Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

HUKUM HAM LANJUTAN

Dosen Pengajar:
Made Nurmawati, S.H., M.H.

Penyusun:

Ni Kadek Noviani Saskara (1804551333)

I Putu Rian Pramana Putra (1804551338)

I Putu Eka Tresna Ardiawan (1804551346)

Billyzard Yossy Lauran (1804551364)

Putu Arya Wiguna (1804551397)


BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Pulau Dewata sebagai “Pulau Seribu Pura” merupakan salah Provinsi di Indonesia yang dikenal akan berbagai keunikannya. Di samping
memiliki berbagai pesona wisata yang indah, kekentalan akan budaya serta tradisi turut pula menjadi daya tarik bagi para wisatawan domestik
maupun mancanegara. Hal inilah yang mendasari berbagai pihak untuk menobatkan Pulau Dewata sebagai “surga dunia”. Salah satu budaya
yang membedakan antara masyarakat Pulau Bali dengan masyarakat lainnya adalah mengenai keberadaan Desa Adat atau Desa Pakraman
yang berjalan secara beriringan dengan Desa Dinas. Desa Pakraman merupakan komponen non-pemerintahan yang melaksanakan sekaligus
mempertahankan berbagai tradisi serta budaya khususnya terhadap masyarakat hukum adat.
Salah satu komponen yang terdapat di dalam Desa Pakraman adalah keberadaan dari lembaga adat berupa Pecalang sebagai satuan
tugas keamanan tradisional yang dibentuk oleh Desa Pakraman guna menjaga keamanan dan ketertiban khususnya di wilayah wewidangan
Desa Pakraman. Keberadaan Pecalang sebagai salah satu lembaga adat yang menjalankan tugas pengamanan tersebut tentu berpotensi
menimbulkan persoalan baru. Kondisi ini terjadi karena di satu sisi pecalang merupakan lembaga non-pemerintahan, akan tetapi di sisi yang
lain bahwa legalitas pecalang untuk menjalankan tugas pengamanan tersebut telah diakui oleh negara melalui berbagai peraturan perundang-
undangan.
Akibat dari kondisi tersebut, lahirlah berbagai permasalahan ketika Pecalang menjalankan tugasnya di dalam menjaga keamanan serta
ketertiban khususnya di wilayah wewidangan Desa Pakraman. Terlebih apabila tindakan yang dilakukan oleh Pecalang tersebut dinilai
melampaui kewenangannya serta melanggar hak asasi manusia khususnya bagi para pihak yang berada pada wilayah Desa Pakraman
setempat.
Di samping itu, keberadaan berbagai peraturan khususnya berkaitan dengan sanksi adat yang berasal dari Desa Pakraman turut pula
berpotensi menjadi suatu persoalan yang menarik. Kondisi ini terjadi karena adanya berbagai pihak yang menghubungkan antara sanksi adat
tersebut dengan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Akibatnya, lahirlah suatu permasalahan baru berupa konflik antara hukum
nasional dengan hukum adat.
RUMUSAN MASALAH TUJUAN PENULISAN

Pembaca dapat mengetahui dan memahami kewenangan negara


1. Apakah negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan?
khususnya di bidang keamanan.

2. Apakah pelaksanaan tugas pengamanan yang dilakukan oleh Pembaca dapat mengetahui dan memahami kedudukan pecalang
pecalang merupakan suatu bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh di dalam melaksanakan tugas pengamanan, serta tanggung jawab
aktor bukan negara? Bagaimana tentang tanggung jawab negara negara atas pelaksanaan pengamanan oleh aktor bukan negara
dalam hal ini? tersebut.

3. Apakah pecalang atas nama desa pakraman dapat menjadi bagian Pembaca dapat mengetahui dan memahami kedudukan pecalang
dari tim keamanan investor (hotel) di wewengkon (wilayah) desa sebagai tim keamanan atas suatu hotel milik investor yang berada
pakraman dilihat dari HAM? pada wilayah desa pakraman berdasarkan perspektif HAM.

4. Apakah investor dapat menolak keinginan desa pakraman yang Pembaca dapat mengetahui dan memahami kedudukan investor
menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan investor ketika pihak pecalang hendak menjadi bagian dari sistem
yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM? keamanan investor berdasarkan perspektif HAM.

5. Apakah penerapan sanksi adat Kasepekang bertentangan dengan Pembaca dapat mengetahui dan memahami kedudukan sanksi
HAM? adat Kasepekang berdasarkan perspektif HAM.

6. Jika merujuk pada pandangan bahwa HAM merupakan nilai yang Pembaca dapat mengetahui dan memahami kedudukan sanksi
bersifat universal, apakah sanksi adat Kasepekang yang merujuk adat Kasepekang dalam kaitannya dengan nilai tradisional serta
pada nilai tradisional dapat diabaikan? nilai HAM yang bersifat universal.
BAB II
PEMBAHASAN
TUTORIAL I
BUDAYA DAN MASYARAKAT I

Discussion Task (1)

Pecalang dan HAM


Barisan pecalang sudah menjadi pemandangan umum di Bali. Pecalang mempunyai ciri-ciri yang khas, biasanya adalah
laki-laki tegap berpakaian rompi, dengan paduan warna-warna menjolok, seperti hitam-putih-merah, serta dilengkapi dengan
senjata keris. Pada bagian punggung rompi tertulis dengan jelas identitas “Pecalang Desa Pakraman X”. Pada musim-musim
upacara adat atau keagamaan, sosok pecalang dengan mudah ditemukan, karena tugas pecalang yang paling dikenal adalah
menjaga ketertiban dan memperlancar jalannya upacara-upacara adat dan agama tersebut. Dalam kenyataan, ternyata tugas
pecalang lebih luas dari sekedar menjaga ketertiban upacara, sebab pecalang juga melaksanakan tugas-tugas pengamanan
lainnya di dalam wilayah desa pakraman.

Paparan Soal
1. Apakah negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan?
2. Apakah pelaksanaan tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
aktor bukan negara? Bagaimana tentang tanggung jawab negara dalam hal ini?
3. Apakah pecalang atas nama desa pakraman dapat menjadi bagian dari tim keamanan investor (hotel) di wewengkon
(wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM?
4. Apakah investor dapat menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan
investor yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM?
PEMBAHASAN 1

1. Apakah negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan?

Secara konseptual, negara pada dasarnya memegang kewenangan eksklusif di bidang keamanan yang dijalankan secara khusus oleh
Pemerintah Pusat. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menentukan
bahwa:
“Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat.”
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan jenis-jenis dari urusan pemerintahan absolut, diatur lebih lanjut melalui ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU
No. 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa:
“Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, secara eksplisit telah ditentukan bahwa yang berwenang dalam melaksanakan urusan pemerintahan
absolut khususnya di bidang keamanan adalah negara melalui Pemerintah Pusat. Namun, dalam menjalankan urusan pemerintahan absolut
tersebut, Pemerintah Pusat tidak melulu melaksanakannya secara sendiri, akan tetapi dapat pula dilakukan melalui pelimpahan wewenang
kepada Pemerintah Daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 yang menentukan bahwa:
“Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
a. melaksanakan sendiri; atau
b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas
Dekonsentrasi.”
PEMBAHASAN 1

Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang
keamanan. Kewenangan tersebut diatribusikan kepada Pemerintah Pusat yang selanjutnya dapat dilaksanakan sendiri
dan/atau didelegasikan kepada Pemerintah Daerah.
Akan tetapi, dalam praktiknya Pemerintah Daerah kadang kala mendelegasikan kewenangan di bidang keamanan
tersebut bukan kepada lembaga yang berada di pemerintahan. Sebagai contoh yang ada di Provinsi Bali, bahwa Pemerintah
Daerah memberikan kewenangan kepada pecalang untuk menjaga keamanan dan ketertiban walaupun terbatas pada wilayah
di wewidengan desa pakraman. Hal ini sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1 angka 20 Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019
tentang Desa Adat di Bali yang berbunyi:
“Pacalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pacalang, adalah satuan tugas
keamanan tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban
wilayah di wewidangan Desa Adat.”
Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara pada dasarnya memiliki kewenangan
yang ekskusif di bidang keamanan, akan tetapi tidak bersifat mutlak. Hal ini karena adanya keterlibatan oleh pihak-pihak di
luar lembaga pemerintahan yang turut menjalankan tugas di bidang keamanan.
PEMBAHASAN 2
2. Apakah pelaksanaan tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang merupakan suatu pelanggaran yang dilakukan oleh aktor bukan
negara? Bagaimana tentang tanggung jawab negara dalam hal ini?

Secara konseptual, walaupun pecalang tidak termasuk ke dalam kategori aktor negara, akan tetapi tugas pengamanan yang dilakukan
oleh pecalang bukanlah suatu bentuk pelanggaran. Argumen tersebut didasari oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia yang menentukan bahwa:
“Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:
a. kepolisian khusus;
b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.”

Perlu untuk dipahami bahwa salah satu tugas dari kepolisian sebagaimana disebutkan di dalam pasal tersebut adalah berupa
pemeliharaan keamanan serta ketertiban masyarakat. Hal ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 yang
menentukan bahwa:
“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Namun, perlu ditegaskan pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c tersebut bahwa fungsi kepolisian tersebut tidak hanya terbatas
dilakukan oleh pihak Kepolisian RI, akan tetapi turut menyertakan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa”. Dalam kaitannya dengan maksud
dari pengamanan swakarsa, dapat dilihat melalui Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 2 Tahun 2002 yang menentukan bahwa:
“Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk pengamanan swakarsa" adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran,
dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan
pengamanan lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan.
Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam lingkungan kuasa tempat (teritoir gebied/ruimte
gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan …”
PEMBAHASAN 2

Perlu untuk dipahami bahwa pecalang merupakan salah satu pihak yang masuk ke dalam kategori bentuk pengamanan
swakarsa yang diakui oleh negara. Hal ini didasari pada ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa yang menentukan bahwa:
“Pam Swakarsa yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:
a. Pecalang di Bali;
b. Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat;
c. Siswa Bhayangkara; dan
d. Mahasiswa Bhayangkara.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang bukanlah suatu bentuk
pelanggaran, sepanjang pecalang yang bersangkutan telah memperoleh pengukuhan dari pihak Kakorbinmas sebagai
komponen pengamanan swakarsa. Akan tetapi, kewenangan pengamanan tersebut hanya berlaku secara terbatas pada
wilayah desa pakraman yang bersangkutan.
PEMBAHASAN 2

Tanggung Jawab Negara atas Pelaksanaan Tugas Pengamanan oleh Pecalang

Dalam kaitannya dengan tanggung jawab negara terkait dengan fenomena banyaknya pecalang khususnya di Provinsi Bali
yang menjalankan tugas pengamanan, maka secara konseptual perlu dipertegas terlebih dahulu bahwa tidak seluruh pecalang
adalah komponen dari pengamanan swakarsa yang berwenang melakukan pengamanan layaknya Polri. Akan tetapi, harus
diberikan suatu rekomendasi terlebih dahulu oleh Dirbinmas Polda kepada Kakorbinmas Baharkam Polri agar pihak pecalang
yang bersangkutan dapat dikukuhkan sebagai komponen pengamanan swakarsa. Hal ini sebagaimana ditentukan di dalam
Pasal 3 ayat (5) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 4 Tahun 2020 yang berbunyi:
“Pam Swakarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), memperoleh pengukuhan dari Kakorbinmas Baharkam Polri
atas rekomendasi Dirbinmas Polda.”

Dengan berlandaskan pada ketentuan pasal tersebut, bahwa tanggung jawab negara atas pelaksanaan tugas
pengamanan yang dilakukan pecalang dapat dilihat di dalam mekanisme pengukuhan pecalang untuk dapat masuk ke dalam
komponen pengamanan swakarsa. Di dalam tahap inilah negara melalui Polri melakukan tanggungjawabnya dengan cara
melakukan filterisasi terhadap pihak-pihak yang dapat masuk ke dalam komponen pengamanan swakarsa.
Di samping itu, negara dalam hal ini bertanggung jawab untuk mengontrol jalannya pelaksanaan tugas pengamanan oleh
pecalang, sehingga tidak terjadi berbagai tindakan oleh pecalang yang melebihi kewenangannya. Dalam hal ini, pecalang
tidaklah bertindak sebagai pengganti Polri, akan tetapi sebagai suatu komponen yang dapat bekerja sama dengan Polri guna
menjaga keamanan khususnya di wilayah desa pakraman.
PEMBAHASAN 3

3. Apakah pecalang atas nama desa pakraman dapat menjadi bagian dari tim keamanan investor (hotel) di wewengkon
(wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM?

Secara konseptual, tugas pecalang untuk melakukan pengamanan di wilayah desa pakraman telah diatur secara eksplisit
di dalam Pasal 47 ayat (1) Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang menentukan bahwa:
“Pacalang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf d melaksanakan tugas dalam bidang keamanan, ketentraman,
dan ketertiban masyarakat dalam Wewidangan Desa Adat.”

Di samping ketentuan tersebut, pada dasarnya pecalang telah diakui oleh negara sebagai komponen swakarsa yang
dapat menjalankan fungsi Polri yang salah satu diantaranya adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Pengakuan
tersebut didasari oleh ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa.
Dengan berlandaskan pada argumen tersebut, maka sudah barang tentu pihak pecalang sangat dimungkinkan untuk
menjadi bagian dari tim keamanan hotel yang dimiliki oleh investor. Hal ini karena telah adanya suatu legalitas yang diberikan
kepada pecalang melalui ketentuan pasal tersebut.
Di samping itu, apabila ditinjau berdasarkan perspektif hak asasi manusia, maka dapat dipahami bahwa telah ada suatu
penegasan mengenai perlindungan terhadap perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat yang harus dijamin
oleh negara. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menentukan bahwa:
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan
dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.”
PEMBAHASAN 3

Salah satu perbedaan dalam masyarakat hukum adat khususnya di Provinsi Bali yang membedakannya dengan
masyarakat adat di wilayah lainnya adalah adanya keberadaan pecalang sebagai satuan tugas keamanan tradisional yang
dibentuk oleh Desa Pakraman yang bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban khususnya di wilayah wewidangan
Desa Pakraman demi melindungi kepentingan masyarakat di desa pakraman setempat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pecalang sebagai salah satu komponen di dalam suatu desa pakraman
sangat dimungkinkan untuk menjadi bagian dari tim keamanan hotel milik investor. Ketentuan ini berlaku sepanjang pecalang
yang bersangkutan telah memperoleh pengukuhan oleh Polri sebagai komponen pengamanan swakarsa yang dapat
menjalankan fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban layaknya Polri.
PEMBAHASAN 4

4. Apakah investor dapat menolak keinginan desa pakraman yang menghendaki pecalang menjadi bagian sistem keamanan
investor yang ada di wewengkon (wilayah) desa pakraman dilihat dari HAM?

Dalam mengkaji permasalahan ini berdasarkan perspektif hak asasi manusia, maka dirasa perlu untuk memperhatikan ketentuan
Penjelasan Umum Atas UU No. 39 Tahun 1999 yang menentukan bahwa:
“… Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya
…”

Di samping instrumen hukum yang bersifat nasional, perlu pula untuk merujuk pada instrumen hukum yang bersifat
internasional dalam mengkaji permasalahan tersebut. Berdasarkan Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM),
ditentukan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan sebagai induvidu.”

Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, maka pada dasarnya pihak investor memiliki kebebasan secara penuh dalam
mengambil keputusan untuk menghendaki atau tidak menghendaki pihak pecalang sebagai bagian dari sistem keamanan pada hotel
yang dimilikinya. Akan tetapi, bila mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia, maka didapati bahwa pecalang merupakan salah satu komponen dari bentuk pengamanan swakarsa yang dapat
menjalankan fungsi kepolisian layaknya Polri untuk menjaga keamanan dengan skala yang bersifat terbatas. Dengan demikian, dalam
kondisi ini dirasa perlu untuk kembali bertumpu pada ketentuan Penjelasan Umum Atas UU No. 39 Tahun 1999 yang menentukan
bahwa:
“… Karena manusia merupakan makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain,
sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas …”
PEMBAHASAN 4

Dengan berlandaskan pada ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa kebebasan hak asasi manusia tidaklah bersifat tanpa
batas. Setiap kebebasan dari suatu pihak, akan dibatasi oleh hak asasi dari pihak lainnya. Dalam hal ini, kebebasan investor untuk
memutuskan sendiri suatu tindakannya telah dibatasi oleh hak asasi dari masyarakat di desa pakraman setempat untuk memperoleh
keamanan atas ancaman yang dapat timbul dari penghuni hotel milik investor.
Oleh karenanya, demi keamanan dari masyarakat desa pakraman setempat, maka pada dasarnya pihak investor tidak dapat
menolak keinginan dari desa pakraman setempat untuk melibatkan pecalang sebagai bagian dari sistem keamanan pada hotel milik
investor. Tindakan tersebut dilakukan semata-mata sebagai upaya dalam menjaga keamanan yang merupakan hak asasi dari
masyarakat desa pakraman setempat.
TUTORIAL I
BUDAYA DAN MASYARAKAT I

Discussion Task (2)

Sanksi Adat Kasepekang dan HAM


Harian Bali Post memberitakan terjadinya kasus adat yang menjadi perhatian publik di tahun 2012. Lima keluarga di Desa
Sulang Kabupaten Klungkung yang menyandang gelar Gusti dikenakan sanksi adat Kasepekang (dikucilkan secara adat) melalui
paruman (rapat) Desa Pakraman Sulang. Berdasarkan hasil paruman tersebut, lima kepala keluarga yang terkena sanksi
Kasepekang diwajibkan meninggalkan tanah pekarangan yang mereka tempati selama bertahun-tahun atas alasan bahwa
tanah tersebut adalah tanah ayahan desa (tanah milik desa pakraman). Karena lima keluarga tersebut tidak bersedia
meninggalkan tanah sengketa, kemudian krama Desa Pakraman Sulang bertindak memagari dan menanami tanah tersebut
dengan pohon pisang.

Paparan Soal
1. Apakah penerapan sanksi adat Kasepekang bertentangan dengan HAM?
2. Jika merujuk pada pandangan bahwa HAM merupakan nilai yang bersifat universal, apakah sanksi adat Kasepekang yang
merujuk pada nilai tradisional dapat diabaikan?
PEMBAHASAN 1

1. Apakah penerapan sanksi adat kesepekang bertentangan dengan HAM?

Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu kasepekang adalah salah satu sanksi adat yang dikenal di Bali. Kasepekang adalah istilah
hukum adat di pulau Bali untuk mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig-awig/hukum adat yang berlaku di
daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat. Selama dalam masa kasepekang, yang bersangkutan tidak berhak
mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan suara
kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama),
kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah).

Melihat penerapan sanksi adat kasepekang tersebut, hal ini dapat dinilai perbuatan yang melanggar HAM. Adapun argumentasinya yaitu
sebagai berikut:
a. Sanksi adat kasepekang diterapkan dengan cara mengucilkan seseorang. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Sebagaimana
dapat dilihat pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengucilan adalah salah satu bentuk diskriminasi.
Kemudian dalam DUHAM, pada pasal 7 terdapat ketentuan yang berbunyi “Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap
bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.”
PEMBAHASAN 1

b. Sanksi adat kasepekang sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, SH., MS, bahwa dalam praktik orang yang terkena
sanksi kasepekang mendapatkan pelarangan penggunaan kuburan dan pura. Selaras dengan pandangan yang dikemukakan oleh Prof. Dr. I
Wayan Windia, SH., Msi dan Dr. I Ketut Sudantra, SH., MH bahwa kadang-kadang terjadi, mereka yang kasepekang selain dikucilkan juga
dilarang menggunakan fasilitas adat, seperti dilarang menggunakan balai banjar, dilarang ke pura, dan dilarang menggunakan setra
(kuburan milik desa adat), dan lain-lain. Dari kedua pendapat ahli tersebut, dapat diketahui bahwa dalam praktiknya sanksi adat
kasepekang melarang orang yang bersangkutan untuk ke pura. Pelarangan ke pura termasuk pelanggaran terhadap HAM karena pada
pasal 22 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
c. Lebih lanjut menurut Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, dengan dijatuhkannya sanksi kasepekang terhadap seseorang, itu berarti orang yang
bersangkutan tidak diajak bertegur sapa atau berkomunitas, tidak mendapat pelayanan secara adat (misalnya arah-arahan dan segala
informasi lainnya). Hal ini merupakan pelanggaran HAM karena berdasarkan pasal 14 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menentukan bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk
mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya” beserta ayat (2) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”
PEMBAHASAN 2

2. Jika merujuk pada pandangan bahwa HAM merupakan nilai yang bersifat universal, apakah sanksi adat kasepekang yang merujuk pada
nilai tradisional dapat diabaikan?

Walaupun HAM merupakan nilai yang bersifat universal, bukan berarti bahwa sanksi adat kasepekang yang merujuk pada nilai
tradisional dapat diabaikan. Adapun dasar argumentasinya, yaitu sebagai berikut:
a. Kehidupan kebudayaan masyarakat merupakan bagian dari HAM. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 27 ayat (1) DUHAM yang menentukan
bahwa “Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas...”.
b. Kemudian Indonesia juga mengakui Kesautuan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak tradisionalnya sebagaimana diatur dalam pasal 18B
ayat (2) yang menentukan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang”
c. Dalam penjelasan pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 juga menjelaskan bahwa Hak adat yang secara nyata masih berlaku dan
dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan
hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan.
PEMBAHASAN 2

Namun agar sanksi adat kasepekan dapat diterapkan tanpa melanggar HAM, sebaiknya perlu dibentuk aturan yang
jelas mengenai penerapan sanksi adat kasepekan ini agar dalam prakteknya tidak menyimpang sehingga terjadi
pelanggaran HAM. Sebagaimana pada tahun 2007 Majelis Desa Pakraman Bali pernah mengeluarkan Keputusan Nomor
01/Kep/Psm 2/MDP Bali/X/2007 tertanggal 2007 yang menyatakan, “Penjatuhan sanksi adat kasepekang dan kanorayang,
dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tatacara mengenai penjatuhan
sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali”.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
STUDY TASK I

1. Secara konseptual, negara memiliki kewenangan eksklusif di bidang keamanan negara. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Akan tetapi di dalam praktiknya, kadang kala kewenangan di bidang
keamanan tersebut justru dijalankan oleh pihak di luar lembaga negara. Sebagai contoh adalah keberadaan pecalang yang diberikan
wewenang untuk melaksanakan pengamanan walaupun bersifat terbatas. Sehingga, kewenangan negara di bidang keamanan adalah
bersifat eksklusif akan tetapi tidak mutlak.

2. Pelaksanaan tugas pengamanan yang dilaksanakan oleh pecalang bukanlah suatu bentuk pelanggaran. Kondisi ini terjadi karena pecalang
telah memiliki legalitas yang diberikan oleh negara melalui UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan
Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa, serta Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang
Desa Adat di Bali yang memberikan wewenang bagi pecalang guna menjalankan tugas pengamanan walaupun dalam skala yang terbatas.
Dalam hal pertanggungjawaban negara atas pelaksanaan tugas pengamanan yang dilakukan oleh pecalang, negara melalui Polri
melaksanakan filterisasi terhadap pecalang yang hendak dikukuhkan sebagai komponen swakarsa yang berwenang dalam menjalankan
tugas pengamanan. Selanjutnya, negara melalui Polri turut menjalankan kontrol atas pelaksanaan tugas pengamanan oleh pihak pecalang.

3. Pecalang atas nama desa pakraman sangat dimungkinkan untuk menjadi bagian dari tim keamanan hotel milik investor yang berada di
wilayah desa pakraman. Hal ini karena telah adanya suatu legalitas yang diberikan berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Perda Provinsi Bali No. 4
Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali serta Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

4. Pihak investor sebagai pemilik hotel tidak berhak untuk menolak keinginan desa pakraman yang hendak menjadikan pecalang setempat
sebagai bagian dari sistem keamanan hotel miliknya. Hal ini didasari oleh ketentuan Penjelasan Umum atas UU No. 39 Tahun 1999 yang
pada intinya menentukan bahwa hak asasi manusia tidaklah bersifat tanpa batas, yang artinya bahwa hak asasi manusia yang satu dibatasi
oleh hak asasi manusia yang lain. Dalam hal ini, hak asasi investor berupa kebebasan untuk memutuskan sendiri suatu tindakannya telah
dibatasi oleh hak asasi masyarakat di desa pakraman setempat untuk memperoleh keamanan atas ancaman yang dapat berasal dari
penghuni hotel milik investor.
KESIMPULAN
STUDY TASK II

1. Sanksi Adat Kasepekang bertentangan dengan HAM karena pengucilan terhadap seseorang merupakan salah satu bentuk
diskriminasi, serta dalam praktiknya seseorang yang dikenakan sanksi ini dilarang menggunakan fasilitas adat seperti pura,
kuburan dan lainnya sehingga hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya, serta seseorang yang dikenai sanksi adat kasepekang ini tidak dapat berkomunikasi dan mendapatkan
informasi dari desanya sehingga hal ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi.

2. Walaupun HAM merupakan nilai yang bersifat universal, bukan berarti bahwa sanksi adat kasepekang yang merujuk pada
nilai tradisional dapat diabaikan, karena sanksi adat kasepekang yang merupakan bagian dari hukum adat itu sendiri diakui
oleh negara dan bagian dari Hak Asasi Manusia itu sendiri sebagaimana diatur dalam DUHAM, UUD NRI Tahun 1945 dan
UU No. 39 Tahun 1999. Namun agar penerapan sanksi adat kasepekang dalam praktiknya tidak bertentangan dengan HAM
diperlukan peraturan yang jelas mengenai penerapan sanksi adat Kasepekan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Windia, Wayan P. dan I Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus Bekerjasama dengan “Bali Shanti” Pusat Pelayanan
Konsultasi Adat dan Budaya Bali LPPM Unud, dan Puslit Hukum Adat LPPM Unud, Denpasar.

Jurnal

Wibawa, Gede Yoga Satriya, I Gede Arya Wiradnyana, “Implementasi Hukum Adat Dengan Sanksi Kasepekang Ditinjau Dari Perspektif Hak
Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Agama Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Vol. 1 No. 1, 2017.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2019 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4)

Anda mungkin juga menyukai