KULIAH KESATU
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TEORI LEGISLASI
1.1. Pendahuluan
25
1.4. Penyajian Materi
Dikutip dari Aan Eko Widiarto, 2009, Buku Ajar Legislative Dafting, Malang: Setara Press, hlm. 2.
Beberapa buku yang menggunakan judul itu adalah seperti: M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik
Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju, 1989; dan Soehino, 1996, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-
undangan, Yogyakarta: Liberty.
26
3
Perundang-undangan. Secara otentik digunakan istilah Teknik Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) menentukan:
Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-
4
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
3
Istilah itu terdapat dalam judul terbitan HuMa, yakni Rikardo Simarmata, 2002, Pengertian Dasar dan
Teknik Perancangan Perundang-undangan, Resiko Tradisi hukum tertulis, Jakarta: Perkumpulan Untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa). Juga terdapat dalam judul bab, yakni Bab I
Teknik Perancangan Peraturan Perundang-undangan, dalam Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, 1997, Keterampilan Perancangan Hukum, Bandung: Penerbit Alumni, hlm. 1; dan Bagir
Manan, 1997, “Kebutuhan Teknik Perancangan Perundang-undangan (Legislative Drafting) bagi Sarjana Hukum,
dalam Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung:
Alumni, hlm.245-265.
Lampiran II UU 12/2011 berjudul “TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”
27
bahasa mencakup penggunaan bahasa yang sederhana, peristilahan yang monolit, struktur
6
kalimat (pasif atau aktif, kalimat perintah atau larangan).
Selanjutnya Bagir Manan mengemukakan, pengertian yang sempit tersebut, akan lebih
sempit lagi apabila cara merumuskan semata-mata dimaknai sebagai kehendak pembentuk
undang-undang dapat terwujud secara jelas. Seolah-olah perancang hanya abdi pembentuk
undang-undang. Ini tidak atau sesuai dengan kerangka pembinaan hukum nasional. Seorang
perancang, dalam kerangka pembinaan hukum nasional, selain menguasai cara merumuskan,
juga perlu menguasai:
tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan;
fungsi peraturan perundang-undangan, seperti fungsi ketertiban, keadilan, menunjang
pembangunan, atau mendorong perubahan sosial;
materi yang hendak diatur, termasuk apakah materi itu pernah diatur, mengapa perlu
7
diatur, jenis peraturan perundang-undangan yang tepat mengaturnya.
Berikutnya Bagir Manan mendefinisikan Teknik Perundang-undangan adalah rangkaian
pengetahuan dan kemampuan yang mencakup segala unsur yang diperlukan untuk mewujudkan
peraturan perundang-undangan yang baik. Peraturan perundang-undangan yang baik dapat
terwujud apabila memenuhi unsur-unsur antara lain:
perumusannya tersusun secara sistematis, bahasa sederhana dan baku;
sebagai kaidah, mampu mencapai daya guna dan hasil guna baik dalam wujud ketertiban
maupun keadilan;
sebagai gejala sosial, merupakan perwujudan pandangan hidup, kesadaran hukum dan
rasa keadilan masyarakat, termasuk kemampuannya sebagai faktor pendorong kemajuan
dan perubahan masyarakat; dan
sebagai sub-sistem hukum, harus mencerminkan satu rangkaian sistem yang teratur dari
8
keseluruhan sistem hukum yang ada.
Bagir Manan, 1997, “Kebutuhan Teknik Perancangan ...”, Op.Cit., hlm. 258-259.
Bagir Manan, 1997, “Kebutuhan Teknik Perancangan ...”, Ibid., hlm. 258-259.
Bagir Manan, 1997, “Kebutuhan Teknik Perancangan ...”, Ibid., hlm. 260.
28
Untuk mendapat peraturan perundang-undangan yang baik tersebut diperlukan sejumlah
kemampuan yang seharusnya dimiliki perancang, yakni:
kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang
berkenaan atau berkaitan dengan materi muatan rancangan peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk, yang mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis,
sosiologis, dan yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan rancangan
9
peraturan perundang-undangan;
asas, baik asas yang bersifat umum maupun asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, yang diperlukan dalam penyusunan norma hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang hendak dibentuk;
kaidah, yakni kaidah hukum yang berkenaan atau berkaitan dengan penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan, sehingga peraturan perundang-undangan yang
hendak dibentuk memiliki dasar hukum, baik dasar hukum formal maupun dasar hukum
materiil; dan
praktik-pengalaman, belajar dari praktik-pengalaman perancangan maupun pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ataupun pelaksanaan suatu urusan tertentu untuk
direpleksikan dalam penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang kini
dikerjakan, termasuk untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kebutuhan hukum
masyarakat dan pemerintahan.
Diadaptasi dari Lampiran I UU 12/2011, khususnya dari uraian Latar Belakang pada Bab Pendahuluan.
29
dalam penyusunan rancangan Undang-Undang, dan dapat disertai naskah akademik dalam
penyusunan rancangan Peraturan Daerah.
30
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 1 angka 11 UU
12/2011). Adapun anatomi Naskah Akademik dikemukakan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Anatomi Naskah Akademik
SISTEMATIKA RINCIAN
Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan
Naskah Akademik
D. Metode
Bab II Kajian Teoretis Dan A. Kajian teoretis.
Praktik Empiris B. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait
dengan penyusunan norma.
C. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan,
kondisi yang ada, serta permasalahan yang
dihadapi masyarakat.
D. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem
baru yang akan diatur dalam Undang-Undang
atau Peraturan Daerah terhadap aspek
kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap
aspek beban keuangan negara.
Bab III Evaluasi Dan Analisis A. Kondisi hukum atau peraturan perundang-
Peraturan Perundang- undangan yang mengatur mengenai substansi
Undangan Terkait atau materi yang akan diatur.
B. Posisi dari Undang-Undang atau Peraturan
Daerah yang baru dalam keterkaitan/harmonisasi
Peraturan Perundang-undangan lain.
c. Status dari Peraturan Perundang-undangan yang
ada,
Bab IV Landasan Filosofis, A. Landasan Filosofis
Sosiologis, Dan Yuridis B. Landasan Sosiologis.
C. Landasan Yuridis.
Bab V Jangkauan, Arah A. Sasaran yang akan diwujudkan,
31
Pengaturan, dan Ruang B. Arah dan jangkauan pengaturan.
Lingkup Materi Muatan C. Ruang lingkup materi muatan
Undang-Undang, Peraturan
Daerah Provinsi, atau
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Bab VI Penutup A. Simpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
32
undangan Undang-Undang:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(TP3 Nomor 163)
33
Contoh:
a. pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi.
b. pembagian berdasarkan urutan/kronologis.
c. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan.
(TP3 Nomor 111)
3. Ketentuan Pidana Ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang,
(jika diperlukan) Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan secara tegas
norma larangan atau norma perintah yang dilanggar dan
menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang memuat norma
tersebut.
(TP3 Nomor 117 dan 118)
4. Ketentuan Peralihan Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan
(jika diperlukan) hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a.
menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin
kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak
yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau
bersifat sementara.
(TP3 Nomor 127)
5. Ketentuan Penutup Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan
Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan
Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan
yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-
undangan.
(TP3 Nomor 137)
D. PENUTUP Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan
yang memuat: a. rumusan perintah pengundangan dan
penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia,
Lembaran Daerah Provinsi, Lembaran Daerah Kabupaten/Kota,
Berita Daerah Provinsi atau Berita Daerah Kabupaten/Kota; b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
Perundang-undangan; c. pengundangan atau Penetapan Peraturan
Perundang-undangan; dan d. akhir bagian penutup.
(TP3 Nomor 160)
E. PENJELASAN Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan
(jika diperlukan) Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.
34
Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata,
frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang
dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk
memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh
mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dimaksud.
(TP3 Nomor 176)
F. LAMPIRAN (jika Dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan
diperlukan) lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa
lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Perundang-undangan.
Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel,
gambar, peta, dan sketsa.
(TP3 Nomor 192 dan 193)
Sumber: berdasarkan Lampiran I UU 12/2011
Mengingat: 1. …; PEMBUKAAN
2. …; (Dasar Hukum)
3. dan seterusnya …;
MEMUTUSKAN:
PEMBUKAAN
35
Menetapkan:UNDANG-UNDANG TENTANG … (nama Undang- (Diktum)
Undang).
Pasal 1
…
BAB II
…
Pasal …
Pasal …
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
tanda tangan
NAMA
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal …
tanda tangan
NAMA
36
Penanda sebagai rancangan Peraturan Perundang-undangan adalah pada kolom Nomor
masih kosong, dalam artian tidak dibubuhi angka. Oleh karena itu, tidak perlu dibubuhi kata
Rancangan di depan jenis peraturan perundang-undangan yang hendak dirancang.
10
J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2004), “Using legislative theory to improve law and
development project”, Jurnal RegelMaat afl. 2004/4. J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2008), “Using
legislative theory to improve law and development projects”, dalam J. Arnscheidt, B. Van Rooij, dan J. M. Otto,
eds., Lawmaking for Development: Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects,
(Leiden: University Press).
37
Tahap III: Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi.
Dalam hal ini dengan menggunakan metodologi penyelesaian masalah
yang dikembangkan pasangan Seidman, kita harus mengidentifikasi
perilaku apa yang sebenarnya hendak diubah.
Ikhtiar ini terdiri dari empat langkah:
Langkah 1: Identifikasi dari tingkat kesulitan yang dihadapi: karena
legislasi hanya mungkin menyasar perilaku manusia, maka para
pembentuk legislasi harus mampu mengidentifikasi perilaku apa yang
memunculkan masalah sosial yang hendak ditata dan juga peran dari
mereka (kelompok sasaran) yang perilakunya menimbulkan masalah.
Langkah 2: Menganalisis dan mengajukan uraian menjelaskan mengapa
dan bagaimana masalah sosial tertentu muncul; pembentuk legislasi harus
secara sistematis memeriksa dan turut mempertimbangkan hipotesis
alternatif perihal sebab musabab atau akar masalah dari perilaku sosial
yang dianggap bermasalah.
Langkah 3: Mengajukan usulan pemecahan masalah (solusi); dengan
dukungan bukti-bukti, pembentuk legislasi seyogianya merumuskan
tindakan-tindakan legislatif apa yang sebaiknya dilakukan, termasuk
mengajukan usulan rancangan peraturan baru. Dalam hal itu, mereka juga
harus memperhitungkan biaya sosial-ekonomi yang potensial muncul dari
tiap aturan yang dibuat, yaitu untuk dapat menentukan elemen mana yang
harus dimasukkan atau justru dikesampingkan dalam perancangan aturan
yang hendak diusulkan.
Langkah 4: Pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi; terakhir
para pembentuk legislasi seyogianya membangun suatu mekanisme
pengawasan dan evaluasi implementasi ke dalam rancangan legislasi yang
dibuat.
Tahap IV: Analisis dari proses pembentukan legislasi beranjak dari teori-teori
normatif perihal „pembentukan legislasi yang baik.
Pembentukan legislasi yang lebih partisipatoris seharusnya meningkatkan
kadar demokratis dan legitimasi peraturan yang dihasilkan.
Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) berkaitan dengan
pembentukan legislasi negara diprakarsai pada tingkat lokal, merupakan
fenomena penting dan baru muncul di banyak negara berkembang.
Tahap V: Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi dari
sudut pandang teori-teori : pembuatan agenda, ideologi (kelompok) elite,
politik-biro dan empat lapisan rasionalitas.
Penelahaan kritis terhadap pertanyaan apakah dan seberapa jauh
transplantasi hukum justru merupakan solusi terbaik terhadap
permasalahan sosial yang muncul.
Mensyaratkan adanya kemampuan dari konsultan asing untuk tidak saja
kritis terhadap diri sendiri, juga untuk menyadari bahwa sejumlah teori
38
yang dikembangkan di dunia Barat dilandaskan pada asumsi-asumsi
mengenai dinamika masyarakat dan politik di negara-negara maju
yang tidak mencerminkan realitas sosial di banyak negara berkembang.
Asumsi-asumsi demikian mencakup:
bahwa dapat ditemukan konsensus tentang keniscayaan pembentukan
legislasi yang partisipatoris dan demokratis;
bahwa warga masyarakat memiliki kebebasan dan keberanian untuk
secara terbuka turut serta dalam debat publik tentang apapun juga.
bahwa pihak eksekutif yang memprakarsai dan memimpin proses
pembentukan legislasi bertanggungjawab terhadap dewan perwakilan
daerah yang pada gilirannya mengartikulasikan kepentingan dari
masyarakat banyak;
bahwa ada dan terjaga situasi dan kondisi politik yang relatif stabil yang
memungkinkan terselenggaranya debat terbuka perihal elemen-elemen
terpenting dari ideologi negara maupun kebijakan resmi negara,
samping itu juga berfungsinya media yang efektif tetapi sekaligus cukup
netral, untuk menyalurkan informasi pada masyarakat luas; dan
bahwa tersedia cukup sumberdaya, personel dan anggaran yang
memungkinkan proses pembentukan legislasi yang partisipatoris,
dipersiapkan dengan baik oleh para pengambil kebijakan maupun
pembentuk legislasi.
Sumber: disusun berdasarkan J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative
theory to improve law and development project”.
Metodelogi pembentukan legislasi dalam kelima tahapan tersebut dapat dipadatkan sebagai
berikut:
Tahap I: Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya
memperbaiki atau menggantikannya.
Tahap II: Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif).
Tahap III: Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi,
dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah-ROCCIPPI.
Tahap IV: Analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari teori-teori
normatif perihal „pembentukan legislasi yang baik”.
Tahap V: Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi yang
mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat.
39
Metode Pemecaahan Masalah dan ROCCIPI, mendapat pembahasan dalam teori
legislasi yang dikemukakan oleh J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt. Berikut dilakukan
penguraian kembali teori legislasi dari Seidman tersebut, terutama menyangkut teori legislasi
ROCCIPI.
Inti dari Metodelogi Pemecahan Masalah dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah dalam rangka perubahan masyarakat yang
demokratis yang berdasarkan pada asas-asas kepemerintahan yang baik (good governance).
Masing-masing langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku bermasalah, melalui kriteria
sebagai berikut:
Apakah masalah itu terjadi berulang-ulang?
Apakah masalah itu mempunyai dampak negatif?
Apakah masalah sosial itu dibentuk oleh perilaku majemuk (banyak orang)?
Jika jawabannya ”ya“, maka masalah itu merupakan masalah sosial. Pihak-pihak yang
perilakunya terkait dengan masalah sosial adalah:
Pemeran (Role Occupant), yakni orang, kelompok, atau organisasi yang perilakunya
menimbulkan masalah.
Agen pelaksana (Implementing Agent), yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk
memastikan pemeran berperilaku sesuai aturan.
Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku bermasalah. Dilakukan dengan
menggunakan agenda ROCCIPI yang merupakan akronim dari sejumlah kategori. Ini akan
diuraikan dalam bagian berikutnya, khusus megenai Teori ROCCIPI.
Ketiga, menyusun solusi. Ada dua jenis solusi yakni untuk menghilangkan perilaku
bermasaalah dan memastikan efektivitas pelaksanaan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan
sebagai berikut:
Solusi untuk menghilangkan perilaku bermasalah yang berisi tindakan-tindakan langsung
maupun tidak langsung yang bisa menghilangkan perilaku bermasalah. Misalnya, Jika
karena faktor peraturan, khususnya pada ancaman sanksi maka ancaman sanksi itu yang
40
perlu diperbaiki atau jika perilaku bermasalah disebabkan kurangnya perilaku berperan
maka tindakannya adalah mengembangkan kemampuan.
Solusi memastikan efektivitas pelaksanaan peraturan. Langkah yang dapat dilakukan
adalah pertama, mempertimbangkan jenis-jenis lembaga pelaksana peraturan seperti
perusahaan negara, lembaga administratif, lembaga penyelesaian sengketa atau lembaga
swasta. Langkah kedua, menyususn mekanisme tindakan untuk menghindari tindakan
seweng-wenang lembaga pelaksana peraturan. Ini dapat dilakukan melalui dua cara:
menyusun proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan transparan dalam
peraturan; dan
menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian sengketa.
Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan. Aktivitas yang dilakukan pada langkah
keempat adalah menyusun mekanisme pengawasan dan evaluasi dalam rancangan untuk
memastikan peraturan yang dirancang benar-benar mempengaruhi tingkah laku dan
menimbulkan dampak yang diinginkan. Mekanisme itu mencakup (1) Klausula Matahari
Terbenam; (2) Mengharuskan pejabat memberikan laporan kepada atasan dan/atau legislatif; dan
Mengharuskan pejabat pelaksana peraturan membentuk komisi yang akan mengevaluasi
pelaksanaan.
TEORI ROCCIPI. Teori perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann Seidman,
Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan masukan penjelasan
tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam penyusunan undang-undang. Teori ini lebih
dikenal dengan ROCCIPPI, yang terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity
(Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan),
Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi). Kategori-kategori ini dapat dipilah menjadi dua
kelompok factor penyebab, yakni factor obyektif (yang meliputi: Rule / Peraturan), Opportunity
Kesempatan), Capacity / Kemampuan), Communication / Komunikasi), dan Process/Proseses)
dan factor subyektif (yang meliputi: Interest/Kepentingan dan Ideology / Ideologi). Penjelasan
masing-masing factor tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, faktor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak para pelaku
peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi (nilai-nilai dan sikap)” mereka.
41
Hal-hal ini merupakan apa yang semula diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri
sebagai “alasan” dari perilaku masyarakat. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan pelaku peran tentang
akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk bukan hanya insentif materiil
tetapi juga insentif non-materiil, seperti penghargaan dan acuam kelompok berkuasa.
Fokus pada penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya menghasilkan
tindakan perundang-undangan yang menerapkan tindakan motivasi ke arah kesesuaian
yang bersifat langsung - hukuman dan penghargaan - yang dirancang untuk mengubah
kepentingan-kepentingan tersebut.
Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif kedua dari
kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara luas, kategori ini mencakup
motivasi-motivasi subjektif dari perilaku yang tidak dicakup dalam “kepentingan”.
Motivasi tersebut termasuk semua hal mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos
dan asumsi-asumsi tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi politik, social
dan ekonomi yang kurang lebih cukup jelas. Alvin Gouldner memasukkan hal-hal
tersebur dalam istilah: “asumsi-asumsi domain”.
Faktor-faktor subjektif − Kepentingan dan Ideologi − memang menawarkan penjelasan
secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi, sesuai dengan hakekatnya, penjelasan tersebut
terfokus pada penyebab perilaku perorangan di dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai
akibatnya, pemecahan perundang-undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan
ideologi perorangan. Penyelesaian-penyelesaian perundang-undangan yang ditujukan hanya pada
penyebab-penyebab subjektif dari perilaku bermasalah tidak dapat mengubah factor-faktor
kelembagaan objektif yang dapat menyebabkan bertahannya perilaku tersebut.
Kedua, factor-faktor obyektif. Berbeda dengan faktor subjektif, kategori-ketegori-
kategori objektif ROCCIPI - Peraturan, Kesempatan, Kemampuan, Komunikasi dan Proses
memusatkan perhatian pada penyebab perilaku kelembagaan yang menghambat pemerintahan
yang bersih. Kategori ini harus merangsang seorang penyusun rancangan undang-undang untuk
memformulasikan hipotesa penjelasan yang agak berbeda dan usulan pemecahan. Masing-
masing dapat dijelaskan sebagai berikut:
42
Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan rancangan undang-
undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir selalu, batang tubuh undang-undang yang
layak mempengaruhi perilaku. Orang berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan
satu peraturan, tetapi di depan kesatuan kerangka undang-undang. Keberadaan peraturan-
peraturan tersebut dapat membantu menjelaskan perilaku bermasalah dengan satu atau
beberapa dari lima alasan berikut ini:
Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau rancu, sehingga
sampai memberikan wewenang tentang apa yang harus dilakukan;
Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan perilaku yang
bermasalah;
Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah.
Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak transparan, tidak
bertanggung jawab dan tidak partisipatif.
Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada
pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku
bermasalah tersebut.
Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh suatu undang-
undang memungkinkan mereka untuk berperilaku sebagaimana diperintahkan oleh
undang-undang tersebut? Atau, sebaliknya, apakah lingkungan tersebut membuat
perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi? Misalnya, bila kebijakan pemerintah
berpihak pada peningkatan penanaman tanaman keras di tengah dominasi petani tanaman
pangan, apakah para petani tersebut memiliki akses masuk menembus pasar tanaman
keras? Apanila tidak, mereka akan kekurangan kesempatan untuk menjual barang-barang
mereka di pasar.
Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana
ditentukan oleh peraturan yang ada? Berangkat dari situasi ini, maka kategori ini
memfokuskan perhatian pada ciri-ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak
memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang
43
ada. Misalnya, apabila petani tanaman pangan kekurangan kredit atau keahlian teknis,
kemungkinan mereka tidak memiliki kemampuan menanam tanaman pangan.
Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat
menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah para pihak yang berwenang
telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan-
peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara
sadar mematuhi undang-undang bila dia mengetahui perintah.
Proses. Menurut criteria dan prosedur apakah - dengan Proses yang bagaimana - para
pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak? Biasanya, bila
sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “Proses” menghasilkan
beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang
biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak. Akan tetapi,
dalam hal organisasi yang kompleks (misalnya, sebuah perusahaan, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), serikat buruh, dan khususnya instansi pelaksana pemerintah, Proses
dapat saja merupakan kategori ROCCIPI yang paling penting.
Dengan perkataan lain, kategori-kategori ROCCIPI tersebut mengandung pengertian
sebagai berikut:
Rule (Peraturan Perundang-undangan). Menganalisis seluruh peraturan yang mengatur
atau terkait dengan perilaku bermasalah, ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan-
kelemahan yang terkandung pada peraturan yang sudah ada.
Oppurtunity (Peluang/Kesempatan). Menganalisis berbagai kesempatan bagi timbulnya
perilaku bermasalah.
Capacity (kemampuan). Mengalisis kemungkinan timbulnya perilaku bermasalah karena
faktor kemampuan.
Communication (Komunikasi). Perilaku bermasalah mungkin timbul karena
ketidaktahuan pemeran akan adanya peraturan. Ini juga harus dianalisis dalam rangka
menemukan sebab perilaku bermasalah.
44
Interest (Kepentingan). Kategori ini berguna untuk menjelaskan pandangan pemeran
tentang akibat dan manfaat dari setiap perilakunya. Pandangan pemeran ini mungkin
menjadi penyebab perilaku bermasalah.
Process (Proses). Kategori proses juga merupakan penyebab perilaku bermasalah. Ada
empat proses utama, yakni: proses input, proses konversi, proses output, dan proses
umpan balik. Proses input menyangkut siapa saja yang dimintai masukan. Proses
konversi siapa saja yang menyaring dan mempertimbangkan masukan yang ada untuk
dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Proses output menyangkut siapa dan
dengan cara apa keputusan akan dikeluarkan. Proses umpan balik menyangkut siapa saja
yang dimintai umpan balik.
Ideology (ideologi). Kategori ini menunjuk pada sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.
Ketujuh agenda ROCCIPI bukan suatu urutan prioritas, namun hanya alat bantu agar
mudah mengingat. Tidak seluruh kategori harus terpenuhi. Bisa jadi penyebab perilakunya hanya
kategori ROCC, karena tidak ada penyebab dalam kategori IPI. Kategori-kategori dalam
ROCCIPI bisa jadi belum lengkap, karena itu terbuka untuk ditambahkan dengan kategori baru
(Rival Gulam Ahmad, dkk, 2007). Berikut ini dikemukakan Skema Sampath yang memberikan
pengertian tentang cara menggunakan agenda ROCCIPI untuk mengindentifikasi penyebab
perilaku bermasalah dari pelaku peran yang secara logis mampu membantu menyusun rincian
tindakan-tindakan di dalam rancangan peraturan perundang-undangan.
45
KOTAK 2. SKEMA SAMPATH : LANGKAH – LANGKAH MENGANALISA
MASALAH SOSIAL UNTUK MENYUSUN RANCANGAN UNDANG – UNDANG YANG
DAPAT DILAKSANAKAN SECARA EFEKTIF
Peraturan……….> <………………..> }
Kesempatan…….> <………………..> }
Kemampuan……> <………………..> }
Pelaku Peran #1 Komunikasi…….> <………………..> }
Kepentingan…....> <………………..> }
Proses…………..><………………..>}
Ideologi………...><………………..>}
Peraturan……….> <………………..> }
Kesempatan…….> <………………..> }
Kemampuan……> <………………..> }
Pelaku Peran #3 Komunikasi…….> <………………..> }
Kepentingan…....><………………..>}
Proses…………..> <………………..>
Ideologi………...> <………………..>
46
KOTAK 3. MENGGUNAKAN ROCCIPI UNTUK MENYUSUN ANALISA
MENGGAMBARKAN PENGGUNAAN BUKTI-BUKTI KUALITATIF UNTUK
MEMBENARKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERPERINCI SUATU RANCANGAN UNDANG-
UNDANG.
(Kasus para pengelola yang perusahaannya secara ilegal membuang limbah industri di sungai di
dekatnya)
47
Proses : Beberapa pengelola mengambil Undang-undang mengharuskan
keputusan tanpa berkonsultasi diadakannya sidang terbuka, dan
dengan siapapun untuk melanggar laporan tertulis kepada masyarakat,
undang-undang;tidak pekerja dan pemberi kerja tentang
memasukkan masukan dari kebijakan pembuangan limbah di
masyarakat dan pekerja dalam masa yang akan datang.
proses pengambilan keputusan
mereka
KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebij akan (Perda Ramah Investasi), Jakarta: Ford Foundation dan
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, hlm. 5.
48
3. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan stakeholder. 12
Secara lebih spesifik, metode RIA merupakan alat untuk mencapai standar internasional
untuk kebijakan berkualitas sebagaimana tercantum dalam OECD checklist sebagai berikut:
Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar?
Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?
Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan pemerintah?
Apakah ada landasan hukum untuk PPu?
Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan ini?
Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?
Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?
Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh pemakai?
Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan untuk menyampaikan
pendapat/pandangan mereka? Bagaimana dapat mencapai kepatuhan?
13
Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?
Penerapan RIA sebagai sebuah metode yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh
negatif dan positif peraturan perundang-undangan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang
14
berjalan, mengikuti langka-langkah seperti pada tabel berikut:
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia,
Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG, USAID., hlm. 4-7
13
Emmy Suparmiatun, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact
Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) Di Kementerian PPN/BAPPENAS,
Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS, hlm. 5-6. Steve Parker dan Usmanto Njo, 2009, Memajukan
Reformasi Perundang-undangan Di Indonesia Peluang dan Tantangan, Program Peningkatan Daya Saing
SENADA, HLM. 18.
14
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia,
Disampaikan pada Seminar 28 Nopember 2002 Nusa Dua, Provinsi Bali, Kerjasama Balitbang Deperindag, Dinas
Perindag Bali, PEG, USAID, hlm. 7-14.
KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebijakan (Perda Ramah Investasi), Jakarta: Ford Foundation dan
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, hlm. 5-33.
49
Tabel 4. Langkah-langkah Penerapan Metode RIA
langkah Uraian
50
alternatif to regulation) yang dapat menyelesaikan masalah yang
dituju.
Yang dimaksud dengan alternatif non peraturan adalah alternatif
tindakan yang tidak memerlukan kerangka peraturan perundang-
undangan seperti UU, PP, dan Perda.
Langkah 4: Checklist untuk tahapan analisis manfaat dan biaya:
Assessment atas Siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh masing-masing
manfaat dan biaya alternatif regulasi? (publik, swasta, pemerintah, produsen,
(keuntungan dan konsumen, dan lain-lain)
kerugian). Apa bentuk manfaat yang diterima dan biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak yang terkena pengaruh diterapkannya
regulasi dan bagaimana masing-masing manfaat dan biaya tersebut
dapat diukur?
Seberapa besarnya masing-masing manfaat dan biaya tersebut di
atas dibandingkan dengan baseline yang digunakan? (ukuran
kuantitatif atau kualitatif).
Dengan memperhitungkan seluruh manfaat dan biaya, baik yang
dapat dikuantifi kasi ataupun tidak, apakah manfaat masing-masing
alternatif melebihi biayanya atau sama atau sebaliknya?
Untuk semua alternatif yang layak (manfaat melebihi biaya)
alternatif mana yang memiliki rasio manfaat biaya yang tertinggi?
Langkah 5: Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan adalah:
Konsultasi dengan Konsultasi ditujukan untuk mengumpulkan informasi, membangun
para tenaga ahli, kelompok yang memihak untuk menyetujui adanya regulasi, dan
stakeholder dan menyusun laporan yang dapat dipertanggungjawabkan.
publik. Konsultasi dapat dilaksanakan dalam bentuk beragam, informal
maupun formal (dengar pendapat, komentar, dll).
Harus direncanakan pada awal RIA.
Rencana konsultasi harus sudah mengenali pihak-pihak mana
yang akan dilibatkan partisipasinya.
Prosesnya transparan, dialog berkesinambungan, pro aktif.
Langkah 6: Pertimbangan dalam memilih (screening) alternatif. Pertimbangan
Penentuan opsi yang sering digunakan dalam screening alternatif adalah:
terbaik (yang Legalitas: apakah pemerintah berhak secara legal untuk melakukan
dipilih). tindakan tersebut? legalitas ini mencakup legal menurut hukum
domestik maupun internasional (misalnya perjanjian WTO).
Biaya (costs): berapa besar biaya yang harus dikeluarkan (terjadi)
untuk melakukan tindakan tersebut? biaya ini mencakup biaya &
kerugian yang ditanggung oleh pemerintah, konsumen, pelaku
bisnis, dan UKM.
Dampak terhadap masyarakat: menyangkut seberapa besar
pengaruh dari tindakan tersebut terhadap masyarakat.
51
Pertimbangan dampak antara lain mencakup: (i) fairness & access
for the poor: apakah masyarakat melihat tindakan tersebut cukup
adil dan tidak menghalangi akses kaum miskin terhadap fasilitas
dasar; (ii) instrusiveness: apakah regulasi terlalu mengganggu
kegiatan masyarakat? (campur tangan pemerintah terlalu besar);
(iii) faktor kesehatan, safety, dan lingkungan hidup: apakah
tindakan tersebutterkait kesehatan, keselematan kerja, dan
pelestarian lingkungan hidup; dan (iv) lingkup: apakah
mempengaruhi sedikit atau banyak orang (penyebaran dampak).
Visibilitas dan kemungkinan mencapai sasaran: mengukur
seberapa jauh tindakan tersebut dapat membantu pemerintah
mencapai tujuan kebijakan.
Hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat: mengukur
seberapa besar alternatif tersebut mempengaruhi (menghambat)
persaingan usaha.
Langkah 7: Faktor-faktor yangharus dijadikan fokus perhatian dalam perumusan
Perumusan strategi strategi implementasi adalah:
untuk menerapkan Mekanisme penerapan yang dapat digunakan untuk alternatif
dan merevisi terpilih berdasarkan pada:
kebijakan (strategi Analisis kemungkinan alasan-alasan untuk ketidakpatuhan;
implementasi) Review daftar berbagai kemungkinan mekanisme penerapan
untuk masing-masing alternatif regulasi maupun non-regulasi.
Efektivitas biaya masing-masing alternatif mekanisme penerapan
yang didasarkan pada:
Tingkat kepatuhan yang dapat diharapkan untuk masing-masing
alternatif mekanisme;
Biaya yang harus ditanggung pemerintah untuk masing-masing
alternatif mekanisme;
Biaya yang harus ditanggung dunia usaha dan konsumen untuk
masing-masing mekanisme.
Beberapa jenis mekanisme yang dapat digunakan untuk mendorong
kepatuhan antara lain: Peringatan secara lisan ataupun tertulis; Sanksi
administratif; pengumuman kepada publik pihak-pihak yang tidak
patuh; pembekuan atau pencabutan izin, dan sanksi pidana.
Selain sanksi di atas, strategi untuk meningkatkan derajat kepatuhan
harus juga mempertimbangkan kemungkinan penggunaan imbalan
dan insentif untuk kepatuhan secara sukarela, seperti penyederhanaan
terhadap perijinan bagi perusahaan yang mempunyai catatan baik
dalam memenuhi berbagai ketentuan; dan pemberian penghargaan
berdasarkan tingginya tingkat kepatuhan.
Sumber:
52
Gambar: Tahapan Analisis Dampak Regulasi
MANFAAT&BIAYAANALISIS
IMPLEMENTASISTRATEGI
MASALAHPERUMUSAN
TUJUANIDENTIFIKASI
TINDAKANALTERNATIF
TINDAKANPEMILIHAN
KONSULTASI PUBLIK
Sumber: Penulis
1.5. Penutup
Resume.
53
naskah akademik dalam penyusunan rancangan Undang-Undang, dan dapat disertai naskah
akademik dalam penyusunan rancangan Peraturan Daerah.
Selain itu, dideskripsikan pula beberapa teori legislasi yang dapat diterapkan dalam
perancangan peraturan perundang-undangan, misalnya adalah teori yang dikemukakan oleh J.M.
Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, yang membahas teori pembentukan agenda, teori ideologi
elite, teori politik-biro, dan teori empat lapisan rasionalitas. Ada pula teori legislasi ROCCIPI,
dan Regulatory Impact Assessment (RIA).
Inti dari metodelogi pemecahan masalah ROCCIPI dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah dalam rangka perubahan masyarakat yang demokratis yang
berdasarkan pada asas-asas kepemerintahan yang baik (good governance). ROCCIPPI, yang
terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan),
Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology
(Ideologi). Kategori-kategori ini dapat dipilah menjadi dua kelompok faktor penyebab, yakni
faktor obyektif (yang meliputi: Rule, Opportunity, Capacity, Communication, dan Process) dan
faktor subyektif yang meliputi: Interest dan Ideology.
Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah sebuah metodologi untuk meningkatkan mutu
peraturan yang sudah ada dan peraturan baru. Metodologi tersebut memberikan peluang bagi
pengguna untuk memeriksa apakah peraturan sudah sesuai dengan kriteria mutu yang dijabarkan
dalam checklist yang dikembangkan dan direkomendasikan oleh OECD. Melalui RIA akan
ditinjau peraturan yang ada dan mengubah prosedur yang birokratif menjadi prosedur yang
smart dengan merumuskan peraturan yang lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik dalam
hal investasi bagi sebuah daerah.
Latihan.
Sebagai akhir dari bagian Penutup maka, disediakan soal latihan bagi mahasiswa agar
dikerjakan untuk mengetahui capaian pembelajaran. Mahasiswa wajib mengerjakan tugas-tugas
latihan, sebagai berikut:
Apa yang dimaksud dengan Perancangan Peraturan Perundang-undangan?
Bagaimana cara yang efektif mempelajari Perancangan Peraturan Perundang-undangan?
54
Untuk apa mempelajari Perancangan Peraturan Perundang-undangan?
Teori Legislasi apa yang dapat digunakan melakukan identifikasi masalah dan
mencari penyebab timbulnya masalah?
Bagaimana cara menggunakan Teori Legislasi itu untuk melakukan identifikasi
masalah dan mencari penyebab timbulnya masalah?
Aan Eko Widiarto, 2009, Buku Ajar Legislative Dafting, Malang: Setara Press.
Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan
Indonesia, Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG, USAID.
KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebij akan (Perda Ramah Investasi), Jakarta:
Ford Foundation dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah.
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju, 1989.
55