DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 4 :
WAHYUDI : 04020180854
C6
FAKULTAS HUKUM
MAKASSAR
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu
perundang-undangan ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula, kita
kirimkan salam dan salawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW,
keluarga, dan seluruh sahabatnya.
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan …………………………...…………………………………………………...10
I. LATAR BELAKANG
Bahasa memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam
berkomunikasi dengan sesamanya manusia memerlukan bahasa hanya dengan bahasa
dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung. Dan
dari komunikasi itulah maka manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Hal lain
yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ialah hukum, dalam negara
hukum seperti Indonesia tentunya terdapat peraturan perundang-undangan. Suatu
aturan baik dalam bentuk tertulis, maupun lisan tentunya akan digunakan bahasa.
Sesuai dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah
bahasa Indonesia, maka bahasa yang digunakan dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan juga digunakan bahasa Indonesia .
Bunyi peraturan tiada lain adalah bahasa yang diterapkan untuk kewajiban,
perintah, larangan, suruhan, arahan, pedoman, dan pilihan-pilihan untuk keteraturan
dan ketertiban bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bahasa peraturan perundang-undangan meliputi dua hal, yakni format peraturan itu
sendiri dan susunan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mengandung norma.
Bahasa yang ada dalam peraturan tersebut harus mudah dilaksanakan atau dapat
ditegakkan.
Selain itu yang juga harus dihindarkan ialah penggunaan satu kata atau
istilah yang mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat yang lain dalam satu
undang-undang. Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan
perundang-undangan sering kali kita harus menggunakan kata-kata yang
menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para perancang yang baik
harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal itu tepaksa
dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya
ditempatkan di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang
tubuh) peraturan.
Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat
dalam peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan /
pilihan kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:
Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti
akan terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum
Pidana dinyatakan tidak berlaku
Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan
B dapat menjadi…
Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A
atau B wajib memberikan.
Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan
frase dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang
menolak atau mengabulkan permohonan grasi
Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau
lembaga guanakan kata berwenang.
Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran
paten.
Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan,
gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang
berlaku. Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki
izin mendirikan bangunan.
Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau prasyaratan tersebut.
Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
bukan kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh
permasalahan yang akan di bahas ialah “Clerical Error”
Namun demikian, dalam praktik sering terjadi bahwa dalam pengetikan rancangan
undang-undang itu sebelum disahkan oleh presiden, ditemukan berbagai kekurangan
dan kekeliruan yang bersifat “clearical”. Kekurangan yang dimaksud misalnya terjadi
karena kesalahan dalam pengetikan ejaan atau “spelling” atau penulisan-penulisan
istilah tertentu yang berasal dari bahasa asing. Kadang-kadang jenis “clerical error”
dimaksud memang tidak prinsipil sifatnya, hanya karena salah penulisan atau
pengetikan ejaan. Akan tetapi, dalam praktik, sering juga terjadi bahwa kesalahan
yang sebenarnya bersifat “clearical error” itu ternyata berpengaruh serius terhadap isi
norma yang terdapat di dalam rumusan kata atau kalimat yang berisi “clerical error”
Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4)
UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh Hakim Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A
ayat (4) UUD 1945 jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah
“wakil ketua” pada pasal 24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian
jabatan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A
ayat (4) UUD 1945 bersifat umum .
Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat
prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum.
Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan
adanya kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya
menyangkut minor staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU,
tetap perlu dipikirkan mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara
resmi .
Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan
disalahgunakan. Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang pasti bahwa menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat
ahli bahasa yang bertindak sebagai “final reader”
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahasa perundang-undangan mempunyai corak tersendiri walaupun tetap
menggunakan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu dalam
penyusunannya para perancang peraturan perundang-undangan diwajibkan menguasai
bahasa hukum, dan juga mengerti akan ragam-ragam bahasa peraturan perundang-
undangan serta pemilihan kata atau istilah yang sesuai dengan kaidah Bahasa
Indonesia agar kelak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan
yang benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia, responsive
Akan tetapi meskipun telah disusun dengan sedemikian rupa nyatanya kelalaian
tidak lepas dari diri manusia, ada saja permasalahan yang timbul dalam penyusunan
perundang-undangan itu sendiri, salah satu contohnya ialah “Clerical Erorr”. Dalam
hal seperti ini dituntut adanya pihak yang bertanggung jawab dengan misalnya
mengangkat seorang pejabat ahli bahasa. Dan masyarakat pun harus lebih bijak dan
kritis dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/219-bahasa-peraturan-perundang-
undangan.html
2. https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUND
ANG-UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan
3. lab.pancasila.um.ac.id/wp.../Memahami-Bahasa-Hukum-Perundang-Undangan.docx
4. https://www.academia.edu/28817915/Bahasa_Hukum_Dalam_Peraturan_Perundang-
Undangan