Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

BAHASA PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN

TUGAS ILMU PERUNDANG - UNDANGAN

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 4 :

WAHYUDI : 04020180854

ANDI AKHMAD ARAFAH : 04020170577

AUDREY SALSABILA M : 04020170680

RINET DAMAYANTI : 0402020160269

ANDI TENRY NURUL NOVIKA : 04020170758

ANDI NUR RISQA AULIYAH : 04020170757

C6

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FAKULTAS HUKUM

MAKASSAR

2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu
perundang-undangan ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula, kita
kirimkan salam dan salawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW,
keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Makalah ilmu perundang-undangan yang kelompok kami susun adalah Bahasa


Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas ilmu
perundang-undangan yang diberikan oleh dosen kami. Pemilihan topik ini berasal dari buku
yang menjadi pegangan dalam perkuliahan.

Kelompok kami mengharapkan dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan


dalam pembuatan makalah ini, masih mempunyai nilai akademis dan dapat bermanfaat bagi
pembaca. Oleh karena itu kelompok kami mengharapkan saran dan tanggapan yang
konstruktif untuk menutupi keterbatasan dan kemampuan kelompok kami.

Makassar, 09 Mei 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..1

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………..2

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang ………………………………………………………………..3

Rumusan Masalah ………………………………………………………………..3

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Bahasa Perundang-Undangan? ………………………………………..4


2. Sifat - sifat Bahasa Perundang - undangan? ………………………………………..4
3. Karakteristik Bahasa Peraturan Perundang-Undangan? ………………………………..5
4. Bagaimana Penerapan Bahasa Perundang-Undangan yang Sesuai
dengan Kaidah Bahasa Indonesia? ………………………………………………..6
5. Apa Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan? ………..8

BAB III PENUTUP

Kesimpulan …………………………...…………………………………………………...10

DAFTAR PUSTAKA …………………..……………………………………………11


BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG
Bahasa memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam
berkomunikasi dengan sesamanya manusia memerlukan bahasa hanya dengan bahasa
dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung. Dan
dari komunikasi itulah maka manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Hal lain
yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ialah hukum, dalam negara
hukum seperti Indonesia tentunya terdapat peraturan perundang-undangan. Suatu
aturan baik dalam bentuk tertulis, maupun lisan tentunya akan digunakan bahasa.

Sesuai dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah
bahasa Indonesia, maka bahasa yang digunakan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan juga digunakan bahasa Indonesia .

II. RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian Bahasa peraturan Perundang-Undangan?


2. Sifat - sifat Bahasa Perundang - undangan?
3. Karakteristik Bahasa Peraturan Perundang-Undangan?
4. Bagaimana Penerapan Bahasa Perundang-Undangan yang Sesuai dengan
Kaidah Bahasa Indonesia?
5. Apa Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Bahasa peraturan Perundang - undangan

Bahasa peraturan perundang-undangan adalah bahasa indonesia yang tunduk pada


kaidah bahasa indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan
kalimat, maupun pengejaannya.

Namun, kita sepakat bahwa bahasa perundang-undangan sesungguhnya


mempunyai corak atau gaya yang khas yang bercirikan kejernihan pengertian,
kelugasan, kebakuan, dan keserasian.

Bunyi peraturan tiada lain adalah bahasa yang diterapkan untuk kewajiban,
perintah, larangan, suruhan, arahan, pedoman, dan pilihan-pilihan untuk keteraturan
dan ketertiban bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bahasa peraturan perundang-undangan meliputi dua hal, yakni format peraturan itu
sendiri dan susunan kata-kata  dalam bahasa Indonesia yang mengandung norma.
Bahasa yang ada dalam peraturan tersebut harus mudah dilaksanakan atau dapat
ditegakkan.

Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-


undangan para perancang biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang
singkat, tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh khalayak.

2. Sifat - Sifat Perundang – undangan


Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang
digunakan dalam membentuk suatu isi dalam peraturan perundang-undangan, seperti
yang telah diketahui bahwa bahasa dalam peraturan perundang-undangan tunduk pada
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar akan tetapi terkandung ciri-ciri
khusus yang hanya ada di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain
ialah sifat keresmian, sifat kejelasan makna, dan sifat kelugasan.

a) Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang


menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada
kaidah bahasa.
b) Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan
dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian
kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan
memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang
disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang
dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek,
pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
c) Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya
disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.

Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan mempunyai


susunan kalimat yang menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh E.A
Driedger tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula
ketidaksempurnaan tingkat kedua (Ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi
kandungan makna ganda, kabur, dan terlalu luas). Ketidaksempurnaan tingkat kedua
meliputi ketidaktetapan kata dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan
ungkapan berbeda), berlebihan, bertele-tele, kacau, ketiadaan bantuan tanda baca
untuk kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.

3. Karakteristik bahasa perundang – Undangan

Penggunaan bahasa dalam peraturan perundang-undangan dan penuangan


wawasan dan gagasannya dalam kata-kata, kalimat, dan ungkapan perlu dilihat dari
sudut pembacanya, yakni bagaimana pembaca mengartikannya, memahaminya, dan
menafsirkannya. Oleh karena itu, Bahasa hukum perundang-undangan harus memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a) Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana.
b) Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relatif, dengan
maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat
secara individual.
c) Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan aktual, serta menghindarkan diri
dari kiasan dan dugaan.
d) Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya,
karena rakyat mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja,
hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang
ada pada rata-rata manusia.
e) Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian,
pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu.
f) Hendaknya tidak memancing perdebatan/pembantahan, adalah berbahaya
memberikan alasan-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka
pintu pertentangan.
g) Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah
mengandung manfaat praktis, hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar
nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami, karena peraturan yang lemah
tidak diperlukan, dan yang tidak adil akan menyebabkan seluruh sistem
peraturan dalam reputasi yang jelek dan kerena itu mengguncang kewibawaan
negara.

4. Penerapan Bahasa Perundang-Undangan Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia

Pilihan Kata atau Istilah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dalam menyusun kalimat perumusan peraturan perundang-undangan para


perancang dituntut untuk mampu memilih atau menggunakan kata-kata yang
tepat. Pemilihan kata oleh perancang bukan dimaksudkan untuk mengaburkan
pengertian atau bahkan menimbulkan kebingungan akan tetapi dimaksudkan
agar bahasa dalam peraturan perundang-undangan tersebut terkesan tidak kaku
dan tidak mempunyai rasa atau karakteristik seperti yang seharusnya.

Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata


atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa
dgunakan sehari-hari.

Selain itu yang juga harus dihindarkan ialah penggunaan satu kata atau
istilah yang mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat yang lain dalam satu
undang-undang. Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan
perundang-undangan sering kali kita harus menggunakan kata-kata yang
menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para perancang yang baik
harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal itu tepaksa
dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya
ditempatkan di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang
tubuh) peraturan.

Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat
dalam peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan /
pilihan kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:

 Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam


menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata
‘paling’. Contoh: ….dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda ‘paling’ sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan ‘paling’
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
 Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:

 Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama


 Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak
 Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling
tinggi

 Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata


kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah
seluruh kalimat
 Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh:
Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7
pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam pasal 14
 Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan
kata jika, apabila, atau frase dalam hal

 Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal


(pola karena-maka).
 Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal
yang mengandung waktu.
 frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu
kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau
mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).

 Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti
akan terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum
Pidana dinyatakan tidak berlaku
 Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan
B dapat menjadi…
 Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A
atau B wajib memberikan.
 Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan
frase dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
 Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang
menolak atau mengabulkan permohonan grasi
 Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga guanakan kata berwenang.
 Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran
paten.
 Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,
gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang
berlaku. Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki
izin mendirikan bangunan.
 Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau prasyaratan tersebut.
 Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.

5. Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan

Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
bukan kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh
permasalahan yang akan di bahas ialah “Clerical Error”

Kekeliruan Redaksional (Clerical Erorr)

Setiap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan


Rakyat pada dasarnya, secara materiil sudah dapat dikatakan bersifat final, meskipun
belum disahkan secara formal oleh presiden sesuai ketentuan pasal 20 ayat (4) atau
ayat (5) UUD 1945. Apabila UU sesudah disahkan oleh DPR sebagai tanda bahwa
rancangan undang-undang mendapatkan persetujuan bersama-sama antara DPR dan
Presiden, rancangan undang-undang dimaksud tidak boleh diubah lagi rumusan
isinya.

Namun demikian, dalam praktik sering terjadi bahwa dalam pengetikan rancangan
undang-undang itu sebelum disahkan oleh presiden, ditemukan berbagai kekurangan
dan kekeliruan yang bersifat “clearical”. Kekurangan yang dimaksud misalnya terjadi
karena kesalahan dalam pengetikan ejaan atau “spelling” atau penulisan-penulisan
istilah tertentu yang berasal dari bahasa asing. Kadang-kadang jenis “clerical error”
dimaksud memang tidak prinsipil sifatnya, hanya karena salah penulisan atau
pengetikan ejaan. Akan tetapi, dalam praktik, sering juga terjadi bahwa kesalahan
yang sebenarnya bersifat “clearical error” itu ternyata berpengaruh serius terhadap isi
norma yang terdapat di dalam rumusan kata atau kalimat yang berisi “clerical error”

Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4)
UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh Hakim Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A
ayat (4) UUD 1945 jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah
“wakil ketua” pada pasal 24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian
jabatan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A
ayat (4) UUD 1945 bersifat umum .

Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat
prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum.
Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan
adanya kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya
menyangkut minor staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU,
tetap perlu dipikirkan mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara
resmi .

Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan
disalahgunakan. Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang pasti bahwa menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat
ahli bahasa yang bertindak sebagai “final reader”
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Bahasa perundang-undangan mempunyai corak tersendiri walaupun tetap
menggunakan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu dalam
penyusunannya para perancang peraturan perundang-undangan diwajibkan menguasai
bahasa hukum, dan juga mengerti akan ragam-ragam bahasa peraturan perundang-
undangan serta pemilihan kata atau istilah yang sesuai dengan kaidah Bahasa
Indonesia agar kelak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan
yang benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia, responsive

Akan tetapi meskipun telah disusun dengan sedemikian rupa nyatanya kelalaian
tidak lepas dari diri manusia, ada saja permasalahan yang timbul dalam penyusunan
perundang-undangan itu sendiri, salah satu contohnya ialah “Clerical Erorr”. Dalam
hal seperti ini dituntut adanya pihak yang bertanggung jawab dengan misalnya
mengangkat seorang pejabat ahli bahasa. Dan masyarakat pun harus lebih bijak dan
kritis dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/219-bahasa-peraturan-perundang-
undangan.html
2. https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUND
ANG-UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan
3. lab.pancasila.um.ac.id/wp.../Memahami-Bahasa-Hukum-Perundang-Undangan.docx
4. https://www.academia.edu/28817915/Bahasa_Hukum_Dalam_Peraturan_Perundang-
Undangan

Anda mungkin juga menyukai