Penulis:
Penerbit:
2020
OVERPENALIZATION DALAM HUKUM PIDANA
©2020 Penulis
Ukuran : 16 x 23 cm
Jumlah Halaman : VIII + 100
Cetakan I
Januari 2020 M / Jumadil Awal 1441 H
ISBN : 978-602-450-427-4
E-ISBN : 978-602-450-426-7
Penerbit:
Buku ini sangat berguna bagi dosen, peneliti, penegak hukum, mahasiswa,
pengambil kebijakan, dan pihak-pihak yang concern dengan isu pembaharuan
hukum pidana, hukum pidana lingkungan, dan hukum lingkungan. Akhirnya,
dengan segala kelebihan dan kekurangan dalam buku referensi ini, penulis
berharap saran dan masukan konstruktif dari pembaca.
Penulis,
Mahrus Ali
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................................................................................v
Daftar Isi................................................................................................................................. vii
1. Pendahuluan........................................................................................................................1
1.1. Isu Hukum.................................................................................................................1
1.2. Kerangka Teori........................................................................................................5
1.3. Sistematika Buku......................................................................................................8
2. Diskursus Teoritik .............................................................................................................9
2.1. Overpenalization......................................................................................................9
2.1.1 Konsep Overpenalization.............................................................................9
2.1.2 Ruang Lingkup Overpenalization........................................................... 11
2.2. Teori Proporsionalitas Pidana............................................................................12
2.2.1 Ragam Arti Proporsionalitas................................................................... 12
2.2.2 Proporsionalitas Pidana dan Aliran Konsekuensialis...................... 17
2.2.3 Celaan dan Perlakuan Keras sebagai Elemen Kunci........................ 28
2.2.4 Proporsionalitas Kardinal dan Ordinal................................................ 31
2.3. Model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan..................................34
2.3.1 Konsep Kriminalisasi................................................................................ 34
2.3.2 Asas-asas Kriminalisasi............................................................................ 36
2.3.3 Model-model Kriminalisasi Berbasis Kerugian Lingkungan.......... 38
3. OVERPENALIZATION DALAM UU BIDANG LINGKUNGAN HIDUP....................47
3.1. UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup..............................47
3.1.1 Double Track Sistem dalam UU PPLH................................................... 47
3.1.2 Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana.......................... 57
3.2. UU Pertambangan..................................................................................................63
3.2.1 Sanksi Pidana dalam UU Pertambangan............................................. 63
3.2.2 Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana ......................... 64
4. Pencegahan Overpenalization dalam Penentuan Sanksi Pidana dalam
UU Bidang Lingkungan Hidup......................................................................................69
4.1. Konsep dan Penentuan Seriusitas Delik..........................................................69
4.2. Seriusitas Delik dalam UU Bidang Lingkungan dan Gradasinya .............70
4.3. Penentuan Berat Ringannya Ancaman Sanksi Pidana Berdasarkan
Seriusitas Delik dalam UU Bidang Lingkungan Hidup................................74
5. Penutup...............................................................................................................................85
5.1. Kesimpulan..............................................................................................................85
5.2. Saran..........................................................................................................................86
Referensi.................................................................................................................................87
Glosari......................................................................................................................................95
Indeks.......................................................................................................................................97
1
Pendahuluan
1
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013, hlm. 11
2
Anugerah Rizki Akbari, Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana
di Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015, hlm. 10
3
Lampiran Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand
Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan, hlm. 22
4
Angka 183 Undang-undang ini merupakan penjumlahan dari 29 Undang-undang yang memuat
ketentuan pidana dari tahun 1985 hingga tahun 1995 dan 154 Undang-undang yang memuat ketentuan
pidana dari tahun 1998 hingga tahun 2014.
1. Pendahuluan 1
UU yang memuat ketentuan pidana, menurut penelitian Supriadi, lebih
banyak merupakan UU pidana administrasi (hukum pidana administrasi),
dan hanya terdapat 8 UU yang dikategorikan sebagai UU pidana khusus.5
Sudarto mengartikan UU pidana administrasi sebagai ‘peraturan-
peraturan hukum pidana dalam UU tersendiri, yaitu peraturan-peraturan
yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-
aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana’.6
5
Ke-8 Undang-undang tersebut yaitu; (1) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia; (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
menjadi Undang-undang; (4) Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang; (5) Undang-undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi; (6) Undang-undang No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; (7) Undang-undang
No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perusakan Hutan; dan (8)
Undang-undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme. Lihat Supriadi, “Penetapan Tindak Pidana Sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-
undang Pidana Khusus”, Mimbar Hukum, Vol 27, 3, 2015, hlm. 394
6
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 59-60
7
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta...op.cit., hlm. 10
8
Indrianto Seno Adji, Administratif Penal Law: Ke Arah Konstruksi Pidana Limitatif, Makalah
Disampaikan pada Pelatihan Hukum dan Kriminologi oleh MAHUPIKI Bekerjasama dengan Fakultas
Hukum UGM, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, hlm. 6
9
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, Semarang,
1995, hlm. 42
10
Ibid., hlm. 39
11
Muladi, ‘Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Mendatang’, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 24 Februari, 1990, hlm. 7
UU PPLH dipilih karena memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan
lingkungan hidup sehingga berfungsi sebagai ‘payung’ (umbrella act) bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan lingkungan hidup.15 UU PPLH menjadi landasan untuk menilai
dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yang cakupannya
12
Ester Herlin-Karnell, “What Principles Drive (or Should Drive) European Criminal Law?”, German
Law Journal, 2010, hlm. 1125
13
Nils Jareborg, “Criminalization as Last Resort (Ultima Ratio)”, Ohio State Journal of Criminal Law,
2005, hlm. 525-526
14
Undang-undang bidang lingkungan hidup antara lain; 1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2) Undang-undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang; 3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah; 4)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 5) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 6) Undang-undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan; 7) 8) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan,
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air; 9) Undang-undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan.
15
So Woong Kim, “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup’,
Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 13, 2013, hlm. 417
1. Pendahuluan 3
begitu luas meliputi agraria, pertambangan, perkebunan, kehutanan,
pengairan, tata ruang, tanah, perumahan dan pemukiman, benda cagar
budaya, keamanan genetika, konservasi sumber daya alam, dan berbagai
aspek lain yang terkait erat dengan aspek lingkungan hidup.
Kedua, bobot pidana dalam ketiga UU tersebut relatif berat terutama pada
delik-delik yang dirumuskan secara formil, yaitu pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4 miliar
dan paling banyak 12 miliar bagi setiap orang yang memasukkan limbah
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 105 UU
PPLH, dan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak
10 miliar bagi setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa
Izin Pertambangan Rakyat dalam Pasal 158 UU Minerba.
16
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetk Ketiga, Rajawali Press, Jakarta, 2013,
hlm.28-29
1. Pendahuluan 5
kategorisasi deliknya. Apakah ancaman pidana pada kedua UU tersebut
berlebihan (overpenalization) adalah dengan mengaitkan dengan deliknya.
Andrew von Hirsch, “Censure and Proportionality”, dalam R. A. Duff and David Garland (Editor), A
18
Reader on Punishment, Oxford University Press, New York, 1994, hlm. 128-129. Terry Skolnik, “Rethinking
Homeless People’s Punishments”, New Criminal Law Review, 2019, hlm. 85. Mirko Bagaric &Sandeep
Gopalan, “Saving the United States from Lurching to Another Sentencing Crisis: Taking Proportionality
Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis University Law Journal, 2016, hlm. 198
19
M. Faure & M. Nisser, “How to Punish Environmental Pollution- Some Reflections on the Various
Models of Criminalization of Environmental Harm”, European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal
Justice, 3, 1995, hlm. 319. Michael Faure, “The Revolution in Environmental Criminal Law in Europe”,
Virginia Environmental Law Journal, 35, 2017, hlm. 334
20
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, “A Graduated Punishment Approach to Environmental
Crimes: Beyond Vindication of Administrative Authority in the United States and Europe”, Columbia Journal
of Environmental Law, 34, 2009, hlm. 454-455
21
Michael Faure, “Towards a New Model of Criminalization of Environmental Pollution: The Case of
Indonesia”, dalam Michael Faure and Nicola Niessen (Editor), Environmental Law in Development Lesson
from the Indonesia Experience, Edward Elgar Publishing Limited, UK, 2006, hlm. 197. Michael Faure, The
Revolution...op.cit, hlm. 335
22
Byung-Sun Cho, “Emergence of an International Environmental Criminal Law?”, UCLA Journal of
Environmental Law and Policy, 19, 2000/2001, hlm. 22-23
23
Susan F. Mandiberg & Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 469
24
Eileen Skinnider, Victims of Environmental Crimes – Mapping the Issues, The International Center for
Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, Canada, 2011, hlm. 31-43
1. Pendahuluan 7
Keempat adalah model serious environmental pollution (polusi/kerusakan
lingkungan yang serius). Model ini sudah melepaskan diri sepenuhnya
dari ketergantungan administratif hukum pidana yang ditandai dengan
dua cara. Pertama, eliminasi izin sebagai pelindung. Sekalipun seseorang
telah memiliki izin dari pejabat administrasi, tapi jika perbuatannya
menimbulkan kerugian serius terhadap lingkungan, maka perbuatan
tersebut tetap dikategorikan sebagai tindak pidana. Kedua, eliminasi
sifat melawan hukum sebagai elemen tindak pidana lingkungan. Hukum
pidana tetap dapat digunakan apabila menimbulkan kerugian sangat
serius sekalipun perbuatan tidak melawan hukum, dalam arti dilakukan
sesuai dengan persyaratan izin atau peraturan administratif.25
25
Susan F. Mandiberg & Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 481-485
Diskursus Teoritik
2.1. Overpenalization
1
Kip Schlegel, David Eitle, Steven Gunkel, “Are White-Collar Crimes Overcriminalized? Some Evidence
on the Use of Criminal Sanctions against Securities Violators”, Western State University Law Review,
2000-2001, hlm. 120-121
2
Erik Luna, “The Overcriminalization Phenomenon”, American University Law Review, 2005, hlm.
2. Diskursus Teoritik 9
overpenalization dalam kaitannya dengan penegakan hukum yang
berlebihan (overenforcement) oleh apara penegak hukum yang bentuknya
berupa disparitas pidana terhadap beberapa pelaku yang melakukan
kejahatan yang sama.3
713-717
3
Sara Sun Beale, “The Many Faces of Overcriminalization: From Morals and Mattress Tags to
Overfederalization”, American University Law Review, 54, 2005, hlm. 749
4
Darryl K. Brown, “Prosecutors and Overcriminalization: Thoughts on Political Dynamics and a
Doctrinal Response”, Ohio State Journal of Criminal Law, 6, 2009, hlm. 461-463
5
Roger A. Fairfax, Jr., “From “Overcriminalization” to “Smart on Crime”: American Criminal Justice
Reform-Legacy and Prospects”, Journal of Law, Economics & Policy, 7, 2011, hlm. 608-609
6
Stephen F. Smith, “Overcoming Overcriminalization”, Journal of Criminal Law and Criminology, 102,
2012, hlm. 540. 540
7
Ibid., hlm. 537-539
8
Paul J. Larkin Jr., “A Mistake of Law Defense as a Remedy for Overcriminalization”, Criminal Justice,
28, 2013, hlm. 11-13
9
Gregory Jones, “Over-Criminalization and the Need for a Crime Paradigm”, Rutgers Law Review, 2014,
hlm. 943
10
Michael Pierce, “The Court and Overcriminalization”, Stanford Law Review Online, 68, 2015, hlm. 50
11
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm. 3
2. Diskursus Teoritik 11
Ruang lingkup overpenalization dalam buku ini dibatasi kepada tahap
formulasi dengan alasan sebagai berikut. Pertama, buku ini hanya
mengkaji overpenalization dalam konteks penentuan sanksi pidana baik
meliputi bentuk pidana, bobot pidana, dan aturan pelaksanaan pidana
oleh pembentuk undang-undang. Bagaimana praktik penjatuhan pidana
oleh hakim dalam putusan pengadilan tidak menjadi fokus buku ini. Kedua,
buku ini juga hanya menganalisis penetapan ancaman sanksi pidana
dalam UU PPLH dan UU Pertambangan.
12
Basil Ugochukwu, ‘Balancing, Proportionality, and Human Rights Adjudication in Comparative
Context: Lessons for Nigeria’, York University and Transnational Human rights Review, Volume 1, 2014, hlm.
6
13
Alice Ristroph, “Proportionality as a Principle of Limited Goverment”, Duke Law Journal, 55, 2005,
hlm. 292-293
Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan
menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang
berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa
pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik, atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak
yang diatur dalam Kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi
apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran
atau status lain.
14
Vicki C. Jackson, “Constitutional Law in an Age of Proportionality”, Yale Law Journal, 124, 2015
2. Diskursus Teoritik 13
Konsep ini juga meniscayakan adanya hubungan proporsional yang nyata
dan rasional antara tujuan yang hendak dicapai dengan langkah-langkah
yang diambil beserta akibat-akibatnya.
Proporsionalitas dewasa ini dijadikan sebagai salah satu irisan hukum hak
asasi manusia. Pengadilan HAM Eropa bahkan secara tegas menyatakan
bahwa ‘yang terkandung dalam keseluruhan Konvensi HAM Eropa adalah
pencarian terhadap keseimbangan yang adil antara tuntutan kepentingan
umum masyarakat dan persyaratan perlindungan hak-hak fundamental
individu’. Pengadilan menyadari sepenuhnya akan adanya kebutuhan
untuk menyeimbangkan antara pembatasan hak dengan tujuan yang
hendak dicapai.15
Tes proporsionalitas dapat digunakan untuk menilai apakah suatu
kewajiban negatif negara dilanggar. Tes ini berisi empat parameter, yaitu
tujuan yang sah, kepantasan, nesesitas dan proporsionalitas dalam arti
sempit.16 Setiap negara tentu saja memiliki interpretasi yang berbeda
tentang hal ini. Mahkamah Konstitusi Jerman mengembangkan prinsip
proporsionalitas dengan tiga unsur: (1) kepantasan, yaitu tindakan yang
ditempuh harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai; (2) nesesitas,
yaitu penggunaan cara-cara yang paling sedikit membatasi hak asasi warga
negara harus ditempuh jika sama-sama efektif; (3) proporsionalitas dalam
makna sempit, yaitu tindakan yang ditempuh harus seimbang dengan
tujuan yang hendak dicapai.17 Pengadilan HAM Inter-Amerika dalam
fatwa hukumnya tahun 2003 mengenai syarat hukum dan hak-hak imigran
gelap menyatakan bahwa pemberian perbedaan perlakuan terhadap
imigran gelap tidaklah merupakan suatu pelanggaran sepanjang hal itu
dibenarkan dan sah dengan mengacu kepada kriteria objektif, rasional
dan proporsional.18
Kriteria proporsionalitas juga ditemukan dalam putusan Mahkamah
Agung Kanada dalam perkara Oakes. Putusan ini diikuti oleh putusan-
putusan pengadilan negara lain seperti Selandia Baru, Inggris, Afrika
15
Imer Flores, ‘Proportionality in Constitutional and Human Rights Interpretation’, Georgetown Public
Law and Legal Theory Research Paper, 2013, hlm. 105
16
Matthias Klatt, Positive Obligations under the European Convention on Human Rights, Max-Planck-
Institut für ausländisches öffentliches Recht und Völkerrecht, 2011, hlm. 679
17
Basic Law Bulletin Issue, The Principle of Proportionality and the Concept of Margin of Appreciation
in Human Rights Law, 15 December, 2013, hlm. 2
18
Imer Flores, op.cit., hlm. 105
19
Ibid, hlm. 102-103
20
Dan Meagher, ‘The Common Law Principle of Legality in the Age of Rights’, Melbourne University
Law Review, Vol 35, 2013, hlm. 470
21
Basic Law Bulletin Issue, op.cit., hlm. 9
2. Diskursus Teoritik 15
Konsep proporsioanalitas dalam hukum pidana secara historis dapat
dilacak dari lex talionis Hammurabi hingga Gilbert dan Sullivan. Pada waktu
itu, konsep ini bermakna bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatan.
Proporsionalitas di dalam Magna Carta, tercermin dalam ungkapan, “...free
man shall not be amerced [penalized] for a small fault, but after the manner
of the fault; and for a great crime according to the heinousness of it...”.22 Ide
tentang proporsionalitas pidana kemudian berakar dari pemikiran sarjana
aliran klasik Cesare Beccaria tentang perlunya kesebandingan antara
pidana dan kejahatan dalam ungkapan yang terkenal let the punishment
fit the crime.23
22
Richard G. Singer, “Proportionate Thoughts about Proportionality”, Ohio State Journal of Criminal
Law, 8, 2010, hlm. 218
23
Cesare Beccaria, Of Crime and Punishment, Translated by Jane Grigson, Marsilio Publisher, New York,
1996, tanpa halaman
24
William W. Berry III, “Promulgating Proportionality”, Georgia Law Review, 69, 2011, hlm. 87-88
25
Joel Goh, ‘Proportionality - An Unattainable Ideal in the Criminal Justice System’, Manchester Student
Law Review , Vol 2, 2013, hlm. 44. Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception
of Restorative Justice”, Utah Law Review, 2003, hlm. 216
26
Jim Staihar, “Proportionality and Punishment”, Iowa Law Review, 2015, hlm. 1212-1214
27 R.A. Duff and Antony Duff (Editor), A Reader on Punishment, Oxford University Press, 1994, hlm.
6
2. Diskursus Teoritik 17
dijadikan sebagai dasar pembenar. Tujuan utama pemidanaan menurut
kelompok ini adalah pencegahan kejahatan. Kelompok ini, dengan
demikian, berorientasi ke depan (forward-looking), yaitu pidana berfungsi
mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang.28
33
Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 17
34
Dan M. Kahan, “Social Influence, Social Meaning, and Deterrence”, Virginia Law Review, No. 83, hlm. 349
35
Salman Luthan, Kebijakan...op.cit., hlm. 166
36
Thomas J. Miles, “Empirical Economics and Study of Punishment and Crime”, University of Chicago Legal
Forum, 237, 2005, hlm. 238
2. Diskursus Teoritik 19
dan prestise, sedangkan biaya meliputi biaya yang dikeluarkan pelaku dan
biaya kejahatan. Biaya pelaku meliputi waktu dihabiskan baik sebelum
atau pada saat melakukan tindak pidana, biaya membeli alat untuk
melakukan tindak pidana, kemungkinan ditangkap, ditahan, dipidana,
dan mata pencaharian yang hilang jika pelaku ditangkap. Biaya kejahatan
adalah biaya-biaya yang ditimbulkan dari dilakukannya suatu kejahatan.
b. Biaya penyidikan;
c. Biaya penuntutan;
37
Nuno Garoupa and Daniel Klerman, , “Optimal Law Enforcement with a Rent-Seeking Government”,
American Law and Economics Review, 2002, hlm. 116
38
Ibid., hlm. 117
39
Ibid., hlm. 504; Louis Michael Seidman, “Soldiers, Martyrs, and Criminals: Utilitarian Theory and The
Pidana menurut teori ini juga harus rasional. Daniel N. Robinson merinci
prinsip-prinsip rasionalitas pidana sebagai berikut:43
2. Diskursus Teoritik 21
ini pada awalnya mengambil bentuk kepada aspek pengibirian. Tangan
pencuri dipotong untuk mencegah pencurian lebih lanjut dan pelaku
kejahatan seksual dikebiri supaya tidak melakukan kejahatan seksual lagi.45
Pengebirian sebagai alternatif penjara tidak dipraktikkan lagi. Inkapasitasi
dewasa ini mengambil bentuk penahanan atau pemenjaraan atau bui,
karena secara teoritik pelaku tidak mungkin menggerogoti masyarakat.46
Pidana penjara atau pidana penjara seumur hidup dalam teori inkapasitasi
juga dimaksudkan agar masyarakat terlindungi ketika pelaku berada
di lembaga pemasyarakatan. Hal ini karena teori inkapasitasi bertujuan
melindungi masyarakat secara luas dari kejahatan yang dilakukan pelaku
kejahatan.48 Pidana penjara seumur hidup adalah salah satu bentuk
pidana yang secara khusus digunakan dalam banyak kasus dengan
tujuan inkapasitasi/pelumpuhan.49 Ancaman sanksi pidana pada teori
pencegahan harus mampu mengurangi biaya-biaya sosial yang disebabkan
oleh kejahatan. Sanksi pidana akibatnya harus lebih berat daripada
seriusitas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Strategi
45
Arthur W. Campbell, Law of Sentencing, online book at westlaw journal, 2010, hlm. 1
46
Salman Luthan, op.cit, hlm. 174-175
47
Michele Cotton, Back with a Vengeance...op. cit., hlm. 1316
48
Bernadette McSherry dan Bronwyn Naylor, Australian Criminal Law Critical Perspective, Oxford
University Press, UK, 2004, hlm. 18
49
Michael Cavadino & James Dignan, The Penal System an Introduction, Third Edition, SAGE
Publications, London, 2002, hlm. 39
50
Guyora Binder & Ben Notterman, “Penal Incapacitation: A Situational Critique”, American Criminal
Law Review, 54, 2017, hlm. 3
51
Salman Luthan, op.cit., hlm. 178
52
Barbara A. Hudson, Understanding Justice...op.cit., hlm. 26
53
Salman Luthan, op.cit., hlm. 179
2. Diskursus Teoritik 23
kecanduan obat terlarang, program keterampilan kognitif, pelatihan bagi
pelaku kejatahan seksual dan berbagai program keterampilan lainnya.
Program-program tersebut ternyata terbukti mampu mengurangi pelaku
mengulangi lagi kejahatannya. Temuan-temuan positif tersebut tidak
kemudian dimaknai bahwa program yang mampu mengurangi pelaku
melakukan lagi kejahatannya dapat dengan mudah dicapai. Hasil tersebut
tidak secara otomatis dijadikan sebagai program baru yang secara resmi
digunakan negara untuk mengurangi tingkat kejahatan.54
54
Michael Tonry, “Purposes and Functions of Sentencing”, Crime and Justice, 2006, hlm. 33
55
Ibid., hlm. 34
56
R.A. Duff and Antony Duff (Editor), A Reader...op.cit.,hlm. 7-8
57
L. Waller & C.R Williams, Criminal Law Texts and Cases, Butter Worlds, Australia, 2005, hlm. 16
58
Salman Luthan, Kebijakan...op.cit., hlm. 153
59
Ibid
60
Brian D. Skaret, a Victim’s Right to View: a Distortion of the Retributivist Theory of Punishment”
Journal of Legislation, 2002, hlm. 357
2. Diskursus Teoritik 25
4. Penganut teori retribusi mencari penerapan hukum yang sama,
sedangkan dalam balas dendam tidak ada generalisasi yang
ditujukan kepada kepentingan penuntut balas;
5. Penjatuhan pidana menurut teori retribusi bersifat tenang dan
tidak emosional, sedangkan dalam balas dendam, pidana memiliki
suasana emosi khusus berupa kesenangan ketika menderitakan
orang lain.61
6. Dalam retribusi, pidana dijatuhkan secara langsung kepada
pelaku, bukan kepada anaknya atau orang tuanya, sedangkan
dalam balas dendam sasaran pidana tidak hanya kepada pelaku,
tapi mungkin kepada keluarga atau kerabatnya;
7. Fokus teori retribusi tidak pada upaya menjadikan pelaku
mengalami penderitaan umum, tapi lebih pada penggunaan
kekuasaan negara untuk memaksa pelaku sehingga ide-ide
tertentu bisa diterapkan melalui paksaan tersebut;
8. Penganut teori retribusi menekankan kepada otonomi moral dan
kehormatan pelaku, sedangkan balas dendam tidak menaruh
perhatian pada hal-hal tersebut;
9. Teori retribusi mensyaratkan bahwa pidana yang dijatuhkan
kepada pelaku memberikan kesempatan kepadanya untuk
menginternalisasikan “perasaan adil” yang akan membuatnya
hormat kepada norma-norma pertanggungjawaban moral,
persamaan kebebasan di hadapan hukum, dan pembelaan diri
yang demokratis, sedangkan balas dendam tidak mensyaratkan
hal-hal tersebut.62
Dan Markel menyebutkan bahwa menurut teori retribusi pidana
dijatuhkan oleh negara untuk dan atas nama masyarakat (individu yang
menjadi korban). Tujuan penting teori retribusi adalah untuk memastikan
bahwa keseimbangan dan keadilan sosial terlindungi melalui penciptaan
stabilitas sosial. Setelah kebebasan pelaku kejahatan dibatasi, masyarakat
bisa melaksanakan kebebasannya karena keseimbangan dan keadilan
sosial terwujud. Pemidanaan dalam teori retribusi adalah pengenaan
61
Dan Markel, “Executing Retributivism: Panetti and the the Future of the Eighth Amendment”
Northwestern University Law Review, 2009, hlm. 1191
62
Dan Markel, “Retributive Damages: A Theory of Punitive Damages as Intermediate Sanction”, Cornell
Law Review, 2009, hlm. 270-271
63
Restroph, “Desert, Democracy, and Sentencing Reform”, Journal of Criminal Law and Criminology,
2006, hlm. 1300
64
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double System dan Impelementasinya,
Rajawali Press, Jakarta, 2003, hlm. 35
65
Andrew von Hisrch & Andrew Ashworth, Proportionate Sentencing: Exploring the Principles, Oxford
University Press, New York, 2005, hlm. 4
66
John D. Castiglione, “Qualitative and Quantitative Proportionality A Specific Critique of A
2. Diskursus Teoritik 27
Ide tentang proporsionalitas pidana dalam perkembangannya juga dianut
oleh kelompok konsekuensialias. Proporsionalitas pidana memang pertama
kali dikenal dalam pandangan retributif (kelompok non-konsekuensialis),
tapi kelompok konsekuensialis yang menekankan pada tujuan pidana
sebagai pencegahan juga mengkaitkannya dengan proporsionalitas
pidana. Kelompok konsekuensialis dan non-konsekuensialis memiliki
perspektif yang berbeda tentang proporsionalitas pidana. Kelompok
non-konsekuensialis memandang proporsionalitas sebagai pusat
dari penjatuhan pidana, sedangkan bagi kelompok konsekuensalis,
proporsionalitas dijadikan sebagai prinsip pembatas yang melarang
penjatuhn pidana yang tidak sepadan dengan tindak pidana dan kesalahan
pembuatnya.67 Ide proporsionalitas, dengan demikian, sama-sama dianut
oleh kelompok konsekuensialis dan non-konsekuensialis meskipun
perspektif yang digunakan berbeda.
70
Andrew von Hirsch, Proportionality in...op.cit, hlm. 275-276
71
Andrew von Hirsch, Past and Future Crimes, Menchester University Press, Menchester, 1985, hlm. 47-60
72
Andrew von Hirsch, Proportionate Sentences for Juveniles How Different than for Adults?, Punishment and Society,
Vol.3, 2001, hlm. 222
73
Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment: From “Why Punish?” to “How Much?”,
Criminal Law Forum, Vol. 1 No, 2, 1990, hlm. 271 dan 274
2. Diskursus Teoritik 29
pertimbangan moral. Negara memperlakuan aktor (pelaku) sebagai agen
yang cakap dalam pertimbangan moral sepanjang memiliki alasan-alasan
normatif untuk berbuat. Pidana dalam konteks ini harus memuat elemen
pencelaan baik terhadap pembuat maupun terhadap masyarakat luas.
Pemikiran Hirsch yang demikian mengandung sisi normatif sekaligus
deskriptif. Hal ini karena hukum pidana pada umumnya melarang suatu
perbuatan, dan pidana sebagai respon yang mengekspresikan pencelaan.
Ekspresi menyalahkan melalui pengenaan pidana secara normatif menarik
karena dimensi moral pidana menjadi esensial supaya dengannya negara
memperlakukan orang-orang sebagi agen yang cakap dalam pertimbangan
moral. Mereka tidak diperlakukan sebagai manusia yang perlu dikekang,
diintimidasi, atau dikondisikan untuk patuh pada hukum.74
74
Andrew von Hirsch & Andrew Ashworth, Proportionate Sentencing: Exploring the Principiles, Oxford
University Press, New York, 2005, hlm. 17-18
75
Andrew von Hirsch & Andrew Ashworth, Proportionate....op.cit.,hlm. 25
76
Youngjae Lee, Punishment...op.cit., hlm. 228
77
Ibid., hlm. 276-277
78
Erik Luna, “Punishment Theory, Holism, and the Procedural Conception of Restorative Justice”, Utah
Law Review, 2003, hlm. 216
79
Andrew von Hirsch, Proportionality...op.cit., hlm. 278-279
80
Ibid., hlm. 214
81
Andrew von Hirsch, “Communsurability and Crime Prevention: Evaluating Formal Sentencing
Structures and Their Rationale”, Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 74, 1983, hlm. 213
2. Diskursus Teoritik 31
Barbara A. Hudson mengartikan proporsionalitas ordinal dengan sebutan
“...ranking offences according to seriousness and then establishing a scale of
penalties of commensurate severity”.82 Seseorang yang melakukan kejahatan
yang dapat diperbandingkan seriusitasnya harus menerima hukuman
yang beratnya dapat diperbandingkan. Seseorang yang melakukan tindak
pidana yang berbeda beratnya/seriusitasnya, ancaman pidana berkaitan
atau dinilai berdasarkan seriusitasnya.83 Proporsionalitas ordinal, dengan
demikian, membicarakan kesebandingan pidana. Kejahatan dengan
tingkat keseriusan yang sama seyogianya memperoleh sanksi pidana yang
setara.
82
Barbara A. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in
Modern Penal Theory, Open University Press, Philadephia, 1996, hlm. 45
83 Andrew von Hirsch, “Proportionality in the Philosophy of Punishment”, Crime and Justice, iol 16,
1992, hlm. 76
84 Harkristuti Harkrisowo, Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana & Dilema Proporsionaltias: The
Forgotten Issue, Makalah Disampaikan pada Pelatihan Hukum Pidana bagi Dosen dan Praktisi Hukum
Pidana, FH Universitas Bayangkara Surabaya bekerjasama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan
Kriminologi (MAHUPIKI), 29 November hingga 1 Desember 2017, slide 17
85 Andrew von Hirsch, “Censure and Proportionality”, dalam R. A. Duff and David Garland (Editor),
A Reader on Punishment, Oxford University Press, New York, 1994, hlm. 128-129
86
Andrew von Hirsch, Communsurability...op.cit., hlm. 214
87
Ibid., hlm. 216-217
2. Diskursus Teoritik 33
Spacing of penalties bergantung kepada seberapa tepat beratnya ancaman
pidana yang diperbandingkan dapat disesuaikan. Spacing berisi penentuan
jarak antar delik yang satu dengan delik yang lain. Delik A, B dan C berbeda
dalam peringkat keseriusannya, dari yang berat sampai yang ringan. A
lebih serius dari B, tapi sedikit kurang serius dibandingkan C. Seriusitas
suatu delik dapat dipahami dari adanya jarak pidana antara delik yang
berat dengan yang ringan.
88
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 31-32
89
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, PT. Cipta Aditya Bakti, Bandung,
2013, h lm 202; Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 126
90
Paul Cornili, “Criminality and Deviance in a Changing World”, Ceramah pada Kongres PBB IV
1970 mengenai prevention of crime and treatment of offender, sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan,
Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan (Studi terhadap Pengaturan Tindak Pidana dan
Sanksi Pidana dalam Undang-undang Perbankan, Perpajakan, Pasar Modal dan Pencucian Uang), Disertasi,
Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 54
91
Ibid
92
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetk. Ketiga, Edisi Revisi, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 3
93
Sudarto, Hukum dan...op.cit., hlm. 159
94
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 20
95
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...op.cit., hlm. 25
96
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta, 2007,
hlm. 35
97
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Almuni, Bandung, 1986, hlm. 44-48
2. Diskursus Teoritik 35
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelempauan batas tugas (overbelasting).
Pertama adalah asas nilai pidana. Asas ini bermakna bahwa perbuatan-
perbuatan yang hendak dikriminalisasi adalah perbuatan yang tercela.
Perbuatan yang tidak tercela tidak boleh dikriminalisasi. Semakin tinggi
nilai pidana, semakin kuat alasan-alasan untuk mengkriminalisasi,
demikian juga sebaliknya. Asas ini terkandung prinsip ketercelaan.
Suatu perbuatan dikriminalisasi karena perbuatan tersebut tercela.
Kuat atau tidaknya alasan untuk mengkriminalisasi bergantung kepada
tingkat ketercelaan suatu perbuatan. Untuk mengukur ketercelaan suatu
100
Ibid.,hlm. 527
101
Ibid., hlm. 532
102
Andrew Ashworth, Sentencing and Criminal Justice, Fourth Edition, Cambridge University Press,
2005, hlm. 148-150
103
Ester Herlin-Karnell, “What Principles Drive (or Should Drive) European Criminal Law?”, German
Law Journal, 2010, hlm. 1126
104
Nils Jareborg, Criminalization...op.cit., hlm. 527-528
105
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 102
2. Diskursus Teoritik 37
memuat unsur-unsur yang sulit dibuktikan; dan kriminalisasi bertentangan
dengan pandangan publik sehingga menimbulkan sikap acuh tidak acuh
atau bahkan meruntuhkan penghormatan terhadap sistem peradilan
pidana. Control costs terkait kriminalisasi yang mensyaratkan sumber
daya yang lebih besar dibandingkan dengan cara-cara lain.106 Biaya
mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, dalam arti
cost pembuatan Undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum,
serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri
harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.107
106
Nils Jareborg, Criminalization...op.cit., hlm. 529-530
107 Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 1980 sebagaimana dikutip oleh
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai...op.cit., hlm. 31
108
Nils Jareborg, op.cit.,hlm. 532
109
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita...op.cit., hlm. 102
110
Eileen Skinnider, Victims of Environmental Crimes – Mapping the Issues, The International Center
for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, Canada, 2011, hlm. 31-43
111
M. Faure & M. Nisser, “How to Punish Environmental Pollution- Some Reflections on the Various
Models of Criminalization of Environmental Harm”, European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal
Justice, 3, 1995, hlm. 319. Michael Faure, “The Revolution in Environmental Criminal Law in Europe”,
Virginia Environmental Law Journal, 35, 2017, hlm. 334
112
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, “A Graduated Punishment Approach to Environmental
Crimes: Beyond Vindication of Administrative Authority in the United States and Europe”, Columbia Journal
of Environmental Law, 34, 2009, hlm. 454-455
113
Michael Faure & Jing Liu, “New Models for the Compensation of Natural Resources”, Kentucky
Journal of Equine, Agriculture, and Natural Resources Law, 4, 2011-2012, hlm. 265
2. Diskursus Teoritik 39
Model abstract endangerment fokus pada mempertahankan nilai-nilai
administrasi. Kriminalisasi dalam model ini, oleh karena itu, secara tidak
langsung melindungi nilai-nilai ekologis. Perbuatan-perbuatan dalam model
ini dilarang semata-mata untuk mencegah kerugian lingkungan. Pejabat-
pejabat administrasi dapat memonitor suatu kegiatan untuk memastikan
bahwa kerugian tidak terjadi apabila aturan-aturan administrasi diikuti.114
114
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduate...op.cit., hlm. 455-456
115
Michael G. Faure, Ingeborg M. Koopmans, & Johannes C. Oudijk, “Imposing Criminal Liability on
Government Officials under Environmental Law: A Legal and Economic Analysis”, Loyola of Los Angeles
International and Comparative Law Journal, 18, 1996, hlm. 529
116
Gerrit Betlem and Michael Faure, “Environmental Toxic Torts in Europe: Some Trends in Recovery of
Soil Clean-Up Costs and Damages for Personal Injury in the Netherlands, Belgium, England and Germany”,
Georgetown International Environmental Law Review, 10, 1998, hlm. 887
117
Ibid., hlm. 457-459
118
Michael Faure, Towards a New Model...op.cit., hlm. 197. Bandingkan dengan Hartiwiningsih, Hukum
Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, UNS Press, Surakarta, 2008, hlm 370.
119
Zachary Hoskins, “Criminalization and the Collateral Consequences of Conviction”, Criminal Law
and Philosophy, 12, 2018, hlm. 634
120
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335
121
Byung-Sun Cho, “Emergence of an International Environmental Criminal Law?”, UCLA Journal of
Environmental Law and Policy, 19, 2000/2001, hlm. 22-23
2. Diskursus Teoritik 41
administrasi, membuang limbah ke media lingkungan tanpa izin, dan
membuang limbah ke media lingkungan dengan melanggar batas jumlah
yang ditetapkan dalam izin. Tindak pidana tersebut tidak membutuhkan
bukti berupa kerugian nyata atau ancaman kerugian terhadap lingkunga,
tetapi cukup adanya kontak antara bahan tercemar dengan lingkungan.122
Ketiga adalah concrete harm (kerugian nyata). Model ini sebenarnya sama
dengan model concrete endangerment bahwa keduanya mensyaratkan
pembuktian bahwa pelaku delik lingkungan melanggar peraturan atau
prosedur administrasi. Model ini, dengan kata lain, masih belum melepaskan
hukum pidana dari ketergantungan administratif. Bedanya, kerugian
lingkungan dalam concrete harm harus berupa kerugian lingkungan secara
nyata, dan tidak cukup hanya berupa ancaman kerugian.124 Problem yang
muncul dalam model ini adalah menentukan makna kerugian lingkungan
dan hubungan kausalitas.
Makna kerugian lingkungan bergantung kepada pendekatan yang
digunakan. Pendekatan tradisional memandang bahwa kerugian
lingkungan dibatasi pada kerugian yang dialami oleh manusia seperti
ancaman atau kerugian terhadap kesehatan dan keamanan manusia.
Pendekatan ini masih menggantungkan hukum lingkungan kepada
hukum pidana tradisional yang membatasi manusia sebagai korban.
Kerugian lingkungan juga dapat dikaji dari pendekatan ekologis. Secara
122
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 460-464
123
Ibid., hlm. 465-468
124
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 469
125
Jan G. Laitos, Standing and Environmenal Harm...op.cit.,hlm. 67-71
126
John Copeland Nagle, “The Idea of Pollution”, U.C. Davis Law Review, 43, 2009, hlm. 2
127
Nuno Garoupa & Daniel Klerman, “Optimal Law Enforcement with a Rent-Seeking Government”, American Law and
Economics Review, 2002, hlm. 116-117
128
Mark A. Cohen, “The Economics of Crime and Punishment: Implications for Sentencing of Economic Crime and New
Technology Offences”, George Mason Law Review, 2000, hlm. 506-507
2. Diskursus Teoritik 43
Ahmad Sofian dengan mengutip pendapat Barda Nawawi Arief
mengatakan bahwa ada dua sisi ajaran kausalitas, yaitu ajaran kausalitas
yang subjektif dan ajaran kausalitas yang objektif. Hal yang pertama
adalah mencari hubungan kausal antara orang yang melakukan perbuatan
dengan perbuatannya. Ajaran yang pertama ini biasanya masuk dalam
teori kesalahan atau teori untuk menentukan sikap batin jahat. Hal yang
kedua adalah mencari hubungan kausal antara perbuatan dan akibat
dari perbuatan itu. Ajaran yang kedua ini digunakan untuk menemukan
perbuatan melawan hukum yang menimbulkan akibat yang dilarang.129
Delik-delik yang memerlukan ajaran kausalitas ini berupa delik materiil,
delik-delik omisi yang menimbulkan akibat, dan delik yang dikualifikasi
oleh akibatnya. Teori-teori mengenai ajaran kausalitas yang berkembang
dalam hukum pidana meliputi teori condition sine qua non, ajaran
menggeneralisir baik dalam bentuk adekuat subjektif maupun adekuat
objektif, ajaran mengindividualisir, dan teori relevansi.130 Tidak ada satu
dari teori-teori tersebut yang dapat digunakan untuk semua perkara
pidana dalam konteks menemukan sebab bagi timbulnya akibat dalam
kasus-kasus yang muncul karena penyebab bisa sederhana, tunggal atau
bahkan banyak dan kompleks.
129
Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas Hukum Pidana, Prenada Media, Jakarta, 2018, hlm. 140-141
130
Ibid., hlm. 105-118
131
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 478
132
Ibid., hlm. 481-485
133
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335-336
134
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 480
2. Diskursus Teoritik 45
46 Overpenalization Dalam Hukum Pidana
3
Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar di luar
KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentuk-bentuknya,
yaitu berupa perawatan di rumah sakit dan dikembalikan pada orang
tuanya atau walinya bagi orang yang yang tidak mampu bertanggung
jawab dan anak yang masih di bawah umur.1 Hal ini berbeda dengan
bentuk-bentuk sanksi tindakan yang tersebar di luar KHUP yang lebih
variatif sifatnya, seperti pencabutan surat izin mengemudi, perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak
1
Pasal 44 dan pasal 45 KUHP
4
Pasal 103 KUHP
5
Pidana tutupan merupakan jenis pidana berdasarkan KUHP terjemahan BPHN berdasarkan Undang-
undang No. 20 tahun 1946
6
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi...op.cit., hlm 210
7
Pasal 44 ayat (2) KUHP
8
Pasal 45 KUHP
9
Disamping ketentuan yang terdapat dalam KUHP, sesungguhnya sanksi tindakan juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu Pasal 8 UU & Drt Tahun 1955, yang berupa
penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahuh untuk
kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); (1) pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu;
(2) pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan; (3)
kewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan
melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti
tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan
pemidanaan. Substansi teori absolut ataupun teori telatif sesungguhnya
berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar sanksi pidana dan sanksi
tindakan. Teori absolut (teori retributif), misalnya, memandang bahwa
pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan.
Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan
itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan
memandang ke masa lampau (backward looking), yakni memusatkan
argumennya pada tindakan kejahatan yang telah dilakukan. Menurut teori
ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu
demi karugian yang sudah diakibatkan. Karenanya teori ini disebut juga
sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan
secara moral.14
Teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan pemidanaan, yaitu
preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan
adalah untuk melindungi masyarakat, dengan menempatkan pelaku
kejahatan terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan,
hal ini disebut incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam
pemidanaan tidak lain agar timbul rasa takut untuk melakukan kejahatan.15
Teori ini memandang, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas
kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapi tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul
tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus
yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan
13
Ibid, hlm 89-90
14
Ibid, hlm 90-91
15
M.Sholeduddin Op.Cit,. hlm 40-41
Korporasi juga diakui sebagai subjek delik. Pasal 117 UU PPLH menentukan
bahwa dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pidana
dijatuhkan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
dengan ketentuan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan
sepertiga dari ancaman pidana pokok pada tiap-tiap pasal yang dilanggar.
Ini artinya, UU PPLH tidak mengatur mengenai penjatuhan sanksi pidana
kepada korporasi. Pengaturan demikian tentu saja merupakan kelemahan
16
Ibid
17
van Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Belanda dann Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, PT
Gramedia Pustakan Utama, Jakarta, 2003, hlm 516
18
Muladi, “Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian”, dalam Muladi dan
Barda Nawawi Arief, “ Bunga Rampai Hukum Pidana”, Alumni, Bandung, 1992
19
Munir Fuady, Bisnis Kotor; Anatomi Kejahatan kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hlm 186
20
William W. Berry III, Promulgating...op. cit., hlm. 93-94
Ancaman pidana dalam Pasal 98 ayat (1) berupa pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000 dan paling banyak Rp 10.000.000.000, ayat (2) berupa pidana
penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling
sedikit Rp 3.000.000.000dan paling banyak Rp 10.000.000.000, dan ayat (3)
berupa pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan
denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp 12.000.000.000.
Ancaman pidana dalam Pasal 99 ayat (1) berupa pidana penjara paling
singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000dan paling banyak Rp 3.000.000.000, ayat (2) berupa pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000 dan paling banyak Rp 6.000.000.000, dan ayat (3)
berupa pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp 9.000.000.000.
Delik yang karakternya lebih serius daripada delik dalam Pasal 99 adalah
delik yang diatur dalam Pasal 112 yang dinyatakan sebagai berikut:
Delik dalam Pasal 112 lebih serius dibandingkan dengan delik dalam Pasal
99 berdasarkan dua alasan. Pertama adalah bahwa pelaku delik dalam
Pasal 112 adalah pejabat seperti Menteri, Gubernur, dan Bupati/walikota.
Kedua adalah bahwa ada dua akibat yang dipersyaratkan untuk terjadinya
delik yakni terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan
hilangnya nyawa manusia. Hilangnya nyawa manusia harus disebabkan
oleh tercemarnya dan/atau rusaknya lingkungan. Berdasarkan dua alasan
UU PPLH juga mengancam pidana yang lebih berat terhadap delik formil
daripada delik materiil sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Perbandingan Bobot Pidana antara Delik Materiil dan
Delik Formil dalam UU PPLH
Tabel di atas menunjukkan bahwa delik dalam Pasal 105 merupakan delik
formil, tapi ancaman pidananya justru lebih berat daripada delik materiil
dalam Pasal 98 ayat (1). Perbuatan yang dilarang di dalam Pasal 105
adalah ‘memasukkan limbah ke dalam wilayah NKRI’. Limbah di sini tidak
termasuk limbah B3. Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 106 adalah
‘memasukkan limbah B3’. Perbuatan ini berpotensi merusak dan/atau
mencemarkan lingkungan, tapi potensi ini baru ada jika limbah B3 tersebut
dibuang ke media lingkungan. Unsur ‘dibuang ke media lingkungan’ bukan
merupakan unsur delik dalam Pasal 106 sehingga tidak proporsional bila
ancaman pidananya lebih berat daripada ancaman pidana dalam Pasal
98 ayat (2). Berdasarkan prinsip proporsionalitas, delik yang serius harus
diancam pidana berdasarkan seriusitasnya,21 dan oleh karena itu, tidak
proporsional apabila delik yang serius yang dirumuskan secara materiil
diancam dengan pidana yang lebih ringan daripada delik serius yang
dirumuskan secara formil.
21
Shachar Eldar, “Criminal Law, Parental Authority, and the State”, 12, Criminal Law and Philosophy,
2018, hlm. 703
Tabel 2.
Perbandingan Bobot Pidana pada Delik Formil dalam UU PPLH
Substansi delik dalam Pasal 105 lebih serius daripada delik dalam Pasal 104
karena sudah melepaskan ketergantungan administratif hukum pidana
(administrative independent crime), tapi delik ini sudah terbukti apabila
limbah dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan tidak dipersyaratkan dimasukkan ke media lingkungan. Delik dalam
Pasal 104 hanya terbukti apabila limbah atau bahan dibuang ke media
lingkungan tanpa izin. Ini artinya, delik dalam pasal ini memiliki karakter
administrative dependent crime sehingga proporsional bila ancaman
pidananya lebih ringan daripada ancaman pidana dalam Pasal 105. Hal
yang tidak proporsional adalah bahwa ancaman pidana dalam Pasal
105 jauh lebih berat daripada ancaman pidana dalam Pasal 104; penjara
paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 4
miliar dan paling banyak 12 miliar berbanding pidana penjara paling lama
3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar. Ancaman pidana dalam
Pasal 105, dengan demikian, menimbulkan overpenalization bila mengacu
kepada ancaman pidana dalam Pasal 104 dikaitkan pada seriusitas delik
dan persyaratan terbuktinya delik tersebut.
Ancaman pidana dalam Pasal 110 dan Pasal 111 juga lebih berat daripada
ancaman pidana dalam Pasal 113. Perbuatan berupa ‘memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak
informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan
dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup’ dalam
Pasal 113 merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral (tidak
sekedar pelanggaran administrasi), tapi ancaman pidananya justru hanya
pidana penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak 1 miliar. Delik
dalam Pasal 113 padahal lebih serius dibandingkan dengan delik dalam
Pasal 110 dan Pasal 111. Hal yang tidak proporsional bila delik yang lebih
serius diancam dengan pidana yang lebih ringan. Apabila mengacu kepada
seriusitas delik dalam Pasal 110, Pasal 111, dan Pasal 113, maka ancaman
pidana dalam Pasal 110 dan Pasal 111 menimbulkan overpenalization
karena delik yang lebih ringan justru diancam dengan pidana yang lebih
berat.
22
Stuart P. Green, Why It’s a Crime...op.cit, hlm. 1610
3.2. UU Pertambangan
23
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52
24
Oemar Seno Adji, Hukum-Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1984, hlm.28
Pasal 163 ayat (2) UU Pertambangan juga mengatur pidana tambahan yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pertambangan mineral
dan batubaran orang perorangan maupun korporasi yang berupa; a)
perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana;
b) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; danl atau
c) kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. Bentuk-
bentuk pidana tambahan pada badan usaha berbadan hukum berupa
pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.
Ketiga adalah kriteria seriusitas delik yang didasarkan pada dua komponen
utama, yaitu kerugian dan kesalahan.27 Kerugian mengacu kepada tingkat
kerugian atau risiko yang ditimbulkan. Kerugian di sini dapat berupa; a)
kerugian personal, kerugian sosial, kerugian institusional, dan kerugian
negara; b) kerugian materiial dan immateriil; 3) kerugian aktual maupun
potensial; dan 4) kerugian fisik dan kerugian psikis. Kesalahan terkait
kesengajaan, kealpaan, dan keadaan-keadaan yang menyertainya seperti
provokasi korban atas terjadinya kejahatan. Bobot pidana terhadap
delik yang menimbulkan kerugian/korban aktual seharusnya lebih berat
dibandingkan dengan bobot pidana terhadap delik yang baru menimbulkan
korban potensial. Bobot pidana terhadap delik yang dilakukan karena
25
William W. Berry III, “Promulgating Proportionality”, Georgia Law Review, 46, 2011, hlm. 93-94
26
James Headley, “Proportionality Between Crimes, Offenses, and Punishments”, Saint Thomas Law
Review, 17, 2004, hlm. 249
27
Andrew von Hirsch, Communsurability and Crime Prevention...op.cit., hlm. 214
Tabel. 3
Delik-delik terkait Pelanggaran Izin
dalam UU Pertambangan dan Perbandingan Bobot Pidananya
Pencegahan Overpenalization
dalam Penentuan Sanksi Pidana dalam UU
Bidang Lingkungan Hidup
1
Michael O’Connell and Anthony Whelan, “Taking Wrongs Seriously Public Perceptions of Crime
Seriousness”, British Journal of Criminology, 36, 1996, hlm. 300-302
2
Susan F. Mandiberg, Locating the Environmental Harm...op. cit., hlm. 1178
3
Julia L. Torti, “Accounting for Punishment in Proportionality Review”, New York University Law
Review, 88, 2013, hlm. 1918-1919
4
Susan F. Mandiberg, Locating...op.cit., hlm. 1178
5
Geoff Fisher, Sentencing Severity for ‘Serious’and ‘Significant’ Offences: A Statistical Report, Sentencing
Advisory Council, Australia, 2011, hlm. 2
6
Andrew Von Hirsch, Commensurability and Crime Prevention...op. cit., hlm. 214
7
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 493-494
8
Ibid., hlm. 496-497
9
Ibid., hlm. 497-498
10
Susan F. Mandiberg, Locating the Environmental Harm...op.cit., hlm. 1196
11
Ibid., hlm. 498
12
Michael Faure, The Revolution...op.cit., hlm. 335-336
13
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 480
14
Barbara A. Hudson, Understanding Justice an Introduction to Ideas Perspectives and Controversies in
Modern Penal Theory, Open University Press, Philadephia, 1996, hlm. 45
15
Fernando Molina, A Comparison between Continental...op.cit., hlm. 126
16
Douglas Husak, ”Is the Criminal Law Important?”, Ohio State Journal of Criminal Law, 1, 2003, hlm.
269. Mirko Bagaric &Sandeep Gopalan, “Saving the United States from Lurching To Another Sentencing
Crisis: Taking Proportionality Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis University Law
Journal, 2016, hlm. 198. John Griffiths, “The Limits of Criminal Law Scholarship, Yale Law Journal, 79, 1970,
hlm. 1454
17
Barda Nawawi Arief, “Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana dalam PerUndang-
undangan” dalam Barda Nawawi Arief, Bahan Kuliah/Handout Program Doktor Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm 5
18
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum...op.cit., hlm. 154
19
Bandingkan dengan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, bahwa ‘Jika terpidana korporasi tidak membayar
denda, maka harta benda korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda’.
20
Bandingkan dengan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi, bahwa ‘Jika terpidana korporasi tidak membayar
denda, maka harta benda korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda’.
21
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 499-500
22
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52
23
Harkristuti Harkrisnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 8 Maret 2003.
Bobot pidana denda minimal pada delik dalam model ini dapat saja
ditetapkan 4 miliar dan untuk pidana penjara paling sedikit 4 tahun.
Apabila pidana denda tidak dibayar, maka harta terpidana dirampas dan
disita oleh jaksa, serta dilelang untuk membayar denda. Apabila harta yang
dirampas ternyata lebih sedikit dari jumlah denda yang wajib dibayar,
maka terpidana menjalain pidana penjara paling lama 3 tahun.
Sebagai contoh, apabila bobot pidana denda pada delik dalam concrete
harm paling banyak 8 miliar dan pidana penjara paling lama 8 tahun
apabila mengakitkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan, maka
bobot pidana denda paling banyak 6 miliar dan pidana penjara paling
24
Susan F. Mandiberg &Michael G. Faure, A Graduated Punishment...op.cit., hlm. 499-500
Berdasarkan uraian di atas, jenis pidana dan bobot pidana harus didasarkan
pada seriusitas delik lingkungan. Model concrete endangerment berisi
sejumlah delik lingkungan yang paling ringat seriusitasnya, sehingga jenis
pidananya cukup berupa pidana denda yang dirumuskan secara tunggal
tanpa ancaman pidana minumum khusus. Model concrete harm berisi
sejumlah delik lingkungan yang lebih serius daripada model concrete
endangerment, oleh karena itu, logis bila jenis pidana yang diancamkan
berupa pidana denda dan pidana kurungan yang dirumuskan secara
kumulatif dan diikuti dengan ancaman pidana minimum khusus. Model
serious environmental pollution berisi sejumlah delik lingkungan yang lebih
serius daripada model concrete harm, maka logis bila bobot pidananya
lebih berat meskipun jenis dan perumusan ancaman pidananya sama
dengan yang ada dalam model concrete harm.
Penutup
5.1. Kesimpulan
Overpenalization dalam penentuan ancaman sanksi pidana terlihat pada
bobot pidana yang jauh lebih ringan pada delik omisi materiil dalam Pasal
112 daripada delik materiil yang dilakukan karena kealpaan dalam Pasal
99 ayat (3), bobot pidana yang lebih berat terhadap delik formil dalam
Pasal 106 dan Pasal 107 daripada delik materiil dalam Pasal 98 ayat (1) dan
Pasal 112, dan bobot pidana yang sama terhadap delik yang seriusitasnya
justru berbeda sebagaimana dalam Pasal 110 dan Pasal 111. Penentuan
bobot pidana terhadap delik-delik terkait pelanggaran izin juga berbeda
atau tidak dapat diperbandingkan dalam Pasal 158, Pasal 160, Pasal 161,
dan Pasal 165 UU Pertambangan sehingga menimbulkan overpenalization.
5. Penutup 85
paling serius daripada tiga model yang lain. Oleh karena delik dalam
model serious environmental pollution merupakan delik yang paling serius,
maka ancaman pidananya paling berat, disusul dengan ancaman pidana
yang lebih ringan pada delik model concrete harm, kemudian concrete
endangerment, dan terakhir ancaman pidana yang paling ringan pada
delik dalam model abstract endangerment.
5.2. Saran
Pembentuk Undang-undang perlu mengelompokkan delik dalam UU bidang
lingkungan berdasarkan peringkat seriusitas/kategorisasinya. Penetapan
beratnya ancaman sanksi pidana dalam UU tersebut perlu mengacu
kepada peringkat seriusitas/kategorisasi delik. Pembentuk Undang-undang
juga perlu melibatkan ahli hukum pidana saat menetapkan ancaman
sanksi pidana guna memberikan perspektif teoritis dan mencegah
overpenalization .
Ainul Syamsul, Muhammad. (2016). Penjatuhan Pidana & Dua Prinsip Dasar
Hukum Pidana, Jakarta: Prenadamedia Grup.
Basic Law Bulletin Issue. (2013). The Principle of Proportionality and the
Concept of Margin of Appreciation in Human Rights Law, 15 December.
Cavadino, Michael & Dignan, James. (2002). The Penal System an Introduction,
Third Edition, London: SAGE Publications.
Fuady, Munir. (2004). Bisnis Kotor; Anatomi Kejahatan kerah Putih, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Refrensi 87
Hartiwiningsih. (2008). Hukum Lingkungan dalam Perspektif Kebijakan
Hukum Pidana, Surakarta: UNS Press.
Muladi dan Nawawi Arief, Barda. (1998). Teori-teori dan Kebijakan Hukum
Pidan, Bandung: Alumni.
Prasetyo, Teguh dan Halim Barkatullah, Abdul. (2005). Politik Hukum Pidana;
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Refrensi 89
Sudarto. (1973). Hukum Pidana,I (Jilid 1A), Bandung: Badan Penyediaan
Kulih FH UNDIP.
von Hirsch, Andrew. (1985). Past and Future Crimes, Menchester University
Press, Menchester.
Waller, L. & C.R Williams (2005). Criminal Law Texts and Cases, Australia:
Butter Worlds.
Jurnal
Bagaric, Mirko & Gopalan, Sandeep. (2016). “Saving the United States
from Lurching To Another Sentencing Crisis: Taking Proportionality
Seriously and Implementing Fair Fixed Penalties”, Saint Louis
University Law Journal.
Copeland Nagle, John. (2010). “The Idea of Pollution”, U.C. Davis Law Review,
43.
Eldar, Shachar. (2018). “Criminal Law, Parental Authority, and the State”,
12, Criminal Law and Philosophy.
________ & Liu, Jing. (2011-2012). “New Models for the Compensation of
Refrensi 91
Natural Resources”, Kentucky Journal of Equine, Agriculture, and
Natural Resources Law, 4.
Garoupa, Nuno & Klerman, Daniel. (2002). “Optimal Law Enforcement with
a Rent-Seeking Government”, American Law and Economics Review.
Griffiths, John. (1970). “The Limits of Criminal Law Scholarship, Yale Law
Journal, 79.
Husak, Douglas. (2003). ”Is the Criminal Law Important?” Ohio State Journal
of Criminal Law, 1.
Markel, Dan. (2009). “Executing Retributivism: Panetti and the the Future
of the Eighth Amendment” Northwestern University Law Review.
Meagher, Dan. (2013). ‘The Common Law Principle of Legality in the Age of
Rights’, Melbourne University Law Review, 35.
Refrensi 93
N. Robinson, Daniel. (2004). “Punishment, Forgiveness, and the Proxy
Problem”, Notre Dame Journal of Law, Ethics and Public Policy.
Woong Kim, So. (2013). “Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan
Hukum Lingkungan Hidup’, Jurnal Dinamika Hukum, 13.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2017
tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rumah Tahanan
Negara dan Lembaga Pemasyarakatan
Glosari
Abstract endangerment: Model kriminalisasi yang hanya ditujukan
kepada pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban administrasi dan
dibatasi hanya pada tindak pidana-tindak pidana yang tidak melibatkan
kontak langsung antara bahan tercemar dengan lingkungan.
Refrensi 95
adanya ancaman kerugian lingkungan dan perbuatan dilakukan secara
melawan hukum.
Double track system: Sistem dua jalur sanksi dalam hukum pidana melalui
pengakuan terhadap sanksi pidana (punishment) dan sanksi tindakan
(treatment) dalam kedudukan yang sejajar atau setara.
Spacing of penalties: Ada jarak pidana antara delik yang ringan, delik
yang berat, dan delik yang sangat serius.
Indeks
a
Abstract endangerment
Administrative dependent of environmental criminal law
Administrative independent of environmental criminal law
Amdal
Andi hamzah
Asas rasionalitas
Aturan pelaksanaan pidana
b
Bahan berbahaya dan beracun
Baku mutu lingkungan
Barda nawawi arief
Refrensi 97
c
Concrete endangerment
d
Delik
Demonstrated endangerment.
Double track system
Douglas husak
h
Hukum pidana administrasi
i
Intergenerational equity
Izin lingkungan
Izin pertambangan rakyat
Izin usaha budi tanaman perkebunan
Izin usaha jasa perkebunan
Izin usaha pengelolaan hasil perkebunan
Izin usaha pertambangan
Izin usaha pertambangan khusus
k
Kerugian lingkungan
Korporasi
Kriteria baku kerusakan lingkungan
m
Malum in se crimes
Malum prohibitum crimes
Mercenary-sanction
Michael Faure
o
Overpenalization
r
Rank-ordering
Reklamasi
Roeslan saleh
s
Sanksi pidana
Serious environmental pollution.
Seriusitas delik
Setiap orang
Spaciang of penalties
Supriadi
t
Teori absolut
Teori relatif
u
UKL-UPL
Ultimum remedium
Refrensi 99
100 Overpenalization Dalam Hukum Pidana