HUKUM JAMINAN
Disusun Oleh :
TSANIA AZIZIYAH
1711111167
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA
SURABAYA
2021
BAB II
BAB I
HAK KEBENDAAN LAIN BAB III
HAK JAMINAN MENURUT
YANG BERSIFAT PERJANJIAN JAMINAN
HUKUM PERDATA
MEMBERIKAN JAMINAN
BAB VII
BAB VIII BAB IX
PROBLEMATIKA TITEL
EKSEKUSI OBYEK HAK EKSEKUSI OBYEK HAK
EKSEKUTORIAL
TANGGUNGAN SECARA TANGGUNGAN SECARA
SERTIFIKASI HAK
DIBAWAH TANGAN PARATE EXECUTIE
TANGGUNGAN
BAB XII
BAB XI BAB X
PERLINDUNGAN HK BAGI
EKSEKUSI OBYEK HAK EKSEKUSI OBYEK HAK
PIHAK YG TERKAIT
TANGGUNGAN MELALUI TANGGUNGAN MELALUI
PERNJUALAN DI HAK
PUPN PENGADILAN
TANGGUNGAN
BAB I
HAK JAMINAN MENURUT HUKUM PERDATA
4. JAMINAN
MENGUSAI 5. JAMINAN
BENDA & TANPA REGULATIF &
MENGUASAI NON REGULATIF
3. JAMINAN BENDA 6. JAMINAN
BENDA BERGERAK KONVENSIONAL &
& BENDA TIDAK NON
BERGERAK KONVENSIONAL
2. JAMINAN 7. PEMBEDAAN
KEBENDAAN & HAK JAMINAN DI
PERORANGAN BELANDA & AS
HAK
1. JAMINAN JAMINAN 8. HAK JAMINAN
ATAS RESI
UMUM & KHUSUS MENURUT GUDANG
HK PERDATA
Kredit oleh bank tidak selalu harus
disertai syarat adanya agunan atau
KTA, sebab jaminan sudah dianggap
ada dengan melihat peluang dan
prospek usaha yang cerah dari calon
debitor dimana sumber dana bagi
pembayaran kembali kredit tersebut.
• Hak jaminan atas resi gudang (UU NO. 9 TH 2011) lahir dari
kebutuhan praktik terutama untuk memenuhi kebutuhan
pelaku usaha di bidang Sistem resi gudang. Sistem resi gudang
adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan,
pengalihan, pinjaman dan penyelesaian transaksi resi gudang.
HAK JAMINAN ATAS Resi gudang adalah Dokumen kepemilikan atas barang yang
RESI GUDANG disimpan di gudang diterbitkan oleh pengelola gudang.
Dokumen kepemilikan barang yang disimpan di gudang
tersebut dapat dijadikan jaminan dengan nama Hak jaminan
atas resi gudang. Ketentuan hak jaminan atas resi gudang
diatur secara khusus dalam Pasal 12 s/d Pasal 16 Undang
Undang Sitem Resi Gudang.
BAB II
HAK KEBENDAAN LAIN YANG BERSIFAT MEMBERIKAN
JAMINAN
PREVILEGI PREVILEGI
KHUSUS UMUM
PERJANJIAN
JAMINAN
1. Latar
7. Pengaturan
Belakang
Perjanjian
Lahirnya
Jaminan
Perjanjian
dalam BW
Jaminan
6. Jenis
2. Pengertian
Perjanjian
Menurut Ahli
Jaminan
3. Hak
5. Akibat
Debitur dan
Hukum
Kreditur
4. Sifat-Sifat
Perjanjian
Jaminan
Semua Kreditur dinyatakan sama dan
LATAR BELAKANG LAHIRNYA Pasal 1131 BW menyatakan bahwa
tidak ada yang diistimewakan
semua harta kekayaan debitur jadi
PERJANJIAN JAMINAN (kreditur konkuren), serta tidak ada
jaminan untuk pelunasan hutangnya.
harta debitur yang bersifat khusus.
• Pengertian perjanjian jaminan ada di dalam buku III BW yang membahas tentang
Perikatan dan buku II yang membahas tentang barang.
• Menurut Gerald G Thain yaitu, “perjanjian jaminan adalah suatu kesepakatan di mana
suatu pihak baik sebagai individu/pribadi atau sebagai badan usaha (organisasi bisnis),
memberikan pinjaman atau kredit kepada pihak lain dengan harapan bahwa pinjaman
tersebut akan dibayar kembali dengan bunga yang sesuai dan jika syarat-syarat dalam
transaksi pemberian kredit (hutang) tersebut tidak dipenuhi, maka pihak terjamin
(kreditur)- pihak yang kepada siapa kewajiban harus dipenuhi akan dapat menuntut
haknya atas barang jaminan”.
• Thain memberi penjelasan mengenai barang jaminan. Barang jaminan digambarkan
sebagai dana yang dibutuhkan debitur untuk mengembangkan usahanya, yang
didapatkan dari kreditur. Hal tersebut dilakukan agar harta kekayaannya dapat
dijadikan jaminan pembayaran kembali hutangnya pada Kreditur.
• HAK KREDITUR
1. Hak untuk memperoleh kembali pelunasan piutangnya dari debitur,
2. Hak menguasai harta kekayaan yang dijaminkan apabila terdapat kegagalan
pembayaran hutang oleh debitur.
• HAK DEBITUR
1. Mendapatkan kembali harta jaminannya dengan membayar hutang dan menghapus
hak jaminan atas harta kepemilikan oleh kreditur,
2. Mendapatkan kembali harta jaminannya, kecuali jika kreditur telah mengalihkan
barang tersebut pada pihak ketiga sesuai klausula perjanjian jaminan.
HAK TANGGUNGAN
DALAM SISTEM
HUKUM JAMINAN
NASIONAL
ASAS PEMISAHAN
HORISONTAL DALAM
HAK TANGGUNGAN
PROSPEK HAK
TNGGUNGAN DALAM
MENGHADAPI ERA
GLOBAL
Pluralisme berlaku di Indonesia sejak
zaman Kolonial Belanda hal ini semakin
tampak karena tindakannya bagian dari Sehingga muncul dualism hukum
HAK TANGGUNGAN DALAM SISTEM politik devide et impera yang artinya dengan dianutnya sistem hukum Barat
HUKUM JAMINAN NASIONAL membagi penduduk Indonesia menjadi dan hukum Adat dalam mengatur
tiga (3) golongan yaitu golongan Eropa, pertanahan di Indonesia
Timur Asing dan Bumiputera (Pasal 163
Indische Staatsregeling).
Hak Tanggungan diatur dalam UUC NO. Dalam UU Hak Tanggungan dikatakan
4 TH 1996 yang diterbitkan sebagai sebagai unifikasi hak jaminan atas Hingga saat ini hukum benda yang
pelaksana Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. tanah sebenarnya tidak sepenuhnya berlaku di Indonesia masih bersifat
Dalam penerbitan UU NO. 4 TH 1996 tepat, namun karena sebagai suatu dualistis yakni untuk benda bergerak
bertujuan untuk mengakhiri dualisme upaya untuk memberikan kepastian sebagaimana diatur dalam Buku II BW
dalam pengaturan hak jaminan atas dan modernisasi hukum jaminan dan untuk benda tidak bergerak
tanah yang sebagaimana sebelumnya dengan obyek tanah, maka kelahiran khususnya dalam bidang tanah yakni
menggunakan lembaga jaminan hipotik Undang-Undang Hak Tanggungan dapat diatur dalam UUPA.
dan credietverband. dianggap sebagai suatu kemajuan.
•Hukum Barat yang mengenal pembagian benda yang menjadi bergerak dan
tidak bergerak.
•Asas perlekatan vertikal merupakan dasar pemikiran yang dianut oleh hukum
tanah Barat sebagaimana yang diatur dalam BW Pasal 571(1).
•Dalam perkembangan hukum dan ekonomi, belakangan ini asas perlekatan
sebagaimana yang dianut hukum tanah Barat mengalami pergeseran. Oleh
ASAS ACCESIE karena itu para ahli hukum tanah di Negara Barat melakukan pengelompokan
terhadap hak – hak yang ada diatas sebidang tanah yang didirikan bangunan
(PERLEKATAN) VERTICAL dalam bentuk strata titel atau rumah susun.
Dalam rangka menghadapi globalisasi dan liberalisasi, Indonesia masuk menjadi anggota asosiasi
negara baik nasional maupun internasional. Dikawasan Asia Pasifik, Indonesia menjadi anggota APEC
(Asia Pasific Economic Cooperation), kemudian pada tingkat ASEAN, Indonesia masuk dalam
organisasi AFTA (Asean Free Trade Area) dan pada tingkat Internasional, Indonesia masuk dalam
GATT (General Agreement on Trade and Tariff).
Oleh karena itu untuk mengantisipasi membanjirnya orang asing ke Indonesia baik
mempunyai usaha di Indonesia maupun yang bekerja sebagai tenaga kerja asing atau
hanya sekedar sebagai turis tapi secara berkala sering berkunjung ke Indonesia,
pemerintah meluncurkan PP No. 41 Tahun 1996 tentang pemilikan rumah tinggal oleh
orang asing.
Oleh karena ini kesiapan UUHT dalam menghadapi era globalisasi dan liberalisasi
terkait dengan sifat, ciri, dan asas-asasnya lebih banyak mengadopsir unsur hukum
Barat ketimbang Hukum Adat, maka keberadaan Hak Tanggungan ini diharapkan dapat
mengantisipasi maraknya perjanjian bisnis dan investasi yang melibatkan pihak asing.
BAB V
HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4
TAHUN 1996
1. PENGERTIAN
HAK
TANGGUNGAN
7. HAPUSNYA 2. ASAS-ASAS
HAK HAK
TANGGUNGAN TANGGUNGAN
HAK
TANGGUNGAN
MENURUT UU
6. EKSEKUSI NO. 4 TH 1996
3. OBYEK DAN
HAK
SUBYEK
TANGGUNGAN
4. APHT,
5. BUKU TANAH
SKMHT &
& SERTIFIKAT
JANJI-JANJI
HAK
HAK
TANGGUNGAN
TANGGUNGAN
PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN
• Menurut Pasal 1 angka 1 UU NO. 4 TH 1996, bahwa hak tanggungan adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah, untuk
pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Pasal 20 UUHT memuat 3 (tiga) cara mengenai tata cara eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu :
1. Eksekusi berdasarkan janji untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri;
2. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan; dan
3. Eksekusi melalui penjualan obyek hak tanggungan secara di bawah tangan berdasarkan kesepakatan
yang dibuat antara pemegang dan pemberi hak tanggungan.
Debitur dikatakan wanprestasi apabila tidak melaksanakan kewajiban membayar angsuran kredit
sebagaimana yang telah dituangkan dalam perjanjian. Menurut Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata jika dalam perikatannya telah dibuat suatu ketetapan, maka debitur harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang telah ditentukan.
Dalam perjanjian kredit (yang merupakan perjanjian pokok) yang dibuat oleh bank (kreditur) dan nasabah
(debitur) umumnya dicantumkan ketentuan mengenai wanprestasi. Apabila bank (kreditur) secara
sepihak telah menyatakan suatu kredit sebagai kredit macet, maka sejak saat itu pula perjanjian kredit
menjadi status quo, dan tidak ada penambahan bunga atas kredit yang dinyatakan macet tersebut.
Tindakan penyelamatan dana oleh bank dilakukan sejak kredit memerlukan perhatian khusus karena
disana terjadi tunggakan sampai 90 hari pembayaran. Pada kondisi demikian bank memanggil debitur
guna membicarakan kredit yang mulai bermasalah tersebut.
Apabila upaya tersebut tidak membawa hasil, tetapi justru malah bertambah parah, yakni terjadi kredit
macet, maka untuk mengurangi kerugian, bank melakukan penjualan barang agunan yang sebelumnya
telah diberikan oleh debitur jaminan kredit.
Upaya penyelamatan kredit melalui penjualan barang jaminan tidak dilakukan sendiri oleh bank, namun
memerlukan kerjasama dengan lembaga lain, yaitu : Bagi bank Pemerintah, penyelesaian kredit macet
dilakukan dengan menyerahkan kepada Lembaga Khusus, yaitu Panitia Urusan Piutang Negaa (PUPN).
Bagi bank swasta, peyelesaian kredit macet dilakukan dengan menggunakan aturan yang disediakan oleh
hukum bagi kreditur, yaitu apabila ditempuh melalui pelelangan umum, maka dilakukan dengan
perantaraan Pengadilan Negeri.
Hasil dari pelelangan umum akan digunakan untuk membayar hutang debitur. apabila terdapat sisa dari
hasil penjualan lelang tersebut, setelah dikurangi untuk pembayaran hutang beserta bunga dan biaya-
biaya yang timbul dari proses pelelangan, maka sisanya akan dikembalikan kepada debitur.
Apabila masih terdapat kekurangan pembayaran, maka akan dibebankan kepada debitur dan tetap
menjadi hutang debitur yang harus dibayar kepada kreditur. Namun, kedudukan kreditur telah berubah,
yang semula kreditur preferen menjadi kreditur konkuren, hal ini didasarkan pada Pasal 1131 dan Pasal
1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BAB VII
PROBLEMATIKA TITEL EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT HAK
TANGGUNGAN
Pemegang hak tanggungan mempunyai hak dan fasilitas seperti yang terdapat pada
lembaga jaminan hipotik. Pengaturan seperti itu dimaksudkan untuk memberikan iklim
yang kondusif bagi kegiatan ekonomi, khususnya dunia perbankan di bawah payung
lembaga hak tanggungan. Namun pelaksanaan hak-hak istimewa kreditur ditafsirkan
secara keliru oleh Pembentuk UUHT, yakni tidak didasarkan pada grose akta yang
dibuat oleh notaris melainkan berdasarkan sertifikat yang dibuat oleh Kepala Kantor
Pertanahan.
Pembentuk B.W telah memberikan konstruksi hukum yang tepat atas pelaksanaan hak
kreditur, yakni didasarkan pada grose akta (hipotik) yang dibuat oleh notaris selaku
pejabat umum yang diawasi hakim. Sedang Pembentuk UUHT memberikan konstruksi
hukum yang keliru yakni pelaksanaan hak kreditur untuk mengeksekusi obyek hak
tanggungan secara paksa didasarkan pada sertifikat yang dibuat oleh pejabat eksekutif
yang tidak berada di bawah pengawasan hakim.
Konstruksi hukum yang keliru tersebut diberlakukan secara paksa dengan menjadikan
Pasal 224 H.I.R sebagai dasar eksekusi sertifikat hak tanggungan. Secara tegas telah
disebutkan oleh UUHT bahwa eksekusi obyek hak tanggungan yang dilakukan secara
paksa jika debitur wanprestasi adalah berdasarkan Pasal 224 H.I.R / 258 R.Bg. Padahal,
Pasal 224 H.I.R secara khusus mengatur eksekusi atas grose akta hipotik dan surat-surat
hutang (schuldbrieven) yang dijalankan secara paksa dengan bantuan dan di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 224 HIR tersebut bersifat limitatif dalam arti
yang dapat dieksekusi secara paksa atas bantuan Pengadilan Negeri hanyalah grose
akta hipotik dan surat hutang.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 isinya mengganti grose akta
hipotik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 224 H.I.R dengan sertifikat
hipotik. Agar sertifikat hipotik dapat dipersamakan kualitasnya dengan grose akta,
maka dilakukan "akal-akalan" atau rekayasa yaitu dengan mencantumkan irah-irah
pada sampul sertifikat hipotik. Kendati dalam Pasal 7 (2) PMA Nomor 15 Tahun
1961 tersebut di atas dikatakan bahwa sertifikat hipotik dan credietverband
mempunyai kekuatan eksekutorial, namun tidak disebutkan keharusan adanya titel
eksekutorial pada kedua sertifikat tersebut.
Ditegaskan kembali oleh SE Kepala BPN tersebut kembali menyatakan bahwa pada
akta hipotik dan credietverband tidak perlu ada titel eksekutorial, tetapi cukup
tercantum pada Sertipikat Hipotik/Credietverband. Oleh karena itu perintah untuk
mencoret titel eksekutorial juga harus berdasarkan undang-undang, bukan surat
edaran menteri atau pejabat setingkat menteri yang kedudukannya jauh berada di
bawah Undang-Undang.
BAB VIII
EKSEKUSI OBYEK HAK TANGGUNGAN SECARA DI BAWAH TANGAN
Menurut yurisprudensi jika pemilik tanah Selaku badan atau lembaga tata usaha
PUPN tidak berwenang memeriksa
merasa dirugikan oleh penyitaan PUPN negara PUPN seharusnya hanya
gugatan perlawanan atas eksekusi yang
maka dapat mengajukan keberatan ke menjalankan tugas pemerintahan, tidak
diajukan oleh pihak ketiga atau oleh pihak
Pengadilan Negeri berupa gugatan atau bertindak sebagai regelgeving dan
debitur sendiri.
bantahan. rechtspraak.