PENGANTAR
HUKUM JAMINAN KEBENDAAN
v|Page
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. vi | P a g e
Daftar Isi
PENDAHULUAN
1|Page
mengisahkan betapa gigihnya manusia berjuang untuk
memperoleh benda sebagai kelengkapan profesinya, bahkan
hikayat itu tak pernah lekang oleh panas ataupun lapuk oleh
guyuran hujan sampai peradaban modern sekalipun.
Pantulan fakta menunjukkan butkti bahwa benda yang
terserak dalam latar kehidupan social, jumlahnya tak
terbilang,juga jenisnyapun sangat beraneka. Meski
demikian, benda yang tak pernah dapat lepas dari eksistensi
manusia selaku anggota kelompok, hukum harus
mengaturnya supaya ada kejelasan dan kepastian
peranannya. Agar mengatur benda menjadi lebih mudah
perakitannya dalam norma hukum, pembentuk Burgerlijk
Wetbook(BW)membaginya ke dalam beberapa golongan
dengan masing-masing pasangan-nya. Lebih jauh lagi setiap
penggolongan benda yang dikenal BWternyata gaungnya
menyambangi banyak bidang secara berbeda-beda, sehingga
diperlukan kecerdasan yang prima untuk meniti lintasan
akibat-akibat hukumnya. Pembagian tersebut misalnya:
1. Benda berujud-benda tak berujud (Pasal 503 BW)
2. Benda bergerak-benda tak bergerak (Pasal 504 BW)
3. Benda habis pakai-benda tidak habis pakai (Pasal 505BW)
4. Benda yang sudah ada-benda masih aka nada (Pasal 1131
BW)
5. Benda dapat dibagi-benda tidak dapat dibagi (Pasal 1163
BW)
6. Benda dalam perdagangan-benda diluar perdagangan
(Pasal 1332 BW)
7. Benda yang dapat diganti-benda yang tidak dapat diganti
(Pasal 1694 BW)
1
Lee Mei Pheng, Detta Samen, Banking Law, Malayan Law
Journal, Kuala Lumpur, 2002, h. 339.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 12 | P a g e
Benda yang dijadikan agunan atas dasar perjanjian yang
dibuat antara debitor dan kreditor, berarti benda tersebut
dibebani hak jaminan tanpa mengusik hak milik yang
dipegang oleh yang punya benda. Berarti di atas satu macam
benda dapat melekat beberapa macam hak yang mempunyai
tujuan sendiri-sendiri, sehingga dengan model tersebut variasi
transaksi benda menjadi berkembang sangat beraneka.
2
Ibid., h. 30.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 15 | P a g e
sehingga perbuatan hukum yang dapat dilakukan atas benda
kepunyaannya menjadi amat leluasa, mengakibatkan yang
bersangkutan menjadi wenang untuk mengasingkan benda
tersebut. Beranjak dari noktah ini,maka adigum hukum
menyatakan bahwa yang wenang mengasingkan sebuah
benda adalah pemilik. Mengasingkan mengandung makna
memindahkan hak milik benda kepada pihak lain, untuk ini
harus dilakukan dengan penyerahan- misalnya menjual ,
menukarkan dengan benda lain , atau juga menghibahkan
kepada sesuatu pihak. Sesuai system kalau dalam kehidupan
riil memindahkan hak milik benda dilakukan dengan jalan
levering,umumnya dan paling sering titel yang dipergunakan
sebagai alasnya adalah perjanjian jual beli, maka dari titik ini
pula dapat disimpulkan bahwa yang wenang menjual sebuah
benda adalah pemilik.
Pemegang hak milik suatu benda tak hanya wenang
menjual, tetapi juga wenang menjaminkan benda yang ber-
sangkutan. Bahkan adagium dalam Hukum Jaminan men-
canangkan bahwasanya yang wenang menjaminkan sebuah
benda adalah pemilik. Pola ini terpancang dengan suatu
pemahaman, bahwa bisa saja perbuatan menjaminkan itu
merupakan Langkah awal untuk mengasingkan benda. Sebab
saat utang tertentu yang dijamin dengan sebuah benda milik
debitor, andai dibelakang hari ternyata utang tak dibayar,
sesuai prosedur, tindak lanjutnya benda yang dijaminkan itu
akan segera dijual dihadapan umum atau dijual lelang.
Penjualan secara lelang ini, pada dasarnya dilandasi oleh
kewenangan debitor selaku pemilik, meskipun dalam Hukum
Jaminan kemudian dikemas dengan cara yang khusus demi
memudahkan eksekusinya, antara lain lewat kuasa menjual
URGENSI PEMBAGIAN
BENDA BERGERAK-BENDA TIDAK
BERGERAK
1
Denis Keenan, Sarah Riches, Business Law, Pearson Longman,
London, 2002, h.201.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 42 | P a g e
BAB III
JAMINAN UMUM
SEBAGAI PENYANGGA PERIKATAN
1
Douglas J. Whaley, Secured Transaction, Harcourt Brace
Legal andProfessional Publication, Inc, Chichago, 1991,h. 1
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 47 | P a g e
unsecured creditor, and would have to share pro rata with
these other unsecured creditors”2
2
Steven Emanuel, Secured Transaction, Emanuel Law
Outlines, Inc., New York, 1988, h. 1
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 48 | P a g e
tak pernah kunjung usai dalam kesehariannya. Lewat
perikatan pemenuhan kebutuhan hidup akan relatif mudah
dicapai, ketimbang dilakukan ataupun dilaksanakan sendiri
tanpa bekerja sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Pemenuhan kebutuhan dengan jalan mengadakan perikatan
dengan pihak lain adalah demi mencapai suatu prestasi yang
diinginkan, juga dalam rangka menegakkan efisiensi, agar
waktu, tenaga, dan beaya, dapat ditekan sekecil mungkin.
Lewat kerja sama berupa perikatan lebih banyak hemat
kalau dibanding dengan bekerja sendirian tanpa berinteraksi
dengan sesame anggota masyarakat lainnya. Mematok
efisiensi sebagai tolok ukur saat dibuatnya setiap perikatan,
memberikan sinyal bahwa itulah dalil bisnis yang tak pernah
ditanggalkan oleh para pelakunya. Agar hukum sebagai
bingkai bisnis bergayungsambut dengan panji efiensi yang
dikibarkan para pelaku pasar, maka hakekat hukum sebagai
sarana juga wajib mengegakkan urusan efisiensi ini dalam
rakitan normanya. Menafikan peri hal efisiensi, malah akan
menimbulkan ekonomi beaya tinggi yang sudah barang
tentu sangat ditentang oleh pelaku bisnis, dan hukum
sebagai sarana akan dilecehkan dengan pelbagai terobosan
yang kadang menuai kegelisahan.
Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis
merupakan corak utama dalam perikatan yang diatur oleh
Buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada di dalamnya,
baik secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan
situasi yang kondusif demi kelancaran roda bisnis dalam
masyarakat. Kondusifitas perkembangan bisnis baru bisa
diujudkan oleh hukum, apabila ketentuan-ketentuan
fleksibel atau luwes. Bahkan ada kalanya suatu asaspun
harus dibuatkan kekecualiannya supaya ekonomi beaya
tinggi dapat dihindari, dan ini merupakan salah satu
1
J. C. Carvan, et., al., A Guide To Business Law, LBC Information
Services, Sydney, 1996, h. 27
71 | P a g e
Perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir,
manakala tak dilengkapi dengan perjanjian jaminan
kebendaan untuk mendapatkan agunan, hak tagihnya hanya
berposisi sebagai hak pribadi yang memiliki sifat gugat
perorangan yang ujung-ujungnya hanya dijamin oleh Pasal
1131 BW, dan tidak mempunyai hak gugat kebendaan akibat
tak memegang satu benda tertentu sebagai agunan. Jadi posisi
pinjaman bank tidak diliput oleh agunan. “A creditor who
has no security interestin the collateral but has a personal
claim against the debtor (e. G.,a doctor to whom bills are
owed) is called an unsecured creditor.”2
Membayar utang bagi debitor sebagai sebuah prestasi
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan atau harus
dilunasi, dan ini ditegaskan secara akomodatif oleh Pasal
1235 BW bahwa dalam perikatan untuk memberikan sesuatu,
maka debitor wajib menyerahkan bendanya dan memelihara-
nya sampai saat penyerahan. Ketentuan ini menandakan
bahwa suatu prestasi sebagai kewajiban harus dipenuhi, apa-
pun ujud prestasi itu seperti yang disebut dan diatur oleh
Pasal1234 BW. Apabila kewajiban tidak dilaksanakan, itu
merupakan perbuatan yang salah, dan adagium dalam hukum
menyatakan bahwa siapa yang salah wajib pikul risiko.
Adapun suatuprestasi bila tak dipenuhi, dan itu perbuatan
salah, maka risiko yang dipikul debitor adalah seperti apa
yang diungkapkan oleh Pasal 1236 BW yakni membayar
ganti rugi, beaya,dan bunga.
Gatra di atas secara terselubung memberikan makna,
bahwa suatu prestasi sebagai kewajiban berbicara kewajiban
tak bakal lepas dengan hak, karena keduanya bagai sisi-sisi
2
Douglas J. Whaley, Op. Cit., h.61
3
Jonathan R. Macey, Geoffrey P. Miller, Banking Law And
Regulation, Little, Brown and Company, Boston, 1992, h. 37-38
4
Andreas Busch, Banking Regulation And Globalization, Oxford
University Press, Oxford, 2009, h. 23
5
James R. Barth, Gerard Caprio Jr, Ross Levins, Rethinking Bank
Regulation, Till Angels Govern, Cambridge University Press, Cambridge,
2008,h. 74.
6
Ross Cranston, Peinciples of Banking Law, Clarendon Press,
Oxford, 1997, h. 432.
7
Lee Mei Pheng, Detta Samen, Op., Cit., h. 337.
1
Ibid.,h.62
93 | P a g e
Gadai. Sebaliknya kalau benda tertentu milik debitor yang
diberikan sebagai jaminan berujud benda tidak bergerak, lalu
diikat dengan perjanjian jaminan kebendaan, ujud konkritnya
adalah Perjanjian Jaminan Hipotek.
Baik dengan Perjanjian Jaminan Gadai yang kemu-
dian melahirkan hak gadai, ataupun mengadakan Perjanjian
Jaminan Hipotek selanjutnya melahirkan hak hipotek, kedua
jenis hak jaminan tersebut tergolong sebagai hak kebendaan
vang terkwalifikasi sebagai hak kebendaan yang bercorak
jaminan, mengingat lembaga jaminan gadai dan hipotek itu
aturannya ada dalam Buku II BW. Hadirnya Perjanjian
Jaminan Gadai ataupun Perjanjian Jaminan Hipotek yang
akhirnya melahirkan hak kebendaan berujud hak gadai atau
hak hipotek, adalah dalam rangka mendukung perjanjian
pokok, yakni perjanjian kredit yang hanya melahirkan hak
tagih yang berkadar sebagai hak pribadi.
Seperti diketahui bahwa gadai dan hipotek diatur
dalam Buku II BW, oleh sebab itu hak yang muncul dari
Perjanjian Jaminan Gadai atau dari Perjanjian Jaminan
Hipotek, yakni hak gadai dan hak hipotek, tergolong sebagai
hak kebendaan bercorak jaminan atau biasa disebut
hakjaminan kebendaan. Sebaliknya perjanjian kredit
sebagaiPerjanjian Obligatoir yang tunduk pada rezim Buku
III BW,hak yang lahir termasuk sebagai hak pribadi. Uraian
yang menyatakan berendengnya hak pribadi yang bermuasal
dariBuku III BW, kemudian didukung hak kebendaan
bercorakjaminan yanglahir dari Buku II BW, membuktikan
kebenaran betapa eratnya hubungan antara Buku II BW
dengan Buku III BW sebagai suatu sistem.
97 | P a g e
undang-undang yang mengatur soal jaminan, berarti perjanji-
an yang dibuat para pihak sebagai ujud penyimpangan itu
diadakan dengan maksud mengatur soal jaminan juga dengan
obvek benda. Oleh sebab itu perjanjian tersebut dinamakan
sebagai perjanjian jaminan. Mengingat perjanjian jaminan
yang bersangkutan obyeknya benda, maka perjanjian yang
dimaksud termasuk sebagai perjanjian jaminan kebendaan
yang akan melahirkan hak kebendaan bercorak jaminan (hak
jaminan kebendaan).
Seluk beluk benda, termasuk penjaminannya yang
diperjanjikan, jelas jatuh dalam ranah Buku II BW, sehingga
perjanjian jaminan kebendaan karena obyeknya benda,
dengan sendirinya dikuasai oleh Buku II BW tempat ber-
mukimnya hak kebendaan, dan bukan dikuasai oleh Buku III
BW sebagai sarangnya hak pribadi. Menjadi sepatutnya pula
kalau dari perjanjian jaminan kebendaan tersebut yang lahir
adalah hak kebendaan bukan hak pribadi. Selanjutnya kalau
dirujukkan pada jenis pembagian benda yang paling sentral
dalam BW adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak,
mana kala benda-benda tersebut dijadikan obyek jaminan,
tentu harus dirakit oleh para pihak dengan memakai
perjanjian jaminan kebendaan. Setelah dibuat perjanjian
jaminan kebendaan, dari rahim perjanjian tersebut akan lahir
hak kebendaan berujud hak jaminan kebendaan atau hak
kebendaan bercorak jaminan. Kalau benda bergerak yang
dijadikan obyek perjanjian jaminan kebendaan, konkritnya
perjanjian yang dimaksud disebut Perjanjian Jaminan Gadai,
maka lahirlah hak gadai. Demikian juga kalau benda tidak
bergerak yang dijadikan obyek perjanjian, maka dirakit
dalam perjanjian jaminan kebendaan yang secara faktual
berujud Perjanjian Jaminan Hipotek, dan dari rahimnya akan
keluar
1
Henry J. Bailey III, Richard B. Hagedorn, Secured Transactions In
A Nutshell, West Publishing Co., St Paul Minnesota, 1998, h.60.
2
Ibid., h.175
125 | P a g e
punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan
yang mudah, sederhana, serta cepat, dan itu antara dengan
menggunakan lembaga hukum parate eksekusi. Model ini
untuk mempermudah penjualan lelang obyek jaminan di
hadapan umum akibat debitor wanprestasi sehingga
pelunasan piutangnya kreditor relatif cepat, sederhana, dan
murah, karena tanpa perlu melalui proses gugat ginugat di
pengadilan ataupun proses peletakan sita jaminan. Inilah sita
eksekusi yang dipermudah dan tentunya sangat mendukung
perputaran roda bisnis yang memerlukan efisiensi. Ciri
parate eksekusi ini kalau dalam gadai dapat disimak dalam
Pasal 1155 BW yang intinya menuturkan bahwa "kalau tidak
ditentukan lain, bila debitor wanprestasi maka kreditor diberi
wewenang untuk menjual sendiri benda gadai di hadapan
umum guna mengambil pelunasan piutangnya". Hal senada
juga ditemukan dalam aturan hipotek Pasal 1178 ayat 2 BW
yang intinya menegaskan bahwa "apabila debitor
wanprestasi, maka kreditor atas kuasa debitor diberi
wewenang untuk menjual sendiri obyek hipotek di hadapan
umum guna mengambil pelunasan piutangnya".
Menyandingkan Pasal 1155 BW dengan Pasal 1178 ayat
2 BW, nampak perbedaan yang penting tentang aturan
lembaga parate eksekusi. Dalam hukum ada dalil yang
menyatakan bahwa yang wenang mengasingkan sebuah
benda, dengan sendirinya termasuk menjual, adalah pemilik.
Juga perlu dicermati dengan seksama, bahwa sebah benda
kalau sedang dijaminkan, maka hak benda yang bersangkutan
tetap ada pada debitor, sedang pihak kreditor hanya
mempunyai hak jaminan saja atas benda tersebut. Berarti
kreditor bukan pemilik benda
3
Walter Woon, Basic Business Law In Singapore, Prentice Hall,
Singore, 1995, h.41.
1
Steven Emanuel, Op., Cit., h.1
161 | P a g e
Kreditor gadai maupun kreditor hipotek, karena
kreditor-kreditor yang mempunyai piutang itu memegang hak
gadai ataupun hak hipotek selaku hak jaminan kebendaan,
sedasar dengan coraknya, maka para kreditor tersebut, baru
akan memiliki keduanya, baik piutang gadai dan piutang
hipotek, harus membuat perjanjian dengan rekannya yang
berkedudukan sebagai debitor. Piutang yang dilahirkan dari
perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan nasabahnya,
adalah terkatagori selaku perjanjian obligator yang sekedar
melahirkan hak pribadi dengan benteng jaminan dalam pasal
1131 BW. Sedangkan hak gadai dan hak hipotek sebagai hak
kebendaan juga dilahirkan dari perjanjian, meskipun dengan
kategori yang berbeda, yaitu dari perjanjian jaminan gadai
atau perjanjian hipotek yang kedua-duanya tergolong sebagai
perjanjian kebendaan. Jadi tanpa adanya perjanjian jaminan
gadai atau tanpa ada perjanjian jaminan hipotek, tidak bakal
lahir hak gadai dan hak hipotek sebagai hak jaminan
kebendaan yang berfungsi sebagai pendukung perjanjian
kredit. Lewat polah inilah mengakibatkan piutang lahir dari
perjanjian kredit dilekati hak gadai dan hipotek, sehingga
mengakibatkan posisi piutang tersebut menjadi piutang
istimewa yang pelunasannya harus didahulukan.
Hanya lewat perjanjian maka hak gadai dan hak
hipotek itu ada, karena membutuhkan adanya kesepakatan
antara debitor dan kreditor untuk menyetujuhi benda tertetu
agunan sebagai jaminan khusus atas sejumblah uang tertentu.
Kalau disodorkan benda tertentu milik debitor yang
disepakati kreditor, merupakan benda bergerak maka
dibuatlah perjanjian jaminan gadai. Sebaliknya bila yang
diberikan dan disepakati benda tertentu milik debitor
B. Piutang Hipotek
Mana kala yang disodorkan oleh debitor adalah benda
tidak bergerak miliknya demi menjamin sejumlah utang
tertentu yang diperlukannya, dan pihak kreditor menyetu-
juinya, maka dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan berupa
perjanjian jaminan hipotek untuk mendukung perjajian
pokok. Dengan adanya perjanjian kredit selaku perjanjian
pokok yang berposisi sebagai obligator, lalu didukung
dengan perjanjian jaminan hipotek yang tergolong jaminan
kebendaan, sehingga akibatnya kreditor akan memiliki (2)
macam hak, yakni hak tagih (piutang) dan hak hipotek.
Piutang termasuk golongan hak pribadi untuk kemudian
didukung oleh hak hipotek selaku hak jaminan kebendaan,
maka piutang bank yang bersangkutan akan berposisi sebagai
piutang istimewa sebagaimana diutarakan di pasal 1133 BW.
Dikarenakan piutang tersebut dikwalifikasi sebagai piutang
istimewa berarti ada preferensi
2
Doglas J. Whaley, Op., Cit., h. 62
A. Privilege umum
Sebutan privilege umum dikarenakan privilege
tersebut melekat pada seluruh benda yang dimiliki oleh
debitor. Akibatnya pelunasan jenis previlege ini tidak
digantungkan pada benda tertentu saja, tetapi dikenakan
pada hasil penjualan atas seluruh benda apa saja yang
dipunyai oleh debitor. Penanaman previlege umum
mengingatkan jaminan umum yang ada dalam pasal 1131
BW, sehingga pola yang digunakannyapuntak jauh beda. Ini
benar-benar merupakan sebuah rakitan ketentuan undang-
undang yang lumayan runtut demi pentingnya menjaga
konsistensi, dan ini menjadi urgen agar
9. Hak Tanggungan
Sejalan dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah
sebagai salah satu jenis benda, tentu memiliki posisi sentral
dalam kehidupan sosial, terlebih4ebih untuk dunia bisnis
justru memegang peran yang strategis. Nilai hak atas tanah
serasa tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, justru
dari waktu ke waktu harga pasarnya terus meningkat. Apa
lagi di lingkungan masyarakat kota, urusan lahan menjadi
tuntutan kebutuhan yang nyaris mencekik akibat harganya
yang kian fantastis. Tak urung posisi strategis hak atas tanah
dalam kehidupan sosial menjadi kian sentral, nilai pen-
jaminannyapun makin penting dikaji, untuk kemudian
menjadi perlu difasilitasi dengan lembaga hukum yang
mapan dan sesuai dengan undang-undang induknya, yakni
UUPA. Apa bila UUPA punya misi untuk mencipta unifikasi
pengaturan seluk beluk tanah, maka dalam hal penjaminan
nya juga harus dituang dalam seperangkat undang-
undang yang tentu sajaharus selaras dengan hakekat
hukum pertanahan di Indonesia yang dilandaskan pada
Hukum Adat.
10.Fidusia
Pemerintah Indonesia terus berbenah demi melayani
tuntutan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang
sesuai pertumbuhan iklim ekonomi nasional, sehingga dalam