Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

HUKUM PERJANJIAN DALAM HUKUM ADAT

Disusun Oleh :

ANDRE DWI SURYA PERMANA (S20193067)


IMAM HANAFI (S20193057)

HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ
JEMBER
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan
dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam
semoga senantiasa tercurah limpahan kepada Nabi Muhammad SAW. yang menjadi tauladan
para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami penyusun makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui tentang “Hukum
Perjanjian dan Hukum Adat". Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis
selanjutnya adalah untuk mengetahui materi tersebut. Dalam penyelesaian makalah ini, kami
banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat
kerja keras dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan
dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi, serta berdaya guna di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan
maslahat bagi semua orang.

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang...............................................................................................
Rumusan Masalah ....................................................................................
Tujuan ......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Perjanjian Dalam Hukum Adat .....................
B. Macam-Macam Perjanjian..................................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan .................................................................................……………..
Daftar Pustaka .......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam Hukum Perjanjian terdapat hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Atau dapat juga dikatan hokum perjanjian adalah suatu
hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan
sesuatu hal. Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia
tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak. Hukum adat
merupakan sumber penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional
yang merefleksikan unsur-unsur dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Diamati dari sudut
isi serta lingkungan kuasa berlaku personal dan teritorial, maka pada mulanya, sesuai dengan
tingkat pengetahuan yang relevant, hukum adat berisi ketentuan-ketentuan yang terletak pada
taraf kebiasaan, sehingga serupa dengan hukum kebiasaan dari suku atau golongan yang ada.
Selanjutnya ditingkatkan lebih jauh lagi kepada Asas-Asas hukum yang hidup didalam
masyarakat. Makin abstrak pengisiannya, semakin luas pula ruang lingkup berlakunya, baik
personal, teritorial maupun materil, sehingga akhirnya dapatlah disebut hukum asli, hukum yang
berkepribadian bangsa, hukum nasional, hukum pancasila, karena lahir dari karsa yang didalam
ikatan kesatuan dengan cipta dan rasa melahirkan kebudayaan bangsa.

Rumusan Masalah
1. Apa Itu Hukum Perjanjian Dalam Hukum Adat ?
2. Sebutkan Dan Jelaskan Macam-Macam Perjanjian ?
Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Hukum Perjanjian Dalam Hukum Adat.
2. Mengetahui Macam-Macam Perjanjian Dan Pengertiannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perjanjian dalam Hukum Adat


Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang
mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Atau dapat juga dikatan hokum perjanjian adalah suatu
hukum yang terbentuk akibat seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan
sesuatu hal. Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia
tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat satu pihak. Perjanjian ini
merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atua dua orang
saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan Sesuatu. Banyak definisi tentang kontrak
telah diberikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian mana dari kontrak tersebut
yang dianggap sangat penting.1
Hukum adat merupakan sumber penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang merefleksikan unsur-unsur dari jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Diamati dari sudut isi serta lingkungan kuasa berlaku personal dan teritorial, maka
pada mulanya, sesuai dengan tingkat pengetahuan yang relevant, hukum adat berisi ketentuan-
ketentuan yang terletak pada taraf kebiasaan, sehingga serupa dengan hukum kebiasaan dari suku
atau golongan yang ada. Selanjutnya ditingkatkan lebih jauh lagi kepada Asas-Asas hukum yang
hidup didalam masyarakat.
Makin abstrak pengisiannya, semakin luas pula ruang lingkup berlakunya, baik personal,
teritorial maupun materil, sehingga akhirnya dapatlah disebut hukum asli, hukum yang
berkepribadian bangsa, hukum nasional, hukum pancasila, karena lahir dari karsa yang didalam
ikatan kesatuan dengan cipta dan rasa melahirkan kebudayaan bangsa.2 dan perjanjian secara
adat. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana Adanya hukum yang
memperhatikan hukum adat ini, maka diharapkan Indonesia akan mendapatkan suatu sistem
hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai kehidupan dalam era globalisasi,
salah satunya adalah hukum yang mengatur tentang hubungan antar orang perorangan atau sering

1
Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cetakan Pertama, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000, dikutip oleh Hasanuddin Rahman, Op.Cit., .h.2.
2
Ibid. Hal. 4
disebut dengan hukum perdata dan secara perjanjian seseorang telah khusus adanya hokum
kontrak/ berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk
bersama-sama melaksanakan sesuatu hal tertentu.3
B. Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian Kredit
Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun
1998 dapat dipahami bahwa setiap Bank memberikan kredit kepada nasabah debitur dituangkan
dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan diantara kedua belah
pihak yakni pihak kreditur dan pihak debitur. Selain itu adanya Instruksi Presidium Kabinet
Nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1996 Jo. Surat Edaran bank Negara Indonesia unit 1
No.2/539/UPK/Pem Tanggal 8 Oktober 1996 yang menginstruksikan kepada masyarakat
perbankan bahwa dalam pemberian kredit dalam bentuk apapun, bank-bank wajib
mempergunakan akad perjanjian. Pembuatan perjanjian kredit secara tertulis diperlukan untuk
memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi perselisihan, maka para
pihak yang berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar
hukum untuk menuntut pihak yang telah merugikan. Hal ini sejalan dengan pemberlakuan asas
kepastian hukum dalam suatu perjanjian. Asas tersebut penting untuk diperhatikan karena di
dalam hukum perjanjian setiap orang diberi kebebasan untuk memperjanjian apapun dan dengan
siapapun. Semua ini diperlukan sebagai upaya mengikat barang jaminan. ini merupakan
perjanjian baku atau perjanjian standart, karena hampir dari seluruh klausul-klausul yang termuat
dan disepakati dalam perjanjian kredit tersebut sudah dibakukan oleh pihak kreditur. Pada
dasarnya isi dari perjanjian telah dipersiapkan terlebih dahulu tanpa diperbincangkan dengan
pemohon dan hanya pemohon dimintakan pendapat apakah dapat menerima syarat-syarat
perjanjian itu, dan ini terjadi pada unit pengkreditan yang berlangsung di desa tersebut. Jaminan
adalah suatu keyakinan kreditur atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan
yang diperjanjikan. Jaminan berfungsi untuk meyakinkan kreditur bahwa debitur mempunyai
kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit
yang telah disepakati bersama.4

Perjanjian Kempitan
3
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, Hal. 1
4
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, 2011 : Kencana Prenada Media Group, Hal. 73
Perjanjian kempitan adalah sebuah perjanjian dalam hukum adat yang merupakan suatu
bentuk perjanjian dimana seseorang menitipkan sejumlah barang kepada pihak lain dengan janji
bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang atau barang yang sejenis. Perjanjian
kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang
dagangan.5
Di dalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara
lain :
a. Harus ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
b. Diadakan batas waktu pengembalian barang dan kalau barang tersebut tidak diambil, maka
barang tersebut dijual atas dasar mufakat.
c. Dalam surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut.
d. Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada penggantian dan apabila barang itu
telah dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah untuk jerih payahnya.
Dengan demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan bahwa barang
yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik barang dan adanya
suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak harus saling percaya.6
Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah tanaman
itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi
atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di
daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjian tebasan
merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam
bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang. Perjanjian tebasan ini mirip dengan jual beli
salam dimana dalam hukum Islam dimana seseorang memesan barang yang belum tampak oleh
mata seperti halnya jual beli buah-buahan yang masih ada di pohon.7

Perjanjian Perburuhan

5
Samuel M.P. Hutabarat. S.H..M.H., Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum Perjanjian, hlm. 22 ( Jakarta: Sinar
Grafinda, 2009).
6
Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.
( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran), hlm. 104. Jatinangor, 2015
7
Ibid hlm. 105
Perjanjian perburuhan disini dimaksudkan apabila ada seseorang yang mempekerjakan
seseorang untuk membantunya, yang pada prinsipnya berhak menerima upah, pada hal ini tiadak
diberikan upah sama sekali. Namun, ia memperoleh imbalan lainnya berupa biaya hidupnya di
tanggung oleh pihak yang memperkerjakannya. Menurut Ter Haar menyatakan bahwa tentang
menumpang di rumah orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja
untuk tuan rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur
baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada sanak-saudara yang miskin dengan
imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang.8
Perjanjian Pemegangkan
Perjanjian pemegangkan cukup lazim dalam hukum adat, apabila ada seseorang yang
meminjam uang terhadap orang yang meminjamkan barang, kemudian orang yang meminjam
memberikan jaminan barang, maka orang yang meminjamkan uang berhak menggunakan barang
tersebut sampai si peminjam mengembalikan uang nya. Tetapi apabila peminjaman tersebut di
kenakan bunga, maka pihak yang meminjami uang tersebut tidak berhak menggunakan barang
tersebut. Karena pihak yang memberikan pinjaman menerima bunga hutang tersebut.9
Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian ini memiliki kedudukan yang istimewa pada hukum kekayaan harta adat.
Dimana, pihak pemelihara bertanggung jawab atas pihak yang dipelihara. Maksudnya, hartanya
dibawah tanggungan pihak pemelihara. Terlebih apabila usia lanjut. Pemelihara pula yang
menanggung urusan pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sehingga, apabila si
memelihara meninggal maka harta yang dimiliki pihak yang dipelihara berhak dimiliki oleh hak
pemelihara. tidak tanggung-tanggung bagian yang dimiliki oleh pihak pemelihara sama halnya
dengan hak yang diberikan kepada kerabat atau anak yang dipelihara.
Perjanjian serikat
Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dipelihara oleh anggota masyarakat
dalam berbagai macam kerja sama. Kerja sama dari para anggota masyarakat untuk memenuhi
kepentingan itulah yang menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul perikatan atau
perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai contoh adalah dimana

8
http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT. Diakses pada minggu tanggal 22
Mei 2017 jam 18.00
9
Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=1. Diakses pada minggu tanggal 22 Mei
2017 jam 19.30
beberapa orang yang setiap bulan membayar sejumlah uang tertentu dalam waktu yang telah
ditetapkan bersama, misalnya, dalam setiap bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran akan
menerima keseluruhan jumlah uang yang telah dibayarkan itu dan dapat mempergunakan uang
tersebut sekaligus dan juga seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan serikat, di Minangkabau disebut
dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan mahaqha dan di Minahasa disebut mapalus.
Tetapi perlu diingatkan bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama- sebagai
bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong menolong secara timbale
balik, sehingga dapat digolongkan dalam bentuk perikatan tolong menolong yang merupakan
“wederkeng hulpbetoon”. Kedua adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan
di muka. Bentuk kerja sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan dan tidak semata-mata
menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan dengan pelbagai keperluan, seperti keperluan
rumah tangga, dan lain sebagainya. Kegiatan tersebut juga sudah meluas dalam masyarakat, dan
lazim disebut arisan.
Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang lain untuk
mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan
sebagian hasil tanahnya. Ada yang dibagi menjadi dua di Jawa : maro, Minangkabau :
memperduai, Periangan : nengah, Sumatera : Perdua, Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa:
Toyo. Jika hasilnya dibagi menjadi tiga maka disebut pertiga, di Jawa : mertelu, Periangan :
Jejuron.10
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut:
a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).
b.Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (mertelu).
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku ada kebiasaan dalam adat, bahwa
permulaan transaksi dibayar srama atau mesi. Srama adalah pemberian uang sekedarnya oleh
penggarap kepada si pemilik tanah, sedangkan mesi adalah pemberian dari penggarap yang
berarti tanda pengakuan terhadap pemilik tanah.11
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur di dalam
UU No. 2 tahun 1960, : bahwa perjanjian bagi hasil (pasal 3) dikatakan bahwa perjanjian bagi
10
Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm. 228
11
Ibid. Hlm. 228
hasil harus dibuat secara tertulis di hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat, dan menurut
pasal 4 perjanjian bagi hasil untuk sawah berlaku sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering
sekurang-kurangnya 5 tahun. Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya pembayaran
uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan
tanah.
Perjanjian Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk
dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu” Di Sumatera Barat
(Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal
ini, lazimnya berlaku ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
a. Apabila hewan ternak itu betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi antara
pemilik dan pemelihara dengan besaran yang sama, atau dipatut harga induknya, kemudian
anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi dua pula.
Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu akan membagi.
b. Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu dikembalikan pada pemilik harus
ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua sama besar antar pemilik dan
pemelihara. Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
1) Jika ternak itu dipatut harganya, maka laba dibagi dua.
2) Jika ternak itu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang jasa
selama ia memelihara ternak tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya
sosial saja.
3) Kalau ternak itu mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang rumput pemeliharaan,
dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya kembali.12

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12
Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.
( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran) hlm. 112, Jatinangor, 2015
Hukum adat merupakan sumber penting dalam memperoleh bahan-bahan bagi
pembangunan hukum nasional yang merefleksikan unsur-unsur dari jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia. Perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang
lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan Sesuatu. Banyak
definisi tentang kontrak telah diberikan dan masing-masing bergantung kepada bagian-bagian
mana dari kontrak tersebut yang dianggap sangat penting, dan juga pengertian perjanjian
menurut Subekti suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana Adanya hukum yang
memperhatikan hukum adat ini, maka diharapkan Indonesia akan mendapatkan suatu sistem
hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat di berbagai kehidupan dalam era globalisasi,
salah satunya adalah hukum yang mengatur tentang hubungan antar orang perorangan atau sering
disebut dengan hukum perdata dan secara perjanjian seseorang telah khusus adanya hokum
kontrak/ berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk
bersama-sama melaksanakan sesuatu hal tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
 Munir Fuady, Arbitrase Nasional; Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Cetakan
Pertama, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, dikutip oleh Hasanuddin Rahman,
Op.Cit., .h.2.
 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, Hal. 1
 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, 2011 : Kencana Prenada Media
Group, Hal. 73
 Samuel M.P. Hutabarat. S.H..M.H., Penawaran dan Penerimaan dalam Hukum
Perjanjian, hlm. 22 ( Jakarta: Sinar Grafinda, 2009).
 Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.
 ( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran), hlm. 104. Jatinangor,
2015
 http://Ueu5639.weblog.esaunggul.ac.idmateri-09-HUKUM-PERIKATAN-ADAT.
Diakses pada minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 18.00
 Isfciputat.blogspot.co.id/2014/02/hukum-perjanjian-adat_9288.html?m=1. Diakses pada
minggu tanggal 22 Mei 2017 jam 19.30
 Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar
Maju, 2003) hlm. 228

Anda mungkin juga menyukai