Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PEMBAHASAN
A. SISTEM ADMINISTRASI PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN

Sistem Hukum Nasional

Sistem hukum adalah keseluruhan kaedah-kaedah hukum yang merupakan satu


kesatuan yang teratur, dan terdiri dari sejumlah sub sistem (misalnya sub sistem
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi, Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata,
Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi), yang saling berkaitan dan saling pengaruh
mempengaruhi. Beranjak dari rumusan ini, maka sistem hukum nasional itu selalu
harus dikaitkan pula landasan Grondnorm yaitu Pancasila, UUD 1945, dan Azas-azas
Hukum Umum, yang merupakan penjabaran dari pada grdndnorm tersebut.

Untuk dapat merekam kerangka. ideal sistem Hukum 'Nasional yang


mencerminkan pola rechtsidee Hukum Indonesia, kiranya periu dijadikan bahan
pemikiran hasil-hasil Seminar Hukum Nasional ke IV tanggal 30 Maret 1979,
mencakup dua · aspek, yaitu "pencetminan nilai-nilai Pancasila dalam perundang-
undangan dan sistem Hukum Nasional itu sendiri". Mengenai sistem hukum Nasiortal
yang berhubungan dengan perundang-undahgan adalah merupakan penjelasan
kembali bahwa perundang-undangan menduduki posisi sentral, utama dalam
pembangunan Hukum Nasional, yang akan dilengkapi oleh hukutn tidak tertulis
(hukum adat). Disamping itu dikemukakan pula perIunya unifikasi dengan tidak
meninggalkan kebhinekaan terutama dalam bidang-bidang kehidupan spritual.
Berikutnya hal yang menyangkut persoalan nilai-nilai Pancasila, pada pokoknya
seminar menetapkan bahwa pembentuk Undang-undang (Presiden dan DPR) dalam
Penyusunan Undang-undang perlu dengan tepat tnenunjukkan nilai-nilai Pancasila
yang mendasari undang-undang itu.

Podgorecki berkenaan adanya empat prinsip yang perIu diperhatikan pembentuk


Undang-undang yaitu:

1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan senyatanya.


2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyatakat.

3. Mengetahui benar-benar hubungan kausal antara sarana. yang digunakan oleh


undang-undang seperti sanksi, baik sanksi negatif (punishment) maupun sanksi positif
(reward) dan tujuan yang hendak dicapai.

4. Melakukan penelitian terhadap efek dari Undang-undang itu, termasuk efek


sampingan yang tidak diharapkan.1

1. Perancangan dan Pengesahan

Mengenai lembaga pembentuk undang-undang itu sendiri, sebelum


diadakan Perubahan Pertama UUD 1945, ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945
menyatakan, ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sedangkan Pasal 21 ayat (1)-nya
berbunyi, ”Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan
rancangan undang-undang”. Sekarang setelah Perubahan Pertama UUD 1945
pada tahun 1999, rumusan Pasal 5 ayat (1) diubah menjadi, ”Presiden ber-hak
mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Sedangkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang baru berubah menjadi, ”Dewan
Perwakilan Rakyat meme-gang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dengan
adanya perubahan tersebut berarti DPR lah yang dapat kita namakan sebagai
legislator atau lembaga pembentuk undang-undang, sedangkan Presiden adalah co-
legis-lator. DPR lah yang merupakan legislator utama atau ”primary legislator”,
”principal legislator”, atau ”main legislator”, bukan lagi Presiden seperti sebelumnya. 2

Berdasarkan pengaturan Pasal 1 Angka 1 undang-undang no 12 tahun 2011 terdapat


lima tahapan di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. Tahapan Perencanaan

Laporan hasil penelitian dari pembuat undang-undang harus dimulai dengan


memberikan fakta-fakta untuk membuktikan hipotesa deskriptif tentang gambaran
manifestasi dari kesulitan tersebut dengan maksud membuat RUU yang efektif.
Laporan juga harus menyebutkan perilaku siapa dan yang bagaimana yang
menggambarkan kesulitan tersebut.

1
Atmadja Atmadja, “Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal
Hukum & Pembangunan 14, no. 5 (June 9, 2017): hlm, 433-434,
https://doi.org/10.21143/jhp.vol14.no5.1081.
2
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm,
222.
Tahapan perencanaan ini, merupakan tahapan yang dilakukan oleh lembaga
pembentuk undang-undang untuk menentukan rancangan undang-undang apa saja
yang akan diprioritaskan akan dibentuk. Rancangan undang-undang yang akan
diprioritaskan tersebut dituangkan ke dalam Prolegnas untuk setahun ke depan. Pasal
16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur bahwa perencanaan
penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas. Prolegnas ini disusun oleh
DPR dan Pemerintah. Hasil dari penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan
Pemerintah dibahas bersama yang kemudian pelaksanaannya dikoordinasikan oleh
DPR melalui Badan Legislasi. Pasal 19 nya mengatur pada ayat (1) Prolegnas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-
Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya dan ayat (2) nya
mengatur mengenai materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan
Perundang-Undangan merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-
Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran yang ingin
diwujudkan; dan jangkauan dan arah pengaturan.

Pada tahapan ini juga merupakan tahapan penyiapan dari naskah akademik,
karena berdasarkan pengaturanPasal 19 ayat (3) yaitu materi yang diatur mengenai
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan
penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah
pengaturan.yang telah melalui pengkajian dan penyelerasan dituangkan ke dalam
Naskah Akademik. Juga Pasal 43 ayat (3) mengatur Rancangan Undang-Undangyang
berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

2. Tahapan Penyusunan

` Tahapan ini merupakan tahapan penyusunan dari hasil penelitian dan


pengkajian yang telah dilakukan terhadap rancangan undnag-undnag yang akan
diajukan. Penyusunan terhadadap perumusan norma dalam pasal rancangan undang-
undang berdasarkan hasil pengkajian dalam naskah akademik. Untuk
mentransformasikan naskah akademik ke dalam bentuk pasal-pasal, perumusan suatu
pasal dalam RUU menurut Made Subawa perumusan satu pasal dalam suatu aturan
haruslah mengandung satu norma, berdasarkan pendapat dari Philipus M. Hadjon
yang dikutip dari acara dengar pendapat dengan para pakar pada tanggal 6 Desember
1999 dengan panitian Ad Hoc I Badan Pekerja MPR di Jakarta, yaitu (Made Subawa,
2003) :

“….. salah satu prinsip dasar di dalam perumusan satu pasal bahwa rumusan itu harus
ada kepastian, dapat diterapkan …..”
“Patokannya dalam merumuskan Pasal itu, jangan lupa satu Pasal itu satu norma,
sehingga pembagian harus tahu apa dibagi dalam ayat, dalam huruf atau kedalam
angka itu hal-hal teknis perlu diperhatikan.”

Sehingga untuk merumuskan pasal-pasal dalam rancangan undang-undang yang


berasal dari isi naskah akademik haru benar-benar memperhatikan perumusan satu
pasal satu norma ini. Agar nantinya setelah menjadi undang-undang, tidak
menghasilkan pasal-pasal yang pengaturannya menafsirkan hal yang ganda atau
bertentangan.

3. Tahapan Pembahasan

Laporan hasil penelitian pembuat rancangan harus secara sistematis


mengusulkan menguji pilihan-pilihan hipotesa penjelasan tentang sebab-sebab
perilaku bermasalah dari pelaku peran. Juga untuk membenarkan hipotesis tersebut,
laporan harus mengatur bukti-bukti untuk menunjukkan faktor-faktor khusus yang
menyebabkan perilaku tersebut (Ann Seidman, Robert B. Seidmann dan Nalin
Abeyserkere; 112).

Pada tahap pembahasan ini, berdasarkan pengaturan Pasal 20 ayat (2)


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 setiap RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. DPD juga dapat ikut
membahas RUU, hanya yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; serta memberikan pertimbangan kepada
DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama
(Pasal 22D ayat (2)).

4. Tahapan Pengesahan atau Penetapan

Pengesahan undang-undang meliputi pengesahan secara meteriel dan


pengesahan secara formil. Yang dinamakan pengesahan materiel adalah
pengesahan yang dilakukan oleh DPR-RI dalam rapat paripurna DPR-RI sebagai
tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah untuk
disahkannya rancang-an undang-undang yang telah dibahas bersama menjadi undang-
undang. Sedangkan pengesahan yang bersifat formil dilakukan oleh Presiden
dengan menandatangani rancangan undang-undang yang telah mendapat perse-
tujuan bersama itu setelah diketik ulang dalam kertas surat berkepala Presiden
Republik Indonesia dan diberi nomor sebagaimana mestinya.

Administrasi pengesahan materiel terpusat di Sekretariat Jenderal DPR-RI,


sedangkan administrasi pengesahan formil berada di tangan Pemerintah, yaitu di
Sekretariat Negara. Setelah pengesahan materiel, rancangan undang-undang itu harus
segera difinalisasikan oleh staf Sekretariat Jenderal DPR-RI sebagaimana mestinya.
Untuk mengoreksi berbagai kemungki-nan”clerical error” yang terjadi, perbaikan
dapat dilakukan di Sekretariat Jenderal DPR-RI setelah pengesahan materiel atau di
Sekretariat Negara sebelum pengesahan formil oleh Presiden. Di Sekretriat Jenderal
DPR, rancangan undang-undang yang sudah mendapat persetujuan bersama itu
diperiksa lagi dengan seksama dengan memperhatikan mengenai ejaan, tata letak
pengetikan, tanda-tanda baca, dan lain sebagainya. Di mana perlu, diadakan
perbaikan-perbaikan agar sebelum disahkan, perumusan rancangan undang-undang
itu menjadi sesempurna mungkin.

Kemudian diadakan evaluasi dan perbaikan sebagaimana mestinya, dengan


tenggat waktu 7 (tujuh) hari kerja sesudah dicapainya persetujuan bersama antara
Presiden dan DPR dalam rapat paripurna DPR-RI, kemudian rancangan undang-
undang tersebut harus disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-undang, hal tersebut termuat dalam pasal 123 tentang
Peraturan tata Tertib DPR-RI yang berbunyi:

1) Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui bersama antara DPR


dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) ha ri kerja disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
2) Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, Rancangan Undang-Undang
yang sudah disampaikan kepada Pre siden belum di sahkan me njadi
undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada Presiden untuk
meminta penjelasan.
3) Dalam hal Rancang an Undang-Undang s ebagaimana dimaksud pad a ayat
(1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama,
Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan3

Penyampaian naskah rancangan undang-undang oleh Pimpinan DPR


kepada Presiden seperti dimaksud pada ayat (1) dan surat yang dimaksud oleh ayat
(2) di atas, disampaikan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI kepada Presiden
melalui Sekretariat Negara. Meskipun pejabat yang akan mengundangkan
undang-undang itu nantinya adalah Menteri Hukum dan HAM, namun surat resmi
dari Pimpinan DPR tersebut tetap harus dikirimkan kepada Presiden melalui
Sekretariat Negara.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya, karena lembaga pembentuk


undang-undang adalah DPR, maka setiap naskah rancangan undang-undang haruslah
ditulis di atas kertas berkepala surat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
3
Asshiddiqie, hlm, 222-223.
Jika jalan pikiran ini dijadikan pegangan, maka pengesahan oleh Presiden menurut
ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 hanyalah bersifat penetapan administratif
saja (beschikking), bukan mengubah format undang-undang sebagai produk
legislatif. Kalau sekarang naskah undang-undang tetap menggunakan kepala surat
Presiden, maka hal itu disebabkan karena meneruskan saja apa yang sudah
dipratikkan sejak dulu sebagaimana dittentukan oleh UUD 1945 bahwa setiap
undang-undang selalu berkepala surat Presiden Republik Indonesia kemudian
nantinya akan diserahkan kepada Presiden untuk dibumbuhkan tanda tangan.4

Tahap pengesahan UU

1). Pengesahan secara material

Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka dengan demikian
telah terjadi pengesahan secara material oleh Lembaga legislatif. Terhadap RUU yang
telah ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan perubahan baik yang
menyangkut persoalan secara teknis maupun substansi. Memang, suatu UU yang
dirasakan tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman dapat dilakukan
perubahan, penggantian atau bahkan pencabutan oleh Lembaga legislatif. Akan tetapi
dalam proses pembentukan UUm tahap “pengesahan” adalah batas yang diperlakukan
untuk menyelesaikan perdebatan sehingga RUU yang telah ditetapkan menjadi UU
dapat diproses lebih lanjut. Sebabm untuk berlakunya suatu UU dapat diproses lebih
lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih harus dilakukan berbagai Tindakan
hukum seperti penandatanganan, pengundangan dan pemberlakuan. Dengan kata lain,
pengesahan secara material merupakan akhir dari proses pembahasan suatu RUU
menjadi UU di Lembaga legislatif.

2). Pengesahan secara formal

Suatu RUU yang telah disahkan secara material oleh Lembaga legislatif belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memang, pembahasan RUU telah dinyatakan
selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetap untuk keperluan yuridis, UU tersebut
harus ditandatangani oleh yang berwenang. Penandatanganan UU ini dilakukan oleh
presiden yang merupakan pengesahan UU secara formal. Tanpa adanya pengesahan
dalam bentuk penandatanganan dalam suatu UU, maka UU tersebut tidak sah
meskipun telah disepakati oleh Lembaga legislatif. Penandatangan ini harus dilakukan
tanpa syarat, artinya penandatangan tidak boleh mengajukan perubahan maupun

4
Ni Putu Niti Suari Giri, “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang,” Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 1 (February 3, 2016): hlm, 88-89,
https://doi.org/10.23887/jkh.v2i1.7283.
tuntutan lainnya. Jadi, penandatanganan suatu RUU yang telah ditetapkan sebagai UU
lebih merupakan Tindakan administratif.

PRAKTIK PENGUNDANGAN

Dalam praktik dapat kita jumpai ada 3 (tiga) variasi rumusan daya laku suatu
peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan. maka


peraturan tersebut mempunyai daya ikat dan daya laku pada tanggal yang
sama dengan tanggal pengundangan.

Contoh:

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai


Negeri Sipil “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan”

2. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku beberapa waktu setelah diundangkan.


Artinya bahwa peraturan tersebut mempunyai daya laku pada tanggal
diundangkan, tetapi daya ikatnya setelah tanggal yang ditentukan. Contoh:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/ Pmk.04/2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/ Pmk.04/2011 tentang Audit
Kepabeanan dan Audit Cukai “Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah
60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

3. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal diundangkan, tetapi


dinyatakan berlaku surut sampai tanggal yang ditentukan. Contoh: Peraturan
Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Nomor 7 Tahun 2016
tentang Road Map Reformasi Birokrasi Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan Tahun 2015 – 2019 “Peraturan Kepala ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 1
Agustus 2015”

Pemberlakuan surut pada dasarnya bertentangan dengan asas-asas pembentukan


peraturan yang baik. Asas-asas material dalam pembentukan peraturan salah satunya
adalah asas keadilan dan kepastian hukum. Pemberlakuan surut jelas menimbulkan
ketidakpastian hukum, karena subjek hukum dalam bertindak akan mendasari segala
tindakan hukumnya pada ketentuan yang berlaku saat itu, bukan pada ketentuan yang
akan datang. Ketidakadilan pada suatu aturan yang diberlakukan surut akan
menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap subjek hukum apabila akibat
hukumnya merugikan subjek hukum dari peraturan yang diberlakusurutkan tersebut.
Namun UU 12 Tahun 2011 membuka peluang pemberlakuan surut suatu peraturan
perundang-undangan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah pidana, baik jenis, berat,
sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan
hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat
dalam ketentuan peralihan; dan
c. awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-undangan ditetapkan tidak
lebih dahulu daripada saat rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan
peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam Prolegnas,
Prolegda, dan perencanaan rancangan peraturan perundang-undangan
lainnya. Pada praktiknya untuk hal-hal yang hanya bertujuan memberikan
keuntungan bagi subjek hukum, tidak bersifat pembebanan kepada
masyarakat, apalagi terkait sanksi pidana, maka pemberlakuan surut sering
digunakan. Contohnya pada peraturan mengenai tata cara pelaksanaan
pembayaran tunjangan bagi Pegawai Negeri Sipil yang anggarannya telah
disediakan namun aturan yang menjadi dasar pelaksanaan pembayarannya
belum selesai, sehingga rumusan pemberlakuan surut menjadi salah satu
solusi agar proses administrasi tidak merugikan subjek hukum.5

5
Andi Yuliani, “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan” 14, no. 04
(2017): hlm,434-435.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Atmadja, Atmadja. “Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum Nasional.” Jurnal
Hukum & Pembangunan 14, no. 5 (June 9, 2017): 433.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol14.no5.1081.
Niti Suari Giri, Ni Putu. “Lembaga Negara Pembentuk Undang-Undang.” Jurnal
Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 1 (February 3, 2016).
https://doi.org/10.23887/jkh.v2i1.7283.
Yuliani, Andi. “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan” 14, no. 04
(2017): 10.

Anda mungkin juga menyukai