Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Alat komunikasi yang utama adalah bahasa. Bahasa sebagai alat


komunikasi memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, dengan
berbahasa manusia sebagai makhluk sosial dapat berinteraksi dengan orang
lain dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan disebutkan bahwa bahasa
merupakan kekuatan (language is power). Kemudian bahasa politik secara
umum dapat didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh perangkat
penyelenggara negara seperti eksektutif, legislatif, yudikatif dan warga
negara dalam konteks politik. enggunaan bahasa Indonesia dalam bidang
hukum sampai saat ini masih jauh dari harapan.
Bahasa Indonesia memiliki dua keistimewaan, pertama sejak 1928
bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa nasional. konsekuensi dari
kenyataan ini berarti bahwa bahasa Indonesia menjadi alat persatuan bangsa
Indonesia yang beraneka ragam ras, agama, dan suku bangsa. Kedua, bahasa
Indonesia dalam bahasa lain telah menjadi bahasa administarsi Negara.
Dilihat dari dua sis ini bahasa Indonesia memiliki nilai strategis.
Bahasa dalam setiap rezim kekuasaan memiliki warna yang berbeda.
Bahasa Indonesia dalam ragam politik dan birokrasi memiliki karakteristik
yang berbeda dibandingkan dengan ragam bahasa sosiolek lainnya. Sejarah
ejaan bahasa Indonesia menunjukan bahwa setiap rezim kekuasaan memiliki
kepentingan terhadap keberperanan bahasa selaras dengan kecendrungan
kekuasaan saat ini. Bahkan bahasa dalam beberapa hal dipolitisasi baik
makna (semantic) maupun bentuk (sintaksis) agar secara sinergis
mendukung berlangsungnya kekuasaan
Bahasa Indonesia yang dituangkan dalam peraturan perundangan
dan berbagai putusan di bidang hukum kerap mengundang multitafsir dan
tak lugas. Hal itu terjadi karena para pembuat aturan dan penegak hukum

1
tak menguasai bahasa Indonesia secara baik. Di samping itu, minimnya
padanan kosakata bahasa Indonesia membuat berbagai dokumen hukum
yang ada masih menggunakan bahasa asing, seperti bahasa Inggris dan
Belanda. Untuk itu, para pakar bahasa Indonesia dan pemangku kepentingan
harus duduk bersama untuk merumuskan bahasa hukum yang baku, lugas,
singkat, modern, dan mudah dicerna secara jelas, tegas dan tepat.
Peraturan yang multitafsir merupakan gambaran dari kelemahan
penguasaan bahasa Indonesia oleh para pembuat aturan dan penegak hukum.
Salah satu contohnya adalah putusan hakim yang sering menimbulkan
ketidakpastian bagi para pihak yang berperkara
Keputusan hakim malah menimbulkan perdebatan. Seharusnya
hakim, jaksa, dan pengacara bisa merumuskan semua tuntutan, pandangan,
pertahanannya, dalam bahasa Indonesia yang baik dan tidak menimbulkan
banyak interpretasi yang dapat menimbulkan kesalahpahaman.
Ketidakmampuan menggunakan bahasa Indonesia juga tampak
dalam proses legislasi atau pembuatan produk hukum. Kalau masih ada
peraturan yang multitafsir berarti penguasaan bahasanya yang perlu
diperhatikan.
Untuk mengatasi persoalan, perlu adanya antisipasi yang dimulai
dari mahasiswa hukum diwajibkan mengambil mata kuliah bahasa
Indonesia dan kemahiran bantuan hukum. Mahasiswa diajarkan dasar-dasar
penulisan akademik yang benar, dari sisi gramatikal, tata kalimat, serta
memahami makna dari kata-kata ku.. Meski masih dianggap kurang,
penambahan mata kuliah itu akan membuat lulusannya lebih paham bahasa
hukum. Pendidikan yang bisa dikatakan tinggi bidang hukum harus
memandang bahasa Indonesia setara dengan bahasa asing. Dengan demikian
diharapkan setiap produk hukum bisa mengandung kepastian dan keadilan.
Dalam konteks politik peranan bahasa sangatlah besar. Proses politik
yang terjadi selalu menggunakan komunikasi sebagai alat untuk mencapai
tujuan politik. Kemudian bahasa dimanfaatkan untuk menjangkau seluruh

2
aspek kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, dalam konteks sosial, budaya,
politik, ekonomi dan keamanan bahasa juga dimanfaat untuk mengontrol
dan mengendalikan masyarakat. Itulah sebabnya hubungan antara bahasa
dan kekuasaan seperti dua mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Salah satu contoh fenomenal kasus hukum yang terjadi di Indonesia
adalah kasus hukum Budi Gunawan tahun 2015 yaitu dikabulkannya
permohonan praperadilan komisaris jendral polisi budi gunawan oleh ketua
majelis hakim Sarpin Rizaldi. Budi Gunawan sebelumnya ditetapkan
sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi berupa
penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro
Pembinaan Karier (Karobinkar) Deputi Sumber Daya Manusia Polri,
periode 2003-2006.

Berdasarkan pertimbangan Hakim, KPK tidak bisa menjerat Budi


karena tidak termasuk dalam kualifikasi seperti dalam UU No. 30 tahun
2002 tentang KPK. Putusan tersebut mendapat tantangan keras terutama
dari para ahli hukum.

3
B. Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana kekuatan bahasa politik ?
2. Bagaimana metode penafsiran yang digunakan Hakim dalam kasus
Budi Gunawan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami kekuatan bahasa politik.
2. Untuk mendeskripsikian metode penafsiran yang digunakan Hakim
dalam kasus Budi Gunawan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang bahasa dan politik dalam
mencapai dan mempertahankan kekuasaan serta untuk
pengembangan pengetahuan penulis dan pembaca dalam
menganalisa kasus hukum Budi Gunawan sekaligus sebagai laporan
tugas kelompok dari mata kuliah Bahasa Indonesia.

E. Metodologi Penelitian
Metode yang kami gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode kualitatif, yaitu metode yang lebih menekankan pada aspek
pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah

BAB II
TEORI DASAR

A. PENGERTIAN BAHASA MENURUT PARA AHLI

4
Dikutip dari wikipedia, secara etimologis Bahasa berasal dari
bahasa Sanskerta yakni , bhs .
Bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama,
berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik,
tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Untuk mampu membangun pemahaman terbaik mengenai definisi
bahasa, bagaimana kalau kita lihat tentang bagaimana para ahli
mendefinisikan Bahasa? Lalu tentu saja menarik kesimpulan atau
merekonstruksi pemahaman terbaik di benak kita? Baik, ini dia beberapa
pengertian bahasa menurut para ahli.

1. Mc. Carthy
Bahasa adalah praktik yang paling tepat untuk mengembangkan
kemampuan berpikir.
2. William A. Haviland
Bahasa adalah suatu sistem bunyi yang jika digabungkan menurut
aturan tertentu menimbulkan arti yang dapat ditangkap oleh semua
orang yang berbicara dalam bahasa itu.
3. Wibowo (2001)
Bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi
(dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional,
yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia
untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

4. Keraf Smarapradhipa (2005)


Ia memberikan dua pengertian mengani bahasa, yakni 1)
menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota
masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia; 2) Bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan
simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
5. Mackey (1986)

5
Bahasa adalah suatu bentuk dan bukan suatu keadaan (lenguage may
be form and not matter) atau sesuatu sistem lambang bunyi yang
arbitrer, atau juga suatu sistem dari sekian banyak sistem-sistem,
suatu sistem dari suatu tatanan atau suatu tatanan dalam sistem-
sistem.
6. Walija (1996)
Bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk
menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada
orang lain.
7. Syamsuddin (1986)
Memberi dua pengertian terhadap istilah bahasa, 1) bahasa adalah
alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan
dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi
dan dipengaruhi; 2) bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian
yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan
bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan.
8. Pengabean (1981)
Bahasa adalah suatu sistem yang mengutarakan dan melaporkan apa
yang terjadi pada sistem saraf.
9. Soejono (1983)
Bahasa adalah suatu sarana perhubungan rohani yang amat penting
dalam hidup bersama.

10. Bill Adams


Bahasa adalah sebuah sistem pengembangan psikologi individu
dalam sebuah konteks inter-subjektif.
11. Wittgenstein
Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami,
berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang
logis.
12. Plato
Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan
perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata
(ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus
udara lewat mulut.

6
13. Block & Trager
Bahasa adalah sebuah sistem simbol yang bersifat manasuka dan
dengan sistem itu suatu kelompok sosial bekerja sama.
14. Carrol
Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan
urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau
yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh
sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama
kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam
lingkungan hidup manusia.
15. Sudaryono
Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak
sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana
komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.

B. FUNGSI BAHASA MENURUT PARA AHLI BAHASA (LINGUIS)

Fungsi bahasa yang utama dan pertama sudah terlihat dalam konsepsi
bahasa di atas, yaitu fungsi komunikasi dalam bahasa berlaku bagi
semua bahasa apapun dan dimanapun. Dalam berbagai literatur bahasa, ahli
bahasa (linguis) bersepakat dengan fungsi-fungsi bahasa berikut:
1. fungsi ekspresi dalam bahasa
2. fungsi komunikasi dalam bahasa
3. fungsi adaptasi dan integrasi dalam bahasa
4. fungsi kontrol sosial (direktif dalam bahasa)
Di samping fungsi-fungsi utama tersebut, Gorys Keraf
menambahkan beberapa fungsi lain sebagai pelengkap fungsi utama
tersebut. Fungsi tambahan itu adalah:

7
1. Fungsi lebih mengenal kemampuan diri sendiri
2. Fungsi lebih memahami orang lain
3. Fungsi belajar mengamati dunia, bidang ilmu di sekitar dengan
cermat
4. Fungsi mengembangkan proses berpikir yang jelas, runtut,
teratur, terarah, dan logis
5. Fungsi mengembangkan atau memengaruhi orang lain dengan
baik dan menarik (fatik). (Keraf, 1994: 3-10)
6. Fungsi mengembangkan kemungkinan kecerdasan ganda:
a) Fungsi pernyatan ekspresi diri
Fungsi pertama ini, pernyataan ekspresi diri, menyatakan
sesuatu yang akan disampaikan oleh penulis atau pembicara sebagai
eksistensi diri dengan maksud:
a. Menarik perhatian orang lain (persuasif dan provokatif)
b. Membebaskan diri dari semua tekanan dalam diri seperti emosi
c. Melatih diri untuk menyampaikan suatu ide dengan baik
d. Menunjukkan keberanian (convidence) penyampaikan ide.
Fungsi ekspresi diri itu saling terkait dalam aktifitas dan interaktif
keseharian individu, prosesnya berkembang dari masa anak-anak,
remaja, mahasiswa, dan dewasa.
b) Fungsi Komunikasi
Fungsi komunikasi merupakan fungsi bahasa yang kedua
setelah fungsi ekspresi diri. Maksudnya, komunikasi tidak akan terwujud
tanpa dimulai dengan ekspresi diri. Komunikasi merupakan akibat yang
lebih jauh dari ekspresi, yaitu komunikasi tidak akan sempurna jika ekspresi
diri tidak diterima oleh orang lain. Oleh karena itu,komunikasi tercapai
dengan baik bila ekspresi berterima. Dengan kata lain, komunikasi
berprasyarat pada ekspresi diri.
c) Fungsi integrasi dan adaptasi sosial
Fungsi peningkatan (integrasi) dan penyesuaian (adaptasi) diri
dalam suatu lingkungan merupakan kekhususan dalam bersosialisasi
baik dalam lingkungan sendiri maupun dalam lingkungan baru. Hal itu

8
menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan sebagai sarana mampu
menyatakan hidup bersama dalam suatu ikatan (masyarakat). Dengan
demikian, bahasa itu merupakan suatu kekuatan yang berkorelasi
dengan kekuatan orang lain dalam integritas sosial. K orelasi melalui
bahasa itu memanfaatkan aturan - aturan bahasa yang disepakati
sehingga manusia berhasil membaurkan diri dan menyesuaikan diri
sebagai anggota suatu masyarakat.
d) Fungsi kontrol sosial
Kontrol sosial sebagai fungsi bahasa bermaksud memengaru hi
perilaku dan tindakan orang dalam masyarakat, sehingga seseorang itu
terlibat dalam komunikasi dan dapat saling memahami. Perilaku dan
tindakan itu berkembang ke arah positif dalam masyarakat. Hal positif itu
terlihat melalui kontribusi dan masukan yang positif.
Bahkan, kritikan yang tajam dapat berterima dengan hati yang
lapang jika kata - kata dan sikap baik memberikan kesan yang tulus tanpa
prasangka. Dengan kontrol sosial, bahasa mempunyai relasi dengan
proses sosial suatu masyarakat seperti keahlian bicara, penerus tradisi
atau kebudayaan, pengindentifikasi diri, dan penanam rasa keterlibatan
(sense of belonging) pada masyarakat bahasanya.
7. Fungsi membentuk karakter diri
8. Fungsi membangun dan mengembangkan profesi diri
9. Fungsi menciptakan berbagai kreativitas baru (Widiono, 2005: 11-
18)
Masih banyak fungsi bahasa yang lain d alam bahasa Indonesia
khususnya, fungsi bahasa dapat dikembangkan atau dipertegas lagi ke
dalam kedudukan atau posisi bahasa Indonesia. Posisi Bahasa Indonesia
diidentifikasika n menjadi bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa
negara, dan bahasa standar. Keempat posisi bahasa Indonesia itu
mempunyai fungsi masing - masing seperti berikut:

9
I. Fungsi bahasa persatuan adalah pemersatu suku bangsa, yaitu
pemersatu suku, agama, rasa dan antar golongan (SARA) bagi suku
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Fungsi pemersatu ini
(heterogenitas/kebhinekaan) sudah dicanangkan dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928.
II. Fungsi Bahasa Nasional adalah fungsi jati diri Bangsa Indonesia bila
berkomunikasi pada dunia luar Indonesia. Fungsi bahasa nasional ini dirinci
atas bagian berikut:
1. Fungsi lambang kebanggaan kebangsaan Indonesia
2. Fungsi Identitas nasional dimata internasional
3. Fungsi sarana hubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya
4. Fungsi pemersatu lapisan masyarakat: sosial, budaya, suku bangsa,
dan bahasa.

III. Fungsi bahasa negara adalah bahasa yang digunakan dalam


administrasi negara untuk berbagai aktivitas dengan rincian berikut:
1. Fungsi bahasa sebagai administrasi kenegaraan,
2. Fungsi bahasa sebagai pengantar resmi belajar di sekolah dan perguruan
tinggi,
3. Fungsi bahasa sebagai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan bagai
negara Indonesi sebagai negara berkembang, dan
4. Fungsi bahsa sebagai bahasa resmi berkebudayaan dan ilmu teknologi
(ILTEK)
IV. Fungsi bahasa baku (bahasa standar) merupakan bahasa yang
digunakan dalam pertemuan sangat resmi. Fungsi bahasa baku itu
berfungsi sebagai berikut:
1. Fungsi pemersatu sosial, budaya, dan bahasa,
2. Fungsi penanda kepribadian bersuara dan berkomunikasi,
3. Fungsi penambah kewibawaan sebagai pejabat dan intelektual, dan

10
4. Fungsi penanda acuan ilmiah dan penuisan tulisan ilmiah.
Keempat posisi atau kedudukan bahasa Indonesia itu
mempunyai fungsi keterkaitan antar unsur. Posisi dan fungsi tersebut
merupakan ke kuatan bangsa Indonesia dan merupakan jati diri Bangsa
Indonesia yang kokoh dan mandiri. Dengan keempat posisi itu, bahasa
Indonesia sangat dikenal di mata dunia, khususnya tingkat regional
ASEAN. Dengan mengedepankan posisi dan fungsi bahaasa Indonesia,
eksistensi bahasa Indonesia diperkuat dengan latar belakang sejarah yang
runtut dan argumentatif. Sejarah terbentuknya Bahasa Indonesia dari
bahasa melayu. Ciri - ciri bahasa Indonesia yang khas, legi timasi
sebagai interaksi Bahasa Indonesia, dan ragam serta laras Bahasa
Indonesia memperkuat konsepsi dan fungsi dikembangkan ke berbagai
ilmu, teknologi, bidang, dan budaya sekarang dan nanti.

C. PENGERTIAN POLITIK

Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti Negara
kota. Secara etimologi kata politik masih berhubungan erat dengan kata
politis yang bearti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata politisi
berarti orang-orang yang menekuni hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Para tokoh memiliki sudut pandang yang beragam mengenai pengertian dari
politik. berikut ini adalah beberapa definisi mengenai politik menurut para
ahli :
1. Andrew Heywood
Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan umum
yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari
gejala konflik dan kerjasama.
2. Roger F.Soltau

11
Politik adalah ilmu yang mempelajari Negara,tujuan-tujuan Negara,
dan lembaga-lembaga Negara yang akan melaksanakan tujuan
tersebut serta hubungan antara Negara dengan warga negaranya serta
Negara lain.
3. Robert
Politik adalah seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.
4. W.A Robson
Politik adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat,
yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil.
5. Paul Janet
Politik adalah ilmu yang mengatur perkembangan Negara begitu
juga prinsip-prinsip pemerintahan

6. Harold Laswell
Politik adalah ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian
kekuasaan.
7. Ramlan Surbakti
Politik adalah proses interaksi antara pemerintah dan masyarakat
untuk menentukan kebaikan bersama bagi masyarakat yang tinggal
dalam suatu wilayah tertentu.
8. F.Isjwara
Politik adalah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan
atau sebagai teknik menjalankan kekuasaan-kekuasaan.
9. Kartini Kartolo
Politik adalah aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan
kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-
keputusan yang sah berlaku ditengah masyarakat.
10. Cheppy H.Cahyono
Politik adalah macam-macam kegiatan dalam system politik atau
Negara yang menyangkut proses menentukan dan sekaligus
melaksanakan tujuan-tujuan sistem tersebut
11. Carl Schmidt
Politik adalah suatu dunia yang didalamnya orang-orang lebih
membuat keputusan-keputusan daripada lembaga-lembaga abstrak
12. Litre

12
Politik adalah ilmu memerintah dan mengatur Negara
13. Sri Sumantri
Politik adalah pelembagaan dari hubungan antar manusia yang
dilembagakan dalam bermacam-macam badan politik baik
suprastruktur politik dan infrastruktur politik
14. Wilbur White
Politik adalah ilmu yang mempelajari asal mula, bentuk-bentuk dan
proses-proses Negara dan pemerintah
15. Ossip K.Flechteim
Politik adalah ilmu social yang khusus mempelajari sifat dan tujuan
dari Negara sejauh Negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta
sifat dan tujuan gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi yang
dapat mempengaruhi Negara
16. Seely dan Stephen Leacock
Politik adalah ilmu yang serasi dalam menangani pemerintahan
17. Adolf Grabowsky
Politik adalah menyelidiki Negara dalam keadaan bergerak
18. Aristoteles
Politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama
19. Ibnu Aqil
Politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan
bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak
digariskan oleh Rasulullah SAW
20. Rod Hague
Politik adalah kgiatan yang menyangkut cara bagaimana kelompok-
kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan
mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan
diantara anggota-anggotanya.

13
D. BAHASA POLITIK

Bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh para politisi


dalam menjalankan kekuasaannya, baik di pemerintahan maupun di partai-
partai politik. Bahasa politik sering juga disebut dengan bahasa kekuasaan
karena digunakan sebagai alat kekuasaan bagi orang-orang yang mempunyai
kepentingan untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang.
Bahasa dan politik memang saling mempengaruhi. Bahasa politik
adalah salah satu ragam bahasa keilmuan yang mempunyai ciri bersifat
retorika, bahasa yang mempunyai kekuatan (power) untuk mempengaruhi,
atau bahasa yang digunakan sebagai kekuasaan. Dalam berpolitik, bahasa
digunakan sebagai sarana bidang politik supayaa membuat kesan yang dapat
dipercaya baik untuk politisi tersendiri maupun seluruh partai politik. Kesan
yang baik sangat penting untuk karir politisi, menggunakan bahasa yang
salah atau menghina bisa menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh
masyarakat atau mungkin hilang karirnya.
Sama dengan bahasa hukum, bahasa politikpun bersifat ambigu.
Istilah-istilah politik didengungkan oleh politisi sering mengandung banyak
pengertian. Bahkan, masyarakat menafsirkan kalimat-kalimat politik
menjadi berbagai versi yang disesuaikan dengan sudut pandang masyarakat
mana yang menyampaikannya. Bahkan, keambiguan bahasa politik menjadi
bias ketika semua orang dapat menfsirkan kata/kalimat-kalimat politik dari
sudut pandangnnya sendiri.
Politik adalah sesuatu seni berbahasa secara retorika, atau kegiatan
untuk memperoleh kekuasaan dan merambah kekuasaan. Politisi seharusnya
menguasai bahasanya untuk alasan-alasan penting, karena siapapun

14
menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Kekuasaan itu sangat
memengaruhi kehidupan berpolitik seseorang.

Jadi seseorang politikus hendaknya sudah siap untuk menjadi subjek


yang memenangkan simpatik masyarakat karena seni berbahasanya atau
sudah siap menerima cercaan dari lawan politiknya lewat seni berbahasa
yang diungkapkan oleh lawan politiknya.
Kita sadari bersama bahwa hubungan di antara bahasa dan
kekuasaan kuat sekali, karena mereka yang mempunyai kekuasaan bisa
mengawasi media massa dan akhirnya mengawasi bahasa. Keadaannyanya
tidak sesederhana seperti ini, tetapi ada persambungan antara dua hal ini.
Politisi-politisi perlu tahu bagaimana berhubungan dengan rakyat. Bahasa
digunakan politisi sebagai alasan untuk bisa menguatkan kekuasaan mereka
atau melemahkan kekuasaan lawan politiknya.
Simpul yang sukar dibantah. Kita pun meyakininya. Dalam
kehidupan sehari-hari, kita mempraktikkan kedahsyatan bahasa itu dalam
berkomunikasi. Hasilnya, luar biasa. Seseorang (atau orang banyak) bisa
dengan mudah diyakinkan untuk mempercayai sesuatu, meskipun sesuatu
itu merupakan hal baru bagi dirinya.
Para politisi paling sering mempraktikkan hal itu. Mereka
mengandalkan bahasa dalam melancarkan strategi berpolitiknya. Inilah yang
dibuktikan Duranti ketika meneliti perilaku berbahasa para politisi di
Samoa. Cara elite politik Samoa dalam berbicara, tulis Duranti, tidak
hanya memantulkan citra keberbahasaan mereka, tetapi juga membentuk
keberkuasaan berbahasa mereka.
Dengan cara yang sama seperti Duranti meneliti perilaku berbahasa
para politisi di Samoa, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa politisi di
negeri ini pun seperti itu. Setiap kali berbicara, para politisi kita berusaha
menunjukkan kepada publik cara berbahasanya sekaligus berpretensi

15
menjadikan dirinya sebagai sumbu berbahasa dalam komunikasi politik
yang ditunjukkan dengan pilihan-pilihan gramatikanya.

Kita ambil contoh cara berbahasa Joko Widodo, lalu bandingkan


dengan cara berbahasa Prabowo Subiakto. Bahasa kedua politisi saat
berkampanye sebagai calon Presiden Republik Indonesia itu tidak hanya
memantulkan sebuah dunia, tetapi juga membentuk dan menciptakan sebuah
dunia. Bahasa keduanya tidak hanya untuk merepresentasikan realitas, tetapi
juga menciptakan realitas baru lewat apa yang saya sebut kosakata politik.
Cara berbahasa Joko Widodo memakai kosakata politik yang diserap
dari kosakata lokal dalam pergaulan masyarakat kecil, lalu dipadupadankan
dengan gestur dan mimik yang membuat dirinya representatif sebagai
bagian dari masyarakat kecil itu. Joko Widodo pun melakukan permainan
linguistik (sosio-linguistik) dengan logat Jawa yang totok dan lembut.
Logika berbahasanya ditampilkannya dengan intonasi yang jelas sehingga
gampang dipahami publik. Ia kemudian menjelma sebagai pemegang
kekuasaan semantik (semantik power), dan akhirnya membuatnya sebagai
pusat bahasa yang diikuti oleh banyak orang.
Berbeda halnya dengan cara berbahasa Prabowo Subiakto. Pilihan-
pilihan kata/diksinya acap terjebak pada kode atau istilah asing (alien code)
yang diserap dari dunia lain, dan berjarak dari frasa yang dipakai
masyarakat kecil. Ketika Prabowo berpidato, ia merepresentasikan diri
sebagai bagian dari warga bangsa yang punya rasa percaya diri tinggi untuk
menggusur pengaruh asing di negeri ini. Ia mencitrakan dirinya sebagai
simbol perlawanan untuk kebangkitan Republik Indonesia di kancah
internasional, tetapi pencitraan itu justru membuatnya semakin berjarak
dengan masyarakat kecil karena masyarakat kecil kita bukan kelompok
sosial yang lebih peduli pada urusan internasional daripada urusan nasional
(lokal).

16
Keberbahasaan Prabowo Subiakto membuatnya menjadi pusat
bahasa bagi kelompok sosial dari lingkungan kelas menengah yang terdidik.
Ia telah menjadi pusat bahasa bagi kelompok sosial yang kepentingan-
kepentingannya sangat terganggu oleh buruknya posisi Indonesia di kancah
internasional. Hasrat mereka untuk mengurangi pengaruh asing di negeri ini
menemukan habitusnya pada cara berbahasa Prabowo Subiakto.

E. BAHASA DAN POLITIK

Bahasa dalam politik adalah sebuah senjata, para politikus sudah


menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena
siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang
digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat
dipercaya baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik.
Kesan yang baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa
yang salah atau buruk dapat menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh
masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan
politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan
aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan
masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang
digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat.
Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat
baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan
kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang berpikir. Lewat propaganda
pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat umum, atau di sisi
lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan para aktivis,
bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan
politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali.
Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru

17
dikenalkan bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah
kalau digunakan pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata
dalam semboyannya, pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata
itu akan mengandung yang berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik
untuk banyak alasan dan dalam bermacam-macam cara. Bahasa bisa
digunakan baik orang dalam politik maupun orang yang di luar struktur
politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah terpenting alat dalam
politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
Ungkapan Simbolik Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa
ungkapan simbolik menunjuk pada pesan bersifat verbal ataupun non verbal
dengan makna-makna tertentu yang sangat lekat dengan nilai-nilai kultural
serta filosofis. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada ungkapan simbolik
yang berupa bahasa verbal, yakni pernyataan-pernyataan dengan
menggunakan kosakata tertentu yang dikemukakan oleh para elit politik
Indonesia di berbagai kesempatan, terutama dalam kampanye dan
wawancara dengan media massa.
Kaitan politik dan bahasa adalah kenyataan bahwa politik itu adalah
kegiatan berbicara (baca: berbahasa). Seorang ilmuwan politik, Mark
Roelofs (The Language of Modern Politics, 1967), mengatakan dengan
sederhana, Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat lagi berpolitik
adalah berbicara. Menurutnya politik tidak hanya pembicaraan, dan
sebaliknya tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat
pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik mempunyai dimensi moral-etiknya
sendiri, karena politik pada dasarnya adalah kegiatan orang yang mengatur
perbuatan mereka di dalam kondisi kenflik kepentingan dan tujuan. Setiap
setting politik senantiasa ditandai dengan perselisihan dan konflik.
Demikian pula halnya dengan bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan
dan dimensi emansipatoris, transformatif, dan terbuka di dalam penilaian
moral-etis. Bahasa dapat menjadi jahat dan buruk. Bahasa dapat menindas,

18
membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang. Terutama bila digunakan
sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik bila
digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan
membebaskan kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena
bahasa memiliki cakupan sosial politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri
bahwa fenomena bahasa mempunyai dampak yang langsung dan kuat
terhadap realitas sejarah politik manusia.
Bahasa dan politik (langgue of power), topik yang sangat menarik
untuk dibicarakan, terutama pada kajian sosiolinguistik. Jika kita melihat
hakikat bahasa sendiri secara umum didefinisikan sebagai alat komunikasi.
Tetapi penjelasan tersebut kurang tepat, karena pertanyaan mengenai
definisi juga harus dijawab dengan definisi bukan fungsi. Bahasa sebagai
alat komunikasi merupakan jawaban yang tepat untuk pertanyaan di atas.
sebenarnya hakekat bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu
dibentuk oleh sebuah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan. Definisi hakikat bahasa di atas dapat dicirikan bahwa hakikat
bahasa mempunyai ciri antara lain, bahwa bahasa itu adalah sebuah
lambang, berupa bunyi, bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam dan
tentunya bahasa itu juga manusiawi. Bahasa adalah sesuatu yang hidup.
Sebagai sesuatu yang hidup, ia tentu mengalami perkembangan. Dan
perkembangan berarti perubahan. Perubahan itu terjadi, oleh karena bahasa
adalah satu-satunya milik manusia yang tak pernah lepas dari segala
kegiatan dan gerak manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan
bermasyarakat. Kecenderungan studi bahasa yang memisahkan bahasa
dengan dimensi pemakai dan pemakaiannya (konteks sosialnya) inilah yang
kemudian mengilhami lahirnya pendekatan baru dalam studi bahasa yaitu
sosiolinguistik.
Dalam hal ini, objek studi bahasa dalam pandangan sosiolingustik
bukan hanya semata dilihat dari sistem atau kaidah-kaidah bahasa itu,
melainkan juga pada konteks dan komunikatifnya. Ciri-ciri bahasa yang

19
disebutkan di atas, yang menjadi indikator akan hakikat bahasa adalah
menurut pandangan linguistic umum (general linguistics). Menurut
pandangan sosiolinguistik bahasa itu juga mempunyai ciri sebagai alat
interkasi sosial dan sebagai alat mengidentifikasikan diri.
Selain fungsi penggunaanya sebagai situasi-situasi resmi, ragam
bahasa baku menurut Gravin dan Matiot (1956:785-787) juga mempunyai
fungsi sosial politik yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga
diri, fungsi kerangka acuan. Di dalam kehidupan bermasyarakat, sebenarnya
manusia dapat juga menggunakan alat komunikasi lain, selain bahasa.
Namun, nampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik,
paling sempurna, dibandingkan dengan alat-alat komunikasi lain. Fungsi
bahasa bagi manusia sangat penting Halliday mengungkapkan ada fungsi
bahasa bagi manuisa sebagai instrumental yaitu melayani pengelolaan
lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi. Fungsi regulasi
yaitu bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa.
Fungsi representasional yaitu berfungsi menggambarkan realitas
sebanarnya. Fungsi interaksional yaitu untuk menjamin dan memantapkan
ketahan dan kelangsungan komunikasi sosial. Fungsi personal yaitu
memberikan kesempatan kepada pribadi-pribadi untuk mengekspresikan
diri. Fungsi heuristik yaitu melibatkan penggunaan bahasa untuk
memperoleh ilmu pengetahua. Fungsi imajinatif melayani pencptaan sistem-
sistem atau gagasan yang bersifat imajinatif. Fungsi bahasa halliday ini
biasa disebut sapta guna bahasa.

F. BAHASA DAN KONFLIK POLITIK

Banyak idiom dan jargon politik yang tadinya digunakan sebagai


lambang dan simbol dari kondisi politik yang stabil berubah menjadi
lambang dan simbol keadaan politik yang labil bersamaan dengan terjadinya
gejolak dan perubahan politik suatu negara.

20
Plato bahkan mengatakan bahwa kalau penguasa menjadi otoriter,
maka bahasa pasti akan menjadi kacau-balau. Kekacauan timbul akibat dari
konflik kepentingan penguasa dan oposan. Oleh karena itu sumber
kekacauan ada pada penguasa dan kaum oposan. Untuk melanggengkan
struktur dan status quo, penguasa akan melakukan manipulasi politik
melalui bahasa. Sebaliknya, kaum oposan yang menentang kebijaksanaan
tersebut menciptakan manipulasi yang berseberangan dengan penguasa.
Dari sinilah awal timbulnya kekacauan bahasa. Selanjutnya terjadi polarisasi
bahasa yang tidak berasal dari bahasa itu sendiri, melainkan dari realitas
pergolakan politik yang kemudian tercermin di dalam bahasa.
Kekacauan ini dapat diamati dalam perdebatan yang menggunakan
jargon dan idiom antara pemerintah yang berkuasa dengan kaum oposan
yang berada di luar pemerintahan. Contoh yang paling sering diperdebatkan
misalnya: buruh-pekerja, breidel-pencabutan SIUP, kenaikan harga-
penyesuaian harga, perempuan-wanita, PHK-pecat, dan lain-lainnya. Di
dalam hal ini pihak pemerintah dan kaum oposan menggunakan
terminologi, jargon ataupun idiomnya masing-masing sebagai ciri hubungan
peran di antara mereka.

G. BAHASA SEBAGAI ALAT MANIPULASI POLITIK

Bahasa adalah sarana untuk menyingkap realitas personal dan


komunal. Bahasa dapat memperdaya, menggusarkan, menggairahkan dan
juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa tersesat, kalah, menang dan
selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa orang mendapatkan
kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni dan
kedamaian.
Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan
lewat kesalahpahaman, makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan
bahasa tidak bisa dilepaskan dari tindakan manusia.

21
Di dalam politik manipulasi bahasa selalu terjadi. Kemampuan
berbahasa sangat diperlukan dalam memanipulasi. Setiap manusia
senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain bila ia terdesak oleh
kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu memanipulasi
itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya memang melanggar martabat dan
kebebasan manusia. Akan tetapi manipulasi mempunyai dimensi etisnya
sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan melanggar landasan martabat dan
kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya bertanggung jawab
bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang dominan ada pada politikus, karena
seorang politikus dituntut untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan
masyarakat yang telah mempercayakan dan memberikan kekuasaan
kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang manipulator bahasa
dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai
kinerja bahasa yang tinggi.
Politisi menyadari betul kekuatan bahasa dalam mempengaruhi
pikiran manusia. Manusia memang makhluk yang ahli memanipulasi
apapun, termasuk memanfaatkan bahasa untuk alat politik atau alat kontrol
sosial. Para politisi paling sering mempraktikkan hal itu. Mereka
mengandalkan bahasa dalam melancarkan strategi berpolitiknya.
Setiap kali berbicara, para politisi kita berusaha menunjukkan
kepada publik cara berbahasanya sekaligus berpretensi menjadikan dirinya
sebagai sumbu berbahasa dalam komunikasi politik yang ditunjukkan
dengan pilihan-pilihan gramatikanya yang dipenuhi metafora dan
eufemisme.
Tidak diragukan lagi, konstruksi realitas politik memang terkait erat
dengan penggunaan bahasa yang diumbar para politisi. Pasar politik yang
cenderung liberal secara vulgar menyediakan beragam etalase dan
panggung wacana yang di dalamnya terdapat banyak diksi yang bisa

22
digunakan sebagai alat untuk perang politik. Atraksi bahasa yang dimainkan
secara lihai dan penuh akrobatik oleh para politisi terbukti mampu
sedemikian rupa menyihir dan menghipnotis daya nalar publik.
Dalam politik , fungsi bahasa diredusir sebatas sebagai alat untuk
mengekspresikan kekuasaan. Bahasa politik adalah bahasa sebagai alat
persuasi sehingga sarat dengan eufemisme, jargon dan retorika.
Penggunaan gaya bahasa eufemisme dimaksudkan untuk membuat segala
sesuatu menjadi tampak berkesan positif , berkesan lebih baik ketimbang
realitas senyatanya. Eufemisme dan retorika adalah cara membungkus agar
tindakan dan kebijakan penguasa kelihatan beradab namun cara ini
membuat bahasa menjadi tersesat jauh dari makna sebenarnya. Bahasa
yang digunakan untuk kepentingan kekuasaan akan mengalami distorsi
makna yang luar biasa.
Dalam politik, bahasa menjadi tak bermakna karena tidak keluar
dari hati. Pesan perdamaian tidak akan sampai jika si pemberi pesan
menunjukkan perilaku yang mengobarkan peperangan. Bahasa sebagai alat
politik adalah kata-kata yang keluar dari mulut orang yang suka berjanji
tanpa komitmen untuk menepati janjinya . Bahasa sekedar pemanis bibir.
Sebagai contoh lihat saja saat musim kampanye akan banyak sekali
berhamburan kata-kata yang hanya manis di bibir.Begitulah, bahasa sebagai
alat politik bisa menjadi tidak bernilai karena jatuh menjadi sarana untuk
mengumpat, mencaci-maki dan menelanjangi kejelekan orang lain. Bahasa
menjadi alat untuk mengobarkan konflik, kebencian, dan pembunuhan
karakter lawan politik. Lihatlah propaganda atau perang wacana para
politisi dari partai politik yang berseberangan, tidak jarang yang vulgar,
emosional dan banal.
Dan tak salah lagi, bahwa kekuatan bahasa memang benar-benar
memiliki kuasa. Bahasa dalam politik adalah instrumen paling penting
menggait siapa saja yang terjebak. Sadar atau tidak, dalam keseharian
bahasa politik menghiasi kehidupan kita. Rezim terus berganti datang dan

23
pergi, para pemimpin mengikutinya seiring dengan masanya. Pelanggengan
kekuasaan untuk terus bertahta pada tampuk kuasa di tempuh dengan
beragam cara guna mempengaruhi rakyat yang dipimpinnya. Tak terasa
pada saat ini kita berada dalam bulan yang istimewa, Oktober yang identik
dengan bulan bahasa. Bahasa, politik dan kekuasaan sulit untuk
dipisahkan.Politik merupakan cara yang paling efektif untuk melestarikan
kekuasaan.
Sebagai bukti, Seoharto berhasil mempertahankan kekuasaannya
hingga 32 tahun. Ini tidak lepas dari berbagai jurus politik yang
diperankannya, diantaranya politik bahasa. Sejarah mencatat, rezim Orba
sukses memaksimalkan politik bahasa untuk melanggengkan status-quonya.
Barangkali kita masih ingat dengan istilah stabilitas keamanan yang
begitu populer pada era orde baru. Stabilitas merupakan bagian trik era orde
baru untuk terus menlindungi presiden atau pejabat pemerintah dari
berbagai pihak yang berseberangan.Dengan alasan menjaga stabilitas
keamanan dan demi keberlanjutan pembangunan, maka kritikan dan suara
sumbang di masyarakat harus dibungkam. Frasa stabilitas keamanan dan
Undang-undang anti Subversi sebagai tameng.Selain frasa stabilitas
keamanan, frasa tertib, aman, dan terkendali juga sering muncul dalam
pidato-pidato yang dibawakan oleh pejabat waktu itu.

H. HUBUNGAN BAHASA DAN KEKUASAAN

Sekilas tidak ada hubungan sama sekali antara bahasa dan


kekuasaan. Keduanya merupakan dua hal terpisah. Ini tentu tidak salah jika
bahasa dimaknai secara konvensional, yakni sebagai sistem lambang yang
terurai mulai dari unit yang paling kecil, yakni bunyi (phones), yang dikaji
oleh phonology, morfem (morphemes) dan kata (words) yang dikaji oleh
morphology, yang kodifikasinya dikembangkan lebih lanjut melalui
leksikologi dan leksikografi, frase (phrases), klausa (clauses) dan kalimat

24
(sentences), yang dikaji oleh syntax, makna (meanings) yang dikaji oleh
semantics, tanda (signs) yang dikaji oleh semiotics, hingga teks (texts) yang
dikaji lewat analisis teks (reading analysis), sedangkan kekuasaan dimaknai
sebagai praktik politik oleh para politisi.
Oleh para ahli, pemilahan demikian melahirkan apa yang kemudian
disebut dengan linguistik deskriptif (descriptive linguistics) yang pusat
kajiannya adalah behaviour, contents dan elements bahasa yang kemudian
dikenal sebagai pure linguistics (micro linguistics). Selain makna bahasa
terasa sempit, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam linguistik,
sehingga linguistik seolah hanya berjalan di atas satu rel saja. Sayangnya,
formalisme begitu mendominasi para linguis di Indonesia dalam waktu yang
cukup lama hingga awal 1960an.
Jika bahasa dimaknai seperti itu, maka tidak mungkin antara bahasa
dan kekuasaan dapat bertemu, karena dari sudut pandang disiplin ilmiah
bahasa adalah wilayah kajian linguistik, sedangkan kekuasaan adalah
wilayah kajian ilmu politik.
Namun, perjumpaan antara bahasa dan kekuasaan dimulai setelah
para kaum post-strukturalisme seperti Jurgen Habermas, Jean Baudrillard,
Antonio Gramsci, Michel Foucault dan lain-lain menegaskan betapa
pentingnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan Jean Baudrillard
(dalam Latif dan Ibrahim, 1996) menegaskan bahwa The real monopoly is
never that of technical means, but that of speech. Sejak saat itu, diskusi
tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak. Sebelumnya
kehadiran karya Fairclough (1989) Language and Power, Benedict
Anderson (1990) Language and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia, Pierre Bourdieu (1984) Language and Symbolic Power juga
telah membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan.
Dampaknya, penelitian tentang relasi bahasa dan kekuasaan berkembang
sehingga melahirkan karya-karya akademik yang cukup banyak berupa
makalah, buku-buku ilmiah, tesis, dan bahkan disertasi.

25
Lebih lanjut, kaum post-strukturalis, juga membuka diri memasuki
ranah lain dengan melihat bahasa dari sisi fungsi (language in use). Di sini
bahasa tidak dilihat sebagai objek yang dideskripsikan semata, melainkan
dilihat fungsinya dalam komunikasi, dan dalam kehidupan sosial serta
budaya. Menurut saya, justru para kaum post-strukturalis tersebut
mengembalikan bahasa pada hakikat dan fungsi yang sesungguhnya.
Implikasinya, ilmu bahasa (linguistik) dapat membawa kita ke berbagai
ranah kehidupan tempat bahasa digunakan. Misalnya, sebagai teks bahasa
hadir dalam ranah seni, budaya, sastra, politik, psikologi, agama,
komunikasi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Di sini terjadi
apa yang disebut sebagai fungsionalisme dalam linguistik, yang disusul
dengan kelahiran disiplin-disiplin baru seperti sosiolinguistik,
antropolinguistik, psikolinguistik, politikolinguistik, sosiopolitikolinguistik,
geolinguistik, neurolinguistik, komunikasi politik dan seterusnya. Disiplin-
disiplin tersebut sering disebut inter-disciplinary linguistics (macro
linguistics)
Perkembangan linguistik fungsional juga menuntut para pengkaji
bahasa untuk memahami disiplin-displin lain seperti sosiologi, bagi pengkaji
sosiolinguistik, psikologi bagi pengkaji psikolinguistik, neurologi bagi
pengkaji neurolinguistik, antropologi bagi pengkaji antropolinguistik, ilmu
politik bagi pengkaji politikolinguistik, teori-teori tentang ideologi media
dan teori kritik bagi pengkaji media, semiotika bagi pengkaji komik dan
seterusnya. Berikut disajikan pemetaan wilayah kajian bahasa antara
formalisme (yang berisi tentang wujud dan bentuk bahasa) dan
fungsionalisme (yang berisi tujuan dan fungsi bahasa).
Perspektif fungsionalisme mengantar kajian bahasa untuk tidak lagi
sekadar mengkaji bahasa, tetapi juga wacana (discourse), yaitu bahasa
dalam konteks yang beraneka ragam untuk memahami maknanya. Saat ini
kita dihadapkan dengan situasi multikulturalisme yang harus kita pahami
secara lebih baik. Jika tidak, akan terjadi kesalahpahaman di antara kita.

26
Sebab, bahasa yang digunakan manusia makin terserap oleh pergaulan
antarbudaya, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun
internasional, yang dalam studi budaya (cultural studies) disebut fenomena
diaspora. Akibatnya, bahasa bukan lagi objek tunggal, malainkan sebagai
bagian dari kehidupan manusia.
Sampai saat ini sudah hampir 50 (lima puluh) tahun bahasa telah
dikaji melebihi batas-batas linguistik, yakni wacana dengan memahami
makna di balik bahasa. Menurut teori wacana, tidak ada produk linguistik
yang hadir dalam ruang hampa dan tiba-tiba, apalagi tanpa makna. Ia hadir
dengan tujuan tertentu dan bahkan kuasa tertentu pula. Tidak ada kata yang
tidak bermakna. Bahkan, wacana merupakan arena beroperasinya kekuasaan
dan relasi kekuasaan. Karena itu menjadi agak mudah bagi kita untuk
memahami dua macam kekuasaan menurut Gramsci, yaitu: koersi dan
hegemoni, atau dua jenis piranti penguasaan menurut Althusser, yaitu:
aparat represif kekuasaan (Repressive state apparatus), dan aparat ideologis
kekuasaan (Ideological state apparatus).
Sebagai kekuasaan hegemonik yang dibangun melalui kerja aparat
ideologis, maka kebanyakan kekuasaan kontemporer beroperasi dalam atau
dibangun dan dipelihara melalui praktik wacana (discursive practice). Untuk
memahaminya diperlukan analisis interteks. Lewat kajian wacana, kita dapat
melihat jenis kekuasaan apa yang beroperasi.1
Bahasa dan struktur masyarakat tidak dapat terlepas dari hegomoni
bahasa. Bahasa yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan seluruh
masyarakat dan di sepakati atau paling tidak memahami semua tentang arti
dan maknanya maka di situ akan terbentuk apa yang kita sebut dengan
bahasa. Demikianhalnya dengan kekuasaan dan bahasa orang mampu

1 Mudjia Rahardjo, BAHASA DAN KEKUASAAN http://mudjiarahardjo.com/


artikel/95.html?task=view, diakses 12 Desember 2016.

27
menguasai orang lain, dengan bahasa pula orang jadi tidak percaya dengan
orang lain.
Bahasa adalah cara utama untuk mengkomonikasikan isi fikiran.
Setiap masyarakat manusia memiliki bahasa dan manusia memiliki
kecerdasan aslinya tanpa kesulitan. Terlepas dari itu semua kini bahasa
mudah menjadi sebuah dilematis dan mulai berubah maknanya. Bahasa
yang dulunya hanya digunakan sebagi alat komunikasi kini sudah bergeser
kearah politik,budaya,kekuasan dan lainnya. Seiring dengan perkembangan
wacana , bahasa dijadikan sebuah legitimasi tentang bagimana orang
mampu menguasai orang lain dan bagaimana orang bisa memperdaya dan
menguasai musuh-musuhnya.
Kekuasaan adalah sebuah konsep abstrak tetapi sangat berpengaruh
terhadap kehidupan kita. Moore dan Hendry mendifinisikannya sebagai :
kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga
dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan
demi kepentingan siapa.2
Menurut Antonio Gramsci, konsep hegomoni terjadi ketika golongan
masyarakat yang tertindas terekspolitasi secara sukarela mengabdi kepada
penindas mereka. Namun dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi
bukan lagi berwujud penindasan secara faktual. Melainkan secara tersamar
sehingga kadang-kadang pihak yang tertindas tidak merasa tertindas atau
tidak merasa menjadi korban. Hal itu dimungkinkan terjadi karena konsep
hegomoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa.
Kekuatan bahasa yang di antaranya mengandung eufimisme memungkinkan
segala sesuatu menjadi tampak baik,halus. Dan tersamar meskipun
sebenarnya (kenyataan) kurang baik. Lihat saja penggunaan kata-kata yang
marak terutama pada zaman orde baru, oleh para birokrat terhadap rakyat

2 Stephenen Moores and Barry Handry, Sociology, (Sevennoaks: Hodder &


Staughton, 1982), 127.

28
miskin. Ketika itu rakyat miskin atau yang dianggap melawan sering
dikategorikan sebagai tidak beradap sehingga harus
didisiplinkan,diregulasi, dan dibina. Dengan demikian istilah-istilah
yang sering disuarakan oleh para penguasa pada waktu itu seperti
mendisiplinkan, meregulasi, dan membina sebetulnya mengaburkan makna
atau kenyataan atau kenyataan sesungguhnya supaya program-program yang
dilaksanakan terlihat baik dan tidak terkesan menindas.
Sampai saat ini gejala pemakian bahasa seperti itu masih sering
terjadi, misalnya kenyataan penggusuran rumah-rumah atau bangunan yang
dianggap liar sebagai penertiban atau relokasi. Oleh karena itu bahasa
sebenarnya bukan hanya sekedar tata bahasa akan tetapi bahasa adalah
membawa muatan kepentingan.
Pada zaman orde baru ketika pemerintah menuduh seseorang
sebagai anti pembangunan,komunikasi,ekstrim kiri,ekstrim kanan dan
sebutan-sebutan yang lain yang sejenisnya, dia pasti akan tersingkir baik
secara politik maupun sosial. Ungkapan ungakapan itu telaha sedemikan
ampuh untuk memberanguskan lawan-lawan politik orde baru. Bahasa
adalah ekspresi kekuasaan oleh karena itu bahasa merupakan kancah
perhelatan kekuasaan Dalam riil kehidupan manusia sering mengunakan
subuah bahasa dalam membohongi dan menghegamoni seseorang.
Dalam kancah perpolitikan ada sebuah bahasa sehingga menjadi isu
yang biasa membikin konsentrasi para elite bubar. Kisah manusia adalah
kisah lika-laku bahasa, dengan maknanya bahasa mampu mempu
mengerakan dunia dengan kekuatan dengan bahasa pula banyak tercecer air
mata bahkan darahpun mengalir tiada henti tak terasa. Pedang dihunus dan
masa dimolisasi karena bahasa. Aneka kehormatan, kebahgian, sakit hati
,kekecewaan , semuanya diakhiri dengan kata-kata penguasa merasa
menjadi pemilik tunggal bahasa karenanya masyarakat haruslah tunduk
denganya. Bahasa yang sering digunakan oleh pemerintah hanya berlaku
sepihak dan sering kali pemerintah dalam mengimbanginya isunya

29
menjastifikasi kaum-kaum margina dengan undang-undang sebagai salah
satu legitimasi. Hal yang digunakan karena diven pemerintah dalam
mempertahankan keajiban dan kekuasaan dari orang-orang yang di anggap
membahayakan pemerintah.
Fenomena semacam itu akan terus terjadi sepanjang para penguasa
dan kaum cerdik pandai tidak ingin terbuka ditambah faktor bahasa dengan
kekuasaan itu bahasa tidak lagi dapat dilihat sebagai alat kominikasi yang
netral dan bebas nilai karena bahasa sudah mengandung unsur kekuasaan.
Dari situ bahasa dapat dipertanyakannya nilai moralitasnya karena di balik
bahasa tersebut makna yang mengindikasikan martabat dan harkat manusia
menurun.
Hubungan kekuasan dan bahasa tidak dapat dipisahkan sebab
jalannya kekuasan di tunjukan lewat bahasa kita dapat melihat siapa yang
berkuasa dan siapa yang tidak berkuasa dapat dilihat dari penggunan bahasa
misalnya pidato-pidato yang di ucapkan saat rapat politik dan rapat-rapat
lainnya.
Melalui Bahasa, suatu kekuasaan dapat menciptakan citra pihak lain
sebagai subversiv, inkonstitusional, antipembangunan, anti kemapanan dan
lain sebagainya yang menggambarkan perlawanan terhadap negara. Pada
saat yang sama bahasa juga dapat memberikan citra serba positif, baik dan
mulia bagi pemegang kekuasaan.3

I. PENAFSIRAN HUKUM

Penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim sebagai salah satu


penegak hukum, harus dilandasi dengan pertimbangan dari asas-asas
penerapan hukum positif, yang dilakukan dalam rangka :

3 Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa (Bahasa dalam Wacana Politik


Indonesia Kontemporer), (Yogyakarta: Aditya Media, 2002). h.69

30
1. Melaksanakan hukum sebagai suatu fungsi pelayanan atau pengawasan
terhadap kegiatan masyarakat .
2. Mempertahankan hukum akibat terjadi pelanggaran atas suatu aturan
hukum seperti yang dilakukan oleh badan peradilan.
Dalam hal ini penafsiran hukum adalah tugas dari badan peradilan yang
pada hakekatnya merupakan tugas dan wewenang seorang hakim untuk
dapat memutus suatu perkara dengan pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Penjelasan diatas sedikitnya telah menggambarkan
pentingnya suatu penafsiran hukum yang dilakukan oleh hakim untuk dapat
memutus suatu perkara dan menyelesaikan suatu sengketa dalam proses
penyelenggaraan peradilan, sehingga dengan demikian perlulah kiranya
penulis memahami mengenai manfaat dari penafsiran hukum dalam tulisan
ini.
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-
undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu. Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu
peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak
jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.
Penafsiran hukum menurut R.Soeroso,SH. Adalah mencari dan
menetapkan pengrtian atas dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-
Undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
Undang-Undang.
Menurut Prof. J.H.A. Logemann: Dalam melakukan penafsiran
hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan
kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang
dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang itu.
Penafsiran Hukum
Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan
perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di

31
dalam masyarakat secara gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan
vrije gebondenheid (ketertarikan yang bebas). Tindakan hakim tersebut
dilindungi pasal 20 AB (yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili
berdasarkan undang-undang). dan pasal 22 AB (mengatakan hakim tidak
boleh menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan
undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak mengadili perkara
dapat dituntut. Apabila undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum)
hakim dapat menciptkan hukum dengan cara konstruksi hukum (analogi),
penghalisan hukum (rechtsverfijning dan argumentum a contracio.

Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari dan menetapkan


pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai
dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pemebuat undang-
undang.
Cara-cara atau metode penafsirannya ada bermacam-macam ialah sebagai
berikut:
1). Penafsiran menurut tata bahasa (grammaticale interpretatie).
2). Penafsiran dari segi sejarah (historische interpretatie).
3). Penafsiran dari segi sistem peraturan/perundang-undangan yang
bersangkutan (sistematische interpretatie).
4). Penafsiran dari segi masyarakat (sosiologische interpretatie).
5). Penafsiran otentik (authentieke interpretatie).
6.) Penafsiran analogis.
7). Penafsiran a contrario.
8). penafsiran ekstensif
9). Penafsiran restrictif
10). Penafsiran perbandingan
Dalam menghadapi kekosongan hukum, hakim melakukan konstruksi
hukum atau penafsiran analogis. Disini hakim mengadakan penafsiran atas
suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut

32
sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikian, suatu peristiwa yang
sebenarnya tidak dapat dimasukan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut. misalnya, menyambung aliran listrik dianggap
mengambil aliran listrik.

a. Penafsiran gramatikal, adalah penafsiran menurut tata bahasa atau


kata-kata di dalam undang-undang tersebut.
b. Penafsiran historis atau sejarah adalah meneliti sejarah dari undang-
undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui
maksud pembuatannya. Penafsiran historis dibedakan menjadi
penafsiran menurut sejarah undang-undang (wet historische
interpretatie) dan penafsiran menurut sejarah hukum (rechts
historische interpretatie).
c. Penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal
satu dengang pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang
bersangkakutan atau perundang-undangan lain atau membaca
penjelasan undang-undang sehingga mengerti maksudya.
d. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan sosial dalam masyarakat agar penerapan hukum sesuai
dengan tujuannya yaitu kepastian hukum berdasarkan asas keadilan
masarakat.
e. Penafsiran otentik atau penafsian secara resmi yaitu penafsiran yang
dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, tidak boleh oleh
siapapun, hakim juga tidak boleh menafsirkan.
f. Penafsiran analogis yaitu penafsiran dengan memberi ibarat/kias,
sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang tidak
cocok dengan peraturannya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
itu.
g. Penafsiran a contratrio yaitu penafsiran dengan cara melawankan
pengertian antara soal yang dihadapi dengan masalah yang diatur
dalam suatu pasal undang-undang.

33
h. Penafsiran ekstensif yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-
kata dalam peraturan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukan.
i. Penafsiran restriktif yaitu penafsiran dengan membatasi arti kata-
kata dalam peraturan.
j. Penafsiran perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara
membandingkan penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan
suatu ketentuan undang-undang.

Macam-macam cara penafsiran


1. Dalam pengertian subjektif dan obyektif
2. Dalam pengertian sempit dan luas

Dalam pengertian subjektif dan obyektif :


a. Dalam pengertian subjektif : apabila ditafsirkan seperti yang
dikehendaki oleh pembuat undang-undang
b. Dalam pengertian objektif : apabila penafsirannya lepas dari pada
pendapat pembuat Undang-Undang dan sesuai dengan adat bahasa sehari-
hari ada 2.
Dalam pengertian sempit dan luas :
a. Sempit : yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang
sangat dibatasi
b. Luas : ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi penafsiran seluas-
luasnya.

Cara Penerapan metode-metode penafsiran.


Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu
yang hasus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-
undang. Oleh karenanya hakim bebas dalam melakukan penafsiran.
Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan
pertama-tama dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya

34
untuk memahami teks pertauran perundang-undangan harusdimengerti lebih
dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran
otentik, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat mugkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar
didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak
menghasilkan makna yang sama , maka wajib diambil metode penafsirang
yang membawa keadilan setinggi-tingginya, karena memang keadilan itulah
yang dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan
undang-undang yang bersangkutan.

Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama


manusia, hukum harus menajalani suatu proses yang panjang dan
melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Dalam
garis besarnya aktivitas tersebut berupa pembuatan hukum dan penegakan
hukum. Namun sebelum pada tahap penegakan hukum , terlebih dahulu
terdapat tahap penafsiran hukum dimana menunjang dan penting dalam hal
penegakan hukum pada akhirnya.
Pembuatan hukum merupakan awal dari bergulirnya proses
pengaturan hukum, yang merupakan momentum yang memisahkan keadaan
tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Ia merupakan
pemisah antara dunia sosial dengan dunia hukum.
Dilihat dari landasan teori diatas maka penafsiran hukum diperlukan
dalam hal mengadili sesuatu perkara yang diajukan. Karena hakim wajib
memeriksa dan mengadilinya, dan tidak diperbolehkan untuk menolak suatu
perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas. Dimana hakim
harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan
perkara tersebut dengan menggali hukum tertulis dan tidak tertulis untuk
memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan
bertanggungjawab sebagaimana Undang-Undang kekuasaan kehakiman
pasal 14 ayat 1 dan juga pasal 27 ayat 1, dimana dikarenakan hakim

35
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat, hakim seharusnya dapat mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Sehingga dalam hal itu hakim diperlukan suatu upaya yang
disebut penafsiran hukum.

Kaidah-kaidah yang bersifat abstrak, peraturan-peraturan yang


tidak tertujukan pada seorang atau orang-orang yang tertentu berkenaan
dengan suatu hal yang konkrit, tetapi pertauran-perturan yang bersifat
abstrak dan ditujukan kepada kumpulan hal yang tidak tertentu. Dalam hal
ini kita dapat memahami bahwa salah satu masalah yang terpenting dari
hukum adalah mengenai cara bagaimana peraturan-peraturan hidup yang
abstrak itu harus dilaksanakan dalam hal-hal yang konkrit, yang timbul
dalam kehidupan masyarakat. Masalah itu adalah masalah tafsiran,
pemecahan masalah ini tidak demikian sukarnya, apabila dalam suatu hal
yang konkrit pelaksanaan dari hukum itu dengan suatu keharusan yang logis
menunjukan kearah suatu hasil yang tertentu. Namnu kenyataanya tidak
semudah itu, dimana terdapat kaidah-kaidah hukum yang menggunakan
istilah-istilah yang kabur, sebagai itikad baik, menurut keadilan dan
kepatutan, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan kepatutan
dalam masyarakat, bertentangan dengan kepentingan umum, semua istilah-
istilah itu membutuhkan pemahaman lebih lanjut. Namun bahas yang
merupakan suatu yang hidup, karena senantiasa berubah, baik dipersempit
maupun diperluas. Sehingga untuk memahami makna dari hukum atau
undang-undang tersebut perlu dilakukan penafsiran hukum. Sehingga tujuan
hukum dapat tercapai.
Penafsiran hukum diperlukan dalam upaya tercapainya tujuan
hukum, dimana membantu hakim dalam memutus suatu permasalahan atau
memecahkan suatu permasalahan didasari dari ketentuan yang ada di dalam
hukum , baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, yang pada

36
kenyataanya bersifat abstrak dan terkadang kabur, sehingga disinilah peran
penafsiran hukum, agar tercapainya keseuaian antara tujuan hukum dan
kenyataan serta permasalahan yang ada.

BAB III
DATA DAN MASALAH

A. PROFIL BUDI GUNAWAN

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang kasus hukum Budi Gunawan,


ada baiknya untuk mengenal profil Budi Gunawan. Omen Pol. Drs. Budi
Gunawan, S.H., M.Si., Ph.D. lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 11 Desember
1959. Budi Gunawan adalah tokoh kepolisian Indonesia. Saat ini ia
menjabat sebagai Kalemdikpol yang aktif sejak Desember 2012. Ia didapuk
sebagai orang nomor satu di Lemdikpol menggantikan Komjen Pol Drs.
Oegroseno yang sekarang dipromosikan menjadi Wakapolri. Pada saat
berpangkat Komisaris Besar (Kombes) ia pernah menjabat sebagai Ajudan
Presiden RI di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Sejarah perjalanan karir Budi Gunawan, sempat tercatat sebagai
jenderal termuda di Polri saat dipromosikan naik pangkat bintang satu atau
Brigadir Jenderal (Brigjen) dengan jabatan sebagai Kepala Biro Pembinaan
Karyawan (Binkar) Mabes Polri. Setelah itu menjabat Kepala Selapa Polri,
lembaga yang menginduk pada Lemdikpol selama 2 tahun. Karirnya terus
berkembang sehingga ia dipromosikan lagi menjadi Kapolda Jambi yang
merupakan Polda tipe B. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia naik
pangkat lg menjadi bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen) dengan
jabatan sebagai Kepala Divisi Pembinaan Hukum (Kadiv BinKum).

37
Budi Gunawan sempat mutasi dengan jabatan Kepala Divisi Profesi
dan Pengamanan (Kadiv Propam) sebelum dipromosikan menjabat di
kewilayahan sebagai Kapolda Bali yang merupakan Polda tipea A.

Tanda pangkat bintang tiga pun disematkan di pundaknya sampai akhirnya


ia meraih pangkat Komisaris Jenderal (Komjen) ketika dipromosikan
dengan jabatan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) yang
membawahi lembaga-lembaga pendidikan seperti Akademi Kepolisian
(Akpol), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (SESPIM), Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK), dan lainnya.
Riwayat jabatan :

1. Ajudan Wakil Presiden RI (1999-2001)


2. Ajudan Presiden RI (2001-2004)
3. Karobinkar SSDM Polri (2004-2006)
4. Kaselapa Lemdiklat Polri (2006-2008)
5. Kapolda Jambi (2008-2009)
6. Kadiv Binkum Polri (2009-2010)
7. Kadiv Propam Polri (2010-2012)
8. Kapolda Bali (2012)
9. Kalemdiklat Polri (2012-Sekarang)

38
B. JEJAK KASUS BUDI GUNAWAN

Seiring perjalanan karir Budi Gunawan, ia mulai terseret kasus


hukum di Indonesia. Perkembangan Kasus Hukum Komjen Budi Gunawan
pasca KPK memberikan gelar tersangka semakin menggelinding setelah
pelantikannya sebagai kapolri ditunda oleh presiden Jokowi. Pemerintah
meminta KPK mempercepat proses Hukum. Selang waktu beberapa jam,
pasca hasil paripurna persetujuan pengangkatan, sekelompok relawan
Jokowi bergerumul memenuhi depan istana negara. Para relawan tersebut
menuntut agar Presiden Jokowi membatalkan penunjukan Komjen Pol Budi
Gunawan sebagai Kepala Polri. Jika Jokowi tetap bersikukuh melakukan
pelantikan sudah pasti akan menodai korps Bhayangkara dan dengan
sendirinya Jokowi telah mengingkari program Nawa Cita pemerintahan.
Dalam konfrensi persnya, wakil ketua KPK Bambang wijayanto
menjelaskan bahwa semua saksi yang dipanggil KPK kemarin tidak datang
memenuhi panggilan dan kebanyakan saksi yang dipanggil 5 orang tersebut
merupakan anggota Polri yang berpangkat perwira tinggi. Seperti diketahui
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen (Pol) Ronny F Sompie menyebut
bahwa Komjen Budi Gunawan sementara ini megajukan Pra Peradilan
terhadap KPK atas penetapannya sebagai tersangka, memang dalam hukum
Positif Praperadilan dibenarkan secara hukum dan diakui sebagai hak dari
tersangka, terdakwa dan hal ini sesuai dengan KUHAP.

39
BAB IV
PEMBAHASAN

A. SUMBER HUKUM

Sebagaimana diketahui bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia


mengenal 5 (lima) institusi sub sistem peradilan pidana sebagai Panca
Wangsa penegak hukum, yaitu Lembaga Kepolisian (UU No. 2 Tahun
2002), Kejaksaan (UU No. 16 Tahun 2004), Peradilan (UU No. 49 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986), Lembaga
Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995) dan Advokat (UU No. 18 Tahun
2003). Bahwa berdasarkan literature ini, DR. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
menjelaskan bahwa kepolisian secara lembaga adalah penegak hukum
berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
Hal ini pun sesuai dengan Fungsi dan Tugas Kepolisian dalam
Pasal 2 & Pasal 13 huruf b UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian:
Pasal 2: Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 13: Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. Menegakan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
Ketentuan Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 UU KPK, yang berbunyi:
Pasal 6 huruf c UU KPK, menyebutkan: Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas: c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 11 UU KPK, menyebutkan: Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi

40
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah)
Calon Kapolri yang berstatus tersangka agar dibatalkan proses
pencalonannya, bukanlah dengan sebatas memakai dalil moral dan etik saja.
Mesti direkonseptualisasi segala ketentuan yang terkait dengan dua
peristiwa hukum itu, lalu dirumuskan dalam ketentuan tegas setelah
diturunkan dari dalil consensus moral yang bisa terterima secara terus
menerus.
Dalam tahapan sederhana, singkat, tidak memakan waktu yang lama,
sebenarnya Presiden Jokowi atas otoritas penuhnya, saat ini dapat tidak
menerbitkan SK pengangkatan Budi Gunawan meskipun sudah disetujui
oleh Paripurna DPR. Penidakterbitan SK tersebut dapat dilakukan dengan
alasan status tersangka sang Jenderal dapat memicu kemarahan publik jika
dipaksakan untuk dilantik. Ini berarti bukan lagi soal legal atau non-
legal-nya Budi Gunawan untuk ditetapkan sebagai Kapolri, tetapi soal
diterima atau tidak diterimanya yang bersangkutan oleh publik untuk
memimpin institusi Bhayangkara tersebut.
Sebagaimana dalam dinamikanya, massa (rakyat) tidak lagi
menghendaki calon kapolri yang bermasalah hukum, demi menciptakan
pemerintahan yang bersih. Meskipun tafsir demikian hanyalah tafsir
subjektif bagi Presiden yang memiliki kewenangan penuh untuk
menerbitkan SK pengangkatan Kapolri. Sedangkan dalam dinamika hukum
yang membutuhkan waktu relatif panjang.

41
Paling tidak UU Kepolisian, jika ingin diatur ketegasannya
syarat calon Kapolri tidak boleh berstatus tersangka. Maka dalil hukum
abstrak yang menyertainya, boleh jadi harus berlaku imperatif terhadap
setiap jabatan publik tatkala dalam proses pengangkatan jika sewaktu-waktu
ditetapkan sebagi tersangka. Adalah setiap perkara yang ditangani oleh
KPK adalah perkara korupsi, yang mana korupsi merupakan kejahatan
extra, dan akhir proses hukumnya selalu terbukti pelakunya.
Meskipun perumusan dalil hukum tersebut pasti sulit dalam
perkembangannya, tetapi siapa yang tahu, Undang-Undang dan setiap
ketentuannya memang selalu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat
dimana hukum itu berada.
Mengenai Pra Peradilan diatur dalam pasal 1 angka 10 KUHAP
(UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), praperadilan adalah
wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.

42
Praperadilan ini akan memiliki dampak yang cukup besar dan
merupakan upaya terkahir dari Komjen Budi Gunawan untuk lepas dari
cengkraman KPK asalkan Pengadilan Mengabulkan permohonan Pra
Peradilan Komjen Budi Gunawan dan menyatakan bahwa penetapan
tersangka kepadanya termasuk penahanan kota yag dilakukan kepadanya
adalah bertentangan dengan Hukum dan jika Pra Peradilan ini dikabulkan
maka Jalan Komjen Budi Gunwan untuk dilantik Sebagai Kapolri akhirnya
bisa terwujud dan melalui Pra peradilan, itu pun KPK harus merehabilitisi
nama baik dan kedudukan Komjen Budi Gunawan sebagai Waraga Negara
indonesia Yang baik. Dan seluruh kontroversi dan intri politik yang muncul
selama ini akan berakhir dengan adanya keputusan Pra peradilan tersebut.
Namun jika Pra Peradilan tersebut ditolak maka jalan Komjen
Budi Gunawan ke hotel prodeo KPK semakin terhampar didepan mata.dan
saya rasa Praperadilan ini merupakan pertarungan sengit lembaga Hukum
antara KPK dan POLRI. Kini keputusan ada ditangan para HAKIM yang
merupakan wakil tuhan dalam menegakkan keadilan.
Praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan,
Calon Kapolri yang merupakan Tersangka di KPK tidak begitu jelas, apakah
terhadap sah atau tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan
tersangka. Namun terlepas dari hal tersebut, proses persidangan
praperadilan dimaksud telah usai, yang mana amar putusannya kurang lebih
berbunyi:
- Menyatakan surat perintah penyidikan yang menetapkan Komjen. Pol.
Budi Gunawan sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh
hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat

43
- Menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri
Pemohon adalah tidak sah dan tidak berdasar oleh hukum
- Menyatakan penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh
Termohon adalah tidak sah
- Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang
dikeluarkan oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka
oleh Termohon
Dari literatur amar tersebut di atas, muncul suatu pertanyaan
dalam benak penulis, yaitu bagaimana caranya mengeksekusi putusan
praperadilan tersebut? Sebab salah satu amarnya berbunyi Menyatakan
tidak sah segala keputusan atau penetapan lebih lanjut yang dikeluarkan
oleh Termohon yang berkaitan dengan penetapan Tersangka oleh
Termohon.
Artinya, jika sudah tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan
dimaksud, maka segala keputusan yang akan ditempuh oleh KPK terkait
dengan status tersangka yang disandang oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan,
termasuk dalam rangka upaya supaya perkara tersebut dapat selesai (dalam
pengertian bukan menghentikan penyidikan, sebab KPK tidak diberi
wewenang oleh UU untuk menerbitkan penghentian penyidikan) adalah
tidak sah. Penulis sendiri masih belum bisa membayangkan konstruksi
hukum yang akan dipakai oleh KPK untuk menghentikan perkara ini karena
KPK itu sendiri tidak diberi wewenang untuk menghentikan suatu
penyidikan.
Mengenai kompetensi dari Pra Peradilan, yang pertama sah atau
tidaknya penyidikan atau sah atau tidaknya penetapan tersangka, menurut
penulis, berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, bukanlah merupakan
obyek praperadilan.

44
Kewenangan hakim praperadilan mengenai obyek perkara yang
menjadi wewenang praperadilan, diatur dalam Pasal 77 UU No. 8 Tahun
1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan
Dari ketentuan ini, dapat diklasifikasikan dua alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk mengajukan praperadilan, yaitu, yang pertama, sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penuntutan, dan yang kedua, mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi
akibat dari penghentian penyidikan atau penuntutan.

B. METODE PENAFSIRAN

Perlu untuk diketahui bahwa sistem hukum yang berlaku di


Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut
aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan
hukum (judge made law). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20
Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB AB masih
berlaku sepanjang belum dicabut secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan
Peralihan UUD 1945, yang menyatakan: Hakim harus mengadili
berdasarkan Undang-Undang. Pernyataan ini berarti, bahwa dalam hukum,
hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah jelas
pengaturannya. Namun bukan berarti hakim tidak bebas dalam menjalankan
kewenangannya, hakim tetap bebas sepanjang tidak melanggar ketentuan
yang ada.

45
Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu
peraturan dikala peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim
diperkenankan untuk membuat suatu kaidah hukum disaat terjadi
kekosongan hukum. Pada hakekatnya, hakim dilarang menolak perkara
dengan alasan tidak ada hukumnya. Oleh karenanya, dalam perkara
praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan. Dalam
putusan praperadilan tersebut, hakim mengakui bahwa permohonan
praperadilan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan berkaitan erat
dengan penyidikan karena hakim seakan-akan menempatkan bahwa
penetapan tersangka merupakan bagian dari penyidikan, sehingga harus
dianggap sebagai upaya penyidikan, hal tersebut juga terlihat dari putusan
praperadilan tersebut, yang berbunyi: Bahwa penyidikan yang dilakukan
oleh termohondst.
Mengikuti cara berpikir hakim praperadilan tersebut, yang
menafsirkan secara harafiah, maka penulis menemukan juga penafsiran
secara harafiah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu:
Aparat, berarti:
1. alat; perkakas: radio;
2. badan pemerintahan; instansi pemerintah; pegawai negeri; alat negara:
Pemerintah;
3. perlengkapan: militer. Penegak: orang yang menegakkan: para hakim
adalah para ~ hukum. Hukum berarti: peraturan atau adat yang secara resmi
dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.
Secara harafiah, hakim menafsirkan bahwa yang dimaksud aparat
penegak hukum adalah penyelidik, penyidik, jaksa, penuntut umum dan
hakim, sementara Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu ia diduga
melakukan tindak pidana, ia merupakan seorang Polisi yang berpangkat
Kombes, yang mengisi jabatan Karobinkar (Kepala Biro Pembinaan Karir)

46
Mabes Polri, yang menurut Keputusan Presiden Nomor 70 Tahun 2002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/53/X/2002, tanggal 17 Oktober


2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat
Mabes Polri dan perubahannya. Jabatan tersebut merupakan pelaksana
tugas staff administrasi di lingkungan Mabes Polri, bukan merupakan bagian
dari penyelidik ataupun penyidik.
Komjen. Pol. Budi Gunawan pada waktu itu bukan merupakan
aparat penegak hukum sebagaimana pengertian secara harafiah yang
dimaksud hakim tersebut. Jika digabungkan kata demi kata, dan
dihubungkan dengan perkara praperadilan dimaksud, maka aparat penegak
hukum secara harafiah seharusnya berarti Alat atau badan pemerintahan
atau instansi pemerintah atau pegawai negeri atau alat negara atau
perlengkapan militer yang menegakkan peraturan yang secara resmi
dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat. Mengenai definisi Penegak
Hukum dan Penyelenggara Negara yang kedua, pertimbangan hukum
yang menyatakan bahwa Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan merupakan
subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan
termohon (KPK), karena Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk
aparat penegak hukum, dan bukan termasuk juga sebagai penyelenggara
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c jo. Pasal 11 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

47
BAB V
SIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu bahwa bahasa memiliki peranan


penting dalam mencapai kekuasaan, Bahasa dapat mempertahankan
kekuasaan dan meruntuhkan kekuasaan.
Setelah kami meneliti kasus ini dengan metode kualitatif kami
menyimpulkan bahwa jabatan pemohon pada saat tindak pidana yang
disangkakan diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, bukan
dalam jabatan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum, namun dalam
rangka menjalankan fungsi administrative. Selain itu, tindak pidana yang
diduga dilakukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan bukan termasuk tindak
pidana korupsi yang merugikan keuangan Negara, namun merupakan tindak
pidana korupsi penyalanggunaan kekuasaan atau kewenangan. Hal ini ada
di dalam pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) .

48
DAFTAR PUSTAKA

Hartini, Lilis. 2015. Bahasa & Produk Hukum. Bandung: Refika


Aditama.
Mertokusumo, Sudikno. 2008. Mengenal Hukum (Sebuah
Pengantar). Yogyakarta: LIBERTY.
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan
Awal. Jakarta: Rieneka Cipta.
Keraf, Goris. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Ikrar Mandiri
abadi.
Tarigan, H. G. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Rahmat, Jalaludin. 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Anonim. 2015. Hakim Praperadilan. http://www.sorgemagz.com/?
p=5512. Diakses Pada 12 Desember 2016.
Anonim. 2015. Gugatan Budi Gunawan.
http://nasional.kompas.com. Diakses Pada 12 Desember 2016.
Wikipedia. 2015. Profil Budi Gunawan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Budi_Gunawan. Diakses Pada 12 Desember
2016.
Ernimawati. 2015. Bahasa dan Politik.
http://ernihalawa.blogspot.co.id/2015/06/bahasa-dan-politik-bab-i-
pendahuluan-1.html. Diakses pada 12 Desember 2016.
Anonim. 2016. Fungsi Bahasa Menurut Para Ahli.
http://www.guruberbahasa.com/2016/05/fungsi-bahasa-menurut-para-ahli-
bahasa.html. Diakses Pada 12 Desember 2016.
Herma. 2013. Pengertian Politik Menurut Para Tokoh dan Ahli.
http://herma-putra.blogspot.co.id/2013/08/pengertian-politik-menurut-para-
tokoh.html. Diakses Pada 12 Desember 2016.

49
Muhammad. 2013. Bahasa dan Kekuasaan.
https://muhbusro.wordpress.com/2013/01/30/bahasa-dan-kekuasaan/.
Diakses Pada 12 Desember 2016.
Yasep. 2012. Berbagai Cara Penafsiran Dalam Ilmu Hukum.
http://adzata.blogspot.co.id/2012/11/berbagai-cara-penafsiran-dalam-
ilmu.html. Diakses Pada 12 Desember 2016.

50

Anda mungkin juga menyukai