Anda di halaman 1dari 152

BUKU AJAR

Hukum Adat lanjutan


HUKUM ADAT
L A N J U T A N

P
UJI syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/
Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas tuntunan Hukum Adat
Lanjutan
dan anugrahnya-Nya, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan dapat diselesaikan sesuai harapan. Pada
akhirnya Buku Ajar ini dapat dihadirkan dengan
lebih lengkap setelah menggabungkan bahan
ajar Tahun 2008 dan block book Tahun 2012.
Perubahan dalam buku ajar ini juga mencakup
format, substansi, penugasan yang disesuaikan
dengan perbaruan kurikulum.Hal ini bertujuan
agar Buku Ajar mata kuliah Hukum Adat Lanjutan
menjadi panduan pembelajaran yang sistematis
dan sangat praktis sehingga proses perkuliahan
dan tutorial dapat berjalan dengan baik.
Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.
Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H.
Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H., M.Si.
I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn.
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn.

ISBN
2018

Pustaka Ekspresi

Cover Ari Atu.indd 1 27/05/2018 21:41:19


BUKU AJAR
HUKUM ADAT LANJUTAN
KODE MATA KULIAH : BII4227

TIM PENYUSUN:
Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.
Dr. Ni Nyoman Sukerti, S.H., M.H.
Anak Aung Gede Oka Parwata, S.H., M.Si.
I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari, S.H., M.Kn.
I Gusti Ngurah Dharma Laksana, S.H., M.Kn.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR

2018

Pustaka Ekspresi

i
BUKU AJAR
HUKUM ADAT LANJUTAN
@ Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, S.H., M.H.

Penerbit: Pustaka Ekspresi


Jl. Diwang Dangin No. 54 Br. Lodalang
Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali
Telp. (0361) 7849103
Email: pustaka_ekspresi@yahoo.com
Sampul : Gede Suarbawa
Tata Letak : Gede Suarbawa
Cetakan Pertama : Mei 2018
ISBN: 978-602-5408-36-9

ii
Kata Pengantar

iii
PRAKATA

UJI syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/


Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas tuntunan dan
anugrahnya-Nya, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan
dapat diselesaikan sesuai harapan. Pada akhirnya Buku
Ajar ini dapat dihadirkan dengan lebih lengkap setelah
menggabungkan bahan ajar Tahun 2008 dan block
book Tahun 2012. Perubahan dalam buku ajar ini juga
mencakup format, substansi, penugasan yang disesuaikan
dengan perbaruan kurikulum.Hal ini bertujuan agar Buku
Ajar mata kuliah Hukum Adat Lanjutan menjadi panduan
pembelajaran yang sistematis dan sangat praktis sehingga
proses perkuliahan dan tutorial dapat berjalan dengan
baik.
Edisi revisi ini memuat substansi yang lebih
terstruktur mencakup identitas mata kuliah, capaian
pembelajaran, hingga tugas dan evaluasi yang diatur tiap
pertemuan secara rinci. Harapannya Buku Ajar Hukum
Adat Lanjutan edisi revisi dapat memberi pemahaman dan
meningkatkan kompetensi dalam mendalami hukum adat.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati kami
ucapakan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para
Wakil Dekan yang telah senantiasa memberi dukungan
atas proses pembelajaran sehingga bukuajar ini dapat
diselesaikan
2. Semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaianrevisi buku ajar ini

iv
Sangat disadari bahwa buku ajar yang kami hasilkan
ini sangat jauh dari sempurna sehingga memerlukan kritik
dan saran yang membangun untuk perbaikannya di waktu
mendatang. Namun demikian, semoga buku ajar ini memberi
arti dan manfaat bagi kita semua.

Denpasar, 5 September 2017


Penyusun

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................... iii


PRAKATA ....................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................... vi
IDENTITAS MATA KULIAH ............................................. 1
DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN ......................... 1
CAPAIAN PEMBELAJARAN ............................................. 2
MANFAAT MATA KULIAH ............................................... 2
PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ................... 3
ORGANISASI MATERI PERKULIAHAN ........................... 3
METODE, STRATEGI DAN PELAKSANAAN
PROSES PERKULIAHAN ................................................. 4
TUGAS-TUGAS ................................................................ 6
UJIAN DAN PENILAIAN ................................................... 6
BAHAN PUSTAKA .......................................................... 7
JADWAL PERKULIAHAN ............................................... 10

PERTEMUAN I : PERKULIAHAN 1 KESATUAN


MASYARAKAT HUKUM ADAT ....................................... 13
1. Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat ..... 13
2. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat ........................................................ 16
3. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat ..................................... 19
4. Bahan Bacaan ...................................................... 22

PERTEMUAN II : TUTORIAL 1 KESATUAN MASYARAKAT


HUKUM ADAT.............................................................. 23
1. Tugas : Problem Task .......................................... 23
2. Bahan Bacaan ..................................................... 24

vi
PERTEMUAN III :
PERKULIAHAN 2 HUKUM TANAH ADAT ...................... 25
1. Tanah Adat Sebagai Hak Ulayat Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat ..................................... 25
2. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat ........ 25
3. HAK ULAYAT......................................................... 27
4. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan
Perundang-Undangan ........................................... 31
4. Bahan Bacaan ..................................................... 34

PERTEMUAN IV : TUTORIAL 2 HUKUM TANAH ADAT ... 33


1. Pendahuluan ........................................................ 35
2. Tugas : Problem Task ........................................... 35
3. Bahan Bacaan ...................................................... 36

PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3 HUKUM ADAT


KEKELUARGAAN .......................................................... 37
1. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan ................ 37
2. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia ....................... 38
3. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Pada Umumnya .............................. 41
4. Hubungan Hukum Dalam Hukum Kekeluargaan... 47
5. Bahan Bacaan ...................................................... 52

PERTEMUAN VI : TUTORIAL 3 HUKUM ADAT


KEKELUARGAAN .......................................................... 53
1. Pendahuluan ........................................................ 53
2. Tugas : Problem Task............................................ 53
3. Bahan Bacaan ...................................................... 54

vii
PERTEMUAN VII : UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS) .... 55

PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAN 4 HUKUM ADAT


PERKAWINAN ............................................................... 55
1. Pengertian Hukum Perkawinan Di Indonesia ....... 55
2. Sejarah Hukum Perkawinan Indonesia ................. 57
3. Sistem Perkawinan................................................ 59
4. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat ... 59
5. Syarat-Syarat dan Prosedur Pengesahan
Perkawinan........................................................ 63
6. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat ........... 65
7. Larangan-Laragngan Perkawinan........................... 66
8. Harta Benda Perkawinan ...................................... 67
9. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam
Hukum Adat.......................................................... 69
10. Bahan Bacaan ...................................................... 73

PERTEMUAN IX : TUTORIAL 4 HUKUM


ADAT PERKAWINAN ..................................................... 74
1. Tugas : Problem Task .......................................... 74
2. Bahan Bacaan ..................................................... 74

PERTEMUAN X : PERKULIAHAN 5 HUKUM ADAT


PEWARISAN .................................................................. 76
1. Pengertian Dan Unsur-Unsur Pewarisan .............. 76
2. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum
Adat Waris............................................................ 89
3. Sifat Hukum adat Waris........................................ 89
4. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris ........ 91
5. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam
Hukum Adat Waris ............................................... 93
6. Bahan Bacaan ...................................................... 99

viii
PERTEMUAN XI : TUTORIAL/DISKUSI TENTANG HUKUM
ADAT PEWARISAN........................................................ 100
1. Pendahuluan ...................................................... 100
2. Tugas : Problem Task ......................................... 100
3. Bahan Bacaan ................................................... 102

PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6 HUKUM ADAT


PELANGGARAN .......................................................... 103
1. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat ....... 103
2. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat .............................. 111
3. Reaksi Dan Koreksi Adat .................................... 112
4. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan ......... 116
5. Bahan Bacaan .................................................... 122

PERTEMUAN XIII : TUTORIAL 6 HUKUM ADAT


PELANGGARAN .......................................................... 123
1. Tugas : Problem Task ......................................... 123
4. Bahan Bacaan ................................................... 124

PERTEMUAN VII : UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

LAMPIRAN :
1. SILABUS ............................................................. 125

LAMPIRAN II : RENCANA PELAKSANAAN


PEMBELAJARAN (RPP)................................................. 131
LAMPIRAN III : KONTRAK KULIAH
KONTRAK PERKULIAHAN............................................. 137

ix
BUKU AJAR
HUKUM ADAT LANJUTAN

I. IDENTITAS MATA KULIAH


Nama Mata Kuliah : Hukum Adat Lanjutan
Kode Mata kuliah : BII4227
SKS : Lulus Hukum Adat
Prasyarat : -
Semester : IV
Status Mata Kuliah : Wajib Fakultas

II. DESKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN


Mata kuliah hukum adat lanjutan merupakan mata
kuliah lanjutan dari mata kuliah hukum adat secara umum.
Mata kuliah hukum adat lanjutan membahas tentang
hukum adat yang berlaku dalam tatanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang beragam, tumbuh dan berlaku
bagi Kasatuan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini mengingat
kondisi kebangsaaan Indonesia yang berbhineka baik dilihat
dari suku, bahasa, agama maupun budayanya. Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat selain tunduk pada hukum adat
juga tunduk pada hukum negara sebagai warganegara
dari Negara Republik Indonesia. Mata Kuliah Hukum adat
lanjutan akan membahas mengenai bidang-bidang hukum
dalam kehidupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
yang selanjutnya akan dibahas dalam pokok bahasan dan
sub pokok bahasan seperti tatanan masyarakat adat yang
meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum
tentang tanah adat, hukum adat tentang keluarga, hukum
adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan,
hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan

1
memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga
mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

III. CAPAIAN PEMBELAJARAN


Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai memahami
hukum adat secara dengan topik pembahasan yang
mendalam yang kemudian mampu menganalisis kasus
kasus berkaitan dengan materi dalam lingkaran hukum
adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi:
pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat
tentang keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum
adat tentang pewarisan hukum adat tentang pelanggaran.
Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam
hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman
(era globalisasi).

IV. MANFAAT MATA KULIAH


Mata kuliah hukum adat lanjutan mempunyai
manfaat praktis maupun teoritis bagi mahasiswa. Manfaat
teoritis, bahwa materi kuliah banyak mengandung isu-
isu dan topik menarik untuk diangkat menjadi penelitian
untuk penulisan skripsi ataupun artikel jurnal yang berkait
dengan materi hukum adat. Selain itu pendalaman belajar
hukum adat sebagai hukum yang tumbuh ditengah tengah
masyarakat yang secara praktis memiliki peran yang sangat
besat saat terjun di tengah tengah masyarakat. Hal ini bisa
diaplikasikankelak oleh mahasiswa setelah lulus dan memilih
profesi bidang keahlian hukum baik sebagai hakim, jaksa,
pengusaha, pendidik.

2
V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH
Untuk menempuh mata kuliah hukum adat lanjutan harus
telah menempuh mata kuliah hukum adat.
VI. ORGANISASI MATERI PERKULIAHAN
1. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

a. Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat
b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
2. HUKUM TANAH ADAT
a. Tanah Adat sebagai Hak Ulayat Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
b. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum
Adat
c. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan
Perundang-Undangan
3. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN
a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan
b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia
c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Pada Umumnya
d. Hubungan Hukum Dalam Hukum
Kekeluargaan
4. HUKUM ADAT PERKAWINAN
a. Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan
di Indonesia
b. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum
Adat

3
c. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat
d. Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum
Adat
e. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam
Hukum Adat
5. HUKUM ADAT PEWARISAN
a. Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan
b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris
c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris
d. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam
Hukum Adat Waris
6. HUKUM ADAT PELANGGARAN
a. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat
b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat
c. Reaksi Dan Koreksi Adat
d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan

VII. METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES


PEMBELAJARAN
Dalam pemberlajaran pada mata kuliah hukum adat
lanjutan akan diatur dengan Problem Based Learning (PBL)
yang pusat pembelajarannya ada pada mahasiswa. Metoda
ini diterapkan dengan cara belajar (learning) dan bukan
mengajar (teaching). Strategi Pembelajaran adalah dengan
cara mengkombinasikan antara perkuliahan,diskusi dan
tutorial dengan prosentase 50 % (6 kali pertemuan atau
perkuliahan) dan 50 % (6 kali pertemuan dengan tutorial dan
diskusi), 1 (satu) kali untuk Test Tengah Semester (UTS) dan

4
1(satu) kali untuk Ujian Akhir Semester (UAS), sehingga total
pertemuan untuk bobot 2 SKS adalah 14 (empat belas) kali.
Pelaksanaan Perkuliahan dan Tutorial yaitu
Untuk pelaksanaan perkuliahan dari mata kuliah
hukum adat lanjutan ini direncanakan berlangsung 6
(enam) kali pertemuan untuk kuliah yaitu pertemuan
ke : 1,3,5,8,10,12 Sedangkan untuk pertemuan tutorial
dan diskusi juga 6 (enam) kali yaitu pada pertemuan ke :
2,4,6,9,11,13 Sementara itu evaluasi berlangsung pada
pertemuan ke 7 dan 14. Dalam perkuliahan hukum adat
lanjutan ini akan dibahas pokok-pokok materi bahasan yang
akan disajikan dengan menggunakan alat bantu seperti : papan
tulis, power point serta menyiapkan bahan-bahan bacaan
tertentu dan apabila dipandang sulit untuk menemukan
bahan-bahan bacaan tersebut maka perlu disiapkan seperti
: Buku Ajar dan Block Book dari materi mata kuliah yang
bersangkutan. Sebelum perkuliahan dimulai mahasiswa
wajib mempersiapkan diri (self study) dengan cara mencari
bahan (materi) serta memahami materi dari masing-masing
pokok bahasan yang akan dikuliahkan ataupun yang akan
didiskusikan sesuai dengan apa yang telah diarahkan (guidance)
dalam buku ajar.Teknik Perkuliahan yang digunakan yaitu
dalam bentuk : pemaparan materi, tanya jawab dan diskusi
(model proses pembelajaran dua arah). Pelaksanaan tutorial
dilakukan melalui strategi sebagai berikut :

1. Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas (PR) berupa


Discussion Task, Study Task dan Problem Task sebagai
bagian dari self study, kemudian berdiskusi di kelas
dengan cara presentasi dengan menggunakan pawer
point.

5
2. Dalam 6 (enam) kali pertemuan tutorial di kelas,
mahasiswa diwajibkan :
a. Menyerahkan karya tulis berupa paper atau tugas
lainnya sesuai dengan topik yang akan di bahas.
b. Mempresentasikan paper atau tugas yang telah
diberikan dengan menggunakan fasilitas yang
tersedia.
c. Memposisikan diri dalam peran masing-masing
dalam diskusi apakah sebagai pemandu, notulis
atau anggota atau peserta.

VIII. TUGAS-TUGAS
Rangkaian tugas sebagai instrument penilaian diatur
dengan mewajibkan mahasiswa untuk mengerjakan tugas
sesuai buku ajar ataupun variasi bahan saat perkuliahan
yang kemudian dibahas saat tutorial.Tugas individu ataupun
tugas kelompok menjadi bahan penilaian, bisa melalui paper
test, dapat pula mahasiswa yang presentasi.

IX. UJIAN DAN PENILAIAN


Ujian akan dilaksanakan 2(dua) kali dalam satu
semester dalam bentuk tertulis baik pada Ujian Tengah
Semester (UTS) maupun pada Ujian Akhir Semester (UAS).
Penilaian akhir (Nilai Akhir = NA) akan disesuaikan
dengan rumus yang telah tercantum dalam Buku Pedoman
Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6
(TT +TTS) + 2 X UAS
–––––––––––
2
NA = –––––––––––––––––––––––––––––––
3

Nilai Range
A 80 – 100
B+ 70 – 79
B 65 – 69
C+ 60 – 64
C 55 – 59
D+ 50 – 59
D 40 – 49

Komponen Penunjang Penilaian :


Absensi, Kedisiplinan ,Kepribadian (sikap dan prilaku).

X. BAHAN PUSTAKA
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan tentang Perkawinan,
Akademika Pressindo, Jakarta.
2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat
Indonesia, Perkembangannya dari Nusa ke Nusa,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum
Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau
Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta.
5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-
Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina

7
Aksara, Jakarta.
6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia
Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.
7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat
Indonesia, Tarsito, Bandung.
8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan
Adat , Alumni, Bandung.
9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat,
Alumni, Bandung.
10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan
Adat , Alumni, Bandung.
11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional,
Pradnya Paramita, Jakarta.
13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap
Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas
Press, Surabaya.
14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media
Sarana Press, Jakarta.
15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981,
Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-
asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum
Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat,
Fak.Hukum, Universitas Udayana.

8
19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di
Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang
KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-
Undang Tentang Perlindungan anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10
tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

9
XI. JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat


(Pengertian, Faktor Pembentuk dan Perkuliahan
1 I
Struktur) Dalam Masyarakat HUkum 1
Adat

Pndahuluan
2 II Tugas Tutorial 1
Penutup

HUkum tanah adat


a.
anah Adat sebagai Hak Ulayat
Kesatuan Masyarakat Hukum
Adat
3 III Kuliah 2
b.
ungsi Tanah Bagi Masyarakat
Hukum Adat

c. Kedudukan Tanah Adat Dalam


Peraturan Perundang-Undangan

Pendahluan

4 IV Tugas Tutorial 2
Penutup

Hukum Adat Kekeluargaan

a. Uraian hukum keluarga


5 V
Pengertian Hukum Adat
Kekeluargaan

10
b. Sistem Kekeluargaan di Indonesia

c. Keturunan dan Pengangkatan


Anak Menurut Hukum Adat Pada
Umumnya

d. Hubungan Hukum Dalam Hukum


Kekeluargaan

Pendahluan
6 VI Tugas Tutorial 3
Penutup

7 VII UTS Terstruktur

Hukum Adat perkawinan


a. Uraian perkawinan Pengertian
Dan Sejarah Hukum Perkawinan
di Indonesia

b. Bentuk-Bentuk Perkawinan
Dalam Hukum Adat
Perkuliahan
8 VIII
c. Tata Cara Perkawinan Dalam 4
Hukum Adat

d. Harta Benda Perkawinan Dalam


Hukum Adat

e. Perceraian dan Akibat Hukumnya


Dalam Hukum Adat

Pendahuluan

9 IX Tugas Tutorial 4
Penutup

Hukum adat Pewarisan


10 X Kuliah 5
a. Pengertian dan Unsur Unsur

11
Pewarisan

b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam


Hukum Adat Waris

c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum


Adat Waris

d. Syarat-Syarat Dan Proses


Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris

Pendahukuan
Tugas : Kasus
11 XI Tutorial 5
Kasus Dalam hukum waris adat
Penutup
Hukum adat Pelanggaran
a. Pengertian Dan Sifat-Sifat
Pelanggaran Adat

b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat


12 XII Kuliah 6
c. Reaksi Dan Koreksi Adat

d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek


Peradilan

13 XIII Pembahasan Reaksi dan koreksi adat Tutorial 6

14 XIV UAS Terstruktur

10

12
PERTEMUAN I : KULIAH 1 :KESATUAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT

1. PENGERTIAN KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT


Istilah masyarakat hukum adat sering juga disebut
dengan persekutuan hukum adat yang pada hakekatnya
merupakan terjemahan dari “rechtsgemeenchap”. Ma­ sya­
rakat Indonesia yang terdiri dari berbagai corak dan struktur
kemasyarakatannya beraneka ragam dan sebagian terbesar
penduduknya bermukim di pedesaan. Salah satu bentuk dari
masyarakat hukum adat tersebut contohnya di Bali, dahulu
disebut “Desa Adat” tetapi saat ini sudah diubah dengan
sebutan “Desa Pakraman”.
Seperti diungkapkan oleh Van Vollenhoven yang
dikutip dari bukunya Soepomo : Bab-Bab Tentang Hukum
Adat menyatakan bahwa untuk mengetahui hukum, maka
adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun
dan di daerah manapun, sifat dan susunan badan-badan
persekutuan hukum dimana orang-orang yang dikuasai oleh
hukum itu hidup sehari-hari.1
Badan-badan persekutuan atau masyarakat hukum
yang dimaksud diatas bukanlah didasarkan pada sesuatu
yang bersifat dogmatik tetapi haruslah pada kehidupan
yang nyata dari masyarakat hukum yang bersangkutan,
dengan demikian akan dapat diketahui apakah telah ada
perubahan ataukah masih ada dan terus hidup.?. Jadi
untuk mempelajari dan mengetahui hukum dalam suatu
masyarakat, haruslah mempelajari pula badan-badan yang
ada dalam masyarakat hukum tersebut. Itu berarti bahwa

1 Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya


Paramita, Jakarta, hal.49.

13
untuk mempelajari Hukum Adat Lanjutan, perlu dan harus
pula mempelajari badan-badan yang ada dalam masyarakat
hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, perlu dipahami
terlebih dahulu pengertian dari masyarakat hukum adat
pada umumnya.
Menurut Ter Haar dalam bukunya Beginseelen en
stelsel van het adatrecht Tahun 1939, yang dikutip oleh
Soepomo : bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada
tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam
golongan-golongan yang bertingkah laku sebaga kesatuan
terhadap dunia luar, lahir dan bhatin. Golongan-golongan
itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal dan
orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami
kehidupannya dalam golongan sebagi hal yang sewajarnya,
hal menurut kodrat alam. Tidak ada seorangpun dari mereka
yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran
golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai
pengurus sendiri, dan mempunyai harta benda milik
keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah
yang bersifat persekutuan hukum.2
Secara singkat dapat dikatakan bahwa masyarakat
hukum itu sebagai kelompok-kelompok teratur yang sifatnya
ajeg dengan pemerintahan sendiri yang sifatnya materiil
maupun immatriil, berada dalam suatu pergaulan hidup
yang sama dengan kontinuitas hubungan dengan pola
berulang tetap.
Berdasarkan pengertian persekutuan atau masya­
rakat hukum seperti tersebut diatas maka dapatlah ditarik
be­berapa unsur, agar sesuatu kelompok itu disebut dengan
masyarakat hukum atau persekutuan hukum antara lain :

2 Ibid, hal.50.

14
a) Terdiri dari orang-orang sebagai suatu kelompok/
kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan bathin.
b) Kelompok tersebut mempunyai tata susunan
yang tetap dan kekal.
c) Adanya kekuasaan sediri sebagai kelompok yang
otonom dan mempunyai pengurus sendiri.
d) Mem­ punyai harta kekayaan baik milik ke­ du­ni­
a­wian dan milik gaib (matriil dan spirituil) yang
terpisah antara harta kekayaan milik kelompok
dengan harta kekayaan anggota.
e) Tidak ada seorangpun dari anggota kelompok
yang mempunyai keinginan untuk melepaskan
diri dari kelompoknya atau ingin membubarkan
ke­lompoknya.
Ber­dasarkan unsur-unsur di atas sebetulnya be­
lum­lah dapat dinyatakan suatu kelompok itu sebagai suatu
per­sekutuan hukum atau masyarakat hukum karena perlu
ada faktor lain sebagai penentunya untuk membedakannya
dengan kelompok-kelompok lain seperti kelompok-kelompok
sosial biasa. Adapun faktor-faktor penentu itu adalah faktor
teritorial dan faktor genealogis. Sehubungan dengan hal ini
Soekanto dalam bukunya, Meninjau Hukum Adat di Indonesia
menyebutkan bahwa desa di Bali adalah persekutuan
teritorial, dimana warganya bersama-sama mempunyai
kewajiban dan kemampuan untuk membersihkan wilayah
desa bagi keperluan-keperluan yang berhubungan dengan
agama. Ini berarti bahwa desa-desa di Bali disamping
memiliki unsur-unsur pembentuk (constituent element),
juga memiliki unsur yang bersifat magis religius. Unsur
pembentuk itu tampak pada adanya wilayah kekuasaan,
warga, pemerintahan yang berwibawa dan harta kekayaan

15
baik materiil maupun immateriil. Sedang unsur yang bersifat
religio magis tampak dari keberadaan desa yang menjadi
tempat persembahyangan bersama bagi warga desa secara
keseluruhan dan pelaksanaan ritual-ritual lain berkenaan
dengan kesejahteraan warganya.3
Sesuai dengan uraian diatas maka jelaslah bahwa
“Nagari di Minangkabau atau desa adat di Bali” merupakan
suatu masyarakat hukum adat yang mempunyai bentuk dan
corak tersendiri yang berbeda dengan desa-desa yang ada di
Jawa dan Madura atau desa-desa lainnya di Indonesia.

2. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK KESATUAN


MASYARAKAT HUKUM ADAT
Agar suatu kriteria jelas dapat menunjukkan unsur-
unsur dari suatu asyarakat hukum dapat membedakannya
dengan kelompok-kelompok sosial yang lain yang bukan
merupakan masyarakat hukum adat, perlu dicarikan kretiria
lain sebagai identifikasi diluar unsur-unsur yang telah
disebutkan diatas yang akan mewujudkan kelompok tersebut
sebagai persekutuan hukum atau masyarakat hukum adat.
Sebagai kriteria tambahan yang akan dapat membedakannya
dengan kelompok sosial yang lain yaitu berupa faktor-faktor
pembentuknya yaitu :
1. Faktor Teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial
semata sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat
hukum adat, yaitu adanya kesamaan wilayah atau
tempat tinggal maka kelompok tersebut telah dapat
diartikan sebagai suatu masyarakat hukum. Karena

3 Soerjono Soekanto, dan Soleman B Taneko, 1981, Hukum Adat


Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, hal.73.

16
contoh dan jumlah masyarakat seperti itu banyak
ada di indonesia antara lain di jawa dan bali (desa
adat seperti yang dikemukakan oleh Soekanto, seperti
tersebut diatas).
2. Faktor Genealogis, yaitu karena adanya hubungan
darah. Artinya bahwa kelompok dalam masyarakat
hukum itu terbentuk karena anggotanya berasal
dari adanya hubungan darah antara orang yang satu
dengan orang yang lainnya.
Ter Haar menyatakan faktor genealogis semata
tidaklah dapat mewujudkan kelompok tersebut sebagai
persekutuan hukum. Karena tindakan keluar dari kelompok-
kelompok tersebut hanyalah dalam hal-hal tertentu saja
yaitu yang berkaitan dengan pemujaan leluhur. Atau kalau
toh mereka dianggap persekutuan hukum maka itu hanyalah
merupakan persekutuan hukum yang sangat terbelakang
dalam pelaksanaan fungsi sosialnya.4
Disamping kedua faktor sebagai pembentuk dari
suatu masyarakat hukum adat terjadi pula campuran dari
keduanya yaitu faktor teritorial genealogis atau genealogis
teritorial yang bentuknya bermacam-macam.5
Uraian di atas nampak bahwa masyarakat hukum
adat terbentuk lebih banyak didasarkan atas faktor teritorial.
Hal ini karena ada kaitannya dengan sifat hubungan hukum
yang tampak dalam kelompok-kelompok tersebut, seperti
sifat “Patembayan” lebih menonjol dalam masyarakat
hukum adat yang didasari oleh faktor teritorial sedangkan
sifat “paguyuban” lebih mendasari masyarakat hukum yang
4 Ter Haar, 1976, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat
(diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto), Pradnya Paramita,
Jakarta, hal.29.
5 Soepomo R. Op.Cit, hal.49.

17
bersifat genealogis.6
Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum
Adat juga menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat
terbentuk karena faktor genealogis, maksudnya adalah
karena orang-orang tersebut termasuk dalam suatu
keturunan yang sama yaitu :
a. Garis keturunan menurut garis bapak (Patrilinial)
seperti orang-orang Batak, Nias, Sumba dan Bali.
b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilinial)
seperti : famili di Minangkabau
c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak
(tata susunan parentil) seperti orang-orang Jawa,
Sunda, Aceh dan Kalimantan.
Sedangkan persekutuan hukum atau masyarakat
hukum yang terbentuk atas dasar faktor teritorial atau
berdasar lingkungan daerah dapat dibagi dalam tiga jenis
pula yaitu :
a. Persekutuan desa (dorp).
b. Persekutuan daerah (streek).
c. Persekutuan dari beberapa desa.
Terhadap persekutuan hukum atau masyarakat
hukum teritorial ini orang dapat untuk sementara waktu
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa kehilangan
keanggotaannya dari golongan tersebut. Orang yang dari luar
yang masuk ke daerah persekutuan tersebut tidak dengan
sendirinya menjadi teman segolongan. Ia harus diterima
sebagai teman segolongan menurut hukum adat.7 Arti dari
penjelasan di atas bahwa pendatang akan mempunyai hak

6 Djojodigoeno, 1964, Azas-azas Hukum Adat, Yayasan Penerbit


Gajah Mada, Yogyakarta, hal.5.
7 Soepomo R, Op.Cit, hal.51-52.

18
dan kewajiban yang berbeda dengan penduduk yang sejak
awal nenek moyangnya sudah bertempat tinggal di dalam
daerah persekutuan tersebut, oleh karenanyalah mereka
pada umumnya mempunyai kedudukan lebih penting
daripada penduduk pendatang.

Bahan diskusi :
Diskusikan dalam kelompok apakah faktor-faktor pembentuk
maupun unsur-unsur dari masyarakat hukum adat pada
umumnya dan berikan contoh-contoh dan dimana itu ada ?

3. STRUKTUR PEMERINTAHAN DALAM KESATUAN


MASYARAKAT HUKUM ADAT
Untuk dapat memahami struktur pemerintahan
maupun struktur organisasi dalam masyarakat hukum
adat maka perlulah terlebih dahulu memahami struktur
masyarakat hukum pada umumnya. Secara teoritis dapat
dikatakan bahwa ada dua faktor pengikat yang membentuk
tumbuhnya suatu suatu masyarakat hukum yaitu faktor
genealogis yaitu masyarakat hukum yang anggota-
anggotanya merasa terikat karena berasal dari nenek moyang
yang sama, masyarakat hukum teritorial yaitu masyarakat
hukum terbentuk karena anggota-anggotanya merasa
dilahirkan dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang
sama, dan tipe yang ketiga merupakan gabungan antara
faktor genealogis dan teritorial sehingga masyarakat hukum
tersebut terbentuk karena anggota-anggotanya merasa
terikat atu sama lain dari kedua faktor tersebut.
Masyarakat hukum yang terbentuk karena faktor
teritorial, dalam kepustakaan hukum adat dapat dibedakan
lagi kedalam (3) tiga jenis antara lain :

19
a) Persekutuan desa yaitu segolongan orang yang
terikat pada suatu tempat kediaman yang sama
meliputi perkampungan-perkampungan yang
jauh dari pusat pemerintahan dimana pejabat-
pejabat desa bertempat tinggal. Contohnya :
Banjar di Bali.
b) Persekutuan daerah yaitu kesatuan dari beberapa
tempat kediaman yang masing-masing tempat
kediaman itu mempunyai pimpinannya sendiri-
sendiri, sejenis dan sederajat. Tetapi tempat
kediaman tadi merupakan bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yang mempunyai
hak ulayat atas tanah-tanah yang ada dalam
persekutuan hukum tersebut. Contohnya : desa
pakraman di Bali.
c) Perserikatan dari beberapa desa yaitu gabungan
dari beberapa persekutuan desa yang letaknya
saling berdekatan satu sama lain, mengadakan
permufakatan untuk saling bekerja sama
memelihara kepentingan-kepentingan yang sama
atau tujuan yang sama. Contohnya di Bali : kerja
sama dibidang pengairan subak, atau kegiatan
lain disebut dengan sekaa-sekaa antara lain
sekaa manyi (menunai padi), sekaa gong, sekaa
semal (tupai kelapa).
Indonesia yang merupakan negara kepulauan sejak
17 Agustus 1945 adalah negara yang merdeka dan berdaulat.
Sebagai negara kesatuan yang bernama Negara Kesatuan
Republik Indonesia berlandaskan falsafah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
tersebut dapat ditarik kesimpulan akan pengakuan secara

20
konstitusionil adanya hukum yang tidak tertulis. Dengan
demikian dari kesimpulan tersebut dapat diketahui hak
hidup dan terpeliharanya aturan-aturan hukum adat di
Indonesia baik secara kenyataan maupun secara yuridisnya
mendapat tempat yang wajar.
Pengakuan terhadap hukum yang tidak tertulis
seharusnya diterima dan diakui mengingat masyarakat adalah
dalam proses kehidupan dan perkembangannya, dan aturan-
aturan hidup yang ada diharapkan dapat menyesuaikan
diri dengan perkembangan hidup dari masyarakat yang
bersangkutan maka bentuk aturan-aturan yang tertulis tidak
cukup mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan
kepentingan masyarakat yang terus berkembang.
Menurut Koesnoe, secara tradisional masyarakat
hukum adat mempunyai fungsi-fungsi yang dapat dibedakan
antara lain :
a) Fungsi pemerintahan yaitu sebagai fungsi untuk
mempertahankan tertib adat dan kesejahteraan
warganya.
b) Fungsi pemeliharaan roh yaitu sebagai fungsi
untuk menjaga masyarakat dan warganya dalam
hubungannya dengan alam gaib.
c) Fungsi pemeliharaan agama yaitu sebagai fungsi
untuk merealisir apa yang ditetapkan oleh agama.
d) Fungsi pembinaan hukum adat yaitu sebagai
fungsi untuk menampung segala tuntutan
perkembangan hukum adat.8
Sedangkan Soepomo mencoba melihat fungsi-fungsi
masyarakat hukum adat itu dari aktifitas-aktifitas kepala

8 Koesnoe Moch.1971, Hukum Adat Tata Negara, Puslit UNAIR,


Surabaya, hal.24-25.

21
rakyat (kepala adat) dalam rangka menjaga tertib masyarakat
hukum adat. Adapun aktifitas-aktifitas tersebut dapat
dibedakan kedalam tiga kelompok yaitu :
a) Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah
berhubung dengan adanya pertalian yang erat
antara tanah dengan masyarakat hukum adat.
b) Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk
mencegah pelanggaran hukum, supaya hukum
berjalan sebagaimana mestinya.
c) Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan
hukum setelah hukum itu dilanggar.9

Bahan Bacaan :
1. Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
2. Ter Haar Bzn, 1976, Azas-Azas dan Susunan Hukum
adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto,
Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Soerojo Wignyodipuro, 1968, Pengantar dan Asas-
Asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
4. Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan
Adat, Alumni, Bandung.
5. Sagung Ngurah,dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan, Bagian Hukum Dan Masyarakat, Fak.
Hukum Universitas Udayana Denpasar.
6. UUD RI 1945.

9 Soepomo R, Op.Cit, hal.66.

22
PERTEMUAN II : TUTORIAL/DISKUSI
TENTANG KMHA

I. TUGAS : PROBLEM TASK



Di Indonesia terdiri dari berbagai macam bentuk
kesatuan masyarakat hukum adat diantaranya adalah desa
pakraman, subak, dadia, nagari dan desa Dalam kehidupan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tersebut terdapat sistim
hukum yang berlaku dan mengikat kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut.
Suatu saat desa pakraman mengalami suatu
masalah yaitu ada seorang krama desa melanggar norma
kebiasaan dan adat di desa pakraman setempat, baik dalam
konteks pelanggaran di bidang parhyangan, pawongan dan
palemahan, dilain pihak desa pakraman tidak memiliki
aturan hukum adat secara tertulis, sehingga sulit bagi desa
pakraman untuk menjatuhkan sanksi adat untuk para
pelanggar norma kebiasaan setempat.
Pertanyaan :
1. Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat ?
2. Unsur-unsur apakah yang harus dipenuhi jika
persekutuan tersebut dapat dikatakan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat?
3. Faktor-faktor apakah yang mempengauuhi
terbentuknya KMHA.
4. Apakah KMHA mempunyai hukum tertulis dan apakah
KMHA mendapat perlindungan secara hukum.
5. Apakah dapat KMHA menyelesaiakan kasus tersebut
dan bagaimana proses penyelesaian III

23
I. DAFTAR BACAAN

1. Soepomo, 1979, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya


Paramita, Jakarta.
2. Ter Haar Bzn, 1976, Azas-Azas dan Susunan Hukum
adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Pradnya
Paramita, Jakarta.
3. Soerojo Wignyodipuro, 1968, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
4. Hilman Hadikusuma, 1981, Hukum Ketatanegaraan
Adat, Alumni, Bandung.
5. Sagung Ngurah,dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan, Bagian Hukum Dan Masyarakat, Fak.Hukum
Universitas Udayana Denpasar.
6. UUD RI 1945.

24
PERTEMUAN III : PERKULIAHAN 2
HUKUM TANAH ADAT

1. TANAH ADAT SEBAGAI HAK ULAYAT KESATUAN


MASYARAKAT HUKUM ADAT
Didalam kehidupan masyarakat hukum adat, tanah
memegang peranan yang sangat penting dan menentukan.
Seperti dikemukakan oleh Soerojo Wignyodipuro, bahwa ada
dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki fungsi yang
penting dalam kehidupan masyarakat hukum adat yaitu :
karena sifat dan karena fakta.

2. FUNGSI TANAH BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT


Sebagaimana bahwa tanah merupakan benda yang
sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Adapun
fungsi penting dari tanah dalam kehidupan masyarakat
hukum adat yaitu :
a. Karena sifatnya :
Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
menkipun mengalami keadaan-keadaan yang bagaimanapun
akan masih bersifat tetap dalam keadaan seperti semula dan
bahkan menjadi lebih menguntungkan. Seperti misalnya
dijatuhi bom, tanah tetap tidak akan lenyap atau berkurang
atau kalau terjadi banjir, setelah banjir surut kadang-kadang
dapat lebih menyuburkan tanah tersebut.
b. Karena fakta :
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :
 Merupakan tempat tinggal persekutuan
 Memberi penghidupan kepada persekutuan
 Merupakan tempat dimana para warga persekutuan
yang meninggal dunia di kebumikan

25
 Merupakan pula tempat tinggal danyang-danyang
pelindung persekutuan dan roh para leluhur
persekutuan.10
Bagi masyarakat hukum adat pada umumnya bahwa
tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Karena tanah
merupakan tempat mereka hidup, tempat mereka tinggal, dan
tanah merupakan tempat yang memberikan penghidupan
kepada mereka.
Berdasarkan kenyataan ini, maka antara tanah
dengan masyarakat hukum dimana mereka tinggal terdapat
hubungan yang erat sekali dan bahkan bersifat religio magis,
hubungan yang erat dan bersifat religio magis inilah yang
menyebabkan masyarakat hukum mempunyai hak untuk
menguasai tanah-tanah yang ada dalam masyarakat hukum
tersebut dalam arti masyarakat hukum dapat memanfaatkan
tanah itu, memungut hasil-hasil dari tumbuh-tumbuhan
yang ada diatas tanah tersebut, serta berburu binatang-
binatang yang hidup disitu untuk kepentingan hidup dan
kehidupannya. Hak semacam ini disebut dengan hak ulayat
atau disebut pula dengan istilah “beschikkings recht”. Seperti
di Jawa ada tanah disebut dengan “tanah pikulen dan ada
“tanah gogol”, sedangkan di Bali ada tanah-tanah dengan
nama : tanah PKD (Pekarangan Desa) dan ada tanah AYDS
(Ayahan Desa).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Iman Sudiyat,
bahwa sebagai salah satu unsur essensiil pembentuk
negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan
penghidupan bangsa pendukung negara tersebut, lebih-lebih
corak agrarisnya menominasi. Di negara yang rakyatnya

10 Soerojo Wignyodipuro, 1979, Pengantar dan asas-asas Hukum


Adat, Alumni, Bandung, hal.247.

26
berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial,
pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat merupakan suatu “conditio sine qua non”.
Hak persekutuan atas tanah seperti yang dijelaskan
diatas disebut dengan “Hak Ulayat” antara hak ulayat
dengan hak perseorangan atas tanah terdapat asas yang
disebut dengan “asas mulur mungkret atau mengembang
mengempis”, artinya dimana hak perseorangan kuat maka
berarti hak ulayat atas tanah di daerah tersebut menjadi
melamah atau berkurang. Demikian sebaliknya dimana hak
perseorangan melemah maka berarti hak ulayat di daerah
tersebut menjadi kuat.

3. HAK ULAYAT
Hubungan yang erat antara tanah dengan masyarakat
hukum dimana masyarakat huum tersebut berada me­nim­
bul­kan hak menguaai yang ada pada masyarakat hukum
itu. Hak atas tanah tersebut disebut dengan “ hak ulayat
atau hak pertuanan”. Hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven
diistilahkan dengan nama “beschikkingsrecht”. Istilah bes­
chik­ kingsrecht ini dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai
peng­ ganti istilah yang dipakai sebelumnya adalah “hak
egiendom (eigendomsrecht)” dan atau hak yasan komunal.11
Sedangkan para ahli hukum Indonesia memakai
istilah-istilah antara lain : Hak purba (Djojodiguno), Hak per­
tuanan (Soepomo), Hak bersama (Hazairin), dan Hak ulayat
(UUPA). Dan selanjutnya dalam tulisan-tulisan ilmiah lebih
populer istilah “Hak Ulayat”.
Istilah beschikkingsrecht seperti yang dikemukakan
oleh Van Vollenhoven harus dibedakan lagi dengan pengertian

11 Ter Haar, Op.Cit, hal.71.

27
“beschikkingskring”, karena disebut belakangan ini adalah
mengenai “lingkungan ulayat”. Lingkungan ulayat ini adalah
merupakan tanah wilayah yang dikuasai oleh hak ulayat.
Dan terhadap lingkungan ulayat (beschikkingskring) ini di
tiap-tiap wilayah Indonesia mempunyai istilah yang berbeda-
beda misalnya : patuanan (Ambon), prabumian (Bali).
Jadi hak ulayat adalah hubungan antara masyarakat
hukum dengan tanah, melahirkan suatu hak dari masyarakat
hukum terhadap tanah-tanah yang ada di dalam batas-batas
lingkungannya.
Sedangkan yang menjadi obyek dari hak ulayat antara
lain adalah meliputi: tanah (daratan), air (perairan seperti kali,
danau, pantai beserta perairannya), tumbuh-tumbuhan yang
hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu
pertukangan, kayu bakar) dan binatang yang hidup liar.
Hak ulayat yang dimiliki oleh masyarakat hukum
dengan obyek seperti tersebut diatas, maka masyarakat
hukum di dalam menerapkan hak ulayat dilakukan dengan
cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Disamping itu, masyarakat hukum
berdasarkan wewenangnya membatasi kebebasan warga
masyarakatnya untuk memungut hasil tersebut.
Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok
Agraria, UU No.5 Tahun 1960), hak menguasai dari
masyarakat hukum adat seperti dimiliki hak ulayat, beralih
kepada negara. Dengan demikian hak-hak atas tanah yang
dapat diperoleh oleh Warganegara Republik Indonesia
diatur sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UUPA
tersebut. Seperti diatur dalam Pasal 16 UUPA, pada intinya
menyebutkan pada penjelasannya bahwa UUPA adalah
berlandaskan pada hukum adat. Seperti juga tertuang dalam

28
Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa UUPA berlandaskan
hukum adat.
Disimak dari ketentuan-ketentuan tersebut se­harus­
nya hak-hak atas tanah didasarkan pula pada sistematika
hukum adat. Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian,
karena berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 10 UUPA, dinyatakan
bahwa hak-hak adat bertentangan dengan kedua pasal ter­
sebut seharusnya dihapus. Tetapi karena keadaan ma­sya­
rakat belum memungkinkan untuk dihapus, maka kemudian
diberilah sifat sementara, yang artinya sewaktu-waktu hak-
hak adat tersebut akan dihapuskan.
Pengaturan tentang hak ulayat dalam UUPA dapat
ditemukan dalam Pasal3, yang isinya dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a. Hak ulayat dari masyarakat hukum sepanjang
dalam kenyataannya masih ada harus me­ nye­
suaikan diri dengan negara dan nasional.
b. Pelaksanaan daripada hak ulayat tidak boleh
bertentangan dengan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi.
c. Pengaturan hak ulayat dilakukan oleh negara
dengan Pasal 1 dan 2 UUPA.
Penjelasan dari Pasal 3 UUPA, menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu ialah apa yang didalam
perpustakaan hukum adat disebut dengan
“beschikkingsrecht”, itu berarti termasuk pula
jenis-jenis tanah adat yang ada di Bali yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat Bali
seperti desa pakraman menguasai tanah ayahan
desa (AYDS) atau tanah pekarangan desa (PKD).

29
Seperti telah diuraikan diatas bahwa tanah bagi
masyarakat hukum adat pada umumnya merupakan hal
yang sangat penting, oleh karena tanah merupakan tempat
tinggal, tempat hidup dan kehidupannya, tempat “roh” para
leluhurnya yang dikebumikan dan disemayamkan oleh
anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa antara tanah dengan
masyarakat hukum mempunyai hubungan yang sangat erat
sekali.
Hubungan yang demikian itu pula akan melahirkan
suatu hak dari masyarakat hukum adat terhadap tanah-
tanah yang ada di dalam batas lingkungan wilayahnya, yang
oleh Van Dijk dikatakan bahwa hak ulayat ataupun disebut
dengan “hak prabumian” di Bali adalah berakibat kedalam
dan keluar.12 Yang dimaksud dengan hak ulayat yang
berlaku kedalam adalah anggota masyarakat hukum adat
diperbolehkan untuk menikmati tanah dengan segala isinya
yang menimbulkan adanya hubungan antara hak ulayat
dengan hak perseorangan atas tanah yang lama kelamaan
menjadi kuat, dan akhirnya melahirkan hak milik atas tanah
dari anggota masyarakat hukum adat.
Bahan Diskusi :
Diskusikan dalam kelompok kedudukan hak ulayat ? dan
bagaimana menurut UUPA?

12 Selanjutnya baca : I Wayan Beni, Cs, 1983, Hukum


Adat Dua (BagianII), Fak.Hukum Unud, hal.4 dan
Wayan P Windia dan I Ketut Sudantra, 2006,
Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi
dan Publikasi Fak. Hukum Unud, hal.127-128.

30
4. KEDUDUKAN TANAH ADAT DALAM PERUNDANG-
UNDANGAN
Pokok persoalan mengenai tanah yang pada mulanya
terjadi dualisme pengaturan, setelah Negara Republik Indonesia
merdeka persoalan-persoalan mengenai tanah ini dibuatkan
satu unifikasi hukum tanah yang lebih dikenal dengan Undang-
Undang Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), yang mulai
berlaku sejak 24 September 1960. Dengan demikian sampai
saat ini ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku terhadap
tanah adalah berpedoman pada UUPA tersebut disamping
ketentuan-ketentuan lain yang ada kemudian sebagai
peraturan pelaksana dari UUPA tersebut. Untuk mengetahui
lebih jauh mengenai kedudukan hukum tanah-tanah adat,
tidak lepas dari pengetahuan tentang ketentuan hukum agraria
yang berlaku sebelum keluarnya UUPA tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suasthawa D,
bahwa sebelum berlakunya UUPA, di Indonesia berlaku dua
macam hukum tanah yaitu : hukum tanah adat dan hukum
tanah barat, sehingga dengan demikian menyebabkan ada
dua macam tanah yaitu “ tanah adat atau disebut pula
tanah Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum adat,
sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus untuk
hak-hak tertentu. Dan dilain pihak ada “tanah barat” atau
disebut pula dengan tanah eropah, yang dapat dikatakan
bahwa tanah-tanah ini tunduk pada hukum agraria barat
yang kesemuanya terdaftar pada kantor pendaftaran tanah
menurut “overschrijvingsordonantie” atau ordonansi balik nama
(stb.1834 No.27). jadi tanah-tanah yang tunduk pada hukum
(agraria) adat adalah termasuk tanah adat yang ada di Bali.13

13 Made Suasthawa.D, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali


Setelah Berlakunya UUPA, CV.Kayumas Agung, Denpasar, hal.21-22.

31
Setelah berlakunya UUPA (Undang-Undang pokok
Agraria No.5 Tahun 1960), didalam Pasal II, VI dan VII
Ketentuan Konversi dapat ditemukan bahwa nama-nama hak
atas tanah yang terdapat dalam pasal itu persis sama dengan
nama-nama hak atas tanah adat atau tanah Indonesia.
Adapun nama-nama hak atas tanah adat sebagaiana yang
tersebut dalam Pasal II, VI, VII Ketentuan Konversi adalah :
1. Hak agrarisch eigendom;
2. Hak milik;
3. Yasan;
4. Andarbeni;
5. Hak atas druwe;
6. Hak atas druwe desa;
7. Pesini, ......dst.

Proses individualisasi tanah itu pun telah diantisipasi


UUPA sebagaimana dapat disimak dari ketentuan pada Pasal
16 UUPA, telah ditetapkan macam-macam hak atas tanah
yang dapat dipunyai orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum
sebagai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut
hasil dan hak yang tidak termasuk dalam hak tersebut yang
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya sementara.14

Dalam konteks macam-macam hak atas tanah


yang disebutkan dalam pasal 16 uupa, hak ulayat tidak
dimasukkan dalam pengertian hak atas tanah. Pengertian
hak ulayat adalah sebagaimana dirumuskan dalam PMNA/

14 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia Eksistensi


dalam Dinamika Perkembangan Hukum di Indonesia, Nuansa
Aulia, Bandung, h.101

32
Ka. BPN No.5 Tahun 1999. Kedudukan keberadaan hak ulayat
dapat dilihat sebagaimana pelimpahan wewenang dari negara
sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 4 UUPA, hak
menguasai dari negara pelaksanaannya dapat dilimpahkan
wewenang hak menguasai dari negara pelaksanaannya dapat
dilimpahkan wewenang hak penguasaan dari negara atas
tanah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat
hukum adat.15
Dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria No.2
Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan
UUPA, dalam Bab II yang berjudul “Pelaksanaan Ketentuan
Konversi, terdiri dari dua bagian yaitu :
• Bagian I, tentang hak-hak yang didaftar menurut
overschrijvingsordonansi.
• Bagian II, tentang hak-hak yang tidak didaftar
menurut overschrijvingsordonansi. Dan yang
dimaksud dengan hak-hak ini adalah hak-hak
atas tanah Indonesia (tanah adat).
Selanjutnya dengan keluarnya Peraturan Menteri
Pertanian dan Agraria No.2 Tahun 1962 dan kemudian
dirubah lagi dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. SK./26/DDA/1970, ditegaskan bahwa hak-hak yang
dimaksud dalam Ketentuan Konversi dan pendaftaran bekas-
bekas hak Indonesia atas tanah adalah hak-hak atas tanah
Indonesia (tanah adat). Disamping itu juga dapat dilihat dari
Pasal 3 UUPA, yaitu pasal yang mengatur tentang keberadaan
hak ulayat, sedangkan di tingkat daerah diatur dalam PERDA
No.3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman terutama Pasal 9,
yang pada pokoknya mengatur tentang pengakuan terhadap
eksistensi tanah desa pakraman.

15 Ibid,hal102

33
Bahan Bacaan :

1. Perlindungan AP, 1989, Undang-Undang Bagi Hasil


di Indonesia (suatu studi komparatif), Mandar Maju,
Bandung.
2. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat
Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
3. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
4. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
5. UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
6. UU No 10 TAhun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
7. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang
Desa Pakraman
8. Perda Propinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
9. SK bersama Mentri Keuangan (No. 351.1/KMK.010/2009),
Mentri Dalam Negeri (No. 900-639 A tahun 2009), Menteri
Koperasi Dan UKM (No. 01/SKB/M.KUKM/IX/2009), Dan
Gubernur Bank Indonesia (No. 11/43A/KEP.GBI/2009)
tentang Strategi Pengembbangan Lembaga Keuangan
Mikro- Menetapkan LPD sebagai lembaga keuangan mikro-
wajib berbadan hukum BPR atau koprasi atau BUMD.

34
PERTEMUAN IV : TUTORIAL/DISKUSI
TENTANG HUKUM TANAH ADAT

I. PENDAHULUAN
Hak ulayat dengan hak-hak anggota masyarakat
hukum adat mempunyai hubungan timbal balik yang
bertujuan untuk mempertahankan keserasian antara
kepentingan masyarakat hukum dan hubungan ini saling
desak atau batas membatasi atau disebut pula mempunyai
sifat mulur mungkret atau mengembang-mengempis atau
tarik ulur yang artinya, dimana hak ulayat kuat disitu hak
perseorangan atas tanah menjadi lemah atau sebaliknya.
Contohnya di Desa Tenganan Pengingsingan.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak ulayat yang
berlaku keluar adalah larangan-larangan terhadap orang
luar yang tidak menjadi anggota masyarakat hukum adat
kecuali atas seijin desa setelah membayar uang pengakuan
atau mesi atau recognitie ( di Bali disebut dengan batu-batu
atau penanjung batu).

II. PROBLEM TASK.


1. Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus-kasus tentang
jual beli tanah, penyerobotan tanah atau lahan,
mendirikan pabrik tanpa izin, pembabatan hutan,
illegal loging dan lain sebagainya. Kasus-kasus
ini bisa terjadi antara individu dengan individu,
kelompok dengan pengusaha, masyarakat dengan
pemerintah. Cobalah analisa kasus-kasus tersebut
dengan menghubungkannya antara UUPA, Hak
Ulayat dengan Hukum Adat.

35
Bahan Bacaan :

1. Perlindungan AP, 1989, Undang-Undang Bagi Hasil


di Indonesia (suatu studi komparatif), Mandar Maju,
Bandung.
2. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat
Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
3. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
4. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
5. UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
6. UU No 10 TAhun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
Tahun 1992 tentang Perbankan
7. Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001
tentang Desa Pakraman
8. Perda Propinsi Bali No. 8 Tahun 2002 tentang LPD
9. SK bersama Mentri Keuangan (No. 351.1/KMK.010/2009),
Mentri Dalam Negeri (No. 900-639 A tahun 2009),
Menteri Koperasi Dan UKM (No. 01/SKB/M.KUKM/
IX/2009), Dan Gubernur Bank Indonesia (No. 11/43A/
KEP.GBI/2009) tentang Strategi Pengembbangan
Lembaga Keuangan Mikro- Menetapkan LPD sebagai
lembaga keuangan mikro-wajib berbadan hukum BPR
atau koprasi atau BUMD.

36
PERTEMUAN V : PERKULIAHAN 3
HUKUM ADAT KEKELUARGAAN

1. PENGERTIAN HUKUM ADAT KEKELUARGAAN


Istilah hukum kekeluargaan diantara para sarjana
hukum adat tidak ada kesatuan istilah seperti Ter Haar
memakai istilah hukum kesanak saudaraan, Soerjono
Soekanto memakai istilah Hukum Keluarga, sedangkan
Djaren Saragih maupun Soerojo Wignyodipuro memakai
istilah Hukum kekeluargaan. Untuk mengetahui lebih lanjut
apa yang dimaksud dengan Hukum Adat Kekeluargaan itu,
perlu mencari beberapa pendapat sarjana. Secara umum
pengertian yang terkandung dalam hukum adat kekeluargaan
itu antara lain :
Menurut Djaren Saragih : Hukum keluarga adalah
se­kumpulan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hu­
bungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan
biologis.16
Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan
biologis akan beraneka ragam tergantung dari bentuk
perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita atau orang
tua mereka. Apabila hubungan biologis yang dilakukan oleh
seorang pria dan wanita tanpa dilakukan secara sah maka
anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut akan menjadi
anak tidak sah. Hal seperti ini akan menjadi berbeda apabila
hubungan biologis itu dilakukan secara saah maka anak-
anak yang dilahirpun akan menjadi anak-anak yang sah.
Sedangkan di Bali, kedudukan seorang anak dalam
keluarga dan keluarga besarnya selain ditentukan oleh sah
16 Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,
Bandung, hal.123.

37
tidaknya perkawinan orang tuanya, juga ditentukan oleh
bentuk perkawinan orang tuanya, apakah dalam bentuk
perkawinan biasa atau dalam bentuk perkawinan nyeburin.
Karena bentuk perkawinan tersebut akan mempengaruhi
pula hubungan-hubungan hukum yang akan timbul baik
dengan orang tua maupun keluarga besarnya (kerabatnya).

2. SISTEM KEKELUARGAAN DI INDONESIA


Untuk mengetahui sistem hukum kekeluargaan yang
berlaku, perlu terlebih dahulu mengerti dan memahami
sistem kekeluargaan yang secara umum dikenal di Indonesia.
Sistem kekeluargaan ini perlu dipahami karena sistem
kekeluargaan merupakan kunci untuk dapat memahami
persoalan-persoalan yang akan muncul kemudian antara lain
seberapa jauh ada hubungan hukum maupun hubungan
kekeluargaan antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya sehingga dengan mengetahui hubungan-hubungan itu
akan dapat diketahui pula apakah ada halangan atau larangan
diantara mereka apabila mereka ingin melangsungkan
perkawinan, serta untuk dapat mengetahui apakah mereka
mempunyai hak atau tidak sebagai ahli waris.
Pada prinsipnya di seluruh Indonesia terdapat 3
(tiga) sistem kekeluargaan, yaitu cara melihat atau menarik
keturunan sehingga dapat diketahui dengan siapa seseorang
itu mempunyai hubungan hukum kekeluargaan atau
keturunan siapa mereka serta dapat pula diketahui batas-
batas hubungan tersebut. Apakah mereka merupakan
hubungan sedarah, bukan sedarah atau pada derajat ke
berapa mereka berada ?
Adapun ketiga cara menarik garis keturunan itu di indonesia
antara lain :

38
1. Keturunan semata-mata dihitung menurut garis
laki-laki saja (garis patrilinial), seperti pada
masyarakat suku Batak, Nias, Sumba, Bali.
2. Keturunan semata-mata dihitung menurut
garis wanita (ibu) saja (garis matrilinial), seperti
masyarakat suku minangkabau.
3. Keturunan yang dilihat baik garis laki-laki
maupun garis wanita (garis keturunan yang
bersifat parental), seperti suku Jawa, Sunda,
Aceh, Dayak dan lain-lain.

Perbedaan sistem kekeluargaan seperti tersebut


diatas hanyalah berfungsi untuk menunjukkan adanya
suatu perbedaan kadar hubungan kekeluargaan antara
orang yang satu dengan orang yang lainnya yang ada antara
kedua belah pihak yaitu garis bapak dan garis ibu, tetapi
antara hubungan kedua belah pihak itu tidak terputus sama
sekali.
Sebagai contoh : masyarakat hukum adat di Bali
yang menganut sistem kekeluargaan patrilinial yang
menghitung garis keturunan melalui garis ayah, walaupun
perkawinannya mungkin berbeda kasta tetap saja hubungan
dengan keluarga ibu juga dijaga. Hanya saja porsi hubungan
itu lebih tinggi kekeluarga ayah dari pada kekeluarga ibu
apalagi dalam peristiwa-peristiwa yang penting seperti dalam
upacara dan upacara “Pitra Yadnya”.
Itu berarti keluarga dari pancar laki-laki lebih utama
dari keluarga pancar wanita kecuali keluarga dari pancar
laki-laki sudah tidak ada lagi, barulah keluarga dari pancar
wanita mendapat perhatian baik mengenai penerimaan
warisan maupun pemeliharaan anak. Dalam masyarakat

39
yang berhukum kekeluargaan patrilinial pada umumnya
terdapat cara perkawinan, dimana si wanita sesudahnya
kawin akan tinggal pada kelompok keluarga suami, demikian
pula si anak masuk golongan keluarga (clan) bapaknya.
Sebagai corak kedua dalam susunan kekeluargaan di
Indonesia pada umumnya yang bersifat “klasifikatoris”,
artinya bahwa seluruh generasi dari bapak (dan ibu), seorang
anak dari beberapa hal mempunyai kedudukan yang sama
dengan bapak serta ibunya, tanpa memperhatikan umur
yang bersangkutan.17
Hal diatas adalah berkaitan dengan istilah menyapa
dan menyebut atau cara memanggil seseorang dalam
keluarga baik keluarga dari bapak maupun dari keluarga
ibu tanpa memandang umur dari mereka yang disapa atau
disebut tersebut.
Bahan diskusi :
a. Apakah ada perbedaan kedudukan antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya sebagai akibat
adanya hubungan biologis atau karena perbuatan
hukum lainnya di Indonesia ?
b. Jelaskan perbedaan konsep dan akibat hukumnya
antara patrilinial Batak dengan patrilinial Bali ?
c. Jelaskan pengertian unilateral, bilateral, patrilinial
beralih-alih !

17 Gede Panetja, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali,


CV.Kayumas, hal.41.

40
3. KETURUNAN DAN PENGANGKATAN ANAK MENURUT
HUKUM ADAT PADA UMUMNYA

a. Pengertian keturunan menurut hukum adat pada


umumnya
Berdasarkan pendapat dari Surojo Wignyodipuro
yang dimaksud dengan keturunan adalah ketunggalan
leluhur, yang artinya ada perhubungan darah antara orang
yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang
mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur
adalah keturunan yang seorang dari yang lain.18
Sedangkan menurut T I P. Astiti, Cs : dikatakan
bahwa keturunan itu adalah orang-orang laki dan perempuan
yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang
menurunkannya.19
Dari kedua pendapat tersbut dapat dikatakan bahwa
: keturunan adalah merupakan unsur yang mutlak harus
ada jika satu keluarga tidak menginginkan dirinya dikatakan
tidak ada generasi penerusnya.
Oleh karena itu, jika khawatir akan menghadapi
kenyataan tidak mempunyai keturunan maka dapat mela­
kukan pengangkatan anak untuk menghindari kepunahan.
Orang yang satu sebagai keturunan dari orang yang lain­
nya mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban ter­
tentu sesuai dengan kedudukan dalam keluarga yang ber­
sangkutan.
Keluarga wajib saling membantu, saling mewakili,
saling pelihara-memelihara, boleh mempergunakan nama

18 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.128.


19 TIP.Astiti,Cs, 1984, Hukum Adat Dua (Bagian II), Dokumentasi
dan Publikasi Fak.Hukum Unud, Denpasar, hal.2.

41
keluarga mereka yang menjadi keturunan seorang bapak
akan menjadi anggota pula dari clan bapak.
b. Sifat-Sifat Keturunan
Menurut sifatnya keturunan ada dua (2), yaitu :
a) Keturunan menurut garis lurus keatas dan kebawah,
maksudnya adalah keturunan langsung keatas yaitu
apabila rangkaiannya dilihat dari bawah keatas yaitu
dari : anak, bapak, kakek. Sedangkan sebaliknya apabila
rangkaian itu dilihat dari atas kebawah yang disebut
lurus kebawah yaitu dari : kakek, bapak, anak.
b) Keturunan menurut garis menyimpang, menyamping
atau bercabang yaitu : apabila antara kedua orang atau
lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, yang
disebut dengan “sepupu”.
c) Hubungan darah antara seseorang dengan orang
lainnya.
Menurut T.I.P. Astiti, dapat pula dilihat dari jauh
dekatnya hubungan tersebut, karena jauh dekatnya hubungan
darah ini akan membawa akibat hukum yang berbeda.
Jadi harus dibedakan antara hubungan darah yang sangat
dekat dengan hubungan darah yang cukup dekat. Terhadap
hubungan darah yang sangat dekat mengakibatkan adanya
larangan yang sangat mutlak bahwa diantara mereka ada
larangan perkawinan, seperti antara : bapak dengan anak atau
antara kakek dengan cucunya, atau antara saudara kandung.
Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan
darah cukup jauh secara relatif masih dimungkinkan untuk
melangsungkan perkawinan. Dan mereka yang mempunyai
hubungan darah yang jauh, diantara mereka sudah tidak
ada lagi istilah untuk menyebutkan hubungan itu.20

20 Ibid, hal.3.

42
Selain ada istilah melihat garis keturunan melalui
sifat-sifatnya, maka keturunan dapat pula dilihat melalui
derajat atau tingkatannya yang disebut dengan derajat
keturunan. Hal ini juga untuk menentukan jauh dekatnya
hubungan kekeluargaan seseorang dengan orang lain yang
akan bermanfaat dalam menentukan siapa yang akan muncul
sebagai ahli waris pertama apabila ada seseorang yang
meninggal, apakah dia berada pada derajat I (anak), pada
derajat II (kakek), pada derajat III (cucu). Dan seterusnya.
Keturunan mempunyai arti penting karena :
a. Sebagai penerus generasi sehingga seseorang
tidak dikatakan punah (caput).
b. Merupakan harapan dan tujuan dari setiap
perkawinan.
c. Sebagai ahli waris apabila ada yang meninggal.
d. Wadah atau tempat orang tua atau keluarga
berharap dan berlindung.
e. Melalui keturunan dapat dibuat ssisilah keluarga
yang akan memberikan gambaran dengan jelas
garis-garis keturunan dari seseorang atau suami
istri, baik yang lurus keatas maupun kebawah,
menyimpang, menyamping baupun bercabang.
f. Berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu
untuk meyakinkan apakah diantara mereka ada
hubungan darah dekat yang merupakan larangan
untuk mereka kawin (menjadi suami-istri),
misalnya adik dengan kakak sekandung.
Ketiadaan keturunan atau anak dapat menimbulkan
berbagai akibat hukum atau peristiwa hukum seperti yang
diungkapkan oleh Soerjono Soekanto yaitu perceraian,
poligami atau pengangkatan anak, walaupun itu bukan

43
merupakan alasan satu-satunya dalam perkawinan karena
tidak adanya keturunan.21

c. Pengangatan Anak
Suami istri yang telah lama melangsungkan perka­
winan dan kemudian tidak mempunyai anak, maka mereka
kadang-kadang meminjam anak kecil dari orang lain yang
sering disebut istilah pinjam anak kecil sebagai “penuntun”.
Tetapi ada pula dengan cara lain untuk mendapatkan anak
yaitu dengan cara mengangkat anak.
Mengangkat anak adalah suatu perbuatan hukum
yang mengambil anak orang lain kedalam keluarga sendiri
sedemikian rupa sehingga antara orang yang mengangkat
dengan orang yang diangkat itu timbul suatu hubungan
kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua
dengan anak kandung sendiri.22 Sedangkan menurut Ter
Haar, pengangkatan anak mempunyai sifat sebagai suatu
perbuatan hukum yang rangkap dab juga bersifat magis
religius, terang dan tunai.23 Dari pengertian tersebut dapat
diartikan bahwa pengangkatan anak itu mempunyai sifat:
1. Perbuatan hukum yang rangkap berarti ada dua per­
buatan hukum yang harus dilalui dalam proses pe­ngan­
katan anak yaitu di satu pihak melepaskan anak ter­
sebut dari ikatan kekeluargaan dengna orang tua kan­
dungnya dan di pihak lain memasukkan anak tersebut
ke dalam ikatan kekeluargaan orang tua angkatnya.
2. Magis religius berarti pada saat pengambilan anak
tersebut harus disertai suatu upacara penyerahan
suatu benda sebagai pengganti anak tersebut.

21 Soerjono Soekanto dan Soleman Biasana Taneko, Op.Cit, hal.275.


22 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.141.
23 Ter Haar, Op.Cit, hal.153.

44
3. Terang artinya agar pengangkatan anak tersebut
dikatakan sah, maka dalam proses pengesahannya
haruslah disaksikan oleh dihadapan kepala desa dan
selanjutnya diumumkan secara luas keseluruhan
desa.
4. Tunai artinya bahwa pengambilan anak harus
disertai dengan penyerahan benda yang kelihatan
sebagai pengganti anak tersebut pada saat upacara
yang dilaksanakan pada saat yang bersamaan.
Pengangkatan anak melalui dua tahapan seperti
tersebut diatas. Dalam pengangkatan anak selalu diadakan
upacara keagamaan yang di Bali disebut “upacara pemerasan”.
Yang dimaksud dengan perbuatan magis religius dalam
pengangkatan anak ini adalah upacara tunai dalam hal
penyerahan anak disertai dengan penyerahan benda sebagai
pengganti si anak kepada orang tua si anak yang dilakukan
pada saat itu juga sedangkan sifat terang yang dimaksudkan
disini adalah adanya kesaksian dari pengurus desa.
Alasan-Alasan Pengangkatan Anak :
1. Tidak diperolehnya anak dalam suatu perkawinan
(karena tidak mempunyai anak);
2. Karena adanya rasa belas kasihan;
3. Untuk memperoleh tenaga kerja.
Tujuan pengangkatan anak
1. Untuk mendapatkan anak sebagai pelanjut keturunan
atau penerus generasi;
2. Sebagai penuntun agar memperoleh anak;
3. Untuk menghindari perkawinan yang rangkap atau
bertukar;
4. Untuk mendapatkan tenaga kerja.
Pengangkatan anak memerlukan beberapa persyaratan

45
baik bagi orang tua yang mengangkat maupun bagi anak
yang akan diangkat :
Persyaratan bagi orang tua angkat antara lain :
1. a. Anak angkat harus dicari dari lingkungan keluarga
terdekat menurut garis ayah;
b. apabila tidak ada anak dilingkungan keluarga
purusa, maka dapat dicari dari lingkungan
keluarga garis ibu.
c. Apabila tidak didapat anak baik dari keluarga
bapak maupun keluarga ibu barulah dapat dicari
dari keluarga lain dan bahkan dari anak yang
tidak ada hubungan kekeluarganya.
2. Harus mendapat persetujuan dari keluarga atau
kerabatnya.
3. Sudah pernah atau masih ada dalam ikatan
perkawinan bagi suami istri yang akan mengangkat
anak. Tetapi keadaan sekarang sudah berubah
dan lebih diutamakan adalah adanya hubungan
batin antara anak yang diangkat dengan orang tua
angkatnya.
Persyaratan bagi anak yang akan diangkat :
1. Belum dewasa;
2. Usianya lebih muda daripada yang mengangkat;
3. Diutamakan laki-laki.
Prosedur pengangkatan anak :
1. Secara umum proses pengangkatan anak menurut
hukum adat didahului dengan mencari kesepakatan
diantara keluarga si pengangkat dan di keluarga anak
yang akan diangkat.
2. Adanya upacara pelepasan antara orangtuanya dengan
anak yang akan diangkat. Demi adanya kepastian

46
hukum saat ini anak angkat dimintakan penetapannya
ke Pengadilan Negeri karena anak angkat akan mem­
punyai kedudukan yang sama dengan anak kandung.
Apabila anak angkat tidak melaksanakan dharmanya
sebagai anak, maka anak angkatpun dapat dipecat sebagai
anak misalnya : tidak menuruti perintah yang baik dari orang
tua angkatnya, tidak melakukan kewajiban-kewajiban yang
menjadi beban orang tua angkatnya.

4. HUBUNGAN HUKUM DALAM HUKUM KEKELUARGAAN


Apabila yang dimaksud dengan keturunan ini adalah
anak, maka dalam masyarakat hukum adat pada umumnya
akan dikenal macam-macam atau jenis-jenis anak yaitu :
1. Anak sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan
yang sah orang tuanya.
Yang dimaksud dalam kelompok anak yang demikian adalah
:
a. Anak kandung.
b. Bukan anak kandung, meliputi : anak angkat,
anak tiri dan anak piara.
2. Anak tidak sah anak luar kawin (natuurlijk kind) atau
anak alam, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan
perkawinan yang tidak pernah disahkan. Sebagai
konsekwensi dari kedudukan anak yang demikian
menurut hukum adat mereka hanya mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya saja. Dalam UU
No.1 Tahun 1974, anak tidak sah hanya mempunyai
hubungan keperdataan saja dengan ibu dan keluarga
ibu. Berbeda halnya dalam hukum barat, yang perlu
mendapatkan pengakuan terlebih dahulu dari ibu
maupun laki-laki yang mengawini ibunya. Anak

47
luar kawin disebut dengan “anak bebinjat atau anak
haram”.
Dari bermacam-macam jenis anak seperti tersebut
diatas perlu dijelaskan atau diberi pengertian antara lain :
- Anak kandung adalah anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dari orang tuanya.
- Anak angkat adalah anak orang lain yang lahir
dari perkawinan yang sah yang diangkat sebagai
anak karena alasan-alasan dan tujuan tertentu.
- Anak tiri adalah anak dari salah satu pihak baik
dari suami maupun istri yang dibawa kedalam
perkawinan mereka.
- Anak piara adalah anak orang lain yang dipelihara
oleh seseorang karena orang tuanya tidak mampu
memeliharanya dan status anak yang demikian
tetap ada pada orang tua kandungnya.
Penggolongan anak seperti tersebut diatas mempunyai arti
penting dalam hal :
1. Hubungan antara anak dengan orang tuanya.
2. Hubungan antara anak dengan kerabat/keluarga.
Perbedaan antara hubungan anak dengan orang
tuanya dengan hubungan anak dengan kerabat/keluarga/
sanak saudaranya merupakan hal penting untuk diketahui
karena hubungan-hubungan tersebut diberbagai sistem
kekeluargaan nilai untuk anak akan berbeda dalam berbagai
hubungan-hubungan hukum seperti kewajiban memelihara,
hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan,
hubungan waris dan lain sebagainya.

a. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Orang Tua


Hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya

48
dikatan ada, apabila pada waktu anak tersebut lahir, orang
tuanya ada dalam perkawinan yang sah. Pekawinan yang sah
baik menurut hukum adat maupun Undang-Undang No.1
Tahun 1974 apabila perkawinan itu telah dilangsungkan
menurut hukum agama dan kepercayaannya seperti dalam
Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan.
Pada umumnya terdapat suatu hubungan hukum
berdasarkan atas hubungan antara orang tua dengan anak-
anaknya. Akibat hukum yang timbul dari adanya hubungan
hukum itu adalh beraneka ragam, tergantung dari bentuk
perkawinan orang tuanya. Anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang sah wajib dipelihara oleh orang tuanya.
Dan dalam pemeliharaan itu orang tua tidak membedakan
jenis kelamin dari anak-anaknya baik yang laki maupun
perempuan, anak tertua maupun terkecil sama-sama
dipelihara oleh ayah dan ibu mereka. Hubungan hukum
antara anak dengan orang tua sudah dimulai sejak si anak
masih berada dalam kandungan, kemudian lahir, hidup
menjadi dewasa sampai kemudian kawin. Dan hubungan
ini dapat dibuktikan dengan adanya upacara dan upakara
yang dilakukan terhadap si anak dan juga memelihara orang
tua yang sudah tidak mampu bekerja lagi. Dengan demikian
jelaslah bahwa hubungan hukum antara anak dengan orang
tua secara umum akan menimbulkan hak dan kewajiban
antara anak dengan orang tua secara bertimbal balik.
Kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya antara lain :
memelihara dan mendidiknya, menjamin kesejahteraannya
sesuai dengan kemampuan orang tua.
Seperti, upacara perkawinan dan lain sebagainya
dan juga memberikan pembagian warisan (kalau punya
harta warisan). Dan si anak berhak memakai nama keluarga

49
bapaknya. Sebaliknya orang tua mengharapkan dari anak-
anaknya antara lain mengenai :
- Sebagai penegak dan penerus generasinya.
- Menggantikan kedudukan orang tua.
- Memberikan nafkah dan memelihara orang tua
kalau sudah tidak mampu lagi.
Sebagai akibat hukum atau konsekwensi adanya
hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah :
- Adanya larangan kawin diantara mereka. Karena
apabila ketentuan ini dilanggar maka akan timbul
adanya delik adat dan pelakunya akan dijatuhi
reaksi dan koreksi adat sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di desa masing-masing.
- Berhak memakai nama keluarga bapaknya.
- Berhak sebagai ahli waris.
- Timbul hak dan kewajiban antara orang tua
dengan anak (alimentasi).
Hubungan antara anak dengan orang tua dapat
putus dalam hal anak dipecat sebagai anak karena dianggap
durhaka terhadap orang tua. Akibatnya si anak dapat tidak
diberikan hak untuk mewaris.

b. Hubungan Hukum Antara Anak Dengan Kerabat Orang


Tuanya
Dalam sistem kekeluargaan yang bersifat patrilinial,
maka hubungan antara anak dengan kerabat ayahnya, lebih
erat dan lebih penting daripada hubungan dengan kerabat
ibunya penentuan hubungan kekeluargaan ini di dasarkan
atas adanya ketunggalan leluhur atau “kawitan” karena garis
kebapaan. Disamping itu dapat pula ditentukan hubungan
kekeluargaan berdasarkan garis ibu, yang timbul karena

50
perkawinan.
Hubungan anak dengan leluhurnya yang dihitung
lurus ke atas dapat disebutkan dengan tingkatan-tingkatan
sebagai berikut: 1. Anak, 2. Ayah, 3. Kakek, 4. Buyut, 5...
dst. Sedangkan hubungan kekeluargaan kesamping dapat
disebut dengan tingkatan-tingkatan seperti : 1. Sepupu dan
sebutan lainnya. Adanya hubungan kekeluargaan ini juga
berperan untuk menentukan ada dan tidaknya larangan
perkawinan, seperti larangan perkawinan antara mereka
yang masih ada hubungan darah yang sangat dekat misalnya
antara anak dengan bibinya.
Hubungan kekeluargaan antara anak dengan
kerabat ibunya tidak menimbulkan adanya hubungan dalam
hal waris. Karena itulah yang menyebabkan si anak tidak
mempunyai kewajibanhukum pada kerabat ibunya.

c. Pemeliharaan Anak Yatim Piatu


Dalam sistem kekeluargaan patrilinial dimana
kedudukan keluarga ayah lebih penting dari pada keluarga
ibu, hal ini akan lebih jelas tampak di dalam upacara-
upacara, terlebih –lebih dalam bidang hukum waris.
Bilamana ayah meninggal dunia terlebih dahulu,
maka si ibu meneruskan memegang kekuasaan atas
keluarganya. Si ibu tetap mendidik anak-anaknya. Tetapi
kalau si ibu kawin lagi dengan orang lain yang bukan dari
saudara suaminya, maka kekuasaan dan kewenangannya
untuk mendidik maupun memelihara anak-anak menjadi
putus dan berarti si ibu tersebut telah memutuskan tali
kekeluargaannya dengan keluarga suami dan anak-anaknya
tetapi dipelihara dan tetap berada dilingkungan keluarga
suami. Demikian pula kalau si ibu yang meninggal dunia

51
atau orang tuanya yang meninggal dunia, maka si anak tetap
berada dan dipelihara oleh keluarga bapaknya yang terdekat.
Dalam hubungan dengan pemeliharaan terhadap anak yang
ditinggal mati oleh kedua orang tuanya, tidak mempunyai
kewajiban hukum terhadap orang yang memeliharanya. Si
anak hanya mempunyai kewajiban moral dan kewajiban
membantu mereka yang telah memeliharanya.

Bahan Bacaan :
1. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
2. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam
Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta
Mas, Jakarta.
4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia,
Sumur, Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum
UNUD, Denpasar.
8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

52
PERTEMUAN VI : TUTORIAL/DISKUSI
HUKUM ADAT KELUARGA

I. PENDAHULUAN
Kesatuan Hukum Adat di Indonesia membedakan
hubungan kekeluargaan menjadi 3 (tiga) system hubungan
kekeluargaan. Hubungan-hubungan ini sangat mempunyai
arti yang sangat penting dalam hukum kekeluargaan.
Sehubungan dengan hukum kekeluargaan, pernah terjadi
konflik dalam satu keluarga Bali-Hindu pada saat
pembuatan silsilah keluarga yaitu tidak memasukan anak
perempuannya dalam silsilah tersebut. Sebagai akibat maka
anak perempuan tersebut menuntut supaya dia dimasukan
dan diperhitungkan dalam silsilah tersebut.
Pada kasus lain terjadi di keluarga Jawa-Islam juga dalam
pembuatan suatu silsilah yaitu tidak memasukan nama
anak perempuan tersebut dalam silsilah tersebut, sehingga
dari hal itu timbul pula konflik.
Pertanyaan :
1. Sebut dan jelaskan system kekeluargaan yang dianut
dalam wacana diatas?
2. Jelaskan prinsip-prinsip yang dianut dalam system
kekeluargaan dalam wacana diatas?
3. Diskusikan kasus-kasus dalam wacana diatas serta
cara penyelesaian konflik-konflik dalam wacanna
diatas?.

II. PROBLEM TASK


Ada kasus pengangkatan anak yang dilakukan oleh
keluarga Bali yang beragama Hindu, dengan mengambil
anak di Panti Asuhan dan di Rumah Sakit. Pengambilan

53
anak tersebut tanpa ada persetujuan dari keluarga besarnya,
sehingga kemudian timbullah konflik dalam keluarga besar
tersebut yang menyebabkan pengangkatan anak itu menjadi
tertunda-tunda. Karena tidak sabar menunggu kemudian
keluarga yang mengangkat anak ini mengajukan permohonan
ke Pengadilan.
Bagaimanakah sikap Hakim dalam menangani kasus seperti
itu ? Hukum apakah yang akan diterapkan oleh Hakim,
dan apakah permohonan itu akan dikabulkan atau tidak ?
Bagaimana pula halnya apabila pengangkatan anak terjadi
di Jawa, Minangkabau maupun Batak ?

Bahan Bacaan :
1. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
2. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam
Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta
Mas, Jakarta.
4. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
5. Soepomo R, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di Indonesia,
Sumur, Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum
UNUD, Denpasar.
8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.

54
PERTEMUAN KE VII : UJIAN TENGAH SEMESTER

PERTEMUAN VIII : PERKULIAHAN 4


HUKUM ADAT PERKAWINAN

1. PENGERTIAN HUKUM PERKAWINAN


Di dalam mengetahui apa yang dimaksud dengan
perkawinan menurut hukum adat beberapa sarjana akan
mengemukakan pendapatnya antara lain :
Ter Haar menyebutkan bahwa perkawinan itu adalah
urusan kerabat, keluarga, masyarakat, derajat dan pribadi
masing-masing pihak yang akan melangsungkan perkawinan.24
Sedangkan menurut hazairin dalam bukunya “Rejang”
menyebutkan bahwa perkawinan adalah merupakan tiga
buah rentetan peristiwa dan perbuatan magis yang bertujuan
menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Yang
menurut A.Van Gennep perbuatan magis itu adalah berkaitan
dengan upacara-upacara peralihan yang terdiri dari 3 (tiga)
stadium disebut dengan “Rites de passage”, meliputi :
• Rites de separation (upacara perpisahan);
• Rites de marge (upacara perjalanan);
• Rites de aggregation (upacara penerimaan).25
Pengertian perkawinan dalam Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud
dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

24 Ter Haar, Loc.Cit, hal.158.


25 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.140.

55
Berdasarkan beberapa pengertian perkawinan seperti
tersebut diatas dapat dikatakan bahwa perkawinan itu
bersangkut paut dengan :
a. Aspek sosial (pandangan hidup) melalui perkawinan
akan dibentuk masyarakat kecil untuk mendapatkan
keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan
sosial yang bersangkutan, merupakan cita-cita
leluhur untuk membentuk keluarga yang bahagia
sebagai suatu nilai yang diharapkan dalam hidup.
b. Aspek agama, karena pelaksanaan pengesahan
perkawinan senantiasa dimulai dan seterusnya
disertai dengan upacara-upacara lengkap dengan
(Bali : upakara berupa sesajen atau banten).
c. Aspek hukum, bahwa sahnya perkawinan ditentukan
oleh hukum yang berlaku di tiap negara atau
masyarakat dimana perkawinan itu dilangsungkan.
Karena aspek hukum akan membawa akibat hukum
terhadap kedudukan istri, kedudukan anak-anak
dan harta benda perkawinan.
Lembaga perkawinan adalah lembaga suci yang
harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang maha
Esa yang artinya bahwa orang tidak dapat seenaknya
melakukan kawin cerai karena harus memenuhi syarat-
syarat maupun alasannya bila ingin bercerai. Berbeda halnya
dengan ketentuan dalam BW atau KUH Perdata yang dasar
ketentuannya adalah individual bahwa perkawinan adalah
kontrak yang dapat dibuktikan dengan bolehnya mereka
membuat perjanjian kawin, bahwa segala akibat yang
akan timbul kemudian dapat diperjanjikan terlebih dahulu
sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
Sedangkan pengertian “ikatan” yang disebutkan

56
dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bukanlah
merupakan perjanjian diantara mereka yang kawin tetapi
lebih bersifat “paguyuban” yang artinya ada ketunggalan
atau kesatuan dalam keluarga tersebut yang ditujukan
dengan adanya perubahan nama atau perubahan panggilan
ataupun perubahan sebutan (contoh di Bali, panggilan baru
“Pan Kelor, dst).

2. SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA


Hukum perkawinan di Indonesia telah mengalami
perkembangan, dan untuk memudahkan memahaminya
perkembangan tersebut dibagi dalam beberapa tahap antara
lain :
a) Sebelum keluarnya UU No.1 tahun 1974 (Undang-
Undang Pokok Perkawinan) di Indonesia berlaku
berbagai hukum perkawinan sehingga disebut
pluralisme dibidang perkawinan. Ketentuan-
ketentuan yang berlaku pada saat itu adalah : KUH
Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(S.1933 -74), Peraturan Perkawinan Campuran (GHR
: S .1898 -158), Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum
Agama.
b) Setelah keluarnya UU No.1 Tahun 1974, yang
diundangkan 2 Januari 1974 dan baru dapat berlaku
efektif setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP)
No.9 Tahun 1975, aturan tentang perkawinan diatur
secara nasional. Ini artinya bahwa segala sesuatu
yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang telah
diatur dalam undang-undang ini maka yang berlaku
adalah undang-undang ini dan peraturan yang
lama tidak berlaku lagi, karena undang-undang ini

57
merupakan unifikasi dalam hukum perkawinan
(lebih lanjut baca Pasal 66 UU No.1 Tahun 1975).
Di Indonesia undang-undang ini terbentuk setelah
melalui perbincangan diberbagai perdebatan dan
kesempatan yang juga bertujuan melindungi hak-hak
wanita dalam keluarga, maupun emansipasi wanita.
c) Kemudian dalam perkembangan selanjutnya untuk
lebih efektifnya undang-undang perkawinan ini
berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
maka keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No.9
Tahun 1975 selanjutnya keluar lagi PP No.10 tahun
1983 dan kemudian PP ini direvisi lagi dengan PP
No.45 Tahun 1990 yang mengatur tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dan untuk lebih mengefektifkan undang-undang
perkawinan ini kemudian keluar lagi beberapa
perauran perundangan lainnya seperti UU No.7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Wanita
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan lain-
lain.
d) Dilihat dari sifat UU No.1 Tahun 1974, Hazairin
menyebutkan dengan “Unik dan Luas” :
• Unik artinya unifikasi tetapi dalam kenyataannya
berlaku lagi ketentuan-ketentuan lain yang
dirujuk oleh undang-undang perkawinan.
• Luas artinya bahwa dalam undang-undang
perkawinan selain mengatur perkawinan juga
mengatur hal-hal yang lain seperti : masalah

58
anak, perceraian, harta benda perkawinan dan
lan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan
dalam pasal-pasal seperti : Pasal 2 ayat (1), Pasal
6 ayat (6), Pasal 37 dan Pasal 66.

3. SISTEM PERKAWINAN
Dalam hukum adat dikenal ada 3 sistem perkawinan
yaitu : Endogamy, Exogami dan Eleuthrogami :
1. Sistem Endogamy yaitu bahwa dalam sistem ini
seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang dari sukunya sediri. Sistem ini antara
lain terdapat di daerah Toraja;
2. Sistem Exogami yaitu bahwa orang diharuskan
kawin dengan orang di luar suku atau clannya.
Artinya dilarang kawin dengan sesama anggota
klan. Contohnya : Batak.
3. Sistem Eleuthrogami yaitu bahwa dalam sistem
ini tidak dikenal larangan-larangan ataupun
keharusan-keharusan seperti yang terdapat
dalam sistem Endogamy ataupun Exogami. Dan
sistem inilah yang terbanyak di Indonesia.

4. BENTUK-BENTUK PERKAWINAN DALAM HUKUM


ADAT
Dilihat dari bentuk-bentuk perkawinan pada
prinsipnya ada 3 (tiga) bentuk yang masing-masing
merupakan corak khas dari sistem kekeluargaan yang ada
di Indonesia yaitu :
a) Perkawinan jujur merupakan corak khas perkawinan
pada masyarakat patrilinial. Dalam perkawinan jujur
ditandai dengan pemberian jujur oleh pihak laki-

59
laki atau yang berstatus laki-laki (Bali). Fungsi jujur
: secara yuridis mengubah status salah satu pihak,
secara ekonomis, menimbulkan adanya pergeseran
harta kekayaan. Dan secara social, kedudukan menjadi
lebih dihormati dan bukan sebagai uang pembelian (hak
milik). Sifat jujur : lebih bersifat keharusan atau magis
dari pemberian. Karena jujur lebih berfungsi sebagai
pengganti kedudukan si gadis dalam keluarganya
(karena dengan keluarganya seseorang dari kelompok
keluarganya dianggap mengganggu keseimbangan
magis, perlu ada benda pengganti untuk menetralisir
keadaan). Jenis-jenis perkawinan jujur :
a. Perkawinan mengabdi/nyalindung kagelung (bila
jujur belum dibayar);
b. Perkawinan bertukar/berbesan rangkap (di Bali :
mekedeng ngaad);
c. Perkawinan meneruskan (bila istri meninggal, suami
kawin lagi dengan saudara istri);
d. Perkawinan mengganti/perkawinan ganti tikar
(bila suami meninggal, janda dikawini oleh saudara
suami);
e. Perkawinan pinjam jago, dll.

b) Perkawinan semendo merupakan corak khas perkawinan


pada masyarakat matrilineal. Adalah bentuk perkawinan
yang tanpa memakai dasar uang jujur sebaga tanda
peminangan, karena pada prinsipnya adalah untuk
mempertahankan keturunan pihak wanita (ibu) atau
klan istri. Adapun tingkatan-tingkatan perkawinan
semendo adalah : perkawinan semendo bertendang,
semendo menetap dan semendo bebas. Sedangkan

60
bentuk-bentuk perkawinan semendo adalah : semendo
raja-raja, semendo lepas, semendo nunggu, semendo
anak dagang dan semendo ngangkit/nyangkit.
c) Perkawinan bebas (mentas) merupakan corak khas
perkawinan pada masyarakat parental.26
Bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari cara si
wanita didapat, karena cara-cara si wanita didapat ada
bermacam-macam seperti :
1. Dengan cara meminang/melamar.
Cara ini pada umumnya dilakukan kedua mempelai
sudah saling cinta mencintai dan telah pula mendapatkan
persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.
Oleh karena telah ada persetujuan dari kedua belah
pihak maka dilanjutkanlah dengan pelamaran diawali dari
pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan. Dengan adanya
kesepakatan ini lalu diberikanlah kepada pihak suatu tanda
yang disebut “Peningset” sebagai tanda bahwa si wanita sudah
ada yang melamar. Apabila tidak ada aral melintang dengan
didasarkan pada hari baik dan berdasarkan kesepakatan
dilakukanlah penjemputan mempelai wanita lengkap dengan
membawa pakaian, sirih pinang dengan perlengkapan
lainnya sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku pada
masing-masing suku di Indonesia. Dan dari sini pulalah akan
terlihat berbhinekanya adat istiadat yang ada di Indonesia.
Setelah upacara ini selesai lalu si wanita dibawa kerumah
mempelai laki-laki untuk disahkan perkawinan mereka.
Pada umumnya proses pengesahan perkawinan melalui
peminangan ini berjalan sesuai dengan adat istiadat masing-
masing daerah yang ada di Indonesia.
2. Dengan Cara Kawin Lari Bersama

26 Djaren Saragih, Op.Cit, hal.135-143.

61
Cara ini lazim dilakukan dengan cara kawin lari
bersama-sama yang pada umumnya antara kedua pasangan
itu sudah ada hubungan cinta, dan tidak ada unsur paksaan
didalamnya, tetapi karena diantara mereka ada sesuatu
halangan yang memungkinkan perkawinan itu terancam
batal, maka jalan lain yang dapat ditempuh agar perkawinan
itu tidak batal adalah dengan cara kawin lari bersama, yang
pada awalnya mereka membuat perjanjian yang matang
tentang, hari, jam, tempat mempelai wanita dijemput.
Berdasarkan kesepakatan itulah mempelai wanita dilarikan
menuju kerumah mempelai laki-laki atau ketempat yang lain
sebagai tempat persembunyian kedua mempelai. Setelah
pelarian ini berjalan mulus barulah pihak laki-laki mengirim
utusan kepada keluarga pihak wanita untuk memberi
tahukan bahwa anak gadisnya telah dilarikan untuk dikawini
oleh si A, misalnya : lengkap dengan identitas mempelai laki-
laki maupun identitas orang tua mempelai laki-laki. Utusan
ini bertugas sebagai utusan dari mempela laki-laki dan agar
tidak mendapatkan halangan dari keluarga mempelai wanita.
3. Dengan Cara “Nyeburin”
Perkawinan dengan cara ini hanya dikenal pada
masyarakat hukum adat Bali yang umumnya dilakukan
diantara keluarga karena orang tua calon mempelai
wanita yang tidak mempunyai anak laki-laki. Perkawinan
dalam bentuk ini berbeda dengan dua bentuk perkawinan
diatas, karena dalam perkawinan “nyeburin” segala proses
perkawinan dimulai dari pihak wanita. Uacara pelamaran
maupun tempat pengesahan perkawinan mereka dilakukan
di rumah mempelai wanita.
Keadaan yang demikian akan membawa perbedaan
akibat hukum baik pada laki-laki maupun perempuannya

62
karena dalam perkawinan “nyeburin” mempelai laki-laki
akan berubah status secara hukum menjadi berstatus
“predana/wanita” dan yang wanita akan berubah menjadi
berstatus “purusa/laki-laki”. Segala hak dan kewajiban baik
dalam hukum keluarga maupun hukum waris akan dihitung
melalui garis wanita yang telah berstatus laki-laki yang
disebut “sentana rajeg atau putrika”.
Didalam perkawinan nyeburin dikenal beberapa
istilah yang masing-masing akan memberikan kedudukan
yang berbeda kepada pelakunya yaitu :
a) Perkawinan nyeburin biasa.
b) Perkawinan nyeburin silih dihi dan nyeburin
kepala dara.

5. SYARAT-SYARAT DAN PROSEDUR PENGESAHAN


PERKAWINAN
Pada masyarakat hukum adat tidak ada ukuran
yang pasti bagi seseorang yang dianggap pantas untuk
melangsungkan perkawinan, karena antara desa yang satu
dengan desa yang lainnya memakai kretiria yang berbeda.
Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974 kretiria yang
dipakai adalah :
• Untuk wanita apabila sudah mentruasi satu kali.
• Untuk laki-laki apabila sudah dianggap mampu
untuk mencari nafkah sendiri, atau sudah dapat
menggendong padi satu pikul atau sudah mampu
melaksanakan kewajiban di desa, atau sudah
terjadi perubahan suara (perubahan biologis).27
Tetapi setelah berlakunya UU No.1 Tahn 1974,

27 Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, 1980/1981, Hukum Adat Bali,


Fak Hukum Unud Bekerjasama dengan BPHN, Denpasar, hal.51.

63
yang berarti segala ketentuan yang berlakulah tentang
perkawinan sepanjang telah diatur dalam undang-undang
ini akan berlakulah undang-undang ini, (lihat pasal-pasal
tentang persyaratan tersebut dalam UU No.1 Tahun 1974
dan peraturan pelaksanaannya), kecuali belum diatur
barulah berlaku ketentuan lain yang juga akan ditunjuk oleh
undang-undang ini (Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974).
Oleh karena persyaratan-persyaratan perkawinan
telah diatur dalam undang-undang ini maka ketentuan
dalam undang-undang inilah yang berlaku dan tidak berlaku
lagi ketentuan seperti tersebut diatas.
Disimak dari undang-undang perkawinan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk dapatnya
suatu perkawinan disahkan haruslah melalui antara lain:
• Persyaratan formal : meliputi ketentuan umur
dan tidak melanggar larangan-larangannya, yang
tercantum dalam Pasal-Pasal : 6, 7, 8, 9, 10, 11
dan 12 UU No.1 Tahun 1974.
• Persyaratan materiil : meliputi proses dan
prosedur pengesahan yang harus dilakukan
mengikuti ketentuan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing (misalnya Pasal 2
ayat 1 dan 2 UU No.1 Tahun 1974).
• Disamping kedua persyaratan tersebut harus pula
dilengkapi dengan tata administrasi yaitu berupa
pencatatan perkawinan yang akan dibuktikan
dengan akte perkawinan yang merupakan alat
bukti yang kuat.
Sebagai suatu masyarakat hukum yang terikat pada
berbagai kepercayaan disamping adanya larangan-larangan
seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang ada pula

64
hal-hal lain yang perlu pula mendapatkan perhatian agar
akibat-akibat yang tidak baik atau yang dianggap membawa
bencana tidak terjadi, seperti perkawinan antara saudara
sekandung atau antara ibu dengan anaknya.
Disamping adanya perkawinan-perkawinan yang
dilarang, ada juga perkawinan yang dianggap idial bagi
masyarakatnya seperti pada masyarakat Minangkabaau,
diharapkan laki-laki kawin dengan anak perempuan
mamaknya (anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya),
di Batak, perkawinan yang dianggap idial adalah anak laki
kawin dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya,
di Jawa perkawinan yang idial adalah perkawinan antara
dua orang yang tidak terikat hubungan kekeluargaan.
Disana diperbolehkan adanya perkawinan “Karang Wulu”
yang artinya perkawinan oleh seorang duda dengan seorang
wanita adik dari almarhum istrinya.

6. TATA CARA PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT


Perkawinan dengan cara meminang mempunyai proses
dan prosedur yang berbeda dengan perkawinan lari bersama.
Pada perkawinan meminang selalu dimulai dengan
pelamaran, pembicaraan pengambilan dari rumah mempelai
wanita lalu diboyong kerumah mempelai laki-laki, selanjutnya
barurah dibuatkan upacara pengesahannya.
Sedangkan dalam perkawinan lari bersama, awalnya
dimulai dengan selarian, setelah sampai dirumah mempelai
laki-laki atau barulah dilanjutkan dengan pemberitahuan
kepada orang tua si gadis melalui utusan yang dikirim oleh
keluarga mempelai laki-laki bahwa anak gadisnya telah
kawin lari. Dan kemudian ada tidaknya persetujuan dari
orang tua si gadis tidak menghalangi proses pengesahan

65
perkawinannya asalkan semua persyaratan telah dipenuhi,
baik menurut undang-undang perkawinan (Pasal 2 ayat 1
UU No.1 Tahun 1974) maupun menurut hukum adat.
Baik perkawinan itu dilakukan dengan cara meminang
atau, dengan cara lari bersama ataupun dengan cara
“nyeburin pada masyarakat hukum adat Bali” puncaknya
atau pada akhirnya akan melakukan upacara pengesahannya
yang pada pokoknya terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu : Upacara
penerimaan di rumah mempelai wanita, Upacara perjalanan
ke rumah mempelai laki-laki dan Upacara pengesahan pada
statusnya yang baru, di rumah mempelai laki-laki.
Tujuannya tiada lain adalah untuk menjaga hal-
hal yang tidak diinginkanmuncul kemudian, dan apabila
sesuatu terjadi atas perkawinan tersebut maka masyarakat
dapat sebagai saksi dalam kasus yang terjadi. Mereka yang
sudah sah kawin akan dicatat atau didaftar di desa sebelum
ke catatan sipil yang merupakan pertanda bahwa telah resmi
menjadi anggota masyarakat yang baru.
Dan pendaftaran atau pencatatan atau pencatatan ini
dimasing-masing desa juga berbeda waktunya. Pencatatan
atau pendaftaran inipun saat ini akan berkaitan dengan
pembuatan akte perkawinan seperti yang diinginkan oleh UU
No.1 Tahun 1974 (Pasal 2 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974).

7. LARANGAN-LARANGAN PERKAWINAN
Mengenai larangan-larangan perkawinan menurut
hukum adat terdapat variasi antara daerah yang satu
dengan daerah yang lainnya. Larangan-larangan perkawinan
menurut hukum adat dapat terjadi karena hubungan
darah dekat, atau karena perbedaan kedudukan. Larangan
perkawinan juga berkaitan dengan sistem perkawinan yang

66
dianut oleh sesuatu masyaraka.
Bagi masyarakat yang menganut sistem endogamy
maka yang menjadi larangan adalah perkawinan dengan
orang luar klan (suku), contoh : masyarakat Bali. Sedangkan
masyarakat yang menganut sitem perkawinan exogami,
dilarang kawin dengan orang yang masih ada dalam satu klan
(suku), contoh : masyarakat Batak. Sedangkan masyarakat
yang menganut sistem perkawinan eleuthrogami, hanya
dikenal larangan perkawinan karena ikatan kekeluargaan
yang terdekat, seperti keturunan garis lurus keatas atau
kebawah, contoh masyarakat Jawa.
Oleh karena masalah yang menyangkut perkawinan
sudah ada unifikasi undang-undang perkawinan yaitu
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, maka mengenai larangan-
larangan perkawinan ini lihat pula Pasal 8 ayat 1 UU No.1
Tahun 1974.

8. HARTA BENDA PERKAWINAN


Harta benda dalam perkawinan ini dapat terdiri dari :
a) Harta benda yang dibawa oleh si gadis maupun si
laki-laki kedalam perkawinan atas pemberian orang
tuanya yang dinamakan “Bawaan”. Harta ini akan
diurus sendiri oleh si istri atau suami dan apabila
terjadi perceraian harta tersebut tetap diurus oleh
mereka masing-masing.
b) Harta yang didapat berasal dari warisan disebut harta
pusaka.
c) Harta yang dihadiahkan kepada suami istri tersebut
“pemberian”.
d) Harta benda yang diperoleh suami istri sebelum
kawin disebut dengan “harta penghasilan”.

67
e) Harta benda yang diperoleh suami istri baik secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama selama dalam
masa perkawinan berlangsung dinamakan “harta
bersama”.28
Penggabungan dari kesemua harta-harta seperti
tersebut diataslah yang dinamakan dengan “harta kekayaan”
atau harta benda perkawinan yang dikuasai oleh suami istri
selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan. Dan harta
benda perkawinan ini adalah merupakan modal kekayaan
yang dapat dipergunakan oleh suami istri untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari dalam kehidupan
mereka berumah tangga. Harta benda perkawinan ini diurus
bersama-sama oleh suami istri yang bersangkutan atau
dapat dilakukan perjanjian kawin sebelum perkawinan
dilangsungkan di Notaris dan apabila terjadi perceraian
maka harta tersebut akan dibagi oleh suami istri itu pula,
kecuali ada anak atau anak-anak mereka.

DISKUSIKAN :
a. Jelaskan bagaimanakah pengesahan perkawinan
menurut UU No.1 Tahun1974 ?
b. Jelaskan syarat umur orang boleh kawin baik menurut
hukum adat maupun menurut UU No.1 Tahun 1974
?
c. Bagaimanakah kedudukan hukum anak yang lahir
dari perkawinan yang sah dengan yang tidak sah ?
d. Jelaskan pengertian perkawinan “Nyeburin”,
perkawinan lari bersama, kawin bawa lari dan
perkawinan meminang !

28 Tim Peneliti Fak. Hukum Unud, Ibid, hal.60.

68
9. PERCERAIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM
HUKUM ADAT
Tujuan perkawinan seperti yang disebutkan dalam UU
No.1 Tahun 1974 adalah untuk mewujudkan keluarga dan
rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dan untuk mencapai
tujuan tersebut undang-undang telah pula membuat syarat-
syarat yang ketat agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan seperti mempersulit terjadinya perceraian atau
memperketat terjadinya poligami. Tetapi kadang-kadang
tidak dapat dihindari pula suatu perceraian.
Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan
perceraian adalah perkawinan yang putus antara suami istri,
yang serinng disebut dengan cerai. Sedangkan menurut UU
No.1 Tahun 1974 terutama Pasal 38 yang mengatur tentang
perceraian, bahwa putusnya perkawinan karena :
a. Putus karena kematian;
b. Putus karena cerai;
c. Putus karena putusan pengadilan.
a. Alasan-alasan perceraian
Pada umumnya yang dijadikan alasan untuk bercerai
adalah bervariasi, yang menurut hukum adat antara lain :
a. Istri berzinah;
b. Istri mandul;
c. Suami impoten;
d. Suami meninggalkan istri sangat lama atau istri
bertingkah laku tidak baik;
e. Kerukunan rumah tangga tidak dapat
dipertahankan lagi;
f. Campur tangan pihak mertua atau orang tua
daram urusan rumah tangga anak-anaknya;
g. Istri tidak mau dimadu (poligami);

69
h. Karena adanya suatu penyakit;
i. Penganiayaan oleh suami, dan lain sebagainya.29
Alasan-alasan seperti yang telah disebutkan diatas
ternyata telah dimasukkan dalam UU No.1 Tahun 1974,
Pasal 39 yang menentukan bahwa alasan-alasan yang dapat
dipakai sebagai dasar unntuk mengajukan gugatan cerai
antara lain :
a. Salah satu pihak berbuat zina, pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain-lain.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama
2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak yang lain
dan tanpa alasan yang sah atau hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara
5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah
perkwinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain. (KDRT).
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau
istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak lagi ada
harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga.
Oleh karena UU No.1 Tahun 1974 adalah undang-
undang perkawinan yang bersifat nasional dan berbentuk
unifikasi, maka itu berarti undang-undang ini berlaku
bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia termasuk

29 T.I.P. Astiti, Cs, Op.Cit, hal.44.

70
masyarakat hukum adat. Sehingga apabila ada anggota
masyarakat adat yang akan bercerai maka alasan-alasan
yang bisa dijadikan dasar perceraian hanyalah alasan yang
telah disebutkan dalam undang-undang perkawinan ini.

b. Sahnya Dan Akibat Hukum Perceraian


 Sahnya Perceraian
Sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, perceraian
tidak dilakukan melalui proses pengadilan, tetapi cukup
melapor kepada “Kepala Desa”.
Dengan keluarnya UU No.1 Tahun 1974, suatu
perceraian baru dapat dikatakan sah apabila telah ada
putusan pengadilan dan kemudian dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil di tempat perkawinannya dulu dicatatkan.
Seperti tercantum dalam Pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 yo
PP No.9 Tahun 1975 Bab V.
Jadi bagi masyarakat yang ingin bercerai, maka
haruslah terlebih dahulu memperoleh Putusan Pengadilan,
dan putusan perceraian itu juga harus dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil dan selanjutnya barulah atas dasar putusan
pengadilan itulah diumumkan di desa atau di RT/RW atau
Kelurahan. Hanya dengan proses itulah perceraian saat ini
dapat dikatakan sah menurut UU No.1 tahun 1974.

 Akibat Hukum Perceraian


Sebagai akibat dari adanya perceraian maka kedua
belah pihakyang dahulunya menjadi suami istri, setelah
perceraian dapat kawin lagi dengan orang lain. Dan akibat
hukum yang lain adalah tentang anak-anak yang lahir
dalam perkawinan mereka, maupun terhadap harta bersama
mereka.

71
Menurut hukum adat, wanita yang sudah bercerai
akan kembali lagi kerumah orang tuanya, dan berkedudukan
kembali seperti sebelum dia kawin yang disebut dengan
“Janda” yang hanya mempunyai hak menikmati harta
kekayaan orang tuanya. Sedangkan menurut UU No.1 tahun
1974, akibat hukum yang timbul dari perceraian itu terhadap
anak diatur dalam Pasal 41 nya, sebagai berikut :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-
mata berdasarkan kepentingan si anak. Bilamana
terjadi perselisihan mengenai pengasuhan anak-
anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu dan bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas
suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
bekas istri.
Selain UU No.1 Tahun 1974 mengatur tentang siapa
yang lebih berhak mengatur, mengurus dan memelihara
anak-anak yang telah lahir dalam perkawinan mereka
setelah perceraian, maka undang-undang juga mengatur
tentang harta bersama mereka setelah perceraian, seperti
diatur dalam Pasal 37 mengenai :
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Jadi disini maksudnya adalah hukum mana yang

72
dulunya mengesahkan perkawinan mereka maka hukum
tersebut pulalah yang akan menyelesaikan masalah yang
menyangkut harta besama mereka.

LATIHAN DAN TUGAS MANDIRI


a. Jelaskan apakah perceraian yang dilakukan menurut
hukum adat dapat dinyatakan sah ?
b. Jelaskan, apakah perkawinan antar agama dapat
disahkan menurut UU No.1 Tahun 1974 ?
c. Jelaskan bagaimanakah kedudukan hukum dari
anak yang lahir dalam perkawinan biasa dan dari
perkawinan lari bersama setelah orang tua mereka
bercerai ?

Bahan Bacaan :
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-
undangsan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo,
Jakarta.
2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.
3. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas
Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
4. K wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
5. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat,
Alumni, Bandung.

73
PERTEMUAN IX: TUTORIAL 4 HUKUM
ADAT PERKAWINAN

1. PROBLEM TASK I
Suci seorang perempuan (Bali Hindu) yang
melakukan perkawinan sah dengan yoga (Bali Hindu) dan
mempunyai anak 2 (dua) orang (laki berumur 17 tahun dan
perempuan masih balita). Selama menjalani perkawinan,
usaha yang mereka geluti sangat maju dan berkembang
dengan asset 1 hotel bintang lima yang berlokkasi di nusa
dua, 3 mobil dan tanah seluas 3 hektar. Suatu saat rumah
tangganya mengalami ketidakharmonisan dikarenakan yoga
mempunyai wanita idaman lain (WIL), akhirnnya keduanya
sepakat untuk menyudahi perkawinan (bercerai) .
Pertanyaan :
1. Diskusikan bagaimanakah prosedur yang harus
ditempuh untuk dapat dilakukannya persecaraian ?
2. Akibat-akibat apa yang ditimbulkan dari perceraian
tersebut.
3. Diskusikan masalah perwalian anak dalam wacana
diatas?

Bahan Bacaan :
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-
undangsan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo,
Jakarta.
2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.
3. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-Azas
Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
4. K wantjik Saleh, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia,

74
Ghalia Indonesia, Jakarta.
5. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat,
Alumni, Bandung.
6. Sagung Ngurah dkk, 2008, Buku Ajar Hukum adat
Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat Fak. Hukum
UNUD, Denpasar.
7. UU No.1 tahun 1974 (UU Perkawinan) beserta peraturan
pelaksananya antara lain PP No.9 tahun 1975, PP No.10
tahun 1983, PP N0.45 tahun 1990.
8. UU No.23 tahun 2004 tentang KDRT.
9. UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

75
PERTEMUAN X : PERKULIAHAN 5
HUKUM ADAT PEWARISAN

1. PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR PEWARISAN


a. PENGERTIAN PEWARISAN
Untuk memahami pengertian hukum adat waris,
terlebih dahulu perlu mengenal pengertian hukum adat
waris pada umumnya. Ada beberapa pendapat sarjana yang
mengemukakan pengertian hukum adat waris antara lain :
Soepomo dalam bukunya Bab-Bab Tentang Hukum
Adat merumuskan bahwa Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-
barang yang tidak berwujud benda (immatriil goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.30
Ter Haar mengemukakan bahwa : Hukum adat waris
pada pokoknya berisikan aturan-aturan mengenai proses
penerusan dan pengoperan harta kekayaan matriil maupun
immatriil dari turunan ke keturunan.31
Sedangkan Surojo Wignyodipuro memberi rumusan :
Hukum adat waris meliputi norma hukum yang menetapkan
harta kekayaan baik matriil maupun immatriil yang dapat
diserahkan pada keturunannya serta sekaligus mengatur
soal cara dan proses peralihannya.32 Hal yang tidak jauh
berbeda juga dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma33 bahwa
hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang

30 Soepomo.R, Op.Cit, hal.67.


31 Ter Haar, Op.Cit, hal.231.
32 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.199.
33 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 211.

76
mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta
warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para ahli
waris dari generasi ke generasi berikutnya. Djaren Saragih,
mendefinisikan bahwa hokum adat waris adalah suatu
complex kaidah-kaidah yang mengatur proses penerusan dan
pengoperan dari pada harta baik materiil maupun inmateriil
dari suatu generasi ke generasi berikutnya34.
Mencermati beberapa definisi tersebut di atas bahwa
hukum adat waris memuat aturan-aturan hukum tentang
proses pengoperan harta kekayaan baik yang berwujud
benda maupun tidak berwujud benda dari satu angkatan ke
angkatan berikutnya. Dengan demikian beberapa pengertian
hukum adat waris seperti tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa hukum adat waris itu meliputi :
a) Hukum waris adalah merupakan aturan hukum
b) Aturan hukum itu mengatur proses penerusan
dan pengoperan harta warisan.
c) Harta warisan yang dioperkan atau diteruskan
tersebut dapat berupa harta yang berwujud
(matriil) dan harta tidak berwujud (immatriil).
d) Penerusan atau pengoperan itu berlangsung dari
satu generasi kepada generasi berikutnya.
Ketentuan hukum adat waris seperti ini menunjukkan
corak khas bagi aliran pikiran tradisional Indonesia yang
bersendi pada prinsip-prinsip komunal dan konkrit.35
Dengan demikian dalam hukum adat waris, tidak
terlepas pula dari prinsip-prinsip komunal dan konkrit
seperti tersebut diatas, ditambah dengan prinsip religio magis

34 Djaren Saragih,1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito,


Bandung, hlm. 162.
35 Soepomo.R, Op.Cit, hal.72.

77
(keagamaan) yang sangat besar pengaruhnya kepada proses
penerusan dan pengoperan dalam pewarisan tersebut.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Hazairin bahwa menyatukan adat dan agama (Hindu) di Bali
secara umum merupakan perpaduan yang rampung pada
masyarakat Hindu di Bali.36 (Hazairin, 1968, h.24).
Sebagai contoh pengaruh agama Hindu di bidang
hukum waris pada masyarakat hukum adat Bali tampak
landasannya yaitu dalam sistem kekeluargaannya yaitu
patrilinial (sistem purusa), yang menjadi ciri dan corak yang
khas pada hukum adat warisnya.
Corak maupun ciri yang khas pada sistem keke­
lu­
argaan patrilinial Bali (purusa) memberikan tempat
pa­da anak laki-laki sebagai “Puthra” yang akan dapat
mem­ bebaskan arwah leluhur dari penderitaan di dunia
akhirat. Jadi sistem kekeluargaan patrilinial di Bali yang
memperhitungkan keanggotaan kerabat berdasarkan garis
laki-laki mendapat daya dukung yang kuat dari pandangan
agama Hindu yang menegaskan pentingnya anak (keturunan)
laki-laki bagi kebahagiaan suatu keluarga di dunia dan di
akhirat. Artinya : Arti pentingnya anak (keturunan) laki-laki
tidak hanya dilihat dari segi kepercayaan agama tetapi juga
dapat meneruskan pemenuhan dan pelaksanaan hak dan
kewajiban kemasyarakatan dalam desa pakraman.

b. UNSUR-UNSUR PEWARISAN
Agar pewarisan atau proses penerusan dan pengo­
peran harta warisan dapat berlangsung maka harus me­me­nuhi
unsur-unsur pewarisan yang meliputi 3 (tiga) unsur yaitu :

36 Hazairin, 1968, Hukum Kekeluargaan Nasional, Tinta Mas,


Jakarta, hal.24.

78
a) Pewaris adalah orang yang meninggalkan harta warisan,
baik ia itu laki-laki, wanita, janda, duda maupun anak-
anak.
Seperti halnya dalam hukum adat waris pada
umumnya, bahwa untuk menentukan siapa yang dapat
berkedudukan sebagai pewaris, maupun ahli waris pertama-
tama haruslah dilihat dari sistem kekeluargaan yang dianut
oleh yang bersangkutan, sebelum mengetahui ketentuan
yang lain-lainnya. Oleh karena sesuatu masyarakat hukum
adat menganut sistem kekeluargaan patrilinial, maka yang
berkedudukan sebagai ahli waris utama adalah anak laki-
laki, sehingga dengan sendirinya anak laki-laki itulah juga
yang akan berkedudukan sebagai pewaris.
Dalam hubungan ini, walaupun telah terkena
pengaruh modernisasi dan telah memasuki era globalisasi,
yang berkaitan dengan kedudukan pewaris ini dalam hukum
adat waris belumlah mengalami perubahan.
Pewaris adalah unsur merupakan unsur esensial
dalam proses pewarisan di samping unsuh penting lainnya.
Siapa yang dimaksud pewaris itu? Ini perlu ditekakan karena
masih banyak orang merancukan antara siapa pewaris dan
siapa ahli waris itu? Pewaris adalah orang yang memiliki
harta kekayaan yang (akan) diteruskannya atau yang (akan)
dibagi-bagikan kepada para ahli waris setelah dia wafat.
Jadi pewaris adalah “empunya” harta peninggalan37. Apakah
pewaris itu ayah atau ibu? Pewaris bisa ayah atau ibu atau
bisa ayah-ibu ini tergantung sistem kekeluargaan yang
dianut oleh masyarakat setempat.

37 Ibid. h. 214.

79
b) Ahli Waris adalah orang-orang yang akan menerima
warisan dari pewaris.
Pada prinsipnya ahli waris adalah mereka yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris, dimana
orangnya bisa laki-laki atau bisa juga wanita tergantung
dari sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan. Ahli waris bisa digaris menurun (anak, cucu
dan seterisnya), bisa digaris mendaki (orang tua, kakek
dan sebagainya) dan digaris menyamping (saudara pewaris,
paman, keponakan).
Ahli waris digaris menurun pada prinsipnya anak.
Anak dapat mempunyai pengertian yang bermacam-macam
yang masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda-
beda terhadap harta peninggalan seorang. Selain anak
sebagai ahli waris, maka perlu juga dibicarakan kedudukan
janda dan duda terhadap harta warisan, karena janda dan
duda disini sebenarnya tidak dalam ikatan pertalian darah
dengan pewaris.
Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dan
Soleman Biasane Taneko bahwa untuk memudahkan
menentukan ataupun menetapkan siapa yang dapat
berkedudukan sebagai ahli waris apabila ada seseorang yang
meninggal, dipakailah 2 (dua) garis pokok yaitu :

1. Garis pokok keutamaan yang terdiri dari :


 Kelompok keutamaan I : keturunan pewaris.
 Kelompok keutamaan II : orang tua pewaris.
 Kelompok keutamaan III : saudara-saudara
pewaris dan keturunannya.
 Kelompok keutamaan IV : kakek atau nenek.

80
2. Garis pokok penggantian yang terdiri dari :
 Orang yang tidak ada hubungannya dengan
pewaris.
 Orang yang tidak ada lagi penghubungnya
dengan pewaris.38
Ketentuan yang menyebutkan bahwa yang berhak
mewaris dalam masyarakat yang menganut sistem
kekeluargaan patrilinial seperti masyarakat hukum adat Bali
ataupun batak adalah anak kandung laki-laki dari pewaris
dapat diketahui dari beberapa putusan pengadilan (baca
: Pangkat, 1972 dan Paneca, 1986). Demikian pula dalam
yurisprudensi Makamah Agung No.32K/Sip/1971 tanggal
24 Maret 1971. Juga dalam laporan penelitian Fak.Hukum
Unud, 1980/1981, serta Laporan Penelitian Fak.Hukum
Unud, 1987/1988.
Jadi berdasarkan putusan-putusan pengadilan serta
ditunjang oleh adanya laporan penelitian tersebut diatas
maka tampak dengan jelas bahwa yang berkedudukan
sebagai ahli waris adalah anak laki-laki sepanjang tidak
melakukan perkawinan “keceburin” atau diangkat anak oleh
orang lain. Sedangkan anak wanita, baru akan berkedudukan
sebagai ahli waris apabila ia sudah berstatus ‘sentana rajeg
dan sudah melakukan perkawinan keceburin”.
Walaupun anak wanita ditegaskan tidak sebagai ahli waris,
tetapi dalam kenyataannya anak wanita tetap dapat menikmati
harta kekayaan orang tua mereka selama ia belum kawin. Apabila
anak wanita telah kawin dan keluar dari lingkungan orang
tuanya secara mewaris ia tidak dapat tetapi orang tuanya akan
memberikan bekal hidupna seperti di Bali : ada (pengupa jiwa)
yang disebut dengan bekal yaitu berupa : “jiwadana” ataupun

38 Soerjono Soekanto dan Soleman Biasane Taneko, Op.Cit, hal.286-287.

81
“ketipatan dan atau tetadtadan”. Untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya kedudukan wanita dalam hukum adat waris Bali,
lebih lanjut perlu diketahui terlebih dahulu kedudukan wanita
terseebut dalam keluarganya apakah ia berkedudukan sebagai
anak saja, sebagai istri atau janda (dalam perkawinan biasa atau
dalam perkawinan nyeburin) sebagai “sentana rajeg”, atau sebagai
wanita yang “mulih dehe”, karena perbedaan kedudukan maupun
status akan mempengaruhi terhadap kedudukannya sebagai ahli
waris.39
Untuk sementara ini ternyata berdasarkan penjelasan
yang diungkapkan dari putusan pengadilan, yurisprudensi
maupun dari laporan-laporan penelitian, bahwa hak janda,
istri maupun anak perempuan terhadap harta warisan baik
dari keluarga maupun suaminya masih terbatas dan bersyarat,
seperti dalam hukum adat waris pada umumnya.
Dengan demikian yang dimaksudkan kedalam
golongan ahli waris adalah mereka-mereka yang berada digaris
menurun, yang utama adalah anak (kelompok I), bila ini tidak
ada barulah mereka yang berada digaris keatas yaitu ayah
(kelompok keutamaan II), dan kalau ini tidak ada barulah
digaris menyamping yaitu kelompok keutamaan III yaitu
saudara-saudara pewaris dan keturunannya, kalau ini tidak
ada barulah masuk ke kelompok keutamaan IV yaitu kakek/
nenek. Orang-orang yang berada pada kelompok keutamaan III
dan IV itulah yang dimaksud dengan garis pokok penggantian
atau cucu menggantikan ayahnya sebagai ahli waris karena
ayah anak tersebut sudah meninggal dunia.
Selain dikenal anak kandung dan anak angkat, dalam

39 Sagung Ngurah, 1992, Akses Wanita Terhadap Harta Kekayaan


Keluarga Ditinjau Dari Hukum Adat Bali, (Studi Kasus di
Kelurahan Kuta, Badung) Laporan Penelitian,hal.35.

82
hukum adat juga dikenal anak yang lain yaitu :
• Anak tiri yaitu anak yang dibawa oleh salah satu pihak
kedalam perkawinan mereka yang baru. Anak ini bukanlah
ahli waris dari orang tua tirinya tetapi tetap dari orang tua
kandungnya saja.
• Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang tidak pernah disahkan, yang dalam
hukum adat Bali ada dua jenis.
(1) Anak bebinjat, adalah anak yang tidak dikethui
siapa bapak dari anak tersebut. Dalam asal 43
ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 ditentukan bahwa
anak yang demikian hanya mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu. Tetapi
dalam hubungan waris ia hanya mewarisi ibunya
saja.
(2) Anak astra, adalah anak yang lahir dari perkawinan
orang tuanya yang tidak pernah disahkan tetapi
dapat diketahui siapa bapak dari anak tersebut.
Dalam hukum waris maupun hukum keluarga ia
adalah tetap keluarga ahli waris ibunya. Hanya
saja kadang-kadang ayah biologisnya memberikan
pula biaya-biaya hidup anak tersebut tetapi tidak
sebagai ahli waris ayah biologisnya. Demikian pula
sebaliknya si anak hanya mempunyai kewajiban
moral terhadap ayah biologisnya tetapi tidak
tehadap kewajiban hukum.
c) Harta Warisan

Salah satu unsur penting untuk terjadinya pe­ wa­


risan adalah adanya harta warisan di samping unsur pen­
ting lainnya. Menurut pengertian umum, warisan adalah
sesuatu yang diwariskan, baik berupa harta, nama baik dan

83
lain-lain40. Dalam pengertiannya yang lebih sempit Hilman
Hadikusuma, mengatakan bahwa warisan diartikan sebagai
barang-barang berupa harta benda yang ditinggalkan oleh
seorang pewaris41. Retnowulan Sutantio, mengatakan bahwa
harta warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris
setelah dikurangi hibah-hibah dan hutang-hutang almarhum,
serta biaya penguburan dan selamatan serta biaya-biaya lain
sehubungan dengan kematiannya42. Korn mengatakan bahwa
menurut hukum adat Bali, warisan adalah semua harta
kekayaan berupa material (yang berwujud) yang ditinggalkan
oleh pewaris kepada ahli waris43 sedangkan menurut Windia
warisan tidak saja berupa barang-barang berwujud seperti
harta benda milik keluarga, melainkan juga berupa hak-hak
kemasyarakatan, seperti hak atas tanah karang desa yang
melekat pada status seseorang sebagai anggota masyarakat
desa (krama desa pakraman), hak memanfaatkan setra
(kuburan milik desa), bersembahyang di Kahyangan Desa,
dan lain-lain. Dengan demikian dalam konteks hukum adat
waris merupakan semua harta yang ditinggalkan pewaris
baik harta yang berwujug benda (matriil), harta yang dapat
dibagi-bagi atau harta tidak berwujud benda (immatriil)
atau harta yang tidak dapat dibagi-bagi dan hutang-hutang
pwaris. Harta peninggalan yang termasuk harta benda yang
tidak dapat dibagi-bagi ini adalah berdasarkan atas alasan

40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2000, hlm. 1269.
41 Hilman Hadikusuma I, op.cit., hlm. 35.
42 Retnowulan Sutantio, 1979, Wanita dan Hukum, Alumni,
Bandung, hlm. 86.
43 V.E Korn, 1971, Hukum Adat Waris Bali(Het Adatrecht van
Bali Bab-IX), terjemahan I Gede Wayan Pangkat, FH & PM,
Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 46.

84
kenapa tidak dibagi-bagi, dapat dibedakan sebagai berikut :
(1) Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk
dibagi-bagi (misalnya barang milik suatu kerabat
atau famili).
(2) Karena kedudukan hukumnya memang terikat
kepada suatu tempat/jabatan tertentu (misalnya ba­
rang-barang keraton yang harus disimpan di Keraton).
(3) Karena belum bebas dari persekutuan hukum (contoh
di Bali Tanah Pekarangan Desa).
(4) Karena pembagiannya untuk sementara ditunda.
(5) Karena hanya diwariskan pada seseorang saja (sistem
Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-
masing pihak (suami-istri) kedalam perkawinan
yang disebut “harta bawaan”. Pada umumnya
harta ini nantinya akan menjadi harta warisan bagi
keturunannya. Tetapi kalau pasangan ini tidak
memiliki keturunan, atau terjadi perceraian maka
harta tersebut akan kembali kepada pemiliknya.
Harta perkawinan atau harta bersama adalah harta
yang diperoleh selama atau dalam perkawinan, baik harta
tersebut diperoleh istri sendiri, suami sendiri atau suami istri
bersama-sama. Di Bali harta semacam ini disebut dengan
istilah “harta guna kaya atau druwe gabro”, di Jawa disebut
dengan “harta gono gini”. Dan terhadap harta ini, apabila
terjadi perceraian sesuai dengan ketentuan undang-undang
perkawinan diatur menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya.
Disamping harta-harta seperti tersebut diatas juga
diwariskan seperti hutang-hutang pewaris, hak mem­
pergunakan gelar (nama keluarga), kalau di Bali ada hak-hak
yang belakunya terbatas yaitu hak untuk bersembahyang di

85
tempat persembahyangan keluarga.
Disamping itu juga termasuk didalamnya hak-
hak yang berkaitan dengan desa pakraman seperti mem­
pergunakan kuburan, persembahyangan di pura milik desa
dan hak-hak lainnya (berlaku bagi masyarakat hukum adat
Bali). Tetapi semua harta yang berupa hak-hak ini har­us­
lah diimbangi dengan kewajiban-kewajiban, baik berupa ke­
wajiban hukum maupun kewajiban moral seperti “ngaben”,
me­nyembah orang tua sebagai leluhur, maupun membayar
hutang-hutangnya (baca UU No.1 Tahun 1974 antara lain
Pasal 35, 36 dan 37).
Masing-masing unsur ini pada pelaksanaan proses
penerusan serta pengoperan kepada orang yang berhak
menerima harta kekayaan itu, selalu menimbulkan persoalan
sebagai berikut :
a) Unsur utama menimbulkan persoalan, bagaimana
dan sampai dimana hubungan seorang meninggal
warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh
sifat lingkungan kekeluargaannya dimana si
meninggal warisan itu berada.
b) Unsur kedua menimbulkan persoalan, bagaimana
dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan
an­tara peninggal warisan dengan ahli waris.
c) Un­sur ketiga menimbulkan persoalan, bagaimana
dan sampai dimana wujud kekayaan yang
beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan
kekeluargaan di­ mana si peninggal warisan dan
ahli waris bersama-sama berada.44
Berkaitan dengan harta warisan, dalam hukum adat

44 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris


Indonesia, Sumur, Bandung, hal.9.

86
bali warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari

sumbernya dapat digolongkan sebagai berikut :


1. Tetamian (harta pusaka) berupa harta yang
diperoleh karena pewarisan secara turun
temurun. Tetamian meliputi :
a. tetamian yang tidak dapat dibagi, yaitu
harta yang mempunyai nilai magis-religius
seperti tempat persembahyangan keluarga
(sanggah/merajan), keris bertuah, alat-alat
persembahyanga.
b. tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta yang
tidak mempunyai nilai religius, seperti sawah,
ladang dan lain-lain.
2. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-
masing suami dan istri ke dalam perkawinan,
baik yang diperoleh atas usahanya sendiri
(sekaya) ataupun pemberian/hibah (jiwa dana).
3. Peguna kaya (guna kaya), yaitu harta yang
diperoleh oleh suami istri selama perkawinan
berlangsung.

Menurut Peswara Pewarisan Tahun 190045, ­harta


warisan terjadi dari hasil bersih kekayaan pe­waris setelah
dipotongkan hutangnya termasuk juga hutang-hutang
yang dibuat untuk ongkos penyelenggaraan pengabenan
pewaris. Gde Panetje, menafsirkan Peswara Pewarisan
tersebut bahwa hutang pewaris tidak ditanggung oleh ahli
warisnya jika harta warisan tidak mencukupi46 sedangkan
45 Peswara Pewarisan Tahun 1900 dikeluarkan tanggal 13 Oktober
1900 oleh Residen Bali dan Lombok dengan pemusyawarahan
bersama-sama pedanda-pedanda dan punggawa-punggawa, semula
diberlakukan bagi penduduk Hindu Bali Kabupaten Buleleng, tetapi pada
tahun 1915 diberlakukan pula untuk seluruh Bali selatan
46 Gde Panetje, 1986, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, CV.
Kayumas, Denpasar, hlm. 162.

87
Korn, menemukan kenyataan bahwa hutang-hutang pewaris
diwariskan kepada ahli warisnya. Lebih lanjut dikatakan
olehnya bahwa tidak hanya sisa bersih dari harta warisan
yang diwariskan, akan tetapi juga harta warisan yang harus
diterima maupun hutang-hutang, kecuali hutang-hutang
karena perjudian47.
Seiring dengan kemajuan jaman dan perkembangan
masyarakat di wilayah perkotaan warisan dapat juga
berupa hotel, restaoran, rumah B.T.N. dan dapat juga
berupa tabungan-tabungan di sebuah bank. Jadi dapat
dikatakan bahwa secara umum warisan tersebut meliputi
harta kekayaan yang berwujud berupa sawah, ladang , hotel,
restauran, tabungan dan harta kekayaan yang tidak berwujud
(hak-hak kemasyarakatan, hak memakai wangsa) dan juga
hutang-hutang pewaris terlepas apakah hutang-hutang itu
timbul karena perjuadian atau tidak. Harta warisan tidak
selalu bentuknya harta kekayaan tetapi hutang-hutangpun
juga merupakan warisan dan ini harus menjadi tanggung
jawab ahli waris.

47 V.E. Korn II, op.cit., hlm. 8-12.

88
2. PRINSIP-PRINSIP PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT
WARIS
Apabila diteliti lebih seksama, maka secara prinsip
dapat diketahui bahwa hukum adat waris adalah mengikuti
pula prinsip-prinsip pewarisan yang berlaku pada masyarakat
kekhususan-kekhususan yang harus diperhatikan, seperti
sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan karena hukum adat waris seperti halnya Bali
yang dalam hukum kekeluargaannya dilandasi oleh hukum
agama Hindu, maka dalam hukum warispun dilandasi oleh
hukum agama Hindu.

3. SIFAT HUKUM ADAT WARIS


Hukum adat waris menunjukan corak-corak yang
khas dari aliran pikiran tradisional Inndonesia. Hukum
adat waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-
aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia,
oleh karena itu hukum adat waris memperlihatkan
perbedaan yang prinsipal dengan hukum waris Barat.
Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut:
• Hukum adat tidak mengenal ”legitieme portie”
akan tetapi hukum adat waris menetapkan dasar
persamaan hak, hak sama ini mengandung hak
untuk diperlakukan sama oleh orang tuanya di
dalam proses meneruskan dan mengoperkan harta
benda keluarga. Sementara menurut hukum waris
Barat mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian
tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan
menurut ketentuan undang-undang(”wettelijk
erfdeel” atau ”legitieme portie” pasal 913 sampai
dengan 929),di samping dasar persamaan hak

89
hukum adat waris juga meletakan dasar kerukunan
pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara
rukun dengan memperhatikan keadaan istimewa
dari tiap-tiap waris.
• Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi
antara para ahli waris. Sementara hukum waris
Barat mengenal hak tiap-tiap ahli waris atas bagian
yang tertentu dari harta peninggalan, bagian warisan
menurut ketentuan undang-undang (”wettelijk erfdeel”
atau ”legitie portie” pasal 913 sampai dengan 929).
Di samping hukum waris Barat juga memenentukan
adanya hak mutlak dari ahli waris masing-masing
untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian dari harta
warisan (pasal 1066 KUHPerdata)48 Dengan demikian
Hukum adat waris pada prinsipnya mempunyai
perbedaan-perbedaan dengan hukum waris Barat,
terutama dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Hukum adat waris tidak mengenal “legitieme portie”.
2. Proses pembagian berdasarkan kerukunan dan
memperhatikan persamaan hak.
3. Ahli waris tidak berhak memaksa agar harta
warisan dibagi.
4. Dalam hukum adat terdapat benda-benda yang
menurut sifatnya memang tidak dapat dibagi-bagi.
5. Hukum adat waris mengenal sistem penggantian
tempat (plaats vervulling).
6. Harta benda tidak merupakan satu kesatuan,
tetapi harus memperhatikan sifat-sifatnya yang
khusus.49
48 Surojo Wignjodipuro, 1987, Pengantar dan Asas-Asas Hukum
Adat, Gunung Agung, Jakarta, h. 163.
49 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.194-195.

90
4. SISTEM PEWARISAN DALAM HUKUM ADAT WARIS
Seperti halnya dalam sistem kekeluargaan menurut
hukum adat pada umumnya mengenal 3 (tiga) sistem, maka
dalam sistem pewarisan juga dikenal tiga sistem yang sekaligus
sistem ini juga oleh masyarakat hukum adat antara lain:
a. Sistem pewarisan individual, yaitu sistem pe­ wa­
risan dimana harta warisan dapat dibagi secara
per­seorangan atau masing-masing ahli waris akan
mendapatkan bagiannya, tetapi masih tetap mem­
perhatikan sifat maupun jenis dari hartsa yang
akan dibagi. Sistem pewarisan individual ini di Bali
umumnya diterapkan pada barang-barang atau harta
warisan yang tidak mempunyai nilai keagamaan atau
barang-barang yang termasuk harta benda matriil.

b. Sistem pewarisan kolektif, yaitu sistem pewarisan


dimana harta warisan berada atau dikuasai oleh satu
orang dan semua ahli waris hanya mempunyai hak
untuk menikmati saja. Tidak ada penerimaan warisan
secara perorangan. Dan sistem ini pada masyarakat
hukum adat Bali umumnya diterapkan terhadap
barang-barang atau harta pusaka yang mempunyai
nilai keagamaan atau religio magis (immatriil)
seperti : keris pusaka, sanggah/merajan, alat-alat
upacara dan upakara dan lain-lain yang dianggap
mempunyai nilai seperti itu. Dengan demikian Sistem
kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan dimana
harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-
sama oleh para ahli waris. Jadi harta peninggalan
masih bentuk satu kesatuan, akan tetapi terhadap
peninggilan tersebut boleh dibagi-bagi terbatas pada

91
pemakaiannya saja. Sistem kewarisan kolektif itu
dianut oleh masyarakat Minangkabau. Sistem ini juga
dikenal pada masyarakat patrilineal di Bali, dimana
harta peninggalan ada yang tidak dibagi oleh para ahli
waris yakni harta yang bernilai non ekonomis atau
yang bernilai religio magis seperti Merajan, benda-
benda pusaka, Tanah Karang Desa (PKD).

c. Sistem pewarisan mayorat yaitu sistem pewarisan


dimana harta warisan berada dibawah penguasaan
seorang ahli waris yang ditunjuk, bisa anak tertua atau
anak terkecil tergantung kesepakatan. Menguasai
disini tidak berarti memiliki, tetapi hanya bersifat
mengatur pemanfaatannya dan dengan konsekwensi
harus menghidupi ahli waris yang lain.

Masing-masing sistem pewarisan ini tidak merupakan


corak khas dari masing-masing sistem kekeluargaan karena
ketiga sistem pewarisan ini dapat menjadi dasar pembagian
warisan dalam satu keluarga, sistem yang mana yang
akan dipilih adalah tergantung dari kesepakatan masing-
masing keluarga. Sistem Pewarisan mayorat terdapat pada
masyarakat patrilineal di tanah samendo Sumatra Selatan/
Lampung50. Sistem ini juga terdapat di daerah Bali yang
kena pengaruh kerajaan jaman dahulu. Di samping sistem
kewarisan mayorat juga dikenal sistem kewarisan minorat
yaitu harta warisan jatuh pada anak yang terkecil, namun
sekarang sudah mengalami suatu pergeseran.

50 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian


Kepustakaan), ALPABETA, Bandung, h.286.

92
5. SYARAT-SYARAT DAN PROSES PEWARISAN DALAM
HUKUM ADAT WARIS
a. Syarat-Syarat Sebagai Ahli Waris
Menurut hukum adat pada prisnsipnya harta warisan
beralih dari pewaris kepada ahli warisnya. Ahli waris yang
dimaksudkan itu adalah sesuai menurut asas yang berlaku
dalam sistem kekeluargaan yang dianut. Apabila telah
memenuhi syarat-syarat antara lain :
a. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah
dengan pewaris, baik itu karena ahli waris me­
rupakan keturunannya atau karena ber­da­sarkan
undang-undang atau ketentuan lain.
b. Anak itu harus laki-laki (bila dalam sistem
kekeluargaan patrilinial).
c. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak
yang bukan sedarah, yang karena hukum ia
berhak menjadi ahli waris, misalnya anak angkat.
d. Bila tidak ada anak dan juga tidak ada anak ang­
kat, dimungkinkan adanya penggantian melalui
penggantinya atau kelompok ahli waaris dengan
hak keutamaan kepada kelompok dengan hak
pengganti lainnya yang memenuhi syarat.51
Oleh karena secara nasional belum ada unifikasi
dibudang hukum waris, maka ketentuan-ketentuan mengenai
pewarisan samapi saat ini masih berlaku ketentuan yang
lama, sama seperti halnya untuk menentukan syarat-syarat
sebagai ahli waris seperti tersebut di atas.

51 Gde Puja, 1977, Hukum Kewarisan Hindu Yang


Diresipir Kedalam Hukum Adat Bali Dan Lombok, CV.Yunasco,
Jakarta, hal.91.

93
b. Proses Pewarisan
Proses pewarisan adalah pengoperan harta warisan
dari pewaris kepada ahli warisnya. Sejak kapan harta
warisan tersebut dapat dioperkan atau dialihkan kepada ahli
warisnya ?
Menurut Soepomo, bahwa proses meneruskan dan
mengoperkan barang-barang harta keluarga kepada anak-
anaknya sudah dapat dimulai selagi orang tua masih hidup.
Sedangkan menurut ketentuan yang umum berlaku
pada masyarakat hukum adat terdapat juga penetapan harta
kekayaan semasa pewaris masih hidup yang dapat berupa :
a. Hibah yaitu pemberian lepas dari pewaris kepada
ahli warisnya.
b. Hibah wasiat yaitu pemberian yang dilakukan
melalui surat wasiat yang baru boleh dibuka
setelah pemberi hibah meninggal.
Pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih
hidup, tidak dengan sendirinya merupakan pengalihan harta
warisan. Penerusan dan pengoperan ini tergantung pada
kesepakatan ahli waris, dan kadang-kadang harta warisan
tersebut akan dibiarkan tidak terbagi.
Selanjutnya di samping unsur-unsur esensiil yakni
pewaris, ahli waris dan harta warisan juga hal yang tidak
kalah pentingnya adalah mengenai proses pewarisan
tersebut. Pewarisan adalah suatu proses penerusan dan
pengoperan harta kekayaan atau warisan baik yang berwujud
benda maupun yang tidak berwujud benda dari satu generasi
kepada generasi berikutnya. Yang menjadi persoalan adalah
kapan suatu pewarisan dapat dimulai?
Proses penerusan dan pengoperan harta warisan
kepada para ahli waris sudah dapat dimulai ketika pewaris

94
masih hidup agar semunya menjadi jelas. Apabila ahli
waris lebih dari seorang, semasih hidup pewaris umumnya
sudah membagi-bagikan hartanya kepada para ahli waris
dengan tujuan untuk menghindari hal-hal yang tidak
dinginkan dikemudian hari. Hal itu dapat dilakukan dengan
pemberian-pemberian yang bersifat sementara maupun
bersifat tetap. Di Bali pemberian-pemberian yang bersifat
sementara misalnya adalah pengupa jiwa, pedum pamong
atau pedum raksa yang mana nantinya akan diperhitungkan
kembali setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian
meninggalnya pewaris bukanlah syarat mutlak dalam
pembagian harta warisan akan tetapi meninggalnya pewaris
dan pengabenan merupakan moment penting dalam proses
pewarisan menurut hukum adat Bali. Setelah meninggal
pewaris proses pembagian warisan menjadi tuntas karena
dengan meninggalnya pewaris harta warisan dapat dibagi
secara tetap.
Pengupa jiwa adalah pemberian yang bersifat
sementara harta warisan kepada para ahli waris dengan
tujuan untuk beaya hidup rumah tangga sampai menunggu
pembagian harta warisan yang bersifat tetap. Misalnya ketika
anak laki-laki yang pertama berumah tangga dan hidup
mandiri, ia diberikan sebidang tanah apakah sawah atau
tegalan untuk dikerjakan dan dihasili sebagai bekal hidup
keluargannya, begitu seterusnya terjadi ketika anak laki-laki
yang lainnya berumah tangga. Pemberian tersebut hanya
bersifat sementara karena akan diperhitungkan kembali
ketika pembagian harta warisan yang bersifat tetap telah
dilakukan.
Pedum pamong/pedum raksa ialah pembagian harta
kekayaan yang bersifat sementara antara para ahli waris,

95
sampai diadakan pembagian waris secara tetap. Di samping
pengupa jiwa dan pedum pamong atau pedum raksa masih ada
satu cara penetapan harta kekayaan semasih pewaris hidup
yaitu jiwa dana. Jiwa dana atau hibah adalah pemberian lepas
dari pewaris kepada ahli waris dan pemberian ini bersifat tetap.
Hal ini pada umumnya diberikan kepada anak perempuan
pada waktu perkawinan sebagai bekal (tetatadan) yang
merupakan harta bawaan. Pemberian yang bersifat tetap (jiwa
dana/tetatadan/ketipatan) sebenarnya merupakan hibah,
yang mana dapat juga diberikan kepada orang yang bukan
berstatus ahli waris termasuk anak perempuan yang kawin
ke luar dan laki-laki yang melakukan perkawinan nyeburin/
nyentana. Pemberian hibah dapat juga dilakukan kepada orang
lain atas dasar keichlasan. Jiwa dana adalah harta bawaan
yang dibawa masuk ke dalam perkawinan sebagai bekal dan
diharapkan dengan harta bawaan baik oleh anak perempuan
yang kawin ke luar maupun anak laki-laki yang kawin nyeburin
mempunyai status dalam keluarganya yang baru (keluarga
suami maupun keluarga istri). Pemberian jiwa dana atau
hibah kepada orang yang bukan ahli waris dapat diberikan
sepanjang dalam batas-batas yang layak serta tidak merugikan
ahli waris. Hal demikian semacam legitieme portie dalam Kitab
Undang Hukum Perdata (KUHPerd.)52. Ukuran layak menurut
yurisprudensi adalah sebanyak-banyaknya sepertiga bagian
dari seluruh harta kekayaan pewaris berdasarkan Keputusan
Pengadilan Kertha Singaraja No.81/Sipil, tanggal 24 Nopember
193953. Harta warisan yang dapat diwarisi secara individual
oleh para ahli waris adalah harta warisan yang benilai non
52 Ali Afandi, 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum
Pembuktian Menurut Kitab-Undang-Undang HUkum Perdata (BW),
Bina Aksara, Jakarta, hlm.44.
53 Gde Panetje, op.cit., hlm. 181.

96
magis-religius.
Pembagian warisan dilakukan secara musyawarah
diantara para ahli waris yang berdasarkan asas selaras, rukun
dan patut, yang dipimpin oleh orang tuanya. Berdasarkan
lapornan penelitian apabila orang tuanya sudah tidak ada
atau meninggal, maka musyawarah dipinpin oleh anak laki-
laki tertua, kadang-kadang diundang pejabat desa (desa
adat/pakraman untuk menjadi saksi54. Dalam hukum adat
pembagian harta warisan didasarkan atas asas kerukunan
atau tidak didasarkan atas ilmu hitung. Oleh karena itu
tidak ada ketentuan yang tegas mengenai bagian masing-
masing ahli waris, kecuali perbandingan bagian antara
anak laki-laki dan perempuan yang belum kawin yaitu dua
berbanding satu yang dikenal dengan istilah ategen asuun. Di
samping harta warisan yang dapat dibagi-bagi terdapat juga
golongan harta warisan yang kepemilikannya tidak dapat
dibagi-bagi karena bersifat magis-religius seperti merajan/
sanggah, laba merajan/sanggah55. Untuk harta warisan
golongan ini, umumnya diwarisi secara kolektif. Menurut
Suastawa Dharmayuda, untuk tanah-tanah adat seperti
tanah Pekarangan Desa (PKD) dan tanah Ayahan Desa (Ay.
Ds.) lazimnya diwarisi oleh seorang anak, anak laki-laki
sulung atau bungsu (sistem kewarisan moyorat atau sistem
minorat) tergantung aturan adat setempat56. Dari keempat

54 Tim Peneliti Fakultas Hukum Unud., 1980/1981, ”Hukum


Adat Waris”, Laporan Penelitian, Kerjasama Fakultas Hukum
Universitas Udayana dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman, hlm. 63.
55 Laba merajan/sanggah adalah tanah milik bersama/keluarga
yang fungsinya untuk pembiayaan merajan/sanggah.
56 Made Suastawa Dharmayuda, Desa Adat Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat di Propinsi Bali (selanjutnya disebut Made Suastawa

97
sistem kewarisan yang ada dalam hukum adat, keempat
sistem kewarisan tersebut berlaku dalam masyarakat
hukum adat Bali yaitu sistem kewarisan individual, sistem
kewarisan kolektif, sistem kewarisan mayorat dan sistem
kewarisan minorat tergantung dari jenis harta yang menjadi
obyek warisan tetapi tidak berlaku sama diseluruh Bali. Hal
tersebut berlaku di samping terhadap obyek warisan, juga
tergantung di daerah mana pewarisan itu berlaku, apakah di
daerah yang kena pengaruh kerajaan ataukah tida.

LATIHAN :
a. Jelaskan apakah orang yang tidak ada hubungan darah
dapat berkedudukan sebagai ahli waris ? dan bagaimana
dengan kedudukan janda dan duda ?
b. Jelaskan perbedaan pengertian antara hibah, hibah
wasiat, bekel dan warisan ?
c. Jelaskan mengapa pewarisan terhadap anak wanita di
Bali dikatakan terbatas dan bersyarat ?

Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membuat silsilah keluarga


untuk menunjukkan kedudukan se­
se­
orang sebagai ahli waris dengan
menggunakan garis pokok keutamaan
dan garis pokok penggantian !

Dharmayuda II), Upada Sastra, Denpasar, 2001, hlm. 140.

98
Bahan Bacaan :
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo,
Jakarta.
2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.
3. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Waris Adat, Alumni,
Bandung.
4. Soepomo, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya
Paramita, Jakarta.
5. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
6. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Warisan di Indonesia,
Sumur Bandung.
7. Sagung Ngurah dkk : Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
8. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
9. Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

99
PERTEMUAN XI : TUTORIAL/DISKUSI
TENTANG HUKUM ADAT PEWARISAN

I. PENDAHULUAN
Cara cara pembagian harta peninggalan dalam hukum
waris adat sangat memperhatian kegunaan dari harta
yang bersangkutan terhadap masing masing ahli waris.
Umumnya pihak laki laki mendapat sawah/lading untuk
modal usaha. Biasanya kalau peempuan mendapatkan
rumah/pekarangan. Dalam pembagian waris, hukum
adat tidak didasarkan pada ilmu ilmu matematis( ilmu
hitungan) ( geen wiskundig te bereneken erfporties).
Melainkan cenderung didasarkan pada asas kerukunan,
kepatutan dan persamaan hak.57

II. PROBLEM TASK.


1. Wayan seorang laki-laki Bali Hindu menikahi seorang
gadis Jawa Reni yang beragama Islam. Pengesahan
perkawinan dilangsungkan di Jawa secara Islam.
Karena upacara perkawinan telah selesai lalu mereka
kembali ke Bali untuk melaksanakan upacara penge­
sa­
han perkawinan menurut Hukum Adat Bali. Tidak
berselang lama ayah si Wayan meninggal dunia dengan
meninggalkan harta warisan. Wayan bersaudara lima
orang, tiga laki-laki termasuk Wayan dan dua perempuan.
Karena upacara dan upakara pengabenan telah selesai,
kemudian munculah riak-riak kecil yang menyangkut

57 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum


Adat Kontemporer : Telah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai
HUkum Yang Hidup dalam Masyarakat, Alumni, Bandung,
hal.142

100
pembagian warisan. Karena semua merasa benar dan
masing-masing mempunyai pembenar sendiri-sendiri,
akibatnya persoalan warisan tidak bisa diselesaikan
diantara mereka.

Pertanyaannya :
a) Lembaga manakah yang berhak menyelesaiakan
kasus tersebut?
b) Hukum apakah yang digunakan untuk penye­
lesaian kasus tersebut?
c) Se­bagai salah satu anak laki-laki dalam ke­luar­ga
diatas, apakah wayan berhak sebagai ahli waris?

1. Model perkawinan antara Wayan dengan Reni seperti


tersebut dalam problem task 1 diatas, ternyata tidak
dapat berlangsung lama karena diantara mereka sudah
tidak ada kecocokan lagi untuk mempertahankan
perkawinan mereka lalu mereka sepakat untuk
bercerai walaupun mereka telah mempunyai 3 (tiga)
orang anak, satu laki dan dua wanita.
Dalam kasus perceraian seperti itu, pengadilan ma­
nakah yang berwenang mengadili dan menge­sahkan
perceraiannya serta bagaimanakah ke­ du­
dukan hu­
kum dari anak-anak mereka ? Dan bagai­ ma­nakah
ke­dudukan dari harta perkawinan mereka ?

101
Bahan Bacaan :
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Perundang-
undangan tentang Perkawinan, Akademika Pressindo,
Jakarta.
2. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil, Media Sarana Press, Jakarta.
3. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Waris Adat, Alumni,
Bandung.
4. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi
Hukum Adat Kontemporer : Telah Kritis terhadap Hukum
Adat sebagai HUkum Yang Hidup dalam Masyarakat,
Alumni, Bandung
5. Soepomo, 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya
Paramita, Jakarta.
6. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat, Alumni, Bandung.
7. Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Warisan di
Indonesia, Sumur Bandung.
8. Sagung Ngurah dkk : Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
9. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
10. Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

102
PERTEMUAN XII : PERKULIAHAN 6
HUKUM ADAT PELANGGARAN

1. PENGERTIAN DAN SIFAT-SIFAT PELANGGARAN


ADAT
a. Pengertian Pelanggaran Adat
Dilihat dari sifat masyarakat hukum adat berbeda
dengan masyarakat biasa yang ada di kota-kota, bahwa
masyarakat hukum adat sifat atau alam pikiran komunal
dan kosmis (religio magisnya) masih kuat. Hal ini menjadi
sesuatu yang sangat penting karena akan menjadi latar
belakang kemasyarakatan, tempat hukum adat pelanggaran
itu berperan. Alam pikran masyarakat hukum adat yang
komunal dan kosmis tersebut memandang segala-galanya
sebagai satu kesatuan yang homogin dalam kehidupan
mereka, dimana kedudukan manusia adalah pusatnya.
Manusia merupakan bagian dari alam besar (kosmos), tidak
terpisah dari dunia lahir maupun gaib dan malahan berpadu
dengan alam hewan dan tumbuh-tumbuhan, lebih-lebih
dengan masyarakatnya sendiri sebagai satu kesatuan. Jadi
semuanya bersangkut paut, saling pengaruh mempengaruhi
dan semuanya berada dalam keseimbangan, yang senantiasa
harus dijaga dan jika suatu saat ada gangguan terhadap
keseimbangan tersebut haruslah dipulihkan kembali.58
Apa yang telah diungkapkan oleh Bushar Muhammad
seperti tersebut diatas, kiranya mempunyai prinsip yang
sama dengan yang berlaku di Indonesia, bahwa untuk
terwujudnya kebahagiaan haruslah terjaga keseimbangan
hubungan yang di Bali dikenal dengan “Tri Hita Karana”.

58 Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya


Paramita, Jakarta, hal.67.

103
Apabila antara ketiga hubungan tersebut terganggu seperti
: hubungan antara manusia dengan Ida Sanghyang Widhi
Wasa, hubungan antara manusia dengan alam lingkungan
maupun hubungan antara manusia dengan sesamanya,
maka akan muncullah ketidak seimbangan magis yang lebih
umum disebut ada “delik adat atau pelanggaran adat”. Jadi
alam pikiran yang komunal dan kosmis dalam kehidupan
masyarakat hukum adat, merupakan latar belakang
timbulnya delik adat atau pelanggaran adat. Di dalam alam
pikiran yang tradisional yang bersifat komunal dan kosmis
itu, masyarakat hukumnya serta orang-orang tertentu yang
dipentingkan dari pada orang-perorangan secara individual.
Berdasarkan penjelasan diatas maka menurut
Bushar Muhammad, yang dimaksud dengan delik adat
adalah : Suatu perbuatan sepihak dari seorang atau
kumpulan perorangan, mengancam atau menyinggung atau
mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan,
bersifat matriil atau immatriil, terhadap orang seorang atau
terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau
perbuatan yang demikian mengakibatkan suatu reaksi adat
yang dipercayainya dapat memulihkan keseimbangan yang
telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan cara,
dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan
selamatan, memotong hewan besar atau kecil dan lain-
lain.59 Sedangkan menurut Ter Haar, yang disebut dengan
delik adalah perbuatan mengakibatkan kegoncangan dalam
neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini
tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum
dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila
norma-norma keagamaan, kesusilaan dan sopan santun

59 Bushar Muhammad, Ibid, hal.67-68.

104
dalam masyarakat dilanggar.60
Istilah-istilah yang dipakai dalam penyebutan terhadap
perbuatan melanggar ini oleh beberapa sarjana berbeda
karena ada yang memakai istilah delik adat (Soepomo),
hukum pelanggaran (Ter Haar), hukum pidana adat (Bushar
Muhammad) demikian pula Surojo Wignyodipuro dengan
hukum adat delik. Walaupun dengan istilah yang berbeda
maksud dan tujuannya sama yaitu menunjukkan segala
perbuatan yang melanggar norma-norma maupun yang
menyebabkan ketidak seimbangan magis dalam kehidupan
masyarakat, tanpa membatasi bidang-bidang tertentu, dan
yang utama adalah untuk membedakannya dengan delik
dalam hukum Barat, dimana dalam sistem hukum Barat
memisahkan antara hukum pidana dengan hukum perdata.
Sedangkan dalam sistem hukum adat, pelanggaran bisa
terjadi pada peraturan-peraturan hukum dalam masyarakat,
norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, sopan santun
demikian pula hukum adat membedakan antara benda-
benda matriil dan benda-benda immatriil, jadi sifat obyeknya
adalah homogin. Dan selanjutnya dalam pembahasan lebih
lanjut akan dipergunakan istilah “Hukum Pelanggaran Adat”.

b. Sifat-Sifat Hukum Pelanggaran Adat


Sistem hukum adat menyatakan bahwa segala
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat
merupakan perbuatan yang illegal dan hukum adat sendiri
mempunyai ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali
hukum (rechtsherstel) jika hukum itu diperkosa.61
Sifat hukum pelanggaran adat yang dilandasi alam

60 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.286.


61 Soepomo.R, Op.Cit, hal.110.

105
pikiran tradisional masyarakat yang mempertautkan
antara yang nyata dengan yang tidak nyata, antara alam
fana dengan alam baka, antara kekuasaan manusia dan
kekuasaan gaib antara hukum manusia dengan hukum
Tuhan, yang menempatkan manusia itu sebagai bagian dari
alam menyebabkan kehidupan manusia itu bertaut dengan
alam sehingga kegoncangan alam adalah akibat ketidak
seimbangan kehidupan manusia dan sebaliknya kehidupan
manusia merupakan ketidak seimbangan dengan kehidupan
alam. Oleh karena itulah yang menyebabkan masyarakat
hukum adat tidak banyak yang dapat berfikir rasionalistis,
intelektualistis atau liberalistis sebagaimana halnya dengan
cara berfikir orang Barat sehingga hukum adat bukan hasil
ciptaan pikiran yang rasionil, intelektual dan liberal tetapi
hasil ciptaan pikiran yang komunal, magis religius atau
komunal kosmis.
Sebagai akibat dari pengaruh alam pikiran yang
komunal dan kosmis tersebut membawa pengaruh pula
terhadap sifat-sifat dari hukum pelanggaran adat yaitu :
1. Menyeluruh dan menyatukan, artinya
Karena latar belakang untuk timbulnya suatu
pelanggaran adat dilandasi oleh pikiran yang komunal
dan kosmis yang berarti yang satu bertautan dengan
yang lain maka yang satu tidak dapat dipisahkan
dari yang lain. Demikian pula hukum pelanggaran
adat tidak membedakan antara pelanggaran yang
bersifat pidana yang harus diperiksa oleh hakim
pidana dengan pelanggaran yang bersifat perdata
yang harus diperiksa oleh hakim perdata. Begitu
pula hukum pelanggaran adat tidak membedakan
apakah itu pelanggaran adat, agama, kesusilaan

106
atau kesopanan. Kesemua bentuk pelanggaran
tersebut akan diperiksa dan diadili oleh hakim
adat dengan pertimbangan keputusannya yang
bersifat menyeluruh berdasarkan segala faktor yang
mempengaruhinya. Walaupun dalam hukum adat
pelanggaran dapat dibedakan antara perbuatan yang
bersifat kejahatan dengan perbuatan yang bersifat
pelanggaran, tetapi hukum adat pelanggaran tidak
membedakannya karena hukum adat pelanggaran
tidak mementingkan pembagian kekuasaan.

2. Ketentuan yang terbuka, artinya


Oleh karena manusia itu tidak akan mampu
meramalkan masa datang, maka ketentuan dalam
hukum adat tidak bersifat pasti, sifat ketentuannya
selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan
yang mungkin terjadi. Yang penting yang dijadikan
ukuran menurut hukum adat adalah rasa keadilan
menurut kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan
perkembangan keadaan, waktu dan tempat.62 Hal
ini disebabkan oleh sifat maupun corak dari hukum
adat itu sendiri yaitu bersifat elastis, plastis dan
tidak kaku bahkan akan mengikuti perubahan pola
pikir dari masyarakat. Jadi tidak menolak perubahan
dan juga tidak menghambat perubahan. Di Bali pun
keadaan seperti ini diakui yaitu desa, kala, patra dan
mengakui pula waktu (atita, nagata, wartamana).
Ketentuan yang sifatnya terbuka dalam hukum adat
pelanggaran menyebabkan hukum adat pelanggaran

62 Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Pidana Adat, Alumni


Bandung, hal.22.

107
tidak menganut sistem peraturan yang statis, artinya
suatu pelanggaran adat tidak selamanya merupakan
pelanggaran adat. Demikian pula dapat dikatakan
bahwa dalam hukum adat pelanggaran tidak ada
ketentuan dibuat terlebih dahulu sebelum perbuatan
dilakukan. Berbeda halnya dalam hukum pidana
Barat, peraturannya harus ada terlebih dahulu
sebelum menyatakan suatu perbuatan itu melanggar
hukum atau tidak (azas legalitas dalam pasal KUHP).

3. Membeda-bedakan permasalahan
Dalam hukum pelanggaran adat, apabila terjadi
peristiwa pelanggaran maka yang dilihat tidak hanya
perbuatan dan akibatnya saja, tetapi diperhatikan
pula apa yang menjadi latar belakang perbuatannya
dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran yang
demikian, maka dalam cara mencari penyelesaian dan
melakukan tindakan hukumnya terhadap sesuatu
peristiwa menjadi berbeda-beda.63
Menurut hukum adat antara orang-orang yang
mempunyai kedudukan penting dalam suatu
masyarakat akan berbeda dengan orang biasa yang
tidak mempunyai kedudukan penting. Keadaan
seperti ini akan berpengaruh pula terhadap subyek
dalam hukum pelanggaran adat, sehingga dikatakan
pula hukum adat membeda-bedakan kedudukan
orang dalam masyarakat adat. Karena perbedaan
ini akan membawa konsekwensi pada akibat hukum
terhadap pelanggaran yang dilakukannya. Orang
yang mempunyai kedudukan hukum lebih tinggi di

63 Ibid, hal.23.

108
masyarakat apabila melakukan pelanggaran adat,
maka hukumannya akan lebih berat daripada orang
yang melakukan perbuatan yang termasuk kedalam
“kejahatan” dengan termasuk “pelanggaran” diatur
dalam ketentuan yang berbeda.

4. Lahir dan lenyapnya hukum pelanggaran adat


Hukum adat tidak menganut sistem yang statis
melainkan dinamis, slastis dan plastis. Dengan
demikian setiap ketentuan dalam hukum adat dapat
timbul, tumbuh, berkembang dan berganti dengan
ketentuan yang baru, yang lebih sesuai dengan rasa
keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat
pada saat itu. Demikian pulalah yang berlaku dalam
hukum pelanggaran adat, bahwa pelanggaran
terhadap hukum adat akan lahir, berkembang dan
kemudian lenyap dikarenakan rasa keadilan dan
kepatutan serta kesadaran hukum rakyat sudah
berubah. Jadi lahirnya hukum adat pelanggaran
adalah serupa dengan lahirnya tiap-tiap peraturan
hukum yang tidak tertulis. Tiap-tiap peraturan hukum
adat timbul berkembang dan selanjutnya lenyap
dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan
baru itu akan berkembang juga dan kemudian akan
lenyap pula dengan adanya perubahan perasaan
keadilan yang akan menimbulkan perubahan
peraturan. Begitu seterusnya, keadaannya seperti
jalannya ombak di pesisir samudra.64 Demikian pula
halnya dengan lahir dan lenyapnya pelanggaran

64 Soepomo.R, Op.Cit, hal.111.

109
adat yang berarti perbuatan-perbuatan uang semula
dianggap merupakan pelanggaran adat tetapi karena
adanya perubahan rasa keadilan dan kepatutan
yang hidup dalam masyarakat menyebabkan hukum
menjadi berubah akibatnya perbuatan yang tadinya
pelanggaran adat menjadi tidak lagi dianggap
pelanggaran adat. Hal inilah pula yang menunjukkan
adanya perbedaan dengan sistem hukum pidana
Barat. Menurut hukum pidana Barat, delik itu lahir
dengan diundangkannya suatu peraturan tentang
delik tersebut dalam Lembaran Negara. Sedangkan
untuk menyatakan delik tersebut tidak berlaku lagi
secara formal, haruslah dibuat peraturan baru lagi
apapun bentuknya yang nantinya menyatakan bahwa
peraturan yang lama tidak berlaku lagi, walaupun
secara matrial peraturan itu tetap tercantum dalam
Lembaran Negara.

5. Peradilan dengan permintaan


Untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara
pelanggaran, sebagian besar didasarkan pada
adanya permintaan atau pengaduan. Artinya petugas
hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri
untuk menindak si pelanggar hukum. Terhadap
beberapa pelanggaran hukum petugas hukum hanya
akan bertindak apabila ada permintaan dari orang
yang terkena pelanggaran tersebut. Ukuran yang
dipakai untuk menentukan kapan saatnya petugas
hukum bertindak atas inisiatif sendiri, hukum adat
menentukannya yaitu apabila “kepentingan umum
terganggu” yang dalam hal ini adalah kepentingan dari

110
masyarakat hukumnya langsung terkena pelanggaran
tersebut. Kepentingan umum inipun maksudnya
adalah tertuju pada terganggunya keseimbangan
magis dalam masyarakat yang didasarkan pada aliran
tradisional yang bersifat kosmis komunalistis.

2. JENIS-JENIS PELANGGARAN ADAT


Terlebih dahulu haruslah diketahui bahwa perkara delik
adat dapat bersifat :
a. Melulu delik adat : misalnya pelanggaran adat
terhadap peraturan-peraturan exogami, pelanggaran
peraturan panjer, atau peraturan-peraturan khusus
adat lainnya.
b. Disamping delik adat, juga bersifat delik-delik
terhadap harta kekayaan seseorang, menghina sese­
orang, apalagi seseorang tersebut mempunyai ke­
dudukan tinggi dalam masyarakat tersebut seperti
menghina kepala adat, dll.

Berlainan dengan hukum criminal Barat, hukum adat


tidak mengenal sistem pelanggaran hukum yang ditetapkan
lebih dahulu (sistem praexistente regels), hukum adat tidak
mengadakan peraturan semacam Pasal 1 KUHPidana.65
Dalam hukum adat seluruh lapangan hidup menjadi
batu ujian perihal apa yang boleh dilakukan dan apa yang
dilarang. Tiap perbuatan atau tiap situasi yang tidak selaras
dengan atau yang memperkosa keselamatan masyarakat,
keselamatan teman semasyarakat, keselamatan golongan
famili dapat merupakan pelanggaran adat.
Delik yang paling berat ialah segala pelanggaran yang

65 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.

111
memperkosa keseimbangan antara dunia lahir dan dunia
gaib, serta pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat, misalnya perbuatan penghianatan, delik
terhadap diri pribadi kepala adat.
Karena kepala adat penjelmaan masyarakat.
Sedangkan delik yang tidak terdapat dalam KUHPidana,
tetapi yang didalam sistem hukum adat masuk golongan
perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat
seluruhnya seperti perbuatan : “sihir atau tenung”. Orang
perempuan yang melahirkan di persawahan, di Bali (kembar
buncing) mencemarkan tempat suci seperti : langgar, gereja,
mata air dan lain sebagainya

3. REAKSI DAN KOREKSI ADAT


Dalam tiap-tiappelanggaran hukum, para petugas
hukum menimbang bagaimana mereka akan bertindak untuk
membetulkan kembali perimbangan hukum. Tindakan atau
upaya (pertahanan adat atau adat reaksi) yang diperlukan
mungkin hanya berupa hukuman untuk membayar sejumlah
uang sebagai pelunasan hutang atau sebagai pengganti
kerugian.66
Pandecten van het adatrecht bagian X mengumpulkan
bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adatstrafrecht)
dan yang diterbitkan pada tahun 1936 menyebutkan
beberapa reaksi dan koreksi adat sebagai berikut :
a) Penggantian kerugian “immatriil” dalam pelbagai rupa
seperti paksaan menikahi gadis yang telah tercemar.
b) Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang
berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian
rokhani.

66 Soepomo.R, Op.Cit, hal.114.

112
c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat
dari segala kotoran gaib.
d) Penutup malu, perintaan maaf.
e) Pelbagai hukuman badan, hingga hukuman mati.
f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang
di luar tata hukum.67
Suatu perbuatan yang mungkin melanggar beberapa
norma hukum sekaligus, sehingga untuk memulihkan
perimbangan hukum harus diambil beberapa tindakan
koreksi, misalnya pengganti kerugian dan selamatan untuk
membersihkan masyarakat dan sebagainya. Dan tujuan dari
segala reaksi dan koreksi adat dari segala tindakan yang
menetralisir pelanggaran-pelanggaran hukum itu, ialah
“memulihkan perimbangan hukum” . Dan perimbangan
hukum ini meliputi pula perimbangan antara dunia lahir
dan dunia gaib. Sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang
yang salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah
satu dasar yang terdapat dalam sistem hukum pidana Barat
rupa-rupanya tidak ada dalam hukum adat tradisional.
Lahirnya delik adat dapat disebabkan karena
melanggar aturan-aturan hukum atau tata tertib dilanggar
atau karena keseimbangan magis dalam masyarakat
terganggu.
Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum apalagi
perbuatan tersebut menyangkut kepentingan umum
(keseimbangan magis dalam masyarakat) terganggu, maka
petugas hukum adat (kepala adat) akan mengambil tindakan
konkrit yang disebut dengan “reaksi adat” yang berguna
untuk membetulkan hukum yang dilanggar tersebut.
Menurut Hilman Hadikusuma, dalam hal petugas

67 Loc.Cit, hal.115.

113
hukum melakukan tindakan reaksi atau koreksi dalam
menyelesaikan akibat peristiwa yang telah mengganggu
keseimbangan masyarakat dengan maksud mengembalikan
keseimbangan sebagaimana semula, tidak saja dapat
bertindak terhadap pelakunya, tetapi juga dapat dikenakan
pertanggungan jawab terhadap keluarga atau kerabat pelaku
atau juga mungkin diperlukan membebankan kewajiban
kepada masyarakat bersangkutan atau seluruhnya untuk
mengembalikan keseimbangan dengan jalan mengadakan
upacara desa atau lain-lain.68
Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa
reaksi adat yang digunakan untuk mengembalikan
ketidakseimbangan magis dalam masyarakat dapat berupa
suatu kewajiban atau upacara selamatan yang kemudian
dapat dibebankan kepada pelaku, tapi juga keluarga atau
kerabatnya dan bahkan terhadap masyarakatnya.
Dalam hubungan ini dapat pula diketahui bahwa
yang dapat menjadi subyek hukum dalam hukum adat
pelanggaran tidak hanya orang sepertidalam hukum pidana
Barat, tetapi juga keluarga, kerabat atau masyarakatnya ikut
bertanggung jawab atas perbuatan pelaku.
Adapun jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang
tujuannya untuk mengembalikan ketidakseimbangan magis
dalam masyarakat, yang di Bali umum dikenal dengan istilah
“danda atau pamidanda”. Danda atau pamidanda ini ada tiga
golongan yang disebut “Tri Danda” yaitu :
a. Artha danda yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan
hukum berupa denda dalam bentuk uang.
b. Jiwa danda yaitu tindakan hukum yang berupa
pengenaan hukuman berupa penderitaan badan

68 Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal.24.

114
maupun rohani bagi pelaku pelanggaran.
c. Sangaskara danda yaitu berupa tindakan hukum
untuk mengembalikan keseimbangan magis berupa
tindakan untuk melakukan upacara-upacara
agama. 69

Sedangkan jenis-jenis reaksi dan koreksi adat yang


ditemukan dalam penelitian oleh Tim Peneliti Fak.Hukum
Unud, dapat digolong-golongkan sebagai berikut :
a) Reaksi atau koreksi adat beupa kewajiban untuk
melakukan sesuatu seperti membuat upacara/
upakara Agama.
b) Reaksi atau koreksi adat berupa pembayaran
sejumlah uang yang dapat dibedakan antara “danda
dan dedosan atau dosa”. Danda adalah dikenakan
terhadap orang yang melanggar larangan. Sedangkan
dedosan atau dosa dikenakan bagi mereka yang
melalaikan kewajibannya.
c) Dibuat malu yaitu pada umumnya sanksi yang
diberikan kepada mereka yang suka mencuri atau
diarak keliling desa.
d) Pencabutan hak yaitu saksi yang dikenakan kepada
mereka yang melalaikan kewajibannya pada desa/
banjar (tidak melaksanakan ayah-ayahan desa/
banjar).
e) Perampasan hak yaitu yang disebut dengan
“Kerampag”, berupa pengambilan barang-barang
milik seseorang karena tidak membayar hutangnya.70

69 I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum


Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fak.Hukum
Unud, hal.143-144.
70 Tim peneliti Fak.Hukum Unud, Op.Cit, hal.79-80.

115
LATIHAN :
a. Jelaskan dimanakah letak perbedaan lahirnya delik
menurut hukum adat dan menurut hukum Barat ?
b. Sebutkan alasan-alasan yang dapat menimbulkan
adanya pelanggaran adat!
c. Sebutkan jenis-jenis atau penggolongan pelanggaran
adat yang ada di beberapa daerah di Indonesia !

4. PELANGGARAN ADAT DALAM PRAKTEK PERADILAN


a. Hukum Pelanggaran Adat Dan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Untuk mengetahui bagaimanakah pelanggaran adat
dalam praktek peradilan, perlu terlebih dahulu mengetahui
sifat-sifat dari pelanggaran adat tersebut :
a) Pelanggaran adat yang murni pelanggaran adat,
artinya bahwa pelanggaran tersebut benar-benar
melanggar peraturan-peraturan adat. Misalnya
tentang peraturan mengenai panjer, pelanggaran
peraturan Exogami.
b) Pelanggaran adat yang juga merupakan pelanggaran
atau delik menurut KUHP. Misalnya delik yang
menyangkut harta kekayaan seseorang, menghina
seseorang.71
Adapun ketentuan hukum pidana menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum
pelanggaran adat terdapat perbedaan, sebagai berikut:

a. Sistem pemidanaan.
Berbeda halnya dengan hukum pidana Barat, hukum
adat pelanggaran tidak mengenal pelanggaran hukum yang

71 Soerojo Wignyodipuro, Op.Cit, hal.293.

116
ditetapkan terlebih dahulu (disebut dengan prae existebte
regels). Hukum adat pelanggaran tidak menganut azas legalitas
seperti yang tertuang dalam Pasal 1 KUHP. Pelanggaran adat
baru akan menjadi hukum setelah para fungsionaris hukum
menjatuhkan sanksi terhadap pelakunya. Hal ini sesuai pula
dengan apa yang disampaikan oleh Ter Haar, bahwa adat
baru akan menjadi hukum adat setelah diputuskan oleh
para fungsionaris hukum (kepala adat, tetua-tetua adat, dan
lain-lain). Dan azas ini lebih dikenal dengan “teori keputusan
atau beslissingen leer”.
Sedangkan menurut hukum Barat (KUHP) untuk
menentukan bahwa seseorang itu melakukan suatu
pelanggaran adat atau delik haruslah ada aturannya
terlebih dahulu yang akan menyatakan perbuatannya
tersebut melanggar atau bertentangan dengan peraturan
tersebut. Apabila peraturannya belum ada maka akan sulit
menyatakan bahwa seseorang itu melakukan pelanggaran
atau tidak. Jadi KUHP dikatakan menganut azas “legalitas”
seperti yang diatur dalam Pasal 1 KUHP, yang bunyinya :
tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum melaikan atas
kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang telah
ada terlebih dahulu dari perbuatan tersebut.

b. Perbuatan Salah
KUHP menyatakan bahwa perbuatan salah yang
berakibat dapat dijatuhi hukuman ditujukan kepada orang
yang berbuat atau orang yang melakukan kesalahan dan
perbuatannya tersebut dilakukan dengan sengaja (opzet)
atau karena kelalaian (culpa). Sedangkan dalam hukum
pelanggaran adat tidak membedakan apakah perbuatannya
itu dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian, tetapi

117
lebih memperhatikan pada akibat dari perbuatannya yaitu
apakah akibat perbuatannya itu mengganggu keseimbangan
magis dalam masyarakat atau tidak.

c. Kesalahan Yang Berulang (Residivise).



KUHP menentukan bahwa seseorang yang me­ la­
ku­kan kesalahan beberapa kali henya dapat dihukum
atas perbuatannya yang terakhir dan atau terberat an­
ca­­
man hukumannya (disini berlaku Prinsip “ne bis in
idem”). Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat mem­
perhitungkan keseluruhan dari perbuatan yang dila­ ku­
kannya karena perhitungan ini akan menjadi dasar per­
timbangan apakah perbuatannya itu dapat dimaafkan atau
tidak. Apabila “perbuatan salah itu telah dilakukan berkali-
kali maka dalam hukum pelanggaran adat dapat dikenakan
sanksi antara lain “diusir” atau kalau di Bali disebut
“katundung dari desa” atau “kerampag”. (prinsip ne bis in
idem tidak berlaku).

d. Berat ringannya hukuman


Penghilangan atau pengurangan hukuman ataupun
penambahan hukuman dalam KUHP ditentukan atas dasar
Pasal 44 – 52 KUHP dan Hakim tidak boleh mempergunakan
dasar yuridis yang lain dalam pertimbangan hukumnya.
Sedangkan dalam hukum pelanggaran adat justru permintaan
maaf dan pengakuan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
menjadi pertimbangan dalam pengenaan hukumannya.
Hal ini didasarkan atas azas kekeluargaan, kedamaian,
kerukunan dan rasa keadilan masyarakat.

118
e. Pertanggung jawaban kesalahan
KUHP berdasarkan pertanggung jawaban pada kondisi
fisik si pelaku, artinya orang yang dapat dihukum hanyalah
orang secara jasmani dan rohani sehat. Orang yang tidak
waras (gila) tidak dapat dipidana karena jiwanya tidak dapat
dijatuhi sanksi sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan
dalam hukum pelanggaran adat, kesalahan tidak hanya
dapat dijatuhkan kepada pelakunya tetapi juga pada orang
tua, sanak saudara atau bahkan pada masyarakat hukum
adatnya. Karena hukum adat membedakan kedudukan
seseorang di masyarakat adat. Makin tinggi kedudukannya
di masyarakat, apabila melakukan kesalahan maka
hukumannyapun akan lebih berat. Demikian pula dalam
KUHP membedakan antara pelaku (dader) dengan orang
yang membantu melakukan (mede plichtigheid) dan orang
yang ikut berbuat (mede daderchap), membujuk berbuat
(uitlokking), dan usaha percobaan (strafbare poging) dalam
suatu perbuatan pidana. Tetapi dalam hukum pelanggaran
adat semua perbuatan dan pelaku dipandang sebagai satu
kesatuan dan diperlakukan sama sejauh itu menimbulkan
gangguan keseimbangan dalam masyarakat.72

b. Hukum Pelanggaran Adat dan Reaksi atau Koreksi


Adat Dalam Praktek Peradilan
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan UU No.1 Tahun 1946 yang
mengatur tentang Wetboek van Strafrecht (WVS)” yang lebih
dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)”. Ketentuan ini dinyatakan berlaku untuk
wilayah Republik Proklamasi. Dan selanjutnya berdasarkan
72 I Gede A.B.Wiranata, 2005, Hukum Adat Perkembangan dari
Masa ke Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.213-216.

119
UU No.73 Tahun 1958 barulah dinyatakan berlaku untuk
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti
diketahui bersama KUHP ini berasal dari Code Penal Prancis
yang berlaku di Negeri Belanda sejak Tahun 1810, dan
atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda dibuatlah
kodifikasi Tahun 1915 dan kemudian dinyatakan berlaku di
Indonesia Tahun 1918.
Kemudian berdasarkan usaha untuk pembentukan
KUHP Nasional pada masa yang akan datang, hukum
pelanggaran adat masih relevan untuk dikaji, dan peluang
ini telah ditunjukkan oleh UU Darurat No.1 Tahun 1951
terutama Pasal 1 ayat 3 yang menunjukkan pada Pasal 3a
RO, yang menyatakan bahwa di bekas wilayah Pengadilan
Adat Indonesia, hukum pelanggaran adat masih tetap diakui
berlaku di daerah tersebut dengan catatan bahwa asas-
asas hukum pelanggaran adat dan sanksi-sanksinya tidak
boleh ditetapkan lagi. Sanksi yang digunakan adalah sanksi
delik yang serupa atau mirip dengan yang terdapat dalam
KUHP. Selain itu dalam rancangan KUHP Nasional telah
dicantumkan beberapa pasal yang memberikan peluang
pada huum pelanggaran adat, seperti Pasal 1 ayat (3), Pasal
93 ayat (1), Pasal 93 ayat (2), Pasal 93 ayat (3) dan Penjelasan
Umum Buku 1 huruf 1.73
Selanjutnya dilihat dari praktek peradilan, bahwa
peluang berlakunya hukum adat pada umumnya dan
hukum pelanggaran adat pada khususnya dapat diketahui
dari UU No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman terutama Pasal 16 ayat (1) yang dengan tegas
menyatakan bahwa : Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
73 Ibid, hal.220-221.

120
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sedangkan dalam Pasal 28 ditegaskan pula bahwa : Hakim
wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Undang-
undang ini tampaknya menjembatani asas legalitas dalam
hukum pidana dari legalitas formal ke arah asas legalitas
formal dan material.74
Jadi seolah-olah hukum adat maupun hukum
pelanggaran akan mendapat tempat dalam Hukum Pidana
nasional yang baru nanti.

LATIHAN :
Antara ketentuan hukum pidana menurut KUHP dengan
hukum adat pelanggaran dikatakan berbeda. Sebut dan
jelaskan dimana letak perbedaannya !
a. Jelaskan bagaimanakah eksistensi hukum adat
pelanggaran dalam KUHP Nasional nanti ?
b. Jelaskan, sejak kapan dapat dikatakan timbulnya suatu
pelanggaran adat ?
Tugas mandiri (PR) : Mahasiswa membahas satu kasus
baru pelanggaran adat yang termasuk
ke Pengadilan dan memberikan ko­
mentar terhadap keputusan hakim
atas kasus tersebut ditinjau dari
KUHP dan Hukum Adat Pelanggaran.

74 I Wayan.P.Windia dan I Ketut Sudantra, Op.Cit, hal.153-154.

121
Bahan Bacaan :
1. Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
2. Soepomo R, 1976, Bab-Bab tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
Politea, Bandung.
4. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
5. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
6. AB Wiranata I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia Per­
kem­bangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
7. Soerojo Wiognyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat Alumni, Bandung.

122
PERTEMUAN XIII : TUTORIAL/DISKUSI
TENTANG HUKUM PELANGGARAN ADAT

I. PROBLEM TASK
Widya dengan kelurganya yang merupakan krama
desa Desa pakraman A dikenakan sanksi adat kasepekang
(dikucilkan), Adapun kronologis kasusnya adalah ketika ada
paruman desa yang menetapkan dan menyiarkan bahwa
telah terbentuk lembaga pecalang di desa pakraman A, widya
dengan keluarganya tidak setuju dengan alasan mereka tidak
ikut membentuk pecalang tersebut dengan bahasa yang
dikeluarkan “ tiang tusing taen milu ngae pecalang”. Dengan
alasan tersebut (menolak ditetapkan pecalang) maka
Widya dan keluarganya dikenakan sanksi adat kasepekang
(dikucilkan).
Pertanyaannya ;
1. Diskusikan wacana diatas, apakah benar tindakan desa
pakraman tersebut ?
2. Apa yang harus dilakukan Widya dan Keluarganya, agar
sanksi tersebut dicabut dan mereka masih tetep menjadi
krama desa A, mengingat ada factor historis keluarga
Widya yang melekat didesa pakraman A.
3. Diskusikan apakah sanksi adat kasepekang masih
relevan diterapkan dan bagaimana eksistensi yuridis
dari sanksi kasepekang tersebut?

PROBLEM TASK II

Ada pencurian “pretima” disebuah Pura di Bali.
”Pretima “ adalah suatu benda yang disakralkan oleh
penyungsung Pura tersebut. Dengan hilangnya “pretima”
tersebut, bagi orang Bali Hindu itu berarti “Pura “ tersebut

123
sudah dianggap tercemar (leteh). Dan untuk menghilangkan
kesan tercemar tersebut hanya dapat dilakukan dengan
upacara dan upakara yang dikenal dalam masyarakat hukum
adat Bali.
Setelah dilaporkan ke Polisi ternyata kemudian
pencurinya tertangkap dan dia adalah bukan orang Bali.
Diskusikan bagaimanakah penyelesaian kasus tersebut.
Apakah perbuatan itu dapat diklasifikasikan sebagai
pelanggaran adat, atau apakah kasus tersebut dapat
diselesaikan di pengadilan, lalu bagaimanakah Hakim akan
memberikan sanksi terhadap pelakunya ? Apakah akan
berlaku prinsip “ne bis in idem dalam kasus ini ?

Bahan Bacaan :
1. Hilman Hadikusuma, 1978, Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
2. Soepomo R, 1976, Bab-Bab tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal,
Politea, Bandung.
4. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
5. Sagung Ngurah dkk, Buku Ajar Hukum Adat Lanjutan,
Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak. Hukum UNUD,
Denpasar.
6. AB Wiranata I Gede, 2005, Hukum Adat Indonesia
Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
7. Soerojo Wiognyodipuro, 1973, Pengantar dan Asas-Asas
Hukum Adat Alumni, Bandung.

124
PERTEMUAN XIV : UJIAN AKHIR SEMESTER

LAMPIRAN 1 : SILABUS

SILABUS
1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum
2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan
3. Kode Mata kuliah : BII4227
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : -
7. Deskripsi Mata Kuliah :

Mata kuliah hukum adat lanjutan merupakan mata kuliah
lanjutan dari mata kuliah hukum adat secara umum.
Mata kuliah hukum adat lanjutan membahas tentang
hukum adat yang berlaku dalam tatanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang beragam, tumbuh dan berlaku
bagi Kasatuan Masyarakat Hukum Adat. Hal ini mengingat
kondisi kebangsaaan Indonesia yang berbhineka baik dilihat
dari suku, bahasa, agama maupun budayanya. Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat selain tunduk pada hukum adat
juga tunduk pada hukum negara sebagai warganegara
dari Negara Republik Indonesia. Mata Kuliah Hukum adat
lanjutan akan membahas mengenai bidang-bidang hukum
dalam kehidupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
yang selanjutnya akan dibahas dalam pokok bahasan dan
sub pokok bahasan seperti tatanan masyarakat adat yang
meliputi: pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum
tentang tanah adat, hukum adat tentang keluarga, hukum

125
adat tentang perkawinan, hukum adat tentang pewarisan,
hukum adat tentang pelanggaran. Selain mengetahui dan
memahami prinsip-prinsip dalam hukum adat perlu juga
mengkaitkan dengan dinamika jaman (era globalisasi).

8. CapaianPembelajaran :
Pembelajaran Mata kuliah Hukum Adat Lanjutan
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
pemahaman kepada mahasiwa tentang berbagai memahami
hukum adat secara dengan topik pembahasan yang
mendalam yang kemudian mampu menganalisis kasus
kasus berkaitan dengan materi dalam lingkaran hukum
adat yang meliputi tatanan masayarakat adat yang meliputi:
pemerintahan adat dan struktur organisasi, hukum adat
tentang keluarga, hukum adat tentang perkawinan, hukum
adat tentang pewarisan hukum adat tentang pelanggaran.
Selain mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dalam
hukum adat perlu juga mengkaitkan dengan dinamika jaman
(era globalisasi).

9. Bahan Kajian
Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari:

I. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT



a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum
Adat
b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat
c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat

126
II. HUKUM TANAH ADAT
a Tanah Adat Sebagai Hak Ulaat Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
b Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum Adat
c Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan
Perundang-Undangan

III. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN


a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan
b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia
c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Pada Umumnya
d. Hubungan Hukum Dalam Hukum
Kekeluargaan

IV. HUKUM ADAT PERKAWINAN
a. Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan di
Indonesia
b. Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum
Adat
c. Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat
d. Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum
Adat
e. Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam
Hukum Adat

V. HUKUM ADAT PEWARISAN


a. Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan
b. Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris

127
c. Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat Waris
d. Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam
Hukum Adat Waris

VI. HUKUM ADAT PELANGGARAN


a. Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran Adat
b. Jenis-Jenis Pelanggaran Adat
c. Reaksi Dan Koreksi Adat
d. Pelanggaran Adat Dalam Praktek Peradilan

10. Referensi
1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan tentang Perkawinan,
Akademika Pressindo, Jakarta.
2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia,
Perkembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum
Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau Dalam
Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta.
5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-
Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina
Aksara, Jakarta.
6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia
Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.
7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat
Indonesia, Tarsito, Bandung.
8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan

128
Adat , Alumni, Bandung.
9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat,
Alumni, Bandung.
10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan
Adat , Alumni, Bandung.
11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional,
Pradnya Paramita, Jakarta.
13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap
Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas
Press, Surabaya.
14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press,
Jakarta.
15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981,
Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-
asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum
Adat Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat,
Fak.Hukum, Universitas Udayana.
19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di
Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

129
Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-
Undang Tentang Perlindungan anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10
tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengampu Mata Kuliah

130
LAMPIRAN II : RENCANA PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN (RPP)
(Catatan: Pada Lampiran II. dilampirkan RPP untuk
keseluruhan pertemuan)

RPP PERTEMUAN KE I
KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan
3. Kode Mata kuliah : BII4227
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : -
7. Capaian Pembelajaran :
Melalui mata kuliah Hukum Adat Lanjutan diharapkan
mahasiswa semester IV (empat) mampu mengerti,
memahami dan dapat menjelaskan bahwa di Indonesia
terdiri dari berbagai macam bentuk kesatuan
masyarakat hukum adat diantaranya desa pakraman,
subak, dadia, nagari. Pada akhir perkuliahan
mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan unsur-
unsur maupun faktor-faktor yang menjadi ciri khas
dari masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia.
8. Indikator Pencapaian :
Setelah dijelaskan dan didiskusikan tentang
pengertian, unsur-unsur, faktor-faktor pembentuk
dari suatu masyarakat hukum adat, baik stuktur
pemerintahannya, mahasiswa semester IV Fakultas
Hukum Universitas Udayana dapat menjelaskan ciri
khas desa, nagari, kampong sebagai suatu masyarakat
hukum adat yang ada di Indonesia

131
9. Materi Pokok
a Pengertian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
b Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat
c Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
10. Metode Pembelajaran
a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).
b. Metode: Problem Based Learning (PBL).
c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya
jawab.
11. Media, Alat dan Sumber Belajar
a. Power point presentation.
b. LCD, white board, spidol.
c. Bahan bacaan/pustaka

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran


Alokasi
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Pembelajaran
Waktu
Pendahuluan Dosen menjelaskan kontrak perkuliahan, 20 menit
selanjutnya memberikan ulasan secara
umum materi perkuliahan tentang
pengertian Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat, Faktor-Faktor Pembentuk
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat,
Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat. Selain itu
dosen memfasilitasi dalam membentuk
kelompok diskusi (FGD) untuk tutorial

132
Kegiatan Inti Dengan fasilitas yang telah disediakan 60 menit
oleh fakultas berupa LCD, dosen
mendiskripsikan materi secara rinci
hukum adat lanjutan mengenai
pengertian Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat, Faktor-Faktor Pembentuk
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat,
Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat.

Penutup Dosen bersama mahasiswa 10 menit


menyimpulkan proses dan hasil
pembelajaran yang telah dibahas
sebelumnya.
Selanjutnya dosen mengevaluasi dan
memberikan tugas untuk mempelajari
lebih mendalam mengenai pengertian
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat,
Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat, Struktur
Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat.

14. Tugas
a. Apakah yang dimaksud dengan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat ?
Jawaban .............................................................

b. Unsur-unsur apakah yang harus dipenuhi jika


persekutuan tersebut dapat dikatakan Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat ?
Jawaban .............................................................

c. Faktor-faktor apakah yang mempengauuhi


terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat ?
Jawaban .............................................................

133
d. Apakah kesatuan masyarakat hukum adat
mempunyai hukum tertulis dan apakah kesatuan
masyarakat hukum adat mendapat perlindungan
secara hukum ?
Jawaban .............................................................

15. Pedoman Peskoran


a. Skor 0 : Jika mahasiswa tidak menjawab
b. Skor 0,5 : Jika jawaban mahasiswa sebagian
yang sesuai dengan indikator jawaban dosen
c. Skor 1 : Jika jawaban mahasiswa semuanya
sesuai dengan indikator yang dibuat oleh dosen

16. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran
2 Tanggung jawab

3 Disiplin

4 Kreativitas
5 berkomunikasi

18. Suber Belajar


1. Abdurrahman, 1985, Himpunan Peraturan Pe­ run­
dang-undangan tentang Perkawinan, Akademika
Pressindo, Jakarta.
2. AB Wiranata I Gede; 2005, Hukum Adat Indonesia,
Per­kembangannya dari Nusa ke Nusa, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

134
3. Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum
Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
4. Chidir Ali, 1979, Hukum Adat Minangkabau
Dalam Yurisprudensi Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta.
5. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Azas-
Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara,
Jakarta.
6. Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia
Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung.
7. Djaren Saragih, 1980, Pengantar Hukum Adat
Indonesia, Tarsito, Bandung.
8. Hilman Hadikusuma, 1979, Hukum Perkawinan
Adat , Alumni, Bandung.
9. --------------------, 1979, Hukum Waris Adat, Alumni,
Bandung.
10. --------------------, 1979, Hukum Ketatanegaraan
Adat , Alumni, Bandung.
11. --------------------, 1979, Hukum Pidana Adat,
Alumni, Bandung.
12. Hazairin, 1987, Hukum Kekeluargaan Nasional,
Pradnya Paramita, Jakarta.
13. Koesnoe Moch.1979, Catatan-Catatan Terhadap
Hukum Adat Dewasa ini, Airlangga Universitas
Press, Surabaya.
14. Ridwan Syahrani, 1987, Perkawinan dan Perceraian
Bagi Pegawai Negeri Sipil, PT. Media Sarana Press,
Jakarta.
15. Soepomo R. 1976, Bab-Bab Tentang Hukum Adat,
Pradnya Paramita, Jakarta.
16. Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, 1981,

135
Hukum Adat Indonesia, CV Rajawali, Jakarta.
17. Soerojo Wignyodipuro, 1973, Pengantar dan asas-
asas Hukum Adat, Alumni, Bandung.
18. Sagung Ngurah, dkk, 2008, Buku Ajar Hukum Adat
Lanjutan, Bagian Hukum dan Masyarakat, Fak.
Hukum, Universitas Udayana.
19. Wantjik Saleh,K, 1976, Hukum Perkawinan
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
20. Wiryono Prodjodikoro, 1981, Hukum Waris di
Indonesia, Sumur, Bandung.
21. --------------------, 1981, Hukum Perkawinan di
Indonesia, Sumur, Bandung.
22. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
23. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
24. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang KDRT.
25. Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan.
26. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Undang-Undang
Tentang Perlindungan anak.
27. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975, PP No.10
tahun 1983, PP No. 45 Tahun 1990.
28. Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang UUPA.
29. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pengampu Mata Kuliah

136
LAMPIRAN III : KONTRAK KULIAH
KONTRAK PERKULIAHAN

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum


2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Adat Lanjutan
3. Kode Mata kuliah : BII4227
4. Semester : IV
5. SKS : 2 SKS
6. Mata Kuliah Prasyarat : -
7. Manfaat Mata Kuliah

Mata kuliah hukum adat lanjutan mempunyai


manfaat praktis maupun teoritis bagi mahasiswa. Manfaat
teoritis, bahwa materi kuliah banyak mengandung isu-
isu dan topik menarik untuk diangkat menjadi penelitian
untuk penulisan skripsi ataupun artikel jurnal yang berkait
dengan materi hukum adat. Selain itu pendalaman belajar
hukum adat sebagai hukum yang tumbuh ditengah tengah
masyarakat yang secara praktis memiliki peran yang sangat
besat saat terjun di tengah tengah masyarakat. Hal ini bisa
diaplikasikankelak oleh mahasiswa setelah lulus dan memilih
profesi bidang keahlian hukum baik sebagai hakim, jaksa,
pengusaha, pendidik.

8. Deskripsi Mata Kuliah


Adapun ruang lingkup dari mata kuliah hukum adat
lanjutan akan membahas tentang kesatuan masyarakat
hukum adat yang meliputi pengertian, faktor pembentuk
masyarakat hukum adat dan struktur masyarakat hukum
adat. Mata kuliah hukum adat lanjutan juga membahas
antara lain, hukum tanah khususnya tanah adat/hak ulayat,

137
kekeluarga, perkawinan, pewarisan dan pelanggaran. Selain
itu dalam materi hukum adat lanjutan perlu pula meng­
kaitkannya dengan perkembangan zaman (era globalisasi),
bagian-bagian mana dari hukum adat lanjutan yang perlu
dilestarikan, dibuang atau diperbaiki serta mengkaitkan
dengan peraturan perundang-undangan.

8. Capaian Pembelajaran
Setelah memahami materi hukum adat lanjutan
mahasiswa Fakultas Hukum Unud, dapat menerapkan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip hukum adat
Indonesia kedalam bentuk kasus-kasus adat yang
muncul di masyarakat hukum adat dengan tepat dan
benar (C3).

9. Organisasi Materi
I. KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
a. Pengertian Kesaruan Masyarakat Hukum
Adat
b. Faktor-Faktor Pembentuk Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
c. Struktur Pemerintahan Dalam Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat

II. HUKUM TANAH ADAT


a. Tanah Adat sebagai Hak Ulayat Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat
b. Fungsi Tanah Bagi Masyarakat Hukum
Adat
c. Kedudukan Tanah Adat Dalam Peraturan
Perundang-Undangan

138
III. HUKUM ADAT KEKELUARGAAN
a. Pengertian Hukum Adat Kekeluargaan
b. Sistem Kekeluargaan Di Indonesia
c. Keturunan Dan Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Adat Pada Umumnya
d. Hubungan Hukum Dalam Hukum
Kekeluargaan

IV. HUKUM ADAT PERKAWINAN


a Pengertian Dan Sejarah Hukum Perkawinan
di Indonesia
b Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum
Adat
c Tata Cara Perkawinan Dalam Hukum Adat
d Harta Benda Perkawinan Dalam Hukum
Adat
e Perceraian Dan Akibat Hukumnya Dalam
Hukum Adat

V. HUKUM ADAT PEWARISAN


a Pengertian Dan Unsur Unsur Pewarisan
b Prinsip-Prinsip Pewarisan Dalam Hukum
Adat Waris
c Sistem Pewarisan Dalam Hukum Adat
Waris
d Syarat-Syarat Dan Proses Pewarisan Dalam
Hukum Adat Waris

139
VI. HUKUM ADAT PELANGGARAN
a Pengertian Dan Sifat-Sifat Pelanggaran
Adat
b Jenis-Jenis Pelanggaran Adat
c Reaksi Dan Koreksi Adat
d Pelanggaran Adat Dalam Praktek

11. Strategi Perkuliahan


Strategi pembelajaran atau perkuliahan adalah Problem
Based Learning (PBL) yang pusat pembelajarannya ada
pada mahasiswa dan bukan pada Dosen. Metode ini
diterapkan dengan cara belajar (learning) dan bukan
mengajar (teaching). Strategi perkuliahan adalah dengan
cara mengkombinasikan antara perkuliahan, diskusi
dan tutorial dengan prosentasi 50% (6 kali pertemuan
atau perkuliahan) dan 50% (6) kali pertemuan dengan
tutorial dan diskusi), 1 (satu) kali untuk Ujian Tengah
Semester (UTS) dan 1 (satu) kali untuk Ujian Akhir
semester (UAS). Sehingga total pertemuan untuk bobot
2 SKS adalah 14 (empat belas) kali

12. Tugas-Tugas
Tugas diberikan setiap akhir kegiatan pekuliahan se­
bagai media evaluasi atas capaian pembelajaran. Tugas
yang diberikan dalam bentuk kasus-kasus nyata/riil,
selan­
jutnya akan di diskusian pada saat pertemuan
selanjutnya/ tutorial.

13. Kriteria Penilaian


Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat
Pedoman Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

140
14. Jadwal Perkliahan
Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di dalam Block Book.

15. Tata Tertib Perkuliahan


a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman
Etika Dosen, Pegawai (Administrasi) dan Mahasiswa
yang ditetapkan dalam Buku Pedoman Pendidikan
Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013,
Bab VII, poin 4 huruf c.
b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila
dosen dan mahasiswa terlambat daripada batas
toleransi, maka akan dikenakan sanksi, kecuali ada
pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

Koordinator Kelas, Dosen Pengampu,

.................................. .................................

Mengetahui
Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat,

………………………………………..

141
142

Anda mungkin juga menyukai