4. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
· Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon
suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
5. B
ahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menimbang:
· Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
· Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa
depan
6. Bahwa dengan berdasarkan penegakan Hak Asasi Manusia, sudah sepantasnya demi
penegakan hak asasi manusia dan demi kemanusiaan permohonan pengesahan perkawinan
dan pengakuan anak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
7.pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan.
Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang diajukan para Pemohon dan keterangan
saksinya para Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil pokok permohonan
pengesahan perkawinan dan pengakuan anak, maka permohonan ini harus
dikabulkan.
8. Udex Facti ( Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan
sebagai berikut :
9. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Facti
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi tersebut harus ditolak.
10. M
enimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon
Kasasi ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini.
Positivisme sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke 19. sistem ini
didasarkan pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia
tampil dalam bentuk pengalaman,atau apabila ia sungguh-sungguh dapat
dipastikan sebagai kenyataan, atau apabila ia ditentukan melalui ilmu-ilmu
pengetahuan apakah sesuatu yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu
kenyataan.
Dalam kaitannya dengan positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif), maka
dipandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara
hukum yag berlaku dan hukum, yang seterusnya, antara das Sein dan das
sollen) .
Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa ((law is a
command of the lewgivers). Bahkan, bagian aliran Hukum Positif yang dikenal
dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu [2]identik
dengan undang-undang lebih tegas, bahwahukum itu identik dengan
undang-undang.
Positivisme Hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran Hukum Positif
Analitis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis
yang dikembangkan oleh John Austin, dan (2) Aliran Hukum Murni (Reine
Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme yuridis yang kembangkan oleh Hans
Kelsen.
Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri -ciri matafisis dan
abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke - 18. Aliran ini adalah aliran
yang meletakkan kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan di sini
diartikan sebagai kebahagiaan (happinnes). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya
suatu hukum. Bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.Kebahagian ini selayaknya dapat dirasakan oleh
setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin),
diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu
dalam masyarakat (bangsa) tersebut (The greatst happines for the graetest
number of people).
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum,
mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwatujuan hukum
adalah menciptakan ketertiban masya rakat, disamping untuk memberikan
manfaat yang sebesar - besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini
berarti hukum merupakan pencerminan pemerintah perintah penguasa juga,
bukan pencerminan dari rasio saja.[3]
Aliran Filsafat Hukum yang Digunakan Hakim dalam Memutus Putusan No. 805 K/
Pdt/ 2013
Aliran filsafat yang digunakan hakim ialah aliran positivisme, sebab aliran Hukum
Positivisme menganggap bahwa hukum dan moral merupakan dua hal yang dipisahkan
dan pertimbangan hakim dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, dalam Pasal 37 ayat 1 yaitu untuk perkawinan
Warga Negara Indonesia bukan perkawinan campuran. Bahwa hakim menggunakan
Undang-Undang Nomor 23 tentang 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
sedangkan perkawinan Pemohon terjadi pada tahun 1993 sehingga sangat
bertentangan dengan prinsip hukum lalu Negara harus memberikan perlindungan
hukum terhadap keluarga dalam suatu status perkawinan para pemohon, melalui
keputusan pengadilan yang dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi:
· Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah
· Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon
suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menimbang:
· Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap- tiap
warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi
manusia
· Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya
· Bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang
menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan
Bahwa dengan berdasarkan penegakan Hak Asasi Manusia, sudah sepantasnya demi
penegakan hak asasi manusia dan demi kemanusiaan permohonan pengesahan
perkawinan dan pengakuan anak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Surakarta.
Berdasarkan bukti-bukti tertulis yang diajukan para Pemohon dan keterangan saksinya
para Pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil pokok permohonan pengesahan
perkawinan dan pengakuan anak, maka permohonan ini harus dikabulkan.
dex Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan
sebagai berikut :
· Bahwa oleh karena perkawinan para Pemohon dilaksanakan di Hongkong, akan
tetapi perkawinannya tidak dilaporkan ke Perwakilan Republik Indonesia di Hongkong,
sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, maka permohonan untuk pengesahan perkawinan
tidak dapat diterima
· Bahwa pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar
· Bahwa lagi pula alasan-alasan kasasi lainnya mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex
Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi tersebut harus
ditolak. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon
Kasasi ditolak, maka para Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Analisa
Apabila kasus tersebut diselesaikan menggunakan aliran filsafat hukum naturalis, maka
terdapat dua kemungkinan yakni aliran hukum alam irasional dan hukum alam rasional.
Dengan menggunakan aliran hukum rasional maka hukum berlaku universal dan abadi
bersumber dari Tuhan secara langsung, maka penyelesaiannya di dasarkan pada
agama dan mengikuti Titah Tuhan yakni sesuai dengan apa yang diatur dalam agama
masing masing selaku Para Pemohon, maka putusannya adalah di Kabulkan untuk
Permohonan Penetapan Pengesahan Perkawinan karena mereka telah sesuai dengan
agama. Apabila kasus tersebut diputus menggunakan aliran Filsafat Hukum naturalis
rasional, yang mana menitik beratkan pada ratio manusia yang artinya ketika terjadi
pertetangan kepentingan dalam masyarakat, maka dilakukan perjanjian suka rela di
antara masyarakat sebagaimana pendapat Samuel Von Pufendorf dan Christian
Thomasius selaku penganut aliran filsafat hukum naturalis rasional.
Apabila Kasus tersebut diselesaikan menggunakan Aliran Filsafat Hukum Positivis, maka
hakim dalam memutus perkara akan lebih banyak menggunakan peraturan
perundang-undangan sebagai Ratio Decidendi dalam memutus perkara. Dalam Perkara ini,
hakim cenderung menggunakan aliran hukum Positivis, sebab hakim menggunakan peraturan
perundang-undangan sebagai alasan untuk memutus. Seperti, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang mana dalam peraturan perundangan-
undangan tersebut telah mengatur bahwa Permohonan Penetapan Pengesahan Perkawinan
yang diajukan oleh Pemohon haruslah sebelumnya memenuhi syarat administratif termasuk
juga surat pengesahan perkawinan para Pemohon dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di
Hongkong. Maka sesuai dengan Putusan Tingkat Pertama maupun tingkat kasasi apabila
menggunakan aliran filsafat hukum Positivis akan memiliki kesimpulan yang sama yakni
menolak permohonan yang diajukan oleh Pemohon.
Apabila kasus tersebut diselesaikan menggunakan aliran filsafat hukum Utilitarianisme maka
hakim dalam memutus perkara harus melihat dari apakah putusan tersebut mampu
memberikan kebahagiaan bagi sebagian banyak orang atau tidak, sebagaimana aliran
utilitarianisme merupakan aliran yang melihat adil atau tidaknya hukum dari kebahagiaan
yang dirasakan oleh para pihak. Sehingga jika menggunakan aliran Utilitarianisme dalam
perkara ini penyelesaiannya dapat melihat dari Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimana setiap orang berhak membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Selain itu dapat juga
melihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan
tiap-tiap warganegaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia. Setelah melihat dua hal tersebut dengan berdasarkan Hak Asasi Manusia dan
demi kemanusiaan maka permohonan pengesahan perkawinan dan juga pengakuan anak
dapat dikabulkan.
Kesimpulan
Kelompok kami lebih condong ke aliran positivis berdasarkan suara terbanyak, sebab
aliran Hukum Positivis menganggap bahwa hukum dan moral merupakan dua hal yang
dipisahkan dan pertimbangan hakim dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dalam Pasal 37 ayat 1 yaitu untuk
perkawinan Warga Negara Indonesia bukan perkawinan campuran.
Daftar Pustaka
1. Putusan Mahkamah Agung No. 805 K/ Pdt/ 2013.
2. Prof. Dr. Sukarno Aburera, S.H, Prof. Dr. Muhadar, SH.,M.H dan Maskun SH,
L.LM, Filsafat Hukum : Teori dan P
raktik,Penerbit Kencana, 2017.
[1] Prof. Dr. Sukarno Aburera, S.H, Prof. Dr. Muhadar, SH.,M.H dan Maskun SH, L.LM,
Filsafat Hukum : Teori dan P
raktik,P
enerbit Kencana, 2017, h.71
[2] Ibid, h.82
[3] Ibid, h.85