Anda di halaman 1dari 167

JENIS, FUNGSI, DAN MATERI MUATAN

ILMU
PERUNDANG
UNDANGAN

Kelompok 2
Ilmu Perundang-Undangan
BT1/A
2021/2022
JENIS, FUNGSI, DAN MATERI MUATAN
ILMU PERUNDANG UNDANGAN
Penulis:
• Jos Odisyah Putra • Anjeli Robiyani
(D10119742) Unarman (D10119730)
• Aprillia Maurani • Dhea Dwi Putri
(D10119712) Gundo (D10119490)
• Jovianus Timu (D101 • Marlina A.Datuamas
19792) (D10119315)
• Moh. Azriel • Sabrina Lorencia
(D10119764) Manan(D10119234)
• Verdian Veri • Ni luh Ade Rifka
(D10119768) (D10119150)
• Indry Handayani • Briyan Noris Ntaba
(D10119239) (D10119777)
• Yuni Salmah • Indra Guwan
(D10119648) dg.Masese
• Moh. Arif Pratama (D10119594)
(D10119771) • Nurliana (D10119349)
• Ribka Kristanti • Ardhea Reggita
Latingka (D10119795) Cahyani (D10119006)
• As Syifa Ulchaira • Cakra (D10119278)
Haerun (D10119867) • Moh. Wahyu Darwis
• Melisa Lani Safitri (D10119402)
(D10120616) • Yuyun Puspitasari
(D10119821)

ii
• Sofiyana Nursyaban • Zulkifli (D10119404)
(D10119233) • Putra Afandi Gafar
• Natanael Tonapa (D10119180)
(D10119593) • Dea Ananda
• Sigit Prasetyo (D10119265)
(D10119671) • Irwandi (D10119615)
• Febrianto D. • Jumardin (D10119828)
Makasipat (D1011984) • Moh. Agung
• Hasriadi (D10119598) (D10119808)
• Ridwansah D.
(D10119397)

Cetakan Pertama, November 2021

Penyunting:
Jos Odisyah Putra
Desain Sampul:
Moh. Arif Pratama
Desain Isi:
Jos Odisyah Putra
Diterbitkan oleh:
UD. RIO
Jl. Tadulako , No. 20
Besusu Tengah, Palu Timur, Kota Palu
Sulawesi Tengah 94118

iii
iv
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT

yang telah memberikan karunia-Nya sehingga kami sebagai

kelompok 2 dapat menyelesaikan buku yang berjudul “Ilmu

Perundang-Undangan” dengan baik dan tepat waktu.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu

Belona Danduru Salurante, S.H., M.H., selaku dosen

pengampu mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan. Kami

juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman

sesama anggota kelompok 2 yang turut memberi

kontribusinya dalam menyusun buku ini.

Buku ini membahas tentang Ilmu Perundang-

Undangan secara umum dan juga kami membahas tentang

pembentukan UU dalam sistem bikameral di beberapa

negara sebagai insight baru dalam Ilmu Perundang-

Undangan untuk membantu teman-teman sesama

mahasiswa khususnya mahasiswa Universitas Tadulako

yang hendak mencari literatur terkait Ilmu Perundang-

Undangan.

v
Tentu terdapat beberapa kesalahan dan kekeliruan

dalam penyusunan buku ini yang tidak kami ketahui

ataupun yang tidak bisa kita hendari. Maka dari itu, kami

sangat menerima saran, kritik, dan masukan dari teman-

teman maupun dosen agar terciptanya buku yang lebih baik

kedepannya.

Palu, 08 November 2021

Kelompok 2

vi
vii
Daftar isi
I L M U P E R U N D A N G
U N D A N G A N ............................................................... 1
BAB I ........................................................................................................ 13
KONSEP-KONSEP DALAM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ........................................................................................ 13
Pengertian Ilmu Perundang-undangan ......................... 13
Teori Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan18

TEORI NORMA BERJENJANG HANS KELSEN


DAN HANS NAWIASKY ...................................................... 20

TEORI PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN


KENYATAAN JHON MICHAEL OTTO ......................... 23

TEORI MORALITY OF LAW LON F. FULLER 24

TEORI TATANAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN PHILIPPE
NONET DAN PHILIP SELZNICK ..................................... 26
Norma dan Dasar Hukum Pembetukan Peraturan
Perundang-undangan ......................................................................... 30
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang – Undangan 35
BAB II ....................................................................................................... 45
MUATAN PERUNDANG-UNDANGAN ...................................... 45

viii
Kriteria Substansif ............................................................ 45
Prinsip-Prinsip Materi Undang-Undang ....................... 52
Materi Mutlak Undang-Undang ..................................... 54
Penyusunan Materi Undang-Undang ............................ 70
Keberlakuan Undang-Undang........................................ 76

Keberlakuan Filosofis ................................................. 76

Keberlakuan Yuridis ................................................... 77

Keberlakuan Politis ..................................................... 79

Keberlakuan Sosiologis.............................................. 80
BAB III. MEKANISME PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN........................................................... 83
Tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
83
Proses Pembuatan Peraturan-peraturan Perundang-
undangan di Indonesia ....................................................................... 88
BAB IV. .................................................................................................... 96
SISTEM ADMINISTRASI PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN ........................................................... 96
Sistem Hukum Nasional .................................................. 96

Perancangan dan Pengesahan................................. 98


Daftar Pustaka .....................................Error! Bookmark not defined.
BAB V. .................................................................................................... 112
PEMBENTUKAN UNDANG UNDANG DALAM SISTEM
BIKAMERAL DI BEBERAPA NEGARA ..................................... 112

ix
PENGERTIAN BIKAMERAL .................................. 112
TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN, SISTEM
PEMERINTAHAN, DAN SISTEM PARLEMEN .................. 112
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI
BEBERAPA NEGARA DENGAN SISTEM MEDIUM
STRENGTH BICAMERALISM .................................................. 120

Pembentukan Undang-Undang Di Republik


Indonesia ..................................................................................... 121

Pembentukan Undang-Undang Di Peranacis. 127


Daftar Pusta............................................................................................ 162
Tentang Penulis ..................................................................................... 167

x
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Ilmu Perundang-undangan

xi
xii
BAB I

KONSEP-KONSEP DALAM
PERATURAN PERUNDANG -
UNDANGAN

Pengertian Ilmu Perundang-undangan


Ilmu perundang-undangan tersusun dari 2

(dua) kosa kata yaitu “ilmu” dan “perundang-

undangan”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

definisi ilmu adalah pengetahuan tentang suatu

bidang yang disusun secara bersistem menurut

metode tertentu, yang dapat digunakan untuk

menerangkan gejala tertentu dibidang

(pengetahuan) itu. 1 Untuk dapat dikatakan sebagai

1Kamus besar bahasa Indonesia

13
Ilmu, menurut Ernest Van Den Haag ada syarat yang

harus dipenuhi, yaitu:2

1. Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir

dengan menggunakan akal (rasio).

2. Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan

sekitar pengalaman oleh pancaindra.

3. Bersifat umum, hasil itu dapat dipergunakan

oleh manusia tanpa terkecuali.

4. Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat

dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian

selanjutnya.

Selanjutnya perundang-undangan yang

merupakan terjemahan dari istilah Belanda wettelijk

regeling, secara harfiah berarti wet (undang-undang)

serta telijk (sesuai/berdasarkan), maka artinya

sesuai/berdasarkan undang-undang didefinisikan

sebagai suatu aturan berupa undang-undang tertulis

memuat norma hukum yang mengikat secara umum

dan dibentuk serta ditetapkan oleh lembaga atau

2
Abin Syamsuddin Makmun.Psikologi Kependidikan.Remaja
Rosdakarya.Bandung.2009.hal 25

14
pejabat negara yang berwenang melalui prosedur

pembentukan peraturan perundang-undangan yang

pasti,baku,dan standar. 3 Perundang-undangan

dipahami secara sempit hanya terbatas pada

undang-undang saja.

Pengertian Peraturan Perundang-undangan

berbeda dengan pengertian Ilmu perundang-

undangan. Peraturan perundang-undangan

dipahami secara luas terhadap beberapa aturan yang

tidak terbatas pada undang-undang saja. Dengan

demkian, peraturan perundang-undangan adalah

peraturan yang tertulis yang memuat norma hukum

yang mengikat secara umum dan dibentuk atau

ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang melalui prosedur yang ditetapkan secara

baku dan ketat. 4 Menurut Bagir Manan, pengertian

peraturan perundang-undangan, yaitu:5

3Ahmad Redi.Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.Sinar Grafika.Jakarta.2018 hal 6

4Ahmad Redi.Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.Sinar Grafika.Jakarta.2018 hal 7
55
Maria Farida Indrati Suprapto.ilmu perundang-undangan
dasar-dasar pembentukannya. Kanisius.Yogyakarta. 1998.

15
1. setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan

pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang

yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau

mengikat umum;

2. merupakan aturan-aturan tingkah laku yang

berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban,

fungsi, status atau suatu tatanan;

3. merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri

umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak

mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa

atau gejala konkret tertentu;

4. dengan mengambil pemahaman dalam

kepustakaan Belanda, peraturan perundang-

undangan lazim disebut dengan algemeen

verbindende voorschrift yang meliputi antara lain:

de supra nationale algemen verbindende

voorschriften, wet, AmvB, de Ministeriele

verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen,

de provinciale staten verordeningen.

16
Selain itu, ilmu peraturan perundang-

undangan juga berhubungan dengan ilmu politik

dan sosiologi. Secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua bagian besar, yaitu sebagai berikut:6 .

1. Ilmu perundang-undangan, yaitu berorientasi

pada melakukan perbuatan dalam hal pembentukan

peraturan perundang-undangan dan bersifat

normatif.

2. Teori perundang-undangan yaitu berorientasi

pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau

pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.

Selanjutnya menurut Burkhadt Krems,


ilmu perundang-undangan adalah ilmu
pengetahuan yang interdisipliner tentang
pembentukan hukum negara (die interdisziplinare
wissenschaft vonder staatlichen rechtssetzung).
Menurut Burkhadt Krems, ilmu perundang-
undangan terbagi ke dalam 3 (tiga) wilayah, yaitu
(Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998):
1. Proses perundang-undangan;
2. metode perundang-undangan; dan
3. teknik perundang-undangan.
Dalam hal ini ilmu perundang-
undangan (dalam arti sempit) atau ilmu peraturan

6
Ibid

17
perundang-undangan (dalam arti luas) dapat
diberikan pengertian sebagai berikut.7
1. Pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
2. Mempelajari mengenai antara lain jenis dan
hierarki peraturan perundangundangan, asas-asas
peraturan perundang-undangan, materi muatan
suatu peraturan perundang-undangan,
proses/tahapan pembentukan perundangundangan,
metode/teknik pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Teori Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan
1. TEORI NEGARA HUKUM
Indonesia adalah negara hukum
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Konsekuensi negara hukum sebagaimana
tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ialah
bahwa negara Indonesia harus berdasarkan hukum
(rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan
(machtstaat). Negara diselenggarakan dengan
prinsip the rule of law, not of man. Menurut Julius
Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya

7Ahmad Redi.Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.Sinar Grafika.Jakarta.2018 hal 9

18
dengan istilah rechtsstaat itu mencakup 4 (empat)
elemen penting, yaitu:
1. perlindungan hak asasi manusia;
2. pembagian kekuasaan;
3. pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. peradilan tata usaha negara.8
Sebagaimana konsep negara hukum yang
telah dijelaskan di atas maka perlu dibahas pula
mengenai konsep negara hukum Indonesia. Jimly
Asshiddiqie merumuskan 13 (tiga belas) prinsip
negara hukum Indonesia yang merupakan pilar-
pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu
negara modern sehingga dapat disebut sebagai
Negara Hukum (The Rule of Law, ataupun
Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya, yaitu
sebagai berikut.
1. Supremasi hukum (supremacy of law).
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law).
3. Asas legalitas (due process of law).
4. Pembatasan kekuasaan.
5. Organ-organ campuran yang bersifat independen.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak.
7. Peradilan tata usaha negara.
8. Peradilan tata negara (constitutional court).
9. Perlindungan hak asasi manusia.

8
Ahmad Rendi, Hukum Pembentukan Peraturan perundang-
undangan,sinar Grafika 2018 hal 38

19
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan
bernegara (welfare rechtsstaat).
12. Transparansi dan kontrol sosial.
13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

TEORI NORMA BERJENJANG HANS KELSEN DAN


HANS NAWIASKY

Teori umum tentang hukum yang


dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek
penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang
melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan
aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum
yang mengatur perbuatan tertentu. Friedmann
mengungkapkan dasar-dasar esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai berikut :
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu
pengetahuan, adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai
hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum
yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan
ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma,
tidak ada hubungannya dengan daya kerja
norma-norma hukum.

20
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang
cara menata, mengubah isi dengan carayang
khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem
yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa
yang mungkin dengan hukum yang nyata.9
Menurut Hans Kelsen, norma dasar (basic
norm/grundnorm) yang merupakan norma tertinggi
dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh
suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi grundnorm
itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat
sebagai norma dasar yang merupakan gantungan
bagi norma-norma yang berada di bawahnya
sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-
supposed.

Teori tersebut dikembangkan oleh Hans


Nawiasky murid Hans Kelsen yang menyatakan
bahwa norma hukum dalam negara selalu
berjenjang, yakni sebagai berikut:
1. Norma fundamental negara (Staats
fundamentalnorm);
2. Aturan-aturan dasar Negara/aturan pokok Negara
(staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksana serta peraturan otonom
(verordnung & autonome satzung).

9
ibid

21
Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori
tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans
Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie
von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma
menurut teori tersebut adalah:
(Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998)

1.Norma fundamental
negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan
4.Peraturan pelaksanaan dan peraturan
otonom (verordnung en autonome satzung).

Staatsfundamentalnorm merupakan norma


yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari
suatu negara. Posisi hukum dari
suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat
bagi berlakunya suatu konstitusi.
Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari
konstitusi suatu negara.10

10
Maria Farida Suprapto, ilmu perundang-undangan dan
pembentukannya 1998

22
TEORI PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN
KENYATAAN JHON MICHAEL OTTO

Menurut Jhon Michael Otto antara perundang-


undangan dengan kenyataan kita temukan adanya
jurang yang lebar. Dengan kata lain, hanya ada
sedikit ‘kepastian hukum yang nyata (real legal
certainty). 11 Menurutnya kepastian hukum nyata
sesungguhnya mencakup pengertian kepastian
hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Jhon
Michael Otto mendefinisikannya sebagai
kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:

1. tersedia aturan-aturan hukum yang jelas,


konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena
(kekuasaan) negara;
2. bahwa instansi-instansi pemerintah menerapkan
aturan-aturan hukum
itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat
terhadapnya
3. bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau
mayoritas dari warga-negara
menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan
perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

11
Journal Hompage : http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/law.

23
4. bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan
tidak berpihak (independent and impartial judges)
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum yang
dibawa ke hadapan mereka;
5. bahwa keputusan peradilan secara konkrit
dilaksanakan.
Menurut Jhon Michael Otto semakin baik suatu
negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi
tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila
suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang
berfungsi secara otonom, maka kecil pula tingkat
kepastian hukum.

TEORI MORALITY OF LAW LON F. FULLER

Menurut Lon F. Fuller terdapat 8 (delapan) hal yang


menjadi penyebab kegagalan peraturan perundang-
undangan. Delapan kegagalan hukum tersebut
dapat dihindari bila terjadi penekanan pada isi
peraturan perundang-undangan dengan 8 (delapan)
persyaratan moral tertentu yang meliputi:
1. Laws should be general Harus ada aturan-aturan
sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan
sehingga perlunya sifat tentang persyaratan sifat
keumuman. Aturanaturan ini menjadi pedoman
kepada otoritas sehingga keputusan otoritatif

24
tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas
dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar
aturan-aturan yang umum.
2. They should be promulgated, that citizens might
know the standards to which they are being held
Setiap aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi
otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus
diumumkan (publikasi). Persyaratan bahwa
hukum harus dipromulgasi (dipublikasikan)
karena orang tidak akan mematuhi hukum yang
tidak diketahui oleh pihak yang menjadi sasaran
penerapan hukum (norm adressaat).
3. Retroactive rule-making and application should be
minimized. Aturan-aturan harus dibuat untuk
menjadi pedoman bagi kegiatan di masa
mendatang sehingga hukum diminimalisasi
berlaku surut.
4. Laws should be understandable Hukum harus
dibuat agar dapat dimengerti oleh rakyat.
5. Free of contradiction, Aturan-aturan tidak boleh
bertentangan satu sama lain baik secara vertikal
maupun horizontal.
6. Laws should not require conduct beyond the
abilities of those effected, Aturan-aturan tidak
boleh mensyaratkan perilaku atau perbuatan di
luar kemampuan pihak-pihak yang terkena akibat
hukum, artinya hukum tidak boleh

25
memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan.
7. They should remain relatively constant through
time. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu,
sehingga hukum harus tegas.
8. They should be a congruence between the laws as
announced and their actual administration.

TEORI TATANAN PERATURAN PERUNDANG-


UNDANGAN PHILIPPE NONET DAN PHILIP
SELZNICK

Peraturan perundang-undangan merupakan hukum


secara tertulis. Sebagai hukum tertulis maka tatanan
peraturan perundang-undangan mengikuti
perubahan tatanan hukum. Tatanan hukum itu
sendiri mengalami perkembangan secara
perlahan (evolution). Philippe Nonet dan Philip
Selzinck menggambarkan perkembangan tatanan
hukum sebagai berikut.12

1. Tatanan Hukum Represif, yakni hukum


dipandang sebagai abdi kekuasaan represif dan
perintah dari yang berdaulat. Ciri Tatanan Hukum
Represif adalah sebagai berikut.
a. Kekuasaan politik memiliki akses langsung
pada institusi hukum, sehingga tata hukum

12
Phillippe Nonet dan Philip Selznic, 1978

26
praktis menjadi identik dengan negara, dan
hukum disubordinasi pada raison d’etat.
b.Konservasiotoritas
menjadipreokupasi berlebihan para pejabat
hukum yang memunculkan ‘perspektif pejabat’,
yakni perspektif yang memandang keraguan
harus menguntungkan sistem, dan sangat
mementingkan kemudahan administratif.
c. Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan
independen yang terisolasi dari konteks sosial
yang memoderatkan dan kapabel melawan
otoritas politik.
d.Rezim ‘hukum-ganda’ menginstitusionalisasi
keadilan kelas yang mengkonsolidasi dan
melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
e.Perundang-undangan Pidana
mencerminkan dominant mores yang sangat
menonjolkan legal moralism.

2. Tatanan Hukum Otonomus, yakni hukum


dipandang sebagai institusi mandiri yang mampu
mengendalikan represi dan melindungi
integritasnya sendiri. Tatanan hukum ini
berintikan pemerintahan Rule of Law,
subordinasi putusan pejabat pada hukum,
integritas hukum, dan dalam kerangka itu,
institusi hukum serta secara berpikir mandiri

27
memiliki batasbatas yang jelas. Ciri tatanan
Hukum Otonomus adalah sebagai berikut.
a. Hukum terpisah dari politik yang
mengimplikasikan kewenangan kehakiman
yang bebas dan separasi fungsi legislatif dan
fungsi judisial.
b. Tata hukum mengacu ‘model aturan’. Dalam
kerangka ini, maka aturan membantu
penegakan penilaian terhadap
pertanggungjawaban pejabat. Selain itu, aturan
membatasi kreativitas institusi-institusi hukum
dan peresapan hukum ke dalam wilayah politik.
c. Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan
dengan demikian maka tujuan pertama dan
kompetensi utama Tata Hukum adalah regulsai
dan kelayakan.
d. Loyalitas pada hukum yang mengharuskan
kepatuhan semua pihak pada aturan hukum
positif. Kritik terhadap aturan hukum positif
harus dilaksanakan melalui proses politik.

3. Tatanan Hukum Responsif, hukum dipandang


sebagai fasilitator respons
atau sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan
aspirasi sosial. Teori Kredo atau syahadat, yang
merupakan kelanjutan dari prinsip tauhid dalam
filsafat hukum Islam. Prinsip tauhid menghendaki
setiap orang yang menyatakan dirinya beriman

28
kepada Allah SWT. untuk tunduk kepada perintah
Allah sekaligus tunduk kepada Rasul dan
sunnahnya. Teori kredo ini sama dengan teori
otoritas hukum yang dijelaskan HAR Elbb yang
menyatakan bahwa orang Islam yang telah
menerima Islam sebagaimana harus menerima
otoritas hukum Islam atas dirinya.13
Indonesia dan penetapan UUD Tahun 1945 sebagai
Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua
peraturan Hindia Belanda yang berdasarkan teori
receptie tidak berlaku lagi. Sebab, teori ini
bertentangan dengan jiwa UUD Tahun 1945. Selain
itu, teori ini juga bertentangan dengan Al-Quran dan
As-Sunnah, serta bertentangan dengan Pasal 29 ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan "Negara
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa dan ayat 2
yang menyatakan, "Negara menjamin kebebasan
penduduk untuk memeluk agamanya masing
masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu." Teori receptie exit ini
dikembangkan Sayuti Thalib dengan nama teori
receptio a contrasio.
Teori reception a contrasio yang menyatakan bahwa
hukum adat berlaku bagi orang Islam apabila tidak

13
Juhaya S. Praja, 1993: 2009

29
bertentangan dengan agama Islam. Teori ini juga
berlaku bagi selain agama Islam.14
Ketiga teori tersebut menjadi landasan pemikiran
dalam subbab ini di samping, Al-Quran dan teori
perundang-undangan yang diaplikasikan terhadap
objek pembahasan yang berupa peraturan
perundang-undangan berkaitan dengan menata
kembali sistem hukum dan politik hukum di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, yang meliputi substansi hukum,
struktur hukum, dan budaya hukum. Menata
kembali berarti mengatur kembali, memperbaiki
kembali, menyusun kembali sistem hukum dan
politik hukum di Indonesia agar teratur dengan
peraturan atau hukum yang berlaku secara umum.15

Norma dan Dasar Hukum Pembetukan Peraturan

Perundang-undangan

14
Juhaya S. Praja 1993-205-207).14

15
Pipin Syarifin, Dedah Jubaedah,Ilmu Perundang-Undangan,Cv
Pustaka Setia, Bandung,2017. Hlm. 29

30
Beberapa ahli hukum menganggap kata
“norma” sinonim dengan kata “kaidah”.namun jika
ditinjau dari kamus bahasa Indonesia maka kedua
kata tersebut memiliki arti yang berlainan namun
tetap merujuk pada satu pokok bahasan yakni
aturan. Kata “norma” dalam Kamus Bahasa
Indonesia diartikan sebagai aturan atau ketentuan
yang mengikat semua atau sebagaian warga
masyarakat; aturan yang baku, ukuran untuk
menentukan sesuatu.16 Ditinjau dari segi etimologi,
kata “norma” berasal dari bahasa Latin sedangkan
kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab. Norma
berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan
kemudian dipersempit maknanya menjadi norma
hukum. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab
berasal dari kata qo’idah yang berarti ukuran atau
nilai pengukur.17
Menurut Jimmly Asshiddiqie, norma atau
kaidah merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan
buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi
kebolehan, anjuran atau perintah. Baik anjuran
maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat
positif atau negatif mencakup norma anjuran untuk
mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan

16 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa


Indonesia, Jakarta, 2008, hlm 1007.
17 Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers,

Jakarta 2011, hlm 1.

31
sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau
perintah untuk tidak melakukan sesuatu.18
Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi
dua yaitu norma etika dan norma hukum. Norma
etika meliputi norma susila, norma agama, dan
norma kesopanan. Ketiga norma atau kaidah
tersebut dibandingkan satu sama lain dapat
dikatakan bahwa norma agama dalam arti vertikan
dan sempit bertujuan untuk kesucian hiudp pribadi,
norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan
akhlak pribadi. Dari segi isi norma hukum dapat
dibagi menjadi tiga, pertama, norma hukum yang
berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan
atau ditaati. Kedua, norma hukum yang berisi
larangan, dan ketiga, norma hukum berisi perkenaan
yang hanya mengikat sepanjang para pihak yang
bersangkutan tidak menentukan lain dalam
perjanjian.
Dari segi isi norma hukum dapat dibagi
menjadi tiga, pertama, norma hukum yang berisi
perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau
ditaati. Kedua, norma hukum yang berisi larangan,
dan ketiga, norma hukum berisi perkenaan yang
hanya mengikat sepanjang para pihak yang
bersangkutan tidak menentukan lain dalam
perjanjian. Norma hukum berpasangan terbagi

18.Jimmly Asshiddiqie, Loc. Cit, hlm 1.

32
menjadi dua yaitu norma hukum primer yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus
berperilaku di dalam masyarakat dan norma hukum
sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya
apabila norma hukum primer tidak dipenuhi atau
tidak dipatuhi.
Dasar hukum pembentukan peraturan
perundang-undangan terdapat dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Sebagaimana telah dinyatakan, bahwa
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi,
yang berarti setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mengacu kepada
konstitusi tersebut.
Pasal 20 (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika
sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka
rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 21 (1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat berhak memajukan rancangan undang-
undang. (2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh
Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh
dimajukan lagi dalam persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat masa itu.

33
Pasal 22 (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2)
Peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut. (3) Jika tidak mendapat
persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus
dicabut.
Pasal 22A UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945, menyatakan bahwa: “Ketentuan lebih lanjut
tentang tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan udang-undang”. Kemudian untuk
melaksanakan perintah konstitusi tersebut,
ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang “Pembentukan Peraturan
Perundangundangan” yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
“Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”. Undang-Undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tersebut menjadi
landasan atau acuan dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan baik di tingkat
pusat maupun daerah.

34
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang –

Undangan
Peraturan perundang – undangan merupakan
sumber utama hukum dalam suatu negara. Menurut Pasal
7 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selain Jenis peraturan perundang-undangan yang


dimaksud di atas , Jenis Peraturan Perundang – undangan
menurut Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15

35
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan,
lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk
dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat.19

Menururt Soeprapto Norma yang lebih rendah tidak


akan bertentangan dengan norma yang lebih tinggi sehingga
tercipta suatu kaedah hukum yang berjenjang atau hierarki.
Pentingnya hierarki dalam sistem perundang-undangan
sesuai dengan teori mengenai jenjang norma hukum

19
Undang-undang Nomor 15 tahun 2019 tentang pembentukan
peraturan perundang-undangan

36
(Stufenbautheorie). Menurut Hans Kelsen Norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang
lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif
yaitu Norma Dasar (Kelsen, 1973).

Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan
Suatu peraturan perundang-undang dalam proses
pembentukannya maupun dalam materi muatan diperlukan
suatu asas peraturan perundang-undangan.20 Menurut I.C.
van der Vlies membagi menjadi dua yakni asas formal dan
asas material. Asas formal berkaitan dengan cara tertentu
untuk mencari isi dari suatu peraturan yang akan dibuat,
proses pembuatan suatu peraturan, sistimatika dan saat
berlaku suatu peraturan. Asas ini menggabungkan masalah
“bagaimana” dan masalah “apa”. Setiap pembuat peraturan

20Maria Farida Indrati S.


Ilmu Perundang-undangan (1), Kanisius,
Yogyakarta,2007.hlm 252

37
perundang-undangan harus bertanya pada diri sendiri
apakah suatu peraturan harus dibuat dan jenis peraturan
apa yang akan dibuat. Kemudian asas material merupakan
asas yang langsung menyangkut isi suatu peraturan seperti
kepastian hukum.21
Asas-asas formal dalam pembentukan peraturan negara
yang baik meliputi:22
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke
doelstelling); Untuk dapat menyatakan dengan jelas
tujuan yang ingin dicapai pembuat undang-undang
perlu memberikan uraian yang cukup mengenai
keadaan-keadaan nyata yang ingin diatasi oleh suatu
peraturan. Kemudian perlu dikemukakan
perubahan-perubahan apa yang dikehendaki
melalui peraturan itu. Perlu juga dimuat mengenai
ikhitsar kebaikan dan keburukan. Intinya adalah
pencantuman uraian yang jekada mengenai
kepentingan-kepentingan yang terkait pada
peraturan yang akan dikeluarkan itu serta
keterangan mengenai bagaimana kepentingan-
kepentingan ini diperbandingkan satu dengan yang

21 I.C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, alih bahasa


Linus Doludjawa, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM,
Jakarta, hlm 250 – 252.
22Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta 2010, hlm 113


– 114.

38
lain sehingga ada kejelasan bagaimana pembuat
peraturan akan melayani kepentingan umum.23
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het
juiste organ); Asas ini bertujuan menjalankan
pembagian kewenangan sebagaimana yang telah
ditetapkan secara konstitusional dalam
undangundang.Alokasi kewenangan pada organ
yang lebih rendah harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga ada koordinasi yang baik dan ada kaitan
dengan tugas-tugas lain organ yang
bersangkutan.Peraturan di tingkat pusat yang
banyak memuat kebebasan kebijakan atas hal-hal
penting serta peraturan pelaksanaan bagi badan
yang lebih rendah. Hal yang perlu diperhatikan
yaitu adanya dua peraturan yang sama-sama
berjalan yang masing-masing berasal dari organ
yang berbeda menimbulkan ketidakjelasan
memahami peraturan.
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids
beginsel); Apakah peraturan itu memang mendesak
(urgent) untuk dibuat ,dan jika jawabannya ya,
dalam bentuk apa peraturan itu harus dibuat.
Pembuatan suatu peraturan dirasakan berlebih-

23I.C.van der Vlies, Handboek Wetgeving, alih bahasa


Linus Doludjawa, Buku Pegangan Perancang Peraturan
Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM,
Jakarta, hlm 258-282

39
lebihan jika tujuan yang diinginkan dapat pula
dicapai tanpa peraturan tersebut.
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaarheid); Asas ini menyangkut jaminan
dapat dilaksanakannya hal-hal yang dimuat dalam
suatu peraturan, antara lain harus ada dukungan
sosila yang cukup, sarana yang memadai bagi organ
atau dinas yang akan melaksanakan peraturan,
dukungan keuangan (biaya aparat pemerintah dan
biaya bagi masyarakat) yang cukup dan sanksi-
sanksi yang sesuai.
5. Asas consensus (het beginsel van consensus).
Menurut asas ini perlu diusahakan adanya
consensus antara pihakpihak yang bersangkutan dan
pemerintah mengenai pembuatan suatu peraturan
dan isinya.Orang atau badan hukum tidak boleh
dibebani suatu kewajiban tanpa persetujuan
sebelumnya dari mereka atau wakilwakil mereka.
Dalam mencapai consensus, camput tangan dari
pihakpihak yang berkepentingan atau para ahli yang
juga mempunyai kepentingan tidak boleh
sedemikian jauh sehingga pemerintah akan lebih
memperhatikan kepentingan pihak-pihak tersebut
diatas kepentingan umum.

40
Asas-asas material dalam pembentukan
peraturan negara yang baik meliputi: 24

1. Asas terminology dan sistematika yang benar


(het beginsel van duidelijke terminology en
duidelijke sytematiek). Suatu peraturan harus
jelas baik kata-kata yang digunakan maupun
strukturnya. Perlu adanya konsisteni peristilahan
di dalam keseluruhan proses pembuatan
peraturan perundang-undangan. 25

2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de


kenbaarheid). Suatu peraturan harus dapat
diketahui oleh setiap orang yang perlu
mengetahui adanya peraturan itu. Suatu
peraturan yang tidak diketahui oleh pihak yang
berkepentingan akan kehilangan tujuannya yaitu
tidak menciptakan kesamaan, kepastian hukum
dan tidak menimbulkan suatu pengaturan.
Kewajiban mengumumkan bagi peraturan

24 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan yang Baik, Rajawali Pers, Jakarta
2010,hlm 114
25I. .C. van der Vlies, Handboek Wetgeving, alih bahasa

Linus Doludjawa, Buku Pegangan Perancang Peraturan


Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM,
Jakarta, hlm 286-298

41
perundang-undangan pada umumnya tidak
lebih dari sekedar penempatan di dalam
Lembaran Negara atau Berita Negara.

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het


rechtgelijkheidbeginsel). Peraturan tidak beoleh
ditujukan kepada suatu kelompok tertentu yang
dipilih secara semaunya, di dalam suatu
peraturan tidak boleh ada pembedaan semaunya.
Efek suatu peraturan tidak boleh menimbulkan
ketidaksamaan dan di dalam hubungan antara
suatu peraturan dan peraturan lainnya tidak
boleh timbul ketidaksamaan. Namun asas ini
tidak dapat memainkan peranan yang mutlak.
Kepentingan asas kesamaan harus selalu
diperbandingkan dengan kepentingan yang
lainnya.Asas ini baru penting ketika menjawab
pertanyaan apakah suatu pembedaan tertentu
dapat dibenarkan atau tidak, apakah suatu
peraturan memang sudah tepat ditujukan
kepada suatu kelompok tertentu dan apakah
pembedaan yang di dalam peraturan itu adil atau
tidak.

4. Asas kepastian hukum (het


rechtzekerheidsbeginsel). Suatu peraturan harus
memuat rumusan norma yang tepat. Suatu
peraturan tidak diubah tanpa adanya aturan

42
peralihan yang memadai, dan suatu peraturan
tidak boleh diberlakukan surut tanpa alasan yang
mendesak.Kepastian hukum terjami oleh adanya
pelaksanaan yang baik serta penegakan yang
memadai atas suatu peraturan. Penegakan yang
buruk akan menimbulkan keraguan terhadap
berlaku tidaknya suatu peraturan dan juga
kepastia hukum.

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan


individual (het beginsel van de individuale
rechtsbedeling).

43
44
BAB II

MUATAN PERUNDANG -
UNDANGAN
Kriteria Substansif

Menurut ketentuan Pasal 8 UU No 10 Tahun


2004, materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang berisi hal-hal yang:
1. Mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang meliputi
a. Hak asasi manusia;
b. Hak dan kewajiban warga negara;
c. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan
negara serta pembagian kekuasaan negara;
d. Wilayah negara dan pembagian daerah;
e. Kewarganegaraan dan dan kependudukan;
f. Keuangan negara,
2. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang
untuk diatur dengan Undang-Undang.

Materi Muatan Peraturan Perundang-


Undangan diatur dalam Pasal 10-15 Undang-
Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan-Undangan, yaitu: Undang-

45
Undang Dasar 1945 Menurut Miriam Budiardjo,
dalam UUD harus memuat ketentuan-ketentuan
mengenai organisasi negara, Hak Asasi Manusia
(HAM), prosedur perubahan UUD, larangan
mengubah sifat tertentu dari UUD, dan memuat cita-
cita serta asas ideologi negara.
Istilah “materi muatan peraturan
perundangan” diperkenalkan oleh A. Hamid S.
Attamimi, yang disampaikan secara lisan dalam
Lokakarya mengenai Pengembangan Ilmu Hukum,
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 22
Pebruari 1979. Naskahnya diselesaikan sesudahnya,
dimuat dalam Majalah Hukum dan Pembangunan,
Nomor 3 Tahun 1979.43 A.Hamid S Attamimi secara
tidak langsung mengartikan materi muatan
peraturan perundang-undangan sebagai materi yang
harus dimuat dalam masing-masing jenis peraturan
perundang-undangan.Sedangkan dalam Pasal 1
angka 13 UU NO.12 Tahun 2011 disebutkan bahwa
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
adalah materi yang dimuat dalam Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi,
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Dengan demikian apa yang merupakan materi suatu
peraturan perundang-undangan adalah berbeda-

46
beda tergantung jenis, fungsi dan materinya. 26

Dalam menyusun materi muatan peraturan


perundang-undangan ada beberapa asas yang harus
dipenuhi yaitu:

o Asas pengayoman
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus berfungsi
memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
o Asas kemanusiaan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi
manusia serta harkat dan martabat setiap warga
negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
o Asas kebangsaan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

26
A.Hamid S.Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu
Pelita I-Pelita IV, untuk memperoleh gelar doctor dalam Ilmu Hukum
pada fakultas pasca sarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

47
o Asas kekeluargaan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus mencerminkan
musyawarah untukmencapai mufakat dalam
setiap pengambilan keputusan.
o Asas kenusantaraan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan senantiasa
memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah
merupakan bagian dari sistem hukum nasional
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
o Asas bhinneka tunggal ika”
adalah bahwa Materi Muatan Peraturan
Perundangundangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
o Asas keadilan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.

48
o Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh memuat hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan,
gender, atau status sosial.
o Asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
o Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.

Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud


pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan
tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang
hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain
sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a) dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas
tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan
narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

49
b) dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik
Materi muatan dari jenis-jenis peraturan perundang-
undangan dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Materi Muatan UUD adalah merupakan hukum dasar
negara. Atau the basi of the national legal order/
Sebagai the basic of the national legal order maka UUD
atau konstitusi akan menjadi sumber bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan yang
ada dibawahnya. Perbedaan antara UUD dengan
peraturan perundang-undangan yang ada
dibawahnya , salah satunya adalah dari segi materi
muatan. Menurut K.C.Wheare UUD adalah suatu
dokument hukum sehingga akan merupakan :
▪ Pernyataan pilihan (a short of manifesto);
▪ Pengakuan dan keyakinan ( a consession of faith);
▪ Pernyataan mengenai cita-cita bangsa/negara (a
statement of ideals);
▪ Piagam negara ( a charter of the land).
Karena itu menurut K.C.Wheare bahwa UUD
sebagai suatu aturan hukum mengatur/ berisi aturan-
aturan negara yang mengatur tentang :
1. Susunan (structure) pemerintahan, yakni legislatif,
eksekutif dan yudikatif;
2. Hubungan timbal balik (mutual relation ) antara alat-
alat perlengkap negara

50
3. Hubungan antara alat-alat perlengkapan negara
dengan masyarakat (community), agar hak –hak
masyarakat dan warga negara tidak dilanggar;
4. The quarantes of citizen.
Sedangkan menurut Struycken, Materi UUD
berisi48:
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan
ketatanegaraan;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan, baikuntuk waktu sekarang maupun
yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan
kehidupan ketatanegaraan hendak dipimpin.
Menurut Sri Sumantri Martosoewignyo , Materi
muatan konstitusi setidaknya berisi tiga hal pokok
yaitu:
1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara;
2. Ditetapkannya susunan ketatanegraan suatu negara
yang bersifat fundamental; dan
3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan yang bersifat fundamental.
Sedangkan materi muatan konstitusi menurut
Mr. J.G Steenbeekseperti yang dikutip oleh Dahlan
Thaib, Jaiz Hamidi dan N’imatul Huda, mulai dari
Jaminan Hak Asasi Manusia dan hak warga
negaranya, susunan dasar ketatanegaraan negara yang
bersangkutan, dan susunan dasar pembagian dan

51
pembatasan tugas ketatanegaraa telah mengalami
perubahan mendasar.27

Prinsip-Prinsip Materi Undang-Undang


Pada pokoknya, pembentukan suatu
Undang-Undang haruslah memenuhi kriteria asas
pembentukan peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1) Asas Kejelasan tujuan, yaitu bahwa jelasnya
tujuan yang hendak dicapai melalui
pembentukan undang-undang yang
bersangkutan.
2) Asas Kelembagaan atau onrgan pembentuk
yang tepat, yaitu DPR Bersama-sama dengan
pemerintah, dan dengan keterlibatan DPD
untuk rancangan undang-undang tertentu;
3) Asas Kesesuaian antara jenis peraturan
perundang-undangan dan materi muatan yang
diatur didalamnya, yaitu bahwa untuk jenis
undang-undang harus berisi materi muatan
yang memang seharusnya diuangkan dalam
bentuk undang-undang;
4) Asas dapat dilaksanakan, yaitu bahwa
ketentuan yang diatur dalam undang-undang

27
Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389

52
itu haruslah dapat dilaksanakan sebagaimana
semestinya;
5) Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan ;
6) Asas Kejelasanrumusan, yatu bahwa
pengaturan suatu materi ketentuan tertentu
dalam undang-undang yang bersangkutan
mengenai tujuan yang jelas; dan
7) Asas Keterbukaan, yaitu bahwa dalam
pembentukan undang-undang itu dilakukan
secara terbuka.

Dengan demikian, setiap produk peraturan


perundang-undangan negara Republik Indonesia
yang berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 , haruslah:
1. Mencerminkan religiusitas kebertuhanan
segenap warga negara melalui keyakinan
segenap warga terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Mencerminkan prinsip-prinsip humanitas
yang berkeadilan dan berkeadaban atau sila
kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Menjamin dan memperkuat prinsip
nasionalitas kebangsaan Indonesia
persatuan Indonesia.
4. Memperkuat nilai-nilai sovereinitas
kerakyatan melalui sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam
permusyawaratan\perwakilan.

53
5. Melembagaan upaya untuk membangun
sosialitas yang berkeadilan atau perwujudan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Materi Mutlak Undang-Undang


Dalam menuangkan sesuatu kebijakan
kenegaraan dan pemerintahan dalam peraturan
perundang-undangan, dikenal pula adanya materi-
materi tertentu yang bersifat khusus, yang mutlak
hanya dapat dituangkan dalam bentuk undang-
undang. Beberapa hal yanig bersifat khusus itu,
misalnya, adalah (i) pendelegasian kewenangan
regulasi atau kewenangan untuk mengatur
(legislative delegation of rule-making power), Gi)
tindakan pencabutan undang-undang yang ada
sebelumnya, (iii) perubahan ketentuan undang-
undang, (iv) penetapan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang-undang, (V) pengesahan
suatu perjanjian internasional, (vi) penentuan
mengenai pembebanan sanksi pidana, dan (vii)
penentuan mengenai kewenangan penyidikan,
penuntutan, dan penjatuhan vonis. 28

28
Kelsen, Op-Cit

54
1. pendelegasian kewenangan legislasi
Dalam sistem demokrasi dan negara hukum
modern, sudah umum diketahui bahwa kekuasaan
negara dibagi dan dipisah-pisahkan antara cabang-
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pada pokoknya, kekuasaan untuk atau membuat
aturan dalam kehidup n bernegara Skonstruksikan
berasal dari rakyat yang berdaulat yang
dilembagakan dalam organisasi negara di lembaga
legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Sedangkan cabang kekuasaan pemerintahan negara
sebagai organ pelaksana atau eksekutif hanya
menjalankan peraturan-peraturan yang oleh cabang
legislatif. Sementara itu, cabang kekuasaan
kehakiman atau yudikatif bertindak sebagai pihak
yang menegakkan peraturan-peratur itu melalui
proses peradilan yang independen dan imparsial.
Dengan paradigma pemikiran yang demikian, maka
satu-satunya sumber legitimasi organ negara untuk
menetapkan sesuatu norma huk yang berbentuk
peraturan (regeling) adalah organ yang bekerja di
cabang kekuasaan legislatif, Norma-norma hukum
yang bersifat dasar biasanya dituangkan dalam
undang-undang dasar sebagai "de hoogste wet" atau
hukum yang tertinggi, sedangkan hukum yang
tertinggi di bawah undang-undang dasar adalah
undang-undang (gezets, wet, law) sebagai bentuk
peraturi yang ditetapkan oleh legislator (legislative

55
act). Namun, oleh karena mate yang diatur dalam
undang-undang itu hanya terbatas kepada soal-soal
yang umum, diperlukan pula bentuk-bentuk
peraturan yang lebih renda (subordinate legislations)
sebagai peraturan pelaksana undang-undang yang
bersangkutan. Lagi pula, sebagai produk lembaga
politik, sering kali undang-undang hanya dapat
menampung materi-materi kebijakan yang bersifat
umum. Forum legislatif bukanlah forum teknis,
melainkan for politik, sehingga sudah sewajarnya
apabila perhatian dan kemampu para wakil rakyat
mengenai soal-soal teknis yang rinci juga tidak dagi
diandalkan.
Dengan demikian, sudah menjadi kenyataan
umum di semua negara bahwa kewenangan untuk
mengatur lebih lanjut hal-hal yang bersifa teknis itu
kepada lembaga eksekutif untuk menetapkan
peraturan yang lebih rendah sebagai peraturan
pelaksana (subordinate legislations). Namun karena
sumber kewenangan mengatur tersebut pada
pokoknya berada d tangan para wakil rakyat sebagai
legislator, sekiranya diperlukan peraturas yang lebih
rendah untuk mengatur pelaksanaan suatu materi
unding undang, maka pemberian kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut u kepada lembaga
eksekutif atau lembaga pelaksana, haruslah
dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang
yang akan dilaksanakan itu. Hal inilah yang biasa

56
dinamakan "legislative delegation of rule-making
power". Dengan penegasan itu berarti kewenangan
untuk mengatur lebih lanjut itu secara tegas
didelegasikan oleh legislator utama (primary
legislator) kepada legis lator sekunder (secondary
legislator). Proses pendelegasian kewenangan
regulasi atau legislasi inilah yang disebut sebagai
pendelegasian kewenangan legislative.
Berdasarkan prinsip pendelegasian ini,
norma hukum yang bersifat pelaksanaan dianggap
tidak sah apabila dibentuk tanpa didasarkan atas
delegasi kewenangan dari peraturan yang lebih
tinggi Misalnya, Peraturan Presiden dibentuk tidak
atas perintah UU atau PP. maka Peraturan Presiden
tersebut tidak dapat dibentuk. Peraturan Menteri,
jika tidak diperintahkan sendiri oleh Peraturan
Presiden atau Peraturan Pemerintah, berarti
peraturan dimaksud tidak dapat dibentuk
sebagaimana mestinya Demikian pula bentuk-
bentuk peraturan lainnya, jika tidak didasarkan atas
perintah peraturan yang lebih tinggi maka peraturan
itu dapat dianggap tidak memiliki dasar yang
melegitimasikan pembentukannya. Dengan
demikian, kewenangan lembaga pelaksana untuk
membentuk peraturan pelaksana undang-undang
harus dimuat dengan tegas dalam undang undang
sebagai ketentuan mengenai pendelegasian
kewenangan legislasi (legislative delegation of rule-

57
making power) dari pembentuk undang-undang
kepada lembaga pelaksana undang-undang atau
kepada pemerintah.
Sebagian terbesar undang-undang
mendelegasikan kewenangan pengaturan
selanjutnya kepada Peraturan Pemerintah (PP),
tetapi ada pula yang memberikan delegasi langsung
kepada Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
Peraturan Daerah Provinsi, ataupun Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota. Bahkan, Undang-Undang
tentang Perpajakan sejak dulu juga biasa
memberikan delegasi untuk pengaturan lebih lanjus
langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
Akibatnya, banyak produk hukum yang berbentuk
Keputusan Direktur Jenderal yang berisi materi
pengaturan yang seharusnya dituangkan dalam
bentuk Peraturan Menteri. Mengapa demikian?
Karena Direktur Jenderal adalah jabatan struktural
tertinggi pegawai negeri sipil, sehingga sudah
seharusnya tidak diberi kewenangan politik untuk
menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat untuk
umum Namun, terlepas dari hal itu, yang jelas dalam
praktik sampai sekarang. masih banyak produk
hukum yang bersifat mengatur yang dituangkan
dalam bentuk keputusan Direktur Jenderal, seperti
Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Imigrasi,
dan Direktur Jenderal di lingkungan departemen
lainnya, dan sebagainya.

58
Sekarang, setelah terbentuknya UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, semua bentuk peraturan aleh
Direktur Jenderal tersebut sudah seharusnya
ditertibkan. Untuk seterusnya, di masa yang akan
datang, jangan lagi ada undang-undang yang
memberikan delegasi untuk pengaturan lebih lanjut
sesuatu materi undang-undang langsung kepada
menteri, apalagi kepada Direktur Jenderal yang
hanya merupakan jabatan kepegawaian administrasi
negara Menteri.29

2. Pencabutan Undang-Undang
Istilah “batal” sedikit disinggung yang mana
dapat kita temukan dalam penjelasan Pasal 5 huruf b
UU 12/2011 yang antara lain mengatakan bahwa
peraturan perundang-undangan dapat dibatalkan
atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang. Suatu
peraturan perundang-undangan hanya dapat
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya sama atau
lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundang-
undangan dengan peraturan perundang-undangan
yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika

29
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4226.

59
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
itu dimaksudkan untuk menampung kembali
seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-
undangan lebih rendah yang dicabut itu (Lampiran
II Nomor 158 dan 159 UU 12/2011).
Jika ada peraturan perundang-undangan
lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan
peraturan perundang-undangan baru, peraturan
perundang-undangan yang baru harus secara tegas
mencabut peraturan perundang-undangan yang
tidak diperlukan itu.30

3. Perubahan Undang-Undang
Perubahan peraturan perundang-undangan
dilakukan dengan cara menyisip atau menambah
materi ke dalam peraturan perundang-undangan
atau menghapus atau mengganti sebagian materi
peraturan perundang-undangan. Perubahan
peraturan perundang-undangan dapat dilakukan
terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian,
paragraf, pasal, dan/atau ayat, kata, frasa, istilah,
kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
4. Penetapan Perpu
Batang tubuh undang-undang tentang
penetapan Perpu menjadi undang-undang pada
dasarnya terdiri atas dua pasal, yang ditulis dengan

30
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., Seluk Beluk dan Prosen Pencabutan
Undang-undang, HukumOnline. Jakarta, 2014.

60
angka Arab. Pasal 1 memuat penetapan Perpu
menjadi undang-undang diikuti dengan pernyataan
melampirkan Perpu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan undang-undang penetapan
yang bersangkutan Sedangkan Pasal 2 memuat
ketentuan mengenai saat mulai berlakunva Dengan
demikian, format undang-undang tentan8
penetapan Perpu menjadi undang-undang berfungsi
sebagai baju hukum atau undang-undang mantel.
Bentuknya yang demikian itu disebabkan karena
DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang
dihadapkan pada pilihan menyetujui atau menolak
Rancangan Undang-Undang tentang Perpu itu
apabila telah diajukan oleh Presiden kepada DPR.
DPR tidak dapat menerima Perpu itu dengan
perubahan-perubahan terhadap isinya. DPR hanya
dapat menerima seluruhnya atau menolak
seluruhnya, sehingga karena itu, bentuk undang-
undang yang menetapkan Perpu menjadi undang-
undang menjadi cukup sederhana dan hanya terdiri
atas kedua pasal tersebut di atas.31
5. Pengesahan Perjanjian Internasional
Pengaturan mengenai pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional yang ada
sebelum disusunnya undang-undang ini tidak

31
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74,
Tambahan Lembaran.

61
dituangkan dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang jelas sehingga dalam praktiknya
menimbulkan banyak kesimpangsiuran.
Pengaturan sebelumnya hanya
menitikberatkan pada aspek pengesahan perjanjian
internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya
suatu peraturan perundang-undangan yang
mencakup aspek pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional demi kepastian hukum.
Undang-undang tentang Perjanjian
internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11
Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan
kewenangan kepada Presiden untuk membuat
perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-
Undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga
memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu,
diperlukan suatu perangkat perundang-undangan
yang secara tegas mendefinisikan kewenangan
lembaga eksekutif dan legislatif dalam Pembuatan
dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-
aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan
hubungan yang dinamis antara kedua lembaga
tersebut.
Perjanjian internasional yang dimaksud
dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di
bidang hukum publik, diatur oleh hukum
internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan

62
negara, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian
internasional dalam praktiknya cukup beragam,
antara lain : treaty, convention, agreement,
memorandum of understanding, protocol, charter,
declaration, final act, arrangement, exchange of
notes, agreed minutes, sumary records, proces
verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada
umumnya bentuk dan nama perjanjian
menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh
perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang
berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara
hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak
dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam
suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu
bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian
internasional, pada dasarnya menunjukkan
keinginan dan maksud para pihak terkait serta
dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
Sebagai bagian terpenting dalam proses
pembuatan perjanjian, pengesahan perjanjian
internasional perlu mendapat perhatian mendalam
mengingat pada tahap tersebut suatu negara secara
resmi mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dalam
praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat
kategori, yaitu (a). ratifikasi (ratification) apabila
negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional turut menandatangani naskah

63
perjanjian. (b). aksesi (accesion) apabila negara yang
akan mengesahkan suatu perjanjian internasional
tidak turut menandatangani naskah perjanjian. (c).
penerimaan (acceptance) dan penyetujuan
(approval) adalah pernyataan menerima atau
menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu
perjanjian internasional atas perubahan perjanjian
internasional tersebut. Selain itu, juga terdapat
perjanjian-perjanjian intenrasional yang tidak
memerlukan pengesahan dan langsung berlaku
setelah penandatanganan.
Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian
internasional di Indonesia selama ini dijabarkan
dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 tanggal
22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional, yaitu
pengesahan melalui undang-undang atau keputusan
presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya.
Namun demikian, dalam praktik selama ini telah
terjadi berbagai penyimpangan dalam melaksanakan
surat presiden tersebut, sehingga perlu diganti
dengan Undang-undang tentang Perjanjian
Internasional.32

32
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internsional

64
6. Pembebanan Pajak Dan Pungutan Memaksa
Pasal 23A UUD 1945 menentukan, "Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang".
Artinya, negara hanya boleh membebani rakyatnya
dengan pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa itu apabila rakyat sendiri melalui wakil-
wakil mereka di DPR menyetujuinya, yaitu dengan
menentukannya secara tegas dalam undang-undang.
Pembebanan pajak dan pungutan-pungutan lain
oleh negara secara sewenang-wenang, dianggap
bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan
bahkan bertentangan dengan maksud dan tujuan
bernegara itu sendiri. Negara justru diharapkan
dapat memberikan perlindungan terhadap
kebebasan (liberty), persamaan (equality), solidaritas
sosial (fraternity), dan juga hak milik (property).
Oleh karena itu, ket… bersifat materiil tentang
perpajakan itu berkenaan dengan (1) siapa saja yang
dibebani kewajiban untuk membayar pajak dan
pungutan memaks lainnya; (ii) apa saja yang dikenal
pajak (objek pajak) dan pungutan memaksa itu; (ili)
bagaimana cara menghitung pajak dan pungutan
yang harus dibayar serta cara pelunasannya (tax base
and tax rate). Ketentuan materiil tersebut mutlak
harus dimuat dalam undang-undang atau diatur
dengan undang-undang. Sedangkan ketentuan-
ketentuan yang bersifat formal berkenaan dengan

65
prosedur dan tata cara perpajakan lainnya tidak
mutlak harus diatur dengan atau dalam undang-
undang. Pengaturan mengenai tata cara atau
prosedur perpajakan itu idealnya dapat diatur dalam
undang-undang juga Akan tetapi, sekiranya hal-hal
yang bersifat prosedural itu diatur dengan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang,
maka hal itu juga dapat dibenarkan. Karena itu,
kewenangan pengaturan mengenai prosedur
perpajakan itu dapat saja didelegasikan kepada
peraturan di bawah undang-undang. Di beberapa
negara, seperti terlihat antara lain dalam Article 170
UUD Belgia, Article 31 Konstitusi Mexico, Article 23
Konstitusi Italia, Article 34 Konstitusi Prancis, Article
133 Konstitusi Spanyol, ketentuan mengenal objek
yang dikenakan pajak itu bahkan ditentukan secara
tegas dalam Undang-Undang Dasar. Untuk
menjamin kepastian hukum (legal certainty), maka
penentuan unsur-unsur perhitungan objek yang
terkena pajak (tax base) dan tarif pajak (tax rate)
sekurang-kurangnya harus ditentukan dengan
undang-undang. Jika dalam undang-undang pajak
tidak ditentukan dengan jelas apa yang terkena pajak
(tax base) dan berapa serta bagaimana dasar
perhitungannya (tax rate), maka ketentuan pajak
dalam undang-undang dimaksud dianggap tidak
dapat dijadikan dasar untuk pengenaan pajak.
Prinsip demikian itu, dipraktikkan di banyak negara,

66
antara lain, misalnya di Mexico dan di Estonia. Baik
di Mexico maupun di Estonia, Undang-Undang
Pajak yang tidak mengatur dengan jelas mengenai
"tax base" dan "tax rate" tersebut, dianggap tidak
dapat dilaksanakan untuk pengenaan pajak dan
pungutan yang memaksa lainnya untuk negara."
Prinsip ini telah sejak lama berlaku sebagai
yurisprudensi di Mahkamah Agung Mexico dan
Mahkamah Agung Estonia. Dengan demikian,
pembebanan pajak dan pungutan yang bersifat
memaksa itu oleh negara tidak dapat didelegasikan
kewenangan pengaturannya kepada lembaga
pemerintah dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah daripada
undang-undang. Artinya, pengaturan mengenai hal
itu harus tuntas pada tingkat undang-undang.

7. Pembebanan Sanksi Pidana


Pengaturan mengenai ketentuan sanksi
pidana hanya dapat dimuat dalam bentuk undang-
undang atau Peraturan Daerah; sedangkan
peraturan perundang-undangan bentuk lainnya
tidak boleh berisi norma yang menentukan sanksi
pidana. Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan,
"Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya
dapat dimuat dalam undang undang dan Peraturan
Daerah". Artinya, selain undang-undang, sanksi
pidana hanya dapat dimuat pengaturan mengenai

67
pembebanannya dalam Peraturan Daerah. Dalam
Peraturan Daerah (Perda), sanksi pidana yang
dimuat tentunya yang bersifat ringan dan berkaitan
dengan tindak pidana yang juga ringan seperti
misalnya larangan merokok di tempat keramaian
dan sebagainya. Sedangkan ketentuan pembebanan
pidana yang lebih berat, tentu harus dimuat dalam
undang-undang, bukan dalam peraturan daerah.
Karena
ketentuan pidana itu pada dasarnya dapat
berdampak pada pengurangan derajat kebebasan
warga negara, sehingga apabila hendak ditentukan
pembebanannya kepada warga negara haruslah
terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari para
wakil rakyat. Bentuk peraturan perundang-
undangan yang dapat dikategorikan sebagai produk
legislatif itu memang ada dua macam, yaitu undang-
undang dan peraturan daerah. Undang-undang
dibentuk oleh DPR atas persetujuan bersama dengan
Presiden, sedangkan peraturan daerah dibentuk oleh
DPRD atas persetujuan bersama dengan Kepala
Pemerintah Daerah.33

8. Penyidikan, Penuntutan Dan Penjatuhan Vonis

33
“Darussalam dan Danny Septriadi, Membatasi Kekuasaan untuk
Mengenakan Pajak. Jakarta: PT Grasindo, 2006, Hlm. 4-5.

68
Seperti halnya dengan ketentuan mengenai
sanksi pidana, ketentuan mengenai penyidikan juga
hanya dapat dimuat dalam undang-undarng dan
peraturan daerah. Ketentuan mengenai penyidikan
itu memuat pemberian kewenangan kepada
penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) departemen
atau instansi tertentu untuk melakukan penyidikan
atas pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang atau peraturan daerah. Ketentuan mengenai
penyidikan ini ditempatkan sebelum rumusan
ketentuan pidana atau apabila dalam undang-
undang atau peraturan daerah yang bersangkutan
tidak diadakan pengelompokan, maka ketentuan
mengenai hal ini ditempatkan dalam pasal-pasal
sebelum ketentuan pidana. Demikian pula ketentuan
mengenai penuntutan dan penjatuhan sanksi
atau vonis hakim, hanya dapat diatur dalam undang-
undang. Hal-hal yang penting ini bersifat
mengurangi kebebasan warga negara, sehingga
tidak boleh hanya diatur dalam peraturan yang lebih
rendah daripada undang undang, seperti Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), dan
lain sebagainya.
Kalaupun pengaturannya dalam undang-
undang dianggap belum juga mencukupi, maka
perinciannya dapat saja diatur dalam peraturan yang
lebih rendah, asalkan pendelegasian kewenangan
pengaturannya itu secara tegas diperintahkan dalam

69
atau oleh undang-undang yang bersangkutan
(legislatively delegated). Inilah prinsip yang harus
dipegang teguh dalam rangka "legislative delegation
of rule-making power" dari pembentuk undang-
undang kepada lembaga eksekutif atau pelaksana
undang-undang.

Penyusunan Materi Undang-Undang


1. Prinsip Umum
Meskipun disadari bahwa setiap
undang-undang yang dibentuk merupakan
produk kompromi politik antarberbagai
kepentingan yang sulit diharapkan bersifat
sempurna, tetapi pada dasarnya, setiap
undang-undang yang berhasil disusun selalu
diharapkan membawa perbaikan dalam
sistem hukum yang akan diberlakukan
mengikat untuk umum. Oleh karena itu,
sangat penting bagi para perancang undang-
undang untuk memahami benar prinsip-
prinsip umum yang berlaku dalam proses
penyusunan materi undang-undang, dan
prinsip-prinsip umum yang hendak
dituangkan menjadi norma hukum dalam
undang-undang yang akan dibentuk. Untuk

70
itu, para perancang harus mengerti benar
garis besar kebijakan yang akan dituangkan
dalam undang-undang itu melalui proses
"outline building" yang bersifat
komprehensif dan menyeluruh
(comprehensible). Perlu disadari pula bahwa
tujuan pokok yang hendak dicapai dengan
pengaturan materi undang-undang itu
adalah membuat produk undang undang itu
menjadi sejelas dan seberguna mungkin (as
clear and useful as 14 possible). Para
perancang undang-undang harus memilih
dengan hati-hati hal-hal yang yang akan
dituangkan dan mengaturnya sedemikian
rupa agar dapat ditemukan, dimengerti, dan
dirujuk dengan mudah dan paling ringan.
Siapa yang harus menentukan mudah
tidaknya ketentuan dalam undang-undang
dipahami dan dijadikan rujukan tergantung
kepada siapa
yang paling banyak dan/atau yang
paling sering akan membaca atau meng
gunakan undang-undang itu kelak setelah
diundangkan.

Karena itu, para perancang undang-


undang haruslah menyusun undang-undang
menurut kepentingan pihak yang akan

71
melaksanakan undang-undang itu kelak (the
persons or subjects who will administer the
law). Perancang harus menyusun ketentuan-
ketentuan pertama-tama yang berhubungan
dengan (1) perbuatan (conduct), (ii) hak-hak
(rights), (iii) keutamaan (privileges), atau (iv)
tugas-tugas (duties). Baru setelah itu
menyusun ketentuan dari sudut pandang
orang yang akan diatur atau yang dijadikan
objek aturan undang-undang.
Di samping itu, dapat dikatakan
bahwa pada umumnya, pengaturan susunan
suatu undang-undang selalu diharuskan
bersifat "functional". Artinya, penyusunan
materi undang-undang itu harus selalu
mengacu kepada kebutuhan untuk
memenuhi tujuan atau untuk maksud
mencapai rujuan yang secara garis besar telah
dirumuskan. Persoalan pokok yang selalu
timbul dalam setiap upaya penyusunan
konsep materi undang undang ialah soal (i)
penentuan hierarki gagasan (hierarchy of
ideas), yaitu dengan piramid logika (logical
pyramid), dan (ii) pada setiap lapisan hierarki
gagasan itu menentukan pilihan mengenal
prinsip tata urutan yang paling dianggap
membantu (the most helpful principle of
order).

72
Biasanya, prinsip ekonomi kata
menjadi pertimbangan yang menentukan.
Karena itu, pada umumnya, makin baik
suatu undang-undang dirumuskan, makin
sedikit halaman yang diperlukan untuk
menuangkan materi norma dalam undang-
undang yang bersangkutan. Misalnya, untuk
efisiensi, perancang sebaiknya tidak
merumuskan ketentuan undang undang
yang mengharuskan pembacanya melakukan
perujukan silang (cross references)
antarpasal-pasal dari berbagai bab atau
bagian yang berbeda. Sebab, hal itu akan
menyulitkan pembaca untuk menemukan
ketentuan-ke tentuan yang saling berkaitan
satu dengan yang lain. Daripada perumusan
yang berisi perujukan silang, lebih baik
menggunakan alternatif lain yang menjamin
lebih mudah ditemukan, lebih jelas, dan lebih
bisa dipakai (better findability, clarity, and
usability).34

2. Pembagian Materi (Division)


Dalam perumusan materi suatu
undang-undang, para perancang biasanya
dihadapkan pada tiga persoalan, yaitu (i)

34
“Dickerson, Op-cit, hlm. 53.

73
problem pembagian materi (problem of
division), (ii) problem pengelompokan
materi (problem of classification), dan (iii)
problem pengurutan atau perurutan materi
(problem of sequence).
pertama, yaitu pembagian materi
(problem of division) berkaitan dengan
penentuan masing-masing landasan
pemikiran yang menyebabkan bagian-bagian
materi pokok (main or primary division) dan
materi penunjang (subordinate divisions)
yang bersangkutan disusun. Pembedaan
keduanya penting, karena para perancang
biasanya selalu mendahulukan perumusan
bagian utama yang dianggap lebih penting
(primary breakdown) daripada bagian yang
bersifat sekunder (subsidiary breakdowns).
Dengan perkataan lain, dalam penyusunan
materi undang-undang, yang selalu
didahulukan adalah bagian yang dianggap
lebih penting (order of importance).
Dalam banyak kasus, dianggap lebih
mudah dengan mengaitkan upaya
pembagian materi undang-undang tersebut
pada soal-soal yang berkenaan dengan (i)
jenis orang yang diatur oleh materi
bersangkutan (kinds of people affected), (ii)
organ administratif yang terlibat, atau (iii)

74
bidang kegiatan operasional yang dilakukan
oleh organ dimaksud. Hal-hal ini disusun
secara kronologis yang tersendiri; dan untuk
tiap-tiap bagian utama itu, logika yang sama
juga dipakai untuk penyusunan bagian-
bagian yang bersifat penunjang.
Biasanya jumlah orang bersifat relatif
yang terlibat dalam suatu kegiatan tidak
dijadikan dasar untuk penentuan bagian-
bagian materi undang-undang, kecuali
apabila jumlah subjek yang dimaksud
berkaitan dengan ketentuan umum (general
rules) yang berhadapan dengan pengecualian
(exception). Dalam hal demikian, ketentuan
umum selalu ditempatkan lebih dulu
daripada ketentuan kekecualian. Di luar hal
ini, maka dalam penyusunan materi undang-
undang, jumlah banyak sedikitnya subjek
orang yang terlibat dianggap tidak penting
bagi seseorang atau individu yang ingin
mengetahui kedudukannya dalam hukum.
Hal itu juga dianggap tidak penting bagi
pejabat pemerintahan yang akan
menjalankan undang-undang yang
bersangkutan. 35

35
Ibid, hlm. 56.

75
Keberlakuan Undang-Undang

Keberlakuan Filosofis

adalah nilai-nilai filosofis negara


Republik Indonesia terkandung dalam
Pancasila sebagai "staatsfundamentalnorm".
Di dalam rumusan kelima sila Pancasila
terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan
Yang Maha Esa,humanitas kemanusiaan
yang adil dan beradab, nasionalitas
kebangsaan dalam ikatan kebineka-
tunggalikaan, soverenitas kerakyatan, dan
sosialitas keadilan bagi segenap rakyat
Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-
nilai filosofis tersebut yang boleh diabaikan
atau malah ditentang oleh norma hukum
yang terdapat dalam berbagai kemungkinan
bentuk peraturan perundang-undangan
dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

76
Keberlakuan Yuridis

Keberlakuan juridis adalah


keberlakuan suatu norma hukumdengan
daya ikatnya untuk umum sebagai suatu
dogma yang dilihat dari pertimbangan yang
bersifat teknis juridis. Secara juridis, suatu
norma hukum itu dikatakan berlaku apabila
norma hukum itu sendiri memang (i)
ditetapkan sebagai norma hukum
berdasarkan norma hukum yang lebih
superior atau yang lebih tinggi seperti dalam
pandangan Hans Kelsen dengan teorinya
"Stuffenbautheorie des Recht", (ii) ditetapkan
mengikat atau berlaku karena menunjukkan
hubungan keharusan antara suatu kondisi
dengan akibatnya seperti dalam pandangan
J.H.A. Logemann, (iii) ditetapkan sebagai
norma hukum menurut prosedur
pembentukan hukum yang berlaku seperti
dalam pandangan W. Zevenbergen, dan (iv)
ditetapkan sebagai norma hukum oleh
lembaga yang memang berwewenang. Jika
ketiga kriteria tersebut telah terpenuhi
sebagaimana mestinya, maka norma hukum
yang bersangkutan dapat dikatakan memang
berlaku secara juridis Suatu norma hukum
dikatakan berlaku secara politis apabila
pemberlakuannya itu memang didukung

77
oleh faktor-faktor kekuatan politik yang
nyata (riele machtsfactoren). Meskipun
norma yang bersangkutan didukung oleh
masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula
dengan cita-cita filosofis negara, dan
memiliki landasan juridis yang sangat kuat,
tetapi tanpa dukungan kekuatan politik yang
mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan tidak mungkin mendapatkan
dukungan politik untuk diberlakukan
sebagai hukum. Dengan perkataan lain,
keberlakuan politik ini berkaitan dengan
teori kekuasaan (power theory) yang pada
gilirannya memberikan legitimasi pada
keberlakuan suatu norma hukum semata-
mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila
suatu norma hukum telah mendapatkan
dukungan kekuasaan, apapun wujudnya dan
bagaimanapun proses pengambilan
keputusan politik tersebut dicapainya sudah
cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi
keberlakuan norma hukum yang
bersangkutan dari segi politik.36

36
“Stuffenbau Theorie” yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. Kelsen,
Op cit. 19J.H.A.Logemann (1954) dalam Purnadi Purbacaraka, Op.cit,
hlm. 115-116.

78
Keberlakuan Politis

Suatu norma hukum dikatakan berlaku


secara politis apabila pember lakuannya itu
memang didukung oleh faktor-faktor
kekuatan politik yang nyata (riele
machtsfaotoren). Meskipun norma yang
bersangkutan didukung oleh masyarakat
lapisan akar rumput, sejalan pula dengan
cita-cita filosofis negara, dan memiliki
landasan yuridis yang sangat kuat, tetapi
tanpa dukungan kekuatan politik yang
mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan tidak mungkin mendapatkan
dukungan politik untuk diberlakukan
sebagai hukum. Dengan perkataan lain,
keberlakuan politik ini berkaitan dengan
teori kekuasaan (power theory) yang pada
gilirannya memberikan legitimasi pada
keberlakuan suatu norma hukum semnat
mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila
suatu norma hukum telan mendapatkan
dukungan kekuasaan, apa pun wujudnya
dan bagaimanapun proses pengambilan
keputusan politik tersebut dicapainya sudah
cuku untuk menjadi dasar legitimasi bagi

79
keberlakuan norma hukum yang
bersangkutan dari segi politik. 37

Keberlakuan Sosiologis

Keberlakuan Sosiologis adalah pandangan


sosiologis mengenai keberlakuan ini
cenderung lebih mengutamakan pendekatan
yang empiris dengan mengutamakan
beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria
pengakuan (recognition theory), (ii) kriteria
penerimaan (reception theory), atau (iii)
kriteria faktisitas hukum. Kriteria pertama
(principle of recognition) menyangkut sejauh
mana subjek hukum yang diatur memang
mengakui keberadaan dan daya ikat serta
kewajibannya untuk menundukkan diri
terhadap norma hukum yang bersangkutan.
Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak
merasa terikat, maka secara sosiologis norma
hukum yang bersangkutan tidak dapat
dikatakan berlaku baginya.38

37
W. ZevenBergen mengenai soal ini dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1925, dalam Ibid. hlm. 114-115.
38
Pendapat Christian Snouck Hurgronje ini banyak ditentang
oleh para sarjana hukum Indonesia, terutama oleh Prof. Dr. Mr.
Hazairin beserta murid-muridnya, seperti Sayuti Thalib,
Mohammad Daud Ali, dan sebagainya. Bahkan, sarjana Belanda
sendiri seperti C. van den Berg mempunyai pendapat yang sama

80
sekali berbeda dengan Snouck Hurgronje mengenai soal ini yang
dikenal dengan istilah teori "receptie in complexu". Sedangkan
Hazairin dan Sayuti Thalib mengembangkan teori yang dikenal
dengan "receptie a contrario". Lihat Hazairin, Op Cit.

81
82
BAB III.

MEKANISME PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

Tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

Secara Garis Besar berikut tahapan yang harus dipenuhi


dalam pembentukan undang-undang:

• Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan

Perencanaan untuk penyusunan undang-undang


dilakukan dalam Program Legislasi Nasional yang
merupakan skala prioritas untuk pembentukan UU
dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Selanjutnya undang-undang dapat diajukan berasal dari
eksekutif ataupun legislatif.

83
• Pembahasan dan Pengesahan Rancangan Undang-
Undang.

Pembahsan tentang RUU ini dilakukan oleh eksekutif


dengan legislatif. Rancangan undang-undang yang telah
disepakati bersama oleh legislatif dan eksekutif diajukan
oleh legislatif kepada eksekutif untuk disahkan menjadi
undang-undang.

• Pengundangan

Peraturan perundang-undangan harus disahkan secara


resmi dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

• Penyebarluasan.

Penyebarluasan dilakukan oleh DPR Pemerintah sejak


penyusunan Prolegnas, Penyusunan Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan, Pembahasan Peraturan Perundang-
Undangan, hingga Pengundangan Undang-Undang.
Penyebarluasan dilakukan untuk memberikan informasi
dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta
pemangku kepentingan.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan


yang harus diatur melalui UU adalah:

84
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD
1945;
b. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi;
dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan


undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal
23 UU 15/2019, Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011,
dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.

Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya,


pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal
173 UU MD3.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, berikut


merupakan mekanisme atau proses pembentukan undang-
undang, yaitu:
1. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR,
Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan pemerintah
untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala
prioritas pembentukan RUU. 39

39
Pasal 16 UU 12/2011 jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) UU 15/2019

85
2. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD. 40
3. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan
naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran
pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(“Perpu”) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau
pencabutan Perpu.41
4. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi,
gabungan komisi, atau Badan Legislasi.42
5. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat
presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.43
6. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa
dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah
diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah
akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR.44
7. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat
pembicaraan. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam

40
Pasal 163 ayat (1) UU MD3
41
Pasal 43 ayat (3) dan (4) UU 12/2011
42
Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
43
Pasal 165 UU MD3
44
Pasal 166 ayat (1) dan (2) UU MD3

86
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia
khusus.45
8. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi
pengantar musyawarah, pembahasan daftar
inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat
mini.46
9. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna
DPR yang berisi:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat
mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-
tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang
diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh
menteri yang ditugaskan.47
10. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah
mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.48
11. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR
dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk
disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan,

45
Pasal 168
46
Pasal 169 huruf a
47
Pasal 170 ayat (1)
48
Pasal 171 ayat (1) dan (2)

87
ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 49
12. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan
daftar inventarisasi masalah pada periode masa
keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU
tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya
dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau
DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke
dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau
Prolegnas prioritas tahunan.50

Proses Pembuatan Peraturan-peraturan

Perundang-undangan di Indonesia
Di Indonesia sendiri memiliki berbagai peraturan
perundang-undangan yang digunakan untuk mengatur
sistem kenegaraan, berikut merupakan tata urutan
perundang-undangan yang ada di Indonesia:
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/Perppu
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi

49
Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1), (3), dan (4) UU 12/2011
50
Pasal 71A UU 15/2019

88
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan Perundang-undangan di atas memiliki


proses tahapannya tersendiri, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 UUD 1945
merupakan hukum dasar dalam peraturan
perundang-undangan dan menjadi hukum tertinggi
dalam tata urutan perundang-undangan di
Indonesia. Penyusunnya adalah Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. MPR berhak
mengubah dan menetapkan UUD ini sesuai pasal 3
ayat (1) UUD 1945. Saat ini telah dilakukan empat
kali perubahan terhadap UUD 1945, Tata cara
perubahannya diatur dalam pasal 37 UUD 1945.

2. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR adalah putusan majelis yang
memiliki kekuatan hukum mengikat kepada seluruh
anggota majelis hingga ke setiap warga negara,
lembaga masyarakat, dan lembaga negara yang tidak
terikat oleh Ketetapan MPR. Dalam buku PPKN
Kelas VIII (Kemdikbud 2014), kekuatan ini disebut
mengikat ke dalam dan ke dalam Proses
pembentukannya dimulai dengan pembentukan
Panitia Ad Hoc. Tugasnya menyiapkan Rancangan

89
Ketetapan-Ketetapan MPR untuk diajukan dan
dibahas dalam Sidang Tahunan MPR. MPR akan
menetapkannya dalam Sidang Tahunan MPR
tersebut.

3. Undang-Undang (UU)atau Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang Pembentukan Undang-
Undang (Perppu)
Lembaga negara yang memiliki kekuasaan dalam
membentuk Undang-Undang adalah DPR.
Sementara itu Rancangan Undang-Undang (RUU)
bisa dibuat oleh DPR, DPD atau Presiden. Proses
pembentukannya yaitu: RUU yang berasal dari DPR
diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPR. RUU yang
diajukan oleh DPD adalah rancangan yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pemekaran daerah, dsb. RUU yang diajukan
oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan
lembaga pemerintah nonkementerian sesuai tugas
dan tanggung jawabnya. Selanjutnya RUU dibahas
oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama. Jika mendapat persetujuan bersama maka
RUU tersebut disahkan menjadi Undang-Undang
(UU). Jika tidak mendapat persetujuan bersama
maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan masa itu. Berbeda dengan Perppu,
peraturan perundang-undangan ini ditetapkan

90
Presiden yang dikeluarkan karena terjadi
kegentingan yang memaksa. Menurut modul PPKn
Kelas VIII: Struktur Undang-Undang (Kemendikbud
2018), Perppu diajukan dahulu oleh Pemerintah
kepada DPR. Jika disetujui DPR dalam rapat
paripurna, maka Perppu akan ditetapkan sebagai
Undang-Undang. Jika ditolak, maka Perppu wajib
dicabut dan tidak berlaku.

4. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah (PP) yaitu peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan Presiden
untuk melaksanakan Undang-Undang. Tahapan
penyusunannya adalah: Rancangan PP berasal dari
kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai bidang tugasnya.
Penyusunan dan pembahasan rancangan PP
dilakukan dengan membentuk panitia
antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian. Peraturan Pemerintah ditetapkan
oleh Presiden lalu diundangkan oleh Sekretariat
Negara.

5. Peraturan Presiden
Penetapan Peraturan Presiden (Perpres) digunakan
untuk menjalankan perintah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Proses

91
pembentukannya berdarakan Pasal 55 UU No 12
Tahun 2011, yaitu: Pembentukan panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian
oleh pemrakarsa atau pengusul. Pengharmonisan,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang hukum. Pengesahan dan penetapan oleh
Presiden.

6. Peraturan Daerah Provinsi


Peraturan Daerah (Perda) Provinsi adalah peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh DPRD
Provinsi dengan persetujuan bersama gubernur.
Tahapan proses pembuatannya adalah: Penyusunan
Rancangan Perda Provinsi dapat berasal dari DPRD
Provinsi atau Gubernur. Pengharmonisan,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Peraturan Daerah. Rancangan Perda yang berasal
dari DPRD dikoordinasikan oleh alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
Rancangan yang berasal dari Gubernur
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum. Pembahasan Rancangan Perda
Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur. Rancangan Perda Provinsi yang telah

92
disetujui bersama DPRD dan Gubernur, selanjutnya
ditetapkan oleh Gubernur sebagai Perda Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota


Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota
merupakan peraturan peraturan perundang-
undangan yang ditetapkan DPRD Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama bupati/walikota. Proses
pembentukan Perda yaitu: Penyusunan Rancangan
Perda Kabupaten/Kota dapat berasal dari DPRD
Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota.
Pengharmonisan, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Peraturan Daerah. Rancangan
Perda yang berasal dari DPRD dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani
bidang legislasi. Rancangan yang berasal dari
Bupati/Walikota dikoordinasikan oleh biro hukum
dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum. Pembahasan
Rancangan Perda Kabupaten/Kota dilakukan oleh
DPRD Kabupaten/ Kota bersama Bupati/Walikota.
Rancangan Perda Kabupaten/Kota yang telah
disetujui bersama DPRD dan Bupati/Walikota
selanjutnya ditetapkan oleh Bupati/Walikota sebagai
Perda Kabupaten/Kota.

93
94
95
BAB IV.

SISTEM ADMINISTRASI
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN

Sistem Hukum Nasional


Sistem hukum adalah keseluruhan kaedah-kaedah
hukum yang merupakan satu kesatuan yang teratur, dan
terdiri dari sejumlah sub sistem (misalnya sub sistem
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi, Negara,
Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang dan
Hukum Ekonomi), yang saling berkaitan dan saling
pengaruh mempengaruhi. Beranjak dari rumusan ini, maka
sistem hukum nasional itu selalu harus dikaitkan pula
landasan Grondnorm yaitu Pancasila, UUD 1945, dan Azas-
azas Hukum Umum, yang merupakan penjabaran dari pada
grdndnorm tersebut.
Untuk dapat merekam kerangka. ideal sistem Hukum
'Nasional yang mencerminkan pola rechtsidee Hukum
Indonesia, kiranya periu dijadikan bahan pemikiran hasil-

96
hasil Seminar Hukum Nasional ke IV tanggal 30 Maret 1979,
mencakup dua · aspek, yaitu "pencetminan nilai-nilai
Pancasila dalam perundang-undangan dan sistem Hukum
Nasional itu sendiri". Mengenai sistem hukum Nasiortal
yang berhubungan dengan perundang-undahgan adalah
merupakan penjelasan kembali bahwa perundang-
undangan menduduki posisi sentral, utama dalam
pembangunan Hukum Nasional, yang akan dilengkapi oleh
hukutn tidak tertulis (hukum adat). Disamping itu
dikemukakan pula perIunya unifikasi dengan tidak
meninggalkan kebhinekaan terutama dalam bidang-bidang
kehidupan spritual. Berikutnya hal yang menyangkut
persoalan nilai-nilai Pancasila, pada pokoknya seminar
menetapkan bahwa pembentuk Undang-undang (Presiden
dan DPR) dalam Penyusunan Undang-undang perlu
dengan tepat tnenunjukkan nilai-nilai Pancasila yang
mendasari undang-undang itu.

Podgorecki berkenaan adanya empat prinsip yang perIu


diperhatikan pembentuk Undang-undang yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup tentang keadaan
senyatanya.
2. Mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam
masyatakat.
3. Mengetahui benar-benar hubungan kausal antara
sarana. yang digunakan oleh undang-undang seperti sanksi,

97
baik sanksi negatif (punishment) maupun sanksi positif
(reward) dan tujuan yang hendak dicapai.
4. Melakukan penelitian terhadap efek dari Undang-
undang itu, termasuk efek sampingan yang tidak
diharapkan. 51

Perancangan dan Pengesahan

Mengenai lembaga pembentuk undang-undang itu


sendiri, sebelum diadakan Perubahan Pertama UUD 1945,
ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Sedangkan Pasal 21 ayat (1)-nya berbunyi, ”Anggota-
anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan
rancangan undang-undang”. Sekarang setelah Perubahan
Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, rumusan Pasal 5 ayat
(1) diubah menjadi, ”Presiden ber-hak mengajukan
rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”.
Sedangkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang baru
berubah menjadi, ”Dewan Perwakilan Rakyat meme-gang
kekuasaan membentuk undang-undang”. Dengan adanya

51
Atmadja Atmadja, “Perundang-Undangan Dalam Sistem Hukum
Nasional,” Jurnal Hukum & Pembangunan 14, no. 5 (June 9, 2017): hlm,
433-434, https://doi.org/10.21143/jhp.vol14.no5.1081.

98
perubahan tersebut berarti DPR lah yang dapat kita
namakan sebagai legislator atau lembaga pembentuk
undang-undang, sedangkan Presiden adalah co-legis-lator.
DPR lah yang merupakan legislator utama atau ”primary
legislator”, ”principal legislator”, atau ”main legislator”,
bukan lagi Presiden seperti sebelumnya.52
Berdasarkan pengaturan Pasal 1 Angka 1 undang-
undang no 12 tahun 2011 terdapat lima tahapan di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu :

1. Tahapan Perencanaan

Laporan hasil penelitian dari pembuat undang-undang


harus dimulai dengan memberikan fakta-fakta untuk
membuktikan hipotesa deskriptif tentang gambaran
manifestasi dari kesulitan tersebut dengan maksud
membuat RUU yang efektif. Laporan juga harus
menyebutkan perilaku siapa dan yang bagaimana yang
menggambarkan kesulitan tersebut.
Tahapan perencanaan ini, merupakan tahapan yang
dilakukan oleh lembaga pembentuk undang-undang untuk
menentukan rancangan undang-undang apa saja yang akan
diprioritaskan akan dibentuk. Rancangan undang-undang
yang akan diprioritaskan tersebut dituangkan ke dalam

52
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers,
2010, hlm, 222.

99
Prolegnas untuk setahun ke depan. Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur bahwa
perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam
Prolegnas. Prolegnas ini disusun oleh DPR dan Pemerintah.
Hasil dari penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dan
Pemerintah dibahas bersama yang kemudian
pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPR melalui Badan
Legislasi. Pasal 19 nya mengatur pada ayat (1) Prolegnas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 memuat program
pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan
Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya
dengan Peraturan Perundang-Undangan lainnya dan ayat (2)
nya mengatur mengenai materi yang diatur dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-Undangan
merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan
Undang-Undang yang meliputi latar belakang dan tujuan
penyusunan; sasaran yang ingin diwujudkan; dan
jangkauan dan arah pengaturan.
Pada tahapan ini juga merupakan tahapan
penyiapan dari naskah akademik, karena berdasarkan
pengaturanPasal 19 ayat (3) yaitu materi yang diatur
mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang
meliputi latar belakang dan tujuan penyusunan; sasaran
yang ingin diwujudkan; dan jangkauan dan arah
pengaturan.yang telah melalui pengkajian dan penyelerasan
dituangkan ke dalam Naskah Akademik. Juga Pasal 43 ayat

100
(3) mengatur Rancangan Undang-Undangyang berasal dari
DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

2. Tahapan Penyusunan

` Tahapan ini merupakan tahapan penyusunan dari


hasil penelitian dan pengkajian yang telah dilakukan
terhadap rancangan undnag-undnag yang akan diajukan.
Penyusunan terhadadap perumusan norma dalam pasal
rancangan undang-undang berdasarkan hasil pengkajian
dalam naskah akademik. Untuk mentransformasikan
naskah akademik ke dalam bentuk pasal-pasal, perumusan
suatu pasal dalam RUU menurut Made Subawa perumusan
satu pasal dalam suatu aturan haruslah mengandung satu
norma, berdasarkan pendapat dari Philipus M. Hadjon yang
dikutip dari acara dengar pendapat dengan para pakar pada
tanggal 6 Desember 1999 dengan panitian Ad Hoc I Badan
Pekerja MPR di Jakarta, yaitu (Made Subawa, 2003) :
“….. salah satu prinsip dasar di dalam perumusan satu
pasal bahwa rumusan itu harus ada kepastian, dapat
diterapkan …..”
“Patokannya dalam merumuskan Pasal itu, jangan lupa
satu Pasal itu satu norma, sehingga pembagian harus tahu
apa dibagi dalam ayat, dalam huruf atau kedalam angka itu
hal-hal teknis perlu diperhatikan.”

101
Sehingga untuk merumuskan pasal-pasal dalam
rancangan undang-undang yang berasal dari isi naskah
akademik haru benar-benar memperhatikan perumusan
satu pasal satu norma ini. Agar nantinya setelah menjadi
undang-undang, tidak menghasilkan pasal-pasal yang
pengaturannya menafsirkan hal yang ganda atau
bertentangan.

3. Tahapan Pembahasan

Laporan hasil penelitian pembuat rancangan harus


secara sistematis mengusulkan menguji pilihan-pilihan
hipotesa penjelasan tentang sebab-sebab perilaku
bermasalah dari pelaku peran. Juga untuk membenarkan
hipotesis tersebut, laporan harus mengatur bukti-bukti
untuk menunjukkan faktor-faktor khusus yang
menyebabkan perilaku tersebut (Ann Seidman, Robert B.
Seidmann dan Nalin Abeyserkere; 112).
Pada tahap pembahasan ini, berdasarkan
pengaturan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 setiap RUU dibahas oleh
DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
DPD juga dapat ikut membahas RUU, hanya yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

102
lainnya; serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan dan agama (Pasal 22D ayat (2)).

4. Tahapan Pengesahan atau Penetapan

Pengesahan undang-undang meliputi pengesahan


secara meteriel dan pengesahan secara formil. Yang
dinamakan pengesahan materiel adalah pengesahan yang
dilakukan oleh DPR-RI dalam rapat paripurna DPR-RI
sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR
dan Pemerintah untuk disahkannya rancang-an undang-
undang yang telah dibahas bersama menjadi undang-
undang. Sedangkan pengesahan yang bersifat formil
dilakukan oleh Presiden dengan menandatangani
rancangan undang-undang yang telah mendapat perse-
tujuan bersama itu setelah diketik ulang dalam kertas
surat berkepala Presiden Republik Indonesia dan diberi
nomor sebagaimana mestinya.
Administrasi pengesahan materiel terpusat di
Sekretariat Jenderal DPR-RI, sedangkan administrasi
pengesahan formil berada di tangan Pemerintah, yaitu di
Sekretariat Negara. Setelah pengesahan materiel, rancangan
undang-undang itu harus segera difinalisasikan oleh staf
Sekretariat Jenderal DPR-RI sebagaimana mestinya. Untuk
mengoreksi berbagai kemungki-nan”clerical error” yang

103
terjadi, perbaikan dapat dilakukan di Sekretariat Jenderal
DPR-RI setelah pengesahan materiel atau di Sekretariat
Negara sebelum pengesahan formil oleh Presiden. Di
Sekretriat Jenderal DPR, rancangan undang-undang yang
sudah mendapat persetujuan bersama itu diperiksa lagi
dengan seksama dengan memperhatikan mengenai ejaan,
tata letak pengetikan, tanda-tanda baca, dan lain sebagainya.
Di mana perlu, diadakan perbaikan-perbaikan agar sebelum
disahkan, perumusan rancangan undang-undang itu
menjadi sesempurna mungkin.
Kemudian diadakan evaluasi dan perbaikan
sebagaimana mestinya, dengan tenggat waktu 7 (tujuh) hari
kerja sesudah dicapainya persetujuan bersama antara
Presiden dan DPR dalam rapat paripurna DPR-RI,
kemudian rancangan undang-undang tersebut harus
disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk
disahkan menjadi Undang-undang, hal tersebut termuat
dalam pasal 123 tentang Peraturan tata Tertib DPR-RI yang
berbunyi:
1) Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui
bersama antara DPR dengan Presiden, paling
lambat 7 (tujuh) ha ri kerja disampaikan oleh
Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi undang-undang.
2) Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja,
Rancangan Undang-Undang yang sudah
disampaikan kepada Pre siden belum di sahkan

104
me njadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim
surat kepada Presiden untuk meminta penjelasan.
3) Dalam hal Rancang an Undang-Undang s
ebagaimana dimaksud pad a ayat (1) tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak Rancangan Undang-Undang
tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-
Undang tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan53

Penyampaian naskah rancangan undang-undang


oleh Pimpinan DPR kepada Presiden seperti dimaksud
pada ayat (1) dan surat yang dimaksud oleh ayat (2) di atas,
disampaikan oleh Sekretariat Jenderal DPR-RI kepada
Presiden melalui Sekretariat Negara. Meskipun pejabat
yang akan mengundangkan undang-undang itu nantinya
adalah Menteri Hukum dan HAM, namun surat resmi dari
Pimpinan DPR tersebut tetap harus dikirimkan kepada
Presiden melalui Sekretariat Negara.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa sebenarnya,
karena lembaga pembentuk undang-undang adalah DPR,
maka setiap naskah rancangan undang-undang haruslah
ditulis di atas kertas berkepala surat Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Jika jalan pikiran ini dijadikan
pegangan, maka pengesahan oleh Presiden menurut
ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 hanyalah bersifat

53
Asshiddiqie, hlm, 222-223.

105
penetapan administratif saja (beschikking), bukan
mengubah format undang-undang sebagai produk legislatif.
Kalau sekarang naskah undang-undang tetap menggunakan
kepala surat Presiden, maka hal itu disebabkan karena
meneruskan saja apa yang sudah dipratikkan sejak dulu
sebagaimana dittentukan oleh UUD 1945 bahwa setiap
undang-undang selalu berkepala surat Presiden Republik
Indonesia kemudian nantinya akan diserahkan kepada
Presiden untuk dibumbuhkan tanda tangan.54

Tahap pengesahan UU

1). Pengesahan secara material


Apabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU,
maka dengan demikian telah terjadi pengesahan secara
material oleh Lembaga legislatif. Terhadap RUU yang telah
ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan
perubahan baik yang menyangkut persoalan secara teknis
maupun substansi. Memang, suatu UU yang dirasakan tidak
sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman dapat
dilakukan perubahan, penggantian atau bahkan pencabutan
oleh Lembaga legislatif. Akan tetapi dalam proses
pembentukan UUm tahap “pengesahan” adalah batas yang

54
Ni Putu Niti Suari Giri, “Lembaga Negara Pembentuk Undang-
Undang,” Jurnal Komunikasi Hukum (JKH) 2, no. 1 (February 3, 2016):
hlm, 88-89, https://doi.org/10.23887/jkh.v2i1.7283.

106
diperlakukan untuk menyelesaikan perdebatan sehingga
RUU yang telah ditetapkan menjadi UU dapat diproses lebih
lanjut. Sebabm untuk berlakunya suatu UU dapat diproses
lebih lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih harus
dilakukan berbagai Tindakan hukum seperti
penandatanganan, pengundangan dan pemberlakuan.
Dengan kata lain, pengesahan secara material merupakan
akhir dari proses pembahasan suatu RUU menjadi UU di
Lembaga legislatif.
2). Pengesahan secara formal
Suatu RUU yang telah disahkan secara material oleh
Lembaga legislatif belum mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Memang, pembahasan RUU telah dinyatakan
selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetap untuk
keperluan yuridis, UU tersebut harus ditandatangani oleh
yang berwenang. Penandatanganan UU ini dilakukan oleh
presiden yang merupakan pengesahan UU secara formal.
Tanpa adanya pengesahan dalam bentuk penandatanganan
dalam suatu UU, maka UU tersebut tidak sah meskipun
telah disepakati oleh Lembaga legislatif. Penandatangan ini
harus dilakukan tanpa syarat, artinya penandatangan tidak
boleh mengajukan perubahan maupun tuntutan lainnya.
Jadi, penandatanganan suatu RUU yang telah ditetapkan
sebagai UU lebih merupakan Tindakan administratif.

PRAKTIK PENGUNDANGAN

107
Dalam praktik dapat kita jumpai ada 3 (tiga) variasi
rumusan daya laku suatu peraturan perundang-undangan,
yaitu:
1. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal
diundangkan. maka peraturan tersebut mempunyai
daya ikat dan daya laku pada tanggal yang sama
dengan tanggal pengundangan.

Contoh:
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang
Manajemen Pegawai Negeri Sipil “Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan”

2. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku beberapa


waktu setelah diundangkan. Artinya bahwa
peraturan tersebut mempunyai daya laku pada
tanggal diundangkan, tetapi daya ikatnya setelah
tanggal yang ditentukan. Contoh: Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 258/ Pmk.04/2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
200/ Pmk.04/2011 tentang Audit Kepabeanan dan
Audit Cukai “Peraturan Menteri ini mulai berlaku
setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal
diundangkan.
3. Peraturan tersebut dinyatakan berlaku pada tanggal
diundangkan, tetapi dinyatakan berlaku surut
sampai tanggal yang ditentukan. Contoh: Peraturan
Kepala Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan Nomor 7 Tahun 2016 tentang Road

108
Map Reformasi Birokrasi Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan Tahun 2015 – 2019
“Peraturan Kepala ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan dan mempunyai daya laku surut sejak
tanggal 1 Agustus 2015”

Pemberlakuan surut pada dasarnya bertentangan


dengan asas-asas pembentukan peraturan yang baik. Asas-
asas material dalam pembentukan peraturan salah satunya
adalah asas keadilan dan kepastian hukum. Pemberlakuan
surut jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, karena
subjek hukum dalam bertindak akan mendasari segala
tindakan hukumnya pada ketentuan yang berlaku saat itu,
bukan pada ketentuan yang akan datang. Ketidakadilan
pada suatu aturan yang diberlakukan surut akan
menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap subjek
hukum apabila akibat hukumnya merugikan subjek hukum
dari peraturan yang diberlakusurutkan tersebut. Namun
UU 12 Tahun 2011 membuka peluang pemberlakuan surut
suatu peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. ketentuan baru yang berkaitan dengan masalah
pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun
klasifikasinya, tidak ikut diberlakusurutkan;
b. rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku surut
itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum,
dan akibat hukum tertentu yang sudah ada, dimuat
dalam ketentuan peralihan; dan

109
c. awal dari saat mulai berlaku peraturan perundang-
undangan ditetapkan tidak lebih dahulu daripada
saat rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut mulai diketahui oleh masyarakat, misalnya,
saat rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut tercantum dalam Prolegnas, Prolegda, dan
perencanaan rancangan peraturan perundang-
undangan lainnya. Pada praktiknya untuk hal-hal
yang hanya bertujuan memberikan keuntungan bagi
subjek hukum, tidak bersifat pembebanan kepada
masyarakat, apalagi terkait sanksi pidana, maka
pemberlakuan surut sering digunakan. Contohnya
pada peraturan mengenai tata cara pelaksanaan
pembayaran tunjangan bagi Pegawai Negeri Sipil
yang anggarannya telah disediakan namun aturan
yang menjadi dasar pelaksanaan pembayarannya
belum selesai, sehingga rumusan pemberlakuan
surut menjadi salah satu solusi agar proses
administrasi tidak merugikan subjek hukum.55

55
Andi Yuliani, “Daya Ikat Pengundangan Peraturan Perundang-
Undangan” 14, no. 04 (2017): hlm,434-435.

110
111
BAB V.

PEMBENTUKAN UNDANG
UNDANG DALAM SISTEM
BIKAMERAL DI BEBERAPA
NEGARA

PENGERTIAN BIKAMERAL
Sistem bikameral adalah badan legislatif yang terdiri dari
dua kamar untuk melaksanakan mekanisme check and
balences agar terhindar dari resiko pemerintah yang
diktator(otoriter/tirani), pada dasarnya merupakan suatu
bentuk wadah demokrasi perwakilan yang terdiri dari
dua kamar atau dua dewan.56

TEORI PEMBAGIAN KEKUASAAN, SISTEM

PEMERINTAHAN, DAN SISTEM PARLEMEN


Suatu pemerintahan dalam sebuah negara tentu
menjalankan begitu banyak fungsi dan sangat beragam.

56
Anonim,“Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam System
Bicameral Di Indonesia”https://media.neliti.com/ media
/publications/40822-ID-eksistensi-dewan-perwakilan-daerah-dalam-
sistem-bikameral-di-indonesia Diakses Pada Tanggal 3 November 2021

112
Dalam pemerintahan yang terpusat, disebut sebut
pemerintah memiliki kekuasaan yang absolut dalam
beberapa hal sekaligus. Hal itulah yang kemudian
menjadi hambatan bagi terciptanya pemerintahan yang
adil. Pasalnya, ketika suatu pemerintahan memiliki kuasa
absolut terhadap beberapa hal, misalnya dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan,
menjalankan fungsi kepemerintahan, hingga peradilan,
maka semakin besar bagi pemerintahan negara untuk
berlaku sewenang-wenang terhadap pemerintahan
negara. Tentu saja hal tersebut menjadi masalah besar,
karena kesewenangwenangan akan berbuah
ketidakadilan kepada masyarakat. Oleh karenanya,
beberapa pemikir politik Barat mulai mengembangkan
pemikiran mereka mengenai teori pemisahan kekuasaan
dan pembagian kekuasaan. Pemikir politik seperti John
Locke dan Montesquieu kemudian yang menjadi pelopor
pemikiran tersebut untuk menghindari terjadinya
kesewenang-wenangan dalam aktivitas ketatanegaraan.
Pada dasarnya, kedua ide yang diusung oleh John Locke
maupun Montesquieu memiliki perbedaan dan
persamaan. John Locke lah yang mengawali pemikiran
tentang adanya pembagian kekuasaan dalam
pemerintahan untuk menghindari absolutisme
pemerintahan yang terpusat. 57

57
Anonim, “Sistem Pemerintahan Parlementer”,
http://eprints.umm.ac.id/38611/3/BAB%20II.pdf, Diakses Pada Tanggal
07 November 2021 Pukul 15:50 WITA

113
Pada prinsipnya, konstitusi atau undang-undang dasar
suatu negara antara lain merupakan pencatatan
(registrasi) pembagian kekuasaan di dalam suatu negara.
Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menunjukkan
perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang
bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif yang lebih
dikenal sebagai Trias Politika58
1. Pembagian Kekuasaan
Menurut pandangan Montesquieu merupakan
prinsip yang harus ditekankan dalam sistem
ketatanegaraan dari negara modern yang menyatakan
dirinya sebagai negara demokrasi dan negara hukum.
Menurut Montesquieu fungsi kekuasaan itu dapat
dibedakan menjadi tiga (3) yaitu;
a. Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang
bertugas untuk membuat undang-undang. Di
Indonesia, pemegang kekuasaan legislatif adalah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).

b. Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang
bertugas untuk melaksanakan undang-undang.

58
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, hlm. 78-79

114
Pemegang kekuasaan ini adalah Presiden, Wakil
Presiden, dan kabinetnya.

c. Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang
bertugas untuk mengadili apabila terjadi
pelanggaran atas undang-undang. Tugas ini
dipegang oleh Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial
(KY).

2. Sistem Pemerintahan
Pada dasarnya ada dua bentuk sistem pemerintahan
yang didasarkan pada pola hubungan antara lembaga
legislatif dan eksekutif, yaitu sistem pemerintahan
parlementer dan sistem pemerintahan presidensial.
Ada sebelas ciri-ciri utama yang membedakan antara
system pemerintahan parlementer dan presidensial
sebagaimana dikemukakan oleh Doglas V. Verney,
sebagai berikut:
1. Dalam pemerintahan paelementer, Majelis sebagai
parlemen yang bertanggung jawab atas
pemerintahan, sedang dalam pemerintahan
presidensial, Majelis tetap saja sebagai majelis.
2. Dalam pemerintahan parlementer, eksekutif terbagi
menjadi dua, yaitu perdana menteri atau kanselir
yang menjadi kepala pemerintahan dan Raja atau
Presiden sebagai Kepala Negara yang dipilih oleh

115
parlemen. Sedang dalam pemerintahan presidensial
eksekutif tidak dibagi, melainkan hanya ada
seorang bersamaan pada saat Majelis dipilih melalui
pemilihan umum.
3. Dalam pemerintahan parlementer, Kepala Negara
mengangkat Kepala pemerintahan, sedang dalam
pemerintahan presidensial Kepala Pemerintahan
adalah Kepala Negara.
4. Dalam pemerintahan parlementer, Kepala
pemerintahan mengangkat menteri, sedang dalam
pemerintahan presidensial Presiden yang
mengangkat menteri atau kepala departemen
sebagai bawahannya.
5. Dalam pemerintahan parlementer, kementerian
(pemerintah) adalah badan kolektor yang
memegang kekuasaan pemerintahan, sedang dalam
pemerintahan presidensial Presiden adalah
eksekutif tunggal yang memegang kekuasaan
pemerintahan.
6. Dalam pemerintahan parlementer, para menteri
biasanya merupakan anggota parlemen, sehingga
para anggota pemerintahan memainkan peranan
ganda, sedang dalam pemerintahan presidensial
anggota Majelis atau parlemen tidak boleh
menduduki jabatan dalam pemerintahan dan
sebaliknya, sehingga orang yang sama tidak boleh
menduduki dua jabatan pemerintahan dan
parlemen sekaligus.

116
7. Dalam pemerintahan parlementer, pemerintah
bertanggung jawab secara politik kepada Majelis,
sehingga melalui mosi tidak percaya atau menolak
memberikan dukungan terhadap usulan penting
dari pemerintah karena pemerintah dianggap
bertindak tidak bijaksana atau bertindak bukan atas
dasar konstitusi, Majelis bias memaksa pemerintah
untuk mengundurkan diri dan mendorong Kepala
Negara untuk menentukan pemerintahan yang
baru. Sedang dalam pemerintahan Presidensial
pemerintah bertanggung jawab kepada konstitusi,
bukan kepada Majelis. Jika terpaksa Majelis
meminta Presiden bertanggungjawab kepada
konstitusi melalui proses dakwaan berat atau mosi
tidak percaya bukan berarti presiden bertanggung
jawab kepada Majelis, tetapi hanya semata-mata
tuntutan kepatuhan hukum.
8. Dalam pemerintahan parlementer Kepala
Pemerintahan dapat memberikan pendapat atau
usulan Kepala Negara dapat membubarkan
parlemen hanya atas permintaan Kepala
Pemerintahan. Sedang dalam pemerintahan
presidensial pemerintah tidak dapat membubarkan
parlemen sebagai mana halnya parlemen tidak
dapat memaksa membubarkan pemerintahan.
9. Dalam pemerintahan parlemen parlemen sebagai
suatu kesatuan memiliki supremasi dan kedudukan
yang lebih tinggi atas bagian-bagian pemerintahan

117
lainnya. Sedang dalam pemerintahan presidensial
Majelislah yang mempunyai kedudukan lebih
tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lainnya,
meskipun Presiden dan Majelis sama-sama
independen.
10. Dalam pemerintahan parlementer pemerintah
sebagai suatu kesatuan hanya bertanggung jawab
secara tak langsung kepada para pemilih, tetapi
bertanggung jawab secara langsung kepada Majelis,
sedang dalam pemerintahan presidensial
pemerintah bertanggung jawab secara langsung
kepada pemilih karena dipilih oleh rakyat, sehingga
presiden akan merasa lebih kuat kedudukannya
dari pada para wali rakyat karena presiden dipilih
oleh seluruh rakyat sedangkan para wakil rakyat
dipilih oleh sebagian rakyat.
11. Dalam pemerintahan parlementer parlemen adalah
focus kekuasaan dalam sistem politik karena ada
penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislative di
parlemen, sedang dalam pemerintahan presidensial
tidak ada focus kekuasaan dalam sistem politik
karena kekuasaan terbagi-bagi dan masing-masing
lembaga memiliki kewenangan yang dikontrol oleh
lembaga lainnya.

Berdasarkan ciri-ciri diatas, dalam sistem parlementer,


kedaulatan rakyat ada di tangan parlemen, yang juga
menjalankan fungsi pemerintahan sehingga kedaulatan

118
benar-benar dilaksanakan oleh rakyat (melalui perwakilan).
Sementara dalam sistem presidensial, parlemen tidak akan
secara langsung menyelenggarakan pemerintahan. Dalam
lembaga presidensial lembaga yang menjalankan fungsi
eksekutif adalah lembaga tersendiri (Presiden)yang
mendapatkan pengawasan dari pengawasan dan parlemen
tanpa dapat dicampuri urusannya secara langsung oleh
parlemen.

Sistem Parlemen
Parlemen atau parliament secara historis tumbuh dan
berkembang dari negara-negara Eropa. Sedang
legislature atau badan legislatif mulai tumbuh dan
berkembang dari Amerika. Karena itu lembaga
perwakilan rakyat di Eropa disebut dengan parlemen
sedang di Amerika disebut dengan Legislatur. Dalam
pandanga Carl J. Friedrich, parlemen adalah lembaga
utama dari pemerintahan perwakilan modern, yaitu
sebagai majelis perwakilan rakyat (respresentative
assemblies) yang mempunyai fungsi utama legislasi dan
sebagai majelis tempat dilakukannya pembahasan
(deliberative assemblies) untuk memecahkan berbagai
masalah masyarakat dalam rangka melakukan
pengawasan terhadap fisikal dan administrasi
pemerintahan melalui speech and debate serta quwstions
and interpellation.

119
PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI

BEBERAPA NEGARA DENGAN SISTEM

MEDIUM STRENGTH BICAMERALISM


Sistem parlemen bikameral adalah sistem
parlemen yang terdiri dari dua
kamar/badan.Pembagianbadan legislatifmenjadi dua
komponenatau kamar. Kamar pertama (First Chamber)
biasa disebut dengan Majelis Rendah (Lower House) atau
DPR atau House of Commons atau House of
Representatives, sedangkan kamar kedua (Second
Chamber) disebut Mejelis Tinggi (Upper House) atau
Senate atau House of Lords. Hanya di belanda yang
menamakan Majelis Tingginya dengan Kamar Pertama
(Erste Kamer) dan Majelis Rendahnya adalah Kamar
Kedua (Tweede Kamer). Ciri-ciri kamar kedua yang lebih
spesifik dikemukakan oleh C.F. Strong yang
menjelaskan beberapa karakter dalam sistem parlemen
bikameral, yaitu kamar kedua cenderung lebih kecil
daripada kamar pertama, masa jabatan anggota kamar
kedua lebih lama dibanding masa jabatan anggota
kamar pertama, dan anggota kamar pertama dipilih
secara bertahap atau tidak bersama-sama.
Sistem parlemen bikameral dapat dibagi menjadi
dua bagian besar, yaitu strong bicameralismdan weak
bicameralism. Masing-masing bagian terdiri dari
beberapa sub bagian yang memiliki karakterisitik
berlainan. Yang menjadi ukuran utama dalam

120
menentukan sistem parlemen kuat atau lemah adalah
kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi kepada
kedua kamar tersebut. Sebagai contoh, hak veto atau
usulan legislasi kamar kedua bisa ditolak oleh kamar
pertama. Namun ada pula yang mengatur jika ada
ketidaksetujuan.59

Pembentukan Undang-Undang Di Republik Indonesia

Proses atau tata cara pembentukan undang-undang


merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan
secara berkesinambungan. Proses ini diawali dari
terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya
pengaturan terhadap suatu permasalahan yang
kemudian dilanjutkan dengan kegiatan mempersiapkan
rancangan undangundang, baik oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
maupun oleh pemerintah. Kemudian pembahasan
rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan bersama dilanjutkan
dengan pengesahan diakhiri dengan pengundangan.60

59
M. Lutfi Chakim, “Parlemen Unicameral Dan Bicameral ”
Http://Www.Lutfichakim.Com/2018 /04/ Parlemen-Unicameral-Dan-
Bicameral.Html, Diakses Pada Tanggal 07 November 2021 Pukul 15:57
WITA
60
Septi,” Pembentukan Perundang-Undangan Di Indonesia”
http://repository.uinbanten.ac.id/2011/8/BAB%20II % 20septi.pdf, ,
Diakses Pada Tanggal 07 November 2021 Pukul 15:59 WITA

121
Indonesia adalah Negara republik yang berbentuk
kesatuan dengan sistem parlemen dua kamar yang terdiri
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang melakukan kekuasaan di
bidang legislatif. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan
umum, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Anggota DPR
berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang, terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum. Sedang
anggota DPD terdiri dari wakil daerah provinsi yang
berasal dari perorangan yang dipilih melalui pemilihan
umum dengan jumlah yang sama untuk setiap provinsi,
yaitu paling banyak 4 (empat) orang setiap provinsi,
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun. Jumlah keseluruhan
anggota DPD tidak lebih 1/3 (seertiga) dari jumlah
anggota DPR. 61
Tata cara mempersiapkan rancangan undang-
undang dari pemerintah yang dilaksanakan selama ini,
atau lebih tepat sampai bulan oktober 1988 berpedoman
pada Intruksi Presiden No 15 Th. 1970 tentang tata cara
mempersiapkan rancangan undang-undang atas usul
DPR, dan pembahasan kedua rancangan undang-undang
tersebut diatur dengan peraturan tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dengan
ditetapkannya Keputusan Presiden No 188 Tahun 1998
tentang tata cara mempersiapkan rancangan undang-

61
Republik Indonesia, perubahan ketiga undang-undang dasar negara
republik indonesia tahun 1945.

122
undang yang di tetapkan pada tanggal 28 Oktober 1998,
maka proses pembentukan undang-undang
dilaksanakan dengan berpedoman pada Keputusan
Presiden tersebut. Sedangkan tata cara mempersiapkan
rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan proses pembahasan dari kedua
rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat
dilaksanakan berdasarkan keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia No 03A/DPR RI/I/2001-2002
tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.62
Tahap-tahap pembentukan peraturan perundang-
undangan pada umumnya dilakukan sebagai berikut:63
1. Perencanaan penyusunan Undang-Undang
Proses pembentukan undang-undang
menurut Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 Undang-
Undang No.10/2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan 64 dilaksanakan
sesuai dengan Program Legislasi Nasional, yang
merupakan perencanaan penyusunan
UndangUndang yang disusun secara terpadu
antara Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah Republik Indonesia.

62
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan (2) (Proses dan teknik
penyusunan), Jakarta: Kanisus 2006 hal. 11
63
Op. Chit, Septi,” Pembentukan Perundang-Undangan Di Indonesia”
hal. 1
64
Undang-Undang No.10/2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan

123
Kordinasi penybidang legislasi usunan program
legislasi nasional (selanjutnya di sebut prolegnas)
antara dewan perwakilan rakyat dan pemerintah
tersebut di lakukan melalui alat kelengkapan
Dewn perwakilan rakyat yang khusus
menangani bidang legislasi Penyusunan
prolegnas di lingkingan Dewan perwakilan
Rakyat di kordinasikan oleh alat kelengkapan
Dewan perwkilan rakyat yang khusus
menangani bidang legislasi sedang di
lingkungan pemerintah di kordinasikan oleh
Mentri yang tugas dan tanggung jawabnya
meliputi bidang peraturan perundang-
undangan. Tata cara penyususunan dan
pengeloaan prolegnas tersebut dalam
pelaksanaannya di atur lebih lanjut dengan
peraturan presiden No 61 Th 2005 tentang tata
cara penyusunan dan pengelolaan program
legislasi Nasional yang di tetapkan pada tanggal
13 oktober 2005.

2. Persiapan Pembentukan Undang-undang


Rancangan undang-undang dapat berasal
dari (anggota ) Dewan perwakilan Rakyat,
president maupun dari Dewan perwakilan
daerah yang di sususn berdasarkan prolegnas
dalam hal-hal tertentu Dewan perwakilan rakyat
atau president dapat mengajukan rancangan

124
undangundang di luar prolegnas Rancangan
undang-undang yang berasal dari dewan
perwakilan daerah adalah rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan antara pusat dan daerah
pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
ekonomi lainya, serta yang berkaitan dengan
penimbangan keuangan pusat dan daerah ( Pasal
22D AYAT (2) UUD 1945,dan Pasal 17 ayat (2)
Unadang-undang no 10 Th.2004).

3. Pengajuan Rancangan Undang-Undang


Pengajuan Rancangan Undang-undang yang
berasal dari presiden, Dewan perwakilan Rakyat,
dan Dewan perwakilan daerah diatur dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan
yang menetapkan bahwa:
Pasal 18;
a. Rancangan undang-undang yang di ajukan
oleh presiden di siapkan oleh menteri atau
pimpinan Lembaga pemerintah non
Departemen sesuai dengan lingkup tugas dan
tanggung jawabya
b. Pemgharmonisan, pembulatan dan
pemantapan konsepsi rancangan undang-
undang yang berasal dari presiden di
kordinasikan oleh menteri yang tugass dan

125
tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan
c. Tata cara mempersiapkan rancangan undang-
undang dari presiden selanjutnya diatur
dengan peraturan presiden
Pasal 19 :
a. Rancangan undang-undang yang berasal dari
Dewan perwakilan rakyat di usulkan oleh
Dewan perwakilan Rakyat.
b. Rancangan undang-undang yang berasal dari
dewan perwakilan daearah dapat di ajukan
oleh Dewan perwakilan rakyat.
c. Tata cara pengajuan rancangan undang-
undang yang berasal dari Dewan perwakilan
rakyat dan Dewan perwakilan daerah tersebut
diatur lebih lanjut dengan peraturan tata tertib
Dewan perwakilan rakyat 4 Setelah
rancangan undang-undang yang diajukan
oleh president selesai di sisipkan maka sesuai
dengan Pasal 20 undangundang NO 10 Th.
2004 tentang pembentukan peraturan-
peraturan perundang-undangan rancangan
undang-undang tersebut akan di ajukan ke
dewan perwakilan rakyat dengan surat
presiden (dahulu amanat presiden).

126
Pembentukan Undang-Undang Di Peranacis

Menurut Constitution of France Republic (1958)


dilakukan oleh parlemen dua kamar yang terdiri dari
National Assembly dan Senate bersama Pemerintah
dengan ketentuan sebagai berikut:65
a. RUU bisa diajukan baik oleh Perdana Menteri
maupun anggota Parlemen.
b. RUU inisiatif Pemerintah diajukan kepada salah
satu kamar parlemen, khusus RUU tentang
keuangan dan jaminan sosial harus diajukan
kepada National Assembly dan RUU tentang
organisasi wilayah dan tentang lembaga yang
mewakili bangsa Perancis di luar negeri harus
diajukan kepada Senate.
c. Pembahasan RUU usulan Pemerintah dilakukan
pada salah satu kamar, kemudian hasilnya
disampaikan kepada kamar lainnya untuk
dipertimbangkan.
d. Pembahasan RUU dilakukan di komisi tetap,
kecuali jika Pemerintah atau kamar yang sedang
membahas meminta dilakukan di kamar khusus.
e. Anggota parlemen dan Pemerintah mempunyai
hak untuk melakukan perubahan pada RUU
yang sedang dibahas. Namun usulan perubahan
RUU oleh Parlemen tidak boleh menyebabkan

65
Constitution Of France Republic
(Http://Www.Oefre.Unibe.Ch/Law/Icl/) Article 40, Diakses Pada
Tanggal 03 November 2021 Pukul 17:21 WITA

127
pengurangan sumber pendapatan pemerintah
atau peningkatan pengeluaran pemerintah.
f. Jika terjadi perbedaan pendapat antara
Pemerintah, National Assembly, dan Senate
selama proses pembahasan RUU, maka atas
permintaan salah satu pihak, Constitutional
Council akan menetapkan dalam waktu 8 hari.
g. Setiap RUU dibahas di kedua kamar untuk
mendapatkan persetujuan bersama, tetapi jika
masih terdapat perbedaan setelah 2 (dua) kali
pembahasan atau pemerintah menyatakan
keadaan mendesak setelah 1 (satu) kali
pembahasan pada tiap kamar maka Perdana
Menteri dapat membentuk Joint Committee
dengan jumlah anggota yang seimbang. Namun
jika Joint Committee tidak dapat mencapai
persetujuan maka keputusan terakhir ada pada
National Assembly.
h. Khusus dalam pembahasan RUU organik
(institutional), jika terdapat perbedaan pendapat
antar kedua kamar, maka persetujuan ada di
tangan National Assembly berdasarkan suara
terbanyak, namun jika RUU tersebut
berhubungan dengan Senate maka harus
disetujui dengan waktu yang sama oleh kedua
kamar. Selanjutnya RUU itu baru diundangkan
setelah ada pernyataan tidak bertentangan
dengan konstitusi dari Constitutional Council.

128
i. Khusus dalam pembahasan RUU tentang
Keuangan, jika National Assembly pada
pembahasan pertama dalam waktu 40 (empat
puluh) hari tidak dapat mencapai persetujuan,
maka Pemerintah menyerahkannya kepada
Senate dan Senate harus mengesahkannya dalam
waktu 15 (lima belas) hari. Jika Senate tidak juga
memberikan persetujuan maka berlaku
ketentuan pembahasan RUU secara umum. Jika
dalam waktu 75 hari Parlemen tidak juga
memberikan persetujuan, maka Pemerintah akan
mengaturnya dalam Ordinance (Peraturan
Pemerintah).
j. Khusus dalam pembahasan RUU tentang
Jaminan Sosial, jika National Assembly pada
pembahasan pertama dalam waktu 20 (dua
puluh) hari tidak dapat mencapai persetujuan,
maka Pemerintah menyerahkannya kepada
Senate dan Senate harus mengesahkannya dalam
waktu 15 (lima belas) hari.

Berdasarkan beberapa ketentuan di atas,


maka proses checks and balances dalam
pembentukan undang-undang menurut Konstitusi
Republik Perancis dilakukan dalam bentuk sebagai
berikut:

129
1. Pemberian kewenangan yang berimbang
antara Pemerintah dan Anggota Parlemen
untuk dapat mengajukan usul RUU.
2. Pemberian kewenangan yang berimbang
antara National Assembly dan Senate untuk
menerima usul RUU dari pemerintah, kecuali
RUU usul Pemerintah tentang Keuangan dan
Jaminan Sosial harus diajukan pertama kali
kepada National Assembly dan RUU tentang
organisasi wilayah dan tentang lembaga yang
mewakili bangsa Perancis di luar negeri harus
diajukan pertama kali ke Senate.
3. Pemberian kewenangan yang sama kepada
National Assembly dan Senate untuk
membahas RUU dari pemerintah yang
diajukan kepadanya.
4. Sebagai perimbangan dan kontrol, diberikan
pula kewenangan yang sama kepada kedua
kamar, yaitu National Assembly dan Senate,
untuk memberikan pertimbangan terhadap
RUU yang telah disetujui oleh salah satu
kamar. Sebagai perimbangan dan kontrol,
diberikan pula kewenangan yang sama kepada
Anggota Parlemen dan Pemerintah untuk
mengajukan usul perubahan terhadap RUU.
5. Sebagai kontrol, usulan perubahan RUU oleh
Parlemen tidak boleh menyebabkan

130
pengurangan sumber pendapatan pemerintah
atau peningkatan pengeluaran pemerintah.
6. Sebagai wujud perimbangan hak, jika terjadi
perbedaan pendapat antara Pemerintah,
National Assembly, dan Senate selama proses
pembahasan RUU, maka penyelesaiannya bisa
diserahkan kepada Constitutional Council
(Komisi Konstitusi), namun jika perbedaan
pendapat hanya terjadi antara National
Assembly dan Senate akan diselesaikan oleh
Joint Committee yang dibentuk oleh Perdana
Menteri, dan jika Joint Committee tetap tidak
dapat mencapai persetujuan maka
kewenangan lebih diberikan kepada National
Assembly untuk mengambil keputusan.
7. Kontrol terhadap RUU tertentu yang berkaitan
dengan kelembagaan negara (undang-undang
organik) dilakukan dengan perlunya ada
pernyataan bahwa RUU itu tidak bertentangan
dengan konstitusi oleh Constitutional Council
sebelum diundangkan jika terjadi perbedaan
pendapat antara National Assembly dan
Senate.
8. Kontrol terhadap pembentukan RUU tentang
Keuangan dilakukan dengan memberikan
batas waktu dalam pembahasan kepada kedua
kamar parlemen, dan jika dalam batas waktu
yang telah ditentukan parlemen tidak dapat

131
mencapai persetujuan maka sebagai
perimbangannya Pemerintah akan
mengaturnya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah.

3. Pembentukan Perundang-Undangan Di Algeria

Pembentukan undang-undang di Algeria menurut


Konstitusi Republik Rakyat Demokratik Algeria
(Conatitution of the People’s Democratic Republic of
Algeria) dilakukan oleh parlemen dua kamar yang
terdiri dari Majelis Rakyat Nasional (People’s National
Assembly) dan Dewan Nasional (Council of Nation)
beserta dengan Pemerintah, dengan ketentuan sebagai
berikut:66
a. Pengusulan RUU dilakukan oleh Kepala
Pemerintahan (Head of Government) atau 20
orang Anggota Majelis Rakyat Nasional (deputies).
b. RUU usul Pemerintah diserahkan oleh Kepala
Pemerintahan (Head Government) kepada
Majelis Rakyat Nasional (People’s National
Assembly).

66
Constitution Of The People’s Democratic Republic Of Algeria. Article
119 (1,2). Diakses Pada Tanggal 03 November 2021 Pukul 17:21 WITA

132
c. RUU harus dibahas oleh Majelis Rakyat Nasional
(People’s National Assembly) dan Dewan
Nasional (Council of Nation).
d. Majelis Rakyat Nasional (People’s National
Assembly) hanya membahas RUU yang diajukan
kepadanya.
e. Dewan Nasional (Council of Nation)
merundingkan usulan RUU yang diajukan oleh
Majelis Rakyat Nasional (People’s National
Assembly), dan persetujuan diberikan jika ¾
anggotanya menyetujui.
f. Jika terjadi ketidaksetujuan antara kedua kamar,
yaitu antara Majelis Rakyat Nasional (People’s
National Assembly) dan Dewan Nasional
(Council of Nation), maka dibentuk komisi
dengan jumlah anggota yang sama banyak dari
tiap kamar, yang atas permintaan Kepala
Pemerintahan (Head of Government) komisi
tersebut bertemu untuk membahas RUU
dimaksud.
g. Apabila RUU disetujui dan sudah diajukan
kepada Kepala Pemerintahan (Head
Government), maka terhadap RUU tersebut tidak
dapat diadakan perubahan kecuali atas
persetujuan Pemerintah.
h. Apabila RUU tidak disetujui, maka RUU tersebut
tidak dibahas lagi.

133
i. Khusus untuk RUU tentang Keuangan, Parlemen
harus memberikan persetujuan dalam batas
waktu maksimal 75 hari, dan jika terlewati maka
Pemerintah akan mengundangkannya dengan
Peraturan Pemerintah (ordinance).

Dari berbagai ketentuan di atas maka proses checks


and balances dalam pembentukan undang-undang
menurut Konstitusi Republik Rakyat Demokratik
Algeria dilakukan dalam bentuk sebagai berikut:67
a. Pemberian hak yang sama dan berimbang dalam
pengusulan RUU antara Pemerintah dan Majelis
Rakyat Nasional (People’s National Assembly)
sebagai kamar pertama parlemen. Namun tidak
demikian halnya dengan Dewan Nasional
(Council of Nation) yang tidak mempunyai
kewenangan mengusulkan RUU.
b. Kedua kamar parlemen, yaitu Majelis Rakyat
Nasional (People’s National Assembly) sebagai
kamar pertama dan Dewan Nasional (Council of
Nation) sebagai kamar kedua, mempunyai
kewenangan yang sama dan berimbang dalam hal
memberikan persetujuan terhadap RUU. Berbeda
dengan Pemerintah yang tidak mempunyai
kewenangan untuk ikut membahas RUU bersama
dengan parlemen.

67
Ibid.

134
c. Dewan Nasional (Council of Nation) sebagai
kamar kedua tampaknya lebih berfungsi sebagai
pengontrol terhadap RUU yang diajukan dan
telah disetujui baik oleh Majelis Rakyat Nasional
(People’s National Assembly) maupun
Pemerintah, sebab tidak ada RUU yang bisa
disahkan menjadi undang-undang tanpa
persetujuan Dewan Nasional (Council National).
d. Baik Pemerintah, Majelis Rakyat Nasional
(People’s Nation Assembly), maupun Dewan
Nasional (Council of Nation) sama-sama tidak
mempunyai hak veto dalam proses pembentukan
undang-undang. Jika terjadi kemacetan
(deadlock) dalam pencapaian persetujuan antara
Majelis Rakyat Nasional (People’s Nation
Assembly) dan Dewan Nasional (Council of
Nation) maka sebagai kontrol Pemerintah
mengusulkan dibentuk Komisi Bersama (Joint
Commitee) antara kedua kamar tersebut dengan
jumlah anggota yang sama untuk melakukan
pembahasan bersama guna memadukan
pendapat sehingga bisa diperoleh persetujuan
bersama. Jika RUU tidak mendapatkan
persetujuan parlemen, maka RUU itu tidak akan
dibahas lagi.
e. Meskipun Pemerintah tidak mempunyai
kewenangan untuk ikut bersama-sama parlemen
membahas RUU dan juga tidak mempunyai hak

135
veto, namun suatu RUU yang sudah mendapat
persetujuan bersama dari dua kamar parlemen,
hanya bisa dilakukan perubahan atas persetujuan
Pemerintah.
f. Khusus untuk RUU tentang Keuangan (APBN)
jika kedua kamar Parlemen tidak dapat
memberikan persetujuannya dalam jangka waktu
tertentu, yaitu paling lambat 75 hari, maka
Pemerintah akan mengundangkan dan
memberlakukan RUU tentang keuangan tersebut
dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Di sini
Pemerintah mempunyai kewenangan yang lebih
untuk menghindari kemacetan penyelenggaraan
pemerintahan karena belum disetujuinya RUU
tentang keuangan yang memang sangat vital
untuk mendukung pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari.

A. PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG DI
BEBERAPA NEGARA DENGAN SISTEM
STRONG BICAMERALISM
Ada 5 (Lima) negara yang dibahas dalam
pembentukan undang-undang dibeberapa negara
dengan sistem Strong Bicameralism yaitu amerika
serikat (Presidensial-Federal), kolombia
(Presidensial-Kesatuan), australia (Parlementer-
Federal), jerman (Parlementer-Federal), dan kongo
(Semi Presidensial-Kesatuan). Sama dengan

136
pembahasan sebelumnya, pembahasan
bersumberkan aturan-aturan formal yang terdapat
dalam konstitusi masing-masing negara dengan
parameter yang digunakan sebagai tolok ukur
pembandingan adalah tahapan-tahapan yang
meliputi (1) mengajukan usul RUU; (2) membahas
RUU; (3) mengusulkan perubahan RUU; (4)
memberikan persetujuan; (5) mengambil keputusan;
(6) mengajukan keberatan, dan (7) mengesahkan dan
mengundangkan.

1. Pembentukan Undang-undang di Amerika


Serikat
Amerika serikat adalah negara federal yang
seluruh kekuasaan legislatif terdapat pada
“Congress of united State” dengan sistem
parlemen dua kamar yaitu House of
Representatives dan Senate.
“All legislative Powers herein granted shall be
vested in a Congress of the United
States, which shall consist of a Senate and House of
Representatives.”
Kekuasaan legislative di Amerika berada
ditangan Parlemen (Congress) yang terdiri dari
Senat dan The House of Representatives (House).
Kekuatan suara dari seorang senator dan seorang
anggota House adalah sama besar. Di Parlemen
Amerika tidak dikenal fungsi Upper House dan

137
Lower House, kedua lembaga ini di Amerika
mempunyai kekuatan sama besar. Fungsi utama
parlemen di Amerika adalah membentuk undang-
undang.
Sebuah rancangan undang-undang dapat
berasal dari anggota dewan dan dapat juga
berasal dari pemerintah yang dikenal dengan
“The Executive Communication” yaitu surat
permohonan yang dilampiri dengan draft
rancangan undang-undang yang dijaukan kepada
juru bicara House dan Ketua Senat
Sebuah rancangan undang-undang dapat
menjadi sebuah undang-undang hanya jika:
1. Presiden menyetujui.
2. Presiden tidak menyetujui yang kemudian
dikembalikan kepada Parlemen dalam
jangka waktu 10 hari setelah diterima
(kecuali jika jatuh di hari minggu pada hari
kesepuluh maka diundur sehari), ini disebut
sebagai veto.
3. Apabila 2/3 anggota Parlemen tetap
menyetui rancangan tersebut menjadi
undang-undang walau telah di veto oleh
Presiden.
4. Jika Presiden tetap tidak mau
menandatangani rancangan undang-
undang tersebut maka rancangan undang-
undang tersebut tidak dapat menjadi

138
undang-undang, ini dikenal sebagai pocket
veto.

Proses Pembahasan Sebuah Rancangan


Undang-Undang Panitia rancangan undang-
undang tersebut akan mencari masukan-masukan
dari beberapa pihak diantaranya departemen-
departemen pemerintah terkait, atau lembaga-
lembaga Negara. Dan jika sebuah rancangan
undang-undang dianggap penting maka dapat
diagendakan sebuah public hearing yang
diumumkan di media massa minimal seminggu
sebelum pelaksanaanya dan juga diundang secara
khusus untuk hadir orang-orang atau kelompok-
kelompok tertentu. Mekanisme ini disebut first
reading
Proses Pembahasan Sebuah Rancangan
Undang-Undang Panitia rancangan undang-
undang akan mencari masukan-masukan dari
beberapa pihak diantaranya dari departemen-
departemen pemerintahan atau lembaga-lembaga
Negara. Sebuah rancangan undang-undang yang
krusial dapat diagendakan dalam forum public
hearing yang diumumkan di media massa
minimal seminggu sebelum pelaksanaanya dan
juga dapat diundang secara khusus pihak-pihak
tertentu di masyarakat yang berkepentingan
langsung terhadap permasalahan yang diatur

139
dalam rancangan undang-undang tersebut.
Panitia rancangan undang-undang wajib untuk
membuat laporan tertulis yangberisi isu
permasalahan yang hendak diatur, tujuan
pengaturan dan ruang lingkup pengaturan.
Dalam laporan ini setidaknya memuat hal-hal:
1. Pandangan dari panitia rancangan undang-
undang ini mengenai masalah yang akan
diatur ini beserta rekomendasi berdasarkan
fakta-fakta yang ditemukan oleh panitia ini.
2. Perubahan anggaran jika akan
mempengaruhi anggaran belanja negara
yang sedang berjalan.
3. Gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan
dan tujuan pengaturan tersebut secara umum
termasuk mengenai impact yang ingin
dihasilkan.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Setelah pertemuan pertama first reading diteruskan
dalam pembahasan second reading untuk
membahas pasal-perpasal, setelah pasal-perpasal
tersebut dibacakan kemudian dapat diajukan
perubahan terhadap rumusan pasal tersebut.
Dalam proses ini jika anggota House masih belum
terdapat persetujuan dapat dibentuk ”Committee
Rises”untuk untuk membahas ulang rancangan
undang-undang tersebut, jika rumusan yang ada
telah disetujui maka akan dibahas lebih lanjut

140
dalam third reading. Lalu naskah rancangan
undang-undang tersebut dicetak untuk dibagikan
kepada pihak House dan Senat. Setelah dokumen
second reading diterima senat maka secara
individu atau kelompok senat akan memberikan
pandangannya. Setelah proses pembahasan di
senat selesai dokumen tersebut dikembalikan
(disertai dengan perubahan jika ada) kepada pihak
House melalui juru bicara House. Jika usulan
perubahan dari senat tidak terlalu berbeda dengan
House maka biasanya usulan tersebut dapat
langsung diterima dan usulan rancangan undang-
undang ini dapat langsung dipresentasikan kepada
Presiden Amerika, namun jika usulan
perubahanannya banyak perbedaan maka akan ada
pembahasan ulang di House atas rancangan
tersebut. Jika pihak House masih belum bisa
menerima usulan perubahan dari Senat maka
rancangan undang-undng tersebut kemudian
dibahas oleh kedua kamar dalam satu sidang
bersama. Dari forum ini kemudian dibuat laporan
sidangnya.
Rancangan Undang-undang yang berasal
dari Senat Jika sebuah rancangan undang-undang
berasal dari House, maka usulan rancangan
undang-undang tersebut kemudian akan
dikirimkan kepada House untuk dibahas, jika
disetuji maka diteruskan kepada tahap berikutnya,

141
namun jika masih belum dapat diterima maka akan
dikembalikan lagi kepada Senat.
The Government Action
Setelah sebuah naskah rancangan undang-
undang telah disepakati oleh keduakamar maka
draft tersebut dikirimkan kepada Presiden Amerika
untuk mendapat persetujuan. Rancangan undang-
undang tersebut dikirimkan oleh pihak yang
kepada sekretaris White House yang kemudian
akan memberikan tandaterima hal ini sudah cukup
dan dianggap bahwa naskah rancangan undang-
undang tersebut telah dipresentasikan di depan
Presiden Amerikan. Copy naskah ini kemudian
akan dikirimkan kepada departemen-departemen
pemerintahan yang terkait untuk dimintai
pertimbangannya. Presiden menyetujui dan
menandatangi maka akan menjadi undang-
undang, namun jika Presiden memveto maka
dikembalikan kepada pihak pengusul disertai
dengan alasan-alasan penolakannya agar
rancangan tersebut dibahas ulang lagi, namun jika
2/3 anggota parlemen menolak veto tersebut,
rancangan undang-undang ini akan menjadi
undang-undang. Rancangan undang-undang yang
telah menjadiundang undang akan diundangkan
dalam ”The State at Large” semacam lembaran
negara untuk diberi nomor undang-undangnya

142
dan akan berlaku efektif setelah diumumkan dalam
State at Large tersebut68

2. Pembentukan Undang-Undang Di Republik


kolombia
Pembentukan undang-undang di Kolombia menurut
Constitution of Colombia (1991), dilakukan oleh
Congress yang terdiri dari dua kamar, yaitu
Chamber of Representatives dan Senate, bersama
Pemerintah dengan proses sebagai berikut:
1. RUU dapat diusulkan oleh Chamber of
Representatives, Senate, Pemerintah, serta oleh
rakyat dan lembaga negara tertentu, seperti
Mahkamah Konstitusi (the Constitutional Court),
Dewan Pengadilan Tinggi (the Superior Council
of the Judicature), Mahkamah Agung (the
Supreme Court of Justice), Dewan Nasional (the
Council of State), Dewan Pemilihan Nasional (the
National Electoral Council), Kejaksaan Umum
Nasional (the National Attorney General),
Pengawas Umum Keuangan Republik (the
Comptroller General of the Republic).
2. RUU yang berkaitan dengan perpajakan
diusulkan oleh Chamber of Representatives,
sedang RUU yang berkaitan dengan hubungan

68
Anonim, “senate”,
http://www.senate.gov/reference/resources/pdf/howourlawsaremade.pdf
, Diakses pada tanggal 3 November 2021 puku 14:03 WITA

143
luar negeri diusulkan oleh Senate, sedang RUU
tentang anggaran negara diusulkan oleh
Pemerintah.
3. Pemerintah hanya dapat memasukkan
perubahan terhadap RUU tertentu. Chamber of
Representatives dan Senate dapat memasukkan
perubahan terhadap RUU yang diajukan
Pemerintah.
4. RUU tidak akan menjadi hukum tanpa
memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1)
diterbitkan resmi oleh Kongres sebelum dikirim
kepada komite yang bersangkutan; (2) disetujui
pada pembahasan pertama dalam komite tetap
sesuai ruang masing- masing, dan Kongres akan
menentukan kasus-kasus di mana pembahasan
pertama akan digelar dalam sesi bersama komite
permanen dari kedua kamar; (3) disetujui pada
setiap ruang pada pembahasan kedua; (4)
mengamankan persetujuan pemerintah.
5. RUU yang diusulkan dapat ditolak jika tidak
memuat isu atau perubahan tertentu dan tidak
ada relevansinya, namun RUU tersebut dapat
dipertimbangkan kembali untuk dibahas.
6. Jangka waktu pembahasan pada setiap kamar,
yaitu antara pembahasan pertama dan kedua
tidak boleh kurang dari 8 (delapan) hari, dan
jangka waktu persetujuan RUU pada setiap
kamar minimal 15 (lima belas) hari.

144
7. Jika terjadi perbedaan antara Chamber of
Representatives dan Senate, maka masing-
masing membentuk Joint Committee yang
bertugas membuat rancangan yang akan
diusulkan pada masing-masing kamar, tetapi jika
terjadi lagi perbedaan pendapat maka RUU itu
tidak diterima.
8. RUU yang sudah pernah dibahas tetapi tidak
dapat diselesaikan dalam satu masa persidangan
akan diajukan pada masa persidangan
berikutnya, tetapi tidak boleh melebihi dua masa
persidangan.
9. RUU yang sudah disetujui oleh kedua kamar
dikirimkan kepada Pemerintah untuk
mendapatkan persetujuan, tetapi jika Pemerintah
menolak maka RUU itu dikembalikan pada
kamar yang mengusulkannya.
10. Pemerintah memiliki tenggat waktu 6 (enam)
hari untuk mengembalikan disertai keberatan
bagi setiap RUU yang tidak lebih dari 20 pasal,
tenggat waktu 10 (sepuluh) hari untuk RUU yang
berisi 21-50 pasal, dan sampai dengan 20 (dua
puluh) hari untuk RUU yang lebih dari 50 pasal.
Jika setelah mencapai batas waktu tersebut
Pemerintah belum mengembalikan disertai
keberatan, maka Presiden harus menyetujuinya
dan menyebarluaskan RUU. Jika Chamber of
Representatives dan Senate sedang reses dalam

145
tenggat waktu tersebut, Presiden wajib untuk
mengumumkan apakah RUU tersebut disetujui
atau ditolak dalam tenggat waktu yang
disebutkan di atas.
11. RUU yang dikembalikan disertai keberatan dari
Pemerintah tersebut akan dibahas kembali oleh
masing-masing kamar, jika 1⁄2 + 1 anggota dari
masing-masing kamar menyetujuinya maka
Presiden harus menyetujui pula. Tetapi hal ini
tidak terjadi jika RUU tersebut harus diperbaiki
karena menurut Presiden dianggap
inkonstitusional dan telah diputuskan
inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi.
12. Jika Presiden tidak melakukan tugasnya untuk
mengundangkan RUU yang seharusnya
diundangkan, maka President of Congress yang
akan mengundangkannya.
13. RUU tentang anggaran penerimaan dan
pengeluaran yang diajukan Pemerintah kepada
Chamber of Representatives dibahas oleh Komisi
Ekonomi dari kedua kamar, dan jika Congress
tidak menyetujuinya maka Pemerintah
menggunakan anggaran tahun sebelumnya.

Dengan demikian maka proses checks and


balances antara Chamber of Representatives,
Senate, dan Presiden dalam pembentukan undang-

146
undang menurut Konstitusi Republik Kolombia
dilakukan dalam bentuk:
a. Pemberian kewenangan yang berimbang antara
Chamber of Representatives, Senate, dan
Presiden untuk mengajukan usul RUU.
Pemberian kewenangan khusus dalam
mengajukan RUU juga diberikan secara
berimbang, yaitu hak pengajuan RUU tentang
perpajakan hanya dimiliki oleh Chamber of
Representatives, hak pengajuan RUU tentang
hubungan luar negeri hanya dimiliki oleh
Senate, dan hak pengajuan RUU tentang
anggaran negara hanya dimiliki oleh Presiden.
b. Pemberian kewenangan yang berimbang antara
Chamber of Representatives, Senate, dan
Presiden untuk mengajukan usul perubahan
terhadap RUU yang diusulkan pihak lain.
c. Sebagai kontrol, setiap RUU bisa menjadi UU
jika telah disetujui oleh kedua kamar, yaitu
Chamber of Representatives dan Senate, dan
jika terdapat perbedaan antara keduanya maka
dibentuk Joint Committee untuk membahas dan
mencari jalan keluarnya.
d. Meskipun Presiden tidak mempunyai
kewenangan untuk ikut membahas RUU,
sebagai kontrol Presiden dapat mengajukan
keberatan terhadap RUU yang telah disetujui
oleh kedua kamar, namun sebagai

147
perimbangannya keberatan Presiden itu bisa
ditolak balik oleh Congress dengan persetujuan
1⁄2 + 1 suara dari masing- masing kamar, kecuali
jika keberatan Presiden itu dengan alasan
bahwa RUU itu inkonstitusional dan juga telah
diputuskan inkonstitusional oleh Mahkamah
Konstitusi.
e. Presiden wajib mengundangkan atau
mengumumkan RUU yang telah disetujui
menjadi UU, jika Presiden tidak
mengundangkannya maka pengundangan atau
pengumuman dilakukan oleh President of
Congress.

3. Pembentukan Undang-Undang Di Australia


Australia terdiri atas dua kamar atau dalam ilmu
hukum dan pemerintahan dikenal dengan istilah
bicameral. Yang pertama adalah House of
Representative, disebut juga Lower House dan yang
kedua adalah Senate atau disebut juga Upper House.
Anggota senate disebut senator, sedangkan anggota
House of Representative disebut Member of
Parliament (MP). Sistem bikameral juga diterapkan
di setiap DPRD Negara Bagian Australia atau States
Parliament, kecuali di DPRD Queensland yang
hanya mengadopsi satu kamar. Dari hasil penjelasan
yang disampaikan pihak Setjen Parliament House,
tidak terdapat perbedaan yang jauh antara proses

148
pembuatan undang-undang di Australia dengan di
Indonesia. Proses pertama diawali dengan
penyerahan rancangan undang-undang (RUU) atau
bill kepada Upper atau Lower House oleh
pemerintah atau anggota DPR sendiri. Di Australia,
personal anggota dewan juga dapat mengajukan
RUU yang disebut dengan Private Member’s Bills.
Selanjutnya dilakukan first reading atau pembahasan
pertama. Pada tahap ini naskah RUU hanya dilihat
secara umum saja seperti judul, RUU baru atau
amandemen dari UU sebelumnya, serta jumlah pasal
yang direncanakan.
Tahapan berikutnya adalah second reading atau
pembahasan kedua. Di sini, pihak yang mengajukan
RUU, baik pemerintah maupun personal anggota
dewan, menjelaskan dengan rinci apa yang menjadi
tujuan, prinsip-prinsip umum, serta efek dari RUU
tersebut. Pada tahap ini setiap anggota dewan dapat
memberikan pandangan (debat) lebih detail tentang
prospek RUU ke depan seperti kebutuhan anggaran,
efektivitas serta alasan kenapa harus diterima atau
ditolak. Perdebatan ini dapat berlangsung berhari-
hari. Tapi biasanya ada lobi-lobi politik antara pihak
pemerintah dengan pihak oposisi.
Selanjutnya, para anggota dewan akan
melakukan voting apakah setuju dengan RUU
tersebut atau tidak. Jika setuju, maka RUU ini akan
dibahas dalam tahapan berikutnya, yaitu third

149
reading atau pembahasan ketiga. Jika tidak disetujui,
maka prosesnya berhenti sampai di sini. Dalam
tahapan ketiga ini pembahasan lebih ditekankan
pada pasal-pasal yang ada dalam RUU, seperti
sejauh mana pasal-pasal itu diperlukan. Bisa saja ada
penambahan atau pengurangan pasal pada tahap ini.
Jika sudah disetujui, maka RUU tersebut akan
diserahkan ke kamar yang lain. Kalau misalnya
pembahasan pertama dilakukan di Upper House,
maka tahap berikutnya diserahkan ke Lower House
untuk diminta pertimbangan dan sebaliknya.
Di kamar yang lain (Upper atau Lower House),
proses pembahasan juga sama seperti di kamar yang
pertama, yaitu melalui first, second, dan third
reading. Jika ada catatan yang diberikan, RUU
tersebut harus dikembalikan lagi kepada kamar
sebelumnya untuk ditelaah lebih lanjut. Jika Upper
House, misalnya, tak setuju, maka catatan tadi dapat
dikembalikan lagi untuk diminta pertimbangan
ulang. Setelah RUU selesai dibahas di kedua kamar,
selanjutnya disampaikan kepada Gubernur Jenderal
selaku perwakilan Ratu Elizabeth II di Australia
untuk mendapat persetujuan dan tanda tangan atau
disebut dengan istilah Assent. Setelah
ditandatangani, maka RUU (bill) tadi resmi menjadi
undang-undang (act atau statue) dan dinyatakan
berlaku semenjak ditandatangani, kecuali ada
catatan dari Gubernur Jenderal bahwa undang-

150
undang ini berlaku pada waktu dan tanggal
tertentu.69

4. Pembentukan Undang-Undang Di Jerman


Ada tiga pihak yang akan terlibat dalam
pembentukan undang-undang di Jerman yaitu The
Federal Government, Bundestag, dan Bundesrat.
Pihak Federal Governmentyang paling sering untuk
mengajukan inisiatif pembentukan undang-undang
dan sekitar dua pertiga undang-undang di Jerman
merupakan inisiatif dari Federal Government.
Federal Government pihak Bundesrat juga dapat
berinisiatif dalam mengajukan undang-undang.
Sebuah undang-undang haruslah mendapat
persetujuan dari Bundesrat sebagai perwakilan dari
16 negara bagian di Jerman berdasarkan Pasal 50
Grundgesetz Jika sebuah undang-undang
merupakan insiatif dari Bundestag maka setidaknya
harus mendapat dukungan dari lima persen
aggotanya yaitu 5 persen dari 614 anggota, jadi
setidaknya didukung oleh 31 orang anggota Inisiatif
pembentukan undang-undang di Jerman yang
berasal dari Bundesratharuslah terlebih dahulu
disampaikan kepada pihak Pemerintah Pusat Jerman

69
https://aceh.tribunnews.com/2014/11/11/cara-parlemen-australia-
membuat-undang-undang, Diakses pada tanggal 3 November 2021
pukul 15:27 WITA

151
untuk diteruskan kepada pihak Bundestag, jika
inisiatif berasal dari pihak Pemerintah Pusat Jerman
maka akan diajukan terlebih dahulu ke Bundesrat
untuk dikaji terlebih dahulu yang dikenal sebagai
First Reading, selain itu pihak pemerintah harus
membuat sebuah dokumen yang berisi mengenai
penjelasan rancangan undang-undang tersebut.
Hasil kajian first reading dan dokumen keterangan
rancangan undang-undang dari pemerintah tersebut
kemudian dikirimkan ke Bundestag70

Alur Legislasi di Bundesrat


Adapun alur legislasi Bundesrat sebgai beriku:71
a) First Reading
Tujuan utama dari first reading adalah untuk
mengumumkan kepada masyarakat luas
sebuah rancangan undang-undang sedang
dibahas di Bundesrat. Pembahasan dalam
sebuah sidang hanya dilakukan bila ada
permintaan dari ketua-ketua kelompok di
Bundesrat atau diminta kelompok di
Bundesrat. Jika masyarakat telah mengetahui
bahwa suatu isu sedang dibahas dalam

70
http://www.bundesrat.de/cln_090/nn_360492/EN/funktionen-
en/gezetgebung-en/gezetgebung-en-node.html_nnn=true, Diakses pada
tanggal 3 November 2021 pukul 16:27 WITA
71
http://www.bundesrat.de/cln_090/nn_360492/EN/funktionen-
en/gezetgebung-en/gezetgebung-en- ,Diakses pada Tanggal 3
November 2021 Pukul 16:28 WITA

152
sebuah rancangan undang-undang maka
mereka kemudian akan menjadi aware atas
isu tersebut dan masyarakat dapat merespon
apa yang terjadi selama proses pembahasan
berlangsung berkenaan dengan kepentingan
mereka melalui media massa. Jadi tujuan
utama forum ini adalah sebagai sebuah
proses transparansi
b) Second Reading
Sebuah naskah rancangan undang-undang
yang telah selesai dibahas dalam forum first
reading akan diteruskan pembahasannya
dalam forum second readingdi Bundesrat.
Ada beberapa kemungkinan dari
pembahasan ini yaitu bahwa pihak Bundesrat
akan menyetujui rancangan undang-undang
tersebut atau menolak dan kemudian akan
membentuk panitia mediasi untuk
membahas lebih lanjut. Jika
Bundesratmenolak sebuah rancangan
undang-undang, sebelumnya mereka harus
membahasnya, jika disetujui akan dikirmkan
ke Bundestag untuk pemrosesan lebih lanjut
Ketua Bundesrat akan meminta committee
rapporteur atau rapporteursuntuk
memberikan laporan tertulis mengenai
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan isu yang akan diatur, ruang lingkup

153
pengaturan, dan tujuan pengaturan.
Pembahasan dimulai dengan membahas
pasal perpasal secara terpisah yang kemudian
diputuskan melalui lewat voting satu orang
satu suara. Selama masa sidang second
reading pembahasan rancangan undang-
undang ini tidak boleh dilakukan perubahan
atasdraft rancangan undang-undang tersebut
Selama dalam masa persidangan ketua
sidang harus memperhatikan apa pendapat
dari anggota-anggotanya yang disampaikan
dalam forum dengar pendapat umum
tersebut karena jika pendapat-pendapat
anggota tersebut tidak diperhatikan maka
mereka akan bersikap berlawanan dengan
kebijakan yang akan dibuat tersebut. Hal
tersebut akan dilihat sebagai sebuah
perpecahan di Parlemen yang akan
menghilangkan kepercayaan masyarakat
terhadap parlemen dalam membuat
kebijakan. Sering terjadi di Parlemen Jerman
jika seorang anggota berbeda pendapat maka
mereka akan menuliskannya dalam sebuah
nota tertulis yang kemudian akan diputuskan
dalam sebuah sidang melalui mekanisme
voting

154
c) Mekanisme Mediasi
Proses mediasi dapat dilakukan apabila ada
permintaan dari Bundesrat, sementara pihak
Bundestag Pemerintah Pusat hanya dapat
meminta mediasi apabila pihak Bundesrat
menolak untuk menyetujui sebuah rancangan
undang-undang. Mediasi berupaya untuk
membuat kesepakatan atas perbedaan
pendapat antara Bundesrat danBundestag.
Anggota panitia mediasi dapat mengajukan
mosi penghentian mediasi jika setelah dua
kali pertemuan belum juga dicapai sebuah
kesepakatan. Panitia legislasi terdiri dari 16
anggota Bundestag yang mewakili kekuatan
kelompok partai-partai di Parlemen dan 16
anggota Bundesrat yang mewakili Negara-
negara bagian di Jerman. Pihak-pihak yang
terlibat dalam proses mediasi ini harus
bersikap imparsial. Ketua panitia mediasi
dipilih bergiliran dari Bundestag dan
Bundesratsetiap tiga bulan sekali. Pertemuan
mediasi confidential segala macam dokumen
yang dihasilkan dalam proses mediasi tidak
boleh dibuka untuk umum, dapat dibuka
setidaknya setelah masa pemilihan
berikutnya. Jika dokumen proses mediasi
terbuka untuk umum dikhawatirkan bahwa
para anggota panitia mendapat tekanan dari

155
berbagai macam pihak untuk mewakili
kepentingan-kepentingan mereka sehingga
dianggap tidak netral. Frekuensi pertemuan
dari panitia ini tidak tentu tergantung dari
besarnya perbedaan pendapat yang ada dan
bagaimana konstelasi kepentingan yang ada,
diharapkan proses mediasi ini dapat
memenuhi kepentingan semua pihak dan
terbentuk naskah rancangan undang-undang
yang dianggap ideal memenuhi kepentingan
para pihak. Ketika proses mediasi telah
selesai, pihak panitia legislasi akan
memberikan proposal yang merupakan
kesepakatan kepada pihak Bundesrat dan
Bundestag.
d) Penandatanganan dan Pengumunan
Rancangan undang-undang yang telah
disepakati oleh kedua kamar di Parlemen
akan dikirimkan kepada pemerintah Jerman
untuk ditandatangani oleh menteri yang
berkaitan dan untuk menguatkan validitas
berlakunya harus ditandatangani oleh
Presiden dan kemudian diumumkan di
dalam Federal Law Gazette dan efektif
berlaku berdasarkan tanggal pemuatannya.

156
5. Pembentukan Undang-Undang di Republik
Demokratik Kongo
Pembentukan undang-undang di Kongo
menurut Constitution Democratic Republic of
Congo Tahun 2006 dilakukan oleh parlemen
yang terdiri National Assembly (Majelis
Nasional) dan Senate (Senat) bersama dengan
Pemerintah dengan ketentuan:72
1. RUU dapat berasal dari Pemerintah,
anggota National Assembly, dan Senator,
namun khusus untuk RUU tentang
keuangan negara harus diusulkan oleh
Pemerintah kepada National Assembly.
2. Masing-masing kamar parlemen
membahas RUU yang diajukan.40
Pemerintah dapat mengajukan usul
perubahan terhadap RUU yang sedang
dibahas, tetapi tidak turut serta dalam
voting.
3. Setiap RUU dikaji secara sistematis oleh
kedua kamar dengan memperhatikan
usulan yang identik. Jika terdapat
perbedaan pendapat antara kedua kamar
maka dibentuk Joint Committee (komisi
gabungan) untuk membahasnya secara

72
https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/download/158/pdf,
Diakses pada tanggal 08 November 2021 pukul 17:27 WITA

157
bersama. Jika Joint Committee (komisi
gabungan) tidak dapat mengambil
keputusan, maka keputusan terakhir
diserahkan kepada National Assembly.
Dalam hal ini National Assembly dapat
mengambil kembali naskah yang telah
dibahas oleh Joint Committee atau naskah
terakhir yang divoting oleh National
Assembly dan dapat melakukan perbaikan
jika diperlukan melalui satu atau lebih
perubahan yang disetujui oleh Senate.
4. Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui oleh National Assembly dan
Senate menjadi undang-undang dalam
jangka waktu 6 (enam) hari.
5. Dalam waktu 15 (lima belas) hari setelah
diundangkan, Presiden dapat meminta
National Assembly atau Senate untuk
membahas kembali UU yang telah
disahkan, baik secara keseluruhan maupun
pasal- pasal tertentu, namun National
Assembly dan Senate dapat menerima atau
menolak permintaan Presiden tersebut.
6. Khusus mengenai RUU mengenai
keuangan negara diatur: (a) Masing-masing
kamar, yaitu National Assembly dan Senate
membahas dan berwenang untuk
melakukan perubahan terhadap RUU

158
tentang anggaran negara yang diajukan
oleh pemerintah; (b) Jika RUU tentang
anggaran negara tidak dapat ditetapkan
pada waktunya oleh kedua kamar, maka
pemerintah meminta untuk diperbolehkan
melakukan pinjaman temporer; (c)
Pemerintah melaksanakan anggaran yang
telah disetujui parlemen, namun
perubahan yang dilakukan oleh kedua
kamar dalam parlemen tidak menyebabkan
terjadinya pengurangan pendapatan atau
peningkatan pengeluaran.

Dari ketentuan di atas dapat proses checks and


balances dalam pembentukan undang- undang
menurut Konstitusi Republik Demokratik Kongo
dilakukan dalam bentuk sebagai berikut:
a. Pemberian kewenangan yang sama kepada
masing-masing, baik anggota National
Assembly, Senator, maupun Presiden untuk
mengajukan RUU, kecuali RUU tentang
keuangan negara harus diajukan oleh
Pemerintah kepada National Assembly.
b. Pemberian kewenangan yang sama kepada
National Assembly dan Senate untuk
membahas dan melakukan perubahan
terhadap semua RUU dan jika terjadi
perbedaan pendapat antara keduanya

159
diselesaikan melalui Joint Committee, namun
jika Joint Committee tetap tidak dapat
mencapai kesepakatan untuk mengambil
keputusan, maka keputusan terakhir diberikan
kepada National Assembly sebagai kamar
pertama.
c. Meskipun Presiden tidak mempunyai
kewenangan untuk ikut membahas dan
mengambil keputusan terhadap RUU, namun
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah
RUU disahkan, Presiden mempunyai
kewenangan meminta kedua kamar, yaitu
National Assembley dan Senate untuk
membahas kembali UU yang telah disahkan
itu, dan permintaan Presiden itu bisa diterima
atau ditolak oleh kedua kamar.
d. Meskipun kedua kamar parlemen mempunyai
kewenangan untuk melakukan perubahan
terhadap RUU tentang anggaran negara, tetapi
perubahan tersebut tidak boleh berakibat pada
menurunnya pendapatan dan naiknya
pengeluaran negara.

160
161
Daftar Pusta
(n.d.).
10, U.-U. N. (2004). Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.

12, U.-U. R. (2011). Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan.
15, U.-U. R. (n.d.). Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011.
2, U.-U. R. (2018). Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
Permusyawaraan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ahmad. (2021). Demokrasi. Retrieved from Gramedia Blog:
https://www.gramedia.com/literasi/demokrasi/
Ahmad. (2021). Wawasan Nusantara. Retrieved from
Gramedia Blog:
https://www.gramedia.com/literasi/wawasan-
nusantara/
Andi. (2017). Daya Ikat Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan.
Anonim. (n.d.). Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
System Bicameral Di Indonesia. Retrieved November
03, 2021, from Media.Teliti.com:
https://media.neliti.com/ media
/publications/40822-ID-eksistensi-dewan-

162
perwakilan-daerah-dalam-sistem-bikameral-di-
indonesia
Anonim. (n.d.). Senate. Retrieved November 3, 2021, from
Senate.gov:
http://www.senate.gov/reference/resources/pdf/h
owourlawsaremade.pdf
anonim. (n.d.). Sistem Pemerintahan Parlementer.
Retrieved November 3, 2021, from
eprints.umm.ac.id:
http://eprints.umm.ac.id/38611/3/BAB%20II.pdf
Arasy Pradana A. Azis, S. M. (2020, Maret 24). Proses
Pembentukan Undang-Undang. Retrieved
November 1, 2021, from HukumOnline>com:
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan
/lt506c3ff06682e/pembuatan-undang-undang
Asshiddiqie, J. (2011). Perihal Undang-Undang. Jakarta:
Rajawali Pers.
Atmadja. (2017, Juni 9). Perundang-undangan Dalam
Sistem Hukum Nasional. Jurnal Hukum &
Pembangunan, XIV(5).
Atok, A. R. (n.d.). Checks adn Balances dalam pembentukan
Undang-undang Dengan Sistem Bikameral di 5
Negara Kesatuan.
Bagir, M. (1995). Pertumbuhan dan Perkembangan
Konstitusi Suatu Negara. Bandung: Mandar Maju.

163
Bakri. (2014, November 11). Cara Parlemen Australia
Membuat Undang-undang. Retrieved November 3,
2021, from Serambi news:
https://aceh.tribunnews.com/2014/11/11/cara-
parlemen-australia-membuat-undang-undang
Chakim, M. L. (2018). Parlemen Unicameral dan Bicameral.
Retrieved November 3, 2021, from
www.Lutfichakim.com:
http://www/lutfichakim.com/2018/04/Parlemen-
Unicameral_-dan-bicameral.tml
Darussalam, D. S. (2006). Membatasi Kekuasaan untuk
Mengenkan Pajak. Jakatrta: PT Grasindo.
Giri, N. P. (2016, February 3). Lembaga Negara Pembentuk
Undang-Undang. Jurnal Komunikasi Hukum, II(1).
I.C. Van Der Vlies, H. W. (n.d.). Buku Pegangan
Perancangan Peraturan Perundang-undangan.
jakarta: Departemen Hukum dan HAM.
Lely, A. (2021). Masyarakat Madani. Retrieved from
Gramedia Blog:
https://www.gramedia.com/literasi/masyarakat-
madani/
Makmun, A. S. (2019). Psikologi Kependidikan Remaja.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhammad Eriton, S. M. (2020, April 3). Tahapan
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Retrieved November 1, 2021, from ERITONIME:
http://eriton.staff.unja.ac.id/2020/04/03/tahapan-
164
penyusunan-rancangan-peraturan-perundang-
undangan/
Pengertian demokrasi. (2021, November 08). Retrieved
from Wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
Peturun, P. (2021, Juli 2). Masa Depan Konstitusi Demokrasi
Indonesia: Post Democracy. Muhammadiyah Law
Review, V. Retrieved november 1, 2021, from
https://ojs.ummetro.ac.id/index.php/law/article/vie
w/1625/1064
Pipin Syarifin, D. J. (2017). Ilmu Perundang-undangan.
Bandung: CV Pustka Setia.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008).
Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta.
REdi, A. (2018). Hukum Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Jakarta: 2018.
S, M. F. (2006). Ilmu Perundang-undang 2:Prosesdan Teknik
Penyusunan. Jakarta: Kanisus.
S, M. F. (2007). Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta:
Kanisius.
Septi. (2011). Pembentukan Perundang-undangan Di
Indonesia. Retrieved November 3, 2021, from UIN
Banten:
http://repository.uinbanten.ac.id/2011/8/BAB%20II
% 20septi.pdf

165
Suprapto, M. F. (1998). ilmu perundang-undangan dasar-
dasar pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.
Tri Jata Ayu Pramesti, S. (2014, Oktober 7). Seluk Beluk dan
Proses Pencabutan Undang-undang. Retrieved
November 1, 2021, from HukumOnline.com:
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5
42f9da05dba4/seluk-beluk-dan-proses-pencabutan-
undang-undang
Undang-udang Nomor 15 tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan. (2019).
Yuliandri. (2010). Asas-asas Pembentukan Peraturan
Perundang-udangan yang baik. Jakarta: Rajawali
Pers.

166
Tentang Penulis
Ini adalah tulisan pertama kali para penulis yang ikut
tertata di rak buku kampus di tengah-tengah karya hebat
lainnya. Tulisan ini menyatukan para penulis di tengah jalan
menuju keajaiban, dimana para orang tua masing-masing
merangkum doa untuk sang anak terkasih di masa depan.

167

Anda mungkin juga menyukai