Anda di halaman 1dari 12

TUGAS HUKUM KELUARGA

FENOMENA KAWIN KONTRAK DAN AKIBAT HUKUMNYA PADA


PEMELIHARAAN ANAK MENURUT UUP, KHI DAN SYARIAH

DIKERJAKAN OLEH

NUGROHO SETYO UTOMO – 010002102012


RIKARDUS MOAN BAGA – 010002102013
TOMY RIZKI ADITYA PRAYOGO – 010002102014

ABSTRAK

Perkawinan dikatakan sah jika telah memenuhi syarat sahnya perkawinan dan
dilaksanakan menurut agama dan kepercayaannya, hal ini berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan kata lain perkawinan
sah menurut hukum Islam apabila memenuhi syarat perkawinan. Status hukum kawin kontrak
dalam suatu perkawinan yang tidak tercatat bila ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan tidak mempunyai hukum tetap, dikarenakan kawin kontrak
merupakan bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan sehingga tidak bisa dibuktikan dengan
akta autentik yang berupa akta nikah. Akibat hukum kawin kontrak terhadap kedudukan istri
dan anak adalah bahwa istri harus menjalankan semua kewajiban sebagai seorang istri dan
status anak yang dilahirkan tidak sah, karena perkawinan kedua orang tuanya tidak tercatat
dalam perkawinan yang sah. Bilamana perkawinan itu berakhir dalam kawin kontrak tidak ada
pembagian harta walaupun dalam perkawinan itu dihasilkan harta. Selain itu tidak ada hak
mewarisi dari istri kontrak terhadap suami kontrak.

I. Latar Belakang

Manusia ditakdirkan dengan sifat zoon politicon, manusia hidup selalu berkelompok
dalam suatu gugus yang disebut masyarakat. Takdir hidup berkelompok yang disebut
masyarakat melahirkan interaksi sosial mewujudkan corak kehidupan yang saling
berkombinasi membentuk nilai-nilai tatanan, sopan santun, kesusilaan, norma hukum dan
norma-norma lainnya. Kehadiran manusia yang selalu berkelompok, menjadikan manusia
sebagai subjek hukum, Cicero satu abad sebelum Masehi menggambarkan kehidupan manusia
dengan hukum dengan adagium “ubi sociates, ubi ius” dimana ada masyarakat disitu ada
hukum.
Tidak dapat disangkal bahwa dengan adanya hukum yang mengatur tatanan kehidupan
masyarakat, juga mengatur tentang hubungan perkawinan dalam mesyarakat, soal perkawinan
merupakan peristiwa kehidupan yang penting bagi setiap warga negara. Karena pentingnya
suatu peristiwa hukum mengenai perkawinan dalam suatu kelompok maka dipenghujung tahun
1974 negara membuat suatu undang-undang yang mengatur tentang perkawianan yaitu
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinanan. Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang Wanita dengan tujuan membentuk kelurga (rumah tangga)
yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Dalam perkawinan banyak terdapat nilai-nilai asas yang membentuk suatu norma hukum,
demikian halnya dengan terbentuknya undang-undang perkawinanan. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 perkawinana dinilai mempunyai nilai-nilai luhur untuk dilaksanakan oleh
pasangan suami istri hinnga akhir hayat. Undang-undang ini terbentuk untuk menjaga nilai
luhur perkawianan agar tercipta kelurga yang rukun, harmonis sampai akhir hayat dan kelak
melindungi hak dan kewajiban suami dan istri dengan sebaik-baiknya. Dengan definisi
tersebut mempunyai konsekuensi bahwa perkawianan harus dapat dipertanggungjawabkan
agar tujuan hukum berupa kepastian hukum dapat diwujudkan. Beranjak pada definisi Pasal 1
UU Perkawiana kita akan mendapatkan nuansa agamawi mewarnai hukum perkawianan yang
dibuat oleh pemerintah. Objek hukum perkawianan ini mempunyai esensi kerohanian yang
amat kuat. Perkawiana menurut ajaran Islam sendiri sudah ada dalam al-Quran al-karim dan
sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunahnya, yang dinyatakan dalam sebuah hadis
“Aku tinggalkan kepada kalian dua halyang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh
kepadanya: Kitap Allah (al-Quran) dan Sunnah Rasulnya”2.
Walupun undang-undang sudah mengatur bagaimana aturan tentang perkawianan dan
bagaimana menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami istri, tapi masih terjadi
penyimpangan dalam praktek dan penerapannya. Misalnya terjadinya praktek kawin kontrak
yang tidak memenuhi sarat sahnya perkawianan dan rukun nikah, baik secara hukum agama
maupun peraturan undang-undang. Praktik kawin kontrak pada dasarnya tidak sejalan dengan
prinsip hukum perkawinan di Indonesia. Kawin kontrak merupakan praktik perkawinan yang
bertentangan dengan konsep perkawinan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Adanya penyimpangan dari praktik kawin kontrak terhadap norma-
norma hukum dan tujuan dari perkawinan itu sendiri, sebenarnya sudah diketahui oleh

1
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Syarif, Hukum Perkawinana dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), hlm 1
2
Muhamad Muhyidin, Misteri Sholat Tahajjud, cet, Xxiv, (Yogyakarta: Diva Press, 2009), hal 174
masyarakat luas dan stake holder terkait. Seringkali aparat penegak hukum dan pemerintah
daerah melakukan operasi penegakan hukum untuk memberangus prostitusi berkedok wisata
tersebut. Akan tetapi, upaya yang telah dilakukan tidak bisa menghilangkan fenomena sosial
tersebut bahkan disinyalir saat ini semakin tumbuh subur dengan memanfaatkan media sosial
sebagai sarananya.
Perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan. Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak
mengatur tentang jangka waktu/ lamanya perkawinan, imbalan yang akan diperoleh salah satu
pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan
tersebut menyebabkan kawin kontrak menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena
waktunya dibatasi, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan
dengan hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam
perkawinan kontrak juga akan berdapak pada anak ayang akan dilahirkan dari hubungan
perkawiana tersebut hal ini diatur dalam aturan Mahkamah Konstitusi menyatakan dalam Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan
dengan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Pasal 43 ayat (1), menyatakan:

“UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya”.3

Semua anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi sebagaimana yang dilakukan pada
umumnya, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata
dengan ayah mereka. Yang dimaksud dengan “di luar perkawinan resmi” itu termasuk dengan
perkawinan siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (kumpul kebo).

Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam
bidang hukum perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1). Ini berarti anak tersebut mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak waris, jadi hampir sama dengan status

3
Mardani, “Praktik Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak) dalam Perspektif Hukum Islam”, Op.cit., hlm. 97.
kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak di luar kawin tidak ada hubungan
dengan ayahnya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan
ibunya dan dengan keluarga ibunya, juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan
keluarga ayahnya.

II. Permasalahan

1. Bagaimana akibat hukum kawin kontrak bagi pemeliharaan anak menurut hukum
keluarga di Indonesia?
2. Bagaimana dampak kawin kontrak terhadap anak hasil kawin kontrak?

III. Tujuan Penelitian

Tujuan dari hasil penelitian adalah untuk mengetahui dampak akibat hukum bagi
pemeliharaan anak hasil kawin kontrak berdasarkan hukum kelurga di Indonesia.

IV. Pembahasan

Perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma
dan kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Namun dalam kenyataannya, tidak semua
manusia mempunyai prinsip demikian, dengan berbagai alasan yang masuk akal dan bisa di
terima di dalam masyarakat, perkawinan sering kali tidak dihargai kesakralannya orang yang
akan menikah. Pada dasarnya perkawinan ditujukan untuk jangka waktu selama- lamanya
sampai maut memisahkan, akan tetapi dalam praktiknya sering kali orang yang melangsungkan
perkawinan yang bersifat sementara disebut dengan kawin kontrak. Istilah kawin kontrak
dalam agama Islam sering disebut dengan nikah mut’ah. Hukum Indonesia mengatur
perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan definisi
perkawinan yaitu:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”4

Kita melihat pada ketentuan UU Perkawianan pada Pasal 2 ayat (1) Undang- undang Nomor 1
Tahun 1974(selanjutnya disebut UU No.1/1974 atau Undang-Undang Perkawinan ) yang
menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.5 Dengan adanya ketentuan yang demikian, berarti bahwa
tidak akan ada perkawinan yang dilangsungkan di luar hukum. Selain harus dilaksanakan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaannya, maka hendaklah dicatatkan. Hal ini
ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pencatatan perkawinan sebenarnya hanya merupakan tindakan administrasi negara, dimana


para pihak yang melakukan perkawinan di dalam suatu negara harus dicatatkan perkawinannya
pada negara itu. Sebagai ketentuan hukum negara, maka apabila perkawinan itu tidak
dicatatkan akan berakibat tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini dikarenakan tidak ada
dasar hukum yang menjadi landasan bahwa perkawinan itu telah terjadi. Landasan hukum di
sini adalah surat nikah yang merupakan alat bukti yang kuat kepada pihak ketiga. Artinya
bahwa pasangan yang telah diberi surat nikah itu dapat menggunakan surat nikahnya sebagai
bukti bahwa perkawinan itu telah benar-benar dilakukan. Ketentuan ini memang bukan
merupakan syarat sah perkawinan, sehingga tanpa didaftarkan pun perkawinan tetap sah
asalkan telah dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan yang dianut.

Selanjutnya mengenai pelaksanaan perkawinan itu sendiri Undang-undang No. 1 tahun.


1974 tidak menentukan bahwa perkawinan harus dilaksanakan dengan cara tertentu, tetapi
menyerahkan sepenuhnya kepada para pihak yang akan melakukan perkawinan itu. Dalam arti
setelah semua syarat sahnya perkawinan terpenuhi, maka pihak yang akan melaksanakan
perkawinan dapat melakukan proses perkawinannya sesuai dengan hukum adatnya masing-
masing. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan perkawinan, Undang- undang Nomor 1 Tahun

4
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Menurut Agama Islam, (Yogyakarta:BPFH UII,1987), hlm.27.
1974 mempunyai asas-asas yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan perkawinan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Asas-asas tersebut adalah (Penjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974) :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan saling melengkapi
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam rangka mencapai
kebahagiaan spiritual.
2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di
samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama dengan pencatatan peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian, yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan atau suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan karena hukum dan agama mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri
lebih dari seorang. Namun perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat
dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.
4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah matang
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan
yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami
isteri yang masih di bawah umur. Di samping itu, perkawinan mempunyai hubungan
dengan masalah kependudukan. Diketahui bahwa batas umur yang lebih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubungan dengan itu, maka
Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, yaitu 19 tahun bagi pria dan
16 tahun bagi wanita.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya
perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta
harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu di dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama
oleh suami isteri.

Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu perikatan atau perjanjian yang juga terdapat
sangat banyak di dalam hukum perdata pada umumnya. Perjanjian sendiri adalah suatu yang
sangat penting dalam hukum, oleh karena setiap orang yang mengadakan perjanjian sejak
semula mengharapkan supaya janji itu tidak diputus ditengah jalan. Demikian juga dengan
perkawinan haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang syarat sah
perjanjian. Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang,
digolongkan ke dalam:6

1. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subjektif);
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur
objektif).

Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat
dalam perjanjian, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (unsur subjektif) dan batal demi hukum
(unsur objektif).

Apabila kita melihat unsur pokok dalam KUHPer dan UU Perkawianan maka kita akan
menemukan beberapa praktek yang menyimpang dari UU Perkawianan dan KUHPer tentang
perkawianan, secara khusus kita melihat fenomena kawin kontrak yang dimana kawin kontrak
adalah perkawinan di mana seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan
sejumlah harta tertentu dan dalam waktu tertentu, yang mana perkawinan akan berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan tanpa adanya talak serta tidak adanya kewajiban untuk
memberi nafkah, tempat tinggal dan hak mewaris.

Pasal 1332 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa sesuatu yang
dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah berupa barang yang dapat diperdagangkan,
namun dalam perjanjian kawin kontrak yang dijadikan objek perjanjian adalah perkawinan

6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hlm. 93.
yang dibatasi waktu itu sendiri di mana perkawinan yang dibatasi oleh waktu bukanlah
merupakan suatu barang dan bisa diperdagangkan. Hal ini secara jelas melanggar syarat
objektif perjanjian yaitu suatu hal tertentu, di mana yang menjadi objek dari suatu perjanjian
harus jelas dan dapat ditentukan jenisnya.

Syarat objektif selanjutnya yang tidak dipenuhi adalah suatu sebab yang halal.
Perjanjian perkawinan yang terdapat dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan
perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-
Undang Perkawinan (Pasal 1) dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 2, 5 dan 6). Suatu sebab
adalah terlarang apabila dilarang dalam undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan
yang baik dan ketertiban umum. Isi perjanjian perkawinan dalam kawin kontrak mengatur
tentang jangka waktu atau lamanya perkawinan, imbalan yang diperoleh oleh salah satu pihak,
hak dan kewajiban kedua belah pihak, dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

Suatu perkawinan yang sah harus dilaksanakan berdasarkan hukum masing-masing


agama dan kepercayaannya itu, dan dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, agar
perkawinan tersebut tercatat dan dianggap sah dihadapan hukum. Ketika seorang anak yang
sudah terlanjur lahir dari hasil perkawinan tersebut, tentu akan mempunyai akibat hukum yang
lain dalam sebuah perkawinan. Akibat hukum dalam perkawinan yang sah dengan berdasar
Undang-Undang mengenai anak hasil perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai kedudukan anak. Dimana diatur didalam Pasal 42
yang berbunyi:
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah”.

Kemudian Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan berbunyi:


“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”
Berkaitan dengan Pasal tersebut diatas. Makamah Konstitusi menyatakan bahwa : UU
Perkawiana tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan
ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Hal senada juga diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam BAB XIV Pasal 99 yang berbunyi
bahwa:
“Anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut”.

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa:


“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya”

Dalam perkawinan kontrak apabila berdasar dengan hal diatas, apabila terlahir seorang
anak dari hasil perkawinan kontrak tersebut maka anak tersebut merupakan anak luar kawin,
karena kawin kontrak adalah perkawinan yang tidak sah dan perkawinan tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga di anggap tidak sah di mata hukum. Dimana anak yang
lahir dari perkawinan yang tidak sah tersebut tidak dapat menuntut apa-apa dari ayahnya. Dia
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Anak yang lahir di luar perkawinan resmi tidak mempunyai ikatan kekeluargaan menurut
hukum dengan yang dinikahinya. Oleh karena itu, anak hanya mewarisi dari ibunya dan
keluarga dari ibunya saja seperti yang dikatakan oleh S.A. Hakim di dalam buku Hukum Adat
Perorangan, Perkawinan, dan pewarisan.13 Anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi tetap
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya walaupun nama ayahnya tidak ada di dalam
akta anaknya. Dengan dikatakan bahwa semua anak terlahir sama, tidak perlu ada perbedaan
status hukum untuk anak yang lahir di luar perkawinan resmi maupun dalam perkawinan resmi.
Dalam hukum Islam, anak di luar perkawinan tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh
bapaknya (bapak biologisnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan
anak tersebut, dengan pengertian bahwa anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti
halnya dengan anak sah yang mempunyai ayah. Menurut buku Wirjono, Hakikat dalam Hukum
Islam, disebutkan ada kemungkinan seorang anak hanya mempunyai ibu dan tidak mempunyai
bapak. Jadi, status anak yang lahir di luar perkawinan itu menurut hukum Islam adalah anak
tidak sah, yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, yaitu laki-laki yang
menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya yang melahirkannya.

Dalam hukum perdata anak yang dilahirkan di luar perkawinan resmi dapat diakui oleh
ayah atau ibunya. Dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu
hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, terjadilah
pertalian keluarga dengan semua kejadian-kejadian yang diakibatnya antara anak dengan orang
tuanya yang mengakui anaknya. Jadi, anak di luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang
diakui.

Dilarangnya kawin kontrak tidak terlepas dari dampak buruknya yang jauh dari
kemaslahatan umat manusia, di antaranya:

1. Menyia-nyiakan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang
tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung
pendidikan orang tua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang;
2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam
kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara
sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya.
Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka; dan
3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak lebih-
lebih yang saling berjauhan sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan
pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris
dipastikan.

Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam
bidang hukum perkawinan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dinyatakan dalam Pasal 43 ayat (1). Ini berarti anak tersebut mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak waris, jadi hampir sama dengan status
kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak di luar kawin tidak ada hubungan
dengan ayahnya. Sebaliknya, anak sah mempunyai hubungan perdata di samping dengan
ibunya dan dengan keluarga ibunya, juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan
keluarga ayahnya. Masa perkawinan akan berakhir dengan masa perjanjian yang disepakati
oleh kedua belah pihak dengan tanpa adanya perceraian dan tidak ada kewajiban bagi seorang
mewarisi antara keduanya secara hukum Islam. Syarat kawin kontrak antara lain melakukan
ijab kabul kata-kata nikah atau dengan kata mut’ah, adanya mas kawin, tanpa wali, tanpa saksi,
ada ketentuan dibatasi oleh waktu, tidak ada waris-mewarisi antara suami-istri dan tidak ada
talak. Walaupun kawin kontrak memiliki ijab kabul, tetapi ijab kabul pada kawin kontrak
berbeda dengan ijab kabul pada perkawinan biasa. Bedanya terletak pada adanya pembatasan
waktu perkawinan dilaksanakan. Sementara bagi warga Indonesia terutama perempuannya
yakni perempuan yang terlibat dalam pernikahan kontrak tersebut, mereka melakukannya
karena alasan ekonomi. Persoalan finansial menjadi alasan utama untuk melakukan nikah
kontrak. Karena dalam perkawinan kontrak tersebut harga yang ditetapkan cukup tinggi.
Semakin lama jangka waktunya, maka tarifnya semakin tinggi dan mahal. Cara ini dianggap
lebih baik dari pada melakukan perzinaan, karena pernikahan menghalalkan hubungan suami
istri tersebut.

Seorang laki-laki telah selesai masa kawin kontraknya tidak mempunyai kewajiban untuk
memberikan apapun lagi bagi wanita yang telah menjadi mantan istri kontraknya. Hal ini
sangatlah miris, mengingat alasan sebagian besar wanita yang melakukan kawin kontrak adalah
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian setelah habis masa perkawinan
kontraknya, si wanita akan kembali menjalani hidup seperti biasa, hidup yang serba
kekurangan. Hal ini sangat memberatkan wanita, karena setelah menjalani kawin kontrak,
susah bagi wanita untuk mendapatkan laki-laki lain sebagai suami sejatinya, sehingga jika
ditinjau dari pihak wanita, kawin kontrak anak sangat merugikan wanita. Akan tetapi dalam
praktiknya, suami kontrak tetap memberi uang/sangu kepada istri kontraknya yang berupa
sejumlah uang untuk menunjang atau meringankan beban kebutuhan hidupnya. Akan tetapi
pemberian uang ini bukan merupakan kewajiban bagi suami kontrak, sehingga ada tidaknya
pemberian uang ini sangat tergantung pada kebaikan hati suami kontrak. Demikian juga dalam
kaitannya dengan anak, berakhirnya kawin kontrak membuat suami kontrak menjadi tidak
mempunyai kewajiban untuk memberikan biaya hidup anaknya, walaupun anak itu adalah anak
kandungnya sendiri.

Jika dilihat dari kedudukan mantan istri kontrak, maka berakhirnya kawin kontrak
membuatnya kembali berstatus single. Akan tetapi status single di sini bukan dalam arti sebagai
janda ataupun perawan. Hal ini dikarenakan jika dianggap sebagai janda, maka seharusnya ada
proses perceraian yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974. Sebagaimana diketahui bahwa
perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.
Akan tetapi tidak demikian halnya dengan perceraian menurut kawin kontrak, tidak ada sidang
ataupun cara-cara lain untuk terjadinya perceraian, misalnya diceraikan melalui amil yang
tadinya menikahkan pasangan tersebut. Jadi dalam kawin kontrak perkawinan berakhir begitu
saja tanpa ada proses apapun. Setelah sampai waktu yang diperjanjikan, maka berakhirlah
perkawinan kontrak yang dilaksanakan oleh mereka.

V. Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan

Dalam perspektif hukum positif Indonesia, kawin kontrak merupakan perkawinan yang
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, karena perkawinan tersebut sangat
bertentangan dengan Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan melanggar
asas hukum perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata. Akibat hukum kawin
kontrak terhadap wanita adalah tidak dianggap sebagai sebagai istri sah, tidak berhak atas
nafkah dan warisan dari suami jika meninggal dunia, tidak berhak atas harta gono gini jika
terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan, perkawinan kontrak tersebut dianggap
tidak pernah terjadi. Akibat hukum anak yang lahir dari perkawinan kontrak adalah anak
tersebut dianggap sebagai anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya, hal ini sesuai dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Anak tersebut tidak mendapat pengakuan dari sang ayah
serta masalah perwalian, pendidikan, dan pemeliharaan serta hak waris dari ayahnya.

B. Saran

Harus ada upaya preventif dari berbagai pihak (pemerintah, legislatif, praktisi dan
penegak hukum, tokoh agama dan adat, organisasi perempuan, LSM, perangkat desa, aparat
KUA, dan lain- lain) mensosialisasikan arti penting perkawinan yang sah secara agama dan
diakui oleh negara agar mendapatkan kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai