“HUKUM PERJANJIAN”
Disusun oleh
DAFTAR ISI.......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
BAB II PEMAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................................................11
B. Saran........................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................12
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Menurut K.R.M.T. Tirtodiningrat, SH. (1966:83)
yang dimaksudkan dengan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat- akibat hukum yang
diperkenankan oleh undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa perbedaan antara perjanjian dan perikatan?
2. Apa saja asas-asas perjanjian?
3. Apa saja syarat dan sahnya suatu perjanjian?
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara persamaan, perikatan dengan perjanjian ini memiliki hak dan kewajiban
untuk saling menyelesaikan apa yang menjadi isi dalam kontrak. Jika salah satu pihak tidak
mampu menyelesaikan atau melanggar kontrak, maka hal tersebut dianggap sebagai
wanprestasi. (justika, 2022)
Sehingga, salah satu pihak dapat mengajukan gugatan terhadap wanprestasi atas
perjanjian maupun perikatan yang telah disepakati bersama. Sedangkan, perbedaannya ada
pada jenis objek yang telah ditentukan bersama. Artinya, perikatan merupakan suatu
kontrak yang mengikat dua belah pihak atau lebih yang bertujuan untuk memberikan,
memberitahu, atau bahkan berbuat sesuatu sesuai dengan ekspektasi atau harapan dari
pihak terkait.
Jadi, perikatan ini tidak tergantung pada objek barang. Melainkan berpaku pada
tindakan yang saling menguntungkan. Sedangkan, perjanjian adalah suatu kontrak yang
mengikat dengan objek produk atau barang tertentu.
2
Terkait definisi kontrak (contract) menurut Black’s Law Dictionary, diartikan
sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk
berbuat atau tidak berbuat suatu hal yang khusus (Utama, 2014, hal. 5).
B. Asas-asas Perjanjian
Perjanjian merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain
atau antara kedua belah pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri. Perjanjian juga
tunduk pada asas-asas hukum yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut dengan KUH Perdata). Dari banyaknya asas dalam KUH Perdata,
setidaknya terdapat 5 (lima) asas fundamental yang berkaitan dengan hukum perjanjian.
Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad
baik (good faith), dan asas kepribadian (personality) (Sari, 2023).
3
Kata “semua” di dalam pasal tersebut mengindikasikan bahwa setiap orang bebas
untuk membuat perjanjian. Secara historis, asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan untuk:
Selain asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata juga
mengandung asas kepastian hukum, yaitu asas yang berkaitan erat dengan akibat dari
perjanjian. Asas ini mengandung arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak
harus ditaati kedua pihak tersebut layaknya undang-undang. Asas pacta sunt servanda lahir
dari doktrin praetor Romawi yaitu pacta conventa servabo yang memiliki arti saya
menghormati atau menghargai perjanjian. Dalam KUH Perdata asas ini diatur dalam Pasal
1338 yang menyatakan,
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu.”
Asas itikad baik (good faith) yaitu berkaitan dengan niat dari para pihak dalam suatu
perjanjian untuk tidak merugikan pihak lain dalam perjanjian maupun tidak merugikan
kepentingan umum. Menurut Ridwan Khairandy, itikad baik sudah harus ada sejak fase
prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan
dan fase pelaksanaan kontrak.
Dalam KUH Perdata asas ini termaktub dalam Pasal 1338 yang mengatur bahwa
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya para pihak dalam perjanjian
harus melaksanakan substansi perjanjian atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian.
4
Terakhir adalah asas kepribadian. asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan atau membuat perjanjian hanya dapat untuk kepentingan perorangan saja. Hal
ini berdasarkan ketentuan Pasal 1315 yang menyatakan bahwa:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri”.
Selain itu asas ini juga diatur dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang
menyatakan, “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun ketentuan di atas bukan berate mutlak. Terdapat pengecualian
terhadap asas kepribadian. Hal ini tercantum dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang
berbunyi:
“Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain
mengandung suatu syarat semacam itu”.
Asas ini berarti perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini
diatur di dalam Pasal 1340 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Suatu
perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Namun, asas ini memiliki
pengecualian, yaitu dalam Pasal 1316 KUH Perdata tentang perjanjian garansi dan di
dalam Pasal 1317 KUH Perdata tentang derden beding.
5
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam membuat suatu perjanjian maka
para pihak harus memperhatikan setidaknya 5 asas fundamental yang bersumber dari KUH
Perdata. Asas-asas tersebut yang akan melandasi setiap perjanjian yang dibuat di
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Lahirnya perjanjian yang sah harus memenuhi syarat – syarat yang terdapat pada
Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 pembuat Undang-Undang memberikan
kepada kita patokan umum tentang bagimana suatu perjanjian lahir.71 Syarat-syarat
tersebut bisa meliputi baik orang-orangnya (subjeknya) meupun objeknya. Kesemuaya itu
diatur di dalam pasal 1320 B.W. Dan seterusnya, dalam Bab dua bagian kedua buku III.72
syarat lahirnya suatu perjanjian terdapat syarat- syarat sahnya suatu perjanjian, dimana
pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan adanya 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu :
1. Kesepakatan mereka mengikatkan diri.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat ini oleh Prof Subekti dikelompokkan kedalam syarat subyektif untuk
dua syarat yang pertama, dan syarat obyektif untuk dua syarat yang terakhir. Syarat
pertama dan syarat kedua dari keempat syarat tersebut merupakan syarat subjektif, dimana
syarat tersebut merupakan terapan dari para pihak yang melakukan perjanjian atau tepatnya
syarat yang mengatur para pihak dalam perjanjian.
Jika dalam syarat subjektif tidak terpenuhi dalam pembuatan perjanjian maka
perjanjian tersebut tidak akan mengakibatkan perjanjian itu batal sepanjang para pihak
yang karena ketidak cakapan atau ketidak bebasnya dalam memberikan sepekatnya tidak
mengajukan upaya pembatal kepada hakim (vernitigbaar).
6
Syarat yang ketiga dan keempat dalam Pasal 1320 merupakan syarat objektif, jika
syarat tersebut tidak terpeuhi maka akan mengakibatkan perjanjian itu tidak pernah ada
atau batal demi hukum. Suatu perjanjian yang mengandung cacat dalam syarat subyeknya
tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal dengan sendirinya (Nietig)
namun hanya memberikan kemungkinan bagi para pihak yang berkepentingan untuk
mengajukan pembatalan (vernitiegbaar) sementara apabila cacat ini terjadi pada syarat
obyektifnya maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum.
Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana seorang debitur tidak melakukan janji
(tidak melaksanakan prestasi). Jadi apabila debitur tidak melakukan apa yang dijanjikan
akan dilakukannya,maka ia dikatakan ia melakukan wanprestasi. Tidak terpenuhinya
kewajiban debitor tersebut memilii 2 alasan diantaranya:
1. Karena kesalahan debitor,baik kesengajaan maupun kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (force majeure),jadi diluar kemampuan debitor. Dalam
hal ini debitor tidak bersalah.
Dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (te goeder trouw,in good faith),
tidak hanya melaksanakan kewajiban yang secara tegas diatur dalam perjanjian, melainkan
perlu diperhatikan sifat perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-
undang. Menurut Pasal 1339 KUH Perdata “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat
7
untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.
Selanjutnya Pasal 1347 KUH Perdat menetapkan bahwa Hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijk beding),
meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam suatu perjanjian,harus juga dianggap
tercantum dalam perjanjian.
E. Keadaan Memaksa
1) Dasar Hukum dan Pengertian
Yang diartikan dengan keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitur tidak
dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang
8
berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-
lain.
Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak
dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir
bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun
tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka A
sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada B.
Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur
masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus
dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan
kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya
kerugian yang sangat besar. Contoh keadaan memaksa relatif, seorang penyanyi telah
mengikat dirinya untuk menyanyi di suatu konser, tetapi beberapa detik sebelum
pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal dunia. Contoh lainnya, A telah
meminjam kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen.
Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak
mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada
musim panen mendatang.
9
Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak
mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat
dibedakan menjadi dua macam (salim H.S., 2020).
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata);
b. beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara;
c. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari
kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam
Pasal 1460 KUH Perdata.
1
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adanya peranan perjanjian dalam berbisnis kita jadi tau perbedaan antara perjanjian
dan perikatan seperti yang kita bahas perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara
dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Dan
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau
di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Dan kita mengetahui berbagai macam asas yang di butuhkan dalam perjanjian yaitu
terdapat 5 (lima) asas fundamental yang berkaitan dengan hukum perjanjian. Kelima asas
itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad
baik (good faith), dan asas kepribadian (personality)
Ada juga syarat sahnya suatu perjanjian agar perjanjian tetap terlaksana seperti
adanya 4 syarat sahnya perjanjian, yaitu :Kesepakatan mereka mengikatkan diri, kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
B. SARAN
.Dari sini kita telah memahami penjelasan mengenai perjanjian, syarat sahnya suatu
perjanjian, dan apa saja yang membatalkanya namun apabila ada pemahaman yang kurang
jelas atau ada kesalahan dalam makalah ini, kami sebagai penulis butuh saran dan kritikan
agar isa menjadi motivasi untuk kedepanya dan lebih baik lagi. Kami juga mengucapkan
terima kasih atas dosen pembimbing di mata kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis ibu
Nuryani, S.E.I., M.H yang telah memberi kami tugas kelompok demi kebaikan kita sendiri.
1
DAFTAR PUSTAKA
justika, r. (2022, july 06). Perbedaan Perikatan dengan Perjanjian Serta Ciri-Cirinya.
justikabyhukumonline, 1.
Prof. Dr.I Ketut Okta Setiawan, S. (2014). HUKUM PERDATA MENGENAI PERIKATAN. Jakarta: FH-
UTAMA .
salim H.S., S. (2020). HUKUM KONTRAK Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. jakarta: sinar
grafika .
Sari, N. I. (2023). Asas-Asas Perjanjian dalam KUH Perdata. Persekutuan Perdata Doni Budiono &
Rekan, 1.
Utama, A. N. (2014). Dasar-dasar Hukum Kontrak dan Arbitrase. malang: Tunggal Mandiri.