Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH DAN TEORI_TEORI

SOSIOLOGI HUKUM

MATERI KE II
SEJARAH DAN TEORI-TEORI SOSIOLOGI HUKUM
A. SEJARAH TEORI SOSIOLOGI HUKUM
- SEJARAH PEMBENTUKAN DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI HUKUM
(Satjipto Rahardjo : Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Masalah, hal.10-17)
Perubahan serta dinamika masyarakat memiliki peranan penting bagi munculnya
sosiologi hukum, dalam hal ini perubahan tersebut terjadi di abad ke-20. Industrialisasi yang
berkelanjutan melontarkan persoalan persoalan sosioloigisnya tersendiri, seperti urbanisasi
dan gerakan demokrasi juga menata kembali masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip
kehidupan demokrasi. Kemapanan kehidupan abad kesembilan belas yang penuh dengan
kemajuan di banyak bidang bukan akhir dan puncak dari peradaban manusia.
Dominasi tradisi pemikiran hukum analitispositivis sejak abad kesembilan belas
perlahanlahan ditantang oleh pemikiran yang menempatkan studi hukum tidak lagi berpusat
pada perundangundangan, melainkan dalam konteks yang lebih luas. Lebih luas di sini,
berarti memungkinkan hukum itu juga dilihat sebagai perilaku dan struktur social. Pemikiran
seperti ini bukannya sama sekali asing dalam tradisi berpikir di Eropa, misalnya ada pada
Puthta, Savigny, dan lainlain pada decade pertama abad kesembilan belas. Tetapi pemikiran
hukum itu tetap menjadi alternative dan merupakan pemikiran arus bawah, oleh karena
pengkajian yang analistispositivistis tetap dominan. Namun akhirnya, sosiologi hukum
memberikan cap dan tempat tersendiri terhadap kajian hukum yang demikian itu secara
definitive dalam ilmu pengetahuan.
Kita menyaksikan bahwa kajian analistis positivistis mendominasi pemikiran hukum
karena dibutuhkan oleh dunia abad kesembilan belas. Kajian social terhadap hukum yang
kemudian keluar dari lingkungan akademi dan menjadi metode yang menyebar luas dalam
masyarakat juga disebabkan oleh perubahanperubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Kepuasaan dengan ilmu hukum yang ada, yang telah mampu menyusun bahan hukum ke
dalam kodifikasi dan penggunaan metode yang spesifik, mulai mengalami guncangan
memasuki abad kedua puluh. Perubahanperubahan dalam masyarakat menampilkan
perkembangan baru yang menggugat masa kebebasan abad kesembilan belas. Negara makin
mempunyai peran penting dan melakukan campur tangan yang aktif. Struktur politik juga
mengalami perubahan besar. Kaum pekerja makin memainkan peran penting dalam polotik
dan memperluas demokrasi politik. Caracara penahanan hukum yang didominasi oleh
kepentingan kaum borjuis digugat oleh kelas pekerja yang sekarang menjadi constituent
dalam panggung politik. Perubahanperubahan tersebut pada gilirannya membuka mata yuris
tentang terjadinya tekanan dan bebanbeban permasalahan baru yang harus dihadapi oleh
system hukum dan karena itu dibutuhkan suatu peninjauan kembali terhadap hukum dan
sekalian lembaganya. Hukum tidak dapat mempertahankan lebih lama politik isolasinya dan
menjadikan dirinya suatu institusi yang steril.
Perubahanperubahan dalam masyarakat tentu saja dihadapkan pada tradisi dan
pemikiran yang sudah mapan, niscaya menimbulkan situasisituasi konflik. Keadaan seperti
itu ditunjuk sebagai factor yang mendorong kehadiran sosiologi hukum.
Selain itu, hukum alam juga merupakan basis intelektual dari sosiologi hukum. Hal ini
terjadi karena teori tersebut dapat diibaratkan menjadi jangkar dari hukum modern yang
semakin menjadi bangunan yang artificial dan teknologis. Teori hukum alam selalu menuntun
kembali semua wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia
dan masyarakat. Ia lebih memilih melakukan pencarian keadilan secara otentik daripada
terlibat ke dalam wacana hukum positif yang berkonsentrasi pada bentuk, prosedur serta
proses formal dari hukum.
Hukum alam tidak dapat dilihat sebagai suatu norma yang absolute dan tidak berubah.
Seperti dikatakan di atas, ia mencerminkan perjuangan manusia untuk mencari keadilan,
sesuatu yang mungkin tidak ditemukan secara sempurna di dunia ini. Norma hukum alam,
kalau boleh disebut demikian, berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan citacita keadilan
yang wujudnya berubahubah dari masa ke masa. Dengan demikian, sesungguhnya keadilan
merupakan suatu ideal yang isi konkretnya ditentukan oleh keadaan dan pemikiran jamannya.
Dari perjalanan sejarah tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa hukum itu sepenuhnya
merupakan produk dari masyarakatnya yang tidak mudah untuk direduksi ke dalam peraturan
perundangan. Sumbangan besar hukum alam terhadap sosiologi hukum alam terletak pada
pembebasannya dari hukum positive. Sosiologi hukum mewarisi peran pembebasan itu, oleh
karena itu, ia selalu mengaitkan pembicaraan mengenai hukum kepada basis hukum tersebut.
Baik itu berupa perilaku manusia maupun lingkungan social.
Hal lain yang juga mempengaruhi munculnya sosiologi hukum adalah filsafat hukum.
Filsafat hukum mempunyai sahamnya tersendiri bagi kelahiran sosiologi hukum. Pemikiran
filsafat selalu berusaha untuk menembus halhal yang dekat dan terus menerus mencari
jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan yang tuntas (ultimate). Oleh karena itu, filsafat
hukum jauh mendahului sosiologi hukum apabila ia mempertanyakan keabsahan dari hukum
positif.
Pikiranpikiran filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran sosiologi hukum, oleh
karena secara tuntas dan kritis, seperti lazimnya watak filsafat, menggugat system hukum
perundangundangan sebagaimana disebut di atas. Pikiran filsafat tersebut juga dapat dimulai
dari titik yang jauh yang secara tidak langsung menggugat hukum positif. Dengan demikian
ia merupakan pembuka jalan bagi kajian hukum yang juga memperhatikan interaksi antara
hukum dan masyarakatnya.

(YESMIL ANWAR & ADANG, PENGANTAR SOSI OLOGI HUKUM, Hal. 123 -127)
Pemikiran hukum dan pendekatan sosiologi ini, banyak mendapatkan pengaruh dari
aliran-aliran dari filsafat dan teori hukum. Tempat-tempat pertama patut diberikan kepada
dua aliran yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran ini, masing-
masing berasal dari Amerika Serikat dan Eropa.
Di Eropa, Eugen Ehrlich telah menempatkan dirinya sebagai orang pertama yang
menuliskan kitab dengan nama sosiologi hukum. Bersama-sama dengan Kantorowicz,
Ehrlich merintis perjuangan untuk merintis pendekatan sosiologi terhadap hukum di Jerman.
Perjuangan ini dialamatkan sebagai suatu serangan yang hebat kepada praktik hukum secara
analitis, yang pada masa itu mengusai dunia pemikiran hukum. Ehrlich kemudian menjadi
sangat terkenal dengan konsep yang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (The
Living Law), sebagai lawan dari hukum perundang-undangan. Dengan konsepnya itu, pada
dasarnya hendak dikatakan bahwa hukum itu tidak kita jumpai di dalam perundang-
undangan, di dalam keputusan hukum, atau ilmu hukum tetapi hukum itu ditemukan dalam
masyarakat sendiri.
Ehrlich berpendapat bahwa hukum itu merupakan variabel tak mandiri. Dihubungkan
dengan fungsi hukum sebagai sarana kontrol sosial, hukum tidak akan melaksanakan
tugasnya apabila landasan tertib sosial yang lebih luas tidak mendukungnya. Berakarnya
tertib dalam masyarakat ini berakar pada penerimaan sosial dan bukannya paksaan dari
negara. Di Amerika Serikat, hal tersebut dipelopori oleh Roscou Pound, Oliver Ondel
Holmes, dan Cardozo.
Kelahiran sosiologi hukum di Eropa diawali dengan peperangan yang melanda benua
Eropa pada abad ke-19. Pada saat itu dibelahan dunia Eropa telah tumbuh suatu cabang
sosiologi yang disebut dengan sosiologi hukum. Di Amerika Serikat penelitian-penelitian
pada masalah praktis dari tata tertib hukum, telah menumbuhkan ilmu hukum sosiologis.
Ilmu ini merupakan suatu cabang dari ilmu hukum. Sosiologi hukum di Eropa lebih
memusatkan penyelidikan di lapangan sosiologi hukum, dengan membahas hubungan antara
gejala kehidupan kelompok dengan hukum. Di Amerika, sosiologi hukum lebih dirahkan
kepada penyelidikan ilmu hukum serta hubungannya dengan cara-cara menyesuaikan
hubungan terib tingkah laku dalam kehidupan kelompok. Dengan kata lain, di Eropa
sosiologi hukum lebih diarhakan kepada ilmu tentang kelompok, sedangkan di Amerika lebih
diarahkan kepada ilmu hukum.
Roscoe Pound membentuk aliran hukum sosiologis dari Amerika Serikat, yang disebut
the sociological jurisprudence. Ini adalah suatu aliran pemikiran dalam jurisprudence yang
berkembang di Amerika Serikat sejak tahun 1930-an. Aliran disebut sebagai sociological
karena dikembangkan dari pemikiran dasar sesorang hakim bernama Oliver W Holmes,
seseorang perintis pemikiran dalam hukum, yang mengatakan bahwa sekalipun hukum itu
memang benar merupakan suatu yang dihasilkan lewat proses-proses yang dapat
dipertanggungjawabkan imperative-imperatif logika, nau the life of law has not been logic,
its experience. Soetandyo, menandaskan bahwa sociological jurisprudence bukanlah
sociology of law. Alasannya adalah ilmu hukum pada awal mulanya adalah bagian dari ajaran
filsafat moral, yang pada dasrnya hendak mengkaji soal nilai kebaikan dan keadilan tak salah
bila dikatakan bahwa ilmu hukum pada awalnya adalah ilmu tentang etika terapan. Akan
tetapi, menurut aliran positivisme, ilmu hukum ini menolak perbincangan soal keadilan dan
etika dalam pengambilan keputusan.
Bagi aliran Sociological jurisprudence, hukum merupakan suatu yang berproses secara
dan cultural dan karenanya steril. Ajaran sosiologi ini kemudian muncul untuk mengkritik
dan mengkoreksi aliran Sociological jurisprudence dan sekaligus mendorng kepada kajian
hukum untuk lebih mengkaji variable-variabel sosio-kultural.
Berbeda dengan Sociological jurisprudence, sosiologi hukum, yang terbilang sebagai
salah satu cabang khusus sosiologi, sejak awal mula telah memfokuskan perhatiannya secara
khusus kepada ikhwal ketertiban social. kajian-kajian sosiologi hukum dalam hal ini mampu
untuk memberkan konstribusi yang cukup bagi perkembangan ilmu hukum khususnya
advokasi.
Pembentukan sosiologi hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat hukum, demikian
menurut Satjipto Raharjo. Filsafat hukum adalah cabang filasat yang membicarakan apa
hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada
hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat
hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral
(etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Filsafat adalah merupakan
suatu renungan yang mendalam terhadap suatu objek untuk menemukan hakeket yang
sebenarnya, bukan untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul
cabang ilmu baru yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu
pertentangan sudut pandang. (blog Saifudien)

file:///C:/Users/Surya%20Santana/Downloads/sejarah%20sos%20hukum.htm
Philip Selznick membuat priodisasi dalam perkembangan sosiologi hukum ke dalam
tahap-tahap sebagai berikut;
1. Tahap Primitif atau Missioner
Pada tahap ini banyak dilakukan diskusi teoritis dan analisis terhadap kejadian sehari-hari.
Pada taraf tersebut hukum dan studi terhadap hukum masih dilihat sebagai wilayah tertutup
yang hanya dapat dimasuki oleh orang-orang yang terdidik khusus itu. Mengahadapi keadaan
yang demikian itu, sosiologi hukum mengkomunikasikan atau memasukkan suatu perspektif
lain ke dalam kajian hukum, yaitu mengajak untuk menghargai dan memasukkan kebenaran-
kebenaran sosiologi ke dalam wilayah tertutup tersebut.
2. Tahap keahlian dan Keterampilan Sosiologis
Memasuki tahap ini orang sudah mulai turun ke lapangan untuk melakukan penelitian-
penelitian sosiologi hukum. Masa untuk memperkenalkan wawasan sosiologis ke dalam
hukum sudah lewat dan dengan keyakinan intelektual dimulai suatu penjelajahan mendalam
dengan menggunakan teknik-teknik sosiologi.
3. Tahap otonomi dan kematangan intelektual
Sesudah menghimpun cukup banyak kekayaan dari penlitian-penelitian tersebut maka
sosiologi hukum memasuki tahap yang lebih tinggi daripada hanya membicarakan soal-soal
yang lebih bersifat tinggi daripada hanya membicarakab yang lebih bersifat rinci (detail)
tersebut. Sosiologi hukum lebih mengarahkan pekerjaannya kepada sasaran yang lebih besar
dan kepada (penemuan) asas-asas yang ditarik dari penelitian-penelitian tersebut di atas. Ia
menegaskan kembali dorongan moral yang menjadi modal baginya waktu mengawali
pembukaan bidang sosiologi hukum (he reasserts the moral impulse that marked the first
stage of sociological interest influence).
Penggambaran tentang perkembangan sosiologi hukum oleh Selznick tersebut
memberikan wawasan yang cukup baik pada kita mengenai peta perkembangan sosiologi
hukum di dunia.
Dalam proses perkembangannya terdapat beberapa ilmu yang mempengaruhi sosiologi
hukum, diantaranya:
1. Pengaruh Dari Filsafat Hukum
Pengaruhnya yang khas adalah dari istilah Law In Action, yaitu beraksinya atau
berprosesnya hukum. Menurut Pound, bahwa hukum adalah suatu proses yang mendapatkan
bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim atau
pengadilan. Dengan maksud yaitu kegiatan untuk menetralisasikan atau merelatifkan
dogmatif hukum. Juga hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat.
2. Ilmu Hukum (Hans Kelsen)
Ajaran Kelsen The Pure Theory of Law (Ajaran Murni Tentang Hukum), mengakui bahwa
hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis dan seterusnya. Kelsen juga
mengemukakan bahwa setiap data hukum merupakan susunan daripada kaedah-kaedah
(stufenbau), yang berisikan hal-hal sebagai berikut:
a. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara hierarkis.
b. Susunan kaedh-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah ke atas,
adalah :
1) Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan.
2) Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan.
3) Kaedah daripada konstitusi.
c. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan
oleh kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
3. Sosiologi (Pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber).
Durkheim berpendapat bahwa hukum sebagai kaedah yang bersanksi, dimana berat ringan
sanksi tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik
buruknya perikelakuan tertentu, peranan sanksi tersebut dalam masyarakat. Setiap kaedah
hukum mempunyai tujuan berganda yaitu:
a. menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban.
b. menetapkan dan merumuskan sanksi-sanksi.
Sedangkan ajaran-ajaran yang menarik dari Max Weber adalah tipe-tipe ideal dari
hukum yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan yaitu :
a. Hukum irrasionil dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan
keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa mengacu pada suatu
kaedah hukum.
b. Hukum irrasionil dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman
pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-ramalan.
c. Hukum irrasionil dan materiel dimana keputusan para pembentuk undang-undang dan hakim
didasarkan ada kitab suci, idiologi atau kebijaksanaan penguasa.
d. Hukum irrasionil dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari ilmu
hukum.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi hukum disebabkan oelh beberapa
faktor dari barbagai aliran yaitu:
1. Aliran hukum alam (Aristoteles, Aquinas, Grotnis)
a. Hukum dan moral
b. Kepastian hukum dan keadilan yang dianggap sebagai tujuan dan syarat utama dari hukum
2. Mahzab Formalisme
a. Logika Hukum
b. Fungsi keajegan dari hukum
c. Peranan formil dari penegak/petugas/pejabat hukum
3. Mahzab kebudayaan dan sejarah
a. Kerangka kebudayaan dari hukum, hubungan antara hukum dengan sistem nilai-nilai.
b. Hukum dan perubahan-perubahan sosial
4. Aliran Utiliatarinism dan Sociological Jurisprudence (Bentham, Ihering, Ehrlich dan
Pound).
a. Konsekuensi sosial dari hukum
b. Penggunaan yang tidak wajar dari pembentukan undang-undang
c. Klasifikasi tujuan dan kepentingan warga dan masyarakat serta tujuan sosial.
5. Aliran Sociological Jurisprudence dan Legal Realism (Ehrlich, Pound, Holmes, Llewellyn,
Frank).
a. hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial
b. Faktor politik dan kepentingan dalam hukum.
c. Stratifikasi sosial dan hukum.
d. hubungan antara hukum tertulis/resmi dengan kenyataan hukum/hukum yang hidup.
e. hukum dan kebijaksanaan umum.
f. Segi perikemanusiaan dari hukum
g. Studi tentang keputusan pengadilan dan pola perikelakuan (hakim).

- SOSIOLOGI HUKUM DI INDONESIA
(Satjipto Rahardjo : Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Masalah, hal.31-40)
Seperti juga halnya di Negara-negara lain, munculnya sosiologi hukum di Indonesia
masih tergolong cukup baru. dengan tidak mengesampingkan kenyataan, bahwa sebagai suatu
pendekatan (approach) ia sudah hampir sama tuanya dengan ilmu hokum itu sendiri. Kalau
dikatakan bahwa sosiologi hukum itu merupakan displin ilmu yang relative baru di Indonesia,
maka hal itu tidak mengurangi kenyataan, bahwa Van Vollenhoven sudah sejak di awal abad
ini menggunakan pendekatan social dan sosiologis terhadap hokum. Tidak mungkin pada
tahun 1905 ia menulis artikel tentang Geen juristenrecht voor de inlander, apabila disitu
tidak digunakan pendekatan atau metode sosiologis. Dengan menggunkan konsep dan
pengertian hokum Belanda memang orang tidak akan menemukan adanya hokum di
Indonesia waktu itu. Apa yang oleh Vollenhoven disebut sebagai juristenrecht tidak
berbeda dengan jurisprudential model dalam dikotomi Donald Back.
Ilmu hukum di Indonesia dating dan diusahakan melalui kolonialisasi Belanda atas
negeri ini. Pendidikan tinggi hukum yang boleh dipakai sebagai lambang dari kegiatan kajian
hukum baru dimulai pada tahun 1924, yaitu dengan dibukanya Rechtchogeschool di Jakarta.
Sebelum itu memang sudah ada Rechsschool yang yang didirikan pada tahun 1909, dengan
masa belajar enam tahun. Lembaga ini belum dimasukkan ke dalam kategori keilmuan,
karena separuh dari masa itu masih juga dipakai untuk melakukan pendidikan menengah atau
SLTP sekarang.
Dari uraian di atas, menarik untuk diamati, bahwa wacana hukum yang melibatkan
sosiologis sudah dimulai sejak sebelum didirikan lembaga pendidikan tinggi. seperti
dikemukakan di atas, Vollenhoven telah melakukan pendekatan dua decade mendahului
membukaan Rechtshogeschool. Namun demikian , rupanya wacana Vollenhoven dengan
sejawatnya hanya berhenti wacana hukum adat dan tidak berkembang menjadi suatu
wacana pendekatan dan metodelogi dalam ilmu hukum. Sosiologi hukum akan muncul
apabila dalam masyarakat terjadi situasi-situasi konflik.
Perubahan konflik memang layak dibicarakan sebagai kategori tersendiri pada waktu kita
membicarakan sejarah sosial Indonesia, khusunya sesuadah kemerdekaan. Dalam rentang
waktu antara 1970-1980 mulai terjadi institusionalisasi dari kajian sosial terhadap hukum
yang berlangsung hampir serempak di fakultas-fakultas hukum di Indonesia, terutama di
UNDIP, UNAIR dibentuk pusat studi masing-masingPusat Studi Hukum dan Masyarakat.
Diluar fakultas hukum, pendektan sosiologi juga memasuki badan-badan, seperti Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), suatu bagian dalam Departemen kehakiman. Jajaran
profesi hukum dan peradilan juga tertarik kepada disiplin ilmu yang baru tersebut, seprerti
yang dilakukan dikalangan advokat, melalui permintaan ceramah-ceramah.
Sejak Indonesia sudah berubah menjadi negara merdekan dan mulai saat itu juga telah
mengalami perubahan secara terus-menerus sampai akhirnya orde baru mendorong
keterbukaan, maka standar lama tersebut tidak dapat lagi dipertahankan dalam hal ini putusan
tersebut menggunakan pendekatan sosiologi hukum.

- TOKOH-TOKOH SOSIOLOGI HUKUM
1. Tokoh Eropa Barat
a. Karl Marx (1818-1883), pokok pemikiran Marx dalam sosiologi hukum adalah:
Hukum adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum tidak
berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok yng dominan.
Hukum bukan merupakan alat integrasi tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan dan
ketidakseimbangan yang dapat membentuk perpecahan kelas.
Hukum dan kekuasaan merupakan sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa dibidang
ekonomi, untuk melanggengkan kekuasaannya.
Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidak-tidaknya masyarakat
bukanlah manisfestasi normatif dar apa yang telah dihukumkan.
b. Henry S Maine (1882-1888), pemikiran Maine dalam bidang sosiologi hukum adalah:
Masyarakat bukanlah masyarakat yang serba laten melainkan yang bersifat contingen. Dari
sinilah ia dicetuskan sebagai Bapak teori Evolusi klasik. Teori ini mengatakan bahwa
masyarakat yang bergerak dari status ke kontrak.
Dalam masyarakat terdapat askripsi-askripsi tertentu, yang sesungguhnya merupakan
penganugerahan atribut dan kapasitas kepada warga masyarakat yang bersangkutan, dengan
masing-masing di dalam tatanan status yang telah ditradisikan dalam masyarakat. Hubungan
antara status dihubungkan atas dasar askripsi terentu.
Kenyataan dalam masyarakat akan berubah tatkala masyarakat melakukan transisi ke situasi-
situasi baru, yang berhubungan dengan membesarnya agregasi dalam kehidupan. Juga kian
meningatnya interdependensi antara segmen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi.
c. Emile Durkheim (1858-1917).
Dalam mengungkapkan idenya tentang hukum, Durkheim bertolak dari penemuan yang
terjadi dalam masyarakat. Dengan metode empirisya, ia melihat jenis-jenis hukum dengan
tipe solidaritas dalam masyarakat. Ia membuat perbedaan antara hukum yang menindak
dengan hukum yang mengganti, atau Repressive dengan Restitutive. Dalam konsep
Durkheim, hukum sebagai moral sosial, pada hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas
sosial yang berkembang di dalam suatu masyarakat. Hukum menurutnya adalah cerminan
solidaritas. Tak ada msyarakat yang dapat tegak dan eksis tanpa adanya solidaritas. Menurut
Durkheim, hukum dirumuskan sebagai suatu kaidah yang bersanksi.

2. Tokoh Amerika Serikat
a. Oliver Wendell Holmes (1841-1935)
Pikiran utama Holmes dalam sosiologi hukum adalah bahwa setiap hakim bertanggung jawab
memformulasi hukum lewat keputusan-keputusannya. Hakim harus sadar dan yakin bahwa
hukum itu adalah bukan suatu hal yang Omnipressent in the sky, melainkan sesuatu yang
senantiasa hadir dalam situasi-situasi konkrit To meet the social need. Lebih lanjut ia
menuliskan the life of law is not logic: it has been experience, bahwa kehidupan hukum tidak
pernah berdasarkan logika, melainkan merupakan pengalaman yang isinya harus dilukiskan
oleh sosiologi hukum.
b. Benjamin Nathan Cardozo (1870-1938), pemikiran Cardozo adalah:
Hakim memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara tetapi batasannya tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan hukum.
Berbagai kehidupan sosial seprti logika, rakyat sejarah dan standar moralitas yang disepakati
bersama-sama terciptanya hukum.
Hukum harus tetap sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan sosial.
c. Roscoe Pound (1870-1964), dalam Buku Alvin S Johnson, Sociologi of Law, dituliskan
bahwa yang menjadi pokok pikiran dari Pound adalah sebagai berikut:
Ia lebih menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari adanya lembaga-lembaga hukum dan
doktrin-doktin hukum (lebih pada fungsi hukum daripada isi abstraknya).
Mengajukan studi sosiologi untuk mempersiapkan perundang-undangan dan menganggap
hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana
dalam menemukan cara-cara terbaik untk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha seperti
itu.
Untuk menciptaka efektifitas cara dalam membuat peraturan perundang-undangan dan
memberi tekanan kepada hukum untuk mencapai tujuan-tujuan sosial( tidak ditekankan
kepada sanksi).

B. TEORI-TEORI SOSIOLOGI HUKUM
1. TEORI KLASIK
Eugen Ehrlich, seorang professor Austria, termasuk sosiologiwan hokum pada era klasik,
besama-sama dengan Durkheim dan Max Weber. Pada tahun 1913, Ehrlich menulis buku
berjudul (diterjemahkan) Fundamental principles of Sociology of Law. ia menjadi terkenaln
dengan konsep Living Law yang pengertian lengkapnya terdapat pada pendahuluan dari
buku tersebut, it is often said that a book must be written in a manner that permits of
summing up its content in a single sentence. if the present volume were to be subjected to this
test, the sentence nigh be the following: At the present as well as at any other time, the centre
of the gravity of legal development lies noi in legislation, no in juristic perhaps, contains the
substance of every attempt to state the fundamental principles of the sociology of law.
(Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, 107-108)

(Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, 47-48)
Eugen Ehrlich, meninggal pada tahun 1923, karya utamanya Beitrage Zur teorie der
Rechtsquellen (1902), Grundlegung der Sosiologi des Rechts (1919),
1. Dianggap sebagai pembentuk atau pelopor ilmu hokum sosiologis (sociology jurisprudence).
2. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami hukum dalam
konteks social.
3. Meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hokum.
4. Atruran tersebut merupakan norma social yang actual yang mengatur semua aspek
kemasyarakatan disebut sebagai hokum yang hidup (Living Law) yaitu hukum yang
dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan dari hukum yang diterapkan Negara.
5. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.
6. Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu perbedaan antara kaidah-
kaidah social.
7. Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat,
atau apa yang disebut antropolog sebagai pola kebudayaan (culture patterns).
8. Pusat perkembangan hukum bukan pada legislative, keputusan yudikatif ataupun ilmu
hukum tetapi justru terletak pada masyarakat itu sendiri.
9. Hukum tunduk pada kekuatan social, hukum tidak mungkin efektif, oleh karena keterlibatan
masyarakat didasarkan pada pengakuan social pada hukum, bukan penerapannya secara resmi
oleh Negara.
10. Tertib social berdasarkan fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan atau norma
social yang tercantum dalam sistem hukum.
11. Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat resmi (PN) yang berfungsi
menyelesaikan perkara (perselisihan).
12. Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan dengan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
13. Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusannya jika terjadi
sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan. peraturan-peraturan untuk
mengambil keputusan-keputusan menyimpulkan adanya sengketa antara kelompok atau
individu yang ada pembatasan kepentingan-kepntingan dan kompetensinya. Agar peraturan
ini secara jelas dapat terbebas dari tata tertib masyarakat yang damai dan spontan maka
haruslah terjadi perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul berbagai
kelompok yang sama nilainya.
14. Bahwa apa yang dinamakan ilmu hokum yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah
semata-mata suatu teknik yang bersifat relative dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
praktis dan sementara waktu berkat sistematisasi khayali tidak mampu memahami apapun,
kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hokum integral dan spontan dalam segala
tingkat kedalamannya disini Ehrlich ingin membuktikan bahwa dikalau sosiologi hukum
hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik tolak, maka sosiologi hukum itu
tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya, yakni kenyataan hokum integral yang
mentransendenkan semua skema dalil hokum bersifat abstrak.
15. Menurut Ehrlich ada suatu hokum yang menguasai masyarakat sebagai tata tertib
perdamaian. Dan hukum ini yang digunakan sebagai dasar untuk segala peraturan hukum
dank arena jauh lebih ebjektif daripada peraturan manapun juga, hokum ini merupakan tata
tertib langsung dari masyarakat. Jadi menurut Ehrlich perkembangan suatu hokum tidak
mesti dicari dalam undang-undang, jurisprudensi ataupun dalam doktrin, lebih umum lagi
dalam sistem peraturan-pertaturan yang manapun juga tatapi bisa cari dalam masyarakat itu
sendiri.
16. Menurut Ehrlich, apa yang bersifat kelembagaan dalam hokum atau spontan adalah berasal
dari masyarakat yang berlawanan dengan negara dan memiliki cirri-ciri integral law yang
menguasai perserikatan perserikatan. hokum kontak, hokum kekayaan, dan hokum
penguasaan sepihak hanyalah bentuk-bentuk samaran dari hokum masyarakat serta tata tertib
masyarakat, sedangkan tata tertib objektif dan spontanitas hokum dari individual tidak ada.

2. TEORI MAKRO: DURKHEIM DAN MAX WEBER
(Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum, Hal. 108-113)
Teori makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-bidang lain
diluarnya, seperti budaya, politik, dan ekonomi. Dengan memberikan penjelasan tersebut,
teori makro ini memberi tahu kepada kita bahwa tempat hukum adalah dalam konteks yang
luas yaitu hukum tidak dapat dibicarakan terlepas dari korelat-korelat hukum tersebut.
Hukum memiliki habitat dan kenyataan ini tidak ditinggalkan dalam kajian sosilogi hukum.
Karya-karya Durkheim dan Weber merupakan contoh klasik makro, kedua pemikir
tersebut melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan,
sehingga pengkajian mengenai hukum juga ditempatkan kerangka pemahaman yang
demikian itu.
1. Emile Durkheim
Durkheim menjelaskan bahwa hukum muncul sebagai institusi yang spesialistis bagian
dari proses perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses diferensiasi sosial.
Proses pembagian kerja dalam masyarakat (division du travail social) itu pada akhirnya
memberi akibat serta cap di bidang hukum, yang kemudian muncul sebagai institusi yang
berdiri sendiri melalui semua sifat spesial tersebut.
Durkheim terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan, mengapa manusia hidup
bermasyarakat, sedang pada dasarnya dilahirkan sebagai individu. Teori
Durkheim untuk menjelaskan fenomena tersebut mengajukan konsep solidaritas yang
mendasari pembentukan masyarakat manusia. Setiap tipe masyarakat berkorespondensi
dengan hukum yang digunakan waktu itu. Manusia hanya dapat disebut sebagai demikian
karena ia hgidup dalam masyarakat. Kehid, yang kehidupan kolektif tidak dilahirkan dari
kehidupan individual, tetapi justru sebaliknya yang kedua itulah yang dilahirkan dari yang
pertama.
Teori Durkheim mengatakan, hukum yang dipakai oleh masyarakat berpadanan dengan
tipe solidaritas masyarakat disitu.
Solidaritas ada dua macam, yaitu:
a. Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik mensyaratkan ada suatu ikatan yang bersifat mekanis antara para warga
masyarakat. Solidaritas ini menjadi landasan kehidupan bersama. Tanpa ada ikatan seperti itu
kehidupan bersama tidak ada, karena seperti dikatakan di atas, yang asli adalah individu. Tipe
hukum yang sesuai untuk itu adalah yang bersifat keras, yang tidak membiarkan sama sekali
terjadi perilaku menyimpang anggota masyarakat. Hukum disini bekerja sebagai alat pidana.
b. Solidaritas organik
Solidaritas organik memberikan kelonggaran terhadap masing-masing anggota masyarakat un
tuk menjalin hubungan satu sama lain, tanpa ada campur tangan. Pikiran dasar di situ
mengatakan, mkehidupan bersama akan terbina dengan memberikan kebebasab terhadap para
anggota untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hukum baru turut campur
apabila terjadi ketidakadilan dalam hubungan tersebut. Sifat pengaturan adalah perdata.
2. Max Weber
Karya terpenting Max Weber tentang sosiologi hukum, tertuang dalam bukunya
Wirtschaft und Gesellschaft (1925). Pikiran Weber di bidang sosiologi hukum sampai
sekarang masih sering menjadi acuan. Pikiran tersebut merupakan hal yang sentral dalam
sosiologi Weber.
Sosiologi hukum Weber dimulai dengan menghadapkan atau mempertentangkan Orde
Ekonomi dengan Orde Hukum. Perbedaan antara keduanya menjadi landasan bagi Weber
untuk memasuki sosiologi hukum sebagai suatu pembicaraan hukum dalam realitas tatanan
ekonomi. Oleh Weber hukum di konsepkan secara positivitis, yaitu sebagai sistem peraturan.
Optik yuridis atau dogmatik hukum ini memikirkan tentang hukum sebagai bangunan
peraturan yang memiliki koherensi logis, bebas dari kontradiksi internal. Yang dilakukan
adalah mencari arti yang tepat dari peraturan yang berisi patokan bagi perilaku tertentu. Ia
memeriksa apakah fakta sudah hukum secara tepat oleh peraturan. Optik yuridis tidak
merisaukan validitas empirik dari peraturan hukum. Ideal dari tatanan hukum seperti itu tidak
ada urusan dan tidak ingin berurusan dengan kenyataan perilaku yang menjadi landasan
tatanan ekonomi.

3. TEORI EMPIRIK
Hukum adalah sesuatu yang dapat diamati secara ekternal. Dalam posisi seperti itu, yaitu
seorang positivis-empirisis, Black harus membangun dari bawah dimulai dengan konsepnya
mengenai hukum. Misalnya ia mengatakan, hukum dilihat dari persfektif kuantitatif menjadi
lebih banyak atau lebih sedikit hukum. Lebih sering orang mengangkat telepon berarti lebih
banyak hukum daripada sebaliknya. Pikiran dan pendekatan tersebut dipraktekkan lebih
lanjut pada waktu Black membangun postulat yang diangkat dari pengamatan empirik.
Pendapat Black mengenai teori adalah, bahwa teori menjelaskan fakta itu saja yang boleh
menjadi bahan penyusun prosposisi. Prosposisi menegaskan hubungan antara hukum dan
aspek kemasyarakatan, yaitu Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi atau kontrol sosial.
Berikut ini beberapa proposisi yang dibangun oleh Black berdasarkan pengamatan dan
kuantifikasi data empirik:
a. Hukum akan lebih beraksi apabila seseorang dengan status tinggi memperkarakan orang lain
dari status yang lebih rendah, daripada sebaliknya.
b. Hukum berbeda-beda menurut jarak sosial. Hukum makin berperan dalam masyarakat
dengan tingkat keintiman yang lemah dibanding sebaliknya.
c. Apakah seorang polisi akanmelakukan penahanan ditentukan oleh banyak faktor, yaitu ras
tersangka, berat ringanya kejadian, barang bukti yang didapat, sikap terhadap polisi dan lain-
lain.
d. Jumlah peraturan bagi golongan dengan status tinggi lebih besar daripada bagi golongan
lebih rendah.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Grasindo: Jakarta.
Raharjo, Satjipto. 2010. Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Masalah. Genta
Publishing: Yogyakarta.
Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. PT. Raja Refika Aditama: Bandung.
Soetomo. 2008. Hukum Sosiologi: Hukum Pemikiran, Teori, dan Masalah. UNS PERS:
Surakarta.
file:///C:/Users/Surya%20Santana/Downloads/sejarah%20sos%20hukum.htm
file:///C:/Users/Surya%20Santana/Downloads/sejarah-filsafat-sosiologi-hukum.html
Diposkan 3rd May 2012 oleh Rosita Sirajuddin Kanoto

Anda mungkin juga menyukai