Anda di halaman 1dari 14

LARANGAN PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN

PERNIKAHAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM


Disusun Oleh:

FATIA SHAFA (2120101046)


INDAH PERMADANI (
ARIS BHAYANGKARA (
NISWAH MALIHA (

ABSTRAK
Dalam perspektif hukum Islam, ada 2 (Dua) kategori larangan pernikahan,
yaitu yang bersifat abadi dan sementara. Larangan pernikahan yang memiliki
status abadi (tetap) ini mencakup mereka yang ada hubungan nasab (keturunan),
perkawinan dan persusuan. Adapun larangan yang bersifat sementara adalah
mereka yang tidak boleh dinikah dalam batasan waktu (masa) atau alasan tertentu
seperti karena masih dalam masa iddah, ihram, talak tiga, pengumpulan bilangan
(poligami), kafir, perbudakan, peristrian dan menikahi dua perempuan bersaudara.
Dari kajian terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dan KHI yang membincang larangan
nikah (mahram) terdapat aturan yang relevan dan tidak relevan di antara
keduanya, yaitu tentang perbudakan dan mantan istri (janda) \Nabi Muhammad
SAW yang tidak diatur dalam KHI karena tidak relevan dengan situasi dan
kondisi di Indonesia.
Pernikahan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh
dipermainkan karena dalam suatu perkawinan tidak hanya mengikat hubungan
satu laki-laki dengan satu perempuan, melainkan mengikat semua keluarga besar
yang ada dalam nasab keluarga sehingga penting pengetahuan pihak KUA
terhadap keabsahan calon mempelai guna menentukan suatu pernikahan sudah
memenuhi syarat pernikahan atau belum sehingga dapat dilakukan pencegahan
bila c alon mempelai belum memenuhi syarat. Selain itu pernikahan yang terjadi
tidak hanya hubungan antara manusia dengan manusia (hablu minan nas),
melainkan melibatkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT (hablu
minallah), sehingga perkawinan tidak mudah dibatalkan.
Pembatalan pernikahan menurut hukum Islam, disebabkan karena hal-hal
yang membatalkan aqad nikah, seperti larangan kawin (mahram) atau karena hal
yang baru terjadi setelah aqad nikah, seperti salah satu pihak murtad. Namun Pada
hakikatnya tidak seharusnya suatu pernikahan itu dibatalkan, karena idealnya
suatu pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
sebagaimana amanah Undang-undang, sekaligus sebagai ladang ibadah
sebagaimana yang dikehendaki dalam agama Islam.
Kata Kunci: Pembatalan Pernikahan, Pencegahan Pernikahan, Larangan
Pernikahan, Al-Qur’an, KHI.

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa
pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih lugas lagi Kompilasi
Hukum Islam Buku I Bab II Pasal 2 dan 3, menyatakan bahwa Pernikahan
menurut Hukum Islam adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat (misstaqan
ghaliza) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah,
yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan warahmah. Oleh karena itu, sangat relevan apabila Islam
mengatur masalah perkawinan dengan teliti dan terperinci, untuk membawa umat
manusia hidup dalam kehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di
tengah-tengah makhluk Allah swt. yang lain. Bagi umat Islam, perkawinan itu sah
apabila dilakukan menurut hukum perkawinan Islam. Suatu aqad perkawinan
dipandang sah apabila memenuhi rukun dan syaratnya, sehingga keadaan aqad
nikah itu diakui oleh hukum syara’.
Pernikahan harus dilangsungkan menurut agama masing-masing dan
kepercayaan masing-masing serta dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat
Pernikahan dan dihadiri oleh dua orang saksi. Selanjutnya pernikahan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dari pernikahan yang
dilangsungkan itu akan dibuat suatu akta pernikahan yang merupakan alat bukti
terjadinya Pernikahan tersebut. Akta pernikahan merupakan akta otentik yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak dapat dirubah atau dicabut tanpa
adanya putusan pengadilan yang memerintahkan untuk itu. Sehingga pentingnya
pernikahan itu tidak hanya terletak pada peristiwanya melainkan terletak pada
ikatan hukumnya dan akibatnya terhadap keluarga yang merupakan komponen
masyarakat.
Sebagai sebuah pengalaman (sekaligus) kisah perjalanan hidup, salah satu
hal krusial dalam pernikahan adalah tentang proses mencari dan menentukan siapa
calon pasangan nikahnya. Dalam hal ini karena setiap manusia memiliki pola pikir
dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya-, ada
sebagian orang yang lebih memilih untuk melakukan aksi diam dan menunggu
siapapun calon pasangan hidup yang akhirya datang untuknya, dan sebagian lagi
ada yang memilih untuk melakukan tindakan (agresif) dalam rangka mencari dan
menemukan sendiri calon pasangan hidup untuk akhirnya bisa dinikahi.
Dalam konteks inilah, seringkali batas-batas susila, norma dan aturan yang
mestinya (bisa) menjadi patokan dalam memilih dan menentukan calon pasangan
nikah, seringkali terabaikan keberadaan dan fungsinya dan pada akhirnya
pernikahan yang mestinya bisa membuat dan menghasilkan sesuatu yang lebih
baik bagi kehidupan seseorang, justru menjadi sumber masalah dan persoalan baik
itu dalam kapasitasnya sebagai orang beragama yang harus tunduk pada peraturan
agamanya maupun dalam hubungannya sebagai bagian dari lingkungan sosial
masyarakat yang melingkupinya.
Di dalam pernikahan terdapat pula perkara-perkara pernikahan seperti
pencegahan pernikahan, pembatalan pernikahan, larangan pernikahan dan lain
sebagainya. Perkara -perkara tersebut timbul karena para pihak yang bersangkutan
dalam suatu pernikahan itu tidak menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik,
sehingga berakibat pada tujuan pernikahan yang mewujudkan keluarga yang kekal
dan bahagia tidak tercapai. Perkara-perkara pernikahan tersebut harus
mendapatkan penyelesaian secara hukum melalui pengadilan untuk mendapatkan
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi tidak semua badan
peradilan berwenang untuk menyelesaikan perkara-perkara pernikahan. Untuk itu
diatur peradilan-peradilan mana saja yang berwenang untuk menyelesaikan
perkara pernikahan itu. Badan peradilan dimaksud adalah Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama. Menurut peraturan yang mengatur tentang pernikahan yang
berlaku pada saat ini, untuk menyelesaikan perkara-perkara pernikahan diadakan
pembagian wewenang antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama merupakan instansi yang berwenang menangani perkara-
perkara pernikahan dan perceraian bagi orang-orang Indonesia yang beragama
Islam, sedangkan Pengadilan Negeri sebagai instansi yang berwenang menangani
masalah-masalah pernikahan dan perceraian bagi mereka yang beragama selain
Islam.
Berkenaan dengan hal tersebut, tulisan ini akan berusaha mengurai dan
mengkaji tentang apa saja sebab terjadi larangan pernikahan, pencegahan
pernikahan dan pembatalan pernikahan menurut kompilasi hukum islam (KHI)
dan mencari kesesuainnya dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang memperbincangkan
permasalah tersebut.

1.2. Tujuan
Tulisan ini dibuat untuk melengkapi literatur yang sudah ada sebelumnya.

1.3. Rumusan Masalah


Perlunya mengetahui apa saja sebab sebab terjadi larangan pernikahan,
pencegahan pernikahan dan pembatalan pernikahan menurut kompilasi hukum
islam (KHI)

2. Review Literatur
2.1. Larangan Pernikahan
Pernikahan adalah merupakan salah satu ajaran yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW. dan memiliki banyak nilai baik itu secara spiritual maupun
sosial. Secara spiritual menikah merupakan bentuk ibadah dan secara sosial
mempunyai dampak hampir di semua sendi kehidupan manusia baik itu secara
ekonomi, pendidikan, derajat (strata) dan juga keberlangsungan keturunan
(nasab). Namun demikian, karena mulianya arti sebuah pernikahan, tidak semua
perempuan atau laki-laki yang ada, bisa begitu saja dinikahi tanpa mengindahkan
batasan norma dan aturan hukum yang berlaku (Nurani et al., 2021).
Ulama-ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam
pernikahan adalah larangan untuk dilaksanakannya pernikahan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan karena sebab atau alasan tertentu. Laki-laki
atau perempuan yang dilarang dinikahi disebut dengan mahram berdasar asal-usul
kosa kata “harama” yang memiliki arti tidak boleh atau terlarang. Dalam istilah
hukum Ada 2 (dua) jenis mahram, yaitu larangan yang bersifat permanen
(muabbad) dan larangan yang bersifat sementara (ghoiru muabbad).1
(1). Larangan yang bersifat permanen yaitu orang-orang yang selamanya tidak
boleh dinikahi, yaitu karena adanya hubungan sebagaimana berikut :
a. Nasab, yaitu adanya hubungan keturunan atau pertalian nasab.
Perempaunperempuan yang tidak boleh dinikahi karena adanya hubungan
keturunan ini menurut pasal 39 KHI adalah: 1) Seorang wanita yang
melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya; 2) Wanita
keturunan ayah atau ibu; 3) Wanita saudara yang melahirkannya.(Nurani et
al., 2021). Sedangkan di dalam al-Quran hal itu dinyatakan dalam surat al-
Nisa‟ ayat 23 sebagaimana berikut:

Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang


perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu
yang perempuan, saudarasaudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang perempuanmu, ibu yang menyusuimu,
saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-
anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya),
(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
(diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), 109-120
bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b. Pertalian kerabat semenda. Ketetapan tentang pelarangan pernikahan
karena adanya hubungan kekerabatan semenda ini didasarkan pada pasal 39
KHI adalah: 1) seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya 2)
wanita bekas istri orang yang menurunkannya 3) wanita keturunan istri atau
bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya
itu qobla al dukhul 3) wanita bekas istri keturunannya.2 Sedangkan di dalam
al-Quran hal itu dinyatakan dalam surat al-Nisa‟ ayat 23
c. Saudara sepersusuan yaitu adanya hubungan sepersusuan. Perempuan yang
dilarang dinikahi karena sepersusuan dalam pasal 39 KHI yaitu: 1) Ibu susuan
(wanita yang menyusui); 2) Nenek susuan, yaitu ibu dari wanita yang pernah
menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu. Suami dari ibu yang
menyusui dipandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram
melakukan perkawinan. 3) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan
atau saudara perempuan suami dari ibu susuan dan seterusnya keatas. 4)
Kemenakan susuan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara ibu
susuan. 5) Saudara susuan perempuan, saudara seayah kandung maupun seibu
(Nurani et al., 2021).
(2).Larangan yang bersifat sementara, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi
untuk masa-masa tertentu atau karena ada penghalang yang menjadi sebab
dilarang untuk melaksanakan pernikahan. Sehingga jika penghalang itu sudah
tidak ada maka pernikahan menjadi diperbolehkan(Nurani et al., 2021).
Adapun perempuan yang tidak boleh dinikahi untuk sementara adalah karena
adanya halangan sebagaimana berikut, yaitu:
a. Perempuan yang masih dalam peristrian orang lain atau masih terikat
pernikahan yang sah. Perempun ini boleh dinikahi setelah terjadi perceraian
(menjadi janda) dan telah habis masa iddah-nya. Hal ini didasarkan pada
Pasal 40 KHI dan dalam Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 24 yang artinya:
“(diharamkan juga bagi kamu menikahi) perempuan-perempuan yang
bersuami …”
2
Tim Leterasi Nusantara, Kompilasi Hukum Islam, (Malang: PT Literasi Nusantara Abadi Grup,
2021).14
b. Masa iddah, yaitu perempuan yang masih dalam masa iddah dengan pria
lain, didasarkan dalam pasal 40 KHI poin (b) dan dalam Al-Qur’an dijelaskan
dalam surah Q.S. al-Baqarah ayat 228 yang artinya: “Para istri yang
diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū‟ (suci
atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka
dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para
perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.
c. Halangan kafir, yaitu di mana seorang perempuan kafir tidak boleh dinikahi
sesuai dengan pasal 40 point [c] dari HKI. Hal ini juga relevan dengan apa
yang dinyatakan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 221 yang artinya :“Janganlah
kamu menikahi perempuan musyrik hingga mereka beriman! Sungguh,
hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Jangan pula kamu menikahkan laki-
laki musyrik (dengan perempuan yang beriman) hingga mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah)
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran.”
d. Pelarangan dalam mengumpulkan 2 (dua) perempuan yang memiliki
hubungan nasab untuk dinikahi bersama-sama. Keharaman mengumpulkan
dua perempuan ini disebutkan dalam Q.S. al-Nisa ayat 23 dan dituangkan
dalam KHI pasal 41 yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki dilarang
memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian
nasab atau sesusuan dengan istrinya, yaitu: 1). saudara kandung seayah atau
seibu dan keturunannya; 2). Wanita dengan bibinya atau
kemenakannya(Nurani et al., 2021)
e. Halangan bilangan, yaitu larangan bagi seorang laki-laki melangsung
perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) istri. Hal ini dituangkan dalam pasal 42 KHI.
f. Terhalangnya pernikahan karena adanya kasus talak tiga. Seorang
perempuan yang ditalak tiga tidak boleh dinikahi oleh mantan suaminya
kecuali jika perempuan tersebut telah menikah lagi dengan orang lain dan
sudah ditalak dan habih masa iddah-nya (Nurani et al., 2021). Hal ini
dijelaskan dalam pasal 43 KHI

2.2. Pencegahan Pernikahan


Pencegahan pernikahan adalah menghindari suatu pernikahan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. Secara sederhana pencegahan dapat
diartikan dengan perbuatan menghalang-halangi, merintangi, menahan, tidak
menurutkan sehingga pernikahan tidak dilangsungkan. Pencegahan pernikahan
dilakukan semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pernikahan
tersebut. Akibatnya bisa saja pernikahan tersebut akan tertunda pelaksanaannya
atau tidak terjadi sama sekali. Pencegahan pernikahan dilakukan bila tidak
terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang
berkaitan dengan pencatatan pernikahan, akta nikah, dan larangan pernikahan.
Kedua, syarat administratif adalah syarat pernikahan yang melekat pada setiap
rukun pernikahan, yang meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali,
dan pelaksanaan akad nikahnya (Mukri, 2020) Di dalam Bab X pasal 60 KHI poin
(a) pencegahan pernikahan bertujuan untuk menghindari suatu pernikahan yang
dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan.3
a. Perspektif Hukum
Pencegahan pernikahan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang
berbunyi: “Pernikahan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan (Mukri, 2020). Dan dituangkan
dalam Bab X pasal 60 KHI yang berbunyi: “Pencegahan pernikahan dapat
dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan pernikahan

3
Tim Leterasi Nusantara, Kompilasi Hukum Islam, (Malang: PT Literasi Nusantara Abadi Grup,
2021).18
tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut hukum islam
dan peraturan perundang-undangan.
b. Mekanisme Pencegahan Pernikahan
Mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang akan melakukan
pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan pernikahan ke
pengadilan agama dalam daerah hukum dimana pernikahann itu dilangsungkan
dan memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan pernikahan
dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah
dimasukkan ke pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan
pengadilan agama, selama pencegahan belum dicabut maka pernikahan tidak
dapat dilangsungkan, kecuali ada putusan pengadilan agama yang memberikan
dispensasi kepada para pihak yang akan melangsungkan pernikahan (Mukri,
2020). Hal imi diatur dalam Bab X Pasal 65-67 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Disamping itu didalam pasal 64 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
pencegahan pernikahan juga mengenal pencegahan pernikahan secara otomatis
yang dilakukan oleh pegawai pencatat pernikahan meskipun tidak ada pihak yang
melakukan pencegahan pernikahan. Pencegahan otomatis ini dapat dilakukan
apabila pegawai pencatat pernikahan dalam menjalankan tugasnya mengetahui
rukun dan syarat pernikahan tidak terpenuhi .
c. Orang yang Berhak Melakukan Pencegahan Pernikahan
Berkenaan dengan orang-orang yang dapat melakukan pencegahan dimuat
dalam Pasal 62 dan 63 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Yang berbunyi :
Pasal 62 KHI : (1) Yang mencegah pernikahan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan lurus kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu
dari salah seorang calom mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. (2) Ayah
kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak
gugur hak kewaliannya untuk mencegah pernikahan yang akan dilakukan oleh
wali nikah yang lain. Pasal 63 KHI : Pencegahan pernikahan dapat dilakukan oleh
suami atau istri yang masih terikat dalam pernikahan dengan salah seorang calon
istri atau calon suami yang akan melangsungkan pernikahan.4

4
Ibid. 19
2.3. Pembatalan Pernikahan
a. Pengertian Pembatalan Pernikahan
Dalam hukum Islam hanya dikenal pernikahan yang sah dan tidak sah.
Pernikahan yang tidak sah dianggap pernikahan itu tidak pernah ada, sedangkan
yang sah hanya mungkin putus karena kematian, talak, khulu’ pelanggaran taklik
talak, dan fasakh. Istilah fasakh secara bahasa, menurut pendapat Ibnu Mundzir
dalam Lisanul ‘arab menyatakan pembatalan pernikahan dengan istilah fasakh
yang berarti batal atau bubar.5
Sedang secara istilah pembatalan pernikahan atau fasakh adalah lepas atau
batalnya ikatan pernikahan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan hal-hal
yang mendatang yang menyebabkan aqad nikah tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Pembatalan pernikahan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah
dilangsungkan aqad nikah.6
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diberikan secara rinci
mengenai pembatalan pernikahan, akan tetapi dari penjelasan-penjelasan yang
terdapat dalam Bab XI pasal 70 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dapat
disimpulkan bahwa pembatalan pernikahan adalah batalnya suatu perkawinan
yang penyebab batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah perkawinan
tersebut sah diakui menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara
Indonesia(Hukum & Islam, 2020).
b. Sebab-Sebab Pembatalan Pernikahan
Dalam hukum Islam pembatalan pernikahan dapat terjadi karena dua hal,
yaitu: pertama, terdapat hal-hal yang membatalkan aqad nikah yang dilaksanakan.
Para imam madzhab yakni, Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hanbali, sepakat
bahwa jika terjadi pernikahan dengan perempuan (mahram) yang disebut dalam
al-Qur’an, maka hukumnya adalah haram dan pernikahan itu harus difasakh,7 dan
menunjukkan larangan abadi untuk orang-orang yang dinikahi, Maka ketika hal-
hal tersebut diketahui, aqad tersebut dinyatakan rusak seketika itu juga tanpa
memerlukan adanya keputusan pengadilan.8
5
Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqh Praktis (Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para
Ulama) (Bandung: Mizan, 2002), 218
6
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 37
7
M.Rifa’I, Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar (Semarang, CV.Toha Putra, TTh),307.
8
M. Anwar, Dasar-dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama
(Bandung: CV.Diponegoro, 1991), 73.
Kedua, terdapat hal baru yang dialami sesudah aqad nikah terjadi dan
hubungan pernikahan sementara berlangsung. Seperti dalam hal pernikahan
dilakukan dengan modus penipuan, yakni suami yang semula beragama non Islam
kemudian masuk Islam hanya untuk menikahi wanita Muslimah (secara
formalitas), dan setelah pernikahan terjadi suami kembali pada agama semula,
maka pernikahan yang demikian dapat dilakukan pembatalan(Hukum & Islam,
2020).
Menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam Bab XI Pasal 70 pernikahan
dinyatakan batal (batal demi hukum) apabila: Suami melakukan pernikahan,
sedang ia tidak berhak melakukan aqad nikah karena sudah mempunyai empat
orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam masa iddah talak
raj’i; Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; Seseorang
menikahi bekas istri yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila
bekas istri tersebut pernah menikah lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi
Ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddah; Perkawinan dilakukan
antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan
sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU No 1
tahun 1974.9
Dan adapun dalam Bab XI Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa suatu pernikahan dapat dibatalkan apabila: Seorang suami melakukan
poligami tanpa seijin Pengadilan Agama, Perempuan yang dinikahi ternyata
kemudian diketahui masih menjadi isteri orang lain yang mafqud, Perempuan
yang dinikahi ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain, Pernikahan yang
melanggar batas umur pernikahan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU. No.
2 tahun 1974, Pernikahan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali
yang tidak berhak, Pernikahan yang dilaksanakan dengan paksaan.10
c. Yang Berhak Melakukan Pembatalan Pernikahan
Mengenai orang-orang atau pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan diatur dalam Bab XI Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.

9
Tim Leterasi Nusantara, Kompilasi Hukum Islam, (Malang: PT Literasi Nusantara Abadi Grup,
2021),20.
10
Ibid, 21
2). Suami atau isteri. 3). Pejabat yang berwenang mengawasi jalannya perkawinan
menurut undangundang. 4). Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui
adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
Pada Bab XI Pasal 74 ayat 1 kompilasi hukum Islam menentukan bahwa
pembatalan perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan dan permohonan
pembatalan perkawinan itu diajukan oleh para pihak yang mengajukan pada
Pengadilan daerah yang hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan
atau di tempat tinggal kedua suami isteri(Mukri, 2020).

3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian literature (library research) yang bertujuan
mengkaji aspek-aspek larangan pernikahan, pencegahan pernikahan dan
pembatalan pernikahan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

4. Kesimpulan
Ulama-ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam
pernikahan adalah larangan untuk dilaksanakannya pernikahan antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan karena sebab atau alasan tertentu. Dalam
istilah hukum Ada 2 (dua) jenis mahram, yaitu larangan yang bersifat permanen
(muabbad) dan larangan yang bersifat sementara (ghoiru muabbad). Larangan
yang bersifat permanen yaitu karena pertalian nasab, pertalian kerabat semenda,
pertalian sepersusuan. Hal ini diatur dalam Bab VI Pasal 39 Kompilasi Hukum
Islam. Sedangkan larangan bersifat sementara yaitu karena Perempuan yang
masih dalam peristrian orang lain atau masih terikat pernikahan yang sah, masa
iddah, halangan kafir, Pelarangan dalam mengumpulkan 2 (dua) perempuan yang
memiliki hubungan nasab untuk dinikahi bersama-sama, Halangan bilangan,
Terhalangnya pernikahan karena adanya kasus talak tiga. Hal ini diatur dalam Bab
VI Pasal 40-43 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pencegahan pernikahan adalah menghindari suatu pernikahan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. pencegahan pernikahan bertujuan
untuk menghindari suatu pernikahan yang dilarang hukum islam dan peraturan
perundang-undangan, dituang dalam Pasal 60 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Sebab dilakukannya pencegahan pernikahan bila calon suami atau calon
istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak memenuhi syarat untuk
melangsungkan pernikahan menurut hukum islam dan peraturan perundang-
undangan. Hal ini dituang dalam Pasal 60 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Pembatalan pernikahan adalah batalnya suatu perkawinan yang penyebab
batalnya baru diketahui atau baru terjadi setelah perkawinan tersebut sah diakui
menurut hukum agama Islam maupun oleh hukum Negara Indonesia. Hal ini
dituang dalam Bab XI pasal 70 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebab-sebab
pembatalan pernikahan dalam hukum Islam pembatalan pernikahan dapat terjadi
karena dua hal, yaitu: pertama, terdapat hal-hal yang membatalkan aqad nikah
yang dilaksanakan, Kedua, terdapat hal baru yang dialami sesudah aqad nikah
terjadi dan hubungan pernikahan sementara berlangsung. Menurut Kompilasi
Hukum Islam di dalam Bab XI Pasal 70 pernikahan dinyatakan batal (batal demi
hukum) apabila: Suami melakukan pernikahan, sedang ia tidak berhak melakukan
aqad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari
keempat istrinya itu dalam masa iddah talak raj’i; Seseorang menikahi bekas
istrinya yang telah dili’annya; Seseorang menikahi bekas istri yang pernah
dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah
lagi dengan pria lain kemudian bercerai lagi Ba’da dukhul dari pria tersebut dan
telah habis masa iddah; Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai
hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan menurut pasal 8 UU No 1 tahun 1974.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Habsyi, Muhammad Baqir. 2002. Fiqh Praktis (Menurut al-Qur’an, As-


Sunnah dan Pendapat Ulama). Bandung: Mizan.
Anwar, M. (1991). Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di
Pengadilan Agama. Bandung: CV Diponegoro.
Hukum, J., & Islam, K. (2020). AL-SYAKHSHIYYAH: Jurnal Hukum Keluarga
Islam dan Kemanusiaan p-ISSN 2685-3248; e-ISSN 2685-5887. Jurnal
Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan, 2(2).
Mukri, M. (2020). Pencegahan dan pembatalan perkawinan. Jurnal Perspektif,
13(2).
Nurani, S. M., Winanengsih, A., & Farida, I. (2021). LARANGAN
PERNIKAHAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN
RELEVANSINYA DENGAN AL-QUR ’ AN. Jurnal Hukum Pelita, 2(2).
Rifa'i

Anda mungkin juga menyukai