Anda di halaman 1dari 7

Sebagai bagian dari peristiwa hukum, perkawinan menimbulkan akibat hukum dan perlindungan bagi

suami istri serta anak-anaknya yang dilahirkan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
mengatur tentang perkawinan menyatakan bahwa proses perkawinan itu menjadi sah apabila dilakukan
menurut hukum agama dari masing-masing pemeluk agama dan dicatat menurut ketentuan yang
berlaku. Namun demikian, realitas yang ada di masyarakat, khususnya di kalangan umat Islam
Indonesia, menunjukkan bahwa masih banyak pasangan yang tidak mencatatkan perkawinannya
(disebut juga nikah siri) di lembaga negara yang ditunjuk (kantor urusan agama dan kantor catatan
sipil). ). Menurut pandangan mereka, selama syarat-syarat dan perbuatan-perbuatan Islam telah
terpenuhi, maka pencatatan perkawinan pada petugas pencatatan perkawinan tidak diperlukan.
Fenomena ini terjadi di mana-mana mulai dari masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan
berpendidikan rendah hingga masyarakat berpendidikan tinggi.

Di antara mereka (khusus mempelai laki-laki) telah menikah untuk pertama kali, bahkan untuk kedua
kalinya atau beberapa kali (poligami). Karena pernikahan tersebut tidak tercatat dalam catatan resmi,
maka istri/perempuan sering dicap secara negatif sebagai “nyonya” (Bafadhal, 2011).

Beberapa asumsi telah dibuat untuk memeriksa motif di balik pernikahan yang tidak dicatatkan dan
risiko yang mengikutinya. Dalam masyarakat yang kurang mendapat informasi secara hukum dan
berpenghasilan rendah, prosedur praktis dan murah yang ditawarkan oleh pernikahan di luar nikah
menjadi pilihan yang layak. Dari segi agama, perkawinan yang terkesan sah dan tidak memakan waktu
untuk menghindari dosa dan perbuatan asusila telah memberikan kontribusi bagi ketenangan batin
individu (Triwanto dan Suryanto, 2013).

Perkawinan di luar nikah selama ini cenderung merugikan pihak perempuan dan anak yang dilahirkan.
Karena tidak adanya perjanjian yang sah dalam bentuk surat nikah, suami dapat dengan mudah
melalaikan kewajibannya. Kasus terburuk yang terjadi adalah pasangan laki-laki menelantarkan
keluarga sedangkan istri yang tidak memiliki bukti pernikahan yang sah tidak dapat menuntutnya.

Contoh kasus pernikahan siri yang terkenal adalah Ny. Machica Mohtar yang menikah dengan mantan
Mensesneg, (alm.) Pak Moerdiono, dan memiliki satu orang anak. Sayangnya, karena pernikahan
mereka tidak tercatat secara hukum, akta kelahiran yang menyatakan Bapak Moerdiono sebagai ayah
tidak dapat diterbitkan. Dalam kaitan itu, Machica memperjuangkan status hukum anaknya melalui
peraturan perundang-undangan Pasal 43 UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, artikel ini mencoba memaparkan faktor-faktor yang
mempengaruhi preferensi perkawinan di luar nikah dan akibat hukumnya bagi istri dan anak yang
dilahirkan.

PERNIKAHAN TIDAK TERDAFTAR

Di Indonesia, perkawinan di bawah tangan dikenal dengan sebutanrahasiayang berasal dari bahasa
Arab,misteri, ketekunanartinya tersembunyi.RahasiaOleh karena itu, pernikahan (tidak terdaftar)
secara harfiah dianggap sebagai pernikahan tersembunyi. Menurut undang-undang, praktek ini
didefinisikan sebagai perkawinan yang tidak dicatatkan oleh pejabat dan kantor urusan agama.
Ramulyo menegaskan istilah nikah siri.Kyai atausarjana(seorang pendakwah terkemuka Islam) yang
dianggap berpengetahuan dalam hal dakwah biasanya memiliki hak istimewa untuk memimpin
prosedur. Dalam praktik sosialnya, saksi nikah siri sangat sedikit dan prosesnya tidak tercatat di kantor
urusan agama setempat (Baidhowi, 2009).

Moh Idris Ramulyo (2002) menyatakan syarat-syarat perkawinan menurut hukum Islam antara lain: 1)
mempelai, 2) ada kesepakatan di antara mereka, 3) kewajiban membayar mahar dari pihak laki-laki, 4)
sekurang-kurangnya 2 orang saksi, 5) persetujuan/tawaran terakhir dari kerabat laki-laki yang secara
sah bertanggung jawab atas mempelai wanita, 6) surat pernyataan penerimaan oleh mempelai pria, 7)
pengumuman nikah sebagai hajatan (sesuai dengan kemampuan mereka), serta catatan yang sejalan
dengan tafsir analogis dari kitab suci Al-Qur'an surat Al-Baqarah 282 ayat “bahwa…”. Dalam hal ini,
perkawinan dianggap sebagai perjanjian yang suci dan diharapkan untuk selama-lamanya. Untuk
kepentingan kepastian hukum bagi generasi berikutnya, diperlukan catatan sipil tentang perkawinan itu
pada seorang pemimpin muslim dan di kantor urusan agama kelurahan berdasarkan penafsiran terpadu
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU. nomor 1 tahun 1974 mengatur perkawinan.

Selain itu, ada beberapa tata cara yang baik dan opsional dalam Islam dengan melakukan khutbah dan
hajatan nikah serta menyebutkan mas kawin. Dalam tata cara nikah siri, pilihan tersebut tidak
dilakukan, khususnya pada tahap hajatan. Perkawinan yang hanya diketahui oleh segelintir orang
disebutrahasiaatau praktik tersembunyi atau tanpa pemberitahuan. Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah tersebutrahasiadikaitkan dengan peraturan pemerintah dan ditetapkan sebagai perkawinan yang
tidak dicatatkan oleh pejabat yang ditunjuk di kantor urusan agama. Sebagaimana dinyatakan oleh
Ramulyo (2002), perkawinan tersebut telah memenuhi tata cara dan tata cara yang diwajibkan Islam
tetapi tidak dicatatkan pada pejabat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan yang tidak tercatat ini secara sosial dianggap tersembunyi tidak hanya dari negara tetapi
juga dari sekitarnya. Menurut hukum Islam, praktik persembunyian dilarang karena kurangnya
pemenuhan prinsip dan ditambah dengan niat yang tidak bertanggung jawab (Baidhowi, 2009).
Perkawinan di luar nikah secara garis besar diartikan sebagai: Pertama, perkawinan tanpa seorang
sanak saudara yang bertanggung jawab atas mempelai wanita. Praktek tersebut sering disembunyikan
karena ketidaksepakatan dari kerabat perempuan atau karena persepsi bahwa ketidakhadiran wali
masih sah atau karena keinginan untuk mengungkapkan perasaan bahenol; Kedua, pernikahan yang
sah menurut prinsip agama tetapi tidak tercatat di lembaga negara yang ditunjuk (Arsyal: 2012).

PERNIKAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari
pernyataan tersebut, maka perkawinan bukan semata-mata ikatan lahiriah atau ruhani, tetapi mencakup
ikatan keduanya (Syahrani, 2006: 62).

Dalam buku Syahrani (2006 : 62), Saleh dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Indonesia
menjelaskan bahwa sebagai ikatan lahiriah, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai pasangan. Hubungan formal ini terbukti baik bagi
diri mereka sendiri maupun masyarakat. Dalam hal ini, ritual akad nikah menjadi syarat utama bagi
umat Islam. Pakar lain dalam buku Syahrani, Haryono mengungkapkan lebih lanjut dalam karyanya
yang berjudul Hukum Islam bahwa perkawinan, sebagai ikatan lahiriah, adalah hubungan batin karena
kesamaan dan ketulusan niat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama
sebagai pasangan. Pada awalnya hubungan ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari
mempelai laki-laki untuk menikah. Setelah tahap ini, ikatan batin mereka tercermin dari hubungan
yang harmonis antara suami dan istri. Tentu komitmen itu menjadi prinsip utama untuk memulai
sebuah keluarga yang bahagia dan kekal.

Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, lebih jauh lagi, pembentukan keluarga (rumah
tangga) dilandasi oleh keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain perkawinan itu
harus berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itu, dalam ayat (1) Pasal 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “perkawinan adalah sah apabila dilakukan
berdasarkan agama dan kepercayaan mempelai laki-laki”.

Dalam buku Syahrani (1006:63), Hazairin dalam tulisannya yang berjudul Review Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, kemudian dikutip Saleh dalam UU Perkawinan Indonesia menjelaskan bahwa:

“...Bagi umat Islam, tidak mungkin menikah dengan melanggar prinsip-prinsip agama. Hal ini juga
berlaku bagi umat Kristen, Hindu dan Buddha sebagaimana yang terjadi di Indonesia”. Dalam sila
pertama falsafah Indonesia, Pancasila, perkawinan sangat erat kaitannya dengan agama. Selain itu,
keluarga yang penuh suka cita dan suportif menjadi tujuan akhir sebuah perkawinan, karena
perlindungan dan pendidikan anak merupakan kewajiban orang tua (Kansil, 2000:16).

Selain itu, perkawinan dalam hukum Islam tidak hanya merupakan akad sipil biasa, tetapi juga akad
atau akad yang kuatkondisi terukurmenaati perintah Tuhan, melaksanakan sembahyang ritual dan
mewujudkan rumah tangga yang berkah (Ramulyo, 2002:70). Dalam buku Ramulyo (2002:27),
Soemiyati dalam karyanya yang berjudul Hukum Perkawinan dan Peraturannya menyebutkan tujuan
perkawinan menurut Islam yaitu untuk memenuhi tujuan kemanusiaan, untuk memulai hubungan
antara laki-laki dan perempuan guna terciptanya gembira

keluarga yang menjunjung tinggi kasih sayang dan perhatian serta memiliki keturunan yang sah
dengan mengikuti syariat Islam. Oleh karena itu dalam perkawinan suami istri mempunyai tanggung
jawab vertikal terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban timbal balik antara mereka dan anak
yang dilahirkan.

Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “setiap perkawinan harus
dicatat menurut ketentuan yang berlaku”. Dengan demikian, setiap perkawinan harus dilakukan di
depan pejabat yang ditunjuk. Tidak adanya pendaftaran tersebut akan mengakibatkan lemahnya
perlindungan hukum (Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam).

Tata cara pencatatan perkawinan diatur dalam Bab V ayat 3 ayat 1 pasal 34, 35, 36 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Perdata. Tujuannya adalah untuk melegalkan status
pernikahan yang dikenal dengan urusan privat dan publik. Tujuan lainnya adalah untuk menjamin
kepastian hukum dan ketertiban serta sebagai bukti perkawinan.

Selain esensi pencatatan perkawinan untuk menjaga ketertiban hukum yang sangat bermanfaat bagi
pasangan, lembaga yang ditunjuk juga menjadi prasyarat administratif dalam proses tersebut. Selain
itu, akta nikah bertujuan untuk melindungi hak masing-masing pihak, termasuk suami, istri, dan
keluarga mempelai laki-laki. Prosedur perjanjian pernikahan akan dimasukkan di sana ketika wali,
seorang ayah, akan menyerahkan tanggung jawabnya. Mengenai sifat spiritualnya, akad tersebut harus
dilakukan secara langsung dan disaksikan oleh orang lain (Arsyal:2012).

PERNIKAHAN YANG SAH

Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan sah apabila dilakukan
menurut kepercayaan dan agama mempelai laki-laki. Ayat (2) menyatakan bahwa setiap perkawinan
harus dicatat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada dua penafsiran
atas ayat tersebut yaitu pertama, dalil yang memisahkan ayat 1 dan 2, perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut kepercayaan dan agama masing-masing mempelai laki-laki sehingga pendaftaran
ke kantor urusan agama setempat hanya sebagai syarat administratif. Artinya, perkawinan antara dua
orang muslim sah jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah diuraikan di atas. Argumen lainnya
mengintegrasikan klausa 1 dan 2 yang diambil dari interpretasi sosiologis dan dikaitkan dengan
konsekuensi hukum.

Preferensi argumentasi kedua didasarkan pada asas kepastian hukum sejak Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dirumuskan untuk mencapai keadilan menuju kepastian. Berdasarkan undang-undang
tersebut, perkawinan sah apabila dilakukan menurut keyakinan dan agama masing-masing mempelai
laki-laki (Muslim harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam) dan dicatat oleh pejabat yang ditunjuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 yang mengatur tentang pencatatan perkawinan,
perceraian dan perdamaian.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERNIKAHAN YANG TIDAK TERDAFTAR

Dalam kebanyakan kasus, pernikahan yang tidak tercatat dilakukan karena masalah pribadi.
Konsekuensinya, masalah tersebut menjadi beban pihak terkait termasuk anak yang dilahirkan
(Widiastuti, 2008).
Adillah (2011) menjelaskan beberapa faktor mengapa masyarakat tidak mencatatkan perkawinannya di
lembaga yang ditunjuk; mereka:
Pertama,pertimbangan ekonomi termasuk biaya administrasi untuk mencatat perjanjian itu. Bagi
sebagian besar masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah, biaya yang terkadang dua
kali lipat dari biaya resmi tidaklah terjangkau;
Kedua,mempelai laki-laki di bawah umur yang kantor urusan agama menolak pendaftarannya;
ketiga,tugas/tanggung jawab pekerjaan atau studi yang hanya memperbolehkan perkawinan sampai
kontrak yang telah disepakati sebelumnya seperti masa kerja tertentu atau kelulusan studi telah
dipenuhi;
keempat,adanya anggapan sahnya perkawinan di luar nikah menurut agama mempelai laki-laki yang
meyakini bahwa pencatatan ke kantor urusan agama hanyalah urusan administrasi;
kelima,kehamilan di luar perkawinan yang sah, dianggap sebagai aib, karena gaya hidup bebas;
keenam,kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan perkawinan dimana
sebagian masyarakat masih menganggap prosedur administrasi tidak diperlukan;
ketujuh,faktor sosial terkait dengan stigma negatif bagi laki-laki yang menikah lebih dari satu kali
(poligami) sehingga nikah siri lebih diutamakan untuk menghindari stigma tersebut;
delapan,ruwetnya prosedur poligami dimana perkawinan kedua, ketiga atau masing-masing harus
mendapat persetujuan dari istri sebelumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 yang dirumuskan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya poligami dengan motif
yang tidak dapat diterima. Akhirnya, pasangan laki-laki lebih memilih untuk menikah di luar nikah
karena kerumitan masalah yang disebutkan di atas.

KONSEKUENSI HUKUM DARI PERKAWINAN YANG TIDAK TERDAFTAR

Konsekuensinya, suami atau istri yang melakukan perkawinan di luar nikah tidak akan memperoleh
pengakuan negara. Jika terjadi kasus kelalaian tugas, gugatannya tidak dapat diproses karena tidak
adanya bukti autentik perkawinan. Hal itu juga bertentangan dengan ketentuan yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Yang paling menderita dari perkawinan siri ini I adalah istri dan anak yang dilahirkan,. Karena
perkawinan tersebut tidak tercatat secara resmi, pasangan perempuannya tidak dapat diakui sebagai
istri yang sah dan tidak memiliki hak keuangan setiap kali diajukan perceraian karena perkawinan
tersebut tidak tercatat secara sah. Secara sosial, perempuan dalam perkawinan di bawah tangan
dianggap sebagai kumpul kebo negatif atau bahkan simpanan karena masyarakat tidak mengetahui
ikatan hukum mereka.

Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat seringkali menghadapi kesulitan hukum.
Dalam hubungan keperdataan, mereka hanya diakui dari hubungan keibuan, artinya mereka tidak
berhak menerima bantuan keuangan, biaya hidup, biaya pendidikan dan warisan dari ayah mereka.
Sebagai akibat hukum dari perkawinan yang tidak dicatatkan, selanjutnya anak-anak tersebut tidak
akan memiliki akta kelahiran sebagai dasar dokumen-dokumen resmi lainnya di kemudian hari yang
diperlukan untuk tunjangan kesejahteraan, asuransi atau warisan. Meskipun menurut hukum Islam
perkawinan di luar nikah tidak dilarang, akan tetapi resiko hukumnya akan selalu berakibat pada
keadaan yang merugikan bagi istri dan anak. Anak hasil perkawinan ini tidak akan memiliki hak
sebagai warga negara karena kelahirannya tidak diakui oleh negara. Belum lagi, akta nikah tidak ada
karena akad tidak tercatat di lembaga yang ditunjuk. Sebenarnya akta tersebut tidak menentukan sah
atau tidaknya suatu perkawinan tetapi merupakan bukti bahwa akad itu pernah dilaksanakan secara sah
(Muamar, 2005).

Pernikahan siri juga berimplikasi negatif terhadap proses hukum terhadap permasalahan yang terkait.
Misalnya, jika seorang istri dalam skema tersebut ditelantarkan oleh suaminya, dia tidak dapat
menuntut pihak laki-laki karena tidak ada bukti tertulis. Selain itu, dia tidak memiliki hak atas
dukungan finansial dan warisan ketika suaminya meninggal dunia dan tuntutan materi apa pun ketika
perceraian diajukan. Sang istri hampir tidak akan bersosialisasi dengan tetangganya karena masyarakat
kadang-kadang mencapnya sebagai simpanan atau tinggal dengan pasangan laki-laki tanpa ikatan
hukum. Dampak negatif bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah karena mereka hanya
akan berhubungan secara sah dengan ibu dan keluarga ibu dan tidak memiliki hak kewajiban keuangan
dari ayah mereka.

IMPLIKASI KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PENINJAUAN


PERADILAN PASAL 43 Ayat (1) TERHADAP SISTEM HUKUM YANG MENGATUR
PERMASALAHAN KELUARGA

Hj. Machicha Mochtar mengajukan uji materi Pasal 43 ayat (1) Perkawinan Sah ke Mahkamah
Konstitusi. Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 menyatakan Pasal 43 ayat (1) inkonstitusional
bersyarat dan harus ditafsirkan sebagaianak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat
mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibu serta laki-laki yang terbukti secara ilmiah
sebagai bapaknya, termasuk keluarganya.

Jika ditelaah, logika putusan tersebut membawa konsekuensi terhadap hubungan anak yang lahir dari
perkawinan di luar nikah dengan ayah kandungnya, hak dan kewajiban yang tidak dapat dipisahkan
antara anak dan ayah kandungnya dalam hal keuangan, warisan dan sebagainya. terjadi setelah bukti
ilmiah diberikan seperti DNA dan tes serupa yang menyatakan bahwa anak-anak memiliki hubungan
darah dengan ayah biologis mereka. Akibatnya, hubungan hukum antara anak dan ayah biologisnya
dari perkawinan yang tidak tercatat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi juga diterapkan pada
masalah prostitusi, perkawinan monogami tidak tercatat dan perkawinan poligami tidak tercatat yang
mengakibatkan hak dan kewajiban hukum antara kedua belah pihak saling timbal balik. Menurut
Khatulistiwa (2013), hak-hak anak yang diatur dalam peraturan tersebut adalah:Pertama,hak atas
bantuan keuangan karena pengakuan statusnya berdasarkan keputusan Konstitusi. Oleh karena itu,
ayah mereka baik secara hukum maupun biologis, bertugas untuk memberikan kehidupan yang layak
bagi mereka karena perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki status yang sama dengan perkawinan
yang sah. Dalam hal ini, tanggung jawab keuangan meliputi biaya hidup, asuransi kesehatan, biaya
pendidikan, dll berdasarkan pendapatan ayah. Logika yang mendasari putusan Pasal 43 ayat 1 pada
dasarnya menyatakan “tidak adil dan tidak benar jika laki-laki dibebaskan dari tanggung jawabnya
sebagai ayah setelah hubungan seksual mengakibatkan kehamilan dan kelahiran anak dari pihak
perempuan dan sekaligus hukum menghapuskan hak-hak anak yang dipenuhi oleh bapaknya”. Tersirat
dalam pernyataan itu, seorang laki-laki bisa melalaikan tugasnya sebagai ayah biologis. Setelah
ketentuan dalam pasal itu ditinjau kembali, ayah kandung dipaksa oleh undang-undang untuk
menunjukkan tanggung jawabnya setelah perbuatan itu dilakukan.

Konsekuensi kedua adalah peran wali penanggung jawab perkawinan berdasarkan ketentuan Pasal 19
dan Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa wali nikah merupakan syarat
wajib bagi mempelai wanita dalam suatu perjanjian. Yang bertindak sebagai wali adalah laki-laki yang
memenuhi syariat Islam, beragama Islam, dewasa, dan sehat jasmani. Dalam Pasal 20 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam, wali terdiri dari dua kelompok yaitu perwakilan biologis dan perwakilan
hukum. Dapat dipahami bahwa ayah mempunyai hubungan biologis dengan anak perempuannya
selama atau sebagai akibat perkawinan yang sah menurut Pasal 42 UU Perkawinan. Dengan kata lain,
ketentuan ini mengatur hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya yang berkaitan dengan hak
perwalian. Kecuali kelahiran anak itu sesuai dengan ketentuan itu, ayah tidak mempunyai hubungan
hukum apapun yang mengakibatkan tidak sahnya sebagai wali bagi perkawinan anak perempuannya
dan menyerahkan peran itu kepada wali yang sah.

Implikasi terakhir adalah hak waris. Putusan Mahkamah Konstitusi mensyaratkan ketentuan Pasal 43
ayat 1 diartikan bahwa anak hasil perkawinan di luar nikah juga memiliki hubungan keperdataan
dengan ayahnya sepanjang dibuktikan secara ilmiah dan sah dengan alat yang dapat diterima. Dengan
demikian, kesempatan bagi anak tersebut untuk menerima warisan dari ayah kandungnya terbuka.
Menurut teori perlindungan hukum, putusan Mahkamah Konstitusi berusaha mewujudkan
perlindungan terhadap anak yang lahir dari perkawinan di luar nikah. Untuk sementara, persamaan
status antara anak tersebut dengan anak yang lahir dari perjanjian yang tercatat secara sah
dimungkinkan, dalam hal dukungan finansial dan warisan.

Di sisi lain, putusan tersebut seolah melemahkan fungsi dan esensi lembaga perkawinan. Perannya
menjadi kurang relevan, bahkan untuk tugas administrasi, menyangkut kesetaraan anak-anak dari
perkawinan yang tercatat dan tidak tercatat. Selain itu, kesuciannya semakin berkurang dan pada kasus
terburuk, akan ada anggapan bahwa lembaga tersebut tidak diperlukan karena perlindungan anak dapat
diperoleh dari perkawinan yang tidak dicatatkan.

Penelitian ini akan dilanjutkan dengan memfokuskan pada bagaimana implementasi putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 mempengaruhi permohonan pengesahan perkawinan;
Benar atau tidaknya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 berpengaruh signifikan terhadap jumlah pasangan nikah siri yang mengajukan akad nikah.
Akibatnya, keputusan itu secara tidak langsung akan menguntungkan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai