Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PEMBAHASAN TENTANG NIKAH KONTRAK


MENURUT PANDANGAN ISLAM
Dosen pembimbing : Dra. ARIFAH BUDHYANTI, Mz

Disusun oleh :

KELOMPOK I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND

YOGYAKARTA
2016

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat dan
hidayah_NYA sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam kita limpahkan
kepada junjungan Nabi Agung, Nabi Muhammad SAW yang kita tunggu-tunggu syafaatnya
nanti di hari akhir. Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Arifah Budhyanti, Mz selaku
dosen pembimbing Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan banyak ilmu dan
pengarahan.

Akhir kata kami mohon maaf apabila ada banyak kesalahan pada penulisan kata-kata
serta kalimat. Oleh karena itu, kami meminta kritik dan saran untuk lebih membangun dan
menambah ilmu kami. Selanjutnya kami berharap dari makalah ini dapat bermanfaat untuk
kita semua. Amiin

Yogyakarta, 7 November 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Sampul dan judul makalah ..................................................................................1


Kata pengantar .....................................................................................................2
Daftar isi ..............................................................................................................3

Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah .........................................................................4
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................4
1.3. Tujuan ……………………………………………………….................5

Bab II Pembahasan
2.1. Pengertian Kawin Kontrak .……………………….................................6
2.2. Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Rasulullah Saw…………………....7
2.3. Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang Dan Syari’at Islam.10
2.4. Dampak Negatif Dan Positif Kawin Kontrak ………………………....15
2.5. Penyebab Diharamkannya Kawin Kontrak…………………….............16

Bab III Penutup


3.1. Kesimpulan .............................................................................................19
3.2. Saran........................................................................................................19

Daftar Pustaka ......................................................................................................21

Nama-Nama Kelompok...............................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dengan berjalan waktu fenomena dan segala permasalah yang timbul semakin kompleks.
Banyak permasalahan yang terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak terjadi sama sekali
pada zaman Rasulullah SAW. dan para ulama ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi
silang pendapat untuk menyelesaikannya.
Dalam kehidupan manusia, pada usia tertentu, bagi seorang pria maupun seorang wanita
timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama antara seorang
pria dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis, namun juga
keinginan mendapat anak keturunannya, maupun hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya untuk
menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berbuat semaunya
seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya. Allah telah memberikan batas dengan
peraturan-peraturannya, yaitu dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-
Nya dengan hukum-hukum pernikahan. Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia dan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita.
Namun, dewasa ini mulai populer adanya kawin kontrak. Atau dalam istilah fiqih disebut
dengan nikah mut’ah. Bagaimanakah islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa pengertian kawin kontrak?
 Bagaimanakah sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW?
 Apa landasan hukum kawin kontrak menurut undang-undang dan syari’at Islam?
 Apa dampak positif dan negatf kawin kontrak?
 Apa penyebab diharamkannya kawin kontrak?

4
1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui dan memahami pengertian kawin kontrak.


 Untuk mengetahui dan memahami sejarah kawin kontrak pada masa Rasulullah SAW.
 Untuk mengetahui dan memahami landasan hukum kawin kontrak menurut undang-
undang dan syari’at Islam.
 Untuk mengetahui dan memahami dampak negatif dan positif adanya kawin kontrak.
 Untuk mengetahui dan memahami penyebab diharamkannya kawin kontrak.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kawin Kontrak


Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin, atau
bersetubuh.[Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka,1994).
Sedangkan “kontrak” berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau
lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan. Kawin kontrak dalam istilah fiqih dikenal
sebagai nikah mut’ah. Dalam istilah yang lain, nikah mut’ah disebut juga nikah sementara
(nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’).
Menurut Dr. H. Mahjuddin, M.Pd. I, kawin kontrak merupakan tradisi masyarakat
jahiliyah.[ Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 51].Yang pengertiannya
menurut Sayyid Syabiq, “kawin kontrak adalah adanya seorang pria mengawini wanita selama
sehari, atau seminggu, atau sebulan.” Dan dinamakan muth’ah karena laki-laki mengambil
manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai
kepada waktu yang telah ditentukannya.[ Sayyid Syabiq, Fikih Sunnah 6 (Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1980).
Nikah mut’ah adalah nikah untuk bersenang-senang dalam masa tertentu. Misalnya
dikatakan oleh walinya,” Aku nikahkan engkau dengan Fatimah untuk sebulan saja”.[ M. A.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,2010).
Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan yang merupakan
sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat maslahatnya. Disini, perbedaan
tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan merusak dan dampak negatif yang
ditimbulkannya.
Secara istilah, kawin kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan
menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu
tahun, dan sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu yang ditetapkan, maka pernikahan itu
putus dengan sendirinya tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[Team Musyawarah Guru Bina PAI

6
Madrasah Aliyah, Al Hikmah Fiqih ( Sragen: Akik Pusaka, 2008), 10]. Nikah mut’ah cenderung
bertujuan untuk hiburan, bersenang-senang, dan melampiaskan hawa nafsu semata.
Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si
suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah
menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita
teramat sangat dirugikan.
Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam. Dalam hal ini syaikh al-Bakri
dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena
tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga
yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari
ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah
haram dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat tanpa
berwudhu’, maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah.
Demikian pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan
tidak diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.

2.2 Sejarah Kawin Kontrak Pada Masa Raulullah SAW.


Jika kita tengok sejarah awal Islam, dimana ketika itu masyarakat jahiliyah
tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu
lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran
Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya.
Pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh
dari istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun
kemudian Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun
8 H / 630 M.
Nikah mut’ah diawal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini
menjadi haram hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas)

7
sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari Sabroh Al Juhaniy
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

‫ام ْالفَتْحِ ِحينَ دَخ َْلنَا َم هكةَ ث ُ هم لَ ْم ن َْخ ُرجْ ِم ْن َها َحتهى‬
َ ‫ ِب ْال ُمتْ َع ِة َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬ ُ ‫أ َ َم َرنَا َر‬
‫سو ُل ه‬
‫نَ َهانَا َع ْن َه‬

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum kami
meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah tersebut.(HR. Muslim)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata:
“Kami menetap selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah dengan
wanita, kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis). Sampai aku keluar
Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam.” (HR.
Muslim).
Saat kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan soal kawin mut'ah antara Sunni
dan Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah dilarang oleh Nabi MuhammadSAW pada
berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah, Nabi juga pernah memperbolehkannya dalam
berbagai kesempatan. Yang telah menjadi kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat
menjabat Khalifah telah melarangnya.

Adapun para ulama berpendapat yang berbeda-beda tentang hukum kawin kontrak atau
nikah mut’ah diantaranya, ialah Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan
fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri,
sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya
boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan
dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini
tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika
banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia
merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata:

8
“inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk
kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah
kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi
ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam
keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang
awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”

Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk
dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat
kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih sebagai berikut :

َ ‫سله َم َع ْن ْال ُمتْ َع ِة َع‬


)‫ام َخ ْي َب َر (متفق عليه‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬:َ‫َّللاُ َع ْنه قَال‬
‫سو ُل ه‬ ‫ي ه‬ َ ‫ض‬
ِ ‫ي َر‬ َ ‫َع ْن‬
ٍّ ‫ع ِل‬
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika
perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim”

‫طاس فِي ْال ُمتْ َع ِة ث َ ََلثًا‬


َ ‫ام أ َ ْو‬
َ ‫سله َم َع‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ‫سو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ‫ َر هخ‬:َ‫سلَ َمةَ بن األكوع رضي هللا عنه قَال‬
ُ ‫ص َر‬ َ ‫َع ْن‬

)‫ث ُ هم نَ َهى َع ْن َها (رواه مسلم‬

“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w.
memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya
Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.

ُ‫اس إِنٍِّي قَدْ ُك ْنتُ أَ ِذ ْنت‬


ُ ‫سله َم فَقَا َل يَا أَيُّ َها النه‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ِ‫سب َْرة َ ْال ُج َهن‬
ُ ‫ي أ َ هن أَبَاهُ َحدهثَهُ أَنههُ َكانَ َم َع َر‬
‫سو ِل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ َ ُ‫عن هربِي ُع ْبن‬

‫س ِبيلَهُ َو َِل ت َأ ْ ُخذُوا‬


َ ‫ش ْي ٌء فَ ْليُ َخ ٍِّل‬
َ ‫َّللاَ قَدْ َح هر َم ذَلِكَ إِلَى َي ْو ِم ْال ِق َيا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْندَهُ ِم ْن ُه هن‬
‫اء َو ِإ هن ه‬
ِ ‫س‬َ ‫لَ ُك ْم ِفي ِاِل ْس ِت ْمت َاعِ ِم ْن ال ٍِّن‬

)‫ش ْيئًا (أخرجه مسلم وأبو داوود والنسائي وابن ماجة وأحمد وابن حبان‬
َ ‫ِم هما آت َ ْيت ُ ُموه هُن‬

“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya
Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih
mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah
kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu
Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi
nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah.

9
Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap
melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan
oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:

‫س َواء َكانَ قَبْل الدُّ ُخول أ َ ْو بَ ْعده‬ ْ ‫علَى أَنههُ َمت َى َوقَ َع نِ َكاح ْال ُمتْ َعة ْاْلن ُح ِك َم ِبب‬
َ ‫ُط ََلنِ ِه‬ َ ‫َوأَجْ َمعُوا‬
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka
hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”.

2.3 Landasan Hukum Kawin Kontrak Menurut Undang-Undang


dan Syari’at Islam
1. Menurut undang-undang perkawinan di Indonesia.
Kawin kontrak merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke dalam kategori
“perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut melainkan hanya
dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Dalam sudut pandang hukum, kawin kontrak pada dasarnya tidak diperkenankan oleh
hukum perkawinan Indonesia yaitu yang terangkum dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974. Pasal 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa”Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinanan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Ketentuan diatas mengandung pengertian bahwa apabila sebuah perkawinan dilakukan
tidak berdasarkan agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak, maka secara hukum tidak
akan diakui keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini tidak hanya diberi pengertian
terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua calon mempelai, persetujuan orang tua,
maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi juga harus terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu
sendiri yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa.
Oleh karena itu, kawin kontrak bukan merupakan perkawinan yang sah karena pada
dasarnya dilakukan bukan karena adanya tujuan yang mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan

10
untuk membentuk keluarga yang bahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
didasari kepentingan yang bertentangan dengan hukum perkawinan itu sendiri, misalnya demi
memenuhi kebutuhan ekonomi / hawa nafsu. Selain itu dalam hukum perkawinan dikenal adanya
asas pencatatanperkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 ) Undang-undang Nomor 1
tahun1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanganyang
berlaku.”
Kawin kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri berlangsung secara diam-diam bahkan tidak
banyak orang yang mengetahuinya. Adapun pengertian “sah” dalam pandangan para pelaku
kawin kontrak hanya didasarkan pada terpenuhinya persyaratan dua calon mempelai, persetujuan
orangtua, penghulu, dan mahar, sehingga mereka berpikir bahwa secara agama perkawinan
tersebut sah meskipun tidak dicatat.
Ini adalah pemahaman yang keliru karena berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan
itu akan sah apabila dicatat oleh lembaga yang berwenang melakukan pencatatan. Mengenai asas
pencatatan ini pun tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan
pelaksanaan dari pasal 2 ayat (2) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kemudian jika dilihat dari Syarat-syarat perkawinan yaitu yang termuat dalam pasal 6 ayat (1)
yang berbunyi :” Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.“
Kenyataannya, kawin kontrak lebih banyak terjadi bukan berasal dari persetujuan calon
mempelai tetapi terjadi karena paksaan dari orang tua (jika pihak perempuan) yang karena faktor
ekonominya kurang mampu sehingga tega menjual anak-anaknya sendiri untuk tujuan
menyambung hidup. Persetujuan yang terjadi pada umumnya hanya terucap secara lisan saja
berdasarkan paksaan, bukan karena hati nurani. Dan ini sudah melanggar ketentuan dari tujuan
perkawinan itu sendiri yang harus didasari oleh kehendak dan tujuan yang baik untuk memenuhi
perintah Tuhan. Sedangkan dari pihak laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas
nafsu biologis semata atau juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi padakepentingan
sepihak. Pasal 7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakanbahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19(Sembilan belas) dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Dalam undang-undang Perkawinan dikenal asas bahwa para pihak harus sudah aqil balig.
“Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig adalah “dewasa secara fisik”.Banyak pihak yang

11
mengartikan dewasa itu hanya sebagai “balig”, padahal kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil”
sehingga seseorang tersebut mempunyai akaluntuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu itu
apakah benar atau tidak, apakah berakibat buruk atau tidak.
Demikian pula pada masalah perkawinan, kedua calon mempelai itu dituntut tidak hanya
dewasa secara fisik tetapi juga dewasa secara pemikiran sehingga akan mampu menjalankan
bahtera perkawinannya secara sehat.Jika merujuk pada keterangan para pelaku kawin kontrak,
pada umumnya syarat aqil dan balig itu hanya dimiliki oleh satu pihak (misalnya dari pihak laki-
laki yang rata-rata sudah berusia dewasa dan memiliki akal untuk mempertimbangkan baik dan
buruknya perkawinan kontrak namun mereka mengabaikan hal tersebut) namun di lain pihak.
Calon mempelai perempuan berusia di bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas
tahun namun belum memiliki kedewasaan yang cukup untuk mempertimbangkan baik buruknya
melakukan kawin kontrak sehingga mereka menurut saja ketika orang tua memaksanya atau
keadaan ekonomi menuntutnya untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena itu
jenis perkawinan ini sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di masyarakat, serta
bertentangan dengan agama dan hukum negara.
Di Indonesia perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan hukum islam
memandang bahwa perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formalnya semata-mata, tetapi
juga dilihat dari aspek agama dan sosial. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan
perkawinan sedangkan aspek formal adalah menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan di
KUA atau catatan sipil.
Kawin kontrak merupakan sebuah fenomena terselubung dalam masyarakat sekarang ini.
Pelaksanaan kawin kontrak sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, karena dalam
kawin kontrak yang ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat
sementara. Menurut UU No.1 Tahun 1974, perkawinan haruslah bersifat kekal untuk selama-
lamanya.

2. Menurut syari’at Islam.


Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi
kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim yang artinya:

12
“Yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian
diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian
diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah,
atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam
keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat.
Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar
jika Allah memberikan keringanan bagi para sahabat ketika itu.
Haramnya nikah mut’ah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin,
berlandaskan dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama dari empat madzhab. Dalil
dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan
bahwa:
Dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW
dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan
bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia
mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata:
Ada selimut seperti selimut. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam.
Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang
berpidato di antara pintu Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku
pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang
mempunyai istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang
telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa Jalla telah
mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim ,
Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam al-Nasa’i , Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).
Jadi kawin kontrak atau nikah muth’ah itu dilarang oleh Islam. Karena dapat merusak
tujuan utama dari perkawinan itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an
berikut ini:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21).

13
Kawin kontrak dalam Islam disebut dengan istilah nikah mut’ah. Hukumnya adalah haram
dan akad nikahnya tidak sah alias batal. Hal ini sama saja dengan orang sholat tanpa berwudhu’,
maka sholatnya tidak sah alias batal. Tidak diterima oleh Allah SWT sebagai ibadah. Demikian
pula orang yang melakukan kawin kontrak akad nikahnya tidak sah alias batal, dan tidak
diterima Allah SWT sebagai amal ibadah.
Mengapa kawin kontrak tidak sah? Sebab nash-nash dalam Al Qur`an maupun Al Hadits
tentang pernikahan tidak mengkaitkan pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Pernikahan
dalam Al Qur`an dan Al Hadits ditinjau dari segi waktu adalah bersifat mutlak, yaitu maksudnya
untuk jangka waktu selamanya, bukan untuk jangka waktu sementara. Maka dari itu, melakukan
kawin kontrak yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu hukumnya tidak sah, karena
bertentangan ayat Al Qur`an dan Al Hadits yang sama sekali tidak menyinggung batasan waktu.

FATWA PARA ULAMA TENTANG NIKAH MUT'AH


1. Ulama Madzhab Hanafi :
 Imam Al-Sarakhsi berkata:''Nikah mut'ah ini batil menurut madzhab kami''.
 Imam Al-Kasani berkata:''Tidak boleh nikah yang bersifat sementara yaitu nikah mut'ah''.
 Imam Abu Ja'far Ath-Thohawi berkata; ''Sesungguhnya semua hadis yang membolehkan
nikah mut'ah telah di mansukh. Beliau juga berkata: lihatlah umar beliaumelarang nikah
mut'ah di hadapan semua sahabat, tanpa ada yang mengingkari. Ini adalah dalil
bahwasanya mereka mengikuti larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang
hal tersebut adalah hujjah atas di hapusnya kebolehan mut'ah.''
2. Ulama Madzhab Maliki:
 Imam Malik bin Anas berkata : ''Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di batasi
waktu maka nikahnya batil ''.
 Imam Ibnu Rusyd berkata ; ''Hadis –hadis yang mengharamkan nikah mut'ah mencapai
peringkat yang mutawatir''.
 Imam Ibnu Abdil Barr ; ''Adapun semua shahabat ,Thabi'in dan orang- orang yang setelah
mereka mengharamkan nikah mut'ah, di antara merekaadalah Imam Malik dari Madinah,
Abu Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari Mesir
serta seluruh ulama hadis.

14
3. Ulama Madzhab Syafi'I :
 Imam Asy-Syafi'I berkata : ''Nikah mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang di
batasi dengan waktu baik pendek maupun panjang'.
 Imam Nawawi berkata : ''Nikah mut'ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada
dasarnya suatu akad yang bersifat mutlak, Maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.
 Imam Al-Khothobi berkata : ''keharaman nikah mut'ah semacam kesepakatan antara
kaum muslimin, memang nikah ini di halalkan di awalmasa Islam, Akan tetapi di
haramkan pada sa'at haji wada dan demikianitu terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah n
dan sekarang tidak adaperbeda'an antar para ulama mengenai keharaman masalah ini
kecuali sedikit dari kalangan orang–orang Syiah Rafidhah.
4. Ulama Madzhab Hanbali
 Imam Ibnu Qudamah v berkata : ''Nikah mut'ah ini batil sebagaimana ditegaskan oleh
Imam Ahmad, beliau berkata : ''nikah mut'ah haram''.
 Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman nikah mut'ahseperti Imam
Al-Baghowi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan khon, Imam Al Qurthubi,
Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq.

Majlis ulama pusat telah memfatwakan akan keharaman nikah mut'ah pada sk fatwa
nomer: kep–B-679/MUI /XI/1997.

2.4 Dampak Positif dan Negatif Adanya Kawin Kontrak


1. Dampak Positif
Selain dampak negatif, nikah mut’ah pun ternyata juga mempunyai dampak postif.
Dampak positifnya adalah memerlukan seseorang, karena ia khawatir terjerumus ke dalam
fitnah dan salah satu cara pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji, hal ini adalah pendapat
Jumhur ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni, yaitu Muwaffiquddin
Ibnu Qudamah Rahimahullah.

15
2. Dampak negatif
a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum wanita. Jadi pihak
wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan meresahkan masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan generasi yang dihasilkan oleh perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1 & 2.
e. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin.
f. Kawin kontrak sangat potensial untuk merusak kepribadian dan budaya luhur bangsa
Indonesia.
g. Penyia-nyiaaan anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayan orang tua.
Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab
pendidikan orang tua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang.
Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang
menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara
yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia akan
mengikuti jejak ibunya.
h. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin
kontrakapalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinanantara sesama
anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab
tidak ada saling kenal di antara mereka.
i. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak lebih-lebih
yang saling berjauhan sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan
pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat
dipastikan.
j. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disinisulit
memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

2.5 Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mut’ah


Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah saw adalah rahmat bagi
seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt mengharamkan Nikah Mut’ah kerna tidak sesuai
dengan misi yang diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan, akan

16
tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat Rasulullah saw. Dimana kita
ketahui, bahwa jarak antara keislaman mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang
mereka tumbuh didalamnya sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak masuk akal dalam
keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat mereka dengan berpuasa. Karena tidak
benenar dalam peperengan melemahkan seorang Mujahid dengan cara apapun dan dalam
keadaan apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar dibolehkannya Nikah Mut’ah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui firmannya dan Lisan
Rasulnya saw. Karena, Nikah Mut’ah menyusahkan perempuan dan anak yang lahir dari mereka.
Dan setelah diharamkan, tidak ada dari sahabat dan tabi’in yang melakukan itu lagi.
Bila dilihat dari definisi Nikah Mut’ah, pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi terhadap
arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu ikatan yang kuat dan
perjanjian yang teguh yang ditegakkan diatas landasan niat untuk bergaul antara suami istri
dengan abadi supaya memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam Al-Qur'an
yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang bersifat duniawi adalah
demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan hidup. Seperti Firman Allah SWT
Artinya:
“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat
berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh
penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu
dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang
lurus?.”QS. An-Nahl : 76
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi
kamu.”QS.An-Nissa : 1
Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk)
Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang

17
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya
kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya
bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat tidak sesuai dengan nikah
yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana diketahui bahwa, Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu,
dengan demikian, Nikah Mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam aqad
atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan talak atau meninggal dunia,
dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi jumlah istri yang boleh
dinikahi. Maka boleh bagi seorang pria menikah lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat
dilakukan tanpa wali atau tanpa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan
saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah setelah selesainya waktu yang
telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi kesepakatan atau apabila si perempuan itu
hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah merupakan bentuk
pelecehan terhadap kaum wanita, merusak keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin,
meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan saksi, bisa jadi, seseorang
mengumpulkan antara dua bersaudara, atau antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak
menutup kemungkinan, ia menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang
dilakukan sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena ketidak
tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah, selain
tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan lilalaamin) dan syari'at yang
dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak
pada Agama, masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw mengharamkannya,
karena didalamnya terdapat berbagai macam kerusakan.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Kawin Kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan batas
waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan
sebagainya. Jika massanya sudah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa
kata thalaq dan tanpa warisan.
 Kawin kontrak atau nikah muth’ah haram hukumnya. Karena sangat bertentangan dengan Al-
Qur’an.
 Kawin kontrak selain mempunyai dampak negatif, disisi lain ada dampak positifnya. Tetapi
dampakpositif ini hanya berlaku pada saat perang pada zaman Rasulullah karena untuk
membangkitkan semangat para sahabat yang jauh dari istrinya untuk jihad dijalan AllahSWT.

 Jelaslah bahwa kawin kontrak itu hukumnya haram. Maka dari itu, orang yang melakukan
kawin kontrak sesungguhnya bukan menikah secara halal, tapi telah berbuat zina yang
merupakan dosa besar dalam Islam. Na’uzhu billahi min dzalik. Allah SWT berfirman (yang
artinya),”Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang
sangat keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Israa` [17] : 32).
 Sejarah kawin kontrak: pada zaman Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya
yang terpisah jauh dari istrinya untuk melakukan Kawin kontrak, dari pada melakukan
penyimpangan. Namun kemudian Rasulullah mengharamkannyaketika melakukan
pembebasan kota Mekah pada tahun 8 H / 630 M. Kawin kontrakdiawal-awal Islam
dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Kawin ini menjadi haram hingga hari kiamat.

3.2 Saran
Kawin Kontrak merupakan pernikahan yang dilarang oleh Islam. Jadi harus ditemukan
jalan keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya adalah dengan mengadakan
seminar dan penyuluhan mengenai hukum kawin kontrak serta menjelaskan sebab akibat kawin
kontrak. Dengan tujuan tersebut supaya masyarakat sadar bahwa sebuah perkawinan merupakan
bagian hidup yang sakral.

19
Hendaklah kita semua dapat memilih jalan yang benar dan dan diridhoi Allah dalam
menyalurkan nafsu seksual kita, yaitu pernikahan yang sah, bukan pernikahan secara kawin
kontrak. Walaupun kawin kontrak itu dapat menghasilkan materi dan kenikmatan, tapi ingatlah
itu hanya sesaat di dunia yang fana ini. Akibatnya di akhirat bukanlah surga, melainkan neraka.
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW ”Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam
neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan.”

20
Daftar Pustaka

 Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia, 2003.


 Muliono, Anton. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka,1994 Sabiq.
 Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Alma’arif, 1980.
 Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
 Team Musyawarah Guru Bina PAI Madrasah Aliyah. Al Hikmah Fiqih. Sragen: Akik
Pusaka, 2008.
 Tihami, M. A. dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Sumber lain:

 http://ekspresihati.info/renungan/poligami-nikah-siri-dan-kawin-kontrak.html
 http://rumaysho.com/belajar-islam/keluarga/3651-bentuk-nikah-yang-terlarang-2-kawin-
kontrak.html
 http://www.antaranews.com/news/166046/kawin-kontrak-menyimpang-dari-ajaran-islam
 http://www.kosmaext2010.com/mutah-atau-kawin-kontrak-makalah-teknik-penulisan-
ilmiah.php
 http://fitriap09.blogspot.com/2011/05/kawin-kontrak-menurut-pandangan-islam.html
 http://yenigaluh.forumotion.com/t376-kawin-kontrak
 http://www.maswins.com/2011/09/yang-sebenarnya-tentang-nikah-mutah.html
 http://hukum.kompasiana.com/2010/05/20/kawin-kontrakkatakan-tidaksebelum-
menyesal/

1-7 November 2016

21
KELOMPOK II

1. Devi Rizqi Amelia (131101132)


2. Shafril Khoiru Niam (151101121)
3. Yuli Nur Wahyudin (161101001)
4. Faried Ardian Putranto (161101002)
5. Asep Solihin (161101004)
6. Ikhlas Surya Pramana (161101006)
7. Garin Nugroho (161101007)
8. Canggah Besari (161101009)

22

Anda mungkin juga menyukai