Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MATA KULIAH

PENALARAN HUKUM

NAMA : PUTRA RAMADANI

NIM : 1774201179

KELAS : C

PENGGUNAAN KAIDAH DAN BAHASA HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN

KAIDAH HUKUM

Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa
masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh
aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan.

Karena ada kaidah hukum maka hukum dapat dipandang sebagai kaidah. Hukum sebagai kaidah
adalah sebagai pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan. Pada konteks ini masyarakat memandang bahwa hukum merupakan patokan-
patokan atau pedoman-pedoman yang harus mereka lakukan atau tidak boleh mereka lakukan.
Pada makna ini aturan-aturan kepala adat atau tetua kampung yang harus mereka patuhi bisa
dianggap sebagai hukum, meskipun tidak dalam bentuk tertulis.

Jenis- jenis kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Kaidah Perilaku, adalah jenis kaidah yang menetapkan bagaimana kita harus atau
boleh berperilaku. Fungsinya untuk mengatur perilaku orang-orang dalam
kehidupan masyarakat.

2. Kaidah Kewenangan, adalah jenis kaidah hukum yang menetapkan siapa yang
berhak atau berwenang untuk menciptakan dan memberlakukan kaidah perilaku
tertentu. Fungsinya adalah untuk menetapkan siapa yang berwenang untuk
mengatur perilaku orang, menentukan dengan prosedur bagaimana kaidah
perilaku itu ditetapkan dan sekaligus menentukan bagaimana suatu kaidah harus
ditetapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ditidakjelasan.

3. Kaidah Sanksi, adalah jenis kaidah yang memuat reaksi yuridis atau akibat-akibat
hukum tertentu jika terjadi pelanggaran atau ketidakpuasan terhadap kaidah
tertentu. Secara umum kaidah sanksi memuat kewajiban untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.

4. Kaidah Kualifikasi, adalah jenis kaidah yang menetapkan persyaratan-persyaratan


tertentu yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melakukan perbuatan
hukum tertentu atau sebaliknya dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
suatu perbuatan hukum tertentu.

5. Kaidah Peralihan, adalah jenis kaidah hukum yang dibuat sebagai sarana untuk
mempertemukan aturan hukum tertentu sebagai akibat kehadiran peraturan
perundang-undangan dengan keadaan sebelum peraturan perundang-undangan
itu berlaku. Kaidah peralihan ini fungsinya untuk menghindari kemungkinan
terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian dan memberi jaminan
perlindungan hukum kepada subjek hukum tertentu.

BAHASA HUKUM

I. Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan


Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan
kepentingan pribadi di dalam masyarakat
Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidah-
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya. Namun, bahasa
peraturan dapat dikatakan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau
kejelasan penegertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai
dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun penulisan.
Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-
undangan para perancang biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang
singkat, tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh khalayak.
Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang
digunakan dalam membentuk suatu isi dalam peraturan perundang-undangan, seperti
yang telah diketahui bahwa bahasa dalam peraturan perundang-undangan tunduk pada
kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar akan tetapi terkandung ciri-ciri
khusus yang hanya ada di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain ialah
sifat keresmian, sifat kejelasan makna, dan sifat kelugasan.

Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan


mempunyai susunan kalimat yang menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh
E.A Driedger tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula
ketidaksempurnaan tingkat kedua (Ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi
kandungan makna ganda, kabur, dan terlalu luas). Ketidaksempurnaan tingkat kedua
meliputi ketidaktetapan kata dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan
ungkapan berbeda), berlebihan, bertele-tele, kacau, ketiadaan bantuan tanda baca untuk
kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.

 Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan


Untuk menyusun atau merumuskan suatu peraturan perundang-undangan
Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagaimana dikutip oleh C.K Allen
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana
2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud
agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual
3. Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan actual, serta menghindarkan diri dari
kiasan dan dugaan
4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena
rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja hendaknya
tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada rata-rata
manusia
5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan,
atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu
6. Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’: adalah berbahaya memberikan
alas an-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan
7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung
manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta
kewajaran yang alami; karena peraturan yang lemah, tidak diperlukan, dan yang tidak
adil akan menyebabkan seluruh sistem peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena
itu mengguncangkan kewibawaan negara

Selain pendapat dari Montesquieu pengalaman modern dalam penyusunan


peraturan perundang-undangan menambahkan saran-saran lagi. Mengingat bahwa
penggunaan bahasa yang teknis-yuridis pada umumnya tidak dapat dielakkan maka
perlu diusahakan hal-hal berikut:

1. Perlu ada penjelasan dan penyuluhan lebih banyak mengenai latar belakang lahirnya
peraturan perundang-undangan serta keadaan yang mempengaruhinya sehingga
penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih baik
2. Penggunaan ragam bahasa teknis memang tidak dapat dihindarkan dimana-mana tetapi
penggunaan ragam bahasa teknis perundang-undangan dapat diatur lebih baik daripada
ragam bahasa teknis lainnya jargon atau bahasa yang tipikal dank has di bidang hukum
dapat diganti misalnya, meskipun ‘ciptaan-ciptaan’ baru hendaknya tidak makin
menyulitkan
3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan untuk memberikan
ketepatan penegertian. Tetapi arti kata-kata yang sudah diketahui masyarakat tidak
perlu didefinisikan apabila definisi sulit dirumuskan maka uraian pengertian dapat
digunakan

Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus diperhatikan
bagi penyusun peraturan perundang-undangan ialah kemampuan dalam mengantisipasi
dan menafsirkan apa yang mungkin akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.

II. Penerapan Bahasa Perundang-Undangan Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia

 Pilihan Kata atau Istilah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dalam menyusun kalimat perumusan peraturan perundang-undangan para


perancang dituntut untuk mampu memilih atau menggunakan kata-kata yang tepat.
Pemilihan kata oleh perancang bukan dimaksudkan untuk mengaburkan pengertian
atau bahkan menimbulkan kebingungan akan tetapi dimaksudkan agar bahasa dalam
peraturan perundang-undangan tersebut terkesan tidak kaku dan tidak mempunyai rasa
atau karakteristik seperti yang seharusnya.
Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau
frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa dgunakan sehari-hari.
Selain itu yang juga harus dihindarkan ialah penggunaan satu kata atau istilah yang
mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat yang lain dalam satu undang-undang.
Dalam perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
sering kali kita harus menggunakan kata-kata yang menggunakan istilah asing, dalam
hal demikian para perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah asing
tersebut. Dan apabila hal itu tepaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-
istilah asing itu hanya ditempatkan di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-
pasal (batang tubuh) peraturan.
Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat
dalam peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan / pilihan
kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:
1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman
pidana atau batasan waktu digunakan kata ‘paling’. Contoh: ….dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda ‘paling’ sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan
‘paling’ banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama
b. Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak
c. Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali
ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat
4. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh: Selain wajib
memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7 pemohon wajib membayar biaya
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
5. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata jika,
apabila, atau frase dalam hal
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka)
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung
waktu
c. frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau
kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka)
6. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi
pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pasal 45, pasal
46, dan pasal 47 kitab UU Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku
7. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B dapat
menjadi…
8. Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A atau B wajib
memberikan
9. Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan frase dan / atau.
Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
10. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan
kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan
grasi
11. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga guanakan
kata berwenang
12. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat diberikan
kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh: Menteri dapat menolak
atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten
13. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib.
Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum
menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib
memiliki izin mendirikan bangunan
14. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata
harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh
sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau
prasyaratan tersebut
15. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang
III. Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan

Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
bukan kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh
permasalahan yang akan di bahas ialah “Clerical Error”

 Kekeliruan Redaksional (Clerical Erorr)


Setiap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat pada dasarnya, secara materiil sudah dapat dikatakan bersifat final, meskipun
belum disahkan secara formal oleh presiden sesuai ketentuan pasal 20 ayat (4) atau
ayat (5) UUD 1945. Apabila UU sesudah disahkan oleh DPR sebagai tanda bahwa
rancangan undang-undang mendapatkan persetujuan bersama-sama antara DPR dan
Presiden, rancangan undang-undang dimaksud tidak boleh diubah lagi rumusan isinya.
Namun demikian, dalam praktik sering terjadi bahwa dalam pengetikan
rancangan undang-undang itu sebelum disahkan oleh presiden, ditemukan berbagai
kekurangan dan kekeliruan yang bersifat “clearical”. Kekurangan yang dimaksud
misalnya terjadi karena kesalahan dalam pengetikan ejaan atau “spelling” atau
penulisan-penulisan istilah tertentu yang berasal dari bahasa asing. Kadang-kadang
jenis “clerical error” dimaksud memang tidak prinsipil sifatnya, hanya karena salah
penulisan atau pengetikan ejaan. Akan tetapi, dalam praktik, sering juga terjadi bahwa
kesalahan yang sebenarnya bersifat “clearical error” itu ternyata berpengaruh serius
terhadap isi norma yang terdapat di dalam rumusan kata atau kalimat yang berisi
“clerical error”
Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4)
UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari
dan oleh Hakim Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A
ayat (4) UUD 1945 jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah
“wakil ketua” pada pasal 24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian
jabatan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A ayat
(4) UUD 1945 bersifat umum.
Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat
sangat prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma
hukum. Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata
ditemukan adanya kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau
hanya menyangkut minor staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum
naskah UU, tetap perlu dipikirkan mengenai mekanisme pengoreksian sebelum
disahkan secara resmi.
Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan disalahgunakan.
Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang pasti bahwa
menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat ahli bahasa yang
bertindak sebagai “final reader”

Anda mungkin juga menyukai