Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH HUKUM BISNIS

HUKUM PERJANJIAN

Disusun Oleh :
Berlian Purna Sari (211009002)
Daffa Rabbani Yahya (211009061)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Makalah ini dibuat agar dapat memenuhi tugas “Pengantar Hukum Bisnis”. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat. Karena keterbatasan pengetahuan saya, saya yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sumbawa Besar, 20 February 2023

penyusun

i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar belakang ............................................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan penulisan .......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 3
2.1 Prestasi dan wanprestasi .................................................................................................... 3
2.2 Asas-asas kontrak bisnis .................................................................................................... 9
2.3 Resiko dan keadaan memaksa ........................................................................................... 11
2.4 Perjanjian kredit ............................................................................................................... 13
2.5 fiduasi ................................................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 19
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………..20

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih tentang
hal-hal tertentu yang telah mereka sepakati. Ketentuan umum tentang kontrak diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. Ricardo Simanjuntak
menjelaskan bahwa perjanjian merupakan bagian dari pengertian perjanjian, artinya
perjanjian juga merupakan perjanjian, meskipun perjanjian belum tentu merupakan
perjanjian. Perjanjian yang mempunyai akibat hukum yang mengikat disamakan dengan
perjanjian. Perjanjian tanpa akibat hukum bukanlah suatu kontrak. Dasar untuk
menentukan apakah suatu kontrak mempunyai akibat hukum yang mengikat atau hanya
merupakan suatu kontrak yang berkonsekuensi moral timbul dari kehendak dasar para
pihak yang berkontrak.

Hukum perjanjian meliputi pengertian umum dari asas-asas hukum yang


mengatur hubungan- hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan
perjanjian yang sah. Hukum kontrak Indonesia tetap menggunakan ketentuan
pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam Buku III KUH Perdata. Buku III
KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya para pihak bebas mengadakan perjanjian
dengan siapa saja, menentukan syarat-syarat, berlakunya dan bentuk perjanjian itu baik
secara tertulis maupun lisan. Selain itu, ia memiliki hak untuk membuat kontrak sipil dan
non-sipil. Ini juga sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH , yang menyatakan: “Semua
yang secara sah masuk ke dalam kontrak diatur oleh hukum mereka yang masuk ke
dalamnya.”

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Prestasi dan Wanprestasi ?

2. Apa Saja Asas-asas dalam kontrak bisnis?

3. Apa Saja resiko dan keadaan memaksa dalam hukum perjanjian?

4. Apa itu perjanjian kredit?

5. Apa itu fidusia?

1
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu prestasi dan wanprestasi

2. Untuk mengetahuin asas-asas dalaam kontrak bisnis

3. Untuk mengetahui resiko dan keadaan memaksa dalam hukum perjanjian

4. Untuk mengetahui apa itu perjanjian kredit

5. Untuk mengetahui apa itu fidusia

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian merupakan cabang hukum yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari, karena hampir semua aktivitas manusia melibatkan perjanjian atau kontrak.
Misalnya, perjanjian jual beli, perjanjian kerja, perjanjian sewa menyewa, perjanjian
pinjam-meminjam, dan sebagainya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai hukum
perjanjian sangat penting bagi setiap orang, khususnya bagi mereka yang sering melakukan
perjanjian atau kontrak dalam kehidupan sehari-hari.

Pentingnya hukum perjanjian juga terkait dengan perlindungan hak dan


kepentingan para pihak yang membuat perjanjian. Dalam hukum perjanjian, terdapat
prinsip kesepakatan yang mengikat di mana para pihak harus saling menghormati
kesepakatan yang telah dibuat. Oleh karena itu, hukum perjanjian juga berfungsi sebagai
alat untuk melindungi hak dan kepentingan para pihak, serta mendorong terciptanya
hubungan yang adil dan seimbang antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Selain itu, hukum perjanjian juga mengatur mengenai prosedur dan persyaratan
yang harus dipenuhi untuk membuat suatu perjanjian sah dan mengikat. Hal ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya perjanjian yang tidak sah atau batal, yang dapat merugikan
salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut.

Dalam praktiknya, hukum perjanjian sering kali menjadi sumber konflik atau
perselisihan antara para pihak yang membuat perjanjian. Oleh karena itu, pemahaman yang
baik mengenai hukum perjanjian dapat membantu para pihak untuk menghindari terjadinya
konflik atau perselisihan, serta mencegah terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan
perjanjian yang telah dibuat.

Menurut para ahli hukum perjanjian, perjanjian adalah suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih yang bertujuan untuk menciptakan hubungan hukum yang mengikat.
Beberapa ahli hukum perjanjian termasuk Friedrich Carl von Savigny, John Austin, dan Sir
William Anson.

3
Friedrich Carl von Savigny, seorang ahli hukum Jerman, mengembangkan teori
kontrak yang menekankan pada kebebasan berkontrak dan perlunya perlindungan hukum
bagi perjanjian. John Austin, seorang ahli hukum Inggris, mengemukakan pandangan
bahwa kontrak adalah suatu kesepakatan yang dibuat oleh orang yang mampu dan
berkeinginan untuk mengikat dirinya sendiri secara hukum. Sedangkan Sir William Anson,
seorang ahli hukum Inggris, menganggap bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan antara
dua pihak yang saling mengikat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal yang
merupakan objek perjanjian.

Namun, pandangan para ahli hukum perjanjian ini dapat berbeda-beda tergantung
pada konteks dan undang-undang yang berlaku di suatu negara. Oleh karena itu, penting
bagi para pengacara dan pelaku bisnis untuk memahami secara mendalam hukum
perjanjian yang berlaku di negara tempat mereka beroperasi.

2.1.1 Prestasi Dan Wanprestasi

a. Prestasi

Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan


apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam
perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut
sebagai prestasi . Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad
baik itu mempunyai dua pengertian yaitu :

1) Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan
suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang
pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini
diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata;

2) Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus
didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu
kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.
Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah

4
satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa
kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan
memperhatikan norma-norma yang berlaku. Demikian pula suatu perjanjian
tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339
KUHPerdata). Prestasi dapat berwujud sebagai :

a) Benda Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya.


Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau
penyerahan kenikmatannya. Sedangkan prestasi yang berupa 37
tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihakpihak yang menjual
tenaga atau keahliannya. Prestasi yang berupa benda yang harus
diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum
diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut
berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat
barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai
bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi dari kewajiban
tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi
apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.

b) Tenaga atau keahlian Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi
yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang
berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena
siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama sedangkan prestasi
yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang
lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian
tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya
mungkin akan berbeda.

b. Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yang artinya prestasi


buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau

5
lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur . Pengertian mengenai
wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam
istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat
untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai
wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji,
melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacammacaam istilah
mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud
aslinya yaitu “wanprestasi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan
istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai
wanprestasi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan


suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan
sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat
dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya
janji untuk wanprestasi.

R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau


kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:

Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana


yang diperjanjikan.

Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.

Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat


dilakukan.

Menurut J Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak


memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya
itu dapat dipersalahkan kepadanya24 . Yahya Harahap mendefinisikan
wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurutselayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi
pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding),

6
atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat
menuntut pembatalan perjanjian.

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memenuhi atau
tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah
mereka buat maka yang telah melanggar isi perjanjian tersebut telah melakukan
perbuatan wanprestasi. Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui
maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang
dikatakan melakukan wanprestasi bilamana “tidak memberikan prestasi sama
sekali, terlambat memberikan prestasi, melakukan prestasi tidak menurut
ketentuan yang telah ditetapkan dalam pejanjian”. Faktor waktu dalam suatu
perjanjian adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya
dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan
perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu
pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang
berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang
telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu


yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prestasi merupakan isi
dari suatu perjanjian, apabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang
telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang


melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang
dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan
ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang
dirugikan karena wanprestasi tersebut.

c. Dasar Hukum Wanprestasi

Dasar hukum wanprestasi yaitu: Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur


dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang

7
ditentukan”. Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun
telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu
yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya
dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Pasal 1235 KUHPerdata: “dalam tiap perikatan untuk memberikan


sesuatu adalah termasuk kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan
yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak keluarga yang
baik, sampai pada saat penyerahan.” Penyerahan menurut Pasal 1235
KUHPerdata dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis. Dalam
hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur
kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum 43 yang atas tuntutan dari kreditur
bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan
Pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal 1237 KUHPerdata. Pasal 1236
KUHPerdata: “si berhutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi
dan bunga kepada si berhutang, apabila ia telah membawa didinya dalam
keadaan tidak mampu menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat
sepatutnya guna menyelamatkannya”.

Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Pasal 1236 KUHPerdata dan
Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi.

d. Bentuk- Bentuk Wanprestasi

Adapaun bentuk- bentuk dari wanprestasi :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur


yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi

8
prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur


masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi
prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi
prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki
lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali. Menurut
Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana


dijanjikannya;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

2.2 Asas-Asas Kontarak bisnis

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia Menurut Paul Scholten asas hukum adalah
pikiran- pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-
masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim
yang berkenaan dengan ketentuan- ketentuan dan keputusan-keputusan individu yang dapat
dipandang sebagai penjabarannya. Pentingnya Klausula Choice of Law Ada pendapat yang
mengatakan bahwa klausula choice of law dalam pembuatan kontrak bisnis internasional
tidak penting karena para pihak menganggap bahwa transaksi bisnis merupakan suatu
masalah yang rutin dan tanpa choice of law pun setiap sistim hukum negara tertentu sudah
memiliki pengaturan dalam hukum perdata internasional yang menetapkan hukum apa
yang akan diterapkan dalam menyelesaikan sengketa bisnis.

Merumuskan pokok-pokok kontrakUntuk menyusun suatu kontrak dimulai dengan


langkah dengan bertanya. Sebelum membuat suatu aturan biasanya ditentukan dahulu

9
asasnya yang biasanya lebih bersifah filosofis. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik Sehingga dapat disimpulkan bahwa para pihak dalam membuat kontrak maupun saat
melaksanakan isi. Asas ini memberikan pengertian bahwa perjanjian dan kontrak yang
dibuat menjadi mengikat dan menjadi aturan atau hukum bagi pihak yang membuatnya. Di
dalam hukum kontrak dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak asas
konsensualisme asas pacta sunt servanda asas iktikad baik dan asas kepribadian1.

Berdasarkan teori di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 lima asas yang dikenal
menurut ilmu hukum perdata. Di dalam hukum kontrak dikenal lima asas yaitu asas
kebebasan berkontrak,asas konsensualisme,asas pacta sunt servanda, asas kepastian
hukum,asas iktikad baik dan asas kepribadian. Karena setiap bisnis transaksi mempunyai
unsur-unsur atau segi-segi yang berbeda sehingga menimbulkan hak dan kewajiban yang
berbeda dalam pembuatan kontrak.

1. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk:

• Membuat atau tidak membuat perjanjian;

• Mengadakan perjanjian dengan siapapun;

• Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

• Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.isme, asas pacta sunt
servanda, asas iktikad baik, dan asas kepribadian.

2. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada


umumnya tidak diadakan secara formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan
kedua belah pihak.

3. Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum, merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya undang-undang.

4. Asas iktikad baik, merupakan asas yang menyatakan para pihak yang membuat
kontrak harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak.

10
5. Asas kepribadian, merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja
atau dirinya sendiri. Artinya perjanjian berlaku hanya untuk para pihak pembuatnya
saja.

2.3 Resiko Dan Keadaan Memaksa

Menurut Soebekti, risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada
suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang
dimaksudkan dalam kontrak. Di sini berarti beban untuk memikul tanggung jawab dari
risiko itu hanyalah kepada salah satu pihak saja, menurut penulis alangkah baiknya
dalam setiap kontrak itu risiko diletakkan dan menjadi tanggung jawab kedua belah
pihak.

Di dalam KUHPerdata tidak ada defenisi tentang keadaan memaksa, namun hanya
memberikan batasan. Sehingga dari batasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak terduga, tidak disengaja, dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya
kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum juga tidak diindahkan
sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada di luar
kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti kerugian.

Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai konsep


keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah

a. R. Subekti Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu
disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak
dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan
tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan
dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat
dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi
sanksisanksi yang diancamkan atas kelalaian. Untuk dapat dikatakan suatu
“keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si

11
debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan
yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak
dipikul risikonya oleh si debitur.
b. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir H.F.A. Vollma Overmacht adalah
keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan
(absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi
memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar
kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative
overmacht).
c. Purwahid Patrik mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur
tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan
dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian


keadaan memaksa/force majeure adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak dalam
suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa
yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak
yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat
dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.

bantuk-bentuk keadaan memaksa

a. Force majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga. Dalam hal ini, menurut Pasal
1244 KUHPerdata, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya dipihak
debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal
tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk
kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali.
Kecuali jika debitur beriktikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat
dimintakan tanggung jawabnya.

b. Force majeure karena keadaan memaksa Sebab lain mengapa seseorang debitur
dianggap dalam keadaan force majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab

12
atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut
disebabkan oleh keadaan memaksa.

c. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang Apabila ternyata perbuatan


(prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundang-
undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban
membayar ganti rugi.

2.4 Pengertian Perjanjian Kredit


Berdasarkan Pasal 1754 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
terdapat istilah perjanjian pinjam-meminjam, yang dinyatakan sebagai berikut:
Pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan pihak
yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,dengan
syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian Kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian
pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman
mengenai hubungan-hubungan hukum antar keduanya. Oleh karena itu, pengertian
perjanjian kredit tidak terbatas pada apa yang telah dijelaskan diatas akan tetapi lebih luas
lagi penafsirannya. Perjanjian kredit dapat juga disebut perjanjian pokok (prinsipil) yang
bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipiil, maka perjanjian jaminannya adalah assesoirnya.
Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada
nasabah debitor. Sehingga dapat dikatakan juga perjanjian kredit merupakan perjanjian
baku, dengan di sana sini diadakan penyesuaian seperlunya.
Biasanya pihak bank telah mempunyai draft tersendiri, dimana para pihak dapat
mengisi data pribadi dan data tentang pinjaman yang diambil, sedangkan jangka waktu
dan bentuknya sudah dicetak secara baku. Apabila debitur menerima semua ketentuan
dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk
menandatangani perjanjian kredit tersebut. Apabila debitur menolak, maka debitur tidak
perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. Selanjutnya untuk dapat

13
terjadinya suatu perjanjian, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi salah satunya
adalah sepakat, sehingga dengan ditandatanganinya perjanjian kredit tersebut berarti
berlakulah perjanjian kredit antara kreditur dan debitur.

2.4.1 Isi Perjanjian Kredit


Pada praktek isi perjanjian kredit berbeda-beda antara satu bank dengan
bank lainnya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Perjanjian kredit
tersebut dapat mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), dapat pula berdasarkan atas kesepakatan
bersama, akan tetapi untuk aturan-aturan yang memaksa harus sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam KUHPerdata. Hal-hal yang dicantumkan
dalam perjanjian kredit meliputi definisi serta istilah-istilah yang akan
digunakan dalam perjanjian. Jumlah dan batas waktu pinjaman, pembayaran
kembali pinjaman (repayment), hak si peminjam dan dendanya apabipa debitur
lalai membayar bungan, terakhir dicantumkan berbagai klausula seperti hukum
yangberlaku untuk perjanjian tersebut

2.4.2 Subyek-subyek dalam perjanjian kredit

A. PEMBERI KREDIT (KREDITUR)

Berdasarkan Pasal 1 butir 12 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998


menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
berdasarkan Undang-undang tersebut diatas, maka yang dimaksud kreditur adalah Bank.

B. PENERIMA KREDIT (DEBITUR)


Rumusan mengenai penerima kredit diatur dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992, akan tetapi menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, “dalam
pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Keyakinan bank tersebut menurut penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun

14
1992 berdasarkan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan
prospek usaha debitur.

Berkenaan dengan hal tersebut pengaturan tentang debitur tidak diatur secara
tegas siapa saja yang dapat menjadi debitur, akan tetapi hanya disebutkan bahwa debitur
adalah orang yang mendapat fasilitas dari pihak kreditur (bank) berupa kredit dengan
kewajiban mengembalikan pada waktu yang telah disepakati. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa debitur adalah perseorangan atau badan usaha yang mendapatkan
kredit dan wajib mengembalikan setelah jangka waktu yang telah ditentukan.

2.4.3 Jaminan pada Perjanjian Kredit

Kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko dalam pelaksanaannya.


sehingga, bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat . Perjanjian
kredit dibuat berdasarkan prinsip Character, Capacity, Capital, Collateral dan
Conditio of Economic yang merupakan unsur penting untuk menganalisa apakah
calon debitur bisa mendapat kredit dari bank atau tidak. Fungsi jaminan ini antara
lain adalah sebagai pengaman apabila di kemudian hari debitur tidak memenuhi
kewajiban-kewajibannya

Berdasarkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-undang Hukum


Perdata (KUHPerdata) yang mengatur jaminan. Pasal 1131 menyebutkan bahwa
segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk
segala perikatan perseorangan. Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
semua harta kekayaan si berhutang di jadikan jaminan bagi semua kewajibannya,
yang mana hutang tersebut meliputi :

a. Benda bergerak dan tidak bergerak;

b. Benda yang sudah ada pada saat perjanjian dibuat;

c. Benda yang baru akan ada pada saat perjanjian dibuat.

Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menjelaskan bahwa kebendaan


tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan

15
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata
merupakan suatu perlindungan kepada kreditur yang bersifat umum yang artinya
bahwa yang dapat dijadikan jaminan adalah semua harta debitur.

Menurut Hartono Hadisoeprapto menjelaskan yang dimaksud dengan


jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewjiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan. Jadi tujuannya adalah untuk memberikan
keyakinan kepada kreditur bahwa piutangnya akan dikembalikan oleh debitur.

Pandangan Subekti menjelaskan berkenaan dengan lembaga jaminan


sebagai berikut :

karena lembaga jaminan yang baik, adalah lembaga yang dapat secara
mudah membantu memperoleh kredit itu bagi pihak yang memerlukan,yang mana
tidak melemahkan posisi (kekuatan) si Kreditur untuk melakukan atau meneruskan
usahanya, serta dapat memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti
barang jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi,artinya jaminan tersebut
dapat dengan mudah diuangkan untuk melunasi hutang si penerima kredit.
Perjanjian Jaminan merupakan salah satu perjanjian yang bersifat accesoir
(tambahan) yaitu perjanjian yang selalu menyertai perjanjian pokok. sehingga
perjanjian Jaminan dapat berakhir bila perjanjian pokoknya telah berakhir.

Jangka Waktu

Perjanjian kredit perlu ditentukan jangka waktu. Karena kredit adalah


pinjaman dan akhirnya pada suatu waktu harus dikembalikan kepada penyedia
kredit. Terlebih lagi untuk perbankan bahwa kredit yang diberikan itu berasal dari
dana masyarakat[7].oleh karena itulah perlu dicantumkannya item jangka waktu
agar setiap kreditur dapat bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Jika jangka
waktu telah ditentukan dan penerima kredit ingkar janji, perlu ditentukan hukuman

16
atas kelalaian itu,apakah berupa denda, bunga,biaya dan lain-lain. Sehingga
penyelesaian kredit itu tidak berlarut-larut. Hal ini akan memudahkan proses
penyelesaian baik dilihat dari sudut penyedia dan penerima kredit.

2.5 Pengertian Fidusia

Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas


dasarkepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tetap dalam penguasaan pemilik benda.Selama ini, kegiatan pinjam meminjam dengan
menggunakan hak tanggungan atauhak jaminan telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan yang merupakan pelaksanaan dari pasal
51 Undang-undang Nomor 5Tahun1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan
sekaligus sebagai pengganti darilembaga Hipotek atas tanah dan credietverband.Di
samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan dewasa ini adalah Gadai
,Hipotek selain tanah, dan Jaminan Fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan
JaminanFidusia adalah pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan danPemukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di
atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Selain
itu, Undang-und

ang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik
atas satuan rumahsusun yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia,
jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara.

Menurut Undangundang nomor 42 Tahun 1999, pengertian Fidusia adalah pengalihan h


ak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pengertian FIDUSIA pasal 1 ayat 1 fidusia adalah: “pengalihan hak kepemilikan


suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya yang diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.”

Dr. A. Hamzah dan Senjun Manulang mengartikan fidusia adalah: “Suatu


cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pok
ok(perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya
sajasecara yuridise-levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja

17
(sebagai jaminan uant debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh debitur, tetapi
bukan lagisebagai eigenaar maupun bezitter, melainkan hanya sebagai detentor atau
houder dan atasnama kreditur- eigenaar” (A. Hamzah dan Senjun Manulang, 1987).

18
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang
atau beberapa orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan
sesuatu perbuatan tertentu.

Hukum perjanjian meliputi pengertian umum dari asas-asas hukum yang


mengatur hubungan- hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan
perjanjian yang sah. Hukum kontrak Indonesia tetap menggunakan ketentuan
pemerintah kolonial Belanda yang tertuang dalam Buku III KUH Perdata. Buku III
KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya para pihak bebas mengadakan perjanjian
dengan siapa saja, menentukan syarat-syarat, berlakunya dan bentuk perjanjian itu baik
secara tertulis maupun lisan. Selain itu, ia memiliki hak untuk membuat kontrak sipil dan
non-sipil. Ini juga sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH , yang menyatakan: “Semua
yang secara sah masuk ke dalam kontrak diatur oleh hukum mereka yang masuk ke
dalamnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

(DOC) MAKALAH Hukum Perjanjian | Rina Hasan - Academia.edu


https://pojokkita.com/asas-asas-kontrak-dalam-hukum-bisnis-3354625
https://www.academia.edu/35679328/MAKALAH_FIDUSIA
(DOC) MAKALAH PERJANJIAN KREDIT | ayu purnama - Academia.edu

20

Anda mungkin juga menyukai