PEMBAHASAN
A. SISTEM ADMINISTRASI PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN
Sedangkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang baru berubah menjadi, ”Dewan
Perwakilan Rakyat meme-gang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dengan
adanya perubahan tersebut berarti DPR lah yang dapat kita namakan sebagai
legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, sedangkan Presiden adalah co-
legis-lator. DPR lah yang merupakan legislator utama atau ”primary legislator”,
”principal legislator”, atau ”main legislator”, bukan lagi Presiden seperti sebelumnya. 2
1. Tahapan Perencanaan
1
Atmadja Atmadja, “Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal
Hukum & Pembangunan 14, no. 5 (June 9, 2017): hlm, 433-434,
https://doi.org/10.21143/jhp.vol14.no5.1081.
2
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm,
222.
Tahapan perencanaan ini, merupakan tahapan yang dilakukan oleh lembaga
pembentuk undang-undang untuk menentukan rancangan undang-undang apa saja
yang akan diprioritaskan akan dibentuk. Rancangan undang-undang yang akan
diprioritaskan tersebut dituangkan ke dalam Prolegnas untuk setahun ke depan. Pasal
16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur bahwa perencanaan
penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas ini disusun oleh
DPR dan Pemerintah. Hasil dari penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan
Pemerintah dibahas bersama yang kemudian pelaksanaannya dikoordinasikan oleh
DPR melalui Badan Legislasi. Pasal 19 nya mengatur pada ayat (1) Prolegnas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-
Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya dan ayat (2) nya
mengatur mengenai materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan
Perundang-Undangan merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-
Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin
diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan.
Pada tahapan ini juga merupakan tahapan penyiapan dari naskah akademik,
karena berdasarkan pengaturanPasal 19 ayat (3) yaitu materi yang diatur mengenai
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan
penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah
pengaturan.yang telah melalui pengkajian dan penyelerasan dituangkan ke dalam
Naskah Akademik. Juga Pasal 43 ayat (3) mengatur Rancangan Undang-Undangyang
berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.
2. Tahapan Penyusunan
“….. salah satu prinsip dasar di dalam perumusan satu pasal bahwa rumusan itu harus
ada kepastian, dapat diterapkan …..”
“Patokannya dalam merumuskan Pasal itu, jangan lupa satu Pasal itu satu norma,
sehingga pembagian harus tahu apa dibagi dalam ayat, dalam huruf atau kedalam
angka itu hal-hal teknis perlu diperhatikan.”
3. Tahapan Pembahasan
Tahap pengesahan UU
Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka dengan demikian
telah terjadi pengesahan secara material oleh Lembaga legislatif. Terhadap RUU yang
telah ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan perubahan baik yang
menyangkut persoalan secara teknis maupun substansi. Memang, suatu UU yang
dirasakan tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman dapat dilakukan
perubahan, penggantian atau bahkan pencabutan oleh Lembaga legislatif. Akan tetapi
dalam proses pembentukan UUm tahap “pengesahan” adalah batas yang diperlakukan
untuk menyelesaikan perdebatan sehingga RUU yang telah ditetapkan menjadi UU
dapat diproses lebih lanjut. Sebabm untuk berlakunya suatu UU dapat diproses lebih
lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih harus dilakukan berbagai Tindakan
hukum seperti penandatanganan, pengundangan dan pemberlakuan. Dengan kata lain,
pengesahan secara material merupakan akhir dari proses pembahasan suatu RUU
menjadi UU di Lembaga legislatif.
Suatu RUU yang telah disahkan secara material oleh Lembaga legislatif belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memang, pembahasan RUU telah dinyatakan
selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetap untuk keperluan yuridis, UU tersebut
harus ditandatangani oleh yang berwenang. Penandatanganan UU ini dilakukan oleh
presiden yang merupakan pengesahan UU secara formal. Tanpa adanya pengesahan
dalam bentuk penandatanganan dalam suatu UU, maka UU tersebut tidak sah
meskipun telah disepakati oleh Lembaga legislatif. Penandatangan ini harus dilakukan
tanpa syarat, artinya penandatangan tidak boleh mengajukan perubahan maupun
4
Ni Putu Niti Suari Giri, “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang,” Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 1 (February 3, 2016): hlm, 88-89,
https://doi.org/10.23887/jkh.v2i1.7283.
tuntutan lainnya. Jadi, penandatanganan suatu RUU yang telah ditetapkan sebagai UU
lebih merupakan Tindakan administratif.
PRAKTIK PENGUNDANGAN
Dalam praktik dapat kita jumpai ada 3 (tiga) variasi rumusan daya laku suatu
peraturan perundang-undangan, yaitu:
Contoh:
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat,
sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan
hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat
dalam ketentuan peralihan; dan
c. awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan ditetapkan tidak
lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas,
Prolegda, dan perencanaan rancangan peraturan perundang-undangan
lainnya. Pada praktiknya untuk hal-hal yang hanya bertujuan memberikan
keuntungan bagi subjek hukum, tidak bersifat pembebanan kepada
masyarakat, apalagi terkait sanksi pidana, maka pemberlakuan surut sering
digunakan. Contohnya pada peraturan mengenai tata cara pelaksanaan
pembayaran tunjangan bagi Pegawai Negeri Sipil yang anggarannya telah
disediakan namun aturan yang menjadi dasar pelaksanaan pembayarannya
belum selesai, sehingga rumusan pemberlakuan surut menjadi salah satu
solusi agar proses administrasi tidak merugikan subjek hukum.5
5
Andi Yuliani, “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan” 14, no. 04
(2017): hlm,434-435.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Atmadja, Atmadja. “Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Nasional.” Jurnal
Hukum & Pembangunan 14, no. 5 (June 9, 2017): 433.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol14.no5.1081.
Niti Suari Giri, Ni Putu. “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang.” Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 1 (February 3, 2016).
https://doi.org/10.23887/jkh.v2i1.7283.
Yuliani, Andi. “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan” 14, no. 04
(2017): 10.