Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BAHASA HUKUM

DI SUSUN OLEH:
HARUN SETIAWAN HATIBIE: 1011421127
SITI NURHALIZA NUWA : 1011421124
TRI MAHARANI HIMAM : 1011421230

T.A 2021/2022
BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM SURAT PERJANJIAN
(Suatu Perspektif Penulisan Bahasa Tulis Ilmiah)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Bahasa Indonesia pertama kali diikrarkan sebagai bahasa nasional


dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.  Alasan yang mendukung
pengikraran itu di antaranya adalah bahasa Indonesia telah dipakai sebagai
lingua franca selama berabad-abad sebelumnya di seluruh kawasan
Nusantara. Kedudukannya makin kuat manakala bahasa Indonesia
dijadikan bahasa negara dan bahasa resmi negara Indonesia di dalam Pasal
36 UUD 1945 (Sugono 2009). Meskipun sudah menjadi  bahasa negara, bagi
hampir  sebagian orang di Indonesia bahasa Indonesia bukan merupakan
bahasa ibu, melainkan bahasa kedua yang hanya dipelajari di bangku
sekolah.

Dalam pemakaiannya di masyarakat, muncul berbagai ragam atau


variasi bahasa Indonesia. Variasi bahasa yang timbul menurut situasi dan
fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut dinamakan ragam
bahasa (Kridalaksana 1984 dalam Nasucha 2009:12). Ragam bahasa
dikelompokkan menjadi ragam bahasa formal/resmi dan tidak formal/tidak
resmi. Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap berprestise tinggi
dan  digunakan oleh kalangan terdidik disebut ragam bahasa baku/formal.

Sesuai dengan pokok persoalannya, ragam bahasa Indonesia yang


digunakan dalam bidang hukum disebut bahasa hukum Indonesia. Manurut
Mahadi (1983:215), bahasa hukum Indonesia adalah bahasa Indonesia yang
corak penggunaan bahasanya khas dalam dunia hukum. Perhatian yang
besar terhadap pemakaian bahasa hukum Indonesia sudah dimulai sejak
diadakan Kongres Bahasa Indonesia II tanggal 28 Oktober –2 November
1954 di Medan. Bahkan, dua puluh tahun kemudian, tahun 1974, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menyelenggarakan simposium bahasa
dan hukum di kota yang sama, Medan. Simposium tahun 1974 tersebut
menghasilkan empat konstatasi berikut (Mahadi dan Ahmad 1979 dalam
Sudjiman 1999).

1. Bahasa hukum Indonesia (BHI) adalah bahasa Indonesia yang


dipergunakan dalam bidang hukum, yang mengingat fungsinya
mempunyai karakteristik tersendiri; oleh karena itu bahasa hukum
Indonesia haruslah memenuhi syarat-syarat dan kadiah-kaidah bahasa
Indonesia;
2. Karakteristik bahasa hukum terletak pada kekhususan istilah,
komposisi, serta gayanya;
3. BHI sebagai bahasa Indonesia merupakan bahasa modern yang
penggunaannya harus tetap, terang, monosemantik, dan memenuhi
syarat estetika.
4. Simposium melihat adanya kekurangsempurnaan di dalam bahasa
hukum yang sekarang dipergunakan, khususnya di dalam semantik
kata, bentuk, dan komposisi kalimat.

Terungkapnya kekurangsempurnaan di dalam bahasa hukum, seperti


terdapat dalam  konstatasi keempat di atas, yang  tercermin dalam
penulisan dokumen-dokumen hukum dapat ditelusuri dari sejarahnya.
Sejarah membuktikan bahwa bahasa hukum Indonesia, terutama bahasa
undang-undang, merupakan produk orang Belanda. Pakar hukum Indonesia
saat itu banyak belajar ke negeri Belanda karena hukum Indonesia mengacu
pada hukum Belanda. Para pakar banyak menerjemahkan langsung
pengetahuan dari bahasa Belanda ke dalam bahasa Indonesia tanpa
mengindahkan struktur bahasa Indonesia (Adiwidjaja dan Lilis Hartini
1999:1—2). Di samping itu,  ahli hukum pada masa itu lebih mengenal
bahasa Belanda daripada bahasa asing lainnya (Inggris, Perancis, atau
Jerman) karena bahasa Belanda wajib dipelajari, sedangkan bahasa
Indonesia tidak tercantum di dalam kurikulum sekolah (Sudjiman 1999).
Menurut Mahadi (1979:31), hukum mengandung aturan-aturan,
konsepsi-konsepsi, ukuran-ukuran yang telah ditetapkan oleh penguasa
pembuat hukum untuk (a) disampaikan kepada masyarakat (b)
dipahami/disadari maksudnya, dan (c) dipatuhi. Namun, kenyataannya
sebagai sarana komunikasi, bahasa Indonesia di dalam dokumen-dokumen
hukum sulit dipahami oleh masyarakat awam. Pemakaian bahasa Indonesia
dalam bidang hukum masih perlu disempurnakan (Mahadi 1979:39).
Banyak istilah asing (Belanda atau Inggris) yang kurang dipahami
maknanya dan belum konsisten, diksinya belum tepat, kalimatnya panjang
dan berbelit-belit (lihat Mahadi 1979).

Senada dengan Mahadi, Harkrisnowo (2007) menambahkan bahwa


kalangan hukum cenderung (a) merumuskan atau menguraikan sesuatu
dalam kalimat yang panjang dengan anak kalimat; (b) menggunakan istilah
khusus hukum tanpa penjelasan; (c) menggunakan istilah ganda atau
samar-samar; (d) menggunakan istilah asing karena sulit mencari
padanannya dalam bahasa Indonesia; (e) enggan bergeser dari format yang
ada (misalnya dalam akta notaris). Hal-hal tersebut menempatkannya
dalam dunia tersendiri seakan terlepas dari dunia bahasa Indonesia
umumnya. Tidak heran jika dokumen hukum, seperti peraturan perundang-
undangan, surat edaran lembaga, surat perjanjian, akta notaris, putusan
pengadilan, dan berita acara pemeriksaan, sulit dipahami masyarakat
awam. 

Akan tetapi, sebagian orang menganggap semua itu merupakan


karakteristik bahasa hukum dalam hal kekhususan istilah, kekhususan
komposisi, dan kekhususan gaya bahasa. Meskipun diakui bahasa hukum
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri dalam hal istilah, komposisi,
dan gaya bahasanya, bukan berarti hanya dapat dimengerti oleh ahli hukum
atau orang-orang yang berkecimpung di dalam hukum (Natabaya
2000:301). Bahkan, sebetulnya di kalangan praktisi hukum sendiri masih
timbul perbedaan penafsiran terhadap bahasa hukum (lihat Murniah 2007).
Begitu penting peran bahasa dalam pembuatan dokumen hukum
ditekankan pula oleh Suryomurcito (2009). Ia mengatakan bahwa banyak
layanan produk hukum yang berbasis bahasa, seperti korespondensi
dengan klien atau dengan ditjen HKI, surat teguran/somasi, iklan
peringatan, laporan polisi, gugatan, permohonan pendaftaran (merek, hak
cipta, paten, dan sebagainya), dan penerjemahan jenis barang/jasa, draf
perjanjian.  

Jika bahasa hukum membingungkan masyarakat, tentu saja


masyarakat akan dirugikan padahal merekalah yang terikat dan terbebani
kewajiban untuk mematuhi dokumen hukum yang dihasilkan (Murniah
2007). Karena semua itu ditujukan untuk dimanfaatkan dan diinformasikan
kepada masyarakat umum, sudah selayaknya penulisannya dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar mendapat perhatian besar. Putusan
simposium 1974 waktu itu sudah tepat: memasukkan bahasa Indonesia
dalam kurikulum di fakultas hukum dan melibatkan ahli bahasa Indonesia
di dalam penyusunan rancangan peraturan-peraturan hukum. Dengan kata
lain, dibutuhkan penulis dokumen hukum yang  memahami ketentuan
perundang-undangan yang menjadi landasannya, tetapi juga yang memiliki
keterampilan dan pengetahuan menulis dalam bahasa Indonesia yang baik
dan benar.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakan permasalahan diatas yang dijadikan inti


permasalahan dalam makalah ini, adalah:

“Bagaimanakah penulisan perjanjian tertulis dalam konteks Bahasa


Hukum Indonesia dengan menerapkan Bahasa Tulis Ilmiah.”
BAB II

BAHASA HUKUM INDONESIA DALAM PENULISAN SURAT PERJANJIAN

A. Bahasa Hukum Indonesia sebagai Bahasa Tulis Ilmiah


Tidak berbeda dengan  bidang ilmu lainnya, bahasa hukum Indonesia
memiliki ciri-ciri bahasa keilmuan  (Moeliono 1974 dalam Natabaya 2000),
yakni:

1. lugas dan eksak karena menghindari kesamaran dan ketaksaan;


2. objektif dan menekan prasangka pribadi;
3. memberikan definisi yang cermat tentang nama, sifat, dan kategori
yang diselidiki untuk menghindari kesimpangsiuran;
4. tidak beremosi dan menjauhi tafsiran yang bersensasi;
5. membakukan makna kata-katanya, ungkapannya, dan gaya
paparannya berdasarkan konvensi;
6. bercorak hemat, hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
7. bentuk, makna, fungsi kata ilmiah lebih mantap dan stabil daripada
yang dimiliki kata biasa.

Bahasa hukum Indonesia dalam surat-menyurat khususnya, menurut


Suryomurcito (2009), perlu memperhatikan tata bahasa yang benar, istilah
yang tepat, kosakata yang beragam, kalimat yang singkat dan jelas, kalimat
yang mengandung satu pokok pikiran, dan tanda baca yang benar. Dengan
kata lain, supaya masyarakat lebih mudah memahaminya, disarankan untuk
menghindari kalimat yang bertele-tele, jangan mengulang-ulang, jangan
menggunakan istilah yang tidak sesuai dengan yang digunakan di dalam
undang-undang, jangan salah menggunakan tanda baca, dan jangan salah
ketik. Seperti hanya bahasa tulis ilmiah dalam bidang ilmu lainnya, dalam
dokumen hukum dibutuhkan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan
benar yang menunjukkan intelektualitas penulisnya dalam menyampaikan
aturan hukum di dalam ejaan yang tepat dan benar serta rangkaian pesan
yang tersusun dalam kalimat yang efektif.
Kalimat efektif, menurut Alwi (2001:38), adalah kalimat yang
memperlihatkan bahwa proses penyampaian oleh penulis dan pembaca
berlangsung sempurna sehingga isi atau maksud yang disampaikan oleh
penulis tergambar lengkap dalam pikiran pembaca. Kalimat yang efektif
dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: memiliki keutuhan atau keterkaitan
makna antarunsur di dalam kalimat; mempunyai kesejajaran struktur
klausa dan kesejajaran makna/informasi; memfokuskan unsur-unsur
dengan mengulang bagian-bagian yang ditekankan; menunjukkan
penghematan dalam kata. Tulisan ini akan menyajikan pemakaian bahasa
hukum di dalam surat perjanjian kredit (2003), surat perjanjian kerja
(2006), dan surat perjanjian pemberian pinjaman (2008). Dengan
menganalisisnya secara kualitatif, yaitu dengan memerikan gejala
pemakaian bahasa hukum, tulisan ini akan mengungkap penggunaan
bahasa hukum yang sebenarnya.

B. Surat Perjanjian
Surat perjanjian adalah surat yang dibuat oleh dua pihak yang telah
sepakat untuk suatu urusan. Jenis surat perjanjian ada bermacam-macam,
misalnya  perjanjian jual beli,  perjanjian sewa beli,  perjanjian sewa-
menyewa, perjanjian kerja, dan perjanjian pinjaman uang. Surat perjanjian
dibuat sebagai bukti autentik adanya ikatan kedua belah pihak dan untuk
menghindari persengketaan di kemudian hari. Anatomi surat perjanjian
dari 3 (tiga) contoh bentuk perjanjian dibawah ini adalah: Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006; Perjanjian Kredit No.:
52/2003; dan Perjanjian Pemberian Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008,
terdiri dari (a) judul, (b) pembukaan, (c) komparisi, (d) premis/dasar
pertimbangan, (e) isi perjanjian, (f) penutup, dan (g) tanda tangan dan
lampiran (Widjaja 2004).

 
BAB III
TEMUAN DAN PEMBAHASAN:
Pemakaian Bahasa Hukum dalam Surat Perjanjian

Untuk mengungkap pemakaian bahasa hukum dalam ketiga surat


perjanjian, ditemukan beberapa pemakaian bahasa yang tidak benar, yang
meliputi pemakaian ejaan dan tanda baca, pemakaian bentuk jamak diikuti
pengulangan kata, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh unsur
bahasa Inggris, pemakaian kata yang bersinonim, pemakaian bahwa di
depan Subjek, pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar, pemakaian kalimat
yang panjang, dan pemakaian Dalam Hal dan Maka.

1. Pemakaian Ejaan dan Tanda baca


Bahasa ilmiah hendaknya memperhatikan penulisan ejaan dan tanda
baca yang benar. Penulisan ejaan dan tanda baca yang benar menandakan
penulis memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan dan mampu
menggunakannya secara tepat untuk menyatakan maksudnya. Kadang kala
pemakaian tanda baca yang tidak tepat dapat mengakibatkan makna yang
disampaikan berubah. Salah satu tanda baca yang sering digunakan di
dalam bahasa hukum, khususnya di dalam surat perjanjian adalah titik
koma.Terlepas dari struktur kalimatnya, perhatikan contoh (1) berikut.

(1)   Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana


tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

- Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak


dibidang asuransi jiwa;

Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda titik dua diganti titik satu pada
kalimat lengkap yang diikuti perincian berupa kalimat lengkap pula, dan
perincian diakhiri tanda titik (Utorodewo, Felicia N. dkk. 2004). Oleh karena
itu, pada kalimat pertama bukan titik dua yang mengakhiri kalimat,
melainkan titik satu karena perincian berikutnya, yaitu kalimat kedua,
merupakan kalimat yang sudah lengkap pula (mengandung unsur Subjek-
Predikat-Pelengkap).  

Di samping titik dua, penulisan di agaknya juga masih belum


diperhatikan oleh penulisnya. Di- ditulis menyambung jika kata yang
mengikutinya merupakan verba (kata kerja). Kata berimbuhan di- sebagai
awalan dapat diubah ke dalam bentuk kalimat aktif. Contoh: divonis-
memvonis. Jika tidak berdampingan dengan verba, di ditulis terpisah,
misalnya di pengadilan, di atas. Dengan demikian, kalimat kedua pada
contoh (1) dibidang diperbaiki menjadi  di bidang.

Contoh pemakaian tanda titik dua yang kurang tepat masih dapat dilihat
pada (2) berikut ini.

(2)  Tanpa persetujuan tertulis dari BANK, selama kredit belum lunas
DEBITUR tidak diperkenankan untuk:

a.      Menerima Kredit dari Bank lain,

b.      Mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.

Tanda baca titik dua seharusnya tidak muncul pada unsur-unsur yang
masih merupakan bagian dari kalimat yang bukan memberi penjelasan.
Karena masih merupakan bagian dari kalimat, setelah titik dua tidak perlu
diawali dengan huruf kapital layaknya awal kalimat. Juga kata lain di dalam
kalimat yang bukan awal kalimat atau nama orang/tempat, tidak perlu
ditulis huruf kapital; begitu pula kata-kata dari bahasa asing sebaiknya
ditulis dengan huruf miring. Berikut perbaikan contoh (2).

(2a) Tanpa persetujuan tertulis dari bank, selama kredit belum lunas,
debitor tidak diperkenankan untuk
a.      menerima kredit dari bank lain,

b.      mengikatkan diri sebagai penjamin (borg) terhadap pihak ketiga.


2. Pemakaian bentuk jamak diikuti pengulangan kata
Tidak seperti dalam bahasa Inggris, untuk menyatakan bentuk jamak
di dalam bahasa Indonesia digunakan kata bermakna jamak, seperti
beberapa, para, semua, atau kata bilangan. Ketika bentuk jamak itu
digunakan, nomina yang yang menyertainya tidak lagi diulang katanya.

(3) a. Selalu mentaati dan melaksanakan semua peraturan perundang-


undangan yang berlaku, termasuk tetapi tidak terbatas kepada,
seluruh ketentuan-ketentuan yang berlaku serta sesuai standar
profesionalisme, etika kerja dan kode etik yang lazim sebagai Tenaga
Pemasaran di Indonesia.

(4) DEBITUR dengan ini berjanji dan mengikat diri untuk mensahkan
semua tindakan-tindakan hukum…
Dalam contoh (3), selain kesalahan ejaan mentaati, yang seharusnya
menaati, ditemukan seluruh ketentuan-ketentuan dan contoh (4) semua
tindakan-tindakan. Supaya lebih hemat penggunaan katanya, diperbaiki
masing-masing menjadi seluruh ketentuan dan semua tindakan.

3. Pemakaian kata yang bersinonim


Dalam surat perjanjian kredit ditemukan pemakaian kata yang makna
dan fungsinya sama, seperti adalah merupakan, seperti terlihat pada contoh
berikut.

(5) Daftar pembayaran berikut perubahan-perubahannya adalah


merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari perjanjian
kredit ini.
Sebaiknya, kalimat (5) diperbaiki dengan menggunakan salah satu di
antara kedua kata tersebut, yaitu  adalah atau merupakan.

4. Pengaruh unsur bahasa Inggris


Pengaruh bahasa Inggris dalam bahasa hukum marak ditemukan. Hal
tersebut dapat disebabkan penulisnya seorang dwi/multibahasawan.
Pengaruh bahasa Inggris tampak dalam penggunaan kata which dan where,
yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dimana, yang mana. Kedua
kata terjemahan tersebut bukan berperilaku konjungsi seperti halnya which
dan where. Untuk itu, kata-kata tersebut sebaiknya tidak digunakan atau
diganti dengan kata lain (lihat 6a) untuk (6) atau meniadakan kata mana
dalam (7) dan menambahkan tersebut (7a).

(6) Para Pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan Perjanjian ini, Pihak
Pertama akan membuka rekening khusus pada Bank yang disepakati
bersama oleh Para Pihak, yang mana rekening tersebut akan digunakan
oleh Para Pihak untuk mengelola dana masuk dan dana  keluar
sehubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7) Apabila DEBITUR terlambat membayar angsuran (pokok dan/atau


bunga) sesuai jadwal yang ditetapkan diatas, maka DEBITUR dikenakan
denda sebesar 0,17% (nol koma tujuh belas persil) per hari atas jumlah
angsuran yang harus dibayar. Denda mana harus dibayar secara
sekaligus dan tunai bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

(6a) Para pihak sepakat bahwa untuk pelaksanaan perjanjian ini, Pihak
Pertama akan membuka rekening khusus pada bank yang disepakati
bersama oleh para pihak. Rekening tersebut akan digunakan oleh para
pihak untuk mengelola dana masuk dan dana keluar sehubungan
dengan pelaksanaan perjanjian ini (“Rekening Khusus”).

(7a) […] Denda tersebut harus dibayar secara sekaligus dan tunai
bersamaan dengan angsuran yang tertunggak.

5. Pemakaian bahwa di depan Subjek


Konjungsi bahwa (dari bahasa Inggris whereas) merupakan konjungsi
yang banyak digunakan sebagai awal dari pernyataan hukum. Akan tetapi,
perlu diperhatikan tidak semua awal pernyataan dapat diawali dengan
bahwa. Perhatikan contoh (8) berikut.
(8)  Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana
tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut:

Di dalam kalimat pasif kata bahwa merupakan penanda bahwa unsur


yang menyertainya adalah anak kalimat pengisi subjek, seperti Bahwa dia
tidak bersalah//telah dibuktikan  (Sugono 2009:46-47). Kalimat itu dapat
dipermutasi menjadi Telah dibuktikan bahwa dia tidak bersalah. Bahwa juga
merupakan penanda subjek yang berupa anak kalimat pada kalimat yang
menggunakan adalah, merupakan, atau ialah, seperti Bahwa percobaan itu
gagal//merupakan risiko dia. Oleh karena itu, penggunaan bahwa pada (8)
sebaiknya ditiadakan  sehingga dengan tegas kalimat itu menampakkan
Subjek, yaitu Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana
tersebut di atas (lihat 8a).

(8a)  Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana


tersebut di atas// terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai
berikut.

6. Pemakaian bentuk kata yang tidak sejajar 


Kesejajaran bentuk mengacu pada kesejajaran unsur-unsur di dalam
kalimat sehingga memudahkan pemahaman pengungkapan pikiran (Alwi
2001). Bentuk kata yang sejajar lazim muncul pada kalimat yang
membutuhkan rincian/penjelasan; setiap rincian menggunakan  bentuk
atau pola kata yang sama. Perhatikan contoh (9).

(9) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana:

a.   Berakhirnya jangka waktu Perjanjian ini.

b. Para Pihak setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri


Perjanjian ini.

c. Pihak Pertama sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan


kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
pailit/bangkrut oleh Pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.
Pada awal setiap rincian terlihat bentuk atau pola yang tidak sama.
Rincian a tidak diawali dengan Subjek seperti halnya b dan c yang
mempunyai unsur Subjek: Para Pihak dan Pihak Pertama. Oleh karena itu,
rincian dalam a perlu ditambahkan Subjek. Selain itu, jika masing-masing
rincian a—c sudah berbentuk kalimat, hal itu berarti kalimat pengantar ke
rincian, yaitu Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana: juga
harus merupakan kalimat yang lengkap. Agar sempurna sebagai kalimat,
perbaikan yang sesuai, misalnya sebagai berikut.

(9a) Perjanjian ini akan berakhir secara otomatis bilamana terjadi kondisi-
kondisi berikut.

a. Jangka waktu perjanjian ini// berakhir.


b. Para Pihak// setuju dan sepakat bersama-sama untuk mengakhiri
perjanjian ini.
c. Pihak Pertama// sudah tidak lagi beroperasi dan atau menjalankan
kegiatan usaha utamanya, atau Pihak Pertama dinyatakan
pailit/bangkrut oleh pengadilan, atau Pihak Pertama dibubarkan
oleh keputusan rapat pemegang saham Pihak Pertama.

7. Pemakaian kalimat yang panjang


Kalimat yang panjang sehingga sulit dipahami maknanya terjadi
karena ada  beberapa gagasan di dalam satu kalimat yang ditumpuk-
tumpuk, seperti tampak pada contoh berikut.

(10) . . .

1. Selama Kredit tersebut diatas belum lunas, maka barang jaminan


tersebut harus dipertanggungkan oleh DEBITUR terhadap bahaya
kebakaran, kerusakan, kecurian atau bahaya lainnya yang dianggap
perlu oleh BANK pada maskapai asuransi yang disetujui oleh BANK,
untuk jumlah dan dengan syarat-syarat yang dianggap baik oleh BANK,
dengan ketentuan bahwa premi asuransi dan biaya lain yang berkenaan
dengan penutupan asuransi tersebut dipikul oleh DEBITUR dan dalam
polis asuransi BANK ditunjuk sebagai pihak yang berhak untuk
menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu (Banker’s
Clause).
2. […]
3. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas
diurus oleh DEBITUR, maka DEBITUR wajib telah mengajukan
permohonan perpanjangan asuransi selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh tempo polis asuransi, dan
polis perpanjangan asuransi harus telah diserahkan oleh DIBITUR
kepada BANK selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo polis
asuransi yang diperpanjang, demikian dengan ketentuan bahwa apabila
pada tanggal jatuh tempo polis asuransi tersebut, DEBITUR
tidak/belum menyerahkan polis perpanjangan asuransi,  maka
DEBITUR dengan ini memberi kuasa kepada BANK, tanpa BANK
berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk memperpanjang asuransi
tersebut di atas biaya DEBITUR.

Kalimat 1. di atas berjumlah 80 kata. Ada beberapa gagasan yang


dikemukakan di dalam kalimat itu, yaitu

- barang jaminan dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya


kebakaran, kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya pada maskapai
asuransi yang disetujui oleh bank,
- ketentuan pertanggungan adalah premi asuransi dan biaya lain
berkenaan dengan penutupan asuransi dipikul oleh debitor;
- di dalam polis asuransi terdapat klausul tentang hak bank untuk
menerima segala pembayaran berdasarkan asuransi itu.
Seperti kalimat 1 yang cukup panjang, kalimat 3 di atas terdiri dari 91
kata. Dalam satu kalimat itu ada beberapa pokok pikiran yang ingin
disampaikan penulisnya, yaitu

(1) debitor wajib mengajukan permohonan perpanjangan asuransi paling


lambat satu bulan sebelum jatuh tempo polis asuransi;

(2) polis perpanjangan asuransi harus diserahkan debitor kepada bank


paling lambat pada tanggal jatuh tempo polis asuransi yang
diperpanjang;

(3) apabila pada tanggal jatuh tempo, debitor belum/tidak menyerahkan


polis perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank
untuk melakukan perpanjangan;

(4) bank diberi kuasa, tetapi tidak berkewajiban melaksanakannya;

(5) biaya perpanjang asuransi ditanggung oleh debitor.


Sebuah kalimat, kendatipun panjang jika kaitan antarkalimatnya jelas,
tidak akan menyulitkan untuk mencerna isinya. Kalimat 1 dan 3 pada
contoh (10) menunjukkan ada kecenderungan untuk menghubungkan
antargagasan dengan konjungsi dan, padahal tidak semestinya setiap
gagasan digabungkan dengan dan. Berikut perbaikan yang disarankan
untuk (10).
(10a) . . .

1. Selama kredit tersebut di atas belum lunas, barang jaminan tersebut


harus dipertanggungkan oleh debitor terhadap bahaya kebakaran,
kerusakan, kecurian, atau bahaya lainnya yang dianggap perlu oleh
bank pada maskapai yang disetujui oleh bank. Biaya premi asuransi dan
lainnya yang berkenaan dengan penutupan asuransi tersebut
dibebankan pada debitor. Bank berhak menerima segala pembayaran
berdasarkan asuransi itu (banker’s clause).
2. Apabila perpanjangan asuransi sebagaimana dimaksud butir 2 di atas
diurus oleh debitor,  debitor wajib telah mengajukan perpanjangan
asuransi selambat-lambatnya  1 (satu) bulan sebelum tanggal jatuh
tempo polis asuransi. Polis perpanjangan asuransi harus telah
diserahkan kepada bank selambat-lambatnya pada tanggal jatuh tempo
polis asuransi yang diperpanjang. Apabila pada tanggal jatuh tempo
polis asuransi tersebut debitor tidak/belum menyerahkan polis
perpanjangan asuransi, debitor memberi kuasa kepada bank, tetapi
bank tidak berkewajiban untuk melaksanakannya, untuk
memperpanjang asuransi tersebut di atas dengan  biaya debitor.

8. Pemakaian Kata Dalam Hal dan Maka


Sugono (2009:215) mengatakan bahwa di dalam kenyataan
penggunaan bahasa, terdapat sejumlah kalimat yang cukup berhasil dalam
penyampaian informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah, kalimat-kalimat itu
tidak memenuhi syarat kalimat yang benar. Kalimat yang dimaksud adalah
kalimat majemuk bertingkat yang tidak jelas unsur-unsurnya mana yang
merupakan inti kalimat (induk kalimat) dan mana yang anak kalimat
(penjelas induk kalimat). Anak kalimat lazim didahului oleh konjungsi dan
induk kalimat tidak didahului oleh konjungsi.
Dalam contoh (11) di bawah ini, dalam hal berperilaku sebagai
konjungsi, yang sebenarnya menyatakan suatu kondisi atau keadaan yang
belum tentu terjadi. Maknanya hampir mirip dengan jika, apabila. Adanya
konjungsi itu menandakan ada anak kalimat. Anak kalimat tersebut diikuti
dengan maka sesudah koma, yang juga sebagai anak kalimat karena diawali
konjungsi maka. Oleh karena itu, kalimat (11) tidak dapat disebut kalimat
majemuk bertingkat karena tidak ada informasi yang diutamakan sebagai
induk kalimat.

(11) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
Perbaikan untuk (11) adalah dengan meniadakan salah satu
konjungsi, misalnya maka (11a).

(11a) Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara versi bahasa Inggris
dan bahasa Indonesia, yang berlaku adalah bahasa Indonesia.
BAB IV

SIMPULAN

Dari dokumen surat-surat perjanjian yang diamati terbukti bahwa


penulis dokumen hukum belum menguasai kaidah bahasa Indonesia.
Bahasa hukum Indonesia di dalam surat perjanjian yang diamati masih
menunjukkan kesalahan yang klise, seperti ketidaktepatan dalam
penggunaan ejaan, tanda baca, dan kalimat. Karena bahasa hukum
merupakan produk yang diperuntukkan bagi masyarakat dari kalangan
mana pun, bukan hanya orang dari kalangan hukum, seharusnya penyusun
dokumen hukum lebih menyederhanakan penyampaian pesan atau maksud
dari aturan atau pernyataan di dalam pasal-pasalnya sehingga pembaca
lebih mudah dan cepat mencerna isinya. Penyampaian isi yang efektif perlu
didukung oleh kaidah ejaan bahasa Indonesia yang benar. Penulis
menyarankan agar ahli hukum adalah juga pemerhati bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Adiwidjaya, Soelaeman B. dan Lilis Hartini. 1999. Bahasa Indonesia Hukum. Bandung:
Pustaka.

Alwi, Hasan. 2001. Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia: Kalimat. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.

Harkrisnowo, Harkristuti. 2007. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pengembangan


Hukum Nasional. Http://www.legalitas.org/?q=node/67.

Mahadi dan Sabaruddin Ahmad. 1979. Pembinaan Bahasa Hukum Indonesia. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta.

___________, 1983. Bahasa Hukum Adat dalam Peta Bumi Bahasa-Hukum Nasional. Dalam
Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun XIII Mei.

Murniah. 2007. Bahasa Hukum Rumit dan Membingungkan. Wawasan, 30 November.

Nasucha, Yakub, Muhammad Rohmadi, dan Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia
untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Surakarta: Media Perkasa.

Natabaya, H.A.S. 2000. Dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, Abdul Rozak Zaidan (Ed.).
Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi:Pemantapan Peran Bahasa sebagai Sarana
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Depdiknas.

Sudjiman, Panuti. 1999. Ragam Bahasa Hukum Indonesia: Lahan Bahasa yang Belum
Tergarap. Atma nan Jaya. Jakarta: Lembaga Penelitian Atma Jaya.

Sugono, Dendy. 2009. Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Suryomurcito, Gunawan. 2009. Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar? Capek Deh!
Good English? Capek Banget Deh! Makalah dalam Seminar HKI, 15 April di Unika
Atma Jaya.

Utorodewo, Felicia N., Lucy R. Montolalu, L. Pamela Kawira. 2004. Diktat Bahasa
Indonesia Sebuah Pengantar  Penulisan Ilmiah. Depok. Program PDPT Universitas
Indonesia.

Widjaja, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Paktik.
Bekasi: Megapoin.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu No. 001/KK-HRD/12/2006.

Perjanjian Kredit No.: 52/2003.


Perjanjian Pemberian Pinjaman No. 006/HT-P/HKM/I/2008.

Anda mungkin juga menyukai