Anda di halaman 1dari 9

A.

MUNCULNYA TEORI BEHAVIORISME


Kegunaan dan peranan yang penting dari teori behaviorisme ke dalam bidang
sosiologi dan ilmu sosial, sejak abad ke-20 sudah diakui oleh banyak pihak.
Teori behaviorisme dalam disiplin sisiologi ialah teori yang berkarakter psikologis,
mengajarkan bahwa manusia tidak di pengaruhi oleh bawaan lahir (kecerdasan, emosional,
ketahanan tubuh, penyakit bawaan, genetik). Faktor yang lebih penting untuk mengetahui
sikap tindak manusia dan yang mempengaruhi serta membentuk tingkah laku manusia ialah
kebiasaan yang terus-menerus dilakukannya sebagai respons terhadap lingkungannya. kaum
behaviorisme ini merupakan pendukung dari teori tabularasa.
Awal mula lahirnya paham behaviorisme, awal abad ke-20 sebagai reaksi oposisi
terhadap paham yang sudah terlebih dahulu ada dan sangat dominan saat itu yaitu paham
introsfeksionisme.
Di samping itu sebenarnya bukan hanya ilmu sosiologi dan ilmu psikologi saja yang
berkepentingan dengan analisis behaviorisme manusia, tetapi banyak juga disiplin ilmu lain,
seperti antropologi budaya, filsafat, ilmu hukum bahkan beberapa aspek dari ilmu ekonomi
dan ilmu politik. Kesemua disiplin ilmu yang ikut berkepentingan dan membahas tentang
behaviorisme manusia ini sering dikelompokkan ke dalam ilmu behavioral (behavioral
science).
1

Pentingnya peranan dari teori behaviorisme dalam ilmu sosial bahkan juga dalam
bidang psikologi itu sendiri baru muncul setelah munculnya berbagai pendapat dari Skinner.
Untuk mengukur tingkat kecendrungan dari manusia untuk melakukan sesuatu, yang
juga dapat diukur dari hewan yang mempunyai integensia tinggi, dapat digunakan konsep
responden dan operan.
Ada perbedaan antara konsep responden sebagaimana yang dikemukakan oleh
Pavlov dan Watson, dengan konsep operan sebagaimana dikemukakan oleh Skinner
(Antony Giddens, et al.,2008:86).

1
Teori-teori dalam sosiologi hukum, karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.

Dalam hubungan dengan teori behaviorisme ini, terdapat kaidah utama, yaitu
sebagai berikut: (Antony Giddens, et al.,2008:90).

1. Kaidah mengenai akibat
2. Kaidah mengenai penyesuaian
3. Kaidah mengenai akibat relatif
4. Kaidah menahan kepuasan
5. Kaidah rasa frustasi-agresi


Kaidah menurut akibat (the law of the effect) ini mendalilkan bahwa jika seekor
hewan (dan juga manusia) melakukan tindakan yang kemudian diikuti oleh pemberian
hadiah.
Kaidah mengenai penyesuaian yang dimaksud, bahwa jika dibuat kondisi tertentu
yang mirip dengan kondisi dimana dengan kondisi tersebut seekor hewan atau manusia
mendapatkan penghargaan.
Kaidah tentang akibat relatif yang dimaksudkan, bahwa jika terhadap manusia dan
hewan, di berikan pilihan beberapa keadaan yang menguntungkan baginya, dan dilakukan
secara berulang kali, maka akhirnya, mereka akan memilih keadaan lebih menguntungkan,
kemudian baru yang kurang menguntungkan, setelah menjalani masa menyesuaikan (the
matching law) terlebih dahulu, yakni masa pengenalan mana yang lebih menguntungkan
dan mana yang kurang menguntungkan. Ketika diterapkan ke dalam hukum suatu kaidah
hukum akan cukup ideal. Untuk beberapa hal, hukum berupaya memberikan pilihan, tetapi
dalam banyak kasus, pilihan umumnya satu yang tentu dianggap pilihan terbaik, meskipun
sebenarnya belum tentu juga yang terbaik. Baik bagi kelompok mayoritas misalnya belum
tentu baik pula bagi kaum minoritas.
Selanjutnya, kaidah menahan kepuasan (deprivation satiation proposition) yang
dimaksudkan ialah bahwa terhadap suatu tindakan yang memuaskan, kepuasannya
semakain lama semakin berkurang.
Adapun dengan kaidah rasa frustasi-agresi (frustation-agression proposition) yang
dimaksudkan ialah adanya sikap amarah yang bersifat emosional dan memicu prilaku
agresif. Jika kaidah agresi frustasi ini dijalankan oleh pihak yang terkena frustasi tersebut,
dapat menimbulkan penyimpangan, bahkan pelanggaran hukum dalam masyarakat. Salah
satu sebab, kenapa di negara yang tergolong miskin, seperti indonesia, banyak terjadi
tindakan pidana korupsi, karna salah satunya berlaku kaidah agresi frustasi ini.
2

Fenomena depresi masyarakat ini munculnya kepermukaan dalam bentuk- bentuk
sebagai merikut:
1. Masyarakat menjadi beringas, sehingga terjadi chaos
2. Masyarakat akan tidak memedulikan hukum, sehingga ramai-ramai melanggar hukum
3. Masyarakat mengalami pesimisme masif yang muncul kepermukaan dalam nuansa
ketidakberdayaan, melalui bentuk-bentuk:
Rasa kecacatan (defective)
Rasa kalah (defeated)
Rasa dicabut haknya (deprived)
Rasa diabaikan (deserted)
4. Timbul rasa apatisme massal dalam masyarakat, sehingga masyarakat kehilangan semangat
untuk maju dan ramai- ramai akan bersikap tidak acuh kepada kemajuan bangsa. Mereka
cendrung menjadi masyarakat yang terlelap (sleeping community).
Dimana yang telah dijelaskan sebelumnya ada faktor dari behaviorisme ini
disamping dari faktor pengaruh lingkungan dan kebiasaan, masih ada faktor genetik yang
membuat manusia atau hewan yang satu berbeda- beda dengan manusia dan hewan yang
lainnya, bahkan diantara jenis hewan yang sama sekalipun, perbedaan genetik tersebut tetap
ada.
Ketika hukum mencoba mencari keadilan melalui kaidah-kaidahnya, misalnya melalui
perumusan sanksi-sanksi hukum dalam undang-undang, atau ketika dilakukan penafsiran
hukum oleh hakim, faktor-faktor individual dari masing-masing subjek hukum merupakan
faktor penting yang harus dipertimbangkan. Sesuai teori behaviorisme, faktor individual
tersebut dapat terbaca dari pengalamannya dalam hidup bermasyarakat di masa lalu atau
masa sekarang, dan/atau disetir oleh faktor bawan lahir.

2
Teori-teori dalam sosiologi hukum, karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.
Dengan mengikuti teori dari paham behaviorisme ini, agar tercapai keadilan,
seyogianya hukum harus menyediakan kaidah dan menafsirkannya yang variatif dan
perinci, tanpa harus membenturkannya dengan alasan klasik dalam ilmu hukum bahwa
hakikat hukum tidak semata-mata mencari keadilan, tetapi masih banyak tujuan lain dari
hukum yang harus dipenuhi yang satu sama yang lain kelihatannya saling bertentangan,
meskipun tidak selamanya demikian.
Teori behaviorisme tetap berguna bagi hukum, dan karenanya hukum tetap harus
merapatkan teori ini,tetapi tentu juga dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi
penerapan teori-teori lain, baik yang terdapat pada ilmu hukum, maupun yang terdapat
dalam ilmu sosiologi hukum, maupun juga dalam teori-teori ilmu lainya.
Teori behaviorisme dalam ilmu sosiologi telah mempunyai paling tidak, dua teori
turunannya, yaitu:
1. Teori metodologi individualistis, dan
2. Teori kaidah pencangkupan (Antony Giddens, et al., 2008: 101).

Teori metodologi individualistis mengajarkan bahwa meskipun individu-individu
tersebut hidup berkelompok dalam masyarakat, tetapi bagaimana dia dan persepsinya dalam
masyarakat tetap berasal dari individu ini, meskipun pengaruh lingkungan atau pengaruh
pengalaman tetap ada.
Menurut teori behaviorisme ini, meskipun masing-masing individu hidup dalam
sebuah kelompok masyarakat, tetapi sifat individunya tetap muncul, karena mereka adalah
tetap manusia, terlepas bagaimana bawan lahir, tetapi yang paling utama yaitu pengalaman
hidup mereka.
Selanjutnya, menurut teori kaidah pencangkupan (covering law), dalam masyarakat
terdapat berbagai variabel, dimana masing-masing variabel-variabel tersebut dihubungkan
oleh berbagai proposisi secara deduktif. Pendeduksian dalam hal ini bukan hanya
menggabung-gabungkan sejumlah variabel yang ada, tetapi harus mampu juga
mengungkapkan hakikat dari hubungan tersebut.
Munculnya kaidah yang bersifat universal ini disebabkan adanya kontribusi, yang
menurut istilah John Stuart Mill adalah berupa komposisi penyebab (composition of
causes) (Antony Giddens, et al., 2008: 103), komposisi (atau penjumlahan) dan penyebab
ini rumit sifatnya.
Proposisi behaviorisme ini kemudian berkembang menjadi suatu kebenaran yang
universal sifatnya. Misalnya proposisi bahwa karena adanya reard yang positif dalam
berbagai bentuk, akan menyebabkan orang cendrung ingin melakukan tindakan yang
menghasilkan reward ini. Atau adanya kesadaran dan proposisi bersama bagi setiap
individu bahwa setiap anggota kelompok yang melakukan kejahatan harus dihukum,
terlepas apapun bentuk hukumannya.bahkan dalam masyarakat yang isinya para maling
sekalipun, proposisi tersebut tetap berlaku, paling tidak sebagai hukum yang berlaku dalam
kelompoknya itu.
3

Dalam negara seperti Indonesia ini, dan juga di beberapa negara Asia dan Afrika
lainnya, memungkinkan timbulnya fenomena sebagai berikut:
1. Orang yang semula jujur dan baik menjadi ikut-ikutan kotor karena pengaruh lingkungan
negara, pemerintah atau masyarakat kotor.
2. Atau, orang yang jujur yang sebenarnya tidak melakukan korupsi, dipersepsi (dengan
kesalahan yang dicari-cari) oleh penegak hukum yang korup sebagai pelaku korupsi,
sehingga orang-orang jujur tersebut dijebloskan kedalam penjara, melalui kaidah hukum
yang direkayasa atau kesalahan yang dicari-cari tersebut.
Sosiolog Prancis terkenal, yaitu Emile Durkheim, bahkan sangat menentang teori
yang bersifat individualistis ini (Antony Giddens, et al., 2008: 103).
Ada juga kalangan ahli yang mencari jalan kompromi, antara teori psikologisme
yang bersifat individualitis tersebut dengan teori lain yang lebih berkonotasi
kemasyarakatan. Misalnya apa yang dilakukan oleh .C. Runciman (Antony Giddens, et al.,
2008: 105). Menurut Rucima,sosiologi tidak dapat begitu saja direduksi kepada pisikologi,
tetapi sosiologi tergantung pada pisikologi.
Di samping itu, ada juga beberapapara ahli yang lain yang menganut teori
individualistis, tetapi mengelak dari penggunaan kata pisikologi.mereka lebih
menggunakan terminologi lain. Misalnya pengakuan mereka adalah menggunakan metode
utilitiarisme atau metode pilihan rasional.

3
Teori-teori dalam sosiologi hukum, karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.
Seperti telah disebutkan bahwa disamping teori behaviorisme dalam bentuk metode
individualistis,terdapat juga teori tentang kaidah pencangkupan (covering law). Yang
dimaksud dengan teori tentang kaidah cakupan ini disebut juga dengan istilah
reduksionisme psikologis.
Satu keritikan terhadap teori behaviorisme dalam ilmu sosiologi ialah bahwa para
penganut teori behaviorisme ini dianggap terlalu mengagung-agungkan teorinya, padahal
fenomena bahwa adanya hadiah akan menyebabkan dilakukannya kembali tindakan yang
sama dalam teorinya ini, sebenarnya merupakan suatu akal sehat semata-mata. Bahkan
masyarakat awam saja (tidak perlu ahlisosiologi) dapat mengetahui hal-hal seperti itu.
Namun demikian, harus diakui pula bahwa sebenarnya banyak ahli sosiologi
maupun ahli psikologi,terutama pisikologi sosial yang telah menggunakan teori pisikologi
behaviorisme dalam menjalankan teori-teori mereka, tetapi tidak pernah sadar atau tidak
pernah mengakui penggunaan tersebut. Mereka sering mengakui telah menggunakan akal
sehat terhadap apa yang sebenarnya telah dicangkup oleh teori pisikologi teori
behaviorisme tersebut. Padahal teori pisikologi behaviorisme tidak sama persis dengan
konsep akal sehat, karena teori pisikologi behaviorisme jauh lebih luas dan jelimet.
Dan kritik lain yang ditunjukan terhadapteori behaviorisme ini ialah bahwa teori ini
kurang mempertimbangkan dan mengabaikan faktor manusia sebagai makhluk berakal
yang mampu berfikir bebas, yang berbeda jauh dengan makhluk-makhluk lain. Sehingga
analogi kaum behaviorisme antara sikap manusia dengan sikap-sikap tikus-tikus atau hewan
percobaan dalam laboraturium, secara keilmuan menjadi kurang sahih.










B. PENERAPAN TEORI SOSIOLOGI DALAM HUKUM
Sifat dan bawaan manusia beraneka ragam, baik dari lahir, maupun yang dicapai
sebagai pengalamannya masing-masing. Keanekaragaman juga terjadi pada institusi-institusi
kemasyarakatan. Untuk dapat memahami keanekaragaman institusi sosial tersebut,
diperlukan prasyarat, berupa terlebih dahulu memahamii sifat manusia individu tersebut.
Misalnya, untuk dapat memahami kesadaran hukum masyarakat perlu dikaji perasaan hukum
pada masing-masing individu dalam masyarakat tersebut.
Terhadap bidang hukum, peranan ilmu psikologi ini berguna hampir di seluruh bidang
hukum, tetapi yang banyak dikaji ialah peranannya dalam bidang hukum kriminal. Menurut
teori behaviorisme ini, sepak terjang seseorang dalam masyarakat tidak banyak dipengaruhi
oleh bawaan lahir, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pengalamannya selama dia hidup.
Tapi sebenarnya masih ada satu faktor lagi yang memengaruhinya, yaitu suasana masyarakat
ketika dia melakukan tindakan atau sepak terjang tersebut.
4

Manfaat dari teori-teori psikologi terhadap hukum ialah untuk menelaah kepribadian
dan kejiwaan dari seorang pelaku kriminal, atau yang diduga pelaku kriminal, atau pihak
yang menduduki posisi yang rentan dengan tanggung jawab yang besar, seperti analisis
personaliti terhadap pilot, hakim, jaksa, dan polisi. Berbagai metode diperkenalkan oleh ilmu
psikologi untuk melakukan analisis kejiwaan seseorang. Misalnya penggunaan metode
sebagai yang dikemukakan oleh psikologi terkenal, yaitu Bapak Sarlito Wirawan, yaitu
sebagai berikut:
Metode Eksperimental
Dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa laboratorium, atau dengan
eksperimen langsung terhadap orang-orang tertentu, atau terhadap pola tingkah laku
hewan dengan kondisi tertentu, tingkah laku hewan ini dianggap bersesuaian dengan
tingkah laku manusia, dengan tujuan utama ialah untuk menemukan generalisasi-
generalisasi tertentu dari perilaku manusia

4
Teori-teori dalam sosiologi hukum, karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.
Metode pengamatan alamiah
Dilakukan dengan jalan mengamati perilaku spontan manusia dalam keadaan-keadaan
tertentu, perilaku-perilaku ini dicatat untuk kemudian dianalisis secara cermat untuk
menemukan kesimpulan-kesimpulan tertentu.

Metode catatan biografi
Dilakukan dengan menganalisis pengalaman-pengalaman pribadi dari orang tertentu,
misalnya dengan wawancara langsung, atau wawancara dengan orang dekat
dengannya, ataupun dengan cara menganalisis buku catatan harian jika ada.
Metode wawancara
Dilakukan dengan penelitian terhadap orang yang menjadi obyek penelitian, yakni
dengan mewawancaranya secara langsung, untuk mengetahui pendapat, sikap,
keinginan perasaan, emosi, dan lain-lain dari orang bersangkutan.
Metode pemeriksaan psikologis
Dilakukan untuk mengukur tingkat kecerdasan, emosional, konsistensi, sikap, minat,
kepribadian dan lain-lain yang dilakukan dengan jalan melakukan tes-tes psikologi
tertentu, seperti tes kepribadian, tes kecerdasan, dan bakat.

Beberapa kelainan jiwa yang mungkin memengaruhi seseorang untuk melakukan
tindakan menyimpang, yang dapat menjadi tindak pidana atau perbuatan perdata yang
merugikan orang lain, antara lain:
1. Neurosis ialah suatu yang menyimpang dari sikap manusia yang normal, dimana
orang tersebut berbuat, bersikap, perperasaan atau berpendapat secara berlebih-
lebihan yang sebagai konsekuensinya yang bersangkutan cenderung melakukan
pertahanan diri secara berlebih-lebihan.
2. Psikosis ialah seseorang cenderung yang menentang berbagai aspek dari suatu
kenyataan yang normal
3. Sosiopatik ialah sejenis gangguan jiwa yang berprilaku menyimpang berupa
kecenderungan untuk membuat ketegangan, gangguan, atau kerusuhan dalam
masyarakat dan berbagai tindakan anti sosial lainnya.
5



5
Teori-teori dalam sosiologi hukum, karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.




Referensi:
1. Teori-teori dalam sosiologi hukum
karya Dr Munir Fuady, S.H.,M.H.,LL.M.

Anda mungkin juga menyukai