, Kodifikasia : Jurnal Penelitian Islam, 11.1
(2017). 159.
D. Penutup
Pengaturan harta kekayaan dalam institusi perkawinan
bertujuan untuk perlindungan harta kekayaan antara suam-istri melalui
sebuah perjanjian perkawinan. Dari segi kepastian hukum,
perlindungan harta kekayaan dalam pengaturan perjanjian perkawinan
merupakan kemajuan hukum dan bersifat progresif pasca putusan MK
Nomor 69/PUU-XIII/2015. Pembaharuan hukum yang dilakukan oleh
MK memberikan batas waktu terhadap diadakannya perjanjian
perkawinan semakin luas dan tidak hanya sebelum atau saat
perkawinan dilangsungkan, tetapi bisa juga diadakan setelah
perkawinan dilangsungkan.
Daftar Pustaka
Agustne, Oly Viana, ‘Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dalam
Menciptakan Keharmonisan Perkawinan (Legal Policy on Marriage
Agreement Afer Consttutonal Court Decision No. 69/PUU-
XIII/2015 to Creatng Harmony in Marriage’, Jurnal RechtsVinding, 6
(2017), 53–68
32
Moh Faizur Rohman, ‘Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan Terhadap Tujuan Perkawinan’, AL-
DAULAH: JURNAL HUKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM, 7.1 (2017), 1–27. 24.
2 (2017), 12–26
Sumirat, Iin Ratna, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat
Hukumnya Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam’, Syaksia :
Jurnal Hukum Perdata Islam, 20 (2019), 279–301