ANTOLOGI HUKUM
PERADILAN ADMINISTRASI:
CATATAN AKHIR MAGANG
ANTOLOGI HUKUM
PERADILAN ADMINISTRASI:
CATATAN AKHIR MAGANG
Tim Editor
KATA PENGANTAR.................................................................. V
PERIHAL FORMIL..................................................................... 40
I. PENDAHULUAN
2 Agustinus Danan Suka Dharma, Keberagaman Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang
Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal
Repertorium, Volume II No. 2 Juli - Desember 2015.
III. PEMBAHASAN
III.a. Batas Usia Dewasa Pada Subjek Hukum Dalam Sengketa Tata
Usaha Negara
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Di dalam ketentuan Pasal 53 UU Peratun tidak ditentukan
adanya batasan usia dewasa yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud
dengan orang di sini dilihat dari adanya kepentingannya
yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Namun terdapat ketentuan di dalam penjelasan umum UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
bahwa Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata
Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara
b. Saran
Perlunya adanya aturan khusus mengenai batasan usia
dewasa yang dapat menjadi subjek sengketa tata usaha negara
untuk dapat beracara di pengadilan tata usaha negara, serta
perlu adanya tata cara dan prosedur agar seseorang dibawah usia
dewasa dapat membela kepentingannya di dalam Pengadilan
untuk memberikan kesamaan kedudukan di hadapan hukum.
Buku
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar
Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha negara Buku II: Beracara Di Pengadilan Tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU
No. 9 Tahun 2004.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun
1974.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Internet
http://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/lsm-sebagai-
subjek-penggugat-di-peradilan-tata-usaha-negara/.
diakses pada tanggal 18 Februari 2019.
https://cakimptun4.wordpress.com/artikel/subyek-hukum-
penggugat-dan-tergugat/. Di akses pada tanggal 18
Februari 2019.
I. PENDAHULUAN
11 W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 52
12 Ateng Syarifudin dalam Tedi Sudrajat, Hukum Birokrasi Pemerintah Kewenangan &
Jabatan, Cahaya Prima Sentosa, 2017, hal. 54
13 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku I Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1994,
hal.91
14 Ibid, hal. 92
a. Kesimpulan
1. Pada dasarnya tujuan dan fungsi antara surat tugas dan
surat kuasa adalah sama, namun apabila ditelaah lebih
berdasarkan sumber wewenang, kedudukan dan sifat
keduanya berbeda. Pemberian Surat tugas apabila dilihat
dari sumber wewenang adalah perintah dari atasan
penerima surat tugas yang berisi perintah mengenai tugas
dan fungsi penerima surat tugas sedangkan dalam surat
kuasa terdapat pelimpahan kekuasaan yang mengandung
wewenang dan mengakibatkan penerima surat kuasa
memiliki wewenang yang sama dengan penerima kuasa.
2. Surat tugas sebetulnya adalah bentuk dari penugasan
oleh atasan dan sesuai dengan teori mandat yang sifatnya
adalah sebuah perintah penugasan sesuai tugas dan fungsi
pekerjaan oleh penerima surat tugas dan sifatnya hanya
mengikat penerima surat tugas sampai dengan penugasan
tersebut telah dilaksanakan, sehingga penggunaan Surat
Tugas oleh yang mewakili Tergugat dapat digunakan
dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
catatan penggunaan Surat Tugas hanya berlaku dalam
sekali agenda persidangan mengingat sifat surat tugas
adalah sebuah perintah penugasan sampai dengan tugas
tersebut dilaksanakan.
b. Saran
Berdasarkan uraian tersebut di atas apabila seseorang
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara karena perintah
penugasan yang dia terima maka dapat kita asumsikan bahwa yang
hadir dalam persidangan tersebut seolah olah adalah prinsipal itu
sendiri. Sehingga penggantian posisi penerima mandat hanyalah
kasuistis. Karena definisi surat tugas hanyalah tugas tertentu,
apabila kita sandingkan dengan teori mandat maka penerima
I. PENDAHULUAN
16 Marihot Pahala Siahaan, Bea Meterai di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hal. 15
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Bahwa seluruh dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian dimuka pengadilan adalah termasuk dokumen
yang diatur harus dikenakan Bea Meterai, karena tergolong dalam
dokumen dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Bea
Meterai. Di Pengadilan Tata Usaha Negara Pemeteraian kemudian
atas dokumen yang dilakukan oleh pemegang dokumen dengan
menyerahkan dokumen yang akan diajukan sebagai bukti dalam
persidangan kepada Pejabat Pos terlebih dahulu untuk dilakukan
penempelan meterai dokumen yang kemudian oleh pejabat pos
dibubuhkan cap “Telah dilakukan pemeteraian kemudian sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
disertai dengan nama, NIP Pos, dan tanda tangan Pejabat Pos
yang bersangkutan, pada Dokumen yang telah ditempeli meterai
tempel.
Adanya peringatan bahkan larangan, untuk menindaklanjuti
atau mempertimbangkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dibayar, terlebih yang digunakan sebagai alat pembuktian
b. Saran
Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera, Jurusita, Notaris
dan Pejabat Umum lainnya, dalam menjalankan tugas atau
jabatannya agar selalu mensosialisasikan tentang bagaimana cara
penggunaan Meterai, cara pelunasan bea meterai yang tidak atau
kurang dilunasi bea meterainya dan cara pemeteraian kemudian
terhadap dokumen yang apabila hendak dijadikan alat bukti di
Pengadilan. Kepada masyarakat atau pihak yang berperkara,
dalam mengajukan alat bukti surat di muka pengadilan,
diwajibkan untuk melakukan Pemeteraian Kemudian terhadap
dokumen yang hendak dijadikan sebagai alat bukti tersebut.
Pihak yang berperkara dilarang atau tidak diperbolehkan
melekatkan sendiri Meterai pada dokumen yang akan diajukan
sebagai bukti surat tanpa adanya pengesahan dari pejabat kantor
pos. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat sahnya
pengajuan alat bukti surat di pengadilan.
I. PENDAHULUAN
III. PEMBAHASAN
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Keputusan yang berbentuk elektronis sebagai objek sengketa
b. Saran
1. Keputusan yang berbentuk elektronis sebagai objek sengketa
Tata Usaha Negara sebaiknya disampaikan dengan media
elektronis pula;
2. Perlu dibentuk sebuah platform digital untuk mengakomodir
adanya keputusan berbentuk elektronis;
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik
Buku
Indroharto. 2000. Usaha Memahami Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Website
Pajak Online, https://www.online-pajak.com, diakses pada 20
Februari 2019
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/ elektronik,
diakses pada 18 Februari 2019
I. PENDAHULUAN
III. PEMBAHASAN
29 Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M,Hum, 2011, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara Edisi Revisi, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 43.
IV. PENUTUP
c. Kesimpulan
1. Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Adminsitrasi
Pemerintahan mengatur ada dua bentuk upaya adminsitratif
yaitu keberatan dan banding. Jika warga masyarakat tidak
menerima terhadap penyelesaian upaya administratif
tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.
2. Upaya Administratif dipahami sebagai penyelesaian
terhadap suatu keputusan dan/atau tindakan badan/
pejabat pemerintahan yang mana warga masyarakat merasa
dirugikan akan hal tersebut dan mengajukan tuntutan
untuk membatalkannya yang dilakukan dilingkungan
internal pemerintahan. Jika tidak puas terhadap upaya
administrtatif tersebut, maka mengajukan gugatan ke
PTUN. Dalam UU AP terdapat paradigma baru dimana
dalam hal badan/pejabat pemerintahan yang berwenang
tidak menyelesaikan upaya administratif dalam jangka
waktu tertentu maka upaya administratif nya dianggap
dikabulkan dan wajib menerbitkan suatu keputusan.
Namun hal tersebut tidak merubah pemahaman mengenai
upaya administratif yang merupakan suatu penyelesaian
terhadap suatu tuntutan atas keputusan dan/atau tindakan
dari badan/pejabat pemerintahan. Oleh karena itu upaya
administratif yang dianggap dikabulkan berdasarkan
d. Saran
Mahkamah Agung demi kepastian hukum diharapkan agar
mengeluarkan peraturan yang mengatur dengan tegas dan jelas
mengenai upaya yang dapat ditempuh oleh warga masyarakat
dalam hal upaya administratifnya dianggap dikabulkan namun
pejabat yang berwenang tidak menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan sesuai dengan Undang Undang Nomor
30 tahun 2014 adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Undang Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta
perubahannya.
I. PENDAHULUAN
III. PEMBAHASAN
33 Umar Dani, Rekonstruksi Sistem Hukum Acara PTUN, FH UII Press, Yogyakarta, 2019,
hlm 301.
c. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan hukum mengenai tenggang waktu pengajuan
gugatan dalam sengketa pertanahan pada Peradilan Tata
Usaha Negara tercantum pada Pasal 55 UU Peratun. Akan
tetapi untuk secara kasuistis banyak sengketa pertanahan
dimana pihak yang tidak dituju dalam keputusan
mengajukan gugatan, maka ketentuan hukum yang
mendasari mengenai tenggang waktu adalah Putusan
Perkara Nomor 5K/TUN/1991, tanggal 21 Januari 1993,
dan Putusan Perkara No.41 K/TUN/1994, tanggal 10
November 1994 dan Putusan Perkara No.270 K/TUN/2001
tanggal 4 Maret 2002, juncto SEMA RI Nomor 2 Tahun 1991;
2. Penentuan tenggang waktu pengajuan gugatan dalam
sengketa pertanahan pada Peradilan Tata Usaha Negara
setelah terbitnya Perma No 6 Tahun 2018 adalah dihitung
setelah dilaksanakannya upaya administratif. Apabila
keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif tidak
dikeluarkan maka penghitungan tenggang waktu dihitung
setelah tenggang waktu bagi badan/pejabat/atasan
pemerintahan untuk memberikan penetapan keputusan.
d. Saran
Adapun saran dari permasalahan tersebut adalah:
1. Bagi masyarakat diharapkan untuk memperhatikan
ketentuan hukum yang baru dalam hal pengajuan gugatan
agar upaya memperoleh keadilan dapat terwujud;
2. Bagi para hakim diharapkan baik secara umum maupun
kasuistis menentukan tenggang waktu dengan teliti
I. PENDAHULUAN
40 Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung., Magang Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan.
41 R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Edisi Ketiga, Jakarta:
Sinar Grafika, 2016. Hal:. 149.
42 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara – Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Ushaa Negara”, Cetakan kesembilan, Jakarta:
Surya Multi Grafika, 2005. Hal:89.
43 Lihat Penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
44 Enrico Simanjuntak, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara – Transformasi &
Refleksi”, Jakarta: sinar Grafika, 2018, hal:229
45 Ibid.
46 Lihat Pasal 63 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
47 Loc.Cit., Indroharto.
48 Lihat butir III.2 huruf b Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.
49 Lihat butir III.2 huruf a Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.
IV. Penutup
a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis tuangkan
sebelumnya terkait pemeriksaan persiapan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Pada pemeriksaan persiapan, gugatan Penggugat wajib
untuk dilakukan perbaikan meskipun dalam suatu keadaan
Gugatan Penggugat sudah jelas dan sempurna. Hal ini bisa
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (LNRI Tahun
1986 Nomor 77, TLN No.3344)
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 052/Td.TUN/
III/1992 Perihal Juklak yang Dirumuskan Dalam
Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim Peradilan
TUN III Tahun 1991.
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 224/
Td.TUN/X/1993 Perihal Juklak Yang Dirumuskan
Dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim
Peradilan TUN Tahap III Angkatan Tahun 1993.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
Buku:
R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Edisi
Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Indroharto, 2005. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Buku II Beracara Di
Pengadilan Tata Ushaa Negara (Jakarta: Surya Multi
Grafika).
I. PENDAHULUAN
54 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pangkal Pinang, Magang di
Pengadian Tata Usaha Negara Medan.
III. PEMBAHASAN
59 Ibid.
60 Enrico Simanjuntak, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan
Refleksi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hal. 137.
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan di
atas, maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Konsep permohonan fiktif-positif berdasarkan Pasal 53
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
dan Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017
adalah Permohonan kepada Pengadilan yang diajukan
oleh warga masyarakat sebagai tindak lanjut dari
permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum,
oleh karena Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan
dalam batas waktu yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Permohonan kepada Pengadilan
bertujuan untuk memperoleh Putusan penerimaan atas
permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum
tersebut. Permohonan fiktif positif dibatasi oleh kriteria dan
pengecualian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 ayat
(2) dan (3) Perma No. 8 Tahun 2017.
2. Perlindungan terhadap pihak ketiga yang dirugikan dalam
perkara permohonan fiktif-positif dapat dilakukan melalui
beberapa hal sebagai berikut:
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana telah diuraikan
di atas, maka penulis memberikan saran agar ketentuan yang
membatasi pihak ketiga untuk masuk sebagai pihak dalam perkara
permohonan fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat
(4) Perma No. 8 Tahun 2017 dihapuskan. Selain itu, Mahkamah
Agung diharapkan tidak mengesampingkan permohonan
Peninjauan Kembali warga masyarakat yang dirugukan terkait
dengan perkara fiktif positif dengan alasan warga masyarakat
tersebut tidak menjadi pihak dalam perkara fiktif positif yang
diperiksa oleh Pengadilan.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 51 Tahun 2009. LN Tahun 2009. TLN
No. 5079.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan
atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintahan. Perma No. 5 Tahun 2015. Berita Negara
RI Tahun 2015 Nomor 1268.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan
atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintahan. Perma No. 8 Tahun 2017. Berita Negara
RI Tahun 2017 Nomor 1751.
Buku
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 2000).
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.
Cetakan Kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Simanjuntak, Enrico. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara:
Transformasi dan Refleksi. Cetakan Pertama. (Jakarta:
Sinar Grafika. 2018).
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No.1PK/AG/1990.
Putusan Mahkamah Agung No. 175PK/TUN/2016.
Oleh :
Rizki Ananda63
I. PENDAHULUAN
65 Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hal. 159.
III. PEMBAHASAN
66 Hal ini tercantum dalam penjelasan umum UU No. 30 Tahun 2014, yaitu : “Dalam
rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang
ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan
dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang
bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.”
70 Wulan Tunjung Palupi, “Perjalanan Berkelok Kelola MIgas dan Tambang” (Republika, 11
November 2011), Hlm. 26
71 Hal ini termuat di dalam konsideran menimbang huruf a dan d UU Nomor 10
Tahun 1959, yaitu bahwa : “a. adanya hak-hak pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949,
yang hingga sekarang tidak atau belum dikerjakan sama sekali, pada hakekatnya sangat merugikan
pembangunan Negara; … d. bahwa cara pembatalan hak-hak pertambangan seperti diatur dalam
“Indische Mijnwet” yang berlaku sekarang tidak dapat digunakan untuk maksud di atas, maka oleh
karena diperlukan suatu Undangundang khusus”
72 Pasal 6 ayat (1) dan (2) Perpu Nomor 44 Tahun 1960, mengatur :“(1) Menteri dapat
menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan
Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan; (2)Dalam mengadakan
perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) diatas Perusahaan Negara
harus berpegang pada. pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syaratsyarat yang diberikan oleh
Menteri.”
73 Pasal 7 ayat (1) Perpu Nomor 44 Tahun 1960, mengatur : “Kuasa pertambangan tidak
meliput hak tanah permukaan bumi.”
74 Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1967, : “Penanaman Modal Asing dibidang
Pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau
bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku”
75 Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1967 : “Menteri dapat menunjuk pihak lain
sebagai kontraktor, apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku
pemegang KP.”
80 H. Ujang Abdullah, S.H., M.Si., “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia”, Hlm. 13, Sumber:https://ptun-palembang.go.id/upload_data/
KOMPETENSI%20PTUN.pdf , diakses pada 26 November 2019, Pukul 9.56 WIB.
85 Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 : “Orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
Konsesi setelah masuk di dalam rezim Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan bukanlah suatu produk hukum
keperdataan murni melainkan peran Badan/Pejabat Pemerintahan
yang didudukkan sebagai Badan Publik memiliki kedudukkan
yang lebih tinggi dan tidak setara dengan badan hukum swasta
sebagai pihak yang membuat kesepakatan terhadap isi klausula
konsesi, sehingga Konsesi sebagai Produk Hukum Pemerintah
dapat diuji pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim dalam
memeriksa sengketa Konsesi mampu menilai pada perjanjian dan
kesepakatan yang dilanggar dengan mengacu pada ketentuan
perundang-undangan serta Asas-Asas umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB), Sehingga pengujian Konsesi berpedoman pada
proses administrasi dalam penerbitan Konsesi itu sendiri, adapun
Hakim dalam memeriksa substansi Konsesi dengan melihat isi
Perjanjian Konsesi memeriksa bagaimana kesepakatan Konsesi
tersebut telah dilanggar dan tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Saran
Perlu dimuat aturan pelaksana yang lebih rinci terhadap
Konsesi sehingga format Keputusan dalam bentuk Konsesi
menjadi jelas dan terang dan Konsesi dapat diejawantahkan
sebagai produk hukum publik sebagaimana dimaksud di dalam
Undang Undang Administrasi Pemerintahan. Serta hakim dalam
memeriksa Konsesi disarankan mengeluarkan putusan gugatan
Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 4959).
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3344).
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1,
Oleh:
Endri87
I. PENDAHULUAN
89 I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani, dkk. 2019. Hukum Administrasi Negara dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi Berbasis Lingkungan. Depok: Rajawali Pers, hlm. 17.
90 Supandi. “Menyongsong Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”.
Makalah. Disampaikan Dalam Konferensi Hukum dan Lingkungan, diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Center
for Environmental Law (ICEL) dan Himpunan Pembina Hukum Lingkungan, Senin, 26
Agustus 2019, Depok, hlm. 2.
III. PEMBAHASAN
Asas-Asas
No Kebijakan Rincian Prinsip
Lingkungan
Prinsip pencegahan bahaya lingkungan
Prinsip substansi Prinsip kehati-hatian
1
hukum lingkungan Prinsip pencemar membayar
Prinsip pembangunan berkelanjutan
IV. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Asas in dubio pro natura dalam sengketa lingkungan
hidup dapat dimaknai dalam dua bentuk, 1) keragu-raguan
hakim dalam hal adanya ketidakpastian ilmiah (scientific
uncertainty), dan 2) keragu-raguan hakim dalam hal terdapat
ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Dalam kondisi
keragu-raguan (in dubio) tersebut, asas ini menghendaki
hakim berpihak pada kepentingan lingkungan (pro natura).
2. Ketidakpastian ilmiah dapat diminimalisir dengan
memaksilkan bukti ilmiah (scientific evidence) dan ahli
lingkungan (environmentalists) berkompeten pada tahap
pembuktian. Ketidakpastian hukum diatasi dengan
melakukan penemuan hukum dengan menerapkan asas-
asas kebijakan lingkungan. Asas in dubio pro natura dalam
penyelesaian sengketa tata usaha negara lingkungan hidup
b. Saran
1. Mahkamah Agung perlu memberikan arahan dalam
Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
bagaimana menilai suatu bukti ilmiah, ukuran sah dan
valid bukti ilmiah dan bagaimana memastikan keterangan
ahli didasarkan pada teori atau metode ilmiah. Hal tersebut
membantu hakim menyeleksi validitas bukti ilmiah dan
ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga alat bukti
menjadi relevan digunakan dalam menyelesaikan sengketa.
2. Mahkamah Agung dapat mengkodifikasikan berbagai
putusan sebagai yurisprudensi perkara lingkungan hidup.
Hal tersebut memudahkan hakim-hakim mencari berbagai
kaidah hukum yang dapat digunakan dalam pertimbangan
putusan.
3. Mengoptimalkan pembekalan dan pendidikan/pelatihan
hakim lingkungan hidup, baik mengenai pengetahuan
lingkungan hidup maupun hukum acara tertentu dalam
pemeriksaan perkara. Termasuk di dalamnya program
sertifikasi, pendidikan dan pelatihan, dan sosialisasi yang
bertujuan meningkatkan kompetensi hakim.
Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/
II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3344).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
RI Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5059).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara RI Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5601).
Lain-lain
Meda Desi Kartikasari. 2018. Menelisik Akar Pemikiran Asas In
Dubio Pro Natura dalam Penegakan Hukum. Skripsi.
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.