Anda di halaman 1dari 166

CALON HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

SATKER MAGANG PTUN MEDAN

ANTOLOGI HUKUM
PERADILAN ADMINISTRASI:
CATATAN AKHIR MAGANG
ANTOLOGI HUKUM
PERADILAN ADMINISTRASI:
CATATAN AKHIR MAGANG

Sebuah catatan perjalanan intelektual selama menempuh pendidikan


dan pelatihan Calon Hakim PTUN

Cetakan Pertama, April 2020


Editor : Endri
Maryam Nur Hidayati
Vivi Ayunita Kusumandari

Desain & Layout : Rahmatal Ambiya



Disusun oleh:
Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Satker Magang PTUN Medan
KATA PENGANTAR

Puji syukur tak terhingga kami panjatkan kepada Tuhan


Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segenap petunjuk dan
kekuatan-Nya hingga akhirnya buku dengan judul “Antologi
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara: Catatan Akhir Magang” ini
dapat diselesaikan.
Untuk diketahui, para penulis merupakan Calon Hakim
PTUN yang sedang menjalankan program magang Pendidikan
Calon Hakim Terpadu (PPC III) di Pengadilan Tata Usaha Negara
Medan. Selama proses magang tersebut, para penulis dituntut
untuk membuat beberapa karya tulis ilmiah dengan tujuan untuk
memperdalam pemahaman para penulis mengenai hukum formil
dan materiil peradilan administrasi.
Melalui buku ini para calon hakim berinisiatif membuat
suatu kumpulan tulisan mengenai peradilan administrasi sebagai
bentuk suatu catatan perjalanan selama menempuh magang di
Pengadilan Tata Usaha Negara Medan dan juga sebagai bentuk
tanggung jawab akademis serta sumbangsih nyata terhadap
perkembangan ilmu hukum peradilan administrasi.
Pada akhirnya kami menyadari bahwa dalam penyusunan
buku ini masih terdapat kekurangan di sana-sini sehingga banyak
hal yang perlu diperbaiki, untuk itu kritik dan saran atas teknik
penulisan maupun substansi sangat kami harapkan.
Selamat membaca !

Medan, 19 Februari 2020

Tim Editor

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang v


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................. V

PERIHAL ADMINISTRASI PERKARA.................................. 2

1. Akibat Hukum Batas Usia Dewasa Pada Subjek Hukum


Dalam Sengketa Tata Usaha Negara.................................... 3

2. Penggunaan Surat Tugas Sebagai Dasar Beracara Bagi


Tergugat Pada Peradilan Tata Usaha Negara................... 14

3. Aspek Hukum Bea Meterai Dalam Pembuktian


Perkara Di Pengadilan Tata Usaha Negara....................... 28

PERIHAL FORMIL..................................................................... 40

1. Keputusan Berbentuk Elektronis Sebagai Objek


Sengketa Tata Usaha Negara............................................... 41

2. Upaya Warga Masyarakat Dalam Hal Upaya


Administratif Dianggap Dikabulkan Sesuai
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan................................................. 52

3. Penentuan Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan


Dalam Sengketa Pertanahan Pada Peradilan
Tata Usaha Negara Setelah Berlakunya Perma
No 6 Tahun 2018.................................................................... 63

4. Implementasi Tenggang Waktu Pemeriksaan


Persiapan Di Pengadilan Tata Usaha Negara................... 76

5. Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga


Dalam Perkara Permohonan Fiktif Positif......................... 92

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang vii


PERIHAL HUKUM MATERIIL............................................. 110

1. Pengujian Pokok Sengketa Konsesi Pada Pengadilan


Tata Usaha Negara............................................................. 111

2. Asas In Dubio Pro Natura Dalam Sengketa Tata


Usaha Negara Lingkungan Hidup: Konsep
dan Aplikasi......................................................................... 132

viii Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


PERIHAL
ADMINISTRASI
PERKARA

2 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


AKIBAT HUKUM BATAS USIA DEWASA
PADA SUBJEK HUKUM DALAM SENGKETA
TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Rahmadian Novira1

I. PENDAHULUAN

Negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana


diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dimana negara mengakui, menjamin,
melindungi, memberi kepastian hukum, dan kesamaan kedudukan
di dalam hukum serta wajib menjunjung hukum tanpa terkecuali
bagi setiap warga negara baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Setiap warga
negara sebagai subjek hukum khususnya Warga Negara Indonesia
memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan Perbuatan hukum,
namun perbuatan tersebut harus didukung oleh kecakapan dan
kewenangan hukum.
Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Kecakapan seseorang
bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan suatu perbuatan
hukum ditentukan dari telah atau belum dewasanya seseorang
menurut hukum. Kedewasaan seseorang di dalam hukum diukur
dengan batasan usia dan kecakapan atau mampu melakukan
semua perbuatan hukum. Namun perbuatan hukum yang satu
1 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Padang.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 3


dengan perbuatan hukum yang lainnya memiliki persayarat yang
berbeda dalam menyatakan seseorang cakap bertindak dalam
suatu perbuatan hukum, sehingga membuat kerancuan dalam
menentukan kapan seseorang dinyatakan cakap untuk melakukan
suatu perbuatan hukum.
Terlebih lagi pada era sekarang ini masyarakat semakin
sadar akan hukum. Sehingga tidak jarang masyarakat mulai
melakukan perbuatan yang sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Salah satunya adalah ketentuan kedewasaan atau cakap
dalam melakukan perbuatan hukum. Tetapi batas usia mana yang
akan digunakan sebagai pedoman dalam penentuan cakap atau
tidaknya seseorang untuk dapat melakukan suatu perbuatan
hukum masih menjadi masalah karena adanya perbedaan
pengaturan yang ada. Sehingga untuk maksud dan tujuan
tertentu hampir tiap peraturan perundang-undangan yang ada
akan memberikan batasan tersendiri mengenai batas umur dapat
bertindak dalam perbuatan hukum, termasuk untuk bertindak di
dalam dan di luar pengadilan.
Pengaturan batasan usia untuk dapat bertindak sebagai
subjek hukum khususnya untuk dapat bertindak di dalam
peradilan di Indonesia memiliki pengaturannya masing-masing.
Namun pada Peradilan Tata Usaha Negara tidak terdapat
ketentuan khusus yang mengatur adanya batasan usia dewasa
untuk dapat menjadi subjek dalam Sengketa Tata Usaha Negara.
Sedangkan ketentuan usia dewasa adalah suatu hal pokok yang
wajib dipatuhi dalam setiap melakukan perbuatan hukum. Karena
usia dewasa merupakan syarat formil bagi seseorang untuk
melakukan perbuatan hukum.2
Berdasarkan latar permasalahan di atas, penulis tertarik
mengangkat judul mengenai batasan usia dewasa subjek sengketa
Tata Usaha Negara, yang kemudian dituangkan dalam bentuk
paper dengan judul “Akibat Hukum Batas Usia Dewasa Pada

2 Agustinus Danan Suka Dharma, Keberagaman Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang
Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal
Repertorium, Volume II No. 2 Juli - Desember 2015.

4 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Subjek Hukum Dalam Sengketa Tata Usaha Negara.”
II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan judul yang penulis angkat, penulis menemukan


2 (dua) permasalahan yang akan dikaji, yaitu :
1. Bagaimana batas usia dewasa pada subjek hukum dalam
sengketa Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana akibat hukum batas usia dewasa pada subjek
hukum sengketa Tata Usaha Negara dalam beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara?

III. PEMBAHASAN

III.a. Batas Usia Dewasa Pada Subjek Hukum Dalam Sengketa Tata
Usaha Negara

Pengertian Sengketa Tata Usaha Negara terdapat dalam


ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 dan Undang-Undang No 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang selanjutnya disebut UU Peratun
yaitu “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Adapun pengertian Keputusan Tata Usaha Negara terdapat
pada Pasal 1 angka 9 UU Peratun dimaan “Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 5


badan hukum perdata”. Untuk dapat berperkara di Pengadilan
Tata Usaha Negara harus mengajukan gugatan secara tertulis
berisi permohonan atau tuntutan terhadap badan atau pejabat tata
uasah negara oleh seseorang atau badan hukum perdata.
Adapun yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara adalah Subjek Hukum orang perorangan atau
badan hukum perdata terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara dimana terdapat Penggugat dan Tergugat.
1. Mengenai tergugat diatur dalam pasal 1 angka 12 UU
Peratun, yang dimaksud dengan tergugat yaitu “Tergugat
adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan
hukum perdata”.
2. Sedangkan penggugat diatur dalam Pasal 53 UU Peratun
yaitu “Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi”. Di dalam ketentuan ini dinyatakan bahwa
orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingan
yang dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga
yang menjadi penggugat di dalam sengketa tata usaha
negara adalah “orang” ataupun “badan hukum perdata”
yang merasa kepentingannya dirugikan.
a. Orang dalam ketentuan di atas yaitu : orang perorangan
atau individu yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan tata usaha negara.
b. Badan Hukum Perdata, Badan hukum perdata yang

6 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


dimaksud dalam ketentuan di atas adalah murni Badan
yang menurut pengertian hukum perdata berstatus
sebagai badan hukum. Jika mengacu pada Pasal
1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah
perkumpulan, seperti organisasi lingkungan hidup dan
lain sebagainya.
Dari ketentuan Pasal 53 UU Peratun tersebut, tidak
ditentukan adanya batasan usia dewasa yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud
dengan orang di sini dilihat dari adanya kepentingannya yang
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Namun
terdapat ketentuan di dalam penjelasan umum UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa Hukum acara
yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai
persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan
Umum untuk perkara perdata. Apabila terdapat ketentuan yang
tidak diatur di dalam UU Peratun maka dapat merujuk pada
ketentuan di atas.
Di dalam hal ini, untuk menentukan kewenangan seseorang
dapat menjadi subjek hukum dalam Sengketa Tata Usaha
Negara, dapat digunakan ketentuan dalam peraturan lainnya
yang mengatur batasan di bawah usia dewasa dan mekanisme
untuk membela kepentingannya melalui jalur hukum. Beberapa
diantaranya yaitu:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 yang
menyatakan sebagai berikut “Belum dewasa adalah mereka
yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak
lebih dahulu kawin”. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak akan kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa, adapun seseorang yang dikatakan berada di bawah
usia dewasa disebut juga dengan anak.
2. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, “Anak

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 7


adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
3. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi manusia, “Anak adalah setiap manusia yang
berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk
anak yang masih di dalam kandungan apabila hak tersebut
demi kepentingannya”.
Berdasarkan penjabaran di atas, oleh karena tidak adanya
batasan usia dewasa pada ketentuan UU Peratun secara tegas,
maka yang dijadikan pertimbangan dapat tidaknya menjadi
subjek hukum dalam sengketa tata usaha negara adalah
kepentingan yang dirugikan karena dikeluarkannya suatu KTUN.
Adapun kepentingan yang dimaksud mengandung dua arti
yaitu merujuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum
dan kepentingan proses yaitu apa yang hendak dicapai dengan
melakukan suatu proses gugatan dimana seseorang tersebut
harus dapat menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat itu merugikan dirinya secara langsung.3 Pemberian
status legal standing seseorang adalah suatu konsekuensi logis
dari penghormatan atas asas point d’interest point d’action, yang
merupakan suatu asas dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Sedangkan untuk dapat bertindak dalam pengadilan
termasuk Pengadilan Tata usaha negara, dapat merujuk pada
ketentuan yang ada di dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kecakapan bertindak di pengadilan.

III.b. Akibat Hukum Batas Usia Dewasa Pada Subjek Hukum


Sengketa Tata Usaha Negara dalam Beracara di Peradilan Tata
Usaha Negara

Batasan usia dewasa pada subjek hukum di dalam peraturan


perundang-undangan yang ada di Indonesia dilakukan secara

3 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara


Buku II : Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005,
Hal.37-39.

8 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


beragam dan dengan ketentuan yang berbeda-beda berdasarkan
perbuatan hukum apa yang dilakukan. Oleh karena Pasal 53 UU
Peratun tidak memberikan pembatasan (limitasi) tentang batasan
usia orang perorangan yang boleh dan tidak boleh menjadi subjek
penggugat, muncul permasalah apabila anak di bawah usia dewasa
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, apakah
tindakannya di pengadilan dianggap sah. Sedangkan seseorang
yang masih berada di bawah usia dewasa dianggap tidak cakap
secara hukum dan tidak dapat bertindak di pengadilan.
Adapun subjek hukum dalam sengketa tata usaha negara
dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan
berdasarkan kepentingannya yang dirugikan oleh keluarnya
suatu KTUN. Kemudian untuk tetap dapat melindungi hak si anak
dalam membela kepentingannya yang di rugikan suatu Keputusan
Tata Usaha Negara sehingga dapat beracara di pengadilan maka
dapat diliat pada ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Hal ini juga dapat dilihat dari Putusan Pengadilan Surabaya
Nomor 21/G.TUN/2016/ PTUN.SBY, dimana penggugatnya
seseorang di bawah usia dewasa. Dimana perkara tetap dilanjutkan
dalam proses pemeriksaan persidangan tanpa mempermasalahkan
usia Penggugat, namun untuk bertindak dalam peradilan
diwakilkan oleh orang tuanya dan dapat dikuasakan lagi kepada
Kuasa Hukum oleh orang tuanya. Sehingga jika seseorang yang
masih berada di bawah usia dewasa merasa kepentingannya
dirugikan dan akan beracara di pengadilan, haruslah di wakilkan
oleh orangtua atau walinya. Termasuk dalam beracara di
Pengadilan Tata usaha Negara. Dikarenakan orang-orang dalam

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 9


keadaan tidak mampupun masuk dalam pengertian seseorang
dalam Pasal 53 UU Peratun hanya saja mereka apabila ingin
beracara di Peradilan Tata Usaha Negara menurut hukum acara
yang berlaku harus diwakili oleh seorang kuasa.45
Berdasarkan penjabaran diatas, akibat hukum batasan usia
dewasa pada subjek hukum sengketa tata usaha negara dalam
beracara di Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada boleh
tidaknya anak di bawah umur bertindak dalam pengadilan.
Dilihat dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan, disebutkan
bahwa Orang tua mewakili anak dibawah usia dewasa mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, karena
anak dianggap masih berada dalam kekuasaan orang tuanya.
Kemudian untuk dapat mewakili anaknya dalam Pengadilan
Tata Usaha Negara harus melampirkan akta kelahiran anak, kartu
keluarga dan data terkait yang dapat menunjukkan bahwa orang
tua itu adalah orang tua kandung, sedangkan untuk wali harus
adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Di dalam ketentuan Pasal 53 UU Peratun tidak ditentukan
adanya batasan usia dewasa yang dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud
dengan orang di sini dilihat dari adanya kepentingannya
yang dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Namun terdapat ketentuan di dalam penjelasan umum UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
bahwa Hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata
Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara

5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara


Buku I : Beberapa Pengertian Dasar-Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005, Hal 176-177.

10 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara
perdata. Apabila terdapat ketentuan yang tidak diatur di
dalam UU Peratun maka dapat merujuk pada ketentuan
tersebut. Untuk menentukan kewenangan seseorang
dapat menjadi subjek hukum dalam Sengketa Tata Usaha
Negara, dapat digunakan ketentuan dalam peraturan
lainnya yang mengatur batasan di bawah usia dewasa dan
mekanisme untuk membela kepentingannya melalui jalur
hukum. Beberapa diantaranya yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 330, Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.
2. Adapun subjek hukum dalam sengketa tata usaha negara
dalam beracara di Peradilan Tata Usaha Negara, ditentukan
berdasarkan kepentingannya yang dirugikan oleh keluarnya
suatu KTUN. Kemudian untuk tetap dapat melindungi hak
si anak dalam membela kepentingannya yang di rugikan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara sehingga dapat
beracara di pengadilan maka dapat diliat pada ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, bahwa :
• Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya.
• Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Adapun akibat hukum batasan usia dewasa pada subjek
hukum sengketa tata usaha negara dalam beracara di
Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada boleh tidaknya
anak di bawah umur bertindak dalam pengadilan. Dilihat
dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan, disebutkan
bahwa Orang tua mewakili anak dibawah usia dewasa

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 11


mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan, karena anak dianggap masih berada dalam
kekuasaan orang tuanya. Kemudian untuk dapat mewakili
anaknya dalam Pengadilan Tata Usaha Negara harus
melampirkan akta kelahiran anak, kartu keluarga dan
data terkait yang dapat menunjukkan bahwa orang tua itu
adalah orang tua kandung, sedangkan untuk wali harus
adanya penetapan dari Pengadilan Negeri.

b. Saran
Perlunya adanya aturan khusus mengenai batasan usia
dewasa yang dapat menjadi subjek sengketa tata usaha negara
untuk dapat beracara di pengadilan tata usaha negara, serta
perlu adanya tata cara dan prosedur agar seseorang dibawah usia
dewasa dapat membela kepentingannya di dalam Pengadilan
untuk memberikan kesamaan kedudukan di hadapan hukum.

12 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar
Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2005.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha negara Buku II: Beracara Di Pengadilan Tata
Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. UU
No. 9 Tahun 2004.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perkawinan. UU No. 1 Tahun
1974.
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Internet
http://business-law.binus.ac.id/2016/06/17/lsm-sebagai-
subjek-penggugat-di-peradilan-tata-usaha-negara/.
diakses pada tanggal 18 Februari 2019.
https://cakimptun4.wordpress.com/artikel/subyek-hukum-
penggugat-dan-tergugat/. Di akses pada tanggal 18
Februari 2019.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 13


PENGGUNAAN SURAT TUGAS SEBAGAI
DASAR BERACARA BAGI TERGUGAT PADA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Azza Azka Norra6

I. PENDAHULUAN

Konsep Peradilan Administrasi erat kaitannya dengan konsep


negara hukum dan tak terpisahkan, sebagaimana konsep ciri-ciri
negara hukum (rechtsstaat) yang dikemukakan oleh Frederich Julius
Stahl harus memenuhi empat unsur, yaitu perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan
negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia, pemerintahan
berdasarkan peraturan, dan adanya peradilan administrasi.
Menurut konsep tersebut peradilan administrasi begitu penting
sehingga menjadi salah satu prasyarat terbentuknya negara
hukum yang bertujuan melindungi warga negara apabila terjadi
sengketa akibat penyelenggaraaan pemerintahan yang dianggap
merugikan, dan peradilan administrasi yang netral dapat menjadi
penyelaras diantara pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul.
Sejalan dengan konsep Stahl tersebut di atas, Indonesia
sebagai negara hukum, sejak tahun 1991 telah membentuk peradilan
administrasi (Peradilan Tata Usaha Negara) berdasarkan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 (sebagaimana telah diubah beberapa
6 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pangkal Pinang.

14 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


bagian pasal-pasalnya oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009), yang mulai
beroperasi sejak tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991. Menurut undang-undang
tersebut, tujuan diadakannya Peradilan tata Usaha Negara adalah
dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari
keadilan yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan
tata Usaha Negara.7
Perwujudan untuk mencapai tujuan Peradilan Tata Usaha
Negara tersebut di atas dapat terjadi apabila salah satu aspek
penting yaitu kewenangan untuk mengadili objek dan subjek
sengketa tata usaha negara yang diberikan oleh undang-undang
kepada Peradilan Tata Usaha Negara relevan, efektif dan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.8 Berdasarkan
ketentuan pada undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, sedangkan
kewenangan untuk mengadili (kompetensi absolut) peradilan tata
usaha negara dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang
sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
para pihak yang berperkara telah ditetapkan bahwa penggugat
adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa

7 Priyatmanto Abdullah, Revitalisasi Kewenangan PTUN, Cahaya Atma Pustaka,


2018, hal. 3
8 Ibid.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 15


kepentingannya dirugikan oleh keputusan Tata Usaha Negara,
sedangkan Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
baik di pusat maupun daerah. Dengan demikian, Tergugat adalah
selalu Badan atau Jabatan TUN yang mengeluarkan keputusan
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya dan Penggugat adalah selalu berupa orang atau badan
hukum perdata.9
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 57 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pihak yang
bersengketa dalam proses di Pengadilan TUN dapat didampingi
atau diwakili oleh seseorang atau beberapa orang kuasa,
pemberian kuasa disertai dengan suatu surat kuasa khusus atau
dapat dilakukan secara lisan di persidangan. Kuasa demikian juga
dapat dibuat di luar negeri namun bentuknya harus memenuhi
persyaratan negara yang bersangkutan dan diketahui oleh
Perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut, serta kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.
Pada umumnya setiap pihak yang berperkara dapat maju
sendiri tanpa didampingi oleh orang lain yang bertindak sebagai
kuasa, apabila ia menggunakan seorang kuasa, maka pemberi
kuasa disebut sebagai pihak material dalam proses dan kuasanya
disebut sebagai pihak formal dalam proses.10 Di dalam lingkup
hukum perdata, kuasa bersifat koordinasi antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa sehingga kedudukan keduanya bersifat
sejajar. Namun, pihak Tergugat sebagai pejabat TUN ketentuan
dalam Buku II Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan
Tata Usaha Negara dapat memberi Surat Tugas tanpa materai
kepada Pejabat pada instansi pemerintahan Badan/Pejabat TUN
yang bersangkutan sedangkan konsep surat tugas sebetulnya
tidak dapat disamakan dengan konsep surat kuasa.

9 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 2005,
hal.31
10 Ibid, hal.31

16 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


II. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Surat Tugas sama dengan Surat Kuasa?


2. Apakah Surat Tugas dapat digunakan sebagai dasar untuk
beracara bagi Tergugat di Peradilan Tata Usaha Negara?

III. RUMUSAN MASALAH

III.a Surat Tugas dan Surat Kuasa

Definisi Surat Tugas dalam KBBI menjelaskan bahwa yang


dimaksud dengan surat tugas adalah surat yang menerangkan
bahwa orang yang diberi surat itu diperintahkan atau diberi
tugas untuk menjalankan sesuatu. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan orang yang diberi perintah adalah pegawai, staff ataupun
seseorang yang telah menduduki jabatan untuk melaksanakan
tugas ataupun menjalankan sesuatu yang diberikan oleh atasan,
instansi atau pejabat yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari
penerima tugas tersebut.
Sedangkan istilah surat tugas juga telah dijelaskan dalam
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 42 Tahun 2016
Tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementrian Dalam
Negeri menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan surat tugas
adalah naskah dinas dari atasan yang ditujukan kepada bawahan
yang berisi perintah untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
tugas dan fungsinya. Wewenang dan penandatangan Surat Tugas
adalah Menteri Dalam Negeri, Pejabat Pimpian Tinggi Madya,
Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama dan Kepala UPT. Dengan
demikian surat tugas memiliki tujuan dan fungsi untuk memberi
perintah agar bawahan melaksanakan pekerjaan sesuai tugas dan
fungsinya.
Pengaturan hukum mengenai surat kuasa dapat ditemui
secara tersirat dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyatakan “Pemberian kuasa ialah suatu
persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 17


lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama
orang yang memberikan kuasa.”
Lebih lanjut dalam Pasal 1793 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dijelaskan bahwa “Kuasa dapat diberikan dan
diterima dengan suatu akta umum, dengan surat di bawah tangan
bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan
suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan
dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa 
Kemudian, berdasarkan pasal 1814 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, pemberian kuasa merupakan perjanjian hukum
sepihak, karena pemberi kuasa sewaktu-waktu dapat mencabut
kembali tanpa perlu meminta persetujuan si penerima kuasa. Jadi,
berdasarkan hal-hal di atas maka surat kuasa tetap sah jika tidak
ditandatangani oleh penerima kuasa karena tidak ada ketentuan
hukum yang mewajibkan hal tersebut. Bahkan penerimaan suatu
kuasa, menurut pasal 1793 ayat (2), dapat pula terjadi secara
diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si
penerima kuasa. 
Dalam hal ini, yang harus diperhatikan dalam surat kuasa
adalah: Berdasarkan Pasal 1797 Tindakan apa saja yang diberikan
oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa, karena Penerima
kuasa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui
kuasa yang diberikan kepadanya sehingga dalam surat kuasa
dituliskan apa saja pemberian kekuasaan yang diberikan kepada
penerima kuasa dengan jelas.
1. Selain itu surat kuasa harus memenuhi ketentuan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994
tentang Surat Kuasa Khusus, yang menyatakan :
2. Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-
Undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa
itu hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya
: Dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara
A sebagai Penggugat dan B sebagai Tergugat, misalnya
dalam perkara waris atau hutang piutang tertentu dan

18 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


sebagainya; Dalam perkara pidana harus dengan jelas dan
lengkap menyebut pasal-pasal KUHP yang didakwakan
kepada terdakwa.
3. Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa
kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan pada tingkat
banding dan kasasi maka surat kuasa khusus tersebut tetap
sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa
diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Akan tetapi
bilamana surat kuasa khusus tersebut hanya mencakup
pemeriksaan pada tingkat pertama, harus dibuatkan
kembali surat kuasa khusus untuk pemeriksaan pada
tingkat kasasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pemberian kuasa merupakan pelimpahan kewenangan
dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk atas nama
pemberi kuasa mengurus kepentingan dari pemberi kuasa.11

III.b Surat Tugas Sebagai Dasar Beracara Bagi Tergugat di


Peradilan Tata Usaha Negara

Berdasarkan ketentuan pada Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara tidak ditemukan ketentuan yang
menyebutkan penggunaan surat tugas sebagai dasar beracara bagi
para pihak yang ingin untuk diwakili atau didampingi, karena
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dijelaskan
bahwa para pihak yang bersengketa dapat didampingi atau
diwakili oleh seorang atau beberapa kuasa, pemberian kuasa
dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan
secara lisan di persidangan. Sehingga dalam peraturan hanyalah
dikenal penggunaan surat kuasa, dikarenakan tergugat telah
ditetapkan yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan, kemudian untuk mengakomodir kepentingan

11 W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 2011, hal. 52

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 19


Buku II Pedoman Teknis administrasi dan Teknis Peradilan Tata
Usaha Negara dapat menggunakan surat tugas sebagai dasar
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sejalan dengan hasil Rakernas Peradilan Tata Usaha Negara
Tahun 2008 yang juga membahas tentang penggunaan surat
tugas oleh Tergugat, ditarik kesimpulan bahwa di dalam lingkup
hukum perdata, kuasa bersifat koordinasi antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa sehingga kedudukan keduanya bersifat
sejajar atau sederajat. Hal tersebut dapat diterapkan di Pengadilan
Tata Usaha Negara sepanjang mengenai Penggugat. Akan tetapi
mengenai Tergugat, harus dilihat terlebih dahulu hubungan
antara badan atau pejabat TUN dengan yang mewakili atau
yang menjadi kuasa, apabila hubungan tersebut merupakan sub
koordinasi antara pejabat TUN dengan jajaran di bawahnya maka
untuk dapat mewakili badan atau pejabat TUN yang digugat
cukup didasarkan pada suatu surat tugas.
Pada dasarnya telah terdapat beberapa arahan terkait
penggunaan surat tugas bagi Penggugat, namun untuk
mengetahui keabsahan sebuah surat tugas sebagai dasar beracara
seorang bawahan Pejabat TUN yang digugat perlu kita uraikan
terlebih dahulu dasar dikeluarkannya suatu surat tugas apabila
disandingkan dengan surat kuasa dalam beracara di pengadilan,
maka untuk menguraikan lebih lanjut dapat dilihat melalui konsep
teori kewenangan, apakah terdapat suatu pelimpahan wewenang
dalam pemberian surat tugas kepada bawahan seorang Tergugat.
Kewenangan dan wewenang meskipun memiliki definisi
yang sama namun telah dijelaskan dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan bahwa kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/
atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya
untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Adapun menurut
Pasal 1 angka 5 UU AP, wewenang adalah hak yang dimiliki oleh
badan dan/atau Pejbat Pemerintahan atau penyelenggara negara

20 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. (pasal 16)
Sedangkan berdasarkan pendapat Ateng Syarifudin
menguraikan perbedaan antara wewenang (competence, bevoegheid)
dengan kewenangan (authority, gezag) yaitu: Kewenangan adalah
apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal
dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan
wewenang hanya mengenai suatu onderdeel (bagian) tertentu saja
dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtbevoegdheden). Wewenang merupakan lingkungan
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak
hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah
(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan
tugas dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.12
Kemungkinan untuk memperoleh wewenang pemerintahan
dapat terjadi dengan jalan atribusi dan delegasi, pada atribusi
terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan
delegasi terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada
oleh badan atau jabatan TUN yang telah memperoleh suatu
wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau
Jabatan TUN lainnya.13
Sedangkan pada atributif wewenang, di situ terjadi
pemberian suatu wewenang oleh suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan, sedang pada delegasi di situ terjadi
pelimpahan atau pemindahan suatu wewenang yang telah ada.
Sebaliknya pada mandat, di situ tidak terjadi suatu pemberian
wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan
atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain. Dalam hal mandat
maka di situ tidak terjadi perubahan apa-apa mengenai distribusi

12 Ateng Syarifudin dalam Tedi Sudrajat, Hukum Birokrasi Pemerintah Kewenangan &
Jabatan, Cahaya Prima Sentosa, 2017, hal. 54
13 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Buku I Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1994,
hal.91

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 21


wewenang yang telah ada. Yang ada hanya suatu hubungan
intern, umpamanya antara Menteri dengan Dirjen atau Irjennya,
di mana Menteri (mandans) menugaskan Dirjen atau Sekjennya
(mandataris) untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan
hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan
TUN tertentu.14
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Tentang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
dijelaskan bahwa Kewenangan diperoleh melalui Atribusi,
Delegasi, dan/atau Mandat, kemudian dalam Pasal 12 dijelaskan
bahwa Atribusi adalah: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
memperoleh Wewenang melalui Atribusi apabila Diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau undang-undang; merupakan Wewenang baru atau
sebelumnya tidak ada dan; Atribusi diberikan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan. Dijelaskan juga bahwa tanggung
jawab Kewenangan tetap berada pada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang bersangkutan. Kewenangan yang diperoleh
dari Atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan Pendelegasian Kewenangan
ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, Badan
dan/ atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Wewenang melalui
Delegasi apabila: a.diberikan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan
kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya; b.
Ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
dan/atau Peraturan Daerah; dan c. Merupakan Wewenang
pelimpahan atau sebelumnya telah ada.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 14 Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila ditugaskan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan merupakan

14 Ibid, hal. 92

22 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


pelaksanaan tugas rutin. Pejabat yang melaksanakan tugas
rutin terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas
rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b.
pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat
definitif yang berhalangan tetap. Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dapat memberikan Mandat kepada Badan dan/
atau Pejabat Pemerintahan lain yang menjadi bawahannya, kecuali
ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perbedaaan antara mandat dengan Atribusi dan Delegasi terletak
pada status pelimpahan wewenang dan hubungan yang terjadi
hanyalah sebatas hubungan intern dalam rangka pemberian
perintahan oleh atasan kepada pegawai atau staff sesuai tugas dan
fungsi, sebagaimana dijelaskan pada pasal 14 ayat (7) yaitu Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang
melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/
atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada
perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian,
dan alokasi anggaran. Dan ayat (8) bahwa Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat
tanggung jawab Kewenangan tetap pada pemberi Mandat.
Meskipun tujuan dan fungsi antara Surat tugas dan Surat
Kuasa memiliki kemiripan namun berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan beberapa perbedaan sebagai berikut:

Perbedaan Surat Tugas Surat Kuasa


Dasar Hukum Pengaturannya Diatur dalam Kitab
bersifat internal dan Undang-Undang
menyesuaikan terhadap Hukum Perdata,
instansi terkait (contoh: dan peraturan
Permen No. 42 Tahun perundang-
2016) undangan TUN

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 23


Sumber Melakukan tindakan Mewakili dan
Wewenang sesuai dengan tugas, melakukan
fungsi serta jabatan tindakan hanya
penerima perintah berdasarkan atas
kekuasaan yang
telah diberikan
oleh pemberi
kuasa, sehingga
kewenangannya
bersifat limitatif
(delegasi)
Kedudukan Pemberi tugas adalah Pemberi kuasa dan
institusi, atau atasan penerima kuasa
yang menaungi belum tentu berada
penerima tugas dalam satu struktur
organisasi karena
tunduk pada
asas kebebasan
berkontrak
sehingga
kedudukan
keduanya bersifat
sejajar atau
sederajat
Sifat Sifat surat tugas sesuai Sifat surat kuasa
dengan Pasal 14 UU timbul berdasarkan
AP yang menjelaskan atas suatu
bahwa Badan dan/ atau perjanjian antara
pejabat pemerintahan penerima dan
memperoleh mandat pemberi kuasa
apabila ditugasakan
oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan
di atasnya dan
merupakan tugas rutin

24 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Pada dasarnya tujuan dan fungsi antara surat tugas dan
surat kuasa adalah sama, namun apabila ditelaah lebih
berdasarkan sumber wewenang, kedudukan dan sifat
keduanya berbeda. Pemberian Surat tugas apabila dilihat
dari sumber wewenang adalah perintah dari atasan
penerima surat tugas yang berisi perintah mengenai tugas
dan fungsi penerima surat tugas sedangkan dalam surat
kuasa terdapat pelimpahan kekuasaan yang mengandung
wewenang dan mengakibatkan penerima surat kuasa
memiliki wewenang yang sama dengan penerima kuasa.
2. Surat tugas sebetulnya adalah bentuk dari penugasan
oleh atasan dan sesuai dengan teori mandat yang sifatnya
adalah sebuah perintah penugasan sesuai tugas dan fungsi
pekerjaan oleh penerima surat tugas dan sifatnya hanya
mengikat penerima surat tugas sampai dengan penugasan
tersebut telah dilaksanakan, sehingga penggunaan Surat
Tugas oleh yang mewakili Tergugat dapat digunakan
dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
catatan penggunaan Surat Tugas hanya berlaku dalam
sekali agenda persidangan mengingat sifat surat tugas
adalah sebuah perintah penugasan sampai dengan tugas
tersebut dilaksanakan.

b. Saran
Berdasarkan uraian tersebut di atas apabila seseorang
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara karena perintah
penugasan yang dia terima maka dapat kita asumsikan bahwa yang
hadir dalam persidangan tersebut seolah olah adalah prinsipal itu
sendiri. Sehingga penggantian posisi penerima mandat hanyalah
kasuistis. Karena definisi surat tugas hanyalah tugas tertentu,
apabila kita sandingkan dengan teori mandat maka penerima

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 25


penugasan tersebut dapat ditugaskan hanya dalam situasi tertentu
dan tidak ada pelimpahan wewenang dalam surat tugas. Selain itu
berdasarkan Peraturan Hukum Acara di Pengadilan Tata Usaha
Negara yang tidak memerintahkan adanya kewajiban maupun
keharusan para pihak untuk memberikan kuasa dengan demikian
berarti prinsipal tidak diharuskan untuk memberikan kuasa.

26 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


DAFTAR PUSTAKA

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan


Tata Usaha Negara Buku I Beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku II Beracara di Pengadilan
Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2016 Tentang
Tata Naskah Dinas di Lingkungan Kementerian
Dalam Negeri.
Priyatmanto Abdullah, Revitalisasi Kewenangan PTUN, Cahaya
Atma Pustaka, 2018.
Tedi Sudrajat, Hukum Birokrasi Pemerintah Kewenangan &
Jabatan, Cahaya Prima Sentosa, 2017.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Administrasi
Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 27


ASPEK HUKUM BEA METERAI DALAM
PEMBUKTIAN PERKARA DI PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA
Oleh:
Vinky Rizky Oktavia15

I. PENDAHULUAN

Penggunaan meterai telah lama dilakukan oleh masyarakat,


sehingga bukan lagi merupakan suatu hal yang asing di dalam
kehidupan sehari-hari. Banyak perbuatan hukum yang dilakukan
oleh masyarakat yang akan selalu menggunakan meterai tempel.
Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa tanpa adanya
meterai pada surat perjanjian akan membuat perjanjian tersebut
tidak sah atau menjadi batal. Ketiadaan meterai dalam suatu
dokumen tidak berarti bahwa perbuatan hukum yang dilakukan
menjadi tidak sah atau batal melainkan hanya tidak memenuhi
persyaratan untuk dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.
Bagi para pihak yang sedang berperkara di Pengadilan,
dalam membuktikan dalil- dalilnya diperkenankan untuk
mengajukan dokumen sebagai alat bukti di muka persidangan.
Alat bukti dokumen tersebut sangat penting untuk membuktikan
kebenaran formil dari dalil- dalil yang diajukan. Namun, agar
dokumen tersebut dapat diajukan di Pengadilan maka ada syarat

15 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Gorontalo

28 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


yang harus dipenuhi, salah satunya adalah melakukan pelunasan
Bea Meterai terhadap dokumen tersebut.
Bea meterai merupakan pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat dalam hal ini yaitu Direktorat Jendral Pajak. Bea Meterai
adalah pajak dari suatu dokumen yang dibebankan oleh negara.
Pengertian bea meterai menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun
1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UU Bea Meterai)
yaitu “Bea Meterai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh
negara untuk dokumen-dokumen tertentu”.
Berdasarkan Pasal 1 UU Bea Meterai yang menjadi objek
dari pengenaan bea meterai adalah dokumen-dokumen yang
telah disebutkan dalam undang-undang. Pengertian Dokumen
menurut Pasal 1 Ayat (2) UU Bea Meterai adalah kertas yang
berisi perjanjian- perjanjian atau tulisan yang mengandung arti
dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi
seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan”. Dokumen
oleh Siahaan didefinisikan sebagai kertas yang berisikan tulisan
yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan,
atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak–pihak yang
berkepentingan dalam hal ini dikenal sebagai surat dan dapat
dikembangkan sebagai akta16.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) UU Bea Meterai, dikenakan
Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk:
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan
tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
1. Akta-akta notaris termasuk salinannya;
2. Akta-akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah
termasuk rangkap-rangkapnya;
3. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp. 1.000.000,-
a. Yang menyebutkan penerimaan uang;

16 Marihot Pahala Siahaan, Bea Meterai di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hal. 15

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 29


b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan
uang dalam rekening di bank;
c. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
d. Yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya
atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek
yang harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu
juta rupiah)
f. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang
harga nominalnya lebih dari Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah):
Dalam penulisan kali ini, penulis akan berfokus pada
pembahasan tentang pembebanan Bea Meterai terhadap dokumen
yang akan digunakan sebagai alat bukti dimuka pengadilan
khususnya pada Pengadilan Tata Usaha Negara, agar dapat
diketahui tentang mengapa Bea Meterai menjadi syarat administrasi
yang penting pada tiap Dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara.

II. RUMUSAN MASALAH

Untuk itu penulis akan memberikan batasan permasalahan,


dalam bentuk suatu rumusan masalah, yakni :
1. Bagaimana pemakaian meterai pada dokumen yang akan
digunakan sebagai alat pembuktian di Pengadilan Tata
Usaha Negara?
2. Apakah akibat hukum jika dokumen yang digunakan
sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan Tata Usaha
Negara tidak dilakukan pelunasan Bea Meterai?

30 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


III. PEMBAHASAN

III.a. Pemakaian Meterai Pada Dokumen Yang Akan Digunakan


Sebagai Alat Pembuktian Dimuka Pengadilan Tata Usaha
Negara

Bea meterai merupakan pajak atas dokumen yang


mempunyai arti penting guna memberikan pemasukan pada kas
negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara dan mengatur kondisi sosial masyarakat.
Adapun dasar hukum Bea Meterai adalah sebagai berikut:
1. Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai.
Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 1 Januari
1986. Sebab diterbitkannya UU Bea Meterai ini adalah karena
pembangunan nasional menuntut keikutsertaan segenap
warganya untuk berperan menghimpun dana pembiayaan yang
memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam
negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan
dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Maka
Undang-Undang ini diterbitkan untuk menggantikan Aturan
Bea Meterai tahun 1921 (Zegelverordening 1921) yang dianggap
tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan
di Indonesia, yang dirasa perlu dilakukan pengaturan kembali
tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah
dilaksanakan oleh masyarakat.
2. PP No. 24 tahun 2000
Peraturan ini sebelumnya merupakan Peraturan Pemerintah
No. 7 tahun 1995 yaitu peraturan untuk mengatur pelaksanaan
Bea Meterai yang pada akhirnya dirubah menjadi Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 2000 yang berisikan tentang perubahan
tarif Bea Meterai dan Besarnya batas Pengenaan Harga Nominal
yang dikenakan Bea Meterai. Peraturan ini mulai berlaku sejak
tanggal 1 Mei tahun 2000.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 31


3. KMK RI Nomor 133b/KMK.04/2000
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonseia Nomor
133b/KMK.04/2000 tertanggal 28 April 2000 tentang pelunasan
Bea Meterai dengan menggunakan cara lain, di antaranya yaitu:
• Pada Pasal 1: dengan membubuhkan tanda Bea Meterai
Lunas dengan menggunakan mesin teraan meterai,
teknologi percetakan, sistem komputerisasi, dan alat lain
dengan teknologi tertentu.
• Pada Pasal 2: Pelunasan Bea Meterai harus mendapatkan
izin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dan hasil
percetakan tanda Bea Meterai Lunas harus dilaporkan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
• Pada Pasal 3: Pembubuhan Bea Meterai Lunas dengan
menggunakan teknologi percetakan hanya boleh dilakukan
oleh Perum Peruri atau perusahaan lain yang sudah
memiliki izin dari Badan Koordinasi Pemberantasan Uang
Palsu yang ditunjuk oleh Bank Indonesia dan masih banyak
yang lainnya.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/ 2014
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/ 2014
tentang bentuk, Ukuran, Warna Benda Meterai. Pada peraturan
ini dijelaskan secara mendetail berapa ukuran dimensi meterai,
cetakan dasar, cetakan utama, gambar serta penggunaan teks yang
ada pada meterai, berat dan jenis kertas hingga penentuan warna
pada meterai.
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
tentang tata cara pemeteraian kemudian. Peraturan ini mulai
berlaku sejak tanggal 25 April 2014, dengan berlakunya peraturan
ini, otomatis PMK Nomor 476/KMK.03/2002 tentang pelunasan
Bea Meterai dengan cara pematraian kemudian dinyatakan
tidak berlaku lagi. Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2014 menetapkan tata cara pemeteraian kemudian,

32 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


yang merupakan cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh pejabat pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea
Meterainya belum dilunasi.
Bahwa dokumen yang akan digunakan sebagai alat
pembuktian dimuka pengadilan adalah termasuk dokumen
yang diatur harus dikenakan Bea Meterai, karena tergolong
dalam dokumen dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat
pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang
bersifat perdata sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat
(1) huruf a Undang Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai. Kemudian, termasuk pula dalam kategori dokumen yang
akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan
yakni, dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3)
UU Bea Meterai, berupa:
• Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
• Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain
atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula.
Bahwa dalam Pasal 7 UU Bea Meterai pada pokoknya
menyatakan Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara:
• Menggunakan benda meterai yang telah diatur bentuk,
ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai,
demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta
penelitian keabsahannya sebagaimana yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan.
• Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan
tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
• Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tandatangan
akan dibubuhkan.
• Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencatuman
tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau
yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tandatangan
ada diatas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 33


• Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tandatangan
harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel
dan sebagian di atas kertas.
• Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh
digunakan lagi.
• Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu
panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai
yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih
tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
Maka apabila ada cara atau ketentuan dalam Pasal 7 tersebut
diatas yang tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan atau
dalam hal ini dokumen yang seharusnya dikenakan Bea Meterai
dianggap tidak memenuhi syarat atau dianggap tidak bermeterai.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2014 pemeteraian kemudian adalah suatu cara
pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas
permintaan pemegang Dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya. Selanjutnya dalam Peraturan
Menteri Keuangan Pasal 2 Nomor 70/PMK.03/2014 tentang Tata
Cara Pemeteraian Kemudian, dinyatakan Pemeteraian dilakukan
atas:
• Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian
di muka Pengadilan;
• Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagaimana mestinya; dan/atau;
• Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan
di Indonesia.
Di Pengadilan Tata Usaha Negara. Seluruh dokumen yang
akan diajukan sebagai bukti oleh para pihak harus dilakukan
pemeteraian kemudian terlebih dahulu oleh pemegang dokumen
tersebut. Pemegang dokumen berdasarkan Pasal 3 Angka 2 Huruf
a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014 adalah
pihak yang akan menggunakan dokumen sebagai alat bukti di

34 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


muka pengadilan. Sebelum diajukan sebagai bukti, pemegang
dokumen menggandakan dokumen yang akan diajukan dari
dokumen aslinya, setelah itu diserahkan kepada pejabat POS
untuk dilakukan penempelan meterai , setelah itu pejabat POS
tersebut akan dibubuhkan cap “Telah dilakukan pemeteraian
kemudian sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
70/PMK.03/2014 disertai dengan nama, NIP POS, dan tanda
tangan Pejabat Pos yang bersangkutan, pada Dokumen yang
telah ditempeli meterai tempel dan Surat Setoran Pajak (SSP)
yang telah ditera Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Selayaknya untuk tiap dokumen yang akan diajukan sebagai bukti
di Pengadilan Tata Usaha Negara harus ditempeli meterai satu
persatu, karena 1 (satu) bukti surat akan menerangkan 1 (satu)
peristiwa hukum sehingga pemeteraiannya tidak dapat disatukan.
Penggunaan 1 (satu) meterai pada 1 (satu) bukti surat yang terdiri
dari beberapa lembar dimungkinkan apabila bukti tersebut terdiri
dari beberapa lembar yang kemudian dimaksudkan sebagai
lampiran bukti yang merupakan satu kesatuan dengan bukti
tersebut, sehingga cukup ditempelkan satu meterai saja pada
bagian depan bukti.

III.b. Akibat Hukum Jika Dokumen Yang Digunakan Sebagai


Alat Pembuktian Dimuka Pengadilan Tata Usaha Negara
Tidak Dilakukan Pelunasan Bea Meterai

Suatu negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum


(rechtstaat) menurut Burkens, sebagaimana yang dikutip oleh
Yohanes Usfunan antara lain sebagai berikut:17
1. Asas legalitas, setiap tindak pemerintahan harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan (Wettelijke gronslag).
Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formil dan
Undang-Undang Dasar sendiri merupakan tumpuan dasar
tindak pemerintah. Dalam hubungan ini pembentukan

17 Usfunan, 1988, Kebebasan Berpendapat Di Indonesia, Disertasi dalam Meraih


Doktor Pada Program Pasca sarjana UNAIR, Surabaya, hlm.111.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 35


Undang-Undangmerupakan bagian penting negara hukum.
2. Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna
bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada
satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran
perlindungan dari pemerintahan terhadap rakyat dan
sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-
undang.
Pentingnya penegakan asas legalitas dalam negara hukum,
agar tidak ada tidakan semena-mena dari Penguasa, dimana setiap
kebijakan atau keputusan yang diambil haruslah mengacu pada
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, begitu pula
atas setiap tindakan yang akan diberi sanksi harus pula telah ada
aturan perundang-undangan yang mengaturnya terlebih dahulu.
Dalam konteks pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen
yang diajukan sebagai alat bukti di Pengadilan, sebagaimana telah
dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, telah ada dan begitu
jelas aturannya, yang bahkan diatur oleh berbagai peraturan
perundang undangan mulai dari Undang-Undang sampai pada
peraturan-peraturan pelaksananya. Untuk itu, sebenarnya
tidak ada lagi alasan pengajuan dokumen sebagai alat bukti di
Pengadilan tidak dipenuhi syarat Bea Meterainya terlebih dahulu,
karena aturannya berkehendak demikian.
Dalam UU Bea Meterai pada Pasal 11 ayat (1) secara tegas
menyatakan, Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera, Jurusita,
Notaris dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas
atau jabatannya tidak dibenarkan:
1. Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen
yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
2. Melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau
kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain
yang berkaitan;

36 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


3. Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari
dokumen yang Bea Meterai- nya tidak atau kurang dibayar;
4. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang
tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-
nya.
Peringatan terhadap pejabat-pejabat tersebut diatas
menggambarkan dengan jelas jika dokumen yang Bea Meterainya
tidak atau kurang dibayar, merupakan dokumen yang tidak
memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti bahkan untuk sekedar
dipertimbangkan sebagai alat pembuktian dimuka pengadilan
tata usaha negara sebagaimana yang menjadi fokus pembahasan
dalam penulisan ini. Bahkan jika hal tersebut dilanggar, maka
akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud
dalam UU Bea Meterai pada Pasal 11 ayat (2).
Oleh karena adanya peringatan bahkan larangan, untuk
menindaklanjuti atau mempertimbangkan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar, terlebih yang digunakan
sebagai alat pembuktian di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka
atas dokumen- dokumen tersebut berakibat hukum tidak dapat
diterima pengajuannya sebagai bukti karena dinyatakan tidak
bermeterai/ belum lunas atau kurang dibayar, Jika dokumen
dinyatakan tidak bermeterai/ belum lunas atau kurang dibayar,
maka konsekuensi yang akan timbul adalah dokumen tersebut
tidak dapat diterima, dipertimbangkan atau disimpan oleh Hakim
serta Panitera dan dokumen itu juga tidak dapat dibuatkan salinan,
tembusan, rangkapan maupun petikan serta tidak dapat juga
diberikan keterangan atau catatan terhadap dokumen tersebut.
Cara melakukan pemeteraian kemudian tergantung
dari penyebab dilakukan pemeteraian kemudian dan jenis
dokumennya.
1. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas surat
kerumahtanggan dan surat lainnya sebagaimana dimaksud
Pasal 2 Ayat (3) UU Bea Meterai, yang dipergunakan sebagai

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 37


alat bukti di muka pengadilan, maka besarnya bea meterai
adalah Rp. 6.000,- tanpa administrasi;
2. Jika pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen
yang seharusnya dikenakan bea meterai tetapi ternyata
pelunasannya terlambat maka dalam pelaksanaan
pemeteraian kemudiannya ditambah denda 200%;
3. Jika Pemeteraian kemudian dilakukan atas dokumen yang
kurang bayar bea meterainya, maka pengenaan meterai
kemudian adalah disamping yang kurang bayarnya harus
dilunasi dikenakan pula denda administrasi 200% terhadap
yang kurang bayar itu.

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
Bahwa seluruh dokumen yang akan digunakan sebagai
alat pembuktian dimuka pengadilan adalah termasuk dokumen
yang diatur harus dikenakan Bea Meterai, karena tergolong dalam
dokumen dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Bea
Meterai. Di Pengadilan Tata Usaha Negara Pemeteraian kemudian
atas dokumen yang dilakukan oleh pemegang dokumen dengan
menyerahkan dokumen yang akan diajukan sebagai bukti dalam
persidangan kepada Pejabat Pos terlebih dahulu untuk dilakukan
penempelan meterai dokumen yang kemudian oleh pejabat pos
dibubuhkan cap “Telah dilakukan pemeteraian kemudian sesuai
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2014
disertai dengan nama, NIP Pos, dan tanda tangan Pejabat Pos
yang bersangkutan, pada Dokumen yang telah ditempeli meterai
tempel.
Adanya peringatan bahkan larangan, untuk menindaklanjuti
atau mempertimbangkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau
kurang dibayar, terlebih yang digunakan sebagai alat pembuktian

38 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka atas dokumen-dokumen
tersebut berakibat hukum tidak dapat diterima pengajuannya
sebagai bukti karena dinyatakan tidak bermeterai/ belum lunas
atau kurang dibayar, Jika dokumen dinyatakan tidak bermeterai/
belum lunas atau kurang dibayar, maka konsekuensi yang
akan timbul adalah dokumen tersebut tidak dapat diterima ,
dipertimbangkan atau disimpan oleh Hakim serta Panitera dan
dokumen itu juga tidak dapat dibuatkan salinan, tembusan,
rangkapan maupun petikan serta tidak dapat juga diberikan
keterangan atau catatan terhadap dokumen tersebut.

b. Saran
Pejabat Pemerintah, Hakim, Panitera, Jurusita, Notaris
dan Pejabat Umum lainnya, dalam menjalankan tugas atau
jabatannya agar selalu mensosialisasikan tentang bagaimana cara
penggunaan Meterai, cara pelunasan bea meterai yang tidak atau
kurang dilunasi bea meterainya dan cara pemeteraian kemudian
terhadap dokumen yang apabila hendak dijadikan alat bukti di
Pengadilan. Kepada masyarakat atau pihak yang berperkara,
dalam mengajukan alat bukti surat di muka pengadilan,
diwajibkan untuk melakukan Pemeteraian Kemudian terhadap
dokumen yang hendak dijadikan sebagai alat bukti tersebut.
Pihak yang berperkara dilarang atau tidak diperbolehkan
melekatkan sendiri Meterai pada dokumen yang akan diajukan
sebagai bukti surat tanpa adanya pengesahan dari pejabat kantor
pos. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat sahnya
pengajuan alat bukti surat di pengadilan.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 39


PERIHAL
FORMIL

40 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


KEPUTUSAN BERBENTUK ELEKTRONIS
SEBAGAI OBJEK SENGKETA
TATA USAHA NEGARA
Oleh:
Anissa Yanuartanti18

I. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi merupakan salah satu aspek


yang terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang belakangan
ini. Masyarakat telah familiar dengan munculnya berbagai
perusahaan startup berbasis teknologi, sebut saja ”Sociolla” dan
”Shopee”. Di bidang perikanan, muncul sebuah aplikasi digital
bernama ”i-Fishery yang memungkinkan pemberian makan ikan
dan pemantauan nafsu makan ikan secara otomatis. Di bidang
pertanian, berkembang aplikasi digital ”i-Grow” yang memberikan
peluang kepada masyarakat untuk memilih, berinvestasi, dan
mengelola sawah tanpa harus memilikinya. Di bidang kesehatan,
masyarakat dipermudah dengan aplikasi digital ”halodoc” untuk
memilih dan berkonsultasi dengan dokter tanpa harus datang ke
klinik kesehatan.
Semakin pesatnya perkembangan teknologi merambah
pula ke ranah pemerintahan dan ditandai salah satunya dengan
maraknya penerapan program berbasis e-government. Sebut saja
e-filing pajak yang memudahkan masyarakat untuk mengisi dan
18 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 41


menyampaikan SPT (Surat Pembertitahuan) melalui website tanpa
harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)19. Mahkamah
Agung sebagai badan peradilan juga telah memberlakukan
e-court melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018
tentang Administrasi Perkara Di Pengadilan Secara Elektronik.
Adanya e-court memungkinkan terjadinya pendaftaran gugatan
secara online tanpa harus datang ke pengadilan.
Kemajuan teknologi di bidang pemerintahan 9salah
satunya diakomodir melalui UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yang memungkinkan menempatkan
Keputusan Berbentuk Elektronis sebagai objek sengketa Tata
Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 11 UU Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan berbentuk
elektronis adalah keputusan yang dibuat atau disampaikan dengan
menggunakan atau memanfaatkan media elektronik. Tulisan ini
mengambil dua buah rumusan masalah, yaitu mengenai apakah
keputusan yang berbentuk elektronis dapat dijadikan sebagai
objek sengketa Tata Usaha Negara dan bagaimana pembuktian
keputusan berbentuk elektronis.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah keputusan yang berbentuk elektronis dapat


dijadikan sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana pembuktian sebuah keputusan berbentuk
elektronis?

III. PEMBAHASAN

III.a. Keputusan yang berbentuk elektronis sebagai objek sengketa


Tata Usaha Negara

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan

19 https://www.online-pajak.com, diakses pada 20 Februari 2019

42 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


menurut Pasal 1 angka 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
kongkret, individual, final. Perlu diingat pula bahwa terdapat
pengecualian menurut Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara, bahwa terdapat beberapa
Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk objek sengketa
Tata Usaha Negara, yaitu:
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum;
3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan;
4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
berdasarkan kententuan KUHP atau KUHAP atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar
hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha ABRI;
dan
7. keputusan panitia pemilihan, baik di pusat maupun daerah,
mengenai hasil pemilihan umum.
Selanjutnya bahwa hanya keputusan tertulis saja yang dapat
digugat di Pengadilan TUN.20 Tertulis di sini terutama merujuk
kepada isi, bukan kepada bentuk formalnya yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat TUN. Sebuah tulisan (memo atau nota)
dapat memenuhi syarat tertulis apabila jelas mengenai:

20 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm.161

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 43


• Badan atau Jabatan TUN mana yang mengeluarkannya;
• Maksud mengenai hal apa isi tulisan itu;
• Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang
ditetapkan di dalamnya jelas bersifat individual, konkret,
dan final;
• serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seorang atau
suatu badan hukum perdata.
Berbicara mengenai pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara, ketentuan Pasal 87 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa dengan berlakunya
undnag-undang tersebut, Keputusan Tata usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara harus dimaknai sebagai:
1. penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual;
2. keputusan badan dan/atau pejabat Tata Usaha Negara
di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggarra negara lainnya;
3. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
4. bersifat final dalam arti lebih luas;
5. keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau
6. keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Elektronis itu sendiri berasal dari kata elektronik yang
memiliki arti alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika;
hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk
atau bekerja atas dasar elektronika 21. Secara harfiah, keputusan
elektronis adalah keputusan yang menggunakan alat elektronika
atau dibentuk atas dasar elektonika. Dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik telah ada pengertian mengenai dokumen
elektronik, yaitu setiap Informasi Elektronik yang dibuat,
21 https://kbbi.web.id/elektronik, diakses pada 18 Februari 2019

44 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang
dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer
atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya
Adanya keputusan berbentuk elektronis dimungkinkan
setelah lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan dan diatur dalam bagian tersendiri, yaitu Bagian
Keempat mengenai Keputusan Berbentuk Elektronis. Menurut
Pasal 6 UU AP, Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk
menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/
atau Tindakan, hak tersebut salah satunya adalah hak untuk
menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/
atau menetapkan Tindakan. Menurut Pasal 1 angka 11 UU Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan
berbentuk elektronis adalah keputusan yang dibuat atau
disampaikan dengan menggunakan atau memanfaatkan media
elektronik. Jika dilihat dari pengertian tersebut, maka keputusan
yang dimaksud meliputi 2 hal:
1. Keputusan yang dibuat dengan menggunakan media
elektronik.
2. Keputusan yang dibuat dengan menggunakan media
elektronik dapat dicontohkan dengan sebuah surat yang
dibuat dengan media elektronik seperti komputer. Namun
perlu diingat apabila surat tertulis pada umumnya pun
dapat dibuat dengan media elektronik. Jadi menurut
penulis, pengertian keputusan elektronis yang merujuk
pada keputusan yang dibuat menggunakan media
elektronik tidak lah perlu untuk dibahas lebih lanjut
3. Keputusan yang disampaikan dengan menggunakan media
elektronik.
Keputusan yang disampaikan dengan menggunakan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 45


media elektronik contohnya adalah keputusan yang dibuat
dan disampaikan menggunakan email, telegram, Compact Disk,
faksimili, aplikasi whatsapp, hingga melalui website. Menurut
Pasal 62 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, bahwa keputusan dapat disampaikan melalui pos
tercatat, kurir, atau sarana elektronis dan dalam penjelasannya
disebutkan bahwa yang dimaksud
Terlepas dari apakah keputusan yang dibuat atau
disampaikan dengan media elektronik, Pasal 38 ayat (2) UU
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
menghendaki bahwa Keputusan Berbentuk Elektronis wajib
dibuat atau disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak
disampaikan secara tertulis. Selanjutnya menurut Pasal 62 ayat
(4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
bahwa Keputusan yang diumumkan melalui media cetak, media
elektronik, dan/atau media lainnya mulai berlaku paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak ditetapkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebuah keputusan
berbentuk elektronis dapat dijadikan sebagai objek sengketa Tata
Usaha Negara, karena objek dalam sengketa Tata Usaha Negara
adalah keputusan Tata Usaha Negara dan keputusan berbentuk
elektronis memenuhi pengertian tersebut.
Pembuktian keputusan berbentuk elektronis
Hal ini perlu dibahas karena saat sebuah keputusan
berbentuk elektronis dijadikan sebuah objek sengketa Tata
Usaha Negara, maka keputusan tersebut perlu untuk dibawa
ke Pengadilan dalam dua hal, yaitu pendaftaran gugatan dan
atau pembuktian. Di dalam UU AP sebagai peraturan yang
mengakomodir kemungkinan diterapkannya keputusan yang
berbentuk elektronis, tidak disertai dengan penjabaran lebih
lanjut terutama mengenai cara untuk menghadirkannya ke dalam
pengadilan. Padahal, menurut halaman 1 Buku II Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, persyaratan
dokumen dalam pengajuan gugatan sekurang-kurangnya berupa

46 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


surat gugatan, surat kuasa khusus dari penggugat kepada
kuasa hukumnya (bila penggugat menggunakan kuasa hukum),
fotokopi kartu advokat kuasa hukum yang bersangkutan, dan
fotokopi surat Keputusan TUN yang menjadi objek sengketa,
kecuali apabila objek sengketa berupa keputusan fiktif-negatif
atau apabila objek sengketa tidak dikuasai oleh penggugat.
Idealnya, dengan diperbolehkannya badan atau pejabat
TUN untuk mengeluarkan keputusan berbentuk elektronis,
maka perlu disiapkan instrumen-instrumen pendukung berupa
media penyimpanan, media untuk menampilkan, stampel digital,
materai digital, tanda tangan atau digital signature. Namun dalam
prakteknya, beberapa instrumen pendukung tersebut belum
tersedia sehingga apa yang dilakukan Penggugat maupun
Pengadilan untuk menghadirkan Keputusan yang berbentuk
elektronis adalah sebagai berikut, sesuai praktek pada Perkara
Nomor 181/G/2018/PTUN-MTR.
Perkara PTUN Mataram Nomor 181/G/2018/PTUN-MTR
adalah sebuah sengketa lelang yang diajukan oleh PT. Damai
Indah Utama melawan Kelompok Kerja (Pokja) 55. A Pada Bagian
Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Lombok Tengah dengan
objek sengketa berupa:
1. Keputusan Elektronik Kelompok Kerja (Pokja) 55. A Pada
Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Lombok
Tengah Tentang (insert image);
2. Adendum Dokumen Prakualifikasi Nomor : 03/Pokja-
55.A/PUPR/2017 tanggal 5 Oktober 2017 Atas Dokumen
Prakualifikasi Nomor 02/Pokja-55.A/PUPR/2017;
3. Adendum Ke-2 Dokumen Prakualifikasi Nomor : 04/Pokja
- 55. A/PUPR/2017 tanggal 6 Oktober 2017 Atas Dokumen
Prakualifikasi Nomor 02/Pokja – 55. A/PUPR/2017;
4. Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor : 09/ULP-
55.A/BPBJ/2017. tanggal 7 Desember 2017;
5. Tindakan Faktual / Konkrit Tergugat yaitu tidak melakukan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 47


perbuatan konkrit mencantumkan masa sanggah dalam
dokumen prakualifikasi Nomor 02/Pokja-55 A/PUPR 2017
maupun di dalam Adendum dokumen prakualifikasi No.
03/Pokja-55.A/PUPR/2017 tanggal 5 Oktober 2017 atas
dokumen prakualifikasi No. 02/Pokja-55.A/PUPR/2017
dan dalam addendum ke-2 dokumen prakualifikasi Nomor
04/Pokja-55 A/PUPR/2017 atas dokumen Prakualifikasi
Nomor 02/Pokja-55.A/PUPR/2017.
Praktek penerapan objek sengketa berupa Keputusan
Elektronik Kelompok Kerja (Pokja) 55. A Pada Bagian Pengadaan
Barang dan Jasa Kabupaten Lombok Tengah adalah sebagai
berikut:
1. Dalam tahap pendaftaran gugatan di Kepaniteraan PTUN
Mataram, pihak Penggugat menghadirkan objek sengketa
nomor 1 berupa Keputusan Elektronik Kelompok Kerja
(Pokja) 55. A Pada Bagian Pengadaan Barang dan Jasa
Kabupaten Lombok Tengah dengan mencetak tampilan
tangkapan layar (screen capture) dari media website yang
mengumumkan keputusan elektronik tersebut;
2. Dalam menjadikan objek sengketa sebagai alat bukti,
dilakukan dengan cara mencetak hasil tangkapan layar
(screen capture) dari media website yang mengumumkan
keputusan elektronik dan dibubuhi materai tempel secara
manual;
3. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap alat bukti yang
berupa keputusan berbentuk elektronis yang sudah dicetak,
Majelis Hakim membubuhi tanda tangan dan paraf secara
manual;
4. Dalam pencantuman di putusan, Majelis Hakim
melakukannya dengan menyebut sebagai ” Keputusan
Elektronik Kelompok Kerja (Pokja) 55. A Pada Bagian
Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Lombok Tengah
mengenai….” diikuti dengan pencantuman tabel yang
dibuat oleh Majelis Hakim dengan mengetik manual dan

48 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


dibuat sama dengan tampilan website di mana keputusan
tersebut ditampilkan, yaitu www.lpse.lomboktengahkab.go.id

Gambar 1: Tampilan penyebutan keputusan berbentuk elektronis


berupa Keputusan Elektronik Kelompok Kerja (Pokja) 55. A Pada
Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Lombok Tengah
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara di dalam putusan
PTUN Mataram Nomor 181/G/2018/PTUN-MTR.
Jadi, untuk menerapkan dan menghadirkan keputusan
berbentuk elektronis ke dalam pengadilan, dilakukan dengan
mencetak hasil tangkapan layar (screen capture) dan menyajikannya
dalam bentuk hard file.

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Keputusan yang berbentuk elektronis sebagai objek sengketa

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 49


Tata Usaha Negara dilakukan dalam hal pendaftaran
gugatan dan pembuktian di persidangan;
2. Pembuktian sebuah keputusan berbentuk elektronis
dilakukan dengan mencetak hasil screen capture atau
tangkapan layar dan menggunakannya baik untuk
pendaftaran gugatan maupun sebagai alat bukti pada tahap
pembuktian di pesidangan.

b. Saran
1. Keputusan yang berbentuk elektronis sebagai objek sengketa
Tata Usaha Negara sebaiknya disampaikan dengan media
elektronis pula;
2. Perlu dibentuk sebuah platform digital untuk mengakomodir
adanya keputusan berbentuk elektronis;

50 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik

Buku
Indroharto. 2000. Usaha Memahami Undang-Undang tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian
Dasar Hukum Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Website
Pajak Online, https://www.online-pajak.com, diakses pada 20
Februari 2019
Kamus Besar Bahasa Indonesia, https://kbbi.web.id/ elektronik,
diakses pada 18 Februari 2019

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 51


UPAYA WARGA MASYARAKAT DALAM
HAL UPAYA ADMINISTRATIF DIANGGAP
DIKABULKAN SESUAI UNDANG UNDANG
NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Oleh :
Fajar Satriaputra22

I. PENDAHULUAN

Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan (UU AP) hadir dalam rangka meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya. Dalam
pelaksanaan tugas pemerintahan, badan/pejabat pemerintahan
akan mengeluarkan Keputusan dan/atau tindakan. Keputusan
dan/atau tindakan tersebut bisa saja menimbulkan kerugian
kepada orang atau badan hukum perdata. Orang atau badan hukum
perdata tersebut bisa mengajukan gugatan kepada Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai Peradilan yang berwenang
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara. Namun dengan berlakunya UU AP maka terdapat
beberapa perubahan yang ada Peradilan Tata Usaha Negara. Salah
satu perubahan tersebut adalah dengan adanya ketentuan pasal 75

22 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Gorontalo.

52 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


sampai dengan pasal 78 UU AP mengenai Upaya Administratif.
Dalam pasal 77 UU AP mengenai Keberatan ataupun
pasal 78 UU AP mengenai Banding dijelaskan bahwa ketika
keberatan/banding tidak ditanggapi dalam jangka waktu tertentu
maka badan/pejabat yang berwenang untuk menyelesaikan
upaya tersebut dianggap telah mengabulkan upaya keberatan/
banding dan kemudian wajib mengeluarkan sebuah Keputusan
atas hal tersebut. Namun jika badan/pejabat yang berwenang
tersebut tidak mengeluarkan Keputusan dalam hal Upaya
Administratif dianggap dikabulkan, UU AP tidak mengatur
lebih lanjut mengenai apa upaya bagi warga masyarakat untuk
menindaklanjuti hal tersebut. PTUN sebagai lembaga yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara
tentu saja kehadirannya diharapkan mampu mengatasi persoalan
diatas. Warga masyarakat yang upaya administratifnya dianggap
dikabulkan harus diberikan kepastian mengenai upaya apa yang
dapat dilakukannya ke PTUN ketika hal tersebut terjadi. PTUN
yang seharusnya mampu menyelesaikan sengketa tata usaha
negara jangan sampai memberikan ketidakadilan kepada warga
masyarakat yang upaya administratifnya dianggap dikabulkan
karena salah dalam mengajukan bentuk penyelesaian ke PTUN.
Bertolak dari latar belakang permasalahan tersebut maka penulis
ingin melihat lebih lanjut bagaimana proses pengajuan upaya
administatif baik keberatan dan banding sesuai Undang Undang
Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Kemudian penulis juga akan melihat bagaimana upaya yang dapat
ditempuh oleh warga masyarakat dalam hal upaya administratif
dianggap dikabulkan sesuai Undang Undang Nomor 30 tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana prosedur pengajuan upaya administratif sesuai

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 53


Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan?
2. Bagaimana upaya yang dapat ditempuh oleh warga
masyarakat dalam hal upaya administratif dianggap
dikabulkan sesuai Undang Undang Nomor 30 tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan?

III. PEMBAHASAN

III.a Prosedur pengajuan upaya administratif sesuai Undang


Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan

Upaya Administratif sebagaimana dijelaskan dalam pasal


1 angka 16 UU AP adalah proses penyelesaian sengketa yang
dilakukan dalam lingkungan Administrasi Pemerintahan sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang
merugikan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa upaya
administratif merupakan upaya penyelesaian yang dilakukan
secara internal oleh badan/pejabat pemerintahan dalam hal
terbitnya suatu Keputusan dan/atau dilakukannya suatu tindakan
oleh badan/pejabat pemerintahan tersebut. Dalam UU AP ketika
masyarakat merasa dirugikan dengan adanya keputusan dan/
atau tindakan badan/pejabat pemerintahan dapat mengajukan
upaya administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau Atasan
Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/
atau tindakan23. Bentuk Upaya Administratif yang dapat diajukan
oleh masyarakat adalah keberatan dan banding24.
1. Keberatan
Pengajuan keberatan ditujukan kepada badan dan/atau
pejabat yang mengeluarkan keputusan secara tertulis. Tenggang
23 Lihat Ketentuan Pasal 75 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
24 Lihat Ketentuan Pasal 75 ayat (2) Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

54 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


waktu pengajuan keberatan waktu paling lama 21 hari (dua puluh
satu) hari kerja sejak diumumkannya keputusan tersebut oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Jangka waktu penyelesaian keberatan paling lama
10 (sepuluh) hari kerja. Dalam hal Badan dan/atau Pejabat
Pemeritahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan dianggap
dikabulkan. Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti
dengan penerapan Keputusan sesuai dengan permohonan
keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah berakhirnya tenggang waktu penyelesaian upaya
keberatan. Dalam hal keberatan diterima, Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai permohonan
keberatan.
2. Banding
Upaya banding terhadap keputusan upaya keberatan dapat
diajukan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
keputusan upaya keberatan diterima. Banding diajukan secara
tertulis kepada Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan.
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan
banding paling lama sepuluh (10) hari kerja. Dalam hal Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan banding
dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja, banding dianggap
dikabulkan. Badan dan/ atau pejabat pemerintahan wajib
menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tengang waktu 10
(sepuluh) hari kerja tersebut. Terhadap permohonan banding
yang dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib
menetaokan Keputusan sesuai dengan permohonan banding.
Pengujian di lingkungan intern pemerintah berbeda
dengan pengujian di PTUN. Pemerintah menilai dari aspek
“doelmatigheid” tujuan atau manfaat dikeluarkannya keputusan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 55


dan “rechtsmatigheid” dari segi hukum. Pengujian di PTUN hanya
dari segi hukum saja25.

III.b Upaya yang dapat ditempuh oleh waga masyarakat


dalam hal upaya administratif dianggap dikabulkan
sesuai Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan

Sebagaimana penjelasan pada pembahasan sebelumnya


bahwa sesuai UU AP dalam hal Keberatan ataupun Banding
tidak ditanggapi dalam jangka waktu tertentu, maka Keberatan
ataupun Bandingnya dianggap dikabulkan. Kemudian badan/
pejabat pemerintahan yang berwenang untuk menangani
keberatan atau banding tersebut wajib mengeluarkan Keputusan
terhadap hal tersebut sebagaimana diatur didalam pasal 77 ayat
(7) dan 78 ayat (6) UU AP. Namun dalam hal badan/pejabat
pemerintahan tersebut tidak mengeluarkan Keputusan sebagai
tindak lanjut dianggap dikabulkannya upaya administratif, UU
AP tidak memberikan jalan keluar terhadap hal tersebut. Memang
berdasarkan ketentuan pasal 80 ayat (1) UU AP ditentukan
bahwa pejabat yang tidak melaksanakan ketentuan pasal 77 ayat
(7) dan 78 ayat (6) akan diberikan sanksi administratif ringan.
Namun menurut penulis ketentuan pasal tersebut hanya bersifat
internal untuk pejabat/badan pemerintahan yang bersangkutan.
Permasalahan utama bagi waraga masyarakat mengenai tindak
lanjut upaya administratifnya yang dianggap dikabulkan masih
belum bisa teratasi dengan baik.
Ketentuan diatas jika dilihat sekilas akan menyerupai
ketentuan pasal 53 UU AP. Pasal 53 UU AP khususnya ayat (3)
menentukan bahwa apabila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan undang undang badan/pejabat tata usaha negara
tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
25 Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. 2018. Kompetensi Pengadilan Tata
Usaha Negara Setekah Pemberlakuan Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Lampung : AURA Publishing, hlm. 265.

56 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


tindakan, maka permohonan untuk penetapan Keputusan dan/
atau melakukan tindakan tersebut dianggap dikabulkan secara
hukum. Kemudian untuk memperoleh Putusan penerimaan
permohonan maka si pemohon harus mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara26. Permasalahan upaya
warga masyarakat dalam hal upaya administratifnya dianggap
dikabulkan menurut penulis tidak bisa diselesaikan berdasarkan
ketentuan Pasal 53 UU AP tersebut. Hal ini didasarkan kepada
Pasal 53 UU AP mengatur mengenai permohonan suatu
keputusan dan/atau tindakan yang baru oleh pemohon kepada
badan/pejabat pemerintahan. Artinya suatu Keputusan yang
belum pernah ada atau belum pernah dimohonkan sebelumnya.
Sehingga hukum acara yang mengatur pelaksanaan Pasal 53 UU
AP tidak bisa diterapkan didalam penyelesaian terhadap warga
masyarakat yang upaya administratifnya dianggap dikabulkan.
Untuk menjawab persoalan diatas maka harus dipahami
lagi mengenai upaya administratif tersebut. Timbulnya upaya
administratif tidak terlepas dari kewenangan pemerintah untuk
menjatuhkan atau membebankan sanksi administratif dan/atau
melakukan tindakan tertentu kepada masyarakat sehingga untuk
menghindarkan tirani kekuasaan, mekanisme keberatan dan/
atau banding administratif merupakan bagian tidak terpisahkan
yang disediakan sebagai sarana perlindungan hukum bagi
masyarakat. 27 Dalam upaya administratif telah terdapat suatu
keputusan dan/atau tindakan yang dijatuhkan oleh badan
pemerintahan. Upaya administratif itu merupakan prosedur
yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang – undangan
untuk menyelesaikan suatu sengketa TUN yang dilaksanakan
dilingkungan pemeritahan sendiri28. Artinya telah terdapat suatu
sengketa antara badan/pejabat pemerintahan dengan masyarakat
26 Ketentuan beracara di PTUN mengenai pelaksanaan pasal 53 ayat (5) Undang
Undang Nomor 30 tahun 2014 diatur didalam Peraturan Mahkamh Agung Nomor 8 tahun
2017 tentang Pedoman Beracara untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan
guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan.
27 Enrico Simanjuntuk, 2018, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ; Transformasi
& Refleksi, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 205.
28 Indroharto, S.H., 2005, Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, hlm. 55.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 57


yang mana penyelesaiannya secara internal di lingkungan
pemerintahan.
Ciri ciri dari upaya administratif dalam teori hukum acara
peradilan tata usaha negara ialah :29
1. Upaya administratif merupakan bagian dari pengawasan
yang dilakukan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara. Pengawasan dimaksud bersifat internal kontrol
karena dilakukan oleh suatu badan yang secara organisasi
structural masih termasuk dalam lingkungan organisasi
dari badan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
2. Ditinjau dari segi waktu dilaksanakan suatu kontrol,
upaya administratif merupakan kontrol aposteriori, yaitu
suatu pengawasan yang terjadi sesudah dikeluarkannya
ketetapan/keputusan pemerintah. Pengawasan ini
dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan
memulihkan suatu tindakan yang keliru.
3. Dilihat dari segi sifat kontrol itu terhadap objek yang
diawasi, maka upaya administratif termasuk kontrol segi
kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing), yaitu kontrol teknis
administratif intern dalam lingkungan pemerintahan
sendiri bersifat penilaian legalitas (rechtmatigheidsroetsing)
dan bahkan lebih menitikberatkan pada segi penilaian
kemanfaatan dari tindakan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pemahaman mengenai upaya
administratif diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam upaya
administratif telah terdapat suatu keputusan dan/atau tindakan
yang telah dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang
mana terhadap hal tersebut terdapat keberatan dari orang/badan
hukum perdata dan merasa dirugikan dengan adanya keputusan/
dan atau tindakan tersebut. Sehingga orang/badan hukum
perdata tersebut mengajukan tuntutan terhadap keputusan dan/
atau tindakan badan pemeritahan yang secara umum berbentuk

29 Dr. W. Riawan Tjandra, S.H.,M,Hum, 2011, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara Edisi Revisi, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 43.

58 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


keberatan dan banding. Jika terhadap hasil dari upaya administratif
tersebut orang/badan hukum perdata merasa tidak puas, maka
akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.30
Dengan berlakunya UU AP maka undang undang tersebut
membawa suatu paradigama baru yang mana dalam hal upaya
adminsitratif yang diajukan oleh warga masyarakat tidak
ditanggapi oleh badan/pejabat yang berwenang, maka upaya
administratifnya dianggap dikabulkan. Kemudian badan/pejabat
pemerintahan tersebut wajib menerbitkan keputusan mengenai
hal tersebut. Namun dengan adanya ketentuan tersebut maka
tidak akan merubah pemahaman mengenai upaya administratif
itu sendiri. Ketentuan tersebut hanya menginginkan badan/
pejabat pemerintahan melayani masyarakat dengan cepat dan
responsif. Oleh karena itu upaya administratif dalam UU AP tetap
dipahami sebagai suatu penyelesaian terhadap suatu tuntutan atas
keputusan dan/atau tindakan dari badan/pejabat pemerintahan.
Melihat ketentuan di atas maka akan menyalahi pemahaman
ketika penyelesaian mengenai upaya administratif dalam hal
warga masyarakat yang mengajukan upaya administratif dan
upaya administratifnya dianggap dikabulkan tetapi badan/
pemerintahan tidak menindaklanjutinya dengan mengeluarkan
suatu keputusan dilakukan berdasarkan pasal 53 UU AP. Hal ini
karena Pasal 53 UU AP mengatur mengenai permohonan terhadap
suatu keputusan da/atau tindakan yang baru dan belum pernah
ada, sedangkan dalam upaya administratif didalamnya telah
terdapat suatu keputusan dan/tindakan. Upaya Administratif
merupakan rezim dari tuntutan/gugatan terhadap suatu
keputusan dan/atau tindakan dari suatu badan/pejabat tata
usaha negara. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa upaya
administratif yang dianggap dikabulkan berdasarkan UU AP
namun tidak ditindaklanjuti oleh badan/pejabat pemerintahan

30 Dahulu sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan, ketika suatu sengketa telah menempuh upaya administratif
dan pemohon masih tidak puas terhadap hasil upaya administratif maka mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana ditetntukan dalam Undang
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 59


yang bersangkutan dengan mengeluarkan suatu keputusan
maka diselesaikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
mengajukan gugatan berdasarkan UU PTUN. Fakta mengenai
badan/pejabat pemerintahan yang tidak menindaklanjuti upaya
administratif yang dianggap dikabulkan akan menjadi dalil yang
memperkuat gugatan dari penggugat untuk menunut batal dan/
atau tidak sah suatu keputusan badan/pejabat pemerintahan.

IV. PENUTUP

c. Kesimpulan
1. Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Adminsitrasi
Pemerintahan mengatur ada dua bentuk upaya adminsitratif
yaitu keberatan dan banding. Jika warga masyarakat tidak
menerima terhadap penyelesaian upaya administratif
tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara.
2. Upaya Administratif dipahami sebagai penyelesaian
terhadap suatu keputusan dan/atau tindakan badan/
pejabat pemerintahan yang mana warga masyarakat merasa
dirugikan akan hal tersebut dan mengajukan tuntutan
untuk membatalkannya yang dilakukan dilingkungan
internal pemerintahan. Jika tidak puas terhadap upaya
administrtatif tersebut, maka mengajukan gugatan ke
PTUN. Dalam UU AP terdapat paradigma baru dimana
dalam hal badan/pejabat pemerintahan yang berwenang
tidak menyelesaikan upaya administratif dalam jangka
waktu tertentu maka upaya administratif nya dianggap
dikabulkan dan wajib menerbitkan suatu keputusan.
Namun hal tersebut tidak merubah pemahaman mengenai
upaya administratif yang merupakan suatu penyelesaian
terhadap suatu tuntutan atas keputusan dan/atau tindakan
dari badan/pejabat pemerintahan. Oleh karena itu upaya
administratif yang dianggap dikabulkan berdasarkan

60 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


UU AP namun tidak ditindaklanjuti oleh badan/pejabat
pemerintahan yang bersangkutan dengan mengeluarkan
suatu keputusan maka diselesaikan ke Pengadilan Tata
Usaha Negara dengan mengajukan gugatan berdasarkan
UU PTUN.

d. Saran
Mahkamah Agung demi kepastian hukum diharapkan agar
mengeluarkan peraturan yang mengatur dengan tegas dan jelas
mengenai upaya yang dapat ditempuh oleh warga masyarakat
dalam hal upaya administratifnya dianggap dikabulkan namun
pejabat yang berwenang tidak menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan sesuai dengan Undang Undang Nomor
30 tahun 2014 adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan Undang Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta
perubahannya.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 61


DAFTAR PUSTAKA

Enrico Simanjuntuk. 2018. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha


Negara; Transformasi & Refleksi, Jakarta: Sinar Grafika
Indroharto. 2005, Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
W. Riawan Tjandra. 2011. Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha
Negara Edisi Revisi. Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Yodi Martono Wahyunadi. 2018. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha
Negara Setekah Pemberlakuan Undang Undang Nomor
30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Lampung: AURA Publishing.

62 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


PENENTUAN TENGGANG WAKTU
PENGAJUAN GUGATAN DALAM SENGKETA
PERTANAHAN PADA PERADILAN TATA
USAHA NEGARA SETELAH BERLAKUNYA
PERMA NO 6 TAHUN 2018
Oleh:
Maryam Nur Hidayati31

I. PENDAHULUAN

Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga yang


memberikan perlindungan hukum bagi rakyat atas tindakan
pemerintahan. Maka dari itu, berdasarkan Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan salah satunya adalah Peradilan Tata Usaha Negara.
Jaminan perlindungan hukum kepada warga negara atas lahirnya
Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan dengan adanya hukum
acara sebagai hukum formil yaitu Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (UU Peratun).
Salah satu norma beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara

31 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 63


adalah adanya tenggang waktu dalam mengajukan gugatan.
Tenggang waktu mengajukan gugatan menjadi penting karena
prinsip dalam UU Peratun adalah apabila tenggang waktu 90 hari
itu tidak digunakan oleh mereka yang berhak menggugat maka
keputusan TUN tersebut, sekalipun ia mengandung cacat yang
fatal, tetap tidak dapat diganggu gugat lagi dengan sarana hukum
apapun kecuali atas kemauan sendiri dari pihak pemerintah dalam
hal ini instansi pemerintah yang berwenang.32
Di satu sisi banyak perkara yang diajukan gugatan di
pengadilan adalah berkenaan mengenai masalah pertanahan.
Objek sengketa dalam pertanahan seringkali terkait dengan
terbitnya sertifikat oleh badan atau pejabat TUN yang dirasa
merugikan kepentingan masyarakat. Akan tetapi, pihak yang
merasa dirugikan atas terbitnya sertifikat bukanlah pihak yang
dituju sebagaimana ketentuan Pasal 55 UU Peratun. Problematika
yang muncul selanjutnya adalah terbitnya ketentuan Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan setelah
Menempuh Upaya Administratif yang mengharuskan adanya
upaya administratif terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan
ke pengadilan. Masyarakat tampaknya dibuat kebingungan
terhadap perubahan ketentuan tersebut. Oleh karena itu
pengadilan juga harus dengan bijak dan seksama dalam hal
menentukan tenggang waktu pengajuan gugatan khususnya
perkara pertanahan.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut terdapat 2 (dua)


rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana ketentuan hukum mengenai tenggang waktu

32 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara


Buku II, Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm 62.

64 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


pengajuan gugatan dalam sengketa pertanahan pada
Peradilan Tata Usaha Negara?
2. Bagaimana penentuan tenggang waktu pengajuan gugatan
dalam sengketa pertanahan pada Peradilan Tata Usaha
Negara setelah berlakunya Perma No 6 Tahun 2018?

III. PEMBAHASAN

III.a. Ketentuan Hukum Mengenai Tenggang Waktu Pengajuan


Gugatan dalam Sengketa Pertanahan pada Peradilan Tata
Usaha Negara.

Di Indonesia secara limitatif undang-undang tentang


peradilan tata usaha negara telah memberi batasan tenggang waktu
mengajukan gugatan sebagaimana di atur dalam Pasal 55 Undang-
Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:
“gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh
hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”, namun ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus,
misalnya Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
tenggang waktu hanya 30 hari dan beberapa pengaturan khusus
lainnya.
Dalam praktek hakim dihadapkan pada persoalan mengenai
kondisi dimana kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan tidak
dapat diterapkan secara mutlak norma hukum yang terkandung
dalam Pasal 55 tersebut, antara lain:33
1. Penggugat bukan pihak yang dituju langsung oleh surat
keputusan yang digugat;
2. Penggugat salah dalam menentukan lembaga penyelesaian
sengketa yang dihadapinya (salah forum).

33 Umar Dani, Rekonstruksi Sistem Hukum Acara PTUN, FH UII Press, Yogyakarta, 2019,
hlm 301.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 65


Pertama, bagi penggugat bukan pihak yang dituju oleh surat
keputusan yang digugat tidak dapat diterapkan Pasal 55 undang-
undang peratun, Pasal 55 khusus bagi orang yang disebut atau
dituju oleh surat keputusan yang digugat, sebagaimana penjelasan
Pasal 55 yaitu: “bagi pihak yang namanya tersebut dalam keputusan
tata usaha negara yang digugat maka tenggang waktu sembilan puluh
hari itu dihitung sejak hari diterimanya keputusan tata usaha negara
yang digugat..”.
Mengetahui kekosongan hukum dalam Pasal 55 tersebut
maka Mahkamah Agung membuat pedoman dalam bentuk
surat edaran tentang tata cara penghitungan tenggang waktu
bagi orang/badan hukum yang tidak dituju langsung oleh surat
keputusan yang digugat, yaitu melalui SEMA RI Nomor 2 Tahun
1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, pada angka V berbunyi sebagai berikut:
1. Penghitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud
Pasal 55 terhenti/tertunda (geschorst) pada waktu gugatan
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang berwenang;
2. Sehubungan dengan Pasal 62 ayat (6) dan Pasal 63 ayat (1)
maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu
sebagaimana dimaksud pada butir 1.
3. Bagi mereka yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha
negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan,
maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud Pasal 55
dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa dirugikan
oleh keputusan tata usaha negara dan mengetahui adanya
keputusan tata usaha negara tersebut.
Kaidah hukum dalam SEMA Nomor 2 Tahun 1991 di
atas bertujuan mengisi kekosongan hukum. Prinsip atau kaedah
hukum sebagaimana dimaksud oleh SEMA Nomor 2 Tahun
1991 terutama poin V angka 3 dijadikan dasar bagi hakim-hakim
pengadilan tata usaha negara untuk menghitung tenggang waktu

66 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


bagi pihak ketiga, terutama setelah adanya Putusan MA yang
meneguhkan prinsip penghitungan tenggang waktu bagi pihak
yang bukan ditujukan surat keputusan yang digugat sebagaimana
dimaksud oleh Putusan Perkara No. 41 K/TUN/1994, tanggal
10 November 1994 dan Putusan Perkara No. 270 K/TUN/2001
tanggal 4 Maret 2002.34
Dalam beberapa putusan pengadilan terutama terhadap
perkara mengenai sertipikat atas tanah, sebagian besar kasus
dimana kondisi penggugat sebagai pihak yang bukan dituju oleh
keputusan yang digugat (sertipikat atas nama orang lain), apabila
menggunakan tolak ukur Pasal 55 Undang-Undang Peratun
pada umumnya pengajuan gugatan sudah melampaui tenggang
waktu 90 hari dan bahkan ada yang mencapai puluhan tahun,
maka Pengadilan selalu merujuk pada kaidah hukum Putusan
Perkara Nomor 5K/TUN/1991, tanggal 21 Januari 1993, dan
Putusan Perkara No.41 K/TUN/1994, tanggal 10 November 1994
dan Putusan Perkara No.270 K/TUN/2001 tanggal 4 Maret 2002,
juncto SEMA RI Nomor 2 Tahun 1991.
Perlu dicatat bahwa tidak semua gugatan yang diajukan
oleh pihak ketiga jika menggunakan yurisprudensi dan SEMA
tersebut lalu dianggap masih memiliki tenggang waktu, akan
tetapi Pengadilan harus lebih teliti dan benar-benar cermat dalam
menilai fakta-fakta hukum yang terkait dengang tenggang waktu,
alat uji pengadilan adalah frasa “mengetahui” dan “merasa
dirugikan” yang dihubungkan dengan fakta-fakta yang melatar
belakanginya, mengetahui saja tapi tidak merasa dirugikan atau
sebaliknya merasa dirugikan akan tetapi belum mengetahui
adanya keputusan juga tidak dapat dijadikan patokan perhitungan
tenggang waktu.
Akan tetapi setelah keluar SEMA No 3 Tahun 2015 mengenai
tenggang waktu pengajuan gugatan terdapat perubahan dimana
tenggang waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak
ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara

34 Ibid. hlm 304.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 67


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU Peratun yang semula
dihitung “sejak yang bersangkutan merasa kepentingannya
dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui
adanya keputusan tata usaha negara tersebut” menjadi “sejak
yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha
negara yang merugikan kepentingannya.” Apabila pengadilan
cukup bukti bahwa penggugat sudah mengetahui keberadaan
objek sengketa dan telah merasa dirugikan atas terbitnya
objek sengketa sudah melewati tenggang waktu 90 hari maka
pengadilan wajib menyatakan gugatan penggugat kedaluwarsa,
dan pengadilan harus ketat dalam memperhitungkan tenggang
waktu.35
Kedua, apabila Penggugat salah forum, atau menggunakan
lembaga lain dalam penyelesaian sengketa TUN yang sebenarnya
menjadi kewenangan PTUN, dan biasanya putusan lembaga ini
menyebutkan bahwa sengketa demikian adalah sengketa PTUN
yang harus diselesaikan oleh PTUN, maka sejak saat adanya
keputusan itu maka Penggugat dapat mengajukan gugatan lagi ke
PTUN, namun diterima atau tidak diterimanya gugatan demikian
diserahkan kepada pertimbangan pengadilan.36
Dalam contoh kedua ini, dasar hukum yang dapat dipakai
adalah Surat Tuada TUN RI No.224/Td.Tun/X/1993 perihal Juklak
yang dirumuskan dalam pelatihan Pemantapan Ketrampilan
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Tahap III angkata II Tahun
1993 tanggal 14 Oktober 1993, pada poin I angka 1 huruf b yang
menyebutkan: “kalau tenggang waktu tersebut dalam Pasal 55
UU No.5 Tahun 1986 telah dilampaui karena kekeliruan Penggugat
mengenai pemilihan suatu forum, maka persoalan apakah gugatan
itu formil dapat diterima atau tidak diserahkan kepada pertimbangan
hakim”. Kaidah hukum ini menghindari kesalahan Penggugat
dalam menggunakan forum penyelesaian sengketa akibat dari
kesalahan Tergugat dalam menetapkan dasar hukum.

35 Ibid. hlm 305.


36 Ibid.

68 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


III.b. Penentuan Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan dalam
Sengketa Pertanahan pada Peradilan Tata Usaha Negara
Setelah Terbitnya Perma No 6 Tahun 2018

Penentuan tenggang waktu dalam perkara di Pengadilan


Tata Usaha Negara selalu terkait dengan hitungan hari. UU
Peratun tidak menyebutkan secara ekplisit penghitungan tenggang
waktu dilakukan menurut hari kalender atau hari kerja. Di satu
sisi, ketentuan hukum peraturan mahkamah agung lainnya yang
terkait dengan peradilan tata usaha negara telah menyebutkan
secara jelas hari yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah
hari kerja. Penulis berpendapat bahwa penghitungan tenggang
waktu adalah menggunakan hari kerja.
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya bahwa penentuan tenggang waktu pada sengketa
TUN mendasarkan pada ketentuan Pasal 55 UU Peratun. Dengan
berlakunya ketentuan Perma No. 6 Tahun 2018 maka terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menentukan tenggang
waktu pengajuan gugatan khususnya sengketa pertanahan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai Pertama,
penghitungan tenggang waktu setelah upaya administratif.
Kedua, penghitungan tenggang waktu saat tidak dikeluarkannya
keputusan tindak lanjut upaya administratif.

1. Penghitungan Tenggang Waktu Setelah Upaya


Administratif.
Pada Pasal 5 ayat (1) Perma No 6 Tahun 2018 disebutkan
bahwa tenggang waktu pengajuan gugatan di Pengadilan
dihitung 90 (sembilan puluh) hari sejak keputusan atas upaya
administratif diterima oleh Warga Masyarakat atau diumumkan
oleh Badan dan/atau Pejabat Administrasi pemerintahan yang
menangani penyelesaian upaya administratif. Ketentuan tersebut
dapat dimaknai dengan gugatan pada pengadilan tata usaha

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 69


negara baru dapat diajukan 90 hari setelah keputusan atas upaya
administratif diterima oleh masyarakat.
Pada saat masyarakat telah mengajukan upaya administratif
maka dapat diketahui bahwa masyarakat telah menerima atau
mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut. Hal
ini cukup berbeda apabila kita membaca ketentuan Pasal 55 UU
Peratun yang mendasarkan tenggang waktu pengajuan gugatan
dilakukan setelah diterima atau diumumkannya keputusan
tersebut. Namun, dalam ketentuan hukum lain yaitu Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
(UU AP) mengharuskan warga masyarakat yang merasa dirugikan
terhadap keputusan dapat mengajukan upaya administratif kepada
Pejabat Pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan dan/
atau melakukan keputusan dan/atau tindakan tersebut.37 Oleh
karena itu, adanya pergeseran penghitungan tenggang waktu
dalam rezim UU AP.
Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah terkait
dengan penggugat dalam sengketa tanah yaitu banyak dibeberapa
kasus adalah pihak yang bukan namanya tersebut dalam
keputusan tersebut. Penulis mencoba membaca rumusan Pasal
1 angka 6 Perma No. 6 Tahun 2018 yang menyebutkan warga
masyarakat dalam ketentuan Perma tersebut adalah seseorang
atau badan hukum perdata yang terkait dengan keputusan dan/
atau tindakan. Kata “terkait” tidak mewujudkan penunjukan
langsung terhadap pihak yang tertulis pada keputusan melainkan
juga terhadap pihak lain diluar ‘nama’ yang tercantum dalam
keputusan tersebut.
Oleh karena itu, warga masyarakat dalam hal ini pihak
yang merasa dirugikan atas terbitnya suatu keputusan meskipun
tidak dituju dalam keputusan tersebut dapat mengajukan upaya
administratif terlebih dahulu. Untuk sengketa pertanahan,
berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata cara

37 Pasal 75 ayat (1) UU Peratun.

70 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Penanganan Sengketa Pertanahan maka telah tersedia lembaga
yang harus menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan
dalam lingkup pemerintahan. Meskipun dalam praktiknya
sebelum keluarnya Perma No.6 Tahun 2018 banyak sengketa
pertanahan langsung diajukan gugatan ke pengadilan.
Setelah upaya administratif dilakukan dan terbit keputusan
tindak lanjut dari upaya administratif maka pihak ketiga yang
tidak dituju oleh keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif
tenggang waktu pengajuan gugatan di pengadilan dihitung sejak
yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata
usaha negara yang merugikan kepentingannya.38 Maka dalam
praktik sengketa pertanahan ke depan akan ditemukan bahwa
pihak yang melakukan upaya administratif adalah pihak yang
dirugikan adanya suatu keputusan dan yang menjadi pihak ketiga
dalam upaya administratif adalah pihak yang namanya dituju
oleh keputusan.
Penentuan penghitungan tenggang waktu mengajukan
gugatan dilakukan setelah upaya administratif dilaksanakan oleh
warga masyarakat baik setelah keberatan maupun banding. Akan
tetapi, pelaksanaan upaya administratif menurut hemat penulis
tetap harus dilihat mendasarkan kepada aturan dasar terkait
dengan sengketa yang diajukan. Tenggang waktu akan terhenti/
tertunda saat warga masyarakat mengajukan upaya administratif
dan akan berlanjut setelah keputusan upaya administratif diterima
atau diumumkan oleh badan/pejabat/atasan pejabat TUN.
Kondisi demikian memang menjadi konsekuensi adanya
aturan hukum yang telah ditetapkan. Akan tetapi Mahkamah
Agung perlu mewaspadai terkait dengan upaya pihak-pihak
yang dengan sengaja menutup adanya upaya hukum dengan
melakukan terlebih dahulu upaya administratif secara formalitas
sehingga terbit keputusan tindak lanjut akan tetapi tidak
melakukan gugatan hingga tenggang waktu pengajuan gugatan
telah kedaluawarsa.

38 Pasal 5 ayat (2) Perma No. 6 tahun 2018.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 71


2. Penghitungan Tenggang Waktu Saat Tidak
Dikeluarkannya Keputusan Upaya Administratif.
Penentuan tenggang waktu juga perlu memperhatikan
beberapa hal seperti apabila tidak keluarnya keputusan upaya
administratif yang seharusnya diterima oleh warga masyarakat.
Produk hukum adanya upaya administratif yang dilakukan
masyarakat adalah dengan adanya keputusan.39 Namun tidak
menutup kemungkinan keputusan tersebut tidak dikeluarkan oleh
badan/pejabat/atasan pejabat, sehingga seakan ada pembiaran
terhadap upaya administratif yang dilakukan masyarakat.
Menurut hemat penulis sikap diam badan/pejabat/atasan pejabat
tersebut adalah suatu keputusan. Maka berdasarkan ketentuan
Pasal 77 UU AP yang menyebutkan bahwa dalam hal badan dan/
atau pejabat pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), keberatan
dianggap dikabulkan. Frasa dianggap dikabulkan dapat diartikan
bahwa keputusan yang dimintakan yaitu berkenaan dengan
upaya administratif dikabulkan.
Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1),
ayat (4), dan ayat (7) dan Pasal 78 ayat (1), ayat (4), ayat (6) UU AP
bahwa penghitungan tenggang waktu setelah melakukan upaya
administratif adalah akumulasi tahapan sebagai berikut paling
lama 21 hari untuk pengajuan keberatan, paling lama 10 hari
badan/pejabat pemerintahan menyelesaikan keberatan, paling
lama 5 hari badan/pejabat pemerintahan menetapkan keputusan
atas keberatan, paling lama 10 hari untuk pengajuan banding,
paling lama 10 hari badan/pejabat pemerintahan menyelesaikan
banding, paling lama 5 hari badan/pejabat pemerintahan
menetapkan keputusan atas banding.

39 Lihat Pasal 5 ayat (1) Perma No 6 Tahun 2018

72 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


IV. PENUTUP

c. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan sebelumnya maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Ketentuan hukum mengenai tenggang waktu pengajuan
gugatan dalam sengketa pertanahan pada Peradilan Tata
Usaha Negara tercantum pada Pasal 55 UU Peratun. Akan
tetapi untuk secara kasuistis banyak sengketa pertanahan
dimana pihak yang tidak dituju dalam keputusan
mengajukan gugatan, maka ketentuan hukum yang
mendasari mengenai tenggang waktu adalah Putusan
Perkara Nomor 5K/TUN/1991, tanggal 21 Januari 1993,
dan Putusan Perkara No.41 K/TUN/1994, tanggal 10
November 1994 dan Putusan Perkara No.270 K/TUN/2001
tanggal 4 Maret 2002, juncto SEMA RI Nomor 2 Tahun 1991;
2. Penentuan tenggang waktu pengajuan gugatan dalam
sengketa pertanahan pada Peradilan Tata Usaha Negara
setelah terbitnya Perma No 6 Tahun 2018 adalah dihitung
setelah dilaksanakannya upaya administratif. Apabila
keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif tidak
dikeluarkan maka penghitungan tenggang waktu dihitung
setelah tenggang waktu bagi badan/pejabat/atasan
pemerintahan untuk memberikan penetapan keputusan.

d. Saran
Adapun saran dari permasalahan tersebut adalah:
1. Bagi masyarakat diharapkan untuk memperhatikan
ketentuan hukum yang baru dalam hal pengajuan gugatan
agar upaya memperoleh keadilan dapat terwujud;
2. Bagi para hakim diharapkan baik secara umum maupun
kasuistis menentukan tenggang waktu dengan teliti

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 73


dan bijaksana sehingga kepentingan para pihak dapat
dilindungi;
3. Bagi pembentuk Perma No 6 Tahun 2018 untuk segera
melaksanakan sosialisasi pelaksanaan aturan hukum
tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya.

74 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


DAFTAR PUSTAKA

Indroharto, 2005. Usaha Memahami Undang-Undang tentang


Peradilan Tata Usaha Negara Buku II, Jakarta: Sinar
Harapan.
Umar Dani, 2019. Rekonstruksi Sistem Hukum Acara PTUN,
Yogyakarta: FH UII Press.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi
Pemerintahan setelah Menempuh Upaya
Administratif.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 75


IMPLEMENTASI TENGGANG WAKTU
PEMERIKSAAN PERSIAPAN
DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Aini Sahara40

I. PENDAHULUAN

Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia 1945 mengatur bahwa: (1) Kekuasaan Kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; (2) Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu
lingkungan Peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
menyelesaikan sengketa antara seorang atau badan hukum
Perdata akibat dikeluarkannya keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, mengatur bahwa ada suatu kekhususan beracara dimuka
Pengadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan

40 Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung., Magang Pengadilan
Tata Usaha Negara Medan.

76 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


pembeda dari hukum beracara pada lingkungan Peradilan pada
umumnya, yaitu proses dismissal dan pemeriksaan persiapan.
Pentingnya mengenai proses dismissal dan pemeriksaan
persiapan dalam Peradilan Tata Usaha Negara bertujuan untuk
memudahkan jalannya pemeriksaan pokok sengketa oleh Hakim.
Proses dismissal adalah suatu prosedur penyelesaian yang
disederhanakan, dimana Ketua Pengadilan diberikan wewenang
untuk memutuskan dan mengeluarkan suatu penetapan, yaitu
penetapan dismissal yang dilengkapi dengan pertimbangan
bahwa suatu gugatan yang diajukan ke Pengadilan dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar41 sesuai ketentuan Pasal 62
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.
Sedangkan Pemeriksaan Persiapan adalah salah satu
kekhususan dalam Hukum Acara di Peradilan Tata Usaha
Negara yang bertujuan untuk melengkapi gugatan yang kurang
jelas berdasarkan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut
Undang-Undang Peratun).
Sedangkan maksud diadakannya pemeriksaan persiapan
adalah untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan Penggugat
memperoleh informasi atau data yang berada dalam kekuasaan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini diperlukan
mengingat kedudukan antara Penggugat dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara berada pada posisi yang tidak
seimbang.42
Dalam pemeriksaan persiapan ini, Mejelis Hakim
maupun Pihak Penggugat berdasarkan Pasal 63 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Peratun diberikan jangka waktu 30 hari untuk
memberikan saran perbaikan dan menyempurnakan gugatan

41 R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Edisi Ketiga, Jakarta:
Sinar Grafika, 2016. Hal:. 149.
42 Indroharto, “Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara – Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Ushaa Negara”, Cetakan kesembilan, Jakarta:
Surya Multi Grafika, 2005. Hal:89.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 77


Penggugat. Apabila jangka waktu 30 hari tersebut Penggugat
belum menyempurnakan gugatan, maka Hakim menyatakan
dengan Putusan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima,
hal ini sesuai ketentuan Pasal 63 ayat (3) Undng-Undang Peratun.
Terkait jangka waktu pemeriksaan persiapan, dalam
Penjelasan Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Peratun dijelaskan
bahwa jangka waktu 30 hari tersebut tidak bersifat memaksa dan
dibutuhkan kebijaksanaan Majelis Hakim dalam menerapkannya
sehingga dalam praktiknya terdapat pemeriksaan persiapan
yang diperbolehkan melebihi jangka waktu 30 hari dan ada juga
pemeriksaan persiapan yang melebihi jangka waktu 30 hari oleh
Majelis Hakim dinyatakan gugatan tidak dapat diterima yang
dituangkan dalam sebuah Putusan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk
membahas kebijaksanaan Hakim dalam penerapan jangka waktu
pemeriksaan persiapan yang melebihi jangka waktu 30 hari
dengan judul “Implementasi Penghitungan Tenggang Waktu
Pemeriksaan Persiapan di Pengadilan Tata Usaha Negara”.

II. RUMUSAN MASALAH

Adapun permasalahan yang timbul dalam penulisan ini


adalah sebagai berikut :
1. Apakah pada tahapan pemeriksaan persiapan wajib
dilakukan perbaikan gugatan ?
2. Sejak kapankah tenggang waktu 30 hari dalam pemeriksaan
persiapan mulai berlaku?
3. Apakah yang menjadi parameter hakim dalam melaksanakan
pemeriksaan persiapan yang melebihi waktu 30 hari ?

78 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


III. PEMBAHASAN

Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lingkungan peradilan


yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya
Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember
1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut
disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata
Usaha Negara adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara
dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan
menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta
selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para
warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya Peradilan Tata
Usaha Negara juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara
hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian
hukum dan hak asasi manusia.
Dalam suatu pemeriksaan perkara di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara di tingkat Pertama yang diperiksa dengan
Acara Biasa, terdapat suatu kekhususan hukum acara dimana
salah satunya adalah tahapan “Pemeriksaan Persiapan”.43 Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara merupakan hukum acara yang
memperkenalkan lembaga pemeriksaan persiapan (voorbereidend
onderzoek) yang kemudian lembaga pemeriksaan persiapan
ini diadopsi dan dimodifikasi oleh hukum acara Mahkamah
Konstitusi dengan nama “Pemeriksaan Pendahuluan”.44
1. Dasar Hukum pelaksanaan pemeriksaan persiapan suatu perkara
diatur dalam ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Peratun
sebagai berikut:
2. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan
yang kurang jelas.

43 Lihat Penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.
44 Enrico Simanjuntak, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara – Transformasi &
Refleksi”, Jakarta: sinar Grafika, 2018, hal:229

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 79


3. Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Hakim:
a. Wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan
dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang bersangkutan.
4. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a Penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka
Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima.
5. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatanbaru.
Selain daripada ketentuan Pasal 63 Undang-Undang
Peratun tersebut, berlaku juga beberapa ketentuan lainnya terkait
pemeriksaan persiapan sebagai berikut:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (Pada Butir III);
2. Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 052/
Td.TUN/III/1992 Perihal Juklak yang Dirumuskan Dalam
Pelatihan PEningkatan Keterampilan Hakim Peradilan
TUN III Tahun 1991 (Pada Butir III); dan
3. Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 224/
Td.TUN/X/1993 Perihal Juklak Yang Dirumuskan Dalam
Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim Peradilan TUN
Tahap III Angkatan Tahun 1993 (Pada Butir VII.2).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat
dipahami bahwa Pemeriksaan Persiapan wajib dilakukan oleh
Hakim yang memeriksa sengketa dengan Acara Biasa sebelum

80 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


pemeriksaan pokok sengketa. Adapun Tujuan dilaksanakannya
pemeriksaan persiapan adalah untuk memberikan saran perbaikan
terhadap surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat dengan
melengkapi data yang diperlukan dalam rangka penyempurnaan
surat gugatan.45 Majelis Hakim wajib memeberikan nasihat
perbaikan gugatan dan Penggugat berkewajiban untuk mengikuti
nasihat perbaikan gugatan yang diberikan oleh Hakim.46
Selain itu, maksud diadakannya pemeriksaan persiapan
yaitu untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan Penggugat
memperoleh informasi atau data yang berada dalam kekuasaan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Hal ini dikarenakan
kedudukan antara Penggugat dengan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara berada pada posisi yang tidak seimbang.47
Pemeriksaan persiapan dapat dilakukan dengan Mejelis
yang tidak lengkap, maksudnya adalah pemeriksaan persiapan
dapat dilakukan oleh hakim Anggota yang ditunjuk oleh Ketua
Mejelis sesuai kebijkasanaan yang ditetapkan oleh Hakim Ketua
Mejelis.48 Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dalam persidangan yang terbuka
untuk umum dimulai, maka pemeriksaan persiapan dapat
dilakukan di ruang pemeriksaan persiapan dalam sidang tertutup
untuk umum, tidak harus di ruang sidang, bahkan dapat pula
dilakukan di dalam kamar kerja Hakim tanpa memakai toga.49

III.a. Perbaikan Gugatan pada Pemeriksaan Persiapan

Memberikan saran perbaikan dalam rangka


penyempurnaan surat gugatan yang diajukan oleh Penggugat
merupakan salah satu penerapan asas kompensasi (ongelijkhheids

45 Ibid.
46 Lihat Pasal 63 ayat (2) a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara.
47 Loc.Cit., Indroharto.
48 Lihat butir III.2 huruf b Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.
49 Lihat butir III.2 huruf a Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 81


compensatie)50 dikarenakan kedudukan antara Penggugat dengan
Tergugat diasumsikan sebagai kedudukan yang tidak seimbang.
Ketidakseimbangan ini diasumsikan karena penggugat sebagai
orang atau Badan Hukum Perdata berada dalam posisi yang lebih
lemah (inferior), sedangka tergugat sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif.
Materi saran perbaikan dalam pemeriksaan persiapan yaitu
mneyangkut syarat formil suatu gugatan sebgaimana dimaksud
dalam Pasal 56 Undang-Undang Peratun. Adapun hal-hal yang
harus diperhatikan oleh Hakim dalam memberikan nasihat
perbaikan terhadap gugatan penggugat antara lain sebagai berikut:
1. Ketepatan sistematika gugatan terkait kepala gugatan
yang memuat: a) tempat dan tanggal dibuatkannya surat
gugatan; b) nama dan alamat Pengadilan tempat pengajuan
gugatan; c) perihal pokok gugatan;
2. Ketepatan penulisan identitas penggugat dan tergugat;
3. Ketepatan penulisan objek sengketa (siapa pejabat yang
menerbitkan keputusan atau tindakan TUN; nomor dan
tanggal terbitnya keputusan TUN dan perihal yang diatur
dalam Keputusan TUN). Apabila yang menjadi objek
sengketa adalah tindakan faktual, maka harus diuraikan
tindakannya tentang apa dan kapan tindakan itu dilakukan;
4. Aspek kepentingan Penggugat (legal standing), sesuai Pasal
53 ayat 1 Undang-Undang Peratun;
5. Aspek tenggang waktu pengajuan gugatan;
6. Aspek kompetensi Absolut Pengadila Tata Usaha Negara;
7. Terkait fundamentum petendi/posita (uraian kronologis/
peristiwa yang melatarbelakangi diajukannya suatu gugatan
disertai pertentangan objek sengketa dengan peraturan
perundang-undangan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan
yang Baik, berkaitan dengan Pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan
(b) Undang-Undang Peratun; dan
50 Op.Cit., Enrico Simanjuntak. Hal:229-230.

82 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


8. Terkait tuntutan pihak penggugat (petitum/petita) yang
dimohonkan oleh penggugat untuk diputusakan oleh
Mejelis Hakim/Hakim yang menangani perkara tersebut.
Nasihat perbaikan gugatan penggugat yang diberikan oleh
Majelis Hakim/Hakim tersebut bersifat imperatif, begitu pula
pemenuhan nasihat oleh Penggugat bersifat imperatif.51 Imperatif
disini maksudnya adalah memaksa atau mengikat, karena
ini merupakan suatu kewajiban, apabila kewajiban ini tidak
dilaksanakan oleh Penggugat maupun oleh Majelis Hakim, maka
akan ada sanksi yang meyertainya.
Sanksi yang akan diterima oleh Penggugat yang tidak
mau mengikuti nasihat perbaikan gugatan yang diberikan oleh
Mejelis Hakim/Hakim terlebih sudah melebihi jangka waktu
yang diberikan oleh Pasal 63 ayat (2) huruf a Undang-Undang
Peratun, maka sanksi yang akan diterima oleh Penggugat adalah
Mejelis Hakim dapat mengambil sikap dengan sebuah Putusan
yang menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima
sesuai Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Peratun.
Sedangkan sanksi yang akan diterima oleh Majelis
Hakim apabila tidak memberikan nasihat perbaikan gugatan
kepada Penggugat, yaitu Mejelis telah melanggar Hukum Acara
dikarenakan di dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a Undang-Undang
Peratun jelas diatur bahwa Hakim wajib memberikan masihat
perbaikan gugatan kepada Penggugat.
Yang menjadi permasalahannya adalah, jika suatu
gugatan Penggugat dirasa oleh Mejelis Hakim sudah jelas
ataupun sempurna, apakah Majelis Hakim/Hakim tetap harus
memberikan nasihat perbaikan gugatan Penggugat? Jawabannya
adalah iya, Majelis Hakim/Hakim gugatan Penggugat tetap harus
diperbaiki meskipun hal tersebut bukan merupakan hal pokok
yang harus diperbaiki, misalnya kesalahan penulisan, kurang
huruf maupun tanda baca. Hal ini dikarenakan, Majelis Hakim
belum boleh membacakan gugatan Penggugat dalam persidangan

51 Op.CIt., R.Wiyono. Hal: 157.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 83


yang terbuka untuk umum, apabila gugatan Penggugat belum
diperbaiki.
Teknisnya disuatu Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan
yang bisa dibacakan oleh Majelis Hakim dalam Persidangan yang
terbuka untuk umum adalah gugatan yang sudah diperbaiki dan
didaftarkan ulang oleh Penggugat kepada bagian Pendaftaran
perkara, sehingga gugatan tersebut diberi cap oleh petugas
pendaftaran yang menerangkan bahwa gugatan penggugat
tersebut sudah melalui tahapan perbaikan.
Penerapan Jangka Waktu Pemeriksaan Persiapan
Berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (2) huruf a, jangka
waktu pemeriksaan persiapan adalah 30 hari (karena Undang-
Undang Peratun tidak menentukan hari yang dimaksud dalam
Undang-Undang tersebut, maka hari yang digunakan adalah
hari kalender). Penerapan penghitungan jangka waktu 30 hari
tersebut terhitung sejak diberikannya nasihat perbaikan gugatan
Penggugat oleh Majelis Hakim/Hakim.
Nasihat perbaikan gugatan tidak mesti diberikan oleh
Majelis Hakim/Hakim pada saat “Pemeriksaan Persiapan
Pertama”, namun jika Mejelis Hakim/Hakim memandang pada
saat pemeriksaan persiapan pertama tersebut belum menjadi
suatu keharusan diberikan nasihat perbaikan gugatan penggugat,
dikarenakan Mejelis Hakim/Hakim harus mendengarkan
keterangan Tergugat ataupun meminta Tergugat untuk
menghadirkan objek sengketa terlebih dahulu.
Jadi, selama Mejelis Hakim/Hakim belum memberikan
nasihat perbaikan gugatan Penggugat, maka penghitungan jangka
waktu pemeriksaan persiapan tersebut belum berlaku.

III.b. Parameter Mejelis Hakim/Hakim Memperbolehkan


Pemeriksaan Persiapan Dilakukan Lebih Dari Jangka Waktu
Yang Telah Diatur

Terkait Pemeriksaan Persiapan yang melebihi waktu

84 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


30 hari, penulis mengambil beberapa contoh perkara dimana
proses pemeriksaan persiapannya melebihi jangka waktu 30 hari.
Beberapa perkara tersebut antara lain:

Waktu Alasan Pem.


No No. Perkara Pem. Persiapan
Persiapan Lewat Waktu
1 30/G/2017/ 47 Hari Adanya
PTUN.MDN Perubahan
terkait Objek
Sengketa.
Objek sengketa
awal ada
yang dipecah
dan ada yang
digabung.
2 150/G/2017/ 43 Hari Tergugat tidak
PTUN.MDN memberikan
data-data
terkait yang di
perintahkan
oleh Majelis
Hakim.
3 14/G/2018/ 64 Hari Adanya
PTUN.MDN Perubahan
Terkait Objek
Sengketa. Objek
Sengketa awal
sudah di Pecah.
3 75/G/2018/ 49 Hari Adanya Cuti
PTUN.MDN Bersama
Lebaran Tahun
2018.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 85


Jangka waktu pemeriksaan persiapan sesuai ketentuan
Undang-Undang Peratun adalah 30 hari kalender sejak Mejelis
Hakim/Hakim memberikan nasihat perbaikan gugatan
Penggugat. Apabila melebihi jangka waktu tersebut, maka Majelis
Hakim dapat mengambil sikap dengan suatu Putusan yang
menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Namun, tidak terbatas penafsiran sederhana tersebut, bahwa
jangka waktu 30 hari mutlak atau menjadi suatu keharusan untuk
diterapkan. Karena dalam penjelasan Pasal 63 ayat (3) Undang-
Undang Peratun dijelaskan bahwa tenggang waktu tersebut tidak
bersifat memaksa dan dibutuhkan kebijaksanaan Hakim dalam
menerapkannya.
Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti
kata kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budi
(pengalaman dan pengetahuannya).52 Jadi, kebijaksanaan yang
dimaksud dalam penjelasan Pasal 63 ayat (3) tersebut penulis
menafsirkan sebagai kepandaian Majelis Hakim/ Hakim
berdasarkan pengetahuannya menentukan pemeriksaan suatu
perkara dapat dilakukan lebih dari 30 hari.
Ada perkara dimana pemeriksaan persiapannya melewati
jangka waktu 30 hari langsung diputus oleh Majelis Hakim dengan
putusan gugatan tidak dapat diterima, dan ada pula perkara yang
pemeriksaan persiapannya melebihi jangka waktu 30 hari, namun
tetap dilanjukan. Ini semua tergantung bagaimana kebijaksanaan
Mejelis Hakim/Hakim menyikapinya yang terkadang juga
tergantung subyektifitas Majelis Hakim/Hakim.
Jika dalam suatu perkara, Penggugat hanya hadir satu kali
untuk diberi nasihat perbaikan gugatan dan kemudian Penggugat
tidak pernah hadir lagi pada Pemeriksaan Persiapan ataupun
Pihak Penggugat tidak menunjukkan keseriusannya dalam
memperbaiki gugatan, maka Majelis Hakim boleh menerapkan
jangka waktu 30 hari pemeriksaan persiapan tersebut.

52 Kamus online https://kbbi.kata.web.id ,diakses pada hari Selasa, 19 Februari 2019,


pukul 20.47 WIB.

86 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Terkait kebijaksanaan Hakim dalam menentukan
pemeriksaan persiapan dapat melebihi jangka waktu yang
sudah diatur oleh Undang-Undang Peratun, maka ada beberapa
parameter yang memperbolehkan pemeriksaan persiapan
dilakukan melebihi jangka waktu 30 hari. Adapun parameter
tersebut antara lain:
1. Keadaan Memaksa
Yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah keadaan
tertentu yang memaksa Penggugat tidak dapat memperbaiki
gugatan dengan jangka waktu 30 hari. Istilah keadaan memaksa
berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeur, sedangkan dalam
bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Jika dilihat dalam
Undang-Undang Peratun tidak ada ketentuan yang mengatur
terkait keadaan memaksa. Istilah keadaan memaksa tersebut
dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 1244 dan 1245.
Berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata, maka overmacht
dalam pemeriksaan persiapan di Pengadilan Tata Usaha Negara
dapat dianalogikan sebagai suatu keadaan dimana Penggugat
tidak dapat melakukan prestasinya (dalam hal ini memperbaiki
gugatan) yang disebabkan adanya kejadian gempa bumi, banjir
dan kecelakaan.
2. Keadaan Geografis
Yang dimaksud dengan keadaan geografis disini adalah
keadaan dimana Penggugat maupun Tergugat yang diperintahkan
oleh Majelis Hakim untuk mebawa data-data terkait berada pada
suatu wilayah yang jauh, dimana memerlukan waktu yang lama
untuk bisa hadir kembali di Persidangan.
3. Kesalahan atau Kelalaian bukan dari Penggugat
Pemeriksaan persiapan melebihi jangka waktu 30 hari
yang dikarenakan kesalahan atau kelalaian bukan dari penggugat
dapat diambil contoh dalam suatu praktik dimana Penggugat
mengalami kesulitan untuk melengkapi data yang diperlukan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 87


pada gugatan sesuai dengan nasihat Hakim, karena data tersebut
misalnya surat-surat ada pada Tergugat atau ada pada instansi
lain. Jika terjadi keadaan tersebut, Indroharto memberikan solusi
agar Hakim yang berperan meminta data-data tersebut.53
Namun, akan menimbulkan masalah baru apabila setelah
dipanggil secara sah oleh Hakim, Tergugat atau instansi lain
tidak mau hadir untuk memberikan penjelasan atau data yang
diperlukan.
Terhadap beberapa parameter tersebut di atas, maka
kebijaksanaan Mejelis Hakim/Hakim dapat mengesampingkan
jangka waktu 30 hari tersebut atau dapat dikatakan bahwa jangka
waktu 30 hari tidak bersifat memaksa dalam beberapa keadaan
tersebut.
Seperti beberapa contoh perkara yang sudah penulis teliti,
rata-rata pemeriksaan persiapan dilakukan lebih dari 30 hari tidak
karena kesalahan dari Penggugat, melainkan kesalahan Tergugat
yang lama untuk membawa data-data terkait Objek Sengketa
ataupun Tergugat yang dimintakan membawa Objek Sengketa
yang sudah mengalami perubahan tidak hadir dalam pemeriksaan
persiapan. Apabila terdapat perubahan dalam Pemeriksaan
Persiapan tersebut terkait objek sengketa maka otomatis Gugatan
Penggugat masih harus diperbaiki oleh Penggugat.

IV. Penutup

a. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah penulis tuangkan
sebelumnya terkait pemeriksaan persiapan, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Pada pemeriksaan persiapan, gugatan Penggugat wajib
untuk dilakukan perbaikan meskipun dalam suatu keadaan
Gugatan Penggugat sudah jelas dan sempurna. Hal ini bisa

53 Op.Cit., Indroharto. Hal: 92-93

88 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


dilakukan dengan cara mendaftarkan kembali gugatan
Penggugat, karena dalam praktiknya di Pengadilan Tata
Usaha Negara, gugatan yang dapat dibacakan oleh Majelis
Hakim dalam Persidangan yang terbuka untuk umum
adalah gugatan yang sudah terdapat keterangan yang
diberikan oleh petugas pendaftaran perkara pada Meja
PTSP sebagai gugatan yang telah diperbaiki.
2. Penghitungan jangka waktu 30 hari pada pemeriksaan
persiapan dilakukan sejak Mejelis Hakim/Hakim
memberikan nasihat perbaikan gugatan Penggugat.
3. Parameter Mejelis Hakim/Hakim memberikan
kebijaksanaan pemeriksaan persiapan dilakukan melebihi
jangka waktu 30 hari terbagi ke dalam 3 kategori keadaan,
yaitu: 1) Keadaan memaksa; 2) Keadaan geografis; dan 3)
Kesalahan atau kelalaian bukan dari Penggugat.
b. Saran
Jika penulis mengamati masih adanya pemeriksaan
persiapan yang dilakukan melebihi jangka waktu 30 hari
dikarenakan terdapat kelalaian atau kesalah tergugat, maka
penulis memandang perlu untuk:
1. Agar hakim tidak terburu-buru dalam memberikan nasihat
perbaikan gugatan penggugat.
2. Perlu adanya ketentuan yang mengatur bagaimana
mekanisme hukum bagi sikap-sikap tergugat yang tidak
akomodatif dan sengaja merintangi jalannya persidangan.
3. Perlu adanya aturan khusus yang menjelaskan parameter
pemeriksaan suatu perkara dapat melebihi jangka waktu 30
hari.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 89


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Indonesia. Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (LNRI Tahun
1986 Nomor 77, TLN No.3344)
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 052/Td.TUN/
III/1992 Perihal Juklak yang Dirumuskan Dalam
Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim Peradilan
TUN III Tahun 1991.
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 224/
Td.TUN/X/1993 Perihal Juklak Yang Dirumuskan
Dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan Hakim
Peradilan TUN Tahap III Angkatan Tahun 1993.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

Buku:
R. Wiyono, “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Edisi
Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.
Indroharto, 2005. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Buku II Beracara Di
Pengadilan Tata Ushaa Negara (Jakarta: Surya Multi
Grafika).

90 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Simanjuntak, Enrico. 2018. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
– Transformasi & Refleksi. (Jakarta: Sinar Grafika).
Internet:
Kamus online https://kbbi.kata.web.id .Diakses 19 Februari 2019.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 91


PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PIHAK KETIGA DALAM PERKARA
PERMOHONAN FIKTIF POSITIF
Oleh :
Vivi Ayunita Kusumandari54

I. PENDAHULUAN

UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan


merupakan dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
upaya mewujudkan Good Governance, dengan harapan peraturan
tersebut mampu menciptakan birokrasi yang semakin baik,
transparan dan efisien. Hadirnya undang-undang ini membawa
perubahan berkaitan dengan pengaturan penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi pedoman bagi badan dan/
atau pejabat pemerintahan dalam menjalankan tugas dan
kewenangannnya. Undang-undang ini menjadi landasan hukum
materiil untuk mengatur suatu keputusan dan/atau tindakan
badan/pejabat pemerintahan berdasarkan ketentuan perundang-
undangan dan Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB).
Sebelum diundangkannya UU Administrasi Pemerintahan,
tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek
materiil atas hal tersebut. Aspek hukum administrasi materiil
untuk menguji keputusan/tindakan badan/pejabat pemerintahan

54 Calon Hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pangkal Pinang, Magang di
Pengadian Tata Usaha Negara Medan.

92 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


tersebut tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan
dan tidak ada yang terkodifikasi dalam satu peraturan.55
Berkaitan dengan pelayanan publik, khususnya terhadap
permohonan penerbitan keputusan tata usaha negara yang
diajukan oleh masyarakat, jika dibandingkan dengan ketentuan
dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
terdapat perubahan prinsip mengenai makna sikap diam badan
atau pejabat tata usaha negara yang menurut undnag-undnag
berkewajiban untuk menerbitkan keputusan tata usaha negara
yang dimohonkan oleh masyarakat. Menurut Pasal 3 UU No. 5
Tahun 1986, pada prinsipnya apabila permohonan tidak dijawab
atau badan/pejabat tata usaha negara bersikap diam padahal
hal tersebut merupakan kewajibannya, maka pejabat dianggap
menerbitkan keputusan penolakan permohonan, hal ini dikenal
dengan “keputusan fiktif negatif”. Sedangkan saat ini berdasarkan
Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014, prinsipnya apabila permohonan
tidak dijawab oleh badan atau pejabat tata usaha negara, maka
permohonan tersebut dianggap dikabulkan, hal ini dikenal dengan
“keputusan fiktif positif”. Lahirnya konsep keputusan fiktif
positif ini tidak terlepas dari perubahan paradigma pelayanan
publik yang mengharuskan badan atau pejabat pemerintah lebih
responsif terhadap permohonan masyarakat.56
Selanjutnya, untuk mengukuhkan keputusan fiktif
positif tersebut, Pemohon harus mengajukan permohonan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara agar permohonan pelayanan yang
diajukan kepada pemerintah tersebut dikukuhkan sesuai dengan
permohonan Pemhon dan mewajibkan kepada badan dan/atau
pejabat yang menjadi Termohon untuk menerbitkan Keputusan
dan/atau melakukan Tindakan yang dimintakan. Permohonan
tersebut, menurut undang-undang harus diputus oleh Pengadilan
dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan
55 Maftuh Effendi, Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu Pemikiran ke Arah
Perluasan Kompetensi Pasca Amandemen Kedua Undang -Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jurnal Hukum dan Peradilan Volume 3 Nomor 1 Maret 2014, halaman 27.
56 Tri Cahya Indra Permana, “Peradilan tata Usaha Negara Pasca Undang-undang
administrasi Pemerintahan ditinjau dari Segi Access to Justice” Jurnal Hukum dan Peradilan,
Vol. 4, No. 3, November 2015, hal. 426.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 93


didaftarkan. Putusan dari perkara permohonan fiktif positif ini
bersifat final dan mengikat. Hal tersebut tentunya menimbulkan
permasalahan apabila tindak lanjut dari Putusan Pengadilan
terhadap keputusan fiktif-positif menimbulkan kerugian bagi
pihak ketiga. Jika terjadi hal demikian, upaya hukum seperti apa
yang dapat ditempuh, mengingat pihak yang dirugikan ini tidak
menjadi pihak dalam perkara permohonan fiktif-positif yang
diperiksa oleh Pengadilan.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan


di atas, permasalahan terkait dengan permohonan fiktif positif
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep permohonan fiktif-positif berdasarkan
Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung No. 8
Tahun 2017?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pihak
ketiga yang dirugikan dalam perkara permohonan fiktif
positif?

III. PEMBAHASAN

Untuk menjawab permasalahan sebagaimana telah


disebutkan di atas, Penulis akan menguraikan pembahasan
menjadi dua bagian sebagai berikut:

III.a. Permohonan Fiktif-Positif Berdasarkan Pasal 53 UU No.


30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Sebelum lahirnya UU No. 30 Tahun 2014, UU No. 5 Tahun


1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur penyelesaian

94 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


sengketa usaha negara terhadap sikap diam badan atau pejabat tata
usaha negara yang sebenarnya berkewajiban menerbitkan sebuah
keputusan yang dimohonkan oleh warga negara. Berdasarkan
Pasal 3 undang-undang tersebut, prinsip dasarnya yaitu bahwa
setiap badan atau pejabat tata usaha negara wajib melayani setiap
permohonan warga masyarakat yang ia terima, apabila hal yang
dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi
tugas dan kewajibannya. Apabila ia melalaikan kewajiban itu,
maka walaupun tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan,
dianggap telah menolak permohonan tersebut, hal ini dikenal
dengan “keputusan fiktif negatif.57 Keputusan yang bersifat fiktif
negatif adalah sikap diam Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara
yang tidak mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang
dimohonkan oleh orang atau badan hukum perdata, dalam kurun
waktu tertentu, sedangkan hal tersebut  menjadi kewajibannya.58
“Fiktif” menunjukkan bahwa keputusan TUN yang digugat
sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya merupakan sikap diam dari
badan atau pejabat TUN, yang kemudian dianggap disamakan
dengan sebuah keputusan TUN yang nyata tertulis. “Negatif”
menunjukkan bahwa keputusan TUN yang digugat dianggap
berisi penolakan terhadap permohonan yang telah diajukan oleh
Individu atau badan hukum perdata kepada badan atau pejabat.
Adapun, pasca berlakunya UU No. 30 Tahun 2014, ketentuan
tentang sikap diam pejabat diatur dalam Pasal 53 UU No. 3 Tahun
2014 sebagai berikut:
1. Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan
batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

57 Indroharto, Usaha Memahami Undnag-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara


Buku I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hal. 184-185.
58 Ibid. Lihat juga Irvan Mawardi, “KTUN Fiktif Positif dan Akuntabilitas Administrasi
Pemerintah,” diakses dari http://ptun-samarinda.go.id/index.php/layanan-publik/42-
ktun-fiktif-positif-dan-akuntabilitas-administrasi-pemerintah, pada tanggal 16 Februari
2019, pukul. 21.37 WIB.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 95


maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima
secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
3. Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan
tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.
Secara prinsip, Pasal 53 UU No. 30 tahun 2014 mengatur
apabila dalam batas waktu yang ditentukan, badan atau pejabat
pemerintah tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan
dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap
dikaulkan secara hukum. Hal demikianlah yang dimaknai
dengan keputusan fiktif positif. 59 “Fiktif” menunjukkan bahwa
keputusan yang dimohonkan sebenarnya tidak berwujud. Ia
hanya merupakan sikap diam dari badan atau pejabat pemerintah,
yang kemudian dianggap disamakan dengan sebuah keputusan
yang nyata tertulis. “Positif” menunjukkan bahwa keputusan
yang dimohonkan dianggap bahwa permohonan yang telah
diajukan oleh Individu atau badan hukum perdata kepada badan
atau pejabat TUN tersebut dikabulkan.60 Berkenaan dengan
perubahan paradigm pemaknaan sikap diam badan dan/atau
pejabat, dari fiktif negatif menjadi fiktif positif mengandung
pengertian bahwa dalam setiap pengambilan keputusan dan/atau
tindakan harus selalu memperhatikan dan terikat pada tenggang
waktu untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/
atau Tindakan yang dimohonkan oleh warga masyarakat. Selain
itu, menjadi salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan, menciptakan tertib penyelenggaraan pemerintahan,
menciptakan kepastian hukum, serta menjamin akuntabilitas

59 Ibid.
60 Enrico Simanjuntak, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan
Refleksi, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hal. 137.

96 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan serta memberikan
perlindungan kepada masyarakat.
Terhadap keputusan fiktif positif sebagaimana dimaksud
dalam pasal 53 ayat (3) undang-undang tersebut, untuk dapat
dilaksanakan dan memperoleh penerimaan permohonan, harus
dilakukan melalui permohonan ke PTUN, sebagaimana diatur
pada Pasal 53 ayat (4), (5), dan (6) berikut ini:
1. Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
2. Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak permohonan diajukan.
3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak
putusan Pengadilan ditetapkan.
Oleh karena, UU No. 30 Tahun 2014 merupakan hukum
materiil administrasi pemerintahan, sedangkan hukum acaranya
tetap merujuk pada UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimanba telah
diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009,
maka untuk mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara
yang mengatur mengenai beberapa hal yang menjadi kompetensi
Pengadilan Tata Usaha Negara pasca berlakunya UU No. 30
Tahun 2014 diantaranya terkait dengan permohonan fiktif positif,
Mahkamah Agung menerbitkan Perma No. 5 Tahun 2015 tentang
Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan
Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan
Badan Atau Pejabat Pemerintahan. Perma terssebut menjadi
pedoman bagi para hakim dalam mengadili permohonan fiktif-
positif, namun demikian, dalam praktiknya timbul permasalahan
khususnya disebabkan oleh ketidakjelasan batasan atau kriteria
permohonan seperti apa yang dapat diajukan dan diperiksa
melalui permohonan fiktif positif.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 97


Jika merujuk pada hukum acara perdata, permohonan
merupakan tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa.
Dimana yang terlibat hanyalah sepihak yaitu pemohon yang
bersifat ex-parte. Sifat ex-parte yang dimaksud adalah (1) hanya
mendengar keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan
dengan permohonan; (2) memeriksa bukti surat atau saksi yang
diajukan oleh Pemohon; (3) tidak ada tahap jawab menjawab dan
kesimpulan layaknya tahapan dalam perkara gugatan contentiosa.
Pemeriksaan permohonan yang diajukan oleh pemohon haruslah
didasarkan pada bukti-bukti yang akan dijadikan pertimbangan
Hakim dalam memeriksa permohonan tersebut. Pengadilan
perdata dalam menyelesaikan masalah perdata yang bersifat
sepihak atau ex-parte dengan batasan keadaan yaitu: (1) sangkat
terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tertentu saja; (2)
hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan
sendiri oleh undang-undang yang menegaskan tentang masalah
yang bersangkutan dapat atau diselesaikan secara voluntair
dalam bentuk permohonan. Dalam memeriksa permohonan
yang bersifat ex-parte, disyaratkan agar jangan sampai memutus
perkara voluntair yang mengandung sengketa yang sebenarnya
harus diputus secara contentiosa.61
Oleh karena ketidakjelasan batasan objek permohonan
fiktif positif, maka dalam praktik terjadi adanya permohonan fiktif
positif yang sebenarnya mengandung sengketa diantaranya yaitu
terkait dengan permohonan pembatalan izin usaha pertambangan
dan pembatalan berkaitan dengan hak atas tanah. Kondisi ini
kemudian direspon Mahkamah Agung dengan menerbitkan
Perma No. 8 Tahun 2017 oleh karena Perma No. 5 Tahun 2015
belum memberikan panduan yang jelas bagi Hakim dapam
mengadili perkara permohonan fiktif-positif. Hal sangat penting
yang diatur dalam Perma baru tersebut yaitu terkait dengan
kriteria dan pembatasan objek permohonan.

61 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian


dan Putusan Pengadilan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 28-30.

98 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Pasal 3 Perma No. 8 Tahun 2017 mengatur bahwa
objek permhonan adalah kewajiban badan dan/atau pejabat
pemerintahan untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan
tindakan administrasi pemerintahan yang dimohonkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
kriteria permohonan guna mendapatkan ditentukan mencakup
hal sebagai berikut:
1. Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau
pejabat pemerintahan;
2. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan untuk
menyelenggarakan fungsi pemerintahan;
3. Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang
belum pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan
dan/atau pejabat pemerintahan; dan
4. Permohonan untuk kepentingan Pemohon secara langsung.
Menurut Penulis, kriteria tersebut bersifat kumulatif,
dengan demikian untuk dapat dikategorikan sebagai permohonan
fiktif positif, harus memenuhi keempat kriteria tersebut.
Adapun yang tidak termasuk objek permohonan yaitu 1).
Permohonan merupakan pelaksanaan dari Putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap; atau 2) Permohonan terhadap
permasalahan hukum yang sudah pernah diajukan gugatan.,
dimana keduanya bersifat alternatif. Pembatasan kriteria objek
ini sangat penting karena menjadi pedoman bagi hakim dalam
memeriksa permoonan fiktif positif. Perbedaan pandangan para
hakim dalam memaknai permasalahan ini akan rentan membawa
ketidakpastian hukum sebagai akibat dari inkonsistensi penerapan
hukum dalam perkara-perkara yang diputus.
Berdasarkan Perma No. 8 Tahun 2017, ditentukan juga
bahwa yang menjadi pihak selain Pemohohon, didudukkan juga
Badan atau Pejabat Pemerintahan sebagai Termohon. Pemohon
adalah pihak yang permohonannya dianggap dikabulkan secara
hukum akibat tidak ditetapkannya Keputusan dan/atau tidak
dilakukannya Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 99


dan karenanya mengajukan kepada Pengadilan yang berwenang
untuk mendapatkan putusan atas penerimaan permohohan.
Termohon adalah Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
mempunyai kewajiban untuk menetapkan Keputusan dan/atau
melakukan Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Permohonan
dari Pemohon.
Selanjutnya, Perma No. 8 Tahun 2017 juga mengatur
tenggang waktu pengajuan permohonan, yang tidak diatur
dalam Perma sebelumnya. Permohonan Fiktif-Positif hanya dapat
diajukan 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak:
1. Batas waktu kewajiban badan atau pejabat pemerintahan
untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan terlampaui;
2. Setelah 10 (sepuluh) hari kerja permohonan diterima secara
lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan,
jika batas waktu kewajiban untuk menetakan dan/atau
melakukan keputusan dan/atau Tindakan tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

III.b. Perlindungan Hukum terhadap Pihak Ketiga yang


Dirugikan dalam Perkara Permohonan Fiktif-
Positif

Pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata


Usaha Negara mengatur yang pada pokoknya bahwa selama
pemeriksaan berlangsung, setiao prang yang berkepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan,
baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan atau
maupun prakarsa Hakim dapat masuk sebagai pihak baik untuk
membela haknya atau bergabung dengan salah satu pihak yang
bersengketa. Adanya ketentuan tersebut merupakan bentuk
perlindungan hukum bagi pihak ketiga yang memiliki kepentingan

100 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


terhadap perkara yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, terlebih
lagi dengan telah dihapuskannya Pasal 118 UU No. 5 Tahun 1986.
Namun demikian, untuk perkara permohonan fiktif-positif, Pasal
11 ayat (4) Perma No. 8 Tahun 2017 mengatur bahwa dalam perkara
permohonan fiktif-positif, tidak dimungkinkan masuknya pihak
ketiga sebagai pihak berperkara atau pihak intervensi, dimana
pada Perma sebelumnya tidak diatur mengenai hal ini. Dapat
dipahami bahwa pengaturan tersebut merupakan konsekuensi
dari permohonan fiktif-positif yang bersifat voluntair. Mengingat,
dalam praktik terjadi beragam penafsiran terkait kriteria atau objek
permohonan fiktif positif, yang mengakibatkan kerugian bagi
pihak ketiga, maka diperlukan penegasan pembatasan objek yang
dapat diajukan permohonan fiktif-positif. Hal tersebut terjawab
melalui terbitnya Perma No. 8 Tahun 2017 yang mengatur kriteria
dan pembatasan objek yang tidak diatur dalam Perma sebelumnya
Pasal 3 ayat (2) dan (3) Perma No. 8 Tahun 2017 mengatur
bahwa kriteria permohonan guna mendapatkan keputusan dan/
atau tindakan badan dan/atau Pejabat pemerintahan yaitu:
1) Permohonan dalam lingkup kewenangan badan dan/atau
pejabat pemerintahan; 2) Permohonan terhadap keputusan dan/
atau tindakan untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan; 3)
Permohonan terhadap keputusan dan/atau tindakan yang belum
pernah ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan; dan 4) Permohonan untuk kepentingan
Pemohon secara langsung. Selanjutnya, ditentukan bahwa
yang tidak termasuk objek Permohonan fiktif positif yaitu 1)
Permohonan merupakan pelaksanaan dari Putusan Pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap dan 2) Permohonan terhadap
permasalahan hukum yang sudah pernah diajukan gugatan.
Pembatasan kriteria ini penting karena menjadi pedoman bagi
hakim dalam menetukan apakah suatu permohonan memang
dapat dikategorikan sebagai permohonan fiktif positif atau bukan
serta dapat atau tidaknya permohonan tersebut dikabulkan.
Meskipun Perma No. 8 Tahun 2017 telah mengatur kriteria
dan pengecualian objek permohonan fiktif-positif, sehingga

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 101


menjadi lebih jelas permohonan seperti apa saja yang dapat
diajukan ke Pengadilan dengan dasar fiktif positif, diantaranya
yaitu penegasan tentang permohonan Keputusan dan/atau
tindakan yang belum pernah ditetapkan, sehingga menjadi lebih
jelas bahwa permohonan fiktif positif sifatnya adalah voluntair,
oleh karenanya untuk perkara dimana terdapat pihak ketiga
yang berkepentingan, tidak dapat diajukan melalui mekanisme
permohonan fikrif positif. Permasalahannya adalah bagaimana
memastikan bahwa dalam perkara permohonan fiktif positif
memang benar-benar tidak akan ada pihak ketiga yang setidaknya
berpotensi dirugikan apabila permohonan dikabulkan? Dalam
permohonan fiktif positif yang sifatnya voluntair, misalnya dalam
hal permohonan penerbitan Sertifikat Hak Milik, permohonan Izin
Mendirikan Bangunan, permohonan Izin Usaha Pertambangan
yang diajukan tidak ditanggapi atau ditanggapi namun melebihi
waktu sebagiamana telah ditentukan oleh pertauran perundang-
undangan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, sehingga
dianggap dikabulkan dan diajukan permohonan fiktif positif ke
Pengadilan, menurut Penulis dalam contoh perkara permohonan
voluntair tersebut masih terdapat kemungkinan adanya pihak
ketiga yang dirugikan oleh keputusan dan/atau tindakan
yang diterbitkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan,
sebagai tindak lanjut dari Putusan Pengadilan yang mengbulkan
permohonan.
Berdasarkan kondisi sebagaimana diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ketentuan pembatasan objek sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 3 Perma No. 8 Tahun 2017, belum cukup
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap
pihak ketiga yang dirugikan atau setidakanya berpotensi dirugikan
oleh keputusan hasil tindak lanjut Putusan Pengadilan. Oleh
karena itu menurut Penulis, ketentuan Pasal 11 ayat (4) Perma No.
8 Tahun 2017 mengatur bahwa dalam perkara permohonan fiktif-
positif, tidak dimungkinkan masuknya pihak ketiga sebagai pihak
berperkara atau pihak intervensi, perlu dihapuskan, meskipun
Penulis dapat memahami bahwa pengaturan tersebut pada

102 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


dasarnya merupakan konsekuensi dari permohonan fiktif-positif
yang bersifat voluntair. Namun demikian permasalahannya adalah
apakah dalam suatu permohonan voluntair dapat dipastikan tidak
ada nada pihak ketiga yang berkepentingan? Bagaimana cara
memastikan bahwa dalam perkara tersebut tidak ada pihak ketiga?
Meskipun Pasal 11 ayat (4) Perma No. 8 Tahun 2017
dihapuskan, masih menyisakan persoalan terkait dengan
kepentingan pihak ketiga, khsusnya yang mengetahui dirinya
dirugikan setelah adanya Putusan Pengadilan dan terbit
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau pejabat Pemerintahan,
oleh karena, penghapusan pembatasan masuknya pihak ketiga
hanya dapat melindungi kepentingan pihak ketiga apabila masuk
saat perkara masih dalam proses pemeriksaan di Pengadilan.
Selanjutnya, muncul permasalahan terkait dengan upaya hukum
apa yang dapat ditempuh pihak ketiga yang mengetahui bahwa
dirinya dirugikan oleh Keputusan dan/atau Tindakan yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan sebagai tindak
lanjut Putusan Pengadilan?
Jika dibandingkan dengan upaya hukum dalam berdasarkan
hukum acara perdata, terhadap Penetapan suatu Permohonan,
bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan
upaya hukum: (1) Perlawanan apabila proses pemeriksaan
permhonan penetapan masih berlangsung di pengadilan;
(2) Mengajukan gugatan perdata; (3) Mengajukan Kasasi; (4)
Mengajukan Permohonan Pembatalan Penetapan kepada
MA; dan (5) Mengajukan Peninjauan Kembali. Untuk perkara
peradilan tata usaha negara, dengan dihapuskannya Pasal 118 UU
No. 5 Tahun 1986, tidak dimungkinkan bagi pihak ketiga yang
merasa dirugikan oleh Putusan Pengadilan untuk mengajukan
upaya hukum perlawanan. Adapun untuk upaya hukum lainnya
misalnya Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) hanya
dapat diajukan apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan
peraturan perundang-undangan, terlebih lagi UU No.30 Tahun
2014 dengan tegas menentukan bahwa dalam perkara permohonan
fiktif positif, putusannya adalah bersifat final dan mengikat.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 103


Sifat Permohonan Fiktif-Positif sebagaimana diatur dalam
Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, menurut Penulis
dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Permohonan semi contentiosa (voluntair tidak murni). Hal
ini didasarkan pada beberapa hal diantaranya yaitu: (1)
Didudukkannya Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
yang mempunyai kewajiban untuk menetapkan Keputusa
dan/atau melakukan Tindakan sebagai Termohon. (2) Hasil
pemeriksaan permohonan tersebut berbentuk Putusan,
bukan Penetapan.
2. Permohonan voluntair murni. Apabila permohonan fiktif-
positif dipandang sebagai permohonan voluntair murni,
meskipun Perma No. 8 Tahun 2017 mengatur adanya
Termohon yaitu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
untuk didudukkan sebagai pihak, hal demikian bukan
berarti perkara tersebut mengandung sengketa karena pada
dasarnya permohonan ini adalah ex-parte. Didudukkannya
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagai pihak
Termohon, menurut Penulis adalah sebagai konsekuensi
dari asas dominus litis dan pemeriksaan pada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk menemukan
kebenaran materiil. Keterangan Termohon menjadi penting
untuk dipertimbangkan guna menilai apakah permohonan
keputusan dan/atau tindakan yang diajukan kepada
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan telah memenuhi
syarat misalnya dalam hal kelengkapan atau substansinya
memang telah terpenuhi sehingga layak untuk dikabulkan.
Terhadap dua kemungkinan sifat dari permohonan fiktif
positif sebagaimana diuraikan di atas, Penulis berpendapat bahwa
permohonan fiktif-positif adalah voluntair murni, yang pihaknya
bersifat ex-parte dimana hal ini sekaligus dapat digunakan sebagai
titik tolak untuk mengakomodir kepentingan dan perlindungan
bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan untuk dapat melakukan
upaya hukum meskipun tidak menjadi pihak dalam suatu perkara.

104 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Selanjutnya, yang harus ditentukan adalah pilihan upaya
hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga. Untuk perkara
fiktif-positif meskipun Putusannya bersifat final dan mengikat
dan undang-undang tidak mengatur adanya upaya hukum luar
biasa melalui PK, namun berdasarkan Putusan Mahkamah Agung
No. 175PK/TUN/2016, Mahkamah Agung membukanya sebagai
sarana corrective justice. Melalui Putusan tersebut, Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan PK Kepala Kantor Dinas
Pertambangan Provinsi Kalimantan Tengah dan membatalkan
Putusan PTUN Palangkaraya No. 19/P/FP/2016/PTUN.PLK.
Oleh karena itu, pihak ketiga yang merasa dirugikan juga
dapat mengajukan PK. Terkait dengan PK oleh bukan pihak, dapat
dibandingkan dengan perkara perdata agama dalam Putusan
Mahkamah Agung No.1PK/AG/1990, tanggal 22 Januari 1991,
dimana dalam kasus tersebut Pengadilan Agama Pandeglang telah
menjatuhkan penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan
yang diajukan salah seorang ahli waris dalam bentuk permohonan
voluntair. Terhadap penetapan tersebut, ahli waris yang lain
mengajukan upaya hukum PK kepada Mahkamah Agung, dan
atas permohonan tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan PK dan membatalkan Penetapan Pengadilan Agama
Pandeglang.62
Apabila terdapat perdebatan mengenai apakah yang tidak
menjadi pihak dalam suatu perkara dapat menjadi Pemohon PK?
Terhadap permasalahan ini menurut Penulis perlu dicermati
kembali mengenai sifat dasar dari permohonan fiktif positif
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dimana permohonan
tersebut merupakan permohonan voluntair yang pihaknya ex-
parte, dimana pada dasarnya yang menjadi pihak hanyalah
Pemohon saja, tidak ada pihak lain. Oleh karenanya, permohonan
PK yang diajukan oleh pihak ketiga tidak dapat dikesampingkan
dengan alasan pihak ketiga tersebut tidak menjadi pihak dalam
perkara yang dimohonkan PK. Upaya Hukum PK menjadi

62 Nurul Elmiyah dan Suparjo Sujadi, “Upaya-Upaya Hukum Terhadap Penetapan”,


Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun ke-35, No.3 Juli September 2005, hal. 344-345.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 105


pilihan yang lebih tepat dan beralasan dibandingkan dengan
mengajukan gugatan objek sengketa berupa keputusan dan/
atau tindakan Badan atau Pejabat Pemerintah sebagai tindak
lanjut Putusan Pengadilan atas permohonan fiktif-positif, karena
gugatan demikian akan bertentangan dengan Pasal 2 huruf e UU
No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang
pada pokoknya mengatur bahwa Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak termasuk objek sengketa tata usaha negara.

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebagaimana telah diuraikan di
atas, maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Konsep permohonan fiktif-positif berdasarkan Pasal 53
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
dan Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017
adalah Permohonan kepada Pengadilan yang diajukan
oleh warga masyarakat sebagai tindak lanjut dari
permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum,
oleh karena Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak
menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan
dalam batas waktu yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Permohonan kepada Pengadilan
bertujuan untuk memperoleh Putusan penerimaan atas
permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum
tersebut. Permohonan fiktif positif dibatasi oleh kriteria dan
pengecualian sebagaimana telah diatur dalam Pasal 3 ayat
(2) dan (3) Perma No. 8 Tahun 2017.
2. Perlindungan terhadap pihak ketiga yang dirugikan dalam
perkara permohonan fiktif-positif dapat dilakukan melalui
beberapa hal sebagai berikut:

106 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


a. Penegasan kriteria dan pembatasan objek khususnya
yang mengatur bahwa permohonan terhadap
pembatalan keputusan dan/atau tindakan Pejabat
Pemerintahan yang sebelumnya telah ditetapkan tidak
termasuk objek perkara permohonan fiktif positif
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3)
Perma No. 8 Tahun 2017;
b. Penghapusan Pasal 11 ayat (4) Perma No. 8 Tahun 2017
mengatur bahwa dalam perkara permohonan fiktif-
positif, tidak dimungkinkan masuknya pihak ketiga
sebagai pihak berperkara atau pihak intervensi;
c. Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh
Keputusan dan/atau Tindakan sebagai tindak lanjut
Putusan Pengadilan dalam Perkara Fiktif-Positif,
meskipun tidak menjadi pihak, namun kepentingannya
diakomodir untuk dapat mengajukan upaya hukum
luar biasa melalui Peninjauan Kembali.

b. Saran
Berdasarkan kesimpulan sebagaimana telah diuraikan
di atas, maka penulis memberikan saran agar ketentuan yang
membatasi pihak ketiga untuk masuk sebagai pihak dalam perkara
permohonan fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat
(4) Perma No. 8 Tahun 2017 dihapuskan. Selain itu, Mahkamah
Agung diharapkan tidak mengesampingkan permohonan
Peninjauan Kembali warga masyarakat yang dirugukan terkait
dengan perkara fiktif positif dengan alasan warga masyarakat
tersebut tidak menjadi pihak dalam perkara fiktif positif yang
diperiksa oleh Pengadilan.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 107


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. UU No. 51 Tahun 2009. LN Tahun 2009. TLN
No. 5079.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan
atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintahan. Perma No. 5 Tahun 2015. Berita Negara
RI Tahun 2015 Nomor 1268.
Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan
atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan
Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat
Pemerintahan. Perma No. 8 Tahun 2017. Berita Negara
RI Tahun 2017 Nomor 1751.

Buku
Indroharto. Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Buku I. (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 2000).
Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan.
Cetakan Kedua. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Simanjuntak, Enrico. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara:
Transformasi dan Refleksi. Cetakan Pertama. (Jakarta:
Sinar Grafika. 2018).

108 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Artikel
Effendi, Maftuh. “Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia Suatu
Pemikiran ke Arah Perluasan Kompetensi Pasca
Amandemen Kedua Undang -Undang Peradilan
Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 3 Nomor 1 Maret 2014.
Elmiyah, Nurul dan Suparjo Sujadi, “Upaya-Upaya Hukum
Terhadap Penetapan”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Tahun ke-35, No.3 Juli September
2005, hal. 344-345.
Permana, Tri Cahya Indra. “Peradilan Tata Usaha Negara Pasca
Undang-undang administrasi Pemerintahan ditinjau
dari Segi Access to Justice” Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 4, No. 3, November 2015.
Mawardi, Irvan. “KTUN Fiktif Positif dan Akuntabilitas
Administrasi Pemerintah,” diakses dari http://ptun-
samarinda.go.id/index.php/layanan-publik/42-
ktun-fiktif-positif-dan-akuntabilitas-administrasi-
pemerintah, pada tanggal 16 Februari 2019, pukul.
21.37 WIB.

Putusan:
Putusan Mahkamah Agung No.1PK/AG/1990.
Putusan Mahkamah Agung No. 175PK/TUN/2016.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 109


PERIHAL
HUKUM MATERIIL

110 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


PENGUJIAN POKOK SENGKETA
KONSESI PADA PENGADILAN
TATA USAHA NEGARA

Oleh :
Rizki Ananda63

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan Sumber


Daya Alam dengan dikawal berbagai aturan dan kebijakan
demi melindungi Kesejahteraan rakyat. Hal ini sebagaimana
diatur di dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945)64
yang mengamanatkan segala kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Frasa menguasai,
tentulah berbeda dengan makna memiliki, karena dalam hal ini
pemilik kekayaan alam di bumi Indonesia merupakan Rakyat
Indonesia itu sendiri. Adapun hubungan hukum antara rakyat
dan negaranya tercermin dari kedudukan pemerintah yang
memiliki kewajiban yang diatur di dalam konstitusi negara
untuk mengatur dan menyelenggarakan kepentingan umum,
termasuk dalam mengelola kekayaan alam Indonesia. Pemerintah

63 Calon Hakim Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh.


64 Pasal 33 ayat (3) UUD RI 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 111


dalam kapasitas mewakili Negara diberikan kewenangan
melalui peraturan perundang-undangan untuk mengeluarkan
penetapan Administrasi Negara. Sebagai alat kelengkapan
Negara, Pemerintah bertindak untuk dan atas nama Negara,
yang mempunyai kekuasaan mandiri yang dilimpahkan Negara
sehingga memungkinkan melakukan tindakan-tindakan baik
di bidang pengaturan (regelen) maupun penyelenggaraan
administrasi Negara (besturen).65
Salah satu tindakan Pemerintah dalam menyelenggarakan
Administrasi Negara demi kepentingan umum terutama dalam
bidang perekonomian adalah dengan memberikan konsesi kepada
pihak selain Pemerintah dalam hal memenuhi kebutuhan rakyat,
dikarenakan Pemerintah tidak dapat melaksanakannya sendiri,
dilihat dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) serta kurangnya
tenaga ahli yang dimiliki, sehingga dalam rangka pembangunan
nasional, diperlukan kerjasama dengan pihak swasta yang
diharapkan dapat menguntungkan Negara demi terciptanya
kemakmuran rakyat. Konsep konsesi sebagaimana diuraikan
sebelumnya, menjadi sangat rentan merugikan bagi Negara disaat
kedudukan Pemerintah dan perannya dalam Pengawasan menjadi
sejajar dengan pihak lain, hal ini mengindikasikan lemahnya
kekuatan Pemerintah dalam menjatuhkan sanksi apabila terdapat
penyimpangan dalam kerjasama dengan pihak lain/swasta.
Perkembangan hukum yang mengikuti era globalisasi, tidak
menapik adanya peluang bagi Negara Indonesia dalam merombak
pengaturan mengenai bentuk kerjasama antara Pemerintah
dan pihak lain, hal ini tercermin dengan dimuatnya pengaturan
Konsesi di dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Undang Undang Administrasi Pemerintahan (UU No. 30 Tahun
2014). Konsesi yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 menjadi
suatu keputusan yang mana Pemerintah sebagai badan publik
dapat berkedudukan lebih tinggi daripada sekedar pihak-pihak
yang membuat perjanjian dalam konsep keperdataan sebagaimana

65 Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Penerbit Alumni, Bandung, 1997, hal. 159.

112 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


bentuk Konsesi sebelumnya. Pasca berlakunya UU No. 30 Tahun
2014, hukum materiil bagi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
tidak hanya berdasarkan Undang Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, akan tetapi juga mengikuti ketentuan pada UU No. 30
Tahun 2014,66 sehingga PTUN berwenang dalam menerima,
memeriksa, serta memutus sengketa yang termuat aturannya di
dalam UU No. 30 Tahun 2014 tersebut termasuk di dalam nya
mengenai Konsesi. Akan tetapi timbul perdebatan mengenai
sejauh mana PTUN dapat memeriksa sengketa Konsesi yang
bermuatan kesepakatan atas suatu perjanjian antara Pemerintah
dengan Pihak lain maupun swasta, hal ini mengingat bentuk
Konsesi yang belum diatur secara rinci di dalam UU No. 30 Tahun
2014.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah perkembangan dan konsep konsesi sebelum


dan sesudah diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014?
2. Bagaimanakah titik singgung keperdataan konsensi dan
konsesi yang diatur di dalam Undang Undang Nomor 30
Tahun 2014 serta pengujian pokok sengketa pada PTUN?

III. PEMBAHASAN

III.a. Perkembangan serta Konsep Konsesi Sebelum dan Sesudah


diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014

1. Definisi Konsesi dan Perkembangan Konsesi Sebelum


dan Sesudah diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014

66 Hal ini tercantum dalam penjelasan umum UU No. 30 Tahun 2014, yaitu : “Dalam
rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap Warga Masyarakat, maka Undang-Undang
ini memungkinkan Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding terhadap Keputusan
dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang
bersangkutan. Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara.”

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 113


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikatakan
dengan Konsesi merupakan izin untuk membuka tambang,
menebang hutan, dan sebagainya.67 Lebih lanjut menurut
Prajudi Atmosudirjo, Konsesi merupakan suatu penetapan
Administrasi Negara yang secara Yuridis sangat kompleks oleh
karena merupakan seperangkat dispensasi-dispensasi, izin-izin,
lisensi-lisensi, disertai dengan pemberian semacam “wewenang
pemerintahan” terbatas kepada konsesionaris. Dikatakan kompleks
karena Konsesi diberikan atas permohonan yang terperinci
prosedur beserta syarat-syaratnya kepada perusahaan-perusahaan
yang mengusahkan sesuatu yang cukup besar, baik dalam arti
modal, tenaga kerja, maupun lahan atau wilayah usaha, misalnya
: Perusahaan Minyak Bumi, Perusahaan Perhutan,Perusahaan
Perikanan, dan Perusahaan pertambangan pada umumnya,68
Sependapat dengan Prajudi, Prof. R. Soebekti mengartikan
Konsesi sebagai suatu bentuk perizinan yang diberikan oleh
Pemerintah untuk membuka tanah/lahan dan menjalankan suatu
usaha di atasnya, seperti membuka Jalan, menambang, mengelola
Perkebunan, dan sebagainya yang bersifat untuk kepentingan
umum.69
Istilah Konsesi pertama kali diatur pada masa Kolonial
Hindia-Belanda, yang termuat di dalam Pasal 776a Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie/BW),
yang mana diatur sebagai berikut : “Dalam hal hak pakai hasil
mengenai suatu Konsesi tambang, pemakai hasil berhak memperoleh
nikmat yang sama seperti yang dinikmati pemegang Konsesi.”
Berdasarkan pengaturan tersebut, dapat diketahui bahwa Sistem
Konsesi pada masa Kolonial Belanda hingga awal kemerdekaan,
diberikan oleh Pemerintah dengan Hak penguasaan atas hasil
Konsesi dengan kewenangan yang luas, sehingga pemegang
izin Konsesi pada saat itu dapat dengan bebas menguasai hasil
Konsesi. Meskipun bentuk Konsesi merupakan perizinan yang
67 https://kbbi.web.id/konsesi di akses pada 25 November Pukul 11.11 WIB
68 Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Penerbit
Ghalia Indonesia, 1981, Hlm. 94-95
69 Prof. R. Soebekti, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1971, Hlm.

114 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


diberikan oleh Pemerintah kepada pemegang Konsesi, namun
di dalam pengaturan lebih lanjut di bawah undang-undang
Indische Mijnwet 1899 (hingga dilengkapi dengan Mijnordonnantie
(Ordonansi Pertambangan) pada tahun 1906), mengatur seluruh
kerjasama dalam bentuk Pertambangan diberikan kepada pihak
asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan
Indonesia dengan seluas-luasnya termasuk hak menguasai atas
tanah, sehingga pada saat itu perusahaan pertambangan memiliki
hak kuasa akan pertambangan dan ha katas tanah, sedangkan
Negara hanya mendapatkan sejumlah royalty, sekitar 4% dari
produksi kotor, pajak penghasilan, pajak tanah dan bonus.70
Setelah masa kemerdekaan, pada tahun 1959, Pemerintah
menerbitkan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang
Pembatalan Hak-Hak Pertambangan (UU Nomor 10 Tahun
1959), hal ini bertujuan untuk mereformasi penguasaan atas
Pertambangan yang lebih menguntungkan bagi Negara Republik
Indonesia dengan mengganti Indische Mijnwet Staatsblad Tahun
1899 No. 214 beserta perubahannya.71 Dengan diberlakukannya
UU Nomor 10 Tahun 1959, Pemerintah merubah format Konsesi
yang diatur dalam Indische Mijnwet Staatsblad Tahun 1899 No. 214
menjadi suatu Kontrak dengan istilah “Perjanjian Karya”, dan suatu
Perjanjian Karya dilaksanakan antara Pemerintah (Perusahaan
Negara) dengan Kontraktor melalui Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang Nomor 44 Tahun 1960 (Perpu Nomor
44 Tahun 1960) tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.72
Dalam pengaturan Perpu Nomor 44 Tahun 1960, Pemerintah

70 Wulan Tunjung Palupi, “Perjalanan Berkelok Kelola MIgas dan Tambang” (Republika, 11
November 2011), Hlm. 26
71 Hal ini termuat di dalam konsideran menimbang huruf a dan d UU Nomor 10
Tahun 1959, yaitu bahwa : “a. adanya hak-hak pertambangan yang diberikan sebelum tahun 1949,
yang hingga sekarang tidak atau belum dikerjakan sama sekali, pada hakekatnya sangat merugikan
pembangunan Negara; … d. bahwa cara pembatalan hak-hak pertambangan seperti diatur dalam
“Indische Mijnwet” yang berlaku sekarang tidak dapat digunakan untuk maksud di atas, maka oleh
karena diperlukan suatu Undangundang khusus”
72 Pasal 6 ayat (1) dan (2) Perpu Nomor 44 Tahun 1960, mengatur :“(1) Menteri dapat
menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk Perusahaan Negara apabila diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Perusahaan
Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan; (2)Dalam mengadakan
perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) diatas Perusahaan Negara
harus berpegang pada. pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syaratsyarat yang diberikan oleh
Menteri.”

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 115


menegaskan dan meniadakan Hak atas tanah permukaan bumi
bagi Pemegang kuasa tambang/konsesionaris sebagaimana diatur
sebelumnya di dalam pengaturan Indische Mijnwet Staatsblad Tahun
1899 No. 214.73 Meskipun Hak penguasaan atas tanah telah kembali
dikuasai Negara dengan memperhatikan Pasal 33 Undang Undang
Dasar Tahun 1945 sebagaimana disebutkan dalam konsideran
mengingat pada Perpu tersebut, namun kedudukan Pemerintah
belum dapat dikatakan lebih tinggi dari pihak lain dikarenakan
format kerjasama yang berbentuk perjanjian.
Di tahun 1967, Pemerintah mengeluarkan dua undang-
undang yang saling berkaitan terkait dengan Kontrak Karya, yaitu
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (UU Nomor 1 Tahun 1967)74 dan Undang Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Pertambangan (UU Nomor 11 Tahun 1967)75.
Berdasarkan dua ketentuan undang-undang tersebut mengatur
secara tegas setidaknya mengenai adanya perubahan dari status,
yang semula sebagai pemegang “Hak Konsesi” Pertambangan
berdasarkan Pasal 5 atau Kontraktor Pertambangan dengan
Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 A Indische Mijn
Wet Stb. 1899 No. 214. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang
yang baru yaitu UU No.11 Tahun 1967, maka seluruhnya mereka
menjadi Kontraktor Instansi Pemerintah atau Perusaha- an
Negara Pertambangan yang bertindak selaku Pemegang Kuasa
Pertambangan atas nama Pemerintah. Jadi sejak di undangkannya
UU No.11 Tahun 1967, status mereka bukan sebagai pemegang
Konsesi Pertambangan atau sebagai Kontraktor Pemerintah lagi.
Hingga pada saat diundangkannya UU Nomor 30 Tahun
2014, pola kerjasama dengan model Kontrak Karya sebagaimana
dimaksud dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 diubah menjadi

73 Pasal 7 ayat (1) Perpu Nomor 44 Tahun 1960, mengatur : “Kuasa pertambangan tidak
meliput hak tanah permukaan bumi.”
74 Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1967, : “Penanaman Modal Asing dibidang
Pertambangan didasarkan pada suatu kerjasama dengan Pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau
bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku”
75 Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 1967 : “Menteri dapat menunjuk pihak lain
sebagai kontraktor, apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat
dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku
pemegang KP.”

116 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang dimuat di dalam
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan (UU
Nomor 4 Tahun 2009), hal ini kemudian menguatkan kedudukan
Pemerintah dalam memberikan Izin dengan persyaratan-
persyaratan yang lebih ketat serta bukan dimaksudkan untuk
mendapat keuntungan secara bagi hasil sebagaimana diatur
sebelumnya di dalam UU Nomor 11 Tahun 1967. Dan dengan
diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2014, ketentuan mengenai
Perizinan serta Konsesi kemudian dimuat secara tegas dalam
Pasal 1 angka 19, Pasal 1 angka 20, pasal 6 dan Pasal 39 UU
Nomor 30 Tahun 2014, sehingga Konsesi yang semula dalam
perkembangannya merupakan suatu kontrak karya dengan bentuk
suatu perjanjian kerjasama antara Pemerintah dan Pihak lain
ataupun swasta, berubah menjadi suatu Keputusan sebagaimana
diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014.

III.b. Konsep Konsesi Sesudah diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun


2014

Sebagaimana telah diatur di dalam UU No. 30 Tahun


2014, Konsep Konsesi telah dibakukan dengan definisi yang
dimuat di dalam Pasal 1 angka 20 UU No. 30 Tahun 2014, yaitu :
“Konsesi adalah Keputusan Pejabat Pemerintahan yang berwenang
sebagai wujud persetujuan dari kesepakatan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dengan selain Badan dan/atau Pejabat
Pewmerintahan dalam pengelolaan fasilitas umum dan/atau sumber
daya alam dan pengelolaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Terhadap Pemaknaan dan penjabaran
Konsep Konsesi yang termuat di dalam UU No. 30 Tahun 2014,
Penulis mencoba menguraikannya sebagai berikut :

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 117


Tabel 1. Konsep Konsesi di Dalam UU No. 30 Tahun 2014
No Unsur Pemaknaan Penjabaran
Definisi

1. Keputusan Apakah Konsesi Konsesi sebagai suatu


Pejabat merupakan Keputusan Pejabat
Pemerintahan Produk Pemerintahan;
dan Kebijakan Berdasarkan Pasal 1 angka
Persetujuan Publik atau 7 UU No. 30 Tahun 2014
dari Perjanjian yang disebut dengan
kesepakatan Kerjasama Keputusan adalah ketetapan
antara tertulis yang dikeluarkan
Pemerintah oleh Badan dan/atau
(sebagai Badan Pejabat Pemerintahan
Hukum Publik) dalam penyelenggaraan
dan Pihak pemerintahan
Swasta (sebagai
Kedudukan Pejabat
badan hukum
Pemerintahan dalam
privat) ?
persetujuan dari
kesepakatan;
Dalam Konsesi kedudukan
Pejabat Pemerintahan dalam
menentukan persetujuan
dan kesepakatan dapat
dilihat dari pengaturan
Pasal 6 ayat 2 huruf h UU
No. 30 Tahun 2014, yang
menentukan bahwa Pejabat
Pemerintahan memiliki
Hak berupa menerbitkan
Izin, Dispensasi, dan/atau
Konsesi;

118 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


2 Selain Badan Siapa saja Berdasarkan Pasal 39 ayat (4)
dan/atau Pihak lain huruf b UU No. 30 Tahun 2014,
Pejabat yang dapat Pihak selain Badan dan/atau
Pemerintah- melakukan Pejabat Pemerintahan dalam
an dalam Konsesi melakukan Persetujuan Konsesi
melakukan dengan adalah Badan Usaha Milik
Persetujuan Pejabat Negara, Badan Usaha Milik
Pemerintahan Daerah, dan/atau swasta
?
3 Sesuai den- Ketentuan Salah satu contoh pengaturan
gan ketentuan Peraturan apa Konsesi yang memuat prosedur
peraturan pe- saja yang di- dan substansi Konsesi yaitu
rundang-un- pakai dalam Peraturan Menteri Perhubungan
dangan Konsesi ? Nomor 15 Tahun 2015 Tentang
Konsesi Dan Bentuk Kerjasama
Lainnya Antara Pemerintah
Dengan Badan Usaha Pelabuhan
Di Bidang Kepelabuhanan
(Permenhub Nomor 15 Tahun
2015).

Berdasarkan tabel di atas, dapat Penulis simpulkan bahwa


perubahan Konsep Konsesi yang dimuat di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata/BW beserta pengaturan perundang-
undangan yang mengaturnya sebelum terbit UU Nomor 30 Tahun
2014, merupakan hak luas bagi pemegang Konsesi, hal ini dapat
dilihat dari peran Pemerintah yang hanya memberikan izin namun
dalam fungsi pengawasan serta kedudukannya sebagai pemberi
izin tidak lebih tinggi daripada penerima Konsesi/Konsesionaris
serta tunduk pada sebuah kesepakatan yang diatur dalam hukum
keperdataan, adapun hak-hak penguasaan terhadap kekayaan
Negara tidak sepenuhnya di kuasai oleh Negara, sebagaimana
konsep Kontrak Karya yang merupakan perubahan bentuk
Konsesi di era Pemerintahan Orde Baru, Pemerintah hanya
mendapatkan bagi hasil sebagaimana telah disepakati dalam
suatu kontrak karya tersebut, hal ini jelas berbeda disaat konsep

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 119


Konsesi telah dimuat di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014, yang
mana Pemerintah menempati kedudukan yang lebih tinggi serta
terhadap keuntungan yang diperoleh jauh lebih menguntungkan
Negara dikarenakan dalam Konsesi saat ini (dengan melihat
contoh Konsesi yang diatur dalam Permenhub Nomor 15 Tahun
2015), pihak lain yang melakukan kerjasama dengan Pemerintah
menjadi pengelola dan bukanlah pemilik yang memperoleh hasil
secara penuh.

III.c. Titik Singgung Keperdataan Konsensi dan Konsesi yang diatur di


dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 serta Pengujian
Pokok Sengketa Konsesi pada PTUN

1. Titik Singgung Keperdataan Konsesi dan Konsesi yang


termuat dalam Undang Undang Administrasi Pemerintahan
Penjabaran mengenai perubahan Konsesi pada pembahasan
sebelumnya menjadikan suatu pemikiran baru apakah suatu
Konsesi dapat dikatakan sebagai Hybird Product (dua bentuk
produk dalam satu format) kebijakan hukum pemerintahan di
bidang perizinan yang merupakan produk keperdataan ataupun
kebijakan publik murni (Administrasi Negara)? Sebagaimana
dijabarkan dalam Pasal 1 angka 20 serta Pasal 39 ayat (4) huruf b
UU No. 30 Tahun 2014, Konsesi yang merupakan suatu Keputusan
Pejabat Pemerintahan dilakukan atas Persetujuan berdasarkan
kesepakatan dengan pihak selain Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan, hal ini mengindikasikan bahwa Konsesi secara
substansi materi berisikan pokok-pokok suatu perikatan maupun
perjanjian antara dua belah pihak, sehingga apabila suatu Konsesi
diuji pada PTUN (apabila hanya melihat dari segi Kewenangan
yang diberikan oleh UU Nomor 30 Tahun 2014 sebagai Hukum
Materiil PTUN), apakah dengan sertamerta Konsesi dapat
diuji hingga Substansinya yang berisikan perjanjian ataupun
kesepakatan yang secara umum dapat kita ketahui bahwa hal
tersebut merupakan pokok dari sengketa keperdataan ?

120 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Jika kita mencermati perdebatan ini, maka berdasarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Nagi Pengadilan (SEMA
No. 7 Tahun 2012), membahas mengenai rumusan hasil rapat atas
permasalahan-permasalahan terkait sengketa TUN, diantaranya
terkait dengan penentuan sengketa TUN ataupun Keperdataan
dan Teori Melebur sebagaimana diuraikan di bawah ini :
a. Untuk menentukan suatu sengketa merupakan sengketa
Tata Usaha Negara (TUN) atau sengketa Perdata
(kepemilikan) kriterianya :
• Apabila yang menjadi objek sengketa (objectum litis)
tentang keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN), maka merupakan sengketa TUN;
• Apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan
kewenangan, keabsahan Prosedur penerbitan KTUN,
maka termasuk sengketa TUN; atau
• Apabila satu-satunya penentu apakah Hakim dapat
menguji keabsahan KTUN objek sengketa adalah
substansi hak karena tentang hal tersebut menjadi
kewenangan peradilan perdata; atau
• Apabila norma (kaidah) hukum TUN (hukum publik)
dapat menyelesaikan sengketanya, maka dapat
digolongkan sebagai sengketa TUN.
b. Untuk memastikan suatu KTUN dianggap melebur
dalam perbuatan hukum perdata adalah apabila secara
faktual KTUN yang disengketakan dan diminta diuji
keabsahannya ternyata:
• Jangkauan akhir dari KTUN diterbitkan (tujuannya)
dimaksudkan untuk melahirkan suatu perbuatan
hukum perdata. Termasuk didalamnya adalah KTUN-
KTUN yang diterbitkan dalam rangka mempersiapkan
atau menyelesaikan suatu perbuatan hukum perdata.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 121


• Apabila Tergugat dalam menerbitkan KTUN objek sengketa
akan menjadi subjek atau pihak dalam perikatan perdata
sebagai kelanjutan KTUN objek sengketa tersebut.
• KTUN yang berkaitan dengan ijin cerai tidak digolongkan
sebagai KTUN yang melebur dalam perbuatan hukum
perdatanya (ic.perceraian), karena ijin cerai merupakan
ketentuan hukum publik (hukum administrasi) sebagai
syarat bagi PNS yang akan melakukan perceraian. Dengan
demikian ijin cerai merupakan lex spesialis dan dikecualikan
dari penerapan teori melebur. 76
Berdasarkan SEMA No. 7 Tahun 2012 di atas, diketahui
bahwa suatu sengketa dikategorikan sebagai sengketa TUN
apabila dalam posita gugatan mempermasalahkan kewenangan,
keabsahan Prosedur penerbitan KTUN dan Objek Sengketa
tentang keabsahan KTUN, Konsesi sebagaimana di definisikan di
dalam Pasal 1 angka 20 UU Nomor 30 Tahun 2014, jelas merupakan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam penerbitannya
dilakukan oleh Pejabat Pemerintah yang berwenang, sebagai
salah satu contoh : Pengaturan Konsesi dalam Permenhub Nomor
15 Tahun 2015, Berdasarkan Pasal 1 angka 18,77 yang bertindak
sebagai Pejabat Pemerintah dalam memberikan Konsesi adalah
Penyelenggara Pelabuhan78 yang merupakan Otoritas Pelabuhan
atau Kesyahbandaran.79
Selanjutnya, terkait dengan Oplossing Theory (Teori
Melebur) yang diatur di dalam SEMA No. 7 Tahun 2012, terdapat
beberapa Keputusan yang tidak dapat dijadikan Objek sengketa
PTUN dikarenakan adanya pembatasan karena Yurisprudensi
76 Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Nagi Pengadilan
77 Pasal 1 angka 18 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015, mengatur bahwa: “Konsesi adalah
pemberian Hak oleh Penyelenggara Pelabuhan kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan
kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu
dan kompetensi tertentu.”
78 Pasal 1 angka 5 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015
79 Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015, Syahbandar adalah
Pejabat Pemerintah di Pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan Memiliki kewenangan
tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan
peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.

122 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Mahkamah Agung RI, salah satunya adalah :
“Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan dalam rangka
untuk menimbulkan perjanjian, kaidah hukumnya adalah bahwa segala
Keputusan TUN yang diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan
perjanjian maupun diterbitkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan isi
perjanjian itu sendiri, ataupun menunjuk pada suatu ketentuan dalam
perjanjian (kontrak) yang menjadi dasar hukum antara kedua belah
pihak, haruslah dianggap melebur (oplossing) kedalam hukum perdata,
dan karenanya merupakan Keputusan TUN sebagaimana dimaksud pasal
2 huruf a Undang-Undang Peratun. (No.252 K/TUN/2000 tanggal 13-
11-2000).”80
Sekalipun pembatasan terhadap Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan dalam rangka untuk menimbulkan
perjanjian, namun menurut Penulis, Konsesi yang termuat dan
yang dimaksud di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 bukanlah
merupakan suatu Keputusan TUN yang diterbitkan dalam rangka
untuk menimbulkan perjanjian dan diterbitkan dalam kaitannya
dengan pelaksanaan isi perjanjian itu sendiri, sehingga menjadi
dasar hukum antara kedua belah pihak dalam melaksanakan
suatu Kontrak/Perjanjian. Hal ini dapat dijelaskan oleh Penulis
dikarenakan format Konsesi setelah diatur dalam UU Nomor 30
Tahun 2014 (dalam hal ini Penulis mengambil contoh Konsesi
yang diatur lebih lanjut di dalam Permenhub Nomor 15 Tahun
2015) berbeda dengan format suatu Kontrak maupun Perjanjian
sebagaimana telah diuraikan oleh penulis sebelumnya dalam
perubahan konsep Konsesi. Selain daripada hal tersebut, Pada
saat ini Konsesi tidak dapat dikatakan kontrak/perjanjian murni
yang dianggap sebagai produk keperdataan murni dikarenakan
Kedudukan Pejabat Pemerintah sebagai Pejabat TUN yang
mengeluarkan Keputusan Konsesi tidaklah sejajar sebagaimana
didudukkan sebagai Badan Hukum Privat dalam melakukan
kesepakatan, dikarenakan kedudukannya dalam menerbitkan

80 H. Ujang Abdullah, S.H., M.Si., “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Sistem
Peradilan Di Indonesia”, Hlm. 13, Sumber:https://ptun-palembang.go.id/upload_data/
KOMPETENSI%20PTUN.pdf , diakses pada 26 November 2019, Pukul 9.56 WIB.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 123


Keputusan Konsesi sebagai Badan Hukum Publik, hal ini
sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Indroharto sebagai
berikut :
“Bahwa Pemerintahan umum itu terdiri dari berbagai
macam organisasi-organisasi dan instansi-instansi dan kebanyakan
dari organisasi-organisasi demikian itu selain memiliki wewenang
pemerintahan menurut hukum publik juga memiliki kemandirian
menurut hukum perdata. Perwujudan secara Juridis dari kemandiriannya
itu berupa kedudukannnya sebagai badan Hukum Perdata. Akibat dari
kedudukannya sebagai badan hukum tersebut adalah : 1) Mereka dapat
memiliki hak-hak kebendaan; 2)Mereka dapat menjadi pihak dalam
proses perdata. Sudah tentu kalau ada gugatan TUN, maka gugatan
tersebut ditujukan terhadap organ-organ pemerintah yang memiliki dan
melaksanakan wewenang-wewenang pemerintahan menurut hukum
publik tersebut (Badan dan atau Jabatan TUN yang bersangkutan) dan
bukan terhadap badan keperdataannya atau badan hukum perdatanya.”81
Berdasarkan teori di atas, maka dapat diketahui bahwa
Pemerintah memiliki dual function (fungsi ganda) yang dapat
berkedudukan sebagai Badan Hukum Publik maupun Hukum
Privat, namun dalam hal memberikan Konsesi, Pejabat Pemerintah
sebagai pemberi Konsesi memiliki kedudukan sebagai badan
Hukum Publik dengan melakukan identifikasi82, konsultasi
publik83 dan menetapkan prioritas yang akan dilaksanakan
sebagai bentuk kerjasama Konsesi84, tindakan-tindakan ini jelas
berbeda disaat Pemerintah berkedudukan sebagai badan hukum
privat yang kedudukannya sejajar dengan pihak lain.

81 Indroharto, S.H., Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara : Buku II Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, 2005, Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, Hlm. 44.
82 Pasal 19 ayat (1) Permenhub Nomor 15 Tahun 2015
83 Pasal 20 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015
84 Pasal 21 ayat (1) Permenhub Nomor 15 Tahun 2015

124 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


2. Pengujian Pokok Sengketa Konsesi pada Pengadilan Tata
Usaha Negara
Segi Kewenangan Badan/Pejabat Pemerintahan yang
mengeluarkan Konsesi, Pihak yang bersengketa di PTUN dalam
sengketa Konsesi
Apabila melihat contoh pengaturan lebih lanjut mengenai
Konsesi sebagaimana diatur di dalam Permenhub Nomor 15
Tahun 2015, berdasarkan Pasal 46 ayat (2) huruf m, mengatur
bahwa : “mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur secara
berjenjang yaitu musyawarah mufakat, mediasi, dan arbitrase/
pengadilan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, sengketa Konsesi
dapat diajukan pada pengadilan tata usaha Negara dikarenakan
bentuknya yang berupa keputusan yang diberikan oleh Pejabat
pemerintah yang berwenang. Selain itu, berdasarkan ketentuan
Pasal 1 angka 20 serta Pasal 39 ayat (4) huruf b UU No. 30 Tahun
2014 serta melihat contoh pengaturan Konsesi di dalam Pasal 1
angka 18 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015, yang bertindak
sebagai Pejabat Pemerintah dalam memberikan Konsesi adalah
Penyelenggara Pelabuhan yang merupakan Otoritas Pelabuhan
atau Kesyahbandaran sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya,
dari segi kewenangan, pemberian Konsesi diberikan oleh Pejabat
Pemerintah yang telah berwenang sehingga Konsesi menjadi
produk administrasi pemerintahan dan bukanlah produk
keperdataan hanya dikarenakan konsesi yang memuat suatu
kesepakatan dengan pihak swasta. Adapun berdasarkan contoh
pengaturan konsesi yang diatur di dalam Permenhub Nomor 15
Tahun 2015, dalam hal Konsesi digugat pada PTUN, maka yang
menjadi Penggugat berdasarkan Pasal 53 ayat (1) UU Peradilan
Tata Usaha Negara85 dan Pasal 39 ayat (4) huruf b adalah Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau swasta,
sedangkan pihak yang didudukkan sebagai Tergugat adalah

85 Pasal 53 ayat (1) Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 : “Orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.”

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 125


Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan Konsesi
dilihat melalui pengaturan lebih lanjutnya. Substansi Konsesi dan
Prosedur dikeluarkannya Konsesi
Jika mengacu pada Permenhub Nomor 15 Tahun 2015,
Prosedur Konsesi yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang
sebelum adanya kesepakatan, secara eksplisit diatur di dalam Pasal
14 ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (1) dan ayat
(2), serta Pasal 20. Keseluruhan prosedur tersebut pada pokoknya
menitikberatkan suatu pertimbangan strategis dan persyaratan
teknis yang harus dipenuhi oleh penerima Konsesi (konsesionaris)
dan setelahnya akan mendapatkan persetujuan oleh pemberi
Konsesi sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 Permenhub Nomor
15 Tahun 2015. Adapun dalam menyepakati Konsesi, Pemberi
dan Penerima Konsesi haruslah menaati beberapa aspek-aspek
Konsesi sebagai substansi dari dikeluarkannya Konsesi, hal ini
diatur di dalam Pasal 18 Permenhub Nomor 15 Tahun 2015.
Menurut pendapat Penulis, dengan konsep Konsesi
yang merupakan suatu Keputusan Pejabat Pemerintahan yang
berwenang, Terhadap sengketa Konsesi apabila diajukan pada
PTUN, Hakim dalam memeriksa Konsesi secara prosedur dapat
melihat pengaturan dasar Konsesi (sebagaimana Konsesi yang
diatur dalam Permenhub Nomor 15 Tahun 2015) dan Hakim
secara substansi dalam memeriksa Konsesi dapat hingga pada
pokok perjanjian, namun yang perlu diperhatikan adalah apakah
pelanggaran perjanjian yang dilakukan pihak yang bersengketa
telah melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB) sebagai batu uji sengketa TUN sebagaimana diatur di
dalam Pasal 53 ayat (2) Undang Undang Peratun. Adapun AUPB
yang dimaksud dalam batu uji sengketa Konsesi merupakan
AUPB yang dimuat dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun
2014. Sehingga pengujian Konsesi berpedoman pada proses
administrasi dalam penerbitan Konsesi itu sendiri, adapun Hakim
dalam memeriksa substansi Konsesi dengan melihat isi Perjanjian
Konsesi memeriksa apakah kesepakatan Konsesi tersebut

126 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


telah dilanggar dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Terhadap amar Putusan sengketa Konsesi, dapat mengacu
pada Pasal 97 ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10) UU Peratun
yang mana Putusan pengadilan dapat berupa : a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan; c. Gugatan tidak diterima; dan d. Gugatan
Gugur. Dalam Hal gugatan dikabulkan, Maka Pejabat berwenang
yang memberikan Konsesi (dalam hal ini Tergugat) diwajibkan
untuk mencabut Konsesi yang telah diberikan dan mengeluarkan
yang baru. Apabila Tergugat melakukan pelanggaran dalam
hal mekanisme pelelangan sebagaimana diatur dalam Pasal 27
Permenhub Nomor 15 Tahun 2015, maka Penggugat dapat meminta
ganti kerugian apabila terdapat kerugian di dalam petitum
gugatan, hal ini juga dapat diajukan melalui gugatan Perbuatan
Melanggar Hukum (PMH) apabila terdapat perbuatan Pemerintah
yang menyalahgunakan kewenangannya dan mengakibatkan
kerugian dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2019 tentang Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad)
(Perma Nomor 2 Tahun 2019), gugatan ini dapat dilakukan apabila
terdapat perbuatan Pemerintah selaku pemberi konsesi yang
dianggap Penggugat telah melanggar kesepakatan sebagaimana
diatur dalam Konsesi. Selanjutnya, apabila gugatan ditolak, maka
penilaian terhadap pemeriksaan sengketa Konsesi berpokok pada
pemutusan dan pengakhiran Konsesi yang dilakukan Tergugat
dikarenakan (sebagai contoh ) alasan yang termuat dalam Pasal
47 ayat (1) dan ayat (2) Permenhub Nomor 15 Tahun 2015.86
Sedangkan terhadap gugatan tidak diterima, sebaiknya Hakim
lebih arif dalam memeriksa dikarenakan Konsesi bukanlah produk
keperdataan murni setelah berlakunya UU Nomor 30 Tahun 2014,
sehingga adapun putusan dengan amar Gugatan tidak diterima,
86 Pasal 47 ayat (1) dan (2) Permenhub Nomor 15 Tahun 2015 : “ (1) Pemutusan
atau pengakhiran perjanjian Konsesi dilakukan dalam hal Badan Usaha Pelabuhan : a. Tidak
melaksanakan Kewajibannya sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian Konsesi berdasarkan hasil
evaluasi Penyelenggara Pelabuhan; dan b. Tidak memenuhi standar kinerja yang ditentukan dalam
perjanjian konsesi; (2) Pemutusan atau pengakhiran perjanjian Konsesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh Penyelenggara Pelabuhan setelah diberikan peringatan secara tertulis
3 (tiga) kali berturut-turut dalam kurun waktu masing-masing 1 (satu) bulan.”

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 127


akan lebih baik jika terkait dengan belum ditempuhnya Upaya
Administratif dan juga penyelesaian sengketa sebagaimana diatur
di dalam Pasal Pasal 46 ayat (2) huruf m Permenhub Nomor 15
Tahun 2015 (khusus terhadap Konsesi Pelabuhan) sehingga amar
Gugatan tidak diterima tidak terkait dengan Kompetensi Absolut
PTUN.

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
Konsesi setelah masuk di dalam rezim Undang-Undang
Administrasi Pemerintahan bukanlah suatu produk hukum
keperdataan murni melainkan peran Badan/Pejabat Pemerintahan
yang didudukkan sebagai Badan Publik memiliki kedudukkan
yang lebih tinggi dan tidak setara dengan badan hukum swasta
sebagai pihak yang membuat kesepakatan terhadap isi klausula
konsesi, sehingga Konsesi sebagai Produk Hukum Pemerintah
dapat diuji pada Pengadilan Tata Usaha Negara. Hakim dalam
memeriksa sengketa Konsesi mampu menilai pada perjanjian dan
kesepakatan yang dilanggar dengan mengacu pada ketentuan
perundang-undangan serta Asas-Asas umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB), Sehingga pengujian Konsesi berpedoman pada
proses administrasi dalam penerbitan Konsesi itu sendiri, adapun
Hakim dalam memeriksa substansi Konsesi dengan melihat isi
Perjanjian Konsesi memeriksa bagaimana kesepakatan Konsesi
tersebut telah dilanggar dan tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Saran
Perlu dimuat aturan pelaksana yang lebih rinci terhadap
Konsesi sehingga format Keputusan dalam bentuk Konsesi
menjadi jelas dan terang dan Konsesi dapat diejawantahkan
sebagai produk hukum publik sebagaimana dimaksud di dalam
Undang Undang Administrasi Pemerintahan. Serta hakim dalam
memeriksa Konsesi disarankan mengeluarkan putusan gugatan

128 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


tidak diterima (NO), hanya apabila Konsesi tersebut belumlah
melalui mekanisme musyawarah maupun upaya administrasi
terhadap Pemberi Konsesi, namun bukan karena alasan tidak
adanya kompetensi TUN dalam mengadili sengketa Konsesi,
dikarenakan Konsesi kini telah merupakan produk administrasi
sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 129


DAFTAR PUSTAKA

Buku, Makalah, Surat Kabar, dan Website


Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, 1981, Jakarta :
Penerbit Ghalia Indonesia.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan
Tata Usaha Negara : Buku II Beracara di Pengadilan Tata
Usaha Negara, 2005, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Manan, Bagir dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, 1997, Bandung: Penerbit Alumni.
Soebekti,R. Kamus Hukum, 1971, Jakarta : Pradnya Paramita.
Palupi,Wulan Tunjung, “Perjalanan Berkelok Kelola MIgas dan
Tambang”, Republika, 11 November 2011.
Abdullah,Ujang, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Dalam
Sistem Peradilan Di Indonesia”, Sumber : https://ptun-
palembang.go.id, diakses pada 26 November 2019
https://kbbi.web.id/konsesi

Peraturan Perundang-undangan
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara RI Tahun
2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara RI
Nomor 4959).
Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3344).
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 1,

130 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818).
Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara
Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2831).
Undang Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan
Hak-Hak Pertambangan (Lembaran Negara Tahun
1959 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor
1759).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 44
Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2070).
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2015 Tentang
Konsesi Dan Bentuk Kerjasama Lainnya Antara
Pemerintah Dengan Badan Usaha Pelabuhan Di
Bidang Kepelabuhanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1439).
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Nagi Pengadilan.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 131


ASAS IN DUBIO PRO NATURA DALAM
SENGKETA TATA USAHA NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP:
KONSEP DAN APLIKASI

Oleh:
Endri87

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 (UUD NRI 1945) menegaskan bahwa lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional
bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara,
pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban
untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar
lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup
lain.88 Di samping itu, alinea keempat UUD NRI 1945 juga
mengamanahkan negara untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bertolak dari konsep negara kesejahteraan, dapat ditarik
benang merah hubungan antara eksistensi hukum administrasi
dengan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup.

87 Calon Hakim Peradilan Tata Usaha Negara Satker PTUN Jambi.


88 Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5059).

132 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Ketiga elemen pembangunan guna memajukan kesejahteraan
umum tersebut di era globalisasi ekonomi tersebut memang tidak
dapat bekerja saling berkesinambungan bila tidak didukung
instrumen hukum yang tangguh dan berdaulat.89 Untuk itu,
pembangunan hukum yang berorientasi lingkungan hidup harus
terus dilakukan secara terus menerus.
Hukum lingkungan Indonesia dapat dirunut dari UU No.
4 Tahun 1982, UU No. 23 Tahun 1997 dan yang terakhir UU No.
32 Tahun 2009 tentang PPLH (UU PPLH). Perkembangan dari
aspek legislasi tersebut juga diikuti dengan perkembangan dari
sisi putusan-putusan pengadilan. Sebagai contoh Putusan Nomor
820/Pdt/G/1988 antara WALHI vs PT IIU yang memperkenalkan
hak gugat organisasi lingkungan hidup. Putusan lainnya ialah
Putusan No. 49/Pdt.G/2003/PN.BDG yang dikenal dengan Kasus
Mandalawangi, telah memperkenalkan konsep strict liability
pemerintah dan prinsip keberhati-hatian (precautionary principle).
Dalam konteks global, permasalahan lingkungan- terutama
dari aspek hukum dan kebijakan- mulai mendapat perhatian
serius di hampir semua negara sejak pertemuan Stockholm (1972)
hingga Rio de Janeiro (1992). Dalam pertemuan tersebut secara
global telah disepakati kebijakan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development).90
Sistem penegakan hukum lingkungan, termasuk di
dalamnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di pengadilan
dalam UU PPLH mendayagunakan aspek hukum administrasi,
perdata maupun pidana. Penegakan hukum lingkungan di bidang
hukum administrasi dibagi menjadi dua, yaitu pengawasan dan
penerapan sanksi. Pengawasan bersifat preventif sedangkan
sanksi administratif bersifat represif. Penyelesaian sengketa

89 I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani, dkk. 2019. Hukum Administrasi Negara dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi Berbasis Lingkungan. Depok: Rajawali Pers, hlm. 17.
90 Supandi. “Menyongsong Sepuluh Tahun Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”.
Makalah. Disampaikan Dalam Konferensi Hukum dan Lingkungan, diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Center
for Environmental Law (ICEL) dan Himpunan Pembina Hukum Lingkungan, Senin, 26
Agustus 2019, Depok, hlm. 2.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 133


lingkungan dari aspek administrasi yang merupakan kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan upaya pencegahan dan
penanggulangan terjadinya masalah lingkungan akibat kegiatan
usaha yang berdampak kepada lingkungan.
Oleh karena bagian terbesar dari hukum lingkungan adalah
hukum administrasi, maka Peradilan Tata Usaha Negara berperan
besar dalam rangka penegakan hukum administrasi lingkungan
hidup. Untuk itulah penyelesaian sengketa tata usaha negara
lingkungan hidup ke PTUN, oleh hakim tidak hanya menguji
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), namun
juga asas-asas khusus yang dikenal dalam sengketa lingkungan
hidup, salah satunya adalah asas in dubio pro natura (in a doubt,
in favor of nature). Paper ini berfokus pada pembahasan mengenai
definisi dan cakupan dari asas in dubio pro natura dan melihat
bagaimana penerapannya dalam pemeriksaan perkara tata usaha
negara lingkungan hidup.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan tersebut, terdapat dua rumusan


masalah yang diajukan:
1. Apa yang dimaksud asas in dubio pro natura dalam
sengketa lingkungan hidup?
2. Bagaimana implementasi asas in dubio pro natura dalam
pemeriksaan sengketa tata usaha negara lingkungan hidup?

III. PEMBAHASAN

III.a. Cakupan Definisi Asas In Dubio Pro Natura

Kelahiran asas in dubio pro natura dalam penegakan


hukum lingkungan memiliki latar belakang pemikiran yang cukup
panjang. Jika ditelusuri, asas in dubio pro natura memiliki relasi
erat dengan asas in dubio pro reo yang dikenal dalam hukum

134 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


pidana, teori biosentrisme, gagasan deep ecology, dan di saat yang
sama menjadi antitesis atas konsep entrophosentrisme dan shallow
ecology.
Jika dikaitkan dengan asas in dubio pro reo, konsepsi asas
in dubio pro natura sejatinya bersinggungan dengan asas in
dubio pro reo. Sebelumnya dalam kasus-kasus lingkungan hidup
tergugat seringkali lolos dari tuntutan ganti rugi karena ketika
hakim mengalami keragu-raguan mengenai suatu hal maka
hakim menjatuhkan hukuman yang ringan terhadap terdakwa,
dengan kata lain mengimplementasikan asas in dubio pro reo
sebagai pedoman. Seiring dengan perubahan paradigma dari
homo-centris ke eco-centris maka dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan asas in dubio pro reo berganti menjadi asas in dubio
pro natura yang artinya ketika hakim mengalami suatu keragu-
raguan terhadap alat bukti yang ada maka hakim mengedepankan
perlindungan lingkungan dalam putusannya. 91
Selama ini terdapat dualisme pemikiran di satu sisi ada
pemikiran bahwa lingkungan dipandang secara dangkal (shallow
ecology) di sisi yang lain lingkungan dilihat secara mendalam (deep
ecology). Shallow ecology dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran
antrophosentris, utilitarisme atau konsep-konsep ekonomi
bahwa lingkungan itu dieksploitasi untuk dimanfaatkan sebesar-
besarnya. Berlawanan dengan pandangan tersebut, deep ecology
bermula dari pemikiran biosentrisme yang melihat lingkungan itu
harus dipelihara, lingkungan harus dilestarikan demi ekologi atau
tempat hidup bersama.92
Ekologi dalam (deep ecology) merupakan teori etika
lingkungan yang berintikan biosentrisme. Manusia bukan sekedar
makhluk sosial melainkan makhluk ekologis. Kehidupan manusia
tidak dapat ditemukan hanya dalam masyarakat melainkan
ditemukan dalam komunitas ekologis dalam perwujudan dirinya

91 Imamulhadi. “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan Precautionary dalam


Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan”. Jurnal. Mimbar Hukum Vol. 25
No. 3, Oktober 2013, hlm. 429.
92 Meda Desi Kartikasari. 2018. “Menelisik Akar Pemikiran Asas In Dubio Pro Natura
dalam Penegakan Hukum”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, hlm. 24.
Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 135
sebagai makhluk ekologis.93
Deep ecology merupakan salah satu varian pengembangan
teori ekosentrisme dalam ragam teori etika lingkungan hidup
yang sekarang ini dikenal sebagai in dubio pro natura. Deep
ecology diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia
pada 1973. Dua hal mendasar dalam deep ecology, yaitu:
1. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala
sesuatu yang lain. Manusia bukan pusat dari dunia moral,
tetapi memusatkan perhatian pada biosfer seluruhnya,
yakni kepentingan seluruh komunitas ekologis. Perhatian
bersifat jangka panjang.
2. Etika lingkungan hidup yang dikembangkan dirancang
sebagai sebuah etika praktis, berupa sebuah gerakan yang
diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Pemahaman
baru tentang relasi etis yang ada di alam semesta, disertai
adanya prinsip-prinsip baru yang sejalan dengan relasi
etis tersebut, kemudian diterjemahkan dalam aksi nyata di
lapangan.94
Asas in dubio pro natura atau disebut dengan istilah ekologi
dalam (deep ecology), dalam hukum internasional dikenal sebagai
prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Precautionary principle
merupakan prinsip yang diatur dalam United Nations Conference on
Enviromental and Development di Rio de Janeiro tahun 1992 termuat
pada prinsip ke 15. Precautionary principle merupakan turunan atas
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).95
Konsep in dubio pro natura awalnya merupakan bagian
dari prinsip kehati-hatian yang dirumuskan dalam Deklarasi
Rio. Tujuan dari prinsip kehati-hatian adalah perlindungan yang
memadai untuk lingkungan, baik demi lingkungan itu sendiri
maupun untuk kebaikan umat manusia. Secara umum, prinsip
kehati-hatian menuntut adanya tindakan pada tahap awal sebagai

93 Ibid, hlm. 41.


94 Ibid, hlm. 42-43.
95 Ibid, hlm. 12.

136 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


respon terhadap ancaman bahaya lingkungan, termasuk pada
situasi ketidakpastian. Dengan menerapkan prinsip ini berarti
memberi manfaat dari keraguan pada lingkungan yakni disebut
in dubio pro natura. Prinsip kehati-hatian merupakan tindakan
pencegahan. Manfaat yang diharapkan dari prinsip ini adalah
menghindari kemungkinan kerusakan yang makin parah.96
Asas kehati-hatian bermakna bahwa ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena
keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup.97
Dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
juga mencantumkan:
Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dikenal pula
dengan istilah in dubio pro natura, terutama dalam penerapan
untuk perkara perdata dan tata usaha negara di bidang lingkungan
hidup. Prinsip ini bersumber dari prinsip ke-15 Deklarasi Rio:
“Untuk melindungi lingkungan, prinsip kehati-hatian harus diterapkan
di setiap negara sesuai dengan kemampuan negara yang bersangkutan.
Apabila terdapat ancaman kerusakan yang serius atau tidak dapat
dipulihkan, ketiadaan bukti ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda upaya-upaya pencegahan penurunan fungsi lingkungan”.
Dalam menerapkan prinsip kehati-hatian ini, maka hakim
wajib mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi dan
memutuskan apakah pendapat ilmiah didasarkan pada bukti dan
metodologi yang dapat dipercaya dan telah teruji kebenarannya
(sah dan valid).98
96 Wahyu Risaldi, dkk. “Penerapan Asas In Dubio Pro Natura dan In dubio Pro Reo
oleh Hakim Perkara Lingkungan Hidup”. Jurnal. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 20 No. 3,
hlm. 554.
97 Penjelasan Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
98 Keputusan KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, hlm. 5. Lihat juga Rio Declaration untuk versi
aslinya.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 137


Per Sandin memberikan penafsiran atas konsep asas kehati-
hatian melalui empat aspek:
a. Adanya ancaman karena suatu kegiatan yang berpotensi
bahaya (potentially dangerous action);
b. Ketidakpastian ilmiah (before scientific proof established);
c. Adanya tindakan untuk membatasi, mengatur, atau
mencegah; dan
d. Sifat wajib dari tindakan tersebut (mandatory).99
Menurut Philippe Sands, batasan pengertian prinsip kehati-
hatian mengerucut pada tiga hal:, yaitu sifat ancaman kerusakan
lingkungan begitu serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan
(irreversible); terdapat ketidakpastian ilmiah (scientific uncertainty);
dan perlunya preventif, mencakup upaya pencegahan hingga
biaya-biaya yang mendukung penanganan secara efektif (cost
effectiveness).100
SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 juga menambahkan
bahwa yang dimaksud precautionary principle adalah dalam hal
tidak ada alasan atau alat bukti yang cukup, maka tidak bisa
menghalangi hakim untuk melakukan pencegahan adanya
kerusakan lingkungan. Dalam pembuktian perkara lingkungan
hidup dan tidak adanya bukti ilmiah dalam menentukan hubungan
kausalitas antara kegiatan manusia dengan pengaruh pada
lingkungan, maka pengadilan harus menerapkan precautionary
principle sebagai hak konstitusi atas ekologi yang sehat. Misalnya
hakim memerintahkan agar tergugat melakukan upaya
perlindungan lingkungan hidup dalam putusan pokok perkara,
meskipun membutuhkan biaya yang lebih besar daripada rencana
awal kegiatan.101

99 Wahyu Yun Santoso, dkk. “Signifikansi Pendekatan Kehati-hatian Dalam


Pengaturan Organisme Transgenik di Indonesia”. Jurnal. Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 4
Issue 1, September 2017, hlm. 93.
100 Ibid.
101 Keputusan KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, hlm. 25

138 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Standard penerapan precautionary principle adalah:102
• Ancaman terhadap manusia atau kesehatan misalnya
kegiatan pembangkit listrik tenaga nuklir;
• Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak
mempertimbangkan kelestarian fungsi lingkungan
untuk generasi yang akan datang, misalnya kegiatan
pembangunan jalan yang melintasi kawasan hutan
lindung; atau
• Melakukan kegiatan tanpa mempertimbangkan (prejudice)
hak-hak lingkungan dari pihak yang menerima dampak
tersebut.
Precautionary principle merupakan instrumen pencegahan
pencemaran atau perusakan terkait masalah yang dihadapi
oleh para pembuat kebijakan, yaitu adanya ketidakpastian
ilmu pengetahuan dalam memperkirakan dampak lingkungan.
Dalam pengembangan kebijakan yang berwawasan lingkungan
perumus kebijakan harus membuat keputusan-keputusan
meskipun dihadapkan pada ketidakpastian ilmu pengetahuan
dalam memprediksi dampak lingkungan. Pada kondisi inilah
precautionary principle diimplementasikan. Precautionary principle
mencerminkan pemikiran tentang tindakan sebelum kerugian
timbul dan juga sebelum bukti ilmiah konklusif diperoleh. Hal ini
berarti harus menunggu adanya bukti ilmiah konklusif dan bukti
tentang tingkat risiko yang pasti tetapi harus mencegah terjadinya
kerugian lingkungan.103
Ketidakpastian ilmu pengetahuan meliputi ketidakpastian
pragmatis, ketidakpastian teoritis, kompleksitas dalam sistem
terbuka, dan ketidakpastian yang diakibatkan oleh kerugian yang
tidak tampak. Ketidakpastian pragmatis yaitu bila para pakar
tidak memiliki cukup waktu dan dana untuk melakukan penelitian
yang wajar, sedangkan pembuat keputusan membutuhkan segera
hasil-hasil atau informasi yang diperlukan dalam pembuatan
102 Ibid.
103 Imamulhadi. Op.Cit, hlm. 428.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 139


keputusan. Ketidakpastian teoritis yaitu perbedaan pandangan
secara teori diantara pakar-pakar ilmu lingkungan, dan terjadinya
perbedaan interpretasi data dan temuan-temuan. Ketidakpastian
kompleksitas dalam sistem terbuka terjadi karena alam sulit
diprediksi atau diperkirakan secara pasti. Ketidakpastian kerugian
yang tampak karena kerugian lingkungan sulit untuk diamati dan
oeh karenanya sulit dipantau atau dipahami.104
Precautionary principle menghendaki kepentingan lingkungan
(environment legal interest) harus selalu dipertimbangkan dalam
setiap kebijakan terkait pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan,
dengan demikian prinsip ini haruslah diperhatikan dalam konteks
pengambilan kebijakan di pemerintah, namun juga diperhatikan
hakim dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Hakim
dapat menjadikan precautionary principle sebagai alat uji (toetsing
gronden) dalam pemeriksaan perkara, dengan demikian prinsip
kehati-hatian tidak hanya preventif tetapi juga represif. Dengan
diterapkannya precautionary principle dalam putusan hakim,
maka prinsip tersebut telah menurunkan asas in dubio pro
natura, apabila terjadi ketidakpastian ilmiah maka hakim harus
mengambil keputusan yang menguntungkan lingkungan hidup.
Dengan demikian, dalam tujuan penegakan hukum
lingkungan, penerapan precautionary principle yang awalnya
berada pada tataran pengelolaan dan kebijakan bergerak ke tataran
penyelesaian sengketa. Dalam tataran kebijakan (policy) disebut
sebagai precautionary pinciple, sedangkan dalam penyelesaian
sengketa di pengadilan menurunkan asas in dubio pro natura.
Sejauh pembacaan terhadap literatur, penulis berpendapat
bahwa selain bermakna ketidakpastian ilmiah (scientific
uncertainty), asas in dubio pro natura juga dapat dimaknai dalam
konteks terdapat ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Dalam
proses pemeriksaan perkara, sangat mungkin hakim mengalami
kesulitan atau keragu-raguan menerapkan hukum pada kasus
konkret untuk menjamin tercapainya kepastian hukum, keadilan

104 Ibid, hlm. 429.

140 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


dan kemanfaatan secara proporsional dalam putusannya.
Asas in dubio pro natura bermakna dalam keadaan yang
meragukan, masa transisi atau adanya perubahan keadaan
hukum, maka hendaknya digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan bagi lingkungan.105
Ketidakpastian hukum tersebut dapat berbentuk: 1) norma
hukum kabur (vage normen), 2) adanya konflik norma (antinomi)
dan 3) norma hukum kosong (leemtenin het recht).106 Yang dimaksud
norma kabur adalah aturan hukum memuat rumusan yang sangat
umum atau aturan yang tidak jelas, sedangkan hakim dihadapkan
pada kejadian yang spesifik dan individual. Konflik norma terjadi
jika terdapat beberapa peraturan yang mungkin dapat diterapkan
pada suatu kasus konkret, sedangkan norma kosong berarti tidak
terdapat satupun aturan yang dapat diterapkan.107
Dengan demikian, hemat penulis asas in dubio pro natura
dalam sengketa lingkungan hidup dapat dimaknai dalam dua
bentuk, 1) keragu-raguan hakim dalam hal adanya ketidakpastian
ilmiah (scientific uncertainty), dan 2) keragu-raguan hakim dalam
hal terdapat ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Jika
dalam kondisi keragu-raguan (in dubio) yang demikian, asas ini
menghendaki hakim memutus dengan berpihak pada kepentingan
lingkungan (pro natura).

III.b. Asas In Dubio Pro Natura dalam Pemeriksaan Sengketa


Tata Usaha Negara Lingkungan Hidup

Perkara lingkungan hidup dikategorikan sebagai perkara


yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal
antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber
daya dengan pihak yang memiliki akses terbatas. Jenis perkara
105 Pusdiklat Teknis Peradilan. “Modul Diklat Tahap 3 Materi Terkait Kasus Lingkungan
Hidup PPC Terpadu Peradilan TUN”. Modul. Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI, hlm. 6.
106 Philipus M. Hadjon. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”. Jurnal. Jurnal
Yuridika Fakultas Hukum Universitas Airlangga No. 6 Tahun IX/1994, hal 13.
107 Pusdiklat Teknis Peradilan. Modul Diklat Tahap 3 Materi Logika Hukum PPC
Terpadu Peradilan TUN. Modul. Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 141


lingkungan hidup sendiri terdiri dari: Pertama, pelanggaran
terhadap peraturan administrasi di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Kedua, pelanggaran ketentuan
perdata dan pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Kedua jenis tersebut juga termasuk
pelanggaran atas peraturan mengenai kehutanan, perkebunan,
pertambangan, pesisir dan kelautan, tata ruang, sumber daya air,
energi, perindustrian, dan konservasi sumber daya alam.108
Tujuan diaturnya penyelesaian sengketa lingkungan hidup
antara lain adalah agar pencemaran dan kerusakan lingkungan
dapat dihentikan, ganti rugi dapat diberikan, penanggung
jawab usaha/kegiatan menaati peraturan perundang-undangan
di bidang lingkungan hidup dan pemulihan lingkungan dapat
dilaksanakan.109
Fungsi penegakan hukum atas pelanggaran administrasi
di bidang lingkungan hidup tersebut merupakan kompetensi
Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara lingkungan hidup
yang diajukan padanya. Penyelesaian sengketa lingkungan
melalui peradilan tata usaha negara bertujuan untuk mencegah
atau menghentikan pencemaran lingkungan yang terjadi melalui
prosedur hukum administrasi.
Dalam UU PPLH, dasar hukum gugatan administratif diatur
dalam Pasal 93 UU PPLH. Diaturnya mekanisme penyelesaian
sengketa lingkungan melalui peradilan tata usaha negara di
dalam UU PPLH merupakan suatu kemajuan di bidang hukum
lingkungan, mengingat sebagian besar hukum lingkungan adalah
hukum administrasi.110
Pasal 93 UU PPLH menentukan bahwa yang menjadi
kompetensi absolut PTUN dalam sengketa lingkungan hidup

108 Supandi. Op.Cit, hlm. 3.


109 Handri Wirastuti, dkk. “Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya”. Jurnal. Jurnal
Dinamika Hukum Vo. 10 No. 2 Mei 2010, hlm. 170.
110 A’an Effendi. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui Peradilan Tata Usaha
Negara”. Jurnal. Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 15.

142 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


adalah mengadili, memeriksa dan memutus sengketa TUN yang
disebabkan oleh penerbitan KTUN di bidang lingkungan hidup.
Pasal 93 UU PPLH menentukan bentuk-bentuk Keputusan
Tata Usaha Negara di bidang lingkungan hidup yang menjadi
kompetensi absolut PTUN, yaitu:
1. Izin lingkungan yang tidak disertai dengan dokumen
amdal, padahal wajib amdal;
2. Izin lingkungan yang tidak disertai dengan dokumen UKL/
UPL, padahal wajib UKL/UPL;
3. Izin usaha/kegiatan yang tidak disertai dengan izin
lingkungan.
Apabila terdapat izin-izin yang berkaitan dengan
lingkungan hidup oleh Pejabat Pemerintahan yang tidak memenuhi
persyaratan atau melanggar prosedur dan/atau melanggar secara
substansi dalam penerbitannya dapat mengajukan gugatan untuk
menyatakan batal atau tidak sah KTUN tersebut melalui gugatan
tata usaha negara.
Dalam pembahasan sebelumnya, penulis sudah memaparkan
bahwasannya keraguan-raguan hakim setidaknya mencakup
dua hal, 1) keragu-raguan ilmiah, dan 2) keragu-raguan hukum.
Dalam proses pemeriksaan sengketa, keragu-raguan tersebut
idealnya haruslah diminimalisir agar hakim mampu menarik
kesimpulan secara tepat atas pokok permasalahan perkara untuk
selanjutnya menghasilkan putusan yang memberikan kepastian
hukum, keadilan dan kebermanfaatan secara proporsional. Untuk
itu, penulis dapat menguraikan dua cara untuk meminimalisir
keragu-raguan hakim tersebut.
Pertama, dalam hal meminimalisir keragu-raguan hakim
ketika adanya ketidakpastian ilmiah, maka hakim dituntut untuk
memaksimalkan tahapan pembuktian di persidangan. Kuncinya
ada pada alat bukti ilmiah (scientific evidence) dan ahli lingkungan
(environmentalists) berpengetahuan khusus yang kompeten.
Meskipun alat bukti ilmiah tidak diatur dalam hukum

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 143


acara Peradilan Tata Usaha Negara, namun Mahkamah Agung
sendiri menerbitkan SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 yang
menentukan bahwasannya bukti ilmiah dapat digunakan dalam
perkara lingkungan. Tujuan bukti ilmiah dalam kasus lingkungan
adalah untuk menambah keyakinan hakim serta memberikan
panduan bagi hakim untuk menilai keotentikan suatu alat bukti.111
Sebagaimana karakteristik utama perkara lingkungan
hidup, pendekatan dengan scientific evidence sangat diperlukan.
Ditambah pula keterangan ahli yang mampu menerjemahkan
scientific evidence tadi menjadi legal evidence, terutama dalam tahap
pembuktian di persidangan. Scientific evidence adalah alat bukti
petunjuk tidak langsung berupa bukti-bukti ilmiah seperti hasil
laboratorium, foto satelit, keterangan ahli yang menerangkan
telah terjadi adanya kerusakan dan pencemaran lingkungan,
yang masyarakat sendiri-pun tidak menyadari bahwa hal yang
demikian telah terjadi.112
Hakim perlu memiliki kemampuan untuk menilai suatu
bukti ilmiah. Hakim dapat mengandalkan kemampuannya sendiri
untuk menilai bukti ilmiah tersebut. Namun, dalam perkara
lingkungan yang sulit dan kompleks, besar kemungkinan hakim
memerlukan bantuan ahli untuk menilai bukti ilmiah. Hakim
membutuhkan ahli berpengetahuan khusus yang relevan dengan
perkara yang sedang diperiksa.113
Pembuktian di persidangan haruslah mampu
dimaksimalkan hakim dengan memperbanyak alat bukti ilmiah
dan keterangan ahli yang dapat membantu hakim menerjemahkan
bukti-bukti ilmiah tadi menjadi legal evidence. Di samping itu, bukti
ilmiah dan keterangan ahli juga perlu dinilai sah dan validnya
oleh hakim. Sebagai gambaran, dalam kasus pidana lingkungan
perkara pencemaran Kali Surabaya, Mahkamah Agung dalam

111 Keputusan KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, hlm. 26.


112 Supandi. Op.Cit, hlm. 4.
113 Windu Kisworo. “Aplikasi Prinsip-Prinsip Terkait Bukti Ilmiah (Scientific Evidence)
di Amerika Serikat dalam pembuktian Perkara Perdata Lingkungan di Indonesia”. Jurnal.
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5 No. 1 Tahun 2018, hlm. 24

144 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Putusannya Nomor 1479 K/Pid/1989 mendefinisikan bahwa
suatu alat bukti dianggap sah apabila proses pengambilannya
dilakukan dalam rangka pro justisia dengan prosedur acara yang
telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHAP). Sedangkan alat bukti dianggap valid apabila proses
pengambilan dan pemeriksaannya didasarkan pada metodologi
ilmu pengetahuan yang paling sahih, terbaru, dan diakui oleh para
ahli dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Ukuran sah dan valid
bukti ilmiah di Peradilan Tata Usaha Negara perlu dirumuskan
sebagai pegangan hakim bagaimana menilai validitas bukti ilmiah
dan pendapat ahli yang di hadirkan dalam sengketa lingkungan.
Bukti ilmiah yang ada seringkali bersifat tidak lengkap
(incomplete) dan tidak pasti (uncertain) sehingga menimbulkan
ketidakpastian bagi hakim. Untuk itu, bukti ilmiah harus didukung
dengan keterangan ahli di persidangan untuk menjadikan sebagai
bukti hukum. Dalam pembuktian ilmiah tersebut, apabila ada
dua keterangan ahli yang berbeda maka hakim dapat: 1) memilih
keterangan berdasarkan keyakinan hakim dengan memberikan
alasan dipilihnya keterangan alat bukti yang dihadirkan
oleh keterangan ahli; atau 2) menghadirkan ahli lain dengan
pembebanan biaya berdasarkan kesepakatan para pihak; 3)
menerapkan prinsip kehati-hatian.114
Perlu disadari, di satu sisi teknologi telah menjadi media
yang memudahkan dilakukannya ekploitasi sumber daya alam
yang berdampak pada lingkungan, di sisi lain teknologi juga
harus mampu dimanfaatkan untuk mendukung upaya pelestarian
lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan pemeriksaan
sengketa lingkungan hidup di PTUN yang merupakan sarana
penegakan hukum administrasi terhadap kerusakan lingkungan,
pendekatan teknologi harus dapat dimaksimalkan dengan
menghadirkan bukti ilmiah yang akurat pada tahap pembuktian,
termasuk dikuatkan dengan keterangan ahli yang berpengetahuan
khusus dan berkompeten. Hal ini sangat membantu Majelis

114 Keputusan KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, hlm. 26

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 145


Hakim meminimalisir ketidakpastian ilmiah yang kemungkinan
muncul dalam pemeriksaan perkara sehingga membantu hakim
menemukan kebenaran materiil, menilai apakah keputusan tata
usaha negara lingkungan tersebut berpotensi menyebabkan
kerusakan lingkungan atau tidak.
Kedua, meminimalisir keragu-raguan hakim dalam
hal adanya ketidakpastian hukum, maka hakim dituntut
untuk melakukan penemuan hukum (rechstvinding) dengan
metode-metode yang dikenal dalam ilmu hukum, baik melalui
interpretasi maupun konstruksi hukum. Salah satunya ialah
dengan menerapkan asas-asas kebijakan lingkungan yang dikenal
dalam doktrin, konvensi-konvensi internasional mengenai
lingkungan hidup, dan yurisprudensi yang secara teori lebih
cepat menangkap perkembangan hukum dibandingkan dengan
peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana tertuang dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/
II/2013, asas-asas kebijakan lingkungan (principles of enviromental
policy) meliputi: 115
Prinsip substansi hukum lingkungan (substantive legal
principles);
a. Prinsip-prinsip proses (principles of process);
b. Prinsip keadilan (equitable principles).

Asas-Asas
No Kebijakan Rincian Prinsip
Lingkungan
Prinsip pencegahan bahaya lingkungan
Prinsip substansi Prinsip kehati-hatian
1
hukum lingkungan Prinsip pencemar membayar
Prinsip pembangunan berkelanjutan

115 Keputusan KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, hlm. 5

146 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Prinsip pemberdayaan masyarakat
Prinsip pengakuan terhadap daya
Prinsip-prinsip dukung dan keberlanjutan ekosistem
2
proses Prinsip pengakuan hak masyarakat adat
dan masyarakat sekitar
Prinsip daya penegakan
Prinsip keadilan antar generasi
Prinsip pembagian beban tanggungjawab
3 Prinsip keadilan bersama secara proporsional
Prinsip keadilan pemanfaatan sumber
daya

Asas-asas kebijakan lingkungan tersebut dapat dijadikan


dasar pengujian oleh hakim terhadap KTUN di bidang
lingkungan sebagai bagian dari AUPB. Asas-asas tersebut dapat
digunakan hakim sebagai batu uji dalam hal hakim ragu-ragu
dalam menerapkan ketentuan perundang-undangan atas kasus
lingkungan yang sedang diperiksa, baik karena norma hukum
kabur, adanya konflik norma atau karena norma hukum kosong.
Penggunaan asas-asas kebijakan lingkungan dalam
pertimbangan-pertimbangan hakim di satu sisi memberikan
hakim alat untuk menguji keabsahan suatu keputusan, di sisi
lain mencerminkan sikap keberpihakan terhadap lingkungan
dalam penyelesaian sengketa lingkungan. Asas in dubio pro
natura menuntun hakim dalam hal ada keragu-raguan ketika
akan menerapkan hukum apa yang tepat untuk menyelesaikan
kasus konkret tadi, asas tersebut menghendaki hakim untuk lebih
berpihak pada kepentingan lingkungan. Dapatlah dikatakan asas
in dubio pro natura menghendaki keberpihakan hakim pada
lingkungan hidup.
Selain itu, SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 juga
menyebutkan: “Dalam menangani perkara lingkungan hidup para
hakim diharapkan bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup
sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific
evidence), oleh karenanya hakim lingkungan haruslah berani menerapkan

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 147


prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup antara
lain prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan melakukan
judicial activism”.
Pertanyaan berikutnya bagaimana asas in dubio pro natura
jika dihubungkan dengan Pasal 107 Undang-Undang Peradilan
Tata Usaha Negara yang mengharuskan hakim memutus dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim? Bukan sekilas kedua hal tersebut saling bertentangan?
Pada praktiknya, asas in dubio pro natura sebagai sebuah
asas dapat dikatakan hampir tidak pernah digunakan sebagai
batu uji dalam pertimbangan hukum putusan, hakim lebih banyak
menerapkan asas-asas kebijakan lingkungan yang lain seperti
precautionary principle. Hal tersebut menurut penulis merupakan
suatu hal yang tepat, asas tersebut tidak dapat langsung digunakan
sebagai batu uji karena berpotensi menunjukkan adanya keragu-
raguan hakim dalam memutus perkara. Keragu-raguan hakim
sebagaimana tergambar dalam asas in dubio pro natura secara
sekilas memang menegasikan ketentuan Pasal 107 tersebut.
Oleh karena itu, penulis berpendapat asas in dubio pro natura
dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara lingkungan hidup
haruslah dipahami sebagai sebuah konsep sekaligus pedoman
(guideline) bagi hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
lingkungan. Artinya, jika terdapat keraguan-raguan hakim baik
dalam bentuk ketidakpastian ilmiah maupun ketidakpastian
hukum ketika memeriksa sengketa lingkungan, maka hakim
diarahkan untuk berpihak pada kepentingan lingkungan,
dengan kata lain pro natura yang bertujuan mencegah terjadinya
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
Jika dipahami dengan cara yang demikian, maka dapat
disimpulkan bahwa asas in dubio pro natura dalam pemeriksaan
sengketa di PTUN didudukkan sebagai panduan bagi hakim
untuk memenuhi ketentuan Pasal 107 UU Peratun. Asas in dubio
pro natura menghendaki hakim harus memperoleh bukti-bukti
yang valid selama persidangan dan berkeyakinan bahwa dengan

148 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


terbitnya suatu KTUN di bidang lingkungan tersebut memang
benar-benar tidak akan berdampak negatif bagi lingkungan hidup.
Jika uraian pembahasan di atas digambarkan dalam sebuah
skema, maka akan terlihat sebagai berikut:

IV. PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Asas in dubio pro natura dalam sengketa lingkungan
hidup dapat dimaknai dalam dua bentuk, 1) keragu-raguan
hakim dalam hal adanya ketidakpastian ilmiah (scientific
uncertainty), dan 2) keragu-raguan hakim dalam hal terdapat
ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Dalam kondisi
keragu-raguan (in dubio) tersebut, asas ini menghendaki
hakim berpihak pada kepentingan lingkungan (pro natura).
2. Ketidakpastian ilmiah dapat diminimalisir dengan
memaksilkan bukti ilmiah (scientific evidence) dan ahli
lingkungan (environmentalists) berkompeten pada tahap
pembuktian. Ketidakpastian hukum diatasi dengan
melakukan penemuan hukum dengan menerapkan asas-
asas kebijakan lingkungan. Asas in dubio pro natura dalam
penyelesaian sengketa tata usaha negara lingkungan hidup

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 149


dipahami sebagai pedoman (guideline) bagi hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.

b. Saran
1. Mahkamah Agung perlu memberikan arahan dalam
Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup
bagaimana menilai suatu bukti ilmiah, ukuran sah dan
valid bukti ilmiah dan bagaimana memastikan keterangan
ahli didasarkan pada teori atau metode ilmiah. Hal tersebut
membantu hakim menyeleksi validitas bukti ilmiah dan
ahli yang dihadirkan di persidangan sehingga alat bukti
menjadi relevan digunakan dalam menyelesaikan sengketa.
2. Mahkamah Agung dapat mengkodifikasikan berbagai
putusan sebagai yurisprudensi perkara lingkungan hidup.
Hal tersebut memudahkan hakim-hakim mencari berbagai
kaidah hukum yang dapat digunakan dalam pertimbangan
putusan.
3. Mengoptimalkan pembekalan dan pendidikan/pelatihan
hakim lingkungan hidup, baik mengenai pengetahuan
lingkungan hidup maupun hukum acara tertentu dalam
pemeriksaan perkara. Termasuk di dalamnya program
sertifikasi, pendidikan dan pelatihan, dan sosialisasi yang
bertujuan meningkatkan kompetensi hakim.

150 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 36/KMA/SK/
II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan
Perkara Lingkungan Hidup.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (Lembaran Negara RI Tahun 1986
Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
3344).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
RI Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 5059).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara RI Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
5601).

Buku, Makalah dan Jurnal


A’an Effendi. “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Melalui
Peradilan Tata Usaha Negara”. Jurnal. Jurnal Perspektif
Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari.
Handri Wirastuti, dkk. “Sengketa Lingkungan dan
Penyelesaiannya”. Jurnal. Jurnal Dinamika Hukum
Vo. 10 No. 2 Mei 2010.
I Gusti Ayu Ketut Rahmi Handayani, dkk. 2019. Hukum Administrasi
Negara dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Energi
Berbasis Lingkungan. Depok: Rajawali Pers.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 151


Imamulhadi. “Perkembangan Prinsip Strict Liability dan
Precautionary dalam Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup di Pengadilan”. Jurnal. Mimbar
Hukum Vol. 25 No. 3, Oktober 2013.
Philipus M. Hadjon. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik
(Normatif)”. Jurnal. Jurnal Yuridika Fakultas Hukum
Universitas Airlangga Nomor 6 Tahun IX/1994.
Supandi. “Menyongsong Sepuluh Tahun Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup:
Refleksi Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”.
Makalah. Disampaikan dalam Konferensi Hukum
dan Lingkungan oleh Fakultas Hukum Universitas
Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) dan Himpunan Pembina
Hukum Lingkungan, Senin, 26 Agustus 2019, Depok.
Wahyu Risaldi, dkk. “Penerapan Asas In Dubio Pro Natura dan
In dubio Pro Reo oleh Hakim Perkara Lingkungan
Hidup”. Jurnal. Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 20
No. 3.
Wahyu Yun Santoso, dkk. “Signifikansi Pendekatan Kehati-
hatian Dalam Pengaturan Organisme Transgenik di
Indonesia”. Jurnal. Jurnal Hukum Lingkungan Vol. 4
Issue 1, September 2017
Windu Kisworo. “Aplikasi Prinsip-Prinsip Terkait Bukti
Ilmiah (Scientific Evidence) di Amerika Serikat
dalam pembuktian Perkara Perdata Lingkungan
di Indonesia”. Jurnal. Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia, Vol. 5 No. 1 Tahun 2018.

Lain-lain
Meda Desi Kartikasari. 2018. Menelisik Akar Pemikiran Asas In
Dubio Pro Natura dalam Penegakan Hukum. Skripsi.
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

152 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Pusdiklat Teknis Peradilan. Modul Materi Terkait Kasus
Lingkungan Hidup PPC Terpadu Peradilan TUN.
Modul. Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI.
Pusdiklat Teknis Peradilan. Modul Diklat Tahap 3 Materi Logika
Hukum PPC Terpadu Peradilan TUN. Modul.
Pusdiklat Teknis Peradilan MA RI.
Rio Declaration by United Nation Conference on Environment
and Development 1992.

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 153


154 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang
PROFIL PENULIS

Endri, putra Aceh kelahiran Meulaboh,


15 Juli 1994. Sekarang berkarir sebagai
Calon Hakim TUN satker PTUN Jambi.
Lulusan FH UGM ini tertarik dengan isu-
isu sejarah, hukum ketatanegaraan dan
administrasi negara, dan sastra melayu
klasik. Korespondensi via :
endri_ismail_94@yahoo.com

Rahmadian Novira, kelahiran Padang,


30 November 1993. Saat ini Calon Hakim
pada PTUN Padang. Merupakan alumnus
Universitas Andalas (S1). Tertarik dengan
isu-isu hukum kepegawaian dan karya
sastra, juga menggeluti dunia fotografi.
Korespondensi via :
rahmadiannovira@gmail.com

Rizki Ananda, kelahiran Bogor, 7 Juni 1991.


Saat ini Calon Hakim pada PTUN Banda
Aceh. Merupakan alumnus Universitas
Syiah Kuala (S1) dan Universitas Indonesia
jurusan kenegaraan (S2). Tertarik dengan
isu-isu mengenai otonomi khusus,
ketatanegaraan, fotografi, musik klasik dan
kuliner. Korespondensi via :
rizki.ananda7@yahoo.com

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 155


Maryam Nur Hidayati, kelahiran Sleman,
30 April 1994. Saat ini Calon Hakim
PTUN Kupang. Tertarik dengan isu
hukum ketatanegaraan dan administrasi
pemerintahan serta menyukai kuliner.
Korespondensi di:
maryamhidayati@yahoo.com

Aini Sahara, kelahiran Kalianda, 25 Maret


1992. Saat ini sebagai Calon Hakim PTUN
Bandar Lampung dengan Penempatan
magang PTUN Medan. Tertarik
dengan dunia kuliner dan travelling.
Korespondensi via:
ainisahara55@gmail.com

Anissa Yanuartanti, kelahiran Bantul, 5


Januari 1993. Saat ini Calon Hakim PTUN
Mataram yang sedang magang di PTUN
Medan. Tertarik dengan kegiatan sosial
kemasyarakatan. korespondensi via
anissa.yanuartanti@gmail.com.

Azza Azka Norra, kelahiran Pati, 11


April 1990. Saat ini Calon Hakim PTUN
Pangkalpinang dan menjalankan tugas
magang di PTUN Medan. Tertarik untuk
mencoba makanan baru, info gadget
terkini, dan hal-hal tentang otomotif.

156 Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang


Fajar Satriaputra, lahir di Bukittinggi, 29
Oktober 1995. Saat ini Calon Hakim pada
PTUN Gorontalo. Merupakan alumnus
Universitas Andalas. Kontak di:
fajar16.fs@gmail.com

Vinky Rizky Oktavia, kelahiran Ujung


Pandang, 19 Oktober 1988. Saat ini Cakim
satker PTUN Gorontalo dan menjalankan
tugas magang di PTUN Medan. Tertarik
pada olahraga dan kuliner

Vivi Ayunita Kusumandari, kelahiran


Surabaya, 29 Maret 1991. Saat ini Calon
Hakim pada PTUN Pangkalpinang.
Merupakan alumnus Universitas Indonesia
(S1 dan S2). Tertarik dengan isu-isu
mengenai Pemilu dan Pemerintahan
Daerah, Korespondensi via :
ayunitavivi@ymail.com

Antologi Hukum Peradilan Administrasi : Catatan Akhir Magang 157

Anda mungkin juga menyukai