DI
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 6
NAMA : HASANON
: NOVAL SAPUTRA
: MIFTAHUL JANNAH
: NURUL ISNA
SEM/UNIT : IV/I
PRODY : S-I HKI
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia yang
tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan baik,
shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw. pembawa
risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat manusia
didunia dan diakhirat.
Makalah ini membahas tentang “Penggunaan Ragam Bahasa dalam
Peraturan Perundang-undangan”. Saya sadar bahwa penyusun makalah ini
sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka dari ini saya sangat mengharapkan kritik
dan saran dari pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca
khususnya mahasiswi. Semoga juga menjadi amal yang baik dan diterima disisi
Allah SWT. Amiin.
Penulis
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
Halam
an
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan masalah................................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN.............................................................................. 2
A. Bahasa peraturan perundang-undang.................................................... 2
B. Menggunakan pilihan kata atau istilah................................................. 3
C. Teknik pengacuan dalam peraturan perundang-undangan................... 5
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu undang-undang atau suatu peraturan perundang-undangan--di negara
yang mengaku berdasarkan hukum--selalu dijadikan dasar pengaturan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu disebabkan dalam perundang-undangan
itu selalu dimuat tiga ketentuan pokok, yaitu ketentuan yang berisi (1) pengaturan,
(2) pelarangan, dan (3) sanksi. Seseorang yang telah melanggar salah satu ketentuan
pengaturan dalam suatu undang-undang sering disebut telah melanggar hukum,
terutama hukum tertulis. Dengan demikian, orang yang telah melanggar hukum
sama sajalah dia dengan telah melanggar undang-undang.
Jika seseorang berbicara bahasa dalam perundang-undangan, berarti dia
berbicara bahasa hukum, lebih tepatnya berbicara bahasa dalam hukum tertulis.
Selama ini banyak ahli hukum yang beranggapan bahwa bahasa yang digunakan
dalam hukum berbeda dengan bahasa Indonesia yang lain. Padahal, dalam Bab III
Ragam Bahasa Peraturan Perundang-Undangan, UU Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU No 12 Tahun 2011) Lampiran 2 disebutkan sebagai
berikut.
Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata
bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat,
teknik penulisan maupun pengejaannya, namun bahasa peraturan perundang-
undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan
pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan
kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bahasa peraturan perundang-undang
2. Bagaimana menggunakan pilihan kata atau istilah
3. Bagaimana teknik pengacuan dalam peraturan perundang-undangan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
5. Bahasa tidak menimbulkan perdebatan dan pertentangan.
6. Bahasa yang digunakan mempunyai ketepatan pengertian.
Bahasa yang digunakan dewasa ini dalam peraturan perundang-undangan:
1. Jika, kata ini digunakan jika menyatakan hubungan syarat.
2. Apabila, kata ini digunakan menunjukkan uraian atau penegasan waktu
terjadinya suatu peristiwa.
3. Dan/atau, kata ini berarti bisa digabungkan keduanya ( kumulatif ) atau dapat
pula memilih ( alternatif ) salah satu.
3
kewajibannya. Seharusnya kalimat norma di atas berbunyi: “selain menjalani
hukuman, terpidana diwajibkan...”.
Pernah kita jumpai pula isi peraturan yang menyatakan “Kecuali dalam hal
putusan hakim...” yang mungkin oleh pembentuk peraturan dimaksudkan kalimat
norma tersebut mengandung makna “pengecualian”. Padahal jika dibaca secara
cermat, kalimat tersebut sesungguhnya mengandung “pengandaian” karena
mengunakan kata-kata “dalam hal”. Seharusnya pembentuk peraturan langsung saja
menyatakan “Dalam hal putusan hakim..., maka...”.2
Jika pembentuk peraturan ingin menggunakan pengecualian dalam kalimat
norma, sebaiknya kata “kecuali” ditempatkan pada awal kalimat atas induk kalimat.
Kata kecuali, pada dasarnya merupakan penyimpangan dari prinsip umum atau
norma umum. Contoh: “Kecuali pegawai negeri golongan IV, seluruh pegawai
negeri harus hadir dalam mengikuti upacara bendera”.
Ada kemungkinan penempatan kata kecuali di belakang suatu kata tertentu,
jika yang akan dibatasi hanya kata yang bersangkutan, misalnya, “Yang dimaksud
dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, koki, kecuali koki magang, dan
pelaut.
Kalimat norma “pengandaian”, kadangkala menimbulkan ketidakkonsistenan
karena ada empat jenis kata pengandaian yang digunakan, yaitu: “dalam hal”, “jika”,
“apabila”, dan “pada saat”. Penggunaaan jenis kata pengandaian tersebut harus
dipilah-pilah sesuai dengan rasa bahasa yang dikaitkan dengan penalarannya.
Kata-kata (frase) “dalam hal” digunakan untuk satu keadaan kemungkinan kondisi
yang mungkin terjadi ataupun tidak mungkin terjadi. Contoh: “Dalam hal Presiden
berhalangan tetap, maka...”. kata “jika” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan
yang akan terjadi lebih dari sekali, contoh : “Jika perusahaan itu melanggar
kewajiban yang dimaksudkan dalam Pasal ... berturut-turut, maka ...”. frase “pada
saat” digunakan untuk kemungkinan atau keadaan yang pasti akan terjadi pada suatu
saat pada suatu masa yang akan datang, misalnya, “Pada saat seorang anak mencapai
umur 18 tahun, maka ...”. Kata “apabila” digunakan untuk pengandaian yang
4
berhubungan dengan waktu, misalnya, “Apabila dalam waktu tiga bulan, penggugat
tidak mengajukan gugatannya ke pengadilan, maka ...”.
Perancang kadangkala dibingungkan pula oleh kata komulatif dan alternatif
dalam kalimat norma, yaitu kata “dan” dan “atau”. Penggunaan dua kata ini sering
menimbulkan interpretasi jika dipraktikkan di luar peraturan, dalam kata lain, di
dunia praktisi hukum. Pembentuk undang-undang dahulu, terutama KUHP, tidak
memikirkan perbedaan kata-kata tersebut. Jika ada seseorang yang dituduh korupsi
dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp. 500 juta, bagi hakim yang akan
memutuskan akan berpikir, apakah yang dimaksud tersebut komulatif atau alternatif.
Apalagi sekarang ini dikenal dengan perumusan keduanya yaitu alternatif dan
komulatif dengan menggunakan kata-kata “dan/atau”.
Pesan terakhir, perancang peraturan perundang-undangan harus secermat
mungkin untuk memilih kata-kata atau ungkapan, secermat mungkin menyusun
kalimat norma, dan secermat mungkin menyesuaikan kalimat dan kata-kata tersebut
sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika hal ini tidak
dimiliki oleh perancang, dikhawatirkan peraturan yang dihasilkan dapat
menimbulkan kebingungan pemakai atau dapat menimbulkan interpretasi lain
sehingga pada akhirnya kepastian hukum yang diinginkan oleh pembentuk peraturan
perundang-undangan tidak tercapai.
5
Penggunaan kata dalam di depan kata Pasal, menunjukan dalam pasal tersebut
terdapat atau terdiri dari ayat-ayat, dan diantara ayat-ayat dalam pasal tersebut ada
yang dijadikan acuan. Sedangkan kata pada di depan kata ayat, menunjukan yang
menjadi acuan adalah muatan materi yang diatur dan melekat pada ayat tersebut.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan tidak perlu
menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang diacu tetapi cukup dengan
menggunakan frase sampai dengan:
Contoh :
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai
dengan ayat (4)
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang berurutan, tetapi ada
ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau ayat yang tidak ikut diacu
dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh :
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12
berlaku juga bagi calon hakim, keculai Pasal 7 ayat (1).
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)
berlaku juga bagi tahanan, kecuali ayat (4) huruf a. Kata Pasal ini tidak
perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam
pasal yang bersangkutan.
Meskipun tidak dilarang, pengacuan sebaiknya digunakan terhadap pasal atau
ayat terdahulu atau yang terletak sebelumnya. Hal ini penting agar tidak
membingungkan pembaca, karena harus membuka lembar lain untuk melihat pasal
atau ayat yang diacu. Pengacuan dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor
dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan penggunaan frase pasal yang
terdahulu atau pasal tersebut diatas.3
6
2. Tanda Baca
Menurut Budi Riyanto, bahwa penggunaan dan penempatan tanda baca erat
hubungannya dengan pemilihan dan penyusunan kata dan kalimat dalam perumusan
pasal dan ayat. Penggunaan atau pemakaian tanda baca sebagai berkut:
a. Tanda Titik (.):
1) Dipakai jika pernyataan gagasan sudah selesai atau pada akhir kalimat
bukan pertanyaan atau seruan;
2) Dipakai pada akhir singkatan nama orang, gelar, jabatan, pangkat, dan
sapaan serta singkatan kata atau ungkapan yang sudah sangat umum
(contoh: R. Suparman, Kepala.., Pembina.., Saudara, y.l, dan
sebagainya), dan
3) Tidak dipakai dibelakang tanggal, nama, jabatan.
- Juli 1947
- Suparman
- Menteri Dalam Negeri
b. Tanda Koma (,):
1) Untuk memisahkan unsur-unsur dalam perincian atau pembilangan;
2) Untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului induk kalimat
dalam kalimat majemuk; dan
3) Untuk mengapit keterangan tambahan atau kalimat sisipan dalam
kalimat yang lebih luas.
Contoh: bahan baku pembuatan sepatu, guna kelangsungan usaha
pengrajin sepatu Cibaduyut, diimport dari Cina.
c. Tanda Titik Koma (;):
1) Menghubungkan suku kalimat yang sejenis dan setara yang tidak
dirangkaikan oleh kata penghubung ( dan, atau, tetapi);
2) Suku kalimat yang dirangkaikan oleh kata seperti, karena itu,
meskipun, demikian, walaupun begitu, tambahan lagi;
3) Suku kalimat atau gabungan kata (frasa) dalam seri yang sekaligus
memerlukan pemakaian tanda titik koma, atau bahkan dalam seri yang
unsur-unsurnya diberi penegasan khusus.
7
Contoh: Presiden Republik Indonesia setelah menimbang ...; dan
mengingat ...; serta dengan persetujuan bersama DPR RI memutuskan
penetapan Undang-Undang tentang ...
d. Tanda Titik Dua (:)
1) Dipakai pada akhir suatu pernyataan yang lengkap jika diikuti
rangkaian keterangan atau penjelasan;
2) Tidak dipakai jika rankaian atau rincian itu merupakan obyek yang
melengkapi atau mengakhiri pernyataan tersebut.
Contoh: Kata salinan dalam suatu Keputusan, sebaiknya ditempatkan
setelah pasal terakhir diatas tanda tangan dan nama pejabat yang
menandatangani.
e. Tanda Elipsis (... tiga tanda titik) Menunjukkan bahwa dalam suatu
petikan ada bagian yang dihilangkan. Jika bagian yang dihilangkan itu
mengakhiri kalimat, perlu dipakai empat tanda titik, satu diantaranya yaitu
titik yang terakhir untuk menandai akhir kalimat.
Contoh: Undang-undang nomor... tahun... tentang... yang diundangkan
dalam lembaran negara..., tidak berlaku lagi.
Pendapat Suparman ”pelayanan umum adalah mencakup pelayanan
administrasi dan fisik...”.
f. Tanda Kurung ( ) :
Dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan pada
singkatan, unsur yang tidak merupakan bagian integral pokok
pembicaraan; petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato,
naskah atau bahan tertulis.
Contoh :
1) Penetapan suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) dilakukan oleh Presiden.
2) Yang terutama harus dihindari ialah Perumusan Pengecualian
(voorbehoud) yang samar-samar.
g. Tanda Petik Mengapit (”...”):
1) Judul karangan dan nama bab buku jika dipakai dalam kalimat;
8
2) Istilah ilmiah yang masih kurang dikenal atau kata yang diberi arti
khusus;
3) Petikan langsung yang berasal dari pembicaraan, pidato, naskah atau
bahan tertulis.
Contoh :
a) Suparman dalam karangannya ”Memangkas jenis dan persyaratan
b) perijinan”, mengutip Bab... buku...
c) Presiden memperkenalkan istilah ”Candak Kulak” ketika
berbicara sistim perkreditan para petani.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penyusunanan peraturan perundang undangan, perancang peraturan
selain harus memahami keinginan atau aspirasi masyarakat dan pihak yang terkait
sebagai bahan masukan, memahami ilmu legislative drafting, juga menguasai bahasa
hukum, sehingga peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan
yang responsive dan benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia.
Ragam bahasa perundang-undangan adalah menggunakan bahasa yang tunduk
kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata,
penyusunan kalimat, maupun pengejaannya. Bahasa perundang undangan tersebut
sesungguhnya mempunyai corak atau gaya bahasa yang khas yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan
azas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undang, seorang drafter (perancang)
harus mampu mendefinisikan tindakan sebagai pedoman untuk menentukan perilaku
apa yang bermasalah, yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan, antara
lain mampu menentukan subjek yang melakuka apa, mendefinisikan tindakan
sebagai pedoman untuk menentukan “Apa”, serta mampu menjaga ketelitian dalam
menulis perundang-undangan, serta Istilah dalam perundang-undangan
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, kami sadar makalah ini
masih kurang dari kesempurnaan, jika ada kesalahan atau kekurangan itu karena
keterbatasan pengetahuan kami, maka dari itu kritik dan saran sangat kami butuhkan
demi kesempurnaan isi makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita semua.
10
DAFTAR PUSTAKA
11