MATERI
PENDAHULUAN
A. Istilah dan pengertian Hukum Perdata.
B. Luas Hukum Perdata Materiel dan Formil di Indonesia.
C. Sumber-sumber Hukum Perdata Tertulis.
D. Sejarah terjadinya sampai berlakunya BW di Indonesia.
E. Sistematika BW, kedudukan dan perkembangannya.
HUKUM KELUARGA
A. Hukum Perkawinan
1. Syarat sahnya perkawinan.
2. Larangan perkawinan.
3. Pencegahan perkawinan.
4. Hak dan kewajiban suami isteri.
5. Perkawinan berdasarkan Hukum Islam, Rukun Perkawinan.
6. Perjanjian Perkawinan dan Harta Perkawinan.
7. Putusnya Perkawinan.
8. Perceraian dan Akibatnya.
B. Hukum Waris
1. Pengertian.
2. Asas.
3. Unsur.
4. Ahli Waris Menurut Undang-Undang.
5. Ahli Waris Menurut Surat Wasiat.
HUKUM BENDA
1. Pengaruh berlakunya UUPA terhadap Buku II BW.
2. Sistem Buku II BW.
3. Pentingnya pembedaan benda bergerak dan benda tetap.
4. Hak kebendaan : arti dan macamnya.
5. Hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan.
6. Hak milik.
7. Bezit.
8. Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
9. Gadai dan fiducia.
10. Hak tanggungan.
HUKUM PERIKATAN
A. Pengaturan dalam Buku III BW
B. Sumber perikatan
C. Unsur-unsur perikatan
D. Prestasi dan wanprestasi
E. Keadaan memaksa dan risiko
F. Hapusnya perikatan
REFERENSI :
1. Sudikno Mertokusumo, SH.Prof.Dr, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta,
Liberty, 1999.
2. Supomo, SH.Prof.Dr, Sistem Hukum di Indo-nesia,Jakarta,Pradnya Paramita,1983,Cet.XII.
3. Azis Saifudin, Beberapa hal tentang BW, Bandung, Alumni, 1989, Cet. VI.
4. Ali Rido, SH., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan dan Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung, Alumni, 1991,Cet. IV.
5. Chaidir Ali, Badan Hukum, Bandung, Alumni, 1987, Cet. I.
6. H.Ahmad Azhar Basyir, MA., Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Pres, 1999, Edisi
I,Cet. IX.
7. Sri Sudewi Masjchun Sofwan, SH.Prof.Dr., Hukum Benda, Yogyakarta, Liberty, 1981,Cet.
IV.
8. Satrio J., SH., Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I.
9. Satrio J., SH., Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1993, Cet.I.
10. Setiawan R., SH. Pokok-pokok Hukum Perikatan, Jakarta, Bina Cipta, 1987, Cet.IV.
11. R. Soebekti, KUH Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994. Cet.26.
12. Ridwan Sakroni, Seluk Beluk Hukum Perdata,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”,
baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara
seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali
menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam
meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal
terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
1. Pengertian
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu
segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Secara terminologis, Hukum Perdata (Burgerlijk-recht) ialah rangkaian peraturan-
peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang
lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.1
1
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 214
b) Menyangkal sahnya anak
Jikalau seorang anak dilahirkan sebelumnya lewat 180 hari setelah hari
pernikahan orangtuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali
jika ia sudah mengetahui bahwa isterinya mengandung sebelum pernikahan
dilangsungkan atau jika ia hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat
kelahiran itu turut ditandatangani olehnya. Dalam kedua hal tersebut si ayah itu
dianggap telah menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.
Penyangkalan sahnya anak tidak tergantung pada terus berlangsungnya atau
dihapuskannya perkawinan, begitu pula tidak tergantung pada pertanyaan apakah anak
itu masih hidup atau telah meninggal, meskipun sudah barang tentu seorang anak yang
lahir mati tidak perlu disangkal sahnya.
Selanjutnya si ayah dapat juga menyangkal sahnya anak dengan alasan isterinya
telah berzina dengan lain lelaki, apabila kelahiran anak itu disembunyikan. Di sini si
ayah itu harus membuktikan bahwa isterinya telah berzina dengan lelaki lain dalam
waktu antara 180 dan 300 hari sebelum kelahiran anak itu.
Tenggang waktu untuk penyangkalan, ialah satu bulan jika si ayah berada di
tempat kelahiran anak, dua bulan sesudah ia kembali jikalau ia sedang bepergian waktu
anak dilahirkan atau dua bulan setelahnya ia mengetahui tentang kelahiran anak, jika
kelahiran itu disembunyikan. Apabila tenggang waktu tersebut telah lewat, si ayah itu
tak dapat lagi mengajukan penyangkalan terhadap anaknya.
Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan
oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim
dapat memakai bukti-bukti lain asal saja keadaan yang nampak keluar, menunjukkan
adanya hubungan seperti antara anak dengan orangtuanya.
Oleh hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang
wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Ibu si anak yang disangkal
itu, yang tentunya paling banyak mengetahui tentang keadaan mengenai anak itu dan
juga paling mempunyai kepentingan, haruslah dipanggil di muka hakim.
Mengenai penyangkalan terhadap anak Undang Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 44. Seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan, oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut (Pasal 44 (1). Pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan (Pasal 44 (2).
Mengenai Pembuktian tentang asal-usul anak menurut, Undang Undang No. 1
Tahun 1974 dalam Pasal 55 diatur sebagai berikut:
1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang
autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (Pasal 55 (1).
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat (Pasal 55 (2).
3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi
pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang
bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan (Pasal 55
(3).
c) Anak luar perkawinan
Anak yang lahir di luar perkawinan, dinamakan “naturlijk kind.” Ia dapat diakui
atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut oleh B.W. dengan
adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara
anak dengan orangtuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu
pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak
dengan orangtua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak
dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. hubungan itu
hanya dapat diletakkan dengan “pengesahan” anak (wettiging), yang merupakan suatu
langkah lebih lanjut lagi daripada pengakuan. Untuk pengesahan ini, diperlukan kedua
orangtua, yang telah mengakui anaknya, kawin secara sah. Pengakuan yang dilakukan
pada hari pernikahan juga membawa pengesahan anak. Jikalau kedua orangtua yang
telah kawin belum melakukan pengakuan terhadap anaknya yang lahir sebelum
pernikahan, pengesahan anak itu hanya dapat dilakukan dengan “surat-surat
pengesahan” (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. Dalam hal ini presiden harus
meminta pertimbangan Mahkamah Agung. Pengakuan anak tidak dapat dilakukan
secara diam-diam, tetapi harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil, dengan
pencatatan dalam akte kelahiran anak tesebut, atau dalam akte perkawinan orangtuanya
(yang berakibat pengesahan) atau dalam suatu akte tersendiri dari Pegawai Pencatatan
Sipil, bahkan dibolehkan juga dalam akte notaries.
Perlu diterangkan, bahwa undang-undang tidak membolehkan pengakuan
terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perbuatan zina (overspel) atau yang dilahirkan
dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin satu sama lain.
4) Pendewasaan (handlichting)
Dalam hal-hal yang sangat penting, adakalanya dirasa perlu untuk mempersamakan
seorang anak yang masih di bawah umur dengan seorang yang sudah dewasa, agar anak
tersebut dapat bertindak sendiri di dalam pengurusan kepentingan-kepentingannya. Untuk
memenuhi keperluan ini, diadakan peraturan tentang “handlichting,” ialah suatu
pernyataan tentang seorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya
untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan seorang yang sudah dewasa.
Permohonan untuk dipersamakan sepenuhnya dengan seorang yang sudah dewasa,
dapat diajukan oleh seorang anak yang sudah mencapai umur 20 tahun kepada presdien,
dengan melampirkan surat kelahiran atau lain-lain bukti yang menyatakan, ia telah
mencapai umur tersebut. Presiden akan memberikan keputusannya setelah mendapat
nasihat dari Mahkamah Agung yang untuk itu akan mendengar orang-orangtua anak
tersebut dan lain anggota keluarga yang dianggapnya perlu. Begitu pula dalam hal si
pemohon berada di bawah perwalian, wali dan wali pengawas akan didengar juga.
Apabila permohonan diluluskan, si pemohon tersebut memperoleh kedudukan yang
sama dengan seorang dewasa. Hanyalah dalm soal perkawinan terhadap orang itu masih
berlaku pasal-pasal 35 dan 37 B.W. perihal pemberian izin, yaitu ia masih juga harus
mendapat izin dari orangtuanya, atau dari hakim dalam hal izin orangtua itu dapat diganti
dengan perizinan hakim.
Pernyatan persamaan yang hanya meliputi beberapa hal saj, misalnya yang
berhubungan dengan pengurusan suatu perusahaan, dapat diberikan oleh Pengadilan Negeri
pada seorang anak yang sudah mencapai umur 18 tahun.
Di dalam praktik peraturan perihal “handlicting” ini sedikit sekali dipergunakan.
5) Pengampuan (curatele)
Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang
harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang
dewasa juga dapat ditaruh di bawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan
kekayaannya.
Dalam hal seorang sakit ingatan, tiap anggota keluarga berhak untuk memintakan
curatele itu, sedangkan terhadap seorang yang mengobralkan kekayaannya, permintaan itu
hanya dapat dilakukan oleh anggota-anggota keluarga yang sangat dekat saja. Dalam kedua
hal itu seorang suami atau isteri selalu dapat memintakan curatele terhadap isteri atau
suaminya. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang yang merasa dirinya kurang cerdas
pikirannya sehingga tidak mampu untuk mengurus sendiri kepentingan-kepentingannya,
dapat juga mengajukan permohonan supaya ia ditaruh di bawah curatele. Dalam hal seorang
yang menderita sakit ingatan, hingga membahayakan umum, jaksa diwajibkan meminta
curatele bila ternyata belum ada permintaan dari sesuatu pihak.
Permintaan untuk menaruh seorang di bawah curatele, harus diajukan kepada
Pengadilan Negeri dengan menguraikan peristiwa-peristiwa yang menguatkan persangkaan
tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang tersebut di bawah pengawasan, dengan
disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan
mendengar saksi-saksi ini. Begitu pula anggota-anggota keluarga dari orang yang dimintakan
curatele itu dan akhirnya orang itu sendiri akan diperiksa. Jikalau hakim menganggap perlu,
ia berwenang untuk selama pemeriksaan berjalan, mengangkat seorang pengawas sementara
guna mengurus kepentingan orang itu. Putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu
ditaruh di bawah curatele, harus diumumkan dalam Berita Negara. Orang yang ditaruh di
bawah curatele itu, berhak meminta banding (appel) pada Pengadilan Tinggi. Apabila
putusan hakim telah memperoleh kekuatan tetap, Pengadilan Negeri akan mengangkat
seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang yang sudah kawin sebagai pengampu
harus diangkat suami atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang penting yang tidak
mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu ditetapkan, bahwa pengawasan
atas curatele itu diserahkan pada Weeskamer.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah curatele, sama seperti seorang yang
belum dewasa. Ia tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan
tetapi seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya,
menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih dapat melakukan
perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia selalu
harus mendapat izin dan bantuan kurator serta Weeskamer. Bahwa seorang yang ditaruh di
bawah curatele atas alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak
dapat melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk perbuatan-perbuatan
tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan yang bebas.
2
Bhs Belanda, artinya prinsip perlawanan beberapa bidang hukum di Indonesia dan di negeri Belanda pada masa
penjajahan Belanda.(Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 81)
3
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal: 209-210.
c. Hukum Kekayaan,
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita
mengatakan tentang kekaya-an seseorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan
kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban–kewajiban yang demikian
itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-
hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya dinamakan hak mutlak dan dinamakan
hak perseorangan. Hak mutlak yang memberikan ke-kuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasa-an atas suatu
benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang atas
suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang untuk memakai
sebuah merek, dinamakan hak mutlak saja.
d. Hukum Waris
Mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga
dapat dikatakan, Hu-kum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta
peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris
lazim-nya ditempatkan tersendiri.4
Ruang lingkup pembahasan Hukum Waris adalah:
1) hak mewarisi menurut undang-undang
2) menerima atau menolak warisan
3) perihal wasiat (Testament)
4) Fidei-commis. Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan
ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si
waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang
sudah ditetapkan dalam testament.
5) legitieme portie. ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak
dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
6) perihal pembagian warisan
7) executeur-testamentair dan Bewindvoerder: ialah orang yang akan
melaksanakan wasiat.
8) harta peninggalan yang tidak terurus
5
Ibid. Hal. 17-18
BAB II
TENTANG ORANG SEBAGAI SUBYEK HUKUM
A. Pengertian Orang sebagai Subyek Hukum
Manusia adalah pendukung hak dan kewajiban, Lazim-nya dalam hukum dikenal dengan
istilah subjek hukum (subjectum juris). Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subjek hukum,
karena masih ada subjek hukum lainnya, yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat
mempunyai hak dan kewajiban, termasuk badan hukum (rechtpersoon).6
Subjek Hukum adalah yang berhak atas hak-hak subjektif dan pelaku dalam hukum
objektif. Subjek hukum dalam hukum positif adalah orang (persoon)7
2. Dalam lapangan hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama sekali tidak dapat
bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat menjadi wali. Pasal 265 KUH Perdata
mengatakan:
“Dalam segala hal, hakim harus mengangkat seorang wali, perwalian itu boleh diperintahkan
kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada
suatu Yayasan atau Lembaga amal yang bertempat kedudukan di sini pula, yang menurut
anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya atau reglemen-reglemennya berusaha memlihara
anak-anak belum dewasa untuk waktu lama”.
Berbeda juga dengan manusia, badan hukum tidak dapat meninggal dunia akibat bubarnya
badan hukum, harta kekayaan tidak boleh berpindah kepada ahli warisnya sebagaimana pada
manusia. Ahli-ahli waris, badan hukum tidak memilikinya (Pasal 830 KUH Perdata), juga tidak
dapat membuat surat wasiat, karena untuk dapat membuat suatu surat wasiat, seseorang harus
mempunyai budi akalnya (Pasal 895 KU H Perdata).
11
A. Pitlo. 153.Het Persoonenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek. Ctakan ke-3. H. 473.
12
Friedrich Carl von Savigny, System des heutigen romischen echts. 1866
teori fiktif ini dapat disebut Houwing dalam disertasinya Subjectief recht, rechtsutsujecten
rechtspersoon (Leiden 1939), juga Lengemeyer, di dalam hal. 17113.
19
Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal 55-59
hukum sepenuhnya sama dengan orang, sehingga selain dengan tegas sebagai dikecualikan, badan
hukum mempunyai kemampuan dalam hukum perikatan dan kebendaan. Badan Hukum mampu
melakukan hubungan-hubungan hukum atau mengadakan perjanjian-perjanjian baik tertulis atau
tidak tertulis dengan pihak ketiga, Badan Hukum mempunyai hak-hak perdata baik atas benda ber-
gerak dan tidak bergerak, benda-benda berwujud ataupun tidak berwujud. Badan Hukum dapat
memakai nama dan dapat pula melakukan perbuatan-perbuatan melawan hukum.
Pengecualian dan pembatasan terhadap kemampuan badan hukum biasanya diatur secara
tegas dalam peraturan perundangan. Seperti menurut Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun
1960, badan hukum tak dapat mempunyai hak milik atas tanah, kecuali badan-badan hukum
tertentu saja yang boleh (paragraf VII.3. berikut). Dalam KUH Perdata ada juga pembatasannya,
yaitu mengenai hak pakai hasil (vruchtgebruik) tersebut dalam Pasal 810 bahwa: hak pakai hasil
kepada badan hukum (zadelijk lichaam) berlangsung tidak lebih dari tiga puluh tahun. Sedang
Pasal 808 kepada orang, berakhir sampai matinya orang terakhir dari beberapa orang pemegang
hak itu (ayat 1). Di samping itu menurut Pasal 808 ayat (2): kalau badan hukum sudah bubar
sebelum tiga puluh tahun, hak pakai hasil berhenti.
Hal tersebut merupakan pengecualian yang umum dan ada lagi pengecualian yang lain (tidak
umum), yaitu hak pakai dan hak mendiami (hak gebruik dan bewoning). Menurut Pasal 821, 824,
dan 825 hak pakai dan mendiami hanya ditujukan untuk orang yang dapat memiliki dan menik-
matinya, sedang badan hukum tidak dapat. Ini yang lazim. Tetapi A Pitlo menyangkal, mengapa
badan hukum dikecuali-kan? Menurut Pitlo memang pada waktu BW dibuat pada permulaan abad
ke-19 itu, figuur rechtpersoon belum dikenal, jadi peraturan BW hanya menyebut mengenai
natuurlijk personen saja.
Di luar hukum kekayaan, badan hukum dapat men-jadi wali (Pasal 365 KUH Perdata). Tetapi
dalam hukum keluarga, badan hukum tidak dapat bergerak. Berlainan dengan manusia, yang dapat
meninggal dunia dan mem-punyai ahli waris untuk mewarisi harta kekayaan yang ditin-
ggalkannya, hal demikian tidak ada pada badan hukum (Pasal 830). Bahkan badan hukum tidak
dapat membuat surat wasiat (Pasal 895 KUH Perdata).
Mengenai badan hukum publiekrechtelijk berakhirnya bila dibubarkan oleh yang
membentuknya, misalnya kalau propinsi itu didirikan (ingesteld) oleh undang-undang, maka
pembubarannya juga harus oleh undang-undang. Sedang mengenai badan hukum
privaatsrechtelijk itu bubarnya menurut anggaran dasarnya, atau bila objek dari badan hukum itu
tidak ada lagi. Biasanya pada Perseroan Terbatas dalam anggaran dasarnya ditentukan
berlangsungnya sampai 75 tahun, atau untuk perhimpunan berlangsungnya sampai 30 tahun seperti
Taman Siswa, Muhammadiyah dan sebagainya.
Apakah orang dapat melakukan penghinaan terhada badan hukum? Menurut Pitlo dapat saja,
sebab badan hukum mempunyai nama yang dilindungi dalam Handelsnaamwet (Stb. 1921-842).
Demikian pula menurut Paul Scholten bahwa penghinaan dalam penggugatan berdasar Pasal 1365
KUH Perdata. Tetapi dalam yurisprudensi Belanda, yaitu menurut putusan Hoge Raad tanggal 16
Pebruari 1891 bahwa peng-hinaan dalam hukum pidana hanya terhadap manusia. Kemudian
keputusan Hoge Raad tanggal 10 Januari 1896 menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan pengertian
peng-hinaan antara hukum perdata dan hukum pidana. Dengan demikian Pasal 1372 KUH Perdata
tentang penghinaan bagi badan hukum tidak berlaku20.
F. Yayasan
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang
tidak mempunyai anggota21.
Pendirian yayasan di Indonesia sampai saat ini hanya berdasar atas kebiasaan dalam
masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung, karena belum ada undang-undang yang
mengaturnya. Fakta menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan yayasan dengan maksud
untuk berlindung di balik badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah
20
Chidir Ali. 1999. Badan Hukum. Bandung: Alumni. Hal. 168-169
21
Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan, kemanuasiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.
Sejalan dengan kecenderungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang
berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang trercantum
dalam anggaran dasar, sengketa antara pengurus dan pendiri atau pihak lain, maupun adanya
dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung ke-kayaan yang berasal dari para pendiri atau
pihak lain yang diperoleh secara melawan hukum. Masalah tersebut belum dapat diselesaikan
secara hukum karena belum ada hukum positif mengenai Yayasan sebagai landasan yuridis pe-
nyelesaiannya.
Undang-undang yayasan dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan
fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan. Undang-undang yayasan menegaskan bahwa Yayasan adalah suatu
badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan,
didirikan dengan memperhati-kan persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang
yayasan.
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta notaris dan memperoleh status badan hukum
setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi
pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah
berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang yayasan.
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan bagi masyarakat, permohonan
pendirian Yayasan dapat diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehaki-man dan
Hak Asasi Manusia yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Di samping itu
Yayasan yang telah memperoleh pengesahan harus diumukan dalam Berita Negara Republik
Indonesia. Ketentuan ini dimaksudkan pula agar Registrasi Yayasan dengan pola penerapan
administrasi hukum yang baik dapat mencegah praktek perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan
yang dapat merugikan masyarakat.
Untuk mewujudkan mekanisme penegasan publik terhadap Yayasan yang diduga
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan
kepentingan umum, Undang-undang yayasan me-ngatur tentang kemungkinan pemeriksaan
terhadap Yayasana yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penepatan Pengdailan atas permohonan
tertulis pihak ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili ke-
pentingan umum.
Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat social, keagamaan dan
kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas.
Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ Yayasan yang
dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik intern Yayasan yang tidak hanya dapat
merugikan kepentingan Yayasan melainkan juga pihak lain.
Pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan yayasan dilakukan sepenuhnya oleh
pengurus. Oleh karena itu, pengurus wajib membuat laporan tahunan yang disampaikan kepada
Pembina mengenai keadaan keuangan dan per-kembangan kegiatan Yayasan. Selanjutnya,
terhadap Yayasan yang kekayaannya berasal dari nagara, bantuan pihak luar negeri atau pihak lain,
atau memiliki kekayaan dalam jumlah yang ditentukan dalam undang-undang, kekayaan wajib
diaudit oleh akuntan punblik dan laporan tahunannya wajib diumumkan dalam surat kabar
berbahasa Indonesia. Ketentuan ini dalam rangka penerapan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas
pada masyarakat.
Dalam undang-undang yayasan diatur pula mengenai kemungkinan penggabungan dan
pembubaran Yayasan baik karena atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan
penetapan atau putusan Pengadilan dan peluang bagi Yayasan asing untuk melakukan kegiatan di
wilayah Negara Republik Indonesia sepanjang tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara
Republik Indonesia.22
22
Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
G. Wakaf
1. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977
Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 dan berbagai peraturan pelaksanaannya
telah ditegaskan bagaimana pengertian, fungsi, unsur dan syarat-syarat perwakafan tanah.
a. Pengertian:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakan-nya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran Agama Islam (Pasal 1 ayat (1) PP. No. 28/1977 dan Pasal 1 sub B Peraturan Menteri
Agama No. 1 Tahun 1978).
b. Fungsi Wakaf
Untuk mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan wakaf
ini maka manfaat tanah yang bersangkutan dapat dilakukan, apakah untuk keperluan
peribadatan, seperti untuk masjid, musalla atau untuk keperluan umum lainnya sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam.
c. Unsur-unsur perwakafan
Orang yang berwakaf disebut WAKIF. Wakif menurut PP. No. 28/1977 adalah orang
atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Untuk adanya wakaf
diperlukan adanya suatu IKRAR atau pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah
miliknya, kelompok orang, atau badan hukum. Yang di-serahi tugas untuk pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf disebut NAZIR.
Badan hukum Indonesia dan orang-orang atau orang-orang yang telah dewasa dan
sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak-pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya
dengan memperhatikan pertauran-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal
badan hukum, maka yang bertindak atasnamanya adalah pengurusnya yang sah menurut
hukum.
23
H Abdurrahman, SH. MH. 1990. Masalah Perwakafan dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. Bandung:
Citra Aditya Bakti. Hal. 29-35
BAB III
HUKUM KELUARGA
A. Hukum Perkawinan
1. Syarat sahnya perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No 1
tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.24
2. Larangan perkawinan
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman
susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.25
g. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 (2) dan Pasal 4 undang-undang ini.26
h. Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.27
i. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Tidak boleh
melangsungkan pernikahan dalam masa iddah.28
3. Pencegahan perkawinan
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.29 Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang
calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal
ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai
berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan
kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang
seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.30
24
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) dan (2)
25
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 8
26
Ibid. Pasal 9
27
Ibid. Pasal 10
28
Ibid. Pasal 11 ayat (1)
29
Ibid. Pasal 13
30
Ibid. Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah ber-langsungnya perkawinan apabila ketentuan-
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1),31 Pasal 8,32 Pasal 9,33 Pasal 1034 dan Pasal 1235 Undang-undang ini
tidak dipenuhi. Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.36
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan
akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kepada
calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.37
Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada
larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di
dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan.
oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut
disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak
mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan
yang me-ngadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan
surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara
singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah
memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketentuan ini hilang kekuatannya, jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin
kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.38
31
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
32
Lihat tentang larangan perkawinan.
33
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
34
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
35
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
36
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 16
37
Ibid. 1974 Pasal 17
38
Ibid. Pasal 21 ayat (1) sampai (5).
39
Ibid. Pasal 30
40
Ibid. Pasal 31
41
Ibid. Pasal 33
42
Ibid. Pasal 34 ayat (1) sampai (3)
43
Ahmad Azhar Basyir. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII: Hal. 11
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai dengan ajaran Allah dan Rasulnya.44
7. Putusnya perkawinan
Perkawinan putus karena:
a. Kematian
b. Perceraian dan
c. atas keputusan pengadilan
B. Hukum Waris
1. Pengertian
44
Ibid
45
Disarikan dari Kompilasi Hukum Islam, BAB VII Tentang PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 45-52.
Warisan, yaitu suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam
masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya
seorang manusia.46
2. Asas
Dalam hukum waris berlaku suatu asas:
a. Bahwa hanyalah hak-hak dam kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekyaan harta
benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban
kepribadian, seperti hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai suami atau sebagai ayah tidak
dapat diwariskan, begitu pula hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai seorang anggota
perkumpulan. Tetapi ada kekecualian, misalnya hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya
anaknya dan di pihak lain hak seorang anak untuk menuntut suapaya ia dinyatakan sebagai
anak yang sah dari bapak atau ibunya, menurut undang-undang beralih pada (diwarisi oleh) ahli
waris dari masing-masing orang yang mempunyai hak-hak itu. Sebaliknya ada juga hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang terletak dalam lapanga hukum perbendaan atau per-janjian,
tetapi tidak beralih pada ahli waris si meninggal, misalnya hak vruchtgebruik atau suatu
perjanjian perburuhan dimana seorang akan melakukan akan melakukan suatu pekerjaan
dengan tenaganya sendiri. Atau suatu perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk
maatschap (perseroan) menurut BW, maupun yang berbentuk firma menurut WvK yang
menurut undang-undang diakhiri dengan meninggalnya salahsatu anggota atau pesero.
b. Bahwa apabila seorang meninggal, maka ketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang
berbunyi le mort saisit le vit, sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si
meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan saisine.47
3. Unsur
Di atas telah disinggung sedikit unsur-unsur hukum waris BW, yakni pewaris, ahli waris dan
harta warisan. Ketiga unsur hukum waris ini diangkat kembali dan dibahas agak lebih luas dengan
maksud para pembaca tidak sekedar berkenalan dengan unsur-unsur hukum waris tersebut tetapi
dapat me-ngetahui seluk beluknya masing-masing.
a. Pewaris
Siapa yang layak disebut sebagai pewaris? Banyak kalangan memberi jawaban atas
pertanyaan ini dengan menunjuk bunyi pasal 830 BW, yaitu setiap orang yang telah meninggal
dunia. Kelemahan jawaban ini adalah kalau yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan
sedikit pun harta benda. Hukum waris tidak akan dipersoalkan kalau orang yang telah
meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda. Maka unsur-unsur yang mutlak harus
dipenuhi untuk layak disebut sebagai pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan harta kekayaan.
b. Ahli Waris
Pertanyaan serupa di atas dapat juga diajukan untuk masalah ahli waris. Siapa yang layak
disebut sebagai ahli waris? Dalam garis besarnya ada dua kelompok orang yang layak untuk
disebut sebagai ahli waris. Kelompok pertama adalah orang atau orang-orang yang oleh hukum
atau UU (maksudnya KUH Pertada/BW) telah ditentukan sebagai ahli waris dan kelompok
kedua adalah orang atau orang-orang yang menjadi ahlim waris karena pewaris dikala
hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perbuatan hukum
pengakuan anak, perbuatan hukum pengangkatan anak atau adopsi dan perbuatan hukum lain
yang disebut testemen atau surat waris.
46
Oemar Salim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 2
47
Subekti. 1982. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.Hal. 95-96.
Ahli waris menurut UU dari atas 4 (empat) golongan. Golongan pertama terdiri dari suami atau
istri yang hidup terlama ditambah anak atau anak-anak serta sekalian keturunan anak-anak
tersebut (Pasal 832, 852 dan 852 a KUH perdata). Golongan kedua terdiri atas ayah dan ibu
(keduanya masih hidup), ayah atau ibu (salah satunya telah meninggal dunia) dan saudara/i
serta sekalian keturunan saudara/i tersebut (Pasal 854, 855, 856 dan 857 KUH perdata).
Golongan ketiga terdiri atas kakek-nenek garis ibu dan kakek nenek garis atau pihak ayah.
Menurut Pasal 835 KUH perdata, apabila si yang meninggal dunia tidak meninggalkan
keturunan maupun suami atau istri maupun saudara/i, maka harta warisan dikloving (dibagi
dua, satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas dan satu
bagian lainnya untuk sekalian keluarga sedarah garis ibu lurus ke atas. Dan golongan keempat
terdiri dari sanak keluarga pewaris dalam garis menyimpang sampai derajat ke enam dan
derajat ketujuh karena pergantian tempat. Penggolongan ahli waris tersebut di atas selanjutnya
dapat dilihat pada Peragaan berikut:
c. Harta Warisan
Tidak otomatis harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia adalah
harta warisan. Untuk memastikan apakah harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah
meinggal dunia termasuk harta warisan atau bukan perlu diketahui lebih dahulu status hukum
perkawinannya dan hal-hal lain yang membebani harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah
meinggal dunia tersebut.
Status hukum perkawinan menurut KUH Perdata terdiri atas 3 (tiga) kategori. Pertama,
perkawinan yang dilangsungkan dengan perjanjian kawin bahwa antara suami-istri yang
bersangkutan tidak ada percampuran harta benda atau harta kekayaan. Kedua, perkawinan yang
dilangsungkan dengan perjanjian kawin bahwa antara suami-istri yang bersangkutan ada
percampuran harta benda secara bulat. Dan ketiga, perkawinan yang dilangsungkan dengan
perjanjian kawinbahwa antaran suami-istri yang bersangkutan ada percampuran harta benda
tetapi ada pengecualiannya. Kategori terakhir ini misalnya suami-istri melangsungkan
perkawinan dengan perjanjian kawin ada percampuran harta kekayaan, namun suami atau calon
suami menghendaki agar mobil yang diperolehnya selama masih bujangan dan masih
dipakainya untuk keperluan sehari-hari tidak masuk atau dikecualikan dari percampuran harta
benda. Landasan hukum dari status hukum perkawinan jenis terakhir ini adalah pasal 139 KUH
Perdata yang mengatakan bahwa dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami-
istri dapat menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan UU sekitar persatuan harta
kekayaan sepanjang tidak menyalahi tata susila.
Hal-hal lain yang mebebani harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal
dunia misalnya sewaktu masih hidup telah mengadakan perjanjian utang piutang dengan pihak
lain yang sampai saat ia meninggal dunia, utang tersebut belum juga dibayar. Demikian juga
masalah pajak yang belum dibayar dan biaya-biaya lain yang digunakan untuk keperluan
pemakaman pewaris.
Bisa saja terjadi perkawinan dilangsungkan tanpa didahului pernajijian kawin. Apakah
akibat hukunya jika perkawinan dilangsungkan tanpa didahului perjanjian kawin? Jawwaban
atas pertanyaan ini adalah ketentuan Pasal 119 KUH Perdata yang mengatakan bahwa mulai
saat per-kawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan
suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Maksud dari ketentuan Pasal 119 ini adalah apabila suami-istri sewaktu melangsungkan
perkawinan tidak membuat perjanjian tentang harta kekayaan, maka demi hukum terjadi
percampuran harta kekayaan secara bulat.
Akibat dari perkawinan yang dilangsungkan dengan percampuran harta kekayaan, baik
karena perjanjian kawin maupun demu hukum (pasal 119), tidak semua harta kekayaan yang
ditinggalakan oleh orang yang meninggal dunia termasuk harta warisan. Pasal 128 KUH
Perdata mengatakan bahwa tatkala persatuan bubar, maka harta kekayaan persatuan dibagi 2
(dua) antara suami dan istri dengan tidak mempersolakan dari pihak manakah harta kekayaan
tersebut diperoleh. Maksudnya, ½ (setengah) bagian dari harta peninggalan adalah harta
warisan, sedangkan ½ (setengah) bagian lainnya adalah hak suami yang masih hidup (hidup
terlama) sebagai akibat dari perkawinan percampuran harta kekayaan (pasal 128). Namun
pembelahan aras 2 (dua) bagian yang sama tersebut baru dilakukan setelah dikurangi dengan
beban-beban seperti beberapa contoh di atas.
Contoh soal berikut mudah-mudahan dapat membantu pemahaman atas penjelasan di
atas. Pewaris ber-nama P (suami) dan Istri bernama Q. Perkawinan P –Q dilangsungkan dengan
perjanjian kawin bahwa ada per-campuran harta kekayaan, namun sebuah mobil Mercedez
yang diperoleh P dari harta warisan ayahnya tidak masuk dalam percampuran harta benda
perkawinan tersebut . Total biaya pemakaman P = Rp 30 Juta. Sewaktu masih hidup ada utang
di Bank Negara (kredit) sebesar Rp 50. Juta. Harta peninggalan P terdiri dari sebidang tanah
HM. Senilai Rp 100 Juta, 2 (dua) bidang tanah HGB dengan nilai total keduanya Rp 300 juta
dan sebuah perusahaan Garmen senilai Rp 500 juta. Perlu ditambah bahwa semua beban atau
utang selama masih hidup dan untuk kepentingan bersama suami-istri termasuk beban harta
persatuan dan segala biaya untuk keperluan pemakaman termasuk beban warisan. Sedangkan
mobil pribadi P senilai Rp 100 juta.
Jadi untuk mengetahui berapa bessar harta warisan bersih P dapat dibuat skema seperti
berikut;
Pembagian harta warisan tidak terlampau sulit manakala perkawinan dilangsungkan
dengan perjanjian bahwa ada percampuran harta atau tidak ada percampuran harta benda
perkawinan.48
48
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan berdasaarkan Pasal-pasal BW. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hal. 6-13
49
Pasal 832,852 dan 852 a KUH Perdata
50
Pasal-pasal 854,855,856 dan 857 KUH Perdata.
51
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada: 2000). Hlm.7
BAB IV
HUKUM BENDA
A. Pengaruh berlakunya UUPA terhadap Buku II BW
Dalam Buku II KUH Perdata diatur macam-macam hak kebendaan, akan tetapi dalam
membicarakan macam-macam hak kebendaan dalam buku II itu harus diingat berlakunya Undang-
Undang No 5 tahun 1960 yaitu Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam undangt-undang tersebut
ditentukan bahwa semua hak yang bertalian dengan bumi, air dan segala kekayaan alam yang ada
didalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik, dicabut berlakunya dari buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
B. Sistem Buku II BW
Buku II KUH Perdata: Menggunakan sistem tertutup artinya orang tidak diperkenankan
untuk menciptakan hak kebendaan lain, selain apa yang sudah ada dalam Buku II tersebut.
Yang dimaksud dengan Benda dalam Buku II ialah apa saja yang dapat dijadikan hak
seseorang baik berujud maupun benda tak berujud.
52
A. Pitlo, Het Zakenrecht, Hal 25
53
H. Drion, Compendium Van Het Nederlands Vermogensrecht. Hal: 13
54
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta, Liberti : 1981) Hlm. 22.
1. Bezit.
Mengenai bezit misalnya – terhadap barang bergerak berlaku azas seperti yang tercantum
dalam Pasal 1977 KUH Perdata, yaitu bezitter dari barang bergerak adalah sebagai eigenaar
dari barang tersebut. Sedangkan kalau mengenai barang tak bergerak tidak demikian halnya.
2. Levering (penyerahan)
Mengenai levering terhadap benda bergerak itu dapat dilakukan dengan penyerahan
nyata, sedangkan terhadap benda tak bergerak dilakukan dengan balik nama. Mengenai
levering dari benda tak bergerak ini praktek di Indonesia lain dari pada di Nederland.
Di Indonesia mengenai levering terhadap barang-barang tak bergerak itu berdasarkan
Pasal 24 OV (Bepalingen omtrent de invoeiring van en de overgang tot de nieuwe wetgeving)
masih mendasarkan pada peraturan atau cara yang lama yaitu berdasarkan Overschrijvings
Ordonantie (S-1834 no. 27).
Pasal 24 OV pokoknya berbunyi:
Aturan-aturan yang berbunyi mengenai cara levering dari barang-barang tak bergerak
dengan pengumuman acte-acte sebagaimana dimuat dalam Pasal 616-620 KUH Perdata
untuk sementara tetap tidak berlaku yang berlaku ialah peraturan-peraturan yang berlaku
sekarang ada (overschrijving Ordonantie) sampai ditentukan yang lain.
3. Verjaing (kadaluarsa)
Mengenai Verjaring, ini juga berlainan. Terhadap benda-benda bergerak itu tidak dikenal
verjaring sebab bezit disini sama dengan eigendom atas benda bergerak itu, sedang untuk
benda-benda tak bergerak mengenal adanya verjaring.
4. Bezwaring (pembebanan)
Mengenai bezwaring (pembebanan) terhadap benda bergerak harus dilakukan dengan
pand (gadai) sedang terhadap benda tak bergerak harus dilakukan dengan hipotik.55
b. Eigendom,
Ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom
(milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
memberikan,, bahkan merusak)
c. Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain,
Ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan
lain yang berbatasan.
d. Pand dan Hypotheek,
Ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi
dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e. Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage)
55
Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta, Liberti : 1981) Hlm. 22-23.
56
Ibid. Hlm. 24.
Ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu
berdasarka sifat piutang.
f. Hak reklame,
Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak
melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.
a. Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan (zakelijk genotsrecht) ini dapat
atas bendanya sendiri dapat juga atas benda milik orang lain:
1) Yang bersifat memberi kenikmatan atas benda milik sendiri, misalnya: hak milik atas
benda bergerak/benda yang bukan tanah. Bezit atas benda tanah/benda yang bukan
tanah.
2) Yang bersifat memberi kenikmatan, tapi atas benda milik orang lain. Bezit atas benda
bergerak/benda yang bukan tanah. Hak memungut hasil atas benda bergerak/benda
yang bukan tanah. Hak pakai dan mendiami atas benda bergerak/benda yang bukan
tanah.
F. Hak milik
1. Pengertian Hak milik
Pasal 570 KUH Perdata: Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan
sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, sal tak dipergunakan
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum oleh kekuasaan yang mempunyai
wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain;
kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak itu untuk
kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan
undang-undang.
G. Bezit
1. Pengertian Bezit
Pasal 529 KUH Perdata: Bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda dimana
seseorang menguasainya, baik sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, seolah-olah itu
adalah kepunyaannya sendiri.
Seacara singkat, bezit ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda
seolah-olah kepunyaan sendiri, yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan
hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
3. Fungsi bezit
Bezit itu mempunyai 2 fungsi, yaitu: Fungsi polisionil dan fungsi zakenrechtelijk
a. Fungsi polisionil
Bezit itu mendapat perlindungan dari hukum. Hukum mengindahkan keadaan kenyataan itu
tanpa memper-soalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa
yang membezit suatu benda (sekalipun dia pencuri) maka ia mendapat perlindungan dari
hukum, sampai terbukti (di muka pengadilan) bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Jadi
barang siapa yang merasa haknya terlanggar harus minta penyelesaian terlebih dahulu pada
polisi atau pengadilan. Itu yang dimaksud fungsi polisionil dari bezit. Fungsi polisionil ada
pada setiap bezit.
b. Fungsi zakenrechtelijk
Setelah beberapa waktu tertentu keadaan kenyataan (bezit) itu berjalan tanpa adanya protes
dari pemilik yang sebelumnya, maka keadaan kenyataan itu akan barulah menjadi hak.
Yang tadinya bezit itu akan berubah menjadi hak milik, yaitu dengan melalui lembaga
verjaring. Itulah yang dimaksud dengan Fungsi zakenrechtelijk dari bezit. Fungsi
zakenrechtelijk itu tidak ada pada setiap bezit, hanya ada pada burgerlijk bezit saja.57
g. Gadai diperjanjikan.
Artinya terjadinya gadai itu dengan memperjanjikannya.
j. Gadai Ulang.
Gadai ulang ini bisa dilaksanakan dan pemegang gadai kedua lebih kuat kedudukannya.
2. Fiducia
Pengertian:
Pendelegasian wewenang pengolahan uang dari pemilik uang kepada yang didelegasi58
c. Ciri-ciri Fiducia.
1) Ciri Umum.
Debitur dalam memberikan jaminan kepada kreditur atas janji-janjinya, menyerahkan hak
miliknya atas benda kaminan secara kepercayaan kepada kreditur, tetapi dengan janji,
58
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka CiptaHal 129
59
Sudarsono. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 372
60
Subekti. 1995. Pokok Pokok Hukum Perdata. Cet. XXVII. Jakarta: Intermasa. Hal. 78.
bahwa apabila debitur telah me-menuhi semua kewajibannya, maka hak milik atas benda
jaminan otomatis kembali kepada debitur.
2) Hak-hak Kreditur.
a) Hak-hak kreditur dalam hal Debitur wanprestasi.
Dalam hal debitur wanprestasi, maka kreditur berhak dan wajib untuk menjual benda
jaminan di depan umum.
b) Hak-hak kreditur dalam perjanjian Fiducia dengan Bank sebagai Kreditur.
Bank memperjanjikan bahwa dalam hal debitur wanprestasi, bank diberi kuasa untuk
menjual didepan umum maupun dibawah tangan.
c) Akibat Hukumnya terhadap Pihak Ketiga
Perlindungan kepada pihak ketiga yang mengoper benda bergerak tidak atas nama dari
seorang beziter hanya diberikan kepada yang beriktikad baik.
d) Penyerahan Hak Milik
Penyerahan hak milik dilakukan dengan constitutum possesorium. (penyerahan
benda/barang kepada pihak yang bergerak, benda/ barang dalam penguasaan orang
lain)61.
e) Fiducia atas Barang Bergerak
Fiducia memang diperuntukan untuk barang-barang bergerak.
f) Fiducia atas Barang dagangan.
Yang dimaksud barang dagangan adalah barang da-gangan yang dapat diganti, yang
ditentukan menurut jenis.
e. Masalah Fiducia
Yaitu apakah fiducia bukan merupakan pelanggaran atas ketentuan syarat gadai?, dan
karenanya bertentangan dengan undang-undang.
3. HIPOTIK
1. Tinjauan Umum
Berbicara tentang hipotik orang tak dapat melepaskan diri dari pembicaraan tentang Hukum
Agraria, selain itu pula tidak ada pegangan yang jelas terhadap ketentuan hukum problematikanya..
2. Perumusan
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas barang-barang tak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
18. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachig verkoop)
Artinya pada waktu dibuatnya perjanjian hutang-piutang dengan jaminan hipotik, orang tak
diperkenankan membuat janji seperti apa yang tersebut dalam Pasal 1178 ayat (1).
24. Hak dan Kewajiban dalam suatu Pelelangan berdasar-kan janji untuk menjual atas
kekuasaan sendiri.
Dalam menjual barang jaminan dalam suatu pelelang-an, pemegang hipotik cukup hanya
memberikan jaminan, bahwa ia memang berwenang untuk menjual.
J. Hak Tanggungan
Dalam Hukum Perdata kita mengenal hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak
kebendaan yang memberi jaminan. Hak kebendaan yang memberi jaminan itu senantiasa tertuju
terhadap bendanaya orang lain, mungkin terhadap benda bergerak atau benda tak bergerak. Jika
benda jaminan itu tertuju pada benda tak bergerak maka hak kebendaan tersebut berupa hipotik,
sedang jika benda jamin-an itu tertuju pada benda bergerak maka hak kebendaan tersebvut berupa
Gadai.
Kedua macam hak kebendaan tersebut memberikan kekuasaan langsung terhadap benda jaminan
dan hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Oleh karena hipotik dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga mempunyai
sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de suite), yang terjadi
dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de preference, azas prioriteit) dapat dipindahkan
dan lain-lain. Selain itu baik hipotik maupun gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu
didahulukan dalam pe-menuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya.62
62
Undang-undang KUH Perdata Pasal 1133.
BAB V
HUKUM PERIKATAN
A. Pengaturan dalam Buku III BW
Hukum Perikatan ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Hukum perikatan terdiri atas :
1. Perihal perikatan dan sumber-sumbernya
2. Macam-macam perikatan
3. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
4. Perikatan yang lahir dari perjanjian
5. Perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
6. Perihal hapusnya perikatan-perikatan
7. Beberapa perjanjian khusus yang penting
Buku II BW terdiri atas suatu bagian umum dan satu bagian khusus. Bagian umum
memuat pertauran-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya ten-tang
bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Bagian
khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam
masyarakat dan yang sudah mem-punyai nama-nama tertentu, misalnuya jual-beli, sewa-
menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking), dsb.
Buku III menganut asas kebebasan dalam hal membuat perjanjian (beginsel der
contractsvrijheid). Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338, yang menerangkan bahwa
segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut, tidak lain dari pernyataan
bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat ditarik
kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar
ketertiban umum yang diatur dalam bagian khusus Buku III, tetapi pada umumnya juga
dibolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam Buku III itu. Dengan kata
lain peraturan-peraturan yang di-tetapkan dalam Buku III BW itu hanya disediakan dalam hal
para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain petaruran-
peraturan dalam Buku III, pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap (aanvullend
recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.
Sistem yang dianut oleh Bukuk III itu juga lazim dinamakan system terbuka yang
merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh uku II perihal hokum perbendaan. Di situ orang
tidak dibolehkan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang
diatur dalam BW sendiri, di situ dianut suatu system tertutup.63
B. Sumber Perikatan
Menurut Pasal 1233, menyatakan bahwa Perikatan,
lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Maka sumber perikatan itu adalah:
1. Karena suatu Kesepakatan atau Persetujuan.
2. Karena Undang-undang
C. Syarat-Syarat Perikatan
Sahnya suatu perikatan atau perjanjian terdapat 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi
adalah :
1.Sepakat mereka yang mengikatkan diri
2.Cakap untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.
3.Mengenai suatu hal tertentu
4.Suatu sebab yang halal.64
63
Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. Hal. 127-128
64
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.
D. Prestasi dan wanprestasi
Berikut adalah ketentuan Undang-undang KUH Perdata yang mengatur bila terjadi
wanprestasi dalam suatu per-ikatan:
Penggantian Biaya, Kerugian dan Bunga Karena Tidak Dipenuhinya Suatu Perikatan
Adalah :
1. Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak di-penuhinya suatu perikatan mulai
diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan
itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.
2. Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat
dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.
3. Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena
hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
4. Biaya, ganti rugi dan bunga, yang bo!eh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah
dideritanya dan keuntung-an yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian
dan perubahan yang disebut di bawah ini.
5. Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga, yang diharap atau sedianya
dapat diduga pada waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu
disebabkan oleh tipu daya yang dilakukannya.
6. Bahkan jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu daya debitur, maka
penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan
kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung dari tidak
dilaksanakannya perikatan itu.
7. Jika dalam suatu perikatan ditentukan bahwa pihak yang lalai memenuhinya harus membayar
suatu jumlah uang tertentu sebagai ganti kerugian, maka kepada pihak lain-lain tak boleh
diberikan suatu jumlah yang lebih ataupun yang kurang dari jumlah itu.
8. Dalam perikatan yang hanya berhubungan dengan pem-bayaran sejumlah uang, penggantian
biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena keterlambatan pelaksanaannya, hanya terdiri atas
bunga yang ditentukan oleh undang-undang tanpa mengurangi berlakunya peraturan undang-
undang khusus. Penggantian biaya, kerugian dan bunga itu wajib dibayar, tanpa perlu dibuktikan
adanya suatu kerugian o!eh kreditur. Penggantian biaya,. kerugian dan bunga itu baru wajib
dibayar sejak diminta di muka Pengadilan, kecuali bila undang-undang menetapkan bahwa hal
itu berlaku demi hukum.
9. Bunga uang pokok yang dapat ditagih dapat pula menghasil-kan bunga, baik karena suatu
permohonan di muka Pengadilan, maupun karena suatu persetujuan yang khusus, asal saja
permintaan atau persetujuan tersebut adalah mengenai bunga yang harus dibayar untuk satu
tahun.
10. Walaupun demikian, penghasilan yang dapat ditagih, seperti uang upah tanah dan uang sewa
lain, bunga abadi atau bunga sepanjang hidup seseorang, menghasilkan bunga mulai hari
dilakukan penuntutan atau dibuat persetujuan. Peraturan yang sama berlaku terhadap
pengembalian hasil-hasil sewa dan bunga yang dibayar oleh seorang pihak ketiga kepada kreditur
untuk pem-bebasan debitur.65
F. Hapusnya perikatan
Dalam Pasal 1381 Perikatan hapus:karena pembayaran;
1. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan pe-nyimpanan atau penitipan;
2. karena pembaruan utang;
3. karena perjumpaan utang atau kompensasi;
4. karena percampuran utang;
5. karena pembebasan utang;
6. karena musnahnya barang yang terutang;
7. karena kebatalan atau pembatalan;
8. karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini;dan
9. karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.
66
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta, Intermasa: 1987) Hlm. 59-63
DAFTAR BACAAN
Abdurrahman, H. SH. MH. 1990. Masalah Perwakafan dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ali Rido. 2001. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf. Bandung: Alumni. Hal. 7-10.
Anisitus Amanat. 2000. Membagi Warisan berdasaarkan Pasal-pasal BW. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Hal. 6-13
Basyir, Ahmad Azhar. 1987. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII
Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kranenburg, “De gronndslagen der rechtswetenscap”, 1952, hlm 62; Men staat nu, meen bij het
begrip rechtspersoon inderdaat niet voor een fictie, maar voor een connsrictie van het
juridisch denken.
Marcel Planiol “Traitë elëmentaire de droit civil” 1982. Prof. Mr. W.L.P.A. Molengraaff “Leidraad
bij de boefening van het Nederlndse handelsrecht, 1948, I, par. 28
Oemar Salim. 2000. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Paul Scholten Bregtein van der Grinten. Mr, pada Asser’s Handleiding tot debeoefening van het
Nederlands Burgerlijk Recht, Eerste Deel Personenrecht, Tweede Stuk, Veertegen
woordiging en Rechtpersoon, Hal. 88. tahun 1968.
_____,1953. Het Persoonenrecht naar het Nederlands Burgerlijk Wetboek. Ctakan ke-3.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 1975. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty.