Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

Memahami Qaidah Teori Al-Ijtihadu La Yunqadu Bil


Ijtihadi
(Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Qowaid Fiqhiyyah)
Dosen Pengampu: Yono, S.H.I., M.H.I

Disusun Oleh :
Dewa Pramudita (201105020848)
Inayatul Mahmuda (201105020005)

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHALDUN
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT
yang maha kuasa yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini tepat pada waktunya meskipun dalam bentuk dan isinya yang
sangat sederhana. Harapan kami semoga makalah ini dapat di
pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman, juga untuk menambah pengetahuan dan juga
pengalaman yang bermanfaat bagi para pembaca, sehingga
kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini dengan menjadi lebih baik.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu keritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir semoga Allah
yang maha kuasa senantiasa meridhoi segala urusan kita.
Aamiin.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................
2

DAFTAR ISI ...............................................................................


3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................................
4

B. Rumusan Masalah.....................................................................
4

C. Tujuan .....................................................................................
5

BAB II PEMBAHASAN

Makna Ijmali Qaidah (Pengertian dan Penjelasan Qaidah)...........


6

Dasar Hukum Qaidah.....................................................................


8

Qaidah Yang Semakna...................................................................


12

3
Contoh Aplikasi Qaidah ................................................................
13

Mustanayat (Pengecualian)
...........................................................................................
15

BAB III PENUTUP

Kesimpulan....................................................................................
18

Saran ...........................................................................................
18

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................


19

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad adalah sebuah media elementer yang sangat
berpengaruh besar perannya dalam konstruksi hukum-
hukum islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad konsturuksi hukum
islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini,
dan ajaran islam tidak akan mampu menjawab tantangan
zaman dengan berbagai problematikanya. Oleh karena itu
ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam islam. Dan harus

4
pula kita akui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu
perbedaan pendapat kontraiksi hukum antar ulama.
Pertentangan selama ini berlangsung dikalangan yuris islam
(fuqaha). Misalnya adalah akibat perbedaan metodologi
ijtihad yang mereka gunakan, dari situlah khazanah
keilmuan islam terlihat begitu kaya di tengah polemik
intelektual yang variatif, persoalannya Ketika ijtihad telah
mendapat legitimasi akankah produk hukum yang dicapai
melalui proses ijtihad dapat dianulir ijtihad yang lain, sekali
hukum itu terbangun atas landasan ijtihad maka ia telah
diakui eksistensinya sehingga tidak dapat digusur oleh hasil
ijtihat yang baru.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, ada
beberapa permasalahan pokok yaitu :
1. Bagaimanakah pemahaman dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad ?
1. Apakah dasar dari Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-
ijtihad ?
2. Bagaimanakah aplikasi dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad pada fiqh?
3. Adakah qaidah lain yang berkaitan dengan Qaidah Al-
ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad ?
4. Adakah pengecualian masalah dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad ?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka Adapun tujuan
penelitian ini adalah :
2. Agar mengetahui pemahaman dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
5
3. Untuk mengetahui dasar dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
4. Untuk mengetahui aplikasi dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
5. Untuk mengetahui qaidah lain cabang dari Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
6. Untuk mengetahui pengecualian Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN

1. Makna Ijmali Qaidah (Pengertian dan Penjelasan


Qaidah)

Dalam qaidah ini terdapat dua kalimat yang menjadi


kajian kata-kata yaitu : ‫ االجتهاد‬dan ‫االنقض‬

Definisi Ijtihad

6
Al Ijtihad berakar dari kata “jahada” namun secara
etimologi berarti mencurahkan segala kemampuan
(berpikir) agar mendapatkan sesuatu (yang sulit) , namun
dalam al quran kata “jahada” sebagaimana dalam QS An
Nahl ayat 38, An Nur ayat 53, dan alfathir 42 semuanya
mengandung arti “pengerahan segala kesanggupan dan
kekuatan” atau juga berarti “berlebih lebihan dalam
sumpah”. Oleh karena itu arti ijtihad adalah “pengerahan
segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa
yang dituju sampai batas puncaknya. adapun Ibrahim
husein mengidentifikasi makna ijtihad dengan istinbath,
istinbath berasal dari kata nabath (ait yang mula-mula
memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu
menurut Bahasa arti istinbath sebagai muradif dari
ijtihad yaitu mengeluarkan sesuatu dari persembunyian
dan menurut mayoritas ulama ushul fiqh ijtihad adalah
pencurahan segala kesanggupan (secara maksimal)
seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat
zhanni terhadap hukum syariat. Dari definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan mengenai pelaku,objek, dan target
capaian ijtihad adalah : pelaku ijtihad adalah seorang
pelaku fiqh atau paling kurang mengerti tentang hukum
fiqh bukan yang lain. (Kaidah “Al-Ijtihad La Yunqadhu
Bi Al-Ijtihad”- Qawaidh Fiqhiyyah, 2019)
Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syari
bidang amali (furu’iyyah) yaitu hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
Hukum syari yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya
adalah zhanni, status zhanni pada hukum hasil ijtihad
berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi
mengandung kemungkinan salah, hanya saja menurut
mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih
absolut, atau sebaliknya ia salah tapi mengandung

7
kemungkinan benar. Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan maksud kata al ijtihad dalam qaidah ini
adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara
maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan
keputusan hukum tingkat zhanni terhadap hukum syariat.

Definisi Yunqadh
Kata “yunqadh” berasal dati kata Bahasa arab yang
artinya diruntuhkan atau dibatalkan sebagaimana
keterangan dari syaikh Abdurrahman ibn shallih yaitu :
Kata yunqadh berasal dari kata Al-Naqdh (runtuh)
merupakan lawan dari al-ibram (penetapan) yang
dimaksud pada qaidah disini adalah membatalkan hukum
yang sudah berlaku dengan adanya ijtihad hukum baru.

Pengertian Qaidah Al-ijtihad la yunqadh bi al-ijtihad


Qaidah Al-ijtihad la yunqadh bi al-ijtihad memiliki
pengertian bahwasanya Qaidah ini memberikan
penjelasan bahwa pada perinsip nya suatu hasil ijtihad
yang dilakukan pada masa yang lalu tidak boleh
dibatalkan oleh ijtihad yang dilakukan kemudian, baik
oleh seseorang mujtahid itu sendiri maupun mujtahid
yang lain. (Ibrahim, 2019) Dalam pengertian lain Al-
ijtihad la yunqadh bi al-ijtihad adalah sebuah hasil ijtihad
seorang mujtahid pada waktu sekarang, tidak dapat
membatalkan hasil Ijtihad yang dilakukan oleh seorang
mujtahid, tidak dapat membatalkan dan dibatalkan
dengan begitu saja oleh hasil ijtihad mujtahid lainnya.
Ketentuan-ketentuan tersebut telah didasari oleh
berbagai faktor penting, diantaranya adalah:
 Kepastian hukum yang telah dihasilkan oleh
ijtihad yang kedua tidak lebih kuat daripada

8
kepastian hukum yang dihasilkan oleh ijtihad
yang pertama.
 Hasil ijtihad salah seorang mujtahid tidak lebih
utama untuk diikuti daripada hasil dari produk
ijtihad mujtahid lainnya.
 Pembatalan sebuah hasil ijtihad dengan ijtihad
lainnya dapat mengakibatkan instabilitas hukum
atau tidak adanya ketetapan hukum. Karena hasil-
hasik ijtihad akan terus saling membatalkan,
ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang
sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan
datang dan begitu seterusnya. Tidak adanya
ketetapan hukum ini mengakibatkan kesulitan
dan kekacauan yang besar

2. Dasar Hukum Qaidah

Hukum-hukum Fiqh dibangun atas dasar ijtihad para


ulama, para ulama menetapkan qaidah ini berangkat dari
landasan yang kuat. Dasar dari qaidah ini adalah dari
perbedaan keputusan di antara para sahabat nabi dan
mendapat ijmak mereka, yang diantaranya:
1. Diriwayatkan oleh ibnu sibagh:
“Sesungguhya Abu bakar ra memberi keputusan
hukum pada beberapa masalah. Kemudin Umar ibn
Khattab membarikan keputusan hukum yang berbeda
atau masalah-masalah tersebut. Namun Umar tidak
membatalkan keputusan Abu bakar dan tetap
mengakuinya”.

2. Umar pernah memberi keputusan dua kali yang


berbeda pada satu kasus. Dimana keputusan Umar
yang pertama berbeda dengan keputusannya yang
9
kedua serta beliau tidak membatalkan keputusannya
yang terdahulu.
Terkait dengan keputusan yang berbeda Umar
berkata:
‫ضى‬ِ ‫ َو هَ َذا َعلَى َما نَ ْق‬،‫ض ْينَا‬ َ ‫تِ ْل‬
َ َ‫ك َعلَى َما ق‬
“Itu adalah yang kami putuskan pada masa lampau,
dan ini adalah keputusan kami yang sekarang”.
(Abdurrahman, 1960)
Dari dasar di atas dapat dipahami bahwasanya sebuah
hasul ijtihad tidak dapat merubah atau membatalkan
ijtihad yang lainnya. Baik ijtihad yang dilakukan oleh
seorang mujtahid maupun antar beberapa mujtahid. Dari
hal tersebut akhirnya muncul qaidah “Ijtihad tidak dapat
dibatalkan oleh ijtihad yang lainnya”.

Dalil qaidah:
Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad
bersumber dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan atsar.

Adapun dalil qaidah ini dari Al-Qur’an adalah firman


Allah SWT pada QS. Al-Anfal:67-68 :

‫ض‬َ ‫ض تُ ِري ُدونَ ع ََر‬ ِ ْ‫َما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَ ْن يَ ُكونَ لَهُ أَ ْس َرى َحتَّى ي ُْث ِخنَ فِي األر‬
َ َ‫) لَوْ ال ِكتَابٌ ( ِمنَ هَّللا ِ َسب‬67( ‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬
‫ق‬ ِ ‫ال ُّد ْنيَا َوهَّللا ُ ي ُِري ُد اآل ِخ َرةَ َوهَّللا ُ ع‬
68( ‫لَ َم َّس ُك ْم فِي َما أَخ َْذتُ ْم َع َذابٌ َع ِظي ٌم‬
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan,
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi,
kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana,(QS. 8:67)
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang kamu ambil.(QS. 8:68)

10
Firman Allah :‫َما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَ ْن يَ ُكونَ لَهُ أَس َْرى‬
Ayat ini menunjukkan bahwasanya tidak semestinya
seseorang Nabi memiliki tawanan perang yang bisa
ditebus atau tidak, kecuali Allah telah menyempurnakan
kemenangan kepadanya dan ini tida mungkin terjadi
kecuali Rasulullah telah melumpuhkan semua musuhnya
yang berada dimuka bumi ini. Dan ini sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh ibn Abbas, Bukhari dan
mayoritas ahli tafsir. (Muhammad, 1992)

Dalil dari sunnah:


Pertama, adalah yang diriwayatkan oleh Amir bin
Rabi’ah dari ayahnya beliau berkata:
“Ketika kami melakukan perjalanan dengan Rasulullah
SAW, cuaca sedang mendung, dan sulit bagi kami untuk
menentukan arah kiblat, maka kami terus saja melakukan
shalat, ketika cuaca sudah cerah kembali kami menyadari
bahwa kami telah shalat bukan kearah kiblat, maka kami
ceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW lalu turunlah
ayat: ‫( فَأ َ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هللا‬Abdullah Muhammad & Majah,
1995)
Kedua, adalah yang diriwayatkan dari Atha’ bin Jabir
beliau berkata :
“Ketika kami besama Rasulullah salam perjalanan, tiba-
tiba cuaca menjadi mendung, ketika itu kami berselisih
paham tentang arah kiblat, maka setiap dari kami shalat
dengan keyakinan arah kiblat masing-masing. Ketika
cuaca kembali cerah dan kami sudah bisa melihat posisi
matahari maka kami dapati shalat kami tidak mengarah
kea arah kiblat, maka kami ceritakan hal itu kepada
Rasulullah SAW dan beliau bersabda:

11
“Shalat setiap kalian telah diterima oleh Allah SWT,”
(Ad-Daruquthni & Daruquthni, 2001)
Dari dua hadist diatas secara tegas menyebutkan
bahwa shalat sahabat dalam hari yang mendung yang
tidak terlihat matahari dan kemudian mereka beselisih
pdaham dalam penentuan arah kiblat dan melaporkannya
kepada Rasulullah SAW ketika cuaca sudah kembali
cerah dan sabda Rasullah bahwa shalat mereka telah
diterima oleh Allah SWT serta tidak adanya perintah dari
Rasul untuk mengulang shalat mereka tersebut menjadi
dalil bahwasanya shalat mereka sah, dan shalat yang
dilakukan dengan berijtihas terhadap arah kiblat seperti
dalam asus dua hadist yang diatas dan tidak adany
perintah untuk mengulang kembali shalat tersebut
menjadi dalil atas Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-
ijtihad.

Dalil dari Ijma’


Ijma’ yang bersumber dari kesepakatan sahabat
dalam melaksanakan qaidah ini, hal ini sebagaiman
ditegaskan oleh Imam As-Sayuthi:
“Asal mula dalam qaidah ini adalah Ijma’ sahabat
radhiyallahu anhum, sebagaiman dinukilkan oleh ibn as-
shabbagh.”(Al-Suyuthi, 1960)

Dalil dari Atsar


Diantaranya adalah yang diriwayatkan dari
Wahab bin Munabbih dari al-Hakam bin Mas’ud al-
Tsaqafi beliau berkata :
“Umar bin Khattab pernah memutuskan tentang
perempuan yang meninggal, yang meninggalkan
suaminya, ibunya, saudara laki-laki seibu, saudara
perempuan seibu dan seayah, maka Umar bin Khattab

12
ketika itu memutuskan untuk menggabung antara
saudara laki-lai seibu, saudaha perempuan seayah dan
ibu dengan mendapatkan sepertiga, maka ketika itu
seseorang berkata kepada beliau: dulu engkau tidaak
membagi seperti yang engkau tetapkan hari ini wahai
Umar, maka Umar menjawab: keputusan dulu untuk
kasus yang terdahulu, dan keputusan hari ini adalah
untuk kasus yang sekarang.

3. Qaidah Yang Semakna


Dalam setiap Qaidah Fiqhiyyah itu memiliki keterkaitan
dengan beberapa Qaida-Qaidah yang lainnya, baik
keterkaitan dengan Qaidah asalnya yang lebih umum,
keterkaitan dengan Qaidag furu’nya yang lebih khusus,
ataupun dengan sesama Qaidah juz’i yang khusus.
Adapun Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad
merupakan cabang dari sebuah Qaidah yang lebih umum
dari pada Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad,
yaitu: ِّ‫اَ ْليَقِيْنُ اَل يُزَ ا ُل بِال َّشك‬
Artinya: “Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan”. (Abdurrahman, 1960)
Alasan Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad”
menjadi sebuah cabang dari Qaidah diatas karena
didalam perkara menentang dua Ijtihad itu sama dengan
menentang dua perkara yang masih zhanni dan belum
pasti akan kebenarannya, dan oleh karena itu antara dua
Ijtihad tersebut tidak dapat saling membatalkan, maka
selama Ijtihad tersebut belum sampai kepada derajat
yakin, maka tidak akan dapat membatalkan Ijtihad yang
lain.
Selain berkaitan dengan Qaidah yang diatas, ada Qaidah
lain yang berkaitan pula dengan Qaidah “Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad” yaitu:

13
‫صرُّ فُ ااْل ِ َم ِام َعلَى ال َّر ِعيَّ ِة َمنُوْ طٌ بِ ْال َمصْ لَ َح ِة‬
َ َ‫ت‬
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung pada maslahat”. (Abdurrahman,
1960)
Qaidah ini adalah merupakan Qaidah Fiqh yang memilii
aspek horizontal, karena dalam inplementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan
masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Kaitan Qaidah ini
dengan Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad”
adalah dimana kebijakan pemimpin yang merupakan
ijtihad yang zhanniyyah dikondisikan dengan
kemaslahatan umum, sehingga tidak kecil kemungkinan
akan berubah-ubah dengan seiringnya wakyu, dalam
konteks Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad”
berarti kebijakan pemimpin yang terdahulu tetap
diberlakukan sebagaimana yang telah berlaku tetapi
untuk masa yang kemudian harus mengikuti kebijakan
yang baru

4. Contoh Aplikasi Qaidah


Contoh pengaplikasian Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu
bi al-ijtihad” seperti, seseorang yang telah bersusah
payah mencari air tapi tidak menemukannya, kemudian
ia melakukan tayamum dan shalat dengan perantara
tayamum tersebut. Lalu ketika masuk waktu shalat yang
lain, apakah ia wajib mencari air untuk yang kedua
kalinya atau tidak?.

Dalam permasalahan seperti ini, terdapat dua pendapat


fuqaha. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa ia
wajib mencari air lagi. Kewajiban ini berlaku ketika
didalam asumsinya masih terdapat kemungkinan adanya
air, walaupun kemungkinan itu sangat kecil. Artinya jika

14
masih ada kemungkinan menemukan air apabila
berpindah tempat atau melihat sekelompok orang yang
datang membawa air, maka ia wajib untuk berusaha
mencari air. Akan tetapi perlu diperhatikan pula
walaupun ia wajib mencari air, namun pencarian ar yang
kedua inipun tidak dibebankan sebagaimana beban
pencarian air yang pertama.
Sementara menurut pendapat yang kedua, ia tidak wajib
dalam mencari air karena sudah dicukupkan dengan hasil
pencarian yang pertama.

Contoh lain sebagaimana yang dipaparkan oleh imam


Al-Suyuthi dalam sebuah karangannya:
Penjelasan dari ungkapan imam Al-Suyuthi tersebut
adalah:
‫ال‬َ َ‫ ق‬.‫ أَوْ قِيَاسًا َجلِيًّا‬،‫ أَوْ إِجْ َماعًا‬،‫صا‬ ًّ َ‫ضي اِ َذا خَالَفَ ن‬ ِ َ‫ضا ُء ْالق‬ َ َ‫يُ ْنقَضُ ق‬
ْ َ ُ
‫ أوْ َكانَ ُحك ًما اَل َدلِي َْل َعلَ ْي ِه‬:‫ال ال َحنَفِيَّة‬ ْ ِّ ْ
َ َ‫ ق‬.‫اع َد ال ُكليَّ ِة‬ ِ ‫ أَوْ خَ الَفَ القَ َو‬:‫ْالقَ َرافِ ُّي‬
ْ
‫ َوهُ َو ُح ْك ٌم اَل َدلِي َْل َعلَ ْي ِه‬. ِّ‫ف لِلنَّص‬ ٌ ِ‫ف فَه َُو ُمخَال‬ ِ ِ‫َو َما خَ الَفَ شَرْ طَ ْال َواق‬
‫ضا َء َحتَّى‬ َ َ‫ لَوْ تَ َغيَّ َر اجْ تِهَا ُدهُ فِي ْالقِ ْبلَ ِة ُع ِم َل بِالثَّانِي َو الَ ق‬:‫ك‬ َ ِ‫ع َذل‬ ِ ْ‫َو ِم ْن فُرُو‬
‫ َو ِم ْنهَا لَوْ اجْ تِهَ َد‬. ‫ضا َء‬ َ َ‫ت بِااْل ِ جْ تِهَا ِد فَاَل ق‬
ٍ ‫ت اِل َرْ بَ ِع ِجهَا‬ ٍ ‫صلَّى اَرْ بَ َع َر َك َعا‬ َ ْ‫لَو‬
‫ ثُ َّم تَ َغيَّ َر ظَنُّهُ اَل يَ ْع َم ُل‬،‫ك ااْل َخ ََر‬َ ‫فَظَ َّن طَهَا َرةَ اَ َح ِداإْل ِ نَا َء ْي ِن فَا ْستَ ْع َملَهُ َوت ََر‬
‫ بَلْ يَتَيَ َّم ْم‬،‫بِالثَّانِي‬
‫ اِل َ َّن قَبُوْ َل‬: ْ‫َاب َوأَعَا َدهَا لَ ْم تُ ْقبَل‬
َ ‫ت َشهَا َدتُهُ فَت‬ ْ ‫ق فَ ُر َّد‬ُ ‫اس‬ِ َ‫َو ِم ْنهَا لَوْ َش ِه َد ْالف‬
‫ت‬ ِ ‫ َك َذا عَلَّلَهُ فِ ْي التَّتِ َّم‬،‫ض ااْل ِ جْ تِهَا ِد بِااْل ِ جْ تِهَا ِد‬َ ‫ض َّمنُ نَ ْق‬ َ َ‫َشهَا َدتِ ِه بَ ْع َد التَّوْ بَ ِة يَت‬
Sebagian dari cabang masalah Qaidah ini adalah pada
masalah menentukan ara kiblat, maka wajib baginya
beramal dengan ijtihad yang kedua serta tidak wajib
mengqadha amalan berdasarkan ijtihad yang pertama,
sehingga oleh karna itu boleh baginya sholat 4 rakaat
dengan 4 arah kiblat dan tidak wajib mengqadhanya.
(Hamid Hakim, 2009)

15
Sebagian contohnya pula jikalau seseorang mengijtihad
suci salah satu dari dua bejana kemudian menggunakan
nya, lalu kemudian tiba-tiba berubahlah zhannya maka
tidak boleh beramal dengan ijtihad yang kedua akan
tetapi wajib baginya untuk bertayamum.
Sebagian cabang masalah lainnya yaitu apabila bersaksi
seseorang yang fasiq, maka kesaksiannya itu fitolak,
kemudian dia bertaubat dan mengulangi lagi
kesaksiannya, maka tetap tidak bisa diterima karena
menerima kesaksian orang yang tersebut merupakan
membatalkan ijtihad terdahulu dengan ijtihad yang baru.

5. Mustasnayat (Pengecualian)
Dari Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad” ini
terdapat beberapa masalah Fiqh yang dikecualikan
didalamnya, sebagaimana yang diterangkan oleh imam
Al-Suyuthi sebagai berikut:
Artinya: “Diruntuhkan keputusan hakim apabila menyali
Nash (Al-Qur’an dan Hadits), Ijma’, dan Qiyas yang
jelas”, Al-Qurafi menambahkan: “Atau menentang
dengan Qaidah Kulliyyah”, Ulama Mazhab Hanafi pun
menambahkan: “Atau hukum tersebut tak punya
dalilnnya”.
Contohnya seperti tindakan penjaga harta waqaf, dalam
mengelola harta waqaf bila menyalahi ketentuan yang
ditetapkan oleh sipemberi waqaf, maka tindakan dan
kebutusannya itu dibatalkan atau digugurkan, karena
kekuatan syarat si waqif sama seperti nash, sebagaimana
penjelasan Imam Al-Suyuthi sebagai berikut:
Artinya; “Tindakan yang menyalahi ketentuan dari si
pemberi waqaf sama dengan menyalahi Nash dan
dianggap tidak berdalil” (Rusdi, 2018)

16
Menurut sebagian Ulama’ seperti pengarang kitab
Nadzham Faraid al-Bahiyah, pengecualian ini tidak
memiliki patokan yang pasti. Dan diantara masalah yang
dikecualikan antara lain:
- Perubahan yang dilakukan oleh Imam atau kepala
negara yang berdasarkan kemaslahatan terhadap
tanah khusus atau istimewa. Contohnya tanah
lapangan, fasilitas umum dan lain semisalnya.
- Masalah qismatul ijbar (pembagian hasil tuntutan).
Contohnya apabila ada seorang pengusaaha yang
bangkrut dituntut oleh dua orang koleganya agar
segera melunasi hutangnya yang masing-masing dua
juta rupiah. Ketika ditaksir, ternyata harta miliknya
hanya bernilai tiga juta rupiah. Kemudian hakim
memutuskan untuk membagi rata harta tersebut dan
masing-masing mendapatkan 1,5 juta rupiah. Lalu
setelah itu menjadi keputusan, datang seorang lagi
dengan bukti dan saksi yang kuat bahwasanya dia
juga memberi pinjaman kepada pengusaha tersebut
dan menuntut untuk dilunasi. Dan dalam kondisi
tersebut hakim dapat membatalkan keputusannya
yang pertama den membuat keputusan baru dengan
membagi harta pengusaha tersebut menjadi tiga
bagian, yang akhirnya setiap penuntut mendapatkan
1 juta rupiah.
- Masalah Kharij-Dakhil
Contohnya seperti terjadi penrsengketaan antara fahri
dan naufal mengenai seekor sapi. Masing-masing
diantara mereka mengaku sebagai pemilik sapi meski
keduanya tidak ada yang mempunyai saksi ataupun
bukti. Karena sapi tersebut berada ditangan fahri,
akhirnya hakim memutuskan bahwasanya sapi
tersebut adalah milik fahri. Keputusan itu

17
berdasarkan patokan umum bahwa dakhil (fahri)
dimenangkan atas kharij (naufal). Setelah keputusan
dibuat, Naufal mendapatkan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwasanya sapi tersebut adalah milik
naufal. Berdasarkan qaidah (Hukum atas kharij
adalah berdasarkan saksi), maka hakim dapat
mengubah keputusannya dan memenangkan naufal
sebagai pemilik sapi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ijtihad adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan


suatu persoalan. Ijtihad merupakan media elementer
yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-
hukum yudisial islam (fiqh).
Tanpa adanya peran ijtihad, mungkin saja konstruksi
hukum islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti
sekarang ini, ajaran islam tidak akan mampu menjawab
tantangan zaman dengan beragam problematika nya.

18
Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan
dalam islam.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan yaitu :

Perubahan ijtihad yang dimaksud dalam qaidah ini


adalah perubahan hasil ijtihad yang terjadi pada objek
hukum yang sama, akan tetapi dalam waktu yang
berbeda, baik ijtihad itu dilakukan oleh mujtahid,hukum,
qadli atau ijtihad yang bersifat individual seperti yang
dialami seseorang yamg berubah hasil ijtihadnya dalam
menentukan arah kiblat.

B. Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini,
itu semua karena kurang ilmu pengetahuan yang penyusun
miliki. Oleh karena itu mohon kritik serta saran yang bersifat
memperbaiki makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat
untuk semuanya. Aamin

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad, A., & Majah, ibn. (1995). bab orang
yang shalat tidak menghadap kiblat dalam keadaan
mendung dan dia tidak mengetahui arah kiblat. Dar Al-
Fikr.
Abdurrahman, J. (1960). al-Asybah wan Nadha-ir fi al-Furu’
(2nd ed.).
Ad-Daruquthni, ibn umar, & Daruquthni, S. (2001). kitab
shalat, bab ijtihad arah kiblat. Dar al-Ma’rifah.
Al-Suyuthi. (1960). Asybah wa an-Nazhair fi al-Furu’ (2nd ed.).

19
Hamid Hakim, A. (2009). Terjemahan Mabadi’ Awaliyah fi
Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (Sukanan &
Khairudin (Eds.)). CV. Megah jaya.
Ibrahim, D. (2019). Al-qawai’id Al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah
fiqih) (1st ed.). noerfikri.
Kaidah “Al-Ijtihad La Yunqadhu Bi Al-Ijtihad”- Qawaidh
Fiqhiyyah. (2019). Kitabkuning90.
Muhammad. (1992). Tafsir Thabari. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Rusdi, M. (2018). Analisis Kaidah Al-Ijtihadu La Yunqadh Bi
Al-Ijtihaddan Aplikasinya Dalam Hukum Islam. 57.

20

Anda mungkin juga menyukai