Anda di halaman 1dari 18

PARTAI POLITIK

DAN
PEMILIHAN UMUM

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen : Rafida Ramelan, S.Sy., M.H.

Oleh:
1. Deni Sujani (2002002025)
2. Ridwan (2002002039)

FAKULTAS SYARIAH
PRODI AKHWAL ASYAKSIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Partai Politik dan Pemilihan
Umum” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Tata
Negara. Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai “Partai Politik dan Pemilihan Umum”
khususnya bagi penulis umumnya untuk para pembaca.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Rafida Ramelan, S.Sy.,


M.H. selaku Dosen Mata Kuliah Hukum Tata Negara. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam mengumpulkan
literature untuk penulisan makalah ini,

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan makalah ini. Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang membangun diharapkan demi memperbaiki makalah ini.

Ciamis, 11 Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 1
1.3 Tujuan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Partai Politik ......................................................................................... 3


2.2 Pemilu dan Kedaulatan Rakyat .............................................................. 4
2.3 Sistem Pemilihan Umum ........................................................................ 6
2.4 Penyelenggara dan Sengketa Pemilu....................................................... 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Partai politik dibentuk untuk menampung dan menyuarakan aspirasi


rakyat yang memilihnya agar kepentingan rakyat dapat dipenuhi. Partai
Politik menurut Sigmund Neuman dalam Budiarjo, (2008:404) adalah
organisasi dari aktivitas- aktivitas politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan
dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan
berbeda. Di negara berkembang, keadaan politik sangat berbeda satu sama
lain, demikian pula dengan keadaan partai politiknya yang memiliki banyak
sekali variasi. Namun pada umumnya, partai politik di negara berkembang
diharapkan dapat melaksanakan fungsinya seperti di negara-negara yang
sudah mapan kehidupan politiknya.

Pemilihan umum merupakan bentuk implementasi dari sistem


demokkrasi juga dari penerapan sila keempat Pancasila dan pasal 1 (2)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu merupakan
mekanisme untuk memilih wakil rakyat di badan Eksekutif maupun
Legislatif di tingkat pusat maupun daerah.Pemilihan umum di Indonesia
sejak 1955 hingga saat ini yang terakhir di Pemilu serentak 2019
mengalami banyak sekali perubahan dari aspek kerangka hukum ,
penyelenggara, tahapan, peserta, kelembagaan, Pelanggaran, maupun
manajemen pelaksaannya.

Maka dari itu, disini penulis mencoba sedikit banyak menguraikan


lebih dalam tentang apa itu politik dan apa itu pemilihan umum (Pemilu).

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan permasalahan yang muncul dalam makalah ini ialah,
sebagai berikut:

1
1. Apa yang di maksud dengan partai politik?
2. Apa yang di maksud dengan pemilu dan kedaulatan rakyat?
3. Seperti apa sistem pemilihan umum?
4. Apa itu penyelengara dan sengketa hasil pemilihan umum?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah
ini ialah, sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang partai politik.
2. Mengetahui tentang pemilu dan kedaulatan rakyat.
3. Mengetahui tentang sistem pemilihan umum.
4. Mengetahui tentang penyelenggara dan sengketa hasil pemilihan
umum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Partai Politik

Partai politik adalah organisasi politik yang menjalani ideologi


tertentu atau dibentuk dengan tujuan umum. Definisi lainnya adalah
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Bisa juga didefinisikan, perkumpulan
(segolongan orang-orang) yang seasas, sehaluan, setujuan di bidang politik.
Baik yang berdasarkan partai kader atau struktur kepartaian yang
dimonopoli oleh sekelompok anggota partai yang terkemuka. Atau bisa juga
berdasarkan partai massa, yaitu partai politik yang mengutamakan kekuatan
berdasarkan keunggulan jumlah anggotanya. Tujuan kelompok ini ialah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya) dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan mereka.

Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik


dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang
bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan
politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam
urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai
suprastruktur politik. Dalam rangka memahami partai politik sebagai salah
satu komponen infrastruktur politik dalam negara, berikut beberapa
pengertian mengenai partai politik, yakni:

Carl J. Friedrich : partai politik adalah sekelompok manusia yang


terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan
penguasan pemerintah bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan
penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat ideal maupun materil.

3
R.H. Soltou : partai politik adalah sekelompok warga negara yang
sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik,
yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai
pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
Sigmund Neumann : partai politik adalah organisasi dari aktivis-
aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta
merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan-
golongan lain yang tidak sepaham.
Miriam Budiardjo: partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan
cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. (Budiarjo, 1989)
2.2 Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat

Pemilihan umum yang kemudian disingkat menjadi pemilu, dan


selanjutnya kata pemilu begitu akrab dengan masalah politik dan pergantian
pemimpin, karena pemilu, politik dan pergantian pemimpin saling berkaitan.
Pemilu yang diselenggarakan tidak lain adalah masalah politik yang
berkaitan dengan masalah pergantian pemimpin.

Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu pilar


utama dari sebuah proses akumulasi kehendak masyarakat. Pemilu sekaligus
merupakan prosedur demokrasi untuk memilih pemimpin. Diyakini pada
sebagian besar masyarakat beradab di muka bumi ini, pemilu adalah
mekanisme pergantian kekuasaan (suksesi) yang paling aman, bila
dibandingkan dengan cara-cara lain. Sudah barang pasti jika dikatakan,
pemilu merupakan pilar utama dari sebuah demokrasi.

Menurut Ali Moertopo, pemilihan umum adalah sarana yang tersedia


bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga
demokrasi.

4
Manuel Kaisiepo menyatakan tentang pemilu : Memang telah menjadi
tradisi penting hampir-hampir disakralkan dalam berbagai sistem politik di
dunia.

Lebih lanjut dikatakannya pemilihan umum penting karena berfungsi


memberi legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan
dan legitimasi inilah yang dicari. Pemilihan umum yang berfungsi
mempertahankan status quo bagi rezim yang ingin terus bercokol dan bila
pemilihan umum dilaksanakan dalam konteks ini, maka legitimasi dan
status quo inilah yang dipertaruhkan, bukan soal demokrasi yang abstrak
dan kabur ukuran-ukurannya itu.

Bagi Indonesia, yang telah menetapkan dirinya sebagai negara


demokrasi, pemilu adalah keniscayaan. Dalam pemilu, aspirasi rakyat
dimungkinkan berjalan secara ajeg. Pada pemilu pula, rakyat pemilih akan
bisa menilai, para kontestan pemilu dapat menawarkan visi, misi, dan
program kandidat, sehingga mereka akan tahu ke mana arah perjalanan
negaranya. Secara teoritis pemilihan umum dianggap merupakan tahap
paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang
demokratis, sehingga pemilu merupakan motor penggerak mekanisme
sistem politik demokrasi.

Pemilihan umum merupakan suatu keharusan bagi suatu negara yang


menamakan dirinya sebagai negara demokrasi. Sampai sekarang pemilihan
umum masih dianggap sebagai suatu peristiwa ketatanegaraan yang penting,
karena pemilu melibatkan rakyat secara keseluruhan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu. Demikian juga melalui pemilihan umum, rakyat dapat
menyatakan kehendaknya terhadap garis-garis politik. Pemilu adalah wujud
nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan
pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu aspek
demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara
demokratis.

5
Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri
sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu untuk memilih pejabat-
pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun
daerah. Semua demokrasi modern melaksanakan pemilihan, tetapi tidak
semua pemilihan adalah demokratis, karena pemilihan yang demokratis
bukan sekedar lambang, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif,
berkala, inklusif (luas), dan definitif yakni menentukan kepemimpinan
pemerintah.

Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam


suatu negara berada di tangan rakyat. Teori ini berusaha mengimbangi
kekuasaan tunggal raja atau pemimpin agama. 1

Dengan demikian, teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa Teori ini


menjadi dasar dari negara-negara demokrasi. Penganut teori ini adalah John
Locke, Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau. John Locke menyatakan
bahwa terbentuknya negara didasarkan pada asas pactum unionis dan
pactum subjectionis. Pactum unionis adalah perjanjian antarindividu untuk
membentuk negara, sedangkan pactum subjectionis adalah perjanjian antara
individu dan negara yang dibentuk. Perjanjian tersebut menentukan bahwa
individu memberikan mandat kepada negara atau pemerintah.

Mandat rakyat diberikan agar pemerintah mendapat kekuasaan dalam


mengelola negara berdasarkan konstitusi yang ditetapkan dalam pactum
subjectionis. 2

2.3 Sistem Pemilihan Umum


Sistem pemilu merupakan permasalahan pertama dalam melaksanakan
pemilihan umum legislatif, karena sistem pemilu akan sangat berpengaruh
dengan tahapan dan pelaksanaan pemilu selanjutnya. Begitu juga sistem
pemilu akan menentukan demokratis dan tidaknya pemilu dilaksanakan.
Setiap pemilu didasarkan pada nilai-nilai tertentu, dan masing-masing

1
P.N.H Simanjuntak. Pendidikan Kewarganegaraan. Grasindo. hlm. 151. ISBN 9797596303.
2
Hadi Wiyono, Isworo. Pendidikan Kewarganegaraan. Ganeca Exact. hlm. 121. ISBN 9791232024.

6
memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Sebenarnya tidak ada sistem
pemilu ideal yang cocok di negara manapun, tetapi semua sistem itu
memang mempunyai satu hal yang sama yaitu suatu proses pengembangan
atau reformasi sistem pemilu agar pemilu mempunyai legitimasi dan
demokratis.
Dari sekian banyak macamnya itu pada umumnya dikenal dan
berkisar dengan sistem distrik dan sistem proposional. Sistem distrik
merupakan sistem menurut historisnya yang tertua dan didasarkan atas
kesatuan geografis yang disebut distrik. Untuk keperluan pemilihan wilayah
suatu negara dibagi dalam banyak distrik, dan jumlah wakil rakyat sesuai
dengan jumlah distrik. Calon yang mendapat suara terbanyak dalam suatu
distrik itulah pemenangnya, sedangkan calon yang kalah dianggap hilang
dan tidak diperhitungkan lagi.
Menurut Sri Soemantri, sistem pemilihan umum distrik akan berlaku
hal-hal seperti berikut :
1. Wilayah negara dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang
jumlahnya sama dengan kursi yang hendak diperebutkan dalam
Badan Perwakilan Rakyat.
2. Setiap distrik pemilihan hanya akan memilih seorang anggota
Badan Perwakilan Rakyat.
3. Seorang calon terpilih, apabila dia dapat memperoleh suara
terbanyak.
4. Pemilihan umum dilakukan sekali jalan.
5. Sisa suara yang diperoleh dalam distrik pemilihan yang satu
tidak dapat digabungkan dengan suara yang diperoleh dalam distrik
pemilihan yang lain.
Sistem perwakilan proposional atau berimbang diadakan dalam
rangka menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi beberapa
kelemahan dalam sistem distrik. Dalam sistem berimbang jumlah kursi yang
diperoleh oleh suatu partai politik sesuai dengan jumlah yang didapatnya.

7
Untuk mendapatkan jumlah kursi yang diperolehnya ditentukan suatu
perbandingan.
Secara umum mekanisme sistem pemilihan proposional diterapkan
dengan cara kerja sebagai berikut :
1. Menentukan alokasi jumlah kursi pada satu daerah pemilihan
(provinsi).
2. Menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang
dibutuhkan partai politik agar mendapat satu kursi di parlemen.
Besarnya kuota ini bergantung pada jumlah penduduk dan jumlah
kursi yang diperebutkan.
2.4. Penyelenggara dan Sengketa Hasil Pemilu
Penyelenggara Pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang
menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan
Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati,
dan walikota secara demokratis.
Berikut dijelaskan lembaga penyelenggara pemilu yaitu :
1. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat KPU, adalah lembaga
Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang
bertugas melaksanakan pemilu. Jumlah anggota KPU sebanyak 7 orang;
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, selanjutnya disingkat KPU Provinsi,
adalah Penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu di
provinsi. Jumlah Anggota KPU Provinsi sebanyak 5 Orang. Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat KPU
Kabupaten/Kota, adalah Penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan
Pemilu di kabupaten/kota.

8
Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota berjumlah 5 orang. KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hierarkis. Masa Keanggotaan
KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota 5 tahun semenjak
pengucapan sumpah/janji. Keberadaan KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota adalah tetap.
Penyelenggara Ad Hoc, terdiri dari: Panitia Pemilihan Kecamatan,
selanjutnya disingkat PPK, adalah panitia yang dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan atau
nama lain. Jumlah anggota PPK adalah 5 orang.
Panitia Pemungutan Suara, selanjutnya disingkat PPS, adalah panitia
yang dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di
tingkat desa atau nama lain/kelurahan. Jumlah Anggota PPS adalah 3 orang
Panitia Pemilihan Luar Negeri, selanjutnya disingkat PPLN, adalah
panitia yang dibentuk oleh KPU untuk melaksanakan Pemilu di luar negeri.
Jumlah anggota PPLN paling sedikit 3 orang paling banyak 7 orang.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, selanjutnya disingkat
KPPS, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPS untuk melaksanakan
pemungutan suara di tempat pemungutan suara. Jumlah Anggota KPPS
adalah 7 orang.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri, selanjutnya
disingkat KPPSLN, adalah kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk
melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara luar negeri.
Jumlah anggota KPPSLN paling sedikit 3 orang paling banyak 7 orang.
2. Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU)
Badan Pengawas Pemilu, selanjutnya disingkat BAWASLU, adalah
lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan
Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jumlah
Anggota Bawaslu RI adalah 5 Orang.
Badan Pengawas Pemilu Provinsi, selanjutnya disingkat Bawaslu
Provinsi, adalah badan yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah provinsi. Jumlah Anggota

9
Bawaslu Provinsi adalah 3 orang. Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi bersifat
tetap.
Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disingkat
Panwaslu Kabupaten/Kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu
Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah
kabupaten/kota. Jumlah anggota Panwaslu Kabupaten/Kota adalah 3 orang.
Panwaslu Kabupaten/Kota bersifat ad hoc.
Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, selanjutnya disingkat Panwaslu
Kecamatan, adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota
yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di wilayah kecamatan
atau nama lain. Jumlah Anggota Panwascam 3 orang sifatnya adalah ad hoc.
Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh
Panwaslu Kecamatan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di
desa atau nama lain/kelurahan. Jumlah PPL adalah 1 orang dan paling
banyak 5 orang.
Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh
Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di luar negeri.
3. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, selanjutnya disingkat
DKPP, adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik.
Penyelenggara pemilu dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan
pemilu. DKPP bersifat tetap dan berkedudukan di Ibu Kota Negara. DKPP
dibentuk paling lama dua bulan sejak Anggota KPU dan Bawaslu
mengucapkan sumpah/janji. DKPP terdiri dari 7 orang unsur KPU,
BAWASLU, DPR, dan dari Pemerintah.
Perselisihan / sengketa hasil pemilu menurut Pasal 473 UU Pemilu
adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan
perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Lebih lanjut menurut Nurul
Huda (hal. 274), perselisihan hasil pemilu ini berkaitan dengan perselisihan
penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(“DPR”), Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan Dewan Perwakilan

10
Rakyat Daerah (“DPRD”) secara nasional meliputi perselisihan penetapan
perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu,
dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil
Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara
yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil
Presiden. Jadi sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar-
peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi,
dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa (perselisihan)
hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai
penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. (Mukthie, 2013)
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sengketa (perselisihan)
hasil pemilu berkaitan dengan pertanyaan tentang apakah Mahkamah
Konstitusi (“MK”) bisa menangani sengketa proses pemilu?
Berikut penjelasannya:
MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”). Pasal
24 C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(“UU 8/2011”) dan kemudian diubah kedua kalinya oleh Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) dan kemudian ditetapkan oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menjadi Undang-Undang mengatur mengenai
kewenangan MK, yakni berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final; untuk menguji Undang-Undang

11
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and
binding).
Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa MK hanya berwenang
memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Perselisihan / sengketa hasil
pemilu menurut Pasal 473 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan
peserta pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara
nasional. Lebih lanjut menurut Nurul Huda (hal. 274), perselisihan hasil
pemilu ini berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil
pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), Dewan Perwakilan
Daerah (“DPD”), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) secara
nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat
memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, dan perselisihan penetapan
perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional
meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi
penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jadi sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar peserta
pemilu dan sengketa antar peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi,
dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa (perselisihan)
hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai
penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional.
Dalam suatu persaingan, pasti sangat rentan timbunlya pergesekan-
pergesekan antar pesaing tersebut. Maka dalam hal pemilu pun, Pemerintah

12
telah mengantisipasi dengan membuat peraturan yang termaktub dalam
berbagai Undang-Undang tentang sengketa pemilu. Dalam aturan tersebut,
Pemerintah telah menunjuk Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pihak yang
berwenang untuk memutuskan persengketaan tersebut. Dalam hal ini
putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang
dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and
binding).

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya
maka dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai Partai Politik dan
Pemilihan Umum, yaitu:
Mengenai pengertian partai politik, banyak para pakar yang ikut
mendefinisikan tentang hal tersebut. Secara keseluruhan, pendefinisian
tersebut intisarinya sama, bahwasanya partai politik adalah sarana politik
yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik
dalam suatu negara.
Dengan adanya berbagai macam partai politik, maka timbullah
persaingan antar partai demi mendapat simpatisan dari rakyat itu sendiri.
Maka dari itu pemerintah membentuk suatu sarana yang tersedia bagi rakyat
untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi yang
dinamakan Pemilihan Umum (Pemilu).
Setelah diaturnya mengenai Pemilu, maka didalamnya terdapat
regulasi atau sistem, agar terwujudnya kedaulatan rakyat yang berasaskan
demokrasi. Untuk keperluan pemilihan wilayah suatu negara dibagi dalam

13
banyak distrik, dan jumlah wakil rakyat sesuai dengan jumlah distrik. Calon
yang mendapat suara terbanyak dalam suatu distrik itulah pemenangnya,
sedangkan calon yang kalah dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi.
Dimana ada objek disitu ada subjek, dimana ada sistem disitu ada
pelaku. Dalam hal Pemilu ini, tentunya ada yang disebut Penyelengara
Pemilu, dalam hal ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun
2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang
menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum,
Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Marpaung, Lintje Anna. (2018). Hukum Tata Negara Indonesia Edisi Revisi.
Yogyakarta: ANDI (Anggota IKAPI).

Budiarjo, Miriam. (1989). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Indonesia. PT.


Gramedia.

P.N.H Simanjuntak. Pendidikan Kewarganegaraan. Grasindo. ISBN 9797596303.

Hadi Wiyono, Isworo. Pendidikan Kewarganegaraan. Ganeca Exact. ISBN


9791232024.

Sodikin. (2014). Hukum Pemilu, Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan,Bekasi


: Gramata Publising.

Sardini, Nur Hidayat. (2011). Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia,


Yogyakarta : Fajar Media Press.

Mukthie, Fadjar. (2013). Pemilu, Perelisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi.


Malang: Setara Press.

Hendry. (2012). Pemilu & Kisah Perjalanan 2 Roh, Malang: Bayumedia


Publishing.

UU No.2 tentang Partai Politik tahun 2011

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c4533ec18aa6/perbedaan-
sengketa-proses-dengan-sengketa-hasil-pemilu/

Anda mungkin juga menyukai