Anda di halaman 1dari 8

LEMBAR JAWABAN

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)


SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2021/2022
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

Nama Mahasiswa : Khalifah Salsabila Latif


Nomor Pokok : 3019210338
Nomor Urut :-
Kelas :C
Mata Ujian : Hukum Telematika
Nama Dosen : Dr. Armansyah,S.H., M.H.
Hari/Tanggal : Rabu, 6 Juli 2022
Semester : Genap 2021/2022

TIPE A

1. Apakah alat bukti elektronik merupakan perluasan Pasal 184 KUHAP dan mengapa
intersepsi yang bukan dilakukan oleh atau tanpa permintaan Aparat Penegak Hukum
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian ?
Sebagaimana yang diketahui Pasal 184 KUHAP menyatakan alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Kemudian dengan
adanya UU ITE yang melahirkan alat bukti baru berupa dokumen elektronik, yaitu sesuai Pasal 5
ayat 1 UU ITE menyebutkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Namun dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 dan 2 UU
ITE telah mengatur dengan jelas kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagai alat bukti yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Intersepsi atau penyadapan menurut UU ITE adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam,
membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik
baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel termasuk perbuatan yang
dilarang, pengecualian atas pelarangan intersepsi apabila dilakukan oleh pihak yang berwenang
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak
hukum yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. Namun untuk menilai bukti
tersebut merupakan bukti yang sah adalah dengan menggunakan parameter hukum pembuktian
pidana yaitu bewijsvoering, yaitu penguraian cara begaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan, sehingga apabila intersepsi yang digunakan sebagai bukti tanpa
permintaan aparat penegak hukum dan diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawfull legal
evidence maka bukti dikesampingkan oleh hakim atau dainggap tidak mempunyai nilai
pembuktian oleh hakim.
2. Media sosial menjadi alat efektif untuk membangun jaringan pertemanan hingga
hubungan bisnis, termasuk penyalahgunaan kebebasan bermedsos yaitu bisnis ujaran
kebencian yang dipengaruhi oleh prinsip dasar ekonomi soal supply (penawaran) and
demand (permintaan). Upaya reposting dan broadcasting, teknik social engineering
advance berdampak massifnya penyebaran hate speech dan hoax, baik oleh personal
ataupun buzzer well organized yang berpotensi memunculkan persekusi ataupun konflik
di dunia nyata. Meskipun UU ITE, UU Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ("UU 40/2008"), Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial (“UU 7/2012”) dan Surat Edaran Kapolri
Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (“SE Hate Speech”), telah
mengatur larangan dan ancaman terhadap hate speech dan hoax, mengapa persoalan ini
marak terjadi dan terdapat disparitas dalam penegakan hokum nya ?
Menurut saya pada pasal penghinaan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) merupakan pasal
yang sering menimbulkan perdebatan. Rumusan delik dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dipandang tidak jelas sehingga dapat
memidana orang yang hendak menyampaikan ekspresi maupun kritik melalui sarana internet
maupun sosial media. Terjadinya disparitas dalam penegakan hukum dalam kasus atau persoalan
ini merupakan hal yang sudah sering terjadi di Indonesia. Penghinaan atua hate speech diartikan
sebagai perbuatan yang dengan sengaja menyerang kehormatan dan/atau nama baik orang
(Prodjodikoro, 2003: 93). Penyebaran hoax yang juga terjadi disparitas dalam penegakan
hukumnya.
Tindak pidana penghinaan diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Penistaan sama seperti
penghinaan namun caranya dilakukan melalui tulisan dan/ atau gambar. Tindak pidana penistaan
diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP. Sedangkan fitnah atua hoax fitnah, perbuatannya sama
seperti penistaan yaitu menyerang kehormatan dan nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal supaya hal tersebut diketahui oleh umum dengan cara tertulis dan/atau gambar akan
tetapi orang yang melakukan penyerangan tersebut tidak dapat membuktikan pernyataanya.
Tindak pidana fitnah diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Masalah ini terjadi karena disparitas dalam tindak pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim
yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Disparitas tersebut terjadi karena terjadi perbedaan
interpretasi atas unsur dengan sengaja dan tanpa hak; unsur mendistribusikan dan/ atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik; dan unsur yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik, dalam
Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Inkonsistensi
tersebut tidak jelas, bahkan menjadi semakin rancu mana ekspresi atau perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut.

3. “Bahwa ia Terdakwa Z pada tanggal 12 Desember 2018 sekira jam 09.30 WIB atau
setidaktidaknya pada satu waktu tertentu pada bulan April 2017 bertempat di PT FGH,
Jl.Raya Lenteng Agung Utara Km.57 atau setidak-tidaknya pada satu tempat tertentu yang
masih termasuk daerah hukum PN Jakarta Selatan yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini, dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
melalui media sosial WhatsApp”
a. Deskripsikan regulasi dan ancaman pidana terhadap perbuatan Terdakwa !
Regulasi yang berkenaan dengan terdakwa Z yaitu tertera dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik j.o Pasal 45 ayat
(3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana sesuai dengan peraturan a
quo :
“Pasal 27
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Serta hukuman pidana yang dikenakan terdapat dalam Pasal 45 ayat (3) peraturan a quo
yang menyatakan sebagai berikut :
" Pasal 45
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah)."
Dimana dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh terdakwa Z akan diancam dengan hukuman
pidana paling lama 4 (empat) tahun.
b. Deskripsikan unsur subjektif dan unsur objektif pasal terkait !
Unsur subjektif yang telah dilakukan oleh terdakwa Z yaitu
- Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media sosial
WhatsApp.
Unsur subjektif yang tertera lebih ditekankan kepada “kesengajaan dan tanpa hak”
sehingga perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan sesuatu dari tindak pidana yang
dapat merugikan PT. FGH.
Unsur objektif yang telah dilakukan oleh terkdawa Z yaitu :
Dengan apa yang dilakukan terdakwa Z ini merupakan perbuatan melawan hukum yang
mengarah kepada “pencemaran nama baik” yang telah dilakukan oleh Terdakwa Z melalui
media sosial WhatsApp.
c. Apakah terpenuhinya unsur dimaksud harus mensyaratkan “dimuka umum”?
Dimuka Umum” maksudnya yaitu perbuatan tersebut dilakukan bukan ditempat yang
tersembunyi tetapi publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam Bahasa Wirjono
Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het openbaar)”. R. Soesilo
menyatakan ditempat umum diartikan sebagai suatu tempat dimana publik dapat
melihatnya. Apa yang telah dilakukan oleh terdakwa Z ini, dapat ditinjau terlebih dahulu
untuk memenuhi syarat “dimuka umum” hal ini dikarenakan apa yang disebar tersebut di
media sosial WhatsApp, apakah dilakukan kepada terdakwa Z dengan seorang rekannya?
Atau dilakukan ke dalam group yang Terdakwa Z ini berada di dalam group tersebut
dan/atau dilakukan dengan melalui fitur Status di media sosial WhatsApp.
Jika, terdakwa Z hanya melakukan pencemaran nama baik tersebut kepada seorang
rekannya saja meskipun itu dalam media sosial WhatsApp, maka tidak dapat memenuhi
syarat “Dimuka Umum” karena tidak diketahui oleh publik. Namun, apabila yang
dilakukan oleh Terdakwa Z ini melakukan pencemaran nama baik tersebut melalui group
media sosial WhatsApp dan/atau melalui fitur Status di media sosial WhatsApp, maka
dapat dikenakan unsur syarat “Dimuka Umum”. Hal ini dikarenakan dapat diketahuinya
oleh khalayak luas apa yang telah dilakukan dari Terdakwa Z.
d. Siapakah pejabat penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terkait kasus ini
?
Penyidik yang berwenang terkait kasus ini adalah selain penyidik pejabat polri, pejabat
PPNS tertentu di lingkkungan pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang TI dan TE diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana KUHAP untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transasksi
Elektronik. dasar hukum yang berlaku yaitu pasal 1 ayat 7 UU No.19/2016 dan juga pasal
43 UU No. 19/2016.

e. Bagaimanakah restorative justice dapat diterapkan dalam tindak pidana yang


memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di media sosial
melalui penyelesaian secara Online Dispute Resolution (ODR) ?
Dalam perkembangan terkini muncul alternatif yang ditawarkan yakni dengan
melaksanakan konsep restorative justice. Konsep restorative justice adalah alternatif untuk
penanganan perbuatan melawan hukum yang menawarkan solusi yang komprehensif dan
efektif.
Online Dispute Resolution (ODR) adalah penyelesaian sengketa yang menggunakan
fasilitas teknologi untuk memberikan penyelesaian terhadap sengketa antara para pihak
yang mana dalam hal ini menggunakan negoisasi, mediasi atau arbitrase.
Dalam penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice dapat mempertemukan kedua
belah pihak yang berperkara dan melibatkan keduanya untuk mencapai kesepakatan yang
saling menguntungkan sehingga perkara tersebut tidak harus sampai proses pengadilan.
Konsep ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara pelaku dan korban kejahatan
selain itu juga bisa mendapatkan proses pidana yang fleksibel, tidak kaku, informal, dan
diselesaikan dengan cepat sehingga menghemat uang, waktu dan tenaga. Praktiknya,
penyelesaian perkara pidana dengan konsep restorative justice ini dapat dilakukan pada
tahap penyelidikan dan penyidikan, pada tahap penuntutan, dan bahkan pada tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan
pendekatan Restorative Justice:
1 Dasar hukum keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia;
2 Penerapan prinsip keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pencemaran nama
baik.

f. Apakah menurut MvT / Memori Van Toelicting terdapat seseorang yang berhak
mentransmisikan IT yang tidak bersifat melawan hukum? Relasikan dengan KUHP
dan persyaratannya, serta hubungkan pula dengan unsur kesalahan dalam
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku !
MvT atau Memorie van Toelichting merupakan risalah atau catatan yang
berisi penjelasan yang melatarbelakangi rumusan pasal-pasal dalam suatu peraturan
perundang-undangan sebagai sumber interpretasi hukum. Ada tiga bentuk kesengajaan
dalam doktrin hukum pidana, yaitu :
1. Sengaja sebagai maksud.
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian.
3. Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi.
Tindak pidana informasi elektronik yang mengganggu ketertiban umum berupa
penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU
ITE, diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang
menentukan, setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Apabila
tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITED ditulis dalam satu
naskah, maka dapat dirumuskan yaitu Setiap orang dengan sengaja dan atau tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur-unsur dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai berikut :1 Unsur subjektif : 1.
Kesalahan: dengan sengaja; Unsur-unsur objektif :
1. Melawan hukum; tanpa hak;
2. Perbuatan :
- mendistribusikan; dan/atau
- mentransmisikan; dan/atau
- membuat dapat diaksesnya;
3. Objek
- Informasi elektronik; dan/atau
- Dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik
Unsur subjektif tindak pidana informasi elektronik dalam Pasal 27 ayta (3) UU ITE adalah
dengan sengaja. Meskipun di dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHP) tidak memberikan keterangan tentang sengaja, namun dalam Memorie
van Toelicting (MvT) atau risalah penjelasan wet boek van straf recht Belanda dijelaskan
bahwa, sengaja melakukan suatu kejahatan adalah melakukan perbuatan yang dilarnag
dengan ‘dikehendaki’ dan ‘diketahui’. Ada dua aspek kesengajaan, ialah sengaja sebagai
kehendak (willens) dan sengaja sebagai pengetahuan (wetens). Mengetahui mengandung
arti memahami, menyadari, menginsafi, dan mengerti. Ukuran pemahaman atau pengertian
tidak perlu dari sudut konsep-konsep yuridis yang rumit, seperti dimiliki oleh ahli hukum.
Tetapi cukup pengetahuan dari orang awam saja.

4. Mengapa perlindungan terhadap data pribadi perlu diatur didalam Undang-Undang dan
sangat penting diberlakukan sebagai hak milik pribadi yang tidak bisa disalahgunakan,
disertai dengan menyebutkan instrument hukum mengenai perlindungan terhadap data
pribadi !
Perlindungan data pribadi perlu diatur dalam Undang-undang karena data pribadi akan tersimpan
dan meninggalkan jejak tentang data diri setiap orang pada setiap hal daring yang dikunjungi.
Selain itu data pribadi masyarakat ialah kerahasiaan pribadi bagi para pemiliknya atau bisa disebut
Privasi. Perlahan mulai muncul permasalahan yang berkaitan dengan data pribadi, yang mana
menjadi model bisnis baru dalam dunia teknologi yang mana privasi pemilik data pribadi
terancam kerahasiaannya. Seperti halnya pembocoran data pribadi para pengguna facebook,
whatsapp, Instagram, twitter dan juga media social lainnya, data E-Ktp seorang masyarakat yang
di berikan kepada para jurnalis oleh menteri dalam negeri Indonesia, data nasabah bank yang di
berikan kepada pihak lain, dan lain sebagainya.

Dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data privasi merupakan salah satu bagian
dari hak privasi. Untuk memberikan rasa aman bagi pengguna sistem elektronik, dalam Undang-
Undang ITE Nomor 19 tahun 2016 diatur mengenai perlindungan atas data privasi dan hak privasi
yang tertuang dalam Pasal 26 UndangUndang ITE Nomor 19 tahun 2016. Ketentuan mengenai
perlindungan privasi dan data pribadi di Indonesia secara umum ada dalam Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu Pasal 28G Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: (1) “Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Selain itu perlindungan terhadap
data pribadi juga diatur dalam Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan)
Pasal 1 ayat 28 Undang-Undang Perbankan 1998 menyebutkan definisi dari rahasia bank sebagai
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, dan juga pasal 40 mengenai perlindungan privasi nasabah tidak hanya berkenaan
dengan data keuangan (simpanan atau produk bank lain) miliknya tetapi juga data privasi nasabah
yang bersifat informasi ataupun keterangan yang menyangkut identitas atau data privasi lain di
luar data keuangan. Terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan, pada pasal 8 ayat (1) Huruf e, Kewajiban perlindungan atas
kerahasiaan data privasi juga dipertegas dalam Pasal 85 ayat (3) yang menyebutkan bahwa harus
dijaga kebenarannya dan dilindungi kerahasiaannya oleh penyelenggara dan instansi pelaksana.
Perlindungan terhadap data pribadi sangat penting untuk diberlakukan dan diatur dalam undand-
undang. Berdasarkan hukum ham mengenai perlindungan privasi dan data pribadi di Indonesia
secara umum ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 28G Undang Undang Dasar
1945 yang berbunyi: (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman
dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 26
yang berisi: 1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangundangan, penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas
persetujuan Orang yang bersangkutan.
2) Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan
gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.
3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang
yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan
Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat Peraturan Perlindungan Data Pribadi
Berdasarkan Instrumen.

Anda mungkin juga menyukai