Anda di halaman 1dari 23

Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian

Perkawinan Di Indonesia

Akh. Syamsul Muniri


STAI Al-Yasini Pasuruan
Email: syamsulmuniri02@gmail.com

Nur Shofa Ulfiyati


STAI Al-Yasini Pasuruan
Email: shofaulfiyati@gmail.com

Abstract
The main purpose of marriage is the formation of an eternal, happy, and
loving family between husband and wife. However, to anticipate the
possibility of problems in marriage, of course a marriage agreement is
needed, especially in the distribution of assets. The arrangement of the
marriage agreement on the assets of husband and wife is in principle to
provide legal protection for husband and wife against their property, if in
the future they must divorce. However, the implementation of the
marriage agreement as regulated in the Civil Code and Law no. 1 of 1974
concerning Marriage is still limited in time when making a marriage
agreement. The legal reforms carried out by the Constitutional Court have
given a time limit for the holding of a marriage agreement to be wider so
that the factor of wanting to protect each other's property or protect
themselves or their families from the threat of domestic violence can be
anticipated through a marriage agreement.
Keywords: Property protection, Marriage Agreement
Abstrak
Tujuan utama dari perkawinan yaitu terbentuknya keluarga yang kekal,
bahagia, dan penuh kasih sayang di antara suami istri. Akan tetapi,
sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya permasalahan dalam
perkawinan tentu dibutuhkan sebuah perjanjian perkawinan khususnya
dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan perjanjian perkawinan
tentang harta kekayaan suami-isteri pada prinsipnya untuk
memberikan perlindungan hukum bagi suami-istri terhadap hartanya,
apabila di kemudian hari mereka harus bercerai. Akan tetapi
pelaksanaan perjanjian perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata dan
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih terbatas waktu pada

Asasi : Journal of Islamic Family Law


Vol.2 No.1 Oktober 2021: ISSN 2775-2887
Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
saat membuat perjanjian perkawinan. Pembaharuan hukum yang
dilakukan oleh MK telah memberikan batas waktu terhadap
diadakannya perjanjian perkawinan semakin luas sehingga faktor ingin
melindungi harta benda masing-masing atau melindungi diri atau
keluarga dari ancaman kekerasan rumah tangga dapat di antisipasi
melalui perjanjian perkawinan.
Kata kunci: Perlindungan harta kekayaan, Perjanjian Perkawinan

PENDAHULUAN
Harta benda seseorang dalam konteks perkawinan jika tidak ada
pengecualian dalam suatu perjanjian maka bersifat imperatif
(memaksa) atas kepemilikannya. Struktur harta benda dalam sebuah
perkawinan dikenal terdiri dari harta pribadi suami, harta pribadi isteri
dan harta bersama. Pelaksanaan perjanjian perkawinan tentang
pengaturan terhadap harta benda suami-isteri menurut hukum positif
diatur dalam KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyebutkan bahwa perjanjian perkawinan dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan sehingga hal tersebut dapat membatasi dua
orang yang melakukan perjanjian.
Dalam suatu perkawinan pada prinsipnya kedua pasangan dapat
memberikan kesenangan serta kebahagian untuk selamanya karena hal
tersebut merupakan tujuan dari perkawinan. Akan tetapi, pada
kenyataannya terdapat banyak faktor yang memicu keretakan
bangunan rumah tangga dan menimbulkan akibat hukum sebagai
konsekuensi dari putusnya suatu perkawinan seperti hak asuh anak
(hadhonah), nafkah istri dan anak, dan harta bersama. 1 Dalam hal ini

1
Muhamad Beni Kurniawan, ‘Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Besaran Kontribusi
Suami Istri Dalam Perkawinan’, Jurnal Yudisial, 11.1 (2018), 41
<https://doi.org/10.29123/jy.v11i1.224>. 42.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 44


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

tentu Pembagian harta bersama setelah perceraian suami-istri akan


menjadi persoalan tersendiri yang rumit dan berujung pada gugatan
harta bersama.
Seperti halnya juga pembagian harta warisan, itu dilaksanakan
menurut Hukum Islam dan yang lebih diutamakan adalah orang yang
mempunyai hubungan darah (nasab) dengan pewaris, hal ini sesuai
dengan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam dan juga dalam Surat An-Nisa
ayat 7, sehingga dengan demikian sebagaimana yang disebutkan dalam
al Qur’an maka isteri dan anak-anaknya sangatlah berperan dalam
pembagian harta warisan.2 Di dalam Hukum Islam tidak dikenal
percampuran harta kekayaan antara suami dan istri yang disebabkan
oleh perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi miliknya dan
dikuasai sepenuhnya.3
Perkawinan sebagai lembaga hukum tentu memiliki akibat yang
sangat penting bagi kehidupan kedua belah pihak yang melangsungkan
perkawinan. Selama ini akibat hukum yang timbul secara umum dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu akibat hukum terhadap individu
atau diri pribadi suami istri itu sendiri dan akibat kebendaan yang
merupakan akibat-akibat hukum terhadap harta kekayaan suami istri
tersebut. Hal tersebut baik yang sudah ada maupun yang akan diperoleh
selama perkawinan berlangsung. Dalam hal ini pengaturan mengenai

2
Zainul Fanani, ‘Implementasi Pembagian Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami’,
Negara Dan Keadilan, 10.1 (2021), 1 <https://doi.org/10.33474/hukum.v10i1.4485>. 3.
3
M. Idris Ramulyo, ‘Masalah Harta Bersama Dalam Proses Pemutusan Hubungan
Perkawinan’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 14.1 (1984). 45.

45 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
harta benda dalam perkawinan diatur di dalam Pasal 35, Pasal 36 dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.4
Harta benda dalam perkawinan juga diatur dalam sebuah
perjanjian perkawinan, perjanjian percampuran harta pribadi dapat
meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam dalam
berumah tangga sebenarnya perkawinan (harta bawaan atau asal),
maupun yang diperoleh oleh masing-masing selama perkawinan. Selain
itu dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya
terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi
yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya (Pasal 49 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam).5
Masalah harta benda dalam perkawinan ini dengan adanya
perjanjian perkawinan maka para pihak di dalam perkawinan dapat
terlindungi dari permasalahan-permasalahan yang akan timbul
dikemudian hari serta apabila ada persimpangan mengenai pengaturan
harta benda suami dan istri tersebut yaitu tidak terdapat persatuan
bulat harta benda yang diperoleh atau didapatkan suami-istri selama
perkawinan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1)
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama. Maka dalam hal ini perjanjian perkawinan

4
Abdul Hariss and Nurul Wulan Kasmara, ‘Tinjauan Yuridis Akibat Hukum Perjanjian
Harta Bersama Yang Dibuat Oleh Suami Istri Setelah Perkawinan Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015’, Wajah Hukum, 3.1 (2019), 65
<https://doi.org/10.33087/wjh.v3i1.56>. 67.
5
Isetyowati Andayani, ‘Keberadaan Harta Perkawinan Dalam Problematika Perkawinan’,
Perspektif, 10.4 (2005), 350 <https://doi.org/10.30742/perspektif.v10i4.197>. 370.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 46


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan diatur dalam Pasal
29 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan secara
jelas dan tegas mengenai pengertian perjanjian kawin maupun tentang
isi Perjanjian Kawin itu sendiri.6

A. Kedudukan Harta Bersama dalam Perkawinan Pasca Perceraian


Pasangan suami istri selama hubungannya berjalan dengan
harmonis dan mesra maka tentu tidak mempermasalahkan haknya
masing-masing terkait masalah harta. Hak harta seperti apa yang
menjadi milik suami dan yang menjadi milik istri atau apa yang menjadi
milik mereka tentu belum persoalan. Padahal dalam hal ini suatu
perkawinan ternyata sudah memainkan peranannya yang penting
dalam kehidupan berkeluarga. Selama ini hukum harta perkawinan
baru menjadi masalah setelah adanya suatu perselisihan antara suami
yang berakhir perceraian dalam perkawinan, oleh karenanya untuk
dapat menyelesaikan masalah harga perkawinan maka keberadaan
lembaga Pengadilan Agama sangat diperlukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut.7
Dalam penggunaan harta bersama antar suami-istri hanya dapat
bertindak jika mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. Oleh
karenanya dengan adanya harta bersama dalam perkawinan tentu
menimbulkan Hak kepemilikan yang sama. Masalah hak Pemilikan yang
sama ini juga menjadi masalah sendiri bagi Warga Negara Indonesia dan

6
Andika Prayoga; and Billquis Kamil Arasy, ‘Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang
Dibuat Selama Perkawinan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-
XIII/2015’, JOURNAL CONTENT, 3.1 (2021). 637.
7
Iskandar Laka, ‘Kedudukan Harta Perkawinan Setelah Perceraian Ditinjau Dari
Kompilasi Hukum Islam’, RES JUDICATA, 2.2 (2019). 289.

47 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
Warga Negara Asing dalam hal harta bersama, ini menjadi suatu dilema
ketika yang menjadi objek harta bersama adalah berupa Pemilikan Hak
Milik atas tanah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya ditulis UUPA) bahwa Hak Milik atas tanah hanya
boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia, sehingga dalam hal ini
warga Negara Asing sesudah berlakunya Undang-Undang tersebut tidak
dapat memperoleh Hak Milik atas tanah meskipun ada percampuran
harta karena Perkawinan yang tanpa Perjanjian Kawin, oleh karenanya
warga Negara Asing tersebut harus melepaskan hak tersebut dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut dan
tanahnya jatuh pada negara.8
Kebersamaan harta kekayaan dalam perkawinan pada dasarnya
tidak hanya berupa benda-benda bergerak dan tidak bergerak yang
dimiliki selama masa perkawinan namun juga berkaitan dengan yang
dibawa oleh mereka berdua dalam perkawinan. Contohnya seperti
benda-benda atas nama istri berupa tagihan-tagihan dan saham-saham
yang dibawa olehnya selama perkawinan maka tentu benda-benda
tersebut tidak dapat dibalik nama menjadi atas nama suami atau atas
nama suami istri. Walaupun demikian benda-benda tersebut masih
tetap menjadi bagian dari harta bersama yang boleh dijual,
dipindahtangankan.9

8
Adhitya Dimas Pratama, ‘Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Perkawinan
Campuran Tanpa Adanya Perjanjian Pisah Harta’, Jurnal Panorama Hukum, 3.2 (2018),
247–63 <https://doi.org/10.21067/jph.v3i2.2828>.
9
Felicitas Marcelina Waha, ‘Penyelesaian Sengketa Atas Harta Perkawinan Setelah
Bercerai’, Lex et Societatis, 1.1 (2013).

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 48


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

Sejak saat dilangsungkannya perkawinan antara suami istri maka


terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri. Hal tersebut
sejauh tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kawin.
Selama perkawinan harta bersama tidak boleh ditiadakan atau dirubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri. Dalam hal ini harta
bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang yang
tidak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun yang akan
ada, juga barang yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali bila
dalam hal terakhir ini yang diwariskan atau yang menghibahkan
menentukan kebalikannya.10
Dalam hukum Islam, penerapan pembagian harta bersama baik
cerai mati atau cerai hidup telah memiliki kepastian hukum. Menurut
KHI sebagaimana tertuang dalam Inpres No.1 Tahun 1991 pasal 96 dan
97 telah diatur secara jelas. Misalnya pasal 97 berbunyi bahwa janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Oleh karenanya maka apa yang telah dirumuskan dalam KHI tentang
pembagian harta bersama masing-masing pihak mendapat setengah
merupakan usaha untuk adanya unifikasi hukum sehingga adanya
harmonisasi putusan hakim pengadilan agama dalam memutus perkara
harta bersama. Dalam hal ini harta bersama dalam cerai hidup yang
dibagi setengah tentu sama dengan aturan yang terdapat dalam KUHper
pasal 128 yaitu bahwa setelah bubarnya harta bersama maka kekayaan
bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri atau antara para ahli

10
Marsidah, ‘Perjanjian Perkawinan Antara Suami Istri Berdasarkan Undang-Undang
Perkawinan’, Solusi, 18.2 (2020). 220.

49 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-
barang tersebut.11
Pada prinsipnya, harta bersama itu diatur bersama dan
dipergunakana bersama bahkan dalam segala sesuatunya harus ada
persetujuan bersama. Sedangkan akibat hukum dari perceraian tentang
harta benda bersama UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan belum
mengatur tentang status harta benda bersama. Hal ini karena Pasal 37
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa
pengaturan tentang pembagian harta bersama jika terjadi perceraian
suami istri diserahkan kepada hukumnya masing- masing.12
Harta bersama disini tidak melihat siapa yang memberikan
pendapatan yang lebih banyak maupun pembedaan dari hasil kerja
suami atau isteri. Penggunaan harta bersama harus melalui persetujuan
kedua belah pihak baik yaitu suami dan isteri. Jika salah satu pihak isteri
atau suami tidak menyetujuinya, maka perbuatan hukum atau
penggunaan harta bersama tidak dapat terlaksana. Hal tersebut
menunjukkan keseimbangan kedudukan kedua belah pihak, suami isteri
atas harta bersama.13
Dalam pasal 37 Undang-undang perkawinan No 1/1974
tampaknya tidak ada penjelasan mengenai status perceraian yang
mengharuskan pembagian harta bersama. Apabila perceraian yang
terjadi secara baik-baik karena tidak ada kecocokan antara satu dengan

11
M. Beni Kurniawan, ‘Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi Dalam
Perkawinan’, AHKAM, 17.2 (2017). 359.
12
Sugih Ayu Pratitis, ‘Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Benda Perkawinan’,
Doktrina: Journal of Law, 2.2 (2019), 151–63 <https://doi.org/10.31289/doktrina.v>. 154.
13
Nourma Dewi; Raharno, ‘Konsep Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam
Perkawinan Siri’, Jurnal Supremasi, 9.2 (2019), 69–76. 72.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 50


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

yang lain maka keduanya dapat sepakat untuk mengakhiri perkawinan


disertai pembagian harta bersama, akan tetapi bagaimana apabila
perceraian terjadi karena salah satu pihak berselingkuh atau melakukan
pengkhianatan di dalam perkawinan. Hal ini apakah pasangan yang
berselingkuh tersebut masih pantas mendapatkan harta bersama. Oleh
karenanya ini tidak begitu jelas peraturannya maka seringkali
keputusannya diserahkan kepada lembaga Peradilan. 14

B. Pelaksanaan Perjanjian Perkawinan di Indonesia


Di Indonesia praktek perjanjian perkawinan lebih condong
kepada harta kekayaan karena hanya dijadikan sebagai objek. Oleh
karenanya harta kekayaan sebagai objek ini terjadi perbedaan harta
yaitu harta bawaan dan harta bersama, hal ini berdasarkan ketentuan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tetapi, berbeda
dengan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdt)
menyebutkan bahwa harta perkawinan menjadi persatuan secara bulat
harta kekayaan dalam perkawinan dengan mengecualikan dengan
apabila terjadi perjanjian perkawinan. 15
Perjanjian perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dijelaskan bahwa perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh
calon pasangan suami istri sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta

14
Bukhari, ‘Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam Perspektif UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam’, AT-TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi
Muamalah, 13.2 (2021), 127–36. 130.
15
Jamaluddin, ‘Pembaharuan Hukum Di Dalam Perjanjian Perkawinan’, Jurnal Al
Ashriyyah, 5.1 (2019), 117–32. 117.

51 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
kekayaan mereka. Dalam hal ini Perjanjian dilakukan sebelum atau pada
saat dilangsungkan perkawinan dan harus dibuat dalam bentuk akta
notaris. Perlu dipahami bahwa makna yang terkandung dalam kata
“sebelum” berarti perjanjian perkawinan tersebut dibuat sebelum
perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari
calon suami isteri sesuai dengan sahnya perkawinan menurut Pasal 2
ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Begitu pula, makna kata “pada saat
perkawinan dilangsungkan” yaitu perjanjian perkawinan itu dibuat
pada saat perkawinan berlangsung yang mana setelah itu langsung
dilakukan pencatatan dihadapan pegawai pencatat perkawinan
menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan.16
Sedangkan tujuan dari perjanjian perkawinan yaitu pertama,
keabsahan perkawinan, kedua untuk mencegah perbuatan yang tergesa
gesa yang dikarenakan oleh akibat dari perkawinan itu untuk seumur
hidup, ketiga demi kepastian hukum dan keempat sebagai alat bukti
yang sah.17 Di lihat dari aspek tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian
perkawinan, masih sedikit calon pengantin yang memandang hal ini
sebagai sesuatu yang positif sehingga hal tersebut masih dianggap tabu
dan pamali di masyarakat. Memang sebagian masyarakat ada yang
dapat menerima untuk melakukan perjanjian perkawinan namun masih
lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya. Hal ini mungkin
karena ada pandangan negatif yang menganggap bahwa perjanjian

16
Natalia Ningsih and I Made Arya Utama; I Made Sarjana, ‘Kekuatan Mengikat Akta
Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan
Perkawinan’, Acta Comitas, 2.1 (2017), 12–26.
17
Puji Kurniawan, ‘Perjanjian Perkawinan: Asas Keseimbangan Dalam Perkawinan’, -
Jurnal El-Qanuniy, 6.1 (2020), 125–37. 127.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 52


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

perkawinan suatu hal yang tidak umum, kurang etis, penuh kecurigaan
dan tidak sesuai dengan budaya orang timur. Akan tetapi, perjanjian
perkawinan yang dianggap masih tabu oleh masyarakat awam ini, justru
telah menjadi gejala baru di kalangan tertentu seperti pengusaha,
selebritis dan lain-lain yang mana mereka berpandangan bahwa dengan
adanya perjanjian perkawinan maka harta miliknya akan terjamin aman
apabila terjadi perceraian.18
Pada dasarnya, sebab diadakannya suatu perjanjian perkawinan
adalah untuk menyimpang dari ketentuan hukum perundang-undangan
yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada
asasnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat. 19 Persatuan harta
bulat maksudnya adalah harta suami dan istri setelah menikah akan
bersatu tanpa ada pemisahan harta, tidak termasuk harta yang
diperoleh sebelum perkawinan (harta bawaan), harta yang diperoleh
berdasarkan pewarisan, dan harta yang diperoleh berdasarkan
pemberian (hibah).20 Tetapi, Perjanjian perkawinan tidak hanya
sebatas memperjanjikan masalah keuangan ataupun harta kekayaan,
ada hal lain yang juga penting diperjanjikan sebelum berlangsungnya
suatu perkawinan, misalnya tentang mengenai kekerasan dalam
rumah tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap
melanjutkan kuliah meski sudah menikah dan lain sebagainya. 21

18
Haedah Faradz, ‘Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan’, Jurnal Dinamika Hukum,
8.3 (2008), 249–52. 251.
19
St. Habibah, ‘Analisis Hukum Islam Tentang Pelanggaran Perjanjian Perkawinan’, Al-
Bayyinah: Journal of Islamic Law, 1.1 (2017), 75–86. 78.
20
Faradilla Asyatama and Fully Handayani Ridwan, ‘Analisis Perjanjian Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia’, AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum,
5.2 (2021).
21
Liky Faizal Idrus Alghifarry, A. Kumedi Ja’far, ‘Urgensitas Perjanjian Perkawinan
Dalam Membentuk Keluarga Sakinah Perspektif Hukum Keluarga Islam (Analisis Pasal 29

53 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 27 Oktober 2016 telah
menerbitkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang inti pokok dari
putusan tersebut adalah seputar pengaturan mengenai perjanjian
perkawinan. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi dinilai telah
mengubah dan menambah norma dari suatu perjanjian perkawinan
yang diatur oleh Pasal 29 UU 1/1974. Pertama, sebelum Putusan
Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat
sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan dan sesudah
Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan dapat dibuat
sebelum, pada saat perkawinan dilangsungkan atau dalam masa ikatan
perkawinan. Kedua, sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi pengesahan
perjanjian perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan
dan setelah Putusan Mahkmah Konstitusi pengesahan perjanjian
perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau
Notaris. Ketiga, sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian
perkawinan mulai berlaku pada saat setelah dilangsungkannya
perkawinan dan sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian
perkawinan mulai berlaku pada saat setelah dilangsungkannya
perkawinan, atau sepanjang ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan. Keempat, sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi
perjanjian perkawinan hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua
belah pihak sepanjang perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga dan
sesudah Putusan Mahkamah Konstitusi perjanjian perkawinan bisa

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974’, Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial
Islam, 3.2 (2021), 180–202. 181.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 54


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

diubah atau dicabut dengan persetujuan kedua belah pihak sepanjang


perubahan dan pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. 22
Pelaksanaan perjanjian perkawinan di Indonesia sebenarnya
sama seperti Taklik Talak dalam perkawinan Islam, Perjanjian
Perkawinan menurut KHI yang tertera dalam BAB VII, di dalamnya
mengatur taklik talak sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 45 dan
Pasal 46 yang berbunyi: “Kedua calon mempelai dapat mengadakan
perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Taklik Talak. (2) Perjanjian
lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Maka dari itu, disini
penjelasannya adalah kata perjanjian berasal dari kata janji yang berarti
perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat.
Dalam hal ini, janji juga dapat diartikan persetujuan antara dua pihak
(masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk
berbuat sesuatu). Dengan demikian, maka perjanjian dapat diartikan
sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua
pihak atau lebih dan masing-masing berjanji menaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu. Lebih jelasnya lagi, perjanjian taklik talak
merupakan perjanjian yang diucapkan oleh suami, setelah akad nikah
yang dicantumkan dalam akta nikah yaitu berupa talak yang
digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang.23
Taklik Talak sebagai sebuah perjanjian, maka bila salah satu
pihak melakukan pelanggaran (ingkar janji) dapat dilakukan gugatan

22
Fhauzi Prasetyawan, ‘Peran Notaris Terkait Pengesahan Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015’, JUSTITIA JURNAL HUKUM,
2.1 (2018). 89-90.
23
Syaefuddin Haris, ‘Kedudukan Taklik Talak Dalam Perkawinan Islam Ditinjau Dari
Hukum Perjanjian’, ARENA HUKUM, 6.3 (2013), 336–59. 342.

55 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
cerai atau ganti rugi. Dalam ketentuan hukum, perjanjian perkawinan
disamakan dengan perjanjian lain pada umumnya dan akibat hukumnya
pun sama selayaknya perjanjian lain. Dalam KHI, Pasal 46: berisi bahwa
ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam, apabila
keadaan yang diisyaratkan dalam ta’lik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-
sungguh jatuh, dan isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan
Agama. Perjanjian ta’lik talak bukan salah satu yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta’lik talak sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali. 24

C. Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian


Perkawinan
Pada umumnya, salah satu faktor penunjang terwujudnya rumah
tangga yang berperan sebagai pelengkap kebahagiaan keluarga adalah
sebuah harta kekayaan. Harta kekayaan tersebut baik harta yang
bergerak maupun harta yang tidak bergerak, bahkan termasuk di
dalamnya surat-surat berharga. Oleh karena kekayaan harta bersama
itu berperan sebagai pelengkap kebahagiaan, namun jika rumah tangga
mengalami kondisi disharmonis dan kemungkinan timbul adanya
perselisihan dan pertengkaran maka kemungkinan besar peluang
kondisi rumah tangga mengarah pada kondisi bubarnya perkawinan

24
Iin Ratna Sumirat, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Analisis
Hukum Positif Dan Hukum Islam’, Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam, 20.2 (2019),
279–301. 281.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 56


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

(broken marriagge).25 Sehingga, dalam hal ini tentu dibutuhkan


perlindungan terhadap harta kekayaan tersebut.
Dengan adanya Perjanjian Kawin dalam sebuah perkawinan,
maka pasangan yang benar-benar mengalami perceraian tidak akan
kerepotan tentang berapa banyak masing-masing memperoleh harta
kawin yang dimiliki.Pembagian harta gono gini atau harta bersama
diharapkan dilakukan dengan cara yang adil sehingga bisa memberikan
rasa keadilan bagi kedua belah pihak yaitu pihak suami dan pihak istri.
Apabila pembagian harta bersama terjadi perselisihan maka pembagian
harta bersama tersebut bisa dilakukan melalu jalur litigasi atau lewat
jalur pengadilan.26
Ketentuan yang ada saat ini, hanya mengatur perjanjian
perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
dilangsungkan. Padahal, dalam kenyataannya ada fenomena suami istri
yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk
membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan,
namun selama ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 perjanjian harus diadakan sebelum perkawinan
dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris.
Kemudian perjanjian perkawinan tersebut mulai berlaku antara suami
dan isteri sejak perkawinan dilangsungkan dan isi yang diatur di dalam
perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon

25
Abdur Rohman, ‘Pelaksanaan Putusan Nomor: 1719/Pdt.G/2018/PA.BWI Dalam
Pembagian Harta Perkawinan Dalam Perkara Poligami’, Negara Dan Keadilan, 8.2
(2019). 3.
26
I Nyoman Putu Budiartha dan Ida Ayu Putu Widiat Ni Kadek Ani, ‘Perjanjian
Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Harta Bersama Akibat Perceraian’,
Jurnal Analogi Hukum, 3.1 (2021), 17–21. 20.

57 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
suami dan isteri. Isi perjanjian tersebut sah adanya asalkan tidak
bertentangan dengan undang-undang, agama, dan kepatutan atau
kesusilaan. Bentuk dan isi perjanjian perkawinan tersebut diserahkan
kepada kedua belah pihak dan diberikan kebebasan atau kemerdekaan
seluas-luasnya (sesuai dengan asas hukum ”kebebasan berkontrak”). 27
Setelah putusan MK 69/2015, penulis memandang bahwa ada
usaha perlindungan yang lebih progresif dari peraturan sebelumnya
terhadap harta kekayaan dalam perkawinan. Bentuk perjanjian
perkawinan yang dibuat dalam bentuk di bawah tangan dapat diajukan
untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Undang-undang tidak mewajibkan notaris untuk melakukan
pembukuan atau pendaftaran atas perjanjian kawin yang telah
dibuatnya. Para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan kapan
melakukan pembukuan atau registrasi tersebut. Impelementasi Putusan
MK 69/2015 ini, memerlukan dukungan dari lembaga terkait dalam
pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat selama
dalam ikatan perkawinan yang bersifat teknis yang dilakukan pegawai
pencatat perkawinan.28
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 tentang pengujian UU No. 5
Tahun 1960 tentang UUPA dan Pasal 29 UUP memiliki beberapa
bertujuan; pertama memisahkan harta kekayaan antara pihak suami

27
Oly Viana Agustne, ‘Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dalam Menciptakan Keharmonisan Perkawinan
(Legal Policy on Marriage Agreement Afer Consttutonal Court Decision No. 69/PUU-
XIII/2015 to Creatng Harmony in Marriage’, Jurnal RechtsVinding, 6.1 (2017), 53–68. 61.
28
Respati Nadia; Sonny Dewi Judiasih; Nanda Anisa Lubis Putri, ‘Perlindungan Hukum
Terhadap Kreditor Dan Upaya Notaris Membuat Perjanjian Perkawinan Setelah
Perkawinan’, Veritas et Justitia, 5.2 (2019), 464–91 <https://doi.org/10.25123/vej.3353>.
472.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 58


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

dengan pihak istri sehingga harta kekayaan mereka tidak bercampur.


Oleh karena itu jika suatu saat mereka bercerai, harta dari masing-
masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama
atau gono gini. Kedua mereka bertanggung jawab atas utangnya masing-
masing. Ketiga jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan
mereka tidak perlu meminta ijin dari pasangannya (suami/istri).
Keempat jika ada fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak lagi harus
meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri)
dalam hal menjaminkan asset yang terdaftar atas nama salah satu dari
mereka.29
Kalau dipandang dari segi perlindungan, memang putusan MK
No. 69/PUUXIII/2015 dapat dikatakan sebagai langkah tepat. Putusan
itu sesuai dengan konstitusi untuk mewujudkan cita negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan bangsa dan negara yang bermartabat.
Putusan MK tersebut juga merupakan pilihan bijak dan langkah maju di
bidang hukum khususnya dalam hal perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM), yang pemenuhannya dijamin oleh konstitusi karena
Indonesia negara hukum. Namun di sisi lain putusan tersebut juga
menyisakan sejumlah permasalahan, misalnya, terkait sengketa harta
perkawinan.30 Oleh karenanya penting untuk mengkaji lebih jauh
penyelesaian sengketa harta perkawinan pasca Putusan MK Nomor

29
Sri; Arfianna Novera; Annalisa Y Turatmiyah, ‘Kedudukan Hukum Perjanjian
Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015’, Syiar Hukum
Jurnal Ilmu Hukum, 16.1 (2018), 61–81. 71.
30
Iswantoro Iswantoro, ‘Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015’, Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 11.1 (2019), 43 <https://doi.org/10.14421/ahwal.2018.11104>. 45.

59 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
69/PUU-XIII/2015 dan akibat hukum perjanjian perkawinan pasca
Putusan MK tersebut.
Di satu sisi putusan MK adalah buah dari pemikiran maju dan
Hakim mengikuti perkembangan hukum, sosial, dan budaya. Pemikiran
yang dituangkan ke dalam putusan itu bertujuan untuk melindungi hak-
hak dan kepentingan para pihak dalam perkawinan. Sehingga adanya
kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pasangan yang terikat
suatu hubungan. Namun di sisi lain, putusan ini bisa dinilai sebagai
putusan yang memperlakukan pernikahan lebih sebagai hubungan
kontraktual atau hubungan perdata biasa sebagaimana lembaga
perkawinan umumnya diperlakukan di dunia Barat. Di Indonesia,
perkawinan umumnya dianggap sebagai ikatan yang bersifat sakral
dalam ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang di atur
dalam agama.31
Akan tetapi, kelonggaran batas waktu perjanjian perkawinan
yang tidak terbatas hanya sebelum atau saat perkawinan memberikan
perlindungan secara hukum kepada setiap pasangan yang ingin
terhindar dari kemungkinan terburuk saat perkawinan. Meskipun
perjanjian perkawinan saat dapat diadakan setelah perkawinan tidak
serta merta menafikan tujuan perkawinan yang mengharapkan
kehidupan yang bahagia, kekal serta tidak melulu berorientasi kepada
pembagian harta. Perjanjian perkawinan yang tanpa dibatasi waktu
akan semakin melindungi setiap pasangan untuk meraih tujuan dalam
perkawinan sebagai langkah antisipasi jika dalam meraih tujuan

31
Mambaul; Lia Noviana; Ika Rusdiana Ngadhimah, ‘Formulasi Perjanjian Perkawinan
Pasca Putusan MK NO. 69/PUU-XIII/2015’, Kodifikasia : Jurnal Penelitian Islam, 11.1
(2017). 159.

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 60


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

perkawinan tersebut di tengah jalan mengalami sebuah goncangan yang


mengancam dirinya sendiri ataupun keluarga setiap pasangan. 32

D. Penutup
Pengaturan harta kekayaan dalam institusi perkawinan
bertujuan untuk perlindungan harta kekayaan antara suam-istri melalui
sebuah perjanjian perkawinan. Dari segi kepastian hukum,
perlindungan harta kekayaan dalam pengaturan perjanjian perkawinan
merupakan kemajuan hukum dan bersifat progresif pasca putusan MK
Nomor 69/PUU-XIII/2015. Pembaharuan hukum yang dilakukan oleh
MK memberikan batas waktu terhadap diadakannya perjanjian
perkawinan semakin luas dan tidak hanya sebelum atau saat
perkawinan dilangsungkan, tetapi bisa juga diadakan setelah
perkawinan dilangsungkan.

Daftar Pustaka
Agustne, Oly Viana, ‘Politik Hukum Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Dalam
Menciptakan Keharmonisan Perkawinan (Legal Policy on Marriage
Agreement Afer Consttutonal Court Decision No. 69/PUU-
XIII/2015 to Creatng Harmony in Marriage’, Jurnal RechtsVinding, 6
(2017), 53–68

Andayani, Isetyowati, ‘Keberadaan Harta Perkawinan Dalam


Problematika Perkawinan’, Perspektif, 10 (2005), 350
<https://doi.org/10.30742/perspektif.v10i4.197>

32
Moh Faizur Rohman, ‘Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan Terhadap Tujuan Perkawinan’, AL-
DAULAH: JURNAL HUKUM DAN PERUNDANGAN ISLAM, 7.1 (2017), 1–27. 24.

61 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
Arasy, Andika Prayoga; and Billquis Kamil, ‘Akibat Hukum Perjanjian
Perkawinan Yang Dibuat Selama Perkawinan Setelah Adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015’, JOURNAL
CONTENT, 3 (2021)

Bukhari, ‘Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam Perspektif UU No 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam’, AT-
TASYRI’ Jurnal Ilmiah Prodi Muamalah, 13 (2021), 127–36
Fanani, Zainul, ‘Implementasi Pembagian Harta Bersama Dalam
Perkawinan Poligami’, Negara Dan Keadilan, 10 (2021), 1
<https://doi.org/10.33474/hukum.v10i1.4485>
Faradz, Haedah, ‘Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Perkawinan’, Jurnal
Dinamika Hukum, 8 (2008), 249–52
Habibah, St., ‘Analisis Hukum Islam Tentang Pelanggaran Perjanjian
Perkawinan’, Al-Bayyinah: Journal of Islamic Law, 1 (2017), 75–86

Haris, Syaefuddin, ‘Kedudukan Taklik Talak Dalam Perkawinan Islam


Ditinjau Dari Hukum Perjanjian’, ARENA HUKUM, 6 (2013), 336–59

Hariss, Abdul, and Nurul Wulan Kasmara, ‘Tinjauan Yuridis Akibat


Hukum Perjanjian Harta Bersama Yang Dibuat Oleh Suami Istri
Setelah Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII/2015’, Wajah Hukum, 3 (2019), 65
<https://doi.org/10.33087/wjh.v3i1.56>

Idrus Alghifarry, A. Kumedi Ja’far, Liky Faizal, ‘Urgensitas Perjanjian


Perkawinan Dalam Membentuk Keluarga Sakinah Perspektif
Hukum Keluarga Islam (Analisis Pasal 29 Undang – Undang Nomor
1 Tahun 1974’, Al-Manhaj: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam,
3 (2021), 180–202

Iswantoro, Iswantoro, ‘Penyelesaian Sengketa Harta Perkawinan Pasca


Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015’, Al-
Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 11 (2019), 43
<https://doi.org/10.14421/ahwal.2018.11104>

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 62


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

Jamaluddin, ‘Pembaharuan Hukum Di Dalam Perjanjian Perkawinan’,


Jurnal Al Ashriyyah, 5 (2019), 117–32

Kurniawan, M. Beni, ‘Pembagian Harta Bersama Berdasarkan Kontribusi


Dalam Perkawinan’, AHKAM, 17 (2017)

Kurniawan, Muhamad Beni, ‘Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari


Besaran Kontribusi Suami Istri Dalam Perkawinan’, Jurnal Yudisial,
11 (2018), 41 <https://doi.org/10.29123/jy.v11i1.224>

Kurniawan, Puji, ‘Perjanjian Perkawinan: Asas Keseimbangan Dalam


Perkawinan’, -Jurnal El-Qanuniy, 6 (2020), 125–37

Laka, Iskandar, ‘Kedudukan Harta Perkawinan Setelah Perceraian


Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam’, RES JUDICATA, 2 (2019)

Marsidah, ‘Perjanjian Perkawinan Antara Suami Istri Berdasarkan


Undang-Undang Perkawinan’, Solusi, 18 (2020)
Mohsi, M. (2019). Pencatatan perkawinan sebagai rekonseptualisasi
system saksi perkawinan berbasis maslahah. Al-'Adalah: Jurnal
Syariah dan Hukum Islam, 4(2), 134-148.

Mohsi, Mohsi. "Dekonstruksi System Sanksi Dalam Uu No 22 Tahun


1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk." Reflektika 13,
no. 1 (2018):
Ngadhimah, Mambaul; Lia Noviana; Ika Rusdiana, ‘Formulasi Perjanjian
Perkawinan Pasca Putusan MK NO. 69/PUU-XIII/2015’,
Kodifikasia : Jurnal Penelitian Islam, 11 (2017)
Ni Kadek Ani, I Nyoman Putu Budiartha dan Ida Ayu Putu Widiat,
‘Perjanjian Perkawinan Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap
Harta Bersama Akibat Perceraian’, Jurnal Analogi Hukum, 3 (2021),
17–21

Prasetyawan, Fhauzi, ‘Peran Notaris Terkait Pengesahan Perjanjian


Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015’, JUSTITIA JURNAL HUKUM, 2 (2018)

63 | Asasi: Journal of Islamic Family Law


Perlindungan Harta Kekayaan Dalam Pengaturan Perjanjian
Perkawinan Di Indonesia
Pratama, Adhitya Dimas, ‘Kedudukan Kepemilikan Hak Atas Tanah
Dalam Perkawinan Campuran Tanpa Adanya Perjanjian Pisah
Harta’, Jurnal Panorama Hukum, 3 (2018), 247–63
<https://doi.org/10.21067/jph.v3i2.2828>

Pratitis, Sugih Ayu, ‘Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Benda


Perkawinan’, Doktrina: Journal of Law, 2 (2019), 151–63
<https://doi.org/10.31289/doktrina.v>
Putri, Respati Nadia; Sonny Dewi Judiasih; Nanda Anisa Lubis,
‘Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dan Upaya Notaris
Membuat Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan’, Veritas et
Justitia, 5 (2019), 464–91 <https://doi.org/10.25123/vej.3353>

Raharno, Nourma Dewi;, ‘Konsep Pembagian Harta Bersama Akibat


Perceraian Dalam Perkawinan Siri’, Jurnal Supremasi, 9 (2019), 69–
76

Ramulyo, M. Idris, ‘Masalah Harta Bersama Dalam Proses Pemutusan


Hubungan Perkawinan’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan, 14
(1984)
Ridwan, Faradilla Asyatama and Fully Handayani, ‘Analisis Perjanjian
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia’,
AJUDIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, 5 (2021)
Rohman, Abdur, ‘Pelaksanaan Putusan Nomor:
1719/Pdt.G/2018/PA.BWI Dalam Pembagian Harta Perkawinan
Dalam Perkara Poligami’, Negara Dan Keadilan, 8 (2019)
Rohman, Moh Faizur, ‘Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU/XIII/2015 Tentang Perjanjian Perkawinan Terhadap
Tujuan Perkawinan’, AL-DAULAH: JURNAL HUKUM DAN
PERUNDANGAN ISLAM, 7 (2017), 1–27
Sarjana, Natalia Ningsih and I Made Arya Utama; I Made, ‘Kekuatan
Mengikat Akta Notariil Perjanjian Perkawinan Terkait Harta
Bersama Yang Dibuat Pasca Pencatatan Perkawinan’, Acta Comitas,

Vol.2 No.1 Oktober 2021 | 64


Akh Syamsul Muniri & Nur Shofa Ulfiyati

2 (2017), 12–26
Sumirat, Iin Ratna, ‘Pelanggaran Perjanjian Perkawinan Serta Akibat
Hukumnya Analisis Hukum Positif Dan Hukum Islam’, Syaksia :
Jurnal Hukum Perdata Islam, 20 (2019), 279–301

Turatmiyah, Sri; Arfianna Novera; Annalisa Y, ‘Kedudukan Hukum


Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015’, Syiar Hukum Jurnal Ilmu Hukum, 16 (2018),
61–81
Waha, Felicitas Marcelina, ‘Penyelesaian Sengketa Atas Harta
Perkawinan Setelah Bercerai’, Lex et Societatis, 1 (2013)

65 | Asasi: Journal of Islamic Family Law

Anda mungkin juga menyukai