Anda di halaman 1dari 52

Pengertian Politik Menurut Para Ahli Definisi

Pengertian politik menurut para ahli - Menurut Ramlan Surbakti (1999 : 1) bahwa definisi politik adalah
interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.

Definisi Politik Menurut Para Ahli - Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa politik merupakan
salah satu sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat sehingga apapun
program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat
dimana tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik.

Pengertian komunikasi penulis sederhanakan secara umum sebagai “hubungan” atau kegiatan upaya
interaksi manusia dengan lembaga dan dapat bersifat langsung atau tidak langsung (melalui
perantara/media masa), bisa bersifat vertical dan horizontal.

Hal itu didukung pula oleh pendapat Kosasih Djahiri (2003 : 31) bahwa komunikasi adalah : “Suatu
proses (proses, reaksi atau interaksi) dan merupakan produk dari pada kemampuan manusia/lembaga
pelaku yang bersangkutan”.

Dengan kata lain komunikasi adalah jantung dari kehidupan manusia dan masyarakat serta merupakan
salah satu kebutuhan dasar yang dimiliki manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa proses dan
kegiatan ini manusia/ kelompok yang bersangkutan akan diberi gelar oleh kelompok lainnya “apatis dan
asosial”.

Menurut F. Isjwara, (1995 : 42) politik ialah salah satu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau
sebagai tekhnik menjalankan kekuasaan-kekuasaan”.
Dari pendapat tersebut saya simpulkan bahwa politik merupakan sebuah sarana memperjuangankan
kekuasaan serta mempertahankan kekuasaan itu demi tujuan yang ingin dicapai.

Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses
yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang
sah berlaku di tengah masyarakat.

Dengan demikian aturan-aturan dan keputusan yang tadi ditetapkan serta dilaksanakan oleh
pemerintah ditengah keadaan sosial yag dipengaruhi oleh kemajemukan / kebhinekaan, perbedaan
kontroversi, ketegangan dan konflik oleh karena itu perlunya di tegakkan tata tertib sehingga dapat
diharapkan dengan penegakan tata tertib tersebut tidak akan terhadi perpecahan antar masyarakat

Sebagai perbandingan bersama ini disajikan pengertian politik dari segi lain yang dikutip dari oleh
Pamudji.

Secara etimologis politik dari bahas Yunani “Polis” yang artinya sama dengan kota (City) atau negara
kota (City State) dari polis timbul istilah lain polite artinya warga negara, politicos artinya
kewarganegaraan, politike techen artinya kemahiran berpolitik, dan selanjutnya orang-orang romawi
mengambil istilah tersebut serta menamakan pengetahuan tentang negara itu sebagai kemahiran
tentang masalah-masalah kenegaraan.

Dengan demikian jelaslah bahwa piolitik yang bersangkut paut dengan soal-soal negara dan pemerintah.

Ada beberapa definisi mengenai pendidikan politik yang dikutip oleh Kartini Kartono (1996 : 64) sebagai
berikut :

Pendidikan politik adalah bentuk pendidikan orang dewasa dengan menyiapkan kader-kader untuk
pertarungan politik dan mendapatkan penyelesaian agar menadang dalam perjuangan politik

Pendidikan politik adalah upaya edukatif yang internasional, di sengaja dan sistematis untuk membentuk
inividu sadar politik, dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis atau moril
dalam mencapai tujuan-tujuan politik.

R. Hayer menyebut : pendidikan politik adalah usaha membentuk manusia menjadi partisipasi yang
bertanggung jawab dalam politik.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pendidikan dalam pendidikan politik pada
hakekatnya merupakan aktivitas pendidikan diri (mendidik diri sendiri dengan sengaja) yang terus
menerus, hingga orang yang bersangkutan lebih mampu dan memahami dirinya sendiri serta situasi
kondisi lingkungan sekitar, kemudian mampu menilai segala sesuatu secara kritis serta mampu
menentukan sikap dan cara penanganan masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah lingkungan
hidupnya dalam kehidupan bermasyarakat

Pendidikan politik juga sebagai salah satu bagian dari pendidikan secara umum dimana sangat
membutuhkan proses pembinaan dalam prosesnya tentang hal ini GBHN (1999) menegaskan sebagai
berikut :

“Meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan konfrehensif kepada masyarakat untuk
mengembangkan budaya politik yang demokratis, menghormati keberagaman aspirasi, dan menunjang
tinggi supreemasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”

Pengertian Politik

Hal ini memberikan isyarat betapa pentingnya pendidikan politik untuk di tanamkan / diterapkan pada
semua warga negara Indonesia agar memiliki kesadaran politik bangsa. Melalui pendidikan politik
diharapkan akan lahir warga negara yang demokratis, patuh pada hukum sadar akan kebersamaan dan
menghargai nilai kemanusiaa secara beradab.

Adapaun tujuan dan inti dari pendidikan politik sesuai dengan isi yang tersurat dalam pancasila sila ke-4
antara lain membuat rakyat menjadi melek politik atau sadar politik, lebih kreatif dalam partisipasi sosial
politik di era pembangunan saat ini, sekaligus juga menghumanisasikan masyarakat agar menjadi
“leefbaar” yaitu lebih nyaman dan sejahtera untuk ditempati oleh warga negara Indonesia.

Referensi - Pengertian Politik Menurut Para Ahli Definisi

Surbakti Ramlan,(1999), Memahami ilmu politik, Gramedia Widia sarana Indonesia, Jakarta
Djahiri A Kosasih, (2003), Politik kenegaraan dan hukum,Lab PPkn UPI Bandung

Isjwara F, (1995), Pengantar Ilmu Politik,Bina Cipta, Bandung.

Kartono Kartini, (1996) Pendidikan Politik, Mandiri Maju, Bandung


Etika Politik dan
Penerapannya

Sri Sultan Hamengku Buwono 


Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular.
Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia
juga  punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang
sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan
simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstimitas watak poltisi
pun diasosiasikan dengan “watak binatang” 1.

Politik “Kebun Binatang”


Memang, pada sejak zaman dahulu, para budayawan dan filosof kerap menggunakan kisah-kisah perumpamaan
“dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan almarhum Mahbub
Djunaidi berjudul “Binatangisme”. Bahkan suatu ketika, Mahbub sendiri menulis kolom “Politik Kebun Binatang”
untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, walaupun ada
istilah homo hopini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan
melakukan “pembenaran”.

Jika kita sempat mengunjungi Museum Purbakala Sangiran, dan sempat menyaksikan film dokumenter yang
diputar untuk pengunjung, betapa kita kaya sekali akan fosil, yang terkenalnya adalah fosil manusia
purba Pitecanthropus Errectus yang mirip “manusia kera”.

Digambarkan fosil-fosil itu adalah jawaban atas the missing link dari mata rantai evolusi sejarah asal-usul
manusia, dari “wujud binatang” menuju bentuknya yang sempurna. Untuk menuju (peradaban) sempurna butuh
proses evolusi jutaan tahun lamanya. Tetapi, mengapa “watak buas dan kejam” masih terus melekat? Di Surat At-
Tin dalam Al Qur’an ada istilah asfalas safilin, lebih rendah ketimbang binatang. Manusia bisa terjerembab pada
level itu. Karenanya, kita harus selalu wapada, berjihad melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut
pada apa yang Pujangga Ranggawarsita sebut sebagai zaman edan.

Uang adalah Panglima


Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) mempunyai tujuan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik
dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Apa standar
baik? Apakah menurut agama tertentu? Tidak! Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik
diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Jadi kalau politik sudah mengarah pada kepentingan pribadi dan
golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.

Di sisi lain nasionalisme kita berubah menjadi “kebangsaan uang”. Tidak terlalu digubris bahwa nasionalisme kita
hanya akan berkembang dengan subur di alam demokrasi ini, bila Pancasila dijadikan acuan dalam etika politik.
Etika politik bisa berjalan kalau ada penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. Ini merupakan prasyarat
dasar yang perlu dijadikan acuan bersama dalam merumuskan poltik demokratis yang berbasis etika dan
moralitas.

Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami
kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang
seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa
depan bangsa ini kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan kerena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan
politik.

Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Artinya hanya diberi harapan tanpa
realisasi. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja.
Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada
Pancasila hancur karena politik identik dengan uang. Uang menjadi penentu segala-galanya dalam ruang publik.
Hal ini sangat ironis karena mengakibatkan hilangnya iman dalam kehidupan manusia. Iman tidak lagi menjadi
sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Iman hanya sekedar simbol lahiriah yang menjelma dalam ritus dan
upacara. Iman tidak terkait dengan tata kehidupan dan akibatnya dia tidak menjiwai kehidupan publik. Politik tidak
tersentuh oleh etika iman, seperti yang diajarkan oleh sila pertama dari Pancasila, KeTuhanan Yang Maha Esa.

Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik paraelite dalam setiap jejak perjalanannya
membuat kita menjadi “miris”. Kemunduran etika politik para elite ini salah satunya ditandai dengan menonjolnya
sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa,
menurut mereka bisa dibangun hanya melalui kelompoknya. Dan masing-masing kelompok berpikir demikian.

Jadi jika kita tarik logika yang ada di kepala masing-masing kelompok, (nyaris) tidak ada yang namanya
kepentingan bersama untuk bangsa. Yang ada hanyalah kebersaman fatamorgana. Seolah-olah kepentingan
bersama, padahal itu hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi. Hampir tidak ada kesepakatan
di mata para politisi kita tentang akan dibawa ke mana bangsa ini, karena semua merasa benar sendiri, dan tidak
pernah mau menyadari di balik pendapat yang ia nyatakan, mengandung kekurangan yang bisa ditutup oleh
pendapat kelompok lain. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati, dan tertimbun oleh arogansi
untuk menguasai kelompok lain.

Memang benar alam raya ini penuh dengan perbedaan. Demikian pula politik, penuh dengan perbedaan pendapat.
Tapi di Indonesia perbedaan pendapat justru menjadi penghalang untuk mencapai visi bersama bangsa. Betapa
sedih melihat ketika demokrasi yang kita rasakan dibangun oleh para elite dengan cara manipulatif dan penuh
rekayasa untuk menjatuhkan lawan.

Ke arah manakah etika politik akan dikembangkan oleh para politisi produk reformasi ini? Dalam praktik
keseharian, politik seringkali bermakna kekuasaan yang serba elitis, daripada kekuasaan yang berwajah populis
dan untuk kesejahteraan masyarakat. Politik identik dengan cara bagaimana kekuasaan diraih, dan dengan cara
apa pun, meski bertentangan dengan pandangan umum.

Karena itulah, di samping aturan legal formal berupa konstitusi, politik berikut praktiknya perlu pula dibatasi
dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang dan memerintahkan tindakan mana yang
diperlukan dan mana yang dijauhi.

Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan
untuk menampung tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam aturan secara legal formal. Jadi etika politik lebih
bersifat konvensi dan berupa aturan-aturan moral. Akibat luasnya cakupan etika politik itulah maka seringkali
keberadaannya bersifat sangat longgar, dan mudah diabaikan tanpa rasa malu dan bersalah. Ditunjang dengan
alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomis (uang) yang begitu kuat, rasa malu dan
merasa bersalah bisa dengan mudah diabaikan.
Akibatnya ada dua hal: pudarnya nilai-nilai etis yang sudah ada, dan tidak berkembangnya nilai-nilai tersebut
sesuai dengan moralitas publik. Untuk memaafkan fenomena tersebut lalu berkembang menjadi budaya permisif,
semua serba boleh, bukan saja karena aturan yang hampa atau belum dibuat, melainkan juga disebut serba boleh,
karena untuk membuka seluas-luasnya upaya mencapai kekuasaan (dan uang) dengan mudah.

Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya,
semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar si
pejabat. Itulah mengapa para pengkritik dan budayawan secara prihatin menyatakan arah etika dalam bidang
politik (dan bidang lainnya) sedang berlarian tunggang-langgang (meminjam Giddens, “run away”) menuju ke
arah “jual-beli” menggunakan uang maupun sesuatu yang bisa dihargai dengan uang 2.

Budaya Demokratis
Tidak dapat dimungkiri, sebagai bangsa, Indonesia begitu majemuk. Aneka kelompok, baik yang mengikat diri
secara kultural, ideologis maupun agamis, berkejaran dalam jagat ke-Indonesiaan. Sehubungan dengan itu,
persoalan krusial yang belum terpecahkan sejak akta pendirian bangsa ini adalah mewujudkan tatanan hidup
bersama secara rasional. Sebuah rajutan koeksistensi di tengah kemajemukan tanpa dicemari fakta-fakta
irrasional, seperti kekerasan, manipulasi, kebohongan, hegemoni, dan sebagainya.
Bersamaan dengan menggelindingnya demokratisasi, ke-berbagai-an (kebhinekaan) dan ke-berbagi-an (resource
sharing) yang sempat dibungkam secara ideologis semasa Orde Baru kembali bernapas. Ke-berbagai-an dan ke-
berbagi-an yang sayang sejak berdirinya bangsa ini tidak pernah diberi kesempatan belajar bagaimana hidup
bersama dan berbagi secara rasional.

Yang ada hanya kuliah-kuliah kering tanpa persatuan-kesatuan, toleransi, dan kebersamaan. Ide-ide yang gegap-
gempita di ruang-ruang penataran, namun miskin secara praksis. Hasilnya, etika sosial pecah berantakan.
Demokrasi diajukan ke meja hijau. Demokrasi dituduh meriuh-rendahkan kehidupan politik yang dulu senyap-
sejuk. Disintegrasi! Itulah retorika magis yang membuka pintu bagi aparatur koersif untuk turun tangan. Pertikaian
sosial hanya bisa diredam dengan tangan besi. Tidak ada jalan lain. Demokrasi hanya retorika indah di seminar-
seminar, ruang kuliah, dan media massa. Masyarakat membutuhkan kedamaian bukan demokrasi. Demokrasi
dituding sebagai tidak indah. Wajahnya centang-perentang dan sukar disusun rapi. Damai lebih indah. Meski harus
menjatuhkan diri kembali ke pelukan rezim tangan besi.

Sebuah tatanan hidup bersama secara rasional membutuhkan lebih dari sekadar reformasi demokratis-prosedural.
Reformasi yang semata meluruskan prosedur-prosedur politik yang melenceng dari garis demokrasi. Pemilu
multipartai dilangsungkan secara fair lima tahun sekali. Presiden dipilih langsung. Masa jabatannya dibatasi dua
kali. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berfungsi proporsional dan maksimal, dan sebagainya. Demokrasi
prosedural seperti itu belum tentu menghasilkan etika sosial.

Demokrasi semata menetapkan prosedur-prosedur guna menjamin apa yang disebut democratic liberites.
Sebagian democratic liberitiesyang umumnya dijamin adalah kebebasan berekspresi, berserikat, dan menjalankan
syariat agama. Namun, kebebasan berekspresi bisa dijadikan jalan untuk mengobarkan sentimen anti-etnis atau
agama tertentu. Kebebasan berserikat bisa dijadikan alasan untuk menghukum para bidah. Dan, kebebasan
beragama tidak mengatur koeksistensi antarumat beragama.

Bagaimana demokrasi bisa seiring dengan etika sosial. Satu-satunya jalan adalah terwujudnya apa yang disebut
budaya demokratis (democratic culture). Demokrasi tanpa dibarengi budaya demokratis ibarat pelita tanpa
minyak. Nyala rezim demokratis di berbagai belahan dunia meredup karena gagal mewujudkan budaya demokratis
dalam masyarakatnya.

Demokrasi sendiri menuntut terpatrinya tiga dimensi kultural. Dimensi pertama adalah kedaulatan populis.
Dimensi ini menuntut rakyat dan bukan pejabat publik yang berdaulat. Kewenangan pejabat-pejabat publik harus
senantiasa dijadikan obyek strukturisasi publik. Kesetaraan politik adalah kata kuncinya. Musuh besar dimensi
pertama demokrasi ini adalah segala bentuk previlese sosial.

Dimensi kedua adalah kesetaraan warga negara. Dimensi ini menuntut setiap warga negara dipandang sebagai
subyek hukum yang setara dalam melibatkan diri secara politis. Melibatkan diri dalam hal ini bukan saja sebagai
pengadil proses-proses politik, tetapi juga sebagai partisipan aktif. Untuk itu, peluang warga negara untuk
mempengaruhi proses-proses politik harus dijamin setara. Demokrasi cacat bila satu atau beberapa kelompok
masyarakat memiliki defisit peluang dalam mengartikulasi keyakinan-keyakinannya dalam proses politik. Distribusi
ekonomi yang timpang bisa jadi salah satu pemicunya. Artikulasi gagasan didominasi donor-donor kaya.

Dimensi ketiga adalah diskursus demokrasi. Jika tiap-tiap warga negara dipandang sebagai rekanan dalam urusan
politik, mereka lebih dulu memposisikan diri sebagai individu yang bebas. Deliberasi individu harus berkonsentrasi
pada argumen untuk menolak atau menerima sebuah aksi kolektif sehingga warga negara yang agendanya ditolak,
paling tidak puas bahwa mereka berpeluang meyakinkan yang lain, bukan sekedar kalah suara.

Sensor, kebohongan, dan manipulasi adalah musuh-musuh utama dimensi ketiga demokrasi ini. Tiga dimensi
demokrasi-kontrol populis terhadap pejabat-pejabat publik, kesetaraan politik warga negara, diskursus politik
yang fair dan setara, menuntut tegaknya budaya demokratis. Budaya yang mengandung dua komponen pokok.
Pertama, kemandirian dan kedua, nalar publik. Budaya adalah struktur. Kebiasaan yang berulang dan
menghasilkan pola yang dihayati bersama. Pola kultural yang belum sepenuhnya lepas dari masyarakat kita adalah
pola-pola feodalisme. Stuktur kultural feodalisme amat berseberangan dengan kultur kemandirian. Feodalisme
adalah ketergantungfan in optima forma. Kultur yang menggantungkan segalanya pada kekuasaan dan
melemahkan inisiatif publik.
Rezim Orde Baru dengan jeli memanfaatkan kondisi kultural ini. Potensi apatisme politik dalam masyarakat
dikeraskan lewat perangkat koersif maupun ideologis. Kultur feodalisme juga mengerem pertumbuhan civil society.
Karena kekuasaan diagungkan, maka kekuatan non-pemerintah diremehkan. Politik ditafsirkan sebagai ajang cari
makan dan status. Karier yang bagus berarti kantung tebal dan status sosial yang kian membumbung.

Logikanya pun menjadi politik praktis: perebutan dan aksentuasi kekuasaan. Padahal civil society berpijak pada
logika politik yang berbeda. Logika politik civil society bukan bukan politik praktis, tetapi politik emansipatoris.
Artinya, politik guna membela hak dan membebaskan warga negara dari ketergantungan politis lewat konsistensi
dan advokasi. Sasarannya adalah naiknya posisi tawar masyarakat dan menciptakan budaya kemandirian yang
proaktif.

Demokrasi yang beretika sosial menuntut enyahnya irasionalitas dari tatanan hidup bersama. Untuk itu, nalar
publik mesti dijadikan sarana epistemik tiap perjumpaan ideologis. Prinsip nalar publik sederhana saja. Setiap
klaim apakah itu moral, filosofis, agamis, maupun ideologis, harus didasarkan pada satu argumentasi yang dapat
diterima semua pihak yang berkepentingan. Kata kuncinya adalahunderstandability dan communicability. Ini harus
dihayati betul oleh tiap individu atau kelompok dalam sebuah rezim demokratis.

Membudayakan nalar publik bukan tugas ringan. Dalam masyarakat yang sebagian besar masih dikungkung
kubah-kubah primordial, nalar yang dipakai masih bersifat privat. Nalar yang cenderung tertutup, sektarian, dan
tidak bisa menerima perbedaan. Sasarannya bukan mencari irisan kepentingan, tetapi efektifitas dan kesuksesan.
Kelompok atau individu lain dipandang sekadar sebagai sarana, bukan sebagai subyek diskursif yang setara.

Bagaimana membangun sebuah kultur demokratis? Tidak ada jalan lain kecuali menggelar strategi kebudayaan.
Konkretnya, membangun sistem pendidikan yang menjadikan prinsip kemandirian dan nalar publik sebagai pijakan
konseptual. Sistem yang berfokus pada penciptaan individu-individu yang otonom dan kritis dalam daya
pertimbangan. Otonom bukan berarti egosentris. Karena itu, pelajaran budi pekerti harus menekankan
perjumpaan, pengenalan, dan pemahaman “yang lain” (the others). Strategi pedagogis ini tentu membidik target
jangka panjang. Strategi yang amat menentukan cerah-tidaknya masa depan demokrasi di negeri ini 3.

Catatan Akhir
Power tends to corrupt dan Ethics has no place in politics adalah dua adagium klasik dalam textbook ilmu politik
yang ingin menunjukkan betapa mudahnya kita terperangkap pada kecenderungan berpolitik tanpa etika.
Sebaliknya, adagium ini pulalah yang membuat kita untuk selalu tidak jenuh dan letih meneriakkan perlunya etika
politik dalam mengemban tugas dan tanggung jawab bermasyarakat dan bernegara. Dalam teori politik, etika
politik bukanlah sekadar gagasan himbauan moral yang naif bila dikaitkan dengan kehidupan politik praktis seperti
sinyalemen adagium di atas. Minimum ada tiga prinsip yang secara metodologis dapat dijadikan untuk mengukur
muatan etika politik dari sebuah politik atau pun kebijakan publik 4.

Prasyarat pertama adalah prinsip kehati-hatian (principle of prudence), sebuah prinsip yang “mempertanyakan”
secara kritis tentang latar belakang berikut “pemihakan” dari sebuah tindakan ataupun kebijakan dari para
pemegang kunci kekuasaan politik. Dalam prinsip ini, sebuah tindakan yang memiliki motif untuk “memihak”
kepentingan lebih luas dibanding dengan kepentingan sempit partai atau diri sendiri akan memiliki nilai etika yang
jauh lebih tinggi dan terpuji.

Prinsip kedua adalah prinsip tatakelola (principle of governance) yang berhubungan dengan masalah etika di dalam
“proses” pengambilan keputusan ataupun penetuan tindakan. Prinsip ini menyangkut pengukuran terhadap
standar-standar yang digunakan di dalam menentukan sebuah tindakan ataupun kebijakan. Kesadaran akan
pentingnya akuntabilitas, transparansi dan soladiritas, secara otomatis, akan melahirkan perilaku dan keputusan
yang jauh lebih etis.

Prinsip yang ketiga adalah prinsip pilihan rasional (principle of rational choice) yang secara metodologis
menimbang secara seksama atas manfaat dan biaya (costs and benefits) dari sebuah tindakan ataupun kebijakan
dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan atau keputusan yang memiliki manfaat yang sangat tinggi dan
signifikan bagi kepentingan umum jauh lebih etis dibanding tindakan yang hanya melayani kepentingan pribadi
ataupun kepentingan manuver partai politik yang sesaat.
Dalam kehidupan politik sehari-hari, baik biaya (costs) maupun manfaat (benefits) tidak selalu hadir dalam bentuk
fisik-material. Namun juga kedua aspek tersebut dapat diurai dalam bentuk nilai-nilai simbolik seperti trust,
stabilitas, soladiritas, ataupun loyalitas. Dari uraian tersebut, kita perlu mengingatkan pentingnya muatan etika
politik sebagai acuan bersama bagi jagat perpolitikan kita.

Setidaknya ada tiga muatan etika politik yang saya usulkan. Pertama, watak baru yang berakar budaya, berwatak
progresif dan memihak bangsa. Kedua, kebhinnekaan, kebersamaan, kerukunan, dan kebangsaan Indonesia perlu
dirajut ulang serta Pancasila ditegakkan kembali. Ketiga, membela rasa keadilan rakyat, mengabdi Ibu Pertiwi
demi kesejahteraan rakyat dan kemuliaan negara.[]

__________

Pidato Dies yang disampaikan dalam Temu Akbar Alumni Dies Natalis Ke-40 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2008.
1   M Alfan Alfian, “Dari Perbendaharaan Etika Politik”, The Akbar Tandjung Institute, Jakarta, 8 Juli 2008.
2   Benny Susetyo Pr. “Etika Politik & Politisi Reformasi”, Sinar Harapan, Tajuk Rencana, 23 Mei 2005.
3   Donny Gahral Adian, “Menyoal Dimensi Kultural Demokrasi“, Kompas, Opini, 22 Juli 2002.
4   Kastorius Sinaga, “Tentang Etika Politik“, Kompas, 9 April 2008.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2802&Itemid=222
Etika Politik

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA

(Pancasila Sebagai Etika Politik)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pengamalan Pancasila dalam kehidupan sekarang ini memang sudah tidak rahasia lagi kalau semakin
memudar saja sehingga sangat sulit untuk ditemukan. Tidak terkecuali di kalangan intelektual dan kaum
elit politik bangsa Indonesia tercinta ini. Kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum serta hankam
merupakan ranah kerjanya Pancasila di dunia Indonesia yang sudah menjadi dasar negara dan
membawa negara ini merdeka hingga sekarang ini. Secara hukum Indonesia memang sudah merdeka
selama itu, namun jika kita telah secara individu hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan
yang dilakukan para elit politik dalam berbagai pengambilan keputusan yang seharusnya menjunjung
tinggi nilai-nilai Pancasila dan keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia. Keadilan yang seharusnya
mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana
mana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan politik
pribadi.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan
suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan
sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam tindakan atau suatu aspek praksis
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar. Sebagai suatu nilai, Pancasila merupakan dasar-dasar
yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangasa dan
bernegara.

B. RUMUSAN MASALAH

Ø Pengertian Pancasila

Ø Pengertian Etika

Ø Pengertian Politik

Ø Pengertian Nilai

Ø Pengertian Moral

Ø Etika Politik dan Etika Pancasila

Ø Nilai Etik dalam Pancasila

Ø Etik dalma Kehidupan Kenegaraan dan Hukum

Ø Kritis Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan


Ø Etika Kehidupan Bangsa

C. KAJIAN TEORI

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan menggunakan metode
kepustakaan, yakni :membaca dan merangkum hal-hal penting apa saja yang yang di ambil dari bahan
pembuatan makalah ini yaitu buku pendidikan pancasila dan mengutip dari internet.

BAB II

PEMBAHASAN

Ø Pengertian Pancasila

Pancasila adalah dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh Sebab itu, kewajiban setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati,
dan mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan.

Ø Pengertian Etika

Etika adalah ilmu yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Etika dibagi menjadi
tiga yaitu khusus, individual dan sosial, Etika khusus adalah etika yang mempertanyakan prinsip-prinsip
dasar dengan hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup kehidupan . Sedangkan
etika social adalah etika yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai mahluk
sosial atau umat manusia

Etika individu adalah etika yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai
makhluk individu terhadap dirinya sendiri.

Ø Pengertian Politik
Pengertian politik berasal dari kata Politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari
sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau
decisionsmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.

Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public
policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada.
Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan (power), dan
kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul.

Ø Pengertian Nilai

Nilai di bagi menjadi tiga yaitu :

1. Nilai Dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak.

2. Nilai Instrumental yaitu pelaksanaan umum nilai-nilai dasar, yang biasanya dalam wujud norma
sosial atau norma hukum, yang selanjutnnya akan terkristalisasi oleh lembaga-lembaga yang sesuai
dengan kebutuhan tempat dan waktu.

3. Nilai Praktis yaitu nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.

Ø Pengertian Moral

Pengertian moral yaitu suatu ajaran baik atau buruk tentang perbuatan dan kelakuan. Di dalam
Pancasila sebagai nilai moral perorangan, moral bangsa, dan moral negara mempunyai pengertian :

1. Dasar negara repuplik Indonesia yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada dan
berlaku.

2. Pandangan hidup bangsa Indonesia yanng dapat mempersatukan serta memberi petunjuk dalam
mencapai kesejahteraan.

3. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia karena pancasila merupakan ciri khas bangsa Indonesia.

Ø Etika Politik dan Etika Pancasila

Etika dan politik terdapat hubungan yang pararel yaitu hubungan tersimpul pada tujuan yang sama-
sama ingin dicapai , tujuan yang ingin dicapai oleh etika dan politik adalah terbinanya warga negara yang
baik , yang susila , yang setia pada negara. Dari semua tujuan tersebut merupakan tanggung jawab dan
kewajiban moral dari setiap warga Negara sebagai modal pokok untuk membentuk suatu kehidupan
bernegara berpolitik yang baik dan rohani.

Pengertian politik dalam proses pemakainnya dewasa ini sudah terasa sangat jauh menyimpang
atau jauh lebih luas dari pengertian asalnya, konsekuensinya adalah timbul perasangka sikap sinis ,
sikap muka dua. Disamping timbulnya sikap pura-pura bidang politik ,atau orang yang berkecimpung
dalam bidang ini. Kaitannya dengan pancasila maka etika politik dengan rasa etik tidak lain adalah etika
Pancasila . Pancasila sebagai etika politik bagi bangsa dan negara Indonesia adalah etika yang dijiwai
oleh falsafah negara Pancasila. yaitu:

1. Etika yang berjiwa Ketuhanan yang Maha Esa

2. Etika yang berprikemanusiaan

3. Etika yang dijiwai oleh rasa kesatuan nasional

4. Etika yang berjiwa demokrasi

5. Etika yang berkeadilan sosial

Ø Nilai Etika dalam Pancasila

Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia melakukan semua tindakan sehari-hari yang menjadi
pegangan. Adapun nilai-nilai etika yang terkandung dalam pancasila tertuang dalam berbagai tatanan
sebagai berikut:

1. Tatanan bermasyarakat

2. Tatanan bernegara

3. Tatanan kerjasama antar negara atau tatanan luar negeri

4. Tatanan pemerintah daerah

5. Tatanan hidup beragama

6. Tatanan bela negara

7. Tatanan pendidikan

8. Tatanan berserikat

9. Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintah

10. Tatanan kesejahteraan sosial

Ø Etika dalam Kehidupan Kenegaraan dan Hukum


Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenail nilai dan moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya, manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari bantuan orang lain untuk itu
manusia perlu hidup berkelompok yang menampilkan insane berfikir dan sekaligus sebagai insane
usaha.

Memberikan analisis terhadap kenegaraan tidak lepas kaitannya dengan hukum. negara adalah status
hukum suatu illegal society hasil perjanjian bermasyarakat. Pada umunya kegiatan kenegaraan
kaitannya dengan hasil perjanjian bermasyarakat orang beranggapan bahwa kegiatan kenegaraan
meliputi

1. Bentuk hukum atau kewenangan legislatif

2. Menerapkan hukum atau kewenangan eksekutif

3. Menegakkan hukum atau kewenangan yudikatif

Oleh sebab itu analisis negara tidak dapat dipisahkan dari analisis tata hukum, dapat dikatakan bahwa
etika dalam kehidupan kenegaraan dan hukum tidak lepas dari analisis fungsi kenegaraan, system
pemerintah, hak dan kewajiban warga negara dan penduduk yang semua diatur dalam etika kenegaraan
dan tatanan hukum sebuah negara.

Ø Evaluasi Kritis Penerapan Etika dalam Kehidupan Kenegaraan

Terdapat etika dalam kaitannya dengan nilai dan norma yaitu etika deskriptif yaitu berusaha
meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh
manusia dalam hidupnya. Dalam etika ini membicarakan mengenai penghayatan nilai, tanpa menilai,
dalam suatu masyarakat tentang sikap orang dalam menghadapi hidup dan tentang kondisi-kondisi yang
mungkin manusia bertindak secara etis,

Etika normatif adalah etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal
yang seharusnya dimiliki oleh manusia dan tindakan apa yang seharusnya diambil. Dalam etika ini
terkandung norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia serta memberi penilaian dan himbauan
kepada manusia untuk bertindak sebagaimana yang ada dalam norma-norma. Sesuai dengan pola
pendekatan etika kritis dan rasionel, etika menuntun orang untuk mengambil sikap dalam hidup.
Dengan etika deskriptif, manusia disodori fakta sebagai dasar mengambil putusan tentang sikap dan
perilaku yang akan diambil, sedangkan etika normatif manusia diberi norma sebagai alat penilai atau
dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Ø Etika Kehidupan Bangsa

Bangsa Indonesia adalah pluralitas atau bermacam-macam seperti suku, budaya, ras, bahasa dan
sebagainya. Anugerah tersebut harus disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan tetap
dipertahankan, sejak terjadi krisis multidimensional muncul ancaman yang serius terhadap persatuan
bangsa yang disebabkan oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan demikian melalui ketetapan MPR/VI/MPR/2001 telah menetapkan tentang etika kehidupan
bangsa untuk diamalkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Tap tersebut disusun disusun dengan maksud
untuk membantu menyadarkan tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
berbangsa, sedang tujuannya adalah agar menjadi acuan dasar meningkatkan kualitas manusia yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta kepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa .
Pokok etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas ,
disiplin , etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta
martabat diri sebagai warga negara Indonesia. Macam-macam etika dalam berbangsa meliputi :

1. Etika sosial dan budaya

2. Etika politik dan pemerintahan

3. Etika ekonomi dan bisnis

4. Etika penegakan hukum yang berkeadilan

5. Etika keilmuan

6. Etika lingkungan
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Pancasila merupakan dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD
1945. Etika adalah ilmu yang mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Etika dibagi
menjadi tiga yaitu khusus, individual dan sosial. Nilai dibagi menjadi tiga yaitu :

Ø Nilai Dasar yaitu asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak.

Ø Nilai Instrumental yaitu pelaksanaan umum nilai-nilai dasar, yang biasanya dalam wujud norma sosial
atau norma hukum, yang selanjutnnya akan terkristalisasi oleh lembaga-lembaga yang sesuai dengan
kebutuhan tempat dan waktu.

Ø Nilai Praktis yaitu nilai yang seesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.

Pancasila sebagai nilai moral perorangan,moral bangsa,dan moral negara mempunyai pengertian
sebagai berikut :

Ø Dasar negara repuplik indonesia yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada dan
berlaku.

Ø Pandangan hidup bangsa indonesia yanng dapat mempersatukan serta memberi petunjuk dalam
mencapai kesejahteraan.

Ø Jiwa dan kepribadian bangsa indonesia karena pancasila merupakan ciri khas bangsa indonesia.

Memberikan analisis terhadap kenegaraan tidak lepas kaitannya dengan hukum. Negara adalah status
hukum suatu illegal society hasil perjanjian bermasyarakat. Pada umunya kegiatan kenegaraan
kaitannya dengan hasil perjanjian bermasyarakat. Bangsa Indonesia adalah pluralitas atau bermacam-
macam seperti suku, budaya, ras, bahasa dan sebagainya, untuk menjaga pluralitas maka di tetapkan
MPR/VI/MPR/2001 telah menetapkan tentang etika kehidupan bangsa untuk diamalkan oleh seluruh
bangsa Indonesia.

Saran

Kita sebagai warga negara yang baik harus mengerti bagaimana politik itu sendiri yang seharusnya
dilaksanakan sesuai dengan amanah Pancasila, tidak bertentangan dan bukan bagaimana pancasila
dipolitikkan oleh para penguasa negara khususnya negara Indonesia.
Daftar pustaka

file.upi.edu/...Pancasila.../PANCASILA_SEBAGAI_ETIKA.pdf.

goegito dkk.2010.pendidikan oancasila.UNNES:semarang

http://frismi.blogspot.com/
SBY Langgar Etika Politik di
Konvensi Demokrat
INILAH.COM, Jakarta - Ide menjaring calon presiden melalui konvensi yang diselenggarakan
Partai Demokrat dianggap menabrak dan melanggar etika. Ide tersebut dianggap tidak lepas
dari peranan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono.

"Ini menerobos sekat-sekat lain. Kita senang kalau calon independen tapi jangan kader partai lain.
Devide et impera. Itu melanggar etika politik. Yang dilanggar etika, berkonvensi tapi minus etika
politik," ujar Pengamat Politik dari LIPI, Siti Zuhro, Sabtu (31/8/2013).

Seperti diketahui, ada beberapa kader parpol lain yang diundang oleh komite konvensi untuk jadi
peserta konvensi Capres Demokrat. Beberapa nama itu adalah Ketua Majelis Pertimbangan
Nasional Partai NasDem Endriartono Sutarto, politikus Partai Golkar Jusuf Kalla, politikus PDI-P
Rustriningsih, dan kader PKB Mahfud MD.

Namun hanya Endriartono Sutarno yang akhirnya menerima untuk ikut konvensi Capres Partai
Demokrat. Keputusan Endriartono ini tidak begitu saja mulus, sebab buntut dari keputusan itu,
Endriartono dipecat dari Partai NasDem.

Menurut Siti, terlepas dari hal tersebut, pelaksanaan konvensi Partai Demokrat merupakan sebuah
terobosan baru untuk menjaring capres di era Demokrasi saat ini.

Ide yang pernah dilakukan Partai Golkar berhasil diadopsi Demokrat lebih baik.

"Kalau konvensi memang benar-benar kan bisa dari buttom up mulai dari tingkat desa misalnya
hingga ke pusat penjaringannya. Jadi harusnya berjenjang mulai dari bawah," ujar Siti Zuhro. [mvi]

http://nasional.inilah.com/read/detail/2024976/sby-langgar-etika-politik-di-konvensi-
demokrat#.UjQSLtK8BWQ

SBY Ajari 11 Kandidat Konvensi


soal Etika Politik
Juru Bicara Komite Konvensi Capres Partai Demokrat Rully Charis mengatakan, dalam pertemuan itu SBY
memberikan wejangan kepada 11 peserta konvensi soal etika berpolitik.

"SBY berpesan agar para kandidat dalam kampanye tidak suka menyerang lawan, tidak menggunakan
black campaign, tidak nganeh-anehi, tidak membawa sentimen agama, tidak memberi janji muluk-
muluk, tidak mengusung tema ideologi tertentu, siap dan menguasai masalah," ujar Rully, di Jakarta,
Rabu (11/9/2013).

SBY juga mengingatkan kepada 11 peserta konvensi Capres Demokrat untuk bisa mengkontrol saat
berbicara di dalam debat-debat terbuka.

"Mengusung isi kepentingan rakyat dan menggunakan strategi dan taktik yang tepat," tandasnya.

Dalam pertemuan ini hadir juga beberapa petinggi Partai Demokrat dan jajaran komite konvensi capres.
[mes]

http://nasional.inilah.com/read/detail/2028473/sby-ajari-11-kandidat-konvensi-soal-etika-
politik#.UjQSMNK8BWQ

Krisis Etika Politik

Posted July 27, 2010

Filed under: esai |

Indonesia berada dalam lumpur krisis etika politik (publik). Puncak gunung es krisis ini terlihat ketika
para pejabat publik lebih mementingkan kariernya ketimbang menunaikan kewajiban dan tanggung
jawabnya menyukseskan dan memuliakan jabatan yang diembannya. Kasus Andi Nurpati yang
meninggalkan KPU merupakan salah satu yang mencolok dari kecenderungan pengabaian etika politik
itu.

Setidaknya ada tiga prinsip etis yang harus dijunjung tinggi oleh setiap pejabat publik. Pertama,
menghormati institusi karena institusi lebih besar dari pribadinya. Kedua, pejabat publik harus
mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadinya. Ketiga, dalam menunaikan tugasnya,
pejabat publik harus bersifat imparsial.

Ketika bersedia –bahkan mendaftarkan diri– untuk jabatan-jabatan tertentu, mestinya mereka
menyadari bahwa kewajiban untuk menunaikan tugas itu hingga berakhirnya masa jabatan. Dengan
meninggalkan jabatan sebelum waktunya, timbul kesan bahwa jabatan baru jauh lebih diinginkan dan
lebih terpandang, yang secara tidak langsung merupakan pelecehan terhadap jabatan yang akan
ditinggalkannya. Mereka juga lupa, ketika terpilih menduduki jabatan yang akan ditinggalkannya itu,
mereka telah menutup kesempatan orang lain yang barangkali lebih bertanggung jawab.
Bagi Andi Nurpati, situasinya lebih buruk. Pertama, cara menampilkan dirinya yang secara simbolik
menunjukkan kesalehan formal ternyata tidak memenuhi ekspektasi publik dalam esensi kesalehan
etiknya. Kedua, menjadi aktivis partai pada umumnya merupakan stasiun perlintasan untuk menduduki
jabatan publik. Akan halnya Andi Nurpati, jabatan publik justru jadi perlintasan untuk menjadi aktivis
partai. Bukan saja hal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap institusi KPU, melainkan juga
menimbulkan tanda tanya ihwal kenetralan dan imparsialitasnya selaku komisioner KPU selama ini.

Krisis etika politik itu juga tidak hanya terjadi pada agen-agen masyarakat politik, melainkan juga
melanda agen-agen masyarakat sipil. Bagaimana media, khususnya televisi, menayangkan kasus video
porno Ariel Peterpan secara vulgar dan over-exposure merupakan puncak gunung es krisis etika dalam
kehidupan masyarakat sipil.

Contoh lain yang bisa diajukan adalah ketidakmampuan masyarakat sipil untuk tidak hanyut dalam
politik uang. Masyarakat sipil dibangun atas dasar keikhlasan-kesukare laan (voluntarism). Karena itu,
kecenderungan melibatkan kuasa uang dalam pemilihan pimpinan ormas-ormas sosial-keagamaan
merupakan bentuk pembunuhan terhadap watak dasar masyarakat sipil, yang membuatnya kehilangan
kewibawaan eksistensial.

Dengan demikian, tampak jelas bahwa krisis etika politik itu meliputi dan melibatkan republik secara
keseluruhan. Istilah republik, “res publica” (urusan publik), sendiri meliputi seluruh institusi, komunitas,
dan wacana yang membentuk tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luas ketimbang ranah
pemerintah. Hollenbach berargumen, jika yang dimaksud dengan ranah politik itu meliputi keseluruhan
aktivitas manusia dalam kehidupan publik, maka hal itu jauh lebih luas ketimbang sebatas institusi
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dengan demikian, institusi civil society –media, komunitas agama, dan lain-lain– memiliki peran publik
yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dan kehidupan republik melalui pengaruhnya terhadap
berbagai komunitas, wacana, serta pada pemahaman budaya warga negara.

Karena itu, usaha mengatasi krisis etika politik itu harus mengerahkan koreksi total atas karakter
suprastruktur dan infrastruktur kehidupan publik. Pada tingkat suprastruktur, perlu diperkuat
pemahaman pejabat publik mengenai “deontologi” , yakni prinsip-prinsip kewajiban dan tanggung
jawab pejabat publik. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945 (Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab) mewajibkan pemerintah dan lain-lain
penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.

Etika politik dapat membantu usaha aparatur negara untuk membumikan falsafah dan ideologi negara
yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Etika politik mempersoalkan tanggung jawab manusia
sebagai manusia serta manusia sebagai warga negara –terhadap negara, hukum yang berlaku, dan
tatanan publik lainnya.

Dengan demikian, pendidikan moral seperti yang diajarkan oleh agama tidak cukup mengajarkan
kesalehan personal. Perhatian perlu diluaskan ke arah kesalehan sosial (publik). Moral publik bukanlah
penjumlahan jutaan moral perseorangan, melainkankan dibangun melalui pemupukan “modal moral”
secara kolektif, dengan menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme
politik yang bisa mempengaruhi perilaku masyarakat.

https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/07/27/krisis-etika-politik/

Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

« back to articles

Dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang
sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam melaksana konsep tujuan
pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan
politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya
pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap
kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum
dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep
dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik
hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.

Adapun “Etika Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”. Bicara tentang
“etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu: pertama, etika dan moral Individual yang lebih
menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara
khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai
perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi
yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku
manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat
manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Ketiga, etika Lingkungan Hidup
yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai
kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas.

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari
“keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa
dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti
ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah
murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia
menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’ (pemisahan kekuasaan) bukan
‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang
peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri
ini.

Kenyataan ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan hukum di
Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang memahami dan menghormati “etika
politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang selalu cenderung melanggar hukum dan
aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan
moral politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik demokrasi
dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena distrust dan
disintegrasibangsa yang pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001,
MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana
lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan
beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak terjadinya krisis
multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya
kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang
berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya
kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Jadi etika politik pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya proses penegakan hukum
di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat
dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya penegakan hukum di negeri tercinta Indonesia.
Maka sebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau tidak mau kita semua harus segera
membangun moral bangsa ini, beri rakyat contoh dan suri teladan yang baik dari para Penguasa, para
Politikus, para Tokoh masyarakat dan Agama, bangun system pendidikan dengan mengedepankan
pendidikan akhlak dan kepribadian jadi hal yang juga turut menentukan lulus tidaknya para Siswa dan
Mahasiswa, tanpa budaya etika dan moral yang dimiliki generasi penerus pada gilirannya Indonesia pasti
akan hancur sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat, bahkan rakyat akan merasakan nasibnya
akan jauh lebih buruk daripada saat-saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda dahul

http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Etika-dan-Moral-Politik-vs-Penegakan-Hukum

ETIKA POLITIK

BAB I

PENDAHULUAN

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan
sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan
lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis,
mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikira ini merupakan
suatu nilai, Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang
merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yan bersifat
mendasar.

Nilai-nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu
pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia
yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang ke dua adalah norma hukum yaitu
suatu sistem perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita-cita
moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk
negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis).

Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan
merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral
maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika,
moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

BAB II
PENGERTIAN

1. Pengertian

a. Etika

Etika merupakan suatu pemikiran kritis yang mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral terentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika termasuk kelompok filsafat
praktis dan dibagi menjadi etika khusus yaitu etika yang membahas prinsip dalam berbagai aspek
kehidupan manusia sedangkan etika umum yaitu mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia (Suseno, 1987).

Menurut Kattsoff, 1986 etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran
dalam hubungan dengan tingkah laku manusia, dan juga berkaitan dengan dasar filosofis dalam
hubungan dengan tingkah laku manusia.

b. Nilai

Nilai atau “Value” termasuk kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah
satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiologi, theory of Value). Filsafat sering juga diartikan sebagai
ilmu tyentang nilai-nilai. Istilah ini di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak
yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau kebaikan (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu
tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian, (Frankena, 229).

Dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences Dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang
dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yan
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. (The believed copacity of any abject to statisfy a
human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kwalitas yang melekat pada suatu obyek,
bukan obyek itu sendiri.

c. Politik

Pengertian politik berasal dari kosa kata ‘Politics’ yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan
dalam suatu sistem politik atau negara. Yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan daari sistem
itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau Decisionmaking
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa
alternatif dan penyusunan skala perioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih.

Untuk melaksanakan tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public
policies. Yang menyangkut pengaturan dan pemabgian atau distributions dari suber-sumber yang ada.
Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suatu kekuasaan (Power) dan
kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat Persuasi, dan jika
perlu dilakukan pemaksaan (Coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan
perumusan keinginan belaka (Statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi
seseorang (privat goals). Selain itu politik kegiatan berbagai kelompok termasuk paratai politik, lembaga
masyarakat maupu perseorangan. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka
secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara
(state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian
(allocation). (Budiardjo, 1981: 8,9)

d. Etika Politik

Secara subtantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subyek sebagai pelaku etika
yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subyek
etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainya, karena yang
dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubunganya dengan
masyarakat bangsa maupun negara, Etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai
manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada
hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa
masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang kearah keadaan yang tidak baik dalam arti
moral.Aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat
manusia sebagai manusia, (Lihat suseno, 1987: 15)

Sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti :

1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan negra (John Locke)

2. Kebebasan berfikir dan beragama (Locke)

3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesque)

4. Kedaulatan rakyat (Roesseau)

5. Negara hukum demokratis/repulikan (Kant)

6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

7. Keadilan sosial

2. Prinsip-prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer

a. Pluralisme
 Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan
positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup,
agama, budaya dan adat.

 Mengimplikasikan pengakuan terhadap kebabasan beragama, berfikir, mencari informasi dan


toleransi

 Memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan kelompok orang

 Terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang
yang boleh didiskriminasikan karna keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan
kematangan karakter klektif bangsa

b. HAM

 Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti kemanusiaan yang adil dan beradab, karena hak asasi
manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakuakan agar sesuai
dengan martabatnya sebagai manusia

 Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dimana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi
dan sebaliknya diancam oleh Negara modern

 Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, meliankan karena
ia manusia, jadi dari tangan pencipta

 Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras

c. Solidaritas Bangsa

 Solidaritasd mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri melaikan juga demi orang
lain

 Solidaritas dilanggar kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung
jawab, sikap obyektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup

d. Demokrasi

 Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tidak ada manusia atau sebuah elit, untuk
menentukan dan memaksakan bagaimana orang lain harus atau boleh hidup

 Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang
memimpin mereka dan kemana tujuan mereka dipimpin

 Demokrasi adalah kedaulatan rakyat dan keterwakilan. Jadi demokrasi memerlukan sebuah sistem
penerjemah kehendak rakyat kedalam tindakan politik

Dasar-dasar demokrasi
 Kekuasaan dijalankan atas dasar ketaatan terhadap hukum

 Pengakuan dan jaminan terhadap HAM.

e. Keadilan Sosial

 Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat,

 Keadilan sosial mencegah dari perpecahan

 Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideolodis, sebagai pelaksana ide-ide, agama-
agama tertentu. Keadilan adalah yang terlaksana

 Keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidak adilan dalam masyarakat

3. Dimensi Politik Manusia

a. Manusia Sebagai Makhluk Individu-Sosial

Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia, dari kacamata yang
berbeda-beda. Paham individualismeyang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandang
manusia sebagai makhluk individu yang bebas, Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat,
bangsa, maupun negara dasar ontologis ini merupakan dasar moral politik negara. Segala hak dan
kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan da tujuan berdasarkan
paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan
cikal bakal sosialisme dan komunisme mamandang siafat manusia sebagi manusia sosial sauja. Individu
menurut paham kolekvitisme dipandang sekedar sebagai sarana bagi amasyarakat. Oleh karena itu
konsekuensinya segala aspek dalam realisasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara paham
kolektivisme mendasarkan kepada sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Segala hak dan
kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa
diukur berdasarkan filsofi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
kebebasan sebagi invidu dan segala aktivitas dan kreatifitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada
orang lain, hal ini dikarenakan manusia sebagai masyarakat atau makhluk sosial. Kesosialanya tidak
hanya merupakan tambahan dari luar terhadap individualitasnya, melainkan secara kodrati manusia
ditakdirkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa tergantung pada orang lain. Manusia didalam
hidupnya mampu bereksistensi kare orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam
hubunganya dengan orang lain.

Dasar filosofi sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa,
senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah monodualis yaitu sbagai makhlukindividu
dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia
bukanlah totalis individualistis. Secara moralitas negara bukanlah hanya demi tujuan kepentingan dan
kkesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar ini merupakan basis moralitas bagi
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan
serta arah dari tujuan negara indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar
tersebut.

b. Dimensi Politis Kehidupan Manusia

Dimensin politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga
senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dimensi ini memiliki dua segi
fundamental yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat
diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan
tindakan moral manusia, sehingga mausia mengerti dan memahami akan suatu kejadian atau akibat
yang ditimbulkan karena tindakanya, akan tetapi hal ini dapat dihindarkan karena kesadaran moral akan
tanggung jawabnya terhadap manusia lain dan masyarakat. Apabila pada tindakan moralitas kehidupan
manusia tidak dapat dipenuhi oleh manusia dalam menghadapai hak orang lain dalam masyarakat, maka
harus dilakukan suatu pembatasan secara normatif. Lembaga penata normatif masyarakat adalah
hukum. Dalam suatu kehidupan masyarakat hukumlah yang memberitahukan kepada semua anggota
masyarakat bagaimana mereka harus bertindak. Hukum hanya bersifat normatif dan tidak secara efektif
dan otomatis menjamin agar setiap anggota masyarakat taat kepada norma-normanya. Oleh karena itu
yang secara efektif dapat menentukan kekuasaan masyarakat hanyalah yang mempunyai kekuasaan
untuk memaksakan kehendaknya, dan lemabaga itu adalah negara. Penataan efektif adalah penataan de
facto, yaitu penatan yang berdasarkan kenyataan menentukan kelakuan masyarakat. Namun perlu
dipahami bahwa negara yang memiliki kekuasaan itu adalah sebagai perwujudan sifat kodrat manusia
sebagai individu dan makhluk sosial. Jadi lemabaga negara yang memiliki kekuasaan adalah lembaga
negara sebagai kehendak untuk hidup bersama (lihat Suseno :1987 :21)

4. Nilai-nilai pancasila Sebagai Sumber Etika Politik

Sebagi dasar filsafah negara pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-
undangan, malainkan juga merupakan sumber moraliatas terutama dalam hubunganya dengan
legitimasi kekuasaan, hukum serta sebagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” serta sila ke dua “kemanusiaan yang adoil dan beradab”
adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara
dijlankan sesuai dengan Asas legalitas (Legitimasi hukum) , secara demokrasi (legitimasi demokrasi) dan
dilaksanakan berdasrkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). (Suseno, 1987 :115). Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara baik
menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenagan harus
berdasarkan legitimimasi moral religius serta moral kemanusiaan. Dalam pelaksanaan dan
penyelenggaran negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan atas hukum yang berlaku.

Etika politik ini harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam
pelaksanaan pemerintahan negara,
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Etika politik termasuk lingkup etika sosial yang berkaiatan dengan bidang kehidupan politik, politik juga
memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik negara dan menyangkut proses
penentuaan tujuan dari sebuah sitem yang diikuti oleh pelaksananya, yang menyangkut kepentingan
masyarakat (publikols) dan bukan tujuan pribadi.

Dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik harus dipahami dalam pengertian yang lebih
luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk sesuatu persekutuan hidup yang disebut
masyarakat negara. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia menentukan tindakan yang harus
dilakukan dan yang tidak dilakukan dengan cara mengambil sikap terhadap alam dan dan masyarakat
sekelilingnya untuk penyesuaian diri.

Sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan indonesia bukanlah totalitas individualistis ataupun
sosialistis melainkan monodualistis sehingga segala keputusan kebijaksanaan serta arah dari tujuan
harus dapat dikembalikan secara moral tertentu.

2. Saran

Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan bermasyarakat dalam
berbagai segi terwujud dengan adanya kesianambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan
yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut
dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.

DAFTAR PUSTAKA

Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yokyakarta, Paradigma

Thamiend Nico, Tata Negara, Ghalia Indonesia, Yudhistira

Suseno Franz Magnis, Titik Temu Etika Politik, 04 Mei 2008


Makalah Etika Politik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pengamalan atau praktek Pancasila dalam berbagai kehidupan dewasa ini memang sudah sangat sulit
untuk ditemukan. Tidak terkecuali dikalangan intelektual dan kaum elit politik bangsa Indonesia tercinta
ini. Aspek kehidupan berpolitik, ekonomi, dan hukum serta hankam merupakan ranah kerjanya Pancasila
di dunia Indonesia yang sudah menjadi dasar Negara dan membawa Negara ini merdeka hingga. Secara
hukum Indonesia memang sudah merdeka selama itu, namun jika kita telaah secara individu (minoritas)
hal itu belum terbukti. Masih banyak penyimpangan yang dilakukan para elit politik dalam berbagai
pengambilan keputusan yang seharusnya menjungjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan Keadilan bagi
seluruh warga Negara Indonesia. Keadilan yang seharusnya mengacu pada Pancasila dan UUD 1945 yang
mencita-citakan rakyat yang adil dan makmur sebagaimana mana termuat dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 1 dan 2 hilanglah sudah ditelan kepentingan politik pribadi.

Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan
suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan
sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara
langsung menyajikan noram-norma yang merupaka pedoman dalam tindakan atau suatu aspek praksis
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.

Sebagai suatu nilai, Pancasila merupakan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi
manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangasa dan bernegara. Adapun manakala nilai-nilai
tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam
masyarakat bangsa, maupun negara mkaa nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-
norma yang jelas sehingga merupakan suatu norma pedoman.

1.2.Rumusan Masalah

Pengertian Pancasila

Pengertian Etika

Pengertian Politik

Pengertian Nilai

Pengertian Moral

Pengertian Norma

Etika Politik

Legitimasi Kekuasaan

Legitimasi Moral dalam Kekuasaan

Makna Nilai-Nilai Pancasila Dalam Etika Berpolitik

Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

1.3.Tujuan

Problematika yang sering muncul di Negara ini sangat sarat denganpenyimpangan norma-norma dan
nilai-nilai Pancasila. Penindasan, korupsi dan kriminalitas lainnya muncul diberbagai hirarkisme warga,
mulai dari masyarakat biasa hingga para penguasa dan elit politik Indonesia. Sebagian orang
berpendapat bahwa keadilan hanya milik orang berkuasa, orang “berduit” dan bahkan keadilan bisa
dibeli, yang kemudian muncul istilah “mafia hukum”.

Hal ini sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang notabennya Negara hukum yang paling tertib
didunia. Keresahan warga muncul disemua genre, yang mana ini mencerminkan kekrisisan realisasi
Pancasila sebagai etika politik bangsa dan minimnya penegakan keadilan dan hukum Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Pancasila

Pancasila adalah dasar falsafah Negara Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia harus mempelajari, mendalami, menghayati, dan
mengamalkannya dalam segala bidang kehidupan.

2.2.Pengertian Etika

Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika
khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-aaran dan pandangan-
pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang menbahasa tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral terntentu atau bagaimana kita haru mengambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum mempertanyakan prinsip-
prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu
dalam hubungannya dengan pelbagai kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi
etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika sosial merupakan
keawajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian
terbesar dari etika khusus.

2.3.Pengertian Politik

Pengertian politik berasal dari kata Politics yang memmiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam
suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari
sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan atau
decisionsmaking mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.

Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public
policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada.
Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan (power), dan
kewenangan (authority) yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika
perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya
merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud.

Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi
seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai
pplitik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.

2.4.Pengertian Nilai

Terbagi atas 3 :

Nilai dasar yaitu Asas-asas yang kita terima sebagai dalil yang kurang lebih mutlak.

Nilai Instrumental yaitu Pelaksanaan umum nilai-nilai dasar ,yang biasanya dalam wujudd norma sosial
atau norma hukum ,yang selanjutnnya akan terkristalisasi oleh lembaga-lembaga yang sesuai dengan
kebutuhan temapat dan waktu.

Nilai Praktis yaitu nilai yang seesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan.

Nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

Nilai ideal

Nilai material

Nilai spiritual

Nilai pragmatis

Nilai positif

Nilai logis

Nilai etis

Nilai estetis

Nilai sosial

Nilai religius

2.5.Pengertian Moral
Yaitu ajaran baik atau buruk tentang perbuatan dan kelakuan.Pancasila sebagai nilai moral
perorangan,moral bangsa,dan moral negara mempunyai pengertian :

Dasar negara repuplik indonesia yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang ada dan
berlaku.

Pandangan hidup bangsa indonesia yanng dapatt mempersatukan srta memberi petunjuk dalam
mencapai kesejahteraan.

Jiwa dan kepribadian bangsa indonesia karena pancasila merupakan ciri khas bangsa indonesia.

2.6.Pengertian Norma

Pancasila sebagai sumber hukum

Pancasila sebagai nilai pertahanan

2.7.Etika Politik

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang
langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan
kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga,
etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk setika politik yang berkenaan dengan dimensi
politis kehidupan manusia.

Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betulsalahnya tindakan manusia
sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban
manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang
berlaku dan lain sebagainya.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan
emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak
langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah
idiologis dapat dijalankan secara obyektif.

Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga
penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif
sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik
membahas hokum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral
bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan
ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan
keadaan sosial.

2.8.Legitimasi Kekuasaan

Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan. Sehingga penguasa memiliki
kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggung jawaban. Kewibawaan penguasa yang
paling meyakinkan adalah keselarasan social, yakni tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala
bentuk kritik, ketidakpuasan, tantangan, perlawanan, dan kekacauan menandakan bahwa masyarakat
resah. Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tentram dan sejahtera.
Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.

2.9.Legitimasi Moral dalam Kekuasaan

Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi normanorma moral. Legitimasi ini
muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan Negara baik legislatif maupun eksekutif dapat
dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan
kekuasaan kepamakaian kebijakan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan tuntutantuntutan
kemanusiaan yang adil dan beradab. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang
diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat yang religius, maka
ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik atau tidak tidak lepas dari moral agama yang dianut
oleh masyarakatnya.

2.10.Makna Nilai-Nilai Pancasila Dalam Etika Berpolitik

Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan Negara yang merupakan satu kesatuan nilai yang tidak
dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silasilanya. Karena jika dilihat satu persatu dari masing-
masing sila itu dapat saja ditemukan dalam kehidupan berbangsa yang lainnya. Namun, makna Pancasila
terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu kesatuan yang tak bias ditukarbalikan letak
dan susunannya. Untuk memahami dan mendalami nilai nilai Pancasila dalam etika berpolitik itu semua
terkandung dalam kelima sila Pancasila.
Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, sang pencipta seluruh alam. YangMaha Esa berarti Maha Tunggal,
tidak ada sekutu dalam zat-Nya, sifat- Nya dan perbuatan-Nya. Atas keyakinan demikianlah, maka
Negara Indonesia berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Negara memberikan jaminan sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaannya untuk beribadat dan beragama. Bagi semua warga tanpa kecuali
tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan. Hal ini
diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2.

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk yang berbudaya dan memiliki potensi pikir, rasa,
karsa, dan cipta. Dengan akal nuraninya manusia menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Adil berarti
wajar, yaitu sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab kata pokoknya adalah
adab, sinonim dengan sopan, berbudi luhur dan susila. Beradab artinya berbudi luhur, berkesopanan,
dan bersusila. Hakikatnya terkandung dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan …”. Selanjutnya
dijabarkan dalam batang tubuh UUD 1945.

Persatuan Indonesia

Persatuan berasal dari kata satu, artinya utuh tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung pengertian
bersatunya bermacam-macam corak yang berabeka ragam menjadi satu kebulatan. Sila Persatuan
Indonesia ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi, social budaya, dan hankam. Hal
ini sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang berbunyi, “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia …”. Selanjutnya lihat batang tubuh UUD 1945.

Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam

permusyarawatan/Perwakilan Kata rakyat yang menjadi dasar Kerakyatan, yaitu sekelompok manusia
yang berdiam dalam satu wilayah tertentu. Sila ini bermaksud bahwa Indonesia menganut system
demokrasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi
berada ditangan rakyat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan berarti bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya ikut
dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea
keempat, yaitu, “… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat
…”. Selanjutnya lihat dalam pokok pasal-pasal UUD 1945.

Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Keadilan social berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat disegala bidang kehidupan, baik materiil
maupun spiritual. Seluruh rakyat berarti semua warga Negara Indonesia baik yang tinggal didalam negeri
maupun yang di luar negeri. Hakikat keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia dinyatakan dalam
alinea kedua Pembukaan UUD 1945, yaitu “Dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia …
Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya dijabarkan dalam
pasalpasal UUD 1945. Pola pikir untuk membangun kehidupan berpolitik yang murni dan jernih mutlak
dilakukan sesuai dengan kelima sila yang telah dijabarkan diatas. Yang mana dalam berpolitik harus
bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyarawatan/Perwakilan dan dengan
penuh keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia tampa pandang bulu. Nilai-nilai Pancasila tersebut
mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur pemerintahan, agar tidak
menyebabkan berbaghai penyimpangan seperti yang sering terjadi dewasa ini. Seperti tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme, penyuapan, pembunuhan, terorisme, dan penyalahgunaan narkotika
sampai perselingkuhan dikalangan elit politik yang menjadi momok masyarakat.

2.11.Etika Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Sesuai Tap MPR No. VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian dari etika kehiddupan berbangsa adalah
rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal dan nilai-nilai budaya bangsa yang
terjamin dalam pancasila sebagai acuan dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

BAB.III

PENUTUP

3.1.KESIMPULAN

Kita harus mengerti bagaimana politik itu sendiri yang seharusnya dilaksanakan sesuai dengan amanah
pancasila, tudak bertentangan dan bukan bagaimana pancasila dipolitikkan oleh para penguasa negara
khususnya negara Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
file.upi.edu/...Pancasila.../PANCASILA_SEBAGAI_ETIKA.pdf.

Setia,elly m.2005.Panduan Kuliah Pendidikan Pancasila.PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA;Jakarta.

Hatta mohammad.1984.Uraian Pancasila.Mutiara;Jakarta.

Budiardjo.1981.Dasar-dasar Ilmi Politik.Gramedia;Jakarta.

Jurnal Nasional - Selasa, 9 Oct 2012 Halaman 7

Elit Politik Harus Utamakan Etika


Jakarta | Selasa, 9 Oct 2012
Rihad Wiranto

PENGAMAT Politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi meminta
elit partai politik memiliki komitmen untuk mengutamakan etika politik dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Para elit politik juga harus komitmen dalam memegang teguh prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sistem presidensial, dan fokus menyelesaikan masalah-
masalah yang menghambat kemajuan bangsa.

"Para elit harus fokus pada praktek-praktek yang menjadi hambatan pemerintahan dan
pembangunan," kata J Kristiadi pada Seminar yang diselenggarakan oleh Peserta Program
Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVIII Lemhannas RI tahun 2012, di Kantor Lemhannas RI,
Jakarta, Senin (8/10).

Kristiadi menilai pertarungan kepentingan para elit politik saat ini sudah tidak sehat lagi. Para elit
parpol hanya terjebak pada upaya membangun struktur kekuasaan masing-masing parpol. "Padahal
yang penting sebenarnya bagaimana mencapai kesejahteraan. Itu harus diperjelas," kata Kristiadi.

Kristiadi meminta kader parpol di parlemen melakukan sinkronisasi berbagai regulasi, misalnya
bagaimana Undang-Undang sektoral mengacu kepada UU Otonomi Daerah. Regulasi-regulasi yang
berkaitan dengan pembangunan harus disinkronkan.

Ia mempertanyakan adanya dua legitimasi dalam pembangunan di daerah, misalnya satu cukup
dengan legitimasi peraturan kepala pemerintahan daerah, dan satu lagi cukup melalui peraturan
daerah. "Mana yang digunakan," katanya.

Terkait pemekaran daerah, Kristiadi mengusulkan elit politik agar tidak hanya membahas
pemekaran tapi juga penggabungan kembali daerah. Oleh karena itu, revisi UU kedepan harus juga
dipikirkan bagaimana daerah bisa digabungkan kembali.

"Yang penting adalah harus ada disinsentif dan insentif apa suatu daerah itu bisa mekar atau tidak
mekar. Itu perlu sekali. Kenapa? Kalau sekarang ini cuma mekar-mekar melulu sebagai suatu
proses pertarungan kepentingan untuk membangun struktur kekuasaan masing-masing parpol agar
lebih besar. Itu tidak ada hubungannya dengan kemakmuran masyarakat seperti sekarang ini," kata
Kristiadi.

Dalam kajian peserta Lemhannas Angkatan XVIII tahun 2012 yang disampaikan Letjen TNI Munir
dan Profesor Diah Natalisa, mengatakan, dominasi infrastruktur politik dalam penyelenggaraan
politik nasional tampaknya tidak diimbangi dengan etika politik yang berlandaskan pada paradigma
nasional, sehingga dalam pelaksanaannya kurang mengarah pada implementasi geopolitik dan
geostrategik nasional yang diharapkan.

Kajian peserta Lemhannas menyebutkan ada banyak faktor yang menjadi penyebab, antara lain
antara lain adanya format politik multipartai yang menyebabkan terjadinya fragmentasi kekuatan
dukungan politik terhadap pemerintah.

"Kerasnya persaingan antar partai politik yang tidak didukung dengan edukasi politik dan budaya
politik yang beretika dan bermoral, sehingga menjadi faktor penyebab kurang harmonisnya
hubungan antara elit politik yang sedang berkuasa di pemerintah dan pemerintahan daerah."

Pada bagian lain, Lemhannas menilai rasa nasionalisme menjadi memudar, sementara ego sektoral
kepartaian cenderung menguat dari waktu ke waktu yang berimplikasi pada semakin sulitnya dalam
menyamakan dan menyatukan visi dan misi kebangsaan yang dapat merapuhkan ketahanan
nasional serta melemahkan kohesi keutuhan NKRI. Friderich Batari
close

Pengertian Etika, Moral dan Etiket


Posted on 17 November 2008 by Pakde sofa
Pengertian Etika, Moral dan Etiket
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat
kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang oleh Aristoteles dipakai
untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Biasanya bila kita mengalami kesulitan untuk memahami arti sebuah kata maka kita akan mencari arti kata
tersebut dalam kamus. Tetapi ternyata tidak semua kamus mencantumkan arti dari sebuah kata secara
lengkap. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan yang dilakukan oleh K. Bertens terhadap arti kata
‘etika’ yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama dengan Kamus Bahasa Indonesia yang
baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip dari
Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”.
Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Dari perbadingan kedua kamus tersebut terlihat bahwa dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama hanya
terdapat satu arti saja yaitu etika sebagai ilmu. Sedangkan Kamus Bahasa Indonesia yang baru memuat
beberapa arti. Kalau kita misalnya sedang membaca sebuah kalimat di berita surat kabar “Dalam dunia
bisnis etika merosot terus” maka kata ‘etika’ di sini bila dikaitkan dengan arti yang terdapat dalam Kamus
Bahasa Indonesia yang lama tersebut tidak cocok karena maksud dari kata ‘etika’ dalam kalimat tersebut
bukan etika sebagai ilmu melainkan ‘nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat’. Jadi arti kata ‘etika’ dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama tidak lengkap.
K. Bertens berpendapat bahwa arti kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut dapat lebih
dipertajam dan susunan atau urutannya lebih baik dibalik, karena arti kata ke-3 lebih mendasar daripada arti
kata ke-1. Sehingga arti dan susunannya menjadi seperti berikut :
1. nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.
Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika agama Budha, etika Protestan dan
sebagainya, maka yang dimaksudkan etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem
nilai. Sistem nilai ini bisaberfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial.
2. kumpulan asas atau nilai moral.
Yang dimaksud di sini adalah kode etik. Contoh : Kode Etik Jurnalistik
3. ilmu tentang yang baik atau buruk.
Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang
dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat dan sering kali tanpa disadari
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan
filsafat moral.
PENGERTIAN MORAL
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya
yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita
membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’
karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti
kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan
yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu ‘etika’ dari bahasa Yunani dan ‘moral’ dari bahasa Latin.
Jadi bila kita mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap
perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam masyarakat. Atau bila
kita mengatakan bahwa pemerkosa itu bermoral bejat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan
norma-norma yang tidak baik.
‘Moralitas’ (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya
ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang “moralitas suatu perbuatan”, artinya segi moral suatu perbuatan
atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk.
Pengertian Etiket
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diberikan beberapa arti dari kata “etiket”, yaitu :
1. Etiket (Belanda) secarik kertas yang ditempelkan pada kemasan barang-barang (dagang) yang bertuliskan
nama, isi, dan sebagainya tentang barang itu.
2. Etiket (Perancis) adat sopan santun atau tata krama yang perlu selalu diperhatikan dalam pergaulan agar
hubungan selalu baik.
Perbedaan Etiket dengan Etika
K. Bertens dalam bukunya yang berjudul “Etika” (2000) memberikan 4 (empat) macam perbedaan etiket
dengan etika, yaitu :
1. Etiket menyangkut cara (tata acara) suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Misal : Ketika saya
menyerahkan sesuatu kepada orang lain, saya harus menyerahkannya dengan menggunakan tangan kanan.
Jika saya menyerahkannya dengan tangan kiri, maka saya dianggap melanggar etiket.
Etika menyangkut cara dilakukannya suatu perbuatan sekaligus memberi norma dari perbuatan itu sendiri.
Misal : Dilarang mengambil barang milik orang lain tanpa izin karena mengambil barang milik orang lain
tanpa izin sama artinya dengan mencuri. “Jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. Di sini tidak
dipersoalkan apakah pencuri tersebut mencuri dengan tangan kanan atau tangan kiri.
2. Etiket hanya berlaku dalam situasi dimana kita tidak seorang diri (ada orang lain di sekitar kita). Bila tidak
ada orang lain di sekitar kita atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misal : Saya sedang makan
bersama bersama teman sambil meletakkan kaki saya di atas meja makan, maka saya dianggap melanggat
etiket. Tetapi kalau saya sedang makan sendirian (tidak ada orang lain), maka saya tidak melanggar etiket
jika saya makan dengan cara demikian.
Etika selalu berlaku, baik kita sedang sendiri atau bersama orang lain. Misal: Larangan mencuri selalu
berlaku, baik sedang sendiri atau ada orang lain. Atau barang yang dipinjam selalu harus dikembalikan
meskipun si empunya barang sudah lupa.
3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam satu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam
kebudayaan lain. Misal : makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan.
Etika bersifat absolut. “Jangan mencuri”, “Jangan membunuh” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak
bisa ditawar-tawar.
4.. Etiket memandang manusia dari segi lahiriah saja. Orang yang berpegang pada etiket bisa juga bersifat
munafik. Misal : Bisa saja orang tampi sebagai “manusia berbulu ayam”, dari luar sangan sopan dan halus,
tapi di dalam penuh kebusukan.
Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin bersifat munafik, sebab orang
yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik.
Perkembangan Etika Di Indonesia

Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-
nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Menurut para ahli etika tidak lain
adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang
benar dan mana yang buruk.

Para ahli merumuskan etika seperti berikut ini  :

 Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran
dan nilai yang baik.
 Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia
dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
 Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral
yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi
bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia
untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita
untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama
bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat
dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Setiap kebudayaan masing-masing mempunyai konsep etika. Penganut suatu kebudayaan memang menyetujui
konsep etika di tempat ia tinggal. Akan tetapi, konsep etika yang lahir di luar diri setiap individu akan mudah
dilanggar. Etika dasar mengajarkan tentang moralitas, moralitas adalah perkara baik-buruk. Tidak sesederhana itu,
etika titik tekannya bukan sekedar persoalan baik-buruk, benar salah, tetapi, lebih bersifat membangun
kesadaran. Pada dasarnya kita sebagai manusia, tidak tahu pasti apa yang dinamakan baik-buruk tersebut. Bisa
jadi apa yang kita anggap selama ini sebagai suatu kebaikan atau suatu keburukan hanyalah sebuah persetujuan
universal. Tanpa kita ketahui apa yang menjadi jaminan kebenaran tersebut. Kesadaran dalam memilih suatu
keputusan tindakan lebih penting. Etika, mengantarkan manusia untuk memilih suatu tindakan keputusan tindakan
dengan rasional dan penuh kesadaran, hingga ia mampu mempertanggungjawabkan segala konsekuensi dari
keputusan tindakannya.

Bagaimana penerapan etika di Indonesia? Orang-orang Indonesia sudah mempunyai dasar moral yang lembut, bila
dilihat dari konsep ajaran. Perealisasiannya, masih banyak yang bagaikan manusia bar-bar. Bahkan tak jarang
orang Indonesia berbuat suatu tindakan yang buruk dan berapologi bahwa ia melakukannya tidak sadar. Dalam
bidang kehidupan yang lebih besar, masih banyak orang Indonesia yang bertindak tanpa kesadaran akan
konsekuensi. Bidang politik misalnya, banyak pejabat politik yang hanya mengkultus tahta dan kekuasaan tanpa
sadar tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah rakyat. Hingga akhirnya politik di Indonesia hanya menjadi
politik transaksional. Begitu pun dalam bidang hukum dan HAM, banyak orang Indonesia yang lebih mementingkan
legalitas formal sebagai ukuran suatu kebenaran. Bila syarat-syarat legalitas formal sudah terpenuhi, seorang
terdakwa suatu kasusu hukum akan dinyatakan tak bersalah sekalipun sebenarnya ia bersalah. Penyodoran syarat-
syarat legalitas tersebut tanpa disertai kesadaran dan kepekaan hati nurani.
 

Sudah terlalu lama Indonesia terjerembab dalam pengaruh luaran yang sebagian besar tidak cocok bagi pribadi
bangsa Indonesia. Pribadi bangsa Indonesia yang dahulu terbentuk berdasarkan ajaran budaya yang luhur
mempunyai ajaran kebaikan yang luhur pula. Selayaknya ditambatkan pula di dalam setiap pribadi konsep etika
dasar. Konsep etika semestinya diterapkan sejak dini dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia. Hingga
akhirnya kita sadar konsekuensi dari perbuatan kita, dan label sebagai negara yang berbudi luhur bisa
dipertanggungjawabkan.

Etika Agama : Pelaksanaannya berdasar pula pada penilaian agama. Normanya bersifat kongkrit.
Tak dapat diubah hukumnya serta sanksinya tidak dapat ditawar.
Contoh : Dilarang mencuri, Dilarang membunuh, Dilarang berbohong, dsb.

Etika Deskriptif : Hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak


memberikan penilaian, tidak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, tidak mengajarkan
bagaimana seharusnya berbuat.
Contoh : Sejarah etika. Misalnya : pandangan-pandangan moral dalam Uni Soviet yang komunis dan
ateis dulu. Mengapa mereka begitu permisif terhadap pengguguran kandungan sementara
pornografi sangat ketat. Adanya prostitusi legal di berbagai negara. Serta menggambarkan hal-hal
dalam tindakan sehari-hari masyarakat.

Etika Normatif : Sudah memberikan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang
harus dikerjakan dan mana yang tidak.
Contoh : Larangan berjudi, larangan tawuran, larangan membajak buku atau VCD, dan lain
sebagainya.

Etika Umum : Membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan,
suara hati dan sebagainya.
Contoh : Undang-Undang Perpajakan, TAP MPR, UUD 1945, dsb.

Etika Khusus : Pelaksanaan dari prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam
pekerjaan, dan sebagainya. Khususnya berlaku di situasi tertentu.
Contoh : Larangan merokok di ruangan ber-AC, larangan menghidupkan handphone di pesawat.
Etika rumah sakit, Etika kantor, Etika Universitas.

ETIKA PEMERINTAHAN

Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai
dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical Governance
( Etika Pemerintahan ) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur,
struktur dan lembaganya. Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Suara
hati manusia menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, tergantung pada
kepribadian atau jati diri masing-masing. Manusia berbuat baik atau berbuat buruk karena bisikan suara
hatinya ( consience of man ).

Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya, misalnya mencintai orang tua, guru,
pemimpin dan lain – lain, disamping itu kesusilaan melarang orang berbuat kejahatan seperti mencuri,
berbuat cabul dan lain – lain. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang ada dalam hati nurani. Sanksi
yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri, seperti penyesalan, keresahan dan lain –
lain. Saksi bagi mereka yang melanggar kesopanan adalah dari dalam diri sendiri, bukan dipaksakan dari
luar dan bersifat otonom.
Kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar,
dalam pergaulan sehari – hari bermasyarakat, berpemerintahan dan lain – lain.

Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan, keperdulian, kesenonohan yang


berlaku dalam pergaulan ( masyarakat, pemerintah, bangsa dan negara ). Kesopanan disebut pula sopan
santun, tata krama, adat, costum, habit. Kalau kesusilaan ditujukan kepada sikap batin (batiniah ), maka
kesopanan dititik beratkan kepada sikap lahir ( lahiriah ) setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan
kehidupan masyarakat dalam pergaulan. Tujuan bukan pribadinya akan tetapi manusia sebagai makhluk
sosial (communal, community, society, group, govern dan lain – lain ), yaitu kehidupan masyarakat,
pemerintah, berbangsa dan bernegara. Sanksi terhadap pelanggaran kesopanan adalah mendapat
celaan di tengah – tengah masyarakat lingkungan, dimana ia berada, misalnya dikucilkan dalam
pergaulan. Sanksi dipaksakan oleh pihak luar (norma, kaedah yang ada dan hidup dalam masyarakat ).
Sanksi kesopanan dipaksakan oleh pihak luar oleh karena itu bersifat heretonom.
Khususnya dalam masa krisis atau perubahan, prinsip pemerintahan dan fundamental etika-nya di
dalam masyarakat sering kali dipertanyakan dan kesenjangan antara ideal dan kenyataan ditantang.
Belum lagi, kita mengerti diskusi Etika Pemerintahan sebagai diskursus berjalan dalam pengertian
bersama tentang apa yang membuat pemerintahan itu baik, dan langkah konkrit yang mana yang harus
dilakukan dalam rangka berangkat dari konsensus bersama ke pemerintahan praktis itu adalah indikator
demokrasi dan masyarakat multidimensi.

Good governance merupakan tuntutan yang terus menerus diajukan oleh publik dalam
perjalanan roda pemerintahan. Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya
direspon positif oleh aparatur penyelenggaraan pemerintahan. Good governance mengandung dua arti
yaitu :

1.      Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang hidup dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara
yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Good governance mengarah kepada asas
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.      Pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien. Mengacu kepada struktur dan kapabilitas
pemerintahan serta mekanisme sistem kestabilitas politik dan administrasi negara yang bersangkutan.

Untuk penyelenggaraan Good governance tersebut maka diperlukan etika pemerintahan. Etika


merupakan suatu ajaran yang berasal dari filsafat mencakup tiga hal yaitu :

1.      Logika, mengenai tentang benar dan salah.


2.      Etika, mengenai tentang prilaku baik dan buruk.

3.      Estetika, mengenai tentang keindahan dan kejelekan.

Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata "Virtus" yang berarti
keutamaan dan baik sekali, serta bahasa Yunani yaitu kata "Arete" yang berarti utama. Dengan
demikian etika merupakan ajaran-ajaran tentang cara berprilaku yang baik dan yang benar. Prilaku
yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat dengan
hakekat dan kodrat manusia yang luhur. Oleh karena itu kehidupan politik pada jaman Yunani
kuno dan Romawi kuno, bertujuan untuk mendorong, meningkatkan dan mengembangkan
manifestasi-manifestasi unsur moralitas. Kebaikan hidup manusia yang mengandung empat unsur yang
disebut juga empat keutamaan yang pokok (the four cardinal virtues) yaitu :

1.      Kebijaksanaan, pertimbangan yang baik (prudence).

2.      Keadilan (justice).

3.      Kekuatan moral, berani karena benar, sadar dan tahan menghadapi godaan(fortitude).

4.      Kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan perbuatan harus sejalan
atau "catur murti" (temperance).

Pada jaman Romawi kuno ada penambahan satu unsur lagi yaitu "Honestum"yang artinya


adalah kewajiban bermasyarakatan, kewajiban rakyat kepada negaranya. Dalam perkembangannya
pada masa abad pertengahan, keutamaan tersebut bertambah lagi yang berpengaruh dari  Kitab
Injil yaitu Kepercayaan (faith), harapan (hope) dan cinta kasih (affection). Pada masa abad pencerahan
(renaissance) bertambah lagi nilai-nilai keutamaan tersebut yaituKemerdekaan (freedom),
perkembangan pribadi (personal development),dan kebahagiaan (happiness).

Pada abad ke 16 dan 17 untuk mencapai perkembangan pribadi (personal development) dan


kebahagiaan (happiness) tersebut dianjurkan mengembangkan kekuataan jiwa (animositas),
kemurahan hati (generositas),dan keutamaan jiwa (sublimitas).

Dengan demikian etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat
pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan
perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD negara.

kalau melihat sistematika filsafat yang terdiri dari filsafat teoritis,"mempertanyakan yang ada",
sedangkan filsafat praktis, "mempertanyakan bagaimana sikap dan prilaku manusia terhadap yang
ada". Dan filsafat etika. Oleh karena itu filsafat pemerintahan termasuk dalam kategori cabang filsafat
praktis. Filsafat pemerintahan berupaya untuk melakukan suatu pemikiran mengenai kebenaran yang
dilakukan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengacu kepada kaedah-kaedah
atau nilai-nilai baik formal maupun etis. Dalam ilmu kaedah
hukum (normwissenchaft atau sollenwissenschaft) menurutHans Kelsen yaitu menelaah hukum
sebagai kaedah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum meliputi Kenyataan idiil (rechts
ordeel) dan Kenyataan Riil(rechts werkelijkheid). Kaedah merupakan patokan atau pedoman atau
batasan prilaku yang "seharusnya". Proses terjadinya kaedah meliputi : Tiruan (imitasi)dan Pendidikan
(edukasi). Adapun macam-macam kaedah mencakup, Pertama :Kaedah pribadi, mengatur kehidupan
pribadi seseorang, antara lain :

1.      Kaedah Kepercayaan, tujuannya adalah untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau hidup beriman.
meliputi : kaedah fundamentil (abstrak), contoh : manusia harus yakin dan mengabdi kepada Tuhan
YME. Dankaedah aktuil (kongkrit), contoh : sebagai umat islam, seorang muslim/muslimah harus sholat
lima waktu.

2.      Kaedah Kesusilaan, tujuannya adalah untuk kebaikan hidup pribadi, kebaikan hati nurani atau akhlak.
Contoh : kaedah fundamentil, setiap orang harus mempunyai hati nurani yang bersih.
Sedangkan kaedah aktuilnya, tidak boleh curiga, iri atau dengki.

Kedua: Kaedah antar pribadi mencakup :

1.      Kaedah Kesopanan, tujuannya untuk kesedapan hidup antar pribadi, contoh : kaedah fundamentilnya,
setiap orang harus memelihara kesedapan hidup bersama, sedangkan kaedah aktuilnya, yang muda
harus hormat kepada yang tua.

2.      Kaedah Hukum, tujuannya untuk kedamaian hidup bersama, contoh :kaedah fundametilnya, menjaga
ketertiban dan ketentuan, sedangkankaedah aktuilnya, melarang perbuatan melawan hukum serta
anarkis.Mengapa kaedah hukum diperlukan, Pertama : karena dari ketiga kaedah yang lain daripada
kaedah hukum tidak cukup meliputi keseluruhan kehidupan manusia. kedua : kemungkinan hidup
bersama menjadi tidak pantas atau tidak seyogyanya, apabila hanya diatur oleh ketiga kaedah tersebut.

filsafat pemerintahan ini diimplementasikan dalam etika pemerintahan yang membahas nilai
dan moralitas pejabat pemerintahan dalam menjalankan aktivitas roda pemerintahan. Oleh karena itu
dalam etika pemerintahan dapat mengkaji tentang baik-buruk, adil-zalim, ataupun adab-biadab prilaku
pejabat publik dalam melakukan aktivitas roda pemerintahan. Setiap sikap dan prilaku pejabat publik
dapat timbulkan dari kesadaran moralitas yang bersumber dari dalam suara hati nurani meskipun dapat
diirasionalisasikan.

Contoh dalam kehidupan masyarakat madani (civil society) ataupun masyarakat demokratis,


nilai dan moralitas yang dikembangkan bersumber kepada kesadaran moral tentang kesetaraan
(equlity), kebebasan (freedom), menjunjung tinggi hukum, dan kepedulian atau solidaritas.

Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan
manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari
kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara
lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya
disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir
dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan
dalam melaksanakan tugas pemerintahan.

Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan
dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang
dikembangkan dalam etika pemerintahanadalah :

1.      Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.


2.      kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty).

3.      Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.

4.      kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude).

5.      Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).

6.      Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara
profesionalisme dan bekerja keras.

Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi
politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik.  Etika
politik subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat
publik dan staf pegawainya.

Etika politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan
dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik.
Bentuk keutamaannya seperti prinsip demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat
manusia (HAM), kesejahteraan rakyat.

Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus
dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat
dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.

Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit
pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan. Oleh karena itu dalam etiak pemerintahan membahas
prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk
legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk.

Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD
baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks
proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar
negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan
legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana
pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya.

MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN

Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip moral tentang baik dan buruk dari tindakan
atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Etika berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata
sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat,
pemerintahan, bangsa dan negara.

Etika dalam kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika
umum ( etika sosial ) dan etika khusus ( etika pemerintahan ). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan
etika bidang profesional yaitu code PNS, code etik kedokteran, code etik pers, kode etik pendidik, kode
etik profesi akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya.
LANDASAN ETIKA PEMERINTAHAN INDONESIA
1. Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI.

2. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.

3. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.

4. UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090 ).

5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 dan
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
6. PP No. 60 tentang Disiplin Pegawai Negeri .
MEWUJUDKAN PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN SEHAT
( GOOD GOVERNANCE )

1. Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional )

2. Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya (legitimate )

3. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat (public, private and society
sector )

4. Pemerintahan yang ditopang dengan prinsip – prinsip pemerintahan yaitu :


a. Prinsip Penegakkan Hukum,

b. Akuntabilitas,

c. Demokratis,

d. Responsif,

e. Efektif dan Efisensi,

f. Kepentingan Umum,

g. Keterbukaan,

h. Kepemimpinan Visoner dan

i. Rencana Strategis.

5. Pemerintahan yang menguatkan fungsi : kebijakan publik (Public Policy ), pelayanan publik ( Public
Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ), pemberdayaan
masyarakat ( Social Empowering ) dan privatisasi ( Privatization )
Presiden Minta Menteri Kerja Lembur

 Penulis :

 Didik Purwanto

 Jumat, 13 September 2013 | 20:28 WIB

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. | SUZANNE PLUNKETT / POOL / AFP

17

82

41

JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua


menteri di kabinet Indonesia Bersatu jilid kedua bisa melakukan kerja ekstra. Hal ini
mengantisipasi tekanan ekonomi Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini. 
"Kepada para menteri dan jajarannya, saya instruksikan untuk melakukan kerja ekstra.
Kalau perlu lembur malam agar segala urusan cepat dan tuntas," kata Presiden seperti
dikutip dari laman Twitternya (@SBYudhoyono) di Jakarta, Jumat (13/9/2013). 

Presiden meminta agar jajaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus bekerja
sama dengan dunia usaha terutama agar tekanan ekonomi bisa diatasi dengan baik.
Sebab, belajar dari krisis ekonomi 2008, pemerintah pun bisa menyelesaikan
masalahnya.

Caranya adalah membantu pelaku bisnis dengan insentif fiskal yang ada. Paket
kebijakan ekonomi yang telah dirilis diharapkan bisa menyelesaikan masalah yang ada,
terutama agar perusahaan tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Bisnis
pun bersedia profitnya sedikit berkurang, semuanya untuk rakyat," jelasnya.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/09/13/2028011/Presiden.Minta.Menteri.Kerja.Lembur

Anda mungkin juga menyukai