Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“UTILITARIANISME KLASIK”

Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Pekan IV Mata Kuliah

Etika Politik A

DISUSUN OLEH:

KHADISA GYSKA AURA FADLY


E041201033

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi saya kesempatan serta kemudahan
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tanpa
pertolongan-Nya tentu saya tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
pula shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita
nanti-nantikan syafa’atnya di dunia dan akhirat nanti.
Atas izin Allah SWT, saya mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah dari mata
kuliah Etika Politik A dengan judul “Utilitarianisme Klasik”.
Saya selaku penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu, saya mengharapkan kritik
serta saran dari dosen pengampu maupun pembaca, agar makalah ini dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Apabila ada kesalahan pada makalah ini, saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Demikian, semoga makalah ini bermanfaat. Terima kasih. Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, 13 September 2021

Khadisa Gyska Aura Fadly

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Dasar-Dasar Ilmiah Utilitarianisme Klasik....................................................................3
B. Manfaat Individu vs Manfaat Kolektif dan Kebutuhan akan Pemerintah.....................4
C. Perbandingan Interpersonal dan Konsekuensionalis.....................................................6
D. Netralitas Ilmiah dan Kebebasan...................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................................8
B. Saran..............................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad
ke 19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori
utilitarianisme di kembangkan Jeremy Betham dan muridnya, John Stuart Mill.
Utilitarianisme disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happines theory).
Karena utilitiarianisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the
greatest number. Kebahagiaan tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme,
tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagiaan pelaku saja,
melainkan demi kebahagiaan semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme
menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme. Dalam pandangan utilitarisme klasik,
prinsip utilitas adalah kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Hal
ini dapat dipahami bahwa di mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan
dengan kebebasan perasaan sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham
diakui sebagai pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh.
Akan tetapi teori yang di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan
terutama tentang moralitas, sehingga para pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy;
filsafat yang cocok untuk Babi. Salah paham tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali
oleh pengikutnya, Jhon Stuart Mill (Suseno, 1998: 173). Mill berusaha menunjukkan bahwa
kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan merupakan
penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis
kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Satu orang mungkin
lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan
ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak menuntut lebih dari sekedar kesenangan
lahiriah (sensual pleasure) untuk membuatnya bahagia. Bagi orang seperti ini, ketidakpuasan
di bawah kondisi tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih baik menjadi manusia yang tidak
puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates daripada orang tolol yang
puas (Schmandt, 2002: 455-456).

1
Utilitarianisme mengungkap suatu penghayatan moral yang kritis dan rasional.
Tidak diakui bahwa ada tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib atau terlarang.
Pada dirinya sendiri semua tindakan dianggap netral. Yang memberi nilai moral kepada
tindakan-tindakan itu ialah tujuannya dan akibat-akibatnya sejauh dapat diperhitungkan
sebelumnya. Misalnya hal hubungan seks di luar perkawinan. Seorang utilitaris tidak akan
menerima bahwa hal itu begitu saja tidak boleh. Ia akan menuntut agar diberikan alasan-
alasan yang masuk akal dengan mempertimbangkan akibat-akibat baik dan buruk dari
hubungan seks di luar perkawinan, baru ia memberi penilaian apakah boleh atu tidak
(Suseno, 2002: 124).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pembuatan makalah ini, maka diperlukan adanya
pembahasan lebih lanjut mengenai utilitarianisme klasik. Adapun pembahasan tersebut akan
dijawab melalui masalah-masalah yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa sajakah yang menjadi c?
2. Berikan penjelasan tentang manfaat individu vs manfaat kolektif dan kebutuhan akan
pemerintah!
3. Bagaimanakah perbandingan interpesonal dan konsekuensionalis?
4. Apakah yang dimaksud dengan netralis ilmiah dan kebebasan?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan utama dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang utilitarianisme klasik. Adapun tujuan khusus dari pembuatan makalah ini
antara lain:
1. Mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmiah utilitiarianisme klasik.
2. Mengetahui dan memahami manfaat individu vs manfaat kolektif dan kebutuhan akan
pemerintah.
3. Mengetahui dan memahami perbandingan interpersonal dan konsekuensionalis.
4. Mengetahui dan memahami netralis ilmiah dan kebebasan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar-Dasar Ilmiah Utilitiarianisme Klasik


Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat,
berfaedah, atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan
terbesar (the greatest happiness theory). Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali
dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme merupakan
suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan
menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak
berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari
segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Bentham berpendapat bahwa alam
memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagiaan dan kejahatan
adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan.
Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan. Keberadaan hukum diperlukan untuk
menjaga agar tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang
sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika tidak
demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia
yang lain). Oleh karena itu, ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual.
Bagi Bentham, utilitarianisme memupunyai dasar alamiah yang berakat pada
keharusan organisme manusia untuk bertahan hidup. Bentham mengakui adanya sumber-
sumber dan sanksi-sanksi keagamaan, moral, dan politis untuk rasa sakit dan rasa nikmat
tetapi ia menekankan bahwa semua sumber dan sanksi tersebut berdasar pada dan kurang
penting dibandingkan sumber-sumber dan sanksi-sanksi fisik rasa sakit dan rasa nikmat.
Bentham memperkenalkan metode untuk memilih tindakan yang disebut dengan utility
calculus, hedonistic calculus, atau felicity calculus. Menurutnya, pilihan moral harus
dijatuhkan pada tindakan yang lebih banyak jumlahnya dalam memberikan kenikmatan
daripada penderitaan yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Jumlah kenikmatan ditentukan
oleh intensitas, durasi, kedekatan dalam ruang, produktivitas (kemanfaatan atau kesuburan),

3
dan kemurnian (tidak diikuti oleh perasaan yang tidak enak seperti sakit atau kebosanan dan
sejenisnya). Para utilitarian menyusun argumennya dalam tiga langkah berikut berkaitan
dengan pembenaran euthanasia (mercy killing):
2. Perbuatan yang benar secara moral ialah yang paling banyak memberikan jumlah
kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia.
3. Setidaknya dalam beberapa kesempatan, perbuatan yang paling banyak memberikan
jumlah kenikmatan dan kebahagiaan pada manusia bisa dicapai melalui euthanasia.
4. Oleh karena itu, setidaknya dalam beberapa kesempatan, euthanasia dapat dibenarkan
secara moral.
Pakar lain yang berpendapat mengenai utilitiarianisme adalah John Stuart Mill
yang lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui hal-hal yang
membangkitkan nafsunya.Mill juga menolak pandangan Kant yang mengajarkan bahwa
individu harus bersimpati pada kepentingan umum. Kemudian Mill lalu menganalisis
hubungan antara kegunaan dan keadilan. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan
dapat membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang tidak
menyenangkannya. Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan
antara utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal sebagai
pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan antara teori yang
dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari John Austin. Bagi Jhering,
tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan
kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan
dan menghindari penderitaan tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial
dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain.
B. Manfaat Individu vs Manfaat Kolektif dan Kebutuhan akan Pemerintah
Adapun manfaat utilitarianisme bagi individu yaitu sebagai teori etika
normatif, utilitarianisme bersifat kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma atau
peraturan moral yang berlaku dan sebaliknya menuntut pertanggungjawaban mengapa
sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan. Tuntutan tanggungjawab itu membuat si pengambil
keputusan tidak mencuci tangan tetapi menuntut supaya kita bertindak sedemikain rupa

4
sehingga akibatnya sesuai dengan kepentingan, harapan sebanyak mungkin orang. Dengan
demikian etika ini memuat prinsip bahwa manusia bertanggungjawab terhadap sesamanya.
Sesama itu adalah orang terkena akiabat tindakan itu. Manfaat kedua, utilitarianisme bersifat
universal, artinya memperhatikan kepentingan/keuntungan umum dan bukan hanya
keuntungan pribadi si pelaku moral sebagaimana dikemukan oleh egoism etis. Dasar
dorongan keuntungan bukan emosional melainkan secara prinsipial atas dasar kepentingan
universal atau umum. Oleh karena itu wawasannya secara hakiki bersifat sosial. Jadi
utilitarianisme mempunyai unsur yang cocok bagi moralitas manusia sebagai makluk sosial.
Dapat dikatakan juga bahwa moral bukan kewajiban yang kaku dan buta, berdasarkan
otoritas yang asing, melainkan moderat dan berdasarkan kebutuhan konkrit yang dirasakan
bersama. Manfaat ketiga, Utilitarianisme bersifat rasional karena menuntut agar peraturan-
peraturan yang ada dipertanggungjawabkan berdasarkan manfaatnya bagi banyak orang dan
seandainya tidak demikian peraturan tersebut supaya dilepaskan saja. Ia membuka pemilihan
keputusan moral pada dialog dan argumentasi sehingga kita dapat melihat terlebih dahulu
segi-segi yang relevan untuk dipakai. Dengan kata lain, rasionalitas atau alasan moralnya
konkrit, karena menyangkut kebutuhan naluriah dan dapat dirasakan langsung. Kebutuhan
naluriah ini adalah keuntungan, kesenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Sedangkan bagi kolektif, tentu saja persoalan individu tidak dipentingkan dalam
aliran ini, malah individu perlu berkorban untuk kesenangan manusia terbanyak. Aliran
utilitarianisme sangat menekankan pentingnya dampak dari suatu perbuatan dalam menilai
baik dan buruknya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, dalam arti
memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, serta kemakmuran bagi orang banyak maka itu
adalah perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah perbuatan buruk.
Pada tahap ini, aliran utilitarian seringkali dianggap membuka peluang lahirnya tindakan
menghalalkan segala cara (ends always justify the means), dimana orang bertindak dengan
cara-cara yang jahat agar tujuannya tercapai. Suatu perbuatan yang bertujuan baik tidak
boleh dilakukan dengan cara-cara yang tidak dapat dibenarkan secara moral.
Peran pemerintah yang sesuai dengan logika teori Bentham berakar pada asumsi
egoisnya bahwa pencarian rasa senamg dan pengelakan rasa sakit selalu berlangsung pada
tingkat psikologis individual. Argumen-argumen kontemporer, yang mengambil pandangan
mengenai individu-individu yang mengejar kepentingan diri sendiri sebagai gagasan

5
dasarnya umumnya mempunyai asumsi anti paternalistik radikal, yang menganggap bahwa
setiap individu berdaulat atas definisi mereka sendiri tentang manfaat. Kalkulasi biaya
manfaat dapat dibuat oleh pemerintah untuk menentukan arah masyarakat yang optimal.
C. Perbandingan Interpersonal dan Konsekuenalis
Tujuan utilitarian adalah untuk mendistribusikan barang sehingga dapat
memaksimalkan utilitas total anggota masyarakat, di mana "barang" ditafsirkan secara luas
untuk memasukkan barang-barang ekonomi, hak, kebebasan, dan kekuatan politik. Fungsi
kesejahteraan utilitarian biasanya didefinisikan sebagai jumlah utilitas dari semua anggota
(yaitu, semua individu memiliki berat yang sama). Bentuk lainnya adalah perbandingan
interpersonal utilitas, yang bukan masalah sederhana. Meskipun utilitarianisme tidak secara
eksplisit membahas kesetaraan, tujuan maksimalisasi kesejahteraannya memang memiliki
implikasi distribusi. Versi yang berbeda dari teori itu ada. Salah satu perbedaan penting
adalah perbedaan antara tindakan-utilitarianisme dan aturan-utilitarianisme. Yang pertama
memerintahkan kita untuk melakukan tindakan yang akan memaksimalkan utilitas pada
setiap kesempatan, sementara yang terakhir memberitahu kita untuk bertindak sehingga kita
akan memaksimalkan utilitas total dari waktu ke waktu. Kedua bentuk utilitarianisme ini
dapat bertentangan, karena banyak tindakan memberikan kesenangan langsung tetapi biaya
jangka panjang.
Ukuran etis atau tidak etis ditentukan oleh konsekuensi. Suatu tindakan (atau
tidak bertindak) akan dipandang etis apabila mempunyai konsekuensi baik. Suatu tindakan
(atau tidak bertindak) dianggap salah secara etik apabila menimbulkan konsekuensi buruk.
Pendekatan konsekuensionalisme ini dapat menimbulkan penolakan terhadap pendekatan
“follow the rules or not follow the rules”. Menurut “rules” dilarang berbohong. Tetapi
apabila dalam keadaan (situasi) tertentu berbohong justru untuk atau mempunyai akibat lebih
baik daripada keburukan, maka berbohong tidak melanggar etika. Yang perlu
dipertimbangkan, konsekuensionalisme semacam itu dapat menimbulkan ketidakpastian.
Bagaimana kalau bertindak (atau tidak bertindak) sekaligus mempunyai akibat baik dan
buruk? Dalam hal seperti ini mesti dilihat konsekuensi secara menyeluruh, bukan sekedar
terhadap keadaan tertentu.
D. Netralitas Ilmiah dan Kebebasan

6
Terdapat berbagai pandangan tentang netral, yang pertama dalam pandangan
ontologi, yakni masalah atau hakikat netral itu sendiri. Yang mempunyai ruang lingkup
tentang baik buruknya ilmu yang telah ada. Kemudian dalam pandangan
secara epistimologi yaitu masalah bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan untuk
mendapatkanya apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah. Sedangkan yang
terakhir adalah netralisasi dalam pandangan aksiologi. Ini menyangkut masalah nilai
kegunaan ilmu itu sendiri. Wacana masalah netralisasi ilmu memang masih dalam
perdebatan di kalangan masyarakat. Tetapi pada hakikatnya ilmu itu mempunyai nilai Netral
(nol), dengan ilmu itu netral maka perkembangan ilmu pengetahuan bisa berkembang.
Sehingga tidak tercampuri dengan suatu hal yang dapat menjadikan ilmu atau itu sendiri
menjadi terhambat dalam perkembangannya.
Kebebasan dari segi etimologi adalah kata sifat berasal dari kata “bebas” diartikan
sebagai lepas sekali (tidak terhalang, tidak terganggu, dan sebagainya), sehingga dapat
bergerak, berbicara, berbuat dan sebagainya secara leluasa. Adapun kebebasan diartikan
dengan kemerdekaan dan keadaan bebas. Kebebasan manusia menurut John Stuart Mill yaitu
kebebasan yang tidak boleh mengganggu orang lain, tidak mendorong dalam melakukan
kejahatan, mencelakakan atau merugikan orang lain. Oleh karena itu, kebebasan orang satu
dengan yang lainnya harus sama-sama mendapatkan tempat dengan cara menghargai
kebebasan orang lain. Adapun kebebasan menurut Mill terbagi menjadi tiga yaitu, kebebasan
berekspresi, kebebasan berpikir dan berdiskusi, dan kebebasan berpendapat. Mill juga
menyinggung mengenai kebebasan untuk perempuan seharusnya perempuan memiliki hak
dan kesetaraan yang sama dengan laki-laki dan Mill mengenai pendidikan bagi anak-anak.
Kebahagiaan menurut Mill yang ia sebut dengan aliran utilitarianisme. Mill mulai dengan
merumuskan prinsip kegunaan (utility) sebagai prinsip dasar moralitas, yaitu utilitarianisme
merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna,
berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak
bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Oleh karena itu, baik buruknya perilaku dan
perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dalam
alirannya utilitariansme yang disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest
happiness theory) kebahagian itu menurutnya harus berdampak pada kebahagiaan banyak
orang dan tidak mendatangkan penderitaan untuk orang lain.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada bagian pembahasan yang merupakan jawab atas
masalah-masalah yang telah dirumuskan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan berikut:
1. Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah,
atau menguntungkan. Istilah ini juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar
(the greatest happiness theory). Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali
dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme
merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna,
berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak
bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan
perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak.
2. Utilitarianisme memiliki manfaat bagi individu maupun kolektif. Setiap individu akan
mendapatkan tiga prinsip utama. Yang pertama sebagai teori etika normatif,
utilitarianisme bersifat kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma atau peraturan
moral yang berlaku dan sebaliknya menuntut pertanggungjawaban mengapa sesuatu itu
tidak boleh atau diwajibkan. Manfaat kedua, utilitarianisme bersifat universal, artinya
memperhatikan kepentingan/keuntungan umum dan bukan hanya keuntungan pribadi si
pelaku moral sebagaimana dikemukan oleh egoism etis. Manfaat ketiga, Utilitarianisme
bersifat rasional karena menuntut agar peraturan-peraturan yang ada
dipertanggungjawabkan berdasarkan manfaatnya bagi banyak orang dan seandainya tidak
demikian peraturan tersebut supaya dilepaskan saja. Sedangkan bagi kolektif, tentu saja
persoalan individu tidak dipentingkan dalam aliran ini, malah individu perlu berkorban
untuk kesenangan manusia terbanyak. Aliran utilitarianisme sangat menekankan
pentingnya dampak dari suatu perbuatan dalam menilai baik dan buruknya. Jika suatu
perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, dalam arti memajukan kesejahteraan,
kebahagiaan, serta kemakmuran bagi orang banyak maka itu adalah perbuatan baik.
Namun, jika sebaliknya yang terjadi maka itu adalah perbuatan buruk.

8
3. Ukuran etis atau tidak etis ditentukan oleh konsekuensi. Suatu tindakan (atau tidak
bertindak) akan dipandang etis apabila mempunyai konsekuensi baik. Suatu tindakan
(atau tidak bertindak) dianggap salah secara etik apabila menimbulkan konsekuensi
buruk. Pendekatan konsekuensionalisme ini dapat menimbulkan penolakan terhadap
pendekatan “follow the rules or not follow the rules”. Menurut “rules” dilarang
berbohong. Tetapi apabila dalam keadaan (situasi) tertentu berbohong justru untuk atau
mempunyai akibat lebih baik daripada keburukan, maka berbohong tidak melanggar
etika. Yang perlu dipertimbangkan, konsekuensionalisme semacam itu dapat
menimbulkan ketidakpastian.
4. Kebebasan manusia menurut John Stuart Mill yaitu kebebasan yang tidak boleh
mengganggu orang lain, tidak mendorong dalam melakukan kejahatan, mencelakakan
atau merugikan orang lain. Oleh karena itu, kebebasan orang satu dengan yang lainnya
harus sama-sama mendapatkan tempat dengan cara menghargai kebebasan orang lain.
Adapun kebebasan menurut Mill terbagi menjadi tiga yaitu, kebebasan berekspresi,
kebebasan berpikir dan berdiskusi, dan kebebasan berpendapat. Kebahagiaan menurut
Mill yang ia sebut dengan aliran utilitarianisme. Mill mulai dengan merumuskan prinsip
kegunaan (utility) sebagai prinsip dasar moralitas, yaitu utilitarianisme merupakan suatu
paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan
menguntungkan.
B. Saran
Menurut penulis, utilitarianisme klasik merupakan bahasan yang sangat menarik
untuk dipelajari. Secara historikal, kita bisa membayangkan apa yang terjadi pada masa
pemikir-pemikir teori ini. Selain itu, utilitarianisme menjadi pilar dasar dalam memahami
dunia perpolitikan, utamanya tentang etika dalam berpolitik. Dengan demikian, saran penulis
yakni memperbanyak referensi tentang utilitarianisme klasik dan perkembangannya. Saran
tersebut bukan hanya berlaku untuk pembaca, tapi untuk saya sendiri pula.

9
DAFTAR PUSTAKA

DPR-RI. Peran Etik Menjaga dan Mengawasi Perilaku Pejabat Publik. -53-
1766014bf7499436f041036b60e41e78.pdf (dpr.go.id), diakses pada 13 September 2021.
Saepullah, Asep. Konsep Utilitarianisme John Stuart Mill: Relevansinya terhadap Ilmu-Ilmu atau
Pemikiran Keislaman. Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam. Volume 11 Nomo2
2020. Halaman 249.
Sari, Septi Mulia. repository.radenfatah.ac.id/4496/1/Halaman Depan.pdf, diakses pada 13
September 2021.
Wayhie, Akmad Hasbi. Makalah Netralitas Ilmu | akhmadhasbiwayhie (wordpress.com), diakses
pada 13 Juli 2021.

10

Anda mungkin juga menyukai