Anda di halaman 1dari 19

KEDUDUKAN LEMBAGA KEMENTRIAN (AL-WIZARAH) DAN

KEKUASAANNYA DALAM PEMERINTAHAN ISLAM


(Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara Islam)

Dosen Pengampu :
Drs. Ahmad Yasin, M.Ag

Disusun Oleh:

Ade Rima Miranti (C74218036)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah mata kuliah “Hukum Tata Negara Islam”. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada insan yang mulia, Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini merupakan salah satu bentuk pemenuhan tugas mata kuliah
Hukum Tata Negara Islam di program studi Hukum Tata Negara, fakultas Syariah dan
Hukum di UIN Sunan Ampel Surabaya. Selanjutnya penulis mengucapkan terima
kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Tata Negara Islam, bapak Drs.
Ahmad Yasin, M.Ag yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini dan
kepada segenap pihak yang telah membantu serta memberi arahan selama penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, 5 April 2019


Penulis

Ade Rima Miranti

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. II

DAFTAR ISI................................................................................................................ III

BAB I ............................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2

BAB II............................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................ 3

A. Konsep Wizarah dalam Pemerintahan Islam...................................................... 3

B. Sejarah Wizarah .................................................................................................. 4

C. Pembagian dan Tugas Wizarah .......................................................................... 6

D. Proses Pengangkatan Menteri (Wazir) ............................................................... 9

E. Relevansi Konsep Wizarah pada Pemerintahan Masa Kontemporer ............... 10

1. Sistem Pemerintahan Malaysia ................................................................... 10

2. Sistem Pemerintahan Brunei Darusalam .................................................... 11

3. Sistem Pemerintahan Singapura ................................................................. 11

BAB III ........................................................................................................................ 13

III
PENUTUP.................................................................................................................... 13

A. Simpulan........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. IV

IV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu dan


diorganisasi oleh pemerintah negara yang sah, yang umumnya memiliki
kedaulatan. Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki
wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat
sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain. Namun konsep negara
secara umum berbeda dengan konsep negara dalam Islam. Negara menurut Islam
adalah negara moral yang berundang-undang dasar tertulis, yaitu Al-Quran.
Al-Quran sebagai undang-undang dasar negara Islam tidak pernah berubah dan
tidak akan berubah.

Pemerintahan Islam terikat dengan keharusan mengambil Al-Quran dan


Hadits menjadi undang-undang dasarnya tidaklah serupa dengan pemerintahan
Otokrasi ataupun pemerintahan Konstitusi, karena pemerintahan tersebut tunduk
kepada undang-undang dan peraturan-peraturan buatan manusia.

Seorang ahli tata negara asal Prancis, yaitu Montesquieu, mengemukakan


teori tentang pembagian kekuasaan dalam negara yang disebut Trias Politica.
Menurut teori tersebut, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga bidang, yaitu:
Kekuasaan Pelaksanaan Undang-Undang (Eksekutif), Kekuasaan Pembuat
Undang-Undang (Legislatif), dan Kekuasaan Kehakiman atau Pengawasan
Undang-Undang (Yudikatif).

Dalam hal ini, negara Islam sangat berbeda dari negara manapun, begitu juga
dengan negara yang menganut Trias Politica. Hal ini karena menurut ajaran
Islam bahwa “negara dan kedaulatannya adalaha milik Allah SWT, sedangkan
manusia hanya mendapat mandat dari Allah untuk mengurus negara sesuai
dengan ketentuan hukumnya.”

Menurut Abdul Kadir ‘Audah, kekuasaan dalam negara dibagi menjadi lima
bidang atau lima kekuasaan dalam negeri Islam atau bisa juga disebut panca
kekuasaan, sebagai imbangan Trias Politica, yaitu: Sultan Tanfiziyah (Lembaga
Eksekutif) yang dipimpin oleh Imam atau Khalifah dan dibantu oleh wazir, Sultan

1
Tasyri’iyah (Legislatif) yang dipegang oleh ulul amri, Sultan Qadhaiyah
(Yudikatif) yang dipegang oleh para hakim, Sultan Maaliyah (kekuasaan
keuangan) yang dipegang oleh Imam, Sultan Mu’raqabah (Lembaga pengawasan)
yang dipegang oleh ahli syura’, ulama, dan fuqaha.

Dalam konsep negara Islam, kepemimpinan tertinggi berada ditangan


seorang pemimpin yang disebut Khalifah atau Imamah. Fungsi pemimpin
tersebut yaitu: menegakkan agama Islam dan melaksanakan hukum-hukumnya,
serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang ditentukan dalam
Islam. Dalam melakukan fungsinya ini, Khalifah atau Imamah dibantu oleh wazir,
dengan kata lain wazir adalah tangan kanan kepala negara dalam urusan
pemerintahan. Pada kesempatan kali ini, penulis akan memaparkan lebih jauh
mengenai kedudukan lembaga kementrian (al-wizarah) dan kekuasaannya dalam
pemerintahan Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah


yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan Wizarah dalam pemerintahan Islam?

2. Bagaimanakah sejarah Wizarah muncul dalam pemerintahan Islam?

3. Apa saja pembagian, syarat, dan tugas Wizarah?

4. Bagaimanakah proses pengangkatan Wazir?

5. Bagaimanakah relevansi konsep Wizarah terhadap pemerintahan masa


kontemporer?

C. Tujuan Penulisan

Penulis dan pembaca dapat memahami mengenai konsep, sejarah, pembagian,


syarat menjadi wazir, tugas,prosese pengangkatan, kedudukan serta kekuasaan
wizarah dalam pemerintahan Islam, dan relevansi konsep Wizarah pada
pemerintahan masa kontemporer. Sehingga makalah ini dapat menjadi tambahan
ilmu bagi pembaca dan penulis.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Wizarah dalam Pemerintahan Islam
Dari segi bahasa, Wizarah diambil dari kata al-wizru yang berarti al-tsuql
atau berat. Dikatakan demikian karena seorang wazir memikul beban tugas-tugas
kenegaraan yang amat berat. Dalam First Ensyclopedia of Islam, kata wizarah
atau wazir ini diadopsi dari bahasa Persia. Menurut Kitab Zend Avesta, wizarah
berasal dari “vicira”, yang berarti orang yang memutuskan, hakim. Dengan
pengertian ini, maka wazir adalah nama suatu kementrian dalam sebuah negara
atau kerajaan, karena pejabat yang mengepalainya berwenang memutuskan suatu
kebijakan publik demi kepentingan rakyat, negara, atau kerajaan yang
bersangkutan.1
Pengertian lain tentang wizarah juga dikemukakan oleh Al-Mawardi.
Al-Mawardi membagi pengertian wizarah menjadi tiga, yaitu: Pertama, Wizarah
berasal dari kata al-wizar yang berarti al-tsuql (beban), karena wazir memikul
tugas yang diberikan kepala negara kepadanya. Kedua, Wzarah berasal dari kata
al-wazar, yang berarti al-malja’ (tempat kembali), dinamakan demikian karena
kepala negara membutuhkan pemikiran dan pendapat wazirnya sebagai tempat
kembali untuk menentukan dan memutuskan kebijaksanaan negara. Ketiga,
wizarah juga berasal dari kata al-azr yang berarti al-zhuhr (punggung). Ini sesuai
dengan fungsi dan tugas wazir yang menjadi tulang punggung pelaksanaan
kekuasaan kepala negara.2
Dengan demikian, berdasarkan pemaparan pengertian wizarah dari berbagai
pihak, dapat ditarik kesimpulan bahwa wizarah adalah pembantu kepala negara
(raja atau khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sebab pada dasarnya,
Kepala negara sendiri tak mampu menangani seluruh permasalahan politik dan
pemerintahan tanpa bantuan orang-orang yang terpercaya dan ahli di bidangnya.
Karena itulah kepala negara membutuhkan bantuan tenaga dan pikiran wazir,
sehingga sebagian persoalan-persoalan kenegaraan yang berat dapat dilimpahkan

1 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisai Doktrin Politik Islam, (Jakarta Selatan: Gaya Media Pratama,
2001), 144.
2 Ibid., 144-145.

3
kewenangannya kepada wazir. Dengan kata lain, wazir adalah tangan kanan dari
kepala negara dalam mengurus pemerintahan.
Pada umumnya, ulama mengambil dasar-dasar adanya kementrian (wuzarah)
dengan dua alasan, yaitu:
1. Karena berdasarkan firman Allah, wazir sebagai pembantu dalam
melaksanakan tugas dan Al-Quran menggunakan kata wazir untuk
menyebutkan tugas Nabi Harun membantu Nabi Musa dalam
melaksanakan dakwahnya kepada Fir’aun, yaitu dalam Q.S. Furqan,
23:35:3
‫سى آت َينَا َولَقَد‬ َ ‫َارونَ أَخَاهُ َمعَهُ َو َجعَلنَا ال ِكت‬
َ ‫َاب ُمو‬ ُ ‫يرا ه‬
ً ‫َو ِز‬
Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah memberikan Al Kitab (Taurat)
kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai
dia sebagai wazir (pembantu).”
Menurut mafhum aula, apabila wazir diperbolehkan di dalam
masalah-masalah kenabian, maka lebih-lebih diperbolehkan wazir di
dalam imamah dan khalifah.
2. Karena berdasarkan alasan yang sifatnya praktis, yaitu imam tidak
mungkin sanggup melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengatur umat
tanpa adanya wazir. Dengan adanya wazir yang membantu imam dalam
mengurus urusan pemerintahan, maka akan lebih baik pelaksanaannya
dan terhindar dari kekeliruan.4

B. Sejarah Wizarah
Wizarah bukanlah istilah baru yang terdapat pada pemerintahan Islam saja,
wizarah sudah ada sejak zaman pra-islam. Wizarah ini telah dikenal jauh pada
masa Mesir Kuno, Bani Israil, dan Persia Kuno.5 Menurut Jurji Zaidan, wizarah
adalah pangkat kekuasaan tertinggi dan bukan ciptaan Islam, tetapi berasal dari
6
Persia yang diambil oleh kaum Musimin pada masa Daulah Abbasiyah.

3 Ibid., 145.
4 Jeje Abdul Rojak, Hukum Tata Negara Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), 80.
5 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, 145.
6 A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984), 240.

4
Dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW wazir diartikan
sebagai pembantu dengan melihat dari peran yang dimainkan oleh Abu Bakar
dalam membantu tugas-tugas kerasulan dan kenegaraan Nabi Muhammad SAW.
Abu Bakar selalu setia menemani Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah. Di
Madinah, Abu Bakar dan sahabat-sahabat lainnya dijadikan sebagai teman
bermusyawarah untuk memutuskan berbagai persoalan umat. Pada saat terakhir
kehidupan Nabi pun, Abu Bakar yang menggantikan Nabi untuk mengimami
umat Islam sholat berjama’ah.
Demikian juga peranan yang dimainkan oleh Umar bin Khattab. Ketika Abu
Bakar menjadi khalifah sebagai pengganti Rasulullah, Umarlah yang menjadi
pembantu setia Abu Bakar. Kepada Umarlah Abu Bakar menyerahkan urusan
peradilan (al-qadha’). Namun meskipun praktik istilah wizarah ini telah
dilakukan pada masa ini, istilah wazir sendiri belum terkenal dalam lingkungan
orang Arab waktu itu.
Setelah Umar menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar, peran sebagai
wazir dimainkan oleh Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Khalifah Umar
banyak melibatkan ke-2 sahabat ini dalam meminta pendapat dan bernusyawarah
untuk menentukan kebijaksanaan politik. Selain melakukan banyak ekspansi
wilayah kekuasaan Islam, Umar juga banyak memperbaiki sistem pemerintahan
negara. Pada masa ini, dimulailah pembentukan lembaga-lembaga formal
semacam departeman dengan fungsi-fungsi khusus. Namun demikian, pada masa
ini belum dikenal istilah wizarah sebagai pembantu kepala negara. Lembaga
formal yang dibentuk oleh Umar pada masa itu disebut diwan, dan dan orang
yang mengepalainya disebut shahib al-diwan.7
Pada masa dinasti Umaiyah, tidak banyak perbedaan prinsip pemerintahan
yang terjadi, kecuali hanya sistem pemerintahannya yang berubah dari sistem
pemerintahan demokratis egalitarian (syuran) menjadi monarki absolut. Sistem
suksesi juga tidak berdasarkan musyawarah tetapi melalui warisan atau
penunjukan dari kepala negara sebelumnya. Pada masa ini, wazir belum juga
dikenal dan pelaksana lembaga kenegaraan yang pada masa umar disebut diwan
berubah nama menjadi Katib.8

7 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, 146.


8 Ibid., 146.

5
Pada masa Bani Abbasiyah, mulailah wazir dipakai untuk lembaaga
kementrian negara. Wazir pertama yang diangkat oleh Abu al-Abbas as-Safah
pada masa ini adalah Abu Sallamah Al-Khallal. Kepadanya sebagian tugas
kenegaraan dilimpahkan, ia menjalankan tugasnya atas nama khalifah.
Kekuasaannya amatlah luas hingga dapat mengangkat dan memecat
pegawai-pegawai pemerintahan, kepala daerah (gubernur), dan hakim. Pada masa
Harun al-Rasyid, wazir yang terkenal adalah keluarga Barmaki. Harun
mengangkat Yahya bin Khalid al-Barmaki sebagai wazir negara. Setelah Yahya
meninggal, posisinya digantikan oleh putranya, Ja’far al-Barmaki. Pada masa
kekuasaannya ini, ia bahkan memegang keuangan negara.
Ketika masa pemerintahan al-Mu’tashim, khalifah sudah tidak begitu
berkuasa lagi. Wazir-wazir pada masa itu berubah fungsi menjadi panglima
tentara pengawal yang orang-orangnya berasal dari Turki. Panglima tentara yang
bergelar Amir Al-Umara’ atau Shulthan inilah yang berkuasa di ibu kota
pemerintahan.9
Kekuasaan wazir di pusat pemerintahan Baghdad begitu kuat, sehingga
khalifah mampu dikendalikan layaknya boneka. Mereka dapat mengangkat serta
menjatuhkan khalifah sesuka hati mereka. Khalifah tunduk pada mereka dan tak
bisa berbuat apa-apa. Meskipun demikian, panglima tersebut tidak berani
mengadakan kudeta merebut kursi kekhalifahan dari bani Abbasiyah, padahal ada
banyak kesempatan dan kemampuan untuk melakukannyai. Hal ini disebabkan
oleh pandangan Sunni, tentang “al-Aimmah min Quraisy” yang mereka pegang
teguh. Mereka merasa tidak syar’i jika yang menjadi khalifah bukan dari
golongan Quraisy. Sehingga jika mereka melakukan kudeta, tentu akan timbul
gejolak dalam masyarakat.

C. Pembagian dan Tugas Wizarah


Wizarah dibagi menjadi dua macam, yaitu wazir tafwidhi (dengan mandat
penuh) dan wazir tanfidz (pelaksana). Perbedaan diantara keduanya yaitu:

NO Wazir Tafwidhi Wazir Tahfidz

9 Ibid., 89-90.

6
1. Boleh ikut campur dalam Tidak boleh ikut campur dalam
peradilan. peradilan.
2. Boleh mengangkat gubernur dan Tidak boleh oleh mengangkat
pejabat-pejabat tinggi negara. gubernur dan pejabat-pejabat tinggi
negara.
3. Dapat menjadi panglima tertinggi Tidak dapat menjadi panglima
dan mengumumkan perang. tertinggi dan mengumumkan
perang.
4. Mempunyai wewenang untuk Tidak memiliki wewenang untuk
menguasai harta negara dan menguasai harta negara dan
mengeluarkannya dari baitulmal. mengeluarkannya dari baitul mal.

Dari perbedaan tugas tersebut, dapat dilihat bahwa wazir tafwidhi memiliki
kekuasaan yang luas dalam memutuskan kebijaksanaan politik negara. Karena
perbedaan tugas tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi bagi
masing-masing jenis wazir. Perbedaan tersebut yaitu:

NO Wazir Tafwidhi Wazir Tanfidz


1. Harus beragama Islam. Boleh nonmuslim.
2. Harus tau mengenai hukum-hukum Tidak harus tau mengenai
Islam. hukum-hukum Islam.
3. Harus seorang mujtahid.10 Tidak diharuskan.
4. Tahu tentang strategi, taktik Tidak harus tau mengenai hal-hal
perang, dan cara mengurus tersebut.
keuangan negara.

Perbedaan lain yang sudah tak lagi berlaku masa kini adalah untuk wazir
tafwidhi harus orang yang merdeka, sedangkan wazir tanfidz, hal semacam itu
tidak disyaratkan.11

10 Ibid., 147.
11H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana,
2003), 79.

7
Wazir tafwidhi memiliki kewenangan yang besar sekali, sehingga
kewenangannya hampir sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepala
negara (Imam). Hanya ada tiga hal yang tidak dapat dilakukan oleh wazir tafwidhi
dan hanya dapat dilakukan oleh kepala negara (Imam), yaitu:
1. Imam dapat menunjuk penggantinya secara langsung, seperti pada kasus
penunjukan Umar oleh Abu Bakar. Sedangkan wazir tafwidhi, tidak dapat
melakukan hal seperti itu.12
2. Imam dapat meletakkan jabatan dengan langsung kepada rakyatnya,
wazir tafwidhi tidak dapat melakukan kewenangan tersebut.13
3. Imam dapat memecat orang-orang yang diangkat oleh wazir tafwidhi,
namun wazir tafwidhi tidak dapat memecat orang-orang yang diangkat
imam.14
Kewenangan wazir tafwidhi memiliki batasan dan mereka harus
menyampaikan laporan kepada kepala negara atas tugas-tugas yang telah
dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi agar wazir tafwidhi
tidak semena-mena dalam menjalankan tugasnya. Jika wazir bertindak
menyeleweng dari tugasnya, maka kepala negara berhak menegur bahkan
memecatnya.
Wazir yang kedua yaitu wazir tanfidz, ia hanya bertugas sebagai pelaksana
kebijakan negara yang diputuskan oleh kepala negara atau wazir tafwidhi.
Meskipun demikian, wazir tanfidz juga dapat memberi saran dan pandangan
untuk kepala negara. Wazir tanfidz merupakan penerjemah dan pelaksana
kebijakan politik yang telah diputuskan oleh kepala negara atau wazir tafwidhi
agar dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, wazir
tanfidz hanya merupakan penghubung antara kepala negara dan rakyat.
Kekuasaan wazir tanfidz jauh lebih kecil daripada wazir tafwidhi. Karena itu,
syarat-syarat yang harus dipenuhi pun relatif lebih longgar. Ia tidak harus
memenuhi kualifikasi seperti mujtahid, dll. Ia hanya disyaratkan memiliki sifat
amanah, jujur dalam perkataannya, tidak materialistis, dapat diterima oleh

12 Ibid., 79.
13 Ibid., 79.
14 Ibid., 79.

8
masyarakat, harus laki-laki, kuat ingatan, cekatan, dan cerdas, serta tidak
memperturutkan hawa nafsu.15
Ada beberapa sarjana muslim yang menyatakan bahwa wazir tafwidhi sama
dengan perdana menteri atau wakil presiden dan wazir tanfidz sama dengan
menteri-menteri lainnya. Hal ini tentu tidak berarti persis demikian, sebab
konstilasi politik pada zaman Daulah Abbasiyah sangat jauh dengan sekarang.
D. Proses Pengangkatan Menteri (Wazir)
Untuk menjadi menteri, seseorang harus mempunyai kriteria seperti kriteria
menjadi imam (khalifah), kecuali nasab. Jika sifat-sifat tersebut sudah dimiliki
seseorang, maka keabsahan pengangkatannya sebagai menteri ditentukan oleh
pernyataan resmi dari imam (khalifah), karena kementrian adalah jabatan yang
membutuhkan akad, dan akad dianggap tidak sah tanpa adanya pernyataan resmi
dan jelas. Jika imam mengangkat menteri hanya berdasarkan restu, pengangkatan
tersebut dianggap tidak sah secara yuridis (hukum), kendati hal tersebut banyak
dipraktikkan banyak orang karena berdasarkan tradisi.16
Pengangkatan menteri haruslah dengan pernyataan (ungkapan) yang
menjamin dua hal: otoritas penuh dan mandat (kepercayaan). Jika pengangkatan
hanya menjamin otoritas penah dan tidak menjamin mandat (kepercayaan), itu
khusus bagi pengangkatan putra mahkota dan tidak sah jika diterapkan pada
pengangkatan menteri. Sebaliknya, apabila pengangkatan hanya menjamin
mandat dan tidak menjamin otoritas penuh, pengengkatan tersebut tidak jelas,
sehingga pengangkatan menteri seperti demikian tidak sah.17 Jika pengangkatan
menyangkut keduanya, barulah pengangkatan dianggap sah. Penjaminan dua hal
tersebut bisa dilakukan dengan dua cara:
 Cara pertama, dengan hukum-hukum akad yang sangat khusus. Misalnya,
imam berkata, “Aku mengangkatmu sebagai wakilku dalam menjalankan
tugas-tugasku.” Pengangkatan seperti itu sah, karena mencakup
pemberian otoritas penuh dan mandat (kepercayaan).
 Cara kedua, dengan tradisi jabatan yang berlaku. Misalnya, imam
berkata, “Aku mengangkatmu sebagai menteri dan memberikan
15 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, 148.
16 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam,
(Jakarta: Darul Falah, 2006), 39.
17 Ibid., 39.

9
kepercayaan kepadamu.” Pengangkatan seperti itu dinyatakan sah,
karena telah mencakup pemberian otoritas penuh kepada menteri dengan
pernyataan, “ Aku mengangkatmu sebagai menteri.” dan mandat
(kepercayaan) dengan pernyataan imam, “Dan memberikan kepercayaan
kepadamu.” Dengan pernyataan imam tersebut, maka ia tidak menjadi
menteri tanfidzi (pelaksana), namun sebagai menteri tafwidhi
plenipotentiarry (dengan mandat penuh).
E. Relevansi Konsep Wizarah pada Pemerintahan Masa Kontemporer
Kontemporer adalah segala hal yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian
yang terjadi saat ini, atau bisa juga disebut bersifat modern atau kekinian.
Kontemporer bener-benar berorientasi pada masa sekarang, seperti pemerintahan
yang mengikuti perkembangan zaman. Seperti pemerintahan modern, yaitu
perdana menteri menjalankan segala tugas-tugas pemerintahan yang dilimpahkan
padanya.
Pemerintahan pada masa kontemporer menggunakan sistem perlementer,
dimana bentuk pemerintahannya dikepalai oleh seorang raja, dengan kehadiran
lembaga perlemen atau perwakilan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
Disini kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet (perdana menteri) dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya sebagai kepala negara
(simbolik) yang kedudukannya tidak bisa diganggu gugat, bentuk pemerintahan
ini bisa dikatakan sebagai monarki parlementer.
Adapun negara-negara Islam yang menggunakan sistem pemerintahan masa
kontemporer diantaranya seperti Malaysia, Brunei Darusalam, dan Singapura.
Ketiga negara tersebut adalah negara Islam yang menggunakan sistem
perlementer, karena ketiga negara tersebut menempatkan perdana menteri sebagai
yang menjalankan sistem pemerintahan dan kepala negara hanya memberi tugas
saja.
1. Sistem Pemerintahan Malaysia
Bentuk pemerintahan Malaysia adalah Monarki Konstitusional, yaitu
berupa negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Kepala negaranya
merupakan seorang raja yang disebut dengan Yang di-Pertuan Agong
(Raja Malaysia). Yang di-Pertuan Agong ialah gelar resmi Ketua Negara
Malaysia. Perlembagaan menyatakan dengan jelas bahwa kuasa eksekutif

10
secara teorinya berada di bawah kuasa Ketua Negera, dilaksanakan oleh
18
kabinet atau Jemaah Menteri yang diketua oleh Perdana Menteri.
Perdana Menteri dipilih oleh Yang di-Pertuan Agong, dari salah satu
anggota perlemen yang mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen.
Negara Malaysia menetapkan status quo yang berarti bahwa pemimpin
19
itu haruslah berbangsa Arab dan keturunan Quraisy. Sistem
pemerintahan di Malaysia adalah sistem perlementer, yaitu perdana
menteri yang menjalankan pemerintahan untuk membantu kepala negara
dalam hal mengurusi kepentingan rakyat.

2. Sistem Pemerintahan Brunei Darusalam


Brunei Darusalam merupakan negara Islam yang berbentuk kerajaan,
yang mana negara tersebut memiliki corak pemerintahan monarki
konstitusional. Pada pemerintahan Brunei Darusalam, Sulthan adalah
sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, merangkap sebagai
perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh dewan
penasihat kesultanan dan beberapa menteri.
Brunei Darusalam mengeluarkan sebuah hukum, yang disebut
Hukum Kanun, yaitu undang-undang atau hukum dan peraturan. Hukum
tersebut berisikan adat yang dijunjung tinggi dan diwariskan secara turun
temurun. Hukum Kanun dibuat dengan tujuan sebagai panduan dan
teladan bai lembaga kenegaraan dalam menjalankan pemerintahan,
sekaligus mengatur tentang sanksi bagi pelanggar aturan kesultanan
Brunei Darusalam. Dalam hukum tersebut, menteri bertugas
menjalankan pemerintahan mengurusi rakyat. Sebutan bagi menteri di
Brunei Darusalam adalah pembantu atau wazir.20

3. Sistem Pemerintahan Singapura


Bentuk pemerintahan Singapura adalah republik, dimana kekuasaan
pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dipimpin oleh Perdana
18Yustiana, Skripsi: “Konsep Kementrian (Al-Wizarah) Imam Al-Mawardi dan Relevansinya terhadap Sistem
Pemerintahan Kontemporer” (Lampung: UIN Raden Intan, 2017), 43-44.
19 Ibid., 84.
20 Ibid.,85-86.

11
Menteri. Sistem pemerintahannya yaitu perlementer, yang mana perdana
menteri bersama para menteri baik bersama-sama atupun sendiri-sendiri
bertanggung jawab kepada parlemen. Selain itu, presiden bertindak
dengan keputusan pribadi dalam menjalankan fungsi sebagai pengawas
kabinet dan parlemen Singapura, perannnya tersebut sebagian besar
seremonial.21
Pemerintahan Singapura menempatkan kepala negara sebagai
pengawas langsung kinerja menteri-menterinya. Kepala negara berhak
mengawasi penataan yang dilakukan, otoritas yang dijalankan, dan
pengangkatan yang disematkan, supaya menteri-menteri tidak
menggunakan kewenangan yang diamanahkan kepadanya melebihi
kepala negara. Namun apabila ada menteri yang menyeleweng ketika
melaksanakan tugasnya, kepala negara akan meluruskannya sesuai
kebenaran. Seperti otonomi pemerintahan yang dijalankan oleh
kementerian pemerintahan yang ada di Negara Singapura, yaitu dalam
konsep wizarah dalam pemerintahan Islam adalah wazir tafwidh, seorang
pembantu kepala negara dalam menjalankan tugas pemerintahan untuk
mengurusi rakyatnya.
Sistem pemerintahan terhadap ketiga negara tersebut sangat relevan dengan
konsep kementrian Al-Wizarah, yaitu seperti Malaysia yang menetapkan status
quo dan menjadikan para menteri sebagai pembantu kepala negara. Sedangkan
untuk Brunei Darusalam, perdana menteri yang menjalankan urusan rakyat
disebut dengan istilah wazir (pembantu). Selain itu, untuk Singapura yaitu kepala
negaranya terjun langsung mengawasi kinerja dari menterinya, agar menteri
tersebut tidak melebihi kepala negara dalam menjalankan tugas serta
kewenangannya.

21 Ibid., 86.

12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Demikian penjelasan secara garis besar mengenai wazir. Wizarah bukanlah
istilah baru yang terdapat pada pemerintahan Islam saja, wizarah sudah ada sejak
zaman pra-islam. Wizarah ini telah dikenal jauh pada masa Mesir Kuno, Bani
Israil, dan Persia Kuno. Wizarah adalah pembantu kepala negara (raja atau
khalifah) dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Kedudukan wazir dan kekuasaannya dalam pemerintahan Islam cukup besarr,
terutama pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengingat kewenangan yang
diberikan oleh imamah kepada wazir sangatlah luas. Wazir dibagi menjadi dua
macam, yaitu wazir tanfidz dan wazir tafwidhi. syarat-syarat yang harus dipenuhi
wazir tanfidz relatif lebih longgar.
Pengangkatan menteri haruslah dengan pernyataan (ungkapan) yang
menjamin dua hal: otoritas penuh dan mandat (kepercayaan). Penjaminan dua hal
tersebut bisa dilakukan dengan dua cara: dengan hukum-hukum akad yang sangat
khusus dan dengan tradisi jabatan yang berlaku.
Sistem pemerintahan yang diterapkan terhadap ketiga negara seperti
Malaysia, Brunei Darusalam, dan Singapura, sangat relevan dengan konsep
kementrian Al-Wizarah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Hasjmy, A. 1984. Dimana Letaknya Negara Islam. Surabaya: PT Bina Ilmu

Djazuli, H.A. 2003. Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam


Rambu-Rambu Syariah. Jakarta: Kencana
Al-Mawardi, Imam. 2006. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah Hukum-Hukum
Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. Jakarta: Darul Falah

Rojak, Jeje Abdul. 2014. Hukum Tata Negara Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel
Press

Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah Kontekstualisai Doktrin Politik Islam. Jakarta
Selatan: Gaya Media Pratama
Yustiana. 2017. Skripsi “Konsep Kementrian (Al-Wizarah) Imam Al-Mawardi dan
Relevansinya terhadap Sistem Pemerintahan Kontemporer”. Fakultas Ushuluddin.
UIN Raden Intan. Lampung

IV

Anda mungkin juga menyukai