Anda di halaman 1dari 108

OVERPENALIZATION DALAM HUKUM PIDANA

Penulis:

Dr. Mahrus Ali, S.H.,M.H.

Penerbit:

2020
OVERPENALIZATION DALAM HUKUM PIDANA

Penulis: Dr. Mahrus Ali, S.H.,M.H.

©2020 Penulis

Hak cipta dilindungi Undang-Undang.


Dilarang memperbanyak atau memindahkan seluruh atau sebagian isi
buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik ataupun mekanik
termasuk memfotokopi, tanpa izin dari Penulis.

Ukuran : 16 x 23 cm
Jumlah Halaman : VIII + 100

Cetakan I
Januari 2020 M / Jumadil Awal 1441 H

ISBN : 978-602-450-427-4
E-ISBN : 978-602-450-426-7

Penerbit:

Kampus Terpadu UII


Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta 55584
Tel. (0274) 898 444 Ext. 2301; Fax. (0274) 898 444 psw 2091
http:/gerai.uii.ac.id;e-mail: penerbit@uii.ac.id

Anggota IKAPI, Yogyakarta


Kata Pengantar

Buku ini merupakan buku referensi mengenai teori overpenalization (ancaman


pidana yang berlebihan) dalam penentuan ancaman sanksi pidana dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Pertambangan). Buku ini secara
umum membahas tiga hal. Pertama adalah membahas persepektif teoritis
tentang konsep dan ruang lingkungan overpenalization, teori proporsionalitas
pidana, dan model-model kriminalisasi berbasis kerugian lingkungan. Kedua
adalah menganalisis penentuan ancaman sanksi pidana dalam UU PPLH dan
UU Pertambangan yang menimbulkan/bersifat overpenalization. Ketiga adalah
menemukan dan menganalisis pencegahan overpenalization dalam penentuan
sanksi pidana pada kedua UU tersebut.

Buku ini sangat berguna bagi dosen, peneliti, penegak hukum, mahasiswa,
pengambil kebijakan, dan pihak-pihak yang concern dengan isu pembaharuan
hukum pidana, hukum pidana lingkungan, dan hukum lingkungan. Akhirnya,
dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam buku referensi ini, penulis
berharap saran dan masukan konstruktif dari pembaca.

Yogyakarta, 22 November 2019

Penulis,

Mahrus Ali
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................................v
Daftar Isi................................................................................................................................. vii
1. Pendahuluan........................................................................................................................1
1.1. Isu Hukum.................................................................................................................1
1.2. Kerangka Teori........................................................................................................5
1.3. Sistematika Buku......................................................................................................8
2. Diskursus Teoritik .............................................................................................................9
2.1. Overpenalization......................................................................................................9
2.1.1 Konsep Overpenalization.............................................................................9
2.1.2  Ruang Lingkup Overpenalization........................................................... 11
2.2. Teori Proporsionalitas Pidana............................................................................12
2.2.1  Ragam Arti Proporsionalitas................................................................... 12
2.2.2  Proporsionalitas Pidana dan Aliran Konsekuensialis...................... 17
2.2.3  Celaan dan Perlakuan Keras sebagai Elemen Kunci........................ 28
2.2.4  Proporsionalitas Kardinal dan Ordinal................................................ 31
2.3. Model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan..................................34
2.3.1  Konsep Kriminalisasi................................................................................ 34
2.3.2  Asas-asas Kriminalisasi............................................................................ 36
2.3.3  Model-model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan.......... 38
3. OVERPENALIZATION DALAM UU BIDANG LINGKUNGAN HIDUP....................47
3.1. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup..............................47
3.1.1  Double Track Sistem dalam UU PPLH................................................... 47
3.1.2  Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana.......................... 57
3.2. UU Pertambangan..................................................................................................63
3.2.1  Sanksi Pidana dalam UU Pertambangan............................................. 63
3.2.2  Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana ......................... 64
4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana dalam
UU Bidang Lingkungan Hidup......................................................................................69
4.1. Konsep dan Penentuan Seriusitas Delik..........................................................69
4.2. Seriusitas Delik dalam UU Bidang Lingkungan dan Gradasinya .............70
4.3. Penentuan Berat Ringannya Ancaman Sanksi Pidana Berdasarkan
Seriusitas Delik dalam UU Bidang Lingkungan Hidup................................74
5. Penutup...............................................................................................................................85
5.1. Kesimpulan..............................................................................................................85
5.2. Saran..........................................................................................................................86
Referensi.................................................................................................................................87
Glosari......................................................................................................................................95
Indeks.......................................................................................................................................97
1
Pendahuluan

1.1. Isu Hukum


Kontrol negara terhadap aktifitas dan kebebasan sipil warga negara melalui
kriminalisasi yang disertasi ancaman sanksi pidana merupakan hal yang
lazim terjadi di negara-negara modern termasuk Indonesia. Kuatnya
kontrol negara terhadap perilaku sosial masyarakat dengan menggunakan
instrumen hukum pidana di Indonesia tampak pada data tentang
banyaknya produk hukum legislatif yang mencantumkan ketentuan
pidana dari tahun 1985 hingga tahun 2014 berikut ini. Barda Nawawi Arief
pernah meneliti bahwa terdapat sebanyak 29 Undang-undang (UU) yang
memuat ketentuan pidana dari tahun 1985 hingga 1995.1

Hasil penelitian Anugerah Rizki Akbari mengungkap bahwa dalam kurun


waktu 1998 hingga 2014, dari 392 UU yang dibentuk dan disahkan legislator,
154 di antaranya memuat ketentuan pidana.2 Ini artinya, terdapat hampir
40% Undang-undang yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
mulai 1998 hingga 2014 yang memuat ketentuan pidana. Dari 154 UU
tersebut, terdapat 1.601 perbuatan yang dikriminalisasi dengan proporsi
716 perbuatan yang dikriminalisasi merupakan suatu tindak pidana baru.3
Jumlah total UU yang memuat ketentuan pidana dari tahun 1985 hingga
tahun 2014 sebanyak 183 UU.4

1
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013, hlm. 11
2
Anugerah Rizki Akbari, Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana
di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015, hlm. 10
3
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand
Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan, hlm. 22
4
Angka 183 Undang-undang ini merupakan penjumlahan dari 29 Undang-undang yang memuat
ketentuan pidana dari tahun 1985 hingga tahun 1995 dan 154 Undang-undang yang memuat ketentuan
pidana dari tahun 1998 hingga tahun 2014.

1. Pendahuluan 1
UU yang memuat ketentuan pidana, menurut penelitian Supriadi, lebih
banyak merupakan UU pidana administrasi (hukum pidana administrasi),
dan hanya terdapat 8 UU yang dikategorikan sebagai UU pidana khusus.5
Sudarto mengartikan UU pidana administrasi sebagai ‘peraturan-
peraturan hukum pidana dalam UU tersendiri, yaitu peraturan-peraturan
yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-
aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana’.6

Hukum pidana administrasi dalam kepustakaan hukum pidana disebut


dengan istilah ‘administrative penal law’, ‘public welfare offenses’,
‘regulatory offenses’, atau ‘ordeningstrafrecht’. Barda Nawawi Arief
mengartikan hukum pidana administrasi sebagai ‘hukum pidana di bidang
pelanggaran-pelanggaran hukum administrasi’,7 sedangkan Indrianto
Seno Adji mengartikannya sebagai ‘semua bentuk regulasi dan produk
perangkatnya yang berada dalam lingkup dan bidang administratif yang
memiliki sanksi pidana’. 8

Muladi mengatakan bahwa sanksi pidana dicantumkan dalam perundang-


undangan hukum administratif untuk memperkuat sanksi administratif.9
Peranan sanksi pidana dalam konteks ini pada dasarnya merupakan
mercenary-sanction,10 dalam arti keterlibatan hukum pidana ke dalam
bidang hukum lainnya (administratif) hanya bersifat komplementer.
Kedudukan hukum pidana hanya bersifat menunjang penegakan
norma yang ada di bidang hukum lainnya.11 Pendayagunaan sanksi
pidana terhadap pelanggaran administratif secara prinsip sebenarnya

5
Ke-8 Undang-undang tersebut yaitu; (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia; (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
menjadi Undang-undang; (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang; (5) Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi; (6) Undang-undang No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; (7) Undang-undang
No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perusakan Hutan; dan (8)
Undang-undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. Lihat Supriadi, “Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-
undang Pidana Khusus”, Mimbar Hukum, Vol 27, 3, 2015, hlm. 394
6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59-60
7
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta...op.cit., hlm. 10
8
Indrianto Seno Adji, Administratif Penal Law: Ke Arah Konstruksi Pidana Limitatif, Makalah
Disampaikan pada Pelatihan Hukum dan Kriminologi oleh MAHUPIKI Bekerjasama dengan Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, hlm. 6
9
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang,
1995, hlm. 42
10
Ibid., hlm. 39
11
Muladi, ‘Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang’, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari, 1990, hlm. 7

2 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


bertentangan dengan karakter subsidiaritas hukum pidana (ultima ratio
principle).12

Data tentang banyaknya UU yang memuat ketentuan pidana terkait masalah


di luar hukum pidana menunjukkan bahwa ada perubahan cara pandang
di dalam mengatasi problem sosial, dari yang semula mendayagunakan
instrumen hukum perdata atau administrasi ke instrumen hukum pidana.
Hukum pidana tidak lagi ditempatkan sebagai sarana terakhir (the last
resort/ultimum remedium) dalam menanggulangi kejahatan,13 melainkan
sebagai primum remedium.

Bertolak dari uraian di atas, buku ini difokuskan pada pencegahan


ancaman pidana yang berlebihan (overpenalization) dalam penentuan
sanksi pidana dalam UU bidang lingkungan hidup. Ruang lingkup UU
bidang lingkungan hidup begitu luas,14 tapi penelitian ini membatasi
pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Undang-undang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba),
dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU
Perkebunan). Pembatasan dilakukan selain untuk mempersempit fokus
kajian, juga untuk menghindari panjangnya uraian dengan objek kajian
yang sama yakni terkait lingkungan hidup.

UU PPLH dipilih karena memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan
lingkungan hidup sehingga berfungsi sebagai ‘payung’ (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan lingkungan hidup.15 UU PPLH menjadi landasan untuk menilai
dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yang cakupannya

12
Ester Herlin-Karnell, “What Principles Drive (or Should Drive) European Criminal Law?”, German
Law Journal, 2010, hlm. 1125
13
Nils Jareborg, “Criminalization as Last Resort (Ultima Ratio)”, Ohio State Journal of Criminal Law,
2005, hlm. 525-526
14
Undang-undang bidang lingkungan hidup antara lain; 1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2) Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang; 3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 4)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 5) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 6) Undang-undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; 7) 8) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air; 9) Undang-undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan.
15
So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup’,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 13, 2013, hlm. 417

1. Pendahuluan 3
begitu luas meliputi agraria, pertambangan, perkebunan, kehutanan,
pengairan, tata ruang, tanah, perumahan dan pemukiman, benda cagar
budaya, keamanan genetika, konservasi sumber daya alam, dan berbagai
aspek lain yang terkait erat dengan aspek lingkungan hidup.

UU Minerba dan UU Perkebunan dipilih karena beberapa perbuatan yang


dikriminalisasi mengancam kerusakan/pencemaran lingkungan seperti
‘tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau
analisis risiko lingkungan dalam Pasal 109 UU Perkebunan’, ‘melakukan
usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha
Pertambangan Khusus dalam Pasal 158 UU Minerba’, dan ‘melakukaan
eksplorasi tanpa Izin Usaha Pertambangan atau Izin Usaha Pertambangan
Khusus dalam Pasal 160 ayat (1) UU Minerba’. Salah satu asas pada kedua
UU tersebut juga berkaitan dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup
dalam Pasal 2 UU Perkebunan atau berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dalam Pasal 2 UU Minerba.

Pembatasan topik pada UU bidang lingkungan hidup dalam buku ini


didasarkan pada 3 (tiga) pertimbangan. Pertama, ada keterkaitan antara
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam UU lingkungan hidup
dengan bidang hukum administrasi. Materi yang diatur dalam UU
lingkungan hidup mengandung segi-segi hukum perdata, hukum pidana,
dan hukum administrasi negara.16 Keberadaan hukum pidana berfungsi
untuk mengefektifkan sanksi administratif sehingga ada kemungkinan
hukum pidana mengambil alih bidang hukum lain. Jika demikian, maka
bentuk, lama/bobot, dan aturan pelaksanaan pidananya juga harus
diorientasikan kepada upaya untuk mengefektifkan sanksi administrasi.

Kedua, bobot pidana dalam ketiga UU tersebut relatif berat terutama pada
delik-delik yang dirumuskan secara formil, yaitu pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4 miliar
dan paling banyak 12 miliar bagi setiap orang yang memasukkan limbah
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 105 UU
PPLH, dan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak
10 miliar bagi setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa
Izin Pertambangan Rakyat dalam Pasal 158 UU Minerba.

16
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetk Ketiga, Rajawali Press, Jakarta, 2013,
hlm.28-29

4 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Ancaman sanksi pidana paling berat dalam UU PPLH adalah pidana penjara
paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 9 miliar. Bobot pidana paling
berat dalam UU Minerba adalah pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak 10 miliar yang kebanyakan diancamkan terhadap
pelanggaran izin. Bobot pidana paling berat dalam UU Perkebunan adalah
pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 10 miliar.
Bobot pidana pidana dalam UU Perkebunan juga tidak seragam, seperti
ada delik yang diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak 10 miliar sebagaimana dalam Pasal 105, tapi ada juga
delik yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda
paling banyak 10 miliar sebagaimana dalam Pasal 108.

Sistem pengancaman sanksi pidana dalam UU bidang lingkungan hidup


juga tidak seragam. Ancaman pidana minimum khusus dalam UU PPLH
diancamkan terhadap sebagian besar delik bahkan terhadap pelanggaran
terkait izin sebagaimana dalam Pasal 109, sedangkan dalam UU Minerba
dan UU Perkebunan sistem ini tidak diatur. UU Minerba dan UU Perkebunan
hanya mengatur ancaman pidana maksimum khusus untuk tiap-tiap
deliknya.

Ketiga, UU PPLH merupakan Undang-undang payung untuk semua UU


sektoral bidang lingkungan hidup. Sebagai UU payung, ada kemungkinan
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi bersifat umum dan tumpang
tindih dengan UU sektoral bidang lingkungan hidup yang lain seperti UU
Perkebunan. Pasal 108 UU PPLH melarang perbuatan berupa ‘melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar’, sedangkan dalam Pasal 108
UU Perkebunan, larangan serupa ditujukan kepada ‘setiap pelaku usaha
perkebunan yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara
membakar’. Ancaman pidana maksimal terhadap perbuatan tersebut juga
sama, yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak
10 miliar. Hal yang membedakan adalah diaturnya ancaman pidana
minimum khusus pada UU PPLH.

Berdasarkan pertimbangan di atas, buku ini secara khusus difokuskan


kepada kajian atas bentuk-bentuk overpenalization dalam penentuan
sanksi pidana dalam UU PPLH dan UU Pertambangan dan pencegahannya.
Yang dimaksud dengan bentuk adalah sistem pengancaman sanksi pidana
dalam UU PPLH dan UU Pertambangan dikaitkan dengan seriusitas/

1. Pendahuluan 5
kategorisasi deliknya. Apakah ancaman pidana pada kedua UU tersebut
berlebihan (overpenalization) adalah dengan mengaitkan dengan deliknya.

1.2. Kerangka Teori


Teori yang digunakan untuk menjawab isu hukum tersebut adalah konsep
overpenalization, teori proporsionalitas, dan kriminalisasi berbasis kerugian
lingkungan. Konsep overpenalization digunakan untuk mengetahui apakah
penentuan ancaman pidana dalam UU PPLH dan UU Pertambangan
berlebihan atau bahkan terlalu ringan adalah dengan memahami terlebih
dahulu konsep overpenalization. Dalam buku ini, overpenalization diartikan
sebagai ancaman pidana yang tidak sepadan dengan seriusitas delik yang
bentuknya berupa dua hal, yaitu; a) ancaman pidana yang berat terhadap
delik yang ringan (overpenalization); atau b) ancaman pidana yang ringan
terhadap delik yang berat/serius (underpenalization).

Suatu ancaman pidana baru disebut berlebihan jika sebelumnya sudah


ada peringkat seriusitas/kategorisasi delik. Artinya, pembentuk undang-
undang perlu memeringkat delik-delik berdasarkan seriusitasnya,
baru kemudian ditetapkan bobot pidananya. Perlunya menyusun delik
berdasarkan peringkatnya inilah yang meniscayakan penggunaan teori
proporsionalitas. Sebab menurut teori ini, suatu ancaman pidana baru
disebut proporsional atau sepadan jika memerhatikan seriusitas tindak
pidana atau mempertimbangkan kerugian/kerusakan yang ditimbulkan
dan kesalahan pelanggar.17 Agar hal ini tercapai, maka harus memenuhi
tiga persyaratan, yakni parity, rank-ordering, dan spacing of penalties.

Parity terjadi ketika seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana


yang mirip seriusitasnya, maka mereka pantas mendapatkan pidana
yang beratnya dapat diperbandingkan. Rank-ordering terkait pidana yang
seharusnya disusun berdasarkan skala pidana sehingga beratnya ancaman
pidana yang relatif merefleksikan peringkat seriusitas delik, sedangkan
spacing of penalties bergantung kepada seberapa tepat beratnya ancaman
pidana yang diperbandingkan dapat disesuaikan.18

Ester Herlin-Karnell, What Principles Drive...op.cit., hlm. 1126


17

Andrew von Hirsch, “Censure and Proportionality”, dalam R. A. Duff and David Garland (Editor), A
18

Reader on Punishment, Oxford University Press, New York, 1994, hlm. 128-129. Terry Skolnik, “Rethinking
Homeless People’s Punishments”, New Criminal Law Review, 2019, hlm. 85. Mirko Bagaric &Sandeep
Gopalan, “Saving the United States from Lurching to Another Sentencing Crisis: Taking Proportionality
Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis University Law Journal, 2016, hlm. 198

6 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Untuk mengetahui bahwa delik tertentu lebih berat/serius atau bahkan
lebih ringan daripada delik yang lain adalah dengan mengetahui model-
model kriminalisasi berbasis kerugian lingkungan. Dalam konteks
isu hukum dalam buku ini, model tersebut relevan digunakan karena
fokus kajiannya diarahkan kepada UU PPLH dan UU Pertambangan di
mana perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi terkait ancaman atau
kerugian lingkungan. Selain itu, model-model kriminalisasi tersebut
juga sebenarnya menggambarkan peringkat seriusitas/kategorisasi
delik. Pertama adalah model abstract endangerment (bahaya abstrak).
Model ini mengkriminalisasi kerusakan/pencemaran lingkungan secara
tidak langsung. Hukum pidana membatasi pada penegakan hukum
administrasi yang telah ada sebelumnya. Kriminalisasi menurut model
ini hanya ditujukan kepada pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban
administrasi.19 Model ini dibatasi hanya pada tindak pidana-tindak pidana
yang tidak melibatkan kontak langsung antara bahan tercemar dengan
lingkungan.20
Kedua adalah model concrete endangerment (bahaya nyata). Model ini
tidak mensyaratkan bahwa kerugian nyata harus dibuktikan, tapi cukup
pada pembuktian adanya ancaman kerugian dan perbuatan dilakukan
secara melawan hukum.21 Model ini juga melindungi nilai-nilai ekologis
secara langsung, meskipun keberadaanya tetap bergantung kepada
peraturan-peraturan administrasi.22 Ketiga adalah model concrete harm
(kerugian nyata). Model ini mensyaratkan bahwa kerugian lingkungan
harus berupa kerugian lingkungan secara nyata,23 seperti kerugian aktual
bagi manusia, lingkungan, bahkan generasi mendatang24 meskipun hukum
pidana belum melepaskan diri dari ketergantungan administratif. Model
ini meniscayakan pembuktian sebab akibat yang dalam hukum pidana.

19
M. Faure & M. Nisser, “How to Punish Environmental Pollution- Some Reflections on the Various
Models of Criminalization of Environmental Harm”, European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal
Justice, 3, 1995, hlm. 319. Michael Faure, “The Revolution in Environmental Criminal Law in Europe”,
Virginia Environmental Law Journal, 35, 2017, hlm. 334
20
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, “A Graduated Punishment Approach to Environmental
Crimes: Beyond Vindication of Administrative Authority in the United States and Europe”, Columbia Journal
of Environmental Law, 34, 2009, hlm. 454-455
21
Michael Faure, “Towards a New Model of Criminalization of Environmental Pollution: The Case of
Indonesia”, dalam Michael Faure and Nicola Niessen (Editor), Environmental Law in Development Lesson
from the Indonesia Experience, Edward Elgar Publishing Limited, UK, 2006, hlm. 197. Michael Faure, The
Revolution...op.cit, hlm. 335
22
Byung-Sun Cho, “Emergence of an International Environmental Criminal Law?”, UCLA Journal of
Environmental Law and Policy, 19, 2000/2001, hlm. 22-23
23
Susan F. Mandiberg & Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 469
24
Eileen Skinnider, Victims of Environmental Crimes – Mapping the Issues, The International Center for
Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, Canada, 2011, hlm. 31-43

1. Pendahuluan 7
Keempat adalah model serious environmental pollution (polusi/kerusakan
lingkungan yang serius). Model ini sudah melepaskan diri sepenuhnya
dari ketergantungan administratif hukum pidana yang ditandai dengan
dua cara. Pertama, eliminasi izin sebagai pelindung. Sekalipun seseorang
telah memiliki izin dari pejabat administrasi, tapi jika perbuatannya
menimbulkan kerugian serius terhadap lingkungan, maka perbuatan
tersebut tetap dikategorikan sebagai tindak pidana. Kedua, eliminasi
sifat melawan hukum sebagai elemen tindak pidana lingkungan. Hukum
pidana tetap dapat digunakan apabila menimbulkan kerugian sangat
serius sekalipun perbuatan tidak melawan hukum, dalam arti dilakukan
sesuai dengan persyaratan izin atau peraturan administratif.25

1.3. Sistematika Buku


Buku ini terdiri atas 5 (lima) bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang
secara rinci mengenai isu hukum, penggunaan teori-teori yang relevan dan
argumentasinya, dan sistematika buka. Bab kedua berisi kerangka teoritik
overpenalization, teori proporsionalitas pidana, model kriminalisasi
berbasis kerugian lingkungan, dan teori proporsinalitas ordinal. Konsep
dan elemen-elemen tiap-tiap teori diurai cukup lengkap untuk memberikan
gambaran yang utuh.

Bab ketiga berisi analisis mengenai overpenalization dalam penentuan


sanksi pidana dalam UU PPLH dan UU Pertambangan. Bab keempat
menjelaskan tentang bagaimana mencegah terjadinya overpenalization
dalam penentuan sanksi pidana dalam UU PPLH dan UU Pertambangan.
Pada bab ini, teori proposionalitas pidana dan model kriminalisasi
berbasis kerugian lingkungan digunakan sebagai kerangka teroritis untuk
menjawab pencegahan overpenalization. Bab kelima adalah penutup yang
berisi kesimpulan dan saran.

25
Susan F. Mandiberg & Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 481-485

8 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


2

Diskursus Teoritik

2.1. Overpenalization

2.1.1  Konsep Overpenalization


Para ahli hukum pidana telah mengemukakan pendapatnya tentang konsep
overpenalization. Kip Schlegel, David Eitle, dan Steven Gunkel menyatakan
bahwa overpenalization terkait erat dengan seringnya sanksi pidana
diterapkan kepada suatu perbuatan seketika dinyatakan sebagai perbuatan
terlarang. Overpenalization, dengan demikian, merepresentasikan
pengenaan sanksi pidana yang lebih sering daripada respon kontrol sosial
lainnya yang tersedia yang lebih pantas dan pengenaan sanksi pidana yang
tidak sesuai dengan tujuannya.1 Menurut penulis, konsep overpenalization
ini masih abstrak karena tidak mampu membedakan antara penjatuhan
sanksi pidana oleh hakim terhadap terdakwa yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana dengan sistem pengancaman sanksi pidana
pada tahap formulasi oleh pembentuk undang-undang.

Erik Luna mengemukakan bahwa konsep overpenalization terkait


ketidakjelasan penjatuhan sanksi pidana pada kasus-kasus yang
tertentu. Secara lebih spesifik, Luna mengartikan overpenalization
sebagai ‘penyalahgunaan kekuasaan tertinggi sistem peradilan pidana,
yaitu implementasi kejahatan atau pengenaan sanksi pidana tanpa
dasar pembenar’, dan bentuknya berupa ancaman sanksi pidana yang
tidak proporsional.2 Sementara itu, Sara Sun Beale mengkonsepsikan

1
Kip Schlegel, David Eitle, Steven Gunkel, “Are White-Collar Crimes Overcriminalized? Some Evidence
on the Use of Criminal Sanctions against Securities Violators”, Western State University Law Review,
2000-2001, hlm. 120-121
2
Erik Luna, “The Overcriminalization Phenomenon”, American University Law Review, 2005, hlm.

2. Diskursus Teoritik 9
overpenalization dalam kaitannya dengan penegakan hukum yang
berlebihan (overenforcement) oleh apara penegak hukum yang bentuknya
berupa disparitas pidana terhadap beberapa pelaku yang melakukan
kejahatan yang sama.3

Darryl K. Brown mengartikan overpenalization dalam kaitannya dengan


kebijakan kriminalisasi. Kebijakan kriminalisasi yang dilakukan secara
tidak hati-hati dan tidak didasarkan kepada argumen yang rasional
berpotensi menimbulkan overpenalization yang bentuknya berupa pidana
yang berat (berlebihan) yang diancamkan terhadap pelanggaran ringan.4
Roger A. Fairfax, Jr berpendapat bahwa meskipun konsep overpenalization
yang dikemukakan ahli berbeda satu sama lain, tapi setidaknya bentuknya
berupa ancaman pidana yang berlebihan dikaitkan dengan seriusitas
delik.5 Konsep overpenalization oleh Roger ini secara substantif sama
dengan konsep yang dikemukakan oleh Stephen F. Smith. Menurut
Smith, overpenalization diartikan sebagai ‘....undermining of the effort to
provide just and proportional punishments for offenses...”.6 Ada dua bentuk
overpenalization menurut Smith, yaitu pengaturan ancaman pidana
minimum khusus yang tidak ada hubungannya dengan pelanggaran atau
kerugian yang ditimbulkan, dan beratnya ancaman pidana yang tidak
sesuai dengan pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan.7

Paul J. Larkin Jr. merumuskan overpenalization sebagai pemberantan


ancaman pidana tanpa dasar pembenar,8 sedangkan Gregory Jones
menyatakan bahwa overpenalization dicirikan dengan perumusana
ancaman pidana minimum khusus yang tidak ada kaitannya dengan
ketercelaan atau kerugian yang mendasari suatu tindak pidana.9 Michael
Pierce mengartikan overpenalization sebagai pidana yang sangat berat
tanpa disertai alasan yang memadai, dan penjatuhan pidana yang berat

713-717
3
Sara Sun Beale, “The Many Faces of Overcriminalization: From Morals and Mattress Tags to
Overfederalization”, American University Law Review, 54, 2005, hlm. 749
4
Darryl K. Brown, “Prosecutors and Overcriminalization: Thoughts on Political Dynamics and a
Doctrinal Response”, Ohio State Journal of Criminal Law, 6, 2009, hlm. 461-463
5
Roger A. Fairfax, Jr., “From “Overcriminalization” to “Smart on Crime”: American Criminal Justice
Reform-Legacy and Prospects”, Journal of Law, Economics & Policy, 7, 2011, hlm. 608-609
6
Stephen F. Smith, “Overcoming Overcriminalization”, Journal of Criminal Law and Criminology, 102,
2012, hlm. 540. 540
7
Ibid., hlm. 537-539
8
Paul J. Larkin Jr., “A Mistake of Law Defense as a Remedy for Overcriminalization”, Criminal Justice,
28, 2013, hlm. 11-13
9
Gregory Jones, “Over-Criminalization and the Need for a Crime Paradigm”, Rutgers Law Review, 2014,
hlm. 943

10 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


terhadap pelanggaran-pelanggaran ringan.10

Berdasarkan uraian di atas, overpenalization yang dikemukakan oleh


para ahli beragam, antara lain; a) terlalu seringnya pidana diancamkan
dan dijatuhkan; b) ancaman sanksi pidana yang tidak proporsional; c)
disparitas pidana terhadap beberapa pelaku yang melakukan kejahatan
yang sama; d) pidana yang berat (berlebihan) yang diancamkan terhadap
pelanggaran ringan; e) beratnya ancaman pidana yang tidak sesuai
dengan pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan; dan f) perumusana
ancaman pidana minimum khusus yang tidak ada kaitannya dengan
ketercelaan atau kerugian yang mendasari suatu tindak pidana. Dalam
buku ini, konsep overpenalization dibatasi kepada ancaman pidana yang
tidak proporsional dengan seriusitas delik yang bentuknya meliputi dua
hal, yaitu ancaman pidana yang berat terhadap delik-delik ringan, atau
ancaman pidana yang ringan terhadap delik-delik berat atau serius. Yang
pertama disebut sebagai overpenalization, sedangkan yang kedua disebut
underpenalization. Jadi, overpenalization meliputi juga underpenalization.

2.1.2  Ruang Lingkup Overpenalization


Ruang lingkup overpenalization yang dikemukakan para ahli sebenarnya
terkait kebijakan formulasi (penegakan hukum in abstracto) dan kebijakan
aplikasi (penegakan hukum in concreto). Kebijakan formulasi adalah
perumusan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang
sekaligus merupakan landasan legalitas bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu
tahap penerapan pidana oleh badan peradilan dan tahap pelaksanaan
pidana oleh aparat pelaksana pidana.11 Tahap penerapan pidana oleh badan
peradilan disebut juga dengan kebijakan aplikasi. Bentuk overpenalization
pada tahap formulasi meliputi, ancaman pidana yang berat terhadap delik
yang ringan atau ancaman pidana yang ringan terhadap delik yang berat,
sedangkan bentuk-bentuk overpenalization pada tahap aplikasi meliputi,
penjatuhan sanksi pidana yang ringan terhadap pelaku yang melakukan
delik berat/serius atau penjatuhan pidana yang berat terhadap pelaku yang
melakukan pelanggaran/delik ringan. Yang terakhir ini secara konseptual
disebut dengan penegakan hukum yang berlebihan (overenforcement).

10
Michael Pierce, “The Court and Overcriminalization”, Stanford Law Review Online, 68, 2015, hlm. 50
11
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm. 3

2. Diskursus Teoritik 11
Ruang lingkup overpenalization dalam buku ini dibatasi kepada tahap
formulasi dengan alasan sebagai berikut. Pertama, buku ini hanya
mengkaji overpenalization dalam konteks penentuan sanksi pidana baik
meliputi bentuk pidana, bobot pidana, dan aturan pelaksanaan pidana
oleh pembentuk undang-undang. Bagaimana praktik penjatuhan pidana
oleh hakim dalam putusan pengadilan tidak menjadi fokus buku ini. Kedua,
buku ini juga hanya menganalisis penetapan ancaman sanksi pidana
dalam UU PPLH dan UU Pertambangan.

2.2. Teori Proporsionalitas Pidana

2.2.1  Ragam Arti Proporsionalitas


Basil Ugochukwu menyatakan bahwa proporsionalitas diartikan sebagai
pemeliharaan rasio yang pantas antara dua komponen. Proporsionalitas
juga dikaitkan dengan kemasukakalan. Suatu tindakan yang masuk akal
pasti proporsional. Sebaliknya, apabila tindakan tertentu tidak masuk
akal, pasti juga tidak proporsional. Padanan kata yang memiliki arti yang
sama dengan ketidakmasukalan adalah ilegalitas dan ketidakpantasan
prosedural.12

Proporsionalitas dalam konteks hukum memiliki ragam arti.


Proporsionalitas dalam perspektif hukum tata negara terkait pembatasan
terhadap kekuasan negara. Proporsionalitas dijadikan sebagai alat untuk
membatasai kekuasan negara. Prinsip proporsionalitas menghendaki agar
penggunaan kekuasaan negara harus proporsional dengan kepentingan-
kepentingan yang hendak dibatasi oleh kekuasan itu. Prinsip ini juga
meletakkan kekuasan negara ke dalam teori pembatasan pemerintah.13
Sebagai sebuah prinsip dan tujuan pemerintahan, proporsionalitas
merupkan ajaran tentang keadilan bahwa kerugian-kerugian yang lebih
besar yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuasan pemerintah harus
dibenarkan oleh alasan-alasan yang jauh lebih rasional. Prinsip ini
membatasi tindakan pemerintah yang sah yang berlandaskan kepada
keadilan kepada tiap-tiap individu atau keinginan untuk mencegah

12
Basil Ugochukwu, ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in Comparative
Context: Lessons for Nigeria’, York University and Transnational Human rights Review, Volume 1, 2014, hlm.
6
13
Alice Ristroph, “Proportionality as a Principle of Limited Goverment”, Duke Law Journal, 55, 2005,
hlm. 292-293

12 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. Proporsionalitas di dalam
masyarakat yang demokratis menempatkan penghormatan terhadap
martabat manusia sebagai isu sentral.14

Prinsip proporsionalitas dalam hukum hak asasi manusia tercermin dalam


Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil Politik yang menyatakan
sebagai berikut:

Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang
berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa
pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik, atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.

Pasal tersebut membebankan kewajiban kepada Negara-negara Pihak


untuk menghormati hak-hak yang termaktub dalam Kovenan dan untuk
memastikan pemenuhan hak tersebut kepada semua individu yang
berada yang wilayah tersebut. Pembuatan batasan oleh negara memang
diperlukan dan hanya diperbolehkan mengambil tindakan-tindakan yang
sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Prinsip proporsionalitas juga ditemukan dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan


Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang menyatakan sebagai
berikut:

Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak
yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran
atau status lain.

Pasal tersebut juga menegaskan bahwa pembedaan perlakuan yang


didasarkan pada alasan-alasan tertentu tidak dianggap diskriminatif jika
memiliki justifikasi yang rasional dan objektif. Hal Ini meliputi penilaian
apakah tujuan dan efek dari tindakan-tindakan yang ditempuh sah, sesuai
dengan sifat dasar hak dalam Kovenan, dan semata-mata untuk tujuan
promosi kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis.

14
Vicki C. Jackson, “Constitutional Law in an Age of Proportionality”, Yale Law Journal, 124, 2015

2. Diskursus Teoritik 13
Konsep ini juga meniscayakan adanya hubungan proporsional yang nyata
dan rasional antara tujuan yang hendak dicapai dengan langkah-langkah
yang diambil beserta akibat-akibatnya.

Proporsionalitas dewasa ini dijadikan sebagai salah satu irisan hukum hak
asasi manusia. Pengadilan HAM Eropa bahkan secara tegas menyatakan
bahwa ‘yang terkandung dalam keseluruhan Konvensi HAM Eropa adalah
pencarian terhadap keseimbangan yang adil antara tuntutan kepentingan
umum masyarakat dan persyaratan perlindungan hak-hak fundamental
individu’. Pengadilan menyadari sepenuhnya akan adanya kebutuhan
untuk menyeimbangkan antara pembatasan hak dengan tujuan yang
hendak dicapai.15
Tes proporsionalitas dapat digunakan untuk menilai apakah suatu
kewajiban negatif negara dilanggar. Tes ini berisi empat parameter, yaitu
tujuan yang sah, kepantasan, nesesitas dan proporsionalitas dalam arti
sempit.16 Setiap negara tentu saja memiliki interpretasi yang berbeda
tentang hal ini. Mahkamah Konstitusi Jerman mengembangkan prinsip
proporsionalitas dengan tiga unsur: (1) kepantasan, yaitu tindakan yang
ditempuh harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (2) nesesitas,
yaitu penggunaan cara-cara yang paling sedikit membatasi hak asasi warga
negara harus ditempuh jika sama-sama efektif; (3) proporsionalitas dalam
makna sempit, yaitu tindakan yang ditempuh harus seimbang dengan
tujuan yang hendak dicapai.17 Pengadilan HAM Inter-Amerika dalam
fatwa hukumnya tahun 2003 mengenai syarat hukum dan hak-hak imigran
gelap menyatakan bahwa pemberian perbedaan perlakuan terhadap
imigran gelap tidaklah merupakan suatu pelanggaran sepanjang hal itu
dibenarkan dan sah dengan mengacu kepada kriteria objektif, rasional
dan proporsional.18
Kriteria proporsionalitas juga ditemukan dalam putusan Mahkamah
Agung Kanada dalam perkara Oakes. Putusan ini diikuti oleh putusan-
putusan pengadilan negara lain seperti Selandia Baru, Inggris, Afrika

15
Imer Flores, ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation’, Georgetown Public
Law and Legal Theory Research Paper, 2013, hlm. 105
16
Matthias Klatt, Positive Obligations under the European Convention on Human Rights, Max-Planck-
Institut für ausländisches öffentliches Recht und Völkerrecht, 2011, hlm. 679
17
Basic Law Bulletin Issue, The Principle of Proportionality and the Concept of Margin of Appreciation
in Human Rights Law, 15 December, 2013, hlm. 2
18
Imer Flores, op.cit., hlm. 105

14 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Selatan, Zimbabwe, bahkan Pengadilan HAM Eropa dan Pengadilan
HAM Inter-Amerika. Menurutnya, ada tiga kriteria untuk menilai prinsip
proporsionalitas, yaitu; 1) cara-cara yang digunakan untuk membatasi hak
asasi warga negara harus secara rasional berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai; 2) hak harus dikurangi sekecil mungkin untuk mencapai
tujuan; dan 3) harus terdapat keseimbangan antara efek pembatasan
terhadap hak dan tujuan yang hendak dicapai dari pembatasan tersebut.19
Dan Meagher dalam kaitannya dengan poin ketiga menegaskan bahwa
hakim tidak hanya dituntut untuk menentukan apakah legislasi
mencampuri/melanggar hak asasi warga negara, tapi juga menilai
apakah pelanggaran tersebut dibenarkan dengan mengacu pada prinsip
tujuan yang dilegitimasi. Esensi yang terakhir ini berisi penilaian apakah
pelanggaran hak melalui proses legislasi tersebut tidak lebih dari yang
dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan yang hendak dicapai dari legislasi.
Prinsip proporsionalitas dilanggar apabila masih ada alternatif lain yang
tersedia untuk mencapai tujuan yang sama yang memiliki efek lebih kecil
tapi tindakan legislatif tetap dilakukan.20

Prinsip proporsionalitas dalam hukum hak asasi manusia juga


berhubungan erat dengan konsep margin of appreciation. Konsep ini
bermakna bahwa pengadilan nasional memiliki pengetahun yang lebih
baik dibandingkan pengadilan internasional untuk menilai tradisi, nilai
dan kebutuhan-kebutuhan lokal. Konsep ini menghendaki agar negara
berkewajiban menghormati tradisi, budaya, dan nilai-nilai negara itu
ketika mempertimbangkan ruang lingkup dan makna hak asasi manusia,
dan menjadikannya sebagai standar dalam pelaksanaan perlindungan hak
asasi manusia oleh pengadilan.21 Tradisi, nilai dan kebutuhan-kebutuhan
lokal tiap-tiap negara sangat penting dijadikan sebagai standar untuk
menilai apakah tindakan negara terhadap pembatasan hak asasi warga
negara mencerminkan prinsip proporsionalitas atau tidak. Kriteria
proporsionalitas sudah ditetapkan, tapi dalam praktik bagaimana tafsir
terhadapnya akan berbeda antara satu negara dengan negara lain karena
perbedaan tradisi, budaya, dan nilai yang dianut.

19
Ibid, hlm. 102-103
20
Dan Meagher, ‘The Common Law Principle of Legality in the Age of Rights’, Melbourne University
Law Review, Vol 35, 2013, hlm. 470
21
Basic Law Bulletin Issue, op.cit., hlm. 9

2. Diskursus Teoritik 15
Konsep proporsioanalitas dalam hukum pidana secara historis dapat
dilacak dari lex talionis Hammurabi hingga Gilbert dan Sullivan. Pada waktu
itu, konsep ini bermakna bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatan.
Proporsionalitas di dalam Magna Carta, tercermin dalam ungkapan, “...free
man shall not be amerced [penalized] for a small fault, but after the manner
of the fault; and for a great crime according to the heinousness of it...”.22 Ide
tentang proporsionalitas pidana kemudian berakar dari pemikiran sarjana
aliran klasik Cesare Beccaria tentang perlunya kesebandingan antara
pidana dan kejahatan dalam ungkapan yang terkenal let the punishment
fit the crime.23

William W. Berry III mengartikan proporsionalitas sebagai hubungan


antara beratnya ancaman pidana dengan tindak pidana dan kesalahan
pembuat. Prinsip ini membatasi kekuasaan negara untuk mengancamkan
sanksi pidana berdasarkan kepentingan-kepentingan individu dan
pertimbangan-pertimbangan politik. Ancaman pidana dianggap tidak
proporsional apabila melampaui kekuasan sah negara.24 Proporsionalitas
secara lebih operasional mengacu kepada seriusitas suatu kejahatan dan
beratnya ancaman sanksi pidana. Semakin serius suatu kejahatan, semakin
berat sanksi pidana yang diancamkan kepada pembuat.25 Hal yang tidak
proporsional jika kejahatan yang serius diancam dengan sanksi pidana
yang ringan. Ancaman pidana yang berat terhadap kejahatan ringan juga
dianggap tidak mencerminkan prinsip proporsionalitas.

Jim Staihar menyatakan bahwa terdapat 4 (empat) makna yang berbeda


dari konsep proporsionalitas pidana.26 Pertama adalah bahwa etika
seseorang melakukan tindak pidana, ia memperoleh keuntungan intrinsik
tambahan kebebasan dari dilakukan suatu perbuatan yang dilarang
secara moral. Semakin kuat larangan moral terhadap suatu tindak pidana,
semakin banyak keuntungan pembuatnya. Pembuat pantas dipidana
sesuai dengan nilai instrinsik tambahan kebebasan yang diperoleh dari
melakukan tindak pidana.

22
Richard G. Singer, “Proportionate Thoughts about Proportionality”, Ohio State Journal of Criminal
Law, 8, 2010, hlm. 218
23
Cesare Beccaria, Of Crime and Punishment, Translated by Jane Grigson, Marsilio Publisher, New York,
1996, tanpa halaman
24
William W. Berry III, “Promulgating Proportionality”, Georgia Law Review, 69, 2011, hlm. 87-88
25
Joel Goh, ‘Proportionality - An Unattainable Ideal in the Criminal Justice System’, Manchester Student
Law Review , Vol 2, 2013, hlm. 44. Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception
of Restorative Justice”, Utah Law Review, 2003, hlm. 216
26
Jim Staihar, “Proportionality and Punishment”, Iowa Law Review, 2015, hlm. 1212-1214

16 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Kedua adalah bahwa secara umum mematuhi hukum pidana merupakan
pekerjaan yang memberatkan. Bagi orang-orang tertentu, paling tidak
ada beberapa kejahatan yang ingin dilakukan. Sebagai contoh, meskipun
seseorang tidak berkeinginan untuk membunuh, tapi dia masih punya
niat untuk mencuri. Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, dia
sebenarnya memperoleh keuntungan kebebasan yang tidak sah dari patuh
terhadap hukum pidana. Ketiga adalah bahwa rata-rata warga negara
merasa berat untuk menghindarkan diri dari melakukan suatu tindak
pidana. Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, dia sebenarnya
memperoleh kebebasan dari beban menghindarkan diri dari melakukan
tindak pidana tersebut. Semakin berat beban tersebut, semakin besar
manfaat yang diperoleh pelaku. Keempat adalah bahwa ketika seseorang
melakukan suatu tindak pidana, dia memperoleh keuntungan yang tidak
sah yang banyaknya sebanding dengan harga melakukan tindak pidana.
Semakin mahal harga ini, semakin besar manfaat kepada pelaku. Semakin
serius tindak pidana yang dilakukan, semakin berat ancaman sanksi
terhadapnya.

2.2.2  Proporsionalitas Pidana dan Aliran


Konsekuensialis
R.A. Duff dan David Garland mengatakan bahwa teori-teori normatif tentang
tujuan pemidanaan yang berkembang dewasa ini dapat diklasifikasikan
ke dalam dua kelompok besar, yaitu kelompok konsekuensialis dan
non-konsekuensialis. Kelompok konsekuensialis berpandangan bahwa
benar tidaknya tiap-tiap tindakan bergantung kepada konsekuensinya
secara menyeluruh. Suatu tindakan tertentu baik bila konsekuensinya baik
(setidak-tidaknya baik dari setiap alternatif yang ada). Tindakan tersebut
sebaliknya salah bila konsekuensinya buruk. Pidana dibenarkan tidak
hanya karena ia membawa kebaikan atau mencegah kejahatan, tapi juga
karena tidak alternatif lain yang lebih baik.27 Pidana yang baik menurut
kelompok ini adalah yang mempromosikan kebahagiaan, kekuasaan,
otonomi, kesejahteraan atau pencegahan, dan ia dapat diidentifikasi tanpa
mengacu kepada pidana itu sendiri. Informasi empiris mengenai efektifitas
dan kemungkinan alternatif pidana merupakan hal yang krusial yang

27 R.A. Duff and Antony Duff (Editor), A Reader on Punishment, Oxford University Press, 1994, hlm.
6

2. Diskursus Teoritik 17
dijadikan sebagai dasar pembenar. Tujuan utama pemidanaan menurut
kelompok ini adalah pencegahan kejahatan. Kelompok ini, dengan
demikian, berorientasi ke depan (forward-looking), yaitu pidana berfungsi
mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang.28

Teori-teori pemidanaan dalam kelompok konsekuensialis meliputi teori


pencegahan/penangkalan (deterrence), inkapasitasi (incapacitation), dan
rehabilitasi (rehabilitation). Tujuan utama ketiga teori ini adalah mencegah
terjadinya kejahatan, meskipun tesis yang dibangun berbeda. Teori
penangkalan/pencegahan berpandangan bahwa memidana bukanlah
untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri
tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi
kepentingan masyarakat.29 Pidana dijatuhkaan bertujuan untuk mencegah
pelaku mengulangi lagi kejahatannya di kemudian hari dan mencegah
orang lain (pelaku potensial) melakukan kejahatan yang sama.30

Teori pencegahan menilai efisiensi suatu pidana dilihat dari kontribusinya


terhadap terciptanya pencegahan umum (general deterrence) dan
pencegahan khusus (special deterrence). Pencegahan umum bermakna
bahwa memidana suatu (pelaku) tindak pidana tertentu akan menjadi
contoh bagi pelaku-pelaku potensial, sehingga mereka akan memikirkan
kebaikan dan keburukan ketika melakukan tindak pidana serupa di
kemudian hari, sedangkan pencegahan khusus diartikan bahwa pelaku
adalah seorang aktor rasional yang menimbang antara biaya dan keuntungan
ketika melakukan kejahatan, dan penjatuhan pidana yang menderitakan
akan membuatnya berpikir tentang biaya yang harus dikeluarkan bila
ternyata melakukan kejahatan.31 Michele Cotton menyatakan bahwa teori
pencegahan menjadikan ancaman sanksi pidana sebagai alat kontrol dan
perlindungan sosial, dan penerapan ancaman tersebut sebagai penderitaan
agar pelaku-pelaku potensial tidak melakukan kejahatan yang sama, atau
agar pelaku tertentu tidak mengulangi lagi kejahatannya.32

28 Ibid., hlm. 6-8


29
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidan, Alumni, Bandung, 1998,
hlm. 16
30
Bidish Sarma, “Using Deterrence Theory to Promote Prosecutorial Accountability”, Lewis & Clark
Law Review, 21, 2017, hlm. 596-597
31
Dan M. Kahan, “The Secret Ambition of Deterrence”, Harvard Law Review, December, 1999, hlm. 425;
Erik Luna, Punishment Theory...op. cit., hlm. 208
32
Michele Cotton, “Back with A Vengeance: The Resilience of Retribution as an Articulated Purpose of
Criminal Punishment”, American Criminal Law Review, 2000, hlm. 1316

18 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Teori pencegahan disebut juga dengan teori tujuan (utilitarian theory)
karena pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada
orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat. Ciri-ciri teori pencegahan (teori tujuan)
sebagai berikut:33

a. Tujuan pidana adalah pencegahan;


b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau lalai) yang
memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat
untuk pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat ke depan (forward looking);
f. Pidana mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur
pencelaan maupun pembalasan tidak dapat diterima apabila
tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat.
Salah satu varian dari teori pencegahan adalah teori yang mengkaitkan
dengan rasionalitas pelaku kejahatan. Para individu berperilaku secara
rasional untuk memaksimalkan keuntungan yang akan diperoleh.34
Individu selalu rasional dan selalu berpikir sebelum bertindak dalam
rangka mengambil manfaat maksimal yang rasional. Prospek untung dan
rugi ditimbang dengan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan secara
kalkulatif.35 Pelaku kejahatan adalah makhluk yang rasional ekonomis
yang menimbang antara biaya yang harus dikeluarkan dari melakukan
kejahatan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Pelaku akan
melakukan kejahatan apabila keuntungan tersebut lebih besar dari biaya
yang harus dikeluarkan.36

Keuntungan yang diperoleh pelaku meliputi keuntungan fisik seperti


harta kekayaan dan keuntungan psikis seperti kesenangan, kebanggaan,

33
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 17
34
Dan M. Kahan, “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”, Virginia Law Review, No. 83, hlm. 349
35
Salman Luthan, Kebijakan...op.cit., hlm. 166
36
Thomas J. Miles, “Empirical Economics and Study of Punishment and Crime”, University of Chicago Legal
Forum, 237, 2005, hlm. 238

2. Diskursus Teoritik 19
dan prestise, sedangkan biaya meliputi biaya yang dikeluarkan pelaku dan
biaya kejahatan. Biaya pelaku meliputi waktu dihabiskan baik sebelum
atau pada saat melakukan tindak pidana, biaya membeli alat untuk
melakukan tindak pidana, kemungkinan ditangkap, ditahan, dipidana,
dan mata pencaharian yang hilang jika pelaku ditangkap. Biaya kejahatan
adalah biaya-biaya yang ditimbulkan dari dilakukannya suatu kejahatan.

Konsep yang digunakan dalam menentukan biaya kejahatan adalah


maksimalisasi kesejahteraan sosial (to maximize social welfare).37 Pemerintah
dalam merancang suatu kebijakan termasuk kebijakan melarang
perbuatan-perbuatan tertentu (in abstracto) harus memperhatikan
keuntungan maksimal yang akan diperoleh. Maksimalisasi kesejahteraan
sosial dapat ditempuh dengan memperhatikan jumlah keuntungan yang
diperoleh pelaku dari melakukan perbuatan yang dilarang, dikurangi
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu, dan pengeluaran yang
dikeluarkan dalam rangka penegakan hukum.38

Konsep kesejahteraan sosial tersebut digunakan sebagai basis teoretis


penentuan biaya-biaya kejahatan, dan oleh karena itu, biaya-biaya tersebut
meliputi:

1. Biaya/kerugian faktual yang dialami negara akibat perbuatan pelaku;

2. Biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk mencegah timbulnya


korban potensial;

3. Biaya yang menurut perhitungan ekonomi diprediksi akan dialami


masyarakat dan harus ditanggung oleh negara; dan

4. Biaya penegakan hukum yang meliputi:

a. Biaya pengungkapan kasus;

b. Biaya penyidikan;

c. Biaya penuntutan;

d. Biaya persidangan hingga penjatuhan dan pelaksanaan pidana.39

37
Nuno Garoupa and Daniel Klerman, , “Optimal Law Enforcement with a Rent-Seeking Government”,
American Law and Economics Review, 2002, hlm. 116
38
Ibid., hlm. 117
39
Ibid., hlm. 504; Louis Michael Seidman, “Soldiers, Martyrs, and Criminals: Utilitarian Theory and The

20 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Sanksi pidana agar secara efektif mampu mencegah pelaku melakukan
tindak pidana perlu disusun sebagai berikut: biaya yang dikeluarkan
pelaku dari melakukan suatu tindak pidana harus lebih besar dari
keuntungan yang diperoleh.40 Ancaman sanksi pidana harus lebih berat
dari seriusitas kejahatan.41 Setiap pelaku kejahatan akan menghindar dari
kemungkinan ditangkap jika ancaman sanksi pidana cukup berat, dan hal
ini akan mengurangi tingkat kejahatan. Kejahatan dapat dikurangi melalui
peningkatan kemungkinan ditangkap dan beratnya ancaman sanksi
pidana.42

Pidana menurut teori ini juga harus rasional. Daniel N. Robinson merinci
prinsip-prinsip rasionalitas pidana sebagai berikut:43

1. Beratnya sanksi pidana harus melebihi keuntungan yang


diperoleh pelaku dari melakukan kejahatan;
2. Semakin besar kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan, semakin
berat sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku kejahatan;
3. Jumlah sanksi pidana yang sama dijatuhkan kepada pelanggaran
yang sama, tanpa harus memperhatikan identitas pelaku, kecuali
pelakunya memiliki kejiwaan, watak, atau kondisi yang berbeda.
4. Sanksi pidana dikatakan mencegah kejahatan tidak hanya
dibangun atas dasar tingkat beratnya sanksi, tapi juga dengan
kemampuan untuk memprediksinya;
5. Sanksi pidana harus dijatuhkan lebih berat kepada pelaku yang
melakukan kejahatan berulang-ulang.
Teori inkapasitasi secara sederhana diartikan sebagi menjadikan seseorang
tidak mampu untuk melakukan kejahatan. Masyarakat dilindungi dari
tindak pidana berikutnya yang mungkin dilakukan oleh sang pelaku untuk
jangka waktu selama dia berada di penjara ika seorang pelaku kejahatan
dimasukkan dalam penjara karena melakukan suatu tindak pidana.44 Teori

Problem of Crime Control”, Yale Law Journal, 1984, hlm. 320


40
Michael D. Cicchini, “An Economics Perspective on the Exclusionary Rule and Deterrence”, Missouri
Law Review, 2010, hlm. 466
41
William J. Barnes Jr, Revenge on Utilitarianism: Renouncing A Comprehensive Economics Theory of
Crime and Punishment”, Indiana Law Journal, 1999, hlm. 630-631
42
Ibid,; Steven Shavell, “A Simple Model of Optimal Deterrence and Incapacitation”, International
Review of Law & Economics, 2015, hlm. 14
43
Daniel N. Robinson, “Punishment, Forgiveness, and the Proxy Problem”, Notre Dame Journal of Law,
Ethics and Public Policy, 2004, hlm. 374-375
44
Salman Luthan, op.cit., hlm. 174

2. Diskursus Teoritik 21
ini pada awalnya mengambil bentuk kepada aspek pengibirian. Tangan
pencuri dipotong untuk mencegah pencurian lebih lanjut dan pelaku
kejahatan seksual dikebiri supaya tidak melakukan kejahatan seksual lagi.45
Pengebirian sebagai alternatif penjara tidak dipraktikkan lagi. Inkapasitasi
dewasa ini mengambil bentuk penahanan atau pemenjaraan atau bui,
karena secara teoritik pelaku tidak mungkin menggerogoti masyarakat.46

Teori inkapasitasi menggunakan pidana penjara untuk memindahkan


pelaku kejahatan agar masyarakat terlindungi dari bahaya yang
ditimbulkan. Teori ini disebut juga dengan istilah ‘isolasi’, ‘pemisahan’,
‘pembatasan’, dan ‘kurungan’. Teori inkapasitasi/pelumpuhan juga serupa
dengan teori pencegahan, walaupun pencegahan dalam teori inkapasitasi
lebih sempit maknanya dibandingkan dengan teori pencegahan karena
hanya mengarah pada pencegahan khusus (specific deterrence).47 Teori
inkapasitasi sebenanrya serupa dengan teori pencegahan dalam konteks
pencegahan khusus, tapi ia memiliki perbedaan, antara lain pada bentuk
sanksi pidana yang lebib fokus pada penggunaan pidana penjara khususnya
pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara dalam teori pencegahan
tidak digunakan sebagai alat untuk mencegah kejahatan, baik dalam arti
pencegahan khusus maupun pencegahan umum karena dianggap tidak
efisien. Teori pencegahan menggunakan pidana denda dan pidana mati
untuk mewujudkan tujuan pencegahan tersebut.

Pidana penjara atau pidana penjara seumur hidup dalam teori inkapasitasi
juga dimaksudkan agar masyarakat terlindungi ketika pelaku berada
di lembaga pemasyarakatan. Hal ini karena teori inkapasitasi bertujuan
melindungi masyarakat secara luas dari kejahatan yang dilakukan pelaku
kejahatan.48 Pidana penjara seumur hidup adalah salah satu bentuk
pidana yang secara khusus digunakan dalam banyak kasus dengan
tujuan inkapasitasi/pelumpuhan.49 Ancaman sanksi pidana pada teori
pencegahan harus mampu mengurangi biaya-biaya sosial yang disebabkan
oleh kejahatan. Sanksi pidana akibatnya harus lebih berat daripada
seriusitas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Strategi

45
Arthur W. Campbell, Law of Sentencing, online book at westlaw journal, 2010, hlm. 1
46
Salman Luthan, op.cit, hlm. 174-175
47
Michele Cotton, Back with a Vengeance...op. cit., hlm. 1316
48
Bernadette McSherry dan Bronwyn Naylor, Australian Criminal Law Critical Perspective, Oxford
University Press, UK, 2004, hlm. 18
49
Michael Cavadino & James Dignan, The Penal System an Introduction, Third Edition, SAGE
Publications, London, 2002, hlm. 39

22 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


untuk mengontrol kejahatan dalam teori inkapasitasi juga mengandung
beberapa risiko tinggi bila digunakan secara diskriminatif terhadap orang-
orang yang melakukan kejahatan-kejahatan serius. Para pelaku kejahatan
yang dikurung di suatu tempat pada dasarnya tidak memiliki kemampuan
untuk melakukan kejahatan di masyarakat.50

Teori rehabilitasi, yang juga sering disebut teori reparasi (reparation),


berpandangan bahwa para penjahat merupakan orang sakit yang
memerlukan pengobatan. Seperti dokter yang menuliskan resep obat,
penghukum (hakim) harus memberikan hukuman yang diprediksikan
paling efektif untuk membuat para penjahat menjadi orang baik kembali.
Hukuman dijatuhkan harus cocok dengan kondisi penjahat, bukan
dengan sifat kejahatan. Hal ini berarti bahwa pidana mengacu kepada
individualisasi pidana.51

Tujuan teori rehabilitasi menurut Barbara A. Hudson adalah untuk


reintegrasi pelaku kejahatan kepada masyarakat setelah menjalani pidana,
dan untuk menformulasikan substansi pidana agar mencapai tujuan
tersebut.52 Teori rehabilitasi memusatkan perhatian kepada rehabilitasi
pelaku kejahatan. Melalui perlakuan yang tepat dan program-program
pembinaan yang baik, seorang penjahat diharapkan dapat berubah
menjadi warga masyarakat yang baik sehingga upaya untuk mengurangi
kejahatan tercapai dan penjahat dapat berintegrasi kembali dengan
masyarakat. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap praktik-praktik
pemidanaan yang kejam terhadap para terpidana di berbagai negara. Teori
rehabilitasi, dengan demikian, merupakan antitesis dari teori retribusi
yang menganggap penjahat patut menerima ganjaran hukuman karena
melanggar ketentuan pidana53.

Teori rehabilitasi dewasa ini mengalami perubahan yang radikal. Terbukti


dari penelitian, kajian dan pengalaman praktik yang dilakukan ahli
yang menunjukkan bahwa manajemen dan program yang baik dapat
mengurangi kemungkinan pelaku mengulangi lagi kejahatannya. Program
yang secara luas diterima antara lain berupa pelatihan bagi pelaku yang

50
Guyora Binder & Ben Notterman, “Penal Incapacitation: A Situational Critique”, American Criminal
Law Review, 54, 2017, hlm. 3
51
Salman Luthan, op.cit., hlm. 178
52
Barbara A. Hudson, Understanding Justice...op.cit., hlm. 26
53
Salman Luthan, op.cit., hlm. 179

2. Diskursus Teoritik 23
kecanduan obat terlarang, program keterampilan kognitif, pelatihan bagi
pelaku kejatahan seksual dan berbagai program keterampilan lainnya.
Program-program tersebut ternyata terbukti mampu mengurangi pelaku
mengulangi lagi kejahatannya. Temuan-temuan positif tersebut tidak
kemudian dimaknai bahwa program yang mampu mengurangi pelaku
melakukan lagi kejahatannya dapat dengan mudah dicapai. Hasil tersebut
tidak secara otomatis dijadikan sebagai program baru yang secara resmi
digunakan negara untuk mengurangi tingkat kejahatan.54

Program rehabilitasi hanya mampu mengurangi tingkat kejahatan melalui


kebijakan pemidanaan (sanksi pidana) yang tidak rigid. Sebagai contoh,
pelaku yang kecanduan obat terlarang dan program-program perawatan
yang lain, program tersebut harus diarahkan pada karakteristik dan
kebutuhan pelaku kejahatan dan program ini jelas membutuhkan
individualisasi pidana.55 Sanksi pidana yang dijatuhkan tersebut juga
hendaknya disesuaikan dengan kondisi pelaku dan karakteristik kejahatan
yang dilakukannya.

Kelompok non-konsekuensialis memiliki pandangan yang berbeda tentang


suatu tindakan dan tujuan pidana. Benar atau salahnya suatu tindakan bagi
kelompok ini harus dilepaskan dari konsekuensinya. Kelompok ini lebih
menekankan pada pentingnya upaya pembenaran dalam menjatuhkan
pidana terhadap (pelaku) kejahatan. Pidana merupakan penderitaan yang
harus ditimpakan kepada pelaku kejahatan. Pandangan demikian banyak
dianut oleh penganut teori retribusi (retributivist), dan orientasinya
mengarah pada backward-looking, yaitu pidana dijatuhkan semata-mata
karena pelaku telah melakukan kejahatan.56 L. Waller & C.R Williams
menyatakan bahwa suatu kejahatan yang dari sifat dasarnya jahat
membenarkan penjatuhan pidana tertentu kepada pelakunya. Ahli filsafat
etika banyak yang mendukung teori tersebut, kadang-kadang mendasarkan
pada basis mistis. Hegel menyatakan bahwa kejahatan merupakan suatu
negasi, dan pidana adalah negasi terhadap negasi tersebut.57

Ide retribusi yang paling awal menggunakan konsep pembalasan pribadi


(private revenge), di mana korban atau keluarganya melakukan pembalasan

54
Michael Tonry, “Purposes and Functions of Sentencing”, Crime and Justice, 2006, hlm. 33
55
Ibid., hlm. 34
56
R.A. Duff and Antony Duff (Editor), A Reader...op.cit.,hlm. 7-8
57
L. Waller & C.R Williams, Criminal Law Texts and Cases, Butter Worlds, Australia, 2005, hlm. 16

24 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


yang sama kepada pelaku atau keluarganya atas kerugian yang diderita
oleh korban atau keluarganya. Permulaan subyektif teori ini menggunakan
pembalasan mata untuk mata dan gigi untuk gigi. 58 Pembalasan pribadi
pada perkembangan berikutnya, berubah menjadi pembalasan masyarakat
(social revenge), dan berubah lagi menjadi pembalasan yang dilakukan oleh
negara (state revenge). Negara yang hanya memiliki hak untuk membalas
perbuatan pelaku dengan cara menjatuhkan pidana kepadanya. Negara
juga yang memiliki tanggung jawab untuk memidana pelaku meskipun
yang menjadi korban adalah individu.

Teori retribusi memandang bahwa tujuan utama penjatuhan pidana adalah


semata-mata membalas tindak pidana yang dilakukan pelaku.59 Pembalasan
dalam konteks teori ini berbeda dengan balas dendam. Briat D. Skaret
menyatakan bahwa teori retribusi bukan merupakan suatu pembalasan.
Teori ini tidak dimaksudkan untuk menyakiti atau menimbulkan kerugian,
tapi membatasi kehendak pelaku kejahatan atas nama masyarakat karena
tindakan pelaku bertentangan dengan kebaikan umum. Pidana tidak
dijatuhkan kepada pelaku sebagai akibat dari kerugian yang dialami
keluarga korban. Keluarga korban yang menghadiri penjatuhan pidana
akan jarang terpuaskan perasaan balas dendem meraka. Penyebabnya
adalah karena pidana dijatuhkan itu tidak dimaksudkan untuk menyakiti
dan tidak pula sebagai respon atas kerugian yang dialami korban.60

Nozick dan Dan Markel mengemukakan 9 (sembilan) karakteristik


pembeda antara teori retribusi dengan balas dendam, yaitu:

1. Retribusi memutus lingkaran kekerasan, sedangkan balas dendam


melanjutkannya;
2. Retribusi membatasi pidana sehingga ia disesuaikan
(proporsional) dengan perbuatan pelanggar hukum, sedangkan
balas dendam tidak membatasinya;
3. Pidana dalam teori retribusi secara indenpenden dilaksanakan
oleh negara, sedangkan sanksi dalam balas dendam seringkali
bersifat personal;

58
Salman Luthan, Kebijakan...op.cit., hlm. 153
59
Ibid
60
Brian D. Skaret, a Victim’s Right to View: a Distortion of the Retributivist Theory of Punishment”
Journal of Legislation, 2002, hlm. 357

2. Diskursus Teoritik 25
4. Penganut teori retribusi mencari penerapan hukum yang sama,
sedangkan dalam balas dendam tidak ada generalisasi yang
ditujukan kepada kepentingan penuntut balas;
5. Penjatuhan pidana menurut teori retribusi bersifat tenang dan
tidak emosional, sedangkan dalam balas dendam, pidana memiliki
suasana emosi khusus berupa kesenangan ketika menderitakan
orang lain.61
6. Dalam retribusi, pidana dijatuhkan secara langsung kepada
pelaku, bukan kepada anaknya atau orang tuanya, sedangkan
dalam balas dendam sasaran pidana tidak hanya kepada pelaku,
tapi mungkin kepada keluarga atau kerabatnya;
7. Fokus teori retribusi tidak pada upaya menjadikan pelaku
mengalami penderitaan umum, tapi lebih pada penggunaan
kekuasaan negara untuk memaksa pelaku sehingga ide-ide
tertentu bisa diterapkan melalui paksaan tersebut;
8. Penganut teori retribusi menekankan kepada otonomi moral dan
kehormatan pelaku, sedangkan balas dendam tidak menaruh
perhatian pada hal-hal tersebut;
9. Teori retribusi mensyaratkan bahwa pidana yang dijatuhkan
kepada pelaku memberikan kesempatan kepadanya untuk
menginternalisasikan “perasaan adil” yang akan membuatnya
hormat kepada norma-norma pertanggungjawaban moral,
persamaan kebebasan di hadapan hukum, dan pembelaan diri
yang demokratis, sedangkan balas dendam tidak mensyaratkan
hal-hal tersebut.62
Dan Markel menyebutkan bahwa menurut teori retribusi pidana
dijatuhkan oleh negara untuk dan atas nama masyarakat (individu yang
menjadi korban). Tujuan penting teori retribusi adalah untuk memastikan
bahwa keseimbangan dan keadilan sosial terlindungi melalui penciptaan
stabilitas sosial. Setelah kebebasan pelaku kejahatan dibatasi, masyarakat
bisa melaksanakan kebebasannya karena keseimbangan dan keadilan
sosial terwujud. Pemidanaan dalam teori retribusi adalah pengenaan

61
Dan Markel, “Executing Retributivism: Panetti and the the Future of the Eighth Amendment”
Northwestern University Law Review, 2009, hlm. 1191
62
Dan Markel, “Retributive Damages: A Theory of Punitive Damages as Intermediate Sanction”, Cornell
Law Review, 2009, hlm. 270-271

26 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


penderitaan sebagai simbol takluknya pelaku kepada korban. Pesan yang
hendak disampaikan dari penaklukan ini adalah “apa yang telah kamu
kerjakan kepadanya, dia bisa melakukan itu kepadamu. Posisimu sama
dengan dia”.63

Karl O. Christiansen mengindentifikasi 5 (lima) ciri pokok teori retribusi,


yakni:64

a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan;


b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan
masyarakat;
c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku;
e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni
dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan
meresosialisasi si pelaku.
Berdasarkan uraian di atas, apakah proporsionalitas pidana merupakan
bagian dari kelompok non-konsekuensialias atau ia merupakan teori
campuran yang memadukan pemikiran kelompok konsekuensialis dan
non-konsekuensialis? Jawaban atas pertanyaan ini adalah dengan merujuk
pada teori just desert dan perkembangan pemikiran yang muncul setelahnya.
Para ahli mengatakan bahwa teori just desert merupakan perkembangan
terkini teori retribusi, dan keberadaannya menggambarkan pemikiran
tentang proporsionalitas dalam pemidanaan. Andrew von Hirsch dan
Andrew Ashworth mengartikan just desert sebagai... that penal sanction
should fairly reflect the degree of reprehensibleness (that is the harmfulness
and cupability) of the actor conduct.65 Beratnya ancaman sanksi pidana,
dengan demikian, harus seimbang dengan tingkat ketercelaan perbuatan
dan kesalahan pembuat. Ide terkini teori just desert termanifestasikan
ke dalam prinsip proporsionalitas pidana, yaitu proporsionalitas antara
tindak pidana dan kesalahan pembuat dengan beratnya ancaman sanksi
pidana.66

63
Restroph, “Desert, Democracy, and Sentencing Reform”, Journal of Criminal Law and Criminology,
2006, hlm. 1300
64
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double System dan Impelementasinya,
Rajawali Press, Jakarta, 2003, hlm. 35
65
Andrew von Hisrch & Andrew Ashworth, Proportionate Sentencing: Exploring the Principles, Oxford
University Press, New York, 2005, hlm. 4
66
John D. Castiglione, “Qualitative and Quantitative Proportionality A Specific Critique of A

2. Diskursus Teoritik 27
Ide tentang proporsionalitas pidana dalam perkembangannya juga dianut
oleh kelompok konsekuensialias. Proporsionalitas pidana memang pertama
kali dikenal dalam pandangan retributif (kelompok non-konsekuensialis),
tapi kelompok konsekuensialis yang menekankan pada tujuan pidana
sebagai pencegahan juga mengkaitkannya dengan proporsionalitas
pidana. Kelompok konsekuensialis dan non-konsekuensialis memiliki
perspektif yang berbeda tentang proporsionalitas pidana. Kelompok
non-konsekuensialis memandang proporsionalitas sebagai pusat
dari penjatuhan pidana, sedangkan bagi kelompok konsekuensalis,
proporsionalitas dijadikan sebagai prinsip pembatas yang melarang
penjatuhn pidana yang tidak sepadan dengan tindak pidana dan kesalahan
pembuatnya.67 Ide proporsionalitas, dengan demikian, sama-sama dianut
oleh kelompok konsekuensialis dan non-konsekuensialis meskipun
perspektif yang digunakan berbeda.

2.2.3  Celaan dan Perlakuan Keras sebagai Elemen


Kunci
Andrew von Hirsch menegaskan bahwa teori proporsionalitas pidana
yang digagas tidak terkait dengan penerapan teori pada tatanan sosial
tertentu, melainkan suatu teori yang dibangun berdasarkan asumsi-asumsi
tertentu.68 Teori proporsionalitas yang dikemukakan pada dasarnya bisa
digunakan di negara manapun. Hisrch juga dikenal luas sebagai salah
satu pemikir berpengaruh teori retribusi, tapi pemikirannya tentang ide
proporsionalitas pidana lebih cocok disebut sebagai gabungan antara teori
retribusi dan teori pencegahan (mixed theory).69

Von Hirsch menganut teori retributif modern (just desert), namun


konsepsinya tentang penjatuhan pidana masih memungkinkan masuknya
unsur preventif sebagai pendukung dalam sistem penjatuhan pidana.
Hirch menyatakan bahwa meskipun pencegahan kejahatan tidak akan
mempu menjelaskan secara komprehensif tentang sanksi pidana, tapi

Retributivist”, Ohio State Law Journal, 2010, hlm. 88


67
Muhammad Ainul Syamsul, Penjatuhan Pidana & Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana, Prenadamedia
Grup, Jakarta, 2016, hlm. 148
68
Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment: From “Why Punish?” to
“How Much?”, Criminal Law Forum, Vol. 1 No, 2, 1990, hlm. 261
69
Youngjae Lee, “Punishment as Reluctant Moralism Review of Andrew von Hirsch and Andrew
Ashworth, ‘Proportionate Sentencing: Exploring the Principles”, Criminal Law and Philosophy, 2007, hlm.
227

28 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


keberadaannya tetap tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Bentuk-bentuk
perbuatan yang dilarang secara kuat mengandung aspek pencegahan.
Ketika negara mengkriminalisasi suatu perbuatan, keberadaannya memuat
ancaman hukum berupa sanksi bagi pelanggaran terhadapnya. Ancaman
ini diharapkan mampu mencegah seseorang dari melakukan perbuatan
yang dilarang tersebut. Sanksi pidana, dengan demikian, memuat juga
aspek pencegahan.70

Pidana menurut Hirsch mempunyai dua justifikasi. Pertama adalah bahwa


pidana bersandar pada hubungan antara ganjaran (desert) dan pidana.
Ganjaran merupakan bagian integral dari keputusan atas pujian dan
ketercelaan, sedangkan pidana yang dijatuhkan oleh negara berfungsi
untuk melembagakan fungsi kecaman. Kedua adalah bahwa pidana
menekankan fungsi preventif yang bertujuan mencegah masyarakat
untuk melakukan tindak pidana. Masyarakat diharapkan menghindar dari
melakukan tindak pidana melalui pidana berat yang dijatuhkan sesuai
seriusitas dengan tindak pidana.71

Hirsch mengatakan bahwa rasionalitas digunakannya teori proporsionalitas


(bobot) pidana disebabkan bergesernya konsep pembalasan; dari
‘membayarkan kembali’ kepada pelanggar atas kejahatan yang dilakukan
kepada konsepsi pencelaan pidana. Pergeseran ini lebih menekankan
kepada proporsionalitas yang membolehkan penggunaan sanksi yang
moderat. Kriteria kepantasan pidana terkait seriusitas kejahatan, penilaian
beratnya ancaman pidana, dan peranan catatan kejahatan penjahat di
masa lalu.72

Hirsch mengatakan bahwa perhatian filosof terhadap kriteria pidana yang


setimpal khususnya tentang kriteria untuk menetapkan seberapa banyak
memidana orang tidak terlalu besar. Mereka lebih banyak memberikan
porsi kepada mengapa memidana (why punish) daripada seberapa banyak
memidana (how much). Elemen kunci pidana di dalam konsep yang terakhir
ini adalah pencelaan dan perampasan atau perlakuan yang keras.73 Celaan
atau kecaman terkait eksistensi individu sebagai agen yang cakap dalam

70
Andrew von Hirsch, Proportionality in...op.cit, hlm. 275-276
71
Andrew von Hirsch, Past and Future Crimes, Menchester University Press, Menchester, 1985, hlm. 47-60
72
Andrew von Hirsch, Proportionate Sentences for Juveniles How Different than for Adults?, Punishment and Society,
Vol.3, 2001, hlm. 222
73
Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment: From “Why Punish?” to “How Much?”,
Criminal Law Forum, Vol. 1 No, 2, 1990, hlm. 271 dan 274

2. Diskursus Teoritik 29
pertimbangan moral. Negara memperlakuan aktor (pelaku) sebagai agen
yang cakap dalam pertimbangan moral sepanjang memiliki alasan-alasan
normatif untuk berbuat. Pidana dalam konteks ini harus memuat elemen
pencelaan baik terhadap pembuat maupun terhadap masyarakat luas.
Pemikiran Hirsch yang demikian mengandung sisi normatif sekaligus
deskriptif. Hal ini karena hukum pidana pada umumnya melarang suatu
perbuatan, dan pidana sebagai respon yang mengekspresikan pencelaan.
Ekspresi menyalahkan melalui pengenaan pidana secara normatif menarik
karena dimensi moral pidana menjadi esensial supaya dengannya negara
memperlakukan orang-orang sebagi agen yang cakap dalam pertimbangan
moral. Mereka tidak diperlakukan sebagai manusia yang perlu dikekang,
diintimidasi, atau dikondisikan untuk patuh pada hukum.74

Perlakuan yang keras diperlukan untuk mendorong orang-orang agar


berada di jalur yang benar. Hal ini karena meskipun manusia merupakan
makhluk bermoral, tapi ia tetap dapat berbuat salah. Seruan moral saja tidak
cukup untuk mendorong orang-orang untuk tidak melakukan perbuatan
terlarang. Pengenaan perlakuan keras melalui pidana bertujuan untuk
memberikan alasan tambahan perlunya orang-orang menahan diri dari
melakukan perbuatan yang dilarang.75 Perlakuan keras sebagai elemen
penting pidana termanifestasikan dalam ungkapan sebagai berikut...”state
punishment speaks in two voices: One voice says, “You should refrain from
doing x because x is wrong,” while the other says, “By the way, you might also
keep in mind that if you do x, unpleasant consequences will follow.”76

Pencelaan merupakan bagian dari moralitas yang mengharuskan seseorang


bertanggungjawab atas perbuatannya. Pencelaan dimanifestasikan
melalui pengenaan konsekuensi-konsekuensi yang tidak menyenangkan,
dan pidana menyakitkan bukan hanya karena ia memiliki konsekeunsi
yang tidak menyenangkan itu, melainkan juga karena diancamkan sebagai
simbol kritik umum. Hal ini berarti bahwa beratnya perlakuan keras ada
kaitannya dengan tingkat pencelaan. Semakin tinggi pencelaan, semakin
berat perlakuan keras yang diterima pelaku. Penentuan kuantum pidana
terhadap beberapa tindak pidana yang berbeda adalah kepantasan dan

74
Andrew von Hirsch & Andrew Ashworth, Proportionate Sentencing: Exploring the Principiles, Oxford
University Press, New York, 2005, hlm. 17-18
75
Andrew von Hirsch & Andrew Ashworth, Proportionate....op.cit.,hlm. 25
76
Youngjae Lee, Punishment...op.cit., hlm. 228

30 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


bukan efisiensi teori pencegahan. Beratnya ancaman pidana didasarkan
pada seberapa banyak perbuatan dipersalahkan di dalam suatu sanksi
yang menggabungkan pencelaan dan perlakuan keras,77 dalam arti harus
terdapat proporsinalitas antara seriusitas perbuatan dan kesalahan
pelanggar dengan beratnya ancaman pidana.78

Hirsch menyatakan bahwa argumen proporsionalitas ancaman pidana


didasarkan pada tiga hal.79 Pertama adalah bahwa sanksi yang dijatuhkan
negara terhadap perbuatan terlarang harus berbentuk tindakan
menghukum, yaitu berbentuk perampasan yang mengekspresikan
kutukan atau menyalahkan. Kedua adalah bahwa beratnya suatu sanksi
mengekspresikan kerasnya kutukan atau menyalahkan. Semakin keras
kutukan, semakin berat pidana yang diancamkan, demikian juga sebaliknya.
Ketiga adalah bahwa ancaman sanksi pidana harus sepadan dalam beratnya
dengan tingkat seriusitas perbuatan dan kesalahan pelanggar. Argumen
yang ketiga ini menegaskan bahwa pemikiran Hirsch mengakomodir
aspek perbuatan dan pelaku secara seimbang (daad-daader). Beratnya
ancaman pidana haruslah didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan
secara matang dan seimbang antara ketercelaan perbuatan dan kesalahan
pembuat.

2.2.4  Proporsionalitas Kardinal dan Ordinal

Hirsch mengatakan bahwa ada dua varian proporsionalitas pidana, yaitu


proporsionalitas kardinal dan proporsionalitas ordinal. Proporsionalitas
kardinal mensyaratkan bahwa perlunya mempertahankan proporsi yang
rasional antara level tertinggi pidana dengan seriusitas tindak pidana,80
sedangkan proporsionalitas ordinal mensyaratkan bahwa pemeringkatan
beratnya ancaman pidana harus merefleksikan peringkat seriusitas tindak
pidana dan kesalahan pelanggar. Pidana disusun berdasarkan skala
sehingga beratnya pidana yang relatif berhubungan dengan perbandingan
kesalahan pelanggar.81

77
Ibid., hlm. 276-277
78
Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative Justice”, Utah
Law Review, 2003, hlm. 216
79
Andrew von Hirsch, Proportionality...op.cit., hlm. 278-279
80
Ibid., hlm. 214
81
Andrew von Hirsch, “Communsurability and Crime Prevention: Evaluating Formal Sentencing
Structures and Their Rationale”, Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 74, 1983, hlm. 213

2. Diskursus Teoritik 31
Barbara A. Hudson mengartikan proporsionalitas ordinal dengan sebutan
“...ranking offences according to seriousness and then establishing a scale of
penalties of commensurate severity”.82 Seseorang yang melakukan kejahatan
yang dapat diperbandingkan seriusitasnya harus menerima hukuman
yang beratnya dapat diperbandingkan. Seseorang yang melakukan tindak
pidana yang berbeda beratnya/seriusitasnya, ancaman pidana berkaitan
atau dinilai berdasarkan seriusitasnya.83 Proporsionalitas ordinal, dengan
demikian, membicarakan kesebandingan pidana. Kejahatan dengan
tingkat keseriusan yang sama seyogianya memperoleh sanksi pidana yang
setara.

Proporsionalitas pidana mensyaratkan skala nilai untuk menimbang dan


menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak pidananya. Nilai
dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta budaya cenderung untuk
menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi pidana yang
dipandang patut dan tepat dalam konteks historis tertentu.84 Tiap-tiap
negara memiliki perspektif yang berbeda di dalam menimbang, menilai,
dan menentukan berat ringannya pidana dikaitkan dengan tingkat
keseriusan tindak pidananya.

Proporsionalitas ordinal masih mensyaratkan tiga hal, yaitu parity,


rank-ordering, dan spacing of penalties.85 Parity terjadi ketika seseorang
telah melakukan beberapa tindak pidana mirip seriusitasnya, maka mereka
pantas mendapatkan pidana yang beratnya dapat diperbandingkan.
Tindak pidana yang setara keseriusannya memperoleh sanksi pidana yang
seimbang. Tidak berarti bahwa pidana yang sama dikenakan pada semua
tindak pidana dalam satu kategori tindak pidana. Jika variasi dalam satu
kategori telah dipastikan keseteraannya, maka pidana yang ditetapkan
juga harus memiliki tingkat yang sama.

Rank-ordering terkait pidana yang seharusnya disusun berdasarkan skala


pidana sehingga beratnya ancaman pidana yang relatif merefleksikan

82
Barbara A. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in
Modern Penal Theory, Open University Press, Philadephia, 1996, hlm. 45
83 Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment”, Crime and Justice, iol 16,
1992, hlm. 76
84 Harkristuti Harkrisowo, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana & Dilema Proporsionaltias: The
Forgotten Issue, Makalah Disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana bagi Dosen dan Praktisi Hukum
Pidana, FH Universitas Bayangkara Surabaya bekerjasama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi (MAHUPIKI), 29 November hingga 1 Desember 2017, slide 17
85 Andrew von Hirsch, “Censure and Proportionality”, dalam R. A. Duff and David Garland (Editor),
A Reader on Punishment, Oxford University Press, New York, 1994, hlm. 128-129

32 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


peringkat seriusitas kejahatan. Penetapan sanksi pidana yang lebih berat
bagi delik Y dari pada delik X menunjukkan bahwa delik Y lebih dicela
daripada delik X. Pidana, oleh karena itu, harus diatur sesuai dengan
peringkat sehingga berat ringannya pidana mencerminkan berat ringannya
delik.

Hirsch mengemukakan bahwa kriteria seriusitas delik didasarkan


pada dua komponen utama, yaitu kerugian dan kesalahan.86 Kerugian
mengacu kepada tingkat kerugian atau risiko yang ditimbulkan. Kerugian
di sini dapat berupa; a) kerugian personal, kerugian sosial, kerugian
institusional, dan kerugian negara; b) kerugian materiial dan immateriil;
3) kerugian aktual maupun potensial; dan 4) kerugian fisik dan kerugian
psikis. Kesalahan terkait kesengajaan, kealpaan, dan keadaan-keadaan
yang menyertainya seperti provokasi korban atas terjadinya kejahatan.
Pembentuk Undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal agar
skala pidana merefleksikan peringkat seriusitas tindak pidana, yaitu:87

1. Apakah pembentuk UU sudah memiliki sistem yang secara


eksplisit berisi tentang peringkat seriusitas delik? Sistem ini
membantu pembentuk Undang-undang untuk memeriksa
apakah sistem tersebut sesuai dengan konsep paritas dan
persyaratan-persyaratan dalam proporsionalitas ordinal;
2. Dalam memeringkat delik, apakah lembaga pembentuk UU
membuatnya berdasarkan pertimbangan yang matang (teliti)?
Apakah sistem tersebut hanya meminjam sistem yang dibuat di
negara-negara lain?;
3. Apakah pembentuk UU telah memberikan penjelasan/alasan
yang memadai atas pemeringkatan seriusitas delik? Pilihan
pemeringkatan menjadi lebih rasional ketika pembentuk
Undang-undang mencoba mengidentifikasi apa yang diyakini
sebagai kepentingan-kepentingan yang diancam oleh berbagai
macam kejahatan dan mencoba menilai dan menjelaskan
kepentingan-kepentingan yang mana yang dianggap lebih
penting.

86
Andrew von Hirsch, Communsurability...op.cit., hlm. 214
87
Ibid., hlm. 216-217

2. Diskursus Teoritik 33
Spacing of penalties bergantung kepada seberapa tepat beratnya ancaman
pidana yang diperbandingkan dapat disesuaikan. Spacing berisi penentuan
jarak antar delik yang satu dengan delik yang lain. Delik A, B dan C berbeda
dalam peringkat keseriusannya, dari yang berat sampai yang ringan. A
lebih serius dari B, tapi sedikit kurang serius dibandingkan C. Seriusitas
suatu delik dapat dipahami dari adanya jarak pidana antara delik yang
berat dengan yang ringan.

2.3. Model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan

2.3.1  Konsep Kriminalisasi


Sudarto mengartikan kriminalisasi sebagai proses penetapan suatu
perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri
dengan terbentuknya Undang-undang di mana perbuatan itu kemudian
diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.88 Barda Nawawi Arief
mendefinisikan kriminalisasi sebagai ‘suatu kebijakan dalam menetapkan
suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi
suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana)’.89 Kriminalisasi juga
terkait dengan penambahan/peningkatan sanksi pidana terhadap tindak
pidana yang sudah ada.90

Ruang lingkup kriminalisasi, dengan demikian, tidak hanya berkaitan


dengan penentuan perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan
yang dilarang disertai ancaman sanksi pidana tertentu, tetapi juga
berkenaan dengan pemberatan sanksi pidana terhadap tindak pidana
yang sudah ada.91 Pemberatan sanksi pidana ini biasanya terjadi dalam hal
adanya perubahan Undang-undang yang salah satu isinya memperberat
ancaman sanksi pidana.

88
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 31-32
89
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung,
2013, h lm 202; Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 126
90
Paul Cornili, “Criminality and Deviance in a Changing World”, Ceramah pada Kongres PBB IV
1970 mengenai prevention of crime and treatment of offender, sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan,
Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan (Studi terhadap Pengaturan Tindak Pidana dan
Sanksi Pidana dalam Undang-undang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal dan Pencucian Uang), Disertasi,
Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 54
91
Ibid

34 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa kriminalisasi merupakan bagian
dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan
hukum pidana (penal policy).92 Sudarto mengartikan politik hukum pidana
sebagai ‘usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu saat’,93 atau ‘kebijakan dari negara
melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan’.94 Sebagai bagian dari politik hukum,
kebijakan hukum pidana berarti mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.95

Aspek krusial dalam melakukan kriminalisasi adalah menentukan


kriteria atau ukuran yang menjadi dasar perlu tidaknya suatu
perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana.96 Sudarto berpendapat
bahwa di dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus
memperhatikan hal-hal di bawah ini, yaitu:97
1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan sprituil berdasarkan Pancasila.
Dalam kaitannya dengan hal ini, penggunaan hukum pidana
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi


dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan sprituil) atas warga negara;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan prinsip


biaya dan hasil (cost and benefit principle);

92
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, Edisi Revisi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3
93
Sudarto, Hukum dan...op.cit., hlm. 159
94
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 20
95
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...op.cit., hlm. 25
96
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2007,
hlm. 35
97
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Almuni, Bandung, 1986, hlm. 44-48

2. Diskursus Teoritik 35
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelempauan batas tugas (overbelasting).

Paul McGorrery berpandangan bahwa terdapat beberapa prinsip yang perlu


diperhatikan negara saat memutuskan untuk mengkriminalisasi suatu perbuata,
yaitu identifikasi kepentingan hukum yang hendak dilindungi, identifikasi
(potensi) kerugian yang ditimbulkan, identifikasi ketercelaan suatu perbuatan,
memastikan bahwa kriminalisasi merupakan pilihan terakhir, dan menentukan
bahwa kriminalisasi menimbulkan efek positif bagi masyarakat.98

Kriteria yang dikemukakan baik oleh Sudarto maupun Paul McGorrery


tersebut perlu diperhatikan agar kriminalisasi yang dihasilkan tidak
menimbulkan efek samping baik berupa kriminalisasi terhadap perbuatan
yang sebenarnya tidak perlu dilarang dan diancam dengan sanksi pidana
sehingga melanggar hak dan kebebasan sipil warga negara maupun
berupa tidak tersedianya cukup biaya dan sumber daya manusia untuk
menegakkannya. Kriteria tersebut merupakan prinsip pembatas yang
ditujukan kepada pembentuk undang-undang.

2.3.2  Asas-asas Kriminalisasi


Nils Jareborg menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) asas kriminalisasi, yaitu
asas nilai pidana (penal value principle), asas kemanfaatan (the utility
principle), dan asas kemanusiaan (the humanity principle).99 Tiap-tiap dari
ketiga asas tersebut mengandung beberapa prinsip. Uraian dari ketiga asas
tersebut sebagai berikut.

Pertama adalah asas nilai pidana. Asas ini bermakna bahwa perbuatan-
perbuatan yang hendak dikriminalisasi adalah perbuatan yang tercela.
Perbuatan yang tidak tercela tidak boleh dikriminalisasi. Semakin tinggi
nilai pidana, semakin kuat alasan-alasan untuk mengkriminalisasi,
demikian juga sebaliknya. Asas ini terkandung prinsip ketercelaan.
Suatu perbuatan dikriminalisasi karena perbuatan tersebut tercela.
Kuat atau tidaknya alasan untuk mengkriminalisasi bergantung kepada
tingkat ketercelaan suatu perbuatan. Untuk mengukur ketercelaan suatu

98 Paul McGorrery, “The Philosophy of Criminalisation: A Review of Duff et al.’s Criminalisation


Series”, Criminal Law and Philosophy, 12, 2018, hlm. 199
99
Nils Jareborg, ‘Criminalization as Last Resort (ultima ratio)’, Ohio State Journal of Criminal Law, 2005,
hlm. 530-531

36 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


perbuatan sebagian bergantung kepada nilai-nilai atau kepentingan apa
yang dilanggar, apakah perbuatan tersebut menimbulkan kerugian nyata
atau menciptkan suatu bahaya, dan sebagian lagi bergantung kepada
kesalahan pembuat.100

Asas nilai pidana juga terkandung prinsip proporsionalitas retrospektif


(retrospective proportionality) yang merupakan aspek internal sistem
sanksi pidana. Prinsip ini menghendaki adanya relasi antara nilai pidana
beberapa perbuatan yang dikriminalisasi dengan beratnya pidana. Prinsip
ini dilanggar ketika ancaman sanksi pidana lebih atau bahkan sangat
berat dibandingkan dengan perbuatannya.101 Andrew Ashworth menyebut
prinsip ini dengan sebutan elemen proporsionalitas, yaitu harus terdapat
kesepadanan antara seriusitas suatu perbuatan dan kesalahan pembuat
dengan ancaman sanksi pidana.102 Pidana yang diancamkan kepada
pembuat dianggap proporsional jika memperhatikan seriusitas tindak
pidana, mempertimbangkan kerugian/kerusakan yang ditimbulkan, dan
kesalahan pembuat.103

Kedua adalah asas kemanfaatan. Menurut asas ini, seseorang harus


menimbang bobot argumen terkait prinsip need, inefficiency, dan control
costs. Prinsip need terkait perlindungan yang sepadan atau memadai
terhadap nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan tersebut tidak akan
dapat diwujudkan dengan cara-cara lain kecuali melalui kriminalisasi. Jika
cara-cara lain dapat ditempuh untuk melindunginya, maka kriminalisasi
terhadap suatu perbuatan tidak boleh dilakukan.104 Muladi dan Barda
Nawawi Arief mengatakan bahwa hukum pidana (kriminalisasi) jangan
pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai
dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana
tersebut.105

Inefficiency bermakna bahwa mengkriminalisasi suatu perbuatan tidak


dibenarkan jika ia bukanlah cara yang efisien. Beberapa contoh inefisiensi
antara lain; definisi suatu tindak pidana sulit diterapkan; definisi tersebut

100
Ibid.,hlm. 527
101
Ibid., hlm. 532
102
Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice, Fourth Edition, Cambridge University Press,
2005, hlm. 148-150
103
Ester Herlin-Karnell, “What Principles Drive (or Should Drive) European Criminal Law?”, German
Law Journal, 2010, hlm. 1126
104
Nils Jareborg, Criminalization...op.cit., hlm. 527-528
105
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 102

2. Diskursus Teoritik 37
memuat unsur-unsur yang sulit dibuktikan; dan kriminalisasi bertentangan
dengan pandangan publik sehingga menimbulkan sikap acuh tidak acuh
atau bahkan meruntuhkan penghormatan terhadap sistem peradilan
pidana. Control costs terkait kriminalisasi yang mensyaratkan sumber
daya yang lebih besar dibandingkan dengan cara-cara lain.106 Biaya
mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, dalam arti
cost pembuatan Undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum,
serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.107

Ketiga adalah asas kemanusiaan. Asas ini bermakna bahwa kriminalisasi


harus memperhatikan nilai kemanusiaan yang mengacu kepada prinsip
proporsionalitas prospektif dan kepentingan-kepentingan korban.
Proporsionalitas prospektif mengacu kepada relasi antara cara dan tujuan.
Apabila cara yang digunakan untuk mengkriminalisasi memberatkan,
mengganggu atau berbiaya mahal sehingga tidak sesuai dengan tujuan
dari kriminalisasi itu sendiri, maka kriminalisasi terhadap suatu
perbuatan tertentu tidak boleh dilakukan.108 Kriminalisasi juga harus
bertujuan untuk melindungi kepentingan korban. Perbuatan-perbuatan
yang tidak menimbulkan korban tidak layak untuk dikriminalisasi.109
Korban di sini tidak hanya diartikan sebagai manusia an sich, melainkan
juga lingkungan.110

2.3.3  Model-model Kriminalisasi Berbasis Kerugian


Lingkungan
Kriminalisasi terhadap suatu perbuatan umumnya didasarkan pada
kerugian dan kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Pertanyaan yang
muncul dalam konteks hukum lingkungan adalah nilai dan kepentingan
lingkungan apa yang hendak dilindungi dari dikriminalisasikannya suatu
perbuatan? Jawaban atas pertanyaan ini merujuk kepada model-model
kriminalisasi delik-delik lingkungan yang selama ini berkembang. Model
dalam buku ini diartikan sebagai pola atau acuan untuk mengkriminalisasi

106
Nils Jareborg, Criminalization...op.cit., hlm. 529-530
107 Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 1980 sebagaimana dikutip oleh
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...op.cit., hlm. 31
108
Nils Jareborg, op.cit.,hlm. 532
109
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita...op.cit., hlm. 102
110
Eileen Skinnider, Victims of Environmental Crimes – Mapping the Issues, The International Center
for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, Canada, 2011, hlm. 31-43

38 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


perbuatan terkait aktifitas yang berpotensi atau menimbulkan kerusakan
atau pencemaran lingkungan. Berdasarkan riset Michael G. Faure dan
Susan F. Mandiberg, terdapat empat model kriminalisasi delik-delik
lingkungan yang basisnya adalah kepentingan dan kerugian lingkungan,
yaitu abstract endangerment, concrete endangerment, concrete harm, dan
serious environmental pollution.

Pertama adalah model abstract endangerment (bahaya abstrak). Model


ini mengkriminalisasi kerusakan/pencemaran lingkungan secara
tidak langsung. Keberadaan hukum pidana hanya sebagai pelengkap
sistem keputusan-keputusan administrasi yang sudah ada terkait
jumlah dan kualitas emisi yang dibuang ke media lingkungan. Hukum
pidana membatasi pada penegakan hukum administrasi yang telah ada
sebelumnya. Kriminalisasi menurut model ini hanya ditujukan kepada
pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi.111 Hukum pidana
hanya menambahkan mekanisme penegakan hukum yang tersedia untuk
memastikan kepatuhan terhadap pemantauan, perizinan, dan aturan
hukum lain yang mengatur aktifitas produksi terkait polusi. Hukum pidana
berdasarkan model ini pada umumnya berisi pernyataan umum bahwa
setiap orang yang melanggaran ketentuan tentang perbuatan, regulasi,
atau izin yang dikeluarkan dipidana...’. Hukum pidana baru diterapkan
segera setelah dilakukannya pelanggaran administrasi, meskipun
kerugian nyata atau ancaman kerugian dari pelanggaran tersebut belum
terjadi. Model abstract endangerment, dengan demikian, dibatasi hanya
pada tindak pidana-tindak pidana yang tidak melibatkan kontak langsung
antara bahan tercemar dengan lingkungan.112

Regulasi administrasi menurut model ini merupakan instrumen yang


penting untuk mencegah kerusakan lingkungan, sedangkan izin digunakan
untuk memastikan bahwa para pemegang izin merupakan orang-orang
bermutu. Standar lingkungan seperti standar emisi juga merupakan hal
penting untuk memastikan kualitas lingkungan yang berkesinambungan.113

111
M. Faure & M. Nisser, “How to Punish Environmental Pollution- Some Reflections on the Various
Models of Criminalization of Environmental Harm”, European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal
Justice, 3, 1995, hlm. 319. Michael Faure, “The Revolution in Environmental Criminal Law in Europe”,
Virginia Environmental Law Journal, 35, 2017, hlm. 334
112
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, “A Graduated Punishment Approach to Environmental
Crimes: Beyond Vindication of Administrative Authority in the United States and Europe”, Columbia Journal
of Environmental Law, 34, 2009, hlm. 454-455
113
Michael Faure & Jing Liu, “New Models for the Compensation of Natural Resources”, Kentucky
Journal of Equine, Agriculture, and Natural Resources Law, 4, 2011-2012, hlm. 265

2. Diskursus Teoritik 39
Model abstract endangerment fokus pada mempertahankan nilai-nilai
administrasi. Kriminalisasi dalam model ini, oleh karena itu, secara tidak
langsung melindungi nilai-nilai ekologis. Perbuatan-perbuatan dalam model
ini dilarang semata-mata untuk mencegah kerugian lingkungan. Pejabat-
pejabat administrasi dapat memonitor suatu kegiatan untuk memastikan
bahwa kerugian tidak terjadi apabila aturan-aturan administrasi diikuti.114

Model abstract endangerment berbasis kepada kebijakan lingkungan


yang mengutamakan pendekatan perintah dan kontrol perizinan. Pejabat
administrasi di dalam sistem ini memainkan peranan yang krusial karena
mereka yang menentukan jumlah polusi yang diperbolehkan dibuang
ke media lingkungan. Mereka juga yang menetapkan standar emisi
melalui penggunaan izin.115 Model ini juga merupakan kecenderungan
dari kombinasi penggunaan hukum publik dan hukum privat terhadap
pencegahan kerusakan/pencemaran lingkungan hidup.116

Tindak pidana-tindak pidana yang masuk ke dalam model abstract


endangerment meliputi tiga kategori. Pertama adalah tindak pidana
terkait operasionalisasi suatu kegiatan tanpa izin seperti melakukan
kegiatan tanpa izin, melanggar persyaratan monitoring atau inspeksi,
atau pelanggaran terhadap peraturan administrasi lain yang tidak terkait
dengan kerugian atau ancaman kerugian terhadap lingkungan. Kedua
adalah tindak pidana terkait pelanggaran aturan kerja atau menghalang-
halangi monitoring atau inspeksi fasilitas. Ketiga adalah tindak pidana
yang terkait pelanggaran terhadap Undang-undang, peraturan atau izin
yang tidak melibatkan emisi, pelepasan limbah, atau ancaman langsung
yang lain terhadap lingkungan.117

Kedua adalah concrete endangerment (bahaya nyata). Model ini merujuk


kepada fakta bahwa beberapa jenis bahaya/ancaman terhadap nilai-nilai
lingkungan melalui penetapan adanya ancaman nyata terhadap lingkungan
sebagai prasyarat pertangungjawaban pidana. Bahaya/ancaman yang
abstrak belum memadai untuk adanya pertanggungjawaban pidana

114
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduate...op.cit., hlm. 455-456
115
Michael G. Faure, Ingeborg M. Koopmans, & Johannes C. Oudijk, “Imposing Criminal Liability on
Government Officials under Environmental Law: A Legal and Economic Analysis”, Loyola of Los Angeles
International and Comparative Law Journal, 18, 1996, hlm. 529
116
Gerrit Betlem and Michael Faure, “Environmental Toxic Torts in Europe: Some Trends in Recovery of
Soil Clean-Up Costs and Damages for Personal Injury in the Netherlands, Belgium, England and Germany”,
Georgetown International Environmental Law Review, 10, 1998, hlm. 887
117
Ibid., hlm. 457-459

40 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


karena dianggap sangat abstrak. Model ini tidak mensyaratkan bahwa
kerugian nyata harus dibuktikan, tapi cukup pada pembuktian adanya
ancaman kerugian dan perbuatan dilakukan secara melawan hukum.118
Kriminalisasi dalam model ini dilakukan untuk mencegah timbulnya
kerugian baik pada manusia maupun lingkungan.119

Model kriminalisasi berbasis concrete endangerment menekankan pada


dua hal. Pertama adalah bahwa emisi atau polusi dapat menyebabkan
ancaman kerugian dan itu perlu dibuktikan. Kedua adalah emisi atau polusi
dilakukan secara melawan hukum. Sepanjang aturan-aturan administrasi
diikuti, perbuatan tidak dianggap sebagai tindak pidana apabila dilakukan
secara sah. Perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
dilakukan secara melawan hukum dan dapat menyebabkan timbulnya
ancaman bahaya.120 Model ini sebenarnya melindungi nilai-nilai ekologis
secara langsung, tapi keberadaanya tetap bergantung kepada peraturan-
peraturan administrasi,121 dalam arti model ini masih menggantungkan
sepenuhnya kepada prosedur administrasi untuk menetapkan suatu
tindak pidana.

Model concrete endangerment memuat dua variasi, yaitu presumed


endangerment dan demonstrated endangerment. Undang-undang lingkungan
dalam variasi presumed endangerment mengkriminalisasi kontak secara
tidak sah beberapa jumlah bahan tercemar dengan lingkungan dengan
asumsi bahwa kontak tersebut paling tidak dapat menyebabkan beberapa
ancaman bahaya. Pejabat administrasi dalam konteks ini hanya perlu
menunjukkan bahwa pembuangan emisi tidak berizin telah dilakukan baik
disebabkan oleh fasilitas pembuangan yang tidak berizin sama sekali atau
sebenarnya pembuangan emisi diperbolehkan karena telah memperoleh
izin, tapi jumlahnya melebihi jumlah yang diperbolehkan sebagaimana
tertuang dalam izin. Variasi pertama ini paling mudah pembuktiannya
dan memungkinkan lebih seringnya intervensi pemerintah. Bentuk-
bentuk tindak pidana dalam variasi yang pertama ini berupa pelepasan/
pembuangan limbah ke air atau udara yang bertentangan dengan peraturan

118
Michael Faure, Towards a New Model...op.cit., hlm. 197. Bandingkan dengan Hartiwiningsih, Hukum
Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, UNS Press, Surakarta, 2008, hlm 370.
119
Zachary Hoskins, “Criminalization and the Collateral Consequences of Conviction”, Criminal Law
and Philosophy, 12, 2018, hlm. 634
120
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335
121
Byung-Sun Cho, “Emergence of an International Environmental Criminal Law?”, UCLA Journal of
Environmental Law and Policy, 19, 2000/2001, hlm. 22-23

2. Diskursus Teoritik 41
administrasi, membuang limbah ke media lingkungan tanpa izin, dan
membuang limbah ke media lingkungan dengan melanggar batas jumlah
yang ditetapkan dalam izin. Tindak pidana tersebut tidak membutuhkan
bukti berupa kerugian nyata atau ancaman kerugian terhadap lingkunga,
tetapi cukup adanya kontak antara bahan tercemar dengan lingkungan.122

Undang-undang yang menganut variasi demonstrated endangerment


mensyaratkan bukti yang jelas tentang suatu ancaman terhadap
lingkungan. Hal yang tidak cukup apabila pembuangan emisi ke media
lingkungan dilakukan secara melawan hukum. Persyaratan pembuktian
yang jelas inilah yang membedakan Undang-undang dalam variasi ini
dengan variasi presumed endangerment. Tindak pidana-tindak pidana
dalam variasi demonstrated endangerment juga masuk dalam model
concrete endangerment, tapi pembuktian terhadap suatu tindak pidana
lebih berat. Contoh tindak pidana dalam variasi ini adalah larangan bagi
setiap orang yang secara tidak sah membuang limbah ke air permukaan,
tanah atau laut di mana perbuatan atau reaksinya menyebabkan efek yang
merugikan, meskipun sementara, terhadap fauna dan flora.123

Ketiga adalah concrete harm (kerugian nyata). Model ini sebenarnya sama
dengan model concrete endangerment bahwa keduanya mensyaratkan
pembuktian bahwa pelaku delik lingkungan melanggar peraturan atau
prosedur administrasi. Model ini, dengan kata lain, masih belum melepaskan
hukum pidana dari ketergantungan administratif. Bedanya, kerugian
lingkungan dalam concrete harm harus berupa kerugian lingkungan secara
nyata, dan tidak cukup hanya berupa ancaman kerugian.124 Problem yang
muncul dalam model ini adalah menentukan makna kerugian lingkungan
dan hubungan kausalitas.
Makna kerugian lingkungan bergantung kepada pendekatan yang
digunakan. Pendekatan tradisional memandang bahwa kerugian
lingkungan dibatasi pada kerugian yang dialami oleh manusia seperti
ancaman atau kerugian terhadap kesehatan dan keamanan manusia.
Pendekatan ini masih menggantungkan hukum lingkungan kepada
hukum pidana tradisional yang membatasi manusia sebagai korban.
Kerugian lingkungan juga dapat dikaji dari pendekatan ekologis. Secara

122
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 460-464
123
Ibid., hlm. 465-468
124
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 469

42 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


spesifik kerugian lingkungan berupa kerusakan dan degradasi ekosistem,
kepunahan spesies, perubahan cuaca dan pemanasan global, pencemaran
lingkungan, dan kerugian terhadap binatang.125 Kerusakan/pencemaran
lingkungan dalam persepktif antropologi dapat menyebabkan kerugian
terhadap nilai-nilai budaya suatu masyarakat. Istilah yang disematkan
terhadap fenomena ini adalah polusi budaya yang merupakan imbas dari
kerja buruk lingkungan dan pornografi.126
Kerugian lingkungan juga dilihat dari pendekatan ekonomi (mikro).
Menurut pendekatan ini, penentuan berapa kerugian lingkungan baik
terhadap manusia maupun terhadap lingkungan dihitung berdasarkan
konsep maksimalisasi kesejahteraan sosial. Secara operasional, konsep
terkait jumlah keuntungan yang diperoleh pelaku dari melakukan tindak
pidana lingkungan, dikurangi kerugian yang disebabkan oleh perbuatan itu
dan pengeluaran dalam rangka penegakan hukum.127 Kerugian dimaksud
meliputi kerugian faktual yang dialami oleh negara secara langsung akibat
perbuatan pelaku yang menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan,
biaya yang harus dikeluarkan korban potensial untuk mencegah agar tidak
menjadi korban, biaya yang secara perhitungan ekonomi diprediksikan
akan dialami oleh masyarakat dan harus ditanggung negara, dan biaya
penegakan hukum seperti biaya pengungkapan kasus, biaya penyidikan,
penuntutan, persidangan, dan pelaksanaan pidana.128

Model concrete harm mensyaratkan pembuktian bahwa perbuatan yang


dilarang telah menimbulkan kerugian lingkungan. Hal yang tidak cukup
jika yang dibuktikan hanya sedekar ancaman kerugian lingkungan. Model
ini meniscayakan pembuktian sebab akibat yang dalam hukum pidana
disebut ajaran kausalitas. Inti ajaran ini terkait perbuatan mana yang harus
dianggap sebagai penyebab dari timbulnya akibat yang dilarang hukum.
Setelah diketahui bahwa perbuatan tertentulah yang merupakan sebab
bagi timbulnya akibat, maka hal demikian berguna untuk menentukan
siapakah yang harus bertanggungjawab atas sesuatu hal yang ternyata
diketahui sebagai sebab atas timbulnya akibat yang dilarang oleh hukum.

125
Jan G. Laitos, Standing and Environmenal Harm...op.cit.,hlm. 67-71
126
John Copeland Nagle, “The Idea of Pollution”, U.C. Davis Law Review, 43, 2009, hlm. 2
127
Nuno Garoupa & Daniel Klerman, “Optimal Law Enforcement with a Rent-Seeking Government”, American Law and
Economics Review, 2002, hlm. 116-117
128
Mark A. Cohen, “The Economics of Crime and Punishment: Implications for Sentencing of Economic Crime and New
Technology Offences”, George Mason Law Review, 2000, hlm. 506-507

2. Diskursus Teoritik 43
Ahmad Sofian dengan mengutip pendapat Barda Nawawi Arief
mengatakan bahwa ada dua sisi ajaran kausalitas, yaitu ajaran kausalitas
yang subjektif dan ajaran kausalitas yang objektif. Hal yang pertama
adalah mencari hubungan kausal antara orang yang melakukan perbuatan
dengan perbuatannya. Ajaran yang pertama ini biasanya masuk dalam
teori kesalahan atau teori untuk menentukan sikap batin jahat. Hal yang
kedua adalah mencari hubungan kausal antara perbuatan dan akibat
dari perbuatan itu. Ajaran yang kedua ini digunakan untuk menemukan
perbuatan melawan hukum yang menimbulkan akibat yang dilarang.129
Delik-delik yang memerlukan ajaran kausalitas ini berupa delik materiil,
delik-delik omisi yang menimbulkan akibat, dan delik yang dikualifikasi
oleh akibatnya. Teori-teori mengenai ajaran kausalitas yang berkembang
dalam hukum pidana meliputi teori condition sine qua non, ajaran
menggeneralisir baik dalam bentuk adekuat subjektif maupun adekuat
objektif, ajaran mengindividualisir, dan teori relevansi.130 Tidak ada satu
dari teori-teori tersebut yang dapat digunakan untuk semua perkara
pidana dalam konteks menemukan sebab bagi timbulnya akibat dalam
kasus-kasus yang muncul karena penyebab bisa sederhana, tunggal atau
bahkan banyak dan kompleks.

Kausalitas dalam tindak pidana lingkungan tidak terlalu sulit apabila


timbulnya kerusakan/pencemaran lingkungan disebabkan oleh satu
perbuatan. Persoalan kausalitas menjadi sulit ketika penyebab bagi
timbulnya kerugian lingkungan banyak, berantai, dan kompleks.
Pembuktian kausalitas dalam kasus-kasus pidana konvensional seperti
pembunuhan merupakan hal yang sangat sulit, apalagi dalam perkara
pencemaran lingkungan yang melibatkan banyak sekali variabel. Kondisi
ini tentu memunculkan tantangan tersendiri bagi penuntut umum untuk
menemukan dan menentukan suatu perbuatan sebagai sebab bagi
timbulnya kerugian lingkungan.131 Terlepas dari itu semua, model concrete
harm dan juga model serious environmental pollution yang akan dijelaskan
berikut ini mensyaratkan adanya pembuktian kausalitas.

Keempat adalah serious environmental pollution (polusi lingkungan


serius). Model ini sudah melepaskan diri sepenuhnya dari ketergantungan

129
Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2018, hlm. 140-141
130
Ibid., hlm. 105-118
131
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 478

44 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


administratif hukum pidana yang ditandai dengan dua cara. Pertama
adalah eliminasi izin sebagai pelindung. Seseorang sekalipun telah
memiliki izin dari pejabat administrasi, jika perbuatannya menimbulkan
kerugian serius terhadap lingkungan, maka perbuatan tersebut tetap
dikategorikan sebagai tindak pidana. Kedua adalah eliminasi sifat melawan
hukum sebagai elemen tindak pidana lingkungan. Hukum pidana tetap
dapat digunakan apabila menimbulkan kerugian sangat serius sekalipun
perbuatan tidak melawan hukum, dalam arti dilakukan sesuai dengan
persyaratan izin atau peraturan administratif.132

Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi berdasarkan model ini masih


berkaitan dengan emisi, tapi akibat yang ditimbulkan lebih serius seperti
polusi yang berkepanjangan, akibat serius terhadap kesehatan manusia,
dan/atau luka yang parah terhadap penduduk.133 Model ini bertujuan
mengkriminalisasi kerusakan/pencemaran lingkungan yang sangat serius
tanpa melihat apakah hal itu disebabkan oleh pelanggaran administrasi.
Pembuat delik sekalipun telah mematuhi izin dan persyaratan-
persyaratannya serta peraturan administratif lainnya, tetap saja perbuatan
tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana apabila menimbulkan akibat
yang serius terhadap lingkungan.134

132
Ibid., hlm. 481-485
133
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335-336
134
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 480

2. Diskursus Teoritik 45
46 Overpenalization Dalam Hukum Pidana
3

OVERPENALIZATION DALAM UU BIDANG


LINGKUNGAN HIDUP

3.1. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

3.1.1  Double Track Sistem dalam UU PPLH


Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya
mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar, landasan filosofis yang
melatarbelakanginya, dan tujuannya. Sanksi pidana merupakan jenis
sanksi yang paling banyak digunakan di dalam menjatuhkan hukuman
terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan
pidana. Bentuk-bentuk sanksi inipun bervariasi, seperti pidana mati,
pidana seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda
yang merupakan pidana pokok, dan pidana berupa pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.

Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar di luar
KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentuk-bentuknya,
yaitu berupa perawatan di rumah sakit dan dikembalikan pada orang
tuanya atau walinya bagi orang yang yang tidak mampu bertanggung
jawab dan anak yang masih di bawah umur.1 Hal ini berbeda dengan
bentuk-bentuk sanksi tindakan yang tersebar di luar KHUP yang lebih
variatif sifatnya, seperti pencabutan surat izin mengemudi, perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak

1
Pasal 44 dan pasal 45 KUHP

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 47


pidana, latihan kerja, rehabilitasi dan perawatan di suatu lembaga, serta
lain sebagainya. Kedua jenis sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanski
tindakan) dalam teori hukum pidana lazim disebut dengan double track
system (sistem dua jalur), yaitu sistem sanksi dalam hukum pidana yang
menempatkan sanksi pidana dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi
yang mempunyai kedudukan yang sejajar dan bersifat mandiri.

Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang


ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan
orang tidak akan melakukan tindak pidana. Pengertian tentang sanksi
pidana menurut Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of Criminal
Sanction adalah:2
Criminal punishment means simply any particular disposition or the
range or permissible disposition that the law authorizes (or appears
to authorize) in cases of person who have been judged through the
distinctive processes of the criminal law to be guilty of crime.
Sanksi pidana dalam sebagai Black’s Law Dictionary Henry Campbell
Black diartikan sebagai ‘punishment attached to conviction at crimes
such fines, probation and sentences’ (suatu pidana yang dijatuhkan
untuk menghukum suatu penjahat (kejahatan) seperti dengan pidana
denda, pidana pengawasan dan pidana penjara).3 Berdasarkan deskripsi
pengertian sanksi pidana di atas dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya
sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang
yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana)
melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang
secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi
pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi.
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana
ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan
undang-undang itu menyimpang.4 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana
pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.5 Sedangkan

Herbert L. Packer,I The Limits…op.cit, hlm 35


2

Henry Campbell Black, op.cit., hlm 337


3

4
Pasal 103 KUHP
5
Pidana tutupan merupakan jenis pidana berdasarkan KUHP terjemahan BPHN berdasarkan Undang-
undang No. 20 tahun 1946

48 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pidana tambahan
hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.
Sementara itu, sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang bersifat antisipatif
bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada filsafat
determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system)
dan spesifikasi non-penderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengan
tujuan untuk memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban
baik perseorangan, badan hukum publik maupun perdata.6

Sanksi tindakan dalam KUHP memliki beberapa jenis, yaitu:

a. penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak


dapat dipertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam
tubuhnya atau terganggu penyakit.7
b. bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak
pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa;8
1) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, atau;
2) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada
pemerintah.
3) dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam
rumah pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur
dalam Peraturan Pendidikan Paksa (Dwangopvoedingregeling,
Stb. 1916 No.741)
4) penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur
yang malas bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian,
serta mengganggu ketertiban umum dengan melakukan
pengemisan, bergelandangan atau perbuatan asosial. (Stb.
1936 No. 160)9

6
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi...op.cit., hlm 210
7
Pasal 44 ayat (2) KUHP
8
Pasal 45 KUHP
9
Disamping ketentuan yang terdapat dalam KUHP, sesungguhnya sanksi tindakan juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu Pasal 8 UU & Drt Tahun 1955, yang berupa
penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahuh untuk
kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); (1) pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu;
(2) pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan; (3)
kewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan
melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 49


Apa perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan? Sanksi pidana
bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan? Sedangkan
sanksi tindakan bertolak dari dari ide dasar untuk apa diadakan
pemidanaan? Sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan
salah seorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan
menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi
pertolongan agar pelaku berubah.10 Sanksi pidana lebih menekankan
unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber
dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan
si pelanggar.11

Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada


pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya, dan merupakan
bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan
sanksi tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Jika ditinjau dari
sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi tindakan merupakan sanksi
yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus,
yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan
kepentingannya.

Perbedaan orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sebenarnya


memiliki kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni
filsafat indeterminisme sebagai sumber sanksi pidana dan filsafat
determinisme sebagai sumber sanksi tindakan. Sebagaimana diketahui,
asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah sejatinya manusia memiliki
kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan. Karenanya
sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus
diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.12

Determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku


manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat,

sekedar hakim tidak menentukan lain.


10
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi
dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm 88. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan
Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm 4
11
Sudarto, Hukum Pidana,I (Jilid 1A), Badan Penyediaan Kulih FH UNDIP, Semarang, 1973, hlm 7
12
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op.cit., hlm 89

50 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


ditentukan oleh faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis,
ekonomis, dan keagamaan yang ada. Perilaku jahat seseorang ataupun
masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu, dan karenanya setiap
pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud merehabilitasi
pelaku,13 atau, kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan
jiwa seseorang yang abnormal. Dengan demikian, si pelaku tidak dapat
dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti
tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan
pemidanaan. Substansi teori absolut ataupun teori telatif sesungguhnya
berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar sanksi pidana dan sanksi
tindakan. Teori absolut (teori retributif), misalnya, memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan.
Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan
itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan
memandang ke masa lampau (backward looking), yakni memusatkan
argumennya pada tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori
ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu
demi karugian yang sudah diakibatkan. Karenanya teori ini disebut juga
sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan
secara moral.14

Teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan pemidanaan, yaitu
preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan
adalah untuk melindungi masyarakat, dengan menempatkan pelaku
kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan,
hal ini disebut incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam
pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan.15
Teori ini memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapi tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul
tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus
yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan

13
Ibid, hlm 89-90
14
Ibid, hlm 90-91
15
M.Sholeduddin Op.Cit,. hlm 40-41

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 51


pada masyarakat.16

Kedua bentuk sanksi pidana maupun sanksi tindakan diatur dalam UU


PPLH. Sanksi pidana yang dapat diancamkan terhadap pelaku adalah pidana
penjara dan pidana penjara. Kedua jenis pidana tersebut dirumusakan
secara kumulatif untuk semua kejahatan dalam Pasal 98 hingga Pasal 115,
kecuali Pasal 112 yang dirumuskan secara alternatif. Perumusan pidana
secara kumulatif merupakan perumusan pidana yang bersifat kaku karena
hakim tidak diberikan pilihan apakah akan menjatuhkan pidana penjara
saja atau denda saja disesuaikan dengan seriusitas dan tingkat kesalahan
pelaku.

Sistem pengancaman pidana dalam UU PPLH selain mengatur ancaman


pidana maksimum khusus, juga mengatur ancaman pidana minimum
khusus untuk tindak pidana dalam Pasal 98, Pasal 99, Pasal 101, Pasal
102, Pasal 103, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109.
Bobot pidana dalam ketentuan pasal-pasal tersebut bervariasi. Sistem
pengancaman pidana pidana minimum khusus dan maksimum khusus
untuk pidana penjara bervariasi meliputi; a) minimal 1 tahun penjara dan
maksimal 3 tahun penjara; b) minimal 2 tahun penjara dan maksimal 6
tahun penjara; c) minimal 3 tahun penjara dan maksimal 9 tahun penjara;
d) minimal 3 tahun penjara dan maksimal 10 tahun penjara; e) minimal
4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara; dan f) minimal 5 tahun
penjara dan maksimal 15 tahun penjara. Pola sistem pengancaman pidana
minimum khusus dan maksimum umum untuk pidana denda mengikuti
pola pidana penjara, yaitu minimal 1 miliar maksimal 3 miliar, minimal
2 miliar maksimal 6 miliar, minimal 3 miliar maksimal 9 miliar, minimal
3 miliar maksimal 10 miliar, minimal 4 miliar maksimal 12 miliar, dan
minimal 5 miliar dan maksimal 15 miliar.

Korporasi juga diakui sebagai subjek delik. Pasal 117 UU PPLH menentukan
bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pidana
dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
dengan ketentuan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga dari ancaman pidana pokok pada tiap-tiap pasal yang dilanggar.
Ini artinya, UU PPLH tidak mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana
kepada korporasi. Pengaturan demikian tentu saja merupakan kelemahan

16
Ibid

52 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


karena di pelbagai Undang-undang di luar KUHP, korporasi dijatuhi pidana
dengan diperberat sepertiga dari pidana pokok bahkan ada yang dikalilipat
hingga 3 kali sebagaimana dalam Undang-undang Perpajakan.

UU PPLH tidak mengatur mengenai aturan pelaksanaan pidana denda


(strafmodus) baik terhadap subjek delik orang perorangan maupun
korporasi. Ancaman pidana denda yang besar hingga 15 miliar bahkan
ditambah sepertiga jika dilakukan oleh korporasi tidak akan berarti apapun
jika diikuti dengan pengaturan mengenai aturan pelaksanaan pidana.
Bagaimana jika pelaku yang dijatuhkan pidana denda sebesar 15 miliar
tidak mampu membayar denda tersebut? UU PPLH tidak mengatur hal
tersebut, maka secara otomatis berlaku ketentuan Pasal 30 KUHP tentang
kurungan pengganti denda paling lama 6 bulan. Orang secara rasional
pasti memilih menjalani pidana kurungan selama 6 bulan daripada harus
membayar denda sebesar 15 miliar. Substansi Pasal 30 KUHP tidak dapat
diterapkan kepada korporasi karena korporasi tidak mungkin dijatuhi
pidana kurungan.

Sanksi tindakan (treatment) dalam UU PPLH ditempatkan sebagai pidana


tambahan yang hanya dijatuhkan kepada badan usaha. Sanksi ini tidak
dapat kepada subjek delik perorangan. Bentuk-bentuk sanksi tindakan
dalam Pasal 119 UU PPLH meliputi perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/
atau kegiatan, perbaikan akibat tindak pidana, kewajiban mengerjakan
apa yang dilalaikan tanpa hak, dan penempatan perusahaan di bawah
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Uraian masing-masing dari kelima
sanksi tindakan tersebut berikut ini.

Pertama adalah perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak


pidana. Suatu korporasi dalam menjalankan aktifitasnya tak jarang
melakukan suatu perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Korporasi tersebut
dapat dipastikan mendapatkan suatu keuntungan dari aktifitasnya ini,
dan tak jarang keuntungan yang diperolehnya dalam jumlah yang sangat
besar sehingga kerugian yang dialami oleh masyarakat atau Negara dalam
jumlah yang sangat besar pula.

Masyarakat yang secara langsung mengalami kerugian akibat tindak


pidana yang dilakukan oleh korporasi sangat dirugikan akibat tindak

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 53


pidana itu. Begitu juga dengan Negara yang mempunyai kewajiban untuk
memberikan kemakmuran kepada setiap warganya, akan mengalami
kerugian yang tidak kecil pula. Dengan adanya tindak pidana pencemaran
atau perusakan lingkungan hidup tersebut ongkos yang harus dikeluarkan
oleh Negara untuk memulihkan kondisi lingkungan yang rusak dan
tercemar, tentunya dalam jumlah yang sangat besar. Guna mengatasi hal
di atas ada banyak upaya yang dapat dilakukan, salah satunya adalah
dengan menjatuhkan pidana denda kepada korporasi. UU PPLH telah
memberikan rambu-rambu bagi penjatuhan pidana denda terhadap
korporasi, berupa pemberatan sepertiga dari pidana penjara dan pidana
denda yang dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana. Ini artinya, denda tersebut tidak dijatuhkan kepada korporasi
sekalipun tindak pidananya dilakukan oleh korporasi, dan itu merupakan
suatu kelemahan mendasar bila dibandingkan dengan pengaturan sanksi
pidana bagi korporasi dalam undang-undang tersebut.

Terlepas dari kelemahan tersebut, jumlah nominal denda maksimum


dalam UU PPLH adalah 15 miliar sehingga jika ditambah sepertiga,
jumlahnya menjadi 20 miliar. Jumlah inilah yang bisa dijatuhkan oleh
hakim kepada pemberi perintah atau pemimpin suatu korporasi. Selain
denda maksimal, hakim dapat juga menjatuhkan sanksi tindakan berupa
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. Bentuk sanksi
ini dijatuhkan karena tidak ada jaminan bahwa di satu sisi denda yang
dijatuhkan hakim telah seimbang dengan keuntungan yang diperoleh
korporasi, dan di sisi yang lain kerugian yang diderita masyarakat telah
dipulihkan. Karenanya, Remmelink menyatakan bahwa jika korporasi tetap
dibiarkan menikmati keuntungan yang diperolehnya dari tindak pidana,
hal itu hanya akan menyebabkan ketidakadilan dan menghambat upaya
penyelesaian konflik. Penyelesaian melalui penjatuhan pidana denda
hanya akan menghasilkan kesan keliru tentang cara bagaimana pengadilan
mempertimbangkan keseriusan tindak pidana yang bersangkutan.17
Dengan merampas keuntungan yang diperoleh korporasi dari melakukan
tindak pidana, korporasi akan berfikir dua kali untuk melakukan tindak
pidana karena ia tidak dapat menikmati keuntungan yang diperolehnya

17
van Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Belanda dann Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT
Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 2003, hlm 516

54 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


dari tindak pidana.

Kedua adalah penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau


kegiatan. Hal penting yang perlu juga diperhatikan hakim saat akan
menjatuhkan sanksi tindakan berupa penutupan seluruh atau sebagian
tempat usaha dan/atau kegiatan adalah nasib para buruh/karyawan yang
bekerja di suatu korporasi. Jangan sampai penutupan suatu korporasi
akan menimbulkan ekses yang lebih parah. Dalam konteks ini, Muladi
mengatakan bahwa dampak pemberian sanksi terhadap korporasi dapat
menimpa pada orang-orang yang tidak berdosa, seperti buruh ataupun
karyawan.18 Oleh karenanya, hakim harus hati-hati dan selektif dengan
mempertimbangkan banyak faktor saat menjatuhkan sanksi tindakan
berupa penutupan suatu korporasi, lebih-lebih jika korporasi tersebut
akan ditutup seluruhnya.

Ketiga adalah perbaikan akibat tindak pidana. Perbaikan akibat tindak


pidana dijatuhkan kepada korporasi yang terbukti melakukan tindak
pidana dan mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup
yang sangat parah. Penjatuhan pidana denda dirasa belum sebanding
dengan akibat yang ditimbulkannya. Suatu korporasi yang melakukan
pembuangan limbah beracun di suatu sungai yang dijadikan kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat yang ada di dekat sungai itu, dapat dijatuhi
pidana berupa perbaikan akibat tindak pidana pencemaran lingkungan
hidup yang dilakukan. Dengan pidana tersebut, korporasi diwajibkan
untuk memperbaiki semua hal negatif yang diakibatkan oleh tindak pidana
yang dilakukannya.

Sanksi berupa perbaikan akibat tindak pidana harus diakui membutuhkan


biaya yang tidak sedikit dan memakan waktu yang relatif lama, lebih-
lebih jika objek yang harus diperbaiki dalam skala yang cukup besar,
seperti sungai. Namun demikian, sanksi tersebut dipandang sebagai suatu
hukuman yang harus dijalani korporasi, dan hukuman ini merupakan
salah satu bentuk pelayanan wajib korporasi kepada masyarakat.19 Bentuk
sanksi perbaikan akibat tindak pidana dipandang cukup ampuh untuk
menanggulangi kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup karena

18
Muladi, “Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian”, dalam Muladi dan
Barda Nawawi Arief, “ Bunga Rampai Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, 1992
19
Munir Fuady, Bisnis Kotor; Anatomi Kejahatan kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm 186

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 55


akibat yang ditimbulkannya sangat membahayakan dan bersinggungan
langsung dengan hajat hidup orang banyak. Masyarakat akan sangat
dirugikan oleh suatu tindak pidana pencemaran atau perusakan lingkungan
hidup.
Keempat adalah kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.
Dengan melihat korban dan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan
korporasi, maka ketika korporasi melalaikan kewajiban yang seharusnya
ia lakukan, sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pembebanan kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak. Manakala korporasi tidak
melakukan kewajibannya tanpa ada alasan yang dibenarkan menurut
peraturan perundang-undangan, tapi murni disebabkan karena
kelalaiannya, hakim dapat menjatuhkan sanksi tindakan berupa kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak.

Sebagai contoh, di dalam menjalankan aktifitasnya, korporasi senantiasa


diwajibkan untuk menjaga agar lingkungan hidup yang ada di sekitar
korporasi tetap terjaga keasriannya, ia tidak boleh tercemar atau rusak
akibat aktivitas yang dijalankan korporasi tersebut. Ketika ternyata
korporasi lalai dengan tidak mengindahkan kewajiban itu, maka hakim
dapat menjatuhkan sanksi berupa suatu kewajiban bagi korporasi agar
mengembalikan lingkungan hidup pada kondisi semula. Bila pada waktu
sebelum korporasi didirikan lingkungan yang ada di sekitarnya masih
bersih, tidak tercemar dan tidak mengalami suatu kerusakan apapun,
namun bila terbukti tercemarnya atau rusaknya lingkungan tersebut
karena kelalaian korporasi, ia harus mengerjakan kewajibannya itu.

Sanksi tindakan berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa


hak pada dasarnya agak mirip dengan bentuk sanksi tindakan lainnya,
yaitu perbaikan akibat tindak pidana yang dilakukan karena kedua bentuk
sanksi tindakan tersebut sama-sama menekankan pada suatu tindakan
tertentu oleh korporasi yang terbukti melakukan kejahatan. Hanya saja
perbedaannya, sanksi tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana
lebih luas sifatnya. Ia bisa saja dijatuhkan oleh hakim kepada korporasi
yang melakukan kejahatan korporasi secara umum, tidak hanya pada
kelalaian korporasi atas kewajiban yang seharusnya dilakukan. Sedangkan
sanksi tindakan berupa kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa
hak, ruang lingkupnya hanya pada kelalaian yang dilakukan, yang mana

56 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


hal itu merupakan kewajibannya.

Kelima adalah penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling


lama 3 (tiga) tahun. Korporasi yang dijatuhi sanksi ini berarti ia berada di
bawah suatu pengawasan. Pengawasan dilakukan agar korporasi tersebut
lebih berhati-hati di dalam menjalankan aktifitasnya. Suatu korporasi yang
dijatuhi hukuman pengawasan, maka ada suatu kewajiban yang harus
dilakukan, yakni memberikan laporan tentang aktifitasnya sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan kepada pihak
terkait yang secara khusus diberi kewenangan untuk mengawasinya.
Korporasi yang diawasi karena terbukti melakukan tindak pidana tidak
hanya dicap sebagai korporasi yang memiliki reputasi buruk tapi juga akan
mengalami kerugian yang besar seiring dengan banyaknya investor yang
tidak tertarik untuk mengivestasikan modalnya pada korporasi tersebut.

3.1.2  Overpenalization dalam Penentuan Sanksi


Pidana
Prinsip proporsionalitas menghendaki agar tindak pidana-tindak
pidana yang memiliki karakter yang sama atau dapat diperbandingkan
seriusitasnya seharusnya diancam dengan pidana yang beratnya dapat
diperbandingkan. Beberapa tindak pidana yang tidak berbeda karakternya
perlu diancam dengan sanksi pidana yang tidak berbeda bobotnya.
Overpenalization dalam penentuan bobot pidana terjadi manakala delik-
delik yang memiliki karakter yang sama atau mirip tingkat seriusitasnya
diancam dengan bobot pidana yang berbeda.20 Overpenalization juga timbul
ketika delik-delik yang memiliki tingkat seriusitas yang berbeda justru
diancam dengan pidana yang sama-sama berat atau bahkan sama-sama
ringan.

Delik dalam Pasal 98 dan Pasal 99 UU PPLH sama-sama merupakan delik


materiil. Kedua pasal tersebut sama-sama mensyaratkan adanya akibat
agar delik terjadi berupa; a) terlampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup; b) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia;
dan c) mengakibatkan orang mengalami luka berat atau mati. Hal yang

20
William W. Berry III, Promulgating...op. cit., hlm. 93-94

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 57


membedakan dari kedua pasal tersebut adalah pada unsur subjektif.
Pasal 98 mensyaratkan perbuatan dilakukan dengan sengaja sehingga
menimbulkan akibat yang dilarang, sedangkan Pasal 99 cukup dilakukan
dengan kelalain. Hal yang logis bila ancaman pidana dalam Pasal 98 lebih
berat dibandingkan dengan ancaman pidana dalam Pasal 99.

Ancaman pidana dalam Pasal 98 ayat (1) berupa pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.000, ayat (2) berupa pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling
sedikit Rp 3.000.000.000dan paling banyak Rp 10.000.000.000, dan ayat (3)
berupa pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan
denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp 12.000.000.000.
Ancaman pidana dalam Pasal 99 ayat (1) berupa pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000dan paling banyak Rp 3.000.000.000, ayat (2) berupa pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000 dan paling banyak Rp 6.000.000.000, dan ayat (3)
berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp 9.000.000.000.

Delik yang karakternya lebih serius daripada delik dalam Pasal 99 adalah
delik yang diatur dalam Pasal 112 yang dinyatakan sebagai berikut:

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan


pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000.

Delik dalam Pasal 112 lebih serius dibandingkan dengan delik dalam Pasal
99 berdasarkan dua alasan. Pertama adalah bahwa pelaku delik dalam
Pasal 112 adalah pejabat seperti Menteri, Gubernur, dan Bupati/walikota.
Kedua adalah bahwa ada dua akibat yang dipersyaratkan untuk terjadinya
delik yakni terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan
hilangnya nyawa manusia. Hilangnya nyawa manusia harus disebabkan
oleh tercemarnya dan/atau rusaknya lingkungan. Berdasarkan dua alasan

58 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


ini, ancaman pidana dalam Pasal 112 harusnya lebih berat daripada
ancaman pidana dalam Pasal 99. Ancaman pidana maksimal terhadap
pelanggaran Pasal 112 hanya pidana penjara paling 1 tahun atau denda
paling banyak 500 juta, lebih ringan daripada ancaman pidana maksimal
dalam Pasal 98 ayat (3) berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan
paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling
banyak Rp 9.000.000.000. Berdasarkan data ini, ancaman pidana pada delik
omisi materiil yang dilakukan secara sengaja yang dilakukan pejabat yang
mensyaratkan dua akibat sekaligus jauh lebih ringan dari pada ancaman
pidana pada delik materiil yang dilakukan karena kealpaan.

UU PPLH juga mengancam pidana yang lebih berat terhadap delik formil
daripada delik materiil sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.
Perbandingan Bobot Pidana antara Delik Materiil dan
Delik Formil dalam UU PPLH

Delik Materiil Bobot Pidana Delik Formil Bobot Pidana


Dengan sengaja Penjara paling Memasukkan Penjara paling
melakukan singkat 3 tahun limbah ke singkat 4
perbuatan yang dan paling dalam wilayah tahun dan
mengakibatkan lama 10 tahun Negara Kesatuan paling lama
dilampauinya dan denda Republik 12 tahun dan
baku mutu udara paling sedikit Indonesia (Pasal denda paling
ambien, baku Rp 3M dan 105) sedikit Rp 4
mutu air, baku paling banyak M dan paling
mutu air laut, Rp 10M banyak Rp 12
atau kriteria
baku kerusakan
lingkungan hidup
(Pasal 98 ayat 1)

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 59


Dengan sengaja Penjara paling Memasukkan Penjara paling
melakukan singkat 4 tahun limbah B3 ke singkat 5
perbuatan yang dan paling dalam wilayah tahun dan
mengakibatkan lama 12 tahun Negara Kesatuan paling lama
dilampauinya dan denda Republik 15 tahun dan
baku mutu udara paling sedikit Indonesia (Pasal denda paling
ambien, baku 4 M dan paling 106) sedikit Rp 5M
mutu air, baku banyak 14 M dan paling
mutu air laut, banyak Rp
atau kriteria 15M
baku kerusakan
lingkungan
hidup yang
mengakibatkan
orang luka
dan/atau bahaya
kesehatan
manusia (Pasal 98
ayat 2)
Diolah oleh Penulis

Tabel di atas menunjukkan bahwa delik dalam Pasal 105 merupakan delik
formil, tapi ancaman pidananya justru lebih berat daripada delik materiil
dalam Pasal 98 ayat (1). Perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 105
adalah ‘memasukkan limbah ke dalam wilayah NKRI’. Limbah di sini tidak
termasuk limbah B3. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 106 adalah
‘memasukkan limbah B3’. Perbuatan ini berpotensi merusak dan/atau
mencemarkan lingkungan, tapi potensi ini baru ada jika limbah B3 tersebut
dibuang ke media lingkungan. Unsur ‘dibuang ke media lingkungan’ bukan
merupakan unsur delik dalam Pasal 106 sehingga tidak proporsional bila
ancaman pidananya lebih berat daripada ancaman pidana dalam Pasal
98 ayat (2). Berdasarkan prinsip proporsionalitas, delik yang serius harus
diancam pidana berdasarkan seriusitasnya,21 dan oleh karena itu, tidak
proporsional apabila delik yang serius yang dirumuskan secara materiil
diancam dengan pidana yang lebih ringan daripada delik serius yang
dirumuskan secara formil.

UU PPLH mengancam bobot pidana yang berbeda terhadap delik yang

21
Shachar Eldar, “Criminal Law, Parental Authority, and the State”, 12, Criminal Law and Philosophy,
2018, hlm. 703

60 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


sama-sama dirumuskan secara formil sebagaimana tabel di bawah ini:

Tabel 2.
Perbandingan Bobot Pidana pada Delik Formil dalam UU PPLH

Rumusan Delik Bobot Pidana Rumusan Delik Bobot Pidana


Melakukan Pidana penjara Memasukkan Penjara paling
dumping limbah paling lama limbah ke dalam singkat 4
dan/atau bahan 3 tahun dan wilayah Negara tahun dan
ke media denda paling Kesatuan Republik paling lama
lingkungan banyak Rp 3 M Indonesia (Pasal 12 tahun dan
hidup tanpa izin 105) denda paling
(Pasal 104) sedikit Rp 4
M dan paling
banyak Rp 12
Diolah oleh penulis

Substansi delik dalam Pasal 105 lebih serius daripada delik dalam Pasal 104
karena sudah melepaskan ketergantungan administratif hukum pidana
(administrative independent crime), tapi delik ini sudah terbukti apabila
limbah dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan tidak dipersyaratkan dimasukkan ke media lingkungan. Delik dalam
Pasal 104 hanya terbukti apabila limbah atau bahan dibuang ke media
lingkungan tanpa izin. Ini artinya, delik dalam pasal ini memiliki karakter
administrative dependent crime sehingga proporsional bila ancaman
pidananya lebih ringan daripada ancaman pidana dalam Pasal 105. Hal
yang tidak proporsional adalah bahwa ancaman pidana dalam Pasal
105 jauh lebih berat daripada ancaman pidana dalam Pasal 104; penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4
miliar dan paling banyak 12 miliar berbanding pidana penjara paling lama
3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar. Ancaman pidana dalam
Pasal 105, dengan demikian, menimbulkan overpenalization bila mengacu
kepada ancaman pidana dalam Pasal 104 dikaitkan pada seriusitas delik
dan persyaratan terbuktinya delik tersebut.

UU PPLH juga memuat ancaman pidana yang sama terhadap delik


yang seriusitasnya justru berbeda. Pasal 110 berbunyi ‘setiap orang
yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal’, sedangkan Pasal 111 berbunyi ‘pejabat pemberi izin lingkungan
yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 61


UKL-UPL’. Ancaman pidana terhadap terhadap kedua pasal ini adalah
sama, yakni pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling
banyak Rp 3.000.000.000. Esensi kedua delik tersebut sama-sama terkait
pelanggaran administrasi, tapi delik dalam Pasal 111 lebih serius karena
memperlemah legitimasi otoritas pemerintah dan mendorong orang lain
untuk tidak mematuhi hukum.22 Beratnya ancaman pidana seharusnya
tidak sama. Penyamaan beratnya ancaman pidana terhadap delik yang
berbeda seriusitasnya berimplikasi pada timbulnya overpenalization.
Ancaman pidana dalam Pasal 110 dan Pasal 111 juga lebih berat daripada
ancaman pidana dalam Pasal 112 yang hanya pidana penjara paling lama
1 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta, meskipun delik dalam Pasal
112 jauh lebih serius karena terkait hilangnya nyawa manusia.

Ancaman pidana dalam Pasal 110 dan Pasal 111 juga lebih berat daripada
ancaman pidana dalam Pasal 113. Perbuatan berupa ‘memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup’ dalam
Pasal 113 merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral (tidak
sekedar pelanggaran administrasi), tapi ancaman pidananya justru hanya
pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 1 miliar. Delik
dalam Pasal 113 padahal lebih serius dibandingkan dengan delik dalam
Pasal 110 dan Pasal 111. Hal yang tidak proporsional bila delik yang lebih
serius diancam dengan pidana yang lebih ringan. Apabila mengacu kepada
seriusitas delik dalam Pasal 110, Pasal 111, dan Pasal 113, maka ancaman
pidana dalam Pasal 110 dan Pasal 111 menimbulkan overpenalization
karena delik yang lebih ringan justru diancam dengan pidana yang lebih
berat.

Ancaman pidana yang justru berbeda beratnya terhadap delik-delik


yang sama seriusitasnya terdapat dalam Pasal 108 UU PPLH mengenai
pembukaan lahan dengan cara membakar berupa pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.000. Delik dalam Pasal 108
UU Perkebunan berupa membuka dan/atau mengolah lahan perkebunan

22
Stuart P. Green, Why It’s a Crime...op.cit, hlm. 1610

62 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


dengan cara membakar diancam dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda 10.000.000.000. Ancaman pidana minumum khusus diatur
dalam UU PPLH, tapi tidak ada pengaturannya dalam UU Perkebunan
terhadap delik yang sama-sama berupa membuka lahan dengan cara
membakar. Dalam hal yang dibakar adalah lahan perkebunan, hakim bisa
menjatuhkan pidana penjara mulai 1 hari sampai 10 tahun. Sebaliknya,
apabila lahan yang dibakar adalah lahan pada umumnya, pidana yang
dapat dijatuhkan mulai 3 tahun hingga 10 tahun penjara dan mulai 3 miliar
hingga 10 miliar.

Ancaman pidana minumum khusus terhadap perbuatan membuka lahan


dengan cara membakar dalam Pasal 108 UU PPLH menimbulkan disparitas
pidana apabila dibandingkan dengan substansi delik dalam Pasal 108 UU
Perkebunan. Hal ini karena delik dalam kedua pasal tersebut sama atau
sifat berbahanya dapat diperbandingkan.23 Hal yang tidak proporsional
jika ancaman pidana minimum khusus hanya diatur dalam UU PPLH,
tapi tidak ada pengaturannya dalam UU Perkebunan. Ancaman pidana
minimum khusus dalam UU PPLH tersebut tidak disertai alasan pembenar
yang jelas dan wajar24 sehingga menimbulkan overpenalization .

3.2. UU Pertambangan

3.2.1  Sanksi Pidana dalam UU Pertambangan


Jenis pidana pokok dalam UU Pertambangan meliputi pidana penjara,
pidana kurungan, dan pidana denda. Ancaman maksimum pidana penjara
bervariasi; pidana penjara maksimum 10 tahun yang diatur dalam Pasal
158, Pasal 159, dan Pasal 161; pidana penjara maksimum 5 tahun yang
diatur dalam Pasal 160 ayat (2); dan pidana penjara maksimum 2 tahun
yang diatur dalam Pasal 165. Ancaman pidana kurungan maksimum
adalah 1 tahun yang diatur dalam Pasal 160 ayat (1) dan Pasal 162. Ancaman
pidana denda maksimal juga bervariasi; pidana denda maksimum Rp
10.000.000.000 yang diatur dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160 (2),
dan Pasal 161; pidana denda maksimum Rp 200.000.000,- yang diatur

23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52
24
Oemar Seno Adji, Hukum-Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1984, hlm.28

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 63


dalam Pasal 160 ayat (1) dan Pasal 165; dan pidana denda maksimum Rp
100.000.000 diatur dalam Pasal 162.

Ancaman pidana dirumuskan secara kumulatif antara pidana penjara


dengan pidana denda (pidana penjara dan pidana denda) dan alterntif
antara kurungan dengan pidana denda (pidana kurungan atau pidana
denda). Pasal 163 ayat (1) UU Pertambangan juga mengancamkan pidana
denda kepada suatu badan hukum yang melakukan tindak pidana
pertambangan mineral dan batubara dengan pemberatan ditambah
sepertiga dari ketentuan maksimum denda yang dijatuhkan.

Pasal 163 ayat (2) UU Pertambangan juga mengatur pidana tambahan yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pertambangan mineral
dan batubaran orang perorangan maupun korporasi yang berupa; a)
perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; danl atau
c) kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Bentuk-
bentuk pidana tambahan pada badan usaha berbadan hukum berupa
pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

UU Pertambangan tidak mengatur aturan pelaksanaan pidana (strafmodus)


baik orang pelaku orang perorangan maupun korporasi. Ancaman pidana
hingga maksimal 10 miliar dan ditambah sepertiga jika dilakukan oleh
korporasi tidak memiliki arti atau efek apapun karena tidak dibarengi
dengan ketentuan bagaimana jika kedua jenis pelaku tersebut tidak mampu
membayar denda. Ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) KUHP yang
menyatakan bahwa pidana kurungan pengganti denda adalah paling lama
6 bulan secara otomatis berlaku. Seseorang akan lebih memilih menjalani
pidana kurungan paling lama 6 bulan daripada harus membayar denda
sebesar 10 miliar. Ketentuan pidana kurungan pengganti denda ini tidak
dapat diterapkan kepada korporasi.

3.2.2  Overpenalization dalam Penentuan Sanksi


Pidana
Overpenalization dalam penentuan sanksi pidana terjadi ketika bobot
ancaman pidana berbeda terhadap delik-delik yang sama atau mirip

64 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


tingkat seriusitasnya.25 Pemahaman bahwa delik-delik tertentu memiliki
seriusitas yang sama atau setidak-tidaknya mirip adalah dengan beberapa
cara. Pertama adalah bahwa kepentingan hukum yang hendak dilindungi
dari dilaranganya suatu perbuatan adalah sama. Sebagai contoh, delik-
delik terkait pelanggaran izin dalam Undang-undang bidang lingkungan
hidup ditujukan untuk adanya tertib administrasi atau mencegah
timbulnya kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Bobot
ancaman pidana terhadap delik-delik semacam ini seharusnya sama atau
dapat diperbandingkan beratnya. Bobot pidana terhadap delik-delik ini
seyogianya lebih ringan dibandingkan dengan bobot pidana terhadap
delik-delik seperti pembunuhan, penganiayaan yang mengakibatkan
matinya orang, atau pemerkosaan.26

Kedua adalah karakteristik suatu tindak pidana. Tindak pidana-tindak


pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan transnasional (transnational
crimes) seperti korupsi, pencucian uang, perdangangan orang, narkotika,
perusakan hutan, terorisme, pencurian ikan, dan perdagangan senjata
api ilegal merupakan delik yang tingkat seriusitasnya sama atau mirip.
Penentuan bobot pidana terhadap delik-delik tersebut seharusnya
dapat diperbandingkan. Bobot pidana terhadap delik-delik tersebut juga
seyogianya lebih berat dibandingkan bobot pidana terhadap pelanggaran
administrasi yang diancam dengan sanksi pidana.

Ketiga adalah kriteria seriusitas delik yang didasarkan pada dua komponen
utama, yaitu kerugian dan kesalahan.27 Kerugian mengacu kepada tingkat
kerugian atau risiko yang ditimbulkan. Kerugian di sini dapat berupa; a)
kerugian personal, kerugian sosial, kerugian institusional, dan kerugian
negara; b) kerugian materiial dan immateriil; 3) kerugian aktual maupun
potensial; dan 4) kerugian fisik dan kerugian psikis. Kesalahan terkait
kesengajaan, kealpaan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya seperti
provokasi korban atas terjadinya kejahatan. Bobot pidana terhadap
delik yang menimbulkan kerugian/korban aktual seharusnya lebih berat
dibandingkan dengan bobot pidana terhadap delik yang baru menimbulkan
korban potensial. Bobot pidana terhadap delik yang dilakukan karena

25
William W. Berry III, “Promulgating Proportionality”, Georgia Law Review, 46, 2011, hlm. 93-94
26
James Headley, “Proportionality Between Crimes, Offenses, and Punishments”, Saint Thomas Law
Review, 17, 2004, hlm. 249
27
Andrew von Hirsch, Communsurability and Crime Prevention...op.cit., hlm. 214

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 65


kesengajaan juga seharusnya lebih berat daripada delik yang dilakukan
karena kealpaan.

Delik-delik dalam UU Pertambangan dapat dikelompokkan ke dalam dua


hal. Pengelompokan delik ini seyogianya berimplikasi kepada beratnya
ancaman sanksi pidananya. Pertama adalah pelanggaran terhadap izin
sebagaimana diatur di Pasal 158, Pasal 160 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
161, dan Pasal 165. Bentuk-bentuk delik berupa pelanggaran izin dan
perbandingan bobot pidananya terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel. 3
Delik-delik terkait Pelanggaran Izin
dalam UU Pertambangan dan Perbandingan Bobot Pidananya

Pasal Rumusan Delik Bobot Pidana


158 Setiap orang yang melakukan Pidana penjara paling lama
usaha penambangan tanpa IUP, 10 tahun dan denda paling
IPR atau IUPK banyak Rp.10 miliar
160 (1) Setiap orang yang melakukan Pidana kurungan
eksplorasi tanpa memiliki IUP paling lama 1 tahun atau
atau IUPK denda paling banyak
Rp. 200 juta
160 (2) Setiap orang yang mempunyai Pidana penjara paling lama
IUP Eksplorasi tetapi melakukan 5 tahun dan
kegiatan operasi produksi denda paling banyak Rp. 10
miliar
161 Setiap orang atau pemegang Penjara paling lama 10
IUP Operasi Produksi atau tahun dan denda paling
PUPK Operasi Produksi yang banyak Rp. 10 miliar
menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan
pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara
yang bukan dari pemegang IUP,
IUPK, atau izin
165 Setiap orang yang mengeluarkan Pidana penjara paling lama
IUP, IPR, atau IUPK yang 2 tahun dan denda paling
bertentangan dengan Undang- banyak 200 juta
undang ini dan menyalahgunakan
kewenangannya
Diolah oleh penulis

66 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Berdasarkan tabel di atas, tampak bahwa bobot pidana terhadap delik-
delik terkait pelanggaran izin berbeda atau setidak-tidaknya tidak dapat
diperbandingkan. Bobot pidana terhadap pelanggaran ‘kegiatan usaha
pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK’ (Pasal 158), dan ‘menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan,
penjualan mineral dan batubara yang bukan dari pemegang IUP, IUPK,
atau izin’ adalah sama-sama berupa pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak 10 miliar. Bobot pidana penjara terhadap
pelanggaran berupa ‘mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan
operasi produksi’ justru lebih rendah yakni paling lama 5 tahun penjara,
meskipun bobot pidana dendanya adalah sama. Bobot pidana terhadap
pelanggaran berupa ‘melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK’
adalah pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak.
Padahal, substansi delik ini adalah sama dengan delik berupa ‘melakukan
kegiatan usaha pertambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK’.

Bobot pidana terhadap Bupati/walikota, Gubernur atau Menteri yang


‘mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-
undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya’ justru diancam
dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 200
juta. Bobot pidana ini jauh lebih rendah daripada bobot pidana terhadap
delik berupa ‘melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK’
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak 10 miliar. Bobot pidana terhadap pejabat yang melakukan
delik hanya pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
200 juta. Bobot pidana terhadap pelanggaran izin yang lain seharusnya
lebih rendah karena tidak terkait dengan jabatan atau setidak-tidaknya
sama karena sama-sama merupakan pelanggaran izin.

Kedua adalah delik terkait keterangan palsu sebagaimana diatur dalan


Pasal 159. Substansi delik ini terkait dengan perbuatan yang tercela secara
moral (morally/intrinsically wrong). Bobot pidana terhadap pelanggaran
berupa ‘Pemegang IUP, IPH, atau IUPK yang dengan sengaja menyampaikan
laporan dengan tidak benar atau menyampaikan keterangan palsu’ adalah
pidana penjara paling lama 10 tahun denda paling banyak 10 miliar. Bobot
pidana dalam Pasal 159 sama dengan bobot pidana dalam Pasal 158 dan
Pasal 161. Dengan melihat pada kesamaan bobot pidananya, ini berarti
bahwa delik dalam ketiga pasal tersebut memiliki tingkat keseriusan yang

3. Overpenalization Dalam UU Bidang Lingkungan Hidup 67


sama. Delik dalam Pasal 158 dan Pasal 161 padahal merupakan pelanggaran
administrasi yang diancam dengan sanksi pidana. Bobot pidana dalam
Pasal 158 dan Pasal 161, dengan demikian, menimbulkan overpenalization
jika dibandingkan dengan bobot pidana dalam Pasal 159.

68 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


4

Pencegahan Overpenalization
dalam Penentuan Sanksi Pidana dalam UU
Bidang Lingkungan Hidup

4.1. Konsep dan Penentuan Seriusitas Delik


Buku ini mengartikan seriusitas delik dalam konteks kategorisasi delik,
yaitu pengkategorian delik berdasarkan seriusitasnya, seperti kategori delik
ringan, kategori delik berat, dan kategori delik yang sangat serius. Perspektif
kriminologis menunjukkan bahwa tidak ada konsensus mengenai konsep
seriusitas delik. Setiap masyarakat memiliki cara pandang yang berbeda
mengenai konsep ini dan indikator yang digunakan. Konsep ini juga terikat
dengan waktu, dalam arti tindak pidana tertentu yang oleh masyarakat
saat ini dianggap sebagai tindak pidana yang paling serius belum tentu
dianggap sebagai tindak pidana paling serius oleh masyarakat pada waktu
mendatang. Perbedaan budaya juga menghasilkan persepsi yang berbeda
tentang seriusitas delik, bahkan dalam satu komunitas yang memiliki
kesamaan budaya juga memiliki persepsi yang berbeda mengenai konsep
ini.1

Penentuan seriusitas delik dalam perspektif hukum pidana pada


umumnya mengacu kepada dua cara.2 Pertama adalah mengacu kepada
kerugian atau ketercelaan suatu perbuatan. Cara pertama ini mengacu
kepada elemen objektif (perbuatan) dalam suatu rumusan delik seperti
kerugian yang dialami korban atau kerugian yang pada umumnya diderita

1
Michael O’Connell and Anthony Whelan, “Taking Wrongs Seriously Public Perceptions of Crime
Seriousness”, British Journal of Criminology, 36, 1996, hlm. 300-302
2
Susan F. Mandiberg, Locating the Environmental Harm...op. cit., hlm. 1178

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 69


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
oleh masyarakat akibat suatu tindak pidana.3 Cara pertama ini masih
mengandung empat variabel, yaitu yang menekankan pada perbuatan,
yang menekankan pada akibat, yang menekankan pada keadaanya yang
menyertai perbuatan atau akibat, dan yang menekankan pada perbuatan,
akibat, dan keadaan-keadaan yang menyertainya.4 Berdasarkan cara
pertama ini, tindak pidana-tindak pidana yang menimbulkan kerugian/
penderitaan fisik kepada korban seperti pembunuhan dianggap sebagai
tindak pidana yang paling serius. Sebaliknya, tindak pidana yang terkait
harta benda seperti pencurian, penipuan dan penggelapan dianggap lebih
ringan dari pada pembunuhan.5

Kedua adalah mengacu kepada kesalahan atau ketercelaan pelanggar


(the culpability of offender) seperti faktor niat, motif, dan keadaan yang
menyertai ketercelaan pelanggar.6 Tindak pidana yang dilakukan dengan
sengaja lebih serius daripada tindak pidana yang dilakukan karena
kealpaan. Pembunuhan yang dilakukan secara sengaja lebih serius
daripada kealpaan yang mengakibatkan matinya orang lain.

4.2. Seriusitas Delik dalam UU Bidang Lingkungan dan


Gradasinya
Delik-delik dalam UU PPLH dan UU Pertambangan perlu disusun
berdasarkan seriusitasnya. Delik-delik yang memiliki tingkat seriusitas
yang sama atau mirip seharusnya dikelompokkan atau dikategorisasikan
ke dalam satu peringkat delik yang sama sehingga memenuhi prinsip
paritas. Ada dua alasan mengapa hal ini perlu dilakukan. Pertama,
untuk memenuhi tuntutan keadilan (fairness) sebagai tujuan akhir teori
proporsionalitas pidana. Keadilan dalam penelitian ini adalah keadilan
pada tahap formulasi yang mempengaruhi kebijakan hukum pidana
pada aplikasi dan tahap eksekusi. Delik-delik pada kedua UU tersebut
memiliki keberagaman seriusitas delik, dan oleh karena itu, beratnya
pidana seharusnya mencerminkan realitas ini. Kedua, sistem graduasi
delik berdasarkan seriusitasnya menyelamatkan penuntut umum untuk

3
Julia L. Torti, “Accounting for Punishment in Proportionality Review”, New York University Law
Review, 88, 2013, hlm. 1918-1919
4
Susan F. Mandiberg, Locating...op.cit., hlm. 1178
5
Geoff Fisher, Sentencing Severity for ‘Serious’and ‘Significant’ Offences: A Statistical Report, Sentencing
Advisory Council, Australia, 2011, hlm. 2
6
Andrew Von Hirsch, Commensurability and Crime Prevention...op. cit., hlm. 214

70 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


membuktikan secara berlebihan delik-delik yang sebenarnya hanya perlu
pembuktian ringan atau sederhana.7

Konsep seriusitas delik dalam UU PPLH dan UU Pertambangan mengacu


kepada empat model kriminalisasi terhadap delik-delik lingkungan hidup
berbasis kepentingan dan kerugian lingkungan yang telah diuraikan pada
bagian terdahulu, yaitu bahaya abstrak (abstract endangerment), bahaya
konkrit (concrete endangerment), kerugian nyata (concrete harm), dan
kerugian lingkungan yang serius (serious environmental pollution). Keempat
model ini sebenarnya merefleksikan sistem graduasi delik berdasarkan
seriusitasnya baik dilihat dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi
maupun kerugian atau ancaman kerugian yang ditimbulkan.

Delik-delik yang masuk ke dalam model abstract endangerment sebenarnya


murni merupakan pelanggaran administrasi, tidak ada kontak langsung
antara bahan tercemar dengan lingkungan, dan melindungi nilai-nilai
ekologis secara tidak langsung melalui penyediaan mekanisme intervensi
bagi pemerintah untuk mencegah timbulnya kerugian lingkungan.8 Dalam
UU PPLH, delik-delik yang masuk dalam model ini berupa; a) melakukan
usaha dan/atau kegiatan (UKL-UPL) tanpa memiliki izin lingkungan (Pasal
109); c) menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal (Pasal 110);) dan d) menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi
dengan UKL-UPL atau menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa
dilengkapi dengan izin lingkungan (Pasal 111). Bentuk-bentuk tindak
pidana dalam UU Pertambangan yang masuk ke dalam model ini adalah
melakukan usaha penambangan tanpa IPR (Pasal 158) dan mengeluarkan
IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan
menyalahgunakan kewenangannya (Pasal 165). Delik-delik tersebut perlu
ditempatkan ke dalam kelompok delik yang memiliki tingkat seriusitas
yang sama/mirip sehingga memenuhi prinsip paritas.

Delik-delik dalam model concrete endangerment lebih serius daripada delik-


delik dalam model abstract endangerment karena sudah melindungi nilai-
nilai ekologis secara langsung. Penuntut umum juga wajib membuktikan
bahwa perbuatan tertentu dilakukan secara melawan hukum (melanggar
izin atau peraturan administratif) dan mengancam baik terhadap

7
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 493-494
8
Ibid., hlm. 496-497

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 71


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
kerusakan/pencemaran lingkungan maupun terhadap kesehatan,
keselamatan atau harta benda manusia.9 Bentuk-bentuk tindak pidana
dalam UU PPLH yang masuk ke dalam model ini, yaitu; a) melepaskan dan/
atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
yang bertentangan dengan izin lingkungan (Pasal 101); b) melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan (Pasal 100); c)
melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102); d) menghasilkan
limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal 103); dan e) melakukan
dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
(Pasal 104). Bentuk-bentuk tindak pidana dalam UU Pertambangan yang
masuk ke dalam model ini adalah melakukan usaha penambangan tanpa
IUP atau IUPK (Pasal 158), melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP dari
Bupati, Gubernur atau Menteriatau IUPK dari Menteri (Pasal 160 ayat
(1), dan mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi
produksi (Pasal 160 ayat (2).

Esensi dari tindak pidana-tindak pidana tersebut memenuhi kriteria model


kriminalisasi berbasis concrete endangerment karena ada kontak antara
bahan tercemar dengan lingkungan. Perbuatan tersebut juga mengancam
kerusakan/pencemaran lingkungan, dan dilakukan secara melawan
hukum dalam bentuk tanpa izin atau melanggar peraturan atau kewajiban
administrasi.10 Delik-delik tersebut, oleh karenanya, perlu ditempatkan ke
dalam kelompok delik yang memiliki tingkat kategori yang sama/mirip
sehingga memenuhi prinsip paritas.

Substansi delik-delik dalam model concrete endangerment lebih ringan


seriusitasnya daripada subtasnsi delik model concrete harm. Meskipun
kedua model ini sama-sama dicirikan dengan adanya ketergantungan
administratif hukum pidana, tapi kerugian lingkungan dalam delik model
concrete harm harus berupa kerugian lingkungan secara nyata (actual harm)
sehingga hubungan kausalitas (sebab-akibat) wajib dibuktikan.11 Penuntut
umum wajib membuktikan bahwa timbulnya kerusakan/pencemaran
lingkungan atau kematian manusia disebabkan oleh perbuatan pelaku.
Hal yang logis bila delik dalam concrete harm lebih serius daripada delik
dalam model concrete endangerment. Faktor kerugian nyata dan kewajiban

9
Ibid., hlm. 497-498
10
Susan F. Mandiberg, Locating the Environmental Harm...op.cit., hlm. 1196
11
Ibid., hlm. 498

72 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


pembuktian hubungan sebab akibat merupakan alasan mengapa delik
dalam model concrete harm lebih serius daripada delik dalam model
concrete endangerment.

Tindak pidana dalam UU PPLH yang masuk ke dalam model kriminalisasi


berbasis concrete harm diatur dalam Pasal 112 yaitu, pejabat berwenang
yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundangundangan dan izin lingkungan yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia. Pasal ini mensyaratkan adanya kerugian
aktual pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan hilangnya
nyawa manusia, tapi keberadaannya tetap masih berupa ketergantung
administratif hukum pidana. Frase ‘...terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan...’ membuktikan hal itu.

Dibandingkan dengan delik dalam model abstract endangerment, concrete


endangerment, dan concrete harm, substansi delik dalam model seriuos
environmental pollution merupakan kategori delik yang paling serius.
Sekalipun delik-delik dalam model concrete harm dan model seriuos
environmental pollution mensyaratakan adanya kerugian lingkungan
secara nyata, tapi kerugian lingkungan dalam model seriuos environmental
pollution lebih serius dan ekstrem, seperti polusi berkepanjangan,
kesehatan manusia, atau luka yang parah atau bahkan terhadap
penduduk.12 Model seriuos environmental pollution juga sudah melepaskan
diri dari ketergantungan administratif hukum pidana, dalam arti perbuatan
tertentu tetap dikategorikan sebagai tindak pidana apabila menimbulkan
akibat yang sangat serius terhadap lingkungan walaupun pembuat delik
telah mematuhi izin atau persyaratan-persyaratan/peraturan administratif
lainnya.13

Tindak pidana yang masuk dalam model serious environmental pollution


dalam UU PPLH antara lain; a) dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (Pasal
98 ayat 1); b) melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335-336
13
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 480

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 73


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
98 ayat (1) yang mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia (Pasal 98 ayat 2); c) melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) yang mengakibatkan orang luka berat atau mati
(Pasal 98 ayat 3); d) karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup (Pasal 99 ayata 1); e) melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1) yang mengakibatkan
orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia (Pasal 99 ayat 2); f)
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (1)
yang mengakibatkan orang luka berat atau mati (Pasal 99 ayat 3); g) dan
melakukan pembakaran lahan (Pasal 108). Semua bentuk tindak pidana
tersebut memenuhi kriteria dalam model ini karena sudah melepaskan
dari ketergantungan administratif hukum pidana dan timbulnya kerugian
lingkungan.

Delik dalam UU PPLH berupa ‘memasukkan limbah ke dalam wilayah


Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (Pasal 105), ‘memasukkan limbah B3
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik’ (Pasal 106), dan ‘melakukan
pembakaran lahan’ (Pasal 108) juga perlu dimasukkan ke dalam model
serious environmental pollution. Substansi kedua bentuk delik ini
sebenarnya sudah mengeliminasi ketergantung administatif hukum
pidana meskipun pembuktian sebab akibat (kausalitas) tidak diperlukan
karena delik dirumuskan secara formil. Perumusan delik secara formil
berimplikasi kepada bobot pidana yang diancamkan.

Berdasarkan uraian di atas, delik-delik dalam model abstract endangerment


menempati peringkat/kategori delik paling ringan, disusul dengan delik-
delik dalam model concrete endangerment di atasnya, kemudian delik-delik
dalam model concrete harm, dan delik dalam model seriuos environmental
pollution yang menempati kategori delik yang paling serius. Peringkat
seriusitas/kategori delik dalam UU PPLH dan UU Pertambangan dalam
konteks teori proporsionalitas ordinal sesuai dengan rank-ordering yang
menghendaki bahwa beratnya ancaman pidana yang relatif merefleksikan
peringkat seriusitas/kategori delik. Setelah delik disusun berdasarkan
peringkat atau gradasi seriusitas/kategorisasinya, maka bobot pidana
perlu ditetapkan berdasarkan seriusitasnya, dalam arti ada harmonisasi
atau singkronisasi bobot delik berdasarkan peringkat kategorisasi delik.
Dalam bahasa Barbara A. Hudson, konteks disebut dengan “...ranking

74 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


offences according to seriousness and then establishing a scale of penalties
of commensurate severity”.14

4.3. Penentuan Berat Ringannya Ancaman Sanksi Pidana


Berdasarkan Seriusitas Delik dalam UU Bidang
Lingkungan Hidup
Setelah delik-delik dalam UU PPLH dan UU Pertambangan disusun
berdasarkan peringkat seriusitas/kategorisasinya, maka penentuan
beratnya ancaman pidana perlu didasarkan atau mengacu kepada
peringkat seriusitas delik dimaksud untuk mencegah atau menghindari
timbulnya pidana yang tidak proporsional.15 Beratnya ancaman pidaan
harus sebanding (proporsional) dengan seriusitas delik. Semakin serius
suatu delik, semakin berat ancaman pidananya.16 Delik-delik yang masuk
ke dalam kelompok delik yang ringat, sebaliknya, harus diancam pidana
berdasarkan ringannya delik tersebut. Empat model kriminalisasi di
atas dalam konteks ini sebenarnya mencerminkan peringkat seriusitas/
kategorisasi delik.

Delik dalam model serious environmental pollution merupakan delik


yang paling serius, oleh karena itu, ancaman pidana pada delik tersebut
paling berat, disusul dengan ancaman pidana yang lebih ringan pada
delik model concrete harm, kemudian ancaman pidana yang lebih ringan
pada delik dalam model concrete endangerment, dan terakhir ancaman
pidana yang paling ringan pada delik dalam model abstract endangerment.
Sistem pengancaman beratnya pidana yang demikian berbasis seriusitas
delik sehingga mencerminkan keadilan sebagai tujuan akhir teori
proporsionalitas pidana.

Penetapan beratnya ancaman pidana berdasarkan seriusitas suatu delik


perlu diikuti dengan spacing of penalties yang berisi penentuan jarak antara
kelompok delik yang satu dengan kelompok delik yang lain baik yang
lebih serius maupun yang lebih ringan. Delik-delik dalam model serious

14
Barbara A. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in
Modern Penal Theory, Open University Press, Philadephia, 1996, hlm. 45
15
Fernando Molina, A Comparison between Continental...op.cit., hlm. 126
16
Douglas Husak, ”Is the Criminal Law Important?”, Ohio State Journal of Criminal Law, 1, 2003, hlm.
269. Mirko Bagaric &Sandeep Gopalan, “Saving the United States from Lurching To Another Sentencing
Crisis: Taking Proportionality Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis University Law
Journal, 2016, hlm. 198. John Griffiths, “The Limits of Criminal Law Scholarship, Yale Law Journal, 79, 1970,
hlm. 1454

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 75


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
environmental pollution merupakan delik yang paling serius dibandingkan
dengan delik dalam model concrete harm, sehingga perlu ada jarak pidana
antara keduanya. Jarak pidana ini juga perlu ditetapkan antara delik dalam
model concrete harm dengan delik model concrete endangerment maupun
antara delik dalam model concrete endangerment dan delik dalam model
abstract endangerment. Perlunya jarak pidana antara delik yang serius
dengan delik yang ringan, sekali lagi, untuk memenuhi keadilan sebagai
tujuan teori proporsionalitas.

Bagaimana operasionalisasi dari prinsip penentuan beratnya ancaman


pidana perlu didasarkan atau mengacu kepada peringkat seriusitas
(rank-ordering) dan jarak pidana antara delik yang serius dengan delik
yang ringan (spacing of penalties) dalam UU PPLH dan UU Pertambangan
sehingga mencerminkan ide proporsionalitas pidana? Menurut peneliti,
penentuan bobot pidana (strafmaat) demikian juga harus mengkaitkan
dengan penetapan mengenai jenis pidana (strafsort) dan aturan
pelaksanaan pidana (strafmodus).17 Jenis pidana perlu ditetapkan terlebih
dahulu untuk tiap-tiap kelompok delik, baru kemudian dirumuskan bobot
pidana dan aturan pelaksanaan pidana.

Delik-delik dalam model abstract endangerment sebagai pelanggaran


administrasi yang tidak mengancam terhadap kerusakan/pencemaran
lingkungan sehingga perlu didekriminalisasi yang diikuti depenalisasi,
yaitu penghilangan ancaman pidana tanpa menafikan kemungkinan
adanya penjatuhan sanksi yang lain melalui sanksi perdata atau sanksi
administrasi.18 Apabila delik-delik tersebut tetap dipertahankan untuk
dikriminalisasi, maka jenis pidananya perlu dibatasi hanya pada pidana
denda dengan mengadopsi sistem perumusan pidana pada Environmenal
Protection Management Act, Singapura 1999 dan terakhir direvisi pada
tahun 2008. Hal demikian didasarkan pada alasan bahwa selain karena
murni merupakan pelanggaran administrasi, substansi delik pada model
ini juga tidak mengancam terhadap kerusakan/pencemaran lingkungan
karena tidak ada kontak langsung antara bahan tercemar dan lingkungan.

Secara lebih rinci, UU ini mengkriminalisasi lima bentuk delik. Pertama

17
Barda Nawawi Arief, “Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana dalam PerUndang-
undangan” dalam Barda Nawawi Arief, Bahan Kuliah/Handout Program Doktor Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm 5
18
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum...op.cit., hlm. 154

76 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


adalah delik terkait kewajiban melaporkan pembuangan limbah. Delik
jenis pertama ini diatur di dalam section 15 (1), (3), dan (5). Kedua adalah
delik terkait pembuangan limbah berbahaya dan beracun (B3) ke media
lingkungan yang diatur di dalam section 17 dan 18. Ketiga adalah delik
terkait pencegahan timbulnya pencemaran lingkungan yang diatur di
dalam section 19 dan section 25. Keempat adalah delik terkait kewajiban
menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan yang diatur di dalam
section 26 (1), (2), dan (3). Kelima adalah delik terkait B3 yang diatur di
dalam section 22, 23, dan section 24. Perbuatan-perbuatan yang dilarang
dalam EPMA semuanya dirumuskan sebagai delik formil. Dari lima jenis
perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi, hanya satu delik yang ancaman
sanksi pidananya berupa alternatif pidana denda atau pidana penjara
yakni mengenai pembuangan B3 ke air. Mayoritas delik justru hanya
diancam dengan pidana denda yang dirumuskan secara tunggal.

Bobot pidana denda maksimal pada delik dalam model abstract


endangerment disamakan dengan bobot maksimal pidana denda, yakni
pidana denda paling banyak 3 miliar. Pidana minimum khusus tidak perlu
diancamkan terhadap delik dalam model ini karena hanya merupakan
pelanggaran administrasi yang tidak mengancam terhadap kerusakan/
pencemaran lingkungan hidup. Apabila denda tidak dibayar oleh pelaku,
maka harta terpidana dirampas dan disita oleh jaksa, serta dilelang untuk
membayar denda.19 Apabila harta yang dirampas ternyata lebih sedikit
dari jumlah denda yang wajib dibayar, maka terpidana menjalani pidana
penjara paling lama 1 tahun.

Jenis pidana (strafsort) pada delik-delik dalam model concrete


endangerment seyogianya dibatasi hanya pada pidana denda dengan
mengacu kepada apa yang diatur dalam perundang-undang lingkungan
Singapura. Menurut peneliti, ada tiga alasan mengapa jenis pidana pada
delik dalam model ini dibatasi hanya pada pidana denda. Pertama adalah
bahwa substansi delik-delik pada model ini sebenarnya merupakan
pelanggaran terhadap persyaratan-persyaratan atau kewajiban-kewajiban
administrasi. Sekalipun delik-delik dalam model ini melindungi nilai-
nilai ekologis secara langsung, tapi eksistensinya tetap bergantung kepada

19
Bandingkan dengan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, bahwa ‘Jika terpidana korporasi tidak membayar
denda, maka harta benda korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda’.

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 77


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
peraturan-peraturan administrasi. Delik-delik dalam model ini masih
menggantungkan sepenuhnya kepada prosedur administrasi untuk
menetapkan suatu tindak pidana. Kedua adalah ketercelaan perbuatan
pada delik-delik dalam model ini terletak pada tidak dipatuhinya prosedur,
persyaratan, atau kewajiban administrasi. Sepajang prosedur, persyaratan,
atau kewajiban tersebut dilaksanakan, maka suatu perbuatan tidak
dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Ketiga adalah bahwa delik-delik
dalam model ini tidak mensyaratkan adanya kerugian lingkungan secara
faktual, melainkan cukup pada ancaman kerugian lingkungan. Delik-delik
tersebut belum menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan.

Setelah ditentukan bahwa jenis pidana pada delik-delik dalam model


concrete endangerment dibatasi pada pidana denda, hal yang paling sulit
adalah menentukan bobot pidananya. Kesulitan ini terutama karena
tidak ada pola penentuan bobot pidana terhadap delik-delik lingkungan
dalam kebijakan legislatif saat ini. Kesulitan ini juga diperparah dengan
realitas bahwa bobot pidana denda pada delik-delik dalam model concrete
endangerment dalam UU PPLH maupun UU sektoral bidang lingkungan
hidup ternyata beragam. Bobot pidana denda pada delik-delik ini dalam UU
PPLH bervariasi, antara lain; a) pidana denda paling banyak 1 miliar atas
tidak dilaksanakannya paksaan pemerintah (Pasal 114); b) pidana denda
paling banyak 3 miliar untuk pelanggaran baku mutu air limbah, baku
muku emisi, atau baku mutu gangguan (Pasal 100 ayat 1), melepaskan/
mengedarkan produk rekayasa genetik tanpa izin lingkungan (Pasal 101),
dan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan tanpa izin
(Pasal 104); dan c) pidana denda paling sedikit 1 miliar dan paling banyak 3
miliar atas pengelolaan limbah B3 tanpa izin (Pasal 102) dan menghasilkan
limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan (Pasal 103).

Bobot pidana denda pada delik-delik dalam model concrete endangerment


dalam UU sektoral bidang lingkungan hidup juga bervariasi. Pidana
denda terhadap delik berupa ‘melakukan pemanfaatan ruang Laut secara
menetap yang tidak memiliki izin lokasi’ paling banyak 20 miliar (Pasal
49 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan). Pidana
denda terhadap delik berupa ‘memanfaatkan ruang tidak sesuai dnegan
izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang’ atau delik berupa
‘tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang’ paling banyak 500 juta (Pasal 70 ayat (1) dan Pasal

78 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


70 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Pidana
denda terhadap delik berupa ‘memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI
yang tidak memiliki SIPI’ bahkan paling banyak 20 miliar (Pasal 93 ayat (2)
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.).

Pidana denda terhadap delik berupa ‘melakukan usaha budi daya


Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha
Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak
memiliki izin Usaha Perkebunan’ paling banyak 10 miliar dalam Pasal 105
UU Perkebunan sama dengan jumlah denda paling banyak terhadap delik
berupa ‘melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK’ dalam
Pasal 158 UU Minerba. Pidana denda terhadap delik berupa ‘secara melawan
hukum memasukkan dan/atau mengimpor sampah rumah tangga dan/atau
sampah sejenis sampah rumah tangga ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia’ paling sedikit 100 juta dan paling banyak 3 miliar atau
delik berupa ‘secara melawan hukum memasukkan dan/atau mengimpor
sampah spesifik ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ paling
sedikit 200 juta dan paling banyak 5 miliar (Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah).

Berdasarkan data di atas, bobot pidana terhadap delik-delik dalam model


concrete endangerment ternyata tidak sama; ada yang mengancam dengan
ancaman pidana minimum khusus seperti yang diatur dalam Pasal 102
dan Pasal 103 UU PPLH dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; ada yang ancaman
pidana denda maksimal hingga 20 miliar seperti dalam Pasal 49 Undang-
undang Kelautan; ada juga yang ancaman pidana denda maksimal hanya
sebesar 500 juta. Mengapa bobot pidana denda ditetapkan demikian oleh
pembentuk Undang-undang, tidak dapat dilacak argumentasinya. Hal
yang diketahui secara umum adalah bahwa pembahasan Undang-undang
bidang lingkungan hidup tidak dilakukan secara integral dan sistematis
sehingga cukup beralasan apabila bobot pidana denda pada delik-delik
yang substansinya masuk ke dalam model concrete endangerment berbeda
dan beragam.

Peneliti berpendapat bahwa bobot pidana terhadap delik-delik dalam

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 79


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
model concrete endangerment seharusnya sama atau setidak-tidaknya
dapat diperbandingkan beratnya, misalnya, pidana denda paling banyak 4
miliar untuk semua delik yang masuk ke dalam model ini. Pidana minimum
khusus tidak perlu diancamkan karena delik terkait pelanggaran terhadap
persyaratan-persyaratan atau kewajiban-kewajiban administrasi dan
belum menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Penentuan
bobot pidana denda maksimal yang demikian juga perlu diikuti dengan
aturan pelaksanaan pidana denda agar dapat dilaksanakan oleh penuntut
umum yang bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan.

UU PPLH dan UU Pertambangan sama sekali tidak mengatur aturan


pelaksanaan pidana denda, sehingga ancaman pidana denda sebesar
15 miliar sekalipun tidak akan efektif apabila tidak diikuti oleh aturan
pelaksanaan denda. Hal ini karena apabila denda tidak dibayar, maka
sesuai dengan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) KUHP diganti dengan pidana
kurungan yang lamanya paling sedikit satu hari dan paling lama 6 bulan.
Secara rasional, seseorang akan memilih menjalani pidana kurungan paling
lama 6 bulan daripada membayar denda sebesar 15 miliar. Agar ketentuan
Pasal 30 KUHP tersebut tidak berlaku, UU PPLH dan UU Pertambangan
perlu mengatur bahwa apabila denda tidak dibayar oleh terpidana, maka
harta terpidana dirampas dan disita oleh jaksa, serta dilelang untuk
membayar denda.20 Apabila harta yang dirampas ternyata lebih sedikit
dari jumlah denda yang wajib dibayar, maka terpidana menjalani pidana
penjara paling lama 1 tahun.

Jenis pidana yang ditetapkan terhadap delik-delik dalam model concrete


harm adalah pidana denda dan pidana penjara yang dirumuskan secara
kumulatif. Sekalipun delik-delik dalam model ini masih mencerminkan
administrative dependent of environmental criminal law, tapi delik-delik
tersebut telah menimbulkan kerugian baik berupa kerusakan/pencemaran
lingkungan maupun berupa gangguan terhadap kesehatan, hilangnya
harta benda atau bahkan nyawa manusia. Hal yang logis apabila pidana
yang diancamkan berupa pidana denda dan pidana penjara. Bobot
pidana maksimal pada delik-delik dalam model concrete harm lebih berat

20
Bandingkan dengan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, bahwa ‘Jika terpidana korporasi tidak membayar
denda, maka harta benda korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda’.

80 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


dibandingkan bobot pidana maksimal pada delik dalam model concrete
endangerment. Menurut Michael Faure, apabila tindak pidana dalam model
ini menimbulkan kerugian terhadap manusia, maka ancaman pidananya
lebih berat daripada kerugian terhadap lingkungan hidup.21 Sebagai contoh,
apabila bobot pidana denda pada delik dalam concrete endangerment
paling banyak 4 miliar, maka bobot pidana denda pada model concrete
harm yang menimbulkan kerugian terhadap lingkungaan adalah 8 miliar
dan pidana penjara paling lama 8 tahun. Apabila kerugian ini diderita oleh
manusia seperti luka berat, maka pidana denda diperberat menjadi paling
banyak 10 miliar dan pidana penjara paling lama 10 tahun. Apabila delik
tersebut menimbulkan hilangnya nyawa, maka pidana denda diperberat
menjadi paling banyak 12 miliar dan pidana penjara paling lama 12 tahun

Pidana minimum khusus dapat diancamkan terhadap delik-delik dalam


model ini untuk menghindari disparitas pidana (disparity of sentencing)
karena substansinya termasuk ke dalam delik yang berat dan delik-delik
dalam model tersebut mempunyai tingkat seriusitas yang sama atau
tindak pidana yang sama. Disparitas pidana dalam penelitian ini diartikan
sebagai penerapan pidana yang berbeda-beda terhadap tindak pidana
yang sama (the same offense) atau terhadap tindak pidana-tindak pidana
yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offense of comparable
seriousness) tanpa disertai dasar pertimbangan atau penalaran yang sahih
(valid reason).22 Disparitas pidana dibatasi pada disparitas antara tindak
pidana yang sama atau disparitas antara tindak pidaan yang mempunyai
tingkat keseriusan yang sama.23 Bobot pidana minimal pidana pada delik-
delik dalam model concrete harm misalnya 2 miliar, sedangkan untuk
pidana penjara paling sedikit 2 tahun. Apabila pidana denda tidak dibayar,
maka harta terpidana dirampas dan disita oleh jaksa, serta dilelang untuk
membayar denda. Apabila harta yang dirampas ternyata lebih sedikit
dari jumlah denda yang wajib dibayar, maka terpidana menjalain pidana
penjara paling lama 2 tahun.

Jenis pidana pada delik-delik dalam model serious environmental pollution


sama dengan yang ditetapkan terhadap model concrete harm yakni berupa

21
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 499-500
22
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52
23
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Maret 2003.

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 81


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
pidana denda dan pidana penjara yang dirumuskan secara kumulatif.
Hal yang membedakan adalah pada bobot pidananya. Agar bobot pidana
pada delik dalam model ini mencerminkan seriusitas delik dan spacing of
penalties, maka bobot pidana maksimal dan minimal harus lebih berat dari
bobot pidana dalam model concrete harm. Menurut Michael Faure, apabila
tindak pidana dalam model ini menimbulkan kerugian terhadap manusia,
maka ancaman pidananya lebih berat daripada kerugian terhadap
lingkungan hidup.24 Sebagai contoh, dapat saja bobot pidana denda
maksimal dalam model serious environmental pollution adalah 10 miliar
dan pidana penjara paling lama 10 tahun apabila delik menimbulkan
kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan. Apabila delik menimbulkan
luka berat bagi manusia, maka bobot pidana denda maksimal sebesar 12
miliar dan pidana penjara paling lama 12 tahun. Apabila delik tersebut
menimbulkan hilangnya nyawa, maka pidana denda diperberat menjadi
paling banyak 15 miliar dan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Bobot pidana denda minimal pada delik dalam model ini dapat saja
ditetapkan 4 miliar dan untuk pidana penjara paling sedikit 4 tahun.
Apabila pidana denda tidak dibayar, maka harta terpidana dirampas dan
disita oleh jaksa, serta dilelang untuk membayar denda. Apabila harta yang
dirampas ternyata lebih sedikit dari jumlah denda yang wajib dibayar,
maka terpidana menjalain pidana penjara paling lama 3 tahun.

Delik-delik yang dikategorikan sebagai serious environmental pollution


dalam UU PPLH tidak semuanya dirumuskan secara materiil, melainkan
ada delik yang dirumuskan secara formil seperti ‘memasukkan limbah
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (Pasal 105),
‘memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik’
(Pasal 106), dan ‘melakukan pembakaran lahan’ (Pasal 108). Ancaman
pidana terhadap pelanggaran delik-delik tersebut seyogianya lebih ringan
daripada ancaman pidana pada delik-delik yang dirumuskan secara
materiil dalam model concrete harm.

Sebagai contoh, apabila bobot pidana denda pada delik dalam concrete
harm paling banyak 8 miliar dan pidana penjara paling lama 8 tahun
apabila mengakitkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, maka
bobot pidana denda paling banyak 6 miliar dan pidana penjara paling

24
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 499-500

82 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


lama 6 tahun untuk pelanggaran delik berupa ‘melakukan pembakaran
lahan’. Tapi bila delik yang dilanggar berupa ‘memasukkan limbah ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia’ (Pasal 105) dan
‘memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik’,
maka bobot pidana denda paling banyak 5 miliar dan pidana penjara
paling lama 5 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, jenis pidana dan bobot pidana harus didasarkan
pada seriusitas delik lingkungan. Model concrete endangerment berisi
sejumlah delik lingkungan yang paling ringat seriusitasnya, sehingga jenis
pidananya cukup berupa pidana denda yang dirumuskan secara tunggal
tanpa ancaman pidana minumum khusus. Model concrete harm berisi
sejumlah delik lingkungan yang lebih serius daripada model concrete
endangerment, oleh karena itu, logis bila jenis pidana yang diancamkan
berupa pidana denda dan pidana kurungan yang dirumuskan secara
kumulatif dan diikuti dengan ancaman pidana minimum khusus. Model
serious environmental pollution berisi sejumlah delik lingkungan yang lebih
serius daripada model concrete harm, maka logis bila bobot pidananya
lebih berat meskipun jenis dan perumusan ancaman pidananya sama
dengan yang ada dalam model concrete harm.

Lalu bagaimana dengan beratnya ancaman pidana terhadap korporasi


yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup? Menurut penulis, ada
dua alternatif yang diusulkan. Pertama, ancaman pidana yang dijatuhkan
berupa pidana denda yang diperberat dengan sepertiga sesuai dengan
keempat model kriminalisasi berbasis kerugian lingkungan. Alternatif
pertama ini dapat digunakan untuk semua delik dalam keempat model
tersebut. Kedua, khusus untuk concrete harm dan serious environmental
pollution, ancaman pidana dengan sistem kalilipat berbasis kerugian
lingkungan yang meliputi kerugian ekologi, kerugian ekonomi, dan
pemulihan ekologi. Sebagai contoh, jika kerugian lingkungan berdasarkan
berhitungan ahli sejumlah 100 miliar, maka korporasi dijatuhi pidana 2
kalilipat yakni sebesar 200 miliar. Apabila korporasi tidak mau atau tidak
mampu membayar denda, maka harta korporasi dirampas dan disita
oleh jaksa, serta dilelang untuk membayar denda. Apabila harta yang
dirampas ternyata lebih sedikit dari jumlah denda yang wajib dibayar,
maka pengurus korporasi menjalani pidana penjara paling lama 4 tahun.

4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana 83


dalam UU Bidang Lingkungan Hidup
84 Overpenalization Dalam Hukum Pidana
5

Penutup

5.1. Kesimpulan
Overpenalization dalam penentuan ancaman sanksi pidana terlihat pada
bobot pidana yang jauh lebih ringan pada delik omisi materiil dalam Pasal
112 daripada delik materiil yang dilakukan karena kealpaan dalam Pasal
99 ayat (3), bobot pidana yang lebih berat terhadap delik formil dalam
Pasal 106 dan Pasal 107 daripada delik materiil dalam Pasal 98 ayat (1) dan
Pasal 112, dan bobot pidana yang sama terhadap delik yang seriusitasnya
justru berbeda sebagaimana dalam Pasal 110 dan Pasal 111. Penentuan
bobot pidana terhadap delik-delik terkait pelanggaran izin juga berbeda
atau tidak dapat diperbandingkan dalam Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161,
dan Pasal 165 UU Pertambangan sehingga menimbulkan overpenalization.

Pencegahan overpenalization dalam penentuan sanksi pidana dalam UU


Bidang Lingkungan hidup adalah dengan pertama kali menyusun delik-
delik dalam Undang-undang ini berdasarkan seriusitasnya. Seriusitas delik
dalam UU Bidang lingkungan mengacu kepada empat model kriminalisasi
delik lingkungan, yaitu bahaya abstrak, bahaya nyata, kerugian nyata,
dan kerusakan/pencemaran lingkungan yang serius. Keempat model ini
sebenarnya merefleksikan sistem graduasi delik berdasarkan seriusitasnya
baik dilihat dari kerugian atau ancaman kerugian lingkungan yang
ditimbulkan.

Substansi delik dalam model abstract endangerment lebih ringan daripada


substansi delik dalam model concrete endangerment. Delik-delik dalam
model concrete harm lebih serius daripada delik dalam model concrete
endangerment. Adapun delik dalam model serious environmental pollution

5. Penutup 85
paling serius daripada tiga model yang lain. Oleh karena delik dalam
model serious environmental pollution merupakan delik yang paling serius,
maka ancaman pidananya paling berat, disusul dengan ancaman pidana
yang lebih ringan pada delik model concrete harm, kemudian concrete
endangerment, dan terakhir ancaman pidana yang paling ringan pada
delik dalam model abstract endangerment.

5.2. Saran
Pembentuk Undang-undang perlu mengelompokkan delik dalam UU bidang
lingkungan berdasarkan peringkat seriusitas/kategorisasinya. Penetapan
beratnya ancaman sanksi pidana dalam UU tersebut perlu mengacu
kepada peringkat seriusitas/kategorisasi delik. Pembentuk Undang-undang
juga perlu melibatkan ahli hukum pidana saat menetapkan ancaman
sanksi pidana guna memberikan perspektif teoritis dan mencegah
overpenalization .

86 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Referensi

A. Hudson, Barbara. (1996). Understanding Justice an Introduction to Ideas


Perspectives and Controversies in Modern Penal Theory, Philadephia:
Open University Press.

Ainul Syamsul, Muhammad. (2016). Penjatuhan Pidana & Dua Prinsip Dasar
Hukum Pidana, Jakarta: Prenadamedia Grup.

Ashworth, Andrew. (2010). Sentencing and Criminal Justice, Fourth Edition,


New York: Cambridge University Press.

Basic Law Bulletin Issue. (2013). The Principle of Proportionality and the
Concept of Margin of Appreciation in Human Rights Law, 15 December.

Beccaria, Cesare. (1996). Of Crime and Punishment, Translated by Jane


Grigson, New York: Marsilio Publisher.

Cavadino, Michael & Dignan, James. (2002). The Penal System an Introduction,
Third Edition, London: SAGE Publications.

Cornili, Paul “Criminality and Deviance in a Changing World”, Ceramah


pada Kongres PBB IV 1970 mengenai prevention of crime and treatment
of offender, sebagaimana dikutip oleh

Fisher, Geoff. (2011). Sentencing Severity for ‘Serious’and ‘Significant’


Offences: A Statistical Report, Australia: Sentencing Advisory Council.

Fuady, Munir. (2004). Bisnis Kotor; Anatomi Kejahatan kerah Putih, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.

Harkrisnowo, Harkristuti. (2003). “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu


Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana,
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

____________________. (2017). Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana & Dilema


Proporsionaltias: The Forgotten Issue, Makalah Disampaikan pada
Pelatihan Hukum Pidana bagi Dosen dan Praktisi Hukum Pidana,
Surabaya: FH Universitas Bayangkara bekerjasama dengan Masyarakat
Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), 29 November hingga 1
Desember

Refrensi 87
Hartiwiningsih. (2008). Hukum Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana, Surakarta: UNS Press.

Klatt, Matthias. (2011). Positive Obligations under the European Convention


on Human Rights, Max-Planck-Institut für ausländisches öffentliches
Recht und Völkerrecht

Luthan, Salman. (2007). Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang


Keuangan (Studi terhadap Pengaturan Tindak Pidana dan Sanksi
Pidana dalam Undang-undang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal
dan Pencucian Uang), Disertasi, Jakarta: Program Doktor Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

McSherry, Bernadette and Naylor, Bronwyn. (2004). Australian Criminal


Law Critical Perspective, UK: Oxford University Press.

Muladi dan Nawawi Arief, Barda. (1998). Teori-teori dan Kebijakan Hukum
Pidan, Bandung: Alumni.

_____ (1990). ‘Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa


Mendatang’, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari.

_____. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan


Penerbit Universitas Dipenogoro.

_____. “Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian”,


dalam Muladi dan Nawawi Arief, Barda. (1992). Bunga Rampai Hukum
Pidana, Bandung: Alumni.

Mulyadi, Lilik. (2007). Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan


Viktimologi, Jakarta: Djambatan.

Nawawi Arief, Barda. (2000). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan


Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

_________________. (2005). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetk.


Ketiga, Edisi Revisi, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

_________________. (2005). Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif


Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

88 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


__________________. (2006) “Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan
Pidana dalam Perundang-undangan” dalam Barda Nawawi Arief,
Bahan Kuliah/Handout Program Doktor Ilmu Hukum, Yogyakarta:
Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

__________________. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga,


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Prasetyo, Teguh dan Halim Barkatullah, Abdul. (2005). Politik Hukum Pidana;
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

R.A. Duff and Antony Duff (Editor), A Reader on Punishment, Oxford


University Press, 1994, hlm. 6

Rahmadi, Takdir. (2013). Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetk Ketiga,


Jakarta: Rajawali Press.

Remmelink, van. (2003). Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal


Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dann
Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama.

Rizki Akbari, Anugerah. (2015). Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi dan


Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana di Indonesia, Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform.

Seno Adji, Indrianto. (2014). Administratif Penal Law: Ke Arah Konstruksi


Pidana Limitatif, Makalah Disampaikan pada Pelatihan Hukum dan
Kriminologi oleh MAHUPIKI Bekerjasama dengan Fakultas Hukum
UGM, Yogyakarta, 23-27 Februari

Seno Adji, Oemar. (1984). Hukum-Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga.

Sholehuddin, M. (2003). Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar


Double System dan Impelementasinya, Jakarta: Rajawali Press.

Skinnider, Eileen. (2011). Victims of Environmental Crimes – Mapping the


Issues, Canada: The International Center for Criminal Law Reform
and Criminal Justice Policy.

Sofian, Ahmad. (2018). Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Jakarta: Prenada


Media.

Refrensi 89
Sudarto. (1973). Hukum Pidana,I (Jilid 1A), Bandung: Badan Penyediaan
Kulih FH UNDIP.

______. (1981). Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

______. (1983). Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung:


Sinar Baru.

______. (1986). Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, Bandung.

von Hirsch, Andrew. (1985). Past and Future Crimes, Menchester University
Press, Menchester.

___________________ & Ashworth, Andrew. (2005). Proportionate Sentencing:


Exploring the Principiles, New York: Oxford University Press.

___________________. (1994). “Censure and Proportionality”, dalam R. A.


Duff and David Garland (Editor), A Reader on Punishment, New York:
Oxford University Press.

W. Campbell, Arthur. (2010). Law of Sentencing, online book at westlaw


journal

Waller, L. & C.R Williams (2005). Criminal Law Texts and Cases, Australia:
Butter Worlds.

Jurnal

A. Cohen, Mark. (2010). “The Economics of Crime and Punishment:


Implications for Sentencing of Economic Crime and New Technology
Offences”, George Mason Law Review.

A. Fairfax, Jr., Roger. (2011) “From “Overcriminalization” to “Smart on


Crime”: American Criminal Justice Reform-Legacy and Prospects”,
Journal of Law, Economics & Policy, 7.

Bagaric, Mirko & Gopalan, Sandeep. (2016). “Saving the United States
from Lurching To Another Sentencing Crisis: Taking Proportionality
Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis
University Law Journal.

Betlem, Gerrit and Faure, Michael. (1998). “Environmental Toxic Torts in


Europe: Some Trends in Recovery of Soil Clean-Up Costs and Damages
for Personal Injury in the Netherlands, Belgium, England and

90 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Germany”, Georgetown International Environmental Law Review, 10.

Binder, Guyora & Notterman, Ben. (2017). “Penal Incapacitation: A


Situational Critique”, American Criminal Law Review, 54.

C. Jackson, Vicki. (2015). “Constitutional Law in an Age of Proportionality”,


Yale Law Journal, 124.

Cho, Byung-Sun. (2000/2001). “Emergence of an International Environmental


Criminal Law?”, UCLA Journal of Environmental Law and Policy, 19.

Copeland Nagle, John. (2010). “The Idea of Pollution”, U.C. Davis Law Review,
43.

Cotton, Michele. (2000). “Back with a Vengeance: The Resilience of


Retribution as an Articulated Purpose of Criminal Punishment”,
American Criminal Law Review.

D. Castiglione, John. (2010). “Qualitative and Quantitative Proportionality A


Specific Critique of A Retributivist”, Ohio State Law Journal.

D. Cicchini, Michael. (2010). “An Economics Perspective on the Exclusionary


Rule and Deterrence”, Missouri Law Review.

D. Skaret, Brian. (2002). “A Victim’s Right to View: a Distortion of the


Retributivist Theory of Punishment” Journal of Legislation.

Eldar, Shachar. (2018). “Criminal Law, Parental Authority, and the State”,
12, Criminal Law and Philosophy.

F. Mandiberg, Susan & G. Faure, Michael. (2009). “A Graduated Punishment


Approach to Environmental Crimes: Beyond Vindication of
Administrative Authority in the United States and Europe”, Columbia
Journal of Environmental Law, 34.

F. Smith, Stephen. (2012). “Overcoming Overcriminalization”, Journal of


Criminal Law and Criminology, 102.

Faure, M & Nisser, M. (1995). “How to Punish Environmental Pollution-


Some Reflections on the Various Models of Criminalization of
Environmental Harm”, European Journal of Crime, Criminal Law and
Criminal Justice, 3.

________ & Liu, Jing. (2011-2012). “New Models for the Compensation of

Refrensi 91
Natural Resources”, Kentucky Journal of Equine, Agriculture, and
Natural Resources Law, 4.

________. (2017). “The Revolution in Environmental Criminal Law in


Europe”, Virginia Environmental Law Journal, 35.

________, Ingeborg M. Koopmans, & C. Oudijk, Johannes. (1996). “Imposing


Criminal Liability on Government Officials under Environmental Law:
A Legal and Economic Analysis”, Loyola of Los Angeles International
and Comparative Law Journal, 18.

Flores, Imer. (2013) ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights


Interpretation’, Georgetown Public Law and Legal Theory Research
Paper.

G. Singer, Richard. (2010). “Proportionate Thoughts about Proportionality”,


Ohio State Journal of Criminal Law, 8.

Garoupa, Nuno & Klerman, Daniel. (2002). “Optimal Law Enforcement with
a Rent-Seeking Government”, American Law and Economics Review.

Goh, Joel. (2013). ‘Proportionality - An Unattainable Ideal in the Criminal


Justice System’, Manchester Student Law Review, 2.

Griffiths, John. (1970). “The Limits of Criminal Law Scholarship, Yale Law
Journal, 79.

Headley, James. (2004). “Proportionality between Crimes, Offenses, and


Punishments”, Saint Thomas Law Review, 17.

Herlin-Karnell, Ester. (2010). “What Principles Drive (or Should Drive)


European Criminal Law?” German Law Journal.

Hoskins, Zachary. (2018). “Criminalization and the Collateral Consequences


of Conviction”, Criminal Law and Philosophy, 12.

Husak, Douglas. (2003). ”Is the Criminal Law Important?” Ohio State Journal
of Criminal Law, 1.

J. Barnes Jr, William. (1999). Revenge on Utilitarianism: Renouncing A


Comprehensive Economics Theory of Crime and Punishment”, Indiana
Law Journal.

J. Larkin Jr., Paul. (2013). “A Mistake of Law Defense as a Remedy for

92 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


Overcriminalization”, Criminal Justice, 28.

J. Miles, Thomas. (2005). “Empirical Economics and Study of Punishment


and Crime”, University of Chicago Legal Forum, 237.

Jareborg, Nils. (2005) “Criminalization as Last Resort (Ultima Ratio)”, Ohio


State Journal of Criminal Law.

Jones, Gregory. (2014). “Over-Criminalization and the Need for a Crime


Paradigm”, Rutgers Law Review.

K. Brown, Darryl. (2009). “Prosecutors and Overcriminalization: Thoughts


on Political Dynamics and a Doctrinal Response”, Ohio State Journal of
Criminal Law, 6.

L. Torti, Julia. (2013). “Accounting for Punishment in Proportionality


Review”, New York University Law Review, 88.

Luna, Erik. (2003). “Punishment Theory, Holism, and the Procedural


Conception of Restorative Justice”, Utah Law Review.

_________. (2005). “The Overcriminalization Phenomenon”, American


University Law Review.

M. Kahan, Dan. (1999) “The Secret Ambition Of Deterrence”, Harvard Law


Review.

_____________. (2000) “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”,


Virginia Law Review, 83.

Markel, Dan. (2009). “Executing Retributivism: Panetti and the the Future
of the Eighth Amendment” Northwestern University Law Review.

__________. (2009). “Retributive Damages: A Theory of Punitive Damages as


Intermediate Sanction”, Cornell Law Review.

McGorrery, Paul. (2018). “The Philosophy of Criminalisation: A Review of


Duff et al.’s Criminalisation Series”, Criminal Law and Philosophy, 12.

Meagher, Dan. (2013). ‘The Common Law Principle of Legality in the Age of
Rights’, Melbourne University Law Review, 35.

Michael Seidman, Louis. (1984). “Soldiers, Martyrs, and Criminals: Utilitarian


Theory and The Problem of Crime Control”, Yale Law Journal.

Refrensi 93
N. Robinson, Daniel. (2004). “Punishment, Forgiveness, and the Proxy
Problem”, Notre Dame Journal of Law, Ethics and Public Policy.

O’Connell, Michael and Whelan, Anthony. (1996). “Taking Wrongs


Seriously Public Perceptions of Crime Seriousness”, British Journal of
Criminology, 36.

Pierce, Michael. (2015). “The Court and Overcriminalization”, Stanford


Law Review Online, 68.

Restroph, Alice. (2006). “Desert, Democracy, and Sentencing Reform”,


Journal of Criminal Law and Criminology

_____________. (2005). “Proportionality as a Principle of Limited Goverment”,


Duke Law Journal, 55.

Sarma, Bidish. (2017). “Using Deterrence Theory to Promote Prosecutorial


Accountability”, Lewis & Clark Law Review, 21

Schlegel, Kip, Eitle, David Steven Gunkel. (2000/2001). “Are White-Collar


Crimes Overcriminalized? Some Evidence on the Use of Criminal
Sanctions against Securities Violators”, Western State University Law
Review.

Shavell, Steven. (2015). “A Simple Model of Optimal Deterrence and


Incapacitation”, International Review of Law & Economics.

Staihar, Jim. (2015). “Proportionality and Punishment”, Iowa Law Review.

Sun Beale, Sara. (2005). “The Many Faces of Overcriminalization: From


Morals and Mattress Tags to Overfederalization”, American University
Law Review, 54.

Supriadi. (2015). “Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan


Pelanggaran dalam Undang-undang Pidana Khusus”, Mimbar Hukum,
27.

Tonry, Michael. (2006). “Purposes and Functions of Sentencing”, Crime and


Justice.

Ugochukwu, Basil. (2014). ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights


Adjudication in Comparative Context: Lessons for Nigeria’, York
University and Transnational Human rights Review, 1.

94 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


von Hirsch, Andrew. (1983). “Communsurability and Crime Prevention:
Evaluating Formal Sentencing Structures and Their Rationale”,
Journal of Criminal Law and Criminology, 74.

_________________. (1990). “Proportionality in the Philosophy of Punishment:


From “Why Punish?” to “How Much?”, Criminal Law Forum, 2.

_________________. (1992)., “Proportionality in the Philosophy of Punishment”,


Crime and Justice, 16.

_________________. (2001). ”Proportionate Sentences for Juveniles How


Different than for Adults?, Punishment and Society, 3.

W. Berry III, William. (2011). “Promulgating Proportionality”, Georgia Law


Review, 69.

Woong Kim, So. (2013). “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan
Hukum Lingkungan Hidup’, Jurnal Dinamika Hukum, 13.

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara


Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2017
tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan
Negara dan Lembaga Pemasyarakatan

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara

Glosari
Abstract endangerment: Model kriminalisasi yang hanya ditujukan
kepada pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi dan
dibatasi hanya pada tindak pidana-tindak pidana yang tidak melibatkan
kontak langsung antara bahan tercemar dengan lingkungan.

Concrete endangerment: Model kriminalisasi yang tidak mensyaratkan


bahwa kerugian nyata harus dibuktikan, tapi cukup pada pembuktian

Refrensi 95
adanya ancaman kerugian lingkungan dan perbuatan dilakukan secara
melawan hukum.

Concrete harm: Model kriminalisasi yang mensyaratkan pembuktian


bahwa perbuatan yang dilarang telah menimbulkan kerugian lingkungan.

Double track system: Sistem dua jalur sanksi dalam hukum pidana melalui
pengakuan terhadap sanksi pidana (punishment) dan sanksi tindakan
(treatment) dalam kedudukan yang sejajar atau setara.

Hukum pidana administrasi: Pelanggaran administrasi yang diancam


dengan sanksi pidana

Kerugian lingkungan: Perbuatan yang mengancam atau menimbulkan


kerusakan/pencemaran lingkungan.

Konsekuensialis: Pidana dibenarkan tidak hanya karena membawa


kebaikan atau mencegah kejahatan, tapi juga karena tidak alternatif lain
yang lebih baik. Pidana berorientasi ke depan (forward-looking) yaitu
berfungsi mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang

Mercenary-sanction: Sanksi pidana sebagai pelengkap dari sanksi yang


lain seperti sanksi administratif

Non-konsekuensialis: Pidana merupakan penderitaan yang harus


ditimpakan kepada pelaku kejahatan.

Overenforcement: Penegakan hukum yang berlebihan yang tidak hanya


terkait dengan bidang hukum pidana, melainkan juga bidang-bidang
hukum yang lain seperti hukum perdata atau hukum administrasi negara.

Overpenalization: Ancaman pidana yang berat terhadap delik yang


ringan atau ancaman pidana yang ringan terhadap delik yang berat/serius

Parity: Seseorang telah melakukan beberapa tindak pidana mirip


seriusitasnya pantas mendapatkan pidana yang beratnya dapat
diperbandingkan

Proporsionalitas ordinal: Ancaman pidana harus sebanding dengan


seriusitas delik yang dicirikan dengan paritas, peringkat delik, dan jarak
pidana

Proporsionalitas prospektif: Relasi antara cara dan tujuan, dalam arti

96 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


apabila cara yang digunakan untuk mengkriminalisasi memberatkan,
mengganggu atau berbiaya mahal sehingga tidak sesuai dengan tujuan dari
kriminalisasi itu sendiri, maka kriminalisasi terhadap suatu perbuatan
tertentu tidak boleh dilakukan.

Proporsionalitas retrospektif: Aspek internal sistem sanksi pidana yang


menghendaki adanya relasi antara nilai pidana beberapa perbuatan yang
dikriminalisasi dengan beratnya pidana.

Rank-ordering: Pidana seharusnya disusun berdasarkan skala pidana


sehingga beratnya ancaman pidana yang relatif merefleksikan peringkat
seriusitas/kategorisasi delik.

Serious environmental pollution: Kriminalisai terhadap perbuatan yang


menimbulkan kerusakan/pencemaran lingkungan sekalipun dilakukan
sesuai dengan persyaratan izin atau peraturan administratif.

Seriusitas/kategorisasi delik: Peringkat delik berdasarkan seriusitas/


kategorisasinya seperti kategori delik ringan, kategori delik berat, dan
kategori delik sangat serius. Seriusitas delik didasarkan pada ketercelaan
perbuatan dan kesalahan pembuat.

Spacing of penalties: Ada jarak pidana antara delik yang ringan, delik
yang berat, dan delik yang sangat serius.

Indeks
a
Abstract endangerment
Administrative dependent of environmental criminal law
Administrative independent of environmental criminal law
Amdal
Andi hamzah
Asas rasionalitas
Aturan pelaksanaan pidana

b
Bahan berbahaya dan beracun
Baku mutu lingkungan
Barda nawawi arief

Refrensi 97
c
Concrete endangerment

d
Delik
Demonstrated endangerment.
Double track system
Douglas husak

h
Hukum pidana administrasi

i
Intergenerational equity
Izin lingkungan
Izin pertambangan rakyat
Izin usaha budi tanaman perkebunan
Izin usaha jasa perkebunan
Izin usaha pengelolaan hasil perkebunan
Izin usaha pertambangan
Izin usaha pertambangan khusus

k
Kerugian lingkungan
Korporasi
Kriteria baku kerusakan lingkungan

m
Malum in se crimes
Malum prohibitum crimes
Mercenary-sanction
Michael Faure

o
Overpenalization

98 Overpenalization Dalam Hukum Pidana


p
Parity
Pemberatan ancaman pidana
Pidana penjara
Pidana denda
Proporsionalitas prospektif
Proporsionalitas retrospektif
Proporsionalitas ordinal
Proporsionalitas kardinal

r
Rank-ordering
Reklamasi
Roeslan saleh

s
Sanksi pidana
Serious environmental pollution.
Seriusitas delik
Setiap orang
Spaciang of penalties
Supriadi

t
Teori absolut
Teori relatif

u
UKL-UPL
Ultimum remedium

Refrensi 99
100 Overpenalization Dalam Hukum Pidana

Anda mungkin juga menyukai