Anda di halaman 1dari 9

ABDURRAHMAN WAHID

SEBAGAI SALAH SATU TOKOH MULTIKULTURAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas individu


Mata Kuliah Multikulturalisme

Dosen Pengampu :
Wiwin Siti Aminah Rohmawati, S.Ag., M.Ag.

Disusun oleh :
Dandy Muhammad Bahrul Ilmi Robbani
18.02.1936

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AKHWAL SYAHSIYAH)


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID)
CIAMIS – JAWA BARAT
2021
PENGANTAR
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya
(multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem,
budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.

Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah


menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19.
Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah
'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum
terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan
untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi
perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris


(English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini
kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan
sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara
Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan
multikulturalisme.

BIOGRAFI TOKOH
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil
Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September
1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang berarti
sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka
diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal
dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas
Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau
mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari
keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan
pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H.
Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok
Pesantren Denayar Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari
Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari
Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan
Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir
Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais,
Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya
ditemukan di Trowulan.

Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju
Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro
Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi
dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan
tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda.
Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri
Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi
beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia
akibat kecelakaan mobil. Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah
menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke
Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di
sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia
pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia
juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala
sekolah madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah
Budaya Jaya. Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk
melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada
November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial
sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak
mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa
harus mengambil kelas remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir. Ia menikmati
hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola.
Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari
asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada
tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa
dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja
peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan
di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari
upaya tersebut. Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar
universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang
ditugaskan menulis laporan.

Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak
setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat
mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun
pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad.
Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya
ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan
Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.

Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu,


Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden,
namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas
tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada
tahun 1971. Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di
Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual
muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan
Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren
di seluruh Jawa.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah
dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur
akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan
kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur
membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Akhirnya
ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas.
Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga
membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.

Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup
karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi
berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu
Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU
hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz
PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun
1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden
Republik Indonesia.

KARYA-KARYA TOKOH
Dari studi bibliografis yang penulis lakukan, ternyata ditemukan ada 493 buah tulisan
Gus Dur sejak awal 1970an hingga awal tahun 2000. Hingga akhir hayatnya (2009), bisa jadi
lebih dari 600 buah tulisan Gus Dur. Karya intelektual yang ditulis selama lebih dari dua
dasawarsa itu diklasifikasikan kedalam delapan bentuk tulisan, yakni tulisan dalam bentuk
buku, terjemahan, kata pengantar buku , artikel, kolom, dan makalah. Rincian jumlah setiap
klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut.
no Bentuk tulisan Jumlah Keterangan
1 Buku 12 Buku Tempat pengulangan tulisan
2 Buku Terjemah 1 Buku Bersama Hasyim Wahid
3 Kata Pemgantar Buku 20 Buku -
4 Epilog Buku 1 Buku -
5 Artikel 41 Buku -
6 Diberbagai majalah, surat kabar, jurnal, dan
Antologi Buku 263 Buku
media masa
7 Kolom 105 Buku Diberbagai majalah
8 Makalah 50 Buku Sebagian besar tidak dipublikasikan
Berikut ini tujuh buku karya Gus Dur yang perlu kita baca denan baik :
Pertama, Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Melalui buku ini, Gus Dur mengajak kita
untuk, antara lain, untuk menghindari satu sudut pandang saja dalam melihat banyak hal,
termasuk dalam melihat agama Islam. Katanya, tidak ada satu Islam, Islam adalah
multiwajah, wajah manusiawi. Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan
bersandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Gus Dur, termasuk untuk
mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi untuk perdamaian abadi dan saling
menghormati antar bangsa dan antar manusia. Benang merah pemikiran gus dur terdapat
dalam buku ini yaitu penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam.
Karena “Islamku (Islam Gus Dur)” merupakan hasil dari rentetan pengalaman pribadi yang
perlu diketahui oleh orang lain, tetapi tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. Sementara
“Islam Anda” merupakan apresiasi gus dur terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan
sebagai “kebenaran” yang bukan berangkat dari pengalaman namun berangkat dari
keyakinan. Keberagamaan ini diformalisasikan oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang
perlu diapresiasi, sedangkan “Islam kita” lebih merupakan derivasi keperihatinan terhadap
masa depan Islam berdasarkan kepentingan bersama.

Kedua, Pergulatan Negara Agama dan Kebudayaan. Karya ini diterbitkan pada tahun
2001 oleh penerbit Desantara, di dalamnya dijelaskan, negara tidak pernah ada dan tidak
seharusnya berhubungan dengan kebudayaan. Karena kebudayaan merupakan seni hidup atau
kehidupan sosial manusiawi yang terbangun dari interaksi antar manusia; individu maupun
kelompok. Dalam buku ini juga menjelaskan tentang “Islam Nusantara”, Gus Dur pada
zamanya memakai Istilah “pribumisasi Islam”, agama (Islam) dan budaya memang sesuatu
yang berdiri sendiri. Namun keduanya mempunyai wilayah yang tumpang tindih. Agama
(Islam) bersumber dari wahyu bersifat normatif dan memiliki aturannya sendiri, cenderung
permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia yang berkembang sesuai dengan
perkembangan zaman dan cenderung selalu berubah, Istilah sederhananya seperti konsep
menutup aurat dalam shalat, orang arab menutup aurat dengan cara memakai jubbah
sedangkan orang Indonesia menutup aurat dengan memakai sarung dan baju takwa. Menutup
aurat merupakan wilayah agama, sedangkan model menutup aurat diserahkan kepada budaya
masing-masing.

Ketiga, Tuhan Tidak Perlu Dibela. Buku ini merupakan kumpulan dari kolom-kolom
Gus Dur yang dimuat majalah Tempo pada kurun waktu 1970-an dan 1980-an. Kolom-kolom
tersebut mewakili suatu fase dari kehidupan Gus Dur, yakni fase murni intelektual. Dari sini,
dapat pula dilihat betapa luas spektrum yang menjadi konsen Gus Dur. Dalam buku ini
disebutkan bahwa Tuhan itu Maha Besar, Maha segalanya jadi tidak perlu dibela yang perlu
dibela adalah mereka yang diperlakukan tidak adil.

Keempat, Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan.


Dalam artikel-artikel yang dikumpulkan menjadi buku ini, Gus Dur menginginkan agar Islam
memberikan kesempatan lebih luas kepada semua orang untuk berkarya tanpa dibatasi oleh
apapun. Buku dirangkai dengan gaya yang lugas dan mudah dipahami oleh banyak kalangan,
Gus Dur sesungguhnya tengah melakukan diagnosa situasi nasional dan problem keumatan
yang melalui tulisannya pula ia melempar gagasan yang berani dan konstruktif. Yang Gus
Dur lakukan, tidak lain sebagai ikhtiar membingkai kehidupan bermasyarakat dan bernegara
di masa depan yang lebih baik, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi di
antara sesama umat manusia. Keisalaman Gus Dur dalam buku ini merekomendasikan
pentingnya harmonisasi di antara sesama umat manusia, meski dengan latar belakang yang
berbeda.

Empat buku di atas saya golongkan sebagai buku yang orang di luar pesantren bisa
menikmatinya. Sementara tiga buku di bawah ini, saya golongkan sangat wajib dibaca oleh
kaum pesantren dan orang-orang yang menelitia dunia pesantren. Dan sangat layak tiga buku
ini masuk semacam “ekskul” pesantren.

Kelima, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah. Buku ini tipis saja, hanya berisi 26
artikel Gus Dur tentang kiai, tentnag ulama, tentang guru Gus Dur, tentang teman-teman Gus
Dur sesama kiai. M. SObary dalam pengantarnya menyebut buku ini sebagai “antropologi
kiai”. Meskipun tipis, tapi buku ini mengabarkan kepada kita, bahwa Gus Dur demikian luas
dan dalam menguasai dunianya: pesantren.

Keenam, Khazanh Kiai Bisri Syansuri. Inilah mungkin buku Gus Dur yang utuh,
ditulis dengan panjang dan detil. Bicara fikih, bicara soisologi, bicara komplesitas seorang
ulama, yakni Kiai Bisri Syansyuri. Di sini Gus Dur juga seperti sedang bercerita tentang
leluhurnya. Buku ini termasuk tulisan awal-awal Gus Dur.

Ketujuh, Menggerakkan Tradisi Pesantren. Jika dua buku di atas mengulas dunia
pesantren dari sisi kiainya, buku ini mengulas pesantren dari sisi institusinya, tradisinya,
keilmuannya, yakni pesantren itu sendiri.
INSPIRASI- INSPIRASI YANG DAPAT DIAMBIL DARI TOKOH
Gus Dur adalah mata air. Di setiap ada musibah dan ujian dalam bangsa ini, Gus Dur
memberikan kita inspirasi. Aneka ide, laku, dan hidup Gus Dur memberikan kita terang, baik
dalam kehidupan politik dan kebangsaan. Layak, jika Gus Dur disebut sebagai Guru Bangsa.
Hidupnya adalah teladan lintas iman. Keberaniannya, sikapnya, dan kebijakannya membuat
orang bingung, sekaligus memahami pada akhirnya apa yang dia perbuat adalah yang terbaik
untuk bangsanya. Gus Dur adalah perpaduan ulama sekaligus cendekiawan. Ia memahami
agama, sekaligus memiliki intelektual Islam yang berdedikasi. Kontribusi pemikiran dan apa
yang dia kerjakan memiliki dampak panjang dalam sejarah kebangsaan kita.

Inspirasi- inspirasi yang dapat diambil dari tokoh adalah pertama, Gus Dur adalah
orang yang haus akan ilmu, dan juga tidak lelah untuk berbagi. Semenjak menjadi ketua
PBNU, Gus Dur tidak hanya sering diundang mengisi ceramah maupun pengajian. Ini adalah
sikap sebagai seorang yang egaliter. Ia tak mau membeda-bedakan siapa yang
mengundangnya. Sekaligus sikapnya yang tidak lelah berbagi kebaikan. Gus Dur adalah
orang yang tidak berhenti menuntut ilmu. Tidak tanggung-tanggung, universitas Islam tertua
di dunia, Al-Azhar Kairo pernah dicicipinya meski tak selesai. Ia mendekam dalam
perpustakaannya sampai ia puas. Bahkan sejak kecil, Gus Dur sudah mengaji Ilmu Nahwu
maupun kitab kuning kepada guru-gurunya yang juga berasal dari lingkungan
Muhammadiyah. Ia juga belajar musik klasik dari gurunya seorang Belanda. Setelah menjadi
Presiden sekalipun, Gus Dur juga tidak lelah untuk belajar apa saja. Salah satu ajudannya
bahkan merasakan sendiri saat Gus Dur harus foto berkali-kali untuk menghasilkan foto
terbaik.

Warisan yang kedua adalah warisan pembaruan pemikiran Islam. Gus Dur secara
tidak langsung telah memberikan ruang bagi tumbuh suburnya pembaruan pemikiran Islam.
Sikap taqlid dan berdiam diri untuk berhenti dan puas mempelajari ilmu agama adalah hal
yang ditolak Gus Dur. Menurutnya, pemikiran Islam, pemikiran agama tidak boleh mandeg.
Ketiga, Gus Dur memiliki sikap asketis. Ia jauh dari panggung kemewahan. Bahkan
rumahnya yang ada di Jakarta, sepertiganya dibantu oleh Soeharto. Hidup serba sederhana,
dan apa adanya. Ia hidup sak madyo (seadanya). Pernah ada riwayat yang ditulis ajudannya.
Saat keluarganya sendiri hanya punya sekarung beras. Itu pun untuk persediaan keluarganya
sendiri. Tiba-tiba datanglah pengemis ke rumahnya. Gus Dur memberikan semua karung
beras itu pada pengemis tadi. Saat pengemis itu pulang, anaknya menunjukkan sikap kurang
setuju pada Ayahnya. Lalu Gus Dur bilang kepada anaknya. ” Allah tidak akan membiarkan
hambanya kelaparan.” Akhirnya, selang beberapa waktu, datang para Kiai membawa
sembako, snack, dan sebagainya. Inilah sikap asketis Gus Dur yang tidak pernah merasa
memiliki semuanya. Begitu pula saat ia dilengserkan, ia merasa biasa saja ” Tidak ada jabatan
di dunia ini yang patut dipertahankan dengan mati-matian.”
Keempat, Gus Dur adalah penyayang dan pelindung kaum minoritas. Melindungi
kaum minoritas adalah perjuangan Gus Dur yang tidak mudah. Ia sadar tidak mudah
memberikan penjelasan kepada orang yang belum paham apa tujuan kita melindungi kaum
minoritas. Gus Dur sebelum dan setelah menjadi presiden menyuarakan Islam inklusif dan
toleran. Ia selalu berjuang bagi para kaum minoritas. Adanya Imlek benar-benar dirasakan
kaum Tionghoa maupun kita semua. Spirit itulah yang kini diteruskan oleh kita selaku warga
bangsa.

KESIMPULAN
Garis keturunan Gus Dur dari Kiai Hasyim Asy’ary, ayah Gus Dur adalah Kiai Wahid
Hasyim, beiau adalah seorang tokoh pendiri organisasi Nahdlatul ‘Ulama. Gus Dur menjalani
pendidikannya di KRIS di Jakarta pusat, dan dilanjutkan ke SMEP di Yogyakarta dan
beberapa pesantren sebelum beliau melanjutkan pendidikannya ke Kairo. Gus Dur juga
sempat melanjutkan pendidikanya di Eropa dengan cara mengunjugi beberpa Universitas
karena hambatan hingga akhirnya beliau menetap di Belanda. Gus Dur memulai karirnya
sebagai di Indonesia menjadi seorang guru di Pesantren Tebuireng Jombang dan sempat
menjadi Sekretaris Syuriah PBNU 1980 Gus Dur sebelum menjadi presiden yang ke empat
Indonesia pada tahun 1999 sampai tahun 2001.

Pendidikan multikulturalisme dapat didefinisikan sebagai pendidikan tentang


keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural yang terjadi
dilingkungan masyarakat tertentu atau bahkan di dunia secara keseluruhan. Dalam prespektif
Gus Dur, pendidikan multikultural sebagai sarana untuk memberikan pemahaman tentang
kebergaman yang sesuai norma Ngara dan agama yang bertujuan menumbuhkan sikap
bersama yang sehat dalam rangka keragamanitu sendiri tanpa mengurangi keyakinan seorang
tentang agamanya, sikap unik dalam Substansi Pendidikan Multikultural Perspektif Gus Dur

Anda mungkin juga menyukai