Anda di halaman 1dari 16

HUKUM PERIKATAN

DOSEN PENGAMPU
HIJRIYANA SAFITHRI, S.H, M.H.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 10


AHMAD KHOLIL (2120101071)
LOLA HERVINA (2120101074)
INDAH PERMADANI (2130101181)
M. ADITYAH WIJAYA (2130101189)

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan rahmat, taufik, dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul Konsep “Hukum Perikatan” dengan baik dan tidak
kurang dari pada waktunya.
Adapun sumber-sumber yang membantu penulis dalam menyelesaikan
makalah ini antara lain dari berbagai referensi buku-buku, jurnal penelitian yang
berkaitan yang menyangkut dengan judul makalah ini. demikian pengantar yang
dapat penulis sampaikan dimana penulis sadar bahwasanya penulis hanyalah
manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT hingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan
sanantiasa dinantikan dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidaksempurnaan
penyusunan makalah ini akan ditemukan sesuatu yang dapat memberikan manfaat
atau bahkan hikmah bagi penulis dan pembaca.

Palembang, November 2022

Kelompok 10

ii
iii

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1................................................................................................... Latar Belakang
...............................................................................................................1
1.2................................................................................................. Rumusan Masalah
................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3
2.1. Pengertian Perikatan ............................................................................ 3
2.2. Sistem Hukum Perikatan ...................................................................... 4
2.3. Sumber Hukum Perikatan .................................................................... 5
2.4. Macam-Macam Perikatan .................................................................... 6
2.5. Hapusnya Perikatan .............................................................................. 9
BAB III PENUTUP .................................................................................... 11
3.1. Kesimpulan .......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 12

iii
iv

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia hidup dan berkembang dalam suatu susunan masyarakat sosial
yang mana di dalamnya terdapat saling ketergantungan satu sama lain, seorang
manusia tidak akan dapat hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan orang yang
lain untuk mendampingi hidupnya.
Berbicara mengenai kehidupan masyarakat tentu tidak terlepas dari yang
namanya kehidupan sosial, dalam struktur kehidupan bermasyarakat tentu terdapat
berbagai hal yang dianggap sebagai pengatur yang bersifat kekal, mengikat dan
memiliki sanksi yang tegas  bagi para pelanggarnya. Hal tersebut dapat dikatakan
sebagai hukum. Hukum yang kini akan kita bahas merupakan hukum yang
mengatur segala bentuk tindakan antar perseorangan atau antar sesama manusia,
hukum ini dapat kita sebut sebagai hukum perdata.
Dalam hukum perdata ini banyak sekali hal yang dapat menjadi
cangkupannya, salah satunya adalah perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak
yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum
dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimana pun, baik itu yang
diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang. Di dalam
perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai
dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk
tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan perikatan?
2. Bagaimana sistem hukum perikatan?
3. Apa sumber hukum perikatan?
4. Apa saja macam-macam dari perikatan?
5. Bagaimana cara menghapus perikatan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perikatan


Mengenai pengertian perikatan itu sendiri oleh para sarjana juga diberikan secara
berbeda-beda, di antaranya sebagai berikut:
a. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H., hukum perikatan ialah
kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak dan kecwajiban seseorang
yang bersumber pada tindakannya dalam lingkungan hukum kekayaan
b. Menurut Prof. Subekti, S.H., perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu1.
c. Menurut R. Setiawan, S.H., perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang
artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum.
d. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H., perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta
kekayaan2.
e. Menurut A. Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat
harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang
satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu
prestasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan
perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal ini, dapat disebutkan, bahwa pihak yang
menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk
memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang). Kemudian, jika kita lihat dari
dua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa:
a. Terhadap suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan
debitur tergantung dari yang diperjanjikan.
1
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1994), 1.
2
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), 9.

3
4

b. Hak dan kewajiban kreditur harus oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu
tindakan untuk menuntut pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu
prestasi atau kewajibannya.

2.2. Sistem Hukum Perikatan


Apabila Hukum Benda mempunyai sistem tertutup, dan diatur dalam Buku
II KUH Perdata maka Hukum Perikatan memiliki sistem terbuka yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata. Dalam Hukum Benda, macam-macam hak atas
benda adalah terbatas dan aturan-aturan mengenai hak atas benda itu juga bersifat
memaksa.
Lain halnya dalam Hukum Perikatan yang memberikan kebebasan seluas-
luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perikatan (perjanjian) yang berisi
apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Inilah yang dikenal dengan Hukum Perikatan sebagai hukum pelengkap (optional
law), yang artinya pasalpasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh
pihak-pihak yang membuat janji itu. Mereka boleh mengatur sendiri kepentingan
mereka dalam janji yang mereka buat.
Bila mereka tidak mengatur sendiri kemauannya dalam perjanjian itu,
berarti mereka akan tunduk kepada undang-undang. Misalnya mereka yang
berjanji dalam jual beli hanya menetapkan soal harga dan barang, sedangkan yang
lainnya seperti tempat penyerahan, risiko, biaya antar, tidak dituangkan dalam
perjanjian jual beli mereka maka selain perihalharga dan barangnya berlaku
ketentuan yang ada dalam Buku III KUH Perdata.
Sistem terbuka yang disebutkan di atas lazim disimpulkan dari Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Menurut pembuat undang-undang, kata “semua” dalam pasal tersebut
menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukan semata-mata perjanjian
bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama.
Selain itu juga dikatakan bahwa kata “semua"” itu terkandung suatu asas
partij autonomie. Beda halnya dengan Subekti, soal kata “semua' dalam Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata itu dimaknai sebagai suatu kebolehan bagi masyarakat
5

untuk membuat janji yang berupa dan berisi apa saja dan janji itu mengikat
mereka yang membuatnya seperti undang-undang.
Dengan kata lain, dalam perjanjian kita boleh membuat undang-undang bagi
kita sendiri. Misalnya, dalam jual beli, risiko mengenai barang yang dijualbelikan
menurut hukum dipikul oleh si pembeli sejak saat janji itu ditutup. Akan tetapi
apabila para pihak menghendaki lain, hal ini dibolehkan,
Mengenai istilah “secara sah” pembuat undang-undang menunjukkan bahwa
pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua persetujuan yang dibuat
menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Pernyataan ini menunjukkan
adanya asas kepastian hukum.
Dalam Hukum Perikatan dikenal adanya asas Konsensualisme ialah suatu
perikatan yang lahir sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan demikian
perjanjian itu sudah sah bila sudah sepakat tentang hal-hal yang pokok dan tidak
diperlukan suatu formalitas. Misalnya, dalam jual beli hal yang pokok dalam
kesepakatan adalah barang dan harga. PengeCualian terhadap Konsensualisme
adalah perjanjian formal, perjanjian riil dan lainnya.
Kecuali yang disebutkan di atas, sistem Hukum Perikatan yang diatur dalam
Buku III KUH Perdata terdiri atas dua bagian, yaitu bagian umum yang memuat
aturan yang berlaku bagi perikatan umum. Misalnya, mengenai kapan perikatan
lahir, kapan perikatan hapus dan lain-lainnya. Bagian khusus memuat aturan
mengenai perjanjian-perjanjian yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dan
sudah memiliki nama tertentu misalnya jual beli, sewa-menyewa, perjanjian
perburuhan dan lain-lainnya3.

2.3. Sumber Hukum Perikatan


Menurut Pasal 1233 KUH Per, perikatan dapat timbul karena perjanjian
maupun karena undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sumber
perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang.
a. Perikatan yang bersumber dari perjanjian (Pasal 1313 KUH Per). Terdiri
dari: pertama Perjanjian bernama, contohnya perjanjian jual beli, sewa-

3
I Ketut Eka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), 3-5.
6

menyewa, tukar-menukar, dan sebagainya. Kedua, Perjanjian tidak


bernama, contohnya leasing, dan sebagainya.
b. Perikatan yang bersumber dari undang-undang (Pasal 1352 KUH Per).
Terdiri dari: 1) Undang-undang saja (Pasal 1352 KUH Per), contohnya
hak alimentasi (Pasal 104 KUH Per), hak numpang pekarangan (Pasal 625
KUH Per). 2) Undang-undang karena perbuatan orang (Pasal 1353 KUH
Per), contohnya perbuatan yang halal (Pasal 1354 KUH Per) dan
perbuatan yang melawan hukum (Pasal 1365 KUH Per)4.

2.4. Macam-Macam Perikatan


Pada dasarnya, suatu perikatan dapat dilakukan oleh dua orang dan tuntutan
tersebut dapat segera dilakukan. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini
disebut perikatan bersahaja atau perikatan murni. Di samping perikatan murni ini,
terdapat pula berbagai macam perikatan yang lebih rumit, yang masing-masing
penjelasannya akan dipaparkan berkut ini.
A. Perikatan Bersyarat
Dalam KUH Per, perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 sampai
dengan Pasal 1267. Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada
suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi,
baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu,
maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya
peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Per). Perikatan bersyarat ini terdiri dari:
1) Perikatan dengan suatu syarat tangguh ialah perikatan lahir jika peristiwa
tersebut telah terjadi pada detik terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1263
KUH Per).
2) Perikatan dengan suatu syarat batal jalah perikatan yang sudah lahir akan
berakhir atau dibatalkan jika peristiwa tersebut terjadi (Pasal 1265 KUH
Per). Perikatan juga batal apabila:
a. Syarat itu bertentangan dengan kesusilaan, atau sesuatu yang dilarang
oleh undang-undang (Pasal 1254 KUH Per).

4
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana 2017), cet 3, 278.
7

b. Pelaksanaannya semata-mata digantungkan pada kemauan debitur (Pasal


1256 KUH Per).
Batalnya perikatan tersebut di atas, bukanlah “batal demi hukum”,
melainkan “dinyatakan batal” oleh hakim. Jadi, pembatalan ini harus dimintakan
kepada hakim, meskipun syarat batal dicantumkan dalam perikatan (Pasal 1266
KUH Per).
B. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Dalam KUH Per, perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam Pasal 1268
sampai dengan Pasal 1271. Perikatan dengan ketetapan Waktu ialah perikatan
yang hanya menangguhkan pelaksanaannya atau lama waktu berlakunya suatu
perikatan (Pasal 1268 KUH Per). Dalam perikatan ini, apa yang harus dibayar
pada suatu waktu yang diten. tukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu datang,
tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang tidak dapat diminta
kembali (Pasal 1269 KUH Per). Menurut Pasal 1270 KUH Per, suatu ketetapan
waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan debitur (si berutang), kecuali jika
dari sifat perikatan itu sendiri, atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu
itu telah dibuat untuk kepentingan kreditur (si berpiutang).
C. Perikatan Mana Suka (Alternatif)
Dalam KUH Per, perikatan mana suka diatur dalam Pasal 1272 sampai
dengan Pasal 1277. Dalam perikatan mana suka, si berutang (debitur) dibebaskan
jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian,
tetapi ia tidak dapat memaksa si berpiutang (kreditur) untuk menerima sebagian
dari barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya (Pasal 1272 KUH Per).
Dengan demikian, hak memilih ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara
tegas diberikan kepada si berpiutang (Pasal 1273 KUH Per). Jika salah satu
barang yang menjadi objek perikatan itu hilang atau tidak dapat diserahkan, maka
perikatan itu menjadi murni dan bersahaja. Jika kedua barang itu hilang dan
debitur bersalah tentang hilangnya salah satu barang itu, maka debitur harus
membayar harga barang yang satunya saja. (lihat Pasal 1274 dan Pasal 1275 KUH
Per).
8

D. Perikatan Tanggung Menanggung (Tanggung-Renteng)


Dalam KUH Per, perikatan tanggung-menanggung diatur dalam Pasal 1278
sampai dengan Pasal 1295. Suatu perikatan tanggung-menanggung atau tanggung
renteng, terjadi antara beberapa orang berpiutang, jika di dalam suatu perjanjian
secara tegas kepada masing-masing pihak diberikan hak untuk menuntut
pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah
seorang membebaskan pihak berutang, meskipun perikatan menurut sifatnya dapat
dipecah dan dibagi di antara beberapa orang berpiutang tadi (Pasal 1278 KUH
Per). Setiap debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi seluruh utang dan jika
sudah dipenuhi oleh seorang debitur saja, membebaskan debitur-debitur lainnya
dari tuntutan kreditur dan perikatannya hapus (Pasal 1280 KUH Per). Perikatan
tanggung-menanggung ini harus dengan tegas diperjanjikan atau ditetapkan dalam
undang-undang (Pasal 1282 KUH Per).
E. Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tak Dapat Dibagi
Dalam KUH Per, perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat dibagi
diatur dalam Pasal 1296 sampai dengan Pasal 1303. Suatu perikatan dapat dibagi
atau tidak dapat dibagi apabila prestasinya dapat atau tidak dapat dibagi menurut
imbangan, di mana pembagian tersebut tidak boleh mengurangi hakikat prestasi
tersebut. Dengan demikian menurut Pasal 1297 KUH Per, sifat dari suatu
perikatan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi itu berdasarkan:
1) Sifat barang yang menjadi objek perikatan.
2) Maksud perikatannya, apakah dapat atau tidak dapat dibagi.
Dengan demikian, persoalan dapatatau tidak dapat dibagi itu mempunyai
arti apabila dalam perikatan itu, terdapat lebih dari seorang debitur atau lebih dari
seorang kreditur. Jika hanya seorang kreditur saja dalam perikatan itu, maka
perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat
dibagi. Menurut ketentuan Pasal 1390 KUH Per, tidak seorang debitur pun dapat
memaksa kreditur menerima pembayaran utangnya sebagian demi sebagian,
meskipun utang itu dapat dibagi-bagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi itu
tergantung pada benda yang menjadi objek perikatan, yang penyerahan atau
perbuatan pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun
secara perhitungan (Pasal 1296 KUH Per).
9

F. Perikatan dengan Ancaman Hukuman


Dalam KUH Per, perikatan dengan ancaman hukuman diatur dalam Pasal
1304 sampai dengan Pasal 1312. Ancaman hukuman ini adalah dengan mana si
berutang (debitur) untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan
melakukan Sesuatu apabila perikatan itu tidak terpenuhi (Pasal 1304 KUH Per).
Dengan kata lain, perikatan semacam ini memuat suatu ancaman hukuman
terhadap debitur apabila ia lalai atau tidak memenuhi kewajibannya dalam
perjanjian. Penetapan ancaman hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti-rugi yang
diderita oleh kreditur karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian
(Pasal 1307 KUH Per). Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya
ancaman hukuman dan batalnya ancaman hukuman sama sama sekali tidak
berakibat batalnya perikatan pokok (Pasal 1305 KUH Per). Menurut Pasal 1309
KUH Per, Hukuman dapat diubah oleh hakim, jika perikatan pokok telah dipenuhi
sebagian5.

2.5. Hapusnya Perikatan


Menurut Pasal 1381 KUH Per, hapusnya suatu perikatan dapat terjadi
karena:
a. Pembayaran.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
c. Pembaruan utang (novasi).
d. Perjumpaan utang (kompensasi).
e. Percampuran utang.
f. Pembebasan utang.
g. Musnahnya barang yang terutang.
h. Batal atau pembatalan.
i. Berlakunya suatu syarat batal.
j. Lewat waktu (kedaluwarsa)
Di samping 10 hal tersebut, masih ada hal-hal lain mengenai hapusnya
perikatan yang tidak disebutkan dalam KUH Per, yaitu antara lain:
a. Berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian.

5
Simanjuntatak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Kencana 2017), cet 3, 275-278.
10

b. Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian


maatschap dan perjanjian pemberian kuasa.
c. Meninggalnya orang yang memberi perintah.
d. Karena pernyataan pailit dalam perjanjian maatschap.
e. Adanya syarat yang membatalkan perjanjian.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Apabila Hukum Benda mempunyai sistem tertutup, dan diatur dalam Buku
II KUH Perdata maka Hukum Perikatan memiliki sistem terbuka yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata. Dalam Hukum Benda, macam-macam hak atas
benda adalah terbatas dan aturan-aturan mengenai hak atas benda itu juga bersifat
memaksa.
Menurut Pasal 1233 KUH Per, perikatan dapat timbul karena perjanjian
maupun karena undang-undang. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa sumber
perikatan itu adalah perjanjian dan undang-undang.
Macam-Macam Perikatan yaitu perikatan bersyarat, perikatan dengan
ketetapan waktu, perikatan mana suka (alternatif), perikatan tanggung-
menanggung (tanggung rentang), perikatan yang dapat dibagi dan yang tak dapat
dibagi dan perikatan dengan ancaman hukuman.
Hapusnya perikatan diatur dalam pasal 1381 KUH Perdata.

11
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 1990. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.


Setiawan, I Ketut Eka. 2015. Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika.
Simanjuntak. 2017. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta Kencana.
Subekti. 1994. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.

12

Anda mungkin juga menyukai