Anda di halaman 1dari 8

“UAS Hukum Perikatan – H – Tri Maharani Himam”

ASAS KONSENSUS DALAM PERJANJIAN


Tri Maharani Himam
Fakultas Hukum

Universitas Negeri Gorontalo

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu memiliki hubungan dengan orang lain.
Hubungan ini dimulai dari kelahiran manusia hingga nafas terakhir di dunia. Munculnya
hubungan alamiah antar manusia berarti manusia selalu hidup bersama, sehingga mereka bisa
hidup sebagai proses kehidupan manusia di dunia, karena mereka lahir di dunia, dan pada
akhirnya ada semacam hukum. kehidupan semacam ini dan disebut hukum (civil law). Hukum
perdata dalam pengertian umum adalah pengaturan kepentingan pribadi, termasuk didalamnya
aturan dalam perjanjian.

Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam dunia hukum salah satunya
adalah civil law yang artinya mengatur hubungan antara setiap perkataan atau perilaku
seseorang (person) yang merupakan pendukung hak dan kewajiban. “Subyek Hukum” tidak
hanya disebut badan hukum, atau (legal person). Hukum perdata yang disepakati menganut
sistem terbuka, artinya masyarakat dapat dengan bebas membuat kesepakatan terlepas dari
apakah bentuk dan isinya bersumber dari kesepakatan atau hukum, sepanjang kesepakatan
tersebut tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan moralitas atau ketertiban umum lainnya.
Hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lalin tidak dapat timbul dengan
sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”/rechtshandeling.
Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan para pihaklah yang menimbulkan hubungan
hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk
memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan
“kewajiban” untuk menunaikan prestasi.
Perjanjian merupakan salah satu sebab timbulnya perikatan. Dengan timbulnya
perikatan, maka semua pihak dalam perjanjian harus melaksanakan prestasi masing-masing.
Salah satu asas dalam perjanjian adalah asas konsensualisme, dimana perjanjian terebentuk
karena adanya konsensus atau perjumpaan kehendak diantara pihak-pihak yang mengadakan
kontrak. Artinya perjanjian lahir ketika dicapainya kata sepakat. Dengan kata lain, tanpa
adanya sepakat, maka tidak akan ada perjanjian. Oleh karena itu, adanya sepakat ini juga
merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Jika syarat subyektif ini tidak dipenuhi, maka terhadap perjanjian tersebut dapat
dilakukan pembatalan.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kita sudah dapat menggambarkan satu hipotesis mengenai asas
consensus dalam membentuk sebuah perjanjian yang secara tidak langsung menjamin isi dari
perjanjian itu. Sementara itu, yang menjadi lingkup permasalahan dapat diuraikan sebagai
berikut.

1. Apa itu asas consensus dalam sebuah perjanjian?


2. Bagaimana kedudukan asas consensus dalam pandangan hukum?
3. Seperti apa keadaan serta implementasi asas consensus dalam perjanjian yang ada di
masyarakat saat ini?
4. Solusi apa yang seharusnya dipertimbangkan dalam implementasi asas consensus
perjanjian dalam lingkungan masyarakat?

PEMBAHASAN
Asas Konsensus dalam Sebuah Perjanjian
Konsensualisme atau konsensualitas merupakan salah satu asas penting dalam hukum
perjanjian. Asas konsensualitas menentukan bahwa sutau perjanjian yang dibuat antara dua
atau lebih orang telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih
pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan
atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata. Ini
berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak
yang berjanji tidak memerlukan formalitas. Walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak
debitor (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) tertentu, maka diadakanlah bentuk-
bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.

Dalam hukurn perjanjian berlaku suatu asas, yang dinamakan asas konsensualitas.
Perkataan ini berasal dari bahasa Latin yang berarti sepakat. Arti asas konsensualitas ialah pada
dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan detik tercapainya
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai
hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas. Asas konsensualitas ini
terkandung dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi : untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan empat syarat :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;


2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Kontrak mengasumsi adanya individu yang bebas dan setara dengan cara masing-
masing. Dalam masyarakat sipil kontrak merupakan sarana mendasar untuk menentukan
kepemilikan, dalam masyarakat tersebut kontrak hanya disaingi oleh pemberian dan warisan
sebagai sarana mentransfer barang dan kekayaan dari suatu individu ke individu lain. Sebagai
mana jual beli barang dipasar didasarkan pada kontrak, kontrak tidak sekedar mencirikan
transaksi yang sifatnya kadang-kadang atau sering, ini merupakan hubungna materi yang khas
dalam masyarakat kapiyalis modern. Kontrak merupakan sarana yang lazim dimana pemilik
kekayaan disatukan bersama social. Dengan demikian, cara individu dalam berhubungan satu
sama lainya diharapkan dapat membentuk sifat bagi masyarakat secara keseluruhan. Apa yang
sebenarnya didapatkan dalam sebuah kontrak adalah kendali terhadapa kehendak orang lain
berkenaan dengan tindakan yang dijanjikan. Kegagalan melaksanakan tindakan yang
dijanjikan. , karena tidak berarti bahwa pihak lain dalam kontrak itu secara otomatis memiliki
hak atas obyek atau layanan yang dibeli. Kegagalan mematuhi ketentuan disini adalah bahwa
individu yang melanggar dapat hukum, bukan obyeknya yang harus dipindahtangankannya.

Jadi suatu perjanjian atau kontrak, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
sebagairnana yang ditentukan dalam pasal tersebut. Dengan dipenuhinya syarat sahnya
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya. Syarat sepakat merupakan syarat yang logis, karena dalam perjanjian
setidaktidaknya harus ada dua orang atau dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan
mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dimana sepakat yang diiaksudkan dalam Pasal
1320 KUHPerdata ini, adalah sepakat pada saat lahimya suatu perjanjian, bukan pada saat
pelaksaanaan perjanjian.

Lebih jauh, asas konsensualisme ( kesepakatan, consensus) sebagaimana tercantum


dalam pasal 1320 KUH Perdata menekankan kesepakatan di antara para pihak yang membuat
perjanjian, yang ditandai dengan apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu sebagai juga
dikehendaki oleh pihak lainya secara seketika. Suatu konsesnsu dianggap tidak ada, atau jika
ada, bisa dinyatakan cacat, bila terdapat salah satu dari tiga halangan yang ditentukan dalam
pasal 1321 KUH Perdata, yaitu:
1) Kekhilafan (Ned: dwaling, Eng:oversight);
2) Paksaan (Ned: dwang, Eng coercion);

3) Penipuan (Ned: bedrog, Eng: froud);

Kedudukan Asas Konsensus dalam Pandangan Hukum Perdata


Manusia dalam memenuhi berbagai kepentingannya melakukan berbagai macam
cara, salah satu di antaranya dengan membuat perjanjian. Dalam KUH Perdata perjanjian
diatur dalam Buku III (Pasal 1233-1864) tentang Perikatan. BW menggunakan istilah
kontrak dan perjanjian untuk pengertian yang sama. Hal ini dapat dilihat jelas dari
judul Bab II Buku III BW yaitu: Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
kontrak atau perjanjian. Dari judul tersebut dapat diberikan makna bahwa kontrak dan
perjanjian dimaknai dengan pengertian yang sama. Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Asas konsensualisme merupakan”roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari
kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak
mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat
kehendak (wilsgebreke) yang memengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam BW cacat kehendak
meliputi tiga hal, yaitu :

a. Kesehatan atau dwaling.


b. Penipuan atau bedrog.

c. Paksaan atau dwang.

Di dalam kegiatan hukum sehari-hari banyak ditemukan perbuatan-perbuatan hukum


yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka
melakukan perjanjian-perjanjian dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas
untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu
undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan Pasal
1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pada pembahasan asas consensus
perjanjian ini perlu dipersempit pembahasannya, misalnya pada perjanjian jual beli.
Menyoal Perihal Sepakat, sebenarnya KUHPerdata sendiri tidak pernah bertutur kisah
secara rinci. Namun dalam dunia ilmu hukum sudah mengurai bahwa sepakat itu tak lain
bertemunya antara penawaran dengan penerimaan. Sepakat yang menentukan lahirnya
perjanjian jual beli, hal ini menandakan bahwa perjanjian jual beli itu tergolong sebagai
perjanjian konsesuil yang artinya dengna konsensus atau sepakat para pihaknya maka
perjanjian itu lahir. Sepakat itu mencerminkan bahwa para pihak, penjual dan pembeli, sudah
saling menerima kepastian benda dan besaran haraganya. pada tahap ini perlu disimak bahwa
dengan sepakat baru lahir perjanjian di antara penjual dan pembeli, sedang tujuan akhir dari
perjanjian jual beli, yakni peralihan hak milik benda yang dijadikan obyeknya, belum terjadi.

Implementasi Asas Konsensus dalam Perjanjian yang berkembang di Masyarakat


Untuk melakukan perjanjian sudah cukup apabila sudah dicapainya kata “sepakat”
(konsensus). Artinya adalah, meskipun misalnya setelah ada kata sepakat lalu pihak pembeli
secara tunai membayar harganya, tetap saja tujuan akhir belum terealisir, mengingat
pembayaran bukan merupakan momentum untuk menetukan berpindahnya hak milik benda
yang dijadikan obyek hubungan hukum yang bersangkutan. Inilah yang dinamakan
konsensualitas. Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun kehendak yaitu keinginan
ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin
diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk
melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan
perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat
menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang
"menawarkan" (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

Sesuai dengan asas "konsensualitas" yang menjiwai hukum perjanjian B.W.,


perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan
harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian
jual-beli yang sah. Sifat konsensuil dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang
berbunyi: "Jual-beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka
mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar". Dengan alasan ini, premis yang dianggap cacat dalam memaknai
akad jual beli akan secara langsung tertolak, karena dalam pemaknaannya consensus jual beli
sudah dicapai oleh kedua belah pihak dan ini bersifat mutlak.
Sama halnya dengan aktivitas jual beli, pemindahan hak atas tanah pun perlu
mempertimbangkan asas consensus dalam membuat perjanjian. Pada suatu kasus yang terjadi
pada tanah ulayat di Minangkabau, terdapat suatu permasalahan dimana peralihan hak atas
tanah yang sudah memiliki sertifikat dari pihak pemerintah mendapatkan tentangan dari
masyarakat setempat dengan dalih tidak sesuai dengan hukum adat yang berlaku sejak lama di
kalangan masyarakat tersebut karena dianggap tumpang tindih dengan peraturan konvensional
yang semestinya berlaku. Untuk itu, dalam mencapai kata sepakat, pemerintah perlu
mengikutsertakan masyarakat tempatan yang paham dengan aturan tempatan sehingga apa
yang kita sebut dengan “sepakat” dapat dengan mudah dicapai.
Dari kajian mengenai peralihan hak di atas dari segi Hukum adat Minangkabau, maka
perlu juga kajian hukum kita sikapi mengenai pasal 1320 KUHperdata. Dari kaitanya dengan
perjanjian untuk kesepakatan dalam mengubah sebuah alas hak di atas tanah, terutama pada
tanah ulayat selama ini berseberangan dalam pelaksanaanya maka kita perlu juga memahami
asas konsensualitas atau consensus yaitu pada dasarnya perjanjian yang di sepakati yang lahir
sejak detik tercapainya kata sepakat.
Apabila ditelisik lebih jauh, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat kumunal,
bukan masyarakat individualis. Pada masyarakat komunal ini, hak tanah yang ada didaerahnya
sejatinya adalah milik Bersama bukan milik perorangan sehingga untuk memindahkan hak atas
tanah perlu dilakukan perjanjian guna mengkorelasikan hukum dengan adat yang berlaku.
Ketika dianalisis, pada studi kasus Tanah Ulayat ini hukum terkesan tidak monoton
terhadap hukum adat yang berlaku pada suatu daerah tertentu. Hal ini bukan berarti dalam
membuat sebuah keputusan, hukum yang mengatur perjanjian dalam konteks asas konsesus
sepenuhnya diberikan kepada masyarakat setempat melainkan dibuat lebih fleksibel dengan
melibatkan tokoh masyarakat yang paham adat istiadat setempat agar asas consensus yang
sejatinya menjadi tujuan dalam sebuah pemindahan hak dapat tercapai. Hal ini sejalan dengan
aturan dalam Hukum Perdata, apabila kita menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang
menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah (garis bahwa oleh Penulis) berlaku
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Istilah “secara sah”bermakna bahwa
dalam pembuatan perjanjian yang sah (menurut hukum) adalah mengikat (vide pasala 1320
BW), karena didalam asas ini terkandung “kehendak para pihak”.
Berbeda lagi dengan jual beli yang dilakukan secara online, Di Indonesia transaksi
jual beli secara online, selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut “KUHPerdata”), juga diatur secara spesifik di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut “UU ITE”). Transaksi secara
online seperti halnya transaksi perdagangan pada umumnya adalah merupakan suatu perjanjian
antara penjual dan pembeli. Para pihak ini sering disebut merchant dan customer dalam
transaksi jual beli secara online, kedudukan merchant dan customer ini sama seperti kedudukan
pelaku usaha dalam perdagangan konvensional.
Perjanjian antara para pelaku bisnis terjadi pada saat mereka bersepakat untuk
melakukan jual beli barang atau jasa yang telah ditawarkan tersebut atau tidak. Apabila pembeli
atau customer sepakat maka customer harus mentaati peraturan yang sudah dibuat oleh penjual.
Pembayaran yang dianggap paling mudah adalah pembayaran yang dilakukan melalui media
online karena hanya dengan menentukan barang apa yang diinginkan dari webstore lalu
kemudian dapat dibayarkan melalui kartu kredit. Selanjutnya, memasukkan data customer
maka pesanan customer segera dalam waktu yang ditentukan diproses.
Pada kasus sewa menyewa rumah, perlu dilakukan kesepakatan tertulis mengenai
aktivitas sewa menyewa yang dilakukan. Perjanjian sewa menyewa rumah harus dibuat dalam
bentuk perjanjian tertulis, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 ayat (4) PP Nomor 14
Tahun 2016 tentang penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman, yang menyatakan
bahwa : “ Penghunian rumah dengan cara sewa menyewa atau dengan cara bukan sewa
menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c dilakukan berdasarkan perjanjian
tertulis antara pemilik dan penyewa.” Serta dalam Pasal 28 ayat (5) menetapkan bahwa :
“perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sekurang-kurangnya mencantumkan
ketentuan mengenai hak dan kewajiban, jangka waktu sewa menyewa, dan besarnya harga
sewa serta kondisi force majeure.”
Perjanjian tertulis mengenai consensus sewa menyewa rumah perlu dilakukan
mengingat rumah sebagai property hak milik yang juga berpotensi memberikan kerugian
kepada pemiliknya jika terjadi wanprestasi atau ingkar janji yang dilakukan oleh pihak yang
membuat perjanjian. Dalam sebuah praktek pemberlakuan peraturan standar yang dilakukan
dengan berbagai cara dengan jalan penandatanganan, dengan pemberitahuan, dengan jalan
menunjikan, dengan jalan diumumkan. Pemberlakuan peraturan dalam standar kontrak
pengadaan barang atau jasa ,dimana peraturan dapat dicantumkan dalam syarat-syarat umum
dan syarat-syarat khusus kontrak.

PENUTUP
Simpulan
Secara umum nilai-nilai keadilan haruslah merupakan pencerminan sikap
hidup karakteristik bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan
UUD 45 yaitu didasarkan pada nilai proporsional, nilai keseimbangan, nilai kepatutan,
itikad baik, dan perlindungan. Nilai kemanusiaan didasarkan pada sila ke 2 dari
Pancasila yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian, semua pihak
saling menghormati dan saling melindungi dalam mewujudkan cita-cita bersama. Namun,
di dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian tersebut sering tidak berjalan dengan baik,
bahkan menimbulkan konflik, tidak mencerminkan keadilan bagi para pihak, terutama dalam
perjanjian baku. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan dari pembuatan perjanjian tersebut.
Hal semacam ini memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Eksistensi
hukum sangat diperlukan untuk dihormati dan asas-asas hukum dijunjung tinggi. Asas-
asas dalam hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan masyarakat. Harapan
untuk menaati hukum dalam praktik hendaklah berjalan dengan baik.
Dari hasil pembahasan diatas, kita dapat menarik benang merah terkait dengan
persetujuan dimana harus ada pihak-pihak yang melakukan persetujuan, ada persetujuan
antara pihak-pihak, ada prestasi yang akan dilaksanakan, sebab yang halal, ada bentuk
tertentu lisan atau tulisan, ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian dan ada tujuan
yang hendak dicapai. Dalam pembuatan perjanjian ada beberapa hal penting yang
harus diperhatikan antara lain sistem pengaturan hukum perjanjian, asas hukum
perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian, dan bentuk dan jenis-jenis perjanjian. Tujuan dari
perjanjian adalah sebagai sarana untuk mengatur pertukaran hak dan kewajiban
diharapkan dapat berlangsung dengan baik, fair, dan proporsional sesuai kesepakatan
para pihak.

Asas konsensualisme mempunyai arti yang terpenting, bahwa untuk melahirkan


perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang
ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Untuk
terjadinya sebuah persetujuan pada umumnya persesuaian kehendak yang memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu adalah sebuah kontrak yang sah menurut hukum. Asas
konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak.

Saran
Dari uraian materi serta hasil telaah studi kasus mengenai asas consensus dalam
perjanjian, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

1. Dalam membuat perjanjian, diperlukan adanya bukti tertulis yang menjelaskan


kesepakatan antara kedua belah pihak dalam menjelaskan tujuan kesepakatan.
2. Perlunya menselaraskan aturan hukum nasional dengan peraturan daerah
mengenai masalah keabsahan kepemilikan tanah dan pengelolaanya di
masyarakat adat supaya hak-hak adat masyarakat adat tidak terganggu, bisa
membangun diri sendiri, membangun ekonomi dalam bidang pertanahan
untuk kesejahteraan masyarakat supaya tidak terjajah di negeri sendiri dimana
tertuang dalam nilai pancasila pada sila ke lima yaitu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
Daftar Pustaka
Umar, D. U. (2020). Penerapan Asas Konsensualisme Dalam Perjanjian Jual Beli Menurut
Perspektif Hukum Perdata. Lex Privatum, 8(1).
Muhtarom, M. (2014). Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan
Kontrak.Universitas Negeri Surakarta

Sinaga, N. (2019). Peranan Asas-Asas Hukum Perjanjian Dalam Mewujudkan Tujuan


Perjanjian. Binamulia Hukum, 7(2), 107-120.
Sasmita, N. P. A. B., & Purwanto, I. W. N. (2020). Penerapan Asas Konsensualisme Dalam
Perjanjian Jual Beli Online. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, 8(8), 1138-1147.

Subekti. (1981). Aneka Perjanjian. Balai Pustaka : Bandung


Ana Istoati, Devi (2021) PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME DALAM PERJANJIAN
SEWA MENYEWA RUMAH. Undergraduate thesis, Universitas Islam Sultan Agung

Isnaeni, M. (2016). Perjanjian Jual Beli . Refika Aditama : Bandung

Anda mungkin juga menyukai