Anda di halaman 1dari 47

SILABUS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : HUKUM PERDATA


Kelompok Kurikulum : Kurikulum Inti
Kelompok Mata Kuliah : Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK)
Beban Kredit : 4 SKS
Semester : Gasal/Genap
Prasyarat : Pernah tempuh PHI & PIH, Lulus PHI/PIH
Fakultas/Jurusan/Program Studi : HUKUM
Sasaran : Memberikan dasar pada mahasiswa dalam
Mempelajari dan memahami hubungan perdata
dalam masyarakat di tinjau dari hukum BW atau
hukum tertulis.

MATERI
PENDAHULUAN
A. Istilah dan pengertian Hukum Perdata.
B. Luas Hukum Perdata Materiel dan Formil di Indonesia.
C. Sumber-sumber Hukum Perdata Tertulis.
D. Sejarah terjadinya sampai berlakunya BW di Indonesia.
E. Sistematika BW, kedudukan dan perkembangannya.

TENTANG ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM


A. Pengertian Orang sebagai subyek hokum.
B. Badan Hukum sebagai subyek hokum.
C. Teori-teori Badan Hukum.
D. Ujud Badan Hukum.
E. Kemampuan hukum Badan Hukum.
F. Yayasan.
G. Wakaf.

HUKUM KELUARGA
A. Hukum Perkawinan
1. Syarat sahnya perkawinan.
2. Larangan perkawinan.
3. Pencegahan perkawinan.
4. Hak dan kewajiban suami isteri.
5. Perkawinan berdasarkan Hukum Islam, Rukun Perkawinan.
6. Perjanjian Perkawinan dan Harta Perkawinan.
7. Putusnya Perkawinan.
8. Perceraian dan Akibatnya.

B. Hukum Waris
1. Pengertian.
2. Asas.
3. Unsur.
4. Ahli Waris Menurut Undang-Undang.
5. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat.

HUKUM BENDA
1. Pengaruh berlakunya UUPA terhadap Buku II BW.
2. Sistem Buku II BW.
3. Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tetap.
4. Hak kebendaan : arti dan macamnya.
5. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan.
6. Hak milik.
7. Bezit.
8. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
9. Gadai dan fiducia.
10. Hak tanggungan.
HUKUM PERIKATAN
A. Pengaturan dalam Buku III BW
B. Sumber perikatan
C. Unsur-unsur perikatan
D. Prestasi dan wanprestasi
E. Keadaan memaksa dan risiko
F. Hapusnya perikatan
REFERENSI :
1. Sudikno Mertokusumo, SH.Prof.Dr, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Liberty, 1999.
2. Supomo, SH.Prof.Dr, Sistem Hukum di Indo-nesia,Jakarta,Pradnya Paramita,1983,Cet.XII.
3. Azis Saifudin, Beberapa hal tentang BW, Bandung, Alumni, 1989, Cet. VI.
4. Ali Rido, SH., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan dan Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung, Alumni, 1991,Cet. IV.
5. Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1987, Cet. I.
6. H.Ahmad Azhar Basyir, MA., Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Pres, 1999, Edisi
I,Cet. IX.
7. Sri Sudewi Masjchun Sofwan, SH.Prof.Dr., Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, 1981,Cet.
IV.
8. Satrio J., SH., Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I.
9. Satrio J., SH., Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I.
10. Setiawan R., SH. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Jakarta, Bina Cipta, 1987, Cet.IV.
11. R. Soebekti, KUH Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994. Cet.26.
12. Ridwan Sakroni, Seluk Beluk Hukum Perdata,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”,
baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali
menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam
meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal
terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).

1. Pengertian
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Secara terminologis, Hukum Perdata (Burgerlijk-recht) ialah rangkaian peraturan-
peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang
lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.1

2. Dasar Hukum berlakunya BW


Dasar hukum berlakunya BW di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaaan, adalah
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini.

B. Luas Hukum Perdata Materiel dan Formil di Indonesia


1. Luas hukum Perdata Materil
Ruang lingkup hukum perdata dibagi manjadi 4, yaitu:
a. Hukum perorangan
Personenrecht adalah bagian dari hukum perdata yang memuat rangkaian peraturan
tentang manusia sebagai subjek hukum dan peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk
memiliki hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan haknya itu.
b. Hukum Kekeluargaan
Hukum keluarga meliputi rangkaian peraturan yang timbul dari pergaulan hidup
kekeluargaan.
Hukum kekeluargaan mengatur tentang :
1) Keturunan
a) Anak sah
Seorang anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari
perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Kepastian, seorang anak sungguh-
sungguh anak ayahnya tentunya sukar didapat.
Sehubungan dengan itu, oleh undang-undang ditetapkan suatu tenggang
kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling
pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan
orangtuanya dihapuskan, adalah anak yang tidak sah.
Ketentuan tentang anak sah menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah (Pasal 42). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 (1).

1
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 214
b) Menyangkal sahnya anak
Jikalau seorang anak dilahirkan sebelumnya lewat 180 hari setelah hari
pernikahan orangtuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali
jika ia sudah mengetahui bahwa isterinya mengandung sebelum pernikahan
dilangsungkan atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat
kelahiran itu turut ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah itu
dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.
Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya atau
dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan apakah anak
itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu seorang anak yang
lahir mati tidak perlu disangkal sahnya.
Selanjutnya si ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan isterinya
telah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Di sini si
ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam
waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu.
Tenggang waktu untuk penyangkalan, ialah satu bulan jika si ayah berada di
tempat kelahiran anak, dua bulan sesudah ia kembali jikalau ia sedang bepergian waktu
anak dilahirkan atau dua bulan setelahnya ia mengetahui tentang kelahiran anak, jika
kelahiran itu disembunyikan. Apabila tenggang waktu tersebut telah lewat, si ayah itu
tak dapat lagi mengajukan penyangkalan terhadap anaknya.
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan
oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim
dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan
adanya hubungan seperti antara anak dengan orangtuanya.
Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang
wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal
itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan
juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim.
Mengenai penyangkalan terhadap anak Undang Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 44. Seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan, oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut (Pasal 44 (1). Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan (Pasal 44 (2).
Mengenai Pembuktian tentang asal-usul anak menurut, Undang Undang No. 1
Tahun 1974 dalam Pasal 55 diatur sebagai berikut:
1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (Pasal 55 (1).
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat (Pasal 55 (2).
3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 55
(3).
c) Anak luar perkawinan
Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “naturlijk kind.” Ia dapat diakui
atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut oleh B.W. dengan
adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara
anak dengan orangtuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu
pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak
dengan orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak
dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. hubungan itu
hanya dapat diletakkan dengan “pengesahan” anak (wettiging), yang merupakan suatu
langkah lebih lanjut lagi daripada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua
orangtua, yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan
pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua orangtua yang
telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum
pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat
pengesahan” (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. Dalam hal ini presiden harus
meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan
secara diam-diam, tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan
pencatatan dalam akte kelahiran anak tesebut, atau dalam akte perkawinan orangtuanya
(yang berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan
Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akte notaries.
Perlu diterangkan, bahwa undang-undang tidak membolehkan pengakuan
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau yang dilahirkan
dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.

2) Kekuasaan orang tua (Outderlijke mactht)


Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin,
berada di bawah kekuasaan orangtuanya (ouderlijke macht) selama kedua orangtua itu
terikat dalam hubungan perkawinan. Dengan demikian, kekuasaan orangtua itu mulai
berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak
itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orangtuanya dihapuskan. Ada
pula kemungkinan, kekuasaan itu oleh hakim dicabut (ontzet) atau orangtua itu dibebaskan
(ontheven) dari kekuasaan itu, karena sesuatu alasan. Kekuasaan itu dimiliki oleh kedua
orangtua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si ayah. Hanyalah apabila si ayah itu
tidak mampu untuk melakukannya, misalnya sedang sakit keras, sakit ingatan, sedang
bepergian dengan tidak ada ketentuan tentang nasibnya, atau sedang berada di bawah
pengawasan (curatele) kekuasaan itu dilakukan oleh isterinya.
Kekuasaan orangtua, terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara
anaknya. Pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian dan perumahan.
Pada umumnya seorang anak yang masih di bawah umur tidak cakap untuk bertindak
sendiri. Berhubung dengan itu, ia harus diwakili oleh orangtua.
Selanjutnya, kekuasaan orangtua itu tidak saja meliputi diri si anak, tetapi juga
meliputi benda atau kekayaan si anak itu. Apabila si anak mempunyai kekayaan sendiri,
kekayaan ini diurus oleh orang yang melakukan kekuasaan orangtua itu. Hanyalah dalam
hal ini diadakan pembatasan oleh undang-undang yaitu mengenai benda-benda yang tak
bergerak, surat-surat sero (effecten) dan surat-surat penagihan yang tidak boleh dijual
sebelum mendapat izin dari hakim.
Orangtua mempunyai vruchtgenot atas benda atau kekayaan anaknya yang belum
dewasa, yaitu mereka berhak untuk menikmati hasil atau bunga (renten) dari benda atau
kekayaan si anak. Dari peraturan ini dikecualikan kekayaan yang diperoleh si anak sendiri
dari pekerjaan dan kerajinanya sediri. Sebaliknya pada orangtua yang mempunyai
vruchtgenot atas kekayaan anaknya itu diletakkan beban seperti seorang vruchtgebruiker,
yaitu ia wajib memelihara dan menjaga benda itu sebaik-baiknya, sedangkan biaya
pemeliharaan dan pendidikan si anak harus dianggap sebagai imbalan dari vruchtgenot
tersebut.
Orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua, dapat dibebaskan dari kekuasaan
tersebut (ontheven) berdasarkan alasan ia tidak cakap (ongeschikt) atau tidak mampu
(onmachtig) untuk melakukan kewajiban memelihara dan mendidik anaknya. Yang
dimaksudkan oleh undang-undang, ialah suatu kenyataan bahwa seorang ayah atau ibu
mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan ia tidak lagi dapat dianggap cakap untuk
melakukan kekuasaan orangtua. “Ontheffing” ini hanya dapat dimintakan oleh Dewan
Perwalian Voogdijraad”) atau Kejaksaan dan tidak dapat dipaksanakan jika si ayah atau ibu
itu melawannya.
Selanjutnya dapat juga dimintakan pada hakim supaya orangtua itu dicabut
kekuasaannya (ontzet), berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan oleh udang-undang.
Alasan-alasan itu, antara lain jikalau orangtua itu salah mempergunakan atau sangat
melalaikan kewajibannya sebagai orangtua, berkelakuan buruk, dihukum karena sesuatu
kejahatan yang ia lakukan bersama-sama dengan anaknya atau dihukum penjara selama dua
tahun atau lebih. Berlainan dengan ontheffing, ialah pencabutan kekuasaan (ontzetting). Ini
dapat dimintakan oleh si isteri terhadap suaminya atau sebaliknya, selanjutnya dapat pula
dimintakan oleh anggota-anggota keluarga yang terdekat. Dewan Perwakilan (Voogdijraad)
atau Kejaksanaan dapat pula memintakannya. Selanjutnya ada pula perbedaan, ontheffing
dan onzetting. “Ontheffing” ditujukan pada orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua
(biasanya si ayah) sedangkan “ontzetting” dapat ditujukan pada masing-masing orangtua.
Lagi pula “ontzetting” selalu berakibat hilangnya “vruchtgenot,” sedang ontheffing tidak.
Pengaturan mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak dalam Undang Undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Bab X tentang Hak dan Kewajiban antara
Orang Tua dan Anak sebagai berikut:
a) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(Pasal 45 (1).
b) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus (Pasal 45 (2).
c) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik
(Pasal 46 (1).
d) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut ke mampuannya, orang tua
dan keluarga dalam garis lurus ke atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46
(2).
e) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya (Pasal 47 (1).
f) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar Pengadilan (Pasal 47 (2).
g) Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya (Pasal 48).
h) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
1) Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
2) berkelakuan buruk sekali (Pasal 49 (1)
i) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut (Pasal 49 (2).
3) Perwalian
Perwalian (voogdij) adalah pengawasan terhadap anak yang di bawah umur, yang
tidak berada di bawah kekuasaan orangtua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
tersebut diatur oleh undang-undang. Dengan demikian, berada di bawah perwalian. Anak
yang berada di bawah perwalian, adalah:
a) anak sah yang kedua orangtuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua;
b) anak sah yang orangtuanya telah bercerai;
c) anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).
Jika salah satu orangtua meninggal, menurut undang-undang orangtua yang lainnya
dengan sendirinya menjadi wali dari anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian
menurut undang-undang (wettelijke voogdij). Seorang anak yang lahir di luar perkawinan
berada di bawah perwalian orangtua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak
berada di bawah kekuasaan orangtua ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan
mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak yang berkepentingan atau
karena jabatannya (detieve voogdij). Ada pula kemungkinan, seorang ayah atau ibu di
dalam surat wasiatnya (testament) mengangkat seorang wali untuk anaknya. Pengangkatan
yang dimaksudkan akan berlaku, jika orangtua yang lainnya karena sesuatu sebab tidak
menjadi wali. Perwalian semacam ini dinamakan perwalian menurut wasiat
(testamentaire voogdij).
Pada umumnya dalam tiap perwalian, hanya ada seorang wali saja. Kecuali, apabila
seorang wali-ibu (moedervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi
medevoogd.
Seorang yang oleh hakim diangkat menjadi wali, harus menerima pengangkatan itu,
kecuali jika ia seorang isteri yang kawin atau jika ia mempunyai alasan-alasan menurut
undang-undang untuk minta dibebaskan dari pengangkatan itu. Alasan-alatan itu antara lain
jika ia, untuk kepentingan negara harus berada di luar negeri, jika ia seorang anggota
tentara dalam dinas aktif, jika ia sudah berusia 60 tahun, jika ia sudah menjadi wali untuk
seorang anak lain atau jika ia sendiri sudah mempunyai lima orang anak sah atau lebih.
Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali. Mereka itu, ialah orang
yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang di bawah curatele, orang yang
telah dicabut kekuasaannya sebagai orangtua, jika pengangkatan sebagai wali itu untuk
anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-anggota
Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari
anak-anaknya sendiri.
Seorang wali diwajibkan mengurus kekayaan anak yang berada di bawah
pengawasannya dengan sebaik-baiknya dan ia bertanggung-jawab tentang kerugian-
kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang buruk. Dalam kekuasaannya, ia
dibatasi oleh pasal 393 B.W. yang melarang seorang wali meminjam uang untuk si anak. Ia
tak diperkenankan pula menjual, menggadaikan benda-benda yang tak bergerak, surat-surat
sero dan surat-surat penagihan dengan tidak mendapat izin lebih dahulu dari hakim.
Selanjutnya seorang wali, diwajibkan, apabila tugasnya telah berakhir, memberikan suatu
penutupan pertanggungan-jawab. Pertanggungjawaban ini dilakukan pada si anak, apabila
ia telah menjadi dewasa atau pada warisnya jikalau anak itu telah meninggal.
Semua wali, kecuali perkumpulan-perkulmpulan yang diangkat oleh hakim (hakim
berkuasa mengangkat suatu perkumpulan menjadi wali), jika dikehendaki oleh Weeskamer,
diharuskan memberikan jaminan berupa borgtocht atau hipotik secukupnya menurut
pendapat Weeskamer. Jika wali itu tidak suka memberikan tanggungan itu, Weeskamer
dapat menuntutnya di depan hakim, dan meminta pada hakim supaya pengurusan
kekayaan si anak dicabut serta diserahkan pada Weeskamer itu sendiri.
Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) menurut
undang-undang menjadi wali pengawas (toeziende voogd). Wesskamer itu berada di
Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan Makassar, sedangkan di tempat-tempat lain ia
mempunyai cabang (agen). Di samping tiap Weeskamer ada suatu “Dewan Perwalian”
(Voogdijraad) yang terdiri atas kepala dan anggta-anggota, Weeskamer itu ditambah
degnan beberapa anggota lainnya.
Agar Weeskamer dapat melakukan tugasnya, tiap orangtua yang menjadi wali harus
segera melaporkan tentang terjadinya perwalian pada Weeskamer. Begitu pula, apabila
hakim mengangkat seorang wali, Panitera Pengadilan harus segera memberitahukan hal itu
pada Weeskamer.
Tentang perwalian dalam Undang Undang No. 1 tentang Perkawinan sebagai berikut:
Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di
bawah kekuasaan wali (Pasal 50 (1). Perwalian itu mengenai pribadi anak yang
bersangkutan maupun harta bendanya Pasal 50 (2).
Ketentuan mengenai wali sebagai berikut:
a. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang
saksi (Pasal 51 (1).
b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik (Pasal 51 (2).
c. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-
baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu (Pasal 51 (3).
d. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawa kekuasaannya pada
waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak
atau anak-anak itu (Pasal 51 (4)
e. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada bawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya (Pasal 51 (5).
f. Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49
Undang-undang ini (Pasal 53 (1).
g. Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana di maksud pada ayat (1) pasal ini,
oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53 (2).
h. Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut (Pasal 54)
i. Wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki oleh yang di bawah perwaliannya yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan
yang di bawah perwaliannya itu menghendakinya (Pasal 48).

4) Pendewasaan (handlichting)
Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasa perlu untuk mempersamakan
seorang anak yang masih di bawah umur dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak
tersebut dapat bertindak sendiri di dalam pengurusan kepentingan-kepentingannya. Untuk
memenuhi keperluan ini, diadakan peraturan tentang “handlichting,” ialah suatu
pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya
untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.
Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa,
dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun kepada presdien,
dengan melampirkan surat kelahiran atau lain-lain bukti yang menyatakan, ia telah
mencapai umur tersebut. Presiden akan memberikan keputusannya setelah mendapat
nasihat dari Mahkamah Agung yang untuk itu akan mendengar orang-orangtua anak
tersebut dan lain anggota keluarga yang dianggapnya perlu. Begitu pula dalam hal si
pemohon berada di bawah perwalian, wali dan wali pengawas akan didengar juga.
Apabila permohonan diluluskan, si pemohon tersebut memperoleh kedudukan yang
sama dengan seorang dewasa. Hanyalah dalm soal perkawinan terhadap orang itu masih
berlaku pasal-pasal 35 dan 37 B.W. perihal pemberian izin, yaitu ia masih juga harus
mendapat izin dari orangtuanya, atau dari hakim dalam hal izin orangtua itu dapat diganti
dengan perizinan hakim.
Pernyatan persamaan yang hanya meliputi beberapa hal saj, misalnya yang
berhubungan dengan pengurusan suatu perusahaan, dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri
pada seorang anak yang sudah mencapai umur 18 tahun.
Di dalam praktik peraturan perihal “handlicting” ini sedikit sekali dipergunakan.
5) Pengampuan (curatele)
Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang
harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang
dewasa juga dapat ditaruh di bawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan
kekayaannya.
Dalam hal seorang sakit ingatan, tiap anggota keluarga berhak untuk memintakan
curatele itu, sedangkan terhadap seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu
hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang sangat dekat saja. Dalam kedua
hal itu seorang suami atau isteri selalu dapat memintakan curatele terhadap isteri atau
suaminya. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang yang merasa dirinya kurang cerdas
pikirannya sehingga tidak mampu untuk mengurus sendiri kepentingan-kepentingannya,
dapat juga mengajukan permohonan supaya ia ditaruh di bawah curatele. Dalam hal seorang
yang menderita sakit ingatan, hingga membahayakan umum, jaksa diwajibkan meminta
curatele bila ternyata belum ada permintaan dari sesuatu pihak.
Permintaan untuk menaruh seorang di bawah curatele, harus diajukan kepada
Pengadilan Negeri dengan menguraikan peristiwa-peristiwa yang menguatkan persangkaan
tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang tersebut di bawah pengawasan, dengan
disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan
mendengar saksi-saksi ini. Begitu pula anggota-anggota keluarga dari orang yang dimintakan
curatele itu dan akhirnya orang itu sendiri akan diperiksa. Jikalau hakim menganggap perlu,
ia berwenang untuk selama pemeriksaan berjalan, mengangkat seorang pengawas sementara
guna mengurus kepentingan orang itu. Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu
ditaruh di bawah curatele, harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di
bawah curatele itu, berhak meminta banding (appel) pada Pengadilan Tinggi. Apabila
putusan hakim telah memperoleh kekuatan tetap, Pengadilan Negeri akan mengangkat
seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin sebagai pengampu
harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang penting yang tidak
mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu ditetapkan, bahwa pengawasan
atas curatele itu diserahkan pada Weeskamer.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah curatele, sama seperti seorang yang
belum dewasa. Ia tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan
tetapi seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya,
menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih dapat melakukan
perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu
harus mendapat izin dan bantuan kurator serta Weeskamer. Bahwa seorang yang ditaruh di
bawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak
dapat melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk perbuatan-perbuatan
tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.

6) Orang yang hilang


Jikalau seorang meninggalkan tempat tinggalnya dengan tidak memberikan kuasa
pada seseorang untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, sedangkan kepentingan-
kepentingan itu harus diurus atau orang itu harus diwakili, maka atas permintaan orang yang
berkepentingan ataupun atas permintaan jaksa, hakim untuk sementara dapat memerintahkan
Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang
yang bepergian itu dan di mana perlu mewakili orang itu. Jika kekayaan orang yang
bepergian itu tidak begitu besar, maka pengurusannya cukup diserahkan saja pada anggota-
anggota keluarga yang ditunjuk oleh hakim. Weeskamer berkewajiban, jika perlu menyegel
dahulu kekayaan itu, membuat pencatatan tentang benda-benda tersebut dan seterusnya akan
diperlakukan menurut peraturan yang berlaku bagi pengurusan harta benda seorang yang
masih di bawah umur. Tiap tahun Weeskamer harus pula memberikan pertanggunganjawab
kepada Kejaksaan Negeri setempat.
Jika sesudah lima tahun lewat terhitung sejak hari keberangkatan orang yang
meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa untuk mengurus kepentingan-
kepentingannya, dan selama itu tak ada kabar yang menunjukkan ia masih hidup, maka
orang-orang yang berkepentingan, dapat meminta pada hakim supaya dikeluarkan suatu
pernyataan yang menerangkan, bahwa orang yang meninggalkan tempat tingalnya itu
“dianggap telah meninggal.” Sebelumnya hakim mengeluarkan suatu pernyataan yang
demikian itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain dengan memuat
panggilan itu dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali lamanya. Hakim
juga akan mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu untuk mengetahuk duduk perkaranya
mengenai orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu dan juka dianggapnya perlu ia
dapat menunda pengambilan keputusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan
umum.
Dalam hal orang yang meninggalkan tempat tinggalnya itu meninggalkan suatu
penguasaan untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, maka harus ditunggu selama
sepuluh tahun lewat sejak diterimanya kabar terakhir dari orang itu, barulah dapat diajukan
permintaan untuk mengeluarkan suatu pernyataan sebagaimana termaksud di atas.
Setelah dikeluarkan pernyataan itu oleh hakim, maka para ahliwaris ––baik yang
menurut undang-undang maupun yang ditunjuk dalam surat wasiat–– berhak mengoper
kekuasaan atas segala harta kekayaan, asal saja dengan memberikan jaminan-jaminan bahwa
mereka tidak akan menjual benda-benda itu.
Para ahliwaris itu, lalu menguasai benda-benda itu sebagai orang-orang yang
mempunyai hak vruchtgebruik atau hak pemakaian atas benda-benda tersebut. Seterusnya
mereka berhak untuk menyuruh membuka surat-surat wasiat yang ada dan belum terbuka.
Setelah lewat 30 tahun, terhitung mulai hari dan tanggal surat pernyataan yang
dikeluarkan oleh hakim atau apabila orang yang dianggap telah meninggal itu, seandainya ia
masih hidup, sudah mencapai umur 100 tahun, maka para ahliwaris dapat mengadakan suatu
pembagian warisan yang tetap.
Sebagaimana telah diterangkan dalam bagian megnenai perkawinan, maka seorang
suami atau isteri dari orang yang telah meninggalkan tempat tinggalnya itu setelah lewat 10
tahun sejak hari keberangkatannya, orang itu dapatmeminta pada hakim untuk diberikan izin
guna kawin lagi. Perkawinan yang lama itu dianggap dihapuskan pada waktu perkawinan
baru dilangsungkan.

c. Hukum harta kekayaan


Yaitu bagian dari hukum perdata yang memuat per-aturan-peraturan hukum yang
mengatur hak dan kewajiban manusia yang bernilai uang, meliputi 2 hal:
4) Hukum benda
5) Hukum Perikatan

d. Hukum harta waris


Yaitu bagian dari hukum perdata yang mengatur kedudukan hukum harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia, ada dua cara pewarisan yaitu :
1) Pewarisan menurut Undang-undang
2) Pewarisan berwasiat.

2. Luas Hukum Perdata Formil


Hukum perdata formil adalah peraturan hukum yang mengatur bagai-
mana cara menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantara Hakim. Hukum perdata
formil meliputi tiga tahapan tindakan, yaitu:
a. Tahap pendahuluan.
b. Tahap penentuan
c. Tahap pelaksanaan.
Asas-asas hukum perdata formil yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu:
a. Hakim bersifat menunggu.
b. Hakim pasif.
c. Asas persidangan terbuka untuk umum.
d. Asas mendengar kedua belah pihak
e. Putusan harus disertai alasan-alasan.
f. Beracara dikenai biaya.
g. Tidak ada keharusan untuk mewakilkan.

C. Sumber-sumber Hukum Perdata Tertulis


Sumber-sumber Hukum Perdata tertulis adalah
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH.Per).
2. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
3. Perundang-undangan lain

D. Sejarah terjadinya sampai berlakunya BW di Indonesia


Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-
Undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), di-singkat KUHS (BW). KUHS sebagian besar adalah
hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838; akibat pendudukan Prancis di
Belanda, berlaku di Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian
dari Code Napoleon ini adalah Code Sipil yang dalam penyusunannya mengambil karangan
pengarang-pengarang bangsa Prancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada
jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-unsur Hukum Kanoniek
(Hukum Agama Katolik) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code
Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah pendudukan Prancis berakhir, oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia
yang diketuai oleh Mr J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata
Belanda dengan menggunakan sebagai sumber sebagian besar Code Napoleon, dan sebagian kecil
hukum Belanda kuno. Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya (5 Juli 1830),
tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan:
1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil).
2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang)
Berdasarkan asas konkordansi2, kodifikasi Hukum Perdata Belanda menjadi contoh bagi
kodifikasi hukum perdata Eropah di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 3 April
1847 Staatblad No. 23 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 di Indonesia.3

E. Sistematika BW, Kedudukan dan Perkembangannya


1. Sistematika BW
Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian,
yaitu: Hukum tentang diri seseorang, Hukum Kekeluargaan, Hukum Kekayaan dan Hukum
Warisan.
a. Hukum tentang diri seseorang.
Memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum,
peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak
sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan
itu.
b. Hukum Kekeluargaan,
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan
kekeluargaan, yaitu: perkawinan serta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami
dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.

2
Bhs Belanda, artinya prinsip perlawanan beberapa bidang hukum di Indonesia dan di negeri Belanda pada masa
penjajahan Belanda.(Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 81)
3
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 209-210.
c. Hukum Kekayaan,
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekaya-an seseorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan
kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban–kewajiban yang demikian
itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-
hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan dinamakan
hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan ke-kuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasa-an atas suatu
benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas
suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai
sebuah merek, dinamakan hak mutlak saja.
d. Hukum Waris
Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga
dapat dikatakan, Hu-kum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris
lazim-nya ditempatkan tersendiri.4
Ruang lingkup pembahasan Hukum Waris adalah:
1) hak mewarisi menurut undang-undang
2) menerima atau menolak warisan
3) perihal wasiat (Testament)
4) Fidei-commis. Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan
ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si
waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang
sudah ditetapkan dalam testament.
5) legitieme portie. ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak
dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
6) perihal pembagian warisan
7)  executeur-testamentair dan Bewindvoerder: ialah orang yang akan
melaksanakan wasiat.
8) harta peninggalan yang tidak terurus 

2. Kedudukan dan perkembangan BW


Sistematika yang dipakai oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. BW. itu terdiri atas
empat buku, yaitu
Buku I, yang berkepala “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum
Kekeluarga;
Buku II, yang berkepala ”Perihal Benda” memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.
Buku III, yang berkepala “Perihal Perikatan”,memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap
orang-orang atau pihak–pihak yang tertentu;
Buku IV, yang berkepala “Perihal Pembuktian dan Lewat waktu (Daluwarsa), memuat perihal
alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.
Hukum Kekeluargaan dalam B.W. itu dimasukkan dalam bagian hukum tentang diri
seseorang, karena hubungan-hubungan keluarga memang berpengaruh besar terhadap kecakapan
seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecapan-nya untuk mempergunakan hak-haknya itu.
Hukum Waris, dimasukkan dalam bagian tentang hukum perbendaan, karena dianggap Hukum
Waris itu mengatur cara-cara untuk memperoleh hak atas benda-benda, yaitu benda-benda yang
ditinggalkan seseorang. Perihal pembuktian dan lewat waktu (daluwarsa) sebenarnya adalah soal
hukum acara, sehingga kurang tepat dimasukkan dalam B.W. yang pada asasnya mengatur hukum
perdata materiil. Tetapi ada pendapat, bahwa hukum acara itu dapat dibagi dalam bagian materiil
dan formil. Soal-soal yang mengenai alat pembuktian ter-hitung bagian yang termasuk Hukum
4
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Hal. 16-17.
Acara Materiil yang dapat diatur juga dalam suatu undang-undang tentang Hukum Perdata
Materiil.5

5
Ibid. Hal. 17-18
BAB II
TENTANG ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM
A. Pengertian Orang sebagai Subyek Hukum
Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, Lazim-nya dalam hukum dikenal dengan
istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum,
karena masih ada subjek hukum lainnya, yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat
mempunyai hak dan kewajiban, termasuk badan hukum (rechtpersoon).6
Subjek Hukum adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum
objektif. Subjek hukum dalam hukum positif adalah orang (persoon)7

B. Badan Hukum sebagai Subyek Hukum


Subyek hukum pertama-tama adalah manusia. Badan Hukum dibandingkan dengan
manusia, memperlihatkan banyak sifat-sifat yang khusus. Karena Badan Hukum tidak termasuk
kategori manusia, tidak memperoleh semua hak-hak, tidak dapat menjalankan semua kewajiban-
kewajiban, tidak dapat pula melakukan semua perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana halnya
pada manusia. Akan tetapi, ke-mampuan hukum atau kekuasaan hukum dari badan hukum dalam
lapangan hukum harta kekayaan pada asasnya me-nunjukkan persamaan yang penuh dengan
manusia. Tiap hukum kekayaan, selain dengan tegas dikecualikan dapat berlaku bagi badan
hukum, yaitu dalam hukum perikatan dan hukum kebendaan. Badan hukum dapat menutup
perijinan, mempunyai hak milik sendiri, menciptakan hak cipta, (Pasal 7 Undang-Undang Hak
Cipta L.N. 1912-600), hak merek, hak Oktroi Pasal 10 Undang-Undang Oktroi L.N. 1911-136) dan
dapat melakukan tindakan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Juga badan hukum dapat
memakai nama (Handelsnaam wet L.N. 1921-842). Pembatasan pada ke-mampuan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan ialah, bahwa hak pakai hasil berlangsung tidak lebih dati tiga puluh
tahun (Pasal 810 KUH Perdata), sedangkan Pasal 808 KUH Perdata menyatakan berkhir pada
meninggalnya orang terakhir. Pasal 810 KUH Perdata menyebutkan badan susila (Zedelijk lichaam
Pasal 1653 KUH Perdata), tetapi jelas yang dimaksud ialah badan hukum.

1. Bagaimana dalam hak pakai dan hak mendiami?


Dalam Pasal 821, 824 dan 826 KUH Perdata dengan tegas hak-hak itu ditujukan untuk
diri sendiri dan segenap anggota keluarganya. Dengan demikian, hak pakai dan hak mendiami
hanya dapat dipunyai dan dinikmati oleh manusia saja8.
Berlainan adalah pendapat Ph. A.N. Houwing9 yang berpangkal pada Pasal 820 KUH
Perdata yang berbunyi:
“Hak pakai dan hak mendiami diatur menurut peristiwa perdata, dan hak itu diperoleh; jika
dalam peristiwa itu tiada ketentuan tentang kekuasaan hak, hak itu diatur menurut pasal-pasal
berikut”10
Dengan mengemukakan Pasal 820 ini yang mendahului Pasal 821, 824 dan 826, Mr.
Ph. A.N. Houwing berpendapat, bahwa Pasal 821, 824 dan 826 merupakan peraturan hukum
tambahan (aanvullendsrecht). Oleh karena itu, dengan dasar pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas kita boleh menerima bahwa badan hukum dapat menjadi subyek dari hak pakai
dan hak mendiami.
Demikian pula pendapat Prof. Mr. A. Pitlo, dia mengatakan :”veelal maakt men nog
een uitzonderling” (menurut beberapa ahli hukum lain satu-satunya kekecualian dalam
lapangan hukum harta kekayaan ialah Pasal 810 KUH Perdata pembatasan hak pakai hasil
selama-lama-nya 30 tahun) en wel voor het recht van gebruik en bewoning. De artt 868, 871 en
873 (Indonesia Pasal 821, 824 dan 826) geven er inderdaad blijk van dat de wet-geven aan
6
Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal. 4.
7
Ibid. Hal 6
8
Paul Scholten-Bregstein, pada Asser Handleiding tot de beoefening van het Nederlands urgerlijk Recht, Eerste
deel-Personenrecht, Tweede stuk, Verdagenwoordiging en Rechtspersoon, hal. 100.
9
Ph A.N Houwing, Subjektiefrecht, Rechtssubject, Rechtpersoon, hoofstuk III. Hal. 153
10
Terjemahan R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tahun 1960.
natuurlijke personen als rechthebbenden heefl gedacht, want in deze artikelen is sprake van
het gezin van den gebruiker en bewoner. Mij is dit geen argument om aan den rechtspersoon
de mogelijkheid te ontzeggen rechthebbende van gebruik en bewoning te zijn11.
Namun, sayang dia tidak memberikan dasar-dasar yang kuat untuk dapat dipakai
sebagai alasan, mengapa badan hukum juga dapat mempunyai hak pakai dan hak menidiami.
Pasal 818 KUH Perdata dapat dipakai sebagai dasar, bahwa antara hak pakai dan hak
mendiami dengan hak manfaat mempunyai persamaan dalam hal cara-cara mendapatkan dan
cara-cara kehilangan hak-hak itu.
Dengan demikian, secara analogis Pasal 810 KUH Perdata juga berlaku untuk hak pakai
dan hak mendiami, dengan batas waktu selama 30 tahun.

2. Dalam lapangan hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama sekali tidak dapat
bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat menjadi wali. Pasal 265 KUH Perdata
mengatakan:
“Dalam segala hal, hakim harus mengangkat seorang wali, perwalian itu boleh diperintahkan
kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada
suatu Yayasan atau Lembaga amal yang bertempat kedudukan di sini pula, yang menurut
anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau reglemen-reglemennya berusaha memlihara
anak-anak belum dewasa untuk waktu lama”.
Berbeda juga dengan manusia, badan hukum tidak dapat meninggal dunia akibat bubarnya
badan hukum, harta kekayaan tidak boleh berpindah kepada ahli warisnya sebagaimana pada
manusia. Ahli-ahli waris, badan hukum tidak memilikinya (Pasal 830 KUH Perdata), juga tidak
dapat membuat surat wasiat, karena untuk dapat membuat suatu surat wasiat, seseorang harus
mempunyai budi akalnya (Pasal 895 KU H Perdata).

3. Apakah penghinaan mungkin pada badan hukum?


Menurut pendapat Mr. Paul scholten, dalam hukum keperdataan mungkin saja, sejauh
mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum, yang dilancarkan dengan sengaja.
Karena pada akhirnya disini berlaku pula bagi manusia yang dilukai dan dihina kehormatannya
dan nama baiknya, yaitu para pengurus dan korporasi juga para anggota-anggota. Dalam hal
demikian dapat dilaku-kan penuntunan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.
Mahkamah Agung di Negeri Belanda (Hoge Raad) dalam keputusannya tanggal 16
Pebruari 1891 (W.6083), menetapkan bahwa penghinaan dalam hukum pidana tidak mungkin
selain terhadap manusia. Dengan putusan ini berarti Pasal 310 KUH Perdata tidak berlaku bagi
badan hukum. Dasar yang dipakai H.R ialah undang-undang dari tanggal 16 Mei 1929, S. 34
Pasal 2.
Bagaimana dalam hukum perdata? Dalam putusan HR tanggal 10 Januari 1896 (W.
6761) berpendapat, bahwa tidak ada perbedaan pengertian penghinaan antara hukum perdata
dengan hukum pidana. Putusan HR ini menyebabkan tidak berlakunya Pasal 1372 KUH Sipil
bagi badan hukum. Dengan ini H.R. berpendapat sebaliknya dari Paul Scholten. Apakah
pendapat HR dapat dipertahankan, masih ada alasan untuk meragukannya, jika melihat Pasal
137 c W.v.S. (Ned) yaitu penghinaan terhadap ”collectiviteit” (sekumpulan manusia).

C. Teori-teori Badan Hukum


Untuk mencari dasar hukum dari badan hukum timbul beberapa teori:
1. Teori fiktif dari von Savigny 12
Badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Sebetulnya menurut alam hanya
manusia sajalah sebagai subyek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu
yag sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangkan suatu pelaku hukum
(badan hukum) sebagai subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Sebagai pengikut

11
A. Pitlo. 153.Het Persoonenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek. Ctakan ke-3. H. 473.
12
Friedrich Carl von Savigny, System des heutigen romischen echts. 1866
teori fiktif ini dapat disebut Houwing dalam disertasinya Subjectief recht, rechtsutsujecten
rechtspersoon (Leiden 1939), juga Lengemeyer, di dalam hal. 17113.

2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Briaz.14


Menurut teori ini hanya manusia sja dapat menjadi subyek hukum. Namun, juga tidak
dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusia-pun yang
menjadi pendukung hak-hak itu. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum,
sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya adalah
suatu harta kekayaan yang terkait oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
Pengikut teori ini Van der Heyden, dalam ”Het Schijnbeeld van de rechtspersoon”.

3. Teori organ dari Otto von Gierke15.


Badan hukum adalah suatu realitas, sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam
manusia ada di dalam pergaulan hukum. Hal itu adalah suatu “leiblichgeistige Lebenseinheit
die Wollen und das Gewollte in Tat umsetzenkam”. Di sini tidak hanya suatu pribadi yang
sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemampuan sendiri
yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggota-nya). Apa yang
mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari hukum. Teori ini menggambarkan
badan-hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia. Pengikut teori organ antara
lain Mr. L.C. Polano “Rechts-persoonlijkheid van vereenigingen”, disertasi Leiden, 1910.

4. Teori propriëtë collective dari Planiol (gezamenlijke vermogens-theorie Molengraaf)16.


Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada halkikatnya adalah hak dan
kewajiban anggota bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu
merupakan harta kekayaan bersama-sama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki
masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-
sama untuk keseluru-han, sehingga mereka secara pribadi tidak bersama-sama semuanya
menjadi pemilik. Bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan
dan membentuk suatu pribadi, yang dimamakan badan hukum. Dengan demikian badan hukum
adalah suatu konstruksi yuridis saja. Pengikut teori ini diantaranya ialah Star Busmann dan
Kranenburg17
Teori propriëtë collective itu berlaku untuk kor-porasi, badan hukum yang mempunyai
anggota, tetapi untuk Yayasan teori ini tidak banyak artinya. Teori harta kekayaan bertujuan
(doelvermogens-theorie) hanya dapat untuk badan hukum Yayasan yang tidak mempunyai ang-
gota. Teori fiktif yang mengumpamakan badan hukum seolah-olah sebagai manusia itu berarti
bahwa badan hukum itu sebenarnya tidak ada, sedang sebaliknya teori organ memandang
badan hukum itu suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia.18
D. Ujud Badan Hukum
Aneka badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macam-macamnya, jenis-
jenisnya dan sifatnya. Secara sistematik aneka badan hukum itu dapat dijelaskan seperti berikut.
Pembuatan Badan Hukum Menurut Macam-macamnya
13
Mr Paul Scholten Bregtein van der Grinten, pada Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgerlijk Recht, Eerste Deel Personenrecht, Tweede Stuk, Veertegen woordiging en Rechtpersoon, Hal. 88. tahun 1968.
14
A. Brinz. “Lehrbuch der Pandecten”, 1883.
15
Otto von Gierke, “Das deutsche Geossenschafttsrecht”. 1873
16
Marcel Planiol “Traitë elëmentaire de droit civil” 1982. Prof. Mr. W.L.P.A. Molengraaff “Leidraad bij de
boefening van het Nederlndse handelsrecht, 1948, I, par. 28
17
Kranenburg, “De gronndslagen der rechtswetenscap”, 1952, hlm 62; Men staat nu, meen bij het begrip
rechtspersoon inderdaat niet voor een fictie, maar voor een connsrictie van het juridisch denken.
18
Ali Rido. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan,
Wakaf. Bandung: Alumni. Hal. 7-10.
Tanggapan Teori Organ yang menyamakan badan hukum itu sama dengan manusia-alam sebetulnya terlalu jauh, melihat
bahwa badan hukum itu tidak dapat melakukan perbuatan hukum di bidang hukum kekeluargaan. Memang badan hukum
itu menunjukkan kenyataan hukum (juridische realiteit) yang sama dengan manusia dalam hukum kekayaan, seperti dapat
mempunyai hak kebendaan dan turut dalam pergaulan hukum sebagai pihak dalam suatu persetujuan.
Menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia dikenal dua macam badan hukum, yaitu:
(1) badan hukum orisinil (murni, asli), yaitu negara, contohnya negara Republik Indonesia yang
berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945;
(2) badan hukum yang tidak orisinil (-tidak murni, -tidak asli), yaitu badan-badan hukum yang
berwujud sebagai perkumpulan berdasarkan ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata.
Pasal 1653 ini menentukan:
“Selanjutnya perseroan yang sejati (eigenlije naatschap) oleh undang-undang diakui pula
perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-
perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun
perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu
maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang baik”.
Pasal ini mengenai zadelijk lichaam atau badan susila dan tidak secaa tegas dinyatakan
sebagai badan hukum. Meskipun tidak tegas-tegas dinyatakan, tetapi dari Pasal 1654 KUH Perdata
dapat ditarik kesimpulan bahwa zadelijk lichaam juga mempunyai kedudukan sebagai badan
hukum, sebab dalam Pasal 1654 itu dinyatakan mempunyai ke-wenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan: “semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang
preman berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata”.
Jadi, semua zedelijk lichaam yang sah itu sama seperti orang perseorangan memang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan perdata. Dari ketentuan inilah dapat disimpulkan zadelijke
lichaam adalah badan hukum, sehingga kini orang menterjemahkan zadelijke lichaamen dengan
istilah badan hukum saja.
Persoalannya sekarang, zadelijk lichaam mana yang dimaksud dalam Pasal 1654
tersebut? Zadelijke lichaamen menurut Pasal 1653 termaksud ada empat jenis badan hukum
(zadelijke lichaamen), yaitu:
(1) badan hukum yang diadakan (didirikan) oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam openbaar
gezag ingesteld), contohnya: propinsi, bank-bank yang didirikan oleh negara.
(2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag
erkend), contohnya: perseroan (venooschap), gereja-gereja (sebelum diatur tersendiri tahun
1927), waterschapen seperti subak di Bali;
(3) badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena diizinkan (zadelijk lichaam als
geoorloofd toegelsten);
(4) badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan tertentu (zadelijk lichaam op een
bepald oogmerk ingelsted).
Badan hukum jenis ke-3 dan ke-4 dinamakan pula: badan hukum dengan konstrusi
keperdataan, contohnya seperti yang diadakan oleh orang-orang untuk membentuk partai politik
dan perseroan terbatas.

Pembagian Badan Hukum Menurut Jenis-jenisnya


Menurut penggolongan hukum, yaitu golongan hukum publik dan hukum perdata, aneka badan
hukum dapat dibagi, yaitu: (1) badan hukum publik dan (2) badan hukum perdata.
Ad. (1) Badan hukum publik
Suatu badan hukum di Indonesia yang merupakan badan hukum publik yakni negara – dalam
bertindaknya dalam lapangan hukum perdata, hal ini merupakan persoalan yang masih harus
ditentukan apakah berdasarkan Hukum Adat atau Hukum perdata barat (B.W./KUHPerdata).

Negara sebagai badan hukum orisinil


Negara Republik Indonesia adalah badan hukum orisinil, sehingga perlu diingat bahwa:
a) negara Republik Indonesia itu adalah badan hukum publik dan negara itu bukan karena
diadakan (ingesteld) berdasar pasal 1653 KUH Perdata, dan,
b) negara Republik Indonesia sebagai badan hukum itu bukan pula karena penyerahan kedaulatan
tanggal 27 Desember 1949, hukum itu sedjalan berdiri sendiri dengan Proklamasi tanggal 17
Agustus 1945.
Proklamasi tersebut tidak hanya mempunyai arti politis saja, tetapi juga mempunyai arti juridis
yang penting. Dalam hukum internasional, proklamasi mempunyai arti sangat penting, karena
mengenai terjadinya negara baru.
Mengenai proklamasi negara Republik Indonesia tersebut, jika hal ini dipandang dengan sesuatu
latar belakang dari apa yang disebut filsafat existensialisme, maka mungkin agak jelas mengenai
arti yuridis idari proklamasi tersebut.
Existensi itu bukan penghidupan yang demikian saja. Existensi adalah keadaan hidup manusia
yang mempunyai corak hidup yang tegas dan merupakan suatu struktur dalam mana kehidupan itu
di bawah suatu kemungkinan tertentu.
Proklamasi kita nyatakan atau kita ujudkan–apa yang men-jadi kemungkinan bagi bangsa
Indonesia. Cara untuk me-wujudkan cita-cita dari suatu bangsa ialah dalam wujud suatu negara.
Dari dahulu telah dimaklumi, bahwa tujuan dari negara adalah pelaksanaan dari hasrat yang tidak
dapat dicegah dari bangsa itu sendiri untuk menuju kepada tujuan wujud politis yang berdiri
sendiri. Timbul tenggelamnya sesuatu negara itu pada hakikatnya merupakan suatu hakikat
pelaksanaan hasrat tersebut.
Dalam proklamasi kita dituntut adanya suatu organisasi yang kokoh agar existensi yang
terkandung dalam hakikat bangsa Indonesia tersebut dapat berlangsung dan kelangsungan ini
hanya dapat dicapai dengan suatu organisasi negara ter-sebut. Proklamasi bukan hanya hak
menentukan nasib diri sendiri (right of selfdetermination) tetapi ini sudah termasuk bagian dari
hak-hak dasar manusia.
Tentang hukum, maka hukum yang seharusnya merupakan suatu sollen itu sewajarnya
dilaksanakan menjadi sein dan kalau sollen itu tidak dilaksanakan, maka hukum itu menuju
kepada kemungkinan saja. Sollen dinyatakan dengan sein dan jarak antara sollen dengan sein itu
mewujudkan exsistensi serta hukum yang menentukan nasib diri sendiri itu –datang pada
proklamasi negara Republik Indonesia pada waktu itu. Selanjutnya, dari jarak antara sollen dan
sein– maka lahirlah hukum existensi dari negara Republik Indonesia. Berhubung dengan itu
negara Republik Indonesia tersebut menjadi badan hukum.
Dengan hubungan ini, kiranya perlu dikemukakan adanya pendapat yang menyatakan bahwa
tanggal 27 Desember 1949 adalah tanggal penyerahan kedaulatan dari tangan pemerintah Belanda
kepada Indonesia. Terhadap pendapat ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan, bahkan berdasarkan
pandangan filsafat existensialisme tentang penyerahan kedaulatan tersebut adalah tidak tepat.
Penyerahan kedaulatan tersebut seharusnya disebut pemulihan kedaulatan negara Republik
Indonesia, karena pada tanggal 17 Agustus 1945 itu negara Republik Indonesia sudah ada secara
de facto maupun de jure.
Kesimpulannya, bahwa kepribadian hukum (rechtspersoon-lijkeheid) dari negara Republik
Indonesia ialah satu-satunya contoh dari badan hukum yang sebenarnya. Ini adalah badan hukum
yang orisinil.
Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut sangat
berlainan dengan adanya hukum Hindia Belanda sebelum perang dunia ke-2. Dahulu Hindia
Belanda, merupakan badan hukum, tetapi ini karena dibentuk oleh udang-undang
(ingesteld/diadakan) dan dinyatakan oleh Raja Belanda dalam Comptabiliteitwet Stb. 1925 No.
44b, Pasal 1 menentukan seperti berikut:
Hindia belanda adalah suatu badan hukum yang diwakili ber-tindaknya oleh Gubernur Jenderal
atau oleh Menteri Jajahan (Nederlands Indie is een rechtspersoon, die het zij voor den
Gouverneur Generaal het xij door den Minister van Overzee Rijksdelen vordt vertegenwoordigd).
Demikian juga dengan, kotapraja merupakan badan hukum publik yang diadakan oleh kekuasan
umum, bukan berdasar-kan hukum existensi. Jadi berlainan dengan negara Republik Indonesia
yang berdasarkan hukum existensi merupakan badan hukum yang orisinil.19

E. Kemampuan Hukum Badan Hukum


Dalam lapangan hukum kekayaan (vermogensrecht) pada asasnya badan

19
Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal 55-59
hukum sepenuhnya sama dengan orang, sehingga selain dengan tegas sebagai dikecualikan, badan
hukum mempunyai kemampuan dalam hukum perikatan dan kebendaan. Badan Hukum mampu
melakukan hubungan-hubungan hukum atau mengadakan perjanjian-perjanjian baik tertulis atau
tidak tertulis dengan pihak ketiga, Badan Hukum mempunyai hak-hak perdata baik atas benda ber-
gerak dan tidak bergerak, benda-benda berwujud ataupun tidak berwujud. Badan Hukum dapat
memakai nama dan dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum.
Pengecualian dan pembatasan terhadap kemampuan badan hukum biasanya diatur secara
tegas dalam peraturan perundangan. Seperti menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960, badan hukum tak dapat mempunyai hak milik atas tanah, kecuali badan-badan hukum
tertentu saja yang boleh (paragraf VII.3. berikut). Dalam KUH Perdata ada juga pembatasannya,
yaitu mengenai hak pakai hasil (vruchtgebruik) tersebut dalam Pasal 810 bahwa: hak pakai hasil
kepada badan hukum (zadelijk lichaam) berlangsung tidak lebih dari tiga puluh tahun. Sedang
Pasal 808 kepada orang, berakhir sampai matinya orang terakhir dari beberapa orang pemegang
hak itu (ayat 1). Di samping itu menurut Pasal 808 ayat (2): kalau badan hukum sudah bubar
sebelum tiga puluh tahun, hak pakai hasil berhenti.
Hal tersebut merupakan pengecualian yang umum dan ada lagi pengecualian yang lain (tidak
umum), yaitu hak pakai dan hak mendiami (hak gebruik dan bewoning). Menurut Pasal 821, 824,
dan 825 hak pakai dan mendiami hanya ditujukan untuk orang yang dapat memiliki dan menik-
matinya, sedang badan hukum tidak dapat. Ini yang lazim. Tetapi A Pitlo menyangkal, mengapa
badan hukum dikecuali-kan? Menurut Pitlo memang pada waktu BW dibuat pada permulaan abad
ke-19 itu, figuur rechtpersoon belum dikenal, jadi peraturan BW hanya menyebut mengenai
natuurlijk personen saja.
Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat men-jadi wali (Pasal 365 KUH Perdata). Tetapi
dalam hukum keluarga, badan hukum tidak dapat bergerak. Berlainan dengan manusia, yang dapat
meninggal dunia dan mem-punyai ahli waris untuk mewarisi harta kekayaan yang ditin-
ggalkannya, hal demikian tidak ada pada badan hukum (Pasal 830). Bahkan badan hukum tidak
dapat membuat surat wasiat (Pasal 895 KUH Perdata).
Mengenai badan hukum publiekrechtelijk berakhirnya bila dibubarkan oleh yang
membentuknya, misalnya kalau propinsi itu didirikan (ingesteld) oleh undang-undang, maka
pembubarannya juga harus oleh undang-undang. Sedang mengenai badan hukum
privaatsrechtelijk itu bubarnya menurut anggaran dasarnya, atau bila objek dari badan hukum itu
tidak ada lagi. Biasanya pada Perseroan Terbatas dalam anggaran dasarnya ditentukan
berlangsungnya sampai 75 tahun, atau untuk perhimpunan berlangsungnya sampai 30 tahun seperti
Taman Siswa, Muhammadiyah dan sebagainya.
Apakah orang dapat melakukan penghinaan terhada badan hukum? Menurut Pitlo dapat saja,
sebab badan hukum mempunyai nama yang dilindungi dalam Handelsnaamwet (Stb. 1921-842).
Demikian pula menurut Paul Scholten bahwa penghinaan dalam penggugatan berdasar Pasal 1365
KUH Perdata. Tetapi dalam yurisprudensi Belanda, yaitu menurut putusan Hoge Raad tanggal 16
Pebruari 1891 bahwa peng-hinaan dalam hukum pidana hanya terhadap manusia. Kemudian
keputusan Hoge Raad tanggal 10 Januari 1896 menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan pengertian
peng-hinaan antara hukum perdata dan hukum pidana. Dengan demikian Pasal 1372 KUH Perdata
tentang penghinaan bagi badan hukum tidak berlaku20.

F. Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang
tidak mempunyai anggota21.
Pendirian yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam
masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud
untuk berlindung di balik badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah
20
Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal. 168-169
21
Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanuasiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.
Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang
berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang trercantum
dalam anggaran dasar, sengketa antara pengurus dan pendiri atau pihak lain, maupun adanya
dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung ke-kayaan yang berasal dari para pendiri atau
pihak lain yang diperoleh secara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan
secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis pe-
nyelesaiannya.
Undang-undang yayasan dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan
fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang yayasan menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu
badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan,
didirikan dengan memperhati-kan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang
yayasan.
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum
setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi
pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah
berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang yayasan.
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, permohonan
pendirian Yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehaki-man dan
Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Di samping itu
Yayasan yang telah memperoleh pengesahan harus diumukan dalam Berita Negara Republik
Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan pula agar Registrasi Yayasan dengan pola penerapan
administrasi hukum yang baik dapat mencegah praktek perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan
yang dapat merugikan masyarakat.
Untuk mewujudkan mekanisme penegasan publik terhadap Yayasan yang diduga
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan
kepentingan umum, Undang-undang yayasan me-ngatur tentang kemungkinan pemeriksaan
terhadap Yayasana yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penepatan Pengdailan atas permohonan
tertulis pihak ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili ke-
pentingan umum.
Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat social, keagamaan dan
kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas.
Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ Yayasan yang
dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik intern Yayasan yang tidak hanya dapat
merugikan kepentingan Yayasan melainkan juga pihak lain.
Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan yayasan dilakukan sepenuhnya oleh
pengurus. Oleh karena itu, pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada
Pembina mengenai keadaan keuangan dan per-kembangan kegiatan Yayasan. Selanjutnya,
terhadap Yayasan yang kekayaannya berasal dari nagara, bantuan pihak luar negeri atau pihak lain,
atau memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang, kekayaan wajib
diaudit oleh akuntan punblik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar
berbahasa Indonesia. Ketentuan ini dalam rangka penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
pada masyarakat.
Dalam undang-undang yayasan diatur pula mengenai kemungkinan penggabungan dan
pembubaran Yayasan baik karena atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan
penetapan atau putusan Pengadilan dan peluang bagi Yayasan asing untuk melakukan kegiatan di
wilayah Negara Republik Indonesia sepanjang tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara
Republik Indonesia.22
22
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
G. Wakaf
1. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977
Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan berbagai peraturan pelaksanaannya
telah ditegaskan bagaimana pengertian, fungsi, unsur dan syarat-syarat perwakafan tanah.

a. Pengertian:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan-nya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Agama Islam (Pasal 1 ayat (1) PP. No. 28/1977 dan Pasal 1 sub B Peraturan Menteri
Agama No. 1 Tahun 1978).

b. Fungsi Wakaf
Untuk mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan wakaf
ini maka manfaat tanah yang bersangkutan dapat dilakukan, apakah untuk keperluan
peribadatan, seperti untuk masjid, musalla atau untuk keperluan umum lainnya sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam.

c. Unsur-unsur perwakafan
Orang yang berwakaf disebut WAKIF. Wakif menurut PP. No. 28/1977 adalah orang
atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Untuk adanya wakaf
diperlukan adanya suatu IKRAR atau pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah
miliknya, kelompok orang, atau badan hukum. Yang di-serahi tugas untuk pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf disebut NAZIR.
Badan hukum Indonesia dan orang-orang atau orang-orang yang telah dewasa dan
sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya
dengan memperhatikan pertauran-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal
badan hukum, maka yang bertindak atasnamanya adalah pengurusnya yang sah menurut
hukum.

d. Syarat-syarat perwakafan tanah


Adanya persyaratan yang harus dipenuhi bagi seseorang wakif dengan pencantuman
secara terperinci. Penantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksud-kan untuk
menghindari tidak sahnya perbuatan mewakaf-kan, baik adanya faktor interen (cacat atau
kurang sempurna cara berfikir), maupun faktor eksteren (karena mersa dipaksa orang lain).
Ketentuan-ketentuan ini ber-laku juga bagi yayasan Indonesia yang bergerak di bidang
keagamaan dengan penyesuaian persyaratan seperlu-nya sesuai dengan persyaratan subjek
hukum tersebut peraturan perundangan yang berlaku.
Perwakafan tanah ini harus dilakukan di muka Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf
(PPAIW). Menurut Per-aturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978, maka Kepala Kantor Urusa
Agama (KUA) ditunjuk sebagai PPAIW, sedang untuk administrasi perwakafan
diselenggarakan oleh Kantor urusan Agama (KUA) Kecamatan. Dalam hal suatu kecamatan
tidak ada Kantor Urusan Agamanya, maka Kanwil epag menunjuk kepala KUA terdekat
sebagai PPAIW di kecamatan tersebut. Sedang apabila suatu Kabupaten/Kota belum ada KUA
Kecamatan, maka Kepala Kanwil Depag menunjuk Kepala Seksi Urusan Agama pada
Kandepag kabupaten/kota sebagai PPAIW.
PPAIW diwajibkan menyelenggarakan daftar Akta Ikrar Wakaf. Tugas PPAIW adalah:
i. Meneliti kehendak wakif.
ii. Meneliti dan mengesahkan Nazir atau anggota nazir yang baru sebagaimana diatur
dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) peraturan ini.
iii. Meneliti saksi ikrar wakaf.
iv. Menyaksikan pelaksanaan ikrar wakaf.
v. Membuat akte ikrar wakaf.
vi. Menyampaikan akta ikrar wakaf dan salinannya sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat
(2-3) peraturan ini, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak dibuatnya.
vii. Menyelenggarakan daftar akte ikrar wakaf.
viii. Menyimpan dan memelihara akte dan daftarnya.
ix. Mengurus pendaftaran perwakafan seperti tercantum dalam Pasal 10 ayat (1) PP (Pasal
7 Peraturan Menteri Agraria No. 1/1978).
Menurut Pasal 9 ayat (2) PP No. 28/1977, PPAIW ini diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama, akan tetapi untuk kelancaran pelaksanaan penunjukkan/pe-ngangkatan Kepala
Kantor urusan Agama Kecamatan sebagai PPAIW, maka dengan Keputusan menteri Agama
No. 73 Tahun 1978 telah dilakukan pendelegasian wewenang pengakatan/ penunjukkan serta
pemberhentian Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai PPAIW kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat. Dalam surat keputusan itu dinyatakan
antara lain bahwa:
(1)Mendelegasikan wewenang pengangkatan/penunjukkan serta pemberhentian Kepala kantor
Urusan Agama Kecamatan sebagai pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) kepada
kepala Kantor Wilayah Departemen Agama propinsi/setingkat setempat.
(2)Jika dipandang perlu, Kepala Kantor Wilayah Departe-men Agama propinsi/setingkat dapat
memberikan kuasa kepada Kepala Bidang Urusan Agama Islam untuk dan atasnama
Kepala kantor Wilayah Departemen Agama propinsi/setingkat mengangkat dan member-
hentikan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
(3)Jika dalam suatu wilayah hukum kecamatan belum ter-bentuk Kantor Urusan Agama, maka
yang diangkat sebagai Pejabat pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW) adalah Kepala Kantor
Urusan Agama yang terdekat.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan tersebut, telah dikeluarkan Instruksi Menteri
Agama No. 5 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979 tentang Petunjuk pelaksanaan Keputusan
menteri Agama No. 73 Tahun 1978 tentang pendelegasian wewenang Kepala kantor Wilayah
Depar-temen Agama propinsi/setingkat untuk mengangkat/mem-berhentikan setiap kepala
kantor Urusan Agama Kecama-tan sebagai Penjabat Pembuat Akta Ikrar wakaf (PPAIW).
Mengenai tanah yang diwakafkan haus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci, mulia, dan terpuji sesuai
dengan ajaran Agama islam. Berhubung dengan itu, maka tanah yang hendak diwakafkan itu
betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut kepemilikan. Persyarat
ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya atau terbawa-bawa lembaga perwakafan ini untuk
sering berhadapan dengan pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan Syariat Agama
Islam. Berdasarkan pandangan tersebut, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti;
hipotik, credietvenband, tanah dalam proses perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan
sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.
Seorang Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas kepada Nazir dihadapan
PPAIW. Nadzir ter-sebut dapat berupa orang perorangan atau badan hukum yang merupakan
suatu kelompok orang terdiri dari se-kurang-kurangnya 3 orang dan salah seorang diantaranya
sebagai ketua. Nadzir perorangan harus memenuhi syarat:
1. Warganegara Republik Indonesia.
2. Beragama Islam
3. Sesudah Dewasa.
4. Sehat Jasmani dan rohaniah
5. Tidak berada dibawah pengampunan.
6. Bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
Sedangkan jika Nadzir tersebut adalah berbentuk Badan Hukum maka Nadzir tersebut
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
2. Mempunyai perwakilan dikecamatan tempat letaknya tanah yang
diwakafkan.
Seorang anggota Nadzir berhenti dari jabatannya apabila:
1. Meninggal dunia.
2. Mengundurkan diri
3. Dibatalkan kedudukannya sebagai Nadzir oleh Kepala KUA karena:
a. tidak memenuhi syarat seperti diatur dalam pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintahan.
b. Melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubu-ngan dengan jabatannya sebagai
Nadzir.
c. Tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sesuai Nadzir.
Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya:
1. Menyimpan lembar kedua salinan akta ikrar
wakaf.
2. Memelihara tanah wakaf.
3. Memanfaatkan tanah wakaf.
4. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf
5. Menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang me-liputi:
a. buku catatan tentang keadaabn tanah wakaf
b. buku catatan pengelolaan dan hasil tanah wakaf.
c. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf.
Nadzir berkewajiban melaporkan:
1. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikat kepada kepala KUA.
2. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaanya akibat
ketentuan Pasal 12 dan 13 peraturan ini sebagai diatur dalam Psal 11 ayat (3) peraturan
Pemerintah.
3. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada Kepala KUA tiap satu
tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember.
4. Dan kalau ada anggota nadzir yang berhenti dari jabatan-nya sebagai diatur dalam pasal 8 ayat
(2) peraturan ini.
Nadzir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapkan
oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi dengan ketentuan tidak melebihi sepuluh persen dari hasil
bersih tanah wakaf.
Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak meng-gunakan pasilitas sepanjang diperlukan
dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq
Kepala Seksi.23

23
H Abdurrahman, SH. MH. 1990. Masalah Perwakafan dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung:
Citra Aditya Bakti. Hal. 29-35
BAB III
HUKUM KELUARGA
A. Hukum Perkawinan
1. Syarat sahnya perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No 1
tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.24

2. Larangan perkawinan
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.25
g. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 (2) dan Pasal 4 undang-undang ini.26
h. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.27
i. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tidak boleh
melangsungkan pernikahan dalam masa iddah.28

3. Pencegahan perkawinan
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.29 Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal
ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang
seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.30

24
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan (2)
25
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8
26
Ibid. Pasal 9
27
Ibid. Pasal 10
28
Ibid. Pasal 11 ayat (1)
29
Ibid. Pasal 13
30
Ibid. Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah ber-langsungnya perkawinan apabila ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),31 Pasal 8,32 Pasal 9,33 Pasal 1034 dan Pasal 1235 Undang-undang ini
tidak dipenuhi. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.36
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kepada
calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.37
Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di
dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan.
oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak
mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan
yang me-ngadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan
surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketentuan ini hilang kekuatannya, jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.38

4. Hak dan kewajiban suami isteri


Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat.39 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat,
oleh karena itu masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.40
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir bathin yang satu kepada yang lain.41 Berikut suami wajib melindungi isteri-nya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri
wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.42

5. Perkawinan berdasarkan Hukum Islam


a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah: Suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan
hidup keluarga, yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dngan cara yang diridoi
Allah.43

31
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
32
Lihat tentang larangan perkawinan.
33
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
34
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
35
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
36
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 16
37
Ibid. 1974 Pasal 17
38
Ibid. Pasal 21 ayat (1) sampai (5).
39
Ibid. Pasal 30
40
Ibid. Pasal 31
41
Ibid. Pasal 33
42
Ibid. Pasal 34 ayat (1) sampai (3)
43
Ahmad Azhar Basyir. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII: Hal. 11
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya.44

6. Perjanjian Perkawinan dan Harta Perkawinan


Calon suami istri sebelum melaksanakan perkawinan boleh mengadakan suatu perjanjian
perkawinan sepanjang dalam hal-hal yang tidak dilarang oleh agama. Perjanjian antara calon suami
istri ini dapat disahkan secara tertulis oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pada UU No 1 Tahun 1974
Pasal 29 disebutkan:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, ke dua belah pihak atas persetujuan
bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan
kesusilaan
3. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsungnya perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan persetujuan tidak merugi-kan pihak
ketiga.
Berkaitan dengan perjanjian menyangkut harta perkawinan, maka ada beberapa hal yang
harus diperhatikan:
a. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama, maka perjanjian
tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiabn suami untuk menafkahi.
b. Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-
masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh selama perkawinan.
c. Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung
mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
d. Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri dan
wajib mendaptarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah.
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan
nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.45

7. Putusnya perkawinan
Perkawinan putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian dan
c. atas keputusan pengadilan

8. Perceraian dan Akibatnya


Akibat putusnya perkawinan adalah:
a.Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,
Pengadilan memberi keputusannya
b.Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c.Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri

B. Hukum Waris
1. Pengertian
44
Ibid
45
Disarikan dari Kompilasi Hukum Islam, BAB VII Tentang PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45-52.
Warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam
masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya
seorang manusia.46

2. Asas
Dalam hukum waris berlaku suatu asas:
a. Bahwa hanyalah hak-hak dam kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekyaan harta
benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban
kepribadian, seperti hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau sebagai ayah tidak
dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai seorang anggota
perkumpulan. Tetapi ada kekecualian, misalnya hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya
anaknya dan di pihak lain hak seorang anak untuk menuntut suapaya ia dinyatakan sebagai
anak yang sah dari bapak atau ibunya, menurut undang-undang beralih pada (diwarisi oleh) ahli
waris dari masing-masing orang yang mempunyai hak-hak itu. Sebaliknya ada juga hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapanga hukum perbendaan atau per-janjian,
tetapi tidak beralih pada ahli waris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu
perjanjian perburuhan dimana seorang akan melakukan akan melakukan suatu pekerjaan
dengan tenaganya sendiri. Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk
maatschap (perseroan) menurut BW, maupun yang berbentuk firma menurut WvK yang
menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salahsatu anggota atau pesero.
b. Bahwa apabila seorang meninggal, maka ketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang
berbunyi le mort saisit le vit, sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si
meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine.47

3. Unsur
Di atas telah disinggung sedikit unsur-unsur hukum waris BW, yakni pewaris, ahli waris dan
harta warisan. Ketiga unsur hukum waris ini diangkat kembali dan dibahas agak lebih luas dengan
maksud para pembaca tidak sekedar berkenalan dengan unsur-unsur hukum waris tersebut tetapi
dapat me-ngetahui seluk beluknya masing-masing.

a. Pewaris
Siapa yang layak disebut sebagai pewaris? Banyak kalangan memberi jawaban atas
pertanyaan ini dengan menunjuk bunyi pasal 830 BW, yaitu setiap orang yang telah meninggal
dunia. Kelemahan jawaban ini adalah kalau yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan
sedikit pun harta benda. Hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah
meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda. Maka unsur-unsur yang mutlak harus
dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta kekayaan.

b. Ahli Waris
Pertanyaan serupa di atas dapat juga diajukan untuk masalah ahli waris. Siapa yang layak
disebut sebagai ahli waris? Dalam garis besarnya ada dua kelompok orang yang layak untuk
disebut sebagai ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh hukum
atau UU (maksudnya KUH Pertada/BW) telah ditentukan sebagai ahli waris dan kelompok
kedua adalah orang atau orang-orang yang menjadi ahlim waris karena pewaris dikala
hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum
pengakuan anak, perbuatan hukum pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan hukum lain
yang disebut testemen atau surat waris.
46
Oemar Salim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 2
47
Subekti. 1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.Hal. 95-96.
Ahli waris menurut UU dari atas 4 (empat) golongan. Golongan pertama terdiri dari suami atau
istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak
tersebut (Pasal 832, 852 dan 852 a KUH perdata). Golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu
(keduanya masih hidup), ayah atau ibu (salah satunya telah meninggal dunia) dan saudara/i
serta sekalian keturunan saudara/i tersebut (Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUH perdata).
Golongan ketiga terdiri atas kakek-nenek garis ibu dan kakek nenek garis atau pihak ayah.
Menurut Pasal 835 KUH perdata, apabila si yang meninggal dunia tidak meninggalkan
keturunan maupun suami atau istri maupun saudara/i, maka harta warisan dikloving (dibagi
dua, satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas dan satu
bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah garis ibu lurus ke atas. Dan golongan keempat
terdiri dari sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam dan
derajat ketujuh karena pergantian tempat. Penggolongan ahli waris tersebut di atas selanjutnya
dapat dilihat pada Peragaan berikut:

c. Harta Warisan
Tidak otomatis harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia adalah
harta warisan. Untuk memastikan apakah harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah
meinggal dunia termasuk harta warisan atau bukan perlu diketahui lebih dahulu status hukum
perkawinannya dan hal-hal lain yang membebani harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah
meinggal dunia tersebut.
Status hukum perkawinan menurut KUH Perdata terdiri atas 3 (tiga) kategori. Pertama,
perkawinan yang dilangsungkan dengan perjanjian kawin bahwa antara suami-istri yang
bersangkutan tidak ada percampuran harta benda atau harta kekayaan. Kedua, perkawinan yang
dilangsungkan dengan perjanjian kawin bahwa antara suami-istri yang bersangkutan ada
percampuran harta benda secara bulat. Dan ketiga, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian kawinbahwa antaran suami-istri yang bersangkutan ada percampuran harta benda
tetapi ada pengecualiannya. Kategori terakhir ini misalnya suami-istri melangsungkan
perkawinan dengan perjanjian kawin ada percampuran harta kekayaan, namun suami atau calon
suami menghendaki agar mobil yang diperolehnya selama masih bujangan dan masih
dipakainya untuk keperluan sehari-hari tidak masuk atau dikecualikan dari percampuran harta
benda. Landasan hukum dari status hukum perkawinan jenis terakhir ini adalah pasal 139 KUH
Perdata yang mengatakan bahwa dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-
istri dapat menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan UU sekitar persatuan harta
kekayaan sepanjang tidak menyalahi tata susila.
Hal-hal lain yang mebebani harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
dunia misalnya sewaktu masih hidup telah mengadakan perjanjian utang piutang dengan pihak
lain yang sampai saat ia meninggal dunia, utang tersebut belum juga dibayar. Demikian juga
masalah pajak yang belum dibayar dan biaya-biaya lain yang digunakan untuk keperluan
pemakaman pewaris.
Bisa saja terjadi perkawinan dilangsungkan tanpa didahului pernajijian kawin. Apakah
akibat hukunya jika perkawinan dilangsungkan tanpa didahului perjanjian kawin? Jawwaban
atas pertanyaan ini adalah ketentuan Pasal 119 KUH Perdata yang mengatakan bahwa mulai
saat per-kawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan
suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Maksud dari ketentuan Pasal 119 ini adalah apabila suami-istri sewaktu melangsungkan
perkawinan tidak membuat perjanjian tentang harta kekayaan, maka demi hukum terjadi
percampuran harta kekayaan secara bulat.
Akibat dari perkawinan yang dilangsungkan dengan percampuran harta kekayaan, baik
karena perjanjian kawin maupun demu hukum (pasal 119), tidak semua harta kekayaan yang
ditinggalakan oleh orang yang meninggal dunia termasuk harta warisan. Pasal 128 KUH
Perdata mengatakan bahwa tatkala persatuan bubar, maka harta kekayaan persatuan dibagi 2
(dua) antara suami dan istri dengan tidak mempersolakan dari pihak manakah harta kekayaan
tersebut diperoleh. Maksudnya, ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan adalah harta
warisan, sedangkan ½ (setengah) bagian lainnya adalah hak suami yang masih hidup (hidup
terlama) sebagai akibat dari perkawinan percampuran harta kekayaan (pasal 128). Namun
pembelahan aras 2 (dua) bagian yang sama tersebut baru dilakukan setelah dikurangi dengan
beban-beban seperti beberapa contoh di atas.
Contoh soal berikut mudah-mudahan dapat membantu pemahaman atas penjelasan di
atas. Pewaris ber-nama P (suami) dan Istri bernama Q. Perkawinan P –Q dilangsungkan dengan
perjanjian kawin bahwa ada per-campuran harta kekayaan, namun sebuah mobil Mercedez
yang diperoleh P dari harta warisan ayahnya tidak masuk dalam percampuran harta benda
perkawinan tersebut . Total biaya pemakaman P = Rp 30 Juta. Sewaktu masih hidup ada utang
di Bank Negara (kredit) sebesar Rp 50. Juta. Harta peninggalan P terdiri dari sebidang tanah
HM. Senilai Rp 100 Juta, 2 (dua) bidang tanah HGB dengan nilai total keduanya Rp 300 juta
dan sebuah perusahaan Garmen senilai Rp 500 juta. Perlu ditambah bahwa semua beban atau
utang selama masih hidup dan untuk kepentingan bersama suami-istri termasuk beban harta
persatuan dan segala biaya untuk keperluan pemakaman termasuk beban warisan. Sedangkan
mobil pribadi P senilai Rp 100 juta.
Jadi untuk mengetahui berapa bessar harta warisan bersih P dapat dibuat skema seperti
berikut;
Pembagian harta warisan tidak terlampau sulit manakala perkawinan dilangsungkan
dengan perjanjian bahwa ada percampuran harta atau tidak ada percampuran harta benda
perkawinan.48

4. Ahli Waris Menurut Undang-Undang


Dalam garis besarnya ada 4 (empat) kelompok orang yang layak untuk disebut sebagai ahli
waris:
a. Suami atau isteri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan
anak-anak tersebut.49
b. Ayah dan ibu (keduanya masih hidup), ayah atau ibu (salah satunya telah meninggal dunia) dan
saudara/i serta sekalian serta sekalian keturunan saudara/i tersebut.50
c. Kakek nenek garis ibu dan kakek nenek garis atau pihak ayah.
d. Sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat keenam dan derajat ketujuh
karena pergantian tempat.

5. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat


Orang-atau orang-orang yang menjadi ahli waris karena pewaris dikala hidupnya melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum pengakuan anak, perbuatan hukum
pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan hukum lain yang disebut testamen atau surat
wasiat.51

48
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan berdasaarkan Pasal-pasal BW. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hal. 6-13
49
Pasal 832,852 dan 852 a KUH Perdata
50
Pasal-pasal 854,855,856 dan 857 KUH Perdata.
51
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada: 2000). Hlm.7
BAB IV
HUKUM BENDA
A. Pengaruh berlakunya UUPA terhadap Buku II BW
Dalam Buku II KUH Perdata diatur macam-macam hak kebendaan, akan tetapi dalam
membicarakan macam-macam hak kebendaan dalam buku II itu harus diingat berlakunya Undang-
Undang No 5 tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam undangt-undang tersebut
ditentukan bahwa semua hak yang bertalian dengan bumi, air dan segala kekayaan alam yang ada
didalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik, dicabut berlakunya dari buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.

B. Sistem Buku II BW
Buku II KUH Perdata: Menggunakan sistem tertutup artinya orang tidak diperkenankan
untuk menciptakan hak kebendaan lain, selain apa yang sudah ada dalam Buku II tersebut.
Yang dimaksud dengan Benda dalam Buku II ialah apa saja yang dapat dijadikan hak
seseorang baik berujud maupun benda tak berujud.

C. Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tetap


Dalam UUPA (UU No. 5 tahun 1960) tidak mengenal pembedaan antara benda bergerak
dan benda tidak bergerak. Menurut Pitlo pembedaan benda atas benda tak bergerak dan benda
tetap itu adalah merupakan pembedaan yang terpenting sejak dahulu. Namun di Nederland
perkembangan ilmu pengetahuan sekarang mengenal pembedaan benda atas benda atas nama dan
benda tidak atas nama. Pada umumnya benda-benda atas nama adalah ter-daftar didalam register
dan disebutkan atas nama yang berhak. Benda-benda tak bergerak terdaftar dalam register
umumnya di kantor-kantor hipotik. Sedang benda-benda bergerak hampir semua merupakan
benda-benda tidak atas nama.52
H. Drion mengatakan, bahwa di Nederland terdapat tendensi bahwa menurut pendapat-
pendapat modern mereka cenderung untuk mengakui pembedaan benda atas benda-benda atas
nama dan tidak atas nama, atau benda-benda terdaftar dan tak terdaftar.53
Pembedaan benda yang demikian kiranya patut diperhatikan dalam rangka pembinaan
Hukum Nasional kita sekarang ini demi kepastian hukum dan kepastiah hak.54
Pembedaan antara benda bergerak dan benda tak bergerak ini penting artinya. Pentingnya itu
berhubungan dengan 4 hal:

52
A. Pitlo, Het Zakenrecht, Hal 25
53
H. Drion, Compendium Van Het Nederlands Vermogensrecht. Hal: 13
54
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta, Liberti : 1981) Hlm. 22.
1. Bezit.
Mengenai bezit misalnya – terhadap barang bergerak berlaku azas seperti yang tercantum
dalam Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu bezitter dari barang bergerak adalah sebagai eigenaar
dari barang tersebut. Sedangkan kalau mengenai barang tak bergerak tidak demikian halnya.

2. Levering (penyerahan)
Mengenai levering terhadap benda bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan
nyata, sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama. Mengenai
levering dari benda tak bergerak ini praktek di Indonesia lain dari pada di Nederland.
Di Indonesia mengenai levering terhadap barang-barang tak bergerak itu berdasarkan
Pasal 24 OV (Bepalingen omtrent de invoeiring van en de overgang tot de nieuwe wetgeving)
masih mendasarkan pada peraturan atau cara yang lama yaitu berdasarkan Overschrijvings
Ordonantie (S-1834 no. 27).
Pasal 24 OV pokoknya berbunyi:
Aturan-aturan yang berbunyi mengenai cara levering dari barang-barang tak bergerak
dengan pengumuman acte-acte sebagaimana dimuat dalam Pasal 616-620 KUH Perdata
untuk sementara tetap tidak berlaku yang berlaku ialah peraturan-peraturan yang berlaku
sekarang ada (overschrijving Ordonantie) sampai ditentukan yang lain.

3. Verjaing (kadaluarsa)
Mengenai Verjaring, ini juga berlainan. Terhadap benda-benda bergerak itu tidak dikenal
verjaring sebab bezit disini sama dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedang untuk
benda-benda tak bergerak mengenal adanya verjaring.

4. Bezwaring (pembebanan)
Mengenai bezwaring (pembebanan) terhadap benda bergerak harus dilakukan dengan
pand (gadai) sedang terhadap benda tak bergerak harus dilakukan dengan hipotik.55

D. Hak kebendaan: arti dan macamnya


1. Pengertian
Hak kebendaan (Zakelijkrecht) adalah hak mutlak atas sesuatu benda, dimana hak itu
memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun
juga.56
Tentang hak-hak kebendaan :
a. Bezit,
Ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah kepunyaan
sendiri, yang ole hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu
sebenarnya ada pada siapa.

b. Eigendom,
Ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom
(milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
memberikan,, bahkan merusak)
c.  Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain,
Ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan
lain yang berbatasan.
d. Pand dan Hypotheek,
Ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi
dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e. Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage)
55
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta, Liberti : 1981) Hlm. 22-23.
56
Ibid. Hlm. 24.
Ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu
berdasarka sifat piutang.
f.  Hak reklame,
Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak
melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.

2. Macam-macam hak kebendaan


Hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II Perdata itu dapat dibedakan sebagai berikut
(dengan sudah mengingat berlakunya Undang-undang Pokok Agraria):

a. Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) ini dapat
atas bendanya sendiri dapat juga atas benda milik orang lain:
1) Yang bersifat memberi kenikmatan atas benda milik sendiri, misalnya: hak milik atas
benda bergerak/benda yang bukan tanah. Bezit atas benda tanah/benda yang bukan
tanah.
2) Yang bersifat memberi kenikmatan, tapi atas benda milik orang lain. Bezit atas benda
bergerak/benda yang bukan tanah. Hak memungut hasil atas benda bergerak/benda
yang bukan tanah. Hak pakai dan mendiami atas benda bergerak/benda yang bukan
tanah.

b.Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht)


Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan:
1) Gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak.
2) Hipotik sebagai jaminan ialah benda-benda tetap.
Selanjutnya di dalam buku II B itu juga terdapat figuur-figuur/bentuk-bentuk yang bukan
merupakan hak kebendaan tetapi tokh diatur dalam Buku II KUH Perdata sejajar dengan
hak-hak kebendaan yang lain, yaitu: privilegie dan hak retentie. Karena hak-hak tersebut
sedikit banyak juga bersifat memberi jaminan dan mengandung cirri hak kebendaan.
E. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan
Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) ini dapat atas
bendanya sendiri dapat juga atas benda milik orang lain.
1. Yang bersifat memberi kenikmatan atas benda milik sendiri, misalnya: hak milik atas benda
bergerak/benda yang bukan tanah. Bezit atas benda/tanah/
benda yang bukan tanah.
2. Yang bersifat memberi kenikmatan, tapi atas benda milik orang lain. Bezit atas benda
bergerak/benda yang bukan tanah. Hak memungut hasil atas benda bergerak/benda yang bukan
tanah. Hak pakai dan mendiami atas benda bergerak/benda yang bukan tanah.

F. Hak milik
1. Pengertian Hak milik
Pasal 570 KUH Perdata: Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan
sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, sal tak dipergunakan
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum oleh kekuasaan yang mempunyai
wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain;
kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk
kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan
undang-undang.
G. Bezit
1. Pengertian Bezit
Pasal 529 KUH Perdata: Bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda dimana
seseorang menguasainya, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah itu
adalah kepunyaannya sendiri.
Seacara singkat, bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda
seolah-olah kepunyaan sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan
hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.

2. Syarat-syarat adanya bezit


a. Corpus – Harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya.
b. Animus – Hubungan antara orang dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut.
Kehendak ini adalah kehendak yang sempurna, artinya bukan kehendak dari anak kecil atau
orang gila.

3. Fungsi bezit
Bezit itu mempunyai 2 fungsi, yaitu: Fungsi polisionil dan fungsi zakenrechtelijk

a. Fungsi polisionil
Bezit itu mendapat perlindungan dari hukum. Hukum mengindahkan keadaan kenyataan itu
tanpa memper-soalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa
yang membezit suatu benda (sekalipun dia pencuri) maka ia mendapat perlindungan dari
hukum, sampai terbukti (di muka pengadilan) bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Jadi
barang siapa yang merasa haknya terlanggar harus minta penyelesaian terlebih dahulu pada
polisi atau pengadilan. Itu yang dimaksud fungsi polisionil dari bezit. Fungsi polisionil ada
pada setiap bezit.

b. Fungsi zakenrechtelijk
Setelah beberapa waktu tertentu keadaan kenyataan (bezit) itu berjalan tanpa adanya protes
dari pemilik yang sebelumnya, maka keadaan kenyataan itu akan barulah menjadi hak.
Yang tadinya bezit itu akan berubah menjadi hak milik, yaitu dengan melalui lembaga
verjaring. Itulah yang dimaksud dengan Fungsi zakenrechtelijk dari bezit. Fungsi
zakenrechtelijk itu tidak ada pada setiap bezit, hanya ada pada burgerlijk bezit saja.57

H. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan


Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrecht)
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan:
1. Gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak.
2. Hipotik sebagai jaminan ialah benda-benda tetap.
Selanjutnya dalam Buku II B itu juga terdapat figuur-figuur/bentuk-bentuk yang bukan
merupakan hak kebendaan tetapi tokh diatur dalam Buku II KUH Perdata sejajar dengan hak-hak
kebendaan yang lain, yaitu: privilegie dan hak retentie. Karena hak-hak tersebut sedikit banyak
juga bersifat memberi jaminan dan mengandung cirri hak kebendaan

I. Gadai, Fiducia, dan Hipotik.


1. Gadai
a. Tinjauan Umum.
Ketentuan tentang gadai di KUH Perdata merupakan ketentuan yang sudah berumur lebih
dari 100 tahun. Pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan.
57
Ibid.. Hal.83-84
b. Perumusan Gadai.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas barang bergerak, yang
diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau orang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaaan kepada si berpiutang untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut
secara di-dahulukan daripada orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya, setelah
barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

c. Para Pihak dalam Gadai.


Ada dua pihak, yaitu pegadai dan penerima gadai.

d. Hak gadai atas Barang Bergerak


Pembagian lembaga jaminan menjadi gadai dan Hipotik merupakan konsekwensi lebih
lanjut dari pem-bagian benda menurut B.W menjadi benda-benda bergerak dan benda tak
bergerak.

e. Benda Gadai Diserahkan.


Hak gadai diletakan dengan membawa benda gadai di bawah kekuasaan kreditur atau di
bawah kekuasaan pihak ketiga.

f. Hak Gadai sebagai Hak Kebendaan.


Gadai merupakan suatu hak kebendaan atas barang bergerak milik orang lain.

g. Gadai diperjanjikan.
Artinya terjadinya gadai itu dengan memperjanjikannya.

h. Perjanjian Gadai sebagai Perjanjian Accesoir.


Gadai diperjanjikan dengan maksud untuk memberikan jaminan atas suatu kewajiban prestasi
tertentu, yang pada umumnya tidak selalu merupakan perjanjian hutang-piutang, karenanya
merupakan perjanjian yang bersifat accessoir.

i. Yang berhak Menggadaikan.


Pada asasnya tindakan menggadaikan disyaratkan adanya kewenangan bertindak pada yang
bersangkutan.

j. Gadai Ulang.
Gadai ulang ini bisa dilaksanakan dan pemegang gadai kedua lebih kuat kedudukannya.

k. Gadai atas Benda Bergerak tak Bertubuh


1) Pasal 1152.
Bahwa benda gadai dapat berupa benda bergerak bertubuh maupun benda bergerak tak
bertubuh, yang wujudnya adalah hak.
2) Pasal 1153.
Gadai atas tagihan-tagihan atas nama dilakukan dengan memberitahukannya kepada
debitur.
3) Gadai Tagihan Atas Nama dalam Praktik Perbankan.
Penjualan benda gadai di depan umum seringkali tidak praktis, padahal dengan gadai saja
krditur tidak men-jadi pemilik dari surat-surat tagihan yang digadaikan kepadanya, maka
ia tidak berhak menagih sendiri kepada debitur. Salahsatu cara kreditur memper-janjikan
kuasa dari debitur pemberi gadai untuk atasnamanya dapat langsung dapat menagih
debitur tagihan yang digadaikan. Dan untuk menjaga agar debitur tidak dengan seenaknya
menarik kembali apa yang telah ia janjikan, maka kuasa itu dituangkan dalam wujud
Kuasa Mutlak (tak dapat ditarik kembali).

l. Gadai atas Benda Gadai yang Akan Ada.


Pada prinsipnya memang ada kemungkinan untuk menjaminkan benda-benda yang nantinya
akan menjadi milik pemberi gadai.

m. Gadai Surat Gaji dan Surat Pensiun


Surat gaji dan Surat Pensiun bukan merupakan benda-benda yang dapat dipindah tangankan,
akan tetapi dalam perkembangannya dapat dapat dipakai dan diterima oleh bank-bank tertentu
sebagai jaminan kredit, tentu dengan surat kuasa dan ditanda tangani oleh bendahara kantor
pemohon kredit.
Jaminan semacam ini, sangat lemah karena sifat-nya pribadi, sehingga kematian yang
bersangkutan adalah akhir dari gaji dan pensiun tersebut.

n. Larangan Janji untuk memiliki Benda jaminan secara otomatis.


Dalam hal ini debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka tak diperkenankan kreditur
memiliki barang gadai.

o. Cessie sebagai jaminan.


Dalam prakteknya pihak Bank selalu memperjanjikan cessie atas jaminan piutang-piutang atas
nama. Dengan cessie, maka kreditur sebagai cessionaris menerima semua akibat hukum yang
timbul.

p. Hak-hak Pemegang Gadai


1) Parate eksekusi Pasal 1155.
Pasal ini bermaksud kreditur mengambil apa yang menjadi haknya, sedangkan selebihnya
harus dikem-balikan kepada debitur.
2) Pasal 1555 ayat (2).
Apabila benda-benda jaminan berupa surat-surat ber-harga, maka penjualannya dilakukan
di bursa di tempat dimana pemegang gadai tinggal, dengan syarat dihadiri dua orang
makelar.
3) Pasal 1156.
Pemegang gadai, dalam hal debitur atau pemberi gadai wanprestasi, bisa menempuh jalan
mohon agar hakim menentukan cara penjualan barang gadai, dan mohon agar hakim
mengizinkan pemegang gadai membeli sendiri barang gadai dengan harga yang ditentukan
oleh hakim.
q. Kewajiban-kewajiban Pemegang Gadai.
Pemegang gadai berkewajiban untuk merawat benda gadai yang ada di dalam tangannya.

r. Hak Kreditur atas Bunga Benda gadai.


Pemegang gadai berhak untuk memperhitungkan bunga yang keluar dari benda gadai, yang
dipegang oleh-nya sebagai jaminan, dengan bunga piutangnya kepada debitur

s. Hak Retentie Pemegang gadai.


Pemegang gadai mempunyai hak retentie selama hutang pokok, bunga dan ongkos-ongkos
yang menjadi tanggungan debitur belum dilunasi.

t. Hak Gadai tak dapat dibagi-bagi.


Artinya hak gadai tidak menindih bagian-bagian dari benda gadai, benda jaminan, berdasarkan
perimbangan hutangnya, tetapi menindih seluruh hutang, dan setiap benda dari hutang
menindih semua benda gadai, setiap bagian dari benda jaminan, sebagai suatu keseluruhan.
u. Hapusnya Gadai.
1) Dengan hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai.
2) Dengan terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai.
3) Dengan hapus atau musnahnya benda jaminan.
4) Dengan dilepasnya benda gadai secara sukarela.
5) Dengan percampuran, yaitu dalam hal pemegang gadai menjadi pemilik barang gadai
tersebut.

2. Fiducia
Pengertian:
Pendelegasian wewenang pengolahan uang dari pemilik uang kepada yang didelegasi58

a. Timbulnya lembaga Fiducia


1) Faktor yang menimbulkan kebutuhan Lembaga Fiducia Kebutuhan praktek akan jaminan
yang kuat karena gadai kadang-kadang kalah terhadap privelege.
Privelege adalah hak untuk didahulukan dalam membayar hutang berdasarkan undang-
undang. Hal ini diatur dalam Pasal 1133 KUH Perdata dan Pasal 316, 317 KUHD)59.
Resiko atas barang gadai.
Jaminan yang diberikan kepada pembeli yang beriktikad baik tak melindungi pemegang
gadai.
Masalah tempat dan sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria untuk
hak atas tanah tertentu.

2) Sejarah perkembangan Lembaga Fiducia.


Dalam Hukum Romawi, semacam hak gadai yang dinamakan fiducia (fiducia cum
creditore), berupa suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda itu akan
dikembalikan apabila si berhutang sudah membayar hutangnya. Selama hutang belum
dibayar, orang yang menghutangkan menjadi pemilik benda yang menjadi tanggungan itu.
Sebagai pemilik dengan sendirinya ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda
itu pada siberhutang, sehingga orang itu tetap menguasai bendanya.
Suatu cara lain untuk memberikan jaminan bagi suatu hutang, ialah yang dinamakan pignus
depositum, dimana barang tanggungan tidak menjadi milik orang yang mengutangkan
selama hutangnya belum dibayar, tetapi barang itu diserahkan kepadanya untuk menjadi
pegangan saja.60
Setelah berkembang lembaga jaminan yang disebut gadai dan hipotik, fiducia tidak populer
lagi dan hilang dari peredaran.

3) Fiducia dalam yurisprudensi.


Lembaga hukum tersebut di Belanda mendapat pe-ngakuannya dari Pengadilan melalui
arrest yang dikenal dengan sebutan Bierbrouwerij Arrest, tanggal 25 Januari 1929.

b. Fiducia menurut Para Sarjana.


Eggens, Meyers dan Dion tidak setuju dengan Fiducia, karena menganggap ada penyelewengan
hukum terhadap ketentuan gadai.

c. Ciri-ciri Fiducia.
1) Ciri Umum.
Debitur dalam memberikan jaminan kepada kreditur atas janji-janjinya, menyerahkan hak
miliknya atas benda kaminan secara kepercayaan kepada kreditur, tetapi dengan janji,

58
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka CiptaHal 129
59
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 372
60
Subekti. 1995. Pokok Pokok Hukum Perdata. Cet. XXVII. Jakarta: Intermasa. Hal. 78.
bahwa apabila debitur telah me-menuhi semua kewajibannya, maka hak milik atas benda
jaminan otomatis kembali kepada debitur.
2) Hak-hak Kreditur.
a) Hak-hak kreditur dalam hal Debitur wanprestasi.
Dalam hal debitur wanprestasi, maka kreditur berhak dan wajib untuk menjual benda
jaminan di depan umum.
b) Hak-hak kreditur dalam perjanjian Fiducia dengan Bank sebagai Kreditur.
Bank memperjanjikan bahwa dalam hal debitur wanprestasi, bank diberi kuasa untuk
menjual didepan umum maupun dibawah tangan.
c) Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga
Perlindungan kepada pihak ketiga yang mengoper benda bergerak tidak atas nama dari
seorang beziter hanya diberikan kepada yang beriktikad baik.
d) Penyerahan Hak Milik
Penyerahan hak milik dilakukan dengan constitutum possesorium. (penyerahan
benda/barang kepada pihak yang bergerak, benda/ barang dalam penguasaan orang
lain)61.
e) Fiducia atas Barang Bergerak
Fiducia memang diperuntukan untuk barang-barang bergerak.
f) Fiducia atas Barang dagangan.
Yang dimaksud barang dagangan adalah barang da-gangan yang dapat diganti, yang
ditentukan menurut jenis.

d. Fiducia dan Eksekusi.


Semua benda jaminan dimaksudkan untuk memberi jamin-an, oleh karenanya harus bisa
berpindah tangan. Jaminan tersebut diwujudkan dengan pengambilan pelunasan dalam suatu
eksekusi

e. Masalah Fiducia
Yaitu apakah fiducia bukan merupakan pelanggaran atas ketentuan syarat gadai?, dan
karenanya bertentangan dengan undang-undang.

3. HIPOTIK
1. Tinjauan Umum
Berbicara tentang hipotik orang tak dapat melepaskan diri dari pembicaraan tentang Hukum
Agraria, selain itu pula tidak ada pegangan yang jelas terhadap ketentuan hukum problematikanya..

2. Perumusan
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang-barang tak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

3. Hipotik sebagai Hak Kebendaan


Salah satu ciri pokok hak kebendaan adalah adanya droi de suite, yaitu bahwa hak tersebut
mengikuti bendanya, benda yang dibebani hipotik, tidak peduli di tangan siapa ia berada.

4. Hipotik atas benda Tak Bergerak


Hipotik dapat diletakan atas tanah dan hak-hak atas tanah yang berupa hak guna bangunan dan hak
guna usaha, yang merupakan benda-benda tidak bergerak.

5. Hipotik Atas Benda orang lain.


Hipotik hanya dapat atas barang milik debitur atau pihak ketiga penjamin.

6. Hipotik atas Barang tertentu


61
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 83-84.
Pendaftaran hipotik pada kantor yang bersangkutan menunjukan benda jaminan tertentu yang
dijaminkan dan subyek penjaminan.

7. Hipotik atas Hak bagian yang Tak terbagi (onverdeld aandeel).


Menurut Pasal 1166 hipotik dapat diletakan atas bagian yang tak terbagi dalam pemilikan suatu
benda tak bergerak milik bersama.

8. Hipotik atas Apartemen.


Ketentuan Pasal 1166 sangat menguntungkan untuk kemungkinan pembebanan atas apartemen
dalam rumah susun.

9. Hipotik atas Barang-barang yang sudah ada.


Hipotik hanya dapat diletakan atas barang-barang yang sudah ada, dan ini merupakan penjabaran
dari asas spesialitas.

10. Hipotik diberikan untuk suatu jumlah tertentu


Pasal 1176 mengatakan; Suatu hipotik hanyalah sah, sekadar jumlah uang untuk mana ia telah
diberikan, adalah tertentu dan ditetapkan dalam akta.

11. Hipotik meliputi segala perbaikan dan tambahan.


Pasal 1165 menyatakan bahwa hipotik meliputi semua perbaikan yang terjadi pada benda jaminan
sesudah hipotik diletakan, termasuk segala sesuatu yang ditambahkan dan yang tumbuh diatas
benda jaminan.

12. Hipotik secara khusus diperikatkan.


Hipotik merupakan suatu perjanjian accessoir, dengan ciri;
1) Adanya bergantung dari adanya perikatan pokok.
2) Ia turut beralih dengan beralihnya perikatan pokok.
3) Ia menjadi hapus kalau perikatan pokoknya berakhir.
4) Ia tidak dapat dialihkan secara terpisah dari perikatan pokoknya.

13. Hak Hipotik didahulukan.


Artinya adalah hak untuk didahulukan di dalam mengambil uang pelunasan tagihannya atas hasil
eksekusi barang tertentu, yang secara khusus dihipotikan.

14. Hipotik tak dapat dibagi-bagi


Artinya bahwa setiap bagian dari benda jaminan dapat dijual untuk diambil hasilnya sebagai
pelunasan seluruh tagih-an dan setiap rupiah daripada tagihan menindih setiap bagian benda
jaminan maupun seluruh benda jaminan sebagai suatu kesatuan.

15. Lahirnya hipotik


Kreditur dan debitur berunding untuk menutup suatu kredit. Para pihak juga bisa memilih langsung
memasang hipotiknya. Setelah akte hipotik ditanda-tangani oleh para pihak, saksi dan PPAT, maka
satu eksemplar akta hipotik dan satu salinan akta hipotik beserta dengan sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan dikirim kepada kantor Agraria setempat.

16. Subjek hipotik


Hipotik hanya dapat diletakan oleh orang yang dapat mengoper tangankan benda jaminan.

17. Kuasa memasang hipotik.

18. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachig verkoop)
Artinya pada waktu dibuatnya perjanjian hutang-piutang dengan jaminan hipotik, orang tak
diperkenankan membuat janji seperti apa yang tersebut dalam Pasal 1178 ayat (1).

19. Pencantuman klausula tersebut dalam praktik


Bentuk-bentuk akta hipotik telah ditentukan termasuk klasula-klasulanya.

20. Pelaksanaan janji menjual (atas kekuasaan) sendiri..


Jika debitur wanprestasi, maka kreditur mempunyai kekuasaan untuk menjual benda jaminan
dihadapan umum.

21. Theorie Mandaat.


Yaitu pemegang hipotik dalam penjualan merupakan lasthebber dari pemilik barang jaminan.

22. Theorie Execusie yang disederhanakan.


Artinya kreditur pemegang hipotik menjual berdasar-kan Pasal 1178 ayat (2), pemegang hipotik
melaksanakan-
penjualan benda jaminan atas dasar kekuasaannya sendiri.

23. Parate Execusie


Artinya pemegang hipotik bisa menjual barang-barang jaminan sesudah debitur wanprestasi tanpa
melalui prosedur penyitaan lebih dahulu.

24. Hak dan Kewajiban dalam suatu Pelelangan berdasar-kan janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri.
Dalam menjual barang jaminan dalam suatu pelelang-an, pemegang hipotik cukup hanya
memberikan jaminan, bahwa ia memang berwenang untuk menjual.

25. Cara penjualan.


Bahwa cara penjualan harus dilakukan menurut ke-biasaan setempat dan dihadapan seorang
pejabat.

26. Masalah Grosse Akta.


Masalah Grosse Akta ini muncul berkaitan dengan hukum jaminan.

27. Arti Grosse.


Akta Grosse adalah salinan akta authentik, yang pada bagian atasnya diberi judul: DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang dapat dieksekusi
sebagai layaknya suatu keputusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum yang pasti.

28. Luasnya kewenangan Notaris mengeluarkan Akta Grosse


Notaris berhak mengeluarkan Grosse semua akta yang mengandung kewajiban obligatoir tertentu
1) Grosse Akta Notariil yang berisi kewajiban membayar sejumlah uang mempunyai kekuatan
execuriaal
Notaris mempunyai kewenangan yang luas untuk me-ngeluarkan grosse akta, tetapi hal itu
belum berarti, bahwa semua grosse akta notaris dapat dilaksanakan suatu ke-putusan
pengadilan, sebab untuk itu dilihat dulu apakah ada tersedia sarana untuk itu ?
2) Grosse akta notariil yang berisi kewajiban membayar sejumlah mempunyai kekuatan
executoriaal.
Dalam Pasal 440 Rv., bahwa tercantum dalam grosse akta dengan kata-kata “Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”, ini menunjukkan adanya kekuatan executorial seperti
dalam keputusan pengadilan.
Paling tidak dalam akta-akta tertentu dapat dikeluarkan dalam bentuk grosse, yaitu akta hipotik
dan akta notariil yang berisi suatu kewajiban membayar sejumlah uang, akta grosse
mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan pengadilan, sedang pelaksanaannya cukup
dengan me-nyerahkannya pada juru sita.
3) Pendapat yang sempit grosse akta pengakuan hutang murni
Suatu grosse akta pengakuan hutang yang menurut pihak Mahkamah Agung memenuhi syarat
dan karenanya mempunyai kekuatan executoriaal adalah:
a) berisi pengakuan murni
b) berupa pernyataan sepihak
c) besar hutang pasti
Akta-akta notariil dalam bentuk grosse, sekarang ada tiga pendapat:
a) Pendapat Notaris pada umumnya, semua akta yang mengandung suatu kewajiban obligatoir
dapat diberikan salinan dalam bentuk grosse.
b) Berdasar Pasal 440 Rv., Wajib membayar sejumlah uang dan mempunyai kekuatan
executoriaal.
c) Pendapat MA, Hanya akta pengakuan hutang notariil yang dibuat secara sepihak dapat
dikeluarkan dalam bentuk grosse dan mempunyai kekuatan eksekutorial.

29. Grosse Akta Hipotik


Dalam Pasal 224 HIR maupun Pasal 440, diatur tentang kekuatan eksekutoriaal dari grosse akta
hipotik dan grosse akta pengakuan hutang.

30. Pelaksanaan Grosse Akta Hipotik


Untuk pelaksanaan grosse akta hipotik, debitur harus sudah wanprestasi dan harus ada fiat dari
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.

31. Janji untuk tak menyewakan (huurbeding)


1) Pasal 1185 BW
Pemegang hipotik berhak memperjanjikan secara tegas, bahwa kekuasaan pemilik untuk
menyewakan benda-benda jaminan dibatasi.
2) Pelaksanaan janji ex Pasal 1185 BW.
Janji Pasal 1845 BW, sudah tertuang dalam Akta Hipotik ex PMA 11/1961, sehingga janji yang
demikian ini selalu diperjanjkan dalam hipotik.

32. Janji Asuransi.


Untuk menjaga nilai dan jaminan barang hipotik, maka kreditur boleh meng-ansuransikan barang-
barang tersebut.

33. Masalah pembersihan.


1) Tuntutan pembersihan Pasal 1210 BW.
Pasal tersebut mengatakan;” siapa yang membeli benda yang dibebani hipotik, baik pada suatu
pelelangan atas perintah Hakim maupun dalam penjualan scara sukarela, dapat menuntut
supaya persil yang dibeli itu dibebaskan dari segala beban hipotik yang melebihi harga
pembelian..”
2) Manfaat pembersihan.
Syarat untuk tuntutan pembersihan dalam penjual-an secara sukarela Pasal 1211 BW.
3) Syarat dalam pasal 1211 adalah:
- Penjualan diakukan di depan umum.
- Mengindahkan kbiasaan-kebiasaan setempat.
- Di hadapan pejabat umum.
- Rencana penjualan harus diberitahukan kepada para kreditur.
4) Janji untuk tidak dibersihkan Pasal 1210 ayat (2).
Penjualan mengadakan persekongkolan dengan pembeli, maka tuntutan pembersihan hanya
dibenarkan dalam penjualan di depan umum.

34. Akibat hipotik terhadap Pihak ketiga Pasal 1199 BW.


Pasal tersebut menegaskan ciri-ciri hipotik sebagai hak kebendaan dengan menyataka bahwa:
kreditur pemegang hipotik yang hipotiknya telah didaftarkan, mempunyai hak hipotik atas benda
jaminan tak perduli di tangan siapa benda tersebut berada.
Hipotik dan pihak ketiga Bezitter Pasal 1199 BW.
Kreditur pemegang hipotik berhak untuk, setelah memberikan sommatie kepada debitur, menjual
benda jaminan yang di-kuasai pihak ketiga.
Perimbangan besarnya beban hipotik. Yaitu sebanding dengan nilai jaminan milik debitur terhadap
nlai keseluruhan benda jaminan sbelum dilunasi.

35. Berakhirnya hipotik


Hipotik berakhir karena hapusnya perikatan pokok, sedangkan perikatan hapus karena
pembayaran, penawaran pembayaran, novatie, percampuran hutang, pemebebasan hutang,
dilepasnya hak hipotik, musnahnya benda, berakhir-nya hak memberi hipotik, berakhirnya jangka
waktu, ter-penuhinya syarat batal, pencabutan hak, karena adanya pe-netapan tingkatan-tingkatan
kedudukan kreditur oleh Hakim.

36. Pelaksanaan Roya hipotik yang diberikan untuk bank.


Pelaksanaan Roya dilakukan oleh kantor Agraria, sekarang kantor Pertahanan setempat setelah ada
permohon-an untuk itu.

37. Liku-liku roya.


Adanya prinsip hipotik tak dapat dibagi-bagi, adakalanya mengharuskan kita untuk berhati-hati
dalam meroya beban hipotik.

J. Hak Tanggungan
Dalam Hukum Perdata kita mengenal hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak
kebendaan yang memberi jaminan. Hak kebendaan yang memberi jaminan itu senantiasa tertuju
terhadap bendanaya orang lain, mungkin terhadap benda bergerak atau benda tak bergerak. Jika
benda jaminan itu tertuju pada benda tak bergerak maka hak kebendaan tersebut berupa hipotik,
sedang jika benda jamin-an itu tertuju pada benda bergerak maka hak kebendaan tersebvut berupa
Gadai.
Kedua macam hak kebendaan tersebut memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan
dan hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Oleh karena hipotik dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga mempunyai
sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de suite), yang terjadi
dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de preference, azas prioriteit) dapat dipindahkan
dan lain-lain. Selain itu baik hipotik maupun gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu
didahulukan dalam pe-menuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya.62

62
Undang-undang KUH Perdata Pasal 1133.
BAB V
HUKUM PERIKATAN
A. Pengaturan dalam Buku III BW
Hukum Perikatan ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Hukum perikatan terdiri atas :
1.  Perihal perikatan dan sumber-sumbernya
2.  Macam-macam perikatan
3.  Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
4.  Perikatan yang lahir dari perjanjian
5.  Perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
6.  Perihal hapusnya perikatan-perikatan
7.  Beberapa perjanjian khusus yang penting
Buku II BW terdiri atas suatu bagian umum dan satu bagian khusus. Bagian umum
memuat pertauran-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya ten-tang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian
khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam
masyarakat dan yang sudah mem-punyai nama-nama tertentu, misalnuya jual-beli, sewa-
menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking), dsb.
Buku III menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der
contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338, yang menerangkan bahwa
segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan
bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar
ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III, tetapi pada umumnya juga
dibolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III itu. Dengan kata
lain peraturan-peraturan yang di-tetapkan dalam Buku III BW itu hanya disediakan dalam hal
para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain petaruran-
peraturan dalam Buku III, pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap (aanvullend
recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.
Sistem yang dianut oleh Bukuk III itu juga lazim dinamakan system terbuka yang
merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh uku II perihal hokum perbendaan. Di situ orang
tidak dibolehkan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang
diatur dalam BW sendiri, di situ dianut suatu system tertutup.63
B. Sumber Perikatan
Menurut Pasal 1233, menyatakan bahwa Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Maka sumber perikatan itu adalah:
1. Karena suatu Kesepakatan atau Persetujuan.
2. Karena Undang-undang

C. Syarat-Syarat Perikatan
Sahnya suatu perikatan atau perjanjian terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi
adalah :
1.Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2.Cakap untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
3.Mengenai suatu hal tertentu
4.Suatu sebab yang halal.64

63
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Hal. 127-128
64
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.
D. Prestasi dan wanprestasi
Berikut adalah ketentuan Undang-undang KUH Perdata yang mengatur bila terjadi
wanprestasi dalam suatu per-ikatan:
Penggantian Biaya, Kerugian dan Bunga Karena Tidak Dipenuhinya Suatu Perikatan
Adalah :
1. Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak di-penuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan
itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
2. Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat
dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.
3. Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena
hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
4. Biaya, ganti rugi dan bunga, yang bo!eh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntung-an yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian
dan perubahan yang disebut di bawah ini.
5. Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang diharap atau sedianya
dapat diduga pada waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya.
6. Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, maka
penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan
kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak
dilaksanakannya perikatan itu.
7. Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai memenuhinya harus membayar
suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian, maka kepada pihak lain-lain tak boleh
diberikan suatu jumlah yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu.
8. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pem-bayaran sejumlah uang, penggantian
biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas
bunga yang ditentukan oleh undang-undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undang-
undang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu dibuktikan
adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian dan bunga itu baru wajib
dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang menetapkan bahwa hal
itu berlaku demi hukum.
9. Bunga uang pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasil-kan bunga, baik karena suatu
permohonan di muka Pengadilan, maupun karena suatu persetujuan yang khusus, asal saja
permintaan atau persetujuan tersebut adalah mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu
tahun.
10. Walaupun demikian, penghasilan yang dapat ditagih, seperti uang upah tanah dan uang sewa
lain, bunga abadi atau bunga sepanjang hidup seseorang, menghasilkan bunga mulai hari
dilakukan penuntutan atau dibuat persetujuan. Peraturan yang sama berlaku terhadap
pengembalian hasil-hasil sewa dan bunga yang dibayar oleh seorang pihak ketiga kepada kreditur
untuk pem-bebasan debitur.65

E. Keadaan Memaksa dan Risiko


Resiko merupakan kewajiabn memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian
diluar kesalahan salah satu pihak. Tentang resiko telah diatur dalam KUH Perdata Pasal 1237
yang berbunyi dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang tertentu, maka barang
itu se-menjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si ber-piutang. Perkataan tanggungan
dalam pasal ini adalah resiko.
65
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1243 sampai 1252
Dalam hal keadaaan memaksa, telah diatur dalam Pasal 1553 yang menyebutkan: Jika
selama waktu sewa, barang yang dipersewakan itu musnah diluar kesalahan salah satu pihak,
maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum. Dari perkataan gugur itu, disimpulkan bahwa
masing masing pihak itu tidak dapat menuntut sesuatu apa dari pihak lain-nya. Dengan kata lain
kerugian akibat kemusnahan itu dipikul seluruhnya oleh pemilik barang.66

F. Hapusnya perikatan
Dalam Pasal 1381 Perikatan hapus:karena pembayaran;
1. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan pe-nyimpanan atau penitipan;
2. karena pembaruan utang;
3. karena perjumpaan utang atau kompensasi;
4. karena percampuran utang;
5. karena pembebasan utang;
6. karena musnahnya barang yang terutang;
7. karena kebatalan atau pembatalan;
8. karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan
9. karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.

66
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Intermasa: 1987) Hlm. 59-63
DAFTAR BACAAN
Abdurrahman, H. SH. MH. 1990. Masalah Perwakafan dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita.
Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ali Rido. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. Hal. 7-10.

Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan berdasaarkan Pasal-pasal BW. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hal. 6-13

Basyir, Ahmad Azhar. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII

Brinz. A. “Lehrbuch der Pandecten”, 1883.

Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni.

Drion, H. Compendium Van Het Nederlands Vermogensrecht.

Friedrich Carl von Savigny/1985, System des heutigen romischen echts.

Houwing, Ph A.N. Subjektiefrecht, Rechtssubject, Rechtpersoon, hoofstuk III. Hal. 153

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Oenyebaran Kompilasi Hukum Islam.

Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kranenburg, “De gronndslagen der rechtswetenscap”, 1952, hlm 62; Men staat nu, meen bij het
begrip rechtspersoon inderdaat niet voor een fictie, maar voor een connsrictie van het
juridisch denken.

Marcel Planiol “Traitë elëmentaire de droit civil” 1982. Prof. Mr. W.L.P.A. Molengraaff “Leidraad
bij de boefening van het Nederlndse handelsrecht, 1948, I, par. 28
Oemar Salim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Otto von Gierke. 1873. “Das deutsche Geossenschafttsrecht”.

Paul Scholten Bregtein van der Grinten. Mr, pada Asser’s Handleiding tot debeoefening van het
Nederlands Burgerlijk Recht, Eerste Deel Personenrecht, Tweede Stuk, Veertegen
woordiging en Rechtpersoon, Hal. 88. tahun 1968.

Pitlo. A. Het Zakenrecht.

_____,1953. Het Persoonenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek. Ctakan ke-3.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1975. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.

Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta

Subekti, R. 1960. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

______, 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa


______, 1987, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Anda mungkin juga menyukai