Tentang
Oleh :
EVI HENDRI SUSANTO
NIM: 2002021010
ALFIN DANI ARWANTO
NIM: 2002021002
Dosen Pengampu:
Dr. Ulya Atsani, S.H., M. Hum
1
KATA PENGANTAR
Batusangkar, September
2021
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah :
3
2) Bagaimana perbandingan hukum perjanjian secara umum ?
C.. Tujuan Penulisan :
Sejalan dengan permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini,
maka tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perbedaan dari Perikatan dan Perjanjian
2. Untuk mengetahui perbandingan hukum perjanjian secara umum
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang
berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.
Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik
tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak
mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.
Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak
tersebut. apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah yang
dikehendaki oleh pihak yang lain. meskipun tidak sejurusan sejurusan
tetapi secara timbal-balik. Kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas
konsensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus
yang berarti sepakat. Asas konsensualitas bukanlah berarti untuk
perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. suatu perjanjian juga
dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau sepakat
mengenai sesuatu hal.
Arti konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan
yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila
sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan
formalitas. Adakalanya Undang-Undang menetapkan, bahwa untuk sahnya
suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu diadakan secara tertulis
(perjanjian “perdamaian”) atau dengan akta Notaris (perjanjian
penghibahan barang tetap), tetapi hal demikian itu merupakan suatu
pengecualian. Yang lazim, bahwa perjanjian itu sudah sah dalam arti
mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian itu. Oleh karena itu dalam Pasal 1320
KUHPerdata tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping
kesepakatan yang telah tercapai itu, maka disimpulkan bahwa setiap
perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti “mengikat”) apabila sudah
tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
6
Dengan demikian, dalam pelaksanaan perjanjian yang tidak tertulis
tetap mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga tetap dapat
dikaji dengan ketentuan yang telah ada perundangannya yaitu
sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
B. PENGERTIAN PERJANJIAN
a. Menurut KUH Perdata (civil law)
Istilah perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUH Perdata,
bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian
kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-
undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun
pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan. Istilah perjanjian dalam
Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda
di sebut overeenscomstrecht sedangkan dalam bahasa inggris, yaitu
contract of law,. Salim H.S mengartikan hukum kontrak atau perjanjian
adalah “ keseluruhan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.”
Unsur unsurnya
i. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh
kapasitas atau kemampuan seseorang yang terlibat dalam
perjanjian. Kemampuan ini sangat menentukan untuk
melakukan perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Kapasitasyang dimaksudkan
dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur
seseorang. Di Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap
telah mempunyai kapasitas untuk melakukan suatu kontrak
7
harus telah berumur 21 tahun. Civil Code Perancis yang
merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa kehendak
individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang
meliputi hak dan kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini
harus sesuai dengan hukum tertulis, yaitu hukum perdata.
Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana
perusahaan sebagai subjek hukum dapat melakukan kontrak
melalui pengurus perusahaan. Di Indonesia pengurus
perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris. Dalam
melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi
ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan
perundang-undangan, yang memberikan kepadanya kapasitas
dalam melakukan penandatanganan kontrak dan tindakan
hukum lainnya. Hal inilah yang dikatakan dalam civil law
merupakan the code granted them full capacity.
i. Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu
kesepakatan, agar dianggap berlaku efektif harus tidak
dipengaruhi oleh paksaan (dures), kesalahan (mistake), dan
penipuan (fraud). Berkenaan dengan kebebasan kehendak,
pengadilan di Perancis menerapkan ketentuan civil Code
sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam
kenyataan sehari-hari, walaupun yang dianggap mampu
melaksanakan kebebasan kehendak ada pada orang yang
sudah dewasa, namun diantara mereka tidak boleh membuat
kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar
terjadinya perjanjian. Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata
menetukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila
dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak
yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk
8
bahwa hukum perjanjian dikuasai oleh asas konsensualisme.
Ketentuan Pasal 1320 ayat (1) tersebut mengandung
pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi
perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.
ii. Subjek yang pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di
hadapan juristic act, suatu perjanjian dapat diubah menjadi
efektif yaitu harus dengan ada antara lain suatu subyek yang
pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-hak,
pelayanan (jasa), barang -barang yang ada atau akan masuk
keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para
pihak, jika perjanjian telah terbentuk tidak mungkin untuk
melakukan prestasi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
iii. Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum.
Suatu sebab yang halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya
suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat 4 jo 1337 KUH Perdata
menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat
perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-
Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau
bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat
untuk causa yang dilarang oleh Undang -Undang atau
bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
undang-undang adalah tidak sah.
b. Menurut hukum kontrak Amerika (common law)
Istilah kontrak dalam bahasa inggris yaitu contrak of law.
Lawrence M. Friedman mengartikan hukum kontrak adalah perangkat
hukum yang mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis
jenisnya
Unsur unsurnya
1. Bargain
9
Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki
sifat memaksa. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai
bargain , dalam hubungannya dengan konsep penawaran
(offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjiandan
merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak.
Penawaran dalam konteks ini tidak lebih adalah sebuah transaksi di
mana para pihak setuju untuk melakukan pertukaran barang-
barang, tindakan-tindakan, atau janji-janjiantara satu pihak dengan
pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap
perjanjian tersebut dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari
para pihak, ditambah dengan sumber dari kewajiban mereka,dan
kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari
pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian penawaran merupakan
suatu kunciyang digunakan untuk lebih mengerti tentang penerapan
aturan-aturan common law mengenai kontrak.
2. Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah
offer and acceptance, yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan
memberikan akibat hukum dalam kontrak. Dalam perjanjian sering
ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta
ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah
diterima sebagai acceptance oleh pihak tersebut. Karena
penawaran dan penerimaan adalah hal yang fundamental, maka
dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu
pertukaran offer (cross-offer) itu dapat dianggap sebagai kontrak.
Berdasarkan sistem common law, pada saat suatu kontrak dibuat,
saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal yang
demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu
kontrak yang dibuat berdasarkan keinginan dari para pihak dan
pada saat yang sama juga kontrak tersebut tidak ada. Hal ini
10
disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini
memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
3. Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah
adanya unsur penawaran yang kalau sudah diterima, menjadi
bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji yang dibuat oleh
para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan
memaksakan berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu
pihak kecuali ia telah memberikan sesuatu yang mempunyai nilai
hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut. Hukum
tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan
nilaiyang adil. Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal
dengan istilah consideration . Consideration adalah isyarat, tanda
dan merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak ada definisi
dan penjelasan yang memuaskan dari sistem common law
mengenai konsep ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar
pengalaman.
4. Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah
para pihak yang masuk dalam perjanjian memiliki kekuasaan.
Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan untuk
melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku.
Sebagai illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan
dalam Quality Motors, Inc. V. Hays di mana memutuskan bahwa
kontrak tidak sah karena dilakukan oleh individuyang belum
dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang
telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam
kasus ini terlihat bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan
kaku ketentuan umur untuk seseorang dapat melakukan perbuatan
hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang dewasa,
namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan
11
sengaja untuk melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan
membatalkan ketentuan kontrak tersebut.
12
kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang
manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan
suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar
Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan
qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat
hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan
Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan
dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank
yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan
bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang
lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
d. Perjanjian menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik
rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan
rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa
dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
13
a. harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. tidak dilarang oleh undang-undang
c. tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. harus dilaksanakan dengan itikad baik.
14
Asas konsensus dapat disimpulakn dalam pasal 1320
ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa
salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Bahwa asas konsensus merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secaral formal tetapi cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak.
2. Asas asas hukum perjanjian Common law
a. Freedom of Contract (Kebebasan Berkontrak)
Prinsip Freedom of Contract (Kebebasan Berkontrak)Prinsip
kebebasan berkontrak sebenarnya telah diakui dalam hukum
Romawi, meskipun prinsip ini baru naik ke permukaan wacana
kontrak pada abad ke 19 yang menandai kebangkitan
liberalisme. Perkembangan dalam Common Law ternyata
menanggapinya tidak seliberal dalam sistem Civil Law.
Dalam Common Law, penurunan kepercayaan terhadap asas
kebebasan berkontrak disebabkan secara khusus oleh:
Penggunaan perjanjian standar yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar; Menurunan kebebasan memilih
(free choice) sebagai dasar perikatan. Menilik pemaparan
mengenai kebebasan berkontrak, maka dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan pemahaman mengenai kebebasan
berkontrak antara Sistem Common Law dan Sistem Civil Law.
Perbedaan pemahaman tersebut didasarkan oleh pandangan
individualistik yang hidup dalam Civil Law. Namun perlu
diketahui, pemahaman Common Law mengenai kebebasan
berkontrak pun telah nampak di Indonesia sebagai negara
penganut Civil Law.
Di Indonesia, pembatasan terhadap asas kebebasan
berkontrak lebih dikenal sebagai kontrak baku. Kontrak baku
hanya memuat dua unsur dalam asas kebebasan berkontrak,
15
yakni kebebasan untuk menentukan untuk membuat atau tidak
membuat perjanjian dan kebebasan untuk memilih dengan phak
mana akan dibuat suatu perjanjian. Pembatasan tersebut
menandakan bahwa kebebasan lebih berada di pihak yang
memberikan penawaran kontrak. Pihak yang memberikan
penawaran kontrak ada pada orang yang lebih berkuasa. Pihak
berkuasa menutup kemungkinan dalam perubahan isi, bentuk,
dan cara pembuatan perjanjian.
b. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan
bahwa jika suatu kontrak telah dibuat, maka para pihak telah
terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak dan
kewajiban semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat
dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst)
belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli misalnya,
maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru
terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering
disebut serah terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia
memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Kalaupun hukum adat tentang
kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena hukum adat
memberlakukan asas kontrak riil,
c. Prinsip Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari akar kata “konsensus” yang
berarti sepakat. Apabila dijabarkan secara lebih lanjut,
konsensualisme memiliki pemahaman sebagai kesepakatan
akan suatu hal yang sama. Prinsip konsensualisme berarti
bahwa perjanjian dan perikatan yang timbul oleh karenanya
telah dilahirkan sejak detik sepakat terjadi. Prinsip
16
konsensualisme berangkat dari moral manusia untuk senantiasa
memegang janjinya.
Menurut sitem Civil Law
Kesepakatan antar para pihak yang membuat perjanjian
sesuai dengan Pasal 1320 BW, dianggap tidak ada apabila
terdapat tiga halangan yang ditentukan dalam Pasal 1321 BW,
yakni:
Perjanjian yang terbentuk karena ada tiga hal tersebut,
bukan merupakan suatu perjanjian.
Kesepakatan dianggap tidak terjadi apabila terdapat:
1. Mistake (kekeliruan/kekhilafan);
a. Common mistake: kekhilafan yang sama dari kedua
belah pihak
b. Mutual mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua
belah pihak
c. Unilateral mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah
satu pihak saja
2. Dures (paksaan);
Paksaan haruslah memenuhi dua unsur:
a. Paksaan terhadap kemauan dari korban dan
b. Paksaan tersebut melawan hukum.
3. Misrepresentation (kebohongan, penipuan).
a. Innocent misrepresentation: suatu misrepresentation
yang oleh pelakunya dianggap sebagai perilaku yang
benar;
b. Fraudulent misrepresentation: misrepresentation yang
oleh pelakunya memang diyakini sebagai perilaku
yang tidak benar.
Dari penjelasan mengenai prinsip konsensualisme antara
Sistem Civil Law dan Sistem Common Law, terlihat persamaan
unsur mengenai halangan terhadap kesepakatan perjanjian.
17
Namun terdapat persamaan mendasar yang juga
mencerminkan perbedaan kedua sistem hukum tersebut, yakni
pola perumusan peraturan. Pola perumusan peraturan dalam
Civil Law cenderung bersifat umum dan abstrak, dibutuhkan
penafsiran tambahan dalam memecahkan suatu persoalan
berkaitan dengan prinsip konsensualisme. Sementara dalam
Common Law, pola perumusan peraturan lebih bersifat
pragmatis dan konkrit. Faktor metode pendekatan deduktif dari
Civil Law dan metode pendekatan induktif dari Common Law
memiliki pengaruh yang signifikan.
Doktrin Pacta Sunt Servanda
Dokrin tersebut berasal dari Hukum Romawi yang
menyatakan bahwa perjanjian harus ditaati. Namun istilah pacta
sunt servanda sendiri berasal dari Paus Gregorius IX dalam
rentang tahun 1145-1241. Hukum Romawi membedakan antara
contractus dan pactum. Contractus adalah perjanjian yang
dibuat dalam bentuk resmi dan dapat digugat, sedangkan
pactum merupakan perjanjian yang dapat digugat hanya
berdasarkan asas bona-fides (itikad baik), itikad buruk harus
dibuktikan oleh penggugat. Paus Gregorius IX kemudian
menetapkan bahwa pactum yang tidak berbentuk resmi pun
dapat digugat.
Sistem Common Law tidak menyebutkan bahwa
perjanjian mengikat sebagai undang-undang, melainkan;
1. Perjanjian “must be observed”;
2. Perjanjian “shall be held sacred”.
Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan perspektif terhadap pascta sunt servanda.
Perbedaan tersebut berakar dari pemahaman sistem hukum
masing-masing karena dipengaruhi pola pemikiran hukum yang
berbeda. Namun tujuan dari asas pacta sunt servandabaik
18
dalam Civil Law maupun Common Law adalah perjanjian
haruslah ditaati.
19
c. Asas Konsensualisme (mabda’ ar-
radhaiyyah)
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk
terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata
sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-
formalitas tertentu. Dalam hadis Nabi
d. Asas Janji Mengikat
e. Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi
al-mu’awadhah)
Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para
pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap
menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan
antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun
keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan
dalam transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima)
tercermin pada dibatalkanya suatu aqad yang mengalami
ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas
keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan
terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya
debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha,
sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat
prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami
kembalian negative.
f. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan
dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan
kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam
pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak
20
dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal
bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka
kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang
masuk akal.
g. Asas Amanah
Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak
haruslah beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya
dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi
ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak
sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui
suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang
tinggi sehingga ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra
tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena
itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
h. Asas Keadilan
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh
semua hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung
merupakan perintah al-qur’an Keadilan merupakan sendi setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman
modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia
memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai
klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah
dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam
pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang
menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam
hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi
keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila
memang ada alasan untuk itu.
21
asas keseimbangan merupakan konstruksi dari
kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan,
penyalahgunaan keadaan, dan iustum pretium. Asas
keseimbangan juga melalui interpretasi hermeneutik ternyata
berhubungan dengan asas-asas klasik perjanjian.
2. Asas selaras nyata
Asas laras nyata berkenaan dengan persoalan
bagaimana memuaskan kebutuhan estetis yang hidup dalam
masyarakat. Asas ini memberikan jawaban atas suatu persoalan
sehingga penyelesaiannya itu dianggap memuaskan dari ukuran
kebutuhan dan perasaan hukum dan moral: segala sesuatu
telah kembali seperti semula (seperti sebelum sengketa muncul
dan mengganggu keseimbangan masayarakat). Kalau
diperhatikan asas laras nyata diterapkan dalam konsep
perkawinan jujur dalam masyarakat hukum adat Indonesia. Jujur
(semacam mas kawin) dalam perkawinan adat Batak wajib
diberikan kepada keluarga pengantin perempuan sebagai
pemulih keseimbangan magis-religius kedua keluarga
mempelai. Keluarga pengantin perempuan wajib mendapat jujur
agar tidak menjadi pincang kehilangan satu anggotanya diambil
keluarga mempelai laki-laki, sedangkan keluarga laki-laki wajib
membayar jujur agar tidak keberatan menambah satu anggota
keluarga. Dengan begitu tercapai keseimbangan dan
keabsahan perkawinan.
3. Asas riil
Asas perjanjian riil, artinya suatu perjanjian haruslah
dibuat secara riil, adalah hal ini harus dibuat secara terang dan
tunai. perjanjian harus dilakukan di depan pejabat tertentu,
misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang
sekaligus juga dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji
22
saja, seperti dalam sistem obligatoir, dalam hukum adat
perjanjian semacam ini tidak mempunyai kekuatan sama sekali.
D. SUMBER HUKUM PERJANJIAN
1. Sumber hukum perjanjian Civil law
Pada dasarnya sumber hukum dapat di bedakan menjadi dua macam,
yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum
materil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,
misalnya hubungan sosial, kekuatan politik,situasi sosial
ekonomi,tradisi(pandangan keagamaan dan kesusilaan), hasil penelitian
ilmiah perkembangan internasional, dan keadaan geografis. Sumber
hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Yang
diakui sebagai hukum formal ialah undang-undang perjanjian antar
negara, yurisprundensi dan kebiasaaan. Berikut sumber hukum perjanjian
yang berasal dari undang undang.
a. Algemene Bepalingen Van Wetgiving (AB)
AB merupakan ketentuan ketentuan umum pemerintah hindia
belanda yang diberlakukan di indonesia. AB diatur dalam stb. 1847
nomor 23, dan diumumkan secara resmi pada tanggal 30 april 1847.
AB terdiri dari 37 pasal.
b. KUH Perdata Atau BW
KUH Perdata merupakan ketentuan hukum yang berasal dari
produk pemerintahan hindia belanda, yang di undangkan dengan
maklumat tanggal 30 April 1847, stb. 1847, nomor 23, sedangkan di
indonesia di umumkan dalam stb, 1848. Sedangkan ketentuan hukum
yang mengatur hukum perjanjian di atur dalam buku III KUH Perdata.
c. KUH dagang
d. Undang Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat.
Yang diatur dalam undang undang ini meliputi ketentuan
umum,asas dan tujuan,perjanjian yang dilarang,kegiatan yang
dilarang,posisi domain,
23
e. Undang Undang No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan
penyedia jasa dalam penyelengaraan pekerjaan konstruksi
24
4. Sumber hukum perjanjian Adat
25
c) Adanya Obyek
Yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok
perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur
dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari
perbuatan positif dan perbuatan negatif. Prestasi terdiri dari;
a) Memberikan sesuatu
b) Berbuat sesuatu, dan
c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)
d) Adanya causa yang halal.
Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan
pengertian causa yang halal. Didalam pasal 1337 KUH Perdata
hanya di sebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah
terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
2. Menurut kontrak Amerika (common law)
Dalam ukum kontrak Amerika ditentukan empat syarat sanya
kontrak yaitu;
i. Adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan)
ii. Metting of minds (persesuaian keendak)
iii. Considerasi (prestasi)
iv. Competent paries and legal subject matter (kemampuan
hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah)
a) Penawaran dan peneriman
Setiap kontrak pasti di mulai dengan
penawaran dan penerimaan. Yang di artikan
dengan penawaran adala suatu janji untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara
khusus pada masa yang akan datang penawaran
ini di tujukan kepada setiap orang atau para
khalayak.
26
Penerimaan adalah kesepakatan dari pihak
yang menerima dan penawar tawaran harus di
sampaikan penerimaan tawara kepana penawar
tawaran. Permintaan ini harus bersifat absolut dan
tanpa syarat atas tawaran itu.
b) Persesuaian kehendak
Yaitu adanya persesuaian pernyataan
kehendak antara para piak dan objek
kontrak.persesuaian kehendak haruk dilakukan
secara jujur, tetapi apabila kontrak itu dilakukan
dengan adanya penipuan, kesalahan, paksaan
dan penyalahgunaan keadaan maka kontrak
tersebut menjadi tidak sah
c) Kemampuan dan keabsaan tentang subjek
Adalah kemapuan dan kecakapandari
subjek hukum untukmelakukan kontrak.
3. Menurut perjanjian Syariah
Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :
1. tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati
adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang
pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu
ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah
Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila
syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi
yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya
perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut
dengan kausa halal
2. harus sama ridha
dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian
perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara
27
bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan,
kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi
dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang
dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut
Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan
(konsensualisme).
3. harus jelas dan gamblang,
sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi
obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam
perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian
yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai
konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut
Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek
tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi
mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi
perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai
undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian
secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan
perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak
mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah
di akhirat nanti.
28
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semua Hukum perjanjian pada dasarnya sama yaitu dibuat oleh para
dan untuk disepakati oleh para pihak yang membuatnya dan bertujuan untuk
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Secara Khusus asas hukum perjanjian berdasarakan hukum Islam dan
berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mempunyai kesamaan
bahwa sebuah perjanjian harus dimulai dengan adanya kesepatan diantara
kedua belah pihak dan berdasarkan sebuah itikad dan niat baik untuk
menjalankannya.
Hukum perjanjian syari’ah dalam kata lain disebut dengan Al-Aqd atau
akad, merupakan suatu ikatan oleh dua pihak atau lebih untuk melahirkan
suatu akibat hukum pada subyek dan obyeknya. Hasil penelitian ini
menunjukkan dasar yang digunakan untuk menentukan sah atau tidaknya
akad menurut Hukum Islam adalah Syariat Islam, sedangkan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah sesuai dengan Pasal 1320
KUHPerdata. Perbedaan Akad dalam Hukum Islam dengan Perjanjian
menurut Hukum Perdata terletak pada para pihak pembuat akad, pernyataan
kehendak, obyek akad, dan tujuan akad.
Perbedaan pokok hukum perjanjian syariah dengan hukum perjanji
konvensional :
1. Landasan filosofis
Hukum perjajian syariah : religious, transedental (ada nilai agama,
berasal dari ketentuan Allah.
Hukum perjanjian konvensional: sekuler (tidak ada nilai agama).
2. Sifat
29
Hukum perjanjian syariah: individual proporsional.
Hukum perjanjian konvensional: individual / liberal.
30
DAFTAR PUSTAKA :
Busro, Achmad, 2011, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata,
Pohon Cahaya, Yogyakarta
31
Raja Grafindo Persada, Jakarta
32
33