Anda di halaman 1dari 210

i|Page

PENGANTAR
HUKUM JAMINAN KEBENDAAN
v|Page
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. vi | P a g e
Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................... v


Daftar Isi ............................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
1. Benda dalam sirkulasi Kehidupan
Manusia ........................................................... 1
2. Karakter Benda Sebagai Obyek Transaksi ...... 10
3. Keunggulan Ciri Hak Milik Atas Suatu
Benda ............................................................... 13
BAB II URGENSI PEMBAGIAN BENDA
BERGERAK-BENDA TIDAK
BERGERAK ............................................................. 19
1. Golongan Benda Bergerak ............................. 19
2. Golongan Benda Tidak Bergerak ................... 30
3. Konsekwensi Lanjut Penggolongan Benda
Bergerak-Benda Tidak Bergerak .................... 37
A. Dalam Bidang Bezit ................................. 37
B. Dalam Bidang Levering ........................... 38

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. vii | P a g e


C. Dalam Bidang Verjaring (Daluwarsa) ..... 39
D. Dalam Bidang Bezwaring
(Penjaminannya) ..................................... 39
E. Dalam Bidang Sita (Beslag) ..................... 39
BAB III JAMINAN UMUM SEBAGAI
PENYANGGA PERIKATAN ...................................... 43
1. Prestasi Sebagai Obyek Perikatan ................. 43
2. Nilai Ekonomis Prestasi .................................. 48
3. Risiko Mengandalkan Jaminan Umum .......... 51
A. Risiko Akibat Wanprestasi ...................... 52
B. Risiko Akibat Debitor Meninggal
Dunia ....................................................... 54
C. Risiko Akibat Debitor Pailit ..................... 57
4. Kedudukan Pasal 1131 BW ............................ 58
BAB IV KEDUDUKAN PERJANJIAN KREDIT
DALAM RANGKUMAN BUKU III BW ...................... 65
1. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian
Tak Bernama .................................................. 65
2. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian
Obligatoir ........................................................ 69
3. Pasal 1131 BW Sebagai Benteng Pelindung
Perjanjian Obligatoir ...................................... 73
BAB V FUNGSI DAN JENIS PERJANJIAN JAMINAN ............ 81
1. Pengertian Istilah Umum Dalam Jaminan
Yang Ada Pada Pasal 1131 BW ...................... 81
2. Perjanjian Jaminan Sebagai Upaya
Membangun Perisai Terhadap Pasal 1131
BW ................................................................... 84
3. Jenis Perjanjian Jaminan ................................ 89

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. viii | P a g e


A. Perjanjian Jaminan Perorangan ........... 92
B. Perjanjian Jaminan Kebendaan ........... 93
BAB VI HAK JAMINAN KEBENDAAN ................................. 97
1. Hak Jaminan Kebendaan Lahir
Dari Perjanjian Jaminan Kebendaan ........... 97
2. Kategorisasi Perjanjian Jaminan
Kebendaan ................................................... 99
3. Perbandingan Ciri Pokok Antara Hak
Jaminan Kebendaan dengan
Hak Pribadi ................................................... 108
BAB VII PIUTANG ISTIMEWA ........................................... 151
1. Utang Sebagai Suatu Presatasi ................... 151
2. Kedudukan Piutang Sebagai Hak Pribadi
(Hak Perorangan) ......................................... 154
3. Jenis Piutang dalam BW .............................. 157
4. Piutang Istimewa yang Lahir dari
Perjanjian ..................................................... 161
A. Piutang Gadai ....................................... 163
B. Piutang Hipotek .................................... 164
5. Piutang Istimewa yang Lahir dari
Undang-Undang .......................................... 166
6. Jenis Previlege ............................................. 171
A. Previlege Umum ................................... 171
B. Previlege Khusus .................................. 173
7. Benturan Antar Piutang Istimewa .............. 175
8. Perkembangan di Indonesia ....................... 179
9. Hak Tanggungan .......................................... 184
10. Fidusia .......................................................... 187
11. Benturan Antar Jenis Piutang Istimewa
Saat Ini ......................................................... 190

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. ix | P a g e


BAB VIII PENUTUP ........................................................... 193
DAFTAR BACAAN ............................................................. 197

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. x|Page


BAB I

PENDAHULUAN

1. Benda dalam Sirkulasi Kehidupan Manusia

M anusia sebagai makhluk yang selalu hidup


berkelompok dalam suatu gugus yang disebut
masyarakat, pasti memerlukan benda. Tak ada suatu
kegiatan keseharian yang dilakukan manusia sebagai
anggota kelom-pok tanpa melibatkan benda selaku
pendukungnya. Setiap anggota masyarakat yang malang
melintang mengejar peme-nuhan kebutuhannya, justru
sering berburu benda untuk dimiliki supaya
kesejahteraannya kian meningkat. Banyak sudah hikayat
yang dituturkan oleh sejarah, bagaimana gigih-nya manusia
mempertahankan setiap benda yang dimiliki saat hendak
dirampas oleh pihak lain secara paksa. Bahkan banyak juga
kisah yang melegenda tentang perjuangan anak manusia
untuk memperoleh benda yang diinginkan guna menunjang
hegemoni kekuasaan yang diinginkan, atau untuk meraih
singgasana agar dapat memegang tampuk tertinggisebuah
kekuasaan. Putaran sejarah manusia sudah banyak

1|Page
mengisahkan betapa gigihnya manusia berjuang untuk
memperoleh benda sebagai kelengkapan profesinya, bahkan
hikayat itu tak pernah lekang oleh panas ataupun lapuk oleh
guyuran hujan sampai peradaban modern sekalipun.
Pantulan fakta menunjukkan butkti bahwa benda yang
terserak dalam latar kehidupan social, jumlahnya tak
terbilang,juga jenisnyapun sangat beraneka. Meski
demikian, benda yang tak pernah dapat lepas dari eksistensi
manusia selaku anggota kelompok, hukum harus
mengaturnya supaya ada kejelasan dan kepastian
peranannya. Agar mengatur benda menjadi lebih mudah
perakitannya dalam norma hukum, pembentuk Burgerlijk
Wetbook(BW)membaginya ke dalam beberapa golongan
dengan masing-masing pasangan-nya. Lebih jauh lagi setiap
penggolongan benda yang dikenal BWternyata gaungnya
menyambangi banyak bidang secara berbeda-beda, sehingga
diperlukan kecerdasan yang prima untuk meniti lintasan
akibat-akibat hukumnya. Pembagian tersebut misalnya:
1. Benda berujud-benda tak berujud (Pasal 503 BW)
2. Benda bergerak-benda tak bergerak (Pasal 504 BW)
3. Benda habis pakai-benda tidak habis pakai (Pasal 505BW)
4. Benda yang sudah ada-benda masih aka nada (Pasal 1131
BW)
5. Benda dapat dibagi-benda tidak dapat dibagi (Pasal 1163
BW)
6. Benda dalam perdagangan-benda diluar perdagangan
(Pasal 1332 BW)
7. Benda yang dapat diganti-benda yang tidak dapat diganti
(Pasal 1694 BW)

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 2|Page


8. Benda bertuan-benda tak bertuan (Pasal 519 BW)
Mencermati penggolongan benda dalam BW
Nampak sedemikian rinci, bahkan nyaris lengkap. Kesan ini
menjadi lebih menyengat kalau misalnya dibandingkan
dengan pem-bagian benda dalam Hukum. Adat yang sekedar
mengenal pembagian benda secara sederhana, yakni benda
berupa tanah dan benda bukan tanah. Akibat pembagian
benda yang lebih bernuansa pada fakta melulu, ujung-
ujungnya tak bakal melantur berkisah tentang konsep
berkepanjangan yang pada sisi lain juga tidak bakal dapat
menimbulkan dan melahirkan banyak teori. Tidak lain itu
semua sebagai akibat dari sifat Hukum Adat yang konkrit dan
kontan. Tentang pembagian benda dalam Hukum Adat yang
hanya mengenal benda berupa tanah dan benda bukan tanah,
berakibat diberlakukannya asas pemisahan horizontal.
Sesuai perkembangan di Indonesia, Hukum Adat ini
ternyata dipergunakan sebagai landasan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). Undang-undang ini mengatur tentang
benda, secara khusus mengatur benda berupa tanah yang
keberlakuan-nya bersama-sama dengan aturan benda dalam
BW, sehingga secara factual urusan benda diatur oleh lebih
dari satu system hukum yang masing-masing menggunakan
prinsip berbeda. Tak urung dari kancah seperti itu dalam
praktek banyak menimbulkan masalah, sehingga acap kali
kepastian hukum menjadi terkorbankan.
Klasifikasi pelbagi macam benda yang diatur BW
tersebut diatas, tak berhenti pada pembagiannya melulu,
tetapi membawa akibat lanjut yang membujur Panjang
dengan beberapa konsekwensi ikutannya. Semisal benda

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 3|Page


habis pakai-benda tidak habis pakai, kalau dijadikan obyek
transaksi pinjam meminjam, maka sejak jenis benda habis
pakai diserahkan, pihak peminjam yang menerimanya akan
berubah kedudukannya menjadi pemilik benda yang
bersangkutan. Tetapi tidak demikian halnya kalau obyeknya
benda tidak habis pakai, meski sudah diserahkan dan
dikuasai secara nyata oleh peminjam bukan sebagai pemilik.
Akan lebih panjang lagi akibat hukum yang mengikutnya,
kalau melacak pembagian benda bergerak-benda tidak
bergerak -dimana pembagian jenis benda ini memang yang
paling penting- terbukti akan mempengaruhi dalam hal
penguasaannya(bezit), daluwarsanya(verjaring), penyerahan-
nya (levering), penjaminannya (bezwaring), ataupun sitanya
(beslag).
Pembagian benda dalam BW tak sekedar menggolongkan
saja, tetapi hal itu lebih merupakan konsep yang kemudian
memerlukan penjabaran lanjut mana kala masing-masing
benda yang bersangkutan dijadikan obyek transaksi. Citra
pengaturan benda seperti itu, menandakan bahwa BW
memandang benda tak sekedar sebagai suatu fakta melulu,
tetapi cenderung merupakan suatu abstraksi yang disusun
dengan menggunakan metode keilmuan, sehingga akan
membawa serta suatu uraian dan Analisa yang berkelanjutan
bahkan tidak jarang memunculkan adanya banyak teori.
Tambah lagi , mengingat benda memiliki kedudukan
yang strategis dalam kehidupan social, oleh BW lalu segera
diatur dalam Buku II setelah penormaan pada diri pribadi
orang sebagai subyek hukum yang disusun dalam Buku I.
Pengaturan benda dalam Buku II BW pun pada dasarnya

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 4|Page


banyak yang dibingkai dengan ketentuan hukum yang
berposisi sebagai dwingend recht, atau ketentuan undang-
undang yang bersifat memaksa, sehingga para pihak tak
diperbolehkan mengesampingkannya kendati dengan sepakat
sekalipun. Inilah salah satu penyebab sehingga Buku II BW
lalu bersifat tertutup. Lebih jauh lagi aturan Buku II BW,
selain berhias definisi tentang benda pada ketentuan
awalnya, Sebagian besar pasal-pasalnya didominasi oleh
norma tentang hak kebendaan. Menyinggung hak kebendaan
yang aturannya mendominasi Buku II BW, ternyata hak
kebendaan ini terbagi menjadi (2) macam yaitu:
1. Hak kebendaan yang bercorak menikmati, misalnya hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha.
2. Hak kebendaan yang bercorak jaminan (hak jaminan
kebendaan), yakni hak gadai dan hipotek.
Pembahasan tentang hukum jaminan kebendaan
sudah barang tentu akan lebih banyak terfokus pada jenis hak
kebendaan yang bercorak jaminan (hak jaminan kebendaan),
kendati pada aspek-aspek tertentu dapat saja akan
bersinggungan dengan hak kebendaan yang bercorak
menikmati, mengingat keduanya ada dalam Rahim yang
sama yakni Buku II BW. Hanya perlu diberikan perhatian
sejenak bahwa perihal jaminan kebendaan ini di Indonesia
ada suatu perkembangan khusus akibat diterbitkannya
beberapa jenis undang-undang yang sengaja dibuat oleh
pemerintah demi melayani kemajuan dan tuntutan kebutuhan
masyarakat. Adapun perkembangan yang dimaksud adalah
dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan), dan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 5|Page


Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UU Fidusia). Kedua undang-undang tersebut sesuai
historisnya oleh pemerintah memang dirasa perlu untuk
dicipta dengan tujuan antara lain demi memantapkan
sinkronisasi dan kepastian hukum.
Menyangkut hak kebendaan yang lahir dari Buku II
BW ini, bila ditilik dan kemudian dibandingkan dengan hak
yang lahir dari Buku III BW, ternyata menunjukkan karakter
yang jauh berbeda, meskipun sesungguhnya substansi Buku
II BW dan Buku III BW bermuasal dari gugus yang sama
yakni Hukum Harta Kekayaan. Ditinjau dari ciri-cirinya hak
kebendaan menunjukkan karakter yang lebih unggul. Gatra
ciri unggul hak kebendaan tersebut, merupakan salah satu
bukti yang menunjukkan betapa sentralnya posisi benda
dalam rotasi kehidupan manusia yang akan selalu
membutuhkannya pada kegiatan hidup apapun.
Penyusunan ketentuan benda dalam BW dengan
selimut dwingend recht,antara laindemi mewujudkan adanya
kepastian hukum yang memang sengaja diprioritaskan.
Memberi dan mewujudkan kepastian hukum tentang posisi
benda, antara lain untuk menghindari munculnya multi tafsir
yang dapat mengganggu kepastian eksistensi benda yang
punya posisi penting dalam ranah kehidupan masyarakat.
Lewat cara tersebut menjadikan seluk beluk benda tak bakal
sering bergeming akibat perubahan-perubahan yang pasti
terjadi dalam kehidupan kelompok. Memang perubahan
kehidupan masyarakat tak mungkin dibendung, tetapi
diusahakan perubahan yang terjadi tak akan banyak
mengusik prinsip-prinsip dasar norma yang membingkai
eksistensi benda, terutama yang menyangkut hak kebendaan.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 6|Page


Ini penting, sebab prinsip-prinsip seluk beluk benda, adalah
merupakan cermin dari system yang dianut oleh masyarakat
yang bersangkutan, dan keberadaan prinsip hukum yang
dimaksud pada dasarnya nyaris konstan, tidak gampang
goyah dihempas riak-riak perubahan. Terkecuali kalau ada
perubahan system yang secara sengaja dicanangkan oleh
penguasa berdasar pertimbangan kepentingan nasional.
Menyangkut perubahan yang terjadi dalam masya-
rakat yang akhirnya mempengaruhi pembagian benda yang
dilakukan oleh pembentuk BW, misalnya saat masyarakat
mulai mengenal pembagian benda terdaftar-benda tak
terdaftar, memang sedikit banyak akan meluangkan area
untuk timbulnya permasalahan. Kalau belakangan dikenal
adanya penggolongan baru berupa benda terdaftar dan benda
tidak terdaftar yang sudah barang tentu aturan khususnya tak
dijumpai dalam BW, akan menyeret banyak problema
hukum. Kehadiran problema ini kian menyengat saat
pembagian jenis benda terdaftar-benda tak terdaftar, dalam
kehidupan nyata dirasakan semakin mengedepankan dan
nyaris menjadi penting.
Penggolongan benda yang baru tersebut aturan
khususnya dalam BW belum ada, sehingga bagaimana
kedudukan hukum benda terdaftar-benda tak terdaftar perlu
diperhatikan dengan seksama dalam system hukum secara
keseluruhan. Meski demikian terbukti perkembangan peng-
golongan adanya benda terdaftar dan benda tidak terdaftar,
ternyata tak banyak mendatangkan goncangan keras dalam
Hukum Benda, sebab lewat analogi kedudukan benda
terdaftar-benda tak terdaftar dapat mendayagunakan prinsip
yang ada dalam penggolongan benda bergerak-benda tak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 7|Page


beregerak. Inilah salah satu gambaran, bahwa dengan
muncul- nya perubahan yang menimbulkan adanya
penggolongan benda secara baru, terbukti tak banyak
mengusik aturan Hukum Benda yang ada dalam Buku II
BW. Rupanya gugus pengaturan prinsip-prinsip benda
dalam Buku II BW lumayan Tangguh meskipun diterpa
terjangan perubahan yang pasti tak kenal henti.
Demikian juga kalau hendak dicermati dengan
seksama, sewaktu lembaga jaminan fidusia ikut berkiprah
dalam arena Hukum Jaminan, terlebih-lebih saat pemerintah
Indonesia tak membiarkan fidusia dibesarkan semata-mata
oleh hukum yurisprudensi, lalu dikemas dalam ujud undang-
undang, sesungguhnya telah muncul pula adanya pembagian
benda yang baru. Lembaga jaminan fidusia yang sekian lama
keberadaannya di Indonesia dikelola oleh yurisprudensi yang
selanjutnya sesuai tuntutan kebutuhan lalu diatur dalam UU
Fidusia, maka bertolak dari obyek lembaga jaminan fidusia
tersebut, sebenarnya dalam Hukum Benda Indonesia mulai
muncul adanya pembagian benda secara baru yaitu benda
modal dan benda bukan modal. Secara kasat mata dapat
dilihat, bahwa yang dijadikan obyek lembaga jaminan fidusia
tak lain adalah setiap benda yang oleh pemiliknya
dipergunkan untuk menjalankan ataupun menopang suatu
usaha, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan
suatu catatan sepanjang benda yang bersangkutan tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan ataupun hipotek.
Lembaga jaminan fidusia ini timbul antara lain
bermula, saat sebuah benda yang dipakai untuk usaha, lalu
oleh pemiliknya disodorkan sebagai jaminan demi
memperoleh sejumlah utang guna mengembangkan usahanya

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 8|Page


ataupun untuk diversifikasi usaha. Kalau menggunakan
hipotek tidak memungkinkan karena bukan tergolong
sebagai benda tidak bergerak, lalu kalau memakai gadai
terbentur pola inbezitstelling, pada hal bend aitu harus tetap
ada dalam penguasaan nyata debitor supaya bisa
menjalankan usahannya demi memperoleh hasil yang
sebagiannya nanti akan dipergunakan untuk mengangsur
utangnya.
Menyimak keberadaan UUPA yang mencabut aturan
benda dalam BW sepanjang menyangkut bumi , air , serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, memang
terjadi suatu pergeseran yang lumayan signifikan tetapi
banyak mengundang kerancuan. Perubahan aturan undang-
undang menyangkut benda berupa tanah ini, menghasilkan
puting beliung yang lumayan dahsyat terhadap aturan tanah
dalam BW yang digolongkan sebagai benda tak bergerak
(lihat Pasal 506, 507 , dan 508 BW). Memang tujuan
diterbitkannya UUPA cukup mulia, yakni hendak mengakhiri
dualisme aturan hukum tentang tanah. Hanya sayangnya,
golongan benda bukan tanah tidak sekalian diatur dan
rupanya ada kecenderungan masih mengikuti BW, pada hal
antara UUPA di satu sisi dengan BW pada sisi lain,
mempergunakan system yang jauh berbeda. Kondisi ini
mengakibatkan timbulnya kerancuan yang sangat
mengganjal, dan system Hukum Indonesia menjadi terusik
tanpa diketahui kapan dapat dibenahi secara utuh dan
komprehensip.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 9|Page


2. Karakter Benda sebagai Obyek Transaksi
Sebagai kelengkapan hidup, maka segala benda yang
dipergunakan untuk mendukung kegiatan sehari-hari,
diinginkan oleh setiap orang bahwa benda yang bersangkutan
dapat dipergunakan atau dimanfaatkan secara penuh dan
bebas tanpa terkendala oleh gangguan pihak lain. Untuk
mendapatkan benda dengan posisi seperti itu, tak lain harus
ada label hak milik di atas benda tersebut. Memperoleh hak
milik benda yang dibutuhkan sebagai pendukung kegiatan
sehari-hari yang dilakukan seorang pelaku anggota masya-
rakat, ternyata ada aturannya sebagaimana diungkapkan oleh
Pasal 584 BW, yaitu dengan cara pemilikan atau pendakuan,
perlekatan, pewarisan, daluarsa, dan penyerahan atas dasar
peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang
dalam Pasal 584 BW paling tidak ditetapkan adanya lima (5)
cara untuk memperoleh hak milik benda. Apakah cara mem-
peroleh hak milik suatu benda hanya sebatas pada apa yang
ditetapkan Pasal 584 BW saja, memang hal ini memerlukan
kajian lanjut.
Seseorang selaku anggota masyarakat, kalau
membutuhkan benda sebagai pendukung rotasi hidupnya,
berarti benda yang bersangkutan memiliki nilai. Mengingat
manusia itu bersosok sebagai homo economicus,makna nilai
itu tak lain adalah nilai ekonomis. Bila sebuah benda punya
nilai ekonomis, umumnya akan dikejar oleh setiap orang
untuk mendapatkan hak milik atas benda tersebut. Merujuk
cara memperoleh hak milik seperti yang diatur oleh Pasal 584
BW, khususnya cara yang kelima, yakni penyerahan atas
dasar peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang
berwenang, maka benda tersebut hak miliknya harus dapat
dialihkan dari satu tangan ke tangan yang lain. Lewat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 10 | P a g e


penyerahan, maka benda yang punya nilai ekonomis akan
mengalami mobilitas, berpindah dari penguasaan satu pihak
ke penguasaan dan kepemilikan pihak lain. Pergantian
pemegang hak milik suatu benda yang berlalu Lalang seperti
itu lewat berbagai macam transaksi, tentunya merupakan
salah satu bentuk sentral kegiatan bisnis, mengingat manusia-
manusia yang terlibat adalah bersosok sebagai homo
economicus.
Paparan citra benda diatas, mengakibatkan bahwa
suatu benda akan dapat dijadikan obyek transaksi mana kala
memenuhi dua (2) macam syarat, yaitu bahwa benda yang
bersangkutan harus punya nilai ekonomis, dan hak miliknya
dapat dialihkan. Sepanjang kedua syarat tersebut melekat
pada sebuah benda, maka transaksi selaku cermin eksistensi
bisnis, akan dijadikan lahan operasionalisasi mobilitas benda
dalam ranah kehidupan masyarakat. Benda yang bersang-
kutan, hak miliknya akan selalu berpindah-pindah- karena ada
penyerahan- dari satu pihak kepada pihak lain atas dasar suatu
peristiwa perdata yang menjadi alasnya. Peristiwa perdata
atau title yang dipakai sebagai alas berpindahnya benda yang
dilakukan dengan penyerahan atau levering, umumnya dan
paling banyak berupa Perjanjian Jual Beli.
Dalam hubungan hukum yang terbingkai oleh
Perjanjian Jual Beli, berarti ada pihak yang berperan sebagai
penjual dan ada yang bersosok selaku pembeli. Saat penjual
mengalihkan hak milik atas benda yang dipunyainya kepada
pembeli, sudah selayaknya kalau itu dilakukan demi
mendapatkan keuntungan. Demikian juga pihak pembeli,
bertekad mengeluarkan sejumlah uang dari pundi-pundinya
guna melakukan pembayaran sebagai kewajibannya, tak lain

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 11 | P a g e


untuk meraih hak milik atas benda yang bersangkutan akibat
dorongan kebutuhan hidupnya yang harus dipenuhi. Gatra
transaksi jual beli tersebut mengungkapkan bahwa pihak-
pihak yang terlibat, yakni penjual dan pembeli, adalah dalam
rangka mengejar keuntungannya sendiri-sendiri sesuai yang
diperhitungkan sejak dini. Factual, arus lalu lintas dagang
dalam kehidupan social, didominasi oleh peredaran benda
dengan mobilitas yang tinggi akibat dukungan lembaga
hukum Perjanjian Jual Beli.
Benda sebagai obyek transaksi dalam bingkai perjan-
jian Jual Beli, dapat disimak disetiap sudut pasar baik
domestic ataupun di kancah international. Riuhnya kegiatan
dipasar tradisional ataupun di pusat perbelanjaan, Perjanjian
Jual Beli menjadi urat nadi utama kegiatan bisnis keseharian.
Lalu lintas ekspor impor selalu melibatkan benda yang
beredar melewati garis-garis batas teritoir, lalu menjangkau
belahan bumi meretas jarak ribuan mil, dilakukan oleh para
pihak dengan memanfaatkan lembaga Perjanjian Jual Beli.
Benda sebagai obyek transaksi, karena memiliki dua ciri
pokok yakni punya nilai ekonomis dan hak miliknya dapat
dialihkan, terbukti mendominasi lalu lintas perdagangan baik
di lintasan domestic ataupun internasional.
Selain dijadikan obyek transaksi jual beli, terbukti
benda juga dapat dijadikan agunan yang umumnya diapakai
untuk menjamin sejumlah utang tertentu agar kreditor
memiliki posisi yang lebih aman. Nilai ekonomis suatu benda
untuk dijadikan agunan, pada dasarnya memang penting.
“almost anything of monetary value can be taken as security,….”.1

1
Lee Mei Pheng, Detta Samen, Banking Law, Malayan Law
Journal, Kuala Lumpur, 2002, h. 339.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 12 | P a g e
Benda yang dijadikan agunan atas dasar perjanjian yang
dibuat antara debitor dan kreditor, berarti benda tersebut
dibebani hak jaminan tanpa mengusik hak milik yang
dipegang oleh yang punya benda. Berarti di atas satu macam
benda dapat melekat beberapa macam hak yang mempunyai
tujuan sendiri-sendiri, sehingga dengan model tersebut variasi
transaksi benda menjadi berkembang sangat beraneka.

3. Keunggulan Ciri Hak Milik Atas Suatu Benda


Sudah dituturkan bahwa setiap orang berusaha
mengejar dan mempunyai hak milik atas benda-benda yang
dibutuhkan ketimbang hak keperdataan lainnya. Hak milik ini
merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bercorak
menikmati. Latar belakang yang menyebabkan orang selalu
mengejar atribut hak milik atas suatu benda yang diinginkan,
karena dengan hak milik, seseorang dapat menggunakan
benda tersebut amat leluasa sebagaimana diatur dalam Pasal
570 BW yang mengutarakan bahwa hak milik adalah haka
untuk menikmati suatu benda dengan penuh dan bebas
sepanjang tidak melanggar hak orang lain dan undang-
undang, namun tidak menutup kemungkinan untuk dicabut
demi kepentingan umum dengan mendapatkan ganti rugi.
Unsur menikmati benda dengan penuh dan bebas tanpa
diganggu pihak lain, jelas merupakan suatu situasi yang aman
lagi nyaman, sehingga si pemangku hak milik benda benar-
benar dapat mereguk kegunaan benda yang bersangkutan
tanpa kendala.
Ciri unggul hak milik kalau dibandingkan dengan
hak keperdataan lainnya, tak terkecuali hak kebendaan yang
manapun adalah:

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 13 | P a g e


1. Hak milik itu dapat menjadi induk dari hak keperdataan
lainnya. Sebagai induk, dengan lahirnya hak keperdataan
lain, tidak membawa serta hilangnya hak milik.
2. Hak milik merupakan hak yang secara kwantitatif adalah
lebih kuat dan lengkap daripada hak keperdataan yang lain.
Meski hak milik ditindih oleh hak keperdataan ataupun
haka kebendaan lain, hak milik tetap eksis, Pemegang hak
milik juga punya keleluasaan untuk melakukan perbuatan
hukum atas benda yang bersangkutan, tanpa perlu meminta
restu pihak manapun.
3. Hak milik bersifat tetap, dalam arti tak mengenal batas
durasi waktu. Andai pemegang hak milik meninggal dunia,
hak milik atas benda tersebut tidak ikut pupus karenanya,
dan segera akan digantikan kepemilikan atas bend aitu
oleh ahli warisnya.
Ciri unggul hak milik seperti yang disebutkan diatas,
tak dipunyai oleh hak keperdataan ataupun hak kebendaan
lainnya. Dengan kelebihan yang sedemikian prima itulah,
maka hak milik akan selalu dikejar oleh setiap orang. Tak
urung akibat ciri unggul yang melekat pada hak milik,
akhirnya mewajibkan pembentuk undang-undang untuk
memberikan perlindungan hukum yang handal bagi
pemegangnya. Adapun salah satu perlindungan hukum itu
misalnya hak revindikasi seperti yang diatur oleh Pasal 574
BW, dimana sebagai sebuah senjata, hak revindikasi itu
hanya dipunyai oleh pemilik semata.
Penuturan segi-segi hak milik sebagaimana terpapar
diatas, sudah jamak kalau seseorang punya hak milik atas
benda-benda yang dipunyainya, umumnya berusaha untuk
dipertahankan dengan gigih. Jangan sampai hak milik yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 14 | P a g e


direngkuhnya itu berpindah pada pihak lain tanpa alasan yang
sangat mendesak. Kalaupun ada kebutuhan mendesak,
misalnya keperluan mempunyai dana tunai, jarang orang lalu
serta merta menjual salah satu benda miliknya begitu saja,
kalau memang ada jalan lain sebagai alternatifnya. Adapun
alternatif yang ditawarkan oleh hukum kalau butuh dana
segar tanpa kehilangan hak milik, adalah dengan jalan
meminjam dana yang dibutuhkan dapat dilakukan relative
meminjam dana yang dibutuhkan dapat dilakukan relative
mudah, tanpa kehilangan hak milik atas benda-benda yang
dipunyainya, yakni dengan mendatangi institusi perbankan
yang memang peran utamanya adalah mengucurkan pinjaman
kepada masyarakat yang membutuhkan, tetapi bank minta
benda tertentu milik pihak yang akan berutang itu untuk
diikat sebagai agunan. Semenjak benda tersebut dijadikan
agunan, pihak yang berutang tidak kehilangan hak milik atas
benda yang bersangkutan. Pihak yang dating untuk
meminjam dana atau berutang,dengan pihak bank selaku
institusi yang memberikan pinjaman, dan ini merupakan
kegiatan bisnis, hubungan hukum keduanya lalu dirakit dalam
ujud perjanjian kredit. “the type of contractual relationship
between banker and customer is mainly that of debtor and
creditor”. 2 Guna menyederhanakan dan memudahkan
pemahaman, dalam uraian garis besar selanjutnya perjanjian
kredit inilah yang akan dijadikan focus pembahasan sesuai
kenyataan dalam kehidupan konkrit masyarakat kala ini.
Sedasar dengan Pasal 570 BW, di mana pemilik
dapat menggunakan benda yang dipunyai dengan penuh dan
bebas,

2
Ibid., h. 30.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 15 | P a g e
sehingga perbuatan hukum yang dapat dilakukan atas benda
kepunyaannya menjadi amat leluasa, mengakibatkan yang
bersangkutan menjadi wenang untuk mengasingkan benda
tersebut. Beranjak dari noktah ini,maka adigum hukum
menyatakan bahwa yang wenang mengasingkan sebuah
benda adalah pemilik. Mengasingkan mengandung makna
memindahkan hak milik benda kepada pihak lain, untuk ini
harus dilakukan dengan penyerahan- misalnya menjual ,
menukarkan dengan benda lain , atau juga menghibahkan
kepada sesuatu pihak. Sesuai system kalau dalam kehidupan
riil memindahkan hak milik benda dilakukan dengan jalan
levering,umumnya dan paling sering titel yang dipergunakan
sebagai alasnya adalah perjanjian jual beli, maka dari titik ini
pula dapat disimpulkan bahwa yang wenang menjual sebuah
benda adalah pemilik.
Pemegang hak milik suatu benda tak hanya wenang
menjual, tetapi juga wenang menjaminkan benda yang ber-
sangkutan. Bahkan adagium dalam Hukum Jaminan men-
canangkan bahwasanya yang wenang menjaminkan sebuah
benda adalah pemilik. Pola ini terpancang dengan suatu
pemahaman, bahwa bisa saja perbuatan menjaminkan itu
merupakan Langkah awal untuk mengasingkan benda. Sebab
saat utang tertentu yang dijamin dengan sebuah benda milik
debitor, andai dibelakang hari ternyata utang tak dibayar,
sesuai prosedur, tindak lanjutnya benda yang dijaminkan itu
akan segera dijual dihadapan umum atau dijual lelang.
Penjualan secara lelang ini, pada dasarnya dilandasi oleh
kewenangan debitor selaku pemilik, meskipun dalam Hukum
Jaminan kemudian dikemas dengan cara yang khusus demi
memudahkan eksekusinya, antara lain lewat kuasa menjual

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 16 | P a g e


Namun kuasa menjual yang diberikan oleh debitor sebagai
pemilik benda kepada kreditor ini, bukan satu-satunya dasar
pelelangan, ada pula mekanisme lain yang diatur sedemikian
rupa oleh pembentuk undang-undang agar pelunasan piutang
kreditor dapat terlaksana secara sederhana, lancer, dan
mudah.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 17 | P a g e


Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 18 | P a g e
BAB II

URGENSI PEMBAGIAN
BENDA BERGERAK-BENDA TIDAK
BERGERAK

1. Golongan Benda Bergerak

S ebagaimana sudah diutarakan bahwa benda yang


berserak dalam kehidupan nyata, dari segi jumlah
adalah tak terhitung, demikian pula dari aspek macamnya,
sungguh tak terkira keanekaannya. Sosok benda seperti itu
harus diatur oleh hukum , dan tentu saja ini bukan pekerjaan
yang mudah, terlebih lebih kalau harus dituang dalam ujud
undang undang yang sangat membutuhkan akurasi prima.
Perakitan ketentuan benda dalam ujud undang undang yang
pada kenyataan hidup benda itu memegang peran penting,
sudah seharusnya sebagai aturan hukum wajib dikemas dalam
rangkaian yang pasti dan adil. Menjamin adanya kepastian
hukum, sudah semestinya kalau ketentuan yang dirangkai
selain konsisten juga harus diberi sifat memaksa, dalam arti
tidak dapat disimpangi atau di kesampingkan kendati dengan
sepakat sekalipun. Sosok aturan tentang benda dengan
karakter seperti itu, hanya dapat dikemas dalam tataran

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 19 | P a g e


ketentuan hukum dengan ciri sebagai dwingend recht. Tak
urung ketentuan ketentuan menyangkut benda dalam buku II
BW, didominasi oleh dwingend rech, dan inilah salah satunya
alasan yang mengakibatkan buku II BW tersebut punya sifat
tertutup. Ketentuan yang ada dalam buku II BW itulah yang
harus berlaku sebagai satu satunya aturan tentang seluk beluk
benda, tanpa ada kemungkinan para pihak membuat aturan
tandingan berdasar sepakat.
Demi mempermudah jalannya pengaturan, maka
oleh pembentuk BW diadakanlah beberapa penggolongan
benda dengan spesifikasinya masing-masing, tanpa menang-
galkan metode keilmuan agar supaya dapat dipertanggung-
jawabkan secara logis. Setiap benda yang digolong-
golongkan sepasang demi sepasang, sesuai system yang
dianut membawa akibat lanjut yang berbeda-beda mana kala
benda yang bersangkutan dijadikan obyek transaksi.
Mengkombinasikan penggolongan benda dengan urusan
transaksi bisnis, benar-benar memerlukan kecermatan yang
akurat demi tegaknya efisiensi yang dituntut oleh hiruk
pikuknya pasar. Pembentuk undang-undang berupaya keras
agar ketentuan hukum yang diterbitkannya tidak bakal
mendatangkan petaka berupa munculnya ekonomi berbiaya
tinggi, ataupun kendala yang dapat membuat kegiatan bisnis
menjadi stagnan. Seperti sudah dipahami sejak awal, bahwa
hukum itu dibuat adalah dalam rangka untuk menciptakan
situasi yang kondusif guna perkembangan bisnis yang
memiliki ciri sangat inovatif.
Sejalan dengan pembagian benda dalam BW,
ternyata penggolongan benda bergerak-benda tidak bergerak,
merupakan jenis klasifikasi benda yang penting. Buktinya
antara lain dapat disimak bahwa apa saja yang termasuk

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 20 | P a g e


benda bergerak dan apa pula yang terkwalifikasi sebagai
benda tidak bergerak, pembentuk BW merasa perlu turun
tangan menetapkan sendiri dengan tegas bagi masing-
masing golongan benda yang dimaksud. Menyangkut benda
bergerak ada dua (2) macam yakni:
1. Benda bergerak karena sifatnya, di mana benda tersebut
pada dasarnya dapat dipindah-pindah sesuai ciri
alamiahnya (Pasal 509 BW).
2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang
sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal 511 BW.
Berdasar kewenangan yang dimiliki, penguasa
menentukan apa saja yang dapat digolongkan sebagai
benda bergerak sehingga dengan cara tersebut,
masyarakat tidak menjadi ragu dan cemas dalam
menanggapi kedudukan suatu benda secara pasti.
Norma yang mengatur apa saja yang tergolong
sebagai benda bergerak, sudah barang tentu merupakan suatu
ketentuan yang tak mungkin disimpangi oleh para pihak
kendati dengan sepakat sekalipun. Para pihak tidak diper-
kenankan menentukan sendiri jenis-jenis benda yang kemu-
dian dikwalifikasi sebagai benda bergerak meski berdasar
sepakat, karena pengaturan seluk beluk benda dalam Buku II
BW dinyatakan bersifat tertutup. Atas dasar sepakat sekalipun
para pihak tak diberi peluang membuat aturan tandingan
menyangkut eksistensi pembagian benda yang punya kedudu-
kan strategis dalam kehidupan kelompok. Hanya pembentuk
undang-undang saja yang memiliki kewenangan menentukan
suatu benda itu tergolong sebagai jenis benda yang mana.
Corak seperti itu akhirnya pasal-pasal yang termuat dalam
Buku II BW didominasi oleh ketentuan undang-undang yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 21 | P a g e


berposisi sebagai dwingend recht, ketentuan undang-undang
yang bersifat memaksa tanpa ada perkenan guna menyim-
panginya, dan harus berlaku.
Atribut hak milik atas suatu benda dalam kehidupan
kelompok adalah penting, oleh sebab itu orang akan selalu
berusaha untuk menjadi sosok pemilik. Di sisi lain
keberadaan suatu benda dalam kehidupan konkrit, pada
dasarnya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, selalu
dipertanyakan siapa pemiliknya. Pertanyaan ini oleh hukum
harus dijawab tanpa banyak menimbulkan keruwetan apa lagi
kegamangan. Secara prinsipiil jawaban itu sesuai sistem yang
dianut BW telah ditegaskan, bahwa untuk benda bergerak
siapa yang menguasai secara nyata dianggap sebagai pemilik.
Sedang untuk benda tidak bergerak, siapa pemiliknya
dipersilahkan melihat dalam suatu register umum.
Demikianlah jawaban yang diberikan oleh BW setiap kali ada
pertanyaan siapa pemilik atas suatu benda yang memang
sering muncul dalam kehidupan sosial.
Sifat benda bergerak yang pada dasarnya relatif
mudah dipindah-pindahkan, tingkat mobilitasnya menjadi
amat tinggi. Penguasaan benda bergerak oleh sesuatu pihak,
ter-kadang sulit dipastikan, apakah pihak yang memegangnya
itu benar pemiliknya apakah sekedar houder (pemegang)
semata. Menyikapi kondisi pelik ini, menyangkut benda
bergerak, pembentuk undang-undang segera memberikan
solusinya dengan menetapkan sebuah asas sebagaimana
tertera dalam Pasal 1977 BW yang intinya mengutarakan,
bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemilik. Terselipnya kata dianggap dalam Pasal
1977 BW, memang banyak mengandung makna. Selain
dalam Pasal 1977 BW termaktub sebuah asas, sesungguhnya

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 22 | P a g e


pasal tersebut juga dalam rangka memberikan jawaban atas
setiap pertanyaan yang timbul dalam masyarakat tentang
siapa pemilik sebuah benda bergerak. Dengan melihat sendiri
siapa yang menguasai sebuah benda bergerak, maka
terjawablah setiap pertanyaan orang yang mempersoalkan
siapa pemilik benda yang bersangkutan. Itulah prinsip
dasarnya yang pertama-tama perlu diatur oleh penguasa
menyangkut eksistensi benda bergerak, dengan menyodorkan
Pasal 1977 BW.
Asas barang siapa yang menguasai benda bergerak
dianggap sebagai pemilik dalam Pasal 1977 BW, merupakan
cermin rasa hukum setiap anggota masyarakat. Rasa hukum
masyarakat seperti itu, tidak lepas dari asumsi hukum bahwa
setiap orang itu adalah baik. Karena hukum sudah
menganggap setiap orang itu adalah baik, maka "baik” itu
tidak perlu dibuktikan. Demikianlah adagium hukum itu di-
pancangkan yang kemudian diwujudkan secara normatif oleh
pembentuk undang-undang lewat Pasal 1965 BW yang
intinya mengutarakan bahwa itikad baik selamanya harus
dianggap ada, sedang siapa yang menunjuk tidak ada itikad
baik (itikad buruk) wajib membuktikannya. Kelanjutan
adagium Pasal 1965 BW ini terus berlanjut saat bersing-
gungan dengan soal perolehan sebuah benda seperti yang
termaktub dalam Pasal 1966 BW yang menegaskan “adalah
cukup bahwa pada waktu benda diperoleh, itikad baik itu
ada.”
Tak pelak keterkaitan antara Pasal 1977 BW dengan
Pasal 1965 jo. 1966 BW, secara filosofis bermakna bahwa
siapa yang menguasai ataupun memperoleh sebuah benda
bergerak dengan itikad baik, oleh hukum dianggap sebagai
pemiliknya. Memang secara harfiah dalam Pasal 1977 BW

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 23 | P a g e


tak dijumpai kata-kata itikad baik, namun umum memahami
bahwa pasal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan dengan keberadaan Pasal 1965 jo. 1966 BW,
sehingga itikad baik sebagai suatu prinsip selalu diasumsikan
menjiwai Pasal 1977 BW.
Asas yang tersemat dalam Pasal 1977 BW ini selain
membawa konsekwensi lanjut yang panjang dan rumit, juga
sering menimbulkan kontroversi. Namun kenyataannya asas
bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap
sebagai pemilik memang tidak sekedar asas yang secara
serampangan ditentukan oleh penguasa. Justru asas tersebut
benar-benar ada dan bersemayam dalam rasa hukum
masyarakat pada umumnya. Tak ayal asas dalam Pasal 1977
BW mampu bertahan dan tak bakal runtuh oleh gempuran
perubahan sosial yang manapun, mengingat asas itu berakar
pada rasa hukum masyarakat sejak dulu mula dan akan tetap
ada sampai kapanpun.
Kehadiran Pasal 1977 BW, karena memiliki posisi
yang sedemikian sentral, tak pelak ujung-ujungnya sangat
berpengaruh dan gaungnya menyebar ke dalam bidang hukum
lain tanpa dapat dibendung, tidak terkecuali auranya menjadi
sangat kental saat mewarnai aturan penjaminan benda
bergerak itu sendiri yang dilakukan dengan menggunakan
lembaga gadai. Saat pembentuk undang-undang merangkai
aturan penjaminan terhadap benda bergerak, maka eksistensi
Pasal 1977 BW tidak mungkin dikesampingkan begitu saja.
Aturan menjaminkan benda bergerak, harus tetap taat asas
yang hulunya dikendalikan oleh Pasal 1977 BW. Rangkaian
ketentuan undang-undang, bak aliran sebuah sungai, air di
hulu pada dasarnya akan menentukan keberadaan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 24 | P a g e


air pada muaranya. Lewat pola pengaturan seperti itulah,
urusan konsistensi dapat diwujudkan sehingga soal kepastian
hukum benar benar dapat diwujudkan secara konkrit.
Dalam urusan menjaminkan benda bergerak di mana
pengaruh Pasal 1977 BW sangat dirasakan auranya, misalnya
dapat disimak dalam Pasal 1152 ayat 3 dan 4 BW. Apabila
benda gadai hilang atau dicuri, maka kreditor gadai dapat
menuntut benda tersebut dari tangan siapapun benda itu
berada tanpa mengurangi arti Pasal 582 BW. Demikian juga
kalau pemberi gadai (debitor) tak wenang menggadaikan,
maka hal seperti itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada penerima gadai (kreditor). Rangkaian ketentuan yang
ada dalam Pasal 1152 ayat 3 dan 4 BW ini ada dalam
ketentuan gadai, tak lain akibat pengaruh kuat dari asas yang
tertera dalam Pasal 1977 BW secara utuh.
BW yang dirakit pembentuknya sekitar 180 tahun
lalu, masyarakat kala itu beranggapan bahwa benda bergerak
nilai ekonomisnya relatif tidak besar, oleh sebab itu saat
benda bergerak tersebut dijaminkan, yakni dengan gadai,
kemasan aturan yang disediakan juga relatif sedikit yakni
sekitar satu dosen saja yang terentang antara Pasal 1150 -
1160 BW. Mencermati aturan gadai, kemasannya relatif
sederhana, namun kalau ditilik lebih dalam, ternyata sangat
fleksibel namun mengandung kepastian hukum yang lumayan
prima.
Tingkat mobilitas benda bergerak sangat lincah,
untuk mengatasi kompleksitas kelincahan tersebut bila benda
bergerak itu dijaminkan, maka dibentuk pola inbezitstelling.
Kalau sebuah benda bergerak dijaminkan, maka benda
tersebut harus dicabut dari kekuasaan nyata debitor sebagai
pemiliknya, lalu umumnya diserahkan dan dikuasai kreditor,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 25 | P a g e


supaya benda itu tidak dapat diasingkan. Pola inbezitstelling
ini antara lain demi melindungi posisi kreditor dari
kemungkinan curangnya debitor pemilik benda bergerak yang
bersangkutan. Kalau benda bergerak dijaminkan tetapi andai
tetap dibiarkan dalam kekuasaan nyata debitor, berlandas
kewenangannya sebagai pemilik, tentu saja benda bergerak
itu sangat mudah diasingkan. Jelas hal ini sangat merugikan
kreditor yang sudah memasok dana pinjaman. Untuk
menangkal peristiwa pengasingan benda bergerak yang
sedang dijaminkan itulah, maka pola inbezitstelling
dipergunakan dalam lembaga gadai, dan pola ini menjadi
dasar pembeda dengan lembaga jaminan hipotek. Namun
meski obyek gadai umumnya dikuasai secara nyata oleh
kreditor akibat adanya pola inbezitstelling tersebut, tak berarti
penguasaan secara nyata oleh kreditor atas benda gadai lalu
dianggap sebagai pemilik. Diserahkannya obyek gadai oleh
debitor kepada kreditor, bukan dalam pengertian levering.
Penyerahan itu sekedar cara untuk mencegah debitor
mengasingkan benda bergerak yang bersangkutan kepada
pihak lain yang dapat mengakibatkan kreditor kehilangan hak
jaminannya. Pada sisi lain penguasaan kreditor atas obyek
gadai tidak mengakibatkan kreditor secara serta merta
menjadi pemilik mana kala debitor wanprestasi, bahkan
diperjanjikan sejak awalpun sangat ditabukan dengan
ancaman batal.
Seperti sudah pernah disinggung bahwa kehadiran
Pasal 1977 BW dirasakan banyak pihak, menimbulkan
kontroversi yang terkadang sangat mencengang dan nyaris
mendatangkan kegalauan. Sebab lewat situasi yang
digambarkan oleh Pasal 1977 BW dalam kasus-kasus konkrit,
menyiratkan adanya peristiwa relativering hak kebendaan, di
mana yang semula ciri-ciri hak kebendaan itu sedemikian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 26 | P a g e


unggulnya, ternyata akibat adanya kasus tertentu berdasar
Pasal 1977 BW, jadi melemah. Misalnya saja hak kebendaan
atas suatu benda bergerak itu, dalam situasi yang
digambarkan oleh Pasal 1977 BW, kehilangan sifat
mutlaknya, tergerusnya ciri droit de suite, dan meniadakan
sifat prioritasnya. Namun untung saja melemahnya hak
kebendaan atas suatu benda bergerak akibat situasi yang
digambarkan oleh Pasal 1977 BW, tidak mengusik posisi
kreditor sebagai kreditor preferen, sehingga pelunasan
piutangnya tetap akan lebih didahulukan dari kreditor lain.
Berdasar paparan di atas, kelihatan jelas betapa
rumitnya kehadiran Pasal 1977 BW menyangkut eksistensi
benda bergerak yang memiliki laju mobilitas teramat tinggi.
Oleh sebab itu mendalami pemahaman terhadap Pasal 1977
BW ini, diperlukan kecermatan yang akurat sehingga tak akan
mendatangkan keraguan. Sebab apabila misalnya Pasal 1977
BW ini dikaitkan dengan Pasal 1471 BW, banyak pihak
sering terkecoh sehingga mendapatkan kesimpulan yang tidak
tepat. Demikian juga andai Pasal 1977 BW ini dipertalikan
dengan Pasal 584 BW tentang cara-cara memperoleh hak
milik atas suatu benda, dapat dijadikan bukti bahwa perolehan
hak milik atas suatu benda itu ternyata tidak hanya sebatas
apa yang ditetapkan oleh Pasal 584 BW itu saja. Cara lain
mendapatkan hak milik atas suatu benda, ada lebih banyak
tak hanya lima (5) cara saja, antara lain melalui mekanisme
yang dimungkinkan oleh Pasal 1977 BW.
Keistimewaan jati diri Pasal 1977 BW, kisahnya
masih dapat berlanjut kalau mengamati terjadinya
relativering hak kebendaan akibat situasi yang digambarkan
oleh pasal tersebut, sebab ternyata di dalamnya juga terselip

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 27 | P a g e


fakta lain, yakni kejadian mandulnya keunggulan senjata hak
revindikasi kepunyaan pemilik yang ada dalam Pasal 574
BW. Hak revindikasi kepunyaan pemilik yang diatur dalam
Pasal 574 BW saat berhadapan dan membentur Pasal 1977
BW, ternyata menjadi lumpuh. Pada hal sudah sering
dinyatakan bahwa untuk memberikan perlindungan hukum
prima kepada pemilik benda, pembentuk undang-undang
memberikan senjata ampuh berupa gugat revindikasi yang
ada dalam Pasal 574 BW. Namun keampuhan gugat
revindikasi ini menjadi tak berdaya saat berhadapan dan
membentur ketangguhan Pasal 1977 BW yang
menghadangnya. Gambaran ini dapat lebih memperjelas lagi,
betapa sentralnya posisi Pasal 1977 BW saat digunakan oleh
pembentuk undang-undang guna mendasari keberadaan benda
bergerak. Bermacam-macam misteri dan kontroversi,
menghiasi sosok Pasal 1977 BW sebagai sebuah aturan
hukum, sehingga banyak memunculkan gunjingan dan debat
panjang yang tak berkesudahan.
Beruas-ruas kisah panjang Pasal 1977 BW, merupakan
bukti kepiawaian pembentuk undang-undang dalam rangka
membuat aturan hukum menyangkut benda bergerak yang
memiliki postur istimewa dalam kehidupan sosial. Tingkat
mobilitas perpindahan benda bergerak yang sangat tinggi
dalam berbagai transaksi, mengakibatkan munculnya banyak
ketentuan yang harus dikemas dengan seksama dan konsisten.
Kecermatan dalam memberikan aturan terhadap benda
bergerak, memang menuntut daya analisa yang tangguh, agar
seluruh rangkaian gerbong norma benda bergerak tetap
melintas pada koridornya tanpa banyak mengalami
penyimpangan yang menyesatkan. Kendati aturan hukum
tentang benda bergerak ini dibangun satu setengah abad yang
lalu, terbukti tak banyak luntur digempur peradaban. Sampai

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 28 | P a g e


dengan saat sekarang, aturan tentang benda bergerak dalam
BW, masih tetap bersiponggang tak hendak runtuh diterjang
kemajuan zaman.
Pasal 1977 BW ada dalam ranah Buku IV BW tentang
Pembuktian dan Daluwarsa, namun sedemikian eratnya kaitan
pasal tersebut dengan urusan benda bergerak yang diatur oleh
Buku II BW. Sesungguhnya keterkaitan Pasal 1977 BW
dengan benda bergerak, memang menyangkut peri hal
pembuktian juga soal daluwarsa. Untuk membuktikan bahwa
hak milik suatu benda bergerak ada pada siapa, oleh Pasal
1977 BW dipersilahkan mengamati siapa yang sedang
menguasai benda bergerak yang bersangkutan secara nyata,
maka pihak itulah yang dianggap sebagai pemiliknya.
Demikian pula kalau berbicara soal daluwarsa, maka untuk
benda bergerak daluwarsa yang ditegaskan oleh Pasal 1977
BW adalah nol (0) tahun, atau dengan kata lain benda
bergerak tidak mengenal rentang waktu daluwarsa. Sesuai
sistematikanya, baik dalam hal daluwarsa berkait untuk
memperoleh hak milik atas suatu benda ataupun daluwarsa
berkait dengan terbebaskannya sesuatu pihak dari sebuah
kewajiban, diawali dengan tenggang waktu tiga puluh (30)
tahun yang bertolak awal dari Pasal 1963 BW, kemudian
jangka waktu daluwarsa itu sesuai urutannya lalu menurun
angka demi angka, dan diakhiri dengan bilangan nol (0) pada
Pasal 1977 BW. Penjenjangan jangka waktu yang terus
menurun secara sistematis, merupakan jenis pengaturan
jangka waktu daluwarsa yang dirakit secara rinci, untuk
mempermudah pemahaman pemerhatinya. Lagi pula lembaga
daluwarsa diatur oleh pembentuk BW, dengan suatu asumsi
bahwa waktu itu diyakini punya nilai, sehingga dengan
lewatnya suatu waktu yang ditentukan, harus ada akibat
hukumnya. Hal ini berbeda dengan Hukum Adat yang tidak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 29 | P a g e


mengenal lembaga daluwarsa, baik dalam hal daluwarsa yang
mengakibatkan terbebaskannya seseorang dari sebuah
kewaijiban yang semestinya harus dipenuhi, ataupun
daluwarsa dalam hal untuk memperoleh hak milik atas suatu
benda. Berbeda dengan sistem yang dianut oleh BW, di mana
lewat daluwarsa, sesuatu pihak dimungkinkan untuk
memperoleh hak milik atas suatu benda, atau sesuatu pihak
dapat terbebaskan dari sebuah kewajiban yang seharusnya
dipenuhi, dan peri hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 610
jis. 1946, 1963, 1969 BW.
Pada sisi lain, untuk masa sekarang di mana
perkembangan hakekat benda bergerak kian maju mengikuti
perkembangan masyarakat, sehingga benda-benda bergerak
tertentu mulai memiliki nilai yang relatif lebih tinggi dan
strategis, maka menjadi tak terbantahkan kalau penyesuaian
aturan gadai yang tersedia dalam BW menjadi pontang
panting karenanya. Beranjak dari kondisi ini, ketentuan gadai
dalam BW, demi mengikuti tuntutan praktek perbankan,
akhirnya sering mengalami rekonstruksi agar posisi kreditor
bisa menjadi lebih aman. Hanya dengan beberapa
penyimpangan yang terpaksa harus dilakukan, maka lembaga
gadai ini masih dapat dimanfaatkan dalam perjamuan masa
kini.

2. Golongan Benda Tidak Bergerak


Untuk menentukan apa saja yang tergolongbenda tidak
bergerak, oleh pembentuk BW ditetapkan ada tiga (3)
macam, yaitu:
1. Benda tidak bergerak karena sifatnya, di mana jenis
benda ini berdasar ciri alamiahnya memang tidak dapat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 30 | P a g e


dipindah-pindah (Pasal 506 BW).
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Sebenarnya
suatu benda itu semula termasuk golongan benda
bergerak, tetapi karena oleh pemiliknya dilekatkan pada
benda tidak bergerak secara terus menerus demi
mencapai suatu tujuan tertentu, akhirnya benda bergerak
yang bersangkutan berubah menjadi benda tidak bergerak
(Pasal 507 BW). Kwalifikasi sebagai benda bergerak
tergradasi golongannya menjadi dan mengikuti nasib
serta sifat benda tidak bergerak yang dilekatinya, ini
merupakan salah satu wujud konkrit dari asas perlekatan
(accessie) yang dikenal BW.
3. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang.
Sekali lagi penguasa berdasar kewenangan yang dimiliki
perlu menetapkan benda-benda tertentu dimasukkan
sebagai benda tidak bergerak (Pasal 508 BW).
Menyangkut benda tidak bergerak yang inti
pengaturannya ada pada Pasal 506, 507, dan 508 BW,
nampak ketentuan-ketentuan tersebut lebih berfokus pada
tanah. Soal benda berupa tanah, sudah dari dulu mula
memiliki posisi yang sangat strategis dalam kehidupan
sosial. Tak ada kegiatan hidup manusia tanpa melibatkan
tanah sebagai pendukungnya. Bahkan ditinjau dari
keberadaannya, hakekat tanah tidaklah beranak pinak, tapi
yang membutuhkan kian hari kian banyak akibat
bertangkarnya manusia sebagai mahkluk yang terus berlipat
ganda jumlahnya. Akibatnya, tanah dianggap sebagai benda
yang jauh lebih berharga dan nilainya juga terus
membubung tanpa dapat dicegah. Untuk itu tanah harus
diatur lebih cermat oleh hukum, antara lain menyangkut soal
kepemilikan harus didaftar dalam suatu register umum yang
sifatnya terbuka dan dikelola oleh institusi khusus,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 31 | P a g e


serta si empunya harus diberi tanda bukti kepemilikan
berupa sertifikat. Dengan metode ini, mana kala ada yang
mempertanyakan sebidang tanah sebagai benda tidak
bergerak itu milik siapa, untuk jawabannya masyarakat
tinggal melihat dalam register umum yang sudah tersedia.
Inilah caranya hukum memberikan jawaban setiap kali ada
pertanyaan dalam masyarakat yang mempersoalkan
sebidang tanah sebagai benda tidak bergerak itu siapa
pemiliknya. Kalau pertanyaan siapai pemilik sebuah benda
bergerak, seperti sudah dipaparkan terdahulu, dijawab
secara singkat dan mudah oleh hukum lewat Pasal 1977
BW. Lewat pola pengaturan seperti itulah, maka mana kala
ada pertanyaan dalam masyarakat siapa pemilik dari sebuah
benda, hukum sejak dini sudah menyediakan jawabannya
bagi masing-masing golongannya.
Kalau dibandingkan dengan benda bergerak, sejak
dulu sudah diakui kalau nilai benda tidak bergerak, dalam
hal ini tanah, selalu dianggap relatif lebih tinggi. Atas dasar
inilah, maka ketentuan-ketentuan penjaminan benda tidak
bergerak, yakni dengan menggunakan lembaga jaminan
hipotek, kalau ditinjau dari jumlah pasalnya, jauh lebih
banyak ketimbang gadai. Alur ketentuan yang mengatur
hipotek terbentang mulai Pasal 1162 - 1232 BW dengan
pelbagai rincian kemungkinan yang lumayan rumit, guna
mengantisipasi inovasi-inovasi dalam bisnis yang tak pernah
kering. Terlebih-lebih saat benda tidak bergerak berupa
tanah, akibat suatu rekayasa yang dilakukan oleh pelaku
bisnis dengan pelbagai macam kiatnya, mana kala sudah
dirasa layak dilempar ke pasar, maka ketersediaan aturan
yang relatif fleksibel harus sudah dipersiapkan oleh BW
secara proporsional. Diusahakan jangan sampai aturan
hukum menyangkut bisnis berkait dengan tanah,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 32 | P a g e


BW menjadi tidak mampu melayani hiruk pikuknya pasar.
Mencermati Pasal 507 BW, di mana kalau sebuah
benda bergerak ternyata oleh pemiliknya dilekatkan pada
benda tidak bergerak secara terus menerus demi mencapai
suatu tujuan tertentu, menjadi berubah nasibnya mengikuti
jenis benda yang dilekatinya, yaitu menjadi benda tidak
bergerak. Benda bergerak setelah dilekatkan pada benda
tidak bergerak demi mencapai suatu tujuan tertentu oleh
pemiliknya, dianggap menjadi satu keseutuhan. Konsep ini
sesungguhnya merupakan konsekwensi konkrit dari asas
accessie atau asas perlekatan yang sangat terkenal dalam
BW. Posisi penting asas perlekatan ini, sampai-sampai
pembentuk undang-undang menjadikan prinsip tersebut
sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik suatu
benda seperti yang dituturkan oleh Pasal 584 BW. Asas
accessie dikenal dalam sistem BW karena adanya
pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak, sehingga
dalam perbincangan lanjut membuahkan banyak akibat
hukum yang lumayan panjang dan rumit.
Mana kala ditelaah dengan seksama, apa yang diatur
dalam Pasal 506, 507, dan 508 BW, nampak bahwa norma-
norma tersebut intinya berfokus pada tanah. Pada hal seluk
beluk tanah oleh pemerintah Indonesia sudah diterbitkan
UUPA, sehingga apa yang tertera dalam BW sepanjang me-
nyangkut bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya menjadi tidak berlaku. Ini berarti segala ketentuan
menyangkut tanah dalam BW tak dipergunakan lagi,
termasuk pasal yang menggolong-golongkan benda tidak
bergerak. UUPA yang dicipta oleh pemerintah Indonesia

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 33 | P a g e


tegas-tegas didasarkan pada Hukum Adat yang sistemnya
jauh berbeda dengan BW. Hukum Adat sebagai rangkaian
hukum asli milik bangsa Indonesia, justru tidak mengenal
asas accessie atau asas perlekatan, tetapi yang dianut adalah
asas pemisahan horisontal sebagai akibat dikenalnya
pembagian benda berupa tanah dan benda bukan tanah.
Keberlakuan BW di Indo yang berbarengan dengan UUPA
yang menganut sistem tak sama, dalam praktek sering
mendatangkan banyak kerancuan yang acap kali bisa
terjerumus pada situasi yang tak pasti.
Saat seluk beluk urusan tanah diatur oleh BW yang
ketentuan-ketentuannya sarat dengan nuansa bisnis, maka
kondisi dan situasi apapun yang menyelimuti tanah, tetap
saja dapat dijadikan obyek transaksi dengan memanfaatkan
jurus-jurus yang bersumber pada asas kebebasan berkontrak.
Berdasar asas kebebasan berkontrak, pebisnis tak
kehilangan akal untuk mendayagunakan ketentuan-
ketentuan dalam BW guna menopang kegiatan dagangnya
agar tetap berjalan dan membuahkan keuntungan. Nuansa
bisnis yang sangat kental mempengaruhi ketentuan-
ketentuan BW, mengakibatkan Hukum Perjanjian yang ada
di dalamnya dengan sigap mampu memenuhi kebutuhan
pasar. Sebaliknya sosok UUPA yang sarat dengan nuansa
administratif dan sangat renggang oleh sapuan bisnis, acap
terjadi suatu hak atas tanah yang belum tuntas urusan
administrasinya tak bakal bisa digunakan sebagai obyek
transaksi, misal dengan tujuan diperjualbelikan dalam
masyarakat. Kendala seperti ini mengakibatkan para pelaku
pasar lalu menengok dan menerapkan kembali aturan dalam
BW sebagai suatu terobosan, agar obyek transaksi yang
berkaitan dengan hak atas tanah tetap dapat dilaksanakan
kendati risiko yang ditimbulkannya memang menganga
lumayan besar. Namun karena bisnis itu selalu dihadapkan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 34 | P a g e


pada tantangan aneka risiko, para pelaku pasar tak segan
menempuh terobosan itu demi kelancaran usaha yang
dikelolanya. Tanpa keberanian menerjang riak-riak risiko
lewat berbagai terobosan, bisnis tak mungkin maju, dan
pada gilirannya keuntungan tak bakal bertandang datang.
Obyek transaksi yang berkaitan dengan seluk beluk
tanah, khususnya yang belum lengkap persyaratan
administrasinya sesuai aturan UUPA saat ini, menjadi
kendala untuk dipasarkan. Pada hal permintaan konsumen
sudah merebak akibat desakan kebutuhan dasar yang minta
dipenuhi dengan segera. UUPA sebagai sarana hukum,
nuansanya tidak menunjang gejolak pasar untuk dijadikan
ajang bisnis. Menghadapi fakta tersebut, jalan pintas yang
ditawarkan BW segera dimanfaatkan selaku langkah awal
yang pada dasarnya memang memungkinkan. Terobosan
langkah bisnis dengan mendayagunakan peluang yang ada
dalam ranah aturan BW, mewarnai transaksi berkait dengan
tanah di lingkungan pasar domestik yang kadang
menerbitkan banyak persoalan pelik. Akibat lanjutnya
kepastian hukum selalu dipertanyakan banyak kalangan
yang pada muaranya dapat menimbulkan keraguan dalam
melakukan investasi. Jelas kendala ini sangat merisaukan
bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara utuh dan
komprehensif. Sampai kapan kegalauan yang menyelimuti
pasar tersebut akan berlalu, masih diperlukan keberanian
pemerintah untuk menggarap regulasi frontal yang mampu
menghalau rintangan bisnis yang sudah dirasakan banyak
pihak.
Sangat dipahami oleh segenap kalangan bahwa
mengelola bisnis yang berkaitan dengan hak atas tanah,
benar-benar memerlukan kejelian dan kewaspadaan yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 35 | P a g e


utuh dan prima. Sistem Preproject Selling yang marak di
Indonesia saat ini misalnya, merupakan sebuah tantangan
bagi banyak kalangan untuk dicarikan sandaran normanya,
agar pihak-pihak terkait merasa aman dan nyaman saat
melakukan transaksi. Permasalahan Preproject Selling ini,
terasa makin mengedepan urgensi pengaturan normanya
bagi masyarakat yang hidup di kawasan metropolitan yang
sedang tumbuh pesat akibat desakan kebutuhan tempat
tinggal ataupun area untuk menggelar bisnis.
Sebagaimana sudah disinggung bahwa untuk benda
tidak bergerak dalam hal ini tanah, kalau akan dijaminkan
BW sudah menyediakan lembaganya berupa hipotek.
Namun sejak berlakunya UUPA yang kemudian disusul
terbitnya UU Hak Tanggungan, penjaminan benda berupa
tanah tidak lagi memakai hipotek tetapi hak tanggungan.
Bila ditelisik dengan seksama, UU Hak Tanggungan sebagai
penjabaran lanjut dari UUPA, mestinya tak bakal
meninggalkan landasan Hukum Adat yang sesungguhnya
tak mengenal pembagian hak pribadi dan hak kebendaan.
Akibatnya dalam perjanjian pemberian hak tanggungan
yang dibuat oleh kreditor dan debitor, tentunya tidak bakal
lahir hak kebendaan, mengingat induk hak tanggungan
dalam hal ini Hukum Adat tidak mengenal hak kebendaan.
Tetapi kalau diteliti dengan seksama, pasal-pasal dalam UU
Hak Tanggungan banyak mencerminkan ciri-ciri dari
hipotek sebagai hak kebendaan. Corak ini memang tak
terbantahkan, bahwa munculnya lembaga hukum baru,
seperti halnya hak tanggungan, tak bakal meninggalkan
sama sekali goresan-goresan historis hipotek sebagai alur
masa lalu yang acap kali sudah terlanjur mendarahdaging
dalam sanubari hukum masyarakat. Oleh sebab itu
bersitegang pada pendapat bahwa hak tanggungan bukan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 36 | P a g e


tergolong hak kebendaan, sebagai akibat Hukum Adat
selaku induknya memang tidak mengenal jenis hak
kebendaan, hanya akan menghabiskan energi yang sia-sia.
Seyogyanya segera dipulangkan saja pada undang-
undangnya sebagai hukum yang berlaku saat ini untuk
patokan yang wajib dipatuhi, tanpa perlu menelisik
konsistensi muasal kelahiran hak tanggungan pada
induknya. Anggap saja itulah hasil tuntutan kebutuhan
bisnis yang tidak mungkin ditawar berlama-lama dengan
mengajukan keluh kesah parodi keilmuan hukum.

3. Konsekwensi Lanjut Penggolongan Benda Bergerak


Benda Tidak Bergerak
Sudah disinggung pada bagian depan bahwasanya
pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak adalah
merupakan jenis penggolongan benda yang sangat penting
dalam ruang lingkup keberlakuan BW. Ini disebabkan
bahwa pembagian kedua pasangan benda tersebut,
mempunyai pengaruh dalam banyak bidang. Adapun
bidang-bidang yang perlu ditelaah secara seksama akibat
adanya pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak
adalah sebagai berikut.
A. Dalam bidang bezit: bahwa menguasai secara nyata
(mem bezit) benda bergerak, maka berlakulah asas yang
ada dalam Pasal 1977 BW, di mana ditetapkan bahwa
barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai
pemilik. Asas ini tak berlaku kalau menyangkut
penguasaan benda tidak bergerak. Menyikapi eksistensi
Pasal 1977 BW ini kalau dicermati lebih mendalam,
ternyata banyak segi yang sering mendatangkan situasi-
situasi kontroversial yang menggelitik. Ini menandakan
kalau keberadaan Pasal 1977 BW memang menduduki

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 37 | P a g e


posisi sentral dalam urusan benda bergerak. Rasanya
tanpa pasal tersebut lalu lintas transaksi benda bergerak
akan banyak mengalami kendala. Justru dengan adanya
Pasal 1977 BW yang cenderung muskil, sering masalah
bisnis yang obyeknya benda bergerak menjadi lancar dan
nyaris aman akibat tersedianya perlindungan hukum di
dalamnya. Bahkan Pasal 1977 BW ini apa bila dikaitkan
dengan keberadaan Pasal 584 BW akan menerbitkan
cakrawala baru yang mampu memperluas sudut pandang
kalangan orang hukum lewat telaah kritis yang tak
kepalang tanggung.
B. Dalam bidang levering: seperti sudah dimaklumi bahwa
dalam levering sesungguhnya ada dua unsur penting agar
levering atau penyerahan itu sampai pada tujuan finalnya
yakni beralihnya hak milik suatu benda dari satu tangan
ke tangan lainnya. Adapun dua (2) unsur yang dimaksud
adalah penyerahan nyata (feitelijke levering) dan
penyerahan yuridis (juridische levering). Pada waktu
seseorang berkehendak memindahkan hak milik suatu
benda bergerak, maka sesaat benda bergerak yang
bersangkutan diberikan kepada pihak lain, seketika itu
pula baik penyerahan nyata dan penyerahan yuridis, jatuh
bersamaan tanpa dapat diamati jenjang tahapannya.
Sebaliknya kalau yang dipindahkan hak miliknya itu
menyangkut benda tidak bergerak, maka antara penye-
rahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis
(juridische levering) akan nampak tahap-tahapnya secara
signifikan baik dalam jenjang waktu ataupun perbuatan
hukumnya.
C. Dalam bidang verjaring (daluwarsa): benda bergerak
tidak mengenal daluwarsa atau nol (0) tahun dan ini
dapat dilacak dalam Pasal 1977 BW. Sedang untuk benda
tidak bergerak daluwarsanya seperti yang dapat disimak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 38 | P a g e


pada Pasal 1963 BW yang intinya menegaskan bahwa
siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas
hak yang sah, mendapatkan suatu benda tidak bergerak,
suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus
dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya,
dengan jalan daluwarsa setelah menguasai secara nyata
selama dua puluh (20) tahun. Sedang siapa yang dengan
itikad baik menguasainya selama tiga puluh (30) tahun,
memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk
menunjukkan alas haknya. Jelas dari ketentuan-ketentuan
tersebut untuk urusan daluwarsa, durasi waktu yang
diperlukan untuk benda bergerak dan benda tidak
bergerak amat berbeda.
D. Dalam bidang bezwaring (penjaminannya): kalau yang
dijaminkan itu berupa benda bergerak, maka lembaga
yang disediakan oleh BW adalah gadai, sedang untuk
benda tidak bergerak adalah hipotek. Seluk beluk gadai
diatur oleh Pasal 1150-1160 BW, sedang hipotek
aturannya terentang mulai Pasal 1162-1232 BW.
Mengamati dan membandingkan jumlah pasal yang
mengatur gadai dan hipotek, sedemikian mencolok
perbedaannya, sehingga dapat ditebak bahwa sosok
benda tidak bergerak pasti menduduki posisi yang
penting dalam bidang bisnis ataupun hukumnya.
E. Dalam bidang sita (beslag): berdasarkan prosedur sesuai
aturannya, eksekusi melalui sita, (executorial beslag)
maka benda bergerak harus dilakukan terlebih dahulu,
mana kala dirasa belum cukup untuk melunasi prestasi
atau utang debitor yang bersangkutan, barulah sita
tersebut menjamah keberadaan benda tidak bergerak
(lihat Pasal 197 HIR).

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 39 | P a g e


Sebagaimana sudah dipaparkan pada bagian ter-
dahulu, bahwa setiap benda dapat dijadikan obyek transaksi
apabila benda tersebut mempunyai nilai ekonomis, dan hak
milik benda yang bersangkutan dapat dipindahkan.
Demikian pula setiap benda dapat dijaminkan kalau benda
itu punya nilai ekonomis dan hak miliknya dapat dialihkan.
Mengingat soal penjaminan benda itu berkait erat dengan
bisnis, maka unsur nilai ekonomis benda yang dijadikan
obyek pengikatan, menduduki posisi sentral. Berdasar nilai
ekonomis benda itulah, akan dijadikan acuan untuk
menentukan besaran dana yang disalurkan oleh kreditor.
Menurut BW untuk benda bergerak kalau dijaminkan
mempergunakan lembaga jaminan gadai, sedang untuk
benda tidak bergerak dipakailah hipotek. Sedasar dengan
adagium dalam Hukum Jaminan, pada dasarnya pihak yang
wenang menjaminkan sesuatu benda adalah pemilik.
Mengapa yang wenang menjaminkan sebuah benda itu
pemilik, adalah dengan pemahaman bahwa menjaminkan itu
bisa jadi merupakan langkah awal mengasingkan benda,
pada hal yang diberi wewenang mengasingkan benda itu
adalah pemilik. Kontek ini terjelaskan dengan ilustrasi,
andai pihak debitor selaku pemilik benda yang dibebani
jaminan, ternyata wanprestasi atau tidak melunasi utangnya,
maka benda jaminan akan dijual lelang, dan penjualan di
hadapan umum tersebut dilakukan kreditor adalah atas
perkenan atau kuasa dari debitor selaku pemilik benda atau
mungkin didasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Gatra ini mengilustrasikan bahwasanya
menjaminkan yang potensial berujung penjualan lelang,
menciptakan adagium bahwa yang wenang menjaminkan itu
adalah pemilik, dan ini sejalan dengan kehadiran Pasal BW
tentang keleluasaan kewenangan yang dipunyai oleh

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 40 | P a g e


pemilik untuk melakukan perbuatan hukum terhadap benda
kepunyaannya termasuk juga perbuatan hukum men-
jaminkan.
Benda yang diatur oleh Buku II BW pada umumnya
akan dijadikan obyek transaksi, sednag proses transaksi
sebagian besar menyangkut Perjanjian Obligator yang
tunduk pada Buku II BW. Saat benda dijadikan obyek
perjanjian yang tentu saja dari perjanjian itu akan lahir
perikatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1233 BW, maka
pihak-pihak yang terikat berharap agar prestasiyang
diinginkan dapat terwujud, karena itu merupakan haknya.
Apa bila dari perikatan yang dijalin itu tak menghasilkan
hak, berarti tidak untung atau menderita rugi, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugat ke pengadilan supaya
kerugian itu dipulihkan. Pemulihan kerugian tersebut oleh
hukum memang dijanjikan pasti dapat terwujud sampai
prestasi sebagai obyek perikatan yang diinginkan terealisasi
secara utuh. Untuk keperluan itulah maka dikemas Pasal
1131 BW sebagai jaminannya. Beranjak dari pola ini, maka
sesungguhnya sejumlah benda yang dimiliki oleh seseorang
sudah tidak bebas lagi, mengingatsetiap harinya orang pasti
selalu terikat pada pihak lain, entah lewat undnag-undang
ataupun yang lahir melalui perjanjian, dan benda miliknya
berdasar Pasal 1131 BW sudah dijadikan jaminan atas
perikatan yang dibuatnya. Konstruksi hukum seperti ini
menyiratkan bahwa setiap perikatan yang obyeknya prestasi
yang selalu terjadi dalam kehidupan konkrit, sudah ada
jaminannya berupa seluruh benda yang dipunyai oleh para
pihak seperikatan.
Akibat adanya hukum yang dipakai sebagai bingkai
hubungan bisnis, dalam hal ini adalah kontrak,bila ada pihak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 41 | P a g e


yang mengalami kerugian, oleh hukum dijamin akan
mendapatkan pemulihan sehingga haknya yang semula tak
terwujud, sesuai proses akan dapat ditutup secara utuh.
Inilah salah satu kepastian yang dijanjikan oleh hukum
sebagai penunjang kegiatan bisnis dalam masyarakat. Bisnis
selaku motor ekonomi, akan selalu memerlukan kontrak
sebagai landas pacunya. “Once the businessman has decided on
the particular form of business organization that suits his
needs,he can concentrate on his main puspose: establishing and
building up the business. This will envolve acquiring premises
and equipment taking on employes, buying raw materials and
stock, marketing the product or service, and meeting orders.
Underpinning all these business transsactions is the presence of a
contract.” 1 Jadi dapat dipastikan bahwa hukum ini pulalah
yang sesungguhnya akan selalu dijadikan poros utama
perputaran roda bisnis demi perkembangan ekonomi Negara
manapun dan sampai kapanpun.

1
Denis Keenan, Sarah Riches, Business Law, Pearson Longman,
London, 2002, h.201.
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 42 | P a g e
BAB III
JAMINAN UMUM
SEBAGAI PENYANGGA PERIKATAN

1. Prestasi Sebagai Obyek Perikatan

P erikatan yang diatur dalam Buku III BW, tak ada


ketentuan yang secara khusus memberikan definisi
atau pengertiannya. Beda dengan benda diatur oleh Buku II
BW, pembentukan undang-undang sengaja memberikan
definisi benda justru pada ketentuan awalnya yakni Pasal
499 BW sehingga penyimak akan mendapatkan gambaran
secara garis besar apa yang di maksud benda itu.
Kekurangan pemberian definisi perikatan dalam Buku III
BW, lalu ditutup oleh dunia doktrin. Para sarjana yang
berusaha memberikan definisi tentang perikatan, inti isinya
nyaris sama, bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih dalam lapangan harta kekayaan,
di mana satu pihak wajib memenuhi prestasi (inilah paraga
debitor) dan pihak lain berhak atas prestasi yang
bersangkutan (inilah sosok kreditor).

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 43 | P a g e


Bertolak dari inti definisi perikatan di atas, penja-
barannya secara singkat dapat diurai, bahwa yang dimaksud
perbuatan hukum tak lain adalah perbuatan yang
menimbulkan akibat hukum. Selanjutnya hubungan hukum
yang dimaksud terletak dalam ranah hukum harta
kekayaan, berarti hak dan kewajiban yang timbul dari
padanya punya nilai ekonomis. Pengertian debitor adalah
pihak yang wajib memenuhi prestasi, sedang kreditor
adalah pihak yang berhak atas prestasi yang bersangkutan.
Dari jabaran definisi perikatan tersebut, berarti obyek
perikatan itu adalah prestasi.
Sebagaimana dituturkan oleh Pasal 1234 BW, wujud
prestasi itu ada tiga (3) jenis, yakni memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Hakekat prestasi
sebagai suatu kewajiban yang terpikul di punggung para
pihak, haruslah dipenuhi, dibayar atau dilaksanakan.
Kebenaran bahwa prestasi wajib dipenuhi dapat ditimba dari
Pasal 1235 BW yang isinya mengutarakan bahwa dalam
perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu, maka
debitor wajib menyerahkan benda yang bersangkutan dan
memeliharanya dengan baik sebelum penyerahan dilakukan.
Bertolak dari hakekat Pasal 1235 BW, prestasi yang harus
dipenuhi tidak sebatas pada jenis perikatan untuk
memberikan sesuatu saja, tetapi juga termasuk jenis
perikatan untuk berbuat sesuatu, dan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu.
Pemenuhan prestasi yang harus dilakukan oleh
debitor sebagai suatu kewajiban, kemudian prestasi tersebut
akan diterima oleh kreditor sebagai haknya. Apa bila dalam
suatu perikatan mengakibatkan di bahu masing-masing
terpukul kewajiban, kemudian sama-sama dilaksanakan,
dengan sendirinya hak mereka satu sama lain juga akan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 44 | P a g e


terwujud. Normaliter, maisng-masing pihak selain memang-
gul kewajibannya sendiri-sendiri, juga nantinya satu sama
lain akan mendapatkan haknya. Berarti hak dan kewajiban
itu berendeng bersisian, meski berbeda namun tak
terpisahkan bagai dua muka sekeping mata uang logam.
Sebaliknya, andai kewajiban tak dipenuhi, otomatis hak juga
tak bakal terwujud. Dengan tak terwujudnya hak, inilah
sebuah kerugian yang tentu saja tak diinginkan bagi para
pihak yang telah terjalin dalam suatu perikatan. Tidak
diraihnya hak sebagai wujud keuntungan dalam bisnis,
potensial pihak yang bersangkutan akan meminta bantuan
kepada hukum, missal dengan jalan menggugat ke
pengadilan, untuk memulihkan kerugiannya. Nyaris setiap
perikatan yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat,
dipastikan prestasi sebagai obyeknya, selalu diinginkan oleh
pembuatnya agar dapat diperoleh sebagai wujud keuntungan
yang memang sejak semula diperhitungkan selaku haknya
dalam hukum.
Andai suatu perikatan yang terentang antar para
pihak ternyata prestasi yang diinginkan tak diraihnya, maka
yang bersangkutan dapat meminta bantuan kepada hukum,
misal dengan jalan menggugat ke pengadilan. Sesuai
prosedur kewajiban yang tak dipenuhi secara suka rela,
hukum dapat memaksanya dengan mengandalkan Pasal
1131 BW yakni dengan jalan mengeksekusi harta pihak
yang cidera janji di hadapan umum, dan hasilnya dibayarkan
kepada pihak yang menderita rugi. Inilah salah satu manfaat
hukum saat dijadikan bingkai kegiatan bisnis, sehingga hak
berupa keuntungan hamper pasti akan didapatkan.
Paparan di atas memberikan ilustrasi bahwa setiap
prestasi sebagai obyek perikatan,oleh undang-undang sudah

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 45 | P a g e


disediakan jaminannya seperti yang termaktub dalam Pasal
1131 BW yang demi hukum akan berusaha meliput risiko
tak dipenuhinya prestasi yang bersangkutan oleh salah satu
pihak. Inilah salah satu akuntabilitas yang tersemat dalam
hukum saat dipergunakan sebagai bingkai bisnis, sehingga
keuntungan yang digadang-gadang para pelaku pasar
sungguh dapat terealisasi sesuai perhitungan awal. Andai
suatu prestasi tak dipenuhi secara suka rela oleh debitor,
maka hukum memaksanya lewat prosedur yang sudah
tersedia, dengan mendayagunakan Pasal 1131 BW, sampai
pihak yang diciderai dan menderita rugi, menjadi
terpulihkan haknya.
Menyimak kehadiran Pasal 1131 BW, di dalamnya
tersemat jaminan umum yang demi undang-undang sudah
ada tanpa diperlukan perjanjian bagi para pihak untuk
mewujudkan keberadaan jaminan yang dimaksud. Jadi
jaminan umum yang bertengger pada Pasal 1131 BW adalah
suatu jaminan yang disediakan oleh undang-undang. Namun
kalau menyimak ketentuan berikutnya, yakni Pasal 1132
BW, tersirat bahwa jaminan umum yang disediakan oleh
pembentuk undang-undang masih dapat menimbulkan risiko
akibat hasil lelang harta debitor kalau tak mencukupi guna
menutup seluruh utangnya, maka harus dibagi secara pro-
porsional. Pembagian hasil lelang untuk pelunasan piutang
para kreditor secara proporsional berdasar Pasal 1132 BW
ini, mengesankan bahwa hasil lelang itu diperebutkan, satu
sama lain para pemilik taguhan saling berkonkurensi,
sehingga mereka ini lalu disebut sebagai kreditor konkuren.
Rupanya meski setiap perikatan itu sudah ada jaminan yang
diberikan oleh pembentuk undang-undang lewat Pasal 1131
BW, tak sepenuhnya serta merta dapat menutup kerugian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 46 | P a g e


kreditor secara utuh, apabila dalam kenyataannya hasil
lelang tak sepenuhnya dapat meliput lunas seluruh utang
debitor. Inilah nasib kreditor konkuren yang hanya sekedar
mengandalkan jaminan umum.
Apabila seorang penyalur dana pinjaman hanya
mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, tidak
terkecuali bank, berarti kreditor hanya mengutamakan pada
aspek kepercayaan melulu, tanpa meminta agunan. Ini
maknanya bahwa dana pinjaman tersebut tidak didukung
dengan perjanjian jaminan kebendaan, sehingga nanti di
belakang hari ternyata debitor wanprestasi, maka demi
memperoleh kembali dananya,pihak kreditor harus bersusah
payah bergelut dengan proses gugat ginugat yang memakan
waktu panjang dan beaya besar, bahkan juga harus berebut
dengan kreditor-kreditor konkuren lainnya. “Such a trusting
creditor is said to be ‘unsecured’, i.e., in the event of default
(nonpayment), the creditor will have to go to court, win a
judgement, and sent out the sheriff to realize on any of the
debtor’s property.” 1 Hal senada juga dikemukakan oleh
Steven Emanuel dalam salah satu karyanya dengan
pernyataan : “Suppose Borrower wants a loan from lender.
Lender night make an unsecured loan, that is, a loan on
default of which Lender would not have he right to foreclose
against specific property of Borrower. The only way Lender
could get his money back if Borrower did not voluntarily
pay would be to sue Borrower, get a money judgement
against him, and then have the sheriff levy against
Borrower’s assets. But this might take a long time, and
would involve legal fees. Furthermore, if Borrower went
bankrupt, Lender would be no better off than any other

1
Douglas J. Whaley, Secured Transaction, Harcourt Brace
Legal andProfessional Publication, Inc, Chichago, 1991,h. 1
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 47 | P a g e
unsecured creditor, and would have to share pro rata with
these other unsecured creditors”2

2. Nilai Ekonomis Prestasi


Bertolak dari penjabaran makna perikatan, bahwa
hubungan hukum antara pihak ada dalam ruang lingkup
harta kekayaan, berarti prestasi sebagai obyek perikatan
jelas punya nilai ekonomis. Mereka yang mengadakan
hubungan hukum dalam jaringan perikatan, adalah manusia
yang bersosok sebagai homo economicus, sehingga
keterhubungan para pihak tersebut adalah dalam rangka
mengejar keuntungan. Oleh sebab itulah timbulnya
perikatan selalu berorientasi pada profit, mengingat dengan
perikatan tersebut para pihak berupaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang sudah barang tentu penuh dengan
nuansa perhitungan laba rugi. Sosok sebagai homo
economicus, para pihak yang terhubung dalam perikatan,
intinya saling bertukar janji atas dasar sepakat, supaya
keuntungan yang diharapkan oleh masing-masing dapat
terwujud. Nyaris tak ada jenis perikatan yang dibuat tanpa
keinginan memperoleh manfaat ekonomis. Kekecualiannya
hanya dalam peristiwa hibah yang pada dasarnya memang
tak bertumpupada pertimbangan bisnis.
Pencapaian prestasi yang diinginkan para pihak
selalu dalam pusaran nilai ekonomis demi memupuk dan me
ningkatkan kesejahteraan. Terbentangnya perikatan antar
para pihak, adalah suatu modus yang hamper ditempuh oleh
semua orang dalam upayanya memenuhi kebutuhan yang

2
Steven Emanuel, Secured Transaction, Emanuel Law
Outlines, Inc., New York, 1988, h. 1
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 48 | P a g e
tak pernah kunjung usai dalam kesehariannya. Lewat
perikatan pemenuhan kebutuhan hidup akan relatif mudah
dicapai, ketimbang dilakukan ataupun dilaksanakan sendiri
tanpa bekerja sama dengan anggota masyarakat lainnya.
Pemenuhan kebutuhan dengan jalan mengadakan perikatan
dengan pihak lain adalah demi mencapai suatu prestasi yang
diinginkan, juga dalam rangka menegakkan efisiensi, agar
waktu, tenaga, dan beaya, dapat ditekan sekecil mungkin.
Lewat kerja sama berupa perikatan lebih banyak hemat
kalau dibanding dengan bekerja sendirian tanpa berinteraksi
dengan sesame anggota masyarakat lainnya. Mematok
efisiensi sebagai tolok ukur saat dibuatnya setiap perikatan,
memberikan sinyal bahwa itulah dalil bisnis yang tak pernah
ditanggalkan oleh para pelakunya. Agar hukum sebagai
bingkai bisnis bergayungsambut dengan panji efiensi yang
dikibarkan para pelaku pasar, maka hakekat hukum sebagai
sarana juga wajib mengegakkan urusan efisiensi ini dalam
rakitan normanya. Menafikan peri hal efisiensi, malah akan
menimbulkan ekonomi beaya tinggi yang sudah barang
tentu sangat ditentang oleh pelaku bisnis, dan hukum
sebagai sarana akan dilecehkan dengan pelbagai terobosan
yang kadang menuai kegelisahan.
Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis
merupakan corak utama dalam perikatan yang diatur oleh
Buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada di dalamnya,
baik secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan
situasi yang kondusif demi kelancaran roda bisnis dalam
masyarakat. Kondusifitas perkembangan bisnis baru bisa
diujudkan oleh hukum, apabila ketentuan-ketentuan
fleksibel atau luwes. Bahkan ada kalanya suatu asaspun
harus dibuatkan kekecualiannya supaya ekonomi beaya
tinggi dapat dihindari, dan ini merupakan salah satu

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 49 | P a g e


perwujudan penciptaan keluwesan hukum. Sifat luwesnya
ketentuan-ketentuan dalam Buku III BW adalah merupakan
jawaban dunia hukum yang berupaya keras agar selalu
mampu dijadikan bingkai kegiatan bisnis. Ketentuan hukum
yang kaku hanya akan menghasilkan ekonomi beaya tinggi
yang tentunya tak akan sejalan dengan tuntutan pasar.
Fleksibelitas tersebut hanya dapat ditegakkan oleh hukum,
mana kala ketentuan-ketentuannya tidak kaku, dalam arti
sewaktu-waktu dapat disimpangi untuk kemudian para pihak
diberi kebebasan mengaturnya sendiri. Sosok ketentuan
seperti itu hanya dapat diwujudkan kalau berposisi sebagai
regelend recht. Mengingat Buku III BW tempat
bernaungnya perikatan yang isi ketentuannya guna melayani
keperluan bisnis, maka sebagian besar pasalnya akan
didominasi oleh ketentuan yang berkedudukan sebagai
regelend recht, sehingga corak inilah yang megakibatkan
Buku III BW itu bersifat terbuka. Corak Buku III BW yang
bersifat terbuka itu, dapat menjaga ketentuan-ketentuannya
dengan luwes karena hadirnya asas kebebasan berkontrak
sebagaimana tersemat dalam Pasal 1338 BW.
Oleh sebab itu prestasi yang sarat dengan nilai
ekonomis, harus selalu dapat diraih oleh setiap pihak yang
membuat perikatan, mengingat dengan mengikatkan diri
pada sesame anggota kelompok sangat menghemat beaya,
waktu, ataupun tenaga. Mana kala prestasi yang
bersangkutan tak dapat direngkuh akibat ulah sesuatu pihak
yang mengingkari janjinya, hukum tetap akan bersikeras
mewujudkannya sesuai prosedur yang sudah disediakan
koridor pengaturannya. Hukum memiliki daya paksa apa
bila ada suatu pihak yang tak hendak memenuhi prestasinya
secara suka rela, bahkan kalau perlu sesuai permintaan dapat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 50 | P a g e


ditambah dengan pengenaan ganti rugi, beaya, dan bunga.
Demi terwujudnya apa yang akan dipulihkan akibat suatu
kerugian yang menimpa salah satu pihak, dalam diri BW
sendiri disediakanlah suatu jaminan agar pemulihan tersebut
dapat terealisasi. Pentingnya aturan jaminan ini tak lain
merupakan kosekwensi dari lekatnya nilai ekonomis pada
sebuah prestasi.

3. Risiko Mengandalkan Jaminan Umum


Kendati dalam perikatan sudah dijamin oleh undang-
undang demi memperoleh pelunasan prestasi yang
diinginkan, tetap saja masih ada risiko yang menghadang.
Tak lain inilah hakekat bisnis yang selalu berlumur dengan
berbagai jenis ancaman risiko berupa kerugian. Memang tak
pernah ada kisah bahwa suatu bisnis selalu mendapat
keuntungan. Pasang surut mengelola suatu usaha, sudah
barang tentu selalu akan terjadi sesuai pengaruh internal
mauun eksternal. Oleh sebab itu para pelaku pasar saat
hendak membuat perikatan, wajib bertumpu pada perhi-
tungan untuk dan rugi secara teliti. Untung dapat diraih,
risiko bisa ditangkal sedini mungkin, hanya dapat dibantu
oleh terbentuknya perikatan yang dibuat oleh para pihak,
dengan cara menuangkan dalam klausula-klausula
perjanjian.
Kegiatan bisnis apapun akan dibingkai oleh hukum,
namun tak berarti hukum selalu mampu menghalau segenap
risiko, terlebih kalau pelakunya kurang cermat dalam
berhitung dan bersikap. Hukum hanya sebuah sarana untuk
menangkal risiko secara optimal, namun perjalanan bisnis
yang tak lain merupakan suatu proses, dapat terjadi saat
dalam tahap-tahap pelaksanaannya timbul kendala yang tak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 51 | P a g e


mungkin ditepis. Risiko yang dimaksud tak sekedar mela-
yangnya sejumlah keuntungan yang akan diperoleh, tetapi
dapat saja berupa terbuangnya waktu, cacatnya prestasi yang
tak diharapkan, ataupun kejadian-kejadian lain yang
menghambat terealisasinya prestasi yang diinginkan demi
menggapai hak sebagai keuntungan yang didamba.
Bagaimanapun hukum hanya sebuah sarana kehi-
dupan yang tak mungkin sempurna, sehingga kerugian yang
tak diharapkan dapat saja muncul tanpa diduga. Risiko
dalam bisnis adalah tantangan, oleh sebab itu harus
diantisipasi dengan perhitungan yang cermat, untuk
kemudian mendayagunakan hukum sebagai bentengnya.
Namun kalau benteng yang disediakan hukum ternyata juga
roboh, tentu saja kerugian yang tak diharap bisa bertandang
tanpa dapat dicegah. Hukum sebagai sarana memang
menawarkan banyak alternatif yang dapat dimanfaatkan
sejak dini, namun tetap saja tak seluruh risiko dapat
ditangkal. Paling tidak risiko yang muncul adalah
terhambatnya prestasi yang diinginkan, sehingga perlu jeda
waktu yang mestinya tak perlu terjadi. Maklum pelaku
bisnis adalah manusia juga yang acap kali karena sesuatu
hal menjadi lalai atau terhalang saat hendak memenuhi
kewajibannya sehingga mengakibatkan rekan bisnisnya
harus menerima imbasnya berupa kerugian.
A. Risiko Akibat Wanprestasi
Sebagaimana sudah dipaparkan bahwa prestasi itu
wajib dipenuhi oleh pihak debitor agar hak kreditor dapat
terwujud dan itu adalah keuntungan yang dicitaharapkan
sejak awal. Tetapi tak selamanya manusia sebagai subyek
hukum selalu menepati janji untuk melaksanakan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 52 | P a g e


kewajiban yang terpikul di pundaknya setelah timbul
perikatan di antara para pihak. Memang sebagai insan janji
yang diikrarkan dengan rekan seperikatannya harus
ditepati. Namun tak semua insan berperi laku seperti itu,
ada kalanya debitor dnegan sengaja ataupun karena
kelalaiannya tak hendak memenuhi kewajibannya sesuai
janji, sehingga dengan ulahnya tersebut kreditor menderita
rugi karenanya. Bila mana ini terjadi dan kreditor berusaha
memulihkan kerugian tersebut dengan jalan menggugat
debitor ke pengadilan, jelas proses gugat ginugat di
pengadilan memerlukan jangka waktu yang kadang tidak
sedikit. Demikian pula beaya untuk berperkara, acap kali
menelan ongkos yang tidak kecil, belum lagi kalau putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
diabaikan begitu saja oleh debitor, yang kemudian harus
disusul dengan eksekusi harta debitor atas dasar Pasal1131
BW yang kadang juga tak mudah. Jelas proses yang
berkepanjangan seperti ini merupakan suatu risiko yang
harus ditelan pahit oleh kreditor.
Bersengketa di pengadilan yang sifatnya terbuka,
imbasnya dapat mencoreng reputasi pelaku bisnis, sehingga
setelah banyak kehilangan beaya, waktu, dan siasat, nama
baik yang diemban dapat ternoda. Inilah antara lain risiko
yang mendera kreditor selaku pebisnis, akibat ulah debitor
yang wanprestasi, kendati untuk perikatan yang mereka
buat sudah dijamin oleh undang-undang lewat Pasal 1131
BW. Tak sepenuhnya jaminan umum yang ada dalam pasal
tersebut dapat mendatangkan kepuasan utuh seperti yang
diinginkan pelaku pasar. Hanya sebagian apa yang
diinginkan terwujud, itupun memerlukan pengorbanan yang
tidak ringan. Andai sesuai prosedur jaminan umum dalam
Pasal 1131 BW dapat didayagunakan, kendala lain dapat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 53 | P a g e


saja muncul, misal tagihan yang ditunjukan kepada debitor
yang melakukan wanprestasi lumayan banyak sehingga
hasil lelang hartanya tak mencukupi. Fakta ini
mengakibatkan para kreditor berebut memperoleh
pelunasan piutangnya dari hasil lelang harta debitor atas
dasar Pasal 1131 BW. Acap terjadi bahwa hasil lelang
ternyata tak mencukupi untuk melunasi seluruh utang
debitor, akibatnya bedasar Pasal 1132 BW harus dilakukan
pembagian sesuai asas pari pasu, di mana akibatnya piutang
kreditor belum dapat terlunasi dengan utuh. Jelas ini
merupakan jenis kerugian lain yang menerpa tanda dapat
ditolak.
B. Risiko Akibat Debitor Meninggal Dunia
Umur seseorang tak dapat diramal oleh siapapun.
Demikian juga para pelaku usaha yang sedang menjalin
perikatan demi menjalankan bisnis yang dikelolanya, tak
pernah mampu memprediksi seberapa panjang usia mereka.
Pada dasarnya seseorang yang membuat perikatan lewat
perjanjian sesuai tujuan bisnisnya,maka berdaasar Pasal
1315 jo 1340 BW, perjanjian itu hanya berlaku dan
mengikat mereka yang membuatnya saja. Inilah yang
dikatakan bahwa perjanjian itu bersifat pribadi, artinya per-
janjian yang dimaksud hanya mengikat pihak-pihak yang
membuatnya saja (Privity of Contract). Pihak ketiga yang
tidak ikut serta membuat perjanjian, dengan sendirinya
tidak ikut terikat.
Privity of contract merupakan salah satu asas
Hukum Perjanjian yang sangat sentral, namun meski itu
merupakan asas sekalipun, tidaklah berlaku mutlak. Tak
ada kemutlakan dalam ranah hukum. Kenisbian akan
menjadi lintasan tetap bagi hukum, sehingga dalam dirinya
akan selalu ada kekecualian-kekecualian demi terwujudnya

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 54 | P a g e


keadilan. Demikian pula halnya privity of contract sebagai
suatu prinsip juga tidak berlaku mutlak tetapi ada beberapa
kekecualiannya.
Andai saja debitor belum lagi sempat memenuhi
prestasi sesuai waktu yang disepakati, keburu meinggal
dunia, maka kalau hanya mengandalkan privity of contract
semata, tentu kreditor tak bakal mendapatkan pelunasan
prestasi mengingat perjanjian yang mereka buat hanya
mengikat para pihak itu sendiri. Dengan meninggalnya
rekan sekontraknya sebelum melaksanakan prestasi sesuai
kesepakatan, mengakibatkan kreditor kehilangan sasaran
untuk menagih haknya karena mitra seperikatannya keburu
meninggal. Tetapi untung bahwa prinsip privity of contract
tak bersifat mutlak, sebaliknya ada kekecualian-kekecualian
agar perikatan tetap sampai pada tujuannya, sehingga
keadilan sebagai salah satu tujuan hukum mesti terwujud.
Untuk itu berdasar Pasal 1318 BW sebagai salah satu
kekecualian dari privity of contract, tagihan pemenuhan
prestasi yang tak lagi dapat ditujukan pada debitor karena
sudah meninggal dunia, maka ahli warisnya sesuai Pasal
833 BW wajib menggantikan untuk memenuhi prestasi
yang mestinya dilakukan oleh almarhum. Secara implisit
Pasal 833 BW menuturkan bahwa ahli waris tak sekedar
mewarisi aktiva tetapi juga pasiva, sehingga pasiva berupa
melunasi prestasi yang belum dilaksanakan almarhum,
akhirnya menjadi tanggungan ahli waris untuk memenuhi-
nya. Dengan dasar Pasal 1318 BW tersebut yang inti
singkatnya menegaskan bahw seseorang yang membuat
suatu perjanjian dianggap juga untuk ahli warisnya
demikian pula untuk pihak yang memperoleh hak dari
padanya. Jadi ahli waris yang secara konkrit tidak pernah
membuat perjanjian dengan kreditor, akibat kedudukannya
sebagai ahli waris, maka perjanjian yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 55 | P a g e


dibuat almarhum seolah-olah juga untuk diri ahli waris
yang bersangkutan. Akhirnya ahli waris karena mau
menerima aktiva, berarti juga harus menanggung pasiva,
berupa taguhan kreditor yang ditinggalkan almarhum.
Lewat model kekecualian yang tertera dalam Pasal 1318
BW itulah maka kreditor tak akan kehilangan hak tagihnya
kendati rekan sekontraknya telah meninggal dunia.
Berdasar hukum, dengan meninggalnya seseorang maka
hak dan kewajiban yang dimilikinya tidaklah berakhir ikut
terkubur bersama jasadnya.
Menegakkan hak tagih kepada ahli waris akibat
debitor meninggal dunia, sudah barang tentu harus
melewati prosedur yang kadang memakan waktu lama, dan
ini merupakan salah satu risiko yang akan diterima oleh
kreditor. Risiko menjadi lebih pahit lagi andai kata ahli
waris ternyata menolak warisan yang dimungkinkan oleh
Pasal 1057 BW, pada hal almarhum sebagai debitor
ternyata banyak tagihan yang ditanggungnya. Sedasar
dengan itu menurut Pasal 1058 BW, bahwa si waris yang
menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi
ahli waris. Bila mana ini terjadi, maka harta waris bestatus
sebagai bona vacancia (harta waris yang tak terurus) yang
kemudian berdasar Pasal 832 jo. 1126 BW Negara akan
mengurusinya lewat Balai Harta Peninggalan (BHP). Saat
pengurusan oleh BHP kalau ternyata jumlah utang
almarhum lebih besar dari nilai harta waris, tentu saja
tagihan kreditor tidakakan terpenuhi secara utuh. Risiko ini
setiap saat dapat muncul kalau seseorang yang membuat
suatu perjanjian hanya mengandalkan jaminan umum dalam
Pasal 1131 BW.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 56 | P a g e


C. Risiko Akibat Debitor Pailit
Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk
membuat perjanjian, kecuali bila undang-undang
menentukan lain. Demikian pernyataan yang diungkap oleh
Pasal 1329 BW. Adapun kekecualiannya bahwa seseorang
menjadi belum atau tidak cakap, adalah sebagaimana
diterapkan oleh Pasal 1330 BW, yakni orang yang belum
dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
seorang isteri (khusus untuk isteri sejak berlakunya UU No.
1/1974 tentang Perkawinan menjadi cakap melakukan
perbuatan hukum tanpa perlu bantuan suami lagi). Selain
itu kalau seseorang dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka
yang bersangkutan menjadi tidak wenang lagi untuk
melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini termasuk
mengelola hartanya. Selanjutnya harta orang yang
bersangkutan masuk boedel pailit yang dikelola oleh
kurator. Sebagai pengelola boedel pailit yang diawasi oleh
hakim yang ditunjuk, lalu kurator sesuai prosedur mulai
menginventarisasi siapa saja kreditor-kreditor yang
mempunyai tagihan. Bertolak dari situasi ini, andai yang
mengajukan tagihan tenyata banyak danhasil lelang harta
pailit tidak mencukupi, sudah barang tentu akan dilakukan
pembagian pelunasan utang berdasar prinsip imbangan
jumlah tagihan. Tidak cukupnya harta pailit untuk menutup
tagihan-tagihan kreditor, jelas merupakan salah satu risiko
yang menimbulkan kerugian bagi kreditor yang sekedar
mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW.
Paparan di atas menunjukkan beberapa contoh peris-
tiwa yang potensial muncul sehingga mengakibatkan terti-
mpa risiko apa bila kreditor hanya merelakan dirinya untuk
dibentengi oleh jaminan umum semata dalam Pasal 1131
BW.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 57 | P a g e


Risiko tidak kembalinya secara utuh tagihan yang dimiliki
kreditor dalam contoh peristiwa-peristiwa di atas, jelas ini
merupakan suatu kerugian yang tidak diinginkan. Jadi
hadirnya jaminan umum yang disediakan oleh undang-
undang, belum sepenuhnya mampu menangkal risiko rugi
bagi para pelaku bisnis. Potret kejadian seperti uraian di
atas memang hanya merupakan salah satu jurus yang dibuat
oleh pembentuk BW yang berlaku secara umum. Apa bila
menginginkan terhindar dari risiko kerugian karena
bertahan pada jaminan umum seperti terkisahkan dalam
paparan di atas, maka perlu tindakan khusus yang
koridornya sudah pula disediakan oleh hukum, yakni minta
jaminan khusus kepada debitor.

4. Kedudukan Pasal 1131 BW


Mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW,
kendati jaminan tersebut diberikan oleh undang-undang,
dari uraian terdahulu dapat dimaklumi, betapa masih
banyak risiko yang menghadang para pelaku bisnis yang
telah membingkai kegiatannya dengan hukum. Jaminan
umum yang tersedia dalam Pasal 1131 BW adalah lahir dari
kandungan undang-undang, jadi jaminan umum ini ada
tanpa perlu diperjanjikan oleh para pihak. Bertolak dari
namanya sebagai jaminan umum, membersitkan makna,
bahwa apa yang diatur dalam Pasal 1131 BW tersebut dapat
disimpangi oleh para pihak dengan jurus tertentu agar
mendapatkan posisi khusus. Berarti ketentuan yang
mengatur jaminan umum itu berkedudukan sebagai
relegend recht, dan Pasal 1131 BW yang berposisi sebagai
regelend recht juga dapat dianalisa dari keberadaan Pasal
1132 jo. 1133 BW. Testimoni Pasal 1132 BW mensarikan
pernyataan bahwa segala kebendaan milik

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 58 | P a g e


seseorang menjadi jaminan bersama-sama bagi seluruh
kreditor, sehingga pendapatan penjualan benda-benda
tersebut dibagi di antara para kreditor secara berimbang,
kecuali apabila di antara para kreditor ada alasan yang sah
untuk didahulukan pelunasan piutangnya. Peri hal
mendapatkan pelunasan yang didahulukan diantara para
kreditor terbit dari privilege, gadai dan hipotek (Pasal 1133
BW). Peri hal gadai dan hipotek dinyatakan sebagai piutang
yang pelunasannya harus lebih didahulukan dari kreditor
lain, berarti tidak harus terkena Pasal 1132 BW yang
menyiratkan kreditor-kreditor itu punya posisi yang sama.
Jadi gadai dan hipotek punya kedudukan khusus, di mana
posisi khusus seperti itu tak lain hanya dapat dicapai
dengan jalan menyimpangi ketentuan yang bersifat umum
sebagaimana sosok Pasal 1131 BW. Sudah jamak dipahami
bahwa menyimpangi suatu ketentuan undang-undang, tentu
saja yang bersifat sebagai regelend recht, harus dilakukan
atas dasar kata sepakat, dalam arti para pihak wajib
membuat perjanjian di antara mereka sebagai aturan
tandinan untuk menggantikan ketentuan yang disimpangi.
Piutang gadai dan piutang hipotek yang tergolong sebagai
piutang istimewa berdasar Pasal 1133 BW, menandakan
bahwa gadai dan hipotek itu lahir karena ada perjanjian
jaminan gadai atau perjanjian jaminan hipotek yang pada
hakekatnya merupakan bentuk penyimpangan dari Pasal
1131 BW. Hadirnya kekecualian inilah yang secara implisit
memberikanpertanda bahwa Pasal 1131 BW kendati ada
dalam ruang Buku II BW, ternyata dapat disimpangi.
Dengan kata lain kedudukan Pasal 1131 BW tak lain
berposisi sebagai regelend recht yang memungkinkan
disimpangi oleh para pihak atas dasar kata sepakat,yakni
dengan membuat jaminan khusus lewat perjanjian.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 59 | P a g e


Sebagaimana umumnya kalau menyimpangi suatu
ketentan undang-undang yang berkedudukan sebagai
regelend recht, maka harus dibuatkan aturan penggantinya
lewat sepakat yang ujungnya akan lahir sebuah perjanjian.
Demikian haknya bagi pengesampingan Pasal 1131 BW
yang berisi jaminan umum, para pihak wajib membuat
perjanjian kalau ingin mendapatkan jaminan khusus.
Mengingat yang disimpangi suatu ketentuan yang mengatur
soal jaminan-jaminan dan itu berupa jaminan umum dengan
sendirinya aturan pengganti yang dibuat oleh para pihak
harus berujud perjanjian jaminan guna melahirkan jaminan
khusus. Perjanjian jaminan demi melahirkan jaminan
khusus, dikaitkan dengan nuansa Pasal 1131 BW yang
berorientasi pada benda, maka perjanjian jaminan yang
dibuat oleh para pihak tentu saja harus melibatkan benda
sebagai obyeknya. Sesuai Pasal 1133 ayat 2 BW, kalau
benda dijadikan obyek perjanjian jaminan, ditegaskan
secara implisit, adalah dengan menggunakan gadai atau
hipotek yang ketentuan-ketentuannya sudah disediakan
dalam bab-bab berikutnya. Gatra ini manandakan bahwa
gadai dan hipotek tergolong sebagai piutang yang
pelunasannya harus lebih didahulukan, berarti termasuk
sebagai piutang istimewa yang kelahirannya adalah lewat
perjanjian. Dikarenakan perjanjian itu berkutat pada peri
hal jaminan, dan obyeknya benda, maka perjanjian yang
dimaksud tidak lain adalah perjanjian jaminan kebendaan.
Apa bila dalam Pasal 1133 BW sebagai piutang yang
didahulukan, ini berarti terkwalifikasi sebagai piutang
istimewa, selain diterapkan gadai dan hipotek, juga ada
disebutkan privilege. Lebih lanjut apa yang dimaksud
dengan privilege dapat disimak pengertiannya pada Pasal
1134 ayat 1 BW yang menuturkan bahwa privilege adalah

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 60 | P a g e


suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada
seorang kreditor diatas kreditor yang lainnya sehubungan
dengan sifat perikatannya. Dalam hal ini oleh undang-
undang ditetapkan, ada kreditor yang diberikan kedudukan
lebih tinggi dari kreditorlain, sehingga piutang yang
dimiliki kreditor yang bersangkutan menjadi istimewa,
dalam arti pelunasannya harus lebih didahulukan.
Kedudukan istimewa dari kreditor pemegang privilege
jelas-jelas diberikan oleh undang-undang, dan bukan lahir
dari perjanjian. Ini tentunya berbeda dengan gadai
danhipotek, kedudukan istimewa yang diperoleh kreditor
sehingga piutangnya harus dilunasi terlebih dahulu, justru
lahirdari perjanjian dan bukan dari undang-undang. Adapun
perjanjian yang mampu mendudukkan kreditor hingga
punya piutang istimewa adalah suatu perjanjian yang dibuat
oleh kreditor dan debitor dengan obyek sebuah benda.
Sudahpernah disinggung kalau yang dijadikan obyek
perjanjian tersebut adalah benda bergerak, maka gadai yang
dipakai. Jika yang dijadikan obyek perjanjian adalah benda
tidak bergerak, digunakanlah hipotek. Dari analisa ini dapat
disimpulkan bahwa saat kreditor dan debitor membuat
perjanjian jaminan dengan menggunakan gadai atau
hipotek, berarti mereka itu melakukan penyimpangan
terhadap Pasal 1131 B Wagar mendapatkan jaminan
khusus, baik menyangkut bendanya yangsecara khusus
ditunjuk untuk dibebani, juga hasil lelang benda jaminan
tersebut secara khusus hanyauntuk melunasi kreditor
tertentu saja apa bila debitornya wanprestasi.
Pasal 1131 BW yang terkwalifikasi sebagai regelend
recht, berarti dapat disimpangi oleh para pihak atas dasar
sepakat, mengingat pasal tersebut ada dalam ranah Buku II
BW yang tertutup, maka penyimpangan yang dilakukan
oleh para pihak punya karakter khusus, yakni bahwa

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 61 | P a g e


penyimpang tersebut tak mengakibatkan Pasal 1131 BW
lalu hilang dari peredaran hubungan hukum para pihak.
Sebaliknyameski disimpangi, Pasal 1131 BW hanya
sekedar digeser mundur untuk kemudian di depannya
dilapisi dengan benteng khusus yang dibuat sendiri oleh
para pihak melalui perjanjian. Ini mengandung makna
bahwa diri kreditor yang umumnya menyalurkan dana
pinjaman, tagihan yang muncul dari perjanjian tersebut
selain dibentengi oleh jaminan umum dari Pasal 1131 BW
yang secara otomatis ada, kemudian diperkuat lewat cara
dilapisi lagi dengan benteng buatan para pihak berupa
perjanjian jaminan khusus.
Perjanjian jaminan khusus baru dapat dibuat kalau
sudah ada perjanjian awal yang sebenarnya sudah dijamin
oleh Pasal 1131 BW. Perjanjian yang sekedar dibentengi
oleh Pasal 1131 BW inilah yang dikenal dengan perjanjian
pokok yakni perjanjian kredit, sedang benteng baru sebagai
pelapis yang dibangun para pihak berupa perjanjian
jaminan khusus hanyalah berposisi sebagai perjanjian
tambahan (perjanjian accessoir). Dengan demikian
perjanjian jaminan khusus selaku perjanjian tambahan,
eksistensinya bergantung pada perjanjian pokok berupa
perjanjian kredit. Pada dasarnya perjanjian tambahan ini
tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi keberadaannya
bergantung pada ada tidaknya perjanjian pokok.
Dari uraian di atas dituturkan bahwa posisi Pasal
1131BW sesungguhnya berupa regelend recht yang pada
dasarnya dapat disimpangi oleh para pihak. Namun dengan
penyimpangan tersebut bukan berarti Pasal 1131 BW itu
tersingkirkan sama sekali dari jalinan hubungan hukum

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 62 | P a g e


para pihak, tetapi penyimpangan itu hanya sekedar memun-
durkan pasal itu untuk dilapisi dengan perjanjian jaminan
khusus sehingga posisi kreditor menjadi relatif lebih
diuntungkan atau bahkan menjadi semakin tangguh. Andai
karena sesuatu sebab tertentu, misalnya debitor wan-
prestasi, benteng pelapis dan penguat yang berujud per-
janjian jaminan khusus itu roboh, maka Pasal 1131 BW
selaku benteng cadangan akan tampil memberikan perlin-
dungan kepada kreditor sehingga hak tagihnya benar-benar
terbayar penuh. Inilah suatu karakter khusus menyim-pangi
Pasal 1131 BW sebagai ketentuan undang-undang yang
berkedudukan selaku regelend recht yang terletak dalam
kawasan Buku II BW dengan sifat tertutup, dalam rangka
menopang eksistensi perikatan yang diatur Buku III BW
agar tetap dapat terpenuhi tujuannya. Penyim-pangan ini
berbeda dengan penyimpangan ketentuan regelend recht
yang terletak dalam Buku III BW, di mana sekali
disimpangi, pada dasarnya ketentuan tersebut hilang dari
peredaran hubungan hukum para pihak, karena benar-benar
sudah ada penggantinya yang baru sebagai andalan yang
kedudukannya merupakan norma utama.
Menyimpangi jaminan umum dalam Pasal 1131 BW
tujuan utamanya adalah untuk memperkuat posisi kreditor
guna menepis sejauh mungkin risiko rugi yang selalu
mengintai setiap kegiatan bisnis. Pengembalian dan
pelunasan dana pinjaman sangat rentan karena sepenuhnya
digantungkan pada kehendak pihak yang meminjam, dalam
hal ini debitor, apakah akan menepati janjinya ataukah akan
ingkar. Guna menangkal kemungkinan ingkarnya debitor,
tidaklah cukup bila hanya mengandalkan jaminan umum
dalam Pasal 1131 BW, sehingga pihak kreditor merasa
perlu untuk mengamankan diri secara istimewa, dengan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 63 | P a g e


membuat benteng baru berupa perjanjian jaminan khusus
atas dasar sepakat dengan pihak debitor. Dengan model ini
maka perjanjian yang isinya tentang peminjaman dana yang
di lingkungan bank lebih dikenal dengan istilah perjanjian
kredit, dengan posisi sebagai perjanjian pokok, supaya
kokoh perlu ditunjang oleh perjanjian jaminan khusus yang
Pengantar Hukum Jaminan kebendaan berperan sebagai
perjanjian tambahan.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 64 | P a g e


BAB IV

KEDUDUKAN PERJANJIAN KREDIT DALAM


RANGKUMAN BUKU INI BW

1. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Tak Bernama

uku III BW mempunyai sifat terbuka, dan salah


B satu indikatornya ketentuan-ketentuan yang ada
di dalamnya didominasi oleh ketentuan yang berposisi se-
bagai regelend recht, bahwa ketentuan tersebut tidak harus
secara mutlak berlaku, tetapi dapat disimpangi oleh para
pihak atas dasar sepakat. Konsekwensi sifat terbuka dari
Buku III BW, para pihak dimungkinkan untuk membuat
hal-hal baru di luar apa yang ada dalam Buku III BW
tersebut. Para pihak tidak sekedar diperbolehkan
menyimpangi ketentuan yang ada, tetapi juga membuat
jenis-jenis perjanjian baru yang berlainan dengan apa yang
ada dan diatur secara khusus dalam Buku III BW.
Kemungkinan membuat jenis perjanjian yang berbeda
dengan jenis perjanjian yang aturannya secara khusus ada
dalam Buku III BW, secara implisit disingkap oleh Pasal
1319 BW yang mengenal jenis perjanjian bernama dan
perjanjian tak bernama. Arti perjanjian bernama adalah

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 65 | P a g e


jenis-jenis perjanjian yang secara khusus diatur dalam
Buku III BW, sebaliknya perjanjian tak bernama adalah
jenis perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam
Buku III BW. Golongan perjanjian tak bernama inilah
yang dapat dibuat tuntutan dan kebutuhan kemajuan dunia
bisnis. Ini semua oleh para pihak atas dasar kata sepakat
dikarenakan adanya dapat terlaksana karena didasarkan
pada salah satu prinsip dalam hukum perjanjian yakni asas
kebebasan berkontrak. Bertolak dari adanya asas
kebebasan berkontrak inilah maka hukum akan selalu
mampu mengikuti perkembangan dunia bisnis yang selalu
bergerak berubah berdasar inovasi-inovasi pelaku pasar.
Apapun yang dituntut oleh kepentingan bisnis, sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, ataupun kepatutan, maka para pihak bebas
menuangkannya dalam perjanjian.
Dapat dan mungkin saja terjadi peristiwa, akibat dari
tuntutan kebutuhan bisnis yang selalu berkembang, bahwa
suatu kegiatan bisnis yang dikelola oleh pelaku usaha
ternyata tak dapat dibingkai dengan salah satu jenis
perjanjian bernama yang diatur secara khusus dalam Buku
III BW. Apakah perjanjian bernama itu merupakan
Perjanjian Jual Beli, atauPerjanjian Sewa, juga misalnya
Perjanjian Tukar Menukar, ternyata kesemuanya tidak
cocok untuk dipergunakan sebagai bingkai bisnis yang
dikelolanya, maka atas dasar asas kebebasan berkontrak
para pihak dapat mengemas suatu jenis perjanjian dengan
ujud bangunan yang sesuai dengan tujuan bisnisnya yang
tentunya tidak akan sama dengan apa yang diatur dalam
Buku III BW. Langkah untuk mencipta jenis perjanjian
yang berbeda dengan apa yang tertera dalam Buku III BW,
berarti para pihak itu telah membuat perjanjian tak
bernama.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 66 | P a g e


Secara faktual dalam kehidupan konkrit sudah
banyak ditemukan jenis-jenis perjanjian tak bernama ini
misalnya Perjanjian Sewa Beli, Perjanjian Anjak Piutang,
Perjanjian Sewa Guna dan masih banyak lagi yang terus
bermunculan akibat tuntutan kebutuhan dunia bisnis.
Dalam dunia perbankan sendiri seiring kegiatannya untuk
menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat yang
membutuhkan, dikenal secara populer apa yang disebut
dengan perjanjian kredit. Kemunculan istilah perjanjian
kredit ini mengundang debat, apakah digolongkan sebagai
perjanjian bernama ataukah perjanjian tak bernama.
Perbincangan bernuansa debat itu disebabkan antara lain
bahwa dalam Buku III BW dikenal apa yang disebut
dengan perjanjian pinjam meminjam yang oleh Pasal 1754
BW diberi pengertian sebagai suatu perjanjian dimana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu benda yang menghabis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan
mengembalikan sejumlah benda dengan macam dan
keadaan yang sama pula. Menyangkut obyek yang
tergolong sebagai benda habis pakai, adalah termasuk uang
yang memang dimungkinkan misal oleh Pasal 1756 BW
bahwa uang yang dijadikan obyek peminjaman hanyalah
terdiri atas sejumlah yang disebutkan dalam perjanjian.
Bahkan oleh Pasal 1251 BW dalam perjanjian pinjam
meminjam uang itu dapat dikenakan bunga, bahkan
bunganya pun dapat berbunga pula. Pasal 1754 jo. 1756
BW tersebut yang intinya berupa perjanjian pinjam
meminjam uang, apakah dapat disamakan dengan
perjanjian kredit yang ada di lingkungan bank, ataukah
keduanya berbeda.
Menyimak karakternya bahwa antara perjanjian
pinjam meminjam uang bila disandingkan dengan
perjanjian
Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 67 | P a g e
kredit adalah berbeda. Kalau bertolak dari makna
perjanjian pinjam meminjam uang yang ada dalam Pasal
1754 jo. 1756 BW, Maka jenis perjanjian ini tergolong
sebagai perjanjian riil dan secara harafiah aturannya ada
dalam Buku III BW. Berlainan dengan perjanjian kredit,
secara harfiah istilah tersebut tak ditemukan keberadaan-
nya dalam Buku III BW, lagi pula perjanjian kredit justru
bukan tergolong sebagai perjanjian riil tetapi masuk pada
golongan perjanjian konsensuil. Sesuai Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU
Perbankan), perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk
tertulis, dan ini jauh beda dengan perjanjian pinjam
meminjam uang yang bentuknya adalah bebas, bisa dalam
ujud tertulis, tapi tak dilarang juga kalau mengambil
bentuk tak tertulis. Berdasar perbedaan-perbedaan tersebut,
maka pada prinsipnya perjanjian kredit adalah ter-
kwalifikasi sebagai perjanjian tak bernama.
Seperti sudah dinyatakan bahwa perjanjian tak
bernama, berarti termasuk perjanjian kredit, karena aturan
khususnya dalam BW tidak ada, maka berdasar asas
kebebasan berkontrak, para pihak atas dasar sepakat dapat
merakit sendiri aturan-aturannya sesuai tujuan hubungan
bisnis mereka. Kendati aturan tersebut dibuat oleh para
pihak yang berposisi sebagai rakyat biasa, karena dituang
dalam ujud perjanjian dan sah sesuai persyaratan dalam
Pasal 1320 BW, maka perjanjian tersebut akan memiliki
kekuatan mengikat setangguh undang-undang bagi para
pihaknya. Kekuatan perjanjian setangguh undang-undamg
ini dijamin oleh Pasal 1338 BW. Oleh sebab itulah,
kemajuan dan perkembangan hukum, karena keberadaan
asas kebebasan berkontrak dapat memfasilitasi para pihak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 68 | P a g e


untuk membuat perjanjian apapun yang sesuai dengan
tujuan bisnis mereka. Berdasar asas kebebasan berkontrak
itu pula, maka di lingkungan perbankan akhirnya muncul
perjanjian kredit, di mana jenis perjanjian ini kalau
dirujukkan pada Pasal 1319 BW adalah termasuk sebagai
perjanjian tak bernama.

2. Perjanjian Kredit sebagai Perjanjian Obligatoir


Orang selaku anggota masyarakat, dalam melakoni
rentang hidupnya pasti berbekal banyak benda sebagai
penopangnya. Benda-benda yang dipunyai umumnya
dengan status hak milik, sehingga dalam menggunakan
dan memanfaatkannya menjadi lebih bebas dan penuh
tanpa di ganggu gugat oleh pihak lain. Itulah ciri hak milik
atas suatu benda seperti yang diungkapkan oleh Pasal 570
BW, dengan catatan meski pemanfaatannya bebas dan
penuh tetapi tidak boleh melanggar undang-undang
ataupun hak orang lain. Mana kala suatu saat si empunya
benda didesak suatu kebutuhan, misalnya memerlukan
sejumlah uang, umumnya enggan kalau diminta untuk
melepaskan hak milik benda yang dipunyainya dengan
jalan menjual kepada pihak lain. Sikap menjual benda
miliknya demi memperoleh sejumlah dana yang
diperlukan, berarti hak milik atas benda yang bersangkutan
hilang lenyap, itu bukan merupakan solusi yang nyaman.
Umumnya akan ditempuh alternatif lain yang lebih
semarak tanpa perlu kehilangan hak milik atas benda-
benda yang dipunyainya, yakni dengan cara meminjam
dana yang diperlukan pada sesuatu pihak. Adapun pihak
yang bersedia memberikan pinjaman dana yang dimaksud,
dalam negara yang sudah moderen seperti saat ini tak lain
adalah institusi

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 69 | P a g e


perbankan yang sudah dikenal sebagai lembaga perantara
(intermediary institution). Penyaluran dana pinjaman oleh
bankkepada nasabah yang membutuhkan, jelas perihal ini
bingkai hukum. Adapun bingkai hukum yang dimaksud
adalah perjanjian atau kontrak yang di lingkungan dunia
Pengantar Hukum Jaminan kebendaan perbankan yang
merupakan suatu kegiatan bisnis yang perbankan maujud
dalam bentuk perjanjian kredit.
Perjanjian kredit di lingkungan bank yang tergolong
sebagai perjanjian tak bernama, sedasar dengan Pasal 1233
BW akan menimbulkan perikatan, sehingga di pundak
parapihak akan terpikul suatu kewajiban sebagai
konsekwensi janji yang diikrarkan atas dasar sepakat.
Mengingat dari perjanjian kredit tersebut menimbulkan
kewajiban (obligation) yang kemudian menjadikan para
pihak terikat satu dengan yanglain, maka jenis perjanjian
seperti ini tergolong sebagai perjanjian obligatoir.
Sejalan dengan amanah Pasal 1319 BW bahwa baik
perjanjian bernama ataupun perjanjian tak bernama, harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dalam Bab I dan
Bab II Buku III BW. Ketentuan umum yang dimaksud
dapat mengambil contoh Pasal 1320 BW yang mengatur
syarat-syarat keabsahan perjanjian. Baik waktu membuat
perjanjian bernama atau saat merakit perjanjian tak
bernama, agar supaya sah, maka harus memenuhi syarat
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 BW. Inilah salah
satu bukti bahwa baik perjanjian bernama ataupun
perjanjian tak bernama, karena sama-sama tunduk pada
rezim Buku III BW, maka keduanya itu tergolong sebagai
perjanjian obligatoir.
Perjanjian bernama ataupun perjanjian tak bernama,
tak terkecuali perjanjian kredit, merupakan jenis perjanjian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 70 | P a g e


yang ada dalam kekuasaan rezim Buku III BW yang pada
ujungnya akan melahirkan hak pribadi atau hak perorangan.
Mengapa yang lahir tergolong sebagai hak pribadi, karena
hak tersebut lahir dari perjanjian yang bersifat pribadi
(Priityof Contract), artinya perjanjian yang bersangkutan
hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja, sedang
pihak ketiga yang bukan kontraktan, menjadi tidak ikut
terikat karenanya. Prinsip privity of contract ini dapat
disimak pada Pasal 1315 jo. 1340 BW. “It has long been a
principle of commonlaw that only the parties to a contract
can acquire rights and liabilitiesunder the contract.", 1
demikian privity of contract dalam sistem Common Law
diberikan gambarannya oleh J. C. Carvan yang ternyata juga
tak jauh beda dengan apa yang diartikan oleh Pasal 1315 jo.
1340 BW.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak secara
konkrit, bagi bank selaku kreditor melahirkan suatu hak
berupa hak tagih yang tergolong sebagai hak pribadi, artinya
hak tersebut hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja,
dan yang dimaksud pihak tertentu tidak lain adalah rekan
seperjanjiannya. Hak tagih yang dimiliki bank selaku kreditor
tentu saja hanya dapat ditujukan kepada nasabah debitor
sebagai rekan sekontraknya. Karakter tagihan sebagai hak
pribadi yang hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja
yakni rekan sekontraknya, mencorak bahwa hak pribadi itu
bersifat relatif. Karakter bersifat relatif ini hanya merupakan
salah satu ciri dari hak pribadi, sebab di samping itu ada pula
ciri lainnya.

1
J. C. Carvan, et., al., A Guide To Business Law, LBC Information
Services, Sydney, 1996, h. 27

71 | P a g e
Perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir,
manakala tak dilengkapi dengan perjanjian jaminan
kebendaan untuk mendapatkan agunan, hak tagihnya hanya
berposisi sebagai hak pribadi yang memiliki sifat gugat
perorangan yang ujung-ujungnya hanya dijamin oleh Pasal
1131 BW, dan tidak mempunyai hak gugat kebendaan akibat
tak memegang satu benda tertentu sebagai agunan. Jadi posisi
pinjaman bank tidak diliput oleh agunan. “A creditor who
has no security interestin the collateral but has a personal
claim against the debtor (e. G.,a doctor to whom bills are
owed) is called an unsecured creditor.”2
Membayar utang bagi debitor sebagai sebuah prestasi
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan atau harus
dilunasi, dan ini ditegaskan secara akomodatif oleh Pasal
1235 BW bahwa dalam perikatan untuk memberikan sesuatu,
maka debitor wajib menyerahkan bendanya dan memelihara-
nya sampai saat penyerahan. Ketentuan ini menandakan
bahwa suatu prestasi sebagai kewajiban harus dipenuhi, apa-
pun ujud prestasi itu seperti yang disebut dan diatur oleh
Pasal1234 BW. Apabila kewajiban tidak dilaksanakan, itu
merupakan perbuatan yang salah, dan adagium dalam hukum
menyatakan bahwa siapa yang salah wajib pikul risiko.
Adapun suatuprestasi bila tak dipenuhi, dan itu perbuatan
salah, maka risiko yang dipikul debitor adalah seperti apa
yang diungkapkan oleh Pasal 1236 BW yakni membayar
ganti rugi, beaya,dan bunga.
Gatra di atas secara terselubung memberikan makna,
bahwa suatu prestasi sebagai kewajiban berbicara kewajiban
tak bakal lepas dengan hak, karena keduanya bagai sisi-sisi

2
Douglas J. Whaley, Op. Cit., h.61

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 72 | P a g e


sekeping mata uang logam manakala tak dilakukan dengan
sendirinya hak tidak akan lahir. Akibatnya kalau debitor tidak
melakukan kewajibannya membayar utang, otomatis hak
kreditor untuk memperoleh pelunasan dana tak akan
terwujud, dan itu merupakan suatu kerugian. Kreditor yang
menderita rugi, potensial berusaha menutupnya, antara lain
dengan jalan menggugat debitor ke pengadilan agar dapat
pulih, umumnya sekali gus dengan mendayagunakan Pasal
1131 BW sesuai prosedur.

3. Pasal 1131 BW sebagai Benteng Pelindung Perjanjian


Obligatoir

Setiap perikatan yang ada dalam masyarakat,


didominasi oleh jenis perikatan yang lahir dari perjanjian.
Dalam setiap perikatan, para pihak akan mempunyai prestasi
masing-masing yang wajib dipenuhinya sesuai janji yang
diikrarkan atas dasar kata sepakat. Dengan dilaksanakannya
beban prestasi selaku kewajiban, maka hak dari rekan
sekontraknya akan terwujud dan itulah keuntungan yang
memang diinginkan sejak semula. Sebaliknya kalau prestasi
tak dilaksanakan, otomatis hak dari pihak lain tak bakal
maujud dan jelas ini sebuah kerugian. Untuk memulihkan
kerugian yang dimaksud, pihak yang diciderai dapat
mengajukan gugat ke pengadilan agar memperoleh
perwujudan haknya lewat tangan hakim. Dalam perjanjian
kredit setelah kewajiban bank mengucurkan dana pinjaman
dilaksanakan, selaku kreditor bank berharap agar pihak yang
memperoleh dana pinjaman, yakni debitor, akan memenuhi
janjinya mengembalikan dana pinjaman tersebut sesuai waktu
yang disepakati. Andai di belakang hari debitor ingkar tak
mengembalikan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 73 | P a g e


dana pinjaman, bank selaku kreditor tentu menderita rugi.
Kerugian ini dapat dipulihkan dengan jalan menggugat
debitor ke pengadilan.
Senyampang bank selaku kreditor menggugat ke
pengadilan untuk memulihkan kerugian yang disandangnya
atas dasar cidera janji (wanprestasi) sebagaimana dituturkan
pada paparan di atas, umumnya akan diikuti permohonan
peletakan sita jaminan terhadap harta debitor. Sesuai proses
gugat ginugat di pengadilan, apa bila hakim sudah menjatuh-
kan putusan yang menyatakan debitor salah dan telah mem-
punyai kekuatan hukum tetap, namun debitor mengabaikan-
nya, maka harta debitor akan dijual di hadapan umum
demimen dapatkan hasil sejumlah dana yang kemudian
dibayarkan kepada piutang kreditor.
Proses peletakan sita jaminan terhadap harta benda
debitor, untuk kemudian disusul penjualan di hadapan umum,
adalah didasarkan pada Pasal 1131 BW. Jadi setiap perikatan,
tak terkecuali yang bersumber dari perjanjian kredit,
sebenarnya oleh undang-undang sudah diberikan jaminan
seperti yang tercantum dalam Pasal 1131 BW, sehingga bila
debitor wanprestasi, hak kreditor untuk memperoleh kembali
piutangnya tetap akan terwujud. Jaminan yang diberikan oleh
Pasal 1131 BW berupa seluruh harta debitor untuk seluruh
perikatan yang dibuatnya, mengakibatkan jaminan yang ada
dalam pasal itu disebut dengan istilah jaminan umum.
Kehadiran jaminan umum dalam Pasal 1131 BW yang
acap kali juga dikenal dengan istilah jaminan yang lahir dari
undang-undang, berarti tidak lahir dari perjanjian, ada
kalanya masih rawan karena misalnya hasil lelang tak cukup
untuk

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 74 | P a g e


membayar seluruh utang debitor. Saat hasil lelang harta
debitor atas dasar Pasal 1131 BW terjadi, maka seluruh kre-
ditor akan berkonkurensi memperebutkan hasil lelang ter-
sebut demi memperoleh pelunasan piutangnya. Kondisi inilah
yang akhirnya memposisikan para kreditor tersebut digolong-
kan sebagai kreditor konkuren. Seperti paparan itulah
gambarannya andai kata perjanjian kredit hanya mengandal-
kan pada jaminan umum yang ada dalam Pasal 1131 BW
semata, sehingga mengakibatkan kedudukan bank sebagai
kreditor hanya tergolong selaku kreditor konkuren, di mana
potensial akan merugi bila hasil lelang tak mencukupi saat
diperebutkan oleh para kreditor. Bila mana itu terjadi, maka
hasil lelang tersebut harus dibagi secara pari pasu atau secara
proporsional berdasarkan Pasal 1132 BW yang kemungkinan
besar bagian yang diterima oleh setiap kreditor, tak terkecuali
bank, tidak utuh sesuai jumlah dana yang dipinjamkan.
Jelasini merupakan risiko rugi bagi para pebisnis, termasuk
bank, kendati perikatannya sudah dijamin oleh undang-
undang,ternyata belum memberikan kedudukan yang aman.
Untuk itulah bank sebagai institusi perantara, di-
amanati oleh UU Perbankan agar menegakkan prinsip kehati-
hatian (prudential banking) supaya kondisinya tetap sehat.
Bank dikatakan sebagai lembaga perantara dikarena
kaneksistensinya ada di tengah-tengah antara pihak yang
kelebihan dana, kemudian menyerahkannya kepada bank,
setelah terhimpun, lalu dana itu disalurkan kepada
masyarakat yang membutuhkan pinjaman. “Financial
intermediaries are institutions that take money from
investors, pool it, and invest the pooled funds in other
enterprises. These institutions are referred to as

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 75 | P a g e


intermediaries because they occupy a position between the
investor and the ultimate inwestment."3
Atas dasar penegakkan prinsip kehati-hatian tersebut,
bank tidak mungkin kalau hanya mengandalkan perjanjian
kredit semata yang sekedar melahirkan hak pribadi dengan
memperoleh jaminan umum dalam Pasal 1131 BW. Bersikap
mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW
sehingga mengakibatkan posisinya hanya selaku kreditor
konkuren, pasti risiko yang akan diterima adalah sangat besar
dan ini dapat mengancam eksistensi bank selaku lembaga
perantara. Untuk keperluan tersebut, bank memerlukan
penyangga lain di samping jaminan umum, dengan cara
membuat perjanjian jaminan khusus agar menghasilkan hak
jaminan khusus pula. Hal ini menjadi penting mengingat
bank sebagai lembaga intermediary, di satu sisi berusaha
keras untuk menghimpun dana dan pada segi lain juga harus
hati-hati saat menyalurkan dana pinjaman kepada masyarakat
yang membutuhkan. Menegakkan prisip kehati-hatian
dimaksudkan antara lain supaya tingkat kesehatan bank
terjamin dengan baik, sehingga kepercayaan masyarakat tetap
terus terpelihara. Keberadaan dan tumbuh kembangnya
lembaga bank secara sehat adalah urgen di setiap negara,
mengingat peran bank itu layaknya darah dalam tubuh
manusia. Kondisi darah baik, maka tubuh pun akan tetap
kokoh. Demikian juga dengan eksistensi bank, kalau lembaga
perbankan dalam keadaan sehat, ekonomi nasional suatu
negara tentu akan tumbuh kembang lebih baik. Jadi eksistensi
bank sebagai lembaga intermediary dalam tatanan ekonomi
moderen negara manapun memegang peran sentral. Bahkan

3
Jonathan R. Macey, Geoffrey P. Miller, Banking Law And
Regulation, Little, Brown and Company, Boston, 1992, h. 37-38

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 76 | P a g e


bank mempunyai fungsi beragam dalam kehidupan sehari-
hari bagi setiap anggota masyarakat yang selalu berupaya
mendapatkan pelayanan yang aman, nyaman, mudah, dan
lancar. Berbagai pelaksanaan pemenuhan kebutuhan sehari-
hari, orang sudah mulai merasakan bahwa dirinya tak
mungkin dapat lepas dari pelbagai kemudahan yang
ditawarkan oleh lembaga bank. “Banks have become the
economic life every modern society. A successful banking
system has not only become crucial for the functioning of
every business, it has also become central to the daily routine
of essential most people."4
Tak pelak kedudukan bank sedemikian penting karena
sangat besar pengaruhnya terhadap uang yang beredar beserta
nilai intrinsiknya. Keberadaannya sebagai lembaga keuangan
selalu diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Berbagai aturan
diterbitkan dengan tujuan agar kondisi kesehatan bank tetap
dapat dijaga dengan seksama, seraya memacu plasma-plasma
kekuatan ekonomi nasional tetap dapat memperoleh akses
yang relatif mudah dalam mendapatkan pinjaman
dana."Countries approaches to regulation have varied
considerably overtime. The last thirty years have seen
movements away from restrictions on interest rates, directed
credit, and other crude measures ofintervenrtion, in favor of
an approach to regulation based on prudential norms and
supervisory oversight."5

4
Andreas Busch, Banking Regulation And Globalization, Oxford
University Press, Oxford, 2009, h. 23
5
James R. Barth, Gerard Caprio Jr, Ross Levins, Rethinking Bank
Regulation, Till Angels Govern, Cambridge University Press, Cambridge,
2008,h. 74.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 77 | P a g e


Mengandalkan yang umum dalam Pasal 1131 BW
ternyata masih rawan, kalau menginginkan yang khusus,
berarti harus melakukan penyimpangan. Sebagaimana
jamaknya menyimpangi ketentuan undang-undang, tentunya
ketentuan undang-undang yang berposisi sebagai regelend
recht, harus dengan cara mengadakan perjanjian. Mengingat
yang disimpangi adalah ketentuan undang-undang yang
mengatur perihal jaminan yang berurusan dengan benda,
maka perjanjian yang dipergunakan untuk melakukan
penyimpangan ituharus berobyek pada jaminan berupa benda
pula, sehingga ujudnya adalah berupa perjanjian jaminan
kebendaan. Dalam Hukum Jaminan memang dikenal ada dua
(2) macam perjanjian jaminan, yaitu perjanjian jaminan
kebendaan dan perjanjian jaminan perorangan. Tentang
perjanjian jaminan kebendaan, obyeknya adalah benda, dan
benda yang dijadikanobyek tentu saja salah satu benda milik
debitor, baik yang berjenis benda bergerak atau juga bisa
benda tidak bergerak. Berarti kalau benda yang dijadikan
obyeknya, akan masuk ranah Buku II BW yang tentunya dari
perjanjian tersebut akan melahirkan hak kebendaan.
Menyangkut perjanjian jaminan perorangan, aturan
khususnya ada dalam Bab XVII Buku III BW yang disebut
Perjanjian Penanggungan. Dikarenakan Perjanjian Penang-
gungan itu ada dalam ranah Buku III BW, maka hak yang
dilahirkan akan tergolong sebagai hak pribadi atau hak
perorangan.
Apabila bank selaku kreditor ingin memperoleh
kedudukan yang lebih baik dan tangguh sesuai prinsip kehati-
hatian sebagaimana diamanatkan oleh UU Perbankan, maka
wajib melakukan penyimpangan terhadap Pasal 1131 BW,
yakni dengan membuat perjanjian jaminan khusus yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 78 | P a g e


berobyek pada benda tertentu milik debitor untuk diikat
sebagai agunan. Jadi setelah membuat perjanjian kredit, lalu
disusul dengan membuat perjanjian jaminan kebendaan,baik
berujud perjanjian jaminan gadai atau perjanjian jaminan
hipotek, agar dapat memperoleh posisi sebagai kreditor yang
lebih tangguh, tak sekedar hanya sebagai kreditor konkuren.
Pola ini kalau ditempuh mengakibatkan pihak bank selaku
kreditor akan mendapat dua (2) macam hak, yakni hak
pribadi yang lahir dari perjanjian kredit, danhak jaminan
kebendaan yang lahir dari perjanjian jaminan gadai atau dari
perjanjian jaminan hipotek. Dengan memiliki dua (2) macam
hak, sudah barang tentu posisi bank akan menjadi lebih aman
demi menjaga tingkat kesehatannya.
Keberadaan benda agunan bagi bank sangat penting
demi mendapatkan posisi yang aman, dalam rangka meng-
antisipasi cidera janjinya debitor. Perolehan pelunasan
piutang juga relatif mudah akibat adanya model eksekusi
yang disederhanakan terhadap benda agunan sesaat setelah
debitor dinyatakan wanprestasi. "Security, strictly defined, is
an interest in property which secures the performance of an
obligation, in our case payment. This in addition to being
able to proceed on the personal undertaking to repay, the
bank as lender has rights against the property.”6
Memiliki benda agunan bagi bank akan memposisikan
dirinya sebagai kreditor yang terlindungi oleh benda tertentu
milik debitor yang secara khusus atas dasar sepakat dijadikan
jaminan untuk sejumlah dana yang sudah dikucurkan. Mana

kala di belakang hari debitor wanprestasi, lalu agunan dijual

6
Ross Cranston, Peinciples of Banking Law, Clarendon Press,
Oxford, 1997, h. 432.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 79 | P a g e


di hadapan umum, hasil lelang pertama-tama harus
dibayarkan terlebih dahulu kepada bank yang berkedudukan
sebagai kreditor preferen. Perlindungan seperti ini pada
dasarnya memang sangat diperlukan oleh bank agar
kondisinya tetap dapat terjaga dengan sehat. "Banks officers
and finance company officers should know the law relating to
securities so that when they accept such securities they know
that their organisations shall be protected in the event the
loans, advances of credit facilities, and interests accrued are
not repaid."7

7
Lee Mei Pheng, Detta Samen, Op., Cit., h. 337.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 80 | P a g e


BAB V
FUNGSI DAN JENIS PERJANJIAN
JAMINAN

1. Pengertian Istilah Umum Dalam Jaminan Yang Ada


Pada Pasal 1131 BW

S udah disinggung pada uraian yang lalu bahwa


pengertian istilah umum dalam jaminanyang ada
pada Pasal 1131 BW dikarenakan jaminan yang dimaksud
meletak pada seluruh harta debitor, dan jaminan itu diper-
untukkan bagi seluruh kreditor. Atribut umum tersebut me-
nandakan bahwa tidak ada kekhususan baik terhadap harta
dilekati jaminan, ataupun tidak ada kreditor yang diberi posisi
istimewa untuk memperoleh pelunasan piutangnya. Jaminan
umum yang dimaksud diperuntukkan bagi seluruh kreditor
tanpa ada yang diistimewakan dalam hal pelunasan
tagihannya. Setelah menjalani prosedur sesuai aturannya,
segenap kreditor diberi kesempatan yang sama secara
proporsional atas piutang yang dimiliki terhadap hasil lelang
harta debitor yang telah melakukan wanprestasi. Bila hasil
lelang mencukupi untuk melunasi utang-utang debitor,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 81 | P a g e


tentunya para kreditor memperoleh pelunasan yang utuh.
Sebaliknya kalau hasil lelang tak mencukupi untuk menutup
seluruh tagihan, berarti para kreditor harus berkonkurenai
untuk memperoleh pelunasan piutangnya terhadap hasil
lelang harta debitor yang dilaksanakan atas dasar Pasal 1131
BW, untuk itu hasil lelang akan dibagi secara pari pasu
sedasar dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 1132 BW.
Gatra seperti itu mengakibatkan segenap kreditor
yang ada diperlakukan secara sama tanpa ada kejelasan yang
pasti, apakah tagihan yang dimilikinya dapat terpenuhi secara
utuh, mengingat sejak awal untuk mengetahui sebanyak apa
harta yang dipunyai debitor, memang tidak pernah diketahui
se pasti. Pada saat seseorang berutang, umumnya memang
tidak dapat diketahui dengan pasti yang bersangkutan itu
mem- punyai berapa banyak harta benda dan seberapa besar
nilai. nya. Belum lagi fluktuasi harta orang yang
bersangkutan seiring jalannya waktu, tidak dapat diprediksi
pasang surutnya. Fluktuasi harta seseorang memang akan
selalu naik turun sesuai dengan intensitas perbuatan hukum
dalam kesibukan bisnis sehari-harinya. yang dilakukan
Tambahan lagi harta benda setiap orang itu pada
kenyataannya tidaklah bebas akibat banyak kali dibuatnya
perikatan dalam hidup kesehariannya. Justru sesungguhnya
segenap benda yang dimiliki, akan selalu dijadikan jaminan
atas perikatan-perikatan yang dibuat oleh pemiliknya, dan
senyampang setiap perikatan yang dibuat pasti akan ber
pengaruh pada nilai hartanya. Terang saja kondisi ini tak
pernah mendatangkan kepastian bagi pihak-pihak yang dia
membangun perikatan, seberapa tangguh harta seseorang
dapat diandalkan selaku jaminan sebagaimana yang
dimaksud

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 82 | P a g e


oleh Pasal 1131 BW. Inilah gambaran ketidakpastian jaminan
umum terhadap perikatan yang dibangun dalam hidup
keseharian oleh setiap anggota masyarakat.
Jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang
terbukti belum cukup memberikan kejelasan nasib setiap
perikatan yang dibuat dalam kancah kehidupan sosial. Meski
yang membuat jaminan itu penguasa lewat aturan perunda-
ngan, pada hal penguasa itu memiliki hegemoni yang demi-
kian besar, ternyata apa yang disediakan untuk rakyatnya tak
setangguh kewenangan yang dimiliki. Sejatinya kalau
dirunut, apapun prestasi dalam sebuah perikatan pasti
terlunasi pemenuhannya akibat keberadaan jaminan umum
yang ada dalam Pasal 1131 BW. Namun untuk merealisasi-
kan pemenuhan prestasi secara utuh, ternyata harus melewati
suatu koridor yang berliku dan panjang tanpa ada kepastian
kapan tuntasnya. Bahkan acap kali terjadi perebutan hasil
lelang harta debitor yang tak mencukupi seluruh tagihan
kreditor, sehingga memposisikan para pemilik tagihan itu
hanya sebagai kreditor konkuren, akibat para kreditor
tersebut berkonkurensi dalam memperebutkan hasil lelang
keseluruhan harta debitor atas dasar Pasal 1131 BW. Inilah
suatu konsekwensi sifat umum sebuah jaminan yang
diberikan penguasa lewat Pasal 1131 BW.
Pengertian istilah umum, mengandung makna bahwa
semua pihak diperlakukan secara sama tanpa ada yang diberi
keistimewaan. Agar tidak terjadi kegaduhan akibat perbentur-
an tagihan, maka kehadiran Pasal 1131 BW, oleh pembentuk
undang-undang disusuli dengan ketentuan pelengkapnya
berupa Pasal 1132 BW. Pasangan kedua pasal tersebut akan
dapat menepis gegap gempitanya konkurensi para kreditor,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 83 | P a g e


sehingga mereka harus puas memperoleh pelunasan piutang
dengan model membagi hasil lelang secara proporsional
sesuai jumlah tagihannya. Huru hara perebutan hasil lelang
harta debitor yang tidak mencukupi jumlah seluruh tagihan,
dapat diredam oleh hukum dengan adil dan pasti. Inilah
perlunya bingkai hukum dalam setiap kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali
dalam hidup kesehariannya.

2. Perjanjian Jaminan Sebagai Upaya Membangun


Perisai Terhadap Pasal 1131 BW
Sudah dipaparkan bahwa jaminan umum yang ber-
mukim dalam Pasal 1131 BW yang letaknya ada dalam Buku
II BW-berfungsi sebagai penyangga perikatan dan peri hal
perikatan ini diatur dalam Buku III BW pola ini menunjuk-
kan adanya sinergitas kedua buku tersebut dalam rangka
menyematkan panji ulungnya hukum saat digunakan untuk
membingkai kegiatan bisnis. Meski demikian bangunan
benteng yang ada di kolong Pasal 1131 BW belum mampu
untuk dipertaruhkan sepenuhnya guna menyongsong deras-
nya arus kerugian yang dapat menerpa hubungan bisnis.
Karakter jaminan umum dalam pasal tersebut menyiratkan
makna bahwa jaminan tersebut dipergunakan oleh segenap
kerditor yang ada kalanya berjumlah tak sedikit sehingga tak
mampu menampung tagihan secara keseluruhan akibat nilai
harta benda debitor yang tak memadai. Risiko hadirnya
jaminan umum dalam Pasal 1131 BW belum dapat diandal-
kan sebagai benteng penyelamat yang kokoh. Prosedur untuk
tampilnya perlindungan jaminan umum dalam Pasal 1131
BW bagi para kreditor akibat debitor wanprestasi, masih

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 84 | P a g e


barus melewati proses gugat ginugat yang acap kali sangat
melelahkan. Kondisi mempertaruhkan tagihan pada jaminan
umum ternyata banyak menyita waktu, beaya, ataupun daya.
Untuk mengatasi ini pembentuk undang-undang menyedia-
kan alternatif fasilitas lain yang harus dibuat sendiri oleh para
pihak lewat suatu kesepakatan, yakni membuat perjanjian,
guna terciptanya sebuah perisai yang lebih tangguh, tanpa
meninggalkan keberadaan Pasal 1131 BW yang untuk semen-
tara dimundurkan posisinya selaku jaring pengaman yang
sewaktu-waktu mungkin tetap diperlukan.
Sedikit memundurkan bangunan benteng jaminan
umum dalam Pasal 1131 BW, lalu atas dasar sepakat di-
bentuklah perisai depan yang relatif lebih tangguh oleh para
pihak, dapat menghasilkan perlindungan ganda terhadap
tagihan kreditor guna mengantisipasi ingkar janjinya debitor.
Pola ini mencerminkan mozaik bahwasanya masyarakat
dapat saja memperkokoh dirinya dengan membuat sendiri
perlindungan hukum yang dibentuk atas dasar sepakat dalam
suatu perjanjian di antara para pihak yang terlibat, tanpa
menghilangkan sama sekali peran jaminan umum dalam
Pasal 1131 BW. Apa yang bersifat umum dalam Pasal 1131
BW, lalu diberi perisai yang bersifat khusus lewat perjanjian,
agar kedudukan kreditor menjadi lebih aman. Ini tak lain
merupa- kan suatu keleluasaan yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang supaya para pihak juga
berinisiatif untuk membuat perlindungan hukum sendiri demi
mengamankan kedudukannya lewat suatu perjanjian,
mengingat perlindungan hukum yang disediakan penguasa
tak sepenuhnya dapat diandalkan karena sifatnya yang
berlaku umum. Maklum aturan hukum yang dibuat dan
disediakan penguasa memang diperuntukkan bagi khalayak
umum, sehingga

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 85 | P a g e


aturan perlindungan dalam Pasal 1131 BW untuk perikatan
yang dibangun masyarakat, akhirnya juga bersifat umum.
Perlindungan hukum yang diberikan oleh penguasa
adalah lewat produk perundangan, sebaliknya perlindungan
hukum yang dibuat sendiri oleh para pihak dibangun dengan
yang cara membuat kesepakatan dalam suatu perjanjian
sesuai tujuan yang diinginkan.Perlindungan hukum yang
dibangun penguasa lewat Pasal 1131 BW, tentu saja berlaku
untuk segenap perikatan yang dibuat oleh umum dalam hal
ini masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya kalau perlin-
dungan hukum yang dibuat lewat perjanjian, tentu saja
terbatas hanya untuk para pihak saja. Mengingat perlin-
dungan hukum lewat perjanjian yang dibuat oleh para pihak
itu menyangkut posisi sebuah benda, maka perjanjian yang
bersangkutan wajibdipublikasikan agar supaya masyarakat
mengetahuinya. Melalui publikasi, perjanjian yang dibuat
oleh pemilik benda dengan pihak pemberi pinjaman lewat
prosedur khusus ini, tak lain tujuannya untuk memberi tahu
bahwa benda tertentu milik seseorang tersebut sudah di
keluarkan dari jaringan jaminan umum Pasal 1131 BW,
sehingga para pemberi pinjaman lain tidak boleh ikut menik-
mati hasil lelang benda tersebut akibat penerima pinjaman
wanprestasi, kecuali kalau memang ada sisa. Ilustrasi ini juga
memberikan makna bahwa pemberi pinjaman atau kreditor
yang sudah membuat perjanjian khusus dengan pihak pene-
rima pinjaman atau debitor, kalau terjadi wanprestasi, lalu
ada pelelangan, maka hasil lelang tersebut pertama-tama
adalah untuk melunasi piutang kreditor yang bersangkutan.
Piutang kreditor ini pelunasannya harus lebih didahulukan
dari tagihan lainnya. Berarti piutang tersebut punya posisi
khusus, sehingga dapat disebut dan digolongkan sebagai

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 86 | P a g e


piutang istimewa. Sedang jenis piutang istimewa sudah
ditentukan oleh Pasal 1133 BW akni privilege, gadai, dan
hipoték. Jadi kreditor yang punya piutang istimewa yang
muncul akibat adanya perjanjian khusus déngari mencomot
benda tertentu inilik debitor untuk diikat dėmi sejumlah utang
tertentu, bila dikaitkan dengan Pasal 1133 BW, tak lain
adalah kreditor pemegang gidai dan kréditor pemegang
hipotek. Kreditor pemegang gadai adalah kreditor yang
dijamin secara khusus dengan benda milik debitor, dan benda
yang dimaksud adalah berjenis benda bergerak. Sedangkan
kreditor pemegang hipotek, adalah golongan kreditor yang
dijamin secara khusus atas benda tertentu milik debitor dari
jenis benda yang tergolong sebagai benda tidak bergerak.
Apa bila atas dasar sepakat para pihak membuat suatu
perjanjian dengan menunjuk benda tertentu milik debitor
untuk diikat secara khusus demi menjamin sejumlah utang
tertentu, maka posisi kreditor menjadi lebih aman karena
pertama-tama dilindungi oleh perjanjian jaminan kebendaan
tanpa menghilangkan jaminan umum sebagai benteng lapis
kedua. Ilustrasi ini sebenarnya menandakan bahwa Pasal
1131 BW itu berposisi sebagai regelend recht, berarti dapat
disim- pangi oleh para pihak dengan cara membuat
perjanjian. Namun menyimpangi Pasal 1131 BW yang
bernaung dibawah Buku II BW yang bersifat tertutup ini
memiliki karakter yang unik, karena pasal tersebut kendati
sudah disimpangi tidakberarti lenyap dari tatanan hubungan
hukum para pihak.Penyimpangandenganmembuat perjanjian
jaminan kebendaan yang tergolong sebagai perjanjian
kebendaan dan bukan perjanjian obligatoir, hanya sekedar
memundurkan posisi Pasal 1131 BW untuk memberi tempat
di depan pada perjanjian jaminan kebendaan yang berfungsi
sebagai

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 87 | P a g e


pelindung utama bagi kreditor. Andai kata karena sesuatu
hal pelindung utama ini runtuh, maka kreditor masih dapat
diselamatkan oleh jaring Pasal 1131 BW selaku benteng
cadangan. Dengan tersedianya dua lapis jaminan, andai di
belakang hari debitor wanprestasi, dari perjanjian jaminan
kebendaan ternyata hasil lelang agunan tak mencukupi, maka
jaminan umum dalam Pasal 1131 BW masih tetap dapat
menjaring kekurangan pelunasan tagihan kreditor. Inilah
karakter Pasal 1131 BW yang dapat dikatagorikan sebagai
regelend recht, tetapi kalau dilakukan penyimpangan
terhadap ketentuan tersebut, tidak serta merta Pasal 1131 BW
hilang dari peredaran hubungan hukum para pihak. Pasal
1131 BW yang disimpangi oleh para pihak dengan
mengadakan per- janjian jaminan kebendaan, hanya
mengakibatkan undurnya pasal tersebut selangkah ke
belakang demi memberi ruang untuk dibangunnya benteng
pelindung utama yang dibuat oleh para pihak.
Dari perjanjian jaminan kebendaan yang dibuat antara
debitor dengan kreditor, maka lahirlah hak kebendaan. Kalau
obyek benda yang diperjanjikan berupa benda bergerak,
maka lahirlah hak gadai, sedang perjanjian yang berobyek
benda tidak bergerak, maka akan lahir hak hipotek. Kedua-
duanya, hak gadai dan hak hipotek, adalah tergolong sebagai
hak jaminan kebendaan. Sesuai karakternya yang terletak
dalam Buku II BW, maka dengan sendirinya hak gadai dan
hak hipotek tersebut tergolong sebagai hak kebendaan.
Selain para pihak dapat membuat perjanjian jaminan
kebendaan, jaminan lain juga dapat dibuat lewat adanya
kesanggupan pihak ke tiga yang bersedia menjadi penang-
gung (borg). Hadirnya pihak ketiga sebagai borg melalui

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 88 | P a g e


kesepakatan dengan pihak kreditor ditempuh dengan jalan
membuat Perjanjian Penanggungan. Dari Perjanjian Penang-
gungan yang dibuat antara kreditor dengan pihak ketiga,
maka dari perjanjian tersebut lahirlah hak pribadi atau hak
perorangan, mengingat Perjanjian Penanggungan ini diatur
secara khusus dalam Bab XVII Buku III BW. Ilustrasi ini
memberikan gambaran bahwa pihak kreditor mendapatkan
jaminan pelunasan tagihannya dari dua (2) debitor, yaitu dari
debitor asli dan penanggung.
Jenis Perjanjian Penanggungan ini juga dikenal dalam
dunia bisnis perbankan, hanya saja perannya kalah populer
dengan perjanjian jaminan kebendaan. Hal ini disebabkan
antara lain, dalam perjanjian jaminan kebendaan, ada
kemudahan memperoleh pelunasan piutang lewat eksekusi
obyek jaminan yang relatif cepat dan sederhana.

3. Jenis Perjanjian Jaminan


Jaminan yang termaktub dalam Pasal 1131 BW yang
dikenal dengan sebutan jaminan umum, kendati jaminan itu
yang memberikan adalah undang-undang, tetapi masih rawan
dan mendudukkan kreditor dalam posisi yang belum aman,
karena masih harus berebut demi mendapatkan pelunasan
piutangnya saat harta debitor berhasil dijual lelang. Perebutan
sesama kreditor seperti itu, kemungkinan besar apa yang
diperoleh tak sesuai dengan jumlah dana yang dulu
disalurkan sebagai pinjaman. Kondisi tak nyaman seperti itu,
dapat dihindari dengan memanfaatkan sarana dalam Hukum
Jaminan dengan jalan menyimpangi Pasal 1131 BW supaya
mendapatkan posisi lebih baik. Sebagaimana sudah diketahui,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 89 | P a g e


manakala melakukan penyimpangan terhadap suatu ketentuan
dalam undang-undang, harus lewat perjanijan. Penyimpangan
terhadap Pasal 1131 BW yang terletak dalam Buku II BW,
kalau kemudian disimpangi dengan ujud merakit perjanjian
jaminan kebendaan, dan ini dapat berupa perjanjian gadai
atau hipotek, maka kedudukan Pasal 1131 BW sebagai
benteng perjanjian obligatoir, tidak serta merta hilang dari
peredaran, tetapi hanya sekedar dijadikan benteng cadangan
untuk berjaga-jaga kemungkinan runtuhnya benteng utama
yang dibuat oleh debitor dan kreditor. Model ini memberikan
gambaran betapa hukum sangat peduli pada eksistensi
perikatan yang terjadi dalam kehidupan sosial, agar tetap
dapat memberikan bantuan pemulihan kerugian yang dapat
dialami oleh para pihak. Seolah hukum mentabukan
timbulnya kerugian tanpa ada upaya pemulihan. Ini merupa-
kan suatu keunggulan hukum saat dipergunakan sebagai
bingkainya bisnis, di samping demi terwujudnya kepastian
hukum, juga untuk menjamin terhindarnya para pihak dari
derita kerugian. Sosok ini pula yang membuktikan bahwa
nuansa bisnis dalam BW itu sangat kental mewarnai ketentu-
an-ketentuannya. Sungguh bahwasanya BW dapat diandalkan
untuk mendukung dan menciptakan situasi yang kondusif
bagi dunia bisnis dengan segala percepatan dan perkem-
bangannya yang tak pernah dapat dibendung.
Dengan membuat suatu perjanjian setelah melakukan
penyimpangan, berarti para pihak atas dasar sepakat mem-
buat aturan sendiri di antara mereka. Aturan yang dibuat
sendiri oleh para pihak dalam ujud perjanjian, kadar perjanjk
an itu punya nilai equivalen dengan undang-undang yang
dibuat oleh penguasa yang dengan sepakat sudah disimpange-
nya. Hal ini dapat dibuktikan lewat Pasal 1338 BW yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 90 | P a g e


intinya menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat
secara sah, akan mempunyai kekuatan mengikat sama dengan
undang-undang bagi para pihaknya. Inilah suatu penghargaan
diberikan oleh penguasa terhadap kadar perjanjian yang yang
dibuat oleh rakyat yang melakukan kegiatan bisnis, sehingga
sekedar perjanjian, sepanjang sah, ternyata memiliki nilai
yang setara dengan undang-undang yang biasanya dibuat oleh
penguasa. Kesetaraan produk yang dihasilkan rakyat berupa
perjanjian dengan undang-undang yang dicipta penguasa,
merupakan latar keleluasaan bisnis yang sengaja disediakan
supaya tak terkendala oleh aturan hukum. Justru aturan
hukum dibuat oleh penguasa adalah dengan maksud agar
dapat menciptakan suatu situasi yang kondusif untuk kelanca-
ran kegiatan bisnis.
Bertolak dari titik anjak tersebut, kalau kreditor
menginginkan posisi yang lebih baik, jangan hanya sekedar
mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, tetapi
harus berusaha membuat jaminan khusus yang dirakit dalam
suatu perjanjian jaminan guna membangun sendiri benteng
ganda agar dirinya menjadi lebih tangguh dan aman. Adapun
perjanjian yang harus dibuat itu tak lain adalah perjanjian
jaminan guna menghasilkan posisi kreditor menjadi lebih
baik. Sesuai penggolongannya perjanjian jaminan itu ada dua
(2) macam yakni Perjanjian Jaminan Kebendaan dan
Perjanjian Jaminan Perorangan.
Sosok perjanjian jaminan perorangan, yaitu berupa
rerjanjian Penanggungan, sesuai letaknya ada dalam Buku III
BW maka yang dilahirkan tergolong sebagai hak per-
orangan atau hak pribadi. Seperti diketahui bahwa obyek
perikatan itu adalah prestasi, sehingga Perjanjian Penang-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 91 | P a g e


gungan sebagai perjanjian jaminan perorangan yang terletak
dalam Buku III BW, obyek perjanjian tersebut tak lain juga
prestasi. Pada sisi lain, dapat pula dibuat Perjanjian Jaminan
Kebendaan, mengingat dalam perjanjian jaminan tersebut
obyeknya adalah benda, maka masuk rezim Buku II BW
yang tentunya akan melahirkan hak kebendaan.

A. Perjanjian Jaminan Perorangan


Perjanjian Jaminan Perorangan terjadi kalau ada
pihakketiga yang bersedia menjadi
penanggung(borg)atasutangnya debitor, dan atas dasar
sepakat kreditor lalu dirakitdalam suatu perjanjian yang
dikenal dengan nama Perjanjian Penanggungan. Jenis
perjanjian ini dijumpai aturan khususnya dalam Bab XVII
Buku III BW dengan ketentuan awal Pasal 1820 BW yang
intinya menuturkan bahwa penanggungan adalah suatu
perjanjian di mana seorang pihak ketiga, demi kepentingan
kreditor, bersedia mengikatkan dirinya untuk melunasi utang
debitor bila wanprestasi. Ketentuan berikut- nya yakni Pasal
1821 BW menegaskan bahwa tiada suatu Perjanjian
Penanggungan jika tidak ada perjanjian pokoknya. Bertolak
dari ketentuan ini dapat disimak, bahwa Perjanjian Penang-
gungan itu baru ada kalau sudah ada Perjanjian Pokoknya,
yakni umumnya berupa perjanjian utang piutang atau perjan-
jian kredit kalau di lingkungan bank. Dengan demikian Per-
janjian Penanggungan itu berposisi sebagai Perjanjian Tam-
bahan (accessoir) yang eksistensinya bergantung pada Per
janjian Pokok. Maknanya, kalau Perjanjian Pokok berakhir,
maka Perjanjian Tambahan juga berakhir mengikuti induk
nya. Dengan mengambil pola ada Perjanjian Pokok berupa
perjanjian kredit, lalu disusul Perjanjian Tambahan berupa

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 92 | P a g e


Perjanjian Penanggungan, maka keunggulan yang diperoleh
bahwa model ini menjadikan kreditor memiliki dua (2) sosok
debitor, yaitu debitor asli dan debitor kedua yang berposisi
sebagai penanggung. Dengan kata lain kreditor mendapatkan
dua (2) sosok debitor yang akan menjamin pelunasan
piutang- nya. Bila gagal menagih piutangnya kepada debitor
yang satu, maka dapat dilakukan untuk menagih pada debitor
kedua.
B. Perjanjian Jaminan Kebendaan
Pada sisi lain, kalau jaminan khusus itu obyeknya
benda tertentu milik debitor, dibuatlah perjanjian jaminan
kebendaan yang keberadaannya terletak di lingkungan rezim
Buku II BW, tentunya hak yang dilahirkan akan tegolong
sebagai hak kebendaan, sedang ujud konkritnya termasuk
jenis hak kebendaan bercorak jaminan atau dapat disebut juga
dengan istilah hak jaminan kebendaan. Jadi dalam area
perjanjian jaminan kebendaan, ada kesepakatan bahwa de-
bitor setuju untuk menyerahkan benda tertentu miliknya
kepada kreditor untuk diikat secara khusus demi menjamin
sejumlah utang yang diinginkan debitor."Where the debtor
has agreed to give a security interest in specific collateral
tocreditor,...”1
Mengikuti sistematika dan harmonisasi yang dianut
sesuai dengan adanya pembagian benda bergerak-benda tidak
bergerak, maka kalau benda milik debitor yang disodorkan
sebagai obyeknya itu tergolong benda bergerak, lalu diikat
dengan perjanjian jaminan kebendaan, maka ujud konkrit-
nya perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian Jaminan

1
Ibid.,h.62

93 | P a g e
Gadai. Sebaliknya kalau benda tertentu milik debitor yang
diberikan sebagai jaminan berujud benda tidak bergerak, lalu
diikat dengan perjanjian jaminan kebendaan, ujud konkritnya
adalah Perjanjian Jaminan Hipotek.
Baik dengan Perjanjian Jaminan Gadai yang kemu-
dian melahirkan hak gadai, ataupun mengadakan Perjanjian
Jaminan Hipotek selanjutnya melahirkan hak hipotek, kedua
jenis hak jaminan tersebut tergolong sebagai hak kebendaan
vang terkwalifikasi sebagai hak kebendaan yang bercorak
jaminan, mengingat lembaga jaminan gadai dan hipotek itu
aturannya ada dalam Buku II BW. Hadirnya Perjanjian
Jaminan Gadai ataupun Perjanjian Jaminan Hipotek yang
akhirnya melahirkan hak kebendaan berujud hak gadai atau
hak hipotek, adalah dalam rangka mendukung perjanjian
pokok, yakni perjanjian kredit yang hanya melahirkan hak
tagih yang berkadar sebagai hak pribadi.
Seperti diketahui bahwa gadai dan hipotek diatur
dalam Buku II BW, oleh sebab itu hak yang muncul dari
Perjanjian Jaminan Gadai atau dari Perjanjian Jaminan
Hipotek, yakni hak gadai dan hak hipotek, tergolong sebagai
hak kebendaan bercorak jaminan atau biasa disebut
hakjaminan kebendaan. Sebaliknya perjanjian kredit
sebagaiPerjanjian Obligatoir yang tunduk pada rezim Buku
III BW,hak yang lahir termasuk sebagai hak pribadi. Uraian
yang menyatakan berendengnya hak pribadi yang bermuasal
dariBuku III BW, kemudian didukung hak kebendaan
bercorakjaminan yanglahir dari Buku II BW, membuktikan
kebenaran betapa eratnya hubungan antara Buku II BW
dengan Buku III BW sebagai suatu sistem.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 94 | P a g e


Kalau hak gadai atau hak hipotek yang tergolong
selaku hak kebendaan bercorak jaminan difungsikan untuk
mendukung (mem back up) hak tagih yang tergolong sebagai
bak pribadi, sudah bisa ditebak bahwa sebagai pendukung
tentu hak gadai ataupun hak hipotek itu memiliki kekuatan
lebih unggul dari yang didukung dalam hal ini hak tagih yang
berkadar sebagai hak pribadi. Hal lebih kuatnya hak kebenda-
an ketimbang hak pribadi, baru dapat dipahami kalau
melakukan perbandingan ciri-ciri pokok yang dimiliki kedua
macam hak keperdataan tersebut.
Sesuai perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,
saat ini lembaga jaminan kebendaan tidak hanya sebatas
gadai dan hipotek saja sebagaimana aturannya dijumpai
dalam Buku II BW. Sedasar dengan berlakunya UUPA, maka
hak atas tanah kalau saat sekarang disodorkan selaku benda
jaminan, maka lembaga yang dipergunakan adalah Hak
Tanggungan yang aturannya dapat disimak dalam UU Hak
Tanggungan. Selain itu disusul lagi munculnya lembaga
jaminan kebendaan Fidusia yang tertuang dalam UU Fidusia.
Dengan demikian di Indonesia saat ini mempunyai empat (4)
macam lembaga jaminan kebendaan yakni gadai dan hipotek
yang tercantum aturannya dalam BW, ditambah Hak
Tanggungan dan Fiduisa. Ke empat-empat lembaga jaminan
kebendaan ini dapat didayagunakan dalam bisnis, khususnya
oleh dunia perbankan, dengan cara membuat perjanjian
jaminan kebendaan antara kreditor dan debitor. Pembuatan
perjanjian jaminan kebendaan, konkritnya dapat berupa Per-
janjian Jaminan Gadai, Perjanjian Jaminan Hipotek, Per-
janjian Pemberian Hak Tanggungan,atau Perjanjian Jaminan
Fidusia, yang kesemuanya itu eksistensinya tergolong sebagai
perjanjian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 95 | P a g e


tambahan (accessoir). Sebagai perjanjian tambahan, berarti
baru ada kalau didahului oleh perjanjian pokok yang berujud
perjanjian ktedit. Nasib perjanjian tambahan bergantung pada
perjanjian pokok, dimana kalau perjanjian pokok berakhir,
maka perjanjian tambahan juga berakhir. Dan tidak
sebaliknya, sebab kalau perjanjian accessoir berakhir, itu
tidak mengakibatkan perjanjian pokok ikut berakhir.
Keberadaan perjanjian pokok lalu disusul dengan
perjanjian tambahan, ini merupakan pola umum yang berlaku
di dunia perbankan saat melakukan penyaluran dana
pinjaman, sebagai salah satu ujud untuk merefleksikan
prinsip kehati-hatian. Memang dua macam perjanjian
jaminan, yakni perjanjian jaminan perorangan yang berujud
Perjanjian Penanggungan dan perjanjian jaminan kebendaan,
pada dasarnya kedua-duanya dikenal oleh dunia perbankan.
Namun harus diakui dalam praktek perbankan justru
perjanjian jaminan kebendaan yang paling menonjol dan
populer, sehingga sering dijadikan tumpuan utama. Oleh
sebab itu tak mengherankan kalau jenis perjanjian jaminan
kebendaan ini, baik gadai, hipotek, hak tanggungan ataupun
jaminan fidusia, menyerap perhatian banyak kalangan untuk
diperbincangkan serta dibahas secara mendalam.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 96 | P a g e


BAB VI
HAK JAMINAN KEBENDAAN

1. Hak Jaminan Kebendaan Lahir Dari Perjanjian


Jaminan Kebendaan
Sebutan hak jaminan kebendaan (juga dapat disebut
dengan istilah hak kebendaan bercorak jaminan) mem-
bersitkan makna bahwasanya hak jaminan itu melekat atau
menindih suatu benda, dan benda itu tentunya milik debitor,
dan juga hak jaminan itu tidak melekat pada seluruh benda
milik debitor, mengingat hak jaminan yang melekat pada
segenap harta debitor itu dikuasai oleh Pasal 1131 BW.
Berarti hak jaminan kebendaan itu hanya melekat pada benda
tertentu milik debitor, bukan pada seluruh benda kepunyaan
debitor, dan ini terjadi akibat adanya kesepakatan dari debitor
dengan kreditor yang dituang dalam suatu perjanjian. Pem-
buatan perjanjian oleh para pihak tersebut tak lain sebagai
akibat adanya penyimpangan yang dilakukan terhadap aturan
undang-undang yang ada dalam Pasal 1131 BW. Ketentuan
yang disimpangi, yakni Pasal 1131 BW, merupakan
ketentuan

97 | P a g e
undang-undang yang mengatur soal jaminan, berarti perjanji-
an yang dibuat para pihak sebagai ujud penyimpangan itu
diadakan dengan maksud mengatur soal jaminan juga dengan
obvek benda. Oleh sebab itu perjanjian tersebut dinamakan
sebagai perjanjian jaminan. Mengingat perjanjian jaminan
yang bersangkutan obyeknya benda, maka perjanjian yang
dimaksud termasuk sebagai perjanjian jaminan kebendaan
yang akan melahirkan hak kebendaan bercorak jaminan (hak
jaminan kebendaan).
Seluk beluk benda, termasuk penjaminannya yang
diperjanjikan, jelas jatuh dalam ranah Buku II BW, sehingga
perjanjian jaminan kebendaan karena obyeknya benda,
dengan sendirinya dikuasai oleh Buku II BW tempat ber-
mukimnya hak kebendaan, dan bukan dikuasai oleh Buku III
BW sebagai sarangnya hak pribadi. Menjadi sepatutnya pula
kalau dari perjanjian jaminan kebendaan tersebut yang lahir
adalah hak kebendaan bukan hak pribadi. Selanjutnya kalau
dirujukkan pada jenis pembagian benda yang paling sentral
dalam BW adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak,
mana kala benda-benda tersebut dijadikan obyek jaminan,
tentu harus dirakit oleh para pihak dengan memakai
perjanjian jaminan kebendaan. Setelah dibuat perjanjian
jaminan kebendaan, dari rahim perjanjian tersebut akan lahir
hak kebendaan berujud hak jaminan kebendaan atau hak
kebendaan bercorak jaminan. Kalau benda bergerak yang
dijadikan obyek perjanjian jaminan kebendaan, konkritnya
perjanjian yang dimaksud disebut Perjanjian Jaminan Gadai,
maka lahirlah hak gadai. Demikian juga kalau benda tidak
bergerak yang dijadikan obyek perjanjian, maka dirakit
dalam perjanjian jaminan kebendaan yang secara faktual
berujud Perjanjian Jaminan Hipotek, dan dari rahimnya akan
keluar

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 98 | P a g e


hak hipotek yang tergolong sebagai hak kebendaan. Demi-
kianlah BW menyediakan lembaga jaminan kebendaan gadai
dan hipotek, masing-masing berobyek pada benda bergerak
dan benda tidak bergerak yang sosoknya dalam BW
keduanya menduduki posisi sentral. Bertolak dari ranah ini
pula dapat dipahami bahwa munculnya lembaga jaminan
gadai dan hipotek adalah sebagai salah satu konsekwensi
dikenalnya jenis pembagian benda bergerak dan benda tidak
bergerak oleh BW.

2. Katagorisasi Perjanjian Jaminan Kebendaan


Di lingkungan perbankan saat berkehendak me-
ngucurkan dana pinjaman kepada masyarakat yang mem-
butuhkan, maka wajib menegakkan prinsip kehati-hatian
sebagaimana diamanatkan oleh UU Perbankan. Diharapkan
dengan menegakkan prinsip kehati-hatian, bank akan menjadi
sehat dan dapat menyumbangkan jasanya menjaga
pertumbuhan ekonomi nasional. Lewat pertumbuhan eko-
nomi nasional yang cerah, kesejahteraan rakyat seperti yang
diserukan oleh konstitusi akan dapat diwujudkan sesuai
harapan banyak kalangan. Kondisi ini tentunya juga akan
mendatangkan pengaruh yang tidak kecil terhadap kemajuan
dunia bisnis. Pada gilirannya perkembangan bisnis yang
melaju pesat pasti memerlukan bingkai hukum, dan akibatnya
bidang hukum semakin penting kedudukannya sebagai suatu
perangkat andalan hidup berbangsa. Pada sisi lain hukum
dituntut agar tetap dapat mempersiapkan diri dengan
ketersediaan ketentuan vang memadai dalam rangka me-
wujudkan keadilan dan kepastian hukum, baik dalam ruang
lingkup dunia bisnis pada khususnya, ataupun dalam alam

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 99 | P a g e


kehidupan sosial pada umumnya. Di sinilah arti dan peran
penting hukum, dalam hal ini Hukum Perjanjian dengan
segala derivatifnya, demi menunjang kehidupan sesuatu
bangsa secara utuh.
Sebagaimana sudah sering diwacanakan, mengingat
setiap kegiatan bisnis selalu memerlukan bingkai hukum pada
hal laju pertumbuhan dan perkembangan bisnis sangat cepat,
maka ketersediaan aturan hukum yang luwes pasti akan
menjadi penentu keandalannya sebagai perangkat. Meskipun
diperlukan sifat yang luwes, bukan berarti harus menafikan
kepentingan bisnis yang menuntut adanya kepastian dan
keadilan. Tak pelak ketentuan-ketentuan hukum yang tersedia
akan banyak memiliki dimensi bernuansa ekonomis, agar
tetap dapat dimanfaatkan oleh pelaku pasar. Peri hal efisiensi
yang dijadikan batu ukur oleh para pebisnis, menjadi wajib
selalu tersemat pada eksistensi hukum supaya tak
menimbulkan ekonomi beaya tinggi. Ketentuan-ketentuan
hukum yang tersedia harus benar-benar mapan untuk dijadi-
kan landas pacu setiap urusan bisnis yang kadang mendadak
berubah akibat tuntutan kebutuhan pasar. Tanpa adanya
sosok fleksibel, hukum justru akan menjadi kendala yang
bahkan dapat menyerimpung alur bisnis yang tak pernah
berhenti berotasi.
Demikian pula dengan keberadaan Hukum Jaminan
yang sering dijadikan tumpuan saat para pelaku pasar
melepas dana pinjaman. Dalam diri Hukum Jaminan tentunya
diperlu- kan adanya kepastian akan pengembalian atau
pelunasan dana pinjaman di belakang hari, tanpa perlu
prosedur yang berbelit-belit, tatkala debitor cidera janjí. Demi
tuntutan keperlu- an tersebut, maka Hukum Jaminan sejak
dini harus mampu

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 100 | P a g e


memberikan pengawalan yang ketat baik secara yuridis
formal, ataupun menyediakan sarana berciri unggul yang
dapat diandalkn pada saat dibutuhkan dalam tahap
pelaksanaannya. Sikap ini menjadi lebih penting diperhatikan
kalau pihak penyalur dana pinjaman yang dimaksud adalah
lembaga perbankan yang diamanati menegakkan prinsip
kehati-hatian.
Menyalurkan dana pinjaman, adalah penuh risiko
yang dapat menyergap kapan saja sehingga pengembalian
atau pelunasannya menjadi gagal. Hal ini sudah sewajarnya
apabila sedini mungkin diperhitungkan untuk kemudian men-
dayagunakan sarana ketentuan yang ada dalam ranah Hukum
Jaminan. Perangkat Hukum Jaminan sudah menyediakan
lembaga-lembaga hukum yang memang sengaja dikemas
oleh pembentuknya guna memberikan pengamanan, bahkan
sanggup memberikan kedudukan istimewa kepada para kre-
ditor yang sejak awal membuat Perjanjian Jaminan sebagai
periaai Pasal 1131 BW, Mengingat yang diberi perisai itu
Pasal 1131 BW yang mengatur jaminan dengan obyek benda,
menjadi wajar mana kala perianjian jaminan yang dibuat oleh
para pihak sebagai upaya pembuatan perisai itu juga
bertumpu atau berobyek pada benda, sehingga jenis per-
janjian ibuat tergolong sebagai perjanjian jaminan kebendaan
yang untuk selanjutnya akan melhirkan hak kebendaan
bercorak jaminan.
Mendayagunakan lembaga jaminan ke-bendaan yang
menyediakan oleh pembentuk undang-undang, adalah dalam
rangka memperoleh hak yang didahulukan dalam soal
pelunasan piutang dari hasil lelang agunan. Inilah sebuah
preferensi yang disediakan oleh perangkat Hukum Jaminan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 101 | P a g e


guna menangkal risiko sedini mungkin bagi kreditor yang
telah menyalurkan dana pinjaman kepada debitor. Alur
prosedur untuk mendapatkan preferensi ini memang harus
dibuat sejak awal dengan menyertakan perjanjian jaminan
kebendaan selaku perjanjian tambahan yang mendampingi
perjanjian pokok, yakni perjanjian kredit yang dibuat lebih
awal oleh bank. Seperti sudah disinggung, adapun perjanjian
jaminan yang paling menjanjikan adalah jenis perjanjian
jaminan kebendaan, di mana dalam perjanjian tersebut
disepakati untuk menarik benda tertentu milik debitor guna
dikat secara khusus demi menjamin sejumlah utang tertentu
yang disalurkan oleh pihak kreditor. Pembuatan perjanjian
jaminan kebendaan oleh para pihak, kalau ditilik lebih
cermat, sesungguhnya peri hal perlindungan hukum itu dapat
dibuat sendiri oleh para pihak lewat sebuah perjanjian yang
dirakitnya, dan ini merupakan perlindungan hukum yang
sejak dini dipersiapkan guna mengantisipasi timbulnya
kerugian pada masa mendatang. Berarti ini merupakan jenis
perlindungan hukum yang bersifat preventif, Sesungguhnya
berdasar sumbernya ada dua (2) macam perlindungan hukum,
yakni perlindungan hukum internal yang keberadaannya
dibuat sendiri oleh para pihak lewat media perjanjian
sehingga keberlakuannya hanya sebatas para pihak saja. Jenis
yang kedua adalah perlindungan hukum eksternal yang
eksistensinya bermuasal dari penguasa lewat aturan per-
undang diterbitkan atas dasar kewenangan yang dimiliki
sehingga perlindungan hukum yang dimaksud keberlakuan-
nya diperuntukkan bagi khalayak umum.
Sudah menjadi pola umum bagi lembaga perbankan
menyalurkan dana pinjaman yang dikemas dalam perjanjian
kredit sebagai perjanjian pokok, untuk kemudian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 102 | P a g e


dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan sebagai
pendukungnya. Pola ini menjadikan pihak bank selaku
kreditor, perjanjian kredit akan memiliki hak tagih yang
tergolong sebagai hak pribadi, lalu didukung oleh perianjian
jaminan kebendaan selaku perjanjian tambahan yang akan
melahirkan hak jaminan kebendaan. Modus ini mengakibat-
kan pihak bank akan mempunyai dua (2) macam hak yang
berendeng yakni hak pribadi dan hak jaminan kebendaan.
Sesuai pola dan fungsinya, hak kebendaan berupa hak
jaminan kebendaan, dipergunakan sebagai pilar penyangga
hak pribadi berupa hak tagih yang lahir dari perjanjian kredit.
Menyimak paparan di atas, dapat ditelisik bahwa ada
dua macam perjanjian yang dibuat oleh bank selaku kreditor
dengan pihak debitor, yang kedua-duanya samasama
menggunakan bingkai perjanjian, namun kedua macam
perjanjian tersebut tidaklah sekatagori. Perjanjian kredit
selaku perjanjian pokok adalah tergolong sebagai Perjanjian
Obligatoir dikarenakan akan melahirkan perikatan yang tentu
saja tunduk pada Buku Ill BW. Sed asar dengan itu maka hak
yang dilahirkan, yakni hak tagih sebagai piutang, adalah
tergolong sebagai hak pribadi, mengingat hak tersebut lahir
dari perjanjian yang bersifat pribadi sebagaimana ditetapkan
oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW. Berarti hak tagih selaku hak
pribadi, pada dasarnya hanya dapat ditegakkan pada pihak
tertentu saja. Adapun yang dimaksud pihak tertentu itu tak
lain adalah rekan sckontraknya, yaitu pihak debitor.
Penagihan piutang atau tagihan oleh bank sebagai kreditor
hanya ditujukan kepada debitor sebagai mitra seperjanjian-
nya, bukan kepada pihak lain yang bukan teman sekontrak-
nya. Inilah salah satu yang melekat pada hak tagih yang
tergolong sebagai hak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 103 | P a g e


pribadi yang sering dikatakan bahwa hak pribadi itu besifat
relatif atau tidak mutlak.
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang tentu
saja berdasar Pasal 1233 BW melahirkan perikatan, sesuai
hakekatnya memang sudah ada jaminan yang mendukung
yakni jaminan umum dalam Pasal 1131 BW. Sudah pernah
berkali-kali disinggung, bahwasanya jaminan umumtersebut
hanya mendudukan bank sebatas kreditor konkuren saja yang
tentunya masih berisiko tinggi. Posisi bank sebagai kreditor
konkuren tidak sejalan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga
karenanya diperlukan tindakan ikutan lain strategis yakni
membuat lagi satu perjanjian pendukung berupa perjanjian
jaminan kebendaan yang pada akhirnya tergolong sebagai
perjanjian tambahan yang akan melahirkan hak jaminan
kebendaan yang tak lain adalah hak kebendaan bercorak
jaminan.
Perjanjian jaminan kebendaan sebagai perjanjian
tambahan dalam rangka mendukung eksistensi perjanjian
kredit, merupakan suatu perjanjian yang obyeknya benda, dan
benda yang dimaksud adalah salah satu benda tertentu milik
debitor yang atas dasar sepakat diikat sebagai jaminan khusus
bagi sejumlah utang tertentu. Benda tertentu milik debitor
yang diikat secara khusus dengan perjanjian jaminan
kebendaan yang dimaksud, disebut sebagai agunan. Mana
kala kreditor, dalam hal ini bank, sudah memiliki agunan
demi menjamin secara khusus atas dana pinjaman yang sudah
disalurkan, sewaktu-waktu debitor cidera janji atau wan-
prestasi, maka bank selaku kreditor tidak akan ribet mengaju-
kan gugat ke pengadilan demi memperoleh kembali piutang-
nya. Langkah prosedural yang lebih mudah dan sederhana

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 104 | P a g e


dapat dilakukan terhadap agunan yang dimiliki untuk dijual
di hadapan umum, dan hasilnya akan segera dipergunakan
untuk membayar pelunasan piutangnya bank tanpa perlu
diganggu oleh kreditor lain yang juga memiliki tagihan.
Sungguh posisi kreditor yang piutangnya didukung oleh
angunan, akan mendapatkan kedudukan yang aman dan
nyaman serta pasti dalam hal memperoleh kembali perlu
utangnya. Tagihan dengan posisi seperti itu oleh BW
digolongkan sebagai piutang istimewa.
Meskipun perjanjian jaminan kebendaan ini semisal
perjanjian jaminan gadai atau perjanjian jaminan hipotek-
menggunakan istilah "perjanjian" seperti halnya perjanjian
kredit, namun untuk perjanjian jaminan kebendaan ini bukan-
nya melahirkan perikatan yang kemudian memunculkan hak
pribadi, tetapi dari kandungannya akan melahirkan hak
jaminan kebendaan yang eksistensinya diatur oleh Buku II
BW. Oleh sebab itulah kalau dari rahim perjanjian jaminan
kebendaan lahir hak jaminan kebendaan, dengan sendirinya
perjanjian tersebut masuk dalam rezim Buku II BW, bukan
tunduk pada Buku III BW.
Perjanjian jaminan kebendaan sebagai perjanjian
tambahan demi mendukung perjanjian kredit selaku perjanji-
an pokok, maka hak jaminan kebendaan yang lahir dari
tahimnya berfungsi untuk mendukung hak pribadi yang
berwujud hak tagih. Akibat adanya dukun gan dari hak
kebendaan, maka hak tagih akan menjadi lebih kokoh dan
relatif lebih mudah untuk mendapatkan pelunasan. Inilah
merupakan keunggulan yang diperoleh bank apabila menya-
lurkan dana pinjaman, lalu dilengkapi dengan dukungan
perjanjinan kebendaan. Pola penyaluran kredit oleh

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 105 | P a g e


bank yang dirakit dengan perjanjian kredit, selaku perjanjian
pokok kemudian dilengkapi dengan perjanjian tambahan
berupa perjanjian jaminan kebendaan, membawa akibat bank
akan memiliki dua (2) macam hak, yakni hak tagih yang
tergolong sebagai hak pribadi, kemudian didukung oleh hak
jaminan kebendaan yang dapat diandalkan akibat ciri-ciri
unggul yang melekat padanya. Ini mengandung makna bahwa
bank selaku kreditor pasti tidak akan tergolong sebagai
kreditor konkuren mengingat kreditor yang bersangkutan
tidak semata-mata menyandarkan diri pada jaminan umum
dalam Pasal 1131 BW, tetapi melengkapi diri dengan
perjanjian jaminan kebendaan selaku Perjanjian Tambahan
yang melahirkan hak jaminan kebendaan yang ujung-
ujungnya merupakan benteng baru demi mendapatkan
perlindungan yang lebih prima. Jelas benteng ganda yang
didapatkan oleh bank selaku kreditor, yakni berupa hak
jaminan kebendaan sebagai jaminan khusus beserta jaminan
umum dalam Pasal 1131 BW, tentu saja kedudukannya
menjadi lebih aman ketimbang kreditor konkuren yang
sekedar dibentengi oleh jaminan umum semata.
Perjanjian jaminan kebendaan sebagai modus
menyimpangi Pasal 1131 BW demi memperoleh jaminan
khusus berupa hak jaminan kebendaan yang tentunya bukan
dikuasai oleh Buku IIl BW tetapi masuk dalam ranah Buku
III BW, menyiratkan ilustrasi bahwa perjanjian jaminan
kebendan itu bukan tergolong sebagai Perjanjian Obligatoir,
tetapi bagai Perjanjian Kebendaan. Hanya saja harus di
cermati bahwa perjanjian jaminan kebendaan yang ter-
kwalifkasi sebagai perjanjian tambahan, eksistensinya baru
muncul kalau sudah ada perjanjian pokok yakni berupa
perjanjian kredit. Perjanjian jaminan kebendaan disebut
sebagai

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 106 | P a g e


perjanjian tambahan (accessoir), mengingat keberadannya
bergantung pada perjanjian pokok. Pada dasarnya, tanpa ada
perjanjian pokok tentu saja tak bakal ada perjanjian tamba-
han karena eksistensinya berhakekat tak mungkin bersifat
mandiri, meskipun hak yang dilahirkan justru mempunyai
ciri-ciri yang lebih ulung dari hak yang dilahirkan olch
perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Meski sekedar
Perjanjian tambahan, justru melahirkan hak yang Tangguh
timbang hak yang dilahirkan oleh perjanjian induknya. Hak
jaminan kebendaan sungguh-sungguh bersosok sebagai
pengawal handal bagi hak pribadi yang muncul dari
perjanjian kredit selaku komandannya. Sebagai pengawal,
hak jaminan kebendaan inilah yang akan tampil lebih dulu
untuk mengatasi dampak wanprestasinya debitor demi
mendapat-kan pelunasan yang bersifat mendahulu guna
menyelamatkan piutang yang lahir dari perjanjian kredit
selaku komandannya. Sosok perjanjian jaminan kebendaan
sebagaimana sudah dipaparkan di atas, kalau dibandingkan
dengan perjanjian jaminan perorangan dalam ujud Perjanjian
Penanggungan (borgtocht), yang diatur dalam Bab XVII
Buku Ill BW, adalah sangat berbeda. Perjanjian
Penanggungan karena terletak dalam Buku IIl BW, berarti
tergolong selain sebagai Perjanjian Bernama juga termasuk
Perjanjian Obligatoir, maka perjanjian tersebut akan
melahirkan perikatan sesuai Pasal 1233 BW. Akibatnya hak
yang lahir dari Perjanjian Penanggungan tergolong sama-
sama sebagai hak pribadi seperti apa yang dilahirkan oleh
perjanjian kredit. Hak pribadi yang dilahirkan dari Perjanjian
Penanggungan, karena taraf kekuatannya sama, layaknya
sekedar berperan selaku teman untuk mengiringi hak pribadi
yang muncul dari perjajian kredit.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 107 | P a g e


Perjanjian jaminan kebendaan yang melahirkan
perjanjinan kebendaan, dalam BW itu berujud gadai dan
hipotek, bila ditelisik terbukti mempunyai ciri-ciri yang
unggul karakter hak jaminan kebendaan dengan ciri-ciri
unggul akan lcbih gamblang lagi mana kala diperbandingkan
dengan ciri yang dipunyai oleh hak pribadi. Menyandingkan
kedua macam hak tersebut demi mendapatkan kejelasan
bahwa memang benar kiranya kalau apa yang diatur dalam
Buku II BW tak pernah dapat lepas dari apa yang ada dalam
Buku Ill BW sebagai suatu kesatuan utuh.

3. Perbandingan Ciri Pokok antara Hak Jam Kebendaan


dengan Hak Pribadi.
Perjanjian jaminan kebendaan yang obyeknya benda
dan benda yang secara khusus diikat dengan perjanjian
tersebut dinamakan agunan, merujuk pada aturan yang ada
dalam BW, ditemukan ada dua jenis lembaga jaminan ke
bendaan yakni gadai dan hipotek. Masyarakat saat mengguna
kan kedua lembaga jaminan kebendaan tersebut, akan
dikemas dalam suatu perjanjian jaminan kebendaan yang
dimaksudkan untuk dijadikan pilar penyangga perjanjian
pokok, yakni antara lain perjanjian kredit, sehingga mampu
mengangkat posisi kreditor memperoleh kedudukan yang
lebih baik. Perjanjian Jaminan Gadai obyeknya adalah benda
bergerak sebagaimana dapat disimak mulai Pasal 1150 BW.
Sedang Perjianjian Jaminan Hipotek, obyeknya adalah benda
tidak bergerak seperti yang ditetapkan oleh Pasal 1162 BW
Kedua macam lembaga jaminan kebendaan ini, gadai
hipotek, tak lain sebagai konsekwensi lanjut dari adanya
pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak dalam
BW. Sepeti diketahui jenis pembagian benda bergerak dan
tidak bergerak, merupakan penggolongan benda yang sangat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 108 | P a g e


penting didalam BW. Sehingga membawa akibat lanjut yang
lumayan Panjang dan rumit. Akibat lanjut dari pembagian
benda yang penting tersebut, antara lain dalam hal
pengjaminannya (Bezwaring), ternyata Lembaganya sudah
diasipkan secara pasti dan sistematis berujud gadai dan
hipotek.
Perjanjian jaminan kebendaan yang ditutup oleh para
pihak dalam rangka menjadi pengawal perjanjian pokok,
adalah tergolong sebagai perjanjian kebendaan yang tunduk
pada ranah Buku II BW. Pengertian inti dari perjanjian
Kebendaan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dengan tujuan untuk mencipta, mengubah ataupun
menghapus hak kebendaa. Dari titik ini dapat disimpulkan
bahwa perjanjian kebendaan tidak bakal melahirkan
perikatan, oleh karenanya tidak tunduk pada buku III BW.
Jadi perjanjian jaminan Gadai, juga perjanjian jaminan
hipotek, akan melahirkan hak kebendaan bercorak jaminan,
berupa hak gadai dan hak hipotek, tanpa melahirkan
perikatan.
Penggunaan Lembaga jaminan gadai dan hipotek
berperan sebagai pengawal piutang yang tergolong sebagai
hak pribadi. Sebagai pengawal tentunya harus memiliki
spesifikasi yang kuat dan Tangguh untuk sewaktu-waktu
menghadapi dampak ulah debitor yang cidera janji. Peran
pengawal harus mampu memberikan perlindungan yang
prima kepada piutang selaku komannya yang lahir dari
perjanjian pokok. Jati diri gadai dan hipotek, baru lahir kalua
sudah ada piutag yang terbentuk dari perjanjian kredit selaku
perjanjian pokok, dan sesuai hakekatnya mereka dilahirkan
adalah dalam rangka memberikan pengawalan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 109 | P a g e


pada induk semangnya. Gadai dan hipotek, sesuai perannya
maka ciri unggul harus dipunyai dan itu ditetapkan dalam
pasal-pasal yang mengaturnya.
Sesuai sejarah perkembangan Hukum Perdata di
Indonesia, khususnya Hukum Jaminan, selain lembaga
jaminan gadai dan hipotek yang diatur dalam Buku II BW,
pemerintah indonesia sedasar diterbitkannya UUPA, maka
untuk atas tanah dintrodusir UU Hak Tanggungan sebagai
Lembaga jaminan kebendaan yang baru. Berikutnya
pemerintah Indonesia juga menerbitkan UU Fiduisa. Dengan
perkembangan tersebut di Indonesia saat sekarang berlaku
empat (4) macamlembaga jaminan kebendaan yakni Gadai,
Hipotek, Hak Tanggungan, dan Jaminan Fidusia.
Perjanjian jaminan kebendaan yang berorientasi pada
Gadai, Hipotek, Hak Tanggungan, atau pun Fidusia, dengan
sendirinya melahirkan hak kebendaan yang akan diperguna-
kan untuk mengawal hak pribadi yang lahir dari perjanjian
pokok berupa perjanjian kredit. Hak Gadai, Hak Hipotek,
Hak Tanggungan, juga Hak Fidusia sebagai hak kebendaan
bercorak jaminan yang lahir dari perjanjian jaminan
kebendaan, berperan sebagai pendukung hak pribadi yang
kon-kritnya berujud hak tagih atau piutang, Dengan
memperoleh dukungan atau dilekati hak kebendaan, maka
piutang yang dimiliki oleh kreditor, dalam hal ini bank,
digolongkan sebagai piutang istimewa, dalam arti
pelunasannya harus lebih didahulukan dari pada kreditor
lainnya. Hal ini dapat ditelisik dari Pasal 1133 BW yang
intinya menegaskan bahwa hak untuk didahulukan diantara
para kreditor adalah yang terbit dari privilege, gadai, dan
hipotek. Sesuai perkembangan di Indonesia

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 110 | P a g e


kreditor yang piutangnya harus didahulukan pelunasannya
ditambah lagi dengan kreditor pemeganggungan dan kreditor
pemegang hak Jaminan Fidusia akibat diterbitkannya UU
Hak Tanggungan dan UU Fidusia oleh pemerintah Indonesia.
Mengingat pelunasan piutangnya harus didahulukan dari
kreditor lain, maka pata kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan tersebut pasti tidak tergolong sebagai kreditor
konkuren, karena mereka itu tidak harus berkonkurensi
memperebutkan hasil lelang harta debitor atas dasar Pasal
1131 BW demi mendapatkan pelunasan piutangnya. Peri hal
ini disebabkan para kreditor yang memiliki hak jaminan
kebendaan, kalau sampai debitornya wanprestasi, tentu saja
hanya berkonsentrasi pada hasil pelelangan benda tertentu
milik debitor yang sudah diikat secara khusus guna menjamin
sejumlah utang tertentu yang dananya dipasok oleh kreditor
pemilik hak jaminan kebendaan. Dikarenakan benda tertentu
itu sudah dikhususkan untuk menjamin utang tertentu,
mengakibatkan kreditor pemilik piutang atau tagihan yang
bersangkutan, harus diperlakukan secara khusus pula dalam
hal mendapatkan pelunasan piutangnya dari hasil lelang
benda tertentu milik debitor yang dijadikan agunan tersebut.
Mana kala dicermati dengan scksama, terbukti pasal
pasal yang terangkum dalam Buku II BW didominasi oleh
kentuan yang mengatur tentang hak kebendaan, di samping
ada ketentuan lain yang mengatur seluk beluk benda, pasal-
pasal yang mengatur tentang definisi benda, macam-macam
penggolongan benda, cara penyerahan (levering), cara
memperoleh hak milik benda, dan lain-lain ketentuan yang
paling banyak adalah yang mengatur seluk beluk hak
kebendaan, baik menyangkut jenis-jenis hak

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 111 | P a g e


kebendaan, ataupun ciri-ciri khas hak kebendaan dengan
segala konsekwensi yang ditimbulkannya.
Jenis-jenis hak kebendaan yang diatur dalam Buku II
BW antara lain Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna
Usaha, Hak Gadai, Hak Hipotek dan masih ada beberapa
yang lainnya. Tentang hak gadai dan hak hipotek adalah
tergolong sebagai hak kebendaan bercorak jaminan (hak
jaminan kebendaan), Selain itu dalam Buku II BW juga dapat
ditelusuri ciri-ciri dari hak jaminan kebendaan tersebut
dengan segala jenis konsckwensi lanjutnya yang cukup
rincidan rumit. Dikatakan rumit sebab ciri itu sering tidak
dikemukakan secara eksplisit, dan hanya dapat dipahami
dengan jalan melakukan analisa agar sampai pada sebuah
kesimpulan yang akurat sesuai hakekat hak kebendaan yang
sesungguhnya. Ciriciri yang terkandung dalam hak jaminan
kebendaan ternyata lebih menjurus pada pengertian asas atau
prinsip yang kemudian menjadi landasan pasal-pasal Buku II
BW yang kelanjutannya banyak memunculkan akibat
hukumlumayan panjang. Secara garis besar ciri yang
bernuansa asas dari hak jaminan kebendaan tersebut, baik
berujud gadai ataupun hipotek, antara lain dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1. Hak jaminan kebendaan itu bersifat mutlak: artinya hak
tersebut dapat ditegakkan terhadap siapapun, di mana hak itu
tidak hanya dapat ditegakkan pada pihak rekan seperjanjian
saja, tetapi juga kepada pihak ketiga yang bukan mitra
pembangun sepakat sekalipun. Ini jauh berbeda dengan hak
pribadi yang lahir dari kandungan Buku III BW sebagai
Perjanjian Obligatoir, adalah bersifat tidak mudak atau
bersifat relatif. Maknanya bahwa hak pribadi tersebut hanya
dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 112 | P a g e


dan yang dimaksud tertentu itu tidak lain adalah rekan
sekontraknya. Hak Pribadi tak dapat ditegakkan kepada pihak
ketiga yang nyata-nyata bukan mitra sekontrak. Itulah
sebabnya hak yang lahir dari Buku Ill BW disebut Hak
Pribadi karena hak yang dimaksud pada dasarnya memang
lahir dari perjanjian yang bersifat pribadi sebagaimana
dicanangkan oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW. Inilah suatu
akibat dari prinsip Privity of Contract, meng ingat sebuah
perjanjian yang dibuat oleh para pihak atas dasar sepakat, tak
lain untuk mengatur hak dan kewaijiban para kontraktan
semata yang tentunya tak bakal berlaku bagi pihak ketiga.
Sebuah Perjanjian Obligatoir yang dirakit oleh para pihak,
dapat dikatakan scbagai upaya membuat hukum sendiri atas
dasar sepakat bagi kepentingan mereka saja. Pihak ketiga
yang tidak ikut serta membuat perjanjian, sudah barang tentu
mereka itu tidak ber kepentingan untuk ikut campur yang
bukan urusannya.
Berbeda halnya dengan hak jaminan kebendaan yang
sudah sejak awal dipatok ciricirinya oleh penguasa lewat
undang-undang yang dibuatnya, sengaja dikemas untuk
mengikat semua orang setelah para pihak mendayaguna kan
hak jaminan kebendaan tersebut lewat perjanjian kebendaan
yang dirakitnya, yang selanjutnya harus mengikuti proses
ikutannya sesuai aturan. Hak yang lahir dari perjanjian
kebendaan, yaitu berujud hak jaminan kebendaan, maka hak
tersebut diberi ciri mutlak, sehingga pihak ketiga harus
menghormati hak jaminan kebendaan yang lahir itu sebagai
suatu kewajiban. Mana kala ada pihak ketiga yang tidak
menghormati hak jaminan kebendaan yang dilahirkan dari
perjanjian kebendaan yang dibuat oleh pihak-pihak tertentu,
berarti pihak ketiga

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 113 | P a g e


itu tak melakukan kewajibannyn schingga dianggap salah
sebagai akibatnya wajib memikul risiko, antara harus
membnyar ganti rugi, beaya, dan bunga.
2. Dalam hak jaminan kebendaan ada ciri droit de suite artinya
bahwa hak tersebut akan selalu mengikuti bendanya ke
manapun benda itu berada. Apa bila pada sebuah benda di
atasnya dilekati hak kebendaan bercorak jaminan, maka jenis
hak tersebut akan tetap menempel meski benda yang
bersangkutan jatuh dan dikuasai secara nyata oleh pihak lain.
Sebagai ilustrasi, kalau di atas benda didekati Hak Milik,
maka bila suatu saat benda yang bersangkutan tanpa
kehendak pemilik jatuh ke tangan pihak lain, prinsip droit de
suite itu membawa akibat munculnya Pasal 574 BW yang
mengatur Hak Revindika. Meski benda yang bersangkutan
nyata-nyata lepas dari kekuasaan pemilik dan itu tidak
dikehendakinya, lalu dikuasai secara nyata oleh pihak lain,
demi tegaknya prinsip droit de suite, pembentuk BW
mengusahakan agar supaya benda tersebut dapat kembali lagi
pada pemilik seperti sedia kala, maka dibuatkanlah senjata
yang prima bagi pemilik berupa Hak Revindikasi. Dengan
kata lain untuk merealisasikan prinsip droit de suite, oleh
pembentuk BW dicarikan kelengkapan aturan hukumnya
dengan mengintrodusir Hak Revindikasi. Jadi meski pihak
lain menguasai benda milik seseorang secara melawan
hukum, di atas benda yang dikuasainya itu masih melekat
Hak Milik yang dipunyai oleh pemilik yang sesunggul
sebagai perwujudan adanya prinsip droit de suite, pemilik
harus dilindungi yakni dengan membekalinya senjata Hak
Revindikasi.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 114 | P a g e


Paparan di atas kalau dikaitkan dengan hak jaminan
kebendaan yang melekat pada sesuatu benda, di mana hak
jaminan tersebut juga segolongan dengan Hak Milik bagai
hak kebendaan, prinsip droit de suite tetap berlaku meskipun
tanpa memiliki Hak Revindikasi mengingat pemegang hak
jaminan kebendaan bukanlah pemegang Misalnya hal ini
dapat disimak pada Pasal 1152 ayat 3 BW yang menuturkan
bahwa ~"hak gadai hapus, apa bila benda gadai keluar dari
kekuasaan si penerima gadai. Namun apabila benda itu hilang
dari tangan penerima gadai atau dicuri, maka berhaklah ia
menuntutnya kembali sebagaimana disebutkan dalam Pasal
1977 ayat kedua, sedangkan apabila benda gadai didapatnya
kembali, hak gadai dianggap tidak pernah hilang". Ini
menandakan bahwa penerima gadai atau kreditor dapat
menuntut Kembali benda gadai atas dasar Pasal 1152 ayat 3
BW di tangan siapapun benda itu berada, dan inilah cermin
asas droit de suite. Uraian ini secara implisit juga
menggambarkan bahwa di atas benda yang sama dapat
menumpuk lebih darisatu macam hak kebendaan. Suatu
benda gadai dilekati hak milik kepunyaan debitor, --sebab
saat digadaikan hak milik benda tetap ada pada debitor-,
karena dijaminkan maka di atasnya ada hak kebendaan
bercorak jaminan berupa hak gadai yang menindihnya
kepunyaan kreditot. Mengingat kedua-duanya adalah hak
kebendaan, dengan sendirinya sama-sama punya ciri droit de
suite.
Prinsip droit de suite dalam Pasal 1152 ayat 3 BW mana
kreditor dapat menarik kembali benda gadai dari sia papun,
mencerminkan pula sifat mutlaknya selaku hak kebendaan, di
mana hak gadai yang dimiliki kreditor dapat ditegakkan
terhadap siapapun

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 115 | P a g e


dalam hal ini adalah pihak ketiga yang sedang menguasai
benda gadai tanpa perkenan kreditor. Ilustrasi ini hal ini
adalah pihak ketiga yang sedang memberikan pemahaman
bahwa asas-asas hak kebendaan itu satu dengan yang lain
saling berpilin membentuk. kumparan kuat dan andal sebagai
karakter hak kebendaan.
Ciri droit de suite di atas tak dimiliki oleh hak pribadi
mengingat hak pribadi itu lahir dari perjanjian bersifat pribadi
sebagaimana diutarakan oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW.
Sebuah benda yang dijadikan obyek transaksi para pihak
berdasar perjanjian obligatoir, maka beluk benda tersebut
hanya berkutat pada kepentingan para kontraktan melulu, dan
pihak ketiga tidak punya sangkut paut.
3. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas prioritas, ada asas
bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu akan
diutamakan dari pada yang lahir kemudian. Ciri ini men-
cerminkan bahwa satu benda yang samna dapat dijaminkan
secara berulang, sehingga kreditor pemilik hak jaminan
kebendaan yang pertama, pelunasan piutangnya harus lebih
didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
kedua dan seterusnya. Penjenjangan posisi kreditor pemegang
hak jaminan kebendaan atas benda yang sama, menandakan
bahwa pada dasarnya satu benda dapat dijaminkan berulang-
ulang, dan masing-masing kreditornya memiliki posisi
berurutan sesuai tanggal kelahiran hak jaminan kebendaan
yang dimiliki. Asas prioritas ini pada hakekatnya tidak
dijumpai dalam hak pribadi, karena saat kelahiran sebuah hak
pribadi tak punya pengaruh atas kelahiran hak pribadi yang
lain Seluruh hak pribadi pada dasarnya memiliki kedudukan
yang sama tanpa perlu melihat tanggal kelahirannya.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 116 | P a g e


4. Dalam hak jaminan kebendaan ada asns prefensinya
maknanya bahwa kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
piutangnya harus dilunasi terlebih dahulu dari kreditor lain.
Arti kreditor lain di sini adalah para kreditor konkuren yang
tentunya hanya mengandalkan jaminan umum dalam Pasal
1131 BW. Berarti kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
posisi hukumnya lebih tinggi dari kreditor pengandal jaminan
umum dalam Pasal 1131 BW. oleh karena itu harus di
istimewakan dalam hal pelunas piutangnya. Posisi unggul
seperti itu mengakibat kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan digolongkan sebagai kreditor preferen.
Dalam dunia perbankan, sosok bank sebagai kreditor
preferen benar-benar menjadi ikon yang sangat dikenal
dengan luas, sampai-sampai dapat menenggelamka ciri-ciri
hak jaminan kebendaan lainnya untuk dikenali sebagai ikutan
yang sebenarnya tak mungkin terpisah-kan. Ini dapat
dipahami mengingat sosok selaku kreditor preferen itu
menyiratkan pentingnya peri hal pelunasan piutang yang
dimiliki oleh bank. Dalam usaha pokoknya, bank memang
relatif banyak berkutat dalam urusan penyaluran dana
pinjaman, sehingga bagai mana dana yang disalurkan sebagai
pinjaman tersebut, dapat terbayar kembali adalah sangat
penting.
Bila diperbandingkan, dalam hak pribadi tidak ada ciri
preferensi, sehingga kreditor pemegang hak pribadi hanya
berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang djamin dengan
keseluruhan harta debitor, dan jaminan dengan diperuntukkan
bagi seluruh kreditor. Karena jaminan itu diperuntukkan bagi
seluruh kreditor, ber-landas pada arti Pasal 1132 BW, para
kreditor tersebut

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 117 | P a g e


memiliki posisi yang sama, tidak ada salah satu kreditor yang
diberi kedudukan istimewa. Dengan posisi sebagai keditor
konkuren, guna menutup tagihannya, berarti yang
bersangkutan harus bersaing dengan sesama kreditor
yonkuren lainnya dalam rangka mempereburkan hasil lelang
seluruh harta debitor yang cidera janji, setelah kesemuanya
itu diproses sesuai aturan yang ada.
Persaingan dalam usaha mendapatkan pelunasan iutang
terhadap hasil lelang harta debitor atas dasar pasal 1131 BW,
potensial kreditor konkuren mungkin saja hanya memperoleh
sebagian tagihannya, dikarenakan jumlah utang debitor
ternyata jauh lebih besar dari hasil lelang. Terang saja posisi
sebagai kreditor konkuren itu sangat rawan. Inilah salah satu
konsekwensi kreditor konkuren yang hanya memiliki hak
pribadi, dan hanya dibentengi oleh jaminan umum dalam
Pasal 1131 jo. 1132 BW, sehingga piutangnya tidak
mempunyai sifat mendahulu dalam pelunasannya. Semua
piutang di-anggap sama kedudukannya tanpa ada yang
diutamakan.
Ciri preferensi pada hak jaminan kebendaan ini misalnya
dapat dilacak pada penuturan Pasal 1150 BW yang
menegaskan bahwa "gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang kreditor atas suatu benda bergerak yang kemudian
memberikan kekuasaan kepadanya untuk mengambil
pelunasan terlebih dahulu dari kreditor lain'". Hak mendahulu
dalam mengambil pelunasan piutang bagi kreditor pemegang
gadai, menandakan bahwa dalam lembaga jaminan gadai itu
melekat ciri preferensi. Ketentuan lain yang menyatakan
bahwa gadai sebagai hak jaminan kebendaan dilekati ciri
preferensi, bahwa pelunasan piutangnya harus didahulukan
dari kreditor

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 118 | P a g e


lain, terungkap jelas dalam Pasal 1133 BW yang menyatakan
"hal untuk didahulukan di antara para kreditor terbit dari
priwilege, gadai, dan hipotek.".
5. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas publisitas, artinya
bahwa hak kebendaan tersebut memerlukan suatu perbuatan
hukum khusuus yang wajib dilakukan sehinggan umum atau
masyarakat mengetahui keberadaan hak kebendaan yang
bersangkutan. Ini penting mengingat sentralnya kedudukan
hak kebendaan dalam ruang lingkup keperdataan, agar sejak
dini mula hak tersebut tak akan diganggu gugat oleh pihak
lain. Atau sebaliknya. kalau ada pihak ketiga yang juga
memiliki kepentingan kebendaan terhadap benda yang
bersangkutan, sesegera mungkin tahu untuk kemudian
mendapatkan kesem- patan mengajukan keberatan.
Perbuatan hukum khusus menyangkut asas publisitas,
memiliki tujuan sebagai sebuah pengumuman agar public
sebagai pihak ketiga mengetahui kehadiran hak kebendaan
berupa hak jaminan kebendaan yang dimaksud untuk
kemudian wajib menghormatinya. Hal ini dapat ditelisik
misalnya pada Pasal 1179 BW yang intinya menyatakan
bahwa "pembukuan segala ikatan hipotek harus dilakukan
dalam register umum yang khusus disediakan untuk
keperluan itu. Jikalau pem-bukuan tidak dilakukan, maka
hipotek tidak mempunyai kekuatan apapun". pernyataan
bahwa tidak adanya pembukuan maka hipotek tidak
mempunyai kekuatan apapun, mengandung makna bahwa
hak hipotek tersebut tidak akan mengikat pihak ketiga,
sehingga pelbagai ciri unggul hipotek sebagai hak jaminan
kebendaan, tidak akan diakui oleh khayalak luas.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 119 | P a g e


Hak hipotek agar dapat tercantum dalam register umum
memerlukan suatu perbuatan hukum khusu konkritnya berupa
pendaftaran pada instansi yang memlihara register umum
yang dimaksud. Kalau yang dibebani hak jaminan kebendaan
adalah tanah, maka wajib dilakukan pendaftaran ke Kantor
Pertanahan atau ke Badan Pertanahan Nasional. Tanpa ada
pendaftan maka hak hipotek tidak bakal lahir dan tak
didapatkan oleh kreditor (Pasal 1179 BW). Pendaftaran ke
dalam register umum merupakan model publikasi yang wajib
dilakukan, agar supaya masyarakat mengetahui adanya hak
jaminan kebendaan yang dipunyai oleh kreditor atas benda
tertentu milik debitor yang diikat dengan perjanjian jaminan
khusus.
Model membukukan hak hipotek ke dalam suatu register
umum ini tak lain merupakan pemenuhan asas publisitas
dengan sosok konkrit yakni dengan cara mendaftar. Beda
halnya kalau gadai, menempuh model pemenuhan asas
publisitas secara abstrak, bukan dengan didaftarkan dalam
register umum, tetapi mengambil pola inbezitstelling dengan
"mencabut benda gadai dari kekuasaan nyata debitor untuk
kemudian diserahkan dalam kekuasaan nyata kreditor atau
pihak ketiga yang disepakati". Perbuatan hukum berupa
mencabut benda dari kekuasaan nyata debitor, adalah
konkritisasi asas publisitas meskipun abstrak dan lagi ini
harus dilakukan supaya perjanjian jaminan gadai itu sah.
Tanpa ada pencabutan benda gadai dari kekuasaan nyata
debitot, berdampak perjanjian jaminan gadai yang dimaksud
batal demi hukum sebagai akibat tak dipenuhinya asas
publisicas kendati hanya bersifat abstrak. Demikian yang
ditegaskan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 120 | P a g e


oleh Pasal 1152 ayat 2 BW bahwa gadai menjadi tidak sah
kalau benda gadai tetap ada dalam kekuasaan nyata debitor
ataupun kalau benda gadai kembali kepada debitor atas
kemauan kreditor.
Asas publisitas membawa pengaruh penting terhadap
perjanjian jaminan kebendaan yang dibuat oleh debitor dan
kreditor. Pemenuhan asas publisitas mengakibatkan bahwa
perjanjian jaminan kebendaan tersebut tidak sekedar berlaku
dan mengikat para pihak saja, tetapi juga akan mengikat
pihak ketiga sehingga ada suatu kewajiban yang terpikul di
pundaknya yakni keharusan menghormati hak kebendaan
yang dimaksud. Meski pihak ketiga tidak ikut serta membuat
perjanjian, namun menjadi terikat karenanya oleh perjanjian
jaminan kebendaan yang sudah dipublisir. Ujud keterikatan
itu adalah bahwa pihak ketiga memikul kewajiban guna
menghormati hak jaminan kebendaan yang lahir dari
perjanjian jaminan kebendaan yang dibuat oleh debitor dan
kreditor. Bersikap tidak menghormati hak jaminan kebendaan
yang lahir, maka kepentingan pihak ketiga yang bergkutan
akan digilas habis oleh kreditor pemegang jaminan
kebendaan. Gambaran ini antara lain dapat disimak dalam
Pasal 1152 ayat 3 BW, di mana ketentuan ini sekalian juga
menyingkapkan asas terdahulu yakni droit de suit.
Asas publisitas ini menjadi penting agar supaya perjanjian
jaminan kebendaan yang dibuat oleh kreditor dan debitor,
juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga
kendati bukan merupakan pihak seperjanjian. Peri hal ini jauh
berbeda dengan perjanjian obligatoir yang pada dasarnya
tidak memerlukan asas

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 121 | P a g e


publisitas pihaknya saja akibat adanya prinsip privity of
cotract sebagaimana dituturkan oleh Pasal 1315 jo. 1340
BW.
Hak gadai dan hak hipotek (termasuk Hak Tanggungan
dan hak jaminan fidusia sebagai perkembangan lanjut di
Indonesia), adalah tergolong sebagai hak kebendaan. Ini
dapat dibuktikan misalnya untuk hipotek yang dengan tegas
dinyatakan sebagai hak kebendaan, terdeteksi antara lain
dalam Pasal 1162 BW dengan pernyataan bahwa "hipotek
adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak, untuk
mengambil penggantian pelunasan suatu perikatan". Hak
hipotek tergolong sebagai hak kebendaan, secara implisit
juga dapat dilacak misalnya dalam Pasal 1163 ayat 2 BW
yang mengutarakan bahwa "benda-benda itu tetap dibebani
hak hipotek tangan siapapun benda itu berpindah". Ketentuan
ini membersitkan adanya ciri droit de suite, sehingga
memberi bukti bahwa hak hipotek adalah hak kebendaan. Hal
senada juga dapat ditelusuri dari Pasal 1198 BW yang secara
garis besat menegaskan bahwa "kreditor pemegang hipotek
yang telah dibukukan, dapat menuntut haknya di tangan
siapapun benda tak bergerak yang diperikatkan berada". Ciri
droit de suite terpendam dalam Pasal BW yang dimaksud,
sehingga hak hipotek itu memang tergolong sebagai hak
kebendaan, mengingat ciri droit de suit itu hanya ada pada
hak kebendaan. Berdasar Pasal 1198BW itu pula terdeteksi
kalua hak hipotek baru diakui sebagai hak kebendaan mana
kala sudah dibukukan, dan ini tidak lain merupakan
pemenuhan persyaratan asas publisitas.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 122 | P a g e


Demikian pula menyingkap apakah gadai tergolong
sebagai hak kebendaan memang harus menelusuri pasal-pasal
yang kadang hanya menyatakan secara implisit. Misalnya
bahwa gadai adalah benar tergolong sebagai hak kebendaan,
dinyatakan secara terselubung oleh Pasal 1150 BW yang
menjejakkan penuturan bahwa "gadai adalah suatu hak yang
diperoleh kreditor atas suatu benda bergerak yang diserahkan
kepadanya oleh debitot, sehingga memberikan kekuasaan
bagi kreditor untuk mengambil pelunasan piutangnyaterlebih
dahulu dari kreditor lain". Dari ketentuan ini dikarenakan ada
hak mendahulu dari kreditor gadai atas pelunasan piutangnya,
berarti ada preferensi, maka gadai disimpulkan termasuk
sebagai hak kebendaan. Ini disebabkan asas preferensi itu
hanya ada dalam hak kebendaan. Hal senada yang
membuktikan bahwa gadai merupakan hak kebendaan juga
dapat ditelusuri secara implisit dari Pasal 1152 ayat 3 BW
yang intinya menyatakan bahwa "kreditor dapat menarik
kembali obyek gadai di tangan siapapun benda itu berada".
Sekali lagi sesungguhnya pasal tersebut menam pilkan asas
droit de suite sebagai salah satu ciri dari hak kebendaan.
Dikarenakan pernyataan itu ada dalam ketentuan yang
mengatur gadai, maka dapat disimpulkan bahwa gadai
tergolong sebagai hak kebendaan.
Ciri asas publisitas, tidak dimiliki oleh hak pribadi
dikarenakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak,
hanya berlaku sebatas para kontraktannya saja sesuai prinsip
privity of contract seperti yang dinyatakan oleh Pasal 1315
jo. 1340 BW. Pihak ketiga dianggap tak punya kepentingan
atas kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebab hal utama

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 123 | P a g e


yang dituju adalah masing-masing kewajiban para kontraktan
dipenuhi, sehingga dengan itulah hak masing-masing dapat
terealisasi tanpa perlu melibatkan pihak lain.
6. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas totaliteit. Artinya
bahwa hak jaminan kebendaan itu menindih keseluruhan
benda yang bersangkutan secara utuh, bukannya sebagian
demi sebagian. Pola tertindihnya benda secara keseluruhan
oleh hak jaminan, menjadi penting artinya kalau terjadi
eksekusi obyek jaminan akibat debitor wanprestasi. Akan
menjadi sulit pelaksanaan eksekusinya kalau hak jaminan itu
hanya meletak pada bagian tertentu saja, sedang bagian benda
yang lain tidak dilekati hak jaminan. Demikian juga untuk
kepentingan penjualan lelang, sebab peminat lelang tidak
akan tertarik untuk membelinya kalau hanya sebagian benda
saja yang dijual, sedang bagian lainnya ada dalam
kewenangan pihak ketiga.
7. Bahwa hak jaminan kebendaan dilekati sifat tidak dapat
dibagi-bagi (onsplitbaarheid), artinya dengan dilunasinya
sebagian utang oleh debitor, bukan berarti sebagian dari
benda yang dijaminkan itu menjadi terbebaskan karenanya.
Hal ini terpancar misalnya dari Pasal 1163 BW yang intinya
menyatakan bahwa "hak hipotek pada hakekatnya tidak dapat
dibagi-bagi dan terletak di atas seluruh benda tak bergerak
yang dikatkan secara utuh".Penegasan yang sama terpantul
juga secara eksplisit pada Pasal 1160 BW bahwa hak gadai
tidak dapat dibagi-bagi.
8. Dalam hak jaminan kebendaan ada asas spesialitas, artinya
suatu benda yang diikat dengan perjanjian jaminan
kebendaan, ciri-cirinya harus ditetapkan dengan tegas dan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 124 | P a g e


jelas. "It should be noted that a description of collateral is
necesary in a filed financing statement." 1 Peri hal ini amat
penting karena berkaitan dengan proses eksekusi berupa
pelelangan andai di belakang hari debitor wanprestasi. Benda
yang dijual lelang karena debitornya wanprestasi, jangan
sampai keliru mengena pada benda lain, lebih-lebih kalau
benda itu ternyata kepunyaan pihak ketiga.
Pentingnya penegasan ciriciri benda agunan dalam
perijanjian pembebanan dapat dilacak misalnya pada Pasal
1174 BW yang menuturkan bahwa "akta dalam mana
diletakkan hipotek harus memuat suatu penyebutan khusus
tentang benda yang dijadikan obyek jaminan. Baik tentang
jenis hak atas tanahnya, batas-batas dari persil yang
bersangkutan, tem pat letaknya, ataupun ukuran luasnya", In
certain instances where the collateral is related to realestate,
a description of real estate is also necessary."2 Lewat asas
publisitas, seluk beluk benda yang dibebani itu didaftar dalam
register yang sifatnya terbuka, sehingga pihak ketiga yang
berkepentingan dapat dengan mudah dan leluasa untuk
menyimaknya. Benda tidak bergerak berupa sebidang tanah,
pada dasarnya akan selalu berbatasan dan berhimpitan
dengan persil-persil di sampingnya, sehingga batas dan
ukurannya harus pasti, sementara nanti terjadi penjualan
lelang akibat debitor wanprestasi, tidak keliru obyeknya.
9. Hak jaminan kebendaan memberikan sistem eksekusi agunan
yang mudah. Apabila debitor wanprestasi, kreditor

1
Henry J. Bailey III, Richard B. Hagedorn, Secured Transactions In
A Nutshell, West Publishing Co., St Paul Minnesota, 1998, h.60.
2
Ibid., h.175

125 | P a g e
punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan
yang mudah, sederhana, serta cepat, dan itu antara dengan
menggunakan lembaga hukum parate eksekusi. Model ini
untuk mempermudah penjualan lelang obyek jaminan di
hadapan umum akibat debitor wanprestasi sehingga
pelunasan piutangnya kreditor relatif cepat, sederhana, dan
murah, karena tanpa perlu melalui proses gugat ginugat di
pengadilan ataupun proses peletakan sita jaminan. Inilah sita
eksekusi yang dipermudah dan tentunya sangat mendukung
perputaran roda bisnis yang memerlukan efisiensi. Ciri
parate eksekusi ini kalau dalam gadai dapat disimak dalam
Pasal 1155 BW yang intinya menuturkan bahwa "kalau tidak
ditentukan lain, bila debitor wanprestasi maka kreditor diberi
wewenang untuk menjual sendiri benda gadai di hadapan
umum guna mengambil pelunasan piutangnya". Hal senada
juga ditemukan dalam aturan hipotek Pasal 1178 ayat 2 BW
yang intinya menegaskan bahwa "apabila debitor
wanprestasi, maka kreditor atas kuasa debitor diberi
wewenang untuk menjual sendiri obyek hipotek di hadapan
umum guna mengambil pelunasan piutangnya".
Menyandingkan Pasal 1155 BW dengan Pasal 1178 ayat
2 BW, nampak perbedaan yang penting tentang aturan
lembaga parate eksekusi. Dalam hukum ada dalil yang
menyatakan bahwa yang wenang mengasingkan sebuah
benda, dengan sendirinya termasuk menjual, adalah pemilik.
Juga perlu dicermati dengan seksama, bahwa sebah benda
kalau sedang dijaminkan, maka hak benda yang bersangkutan
tetap ada pada debitor, sedang pihak kreditor hanya
mempunyai hak jaminan saja atas benda tersebut. Berarti
kreditor bukan pemilik benda

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 126 | P a g e


agunan, namun sekedar mempunyai hak jaminan kebendaan
saja. Oleh sebab itu meski debitor wanptrestasi pihak kreditor
tidak boleh secara serta merta menjual sendiri obyek jaminan,
kecuali ada dasar hukumnya. Landasan hukum kreditor gadai
wenang menjual benda gadaimeski bukan pemilik,
didasarkan pada parate eksekusi yang lahir dari
undangundang sebagaimana terletak pada Pasal 1155 BW.
Sebaliknya kreditor pemegang hak hipotek wenang menjual
sendiri obyek hipotek adalah didasarkan pada kuasa yang
diberikan oleh debitor selaku pemiliki pada saat dibuatnya
Perjanjian Jaminan Hipotek. Berarti barate eksekusi dalam
hipotek itu lahir dari perjanjian, bukan dari undang-undang
sebagaimana halnya gadai, dimana dalam praktek model ini
dikenal dengan istilah "kuasa menjual". Terlihat jelas bahwa
dengan adanya lembaga parate eksekusi tersebut, pihak
kreditor diper mudah bahkan nyaris sederhana untuk
mendapatkan pelunasan piutangnya saat debitor wanprestasi,
tanpa perlu melalui proses gugat ginugat di pengadilan.
Menyangkut parate eksekusi ini kalau ditelusuri, ternyata
embrionya dapat dijumpai dalam Pasal 1241 BW yang pada
intinya menyatakan bahwa "apabila debitor wanprestasi,
maka kreditor dapat melaksanakan sendiri prestasi yang
diinginkanatas kuasa debitor", Hakekat Pasal 1241 BW ini
juga menyiratkan sikap dari pembentuk undangundang yang
menentang adanya eigenrichting yang dianggap tak beradab,
sekali gus juga berkehendak untuk memenuhi tuntutan
efisiensi dunia bisnis.
Menyikapi keberadaan lembaga parate eksekusi
tergambar jelas betapa Hukum Jaminan memberikan tawaran
yang penuh nuansa efisiensi, sehingga pembayaran

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 127 | P a g e


suatu prestasi yang tidak dilakukan secara suka rela oleh
debitor, dapat direalisasikan sendiri oleh kreditor teralatif
mudah, sederhana, dan tidak banyak memakan biaya. Dengan
mendayagunakan aturan dalam Hukum Jaminan, betapa
nyaman dan sangat baik posisi kreditor pemegegang hak
jaminan kebendaan itu, sebab meskipun dilanda kecurangan
pihak debitor yang melakukan wanprestasi untuk
memperoleh pelunasan dana yang pernah dipinjamkan
ternyata sangat mudah dan sederhana lewat cara menjual
lelang obyek jaminan atas kekuasaan sendiri yang sudah
dikemas sedemikian rupa oleh penguasa.
Sesungguhnya hakekat parate eksekusi tak lain
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang
diberikan oleh penguasa kepada para pihak secara
proporsional. Kreditor yang didholimi oleh ulah debitor yang
cidera janji, memerlukan uluran bantuan agar dana yang
dipinjamkan dapat segera kembali tanpa keribetan yang
mencekik. Atas dasar itulah penguasa lalu menghadirkan
Pasal 1155 BW untuk bidang gadai, dan untuk hipotek
memfasilitasinya dengan menyediakan Pasal 1178 ayat 2
BW. Kedua pasal itu selain untuk memberikan perlindung
hukum kepada kreditor yang teraniaya akibat diciderai
janjinya, sekali gus juga untuk memberikan perlindungan
hukum kepada debitor, yakni lewat model penjualan yang
dilakukan di hadapan umum agar mendapatkan harga pasar
yang patut sesuai nilai yang sesungguhnya dari benda
miliknya yang dilelang. Perolehan hasil lelang benda
jaminan, pada dasarnya memberikan bukti obyektif bahwa
memang sejumlah itulah nilai konkrit agunan yang
bersangkutan yang tentunya berbeda dengan nilai taksiran
kreditor saat hendak menutup

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 128 | P a g e


besaran jumlah dana yang akan dipinjamkan. Nilai taksiran
benda yang akan diikat jaminan, adalah untuk kepentingan
kreditor demi menentukan jumlah dana yang patut untuk
disalurkan kepada debitor yang umumnya dalam kisaran 40-
60% dari besaran nilai taksasi. Dalam satu ketentuan ternyata
pembentuk BW mampu mengayunkan dayung perlindungan
hukum untuk kedua pihak, kreditor dan debitor yang
memiliki kepentingan berbeda. Sebuah rakitan ketentuan
undang-undang yang layak diapresiasi meskipun tahun
pembuatan BW sudah satu setengah abad lampau.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan terhadap Pasal
1155 BW dan Pasal 1178 ayat 2 BW, bahwa sesungguhnya
dalam Pasal 1155 BW ada parate eksekusi ex lege yang tak
lain merupakan ujud kuasa mutlak. Sedang pemberian kuasa
dari debitor kepada kred itor untuk menjual sendiri obyek
hipotek dihadapan umum bila terjadi wanprestasi
sebagaimana diatur Pasal 1178 ayat 2 BW, kuasa tersebut
sesuai kesepakatan tak dapat dicabut kembali dengan alasan
apapun, dan hal ini ditegaskan sebagai suatu penyimpangan
terhadap Pasal 1813 BW. Jelas kuasa ini tergolong sebagai
kuasa mutlak, dan itu sah saja mengingat Pasal 1813 BW
hanya berposisi sebagai ketentuan hokum yang bersifat
mengatur atau berkedudukan selaku regelend recht. Tanpa
mengemas kuasa mutlak seperti itu, justru kedudukan
kreditor pemegang hak jamninan kebendaan, akan menjadi
lemah.
Dalam hipotek, eksekusi agunan selain dengan meng
gunakan parate eksekusi, dapat juga ditempuh dengan sarana
grosse akta hipotek yang berdasar Pasal 224HIR memiliki
kekuatan eksekutorial, mengingat adanya irah-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 129 | P a g e


irah "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Berbekal grosse akta hipotek, layaknya pihak kreditor
itu memegang putusan pengadilan yang sudah memiliki
kekuatan hukum tetap kendati tak pernah bergulat dengan
proses gugat ginugat di pengadilan. Inilah buah model yang
dikemas oleh pembentuk undang-undang demi mewujudkan
efisiensi yang dituntut didunia bisnis yang selalu ingin
terbebaskan dari jeratan ekonomi beaya tinggi.
Sesuai perkembangan di Indonesia setelah lahirnya UU
Hak Tanggungan, pola grosse akta hipotek di atas tetap
dipertahankan dengan cara mengintrodusir "Sertifikat Hak
Tanggungan" yang menggunakan juga irah-irah sehingga
memiliki kekuatan eksekutorial. Tak terkecuali UU Hak
Tanggungan juga mengenal lembaga parate eksekusi,
sehingga dengan demikian saat debitor wanprestasi, pihak
kreditor yang akan melakukan eksekusi agunan tinggal
memilih dengan cara apa penjualan lelang itu dilaksanakan.
10. Dalam hak jaminan kebendaan memiliki aturan pemberian
perlindungan hukum yang proporsional kepada para pihak.
Baik kreditor ataupun debitor, oleh undang-undang diberikan
perlindungan hukum yang berimbang secara layak. Dalam
gadai misalnya, setelah kreditor diberi kemudahan untuk
mendapatkan pelunasan piutang secara mudah sesuai hakekat
Pasal 1155 BW, tentu saja merupakan ujud perlindungan
hukum bagi pihak kreditor yang menderita akibat diciderai
janjinyad debitor. Bahkan kalau Pasal 1155 BW ini dicermati
lebih seksama, di dalamnya juga terkandung perlindungan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 130 | P a g e


hukum bagi pihak debitor. Sebab penjualan lelang jualan di
hadapan umum, diasumsikan harga yang diperoleh benar-
capaian harga jual seperti itu tidak bakal merugikan debitor.
Pada sisi lain pihak debitor, meski sudah berbuat salah
yakni melakukan wanprestasi, perlindungan hukum tetap
diberikan kepadanya secara lebih mantap, antara lain lewat
Pasal 1154 BW yang menegaskan bahwa "apabila debitor
wanprestasi, maka kreditor tidak diperbolehkan untuk
memiliki sendiri obyek gadai secara otomatis, bahkan
diperjanjikan sejak awalpun adalah batal demi hukum".
Membandingkan kehadiran Pasal 1154 dan 1155 BW saja
sudah nampak adanya perimbangan yang proporsional dalam
pemberian perlindungan hokum kepada para pihak -kreditor
dan debitor yang dikemas oleh penguasa melalui undang-
undang yang dibuatnya. Keberadaan aturan semacam ini
menandakan bahwa bagaimanapun diusahakan kedudukan
hukum para pihak itu dianggap sederajad, sehingga perakitan
hak dan kewajibannya harus dikemas dalam peraturan
perundangan secara berimbang pula. Pola hukum seperti ini
membiaskan makna bahwa para pelaku bisnis hendaknya
wajib menegakkan etika sesuai proporsinya, dan jangan
sampai ada kesan satu pihak mengeksploitasi pihak lain
meskipun sedang memiliki kekuatan sosial ekonomis yang
lebih besar.
Pada dasarnya persoalan perlindungan hukum itu kalau
ditinjau dari sumbernya dapat dibedakan menjadi dua (2)
macam yakni perlindungan hukum eksternal perlindungan
hukum internal. Hakekat perlindungan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 131 | P a g e


hukum internal, pada dasarnya perlindungan hokum
dimaksud dikemas sendiri oleh para pihak pada saat membuat
perjanjian, di mana pada waktu mengemas klausula-klausula
kontrak, kedua belah pihak menginginkan agar
kepentingannya terakomodir atas dasar kata sepakat.
Demikian juga segala jenis risiko diusahakan dapat ditangkal
lewat pemberkasan klausula-klausula yang dikemas atas
dasar sepakat pula, sehingga dengan klausula itu para pihak
akan memperoleh perlindungan hokum berimbang atas
persetujuan mereka bersama. Peri hal perlindungan hukum
internal seperti itu baru dapat diwujudkan oleh para pihak,
mana kala kedudukan hokum mereka relatif sederajad dalam
arti para pihak mempunyai bargaining power yang relatif
berimbang, sehingga atas dasar asas kebebasan berkontrak
masing-masing rekan seperjanjian itu mempunyai
keleluasaan untuk menyatakan kehendak sesuai
kepentingannya. Pola ini dijadikan landasan pada waktu para
pithak merakit klausula-klausula perjanjian yang sedang
digarapnya, sehingga perlindungan hukum dari masing-
masing pihak dapat terwujud secara lugas atas inisiatif
mereka.
Akan menjadi sebaliknya apa bila kedudukan para pihak
sejak awal sudah tidak berimbang, di mana salah satu
memiliki bargaining power yang relatif lebih lemah kalau
dibanding dengan mitranya, tentu saja akan timbul kendala.
Sebab bagaimanapun pihak yang memiliki posisi sosisal
ekonomi dan teknis lebih unggul, akan menggunkan
kelebihan tersebut untuk meraih tempat yang lebih
menguntungkan dengan sedikit banyak, pasti mendesak
kesempatan rekan seperjanjiannya. Fakta ini menjadi lebih
mengedepan kalau perjanjian itu rancangannya

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 132 | P a g e


sudah dari awal dipersiapkan oleh pihak yang lebih kuat
secara baku, tanpa ada kemungkinan melakukan penawaran
guna mengubah terlaksananya perlindungan kepentingan
pihak lain. Pembentukan perjanjian baku ini mengakibatkan
upaya perlindungan hukum secara internal menjadi langka,
akibat dipasungnya asas kebe-basan berkontrak oleh pihak
yang kuat lewat klausula-kalusula yang sejak awal memang
dikemas dalam rangka lebih menekankan perlindungan
kepentingan perancang kontrak baku. Pada sisi pihak yang
lemah, misalnya dalam perjanjian kredit, kebanyakan
menjadi tak berdaya saat dihadapkan pada kontrak baku
kalau memang mengingin-kan suatu dana pinjaman yang
dibutuhkannya. Meminta kucuran dana pinjaman, secara
harfiah sudah menunjuk-kan kalau posisi calon debitor ini
berada di bawah, dan berbeda dengan pihak bank selaku
kreditor yang memberi dana pinjaman, sudah barang tentu
menduduki posisi di atas yang kemudian dimanfaatkan untuk
menyodorkan persyaratan-persyaratan sesuai kepentingannya
sendiri. Tanpa dapat mengelak akibat didesak kebutuhan
akan dana, menjadikan calon debitor menyetujui apa yang
termuat dalam kontrak baku yang dirancang sejak awal oleh
bank.
Dalam banyak peristiwa sering terjadi, khususnyadalam
consumer contract pada umumnya kedudukankonsumen
relatif lemah kalau dibanding dengan posisipelaku usaha,
baik dari segi ekonomi, sosial, ataupunteknis. Tak menutup
kemungkinan pihak yang kuat akanmempergunakan
kelebihannya itu untuk menekan pihakyang lemah dengan
mengajukan beberapa persyaratanyang memberatkan
konsumen, dan pada sisi lain

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 133 | P a g e


mengibaskan banyak kewajiban yang mestinya dipikul
oleh pelaku usaha. Di sinilah orang sering menyatakan
bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaaan demi
memperoleh keuntungan yang tidak senonoh." A
contract is said to have been entered into as a result of
undue influence where barty exercised such domination
over the main and will of the other that his consent was
vitiated ".3
Ekses kontrak baku, memang tak mungkin dibiarkan
tanpa kendali, agar masyarakat tidak menderita kerugian
secara berkepanjangan. Untuk itu hanya pihak
pemerintah yang dapat turun tangan guna memberikan
perlindungan hukum bagi pihak yang lemah supaya tidak
terus menerus dieksploitasi oleh yang kuat, antara lain
lewat regulasi. Inilah ujud dari perlindungan hokum
eksternal untuk memayungi pihak yang lemah,
mengingat dari dirinya semata-mata tidak mungkin dapat
diharap dapat mencipta sendiri perlindungan hukum
lewat perjanjian. Dalam ketentuan gadai upaya
pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum
kepada pencari pinjaman dana yang kedudukannya
relatif lemah karena berposisi di bawah sebagai
konsekwensi orang yang sedang meminta, antara lain
nampak dalam Pasal 1154 BW yang intinya menyatakan
bahwa "secara otomatis kreditor tidak diperbolehkan
memiliki sendiri obyek gadai akibat debitor wanprestasi,
diperjanjikan sejak awalpun adalah batal”. Jadi saat
dibuatnya perjanjian jaminan gadai, atas dasar posisi
kreditor yang relatif kuat, tidak diperbolehkan
menyodorkan persyaratan bahwa dengan tak dilunasinya

3
Walter Woon, Basic Business Law In Singapore, Prentice Hall,
Singore, 1995, h.41.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 134 | P a g e


utang oleh debitor, maka obyek gadai otomatis menjadi
milik kreditor. Larangan ini tak lain tujuannya untuk
melindungi debitor yang sedang didesak kebutuhan dana,
jangan sampai dijadikan peluang oleh kreditor untuk
menekan pihak yang sedang terhimpit keperluan
memperoleh uang pinjaman. Lagi pula saat kreditor
setuju memberikan uang pinjaman yang diperlukan oleh
debitor, jumlah dana yang dikucurkan pasti lebih rendah
dari nilai benda yang akan dijadikan obyek gadai. Jadi
kalau boleh diperjanjikan bahwa kreditor langsung
memiliki sendiri obyek gadai bila debitor wanprestasi,
maka pihak kreditor akan memperoleh keuntungan yang
tak layak, mengingat jumlah pinjaman yang diberikan
sebagai piutangnya, jauh di bawah nilai jual benda gadai
di pasaran. Untuk menghindari kemungkinan pemerasan
posisi debitor yang lemah tersebut, lalu oleh penguasa
dihadirkan Pasal 1154 BW. Ini mengandung makna
hahwa penguasa lewat aturan perundangan yang
dibuatnya, sedini mungkin menyediakan payung
perlindungan hukum bagi pihak yang lemah, agar tidak
dieksploitasi oleh pihak yang memiliki kekuatan lebih
besar. Inilah perlindungan hukum eksternal yang
umumnya sengaja dicipta olch penguasa, agar supaya
dalih penggunaan asas kebebasan berkontrak tidak
disalahgunakan secara sewenangwenang dalam kegiatan
bisnis oleh pihak yang relatif lebih kuat posisi
hukumnya.
Perlindungan hukum eksternal yang dibuat oleh
penguasa lewat regulasi bagi kepentingan pihak yang
lemah, sesuai hakekat aturan perundangan yang tidak
boleh berat sebelah dan bersifat memihak, secara
proporsional juga wajib diberikan perlindungan hukum

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 135 | P a g e


yang seimbang sedini mungkin kepada pihak lainnya.
Sebab mungkin saja pada awal dibuatnya perjanjian, ada
suatu pihak yang relatif lebih kuat dari pihak mitranya,
tetapi dalam pelaksanaan perjanjian pihak yang semula
kuat itu, terjerumus justru menjadi pihak yang teraniaya,
yakni misalnya saat debitor wanprestasi, maka kreditor
selayak-nya perlu diberi perlindungan hukum juga.
Pentingnya perlindungan hukum bagi kreditor saat
debitor wanprestasi, antara lain dengan dibuatnya Fasal
1155 BW, dimana kreditor diberi wewenang untuk
menjual sendiri di-hadapan umum obyek gadai,
meskipun yang bersangkutan bukan pemilik. Inilah jenis
parate eksekusi yang lahir dari undang-undang yang
sengaja dikemas oleh penguasa, dengan asumsi kendati
kreditor gadai bukan pemilik benda, demi undang-
undang diberi wewenang layaknya pemilik untuk
menjual benda gadai di hadapan umum. Hasil pelelangan
yang pelaksanaannya relatif mudah dan sederhana,
dipergunakan untuk melunasi piutang kreditor gadai
secara mendahulu. Sosok perlindungan hukum bagi
kreditor yang teraniaya akibat debitor cidera janji sebagai
mana tertuang dalam Pasal 1155 BW ini, menandakan
bahwa kepedulian penguasa untuk memberikan
perlindungan hukum kepada semua pihak itu dilakukan
secara berimbang dan layak. Bahkan kalau dicermati
lebih dalam, perlindungan hukum yang ada pada Pasal
1155 BW tersebut tak sekedar diberikan kepada pihak
kreditor semata, tetapi secara tidak langsung juga
memberikanperlindungan hukum kepada debitor selaku
pemilik benda. Ketentuan bahwa obyek gadai dijual di
hadapan umum seperti yang tertera dalam Pasal 1155
BW, antara lain dengan tujuan agar diperoleh harga pasar

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 136 | P a g e


yang obyektif, dan ini merupakan nilai riil benda gadai
yang diharapkan dapat menutup lunas utang debitor.
Bahkan andai hasil lelang setelah dikurangi piutang
kreditor, masih ada sisa, maka kelebihan tersebut harus
diserahkan kepada debitor selaku pemilik benda. Model
penjualan di hadapan umum seperti ini, jelas untuk
menangkal adanya kecurangan yang potensial dapat
dilakukan oleh sesuatu pihak yang beritikad tidak baik.
Dalam satu pasal, ternyata dapat direngkuh dua macam
perlindungan hukum yang diperuntukkan bagi para pihak
secara serempak.
Kemasan aturan perundangan sebagaimana paparan
di atas, tergambar betapa rinci dan adilnya penguasa itu
memberikan perlindungan hukum kepada para pihak
secara proporsional. Menerbitkan aturan hukum dengan
model seperti itu, tentu saja bukan tugas yang gampang
bagi pemerintah yang selalu berusaha secara optimal
untuk melindungi rakyatnya, dan menghindari sedini
mungkin bahkan kalau mampu menutup semua celah
yang dapat dijadikan peluang untuk melakukan
eksploitasi oleh sesama anggota masyarakat.
11. Dalam hak jaminan kebendaan ada hak retensi. Demi
mendapatkan pelunasan piutang secara tuntas, kreditor
diberi wewenang untuk tetap menahan benda jaminan
sampai dengan piutang yang bertalian dengan benda
yang bersangkutan dilunasi. Hal ini sebagai contoh dapat
dirujuk pada Pasal 1159 BW yang intinya menegaskan
bahwa "debitor tidak wenang menuntut pengembalia
benda gadai, sebelum melunasi utang pokok, bunga, dan
beaya". Jadi kreditor punya kewenangan untuk menahan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 137 | P a g e


obyek gadai sampai dengan debitor membayar lunas
utang pokok, bunga, dan beaya. Inilah salah satu
keutamaan yang melekat pada hak jaminan kebendaan
yang dimiliki oleh pihak kreditor gadai. Tetapi hak
kreditor untuk menahan benda gadai sampai dengan
utang pokok, bunga, dan beaya-beaya dilunasi, ada yang
beranggapan itu merupakan salah satu bentuk hak
jaminan kebendaan dan bukan hak retensi. Peri hal ini
memang perlu kajian tersendiri untuk mendapatkan sudut
pandang obyektif dengan dasar argumentasi yang
proporsional.
Hanya saja hak retensi yang terselip dalam Pasal
1159 BW ini dirasakan agak berlebihan sehingga
mengundang debat banyak pihak yang lebih seru, karena
hak untuk menahan benda gadai oleh kreditor tetap
diperkenankan untuk jenis utang kedua yang tidak secara
terangterangan dilengkapi dengan perjanjian jaminan
gadai sekalipun. Meski tayangan pada layar Pasal 1159
BW ini menyisakan problematika yang sarat debat,
kiranya tetap dapat dipetik pemahaman, bagaimanapun
kewenangan yang didasarkan pada hak jaminan gadai,
harus diakui lumayan tangguh demi memperoleh
pelunasan piutang kreditor sampai tuntas secara layak.
Mutatis mutandis, ketangguhan tersebut juga melekat
pada hak-hak jaminan kebendaan lain-lainnya tanpa
kecuali.
12. Hak jaminan kebendaan timbul setelah ada perjanjian
jaminan kebendaan yang keberadaannya didahului dan
bergantung pada perjanjian pokok. Baik perjanjian
jaminan gadai ataupun perjanjian jaminan hipotek, secara
sadar harus dibuat oleh para pihak setelah terlebih dahulu
diawali dengan dibuatnya perjanjian pokok. Tanpa ada

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 138 | P a g e


perjanjian jaminan kebendaan, maka hak jaminan
kebendaan, bak gadai ataupun hipotek, tidak bakal ada,
dan eksistensi perjanjian jaminan kebendaan yang
dimaksud juga harus diawali terlebih dahulu dengan
dibuatnya perjanjian pokok. Inilah sebabnya posisi
perjanjian jaminan kebendaan itu tergolong sebagai
perjanjian tambahan. Walau hanya secara implisit,
bahwa perjanjian jaminan gadai sekedar sebagai
perjanjian tambahan, hal ini antara lain dapat disimak
dari Pasal 1151 BW yang intinya menyatakan bahwa "
perjanjian jaminan gadai hanya dapat dibuktikan dengan
segala alat bukti yang diperbolehkan bagi perjanjian
pokoknya". Jelaslah kiranya bahwa gadai itu hanya
tercipta lewat adanya suatu perjanjian, dan perjanjian
inipun tidak berdiri sendiri tetapi eksistensinya
digantungkan pada keberadaan perjanjian pokoknya
berupa perjanjian utang piutang (perjanjian kredit).
13. Pada dasarnya pemberi hak jaminan kebendaan hanyalah
pemilik benda. Seperti sudah dipaparkan bahwa
perjanjian jaminan kebendaan itu dibuat oleh dua (2)
pihak yaitu pihak pemberi hak jaminan kebendaan dan
pihak penerima hak jaminan kebendaan. Pihak pemberi
hak jaminan kebendaan pada dasarnya adalah pemilik
benda. Berlandas dari diagram ini muncul prinsip bahwa
yang wenang menjaminkan sebuah benda hanyalah
pemilik. Ini dengan prediksi bahwa menjaminkan bisa
jadi merupakan langkah awal mengasingkan benda, pada
hal kewenangan untuk mengasingkan benda, dalam hal
ini menjual, hanyalah pemilik.
llustrasi ini beranjak dari suatu kemungkinan yang
potensial dapat terjadi, bahwa pemilik benda yang ber-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 139 | P a g e


posisi sebagai debitor, bila tak mampu melunasi
utangnya, maka benda yang diagunkan itu akan dijual
lelang, dan yang wenang menjual adalah debitor selaku
pemilik yang dalam awal proses, kemudian dikemas
lewat pemberi kuasa mutlak kepada kreditor untuk
menjual di hadapan umum.
Bahwa yang wenang menjaminkan sebuah benda
adalah pemilik, ini dapat dilacak antara lain dalam Pasal
1168 BW yang menuturkan bahwa "hipotek tidak dapat
diletakkan selain oleh pihak yang berkuasa
mengasingkan benda". Pada hal pihak yang berkuasa
atau wenang mengasingkan sebuah benda hanyalah
pemilik. Dari ilustrasi ini nampak bahwa pihak pemberi
hak jaminan kebendaan tak lain hanyalah pemilik.
Namun kalau obyek penjaminan tersebut berkait dengan
benda bergerak, berarti akan menggunakan lembaga
gadai, secara implisit dari kehadiran Pasal 1977 BW juga
dapat ditimba pemahaman, bahwa yang wenang
menggadaikan adalah pemilik. Ini disebabkan dari
makna Pasal 1977 BW yang menyatakan bahwa barang
siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai
pemilik, dan akibatnya ketentuan ini membawa
konsekwensi hadirnya Pasal 1152 ayat 4 BW dengan isi
pokok bahwa "tidak wenangnya pemberi gadai(debitor),
tak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditor".
Sesuai hakekat Pasal 1977 BW kalau sesuatu pihak
secara nyata menguasai sebuah benda bergerak, maka
yang bersangkutan dianggap sebagai pemilik. Kalau
kemudian benda bergerak itu dijaminkan, pihak kreditor
tentu saja akan berasumsi bahwa yang bersangkutan
memang dianggap pemilik sehingga wenang
menggadaikan. Anggapan ini mengakibatkan bahwa
kreditor menjadi tak harus

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 140 | P a g e


Bertanggung jawab bila ternyata pemberi gadai (debitor)
tidak mempunyai kewenangan menjaminkan (lihat Pasal
1152 ayat 4 BW), mengingat yang bersangkutan
menguasai secara nyata benda tersebut.
Eksistensi Pasal 1977 BW yang sedemikian sentral
posisinya, memiliki pengaruh yang luas sampai
menjangkau pula lapangan Hukum Jaminan, dalam hal
ini bidang gadai, sehingga menimbulkan karakter pola
inbezitstelling yang mempersyaratkan bahwa benda
gadai harus dilepas dari kekuasaan nyata debitor untuk
kemudian diserahkan ke dalam kekuasaan nyata kreditor
atau pihak ketiga yang disepakati. Pola inbezitstelling ini
tak lain merupakan cermin pemenuhan azas publisitas
yang wajib melekat pada lembaga gadai agar tetap dapat
memenuhi ciri sebagai hak kebendaan. Lagi pula
pencabutan secara nyata benda gadai dari kekuasaan
nyata debitor selaku pemilik, adalah untuk menghindari
pengasingan benda gadai oleh debitor, mengingat benda
bergerak sebagai obyek gadai itu tingkat mobilitasnya
relatif cepat dan mudah. Jelas ini berbeda dengan asas
publisitas pada hipotek yang dilakukan dengan cara
pendaftaran dalam suatu register umum, sehingga benda
obyek hipotek tetap dibiarkan dalam penguasaan nyata
debitor tanpa perlu adanya kekhawatiran pengasingan
benda tersebut oleh debitor selaku pemilik.
Paparan di atas menandaskan, baik secara eksplisit
sedasar Pasal 1168 BW, ataupun secara implisit dari
Pasal 1977 BW, terpampang prinsip bahwa yang wenang
menjaminkan sebuah benda hanyalah pemilik, dan
perihal hal ini merupakan akibat lanjut hadirnya adagium
hukum bahwa yang wenang mengasingkan benda adalah
pemilik.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 141 | P a g e


Adagium inipun memang sejalan dengan pengertian hak
milik sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 570 BW
bahwasanya pemilik itu mempunyai hak untuk
menikmati sebuah benda dengan penuh dan bebas,
sehingga pemegang hak milik dengan kebebasan tersebut
menjadi wenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
hukum sesuai kehendaknya sepanjang tidak melanggar
hak orang lain ataupun bertentangan dengan undang-
undang. Adapun keleluasaan untuk melakukan segala
jenis perbuatan hukum tersebut dapat berupa perbuatan
hukum menjual, menghibahkan, menukarkan dengan
benda lain, ataupun perbuatan hukum berupa
menjaminkan benda yang bersangkutan demi
mendapatkan pinjaman dana dari pihak kreditor.
14. Hak jaminan kebendaan itu untuk pelunasan piutang
bukan hak untuk memiliki. Seperti umum terjadi dalam
kehisupan sosial, setiap orang tidak ingin kehilangan hak
milik atas benda yang dipunyainya, sedapat mungkin
akan dipertahankan hak milik tersebut mengingat benda
yang bersangkutan digunakan untuk menopang dan
melengkapi hidupnya. Bahkan apabila suatu saat
seseorang itu membutuhkan dana, lalu disarankan
menjual salah satu benda miliknya, pada umumnya
keberatan kalau memang masih ada alternatif lain.
Terbukti alternatif yang jadi pilihan adalah dengan cara
meminjam atau berhutang. Mendapatkan dana pinjaman,
pada masa sekarang relatif mudah dilakukan yakni
dengan mengajukan permohonan kredit pada bank. Dari
sisi bank yang memang pekerjaan utamanya adalah
menyalurkan dana pinjaman, berdasar prinsip kehati-
hatian, pihak bank akan meminta agunan. Kalau benda
kepunyaannya hanya sekedar

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 142 | P a g e


dijadikan jaminan yang tidak menghilangkan ke-
pemilikannya, pihak yang akan berhutang tersebut tidak
keberatan. Sebab kalau utang itu mampu dilunasinya,
benda miliknya tersebut akan terbebaskan dari himpitan
hak jaminan milik bank selaku kreditor. Jadi selama
benda dijadikan agunan, hak miliknya tetap ada pada
debitor, dan penjaminan itu hanya sekedar untuk
membentengi pinjaman bank andai debitor wanprestasi
tak membayar utangnya. Dari gatra inilah dapat
dipahami, bahwasanya agunan itu fungsinya untuk
mendapatkan pelunasan piutang bank selaku kreditor,
mana kala debitor tak membayar utangnya. Oleh sebab
itu apabila debitor wanprestasi, tidak serta merta agunan
dapat dimiliki sendiri oleh kreditor, bahkan diperjanjikan
sejak awalpun batal demi hukum. Sosok hak jaminan
kebendaan hanya berfungsi sebagai hak untuk
mendapatkan pelunasan piutang dan bukan hak untuk
memiliki sendiri agunan secara otomatis oleh kreditor
bila debitor wanprestasi, aturannya dapat dilacak antara
lain pada Pasal 1154 BW juga Pasal 1178 BW.
15. Hak jaminan kebendaan dapat diletakkan secara
berganda untuk obyek yang sama. Pada dasarnya sebuah
benda itu dapat dijaminkan ulang (kekecualiannya
fidusia yang masih memerlukan kajian khusus). Seperti
sudah berulang-ulang disinggung, bahwasanya benda itu
punya nilai ekonomis, dan sosok manusia sebagai homo
economicus, mengakibatkan urusan nilai ekonomis suatu
benda akan dipertaruhkan dalam berbagai jenis transaksi,
tak terkecuali dalam bidang penjaminannya. Apabila
senyatanya nilai ekonomis suatu benda yang sudah
dibebani dengan hak jaminan, masih memungkinkan
untuk dilakukan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 143 | P a g e


pengulangan penjaminannya, tentu saja hal ini harus
difasilitasi. Berdasar alasan itulah maka pembentuk
undang-undang menghadirkan Pasal 1152 ayat 1 BW dan
Pasal 1181 BW. Kedua pasal tersebut memang tidak
secara eksplisit menyebutkan penjaminan ulang suatu
benda, hanya secara implisit bahwa satu benda itu dapat
dijaminkan lebih dari satu kali sesuai hitungan nilai
ekonomisnya.
Demikianlah secara garis besar ciri-ciri dari hak
jaminan kebendaan, yang kesemuanya itu dapat
terdeteksi melalui pasal-pasal yang mengatur gadai dan
hipotek. Paparan ciri hak jaminan kebendaan yang
tergolong sebagai hak kebendaan tersebut kalau
disandingkan dengan hak pribadi amat sangat mencolok
perbedaannya, sehingga dapat disimpulkan betapa
kuatnya hak kebendaan ketimbang hak pibadi. Oleh
sebab itu menjadi wajar kalau hak jaminan kebendaan ini
kemudian dipergunakan sebagai pengawal atau
pendukung dari hak pribadi, sehingga mampu
mengangkat kedudukan kreditor yang semula hanya
berposisi sebagai kreditor konkuren menjadi meningkat
kelasnya sebagai kreditor preferen. Hak tagih atau
piutang yang semula hanya bertaraf selaku piutang biasa,
akibat dukungan hak jaminan kebendaan terangkat
menduduki posisi selaku piutang istimewa, dalam arti
pelunasannya harus lebih didahulukan dari kreditor lain.
Gambaran ini dapat disimak dari Pasal 1133 BW yang
intinya menuturkan bahwa piutang-piutang istimewa
adalah privilage, gadai, dan hipotek. Sesuai
perkembangan di Indonesia, piutang istimewa yang ada
dalam Pasal 1133 BW itu perlu ditambah dengan hak
tanggungan dan hak jaminan fidusia sebagai hasil
dibuatnya lembaga jaminan kebendaan baru yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 144 | P a g e


diterbitkan oleh pemerintah Indonesia.
Mana kala dicermati dengan seksaman, ciri-ciri hak
kebendaan yang bercorak jaminan, memang lebih variatif
dari pada hak kebendaan yang bercorak menikmati
sebagai porosnya. Tak lain ini disebabkan oleh kian
berakumulasinya benda sebagai obyek transisi dalam
struktur masyarakat modern yang semakin inovatif. Hak
milik sebagai salah satu jenis hak kebendaan yang
mempunyai ciri-ciri unggul, sebagai titik porosnya
terbukti mampu melipatgandakan varian-varian kegiatan
bisnis baru yang munkin saja akan terus bergulir, dan
tidak berhenti pada bidak penjaminannya saja. Bidak-
bidak lain masih tersedia untuk dijelajahi oleh hak milik
yang akan menciptakan perputaran roda bisnis lebih
variatif lagi.
Sedasar dengan paparan karakter hak jaminan
kebendaan sebagaimana terurai di atas, ternyata dalam
kehidupan konkrit tidak selalu ciri unggul hak jaminan
kebendaan itu mencuat lalu menarik perhatian khalayak
ramai, justru hanya beberapa ciri utama saja yang di
dalam praktek perbankan disimak dan diperhatikan
secara seksama. Adapun ciri hak jaminan kebendaan
yang meononjol dan diperhatikan antara lain karakter
preferensi, droit de suite, asas prioritas, dan adanya sifat
mutlaknya yang dapat ditegakkan kepada siapapun.
Menyangkut prosedur demi lahirnya hak jaminan
kebendaan, asas publisitas juga selalu diperhatikan oleh
banyak pihak, agar sifat mutlaknya hak jaminan
kebendaan tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
Lebih khusus lagi di dunia perbankan ciri preferensi
sudah menjadi ikon yang dominan bagi hak jaminan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 145 | P a g e


kebendaan, sehingga umum sangat hafal dan menjadi
mengerti kenapa posisi bank disebut sebagai kreditor
preferen.
Kendati menyandingkan ciri-ciri hak kebendaan
dengan hak pribadi diketemukan perbedaan mencolok,
hukum sebagai norma yang tidak pernah menggendong
sifat mutlak, maka dalam situasi-situasi tertentu, ternyata
apa yang semula dapat ditarik garis pembeda yang
sedemikian tegasnya antara kedua jenis hak keperdataan
tersebut, bisa saja dalam situasi tertentu garis pembeda
tersebut menjadi kabur dan nyaris mendatangkan sebuah
kerumitan yang mampu membikin banyak pihak
terpukau karenanya. Adapun situasi yang mengakibatkan
kaburnya garis batas pembeda kedua jenis hak tersebut,
yakni kalau terjadi peristiwa relativering hak kebendaan,
juga mana kala terjadi verzakelijking hak pribadi.
Adapun kejadian relativering hak kebendaan, berarti
hak kebendaan yang semula memiliki sifat mutlak, ada
droit de suite, mengandung asas prioritas, terbukti
terimbas keberadaan Pasal 1977 BW ini sedemikian
sentralnya, karena dalam banyak bidang pasal tersebut
memiliki pengaruh yang tidak kecil. Area Hukum
Jaminanpun dijamah pula oleh belalai gurita pengaruh
Pasal 1977 BW, sehingga memaksa ketentuan-ketentuan
penjaminan terhadap benda bergerak wajib
memperhatikan keberadaan pasal tersebut agar tetap ada
sinkronisasi dan harmonisasi seutuhnya. Aturan
menyangkut gadai tak dapat lepas dari pengaruh Pasal
1977 BW, dan ini dapat dibuktikan salah satunya dalam
Pasal 1152 ayat 3 BW yang menentukan bahwa gadai
hapus apabila bendanya keluar dari kekuasaan nyata
kreditor, namun bila benda gadai itu hilang atau

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 146 | P a g e


dicuri, maka kreditor berhak menuntutnya kembali
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1977 ayat 2 BW,
dan apabila benda gadai diperolehnya kembali, maka hak
gadai dianggap tidak pernah hilang.
Kalau disimak eksistensi Pasal 1152 ayat 4 BW juga
akibat adanya gaung pengaruh dari Pasal 1977 BW.
Sebab dalam ketentuan yang dimaksud intinya
menyatakan bahwa tidak wenangnya debitor untuk
menggadaikan, maka hal tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada kreditor. Inilah imbas
dari pernyataan Pasal 1977 BW bahwa barang siapa
menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik.
Saat pembentuk BW merakit ketentuan-ketentuan gadai
yang obyeknya benda bergerak, agar tidak terjadi
inkonsistensi, maka keberadaan Pasal 1977 BW tetap
wajib diperhatikan secara seksama. Dapat dikatakan
bahwa Pasal 1977 BW ini merupakan soko guru
pengaturan seluk beluk benda bergerak yang tingkat
mobilitasnya sangat tinggi, sehingga sirkulasinya dalam
dunia bisnis harus tetap terpantau secara akurat sesuai
asas utamanya. Untuk keperluan itulah maka perlu
dihadirkan Pasal 1977 BW, sehingga transaksi bisnis
menyangkut benda bergerak akan tetap dapat
terselenggara dengan lancar. Tak dapat dibayangkan
andai ketentuan tersebut tak dibuat oleh pembentuk
undang-undang, pasti transaksi yang berobyek pada
benda bergerak akan banyak mengalami kendala yang
nyaris dapat memacetkan arus perputaran bisnis. Namun
harus diingat bahwa mencermati Pasal 1977 BW tak
pernah bakal lepas dari keterkaitannya dengan Pasal
1965 BW menyangkut prinsip itikad baik. Memang
harus diakui bahwa secara harfiah, istilah itikad baik tak
pernah tercantum dengan nyata

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 147 | P a g e


dalam Pasal 1977 BW, namun orang hukum selalu
memiliki logika obyektif bahwasanya BW selaku
kodifikasi, dibangun berlandas pada prinsip keseutuhan.
Sesuatu ketentuan undang-undang tidaklah pernah lepas
antara yang satu dengan yang lain. Justru ketentuan-
ketentuan itu merupakan kesatuan bangunan yang utuh
dan saling bersinergi. Demikian pula halnya dengan
Pasal 1977 BW, selamanya tak dapat dipisahkan dengan
keberadaan Pasal 1965 BW sebagai suatu keutuhan
sistem. Oleh sebab itu menjadi tabu kalau ingin
memahami sebuah pasal, lalu ditempuh cara melepas
pasal yang bersangkutan dari wadah sistematikanya,
kemudian diamati secara terpisah dan tersendiri, pasti
hasilnya akan diperoleh sebuah kesimpulan yang tidak
tepat bahkan bisa nyaris salah sama sekali. Sebaliknya
mana kala menginginkan pemahaman yang seksama
tentang sebuah pasal dalam BW sebagai undang-undang,
seraya tetap membiarkan pasal tersebut dalam wadah
keseutuhan kodifikasi, lalu nenfokuskan perhatian
keterkaitannya beserta pasal-pasal lain yang pada
dasarnya memiliki kesatuan nuansa sinergitas secara
sistemik. Hanya dengan model itulah pemahaman akurat
tentang sebuah pasal undang-undang dapat diraih secara
obyektif demi menggali maksud yang sesungguhnya dari
gagasan pembentuk undang-undang lewat risalah aturan
yang dibuatnya.
Akibat tingkat mobilitas benda bergerak yang relatif
amat cepat, tak urung pembentuk undang-undang
membuat sebuah prinsip sebagaimana tertera dalam
Pasal 1977 BW, kendati prinsip tersebut banyak
mendatangkan kontroversi yang memancing banyak
debat. Namun tanpa mencipta prinsip seperti yang ada
dalam Pasal 1977 BW,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 148 | P a g e


tentu akan terjadi banyak kendala pengaturan terhadap
benda bergerak ini. Meski sepintas begitu kerap
ditemukan kontroversi, prinsip yang ada dalam Pasal
1977 BW ternyata sejalan dan cocok dengan rasa hukum
masyarakat saat menyikapi keberadaan benda bergerak.
Oleh karena itu mencermati Pasal 1977 BW memerlukan
suatu daya analisa yang tajam, sehingga segala imbas
yang diterbitkan oleh pasal tersebut akan tetap dapat
dilacak sesuai logika hukum. Tak urung menjadi wajar
pula kalau kemudian dalam ketentuan-ketentuan gadai
akan dijumpai betapa besar pengaruh Pasal 1977 BW ini.
Demikian juga sebaliknya, kalau semula hak pribadi
itu dikatakan bersifat relatif, dalam situasi yang digambarkan
misalnya oleh Pasal 1556 BW, ternyata berubah sifat menjadi
mutlak sehingga dapat ditegakkan terhadap siapapun. Inilah
salah satu contoh terjadinya verzakelijking hak pribadi.
Peristiwa verzakelijking hak pribadi seperti yang terukir
dalam Pasal 1556 BW tak lain sebagai salah satu
konsekwensi kesanggupan hukum dalam menegakkan prinsip
efisiensi yang dituntut oleh dunia bisnis agar tak
menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Apa yang dilukiskan
oleh Pasal 1556 BW, kendati hak sewa sesungguhnya
tergolong selaku hak pribadi, namun oleh ketentuan ini pihak
penyewa diberi wewenang untuk menegakkan hak sewanya
kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang sifatnya
mengurangi kenikmatan sewa. Jelas sekali dari pasal 1556
BW, hak sewa sebagai hak pribadi ditempeli hak mutlak,
berarti dalam situasi ini hak pribadi menguat karena dapat
ditegakkan terhadap siapapun sepanjang pihak ketiga itu
melakukan perbuatan yang sifatnya mengurangi kenikmatan
sewa.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 149 | P a g e


Dalam situasi ini pihak yang menyewakan sebagai yang
empunya hak milik selaku hak kebendaan dengan sifat
mutlaknya, tak perlu turun tangan sendiri untuk mengatasi
gangguan perbuatan pihak ketiga yang sifatnya mengurangi
kenikmatan sewa tersebut. Tanpa menghadirkan Pasal 1556
BW, pasti akan terjadi lonjakan ekonomi beaya tinggi yang
sangat ditabukan oleh dunia bisnis. Oleh sebab itu sikap
luwesnya hukum agar sesuai tuntutan adagium bisnis yang
mengibarkan panji efisiensi tinggi-tinggi, harus dikedepankan
kendati acap kali menyimpangi prinsip awal sekalipun.
Hanya dengan sosok seperti itulah, maka hukum tak bakal
lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan demi menjaga
kemampuan perannya sebagai bingkai bisnis. Ketentuan-
ketentuan yang kaku, pasti akan menyerimpung kebutuhan
dunia bisnis, dan dapat mengakibatkan selain timbulnya
beaya tinggi juga akan memunculkan ketidakpastian hukum.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 150 | P a g e


BAB VII
PIUTANG ISTIMEWA

1. Utang Sebagai Suatu Prestasi

S ecara umum sudah dipahami bahwasanya obyek


perikatan itu adalah prestasi yang wujudnya tertera
dalam Pasal 1234 BW, dan prestasi sebagai sebuah kewajiban
dituntut untuk dibayar atau dilaksanakan sesuai hakekat Pasal
1235 BW. Sebab andi tak dibayar atau prestasi tidak
dilaksanakan, jelas ini perbuatan yabg salah, maka risikonya
sesuai yang dinyatakan oleh Pasal 1236 BW yakni wajib
membayar ganti rugi, beaya, dan bunga. Pembayaran
kerugian, beaya, dan bunga sebagai suatu pemulihan, mana
kala tak juga dipenuhi secara suka rela oleh debitor, hukum
dapat memaksanya lewat mekanisme Pasal 1131 BW.

Hakekat prestasi wajib dipenuhi atau dibayar,


sesungguhnya ini merupakan suatu utang, dan tentu saja
keberadaan utang tersebut ada di pundak debitor. Pada sisi
sebaliknya dari sebuah utang, tak lain adalah berujud piutang
yang dimiliki oleh kreditor sebagai hak. Utang sebagai
jelmaan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 151 | P a g e


kewajiban yang bertengge di punggung debitor, selalu
berendeng eksistensinya dengan piutang selaku hak yang
menjadi milik kreditor. Itulah artinya bahwa hak dan
kewajiban, keduanya tak ubah sebagai sisi-sisi sekeping mata
uang logam, di mana dua-duanya berbeda tapi tak dapat
dipisahkan sebagai kesatuan wujud hukum.
Kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat,
demi melanggengkan eksistensinya selaku makhlu, saat
berhasrat ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, maka akan
dilakukan lewat cara mengadakan ikatan-ikatan dengan
sesama anggota masyarakat yang lain. Menyangkut kegiatan
ikat mengikat dalam kehidupan sosial, sesuai Pasal 1233 BW
ternyata perikatan tersebut dapat bersumber pada perjanjian
juga dapat bermuasal dari undang-undang. Namun faktual,
perikatan yang terjadi dalam kehidupan konkrit, lebih banyak
yang bermuasal dari perjanjian, adapun perikatan yang
bersumber dari undang-undang yang dialami oleh setiap
anggota masyarakat dalam kesehariannya adalah relatif
sedikit. Kenyataan ini, bahwa perikatan yang bersumber dari
perjanjian justru mendominasi gaya hidup sosial para
anggotanya. Konkritnya bahwa perikatan bersumber
perjanjian lebih dominan, tercermin pula pada ketentuan-
ketentuan dalam BW yang mengatur tentang Hukum
Perikatan, di mana mulai Bab I Buku III BW yang berjudul
Perikatan Pada Umumnya, terbukti lebih banyak bernuansa
perikatan yang bersumber pada undang-undang. Mozaik ini
ujung-ujungnya cenderung lebih banyak bersentuhan dengan
soal prestasi. Maka menjadi wajar kalau dikatakan bahwa
obyek perikatan itu adalah prestasi.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 152 | P a g e


Kendati hanya diatur secara implisit, apa yang ditetapkan
oleh Pasal 1235 BW, bahwa prestasi itu harus dipenuhi atau
wajib dibayar. Perihal ini membersitkan suara bahwa prestasi
itu sesungguhnya merupakan suatu utang yang wajib
dilaksanakan atau dibayar oleh debitor, demi terwujudnya
hak kreditor yang dalam hal ini disebut piutang. Sebab kalau
prestasi sebagai suatu utang tak dibayar atau tidak
dilaksanakan oleh debitor, otomatis hak kreditor berupa
piutang tidak bakal terwujud, dan ini jelas merupakan sebuah
kerugian. Bila mana peristiwa ini terjadi, maka kerugian
kreditor itu harus dipulihkan dengan jalan sebagaimana
dituturkan oleh Pasal 1236 BW yakni dibetor yang
wanprestasi tersebut wajib membayar ganti rugi, beaya, dan
bunga. Inilah sebuah risiko yang harus dipikul oleh sesuatu
pihak yang berbuat salah dalam suatu perjanjian karena
ingkar pada kesepakatan yang telah dibuatnya.
Hakekat utang sebagai suatu prestasi, maka harus
dipenuhi, penegasannya dapat disimak dalam Pasal 1235
BW, bahwa dalam perikatan untuk memberikan sesuatu maka
debitor wajib menyerahkan benda yang bersangkutan, dan
merawatnya sebagai bapak rumah tangga yang baik, sampai
pada saat penyerahan. Memang dalam pasal tersebut hanya
menyebut salah satu wujud prestasi berupa memberikan
sesuatu, namun hal ini mutatis mutandis juga berlaku untuk
jenis-jenis wujud prestasi lainnya seperti yang dimaksud oleh
Pasal 1234 BW.
Utang ini memang memiliki dua (2) macam makna,
yakni utang dalam arti luas dan utang dalam arti sempit.
Tentang utang dalam arti luas, adalah segala jenis prestasi
dari Perjanjian Obligatoir, sedang utang dalam arti sempit

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 153 | P a g e


adalah berkait dengan urusan perjanjian pinjam meminjam
dana atau perjanjian pinjam meminjam uang seperti yang
umum dilakukan oleh lembaga perbankan. Mengingat kajian
yang ditelaah berkait dengan perjanjian jaminan kebendaan,
maka arti utang yang sempitlah dijadikan koridor utama
pembahasan. Lebih khusus lagi difokuskan pada perjanjian
pinjam meminjam dana yang dikelola oleh pihak bank selaku
lembaga intermediary yang kemasannya disebut dengan
istilah perjanjian kredit.
Perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan
nasabah yang membutuhkan dana pinjaman, akan melahirkan
hak tagih atau piutang bagi bank selaku kreditor, sedang dari
pihak debitor dibebani utang yang tentunya wajib dibayar.
Dikarenakan perjanjian kredit itu terkwalifikasi sebagai
Perjanjian Tak Bernama, sesuai Pasal 1319 BW harus tunduk
pada ketentuan umum dalam Buku III BW, mengakibatkan
hak yang dilahirkan dari rahim perjanjian kredit adalah
berupa hak tagih atau piutang, yang selanjutnya akan
terkuasai pula oleh pola-pola yang ada dalam Buku III BW
tersebut.
2. Kedudukan Piutang Sebagai Hak Pribadi (Hak
Perorangan)

Sedasar Pasal 1234 BW yang menegaskan bahwa


wujud prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu, maka wujud prestasi
tersebut muncul dan ada, akibat dibuatnya suatu perjanjian
oleh para pihak. Sesuai prinsip dalam Hukum Perjanjian
sebagaimana tertera dalam Pasal 1315 jo. 1340 BW, bahwa
perjanjian itu bersifat pribadi, dalam arti bahwa perjanjian itu

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 154 | P a g e


hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja (privity
of contract). Pola ini membawa konsekwensi bahwa dari
rahim perjanjian yang bersifat pribadi tersebut, akan
melahirkan hak pribadi atau hak perorangan. Oleh sebab
itulah perjanjian yang melahirkan perikatan yang berujung
pada produk berupa prestasi, maka prestasi ini terkwalifikasi
sebagai hak pribadi dan bukan hak kebendaan.
Perjanjian kredit sesuai karakternya termasuk
Perjanjian Tak Bernama, sehingga berlandas pada Pasal 1319
BW wajib tunduk pada Buku III BW, maka sebagai sebuah
perjanjian akan memiliki ciri bersifat pribadi (privity of
contract). Selanjutnya dari rahim perjanjian kredit yang
terkwalifikasi sebagai perjanjian obligatoir dan tunduk pada
Buku III BW, akan melahirkan jenis hak yang tergolong
sebagai hak pribadi, bukan hak kebendaan. Hak tagih atau
piutang bank yang lahir dari perjanjian kredit akhirnya
tergolong sebagai hak pribadi, dan sudah barang tentu sesuai
hakekatnya akan mempunyai karakter tersendiri.
Sebagaimana sudah pernah dipaparkan dalam suatu
perbandingan, bahwasanya hak pribadi ini memiliki ciri yang
dapat dikatakan berbanding terbalik dengan ciri-ciri hak
kebendaan yang sosoknya sangat unggul. Antara lain hak
pribadi ini tidak bersifat mutlak atau hanya bersifat relatif,
dalam arti hak pribadi itu hanya dapat ditegakkan pada pihak
tertentu saja, dan yang dimaksud tertentu itu tak lain adalah
rekan sekontraknya. Demikian juga bahwa hak pribadi tak
memiliki ciri droit de suite, lebih lanjut lagi juga tak dilekati
ciri preferensi, ataupun karakter prioritas. Oleh sebab itulah
karena tak diperlukan adanya asas publisitas, maka perjanjian
yang melahirkan perikatan (Perjanjian Obligatoir) tersebut

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 155 | P a g e


berlakuannya sebatas untuk para pihak saja, sedang pihak
ketiga tak ikut terikat karenanya. Inilah prinsip Privity of
Contract seperti dapat disimak dalam Pasal 1315 jo. 1340
BW.
Sesuai hakekatnya, hak pribadi yang lahir dari
perjanjian obligatoir dibentengi oleh jaminan umum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 BW. Berdasar
Pasal 1319 BW, perjanjian kredit yang dibuat oleh bank
dengan nasabahnya karena tergolong sebagai perjanjian tak
bernama yang tunduk pada ketentuan umum Buku III BW,
hak tagih atau piutang yang muncul, adalah tergolong sebagai
hak pribadi yang pemenuhannya potensial dijamin oleh Pasal
1131 BW. Mana kala hasil lelang harta debitor yang
wanprestasi tak mencukupi seluruh tagihan, masing-masing
akan dilunasi secara proporsional atas dasar Pasal 1132 BW.
Posisi saling memperebutkan hasil lelang harta debitor atas
dasar jaminan umum seperti itu, karena hanya memiliki hak
pribadi, mengakibatkan para kreditor tersebut dikwalifikasi
sebagai kreditor konkuren. Apabila tagihan atau piutang bank
sebagai lembaga intermediary yang tergolong selaku hak
pribadi sehingga melulu mengandalkan jaminan umum,
dengan sendirinya bank hanya berkedudukan sebagai kreditor
konkuren. Jelas kondisi ini akan menuai resiko tinggi yang
dapat mengancam kesehatan bank yang seharusnya wajib
menegakkan prinsip kehati-hatian. Oleh sebab itu guna
memenuhi amanat UU Perbankan yang harus menegakkan
prudential banking, ditempuh suatu jurus ikutan yaitu dengan
membuat perjanjian jaminan kebendaan agar meningkat
derajadnya sebagai kreditor preferen.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 156 | P a g e


3. Jenis Piutang dalam BW

Menyimak Pasal 1133 BW dengan tegas menetapkan


adanya suatu jenis piutang yang berjumlah 3, yaitu yang
disebut dengan istilah piutang istimewa berupa privilage,
gadai, dan hipotek. Berdasar Pasal 1133 BW itu pula maka
secara implisit dalam BW dikenal ada 2 jenis piutang, yaitu
piutang istimewa dan piutang tidak istimewa (piutang biasa).
Tinjauan lebih menukik lagi terhadap Pasal 1133 BW yang
mengenal 3 macam piutang istimewa, bila dijabarkan dengan
rinci terlihat nyata perbedaannya, yakni bahwa dari segi
kelahirannya ada 2 kategori piutang istimewa, yakni gadai
dan hipotek, adalah termasuk jenis piutang istimewa yang
lahir dari perjanjian, sebab hak gadai baru ada kalau sudah
dibuat perjanjian jaminan gadai. Hak hipotek juga baru lahir
kalau ada perjanjian jaminan hipotek. Sebaliknya privilage
adalah piutang istimewa yang lahir dari undang-undang, dan
ini dapat dilacak dari definisi privilage yang tercantum dalam
Pasal 1134 BW.
Privilage yang lahir dari undang-undang, berarti
pencipta figur privilage itu adalah penguasa. Sedang gadai
dan hipotek merupakan tokoh-tokoh yang dilahirkan oleh
masyarakat atau rakyat lewat perjanjian. Namun demikian
figur ciptaan penguasa (privilage) dan tokoh yang dibuat oleh
rakyat (gadai dan hipotek), oleh BW diberi kedudukan yang
sederajad dengan atribut sama yakni sebagai piutang
istimewa, baik yang dicipta penguasa ataupunn yang dicipta
rakyat, memberikan bukti bahwa penguasa yang mempunyai
hegemoni besar, ternyata sedemikian hormat atas produk-
produk yang dibuat oleh rakyat lewat rahimnya perjanjian.
Sikap hormat

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 157 | P a g e


pemerintah semacam ini juga tercermin jelas saat mengamati
eksistensi Pasal 1338 BW. Sepanjang sah, perjanjian yang
dibuat oleh rakyat dihargakan setara dan equivalen dengan
undang-undang produknya penguasa. Kendati penguasa
mempunyai hegemoni yang besar, terbukti tak berlaku
sewenang-wenang untuk secara membabi buta mendudukkan
figur ciptaannya lebih tinggi dari perjanjian yang dibuat oleh
rakyat. Justru untuk urusan bisnis penguasa bertindak bijak,
segala sesuatu yang berkait dengan perjanjian yang dipakai
sebagai bingkainya bisnis, dihargakan nilainya setara dengan
undang-undang, dengan tujuan antara lain untuk menjamin
kepastian hukum.

Sebagaimana sudah dipaparkan, kalau kreditor hanya


mengandalkan piutangnya yang tergolong sebagai hak
pribadi yang melulu bertumpu pada jaminan umum, hanya
memiliki kedudukan sebagai kreditor konkuren dengan
konsekwensi akan menanggung resiko relatif pahit. Posisi
segala piutang yang sekedar mnyandarkan diri pada jaminan
umum dalam Pasal 1131 BW, hanya mempunyai kedudukan
yang sama sesuai amanat Pasal 1132 BW, berarti demi
memperoleh pelunasan nya, piutang-piutang itu tanpa ada
keistimewaan yang melekat padanya. Jenis sebuah piutang
tanpa dilekati keistimewaan untuk mendapatkan pelunasan
terlebih dahulu seperti itu, tergolong sebagai piutang tidak
istimewa atau piutang biasa dengan kedudukan sederajad
bersama piutang biasa lainnya.

Jenis piutang biasa tanpa ada keistimewaan ini,


karena memiliki posisi yang sama, maka akan diperlakukan
secara sama pula dalam hal mendapatkan pelunasaan saat
debitor wanprestasi. Perlakuan dalam memperoleh pelunasan
yang sama inipun, harus melewati proses gugatan dengan
disertai upaya pendayagunaan Pasal 1131 BW sesuai proses.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 158 | P a g e


Terang saja acara gugat ginugat di peradilan akan memakan
waktu lumayan panjang, serta sangat besar beaya yang
dibutuhkannya. Model ini pasti akan menimbulkan ekonomi
beaya tinggi, jauh dari efisiensi yang dituntut dunia bisnis,
khususnya lembaga bank yang bergerak di bidang penyaluran
dana pinjaman.

Bagi bank memiliki piutang tidak istimewa (piutang


biasa) yang pelunasannya harus berjibaku melalui proses
berbelit di pengadilan, lalu diperunyam harus berebut dengan
kreditor lain, jelas perihal ini benar-benar menyimpang dari
prinsip kehati-hatian yang wajib ditegakkan sejak dini. Posisi
kreditor konkuren yang mengundang inefisiensi seperti itu,
justru dapat mengancam kesehatan bank selaku lembaga
perantara. Untuk menghindari resiko tersebut, akhirnya
secara umum bank akan menyertakan konstruksi hukum lain
sebagai pendukung perjanjian kredit yang sudah dikemasnya,
yakni dengan membuat perjanjian jaminan kebendaan. Kalau
dalam Pasal 1131 BW yang dipertaruhkan sebagai jaminan
adalah seluruh harta debitor, berbeda halnya kalau
membentuk perjanjian jaminan kebendaan antara kreditor dan
debitor, disepakati hanya benda tertentu saja yang akan
dijadikan agunan demi menjamin utang tertentu yang
dikucurkan oleh kreditor. Jadi ada satu benda tertentu milik
debitor yang dikeluarkan dari rangkuman Pasal 1131 BW
yang akan dipakai sebagai jaminan khusus atas sejumlah
dana yang diberikan oleh kreditor sebagai pinjaman. Dengan
model ini piutang kreditor mendapat benteng baru berupa
benda tertentu untuk dipakai sebagai andalan pokok
pelunasan mana kala di kemudian hari ternyata debitor
wanprestasi, tanpa perlu menghilangkan sama sekali benteng
yang ditentang oleh Pasal 1131 BW. Pola inilah yang
kemudian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 159 | P a g e


menjadikan piutang bank sebagai kreditor menduduki posisi
istimewa, mengingat secara khusus bank diberi wewenang
untuk meletakkan hak jaminannya di atas benda tertentu
milik debitor yang bersangkutan tanpa akan diusik oleh
kreditor lain. Hak jaminan khusus yang meletak pada benda
tertentu milik debitor tersebut, tergolong sebagai hak
kebendaan yang di dalamnya melekat ciri-ciri unggul, seperti
misalnya sifat mutlak dari hak tersebut, adanya ciri droit de
suite, droit de preferences, ataupun melekatnya asas prioritas.
Berdasarkan kondisi inilah posisi bank derajadnya meningkat
yang semula hanya sebagai kreditor konkuren, lalu naik
kedudukannya selaku kreditor preferen, di mana piutangnya
harus dilunasi terlebih dahulu dari kreditor lain. Dengan
model ini maka piutang bank menjadi tergolong piutang
istimewa.

Kreditor preferen yang punya hak mendahulu untuk


urusan pelunasan piutang yang dimilikinya, menjadikan bank
memperoleh kedudukan yang aman dari hiruk pikuknya
persaingan antar para penagih lainnya. Selain itu, cukup
dengan syarat terjadinya peristiwa wanprestasi debitor, pihak
kreditor menjadi relatif mudah juga untuk mendapatkan
pelunasan piutangnya tanpa perlu diikuti proses gugat ginugat
untuk sampai pada tahap penjualan lelang seluruh benda
milik debitor. Cukup pelunasan piutangnya ditempuh secara
cepat, sederhana, dan murah yaitu salah satunya dengan
senjata parate eksekusi, baik yang lahir dari undang-undang
ataupun yang lahir dari perjanjian. Ini benar-benar
merupakan proses singkat yang sangat efisien guna
mendapatkan pelunasan sebuah piutang akibat debitor
wanprestasi. Hasil lelang benda agunan yang diperoleh, tak
perlu dikhawatirkan akan menjadi rebutan para kreditor
konkuren lain, justru

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 160 | P a g e


Pemegang hak jaminan kebendaan, baik gadai maupun
hipotek, wajib dilunasi terlebih dahulu. Begitulah sosok
sebuah piuutang yang dilekati hak jaminan kebendaan milik
kreditor preferen, dan semua karakter itu tidak dijumpai
dalam piutang biasa yang hanya berdiri sebagai hak pribadi
milik kreditor konkuren.
4. Piutang Istimewa yang Lahir dari Perjanjian
Suatu piutang apabila hanya menyandarkan diri
melulu pada pasal 1131 BW termasuk sebagai jenis piutang
biasa. Berbeda hanya kalau suatu piutang yang kemudian
didukung dengan perjanjian jaminan kebendaan, dimana
debitor sepakat menyerahkan benda tertentu miliknya untuk
diikat sebagai agunan, maka piutang yang bersangkutan
menduduki posisi sebagai piutang istimewa. Sosok piutang
istimewa ini memang benar-benar memiliki karakter
istimewa, antara lain kalau debitor wanprestasi maka kreditor
tidak perlu gaduh di pengadilan mengikuti proses gugat
ginugat, tetapi sebaliknya cukup bertindak cepat dengan jalan
menjual lelang agunan, sehingga perolehan pelunasan
piutangnya menjadi sangat lancar, sederhana, dan mudah. “If,
however, Lender had made a secured loan to Borrower, he
would be better off when Borrower defaulted. In a making
secured loan, Borrower would sign a security agreement
stating that on default, Lender woul be entitled to take
possession of specified collateral owned by Borrower. Lender
would then simply have to take the collateral, and then sell it,
rather than having to sue Borrower for a personal
judgment.”1

1
Steven Emanuel, Op., Cit., h.1

161 | P a g e
Kreditor gadai maupun kreditor hipotek, karena
kreditor-kreditor yang mempunyai piutang itu memegang hak
gadai ataupun hak hipotek selaku hak jaminan kebendaan,
sedasar dengan coraknya, maka para kreditor tersebut, baru
akan memiliki keduanya, baik piutang gadai dan piutang
hipotek, harus membuat perjanjian dengan rekannya yang
berkedudukan sebagai debitor. Piutang yang dilahirkan dari
perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan nasabahnya,
adalah terkatagori selaku perjanjian obligator yang sekedar
melahirkan hak pribadi dengan benteng jaminan dalam pasal
1131 BW. Sedangkan hak gadai dan hak hipotek sebagai hak
kebendaan juga dilahirkan dari perjanjian, meskipun dengan
kategori yang berbeda, yaitu dari perjanjian jaminan gadai
atau perjanjian hipotek yang kedua-duanya tergolong sebagai
perjanjian kebendaan. Jadi tanpa adanya perjanjian jaminan
gadai atau tanpa ada perjanjian jaminan hipotek, tidak bakal
lahir hak gadai dan hak hipotek sebagai hak jaminan
kebendaan yang berfungsi sebagai pendukung perjanjian
kredit. Lewat polah inilah mengakibatkan piutang lahir dari
perjanjian kredit dilekati hak gadai dan hipotek, sehingga
mengakibatkan posisi piutang tersebut menjadi piutang
istimewa yang pelunasannya harus didahulukan.
Hanya lewat perjanjian maka hak gadai dan hak
hipotek itu ada, karena membutuhkan adanya kesepakatan
antara debitor dan kreditor untuk menyetujuhi benda tertetu
agunan sebagai jaminan khusus atas sejumblah uang tertentu.
Kalau disodorkan benda tertentu milik debitor yang
disepakati kreditor, merupakan benda bergerak maka
dibuatlah perjanjian jaminan gadai. Sebaliknya bila yang
diberikan dan disepakati benda tertentu milik debitor

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 162 | P a g e


itu berupa benda tidak bergerak, maka dibuatlah perjanjian
jaminan hipotek. Dengan gatra ini maka hak gadai dan hak
hipotek yang lahir dari perjajian tambahan (accessoir),
menjadi melekat pada piutang atas dasar dibuatnya perjanjian
kredit oleh debitor dengan kreditor selaku perjanjian pokok.
Tersematnya hak gadai atau hipotek pada piutang yang
timbul dari perjanjian kredit tersebut mengubah sosoknya
sehingga menjadi piutang istimewa, suatu piutang yang
memiliki preferensi.
A. Piutang Gadai
Setelah ada kesepakatan untuk membuat perjanjian
pinjam meminjam dana antara kreditor dengan debitor yang
dituang dalam perjanjian utang piutang, kalau di dunia bank
lebih dikenal dengan istilah perjanjian kredit, dan itu
tergolong sebagai perjanjian obligator, maka pihak yang
sudah menyalurkan dana pinjaman akan mempunyai hak
tagih atau piutang, dan ini tergolong sebagai hak pribadi.
Piutang ini dijamin oleh pasal 1131 BW sehingga kedudukan
penyalur dana pinjaman hanya selaku kreditor konkuren.
Oleh sebab kedudukan ini masih beresiko tinggi apabila
debitor wanprestasi, maka guna memperkokoh posisinya,
pihak bank akan meminta benda tertentu milik debitor untuk
diikat perjajian jaminan kebendaan.Apabila debitor
menyodorkan benda miliknya berupa benda bergerak dan
disetujui oleh kreditor, maka perjanjian jaminan kebendaan
yang dipergunakan adalah jaminan gadai. Berarti perjanjian
jaminan gadai ini dibuat dalam rangka untuk memperbaiki
posisi piutangnya kreditor agar supaya menduduki posisi
sebagai piutang istimewa yang memiliki ciri preferensi,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 163 | P a g e


yakni bahwa piutang tersebut pelunasannya akan lebih
didahulukan dari kreditor lain. Hak mendahulu dalam hal
pelunasan piutang ini ditegaskan oleh pasal 1150 BW yang
mengutarakan bahwa hak gadai adalah hak kreditor atas
benda bergerak yang sudah diterimanya dari debitor,
sehingga mempunyai hak mendahulu atas pelunasan
piutangnya. Ciri preferensi ini umumnya akan selalu dikejar
oleh pihak-pihak yang berkecimpung dalam hal penyaluran
dana pinjaman yang dijadikan bisnisnya. Sebab
bagaimanapun memilki piutang istimewa menjadikan posisi
kreditor menjadi lebih baik dan relatif aman bila
dibandingkan dengan kreditor konkuren.

B. Piutang Hipotek
Mana kala yang disodorkan oleh debitor adalah benda
tidak bergerak miliknya demi menjamin sejumlah utang
tertentu yang diperlukannya, dan pihak kreditor menyetu-
juinya, maka dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan berupa
perjanjian jaminan hipotek untuk mendukung perjajian
pokok. Dengan adanya perjanjian kredit selaku perjanjian
pokok yang berposisi sebagai obligator, lalu didukung
dengan perjanjian jaminan hipotek yang tergolong jaminan
kebendaan, sehingga akibatnya kreditor akan memiliki (2)
macam hak, yakni hak tagih (piutang) dan hak hipotek.
Piutang termasuk golongan hak pribadi untuk kemudian
didukung oleh hak hipotek selaku hak jaminan kebendaan,
maka piutang bank yang bersangkutan akan berposisi sebagai
piutang istimewa sebagaimana diutarakan di pasal 1133 BW.
Dikarenakan piutang tersebut dikwalifikasi sebagai piutang
istimewa berarti ada preferensi

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 164 | P a g e


yang melekat padanya, sehingga pelunasannya harus lebih
didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya. Ciri preferensi
atau hak mendahulu ini dapat dilacak secara implisit dalam
pasal 1162 BW yang intinya mengutarakan bahwa hipotek
adalah suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak, guna
mengambil pelunasan atas suatu perikatan. Dalam pasal
tersebut secara eksplisit hipotek dinyatakan sebagai hak
kebendaan, dalam hipotek ada ciri-ciri unggul kebendaaan,
antara lain ciri preferensi dalam arti pelunasan piutangnya
wajib didahulukan. Dikarenakan ada ciri preferensi,
mengakibatkan piutang tersebut termasuk piutang istimewa
seperti yang tertera pada pasal 1133 BW.
Pola pembuatan perjajian kredit sebagai perjanjian
yang disusul dengan perjanjian jaminan hipotek yang selaku
perjanjian tambahan, menjadikan pihak bank akan
berkedudukan sebagai kreditor preferen dimana utang yang
dimilikinya harus di lunasai terlebih dahulu dari hasil lelang
obyek hipotek apabila debitornya wanprestasi. Rangkaian
kedua jenis perjanjian tersebut, yakni perjanjian kredit dan
perjanjian jaminan hipotek yang ujung-ujungnya melahirkan
piutang istimewa, maka terlihat jelas bahwa piutang istimewa
itu lahir dari perjanjian.
Sosok piutang istimewa yang lahir dari perjanjian,
baik akibat adanya hak gadai ataupun hak hipotek,
menandakan bahwa penguasa sedemikian menghargai
kedudukan perjanjian yang dibuat oleh rakyat dalam rangka
membingkai kegiatan bisnisnya. Bahkan penguasa mau
mendudukan pada tataran yang sederajat atas produk yang
dibuatnya berupa privilege dengan apa yang dibuat oleh
rakyat berwujud gadai ataupun hipotek. Inilah pengaturan
undang-undang yang

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 165 | P a g e


sejatinya berupa keras supaya dunia bisnis dapat berotasi
secara leluasa tanpa perlu dihambat dan dihalang-halangi
dengan adanya intervensi penguasa. Bahkan dengan hadirnya
privilege, sejatinya lembaga hukum itu dibuat untuk
menunjang bisnis agar terhindar dari keruwetan akibat
munculnya benturan-benturan sebagai piutang yang timbul.
Kalaupun ada benturan yang memang secara potensial bisa
terjadi, maka upaya penyelesainnya sudah dipersiapkan
aturan dengan rapi dan dapat dipertanggungjawabkan dari
segi perhitugan logika bisnis.

5. Piutang Istimewa yang Lahir dari Undang-Undang


Piutang kreditor pemegang gadai dan piutang kreditor
pemegang hipotek, sesuai perjanjian jaminan yang dibuat,
mengakibatkan piutang mereka itu menduduki posisi sebagai
piutang istimewa yang memiliki preferensi. Sebaliknya
kreditor yang yang hanya mengandalkan jaminan umum
dalam pasal 1131 BW hanya menduduki posisi sebagai
piutang tidak istimewa atau piutang biasa sehingga tidak
preferensi, berdasarkan pasal 1133 BW disebutkan piutang
istimewa itu selain gadai dan hipotek, ada jenis lainnya lagi
yaitu privilege. Adapun makna privilege sebagaimana
diungkapkan oleh pasal 1134 ayat 1 BW adalah hak yang
diberikan oleh undang-undang kepada kreditor yang satu atas
kreditor yang lain sehubungan dengan sifat perikatannya.
Dengan adanya penjenjangan yang diberikan oleh undang-
undang, kreditor di atas kreditor yang lain, maka berarti
kreditor yang berkedudukan di atas tersebut menjadi lebih
diistimewakan dari kreditor yang di bawahnya. Kedudukan
kreditor yang ada di atas kreditor lain tersebut, bukan lahir
dari karena per-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 166 | P a g e


janjian, tetapi karena undang-undang. Inilah yang dimaksud
dengan privilege yang di golongkan sebagai piutang istimewa
oleh BW. “A creditor whose lien interest arise automatically
by statute on common law is called a statutory lien
creditor.”2
Maka kala hal ini disederhanakan, berarti privilege itu
adalah aktor ciptaan penguasa yang dibuat melalui undang-
undang, berbeda dengan gadai dan hipotek, adalah aktor
ciptaan rakyat yang dibuat lewat perjanjian. Namun
ketiganya oleh pasal 1133 BW diberi kedudukan yang sama
sebagai piutang istimewa. Kendati penguasa memiliki
hegemoni yang besar, ternyata saat menciptakan aktor berupa
privilege, ditempatkan secara sederajat dengan aktor ciptaan
rakyat yang tidak memiliki hegemoni seperti halnya
penguasa. Sikap penguasa seperti itu, menandakan betapa arif
dan bijaknya penguasa seperti itu, menandakan betapa arif
dan bijaknya peri laku tersebut yang secara tidak langsung
memberikan penghormatan terhadap produk yang dibuatnya.
Rasa hormat penguasa terhadap produk yang dibuat oleh
rakyat, tidak hanya berhenti pada tataran itu saja, justru lebih
jauh lagi rasa hormat ditinggikan tingkatannya dengan
pernyataan yang ada dalam pasal 1134 BW ayat 2 BW,
bahwa kalau terjadi benturan antara privilege di satu sisi
dengan gadai atau hipotek pada sisi lain, prinsip dasarnya
justru gadai dan hipotek yang akan lebih didahulukan atau
dimenangkan, kecuali undang-undang menentukan lain. Jadi
kalau ada benturan antara privilege dengan gadai atau hipotek
menyangkut pelunasan piutang yang sama-sama istimewa,
pada dasarnya yang harus dibayar dulu adalah gadai atau
hipotek, sedang

2
Doglas J. Whaley, Op., Cit., h. 62

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 167 | P a g e


privilege pembayarannya lebih belakangan. Sama-sama
piutang istimewa, tetapi kalau terjadi persaingan pelunasan,
mana yang harus didahulukan, ternyata oleh pasal 1134 ayat
2 BW ditetapkan bahwa pada pada dasarnya gadai atau
hipotek yang harus diutamakan. Sungguh mulia
penghormatan penguasa tehadap produk yang dihasilkan
tidak secara sewenang-wenang lalu harus diprioritaskan dari
produk yang dihasilkan oleh rakyat jelata. Penghormatan
penguasa atas hasil atau produk yang dibuat rakyat yang
dilkukan secara arif seperti itu, tak hanya terlihat pada
kemasan pasal 1138 BW yang mensejajarkan aspek kekuatan
yang mengikatnya perjanjian dengan undang-undang sebagai
produk yang dibuat penguasa. Sikap bijak penguasa ini tak
lepas dari pandangannya bahwasannya dalam memutar roda
pemerintahan diusahakan jangan sampai mengusik rotasi
dunia bisnis yang dibiarkan tumbuh sesuai tuntutan pasar.
Sebab kalau penguasa terlalu sering melakukan intervensi
justru dapat memasung peputaran roda bisnis yang ujung-
ujungnya dapat menimbulkan ekonomi beaya tinggi. Hanya
saja kebebasan pasar, dipantau oleh penguasa jangan sampai
ruang keleluasaan yang tergelar itu justru dipergunakan oleh
sesuatu pihak untuk melakukan eskploitasi terhadap
kehidupan kelompok secara tidak senonoh. Untuk
menghindari ekses kebebasan yang ada kalanya
disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
barulah penguasa turun tangan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 168 | P a g e


memberikan koridor pembatas guna memelihara fairness
hubungan bisnis yang dilakukan oelh masyarakat, intervensi
yang ada kalanya dilakukan oleh penguasa adalah untuk
menjaga supaya kebebasan pasar tidak terkontaminasi
perbuatan aib pelaku bisnis yang curang.
Sejatinya apabila disimak lebih teliti, memang kalimat
terakhir dari pasal 1134 ayat 2 BW mencantumkan narasi
”kecuali undang-undang menentukan sebaliknya” seolah
terkesan penguasa akan melontarkan pukulan telak di tahap
akhir sebagai kontribusi hegemoni kewenangan yang
dipunyainya. Makna narasi ini bukan untuk menyelubungi
tangan kesewenang-wenangan penguasa demi menunjukan
hegemoninya, dengan maksud pada ujung cerita akan selalu
memenangkan privilege sebagai aktor ciptaannya lalu
menggilas habis gadai dan hipotek sebagai ciptaan rakyat
jelata. Opini ini mungkin terbentuk seperti itu harus dikikis
dengan penalaran bahwa suatu aturan yang sifatnya umum
biasanya dijadika dasar utama, lalu disematkan beberapa
kekecualian dengan argumen logis, sehingga pengecualian
tersebut dapat diterima secara wajar. Inilah salah satu bentuk
pelayanan penguasa suapaya roda pemerintahan yang
dilakukan tetap dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi
pertumbuhan dunia bisnis.
Misalnya saja kekecualian yang dimaksud oleh ekor
kalimat pasal 1134 ayat 2 BW itu antara lain ditemukan pada
pasaal 1150 yang ada intinya menyebutkan bahwa gadai
adalah hak diperoleh seorang kreditor atas suatu benda
bergerak yang diserahkan kepadanya oleh debitor, sehingga
berhak mengambil pelunasan piutangnya secara mendahulu,
dengan kekecualian beaya lelang dan beaya penyelamatan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 169 | P a g e


benda gadai harus lebih didahulukan berdasarkan pasal 1150
BW kreditor gadai memiliki preferensi dimana pelunasan
piutang harus didahulukan dari keditor lain, namun ada
kekecualian bahwa beaya lelang dan beaya penyelamatan
benda gadai justru harus lebih didahulukan. Undang-undang
dalam hal ini pasal 1150 BW menetapkan bahwa beaya
lelang dan beaya penyelamatan benda gadai sebagai wujud
sebuah privilege harus lebih didahulukan pelunasannya dari
hak gadai. Kekecualian ini memiliki dasar yang logis sebab
andai kata benda gadai tidak terselamatkan akibat suatu
peristiwa tertentu, misalnya banjir bandang dan musnah,
maka perjanjian accessoir berupa jaminan gadai berakhir
sehingga kreditor gadai tidak lagi menjadi kreditor preferen
dan melorot sekedar menjadi kreditor konkuren. Tetapi
berkat adanya upaya penyelamatan yang memakan beaya,
menjadikan benda gadai tidak musnah sehingga pemegang
gadai tetap berposisi sebagai kreditor preferen, maka berdasar
asas kepatutan, wajar apabila beaya penyelamatan tersebut
harus lebih dulu didahulukan pembayarannya dari hak gadai.
Argumentasi yang logis ini sudah selayaknya harus diterima
oleh segenap kalangan, tidak terkecuali dunia bisnis yang
biasanya selalu berkutat cermat dengan masalah resiko.
Beaya penangkal resiko timbulnya kerugian, memang
sewajarnya kalau harus dihargai, oleh sebab itu beaya yang
dikeluarkan wajib dibayar terlebih dahulu. Belandas pada
pola logis seperti itulah mengapa beberapa jenis privilege itu
harus lebih didahulukan pembayarannya dari pada gadai dan
hipotek, seperti halnya yang nampak juga pada pengaturan
misalnya pasal 1139 angka 1 BW, pasal 1149 angka 1 BW,
ataupun pasal 1137 BW.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 170 | P a g e


6. Jenis Privilege
Piutang istimewa yang lahir dari perjanjian yakni
gadai dan hipotek, bila dirunut ke hulu mengapa ada dua
macam, tak lain akibat adanya pembagian benda dalam BW
berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak yang
menduduki posisi penting. Penggolongan benda yang penting
itu terbukti membawa pengaruh yang mengular panjang
namun konsisten supaya kepastian hukum tetap terjaga,
dengan tak mengabaikan unsur keadilan dalam rangkaian
ketentuan-ketentuan penjabarannya. Hal senada juga
dilakuakan oleh penguasa saat mengusung aktor berupa
privilege yang berpokok pada titik anjak tertentu, sehingga
pada akhirnya mengenal pula penggolongan jenisnya yaitu
berupa privilege umum dan privilege khusus yang kemudian
dirinci menjadi beperapa macam sesuai sifat perikatanya.
Tengtang privilege umum apa saja macamnya dirinci dalam
pasal 1149 BW, sedang yang tergolong sebagai privilege
khusus dengan berbagai penyebutan bagian-bagiannya
dijumpai dalam pasal 1139 BW.

A. Privilege umum
Sebutan privilege umum dikarenakan privilege
tersebut melekat pada seluruh benda yang dimiliki oleh
debitor. Akibatnya pelunasan jenis previlege ini tidak
digantungkan pada benda tertentu saja, tetapi dikenakan
pada hasil penjualan atas seluruh benda apa saja yang
dipunyai oleh debitor. Penanaman previlege umum
mengingatkan jaminan umum yang ada dalam pasal 1131
BW, sehingga pola yang digunakannyapuntak jauh beda. Ini
benar-benar merupakan sebuah rakitan ketentuan undang-
undang yang lumayan runtut demi pentingnya menjaga
konsistensi, dan ini menjadi urgen agar

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 171 | P a g e


dari kandungan undang-undang tersebut benar-benar dapat
diharapkan lahirnya suatu kepastian hukum. Seperti sudah
banyak dimaklumi bahwa unsur kepastian hukum sebagai
salah satu tujuan hukum, sangat diperlukan dalam dunia
bisnis. Tanpa ada kepastian hukum maka para pelaku bisnis
jadi gampang saat hendak bertransaksi, dan bila ini terjadi
maka kondisi ekonomi secara meluruh akan terkendala
pertumbuhannya. Di sinilah arti pentingnya peranan hukum
dalam suatu kehidupan kelompok yang anggotanya pasti
akan selalu mengejar peningkatan hidup sejahtera lewat
kegiatan bisnis yang dilakukannya.

privilege umum yang diatur dalam pasal 1949 BW


dirinci ada tujuh (7) macam yakni beaya perkara, beaya
penguburan, beaya pengobatan, opah buruh, utang bahan
makan, beaya sekolah berasrama, beaya pengurusan anak
yang belum dewasa dan orang terampu. Penyenbutan
masing-masing jenis privilege umum dalam pasal 1949 BW
ini ternyata sekaligus menentukan derajat atau ragkingnya,
sehingga jenis piutang yang disebut awal harus didahulukan
pelunasannya dari yang disebut belakangan. Perjenjangan
oleh undang-undang seperti iini akan mempermudah
pelaksanaan pelunas piutang-piutang tersebut manakala
suatu saat mereka itu satu dengan lainnya saling
bertubrukan. Jadi kalau misalnya suatu saat terjadi tubrukan
antara beaya perkara dengan beaya pengobatan, maka yang
wajib didahulukan pelunasannya adalah beaya perkara
mengingat letak penyebutan beaya perkara adalah lebih awal
ketimbang beaya pengobatan.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 172 | P a g e


B. Privilege khusus
Dinamakan privilege khusus karena privilege itu
melekat pada benda tertentu milik debitor, sehingga hanya
kreditor tertentu saja yang wajib didahulukan pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan benda tertentu yang
bersangkutan. Penanaman privilege khusus ini mengingatkan
pada keberadaan jaminan khusus yang kelahirannya
didasarkan pada perjajian jaminan kebendaan secara khusus
hak jaminan yang lahir hanya melekat pada benda tertentu
milik debitor. Demikian juga hasil penjualan benda tertentu
tersebut hanya diperuntukkan bagi kreditor tertentu pula.
Tentang privelege khusus ini aturannya dalam pasal 1939
BW yang macam-macamnya dirinci menjadi sembilan jenis
yakni beaya perkara, uang sewa dan segala beayanya, harga
beli benda bergerak yang masih belum terbayar, beaya
penyelamatan benda, beaya perbaikan tukang, beaya
penginapan, beaya pengangkutan, beaya tukang
pembangunan berkait dengan benda yang tak bergerak, beaya
pengantin akibat kesalahan pejabat umum.
Penyebuatan macam-macam privelege khusus dalam
pasal 1139 BW tersebut tidak menentukan rangking masing-
masing jenis yang terpapar dalam ketentuan itu, sehingga
disebut urutan keberapapun tidak membawa pengaruh
terhadap pelunasannya. Misalnya jenis piutang yang disebut
pertama akan memiliki derajat apa yang disebut pada urutan-
urutan selanjutnya. Mengingat posisi masing-masing jenis
piutang yang disebut dalam pasal 1139 BW itu tidak
menentukan rangkingnya, berarti semua piutang tersebut
derajatnya sama, maka kalau terjadi tubrukan satu dengan
yang lain, apabila hasil penjualan benda yang ber-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 173 | P a g e


sangkutan tak mencukupi, harus dibagi secara proposional.
Pembagian pelunasan secara proposional ini ditegaskan
dalam pasal 1136 BW yang menuturkan bahwa kreditor yang
ditingkatnya sama, akan dibayar menurut keseimbangan.
Pengaturan ini sejalan dengan apa yang terjadi dalam pasal
1132 BW yang merupakan kelanjutan dari apa yang
ditentukan oleh pasal 1131 BW. Menyandingkan pasa 1131
BW jo. 1132 BW dengan pasal 1139 BW, pola
pengaturannya nampak kembar untuk substansi yang mirip.
Sungguh suatu rakitan yang selalu memperhatikan
konsistensi agar tak terjadi kesenjangan yang bisa
mengganngu rotasi bisnis.
Perlu dipahami dengan sesakma, mskipun privilege
memiliki ciri prefrensi seperti halnya gadai dan hipotek,
lembaga hukum privilege ini tetap bukan hak kebendaan. Ini
berbeda dengan gadai dan hipotek yang secara tegas dan tak
terbantahkan adalah tergolong sebagai hak kebendaan dengan
ciri-ciri kelengkapan lainnya disamping adanya karakter
prefrensi. Sebaliknya kalau privilege hanya punya ciri
prefrensi semata, sedang ciri lain misal droit de suite sama
sekali tidak dimilkinya. Ketiadaan ciri droit de suite dari
privilege ini antara lain dapat dilacak dari pasal 1139 angka 8
BW. demikian pula privilege itu tidak tergolong sebagi hak
kebendaan, antara lain dari penegasan makna dari privelege
sebagai mana yang didefinisikan oleh pasal 1134 ayat 1 BW
bahwa hak mendahulu yang diberikan oleh undnag-undnag
kepada kreditor itu semata-mata didasarkan pada sifat
piutangnya atau sifat perikatannya yang tentunya hal ini
terkuasa oleh buku III BW. Secara umum sudah mulai
dipahami bahwa apa yang lahir dari kandungan buku III BW
bukan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 174 | P a g e


tergolong sebagai hak kebendaan. Mungkin adanya lembaga
hukum privilege ini merupakan contoh lain adanya peristiwa
verzakelijking hak pribadi.

7. Benturan Antar Piutang Istimewa


Piutang istimewa yang tercantum dalam pasal 1133
BW, dalam operasionalisasinya, dapat saja suatu saat saling
berbenturan. Hanya perlu dipahami dengan seksama, bahwa
yang berbenturan itu antara aktor yang dibuat oleh rakyat,
yakni gadai dan hipotek, dengan aktor yang dicipta oleh
penguasa yaitu privilege. peristiwa terjadinya benturan itu
dapat berupa hak gadai berbenturan dengan privilege, atau
hak hipotek bertrabakan dengan privilege. Bahkan dapat saja
terjadi antar jenis privilege saling berbenturan yang satu
dengan yang lainnya. Mana kala benturan-benturan tersebut
benar-benar tejadi, supaya tidak menimbulkan kegaduhan,
maka penguasa sudah sejak dini menyediakan aturan hukum
sebagai dasar penyelesaiannya.
Mengantisipasi adanya perbenturan antar piutang
istimewa, justru pertama-tama yang diperhatikan oleh
penguasa adalah peristiwa tabrakan antara privilege di satu
sisi dengan gadai atau hipotek pada sisi lainnya. Perbenturan
jenis inilah yang justru paling awal diperhatikan oleh
penguasa, lalu disediakan upaya penyelesainnya dengan
menghadirkan pasal 1134 ayat 2 BW yang mengutarakan
bahwa pada bahwa pada dasarnya gadai dan hipotek harus
lebih didahulukan dari pada privilege, kecuali undang-undang
menentukan lain. Prinsip dasarnya kalau terjadi benturan
antara gadai atau hipotek dengan privilege, maka gadai atau
hipotek harus

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 175 | P a g e


didahulukan ketimbang privilege. Asumsinya bahwa piutang
yang didukung oleh gadai atau oleh hipotek adalah
merupakan unsur pokok dalam bisnis yang sengaja dikemas
oleh rakyat dalam bentuk perjanjian dan ini relatif lebih
banyak terjadi dalam kehidupan konkrit. Sebaliknya sosok
privilege hanya dianggap sebagai unsur sekunder yang
kehadirannya untuk melengkapi unsur pokok dunia bisnis,
oleh sebab itu yang primer wajib diutamakan dari yang
sekunder. Itu pola dasarnya, namun kalau privilege yang
bersosok sebgai unsur sekunder itu mulai merambah
kepentingan umum, atau demi memberi perlindungan hukum
akibat munculnya situasi darurat, barulah privilege ketimbang
gadai ataupun hipotek, hanyalah merupakan sebuah
kekecualian yang didasarkan pada argumen logis dalam dunia
bisnis. Hal demikian itu wajar terjadi, mengingat pada
perputaran apapun, tak terkecuali bisnis, pasti akan ada
kejadian-kejadian khusus yang wajib diatur secara
menyimpang dari pola dasarnya.
Jadi pola dasarnya, piutang beratribut gadai dan
piutang beratribut hipotek, harus dilunasi lebih dahulu dari
piutang beratribut privilege. Pada Peristiwa-peristiwa
tertentu, memang diadakan pengecualian dan itu dapat
disimak antara lain dalam pasal 1150 BW, 1139 angkat 1,
BW,1149 angka 1 BW, juga 1137 BW. Beaya penyelamatan
benda gadai seperti yang diatur oleh Pasal 1150 BW, harus
dibayar terlebih dahulu dari piutang gadai, mengingat dengan
diselamatkannya benda gadai maka hak gadai tidak musnah,
sehingga pemegang gadai tetap beposisi sebagai kreditor
preferen. Beaya perkara seperti yang diutarakan oleh pasal
1139 angka 1 BW

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 176 | P a g e


dan pasal 1149 angka 1 BW, wajar kalau harus dilunasi
terlebih dahulu dari pada gadai ataupun hipotek, sebab proses
perkara memerlukan beaya itu adalah dalam rangka
pelaksanaan lelang yang akan menghasilkan dana demi
terjadinya pelunasan piutang. Jasa ini harus dihormati, karena
porses yang telah makan beaya itu berujung pada dicapainya
pelunasan piutang istimewa milik kreditor gadai ataupun
kreditor hipotek.
Menyimak secara sesakma kehadiran pasal 1134 BW,
baik prinsip dasar ataupun keekecualiannya, ternyata
penguasa memberikan kesamaan aturan hukum yang
hakekatnya tidak pernah lepas dari kepentingan perputaran
roda bisnis dalam kehidupan masyarakat. Hegemoni besar
dari penguasa tidak dipergunakan secara serampangan, justru
kewenangan yang dimilki dipakai sebagai landasan
pembuatan aturan hukum yang diupayakan guna menciptakan
situasi yang kondusif demi kelancaran, kenyamanan dan
kepastian dunia bisnis. Pembenturan antara lemaga hukum
dalam kodifikasi yang dibuatnya, dan itu secara potensial bisa
muncul dalam praktek keseharian, sudah diantisipasi
bagaimana cara menyelesaikannya secara adil dan pasti,
sehingga tak bakal menimbulkan keributan di kalangan para
pelaku pasar. Penguasa dengan regulasi yang dibuatnya,
selalu diharapkan oleh dunia bisnis, agar tidak memasung
kebebasan pasar yang terus bergerak dengan berhias inovasi-
inovasi progesif tanpa henti barang sejenak.
Demikian juga kekecualian yang termaktub dalam
pasal 1137 BW yang sudah menyangkut kepentingan publik,
selayaknya kalau wajib didahulukan pembayarannya dari
pada urusan privat yang sudah memperoleh manfaat. Utang
pajak misalnya, adalah layak harus dibayar terlebih dahulu

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 177 | P a g e


dari gadai dan hipotek, mengingat dari pajak itulah antara
lain dari roda pemerintahan diputar oleh penguasa. Dengan
berputarnya roda pemerintahan yang akhirnya dapat berjalan
dengan lancar. Wajar kalau jasa penguasa yang mampu
menjamin situasi kehidupan yang aman perlu diberi imbalan
sebagaian dari keuntungan yang diperoleh para pembisnis
dalam wujud resmi berupa pajak, mengingat memutar roda
pemerintahan itu juga memerlukan pembeayaan yang tidak
kecil. Jadai pajak sebagai utang publik harus didahulukan
pembayarannya dari pada gadai dan hipotek.
Andai piutang istimewa yang saling berbenturan
ternyata memiliki kedudukan yang sama, sesuai dengan yang
diatur oleh pasal 1136 BW akan dibayar menurut
keseimbangan. Pola pengaturan pasal 1136 BW ini kalau
diperhatikan ternyata sejalan dengan apa yang ditetapkan
oleh pasal 1132 BW. Dari gambaran ini nampak jelas beatapa
pembentuk undang-undang selalu menekan arti pentingnya
sikap konsisten saat aturan hukum agar kepastian yang
dibutuhkan dunia bisnis tetap dapat terwujud. Demikian pula
dari seluruh paparan memberikan bukti nyata, bahwa
operasionalisasinya aturan hukum, potensial dapat
menimbulkan problema dengan kadarnya masing-masing,
namun untuk menangkalnya harus sudah disediakan fasilitas
jalar keluarnya guna mendapatkan penyelesaian yang relatif
cepat, murah, dan adil. Inilah gatra hukum yang wajib dijaga
dengan sesakma supaya tetap dapat berperan sebagai
bingkainya bisnis.
Untuk gadai dan hipotek sebagai piutang istimewa,
dalam kehidupan sehari-hari bakal saling bertabrakan,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 178 | P a g e


karena masing-masing lembaga jaminan kebendaan tersebut
memiliki obyek yang berbeda. Gadai obyeknya benda
bergerak, sedangkan hipotek obyeknya benda tidak bergerak,
maka keduanya tidak mungkin bertabrakan karena memiliki
lintas sendiri-sendiri tanpa ada tumpang tindih antara
keduanya.
8. Perkembangan di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa BW sebagai salah satu
ujud kodifikasi, usianya udah sangat renta, namun masih
harus melayani tata kehidupan bangsa indonesia yang sudah
banyak mengalami kemajuan. Tak ayal sosok BW sebagai
aturan hukum sudah barang tentu dalam beperapa hal banyak
mengalami kekurangan akibat kemajuan perkembangan
masyarakat, pasti akan membawa serta persoalan-persoalan
baru sesuai tuntutan kebutuhan yang mana acap kali
persoalan timbul tersebut tak dijumpai aturan khususnya
dalam BW. Terlebih lagi tatanan masyarakat belanda dari
mana BW bermuasal, jelas berbeda dengan struktur dan
karakter bangsa indonesia yang konon bercorak kekeluargaan
dan falsafah pancasila. Kesadaran hidup bebangsa dan
bernegara yang sduah berdaulat penuh, banyak memunculkan
gagasan-gagasan untuk hidup sesuai dengan kepribadian
nasional yang tumbuh kian subur sampai mengusik rasa dan
kesadaran hukum yang terdalam. Desakan kebutuhan
perlunya membentuk hukum nasional yang mandiri, menjadi
cita bangsa yang tak mungkin dibendung. Terlebih-lebih saat
dihadapkan pada aturan yang ada tentang benda berupa tanah,
terbukti pemerintah indonesia yang tidak ingin kehilangan
jati dirinya sebagai negara yang berdaulat, merasa

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 179 | P a g e


perlu menyisingkan lengan untuk membenahi hukum
pertahanan yang masih bertahan pada corak dualitas sebagai
warisan tinggalan zaman belanda tempo dahulu. Seperti
diketahui sejak belanda berkuasa, tanah di kawasan
nuasantara ini tunduk pada hukum yang berbeda, ada tanah
yang tunduk pada hukum barat, dalam hal ini BW, dan ada
tanah yang tunduk pada hukum adat. Demikian pula masing-
masing jenis tanah tersebut kalau dijaminkan juga memakai
lembaga yang berbeda, dimana untuk tanah yang tunduk pada
hukum barat memakai hipotek, sedang tanah yang tunduk
pada hukum adat, credietverband yang akan dipergunakan.
Dualisme ini dianggap sudah tak sesuai dengan kondisi
bangsa indonesia yang sudah merdeka, sehingga perlu
pembenahan dengan jalan melakukan upaya unifikasi
terhadap pengaturan benda tanah.
Sejatinya aturan sepanjang menyangkut tanah yang
menurut BW tergolong sebagai benda tidak bergerak,
ketentuan-ketentuannya tersedia lumayan lengkap dan rapi
namun oleh pemerintah indonesia aturan tersebut dianggap
tidak mencerminkan jati diri bangsa yang bercorak gotong
royong dan kental dengan falsafah kekeluargan. Pada hal
benda berupa tanah, merupakan bagian itegral dan strategis
dalam kehidupan berbanga dan bernegara. Nilai dan
kebutuhan akan tanah bagi anak bangsa, cenderung selalu
meningkat waktu ke waktu selaras dengan berputarnya roda
pembangunan yang berkelanjutan. Atas dasar tuntutan itulah
akhirnya pemerintah indonesia menerbitkan UUPA yang
kemudian secara tahap demi tahap berlanjut terus dengan
menggulirkan auran-aturan penjabarannya. Sesuai tuntutan
kebutuhan akhirnya soal penjaminan hak atas tanah yang
diperlukan dunia bisnis, pemerintah mengintrodusir UU.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 180 | P a g e


Hak Tanggungan yang eksistensinya tidak lepas dari prinsip-
prinsip UUPA dengan asas pemisahan horisontal sebagai
ikon utamanya. Berdasar pada UU Hak Tanggungan inilah
muncul lembaga jaminan kebendaan baru berujud hak
tanggungan di samping gadai dan hipotek yang selama ini
sudah akrab dipergunakan oleh rakyat Indonesia.
Benda berupa tanah yang dalam BW digolongkan
sebagai benda tidak bergerak, mana kala dijadikan obyek
jaminan, lembaga yang dipergunakan adalah hipotek.
Kelahiran lembaga jaminan hak tanggungan dengan obyek
hak atas tanah, tidak mengakibatkan eksistensi hipotek hapus
dari tatanan hukum di Indonesia. Keberadaan hak tanggung
an bukan untuk mengakhiri hidupnya hipotek, tetapi sekedar
mengamputasi saja, karena khusus hak atas tanah yang
diambil oleh hak tanggungan. Hipotek masih tetap eksis,
hanya saja obyeknya bukan lagi tanah namun tetap masih
dapat dipergunakan untuk membebani kapal laut dengan
bobot tertentu yang sudah terdaftar sesuai undang-undang.
Bahkan saat ini potensial hipotek juga dapat dipergunakan
untuk membebani pesawat terbang.
Langkah selanjutnya pemerintah Indonesia menetap
kan bahwa lembaga jaminan fidusia yang selama beberapa
dekade hidup berdasarkan hukum yurisprudensi, lalu dituang
dalam bentuk undang-undang agar supaya dapat menjamin
kepastian hukum lebih baik dan akurat. Lembaga jaminan
kebendaan fidusia yang sudah tertuang dalam bentuk undang
undang, harus diakui kalau karakternya memang lebih tegas
dan nyata sesuai watak wadahnya, walaupun dalam beberapa
aspek ada penyimpangan yang cukup mengganggu kalau
dirujukkan pada prinsip-prinsip Hukum Jaminan. Suatu

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 181 | P a g e


penyimpangan sepanjang ada landasan logika yuridisnya,
merupakan hal yang wajar. Tetapi mana kala penyimpangan
tersebut tidak taat asas yang secara fundamental wajib
dipedomani, tak ayal operasionalisasi perangkat hukum yang
bersangkutan pasti akan mengundang debat berkepanjangan
yang ujung-ujungnya memunculkan kegaduhan sehingga
merusak tatanan sistem hukum itu sendiri.
Berdasar kelahiran UU Fidusia sesungguhnya dari
kandungan pengaturan obyeknya, muncul jenis pembagian
benda secara baru, yakni berupa penggolongan benda modal
dan benda bukan modal. Adapun makna sederhananya,
bahwa yang dimaksud benda modal adalah benda yang
dipergunakan untuk menopang suatu usaha, baik itu berupa
tanah yang tidak dapat dijadikan obyek hak tanggungan,
ataupun benda bukan tanah. Sedang pengertian benda bukan
modal, berarti eksistensi benda yang bersangkutan tidak
memegang peran dalam suatu usaha. Gagasan ini timbul
mengingat obyek fidusia baik secara langsung maupun tidak
langsung, ternyata banyak berkait dengan operasionalisasi
sebuah usaha yang dikelola oleh sesuatu pihak yang
kemudian benda modal itu dipergunakan sebagai agunan
dalam rangka mendapatkan dana pinjaman untuk
memperbesar usaha tersebut. Benda modal yang dimaksud,
kalau hendak diikat dengan sebuah perjanjian jaminan berupa
gadai misalnya, justru benda yang dipergunakan sebagai
salah satu sarana mengoperasikan usaha tersebut, sesuai
prinsip inbezitstelling harus dilepas dari kekuasaan nyata
debitor selaku pemilik benda. Tentu saja pola ini berakibat
usahanya malah tidak jalan, karena benda yang dipergunakan
untuk usaha harus diserahkan kepada kreditor. Pada sisi lain
kalau benda modal itu dapat dibebani dengan hak
tanggungan, sesuai lafal UU

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 182 | P a g e


Fidusia sendiri, maka benda yang bersangkutan tidak boleh
dipergunakan sebagai obyek fidusia. Demikian juga bila
benda modal tersebur misalnya dapat dibebani dengan
hipotek, ini berlawanan dengan hakckat keberadaan fidusia
sendiri sebagai lembaga jaminan yang sejak semula
diperuntukkan bagi golongan ekonomi kecil dan menengah.
Memang untuk masa sekarang sesuai perkembangan,
sangat dimungkinkan benda modal itu dibebani dengan
lembaga jaminan fidusia oleh pemilik benda yang tergolong
besar kekuatan ekonominya, namun akan lebih cocok bila itu
sekedar sebagai jaminan tambahan untuk melengkapi
jaminan pokok yang sudah memakai lembaga jaminan
lainnya. Kemungkinan dipergunakannya lembaga jaminan
fidusia oleh golongan eknomi kuat, memang bukan
merupakan sesuatu yang tabu akibat kebutuhan dunia bisnis
yang pada dasarnya memang piawai mencari peluang.
Namun sampai dengan saat sekarang, fidusia ini yang
memakai sebagian besar adalah kalangan ekonomi menengah
ke bawah guna menggerakkan roda usahanya.
Harus diakui gagasan yang terutarakan mengenai
adanya usulan pendapat tentang pembagian benda modal dan
benda bukan modal, kemungkinan besar akan menimbulkan
silang pendapat, tetapi justru hal ini diharapkan dapat
memicu dan menyemarakkan perbincangan keilmuan secara
obyektif. Bagaimanapun ilmu tetap harus bergerak dan
berkontraksi sesuai tuntutan kebutuhan masyarakat yang
terus berkembang tanpa henti. Demikian pula dengan hukum
yang akan selalu dipergunakan sebagai bingkai kegiatan bis
nis, maka tak dapat diragukan, pasti juga mengalami
perubahan-perubahan.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 183 | P a g e


Kehadiran UU Hak Tanggungan dan UU Fidusia pada
kenyataannya lebih memperkaya lembaga jaminan kebendaan
di Indonesia, kendati juga akan banyak memuncul. kan
permasalahan di seputar Hukum Jaminan. Ini memang risiko
dari sebuah pilihan saat dunia bisnis dirasakan me merlukan
saranasarana hukum baru sesuai perkembangan yang terus
bergulir tanpa jeda. Pada hakekatnya hukum pantang
ditinggalkan oleh kemajuan bisnis, sepesat apapun laju bisnis,
hukum akan selalu berupaya memiliki kemampuan
mendampingi hiruk pikuknya pasar segaduh apapun.

9. Hak Tanggungan
Sejalan dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah
sebagai salah satu jenis benda, tentu memiliki posisi sentral
dalam kehidupan sosial, terlebih4ebih untuk dunia bisnis
justru memegang peran yang strategis. Nilai hak atas tanah
serasa tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan, justru
dari waktu ke waktu harga pasarnya terus meningkat. Apa
lagi di lingkungan masyarakat kota, urusan lahan menjadi
tuntutan kebutuhan yang nyaris mencekik akibat harganya
yang kian fantastis. Tak urung posisi strategis hak atas tanah
dalam kehidupan sosial menjadi kian sentral, nilai pen-
jaminannyapun makin penting dikaji, untuk kemudian
menjadi perlu difasilitasi dengan lembaga hukum yang
mapan dan sesuai dengan undang-undang induknya, yakni
UUPA. Apa bila UUPA punya misi untuk mencipta unifikasi
pengaturan seluk beluk tanah, maka dalam hal penjaminan
nya juga harus dituang dalam seperangkat undang-
undang yang tentu sajaharus selaras dengan hakekat
hukum pertanahan di Indonesia yang dilandaskan pada
Hukum Adat.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 184 | P a g e


Gaung unifikasi UUPA juga termanifestasi pada UU Hak
Tanggungan, sehingga tidak ada lagi dualisme lembags
jaminan untuk benda berupa tanah sebagaiana pernah terjadi
pada masa penjajahan Belanda tempo dulu. Lahirnya UU Hak
Tanggungan dengan secara tegas ditentukan macam hak atas
tanah yang mana sekiranya dapat dijadikan obyek jamin an,
tanpa perlu merujuk lembaga jaminan yang berbedabeda.
Keseragaman lembaga pengikatnya hak atas tanah harus
tunggal dan sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Jaminan
Kebendaan di mana ciri-ciri unggul selaku hak kebendaan
harus tetap ada.
Ikon asas pemisahan horisontal akibat dikenalnya
pembagian benda berupa tanah dan benda bukan tanah da lam
Hukum Adat sebagai landas pacu UUPA yang sudah
seharusnya juga tersemat dalam UU Hak Tanggungan,
menjadi karakter yang sangat berbeda dengan hipotek dalam
BW yang menganut asas perlekatan atau asas accessie.
Rentang perbedaan kedua asas tersebut, asas pemisahan
horisontal dengan asas perlekaran, tentu saja secara
signifikan akan membawa akibat hukum yang berlainan
pula.
UU Hak Tanggungan sebagai jabaran lanjut dari
UUPA yang sejak semula berlandas pada Hukum Adat, maka
sesungguhnya kalau disingkap lebih dalam, Hukum Adat
tidak mengenal apa yang dinamakan dengan hak pribadi dan
hak kebendaan. Hal ini sebenarnya secara prinsipiil
menyisakan pertanyaan yang lumayan mengganjal, apakah
hak tanggungan yang berinduk pada UUPA itu merupakan
hak kebendaan ataukah bukan. Bila dirunut sesuai dasarnya,
Yakni Hukum Adat, maka sulit dibayangkan apa bila hak
tanggungan itu bukan tergolong sebagai hak kebendaan,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 185 | P a g e


mengingat dalam pasal-pasal UU Hak Tanggungan justru
ciri-ciri unggul hak kebendaan tersemat erat. Inilah
sebuah dilema yang harus disikapi secara bijak supaya
keberadaan hak tanggungan sebagai lembaga jaminan
kebendaan memperoleh tempat yang semestinya dalam
susunan tara hukum nasional
Keberadaan ciri unggul hak kebendaan yang tertera
dalam UU Hak Tanggungan, misalnya dapat digeledah dalam
Pasal 1 angka 1 UU Hak Tanggungan yang di dalamnya
terselip pernyataan bahwa hak tanggungan itu mengandung
ciri preferensi. Demikian pula kalau berlanjut menelusuri
Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang mencerminkan adanya
sifat droit de suite. Ciri hak kebendaan lain yaitu asas
spesialitas tercermin juga dalam Pasal 11 ayat 1 huruf e UU
Hak Tanggu ngan. Demikian juga pentingnya peran asas
publisitas dalam hak kebendaan, tertayang jelas dalam Pasal
13 UU Hak Tanggungan. Mencermati ketentuan-ketentuan
tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa hak tanggungan
selayaknya harus dianggap tergolong sebagai hak jaminan
kebendaan.
Selewat mencermati keberadaan beberapa ciri hak
kebendaan yang tertoreh dalam pasal-pasal UU Hak Tang
gungan sebagaimana contoh paparan di atas, kalau kemudian
mengingkari bahwa hak tanggungan itu tergolong sebagai
hak kebendaan, adalah janggal dan pasti akan menimbulkan
gaung ratapan panjang yang memilukan. Bidak-bidak aturan
UU Hak Tanggungan memang akan menyisakan rentang
keraguan mendalam bila dikaitkan dengan muasal induknya,
yaitu Hukum Adat. Harus diakui kalau tetap terpaku pada
permasalahan ini, hanya menghasilkan keletihan panjang
tanpa ada ujung yang dapat diraih demi mendapatkan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 186 | P a g e


pencerahan yang akurat. Menerima kehadiran UU Hak
Tanggungan sebagaimana ujud aturan hukum demi meno
pang kegiatan bisnis, adalah lebih arif ketimbang terseret
pada kancah perdebatan yang hanya menyamarkan
penampilan konsisten.
Apa yang termanifestasi dalam Pasal 1 UU Hak Tang
gungan, bahwa piutang pemegang hak tanggungan memiliki
ciri preferensi, di mana pelunasannya harus lebih
didahulukan dari kreditor lain, maka sudah selayaknya kalau
piutang tersebut lalu digolongkan sebagai piutang istimewa.
Untuk itu menjadi wajar kalau jenis piutang istimewa dalam
Pasal 1133 BW perlu ditambah dengan piutang istimewa
milik kreditor pemegang hak tanggungan. Berarti sedasar
dengan perkembangan yang terjadi dalam tatanan hukum di
Indo nesia, segala apa yang tertera dalam BW tidaklah tabu
untuk mendapatkan tambahan. Meski sudah sering dikatakan
bahwa sifat Buku II BW pada dasarnya adalah tertutup,
namun sifat tertutup itu tidaklah mudak, sehingga beberapa
hal baru akibat terbitnya undang-undang yang diintrodusir
pemerintah, sudah selayaknya diakui, kendati dalam beberapa
hal bisa timbul kejanggalan. Sementara peristiwa ini harus
diterima sebagai salah satu konsekwensi penggarapan alur
Hukum Benda yang belum dilakukan secara komprehensif
oleh pemerintah.

10.Fidusia
Pemerintah Indonesia terus berbenah demi melayani
tuntutan kebutuhan masyarakat yang selalu berkembang
sesuai pertumbuhan iklim ekonomi nasional, sehingga dalam

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 187 | P a g e


langkah berikutnya dilahirkanlah UU Fidusia menyusul
terbitnya UU Hak Tanggungan. Beberapa dasa warsa
lembaga jaminan fidusia ini dikembangtumbuhkan oleh dunia
yurisprudensi, sehingga keberadaannya sudah sedemikian
lekat dengan para pelaku bisnis, khususnya dalam upaya
penyaluran dana pinjaman bagi golongan ekonomi lemah.
Lembaga gadai yang tersedia dalam BW tak mungkin
didayagunakan akibat benda yang dijadikan obyek jaminan
justru harus tetap secara nyata dikuasai debitor agar usahanya
bisa terus berjalan dan mendatangkan hasil yang sebagiannya
nanti akan dibayarkan sebagai angsuran utangnya sampai
lunas, namun inberitstelling sebagai suatu syarat sahnya
gadai tak dapat ditanggalkan. Memakai hipotek ataupun hak
tanggungan, kemungkinannya juga tertutup akibat
penguasaha kecil menengah yang bersangkutan tak punya
lahan ataupun benda miliknya tak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan undangundang. Terobosan hukum yang
secara historis muncul adalah lembaga jaminan berupa
fidusia yang ternyata mampu melayani kebutuhan para
pengusaha kecil menengah yang jumlahnya relatif besar.
Didorong fakta hukum seperti itulah maka pemerintah
Indonesia tidak segan untuk memboyong lembaga jaminan
fidusia dari ranah yurisprudensi ke dalam bentuk undang-
undang yang konon kepastian hukumnya lebih terjamin.
Tak pelak kelahiran UU Fidusia disambut dengan
gegap gempita oleh dunia bisnis, khususnya yang berkaitan
dengan masalah pentingnya pembeayaan benda-benda modal
yang diperlukan oleh masyarakat. Benda modal yang
dibebani hak jaminan fidusia, sesuai karakternya harus tetap
dikuasai secara nyata oleh debitor untuk menjalankan
usahanya supaya ada penghasilan yang sebagian dari itu akan
diper-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 188 | P a g e


gunakan untuk mengangsur utangnya sampai lunas. Lembaga
pembeayaan dengan gesit memanfaatkan lembaga jaminan
fidusia ini untuk melayani kebutuhan benda-benda modal
yang diperlukan konsumen yang membelinya dengan cara
mengangsur. Skala keperluan benda modal yang bersentuh an
dengan sarana transportasi berupa kendaraan bermotor,
menjadi rerdongkrak secara besar-besaran dan berpengaruh
juga pada bertumpuknya pekerjaan Notaris yang ditugasi
membuatkan akta otentiknya perjanjian jaminan fidusia (lihat
Pasal 5 UU Fidusia). Dengan mengambil contoh penerbitan
UU Fidusia oleh pemerintah sebagai salah satu kebijakan
regulasi, ternyata plasma-plasma kekuatan ekonomi yang ada
dalam masyarakat baik yang kecil, menengah, ataupun besar,
dengan serempak bergerak menyemarakkan lalu lalang
kegiatan bisnis. Gaungnya keberlakuan UU Fidusia mampu
menggetarkan kehidupan ekonomi puluhan ribu pintu rumah
tangga rakyat yang kemudian menggeliat berubah menjadi
gelombang pasang untuk ikut menyumbang pertumbuhan
ekonomi nasional. Ini merupakan salah satu bukti bahwa
sarana hukum pada dasarnya akan dijadikan landas pacu
pergerakan ekonomi nasional suatu bangsa dalam rangka
mengejar tingkat kesejahteraan yang lebih mapan.
Baik lembaga bank ataupun lembaga pembeayaan
lain, bergerak serempak menyambut permintaan dana
pinjaman guna memenuhi kebutuhan benda modal dari
masyarakat, dan jurus pengamanpun perlu digelar dengan
cara membuat perjanjian jaminan fidusia demi membentengi
perjanjian pembeayaan sebagai perjanjian pokoknya. Obyek
yang diikat dalam perjanjian jaminan fidusia tersebut, tak lain
adalah benda modal yang perolehannya dibeli dari
pembeayaan yang dikucurkan oleh kreditor. Perjanjian

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 189 | P a g e


pembeayaan yang kemudian ditopang dengan perjanjian
jaminan fidusia, sesuai Pasal 1 angka 2 UU Fidusia, ke
dudukan piutang pihak yang mengeluarkan dana pembeaya
an, memiliki preferensi karena pelunasannya harus
didahulukan dari kreditor lain. Berdasar ketentuan tersebut
maka piutang kreditor yang mengucurkan dana pembeayaan
menjadi tergolong sebagai piutang istimewa. Oleh sebab
itulah sesuai perkembangan di Indonesia, jenis piutang
istimewa dalam Pasal 1133 BW perlu ditambah, selain hak
tanggungan juga fidusia. Jadi dalam tatanan Hukum Jaminan
Kebendaan di Indonesia, sedasar dengan Pasal 1133 BW
dengan perkembangannya, dikenal ada lima (5) macam
piutang istimewa, yakni privilege, gadai, hipotek, hak
tanggungan, dan fidusia. Mana kala dalam operasionalisasi
bisnis terjadi perbenturan antar piutang istimewa tersebut,
penyelesaiannya dapat memakai ketentuan BW selaku
pedomannya.

11. Benturan Antar Jenis Piutang Istimewa Saat Ini


Sesuai derasnya regulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia di berbagai bidang hukum, ternyata
membawa akibat tambah banyaknya jenis privilege yang
dimunculkan oleh beberapa undang-undang yang dibuat
penguasa tanpa memperhatikan bidang-bidang hukum lain
yang terkait. Akibatnya privilege yang dilahirkan oleh
banyak undang-undang tersebut menjadi carut marut apa bila
terjadi benturan di antara mereka, karena tidak ada ketentuan
khusus yang dapat dipergunakan sebagai solusi. Misalnya
saja dalam Undang-undang ketenagakerjaan, juga di bidang
asuransi, di dalamnya ada sosok privilege yang dinyatakan
pelunasan

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 190 | P a g e


piutangnya harus didahulukan. Bertebarnya banyak jenis
privilege dalam pelbagai undang-undang, secara potensial
dapat terjadi benturan antara yang satu dengan leinnya tanpa
dapat diberikan solusi yang tepat akibat tidak adanya norras
yang bisa dipakai sebagai dasar hukum.

Carut marutnya keberadaan berbagai jenis privilepe


saat ini, menjadi lebih parah lagi apabila privilege tersebut
lalu bertabrakan dengan jenis piutang istimewa lain seperti
gadai, hipotek, hak tanggungan, ataupun fidusia. Antars
undang-undang yang satu dengan lainnya ternyata tidak
saling mendukung guna mencipta sebuah sinergitas dalam
tatanan hukum nasional. Kondisi ini sudah barang tentu akan
menimbulkan kegelisahan bagi pelaku pasar saat menggeluti
dunia bisnis, karena hukum yang diandalkan sebagai bingkai
justru tidak dapat menjamin adanya kepastian hukum yang
diperlukan. Memang kegalauan ini bukannya tanpa dasar,
terapi hukum sendiri sebagai sebuah sistem tentunya
wajib memberikan harapan bagi rumbuh kembangnya pasar
yang sehat. Secercah harapan masih dapat ditimang
meski digelayuti oleh kekhawatiran, yakni sebuah
penyelesaian lewat tangan hakim. Ketiadaan pasal yang dapat
dipakai sebagai dasar penyelesaian perbenturan antar
privilege juga tabrakan dengan jenis piutang istimewa
lainnya, pada saat ini harapan untuk mendapatkan solusi
hanya dapat digantungkan pada hukum yurisprudensi yang
terbentuk lewat badan peradilan.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 191 | P a g e


Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 192 | P a g e
BAB VIII
PENUTUP

K egiatan bisnis apapun akan selalu memerlukan


bingkai hukum, sehingga bagi para pelaku pasar akan
mendapatkan kerangka kepastian hukum dan keadilan bagi
usaha yang dikelolanya. Pada dasarnya bingkai tersebur
adalah kontrak atau perjanjian. Lewat perakitan klausula
kalusula perjanjian, para pihak dapat saling menawarkan
kehendaknya untuk kemudian berujung pada kesepakatan
bersama. Bisnis dalam dunia perbankan yang fokusnya pada
kegiaran penyaluran dana pinjaman, maka antara bank selaku
kreditor dengan nasabah sebagai debitor, akan terhubung satu
dengan lainnya dalam ujud perjanjian kredit. Dengan adanya
perjanjian kredit sebagai perjanjian tak bernama, sesuai Pasal
1233 BW akan lahir perikatan antara para pihak, sehingga di
pundak masing-masing kontrakran akan terpikul suatu
kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban sebagai ujud
prestasi, mengingat kelahirannya ada dalam ruang lingkup
Buku III BW, jenis hak yang lahir dari perjanjian kredit ter
sebur, tergolong sebagai hak pribadi. Pihak bank selaku kre-

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 193 | P a g e


ditor yang memiliki hak tagih atau piutang yang
terkwalifikasi sebagai hak pribadi, kalau hanya dijamin oleh
Pasal 1131 BW, posisi hukumnya sekedar sebagai kreditor
konkuren. Jelas dengan kedudukan sebagai kreditor
konkuren, bank akan terancam kepentingannya untuk
mendapatkan kembali dana yang dipinjamkan, andai di
belakang hari debitor wanprestasi.
Apabila benar debitor wanprestasi, agar bank dapat
memperoleh kembali dana yang dipinjamkan, baru akan ber:
hasil setelah menempuh labirin proses gugat ginugat di
pengadilan yang memakan waktu dan beaya yang tidak kecil.
Andai berhasilpun, sesuai proses berdasar Pasal 1131 jo.
1132 BW, sangat potensial jumlah pelunasan piutang yang
diper oleh tidak utuh seperti yang diharapkan. Maklum,
sesuai proses dapar terjadi hasil lelang harta debitor atas
dasar Pasal 1131 BW tak mencukupi untuk membayar lunas
seluruh tagihan.
Kondisi sebagai kreditor konkuren, bagi bank sangat
tidak ideal, apa lagi kalau dirujukkan pada prinsip
kehatihatian yang wajib didirikan oleh bank selaku lembaga
inter mediary. Untuk menangkal risiko rugi sebagai kreditor
konkuren, dapat dihindari sejak dini apabila setelah membuat
perjanjian kredit, lalu disusul dengan membuat perjanjian
jaminan kebendaan sebagai salah satu upaya penyimpangan
terhadap Pasal 1131 BW. Dengan demikian pola penyaluran
dana pinjaman oleh bank kepada masyarakat, dikemas dua
(2) macam perjanjian, yaitu perjanjian kredit sebagai
perjanjian pokok, lalu disusul dengan pembuatan perjanjian
jaminan kebendaan yang terkwalifikasi sebagai perjanjian
accessoir atau perjanjian tambahan. Sebab dari perjanjian
kredit selaku perjanjian pokok akan lahir sebuah piutang
yang berposisi

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 194 | P a g e


sebagai hak pribadi, lalu ditopang oleh perjanjian jaminan
kebendaan sebagai perjanjian accessowr yang melahirkan hak
jaminan kebendaan, baik itu berupa gadai, hipotek, hak
tanggungan, atau fidusia. Jadi sebenarnya hukum sebagai
bingkai bisnis sudah mempersiapkan sarana lembaga-
lembaga jaminan kebendaan, untuk dapat dipergunakan
sedini mungkin sebagai penangkal risiko.
Piutang bank yang didukung oleh gadai, hipotek, hak
tanggungan, atau fidusia, menyebabkan piutang tersebut akan
berkedudukan sebagai piurang istimewa sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 1133 BW, di mana piurang tersebut
dilekati ciri preferensi, dalam arti pelunasannya harus lebih
didahulukan dari kreditor lain. Berarti kreditor dengan
memiliki piutang istimewa akan terkwalifikasi sebagai
kreditor preferen dan menanggalkan baju kreditor
konkurennya, sehingga saat untuk mendapatkan pelunasan
tidak perlu bersaing dengan kreditor lainnya.
Posisi sebagai kreditor preferen yang memiliki
piutang istimewa, memang bukan berarti tanpa ada
pesaingnya. Sebab ada pula jenis piutang istimewa lain yang
dicipta oleh penguasa, yaitu privilege yang berdasar undang-
undang dapat saja suatu saat mendesak posisi kreditor
preferen. Gambaran ini dapat disimak dalam Pasal 1134 BW,
namun tertangguhkannya pelunasan piutang kreditor preferen
tersebut, tidak selalu terjadi setiap kali berhadapan dengan
pnvilege. Sebaliknya hanya dalam peristiwa-peristiwa
tertentu sebagaimana ditetapkan undang-undang saja
penangguhan pelunasan kreditor preferen itu terjadi akibat
harus didahulukannya pelunasan piutang kreditor pemilik
privilege. Penangguhan pelunasan piutang kreditor preferen
inipun ada dasarnya,

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 195 | P a g e


mengingat posisi kreditor pemilik priwlege berlandas pada
per timbangan bisnis memang sudah separutnya lebih
didahulu kan pelunasan piutangnya.

Rangkaian aturan penyelesaian benturan antar piutang


istimewa yang tersedia dalam BW, dirakit lumayan rapi dan
adil. Hanya saja saat pemerintah Indonesia meng. introdusir
beberapa undang-undang yang di dalamnya terselip beberapa
sosok privilege, justru tidak dibuatkan norma khususnya
demi mengatasi kalau suatu saat terjadi tubrukan antar
piutang istimewa yang ada. Inilah yang kadang membuar
kericuhan dalam hal pasca sita eksekusi, di mana hasil
perjualan lelang itu harus dibayar pertama-tama kepada
kreditor pemegang piutang istimewa yang mana. Untuk
mengatasi keadaan yang tidak menentu seperti ini, harapan
hanya dapat digantungkan pada terbentuknya hukum
yurisprudensi dari ranah peradilan yang entah kapan dapat
dijadikan andalan pemecah probiemarika berbagai tabrakan
antar piutang istimewa yang ada.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 196 | P a g e


DAFTAR BACAAN

Bailey, J. Henry, Richard B. Hagedom, Secured Taansactions


In A Nutshell, West Publishing Co., West Publishing,
Sx Paul Minnesora, 1988.
Barth, R. James, et., al., Rethinking Bank Regularion, Till
Angels Govern, Cambridge University Press.,
Cambridge, 2008.

Busch, Andreas, Bankng Regularion And Globalizarion,


Oxford University Press., Oxford, 2009.

Carvan, J. C., J. V. Gooley, E. L. Mc Rae, A Guide To


Business Law, LBC Information Services, Sydney,
1996.

Cranston, Ross, Principles of Banking Law, Clarendon Press,


Oxford, 1997.
Emanuel, Steven, Secured Transactions, Emanuel Law
Outlines Inc., New York, 1988.
Keenan, Denis, Sarah Riches, Business Law, Pearson
Longman, London, 2002.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 197 | P a g e


Macep, R. Jonathan, Geoffrey P. Miller, Banking Law And
Regulation, Little, Brown and Company, Boston,
1992.

Pheng, Lee Mei, Detta Samen, Banking Law, Malaya Law


Journal, Kuala Lumpur, 2002.

Whaley, J. douglas, Secured Transactions, Harcourt Brace


Legal and Professional Publication, Inc. Chicago,
1991.

Woon, Walter, Basic Business Law In Singapore, Prentice


Hall, Singapore, 1995.

Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 198 | P a g e


Prof Dr. H. Moch. Isnaaeni, S.H., M.S. 199 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai