Anda di halaman 1dari 6

Undang-Undang 20 dan Cupak Nan 2 di MinangKabau

A. Pengertian Undang-Undang 20 dan Cupak Nan 2 di MinangKabau.

1. Undang-Undang Nan Duo Puluah.

Undang-undang nan duo puluah (undang-undang yang dua puluh). Yaitu undang-undang yang
berhubungan dengan hukm dan penyelesaian hukum. Menegakkan keadilan dan kebenaran serta
menjaga ketertiban merupakan syarat yang harus dipertahankan di tengah-tengah masyarakat.
Menegakkan ketertiban dan keamanan serta menghukum orang yang berbuat salah adalah merupakan
jaminan amannya masyarakat dan lancarnya segala pekerjaan dalam nagari.

2. Cupak Nan Duo

Cupak nan duo (cupak yang dua). Arti cupak dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Minangkabau
adalah suatu ukuran yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untuk menakar beras. Cupak ini dibuat
dari seruas bambu dan tidak bisa lebih dari satu ruas atau dikatakan sepanjang batuang (bambu) : yang
dimaksudnya sepanjang ruas dari bambu tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Undang-Undang 20 dan Cupak Nan 2 di MinangKabau.

1. Bentuk Undang-Undang Nan Duo Puluah

Melihat jenis kejahatan maka undang-undang duo puluah dibagi atas dua bahagian. Pertama
undang-undang nan salapan dan yang kedua undang-undang na duo baleh.

Yang termasuk undang-undang nan salapan adalah sebagai berikut:

1. Dago dagi mambari malu

2. Sumbang salah laku parangai

3. Samun saka tagak di bateh

4. Umbuak umbai budi marangkak

5. Maliang curi taluang diindian

6. Tikam bunuah padang badarah

7. Sia baka sabatang suluah

8. Upeh racun batabuang sayak


Undang-undang nan salapan ini menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga
“cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta)

1. Dago Dagi Mambari Malu

Dago dagi mambari malu (dago dagi memberi malu), dago merupakan kesalahan yang diperbuat
oleh kemenakan kepada mamaknya, sedangkan dagi yakni mamak berbuat salah kepada
kemenakannya. Melawan kepada mamak adalah hal yang sangat tercela karena mamak sebagai
pimpinan adalah atas pilihan kemenakan-kemenakannya dan didahulukan selangkah, ditinggikan
seranting. Oleh karena itu seorang mamak haruslah dihormatinya.

2. Sumbang Salah Laku Parangai

Sumbang salah laku parangai (sumbang salah laku perangai). Sumbang perbuatan atau pergaulan
yang salah dipandang mata dan belum dapat dijatuhkan hukuman secara adat. Sebagai contoh sering
bertemu kerumah seorang janda yang tidak pada waktunya. Salah adalah perbuatan yang melanggar
susila dan dapat dijatuhi hukuman secara adat. Sebagai contohnya “manggungguang mambaok tabang”
(menggunggung membawa terbang), maksudnya melarikan isteri orang.

3. Samun Saka Tagak Di Bateh

Samun saka tagak di bateh (samun sakal tegak di batas), samun maksudnya mengambil barang
orang lain dengan paksa di tempat yang lengang dan dilakukan di daerah perbatasan. Di daerah
perbatasan seperti antara batas luhak dengan rantau. Hal ini sudah diperhitungkan oleh penyamun
karena sulit untuk mengusutnya nanti secara hukum.

Saka juga menghadang di tempat yang lengang untuk merampas barang orang lain tidak segan-segan
melakukan pembunuhan.

4. Umbuak Umbai Budi Marangkak.

Umbuak (umbuk), maksudnya menipu orang lain dengan mulut manis sehingga orang terpedaya.
Umbai, maksudnya menipu dengan jalan ancaman. Ada juga pendapat yang mengatakan umbuak umbai
ini dengan “kicuah kicang”. (penipuan yang sangat lihai sekali).

5. Maliang Curi Taluang Dindiang

Maliang (maling), mengambil barang orang lain pada malam hari. Sebagai bukti orang maling itu
masuk kerumah orang lain taluang dindiang (terluang dinding). Maksudnya ada buktinya dinding yang
berlobang atau rusak tempat orang maling itu masuk. Curi yaitu mengambil barang orang lain tanpa
sepengetahuannya pada siang hari.
6. Tikam Bunuah Padang Badarah

Tikam, maksudnya menikam senjata tajam kepada orang lain sampai luka. Sebagai buktinya bahwa
dia telah melakukan penikaman, senjata yang dipergunakannya berdarah. Bunuah (bunuh),
melenyapkan nyawa orang lain dengan bukti mayat terbujur.

7. Sia Baka Sabatang Suluah

Sia (siar) maksudnya menyulutkan api kepada sesuatu barang tetapi tidak sampai menghanguskan.
Baka (bakar), maksudnya menyulutkan api sampai menghanguskan, seperti rumah menjadi abu. Sebagai
buktinya ada puntung suluh yang terdapat di sekitar tempat tersebut.

8. Upeh (racun)

Upeh (upas), maksudnya ramuan yang dijadikan racun dan ramuan ini dapat mematikan. Racun
sejenis tuba yang dapat membunuh orang dengan seketika. Lengkapnya dikatakan upeh racun
batabuang sayak (upas racun bertabung sayak). Tabung sayak sebagai alat bukti yang dipergunakan
untuk menyimpan upas dan racun tadi. Sebagai pembuktian pada masa dahulu sisa makanan diberikan
kepada hewan dengan sayak (tempurung) yang dipergunakan untuk meletakkan racun tersebut.

2.Bentuk Cupak Nan Duo.

Untuk keseragaman jumlah isi dari cupak tersebut maka dibuat kesepakatan bersama, bahwa
semua cupak harus berisi seberat 12 tahil (satu tahil beratnya 16 emas), satu emas sama dengan 2 ½
gram. Pada saat sekarang tentu ukuran ini tidak dipakai lagi karena sudah ditemui alat ukur yang lain.
Cupak yang telah dijadikan ukuran bersama ini dikatakan “cupak usali” atau cupak asli. Berpedoman dari
cupak asli ini ada cupak yang lain dibuat orang sebagai ukuran dan disebut sebagai “cupak buatan”.
Sesuai dengan falsafah alam takambang jadikan guru, maka arti tersurat dari cupak ini diberi pengertian
tersirat yang ada kaitannya dengan adat Minangkabau yang dikenal sampai saat ini dengan “cupak usali
dan cupak buatan”.

Cupak sepanjang betung dan adat sepanjang jalan, maksudnya segala sesuatu yang telah digariskan
oleh adat menurut alur, dan patut serta mungkin, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan, dan harus
dituruti. Ibarat cupak hanya menurut ruas betung dan tidak lebih, baik ukuran maupun isinya. Demikian
pula yang dimaksud dengan adat sepanjang jalan. Yaitu segala sesuatu hendaklah sepanjang adat yang
berlaku dan tidak boleh menyimpang. Jadi pengertian jalan adalah jalan adat, bukanlah tempat lalu.

Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini : jika meninggal Dt. Hitam, maka gelar pusaka dan harta
pusakanya jatuh kepada ahli waris atau keturunan Dt. Hitam dalam kaumnya sendiri, dan tidak boleh
diwarisi oleh kaum lain. Kalau terjadi di luar itu tidak lagi bercupak sepanjang betung dan beradat
sepanjang jalan.

Habis cupak karena pelilisan, habis adat berkelirahan secara arti tersurat, maksudnya mencupaki
sesuatu diakhiri dengan melilisnya agar tidak mengurangi atau melebihi. Habis adat berkeliaran,
maksudnya ada unsur kompromi satu sama lain sehingga sama-sama senang dan tidak ada yang
dirugikan.

Sebagai contoh dapat dikemukakan saebagai berikut: dalam menjemput marapulai bisa terjadi
adanya perbedaan dengan syarat-syarat berbeda. Bila dituruti adat masing-masing nagari tidak akan
terdapat persesuaian, sebab lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikan, lain nagari lain adatnya.
Karena ada kompromi akhirnya terdapat persesuaian tanpa mengurangi makna dari pada menjemput
marapulai tadi.

Mengenai arti tersirat dari cupak usali dari cupak buatan dapat dikemukakan beberapa pendapat:

1. D. Djamaludin Sutan Maharajolelo mengatakan :

Adapun yang dikatakan cupak asli, yang betul seumpama sembahyang lima waktu sehari semalam
dan diperlukan sembahyang jumat sekali seminggu menurut kitabullah, dengan tidak boleh ditambah
dan dikurangi. Cupak buatan itu ialah putusan penghulu-penghulu dalam nagari atau luhak yang
ditentukan hingga batasnya (hak), supaya genggam beruntuk duduk berpenghadap.

2. Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengatakan:

Cupak usali menurut adat dikiaskan kepada ukuran yang telah ditetapkan, tidak boleh dibandingkan
lagi dan berlaku selama-lamanya, karena dijadikan teladan “standar” atau “measure” yang akan ditiru
atau dipedomani. Yang diaktakan cupak buatan yaitu pencaharian segala penghulu. Urang tuo-tuo dan
cadiak pandai dalam nagari dipateri dengan : “tanduak dibanam – darah dikacau, dagiang dilapah, dilicak
pinang, ditapuang batu”.

3. Prof. Mr. M. Nasroen

Yang paling umum penafsiran kepada cupak nan duo adalah tafsiran yang dikemukakan oleh M.
Nasroen ini. Cupak usali adalah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut yang kalau tidak
dituruti akan terjadilah apa yang menurut fatwa adat “diasak layua dibubui mati” (dipindahkan layu
dicabut mati). Demikian menurut cupak usali ialah “gantang nan papek, bungka nan dipiawai, taraju nan
indak bapaliang, bajanjang naiak, batanggo turun, nan hitam tahan tapo, namun putuih tahan sasah,
baukua banjangkokan, nan babarih nan bapahek, bab batakuak nan batabang”, (gantang yang pepat,
bungkai yang piawai, taraju yang tidak berpaling, berjenjang naik berrtangga turun, yang hitam tahan
tepa, yang putih tahan cuci, berukur berjangkakan, yang bergaris yang berpahat, yang bertakuk yang
ditebang). Cupak buatan ialah sesuatunya atas putusan permufakatan, yang boleh diperlonggar dan
diturun dipernaikkan menurut zaman dan keadaan.
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan mengenai penafsiran cupak nan duo, kelihatan
adanya unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan adanya unsur
persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan kekuatan yaitu cupak usali
menggariskan bahwa tindakan, perbuatan bagi seorang individu maupun masyarakat tidak boleh
menyimpang dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang telah diwarisi. Untuk memperkuat
ketentuan ini diumpamakan kepada hukum alam, seperti dikatakan nan babarih nan bapahek, nan
batakuan nan batabang (yang berbaris yang dipahat yang bertakuk yang ditebang).

Demikian pula pada persamaan penafsiran kepada cupak buatan, yaitu ketentuan-ketentuan dalam
adat kemudian di atas kesepakatan penghulu-penghulu yang disesuaikan dengan keadaan dan waktu.
Secara tidak langsung cupak buatan suatu pengakuan, bahwa adat Minangkabau itu tidak statis,
malainkan elastis yang dapat menyesuaikan diri dengan zamannya. Perbedaan hanya pada contoh-
contoh yang diberikan, ada yang menitik beratkan kepada segi hukum, ada yang berkaitan dengan nilai.
Contoh dapat dibuat bermacam-macam tetapi jiwa “cupaknya” satu saja. Yang dimaksud cupak tidak
lain ukuran, takaran, ketentuan yang telah digariskan oleh adat.

Kalau dapat dikatakan cupak usali atau cupak buatan mengatur pelaksanaan apa-apa yang telah
digariskan baik yang berupa warisan maupun yang diatur kemudian, dan ini tercermin dalam tingkah
laku perbuatan masyarakat adat. Bila dikaitkan antara adat nan sabana adat dengan cupak usali adalah,
adat nan sabana adat berupa ketentuan, norma yang digali berdasarkan hukum-hukum alam sedang
cupak usali merupakan pelaksanaan dari padanya dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan.

3. Penerapan Undang-Undang 20 dan Cupak Nan 2 di MinangKabau.

Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum (pidana) adat, yang terdapat dalam
Undang-Undang Nan Duopuluah. Undang-Undang Nan Duopuluah ini terbagi atas dua bagian, yaitu
Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan
menentukan perbuatan kejahatan, dan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda bukti yang
melanggar Undang-Undang Nan Salapan. Terdapat 8 (delapan) bentuk perilaku yang disebutkan sebagai
delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan, yakni: 1. dago-dagi; 2. sumbang-salah; 3. samun-sakal; 4.
maling-curi; 5. tikam-bunuh; 6. kicuh-kecong dan tipu-tepok; 7. upeh-racun; dan 8. siar-bakar. Dari
kedelapan bentuk delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan itu, yang cenderung masih
mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan “dago dagi”. Pada
hakikatnya hukum adat dan pengadilan adat dilaksanakan dibawah Lembaga Kerapatan Adat Nagari
(KAN) sebagai lembaga paling rendah. Namun persoalannya masyarakat kekinian (modern) ada yang
kurang yakin dengan penyelesaian secara hukum adat. Sehingga persoalan tersebut telah diambil alih
penyelesaiannnya oleh Kepolisian dan hukum formal melalui pengadilan negeri. Setelah diberi sanksi
hukum formal, maka hukum adat juga dilaksanakan. Seyogyanya, kedelapan macam perbuatan yang
diatur oleh UU Nansalapan hendaknya berperan memberikan sanksinya terhadap pelakunya. Sanksi ini
merupakan sebuah bentuk eksistensi hukum dan pengadilan adat tersebut bisa dikatakan masih
bertahan. Namun jika hukum adat sudah mengalah demi pelaksanaan hukum formal, maka
eksistensinya akan dipertanyakan. Seseorang yang sudah mendapatkan sanksi pada hukum formal,
maka ada baiknya masih mendapatkan sanksi hukum adat. Sehingga tujuan pemberian sanksi untuk
menimbulkan efek jera tercapai.

Secara Sosiologis, sanksi dikenal dengan berbagai bentuk, seperti dicemooh, dicela, dikucilkan, didenda,
dan diusir, bahkan ada sebagian masyarakat memakai hukum cambuk, dan pancung (misalnya di
Provinsi Nangroe Aceh Darusalam). Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, pertama sekali
yang berhak memberi hukuman kepada seseorang adalah kaum atau sukunya. Jadi setiap suku harus
bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya.

Apabila salah seorang anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama memikul
hukuman adalah kaum kerabatnya sendiri, sedangkan sipelaku kejahatan diberi hukuman oleh kaum
kerabatnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasarkan kemufakatan anggota kaum
secara bersama (Navis, 1984). Sanksi setelah pelaksanaan hukum formal dapat berupa sanksi yang
paling ringan (dicemooh) sampai sanksi yang paling berat (diusir) tergantung jenis pelanggarannya.

Bersatunya hukum formal dan hukum adat dalam hal pencegahan perbuatan yang melanggar hukum
tersebut, berefek positif kepada keharmonisan hidup dalam masyarakat. Bagaimana tidak, seseorang
akan takut dan enggan untuk melawan (melanggar) hukum. Baik melawan hukum formal maupun
hukum adat. Sebab ada hukum yang berlapis yang akan menindak pelangar tersebut. Jika ini
dilaksnakan kemungkinan keharmonisasn dalam nagari akan terjaga. Pepatah adat mengatakan “bumi
sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang
bungo, nagari aman santoso”Semoga saja ini terwujud

Anda mungkin juga menyukai