Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“AL-FARABI PEMIKIR POLITIK ISLAM ERA KLASIK”

OLEH :

NAMA : NABILA MUMTAZA AKMAL

NIM : E041201028

MATA KULIAH : PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya
lah, saya selaku penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Pemikiran Politik Islam yang
berjudul “Al-Farabi Pemikir Politik Islam Era Klasik” dengan tepat waktu.

Penulis menyadari, makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca, guna
menghasilkan makalah yang lebih baik.

Adapun harapan penulis mengenai makalah “Al-Farabi Pemikir Politik Islam Era Klasik”
ini dapat memberikan manfaat dan inspirasi bagi pembaca.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Parepare, 27 Oktober 2021

Nabila Mumtaza Akmal


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................1


DAFTAR ISI .............................................................................................................................2
BAB I .........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN......................................................................................................................3
A. Latar Belakang .................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................3
C. Tujuan ..............................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................4
A. Biografi Al-Farabi ............................................................................................................4
B. Pemikiran Politik Al-Farabi ..............................................................................................5
a. Hubungan Politik dengan Akhlak ..................................................................................5
b. Teori Asal-Usul Negara ................................................................................................5
c. Negara Dalam Konsepsi al-Farabi .................................................................................6
d. Sosok Seorang Kepala Negara.......................................................................................6
e. Kriteria Calon Kepala Negara .......................................................................................7
f. Tujuan Negara ..............................................................................................................8
C. Situasi dan Kondisi Politik di Masa Al-Farabi ..................................................................9
BAB III .................................................................................................................................... 11
PENUTUP ............................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah sebuah unit budaya yang khas dan mandiri. Pemikiran politik berusaha
menjelaskan hubungan, terutama konsep keadilan antara kekuasaan dan penguasa, dan
distribusi barang yang adil kepada masyarakat. Pemikiran politik Islam pada umumnya
merupakan bagian penting dari sejarah intelektual manusia. Ide ini terdiri dari tradisi
yang konsisten dan berkesinambungan dengan logikanya sendiri, terpisah dari tradisi
Barat. Yang mana di dalamnya terdapat sub-sub cerita.
Berbicara tentang pemikiran politik Islam di abad klasik dan pertengahan (abad klasik
merentang dari tahun 650 – 1250 M. dan abad pertengahan 1250 – 1800 M.), berarti
berbicara soal teori dan konsep tentang politik Islam yang digagas oleh para Ulama dan
Pemikir Islam, antaranya Ibnu Abi Rabi`, al-Farabiy, al-Mawardiy, al-Ghazaliy, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lain-lainnya. Pada makalah kali ini, saya selaku penulis
akan membahas mengenai tokoh pemikir politik Islam di masa klasik yakni al-Farabi
terkait dengan latar belakangnya, pemikiran-pemikiran politiknya, serta situasi dan
kondisi politik pada masa al-Farabi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang al-Farabi?
2. Bagaimana pemikiran politik Islam al-Farabi?
3. Bagaimana situasi dan kondisi politik pada masa al-Farabi?

C. Tujuan
1. Menjelaskan latar belakang al-Farabi.
2. Menjelaskan pemikiran politik Islam al-Farabi.
3. Menjelaskan situasi dan kondisi politik pada masa al-Farabi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Farabi
Al-Farabi adalah Nashar Muhammad bin Muhammad bin Thurkhan bin Unzalagh. Al-
Farabi dilahirkan di Turkey tepatnya di kota Wasij, wilayah Farab, termasuk wilayah
Turkistan pada tahun 257 H./ 870 M dari seorang ayah berketurunan Turkey dan ibu
berketurunan Persia (Iran). Beliau wafat pada tahun 339 H./950 M. Al-Farabi masa
hidupnya pernah berguru kepada seorang Ilmuan Kristen Nastura, yaitu; Abu Bisyir
Matta bin Yunus, seorang penerjemah banyak karya Plato dan pemikir-pemikir Yunani
yang lain. Tidak cukup belajar dengan Abu Bisyir Matta bin Yunus, al-Farabi juga
belajar kepada seorag Ilmuan Kristen yang lain di Harran, yaitu; Yohana bin Heilan. Pada
zaman pemerintahan Khalifah Muqtadir (dari Dinasti Abbasiyah), al-Farabi belajar
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antaranya; Ilmu Bahasa Arab (Nahu Sharaf), Logika
(Mantiq), Ilmu Pasti, Kedokteran, Musik, dan lain-lain kepada guru-guru yang lain,
antaranya; Abu Bakar bin Siraj.
Sebagai seorang Ilmuan, Al-Farabi tergolong tokoh Filsafat terkemuka di Dunia Islam
(Kana akbaru Falasifah al-Muslimin `alal ithlaqhaytsu ansya`a mazhaban falsafiyan
kaamilan). Hal ini sebagaimana diakui oleh para Sarjana, baik di Timur atau pun di Barat.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa al-Farabi memiliki kemampuan yang sangat luar
biasa dalam memahami Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Antropologi), Matematika, Kimia, Ilmu
Ketentaraan (al-Ulum al-`Asykariyah), Musik, Ilmu Pengetahuan Alam (al-Ulum al-
Thabi`iyah), Ilmu-ilmu Ketuhanan (al-Ilahiyyah), Ilmu Peradaban Manusia (al-Ilmu al-
Madaniy), Ilmu Fiqh (al-Fiqh), Mantiq (Logika), Akhlak (Etika dan Moral), dan
Politik.341Banyak kalangan para Ulama dan Pemikir, antaranya; Ibnu Sina dan Ibnu
Rusydi dan lain-lain merujuk kepada al-Farabi dalam penelitianmereka. Oleh karena itu,
al-Farabi dianggap sebagai guru kedua (al-Muallim al-Tsani) dalam hazanah peradaban
Islam, di mana Aristoteles dianggap sebagai guru pertama (al-Muallim alawwal) dalam
hazanah peradaban Yunani.
B. Pemikiran Politik Al-Farabi
Banyak ahli meyakini bahwa pemikiran al-Farabi menunjukkan pengaruh pemikiran para
filsuf Yunani kuno seperti Plato atau Aristoteles. Menurutnya, tatanan sosial bertujuan
untuk membawa kebahagiaan bagi seluruh warga negara, baik di dunia maupun di
akhirat. Banyak kalangan para Ulama dan Pemikir, antaranya; Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi
dan lain-lain merujuk kepada al-Farabi dalam penelitian mereka.

a. Hubungan Politik dengan Akhlak


Al-Farabi menjadikan politik sebagai ilmu yang sangat penting, di mana ilmu-ilmu
lainnya melayani ilmu politik. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa
kecenderungan pada politik menguasai pemikiran al-Farabi, dan bahkan politik
mengarahkannya pada suatu pendirian bahwa masalah-masalah filsafat semuanya
tunduk (dalam arti melayani) pada politik. Al-Farabi telah menghubungkan hal-hal
yang ideal (al-fadhail) dengan mazhab politiknya (bi mazahibihi alsiyasiy), di mana
al-Farabi berpendirian bahwa untuk mencapai hal-hal ideal (al-fadhail) yang
bermacam-macam itu, baik aspek pemikiran, akhlak (moral, etika yang baik),
wawasan, pemberdayaan kinerja (al-shanaatu al-`amaliyah) pada umat, semuanya
dapat dicapai secara efektif melalui dua pola utama, yaitu; melalui pengajaran dan
praktek ( al-ta`lim wa al-ta`dib ). Pengajaran (alta`lim) adalah pola untuk melahirkan
pandangan-pandangan ideal tentang umat dan peradaban mereka, hal ini dapat
dilakukan melalui ucapan. Sementara praktek (al-ta`dib) adalah pola untuk
menciptakan atau melahirkan perilaku atau tindakan-tindakan ideal, pemberdayaan
kinerja yang ideal bagi umat yang mana bisa dilakukan melalui ucapan, dan bisa juga
melalui tindakan atau perbuatan. Atas dasar inilah gagasan-gagasan al-Farabi terkait
dengan akhlak (perilaku yang baik) ada hubungan yang sangat erat dengan mazhab
filsafat al-Farabi, terutama mazhab politiknya,

b. Teori Asal-Usul Negara


Menurut al-Farabi manusia mempunyai kecendrungan untuk hidup berkumpul dan
bermasyarakat. Kecenderungan ini menurutnya adalah fitrahatau alami, yaitu karakter
dasar yang ada pada manusia. Hal ini karena manusia tidak akan mencapai
kesempurnaan hidupnya jika dalam keadaan sendirian. Oleh karena itu, manusia
memerlukan bantuan manusia lain untuk mencapai kesempurnaan tersebut. Dalam
konteks ini al-Farabi menegaskan bahwa manusia secara individu tidak mungkin
mencapai kesempurnaan hidup tanpa bantuan orang lain (orang banyak) karena secara
fitrah bahwa setiap manusia selalu berinteraksi dengan manusia lain untuk
mendapatkan apa yang menjadi kemestianya. Oleh karena itu setiap manusia
memerlukan bantuan manusia lainnya untuk mencapai kesempurnaan hidup tersebut,
maka manusia selalu hidup berdampingan dan menetap di suatu tempat dan bertempat
tinggal. Oleh karena itu manusia disebut makhluk sosial (hayawanun ijtimaiyyun).

c. Negara Dalam Konsepsi al-Farabi


Al-Farabi lebih banyak terfokus pada pembahasan tentang kepala negara. Kepala
negara dalam persepsi al-Farabi menjadi titik tolak dalam teori politiknya mengenai
negara secara keseluruhan, menyangkut berbagai aspeknya. Al-Farabi berbicara
mengenai pembagian negara yang mana menurutnya negara terbagi ke dalam
beberapa kategori, yaitu; Negara utama (al-madinah al-Fadhilah), Negara bodoh (al-
Madinah al-jahilah), Negara fasik (al-Madinah al-fasiqah), Negara sesat (al-Madinah
al-dhallah), Negara rawan konflik, yaitu negara yang tidak stabil dan sering berganti-
ganti pemerintahan (al-Madinah al-mutabaddilah). Namun yang menjadi fokus pada
konteks kali ini adalah negara utama. Menurut al-Farabi, negara utama adalah sebuah
negara di mana masyarakatnya bersatu padu dan saling bantu membantu antara
sesama mereka dalam mencapai kebahagiaan (al-sa`adah) dengan sebenar-benarnya.

d. Sosok Seorang Kepala Negara


Sebagaimana diketahui bersama bahwa kepala negara sebagai pilar utama dalam
sebuah negara adalah sangat penting dan sangat menentukan perjalanan perpolitikan
pemerintahan, tanpa kepala negara sebuah pemerintahan tidak akan berdiri, maka
menjadi keniscayaan keberadaan kepala negara sebagai pelindung, penjaga,
penggerak, pengarah, dan pengelola terhadap rakyat dan negaranya secara
keseluruhan. Dalam keseluruhan pemikiran politik al-Farabi tidak diperoleh dengan
jelas penjelasan tentang pola dan mekanisme pemilihan calon kepala negara
(khalifah, raja). Bahkan di dalam pembahasan mengenai sosok seorang kepala negara
pun(rais almadinah ), al-Farabi langsung bicara tentang sosok seseorang yang layak
untuk menjadi kepala negara dengan beberapa kriteria dan ketentuan syarat yang
diterapkan al-Farabi. Tidak adanya penjelasan tentang bagaimana pola dan
mekanisme pemilihan calon kepala negara dalam pemikiran politik al-Farabi
menunjukkan bahwa al-Farabi setuju (mengamini) terhadap pola pergantian
kepemimpinan negara yang sudah menjadi tradisi sekian lama, yaitu; pola pergantian
kepemimpinan secara turun temurun melalui penunjukkan langsung oleh kepala
negara (khalifah, raja) yang sedang berkuasa kepada putranya yang dikehendaki
sebagai putra mahkota.

e. Kriteria Calon Kepala Negara


Dua belas kualitas pribadi kepala negara sebagaimana disyaratkan al-Farabi sebagai
berikut;
1. Sempurna semua anggota badannya (tammul a`dha). Artinya tidak ada yang hilang
atau cacat dari anggota badannya.
2. Baik daya pemahaman dan ingatannya (jayyidul fahmi wa altashawwur wa
jayyidul hifdhi).
3. Tinggi intelektualitas dan cerdas (jayyidul fathonah, dzakiyyan). Artinya selalu
tanggap terhadap sesuatu permasalahan dan cepat mengambil keputusan atau
tindakan secara tepat dan objektif, tidak lamban atau menunggu sampai ter-expose-
nya public opinionbaru kemudian menyampaikan pendapat (kebijakan).
4. Pandai menyampaikan pendapat (husnul `ibarah) dan mudah dimengerti uraiannya
tentang sesuatu secara sempurna (ibanatan tamma).
5. Sangat perhatian terhadap pendidikan dan suka mengajar (muhibban li al-ta`lim).
6. Tidak rakus terhadap makanan, minuman dan wanita (ghairu syarrah `alal ma`kul,
wal masyrub, wal mangkuh), dalam arti cukup dan tidak berlebihan.
7. Integrity(komitmen pada kejujuran), dan tidak suka kebohongan(muhibban lis
sidqi, wa mubghidhan lil kizbi).
8. Berjiwa besar dan berbudi luhur (kabirun Nafsi, wamuhibban lil karamah), dalam
arti beradab, sopan santun dan tidak egois.
9. Tidak memandang kekayaan satu-satunya yang paling penting, demikian juga
dengan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain (al-dirham wa al-dinar wa sairi
aghradh al-dunya hayyinatan `indahu).
10. Komitmen pada keadilan dan tidak suka perbuatan zalim (muhibban lil `adl, wa
mubghidhan lil jur wa al-zulm).
11. Selalu bekerja sama dalam rangka menegakan keadilan dan tidak memberikan
ruang atau celah terhadap munculnya tindakan keji dan kotor (an yakuna `adlan
ghairu shu`abil qiyadah wa la jumuhan wa la lajujan idza du`iya ila al- `adli).
12. Kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh
keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil (an
yakuna quwal `azimah).

f. Tujuan Negara
Dalam konteks ini, al-Farabi menegaskan bahwa setiap umat atau bangsa harus
memiliki ideologi, yaitu ara` yang tetap untuk menjamin tercapainya tujuan dan cita-
cita yang diinginkan bersama. Ini berarti mau atau tidak suatu umat atau bangsa harus
bersedia berkorban dalam bentuk apa-pun melalui berbagai pendekatan efektif dan
langkah strategis agar tujuan dan cita-cita tersebutdapat terealisasi dengan baik.
Seperti apa tujuan negaraideal al-Farabi. Abbas Mahmud di dalam karyanya; al-
Farabi, menegaskan bahwa tujuan negara ideal al-Farabi adalah negara tersebut dapat
menyediakan berbagai fasilitas untuk lahirnya kebahagiaan (al-sa`adah atau
happiness) yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat (ummah) negara tersebut, baik di
dunia ini dan sekaligus di akhirat nanti. Pandangan ini tentu saja didasarkan pada
pernyataan al-Farabi sendiri bahwa kerja sama (al-ta`awun) di antara sesam warga
negara, baik di kota-kota (al-mudun), di wilayah-wilayah yang luas (al-umam),
ataupun di daerah-daerah yang sedang berlangsung pembangunannya (alma`murah),
semua kerja sama dan aktivitas mereka diarahkan menuju ke suatu titik muara, yaitu
memperoleh kebahagiaan hakiki ( hasilatun `ala al-sa`adah al-haqiqiyah).380Hal ini
sebagaimana ditegaskan al-Farabi di tempat yang sama di dalam karyanya;Ara` Ahl
al-Madinah al-Fadhilahbahwa setiap negara bisa memperoleh kebahagiaan (al-
sa`adah, happines), maka sebuah negara di mana semua rakyatnya bersatu padu untuk
bekerja sama dan tolong menolong dalam berbagai hal dan berbagai aspek kehidupan
dalam rangka merelisasikan kebahagiaan hakiki (al-sa`adah `alal haqiqah), menurut
al-Farabi kesatuan dan gabungan semua rakyat dalam bekerja sama untuk suatu
tujuan, yaitu kebahagiaan disebut negara ideal.

C. Situasi dan Kondisi Politik di Masa Al-Farabi


Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masa hidupnya al-Farabi di era kekuasaan
Dinasti Abbasiyah sangat kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena banyaknya goncangan
sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan pemberontakan; suatu periode
pemerintahan yang paling buruk dalam sepanjang sejarah pemerintahan Dinasti
Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya stabilitas politik dalam kehidupan
masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah,
khususnya antara era pemerintahan Khalifah al Mu`tamid sampai Khalifah al-Mu`thi`.
Kondisi ini diperparah dengan adanya tindakan konspirasi dari anak-anak para penguasa
dan pemerintah di masa lalu yang berupaya mempertahankanstatus quo, kembali untuk
berkuasa sebagaimana kakek-kakek mereka dahulu. Hal ini terjadi, terutama di Persia dan
Turkey. Secara rinci dapat disampaikan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya
goncangan-goncangan ini sebagai berikut; Pertama;Masalah kehidupan keagamaan
(diniyyah), masalah ras, etnik (syu`ubiyah), budaya (tsaqafiyyah), dan lain-lain.
Kedua;Pada periode ini juga bermnculan berbagai gerakan dan konspirasi yang dilakukan
oleh anak-anak mantan para raja dan para pemimpin negara dahulu, mereka berusaha
mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan yang pernah dikuasai oleh nenek moyang
mereka dahulu, khususnya di wilayah Persia (Iran) dan Turkey. Mereka berupaya dengan
berbagai cara untuk melemahkan pusat pemerintahan yang berada di tangan Khalifah.
Upaya ini dilakukan dengan bekerja sama dengan gerakan kelompok Syiah yang sudah
lama menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dan bahkan pemerintahan Umayyah
sebelum ini. Ketiga: Pada masa hidupnya al-Farabi, juga muncul situasi yang memberi
takanan kepada para penguasa sebagai implikasi dari menghilangnya Imam terakhir
(Ikhtifa alImam al-akhir) dari Imam dua belas kelompok Syiah Imamiyah Itsnay
`Asyariayah, yaitu Muhammad alMahdi al-Muntazar; seorang Imam ke dua belas dalam
pahaman Syiah Imamiyah al-Itsnay `asyariyah. Dari berbagai peristiwa dan situasi politik
yang penuh gejolak sebagaimana disebutkan di atas, Munawir Sjadzali menegaskan
bahwa al-Farabikemudian gemar berkhalwat atau mengisolir diri dan merenung, dia
merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan
yang ideal. Seolah-olah al-Farabi tidak peduli dengan hiruk pikuk perpolitikan yang
tengah terjadi saat itu, meskipun begitu al-Farabi tetap mengamati apa yang terjadi di
sekelilingnya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berbicara tentang pemikiran politik Islam di abad klasik dan pertengahan (abad klasik
merentang dari tahun 650 – 1250 M. dan abad pertengahan 1250 – 1800 M.), berarti
berbicara soal teori dan konsep tentang politik Islam yang digagas oleh para Ulama dan
Pemikir Islam, salah satunya al-Farabi. Al-Farabi adalah Nashar Muhammad bin
Muhammad bin Thurkhan bin Unzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Turkey tepatnya di kota
Wasij, wilayah Farab, termasuk wilayah Turkistan pada tahun 257 H./ 870 M dari
seorang ayah berketurunan Turkey dan ibu berketurunan Persia (Iran). Beliau wafat pada
tahun 339 H./950 M. Banyak ahli meyakini bahwa pemikiran al-Farabi menunjukkan
pengaruh pemikiran para filsuf Yunani kuno seperti Plato atau Aristoteles. Menurutnya,
tatanan sosial bertujuan untuk membawa kebahagiaan bagi seluruh warga negara, baik di
dunia maupun di akhirat. Banyak kalangan para Ulama dan Pemikir, antaranya; Ibnu Sina
dan Ibnu Rusydi dan lain-lain merujuk kepada al-Farabi dalam penelitian mereka.
Adapun salah satu pemikiran al-Farabi adalah tentang politik yang dia tuangkan dalam
dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah (Pemerintahan politik) dan Ara ‟Al-Madinah
AlFadhilah (pendapat-pendapat tentang negara utama) banyak dipengaruhi oleh konsep
Plato yang menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan
anggota tubuh lainnya yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Yang paling
penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena di kepala terdapat otak yang mana
segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak
dilakukan oleh hati. Demikian juga dengan negara.
DAFTAR PUSTAKA

Aly, S. (2018). Pemikiran politik islam (sejarah, praktik dan gagasan).

Anda mungkin juga menyukai