Anda di halaman 1dari 110

HUKUM (PIDANA) ADAT

(GAGASAN PLURALISME DALAM


HUKUM PIDANA DAN PENERAPAN
HUKUM MENURUT KEYAKINAN HUKUM)

OLEH :

Dr. ERDIANTO EFFENDI, SH,M.Hum.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah naskah buku yang diberi judul HUKUM
(PIDANA) ADAT, Gagasan Pluralisme Dalam Hukum Pidana dan Penerapan
Hukum Menurut Keyakinan Hukum) ini akhirnya dapat juga diselesaikan. Buku
ini adalah hasil pemikiran penulis yang bertolak dari proses interaksi sebagai pengajar
mata kuliah Hukum Pidana dan Filsafat Hukum di Program Studi S1 Fakultas Hukum
Universitas Riau, dan pengajar mata kuliah Penemuan Hukum dan Hukum dan
Budaya Melayu di Program Studi S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Riau serta
sebagai pengajar mata kuliah Teori Hukum pada Program Studi S2 Magister Ilmu
Hukum Universitas Islam Riau. Gagasan tersebut telah muncul sejak awal tahun 2014
yang terus berproses, namun baru dapat mulai dituangkan dalam bentuk draf buku
sejak awal Agustus 2017.

Ide dasar dalam buku ini adalah kegelisahan penulis tentang perbedaan yang
mencolok antara hukum yang berlaku menurut sistem hukum negara dengan hukum
yang diakui dan diyakini oleh masyarakat. Benturan tersebut di ranah empirik
menyebabkan banyak orang yang diproses pidana padahal menurut keyakinannya ia
tidak bersalah. Banyak orang yang membela tokoh yang di depan hukum bersalah
menurut persepktif hukum negara.

Buku kecil ini hadir di tengah minimnya kepustakaan tentang Hukum Adat lebih
khusus lagi Hukum Pidana Adat sekaligus dapat menggabungkan pemikiran buku
penulis sebelumnya yaitu Hukum Pidana Indonesia dengan kepustakaan di bidang
hukum adat. Tentu saja buku ini belum sempurna karena keterbatasan literatur dan
waktu penulis di tengah kesibukan yang padat, sehingga menyelakan hari Minggu
untuk tetap menulis buku ini.

Atas terbitnya buku ini, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada PT Refika Aditama Bandung yang telah berkenan menerbitkan
buku ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
penegakan hukum Indonesia.

Ungkapan sujud bakti penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis khususnya
Ayahanda Effendi Bakar (Alm) yang dengan segala keterbatasan telah bersusah
payah membesarkan penulis dengan segala kasih sayangnya, dan Ibunda Hj Nurdiah
yang sepeninggal Ayahanda tetap teguh mengantarkan penulis kepada jenjang
pendidian setinggi-tingginya.

Terkhusus ucapaan terimakasih kepada istri penulis, Adinda Islamiyah, S.Ag,, M.Pd,
yang selalu mendorong dan memotivasi penulis untuk menjadi yang
terbaik,menghibur di kala duka, mengingatkan di kala bahagia, serta kedua buah hati
tercinta Ahdina Adisyabila Rizkika dan M Adib Abdan Syakur, pelipur segala lara,
pelepas letih yang menekan di tengah zaman yang makin tidak mudah.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para guru yang telah mengajar
penulis sejak di bangku Sekolah Dasar Negeri No.9/V di Pelabuhan Dagang, SMP
Negeri Pelabuhan Dagang, SMA Negeri 5 Jambi, S1 di FH UNJA, S2 di UNSRI dan
S3 baik di Undip maupun di Unpad, terkhusus kepada Ayahanda Prof. H. Rozali
Abdulah, SH, dan Bapak Fauzi Syam, SH, MH, Almarhum Prof. Dr. H. Loebby
Loqman, SH, MH, Prof. H. Romli Atmasasmita, SH, LL.M, Bunda Prof. Dr.
Komariah E Sapadjaja, SH, dan Prof. Dr. H, Rukmana Amanwinata, SH, MH.,
para guru yang telah berkenan membimbing saya, serta kepada semua ahli hukum
yang telah terlebih dahulu ada dan melahirkan karya dan pemikiran dalam bentuk
buku dan karya ilmiah lainnya baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada, baik
yang karyanya dikutip maupun tidak. Karena mereka lah buku ini pun ada.

Ungkapan terimakasih juga saya sampaikan kepada kolega Dosen FH UNRI sahabat
saya Dr. Firdaus, SH, MH, yang hari ini diamanahkan menjadi Dekan Fakultas
Hukum Universitas Riau, sahabat saya Dr. Mexsasai Indra, SH, MH, yang hari ini
diamanahkan menjadi Wakil Dekan I FH UNRI, meminta penulis mengajar mata
kuliah Penemuan Hukum di Pascasarjana Universitas Riau, Sdr Erdiansyah, SH, MH,
yang meminta penulis mengajar mata kuliah Filsafat Hukum, Bapak Dr Effendi Ibnu
Susilo, SH, MH, Ketua Prodi S2 Ilmu Hukum UIR yang memberi kesempatan saya
mengajar mata kuliah Teori Hukum, yang karena itu gagasan dalam buku ini muncul.
Terimaksih pula untuk Sdri. Ferawati, SH,MH, kolega dosen Hukum Pidana FH
UNRI atas pinjaman bukunya.

Sebagai sebuah karya ilmiah yang mungkin belum sempurna sangat diharapkan
kesediaan para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran demi perbaikan di
masa mendatang.

Pekanbaru, Juli 2018


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................ iii

BAB I HUKUM PIDANA DAN HUKUM ADAT

A. Pengertian Hukum Pidana .......................................................... 1

B. Pengertian Hukum Adat ............................................................ 4

BAB II HUKUM PIDANA VERSUS HUKUM ADAT

A. Kebijakan Kriminalisasi dalam Hukum Pidana ......................... 9

B. Mendefenisikan Hukum Pidana Adat dan aPersoalan yang

Mengemuka ................................................................................ 15

C. Gagasan tentang Hukum Pidana Adat ....................................... 22

BAB III PENGAKUAN ATAS HUKUM ADAT MELALUI

PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PIDAN ... 33

A. Pengakuan Pengadilan atas Hukum Adat Bali ........................... 9

B. Pengakuan Pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Selatan....... 15


C. Pengakuan Pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Utara

D. Pengakuan Pengadilan atas Hukum Adat Sulawesi Tengah .... 22

BAB IV PENYELESAIAN KASUS PIDANA MELALUI HUKUM ADAT

(PLURALISME DALAM HUKUM PIDANA) .................... 46

A. Hukum Pidana sebagai Hukum Publik

B. Penerapan Hukum Adat dalam Kasus Pidana di Sumatera Barat 61

B. Penyelesaian Melalui Hukum Adat Kasus Pidana di Provinsi

Jambi dan Sumatera Selatan .................................................... 63

C. Penyelesaian Kasus Pidana dalam Masyarakat Riau ................ 68

D. Penyelesaian Kasus Pidana dalam Masyarakat Batak Karo ...... 76

D. Kesulitan Penemuan Hukum yang Hidup ................................. 70

BAB VI GAGASAN PLURALISME HUKUM PIDANA DALAM PRAKTIK

MEDIASI PENAL ..................................................................... 79

A. Pluralisme dalam Hukum Pidana dan Masalah yang Muncul .. 61

B. Alternatif Model Pluralisme dalam Hukum Pidana ............... 63

BAB VII GAGASAN PENERAPAN HUKUM MENURUT

KEYAKINAN HUKUM ......................................................... 90

A. Mitos dan Keyakinan Hukum ................................................. 68

B. Kepatuhan dan Kesadaran Hukum Masyarakat ........................ 76


DAFTAR PUSTAKA

CURICULUM VITAE
1

BAB I

HUKUM PIDANA DAN HUKUM ADAT

A. Pengertian Hukum Pidana

Pembahasan buku ini akan dimulai dengan pembatasan atau pendefinisan

tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana. Simons menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan hukum pidana adalah semua tindakan keharusan (gebod)

dan larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya yang

diancamkan dengan derita khusus, yaitu pidana. Moeljatno menyebutkan bahwa

Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan

untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi

barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, kapan dan dalam hal apa kepada

mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana yang telah diancamkan, dan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar

larangan tersebut. 1

Selanjutnya pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli

lain adalah sebagai berikut 2:

1. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum


mengenai pidana. Kata ―pidana‖ berarti hal yang ―dipidanakan‖ yaitu
oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum

1
SR Sianturi sebagaimana dikutip Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu
Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 6.
2
SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia di Indonesia dan Penerapannya,
Penerbit Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986, hlm. 12-14
2

sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.
2. WLG. Lemaire, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh
pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman
yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat
juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-
keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
(pengertian ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil).
3. WFC. Hattum, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah
mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan
suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
4. WPJ. Pompe, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya
dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari
hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-
peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari
keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
5. Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
3
Selain pendapat tersebut, Teguh Prasetyo membagi pengertian hukum

pidana menurut para ahli berdasarkan asalnya yaitu ahli hukum pidana dari Barat

dan ahli hukum pidana Indonesia yaitu :

Ahli Hukum dari Barat :


1. Pompe, yang menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan aturan
ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum
dan aturan pidananya.
2. Apeldorn, menyatakan bahwa hukum pidana dibedakan dalam dua
arti yaitu hukum pidana materil yang menunjuk pada perbuatan pidana
yang oleh sebab perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian yaitu

3
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 4-9.
3

bagian objektif dan bagian subjektif. Dan Hukum pidana formal yang
mengatur cara bagaimana hukum pidana materil ditegakkan.
3. Hazewinkel Suringa membagi hukum pidana dalam arti objektif (ius
poenali) yang meliputi perintah dan larangan yang pelanggarannya
diancam dengan sanksi pidana oleh badan yan berhak, ketentuan-
ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma
itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Penitensier dan subjektif (ius
puniende) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut
pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

Ahli Hukum Indonesia :

1. Moeljatno menyatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada


keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar aturan untuk (a) menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan
tersebut, (b) menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan
pidana sebagaimana yang telah diancamkan, dan (c) menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
2. Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat dipandang dari
beberapa sudut yaitu : Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu
sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau
keharusan-keharusan terhadap pelanggarnya diancam dengan
hukuman. Dan Hukum Pidana dalam arti subjektif yaitu sejumlah
peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang
yang melakukan perbuatan yan dilarang.
3. Sudarto, menyatakan bahwa hukum pidana dapat dipandang sebagai
sistem sanksi negatif, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak
memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang
subsider. Pidana termasuk juga tindakan (matregelen) bagaimanapun
juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak
oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana
dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification)
pidana itu.

Meskipun banyak ahli yang menyatakan pendapatnya tentang pengertian

hukum pidana dan ada kalanya saling bertentangan, pada pokoknya dapatlah

dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana itu adalah hukum yang

mengatur tentang kejahatan atau perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat


4

dihukum dengan pidana yang ditentukan undang-undang, dan terhadap siapa saja

pidana tersebut dapat dikenakan.

Jadi kata kunci untuk menentukan suaru perbuatan sebagai hukum pidana

atau tidak adalah manakala sanksi yang dapat dijatuhkan adalah berupa sanksi

pidana. Tanpa sanksi berupa pidana maka suatu perbuatan pelanggaran hukum

hanyalah pelanggaran hukum tata negara, hukum administrasi negara atau hukum

perdata.

B. Pengertian Hukum Adat

Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda ―Adat

Recht‖ yang pertama sekali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. 4 Tetapi di

tengah masyarakat, istilah hukum adat jarang digunakan. Dalam kehidupan

bermasyarakat, tidak ada pemisahan antara adat istiadat dengan hukum adat.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adat adalah hukum adat dan sebaliknya

hukum adat juga adalah adat istiadat. Namun demikian, Roelof van Dijk

sebagaimana dikutip Iman Sudiyat, membedakan pengertian adat dengan hukum

adat. Adat diartikan sebagai segala kebiasaan yang menjadi tingkah laku rakyat

Indonesia, disebut hukum adat jika atas kebiasaan tersebut menimbulkan akibat

hukum atau memiliki sanksi.5

Menurut Soerjono Soekanto hukum adat merupakan kongkretisasi

daripada kesadaran hukum, khususnya pada masyarkat dengan struktur sosial dan

kebudayaan sederhana. Masyarakat patuh pada hukum adat disebabkan oleh tiga

hal yaitu :

4
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1978, hlm.1.
5
Ibid, hlm.11.
5

1. Kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan oleh karenna


pemimpin-pemimpin masyarakat yang memerintahkannya;
2. Kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan, oleh karena lingkungan
sosial menghendakinya
3. Kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan oleh karena seseorang
menganggapnya sebagai sesuatu yang sebanding atau adil.6
Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab,"Huk'm" dan

"Adah" (jamaknya, Ahkam) yang arlinya suruhan atau ketentuan. Di dalam

Hukum Islam dikenal misalnya "Hukum Syari'ah" yang berisi adanya lima

macam suruhan atau perintah yang disebut "al-ahkam al-khamsah" yaitu fardh

(wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan

jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam bahasa Arab disebut

dengan arli "kebiasaan" yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi

"hukum adat" itu adalah "hukum kebiasaan" 7

Berikutnya di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian hukum adat

yang dikemukakan para ahli

1. Menurut Van Vollenhoven hukum adat adalah himpunan peraturan


tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan Timur Asing
pada satu pihak mempunyai sanksi karena bersifat hukum dan pada
pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan karena adat. 8
2. Menurut Ter Haar, hukum adat adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum dalam
arti luas yang memiliki kewibawaan serta pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya boleh berlaku serta merta dan ditaati dengan sepenuh
hati. 9
3. Menurut Bellefroid, hukum adat adalah Peraturan hidup yang
Meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati

6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
(cetakan pertama 1981), hlm.338-339.
7
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2014, hlm1-5
8
Cornelis van Vollenhoen, sebagaiaman dikutip Dewi Wulansari, Ibid.
9
Hilman Hadikusuma, dalam Dewi Wulansari, Ibid
6

oleh rakyat dengan keyakinan buah peraturan-peraturan tersebut


berlaku sebagai hukum empat. 10
4. Menurut Harjito Notopuro hukum adat adalah hukum tak tertulis,
hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman
kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan Tata keadilan dan
kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan. 11
5. Menurut Raden Soepomo, hukum adat adalah sinonim dari hukum
yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif hukum yang hidup
sebagai Konvensi di badan badan hukum Negara, parlemen, dewan
provinsi dan sebagainya hukum yang hidup sebagai peraturan
kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota
maupun di desa-desa.12
6. Menurut Soekanto hukum adat adalah Komplek adat adat yang
kebanyakan tidak diciptakan tidak dikodifikasikan dan bersifat
paksaan memiliki sanksi.13
7. Menurut Hazairin hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam
adat sebagai bagian integral sebagai bagian kelengkapannya adat
selengkapnya ialah seluruh kebudayaan yang berkaidah sebagaimana
tumbuh dan dikenal dalam masyarakat hukum adat seperti desa di
Jawa Nagari di Minangkabau, Huria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi
dan sebagainya.14
Dalam buku Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat
15
dikatakan bahwa pohon adat itu ada 4 (empat) yaitu : adat istiadat, adat nan

teradat, adat nan diadakan dan adat nan sebena adat. Keempat pohon adat inilah

yang dijadikan dasar atau sumber hukum adat.

Berdasarkan kesimpulan Hasil Seminar Hukum Adat dan Pembangunan

Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN) maka Hukum Adat diartikan sebagai, “hukum

Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik

Indonesia yang disana-sini mengandung unsur agama.” Salah satu bentuk


10
Soerojo Wignjodipocro sebagaimana dikutip Dewi Wulansari, Ibid
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
14
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, dalam Dewi Wulansari, Ibid.
15
Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal.79-80.
7

pengakuan hukum seperti ini harusya menjadi suatu hal yang konsisten ditegakan

dan dijaga eksistensinya.16

Eksistensi berlakunya hukum adat selain dikenal dalam instrumen hukum

nasional juga diatur instrumen Internasional. Ketentuan Pasal 15 ayat (2)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menyebutkan

bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any

person for any act or omission which, at the time when it was committed, was

criminal according to the general principles of law recognized by the community

of nations”. Kemudian rekomendasi dari Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) tentang “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”

dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara

(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada

umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta

“outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan

kenyataan). Alasannya karena sistem hukum di beberapa negara tidak berakar

pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada ―diskrepansi‖ dengan aspirasi masyarakat,

serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh

konggres PBB dinyatakan sebagai faktor kontribusi untuk terjadinya kejahatan. 17

Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau

hukum pidana adat cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji

dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber

tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-
16
Edy Sanjaya, Hukum dan Putusan Adat dalam Praktik Peradilan Negara, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2011, hlm.1
17
Ibid, hlm.2.
8

kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun

temurun oleh masyarakat adat bersangkutan. Untuk sumber tertulis misalnya

dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja

Dharmawangsa pada abad ke-10, Kitab Gajahmada, Kitab Simbur Cahaya di

Palembang, Kitab Kuntara Raja Niti di Lampung, Kitab Lontara “ade” di

Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan Awig-Awig di Bali, dan lain sebagainya.

Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan

yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya. 18

18
Ibid, hlm.3.
9

BAB II

HUKUM PIDANA VERSUS HUKUM ADAT

A. Kebijakan Kriminalisasi dalam Hukum Pidana

Dalam perkembangan pengaturan perundang-undangan dewasa ini,

batasan perbuatan hukum pidana atau bidang hukum lain makin tipis dan tidak

sekedar ketercelaan saja. Secara umum perbedaan tindak pidana dengan

pelanggaran hukum perdata dengan hukum administrasi negara terletak dari berat

tidaknya perbuatan, tingkat ketercelaan, besarnya korban.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi dasar dapat

dikrminalisasinya perbuatan sebagai tindak pidana. Dewan Perwakilan Rakyat

sebagai wakil rakyat diminta pendapat dan pertimbangan untuk dapat

ditetapkannya suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang jika diterapkan akan

merampas hak asasi manusia.

Penetapan perbuatan sebagai tindak pidana itu harus memperhatikan


prinsip-prinsip sebagai berikut :
- Hukum Pidana harus digunakan untuk tujuan pembangunan;
- Perbuatan yang ingin dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian materil dan spirituil atas
warga masyarakat;
- Penggunaan Hukum Pidana harus memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil. Perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan
dengan hasil yang diharapkan akan dicapai;
- Penggunaan Hukum Pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas.19

19
Muladi, Op.Cit. hal.30-31.
10

Bassiouni sebagaimana dikutip oleh Salman Luthan mengungkapkan pula


batasan-batasan yang perlu diperhatikan dalam penggunaaan hukum pidana di
tengah masyarakat yaitu :
1. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan
hasil-hasil yang ingin dicapai.
2. Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari;
3. Penilaian atau penaksiran tujuan yang ingin dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber
tenaga manusia;
4. Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan
dengan atau dipandang dari pengaruh pengaruhnya sekunder. 20

Suatu perbuatan yang sesungguhnya bukan kejahatan akan menjadi tindak

pidana ketika pelanggaran perbuatan itu diberi sanksi pidana dan untuk penetapan

itu ada pada otoritas negara dalam hal ini Presiden dan DPR. Secara ideal, jika

perbuatan dipandang sedemikian tercelanya dan demikian berbahayanya bagi

masyarakat, maka sudah seharusnya pula negara mengkriminalisasikan perbuatan

tersebut yang jika dilanggar dapat diberi sanksi berupa pidana. Namun dalam

praktiknya, banyak sekali perbuatan yang oleh negara ditetapkan sebagai tindak

pidana sedangkan di tengah masyarakat sebagai perbuatan biasa saja, atau

sebaliknya perbuatan yang di tengah masyarakat dianggap sebagai perbuatan

tercela, dalam sistem hukum bukan lah tindak pidana.

Ini terjadi sebagai akibat perbedaan sistem hukum yang berlaku di level

negara dengan hukum yang diakui di tengah masyarakat. Negara merasa berhak

menetapkan hukum atas dasar konstitusi hukum mana yang kemudian disebut

sebagai hukum positif. Secara teoritis dan normatif, seharusnya hukum yang

dibuat oleh negara tidak bertentangan dan sejalan dengan keyakinan hukum

20
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana, Makalah
dalam Jurnal Hukum FH UII, No. 11 Vol.6 tahun 1999, Yogyakarta, 1999, hal. 12,
11

masyarakat. Meskipun hukum dalam paradigma positifisme dibuat dan dibentuk

negara, hukum tersebut digali dari nilai-nilai yang hidup. Hukum hanya berperan

menegakkan tertib sosial yang diakui masyarakat, hukum bersifat pasif sebagai

sarana control social, walaupu untuk hal-hal tertentu hukum juga harus berperan

sebagai social engineering terhadap hal-hal yang tidak ada pengaturannya di

tengah masyarakat.

Indonesia karena bekas jajahan Belanda mengikuti paradigma hukum

positif yang menjadi ruh sistem hukum civil law walaupun sesungguhnya jika

dilihat dari karakter berhukumnya masyarakat Indonesia lebih cocok mengikuti

sistem hukum common law. Kalaupun didasarkan pada kaedah hukum positif

yang tertulis, maka hukum tertulis yang diakui selama berabad-abad di tengah

masyarakat Indonesia, maka hukum itu adalah hukum Islam yang tertulis

kongkret dan tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ini tampak dari filosofi hukum

adat yang berbunyi adat bersendi syara‘, syara‘ bersendi kitabullah.

Sebagai jalan tengahnya, Mochtar Kusumaatmadja menggagas ―sistem

hukum‖ yang lain yang kemudian dinamankan Teori Hukum Pembangunan yang

pada intinya mengakui bahwa hukum yang berlaku tetap lah hukum positif yang

sedang disusun oleh negara, tetapi nilai-nilai yang diadopsi adalah nilai-nilai adat

dan agama. Hukum dibentuk dengan memperhatikan nilai yang hidup di tengah

masyarakat.21

Sekilas ini mirip dengan karakter mazhab sejarah hukum dan kebudayaan.

Hukum negara linear dengan agama dan adat masyarakat. Hukum hanya

21
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan
Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006, hlm.88.
12

melembagakan atau memformalkan atas sesuatu yang diyakini masyarakat

sebagai hukum. Masalahnya kemudian adalah nilai masyarakat dan agama

manakah yang menjadi rujukan, karena Indonesia adalah negara yang teramat luas

dengan tingkat heterogenitas yang sangat tinggi. Dalam lapangan hukum perdata,

ditempuh kebijakan hukum yang bersifat unifikasi pluralis. Meskipun negara

membentuk hukum, tetapi di dalam hukum negara diakui dan diberi tempat

hidupnya hukum masyarakat. Pemikiran serupa pada gilirannya juga dianut oleh

hukum pidana.

Dalam Rancangan KUHP yang sudah disusun sejak tahun 1963, kaedah

hukum pidana adat juga sudah diakomodir mengikuti pola regulasi dalam

Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Pokok Perkawinan yang

menganut prinsip unifikasi dalam pluralisme hukum.

Hukum pidana pada asasnya berusaha menghindarkan diri dari pluralisme

karena dalam hukum publik seharusnya semua orang bersamaan kedudukannya di

depan hukum. Tiap orang tunduk dan berada dalam yurisdiksi hukum yang sama.

Berkenaan dengan gagasan pluralisme dalam hukum pidana yang dianut

Rancangan KUHP, di beberapa daerah telah muncul gagasan mendirikan apa yang

disebut sebagai ―desa adat‖. Para pemikir hukum, pengambil kebijakan daerah

dan lembaga swadaya masyarakat sedang bermimpi menikmati harmoni

masyarakat Nusantara di masa lalu. Orang-orang tua dan anak-anak muda begitu

terobsesi dengan spirit restoratife justice yang mengedepankan penyelesaian

sengketa dengan jalan win win solution.


13

Jika negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator yang ―sekedar‖

menformalkan keyakinan hukum masyarakat, maka di masa yang akan datang,

tentu lah tidak akan ada lagi pertentangan antara masyarakat dengan negara dalam

memandang hukum. Sesuatu yang tercela bagi masyarakat, juga akan tercela di

hadapan hukum negara. Sebaliknya, sesuatu yang tercela di hadapan hukum

negara juga akan tercela di hadapan masyarakat. Negara tidak perlu sibuk

membuat hukum yang menghabiskan keuangan negara. Cukuplah negara berdiri

di belakang menjaga tatanan sosial yang sudah berakar di tengah masyarakat,

kecuali dalam hal-hal tertentu yang tidak ada padanannya di tengah masyarakat.

Juga tidak ada lagi perdebatan tentang siapa yang berhak atas tanah, tidak ada

pula perdebatan tentang apakah seseorang korupsi atau tidak, karena hukum

negara tiada lain adalah hukum masyarakat, hukum masyarakat adalah hukum

negara

Dalam konteks Keindonesiaan, kita sudah melangkah teramat jauh dimana

masyarakat hidup dengan sistem nomanya sendiri di satu sisi, dan negara hidup

dengan sistem hukumnya sendiri yang kadangkala terdapat pertentangan satu

sama lain. Tercela menurut hukum belum tentu tercela menurut hukum adat, atau

sebaliknya tercela menurut adat belum tentu tercela menurut hukum. Kalangan

antropologis positivis dengan mudah menyimpulkan bahwa meskipun ia berlaku

di tengah masyarakat, jika ia tidak berlaku dalam sistem hukum negara, maka itu

bukanlah hukum. Hukum Pidana menuut sistem hukum Eropa Kontinental atau

Civil law menjadi anak kandung positivisme hukum yang menegasikan ada

hukum lain selain hukum tertulis.


14

Positifisme yang bersifat top down menyebabkan pada umumnya warga

negara yang melanggar hukum disebabkan ketidaktahuan tentang adanya aturan

tentang larangan, perintah dan kebolehan yang diatur oleh hukum. Para pejabat

pemerintah yang seharusnya mengetahui dan memahami hukum dalam

penyelenggaraan pemerintahan kerap kali terjerat kasus-kasus korupsi

dikarenakan tidak mengetahui dengan persis kaedah yang melarang,

memerintahkan dan membolehkan perilaku tertentu. Jika ketidaktahuan tersebut

dapat terjadi di kalangan para pejabat negara yang mengetahui dan memahami

hukum, tentu lah potensi ketidaktahuan itu menjadi lebih besar di kalangan

masyarakat awam.

Persoalan ketidaktahuan tentang kaedah hukum yang berlaku mengandung

dua sisi yang dilematis. Di satu sisi, hukum Indonesia menganut asas fictie hukum

dimana setiap orang dianggap mengetahui hukum. Di sisi lain dalam hukum

pidana berlaku asas gen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan),

dimana hanya orang yang willen dan witten (mengetahui dan menyadari

ketercelaan suatu perbuatan) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Kondisi ini lah yang disebut oleh Anton F Susanto sebagai simulacra

hukum Indonesia. Simulacra menggiring masyarakat kepada bentuk kehidupan

hukum yang semu, yang nyata namun tidak nyata. Kehidupan yang dibuat-buat,

dan memandang bahwa realitas hkum yang ditransplantasikan dari Barat, lebih

nyata dari kenyataan itu sendiri/sesungguhnya. Negara dan masyarakat

membentuk fomat hukum menurut defenisi Barat, dan menempatkan hukum asli

dan lokal tak lebih sekedar tontonan dan objek budaya, sehingga jika
15

dipertentangkan antara hukum Barat dengan hukum lokal, hukum lokal akan

terpinggirkan. Padahal di sisi yang lain, proses transpalantasi hukum Barat dalam

masyarakat Indonesia adalah proses yang belum selesai atau bahkan mungkin

tidak akan pernah selesai karena tidak cocok dengan karakter hukum Indonesia. 22

B, Mendefenisikan Hukum Pidana Adat dan Persoalan Yang Mengemuka


Dengan memperhatikan pengertian hukum pidana di satu sisi dan hukum

adat di sisi yang lain, jika konstruksi berpikirnya seperti itu, maka tidak ada lah

apa yang kita sebut sebagai hukum pidana adat. Untuk menilai apa yang dimaksud

dengan hukum pidana harus dilihat tiga masalah sentral dalam hukum pidana

yaitu perbuatan apa saja yang dilarang, pertanggungjawaban pidana dan pidana.

Dilihat dari aspek pidana, untuk disebut sebagai hukum pidana syarat

utamanya adalah apabila pelanggaran hukum itu diberi sanksi berupa pidana. Apa

pidana itu, KUHP menegaskan bahwa pidana yaitu penderitaan yang sengaja

diberikan oleh negara kepada mereka yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana

melalui putusan pengadilan. Pidana itu sebagaimana diatur dalam KUHP adalah

pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok itu antara lain pidana mati,

pidana penjara, pidana denda, pidana kurungan. Pidana tambahan meliputi pidana

perampasan barang tertentu, pencabutan hak tertentu dan pengumuman putusan

hakim. Adapun pidana bentuk lain yang secara teoritis dikenal seperti cap bakar

misalnya, tidak dapat disebut sebagai pidana karena secara yuridis tidak dikenal

dalam hukum positif kita.

22
Anton F Susanto, Simulacra Hukum : Bangsa yang Resah, dalam Buku Penelitian
Hukum Transformatif – Partisipatif, Logos Publishing, Bandung, 2011.
16

Terkait perbuatannya, untuk dapat disebut sebagai perbuatan pidana, selain

bahwa perbuatan itu harus dapat diberi sanksi berupa pidana, larangan atas

perbuatan itu diatur dalam Undang-undang. Pelanggaran hukum yang tidak

dimuat dalam Undang-undang, bukan lah tindak pidana. Meskipun sedemikian

tercelanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut tidak bisa dianggap sebagai tindak

pidana jika tidak ditentukan dalam hukum tertulis, lebih khusus lagi Undang-

undang.

Jika merujuk pada pandangan Hilman Hadikusuma, pengertian hukum

pidana adat tidak dilihat dari perspektif hukum pidana tetapi melihatnya dari

perspektif hukum adat. Melihat hukum pidana adat dari perspektif hukum pidana

hanya akan menghasilkan pemahaman hukum dar perspektiif positifisme belaka,

Hilman Hadisukusuma menggunakan istilah hukum pidana adat sebagai

terjemahan dari istilah ―adat delicten recht‖. Defenisi hukum pidana adat lebih

menekankan pada tingkat ketercelaan perbuatan dalam pandangan masyarakat

adat seperti ―salah‖ atau ―sumbang‖ dalam masyarakat Lampung dan Sumatera

Selatan. 23 Hilman mendefinisikan bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang

menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum)

dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan

masyarakat. Jadi berbeda dari hukum pidana barat yang menekankan peristiwa

apa yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumannya,

dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Jika hukum pidana barat menitikberatkan pada adanya sebab sehingga seseorang

23
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984, hlm.17.
17

dapat diancam dengan hukuman, maka hukum pidana adat menitikberatkan pada

adanya ―akibat‖ sehingga seseorang dan kerabatnya harus bertanggung jawab atas

akibat itu. Jadi walaupun sebab yang merupakan peristiwa aneh itu tidak ada

ketentuan atau larangannya, apabila akibatnya membawa kerugian dan

bertentangan dengan pihak yang terkena akibat itu maka pihak yang menyebabkan

akibat itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya dalam hukum pidana barat

walaupun akibat yang bertentangan dengan pihak yang terkena akibat, jika

peristiwa dan tidak bertentangan perundang-undangan maka pihak yang

merugikan tidak dapat menuntut kerugian atau pihak penguasa tidak dapat

bertindak terhadap yang menyebabkan akibat itu.24

Van Vollenhoven menyatakan bahwa yang dimaksud dengan delik adat

adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan, walaupun dalam kenyataannya

peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan Sumbang yang kecil saja. Jadi yang

dimaksud dengan delik adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang

bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan

dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan baik hal itu akibat perbuatan

seseorang maupun perbuatan penguasa adat sendiri. 25 Hukum Pidana Adat

bersifat menyeluruh dan menyatukan ketentuan yang bersifat terbuka membeda-

bedakan permasalahan peradilan dengan permintaan tindakan reaksi atau koreksi.

Sedangkan terjadinya delik adat adalah apabila tata tertib adat dilanggar dan

keseimbangan masyarakat terganggu.

24
Ibid, hlm.18.
25
Ibid, hlm.20.
18

Bertolak dari pengertian tersebut, maka jelaslah bahwa sesungguhnya

pengartian hukum pidana adat tidak bertumpu pada cara pandang positivistik yang

menganggap bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah Undang-undang. Jika

cara pandang itu yang diterapkan maka tidak mungkin ada hukum pidana adat itu.

Tetapi jika hukum dimaknai lebih luas, tidak sebatas Undang-undang, maka dapat

lah disebut keberadaan hukum pidana adat.

Perbedaan paradigma hukum pidana sebagai hukum positif dengan hukum

adat sebagai paradigma hukum sosial, sesungguhnya merupakan perdebatan

klasik antara mazhab positivisme dengan mazhab sejarah hukum dan kebudayaan.

Hukum memainkan peranan dalam masyarakat dalam dua hal yaitu sebagai sarana

social control dan sebagai sarana social enginering. Penggunaan hukum sebagai

sarana rekayasa sosial dalam masyarakat yang sederhana akan menimbulkan

perubahan sosial yang sederhana pula tetapi sebaliknya penggunaan hukum

sebagai sarana rekayasa sosial dalam masyarakat yang lebih luas akan

menimbulkan perubahan sosial yang lebih luas pula. Perubahan sosial yang

diakibatkan oleh perubahan hukum. Perubahan sosial dalam masyarakat kota tentu

lah akan lebih kompleks daripada perubahan sosial pada masyarakat pedesaan.

Kenyataan ini sejalan dengan pandangan mazhab Sejarah yang dipelopori

oleh Karl Von Savigny yang mengemukakan bahwa semakin kompleks suatu

masyarakat maka semakin kompleks pula hukumnya, dan semakin sederhana

suatu masyarakat maka makin sederhana pula hukumnya 26 Sebagai sarana social

control, hukum berusaha mempertahankan sistem yang telah hidup di tengah

26
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
hal. 167.
19

masyarakat. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua tatanan sosial

masyarakat selamanya baik. Ada pula tatanan sosial masyarakat tertentu yang

dianggap tidak baik yang jika dikaitkan dengan pembangunan sosial ekonomi

dapat menjadi faktor penghambat pembangunan.

Sekilas dilihat pemaksaan tatanan tersebut mengancam eksistensi adat dan

kebiasaan masyarakat setempat, tetapi jika dilihat akibat dari kebiasaan membawa

senjata tajam yang berbahaya bagi ketertiban masyarakat, maka pelarangana

membawa senjata tajam dapat dibenarkan. Contoh lain umpamanya berkenaan

dengan pelarangan kegiatan pornografi dan pornoakasi dalam UU Anti Pornografi

dan Pornoaksi. Sekilas, pelarangan berpakaian secara terbuka dianggap dapat

melanggar HAM, tetapi jika dilihat lebih jauh akibat yang ditimbulkan dengan

kebiasaan berpakaian terbuka, maka pelarangan tersebut menjadi sesuatu yang

bermanfaat bagi ketertiban masyarakat.

Terlepas dari pro dan kontra dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi, dalam

kasus tersebut dapat dilihat bahwa hukum berusaha memainkan peranannya

sebagai sarana social enginering yang mengubah kebiasaan masyarakat dengan

pakaian terbuka menjadi berpakaian tertutup. Contoh lain adalah dalam hal

pemasyarakatan keluarga berencana di masa Orde Baru. Walaupun himbauan

mengikuti program keluarga berencana tidak disertakan dengan aturan pidana,

pemerintah mencoba membuat regulasi secara halus misalnya dengan membayar

tunjangan anak bagi pegawai negeri sipil sampai dua anak saja, dengan sendirinya

hukum telah mengarahkan masyarakat dalam hal ini pegawai negeri sipil ke arah

perilaku tertentu yang dikehendaki oleh politik hukum pemerintah waktu itu.
20

Dalam hal pemasyarakatan asas monogami misalnya, Pemerintah bahkan telah

mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang melarang PNS beristri lebih dari satu

dan pelanggaran atas itu akan diberi sanksi berupa pemecatan sebagai PNS.

Persoalan berikutnya yang muncul adalah manakala seseorang atau

sekelompok orang meyakini sistem hukum sendiri yang berlainan dengan sistem

hukum yang berlaku sebagai hukum positif negara. Dalam sistem hukum yang

mereka yakini sebagai kebenaran dan keadilan, suatu perbuatan dianggap sebagai

perbuatan yang tidak tercela, tidak melanggar hukum dan bahkan kadangkala

dianggap sebagai perbuatan terpuji. Perbuatan itu umpamanya menebang kayu di

hutan dimana dalam sistem sosial masyarakat Melayu tempo dulu dianggap

sebagai bukti kerajinan bekerja sehingga patut dipuji dan diapresasi. Makin

banyak hutan yang ditebang, makin baik status sosial seseorang di tengah

masyarakat. Karena itu masyarakat memberi apresiasi dengan mengakui

kepemilikan atas tanah tebas dan tebang seseorang. Menurut hukum positif yan

berlaku saat ini, menebang kayu adalah perbuatan terlarang yang atas

pelanggarannya dapat dipidana.

Begitu pula dengan perbuatan-perbuatan tradisional lainnya seperti

mendulang emas yang hari ini dalam perspektif hukum negara adalah pelanggaran

hukum yang serius. Demikian juga dengan budaya memberi hadiah yang dalam

masyarakat dianggap sebagai keharusan kepada orang yang sudah berbuat baik.

Tuntunan moral dan agama masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat

Melayu khususnya, mengajarkan agar mengucapkan terimakasih kepada mereka


21

yang sudah berbuat baik. Dalam sistem hukum negara, perbuatan tersebut justru

dianggap sebagai gratifikasi.

Perbedaan apa yang diyakini sebagai nilai-nilai kebaikan dalam

masyarakat dengan apa yang dinilai baik oleh negara melalui hukum positif yang

berlaku diduga menjadi salah satu sebab banyaknya pelanggaran atas hukum yang

berlaku. Bukan saja karena masyarakat tidak mengetahui akan hukumnya tentang

sesuatu, tetapi bahkan juga disebabkan oleh perbedaan dalam memahami nilai

yang dianggap baik antara nilai yang hidup di tengah masayarakat dengan apa

yang dianggap baik oleh negara.

Menurut Sidharta, jika dihadap-hadapkan, hukum pidana nasional versus

hukum (pidana) adat akan tampak nyata beberapa kontradiksi antara lain :

- Dalam Hukum Positif Status sosial subjek tak diperhitungkan, Subjek

yang dapat dipidana adalah manusia badan hukum, dalam hukum adat

Status sosial subjek diperhitungkan, Persekutuan hukum adat

(kampung dll. dapatdipidana denda)

- Unsur sengaja, lalai harus dibuktikan dulu dalam hukum positif,

dalam hukum adat tak semuanya harusada dibuktikan demikian

- Dalam hukum positif Eigenrichting dianggap melawanhukum, dalam

hukum adat dalam kasus tertentu, eigenrichting dibenarkan §

- Objek pencurian dinilai sama (ternak=mobil, dalam hukum adat Objek

dinilai berbeda(curi ternak ≠ mobil)27

27
Sidharta, ―Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional, Perspektif Filsafat,‖ makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Riau, 7
Nopember 2017
22

C. Gagasan tentang Hukum Pidana Adat

Hukum Pidana sebagai hukum yang bersifat memaksa seringkali

digunakan untuk melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat. Bertitik

tolak dari dua fungsi hukum di atas, maka dalam hubungannya dengan perubahan

sosial terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu : Pertama, hukum akan

tertinggal di belakang perubahan sosial, dan kedua,hukum justru yang melakukan

perubahan sosial.

Mengatasi kesenjangan antara hukum adat sebagai hukum yang hidup

dengan hukum pidana positif yang diberlakukan negara dapat dilakukan dengan

beberapa cara yaitu :

Pertama, dengan pembentukan hukum. Idealnya walaupun hukum positif

dibentuk dan disusun dengan terencana, nilai substansi hukum

menyandarkan pada nilai kepatutan dan nilai ketercelaan yang terumuskan

dalam hukum adat. Fungsi hukum dalam hal ini kecuali terhadap peranan

hukum sebagai social enginering,yaitu memfrormalkan nilai-nilai yang

oleh masyarakat hukum adat dipandang sebagai perbuatan tercela menjadi

tindak pidana. Jadi tercela menurut masyarakat tercela pula lah ia dalam

hukum pidana. Dengan demikian tidak akan ada pertentangan antara

hukum yang hidup dengan hukum yang berlaku. Untuk itu diperlukan

penelitian para ahli hukum sebagai bahan dasar pembentukan dan

perumusan Undang-undang Hukum Pidana.


23

Kedua, melalui cara penemuan hukum. Meskipun nilai hukum yang hidup

tidak sejalan dengan hukum yang berlaku, hal itu dapat diatasi dengan

menerapkan hukum yang berlaku sebagai dasar bagi hakim untuk

memutuskan suatu perkara. Dalam penemuan hukum, hukum tertulis

bukan satu-satunya. Jika hakim memiliki keterbatasan untuk meneliti

nilai-nilai yang hidup, tugas penemuan hukum oleh hakim dapat diambil

alih oleh para ahli hukum melalui pemberian keterangan ahli di proses

peradilan. Penjatuhan putussan hakim dalam perkara pidana berdasarkan

tingkat ketercelaan suatu perbuatan.

Ketiga, adalah dengan memberlakukan pluralisme hukum, yaitu

memberlakukan sistem hukum yang berlainan berdasarkan kelompok

masyarakat. Pola ini mengikuti sistem hukum Hindia Belanda dimana

hukum pidana tertulis berlaku bagi golongan masyarakat Eropa,

sedangkan hukum adat berlaku untuk masyarakat adat.

Terhadap gagasan pluralisme dalam hukum pidana, tantangan yang keras

dihadapi adalah hukum adat manakah yang dapat diberlakukan? Keadaan sosial

masyarakat kita dewasa ini berbeda dengan masyarakat pada masa Hindia

Belanda. Masyarakat sekarang tidak lagi homogen, tetapi terdiri dari berbagai

etnik dan agama sehingga akan mendapati kesulitan hukum adat manakah yang

dapat diberlakukan?

Masyarakat adat atau masyarakat Hukum Adat Penjelasan Ps. 67 UU No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya

jika memenuhi unsur:


24

1. masyarakatnya masih berbentuk paguyuban

2. ada kelembagaan (perangkatpenguasaadat)

3. ada wilayah hukum adat yang jelas

4. ada pranata yang ditaati, khususnya peradilan

5. ada pemungutan hasil hutan uuntuk sehari-hari

Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan bahwa pengukuhan

keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adatsebagaimana dimaksud pada

ayat(1) ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa

peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar

hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat adat yang ada di

daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan

kriteria tersebut, dewasa ini makin sulit ditemukan masyararakat adat yang

dimaksud.

Dalam masyarakat yang adat istiadatnya masih kental berlaku seperti di

Sumatera Barat, Aceh, Bali dan daerah-daerah lain, penerapan hukum adat

sebagai alternatif penggunaan hukum pidana tentu saja tidak sulit. Akan tetapi di

daerah dimana masyarakat tempatan tidak lagi dominan seperti di Provinsi Riau,

Lampung, Jakarta dan lain-lain penerapan hukum adat tidak lah mudah. Ketika

gagasan pembentukan desa adat di Kabupaten Siak Provinsi Riau digulirkan,

kesulitan empirik yang dihadapi tim pembentuk Perda adalah apakah hukum adat

Melayu Riau dapat diberlakukan dengan prinsip adat dimana bumi dipijak di situ

langit dijunjung terhadap komunitas non Melayu karena faktanya banyak desa di
25

Kabupaten Siak didominasi etnik non Melayu seperti Jawa atau Batak. Jika

diberlakukan hukum adat darimana mereka berasal, maka pemberlakuan tersebut

mengabaikan prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Mengatasai kelemahan klasik Hukum Pidana modern yang positifistik,

dewasa ini di kalangan akademisi hukum pidana telah muncul kembali gagasan

memberlakukan hukum adat sebagai penyelesaian masalah yang di tengah

masyarakat yang diharapkan dapat mengatasi kelemahan hukum pidana

khususnya terkait kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan dan

menumpuknya perkara di pengadilan, kejaksaan dan kepolisian.

Dalam rangka untuk menerapkan gagasan tersebut, dewasa ini penggalian

nilai-nilai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat perlu dilakukan

kembali. Berbagai upaya untuk menemukan hukum yang hidup sebagai bagian

dari penelitian hukum sosiologis terus ditingkatkan. Pada waktunya nanti,

pemberlakuan kembali hukum adat sebagai penyelesaian persoalan yang setara

dengan tindak pidana, memerlukan rujukan yang sebanyak-banyaknya tentang

hukum yang berlaku dan hidup di tengah masyarakat.

Gagasan tersebut sejalan dengan Rancangan KUHP yang mengakomodir

berlakunya hukum adat dan mengurangi keabsolutan asas legalitas. Dalam

diskursus tentang peranan hukum di tengah masyarakat, terdapat tiga golongan

besar pemikiran tentang hukum yaitu Mazhab Hukum Alam yang meyakini

hukum berasal dari Tuhan, tugas manusia dalam hal ini negara hanya menjalankan

hukum Tuhan tersebut. Mazhab kedua yaitu mazhab positifisme hukum yang

meyakini bahwa hukum yang berlaku di tengah masyarakat harus dibentuk oleh
26

negara. Dan mazhab yang ketiga adalah mazhab hukum masyarakat yang

meyakini bahwa hukum tidak perlu dibentuk karena di tengah masyarakat sudah

ada memiliki sistem sosial dan sistem norma sendiri yang telah cukup buat

mengatur diri mereka sendiri, negara tidak perlu mencampuri dengan membentuk

hukum sendiri yang belum tentu bersesuaian dengan hukum yang dianggap benar

oleh masyarakat tertentu.

Jika dilihat dari pembedaan sistem hukum, mazhab hukum sosial banyak

dipraktikkan dalam sistem hukum common law atau Anglo Saxon. Sedangkan

mazhab hukum positif banyak diadopsi oleh negara-negara dengan sistem hukum

civil law (Eropa Kontinental). Mazhab hukum alam dipraktikkan pada negara-

negara teokrasi seperti negara-negara Islam dan negara-negara Monarki yang

memberlakukan hukum yang meyakini dari Tuhan untuk diterapkan pada

masyarakatnya.

Indonesia adalah negara yang terbentuk atas bekas kesultanan-kesultanan

Islam yang pada abad 18 dikuasai Belanda yang bercorak sistem hukum Eropa

Kontinental. Meskipun berbentuk kesultanan dengan konsep negara Islam, dalam

banyak kesultanan tersebut tidak murni sepenuhnya diterapkan hukum Islam.

Meskipun dalam banyak masyarakat bekas kesultanan Islam tersebut diakui

bahwa adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, penerapan hukum Islam

tidak sepenuhnya dilakukan menurut Syariat Islam khususnya dalam bidang

hukum pidana.

Jika dalam sistem hukum pidana Islam diterapkan sistem diyath dalam

kasus pembunuhan, dalam masyarakat adat kesultanan umpamanya di Kerajaan


27

Minangkabau, Kesultanan Jambi, Kesultanan Siak dan lain sebagainya berlaku

hukum yang berbeda terkait kasus pembunuhan. Jika dalam hukum pidana Islam

berlaku hukum qisosh, dalam masyarakat adat di tiga kerajaan tersebut berlaku

sistem diyath yang berbeda yaitu dengan memberikan kompensasi berupa denda

kerbau. Sistem kompensasi tersebut agak mirip dengan masyarakat asli yang

belum terpengaruh oleh sistem hukum Islam umpamanya pada masyarakat suku

Anak Dalam (Kubu) di Jambi, dimana kompensasi yang diberikan oleh keluarga

pelaku kepada keluarga korban adalah berupa kain. Makin berat pelanggaran

hukum yang terjadi, maka makin banyak kain yang wajib diserahkan. Hal itu

hampir serupa dengan jumlah kerbau atau kambing yang wajib diserahkan oleh

pelaku kepada keluarga korban.

Dengan masuknya sistem hukum Belanda di Indonesia, maka masuk lah

pula sistem hukum positif di tengah masyarakat Indonesia. Dengan demikian,

dalam sistem norma masyarakat Indonesia berlaku tiga sistem hukum yang

berbeda bahkan adakalanya bertolak belakang yaitu sistem hukum Islam yang

bercorak hukum alam, sistem hukum adat yang bercorak hukum sosial dan hukum

nasional yang bercorak mazhab hukum positif.

Berlakunya tiga sistem hukum tersebut tidak menjadi masalah jika ada

pola pembagian terstruktur. Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini, ketiga

sistem hukum tersebut mengatur hal yang sama. Dalam hukum Islam terdapat

tiga tingkatan kaedah hukum yaitu qishosh, hudud dan ta‘zir. Struktur hukum

tersebut sejalan dengan struktur hukum menurut mazhab hukum alam dimana ada
28

lex divina, lex eterna. Dalam masyarakat Indonesia, struktur hukum tersebut tidak

demikian adanya.

Pada masa kolonial Belanda, hal tersebut sebenarnya juga sudah terjadi.

Perbedaannya adalah bahwa Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan prinsip

plularisme hukum dimana hukum tertentu berlaku untuk masyarakat tertentu.

Dalam masa Indonesia merdeka, pluralisme hukum khususnya dalam hukum

pidana ditolak. Di masa Indonesia merdeka berlaku unifikasi hukum. Politik

hukum Pemerintah seolah-olah tidak lagi menghendaki hukum adat dan hukum

Islam menjadi kaedah hukum yang berlaku di Indonesia. Satu-satunya sistem

hukum yang berlaku hanyalah Hukum Nasional yang berlandaskan pada nilai-

nilai internasional, nilai agama dan nilai adat. Hukum adat dan Hukum Islam

bukan lah hukum tetapi hanya lah sumber hukum. Jika demikian konsepnya,

seharusnya tidak terjadi pertentangan antara hukum nasional dengan hukum adat

atau hukum Islam.

Kenyataan menunjukkan banyak sekali pertentangan atau ketidaksesuaian

antara hukum yang berlaku yaitu hukum positif dengan hukum yang hidup yaitu

hukum adat dan hukum Islam. Disharmonisasi hukum bahkan terjadi antara

sesama kaedah hukum positif, antara Undang-undang dengan Undang-undang

Dasar, antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang yang lain, dan

antara Undang-undang dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.

Salah satu pekerjaan terbesar dalam reformasi hukum adalah melakukan

harmonisasi dan sinkronisasi hukum tersebut.


29

Berbagai upaya untuk melakukan hal tersebut tidak membuahkan hasil

yang optimal. Sementara di setiap tahun ratusan peraturan perundang-undangan

terus menerus bertambah tanpa ada lembaga yang mampu mengendalikan

pertumbuhannya. Proses penegakan hukum menjadi semakin sulit ketika bukan

saja faktor petugas, masyarakat dan sarana prasarana yang menjadi kendala, tetapi

bertumpu pada masalah pokok yaitu faktor perundang-undangan.

Penegakan hukum jauh akan lebih mudah jika masyarakat mentaati hukum

meyakini bahwa hukum yang berlaku baginya itu baik baginya dan bagi orang di

sekitarnya dan sejalan dengan keyakinan agamanya. Misalnya ketika seorang

muslim diwajibkan membayar zakat, lalu negara melegalkan kewajiban

membayar zakat, sudah lah tentu penegak hukum tidak mengalami kesulitan

serius manakala ada warga negara yang tidak membayar zakat. Penegak hukum

bukan saja menjalankan aturan yang ditetapkan oleh negara tetapi sekaligus

menjalankan aturan Tuhan yang diyakini oleh si pelanggar hukum. Selain

mendapat kemudahan karena keyakinan si pelangggar menyatakan perbuatannya

sebagai sesuatu yang tercela, sehingga akan terjadi pertentangan batin dalam

dirinya, penegakan hukum terhadap sesuatu yang bertolak dari keyakinan warga

masyarakat juga akan mendukung masyarakat di sekitarnya.

Meskipun si pelanggar hukum bukanlah orang yang taat pada agamanya,

bagaimanapun hati nuraninya tidak bisa dibohongi bahwa apa yang ia lakukan

adalah kesalahan. Akan beda hasilnya jika yang ia lakukan diyakini sebagai

kebenaran padahal hukum negara menyatakannya sebagai sesuatu yang salah.

Seandainya seorang penganut agama yang meyakini kaedah menurut agamanya


30

sebagai kebaikan, tentu saja tanpa adanya penegak hukum sekalipun yang

bersangkutan akan menjadi berperilaku baik.

Pluralisme hukum sesungguhnya bukan lah hal baru dalam sistem hukum

Indonesia merdeka. Di lapangan privat atau hukum perdata, sejauh ini telah

diberlakukan sistem dualisme atau pluralime hukum. Bahkan di lapangan hukum

pidana juga telah terjadi pluralisme hukum walaupun bersifat terbatas. Di Aceh,

berlaku sistem hukum pidana sendiri di samping masih tetap berlakunya sistem

hukum pidana nasional terhadap tindak pidana tertentu. Berbagai riset

menunjukkan bahwa keamanan di Aceh dengan berlakunya hukum pidana lokal

berdasarkan hukum pidana Islam jauh lebih aman.

Cara pandang yang positifistik terwujud dalam dimuatnya asas legalitas

dalam hukum pidana, seringkali dirasakan sebagai ketidak adilan. Pencurian

kakao, semangka dan sejenisnya di depan pengadilan dianggap tetap lah sebagai

suatu perbuatan yang dihukum. Hal ini benar secara normatif karena tidak ada

istilah perdamaian dalam hukum pidana. Lebih-lebih lagi dalam banyak kasus

kecelakaan lalu lintas, dimana para pengemudi tetap dihukum meskipun telah ada

perdamaian antara keluarga korban dengan pelaku. Dalam kasus-kasus seperti

contoh di atas, terbukti dan dapat dirasakan bahwa penegakan hukum bukannya

menciptakan keadilan tetapi justru berubah menjadi pembunuh rasa keadilan.

Penerapan asas legalitas di Indonesia menimbulkan masalah besar bagi

penegakan hukum pidana yang berkisar pada setidaknya dua hal yaitu banyaknya

tumpukan perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh sub sistem peradilan pidana

dan adanya over kapasitas di lembaga-lembaga pemasyarakataan di seluruh


31

Indonesia. Masalah over kapasitas menjadi fenomena umum di seluruh lapas di

Indonesia dan telah menjadi hasil penelitian dan kajian banyak ahli dan peneliti

hukum seperti salah satunya adalah penelitian Angkasa. 28

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, dewasa ini timbul gagasan

untuk memberlakukan kembali penyelesaian perkara pidana dengan cara yang

lazim berlaku di tengah kelompok masyarakat yang bersangkutan. Itulah yang

sering disebut sebagai local-wisdom. Para ahli juga sering menamakan local-
29
knowledge. Dalam buku berjudul The turning point of civilization, Fritjof

Capra justru mengungggulkan pikiran Timur dibanding Barat dan karenanya

mengusulkan perlunya kembali menggali nilai-nilai peradaban Timur.30

Dalam United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention,

dinyatakan bahwa restorative justice merupakan sebuah istilah baru terhadap

konsep lama. Pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan

masalah konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat.

Karena pendekatan-pendekatan retributive atau rehabilitative terhadap kejahatan

dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. 31

Pentingnya menemukan model-model restoratif dalam penyelesaian

perkara pidana sejalan dengan kebijakan hukum pidana melalui Rancangan

28
Angkasa, ―Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab,
Implikasi Negatif, Serta Solusi Dalam Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana." Jurnal
Dinamika Hukum, Vol 10 No.3 tahun 2010, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
29
Marcus J. Pattinama, ―Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal‖, Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009: 1-12, hl.3-4.
30
Fritjof Capra sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, ―Hukum Progresif,
Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun‖, Jurnal Hukum Progresif Vol 2 Nomor 1 April
2006, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.6.
31
Sahuri Lasmadi, "Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia." Jurnal
Ilmu Hukum Vol 4 No.5 tahun 2011, Fakultas Hukum Universitas Jambi, hlm.2
32

KUHP. Beberapa konsep restoratif justice telah diakomodir dalam RUU KUHP

antara lain :

- Keseimbangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan asas


legalitas
- Salah satu tujuan pemidanaan adalah menyelesaikan konflik sosial dan
membebaskan rasa bersalah terpidana
- Dalam menjatuhkan pidana perlu dipertimbangkan pengaruh tindak
pidana terhadap korban atau keluarga korban
- Adanya pemaafan dari korban atau keluarganya
- Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan
- Adanya jenis pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dan
pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat.

Pada bab selanjutnya, akan diuraikan beberapa nilai hasil hukum adat

terkat perbuatan-perbuatan yang dalam perspektif hukum modern dianggap

sebagai tindak pidana melalui penyajian data hasil penelitian empirik dan

normatif.
33

BAB III
PENGAKUAN ATAS HUKUM ADAT MELALUI PUTUSAN
PENGADILAN DALAM PERKARA PIDANA

Salah satu daerah dimana hukum adat mendapat pengakuan oleh sistem

peradilan pidana modern adalah di Bali. Meskipun Bali adalah daerah yang

menjadi objek tujuan wisata internasional, populasi penduduk Bali sendiri lebih

homogen dimana masyarakat Bali mayoritas beragama Hindu. Meskipun tidak

menafikan keberlakuan hukum pidana positif, hukum adat juga berlaku dengan

sebaik-baiknya di Bali. Salah satu sumber hukum Adat Bali adalah Lokika
32
Sangraha. Dalam disertasi yang ditulis Pontang Moerad, dapat diketahui

beberapa Putusan Pengadilan di Bali yang mengakomodir keberlakuan hukum

Adat terhadap kasus yang ditangani oleh pengadilan antara lain sebagai berikut :

― Dalam Putusan PN Gianyar tertanggal 12 April 1976 No.


23/Pid/Sum/1976 jo Putusan PT Denpasar tertanggal 26 Agustus 1977 No.
14/PTD/1977 jo Putusan MA tertanggal 8 Oktober 1979 No.
196/K/Kr/1978, I Wayan Saputra, umur 21 tahun, tinggal di Banjar
Belodtangluk, desa dan kecamatan Sukawati, Daerah Tingkat II Gianyar,
Bali, telah berpacaran dengan Ni Ketut Sarmi sejak 1971 dan berakhir
pada tahun 1975. Putusnya pertunangan Putusnya pertunangan tersebut
karena adanya gangguan dari I Nyoman Reta, walaupun mengenai hal ini
belum jelas benar. Selama berpacaran I Wayan Suparta mengaku sering
melakukan hubungan seks dengan Ni Ketut Sarmi yang dilakukannya
berkali-kali setiap ada kesempatan sejak tahun 1971 dan dilakukan di
rumah Ni Ketut Sarmi di saat keadaan rumah kosong. Hubungan kelamin
tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka bukan karena paksaan. Ni
Ketut Sarmi kemudian hamil, tetapi I Wayan Suoarta ingkar janji tidak
mau mengambil Ni Ketut Sarmi sebagai istrinya, dengan alasan Ni Ketut
Sarmi telah bergaul dan telah dibonceng oleh orang yang bernama I
Nyoman Reta sehingga I Wayan Supatra meragukan kehamilan Ni Ketut

32
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni, Bandung, 2005,hlm.272
34

sering itu atas perbuatannya sendiri. Ni Ketut Sarmi membantah tidak


pernah bergaul dan dibonceng oleh I Nyoman Reta.

Setelah memeriksa dan mengadili perkara tersebut PN Gianyar sampai


pada putusan yang salah satu pertimbangan yang menyatakan bahwa pada
pokoknya terdakwa membenarkan keterangan saksi Ni Ketut Sarmi dan
mengakui melakukan persetubuhan berkali-kali dengan saksi I Ketut
Sarmi tetapi membantah bahwa hamilnya Ni Ketut Sarmi atas perbuatan
terdakwa melainkan Ni Ketut Sarmi setelah bergaul dengan I Nyoman
Reta. Bahwa keterangan saksi a de charge yang diajukan terdakwa tidaklah
dapat memperkuat dalil-dalil bantahannya. Bbahwa berdasarkan
keterangan keterangan terdakwa dimuka sidang dihubungkan dengan
keterangan saksi-saksi maka terbuktilah terdakwa telah bersalah
melakukan kejahatan melanggar lokika sanggraha (Hukum Adat Bali).‖

Selain di Bali, pengakuan atas hukum yang hidup juga terdapat di

Sulawesi Selatan yang mayoritas beragama Islam. Di Pengadilan Sengkang,

Sulawesi Selatan, terdapat salah satu putusan yang lebih kurang serupa yaitu :

― Bahwa terdakwa 1 Syamksiah alias Sama binti Baca dan terdakwa 2


Haedah alias Hadde bin Busa pada bulan Juli 1983 di rumah Daeng Perani
dan di rumah orang tua terdakwa sendiri La Bace bin La Sutan, keduanya
terletak di lingkungan Passerui Kelurahan Sompe Kecamatan Sabbangparu
Kabupaten Wajo telah melakukan perbuatan zina antara mereka atas
kemauan mereka berdua dengan tidak ada paksaan dari satu pihak,
sebanyak 6 kali atau lebih dari satu kali, sehingga menyebabkan
kehamilan Terdakwa 1 yang kemudian melahirkan bayinya pada tanggal
14 April 1984, sedangkan terdakwa 1 dan terdakwa 2 masing-masing
belum terikat dalam perkawinan.

Pengadilan Negeri Sengkang setelah memeirksa dan mengadili perkara


tersebut menjatuhkan putusan yang peetimbangannya sebagai berikut :

Bahwa di daerah ini menurut hukum adat adalah perzinahan adalah


perbuatan yang melanggar hukum, dimana yang bersalah ditindak
senagaimana mestinya.

Bawa dari keterangan pada seksi dihubungkan dengan keterangan


terdakwa dan alat-alat bukti dan peengakuan terdakwa 1 telah bersetubuh
dengan terdakwa 2 di rumah Daeng Perani sehingga ia hamil dan dan
terdakwa 1 melahirkan seorang anak perempuan umur 1 tahun.

Bahwa terdakwa 2 menyangkal keras dakwaan tersebut dan dalam


pemeriksaan di sidang pengadilan selalu mengelak dan selalu berusaha
35

keras untuk melepaskan tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya


dengan memberikan keterangan yang jungkir balik.

Bahwa tidak terang terungkap dalam persidangan bahwa ada laki-laki lain
yang pernah tinggal di rumah Daeng Perani kecuali terdakwa seorang diri.

Bahwa fakta yang terungkap dalam persidangan berdasarkan alat-alat


bukti berdasarkan pertimbangan tersebut di atas akhirnya Hakim
menjatuhkan putusan bahwa kedua terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana adat zina.‖ 33

Meskipun dalam Putusan Mahkamah Agung Terdakwa I dinyatakan bebas

hal tersebut tidak mengurangi diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat

Sengkang. Bebasnya Terdakwa I bukan disebabkan substansi perkara tetapi

disebabkan alat bukti yang meragukan bagi Hakim kasasi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman

Serikat Putra Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya

pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda

memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918),

hukum pidana adat memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap

berlaku dan diterapkan dalam praktek peradilan. Setelah kemerdekaan, pidana

adat mendapat tempat lewat UU Darurat No. 1 Drt 1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b

Undang-Undang ini menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya

dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat.

Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam

33
Ibid, hlm.281.
36

memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap

sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP. 34

Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, menurut Nyoman

Sarikat, adalah putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam

putusan ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah

dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat,

dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa

harus dinyatakan tidak dapat diterima.35

Putusan lain yang dikutip Guru Besar Undip Semarang itu adalah putusan

MA No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis

mempertimbangkan ‗seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut

hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan

yang melanggar hukum adat, yaitu „delik adat‟. Kepala dan para pemuka adat

memberikan reaksi reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi

adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah

dijatuhi „reaksi adat‟ oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi

(untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan badan peradian

negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat,

dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat 3 huruf b UU

Darurat No. 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian itu, maka pelimpahan

34
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Hukum Pidana dalam Pembahruan Hukum Pidana
Nasional, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukm Pidana dan Krimonologi III, Kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat dengan MAHUPIKI, tanggal 16 – 19 Mei 2016.
35
Ibid
37

berkas perkara serta tuntutan kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan

tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)‘.36

Kedua putusan itu, menurut Nyoman, menunjukkan bahwa MA

―mengakui eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup

dalam masyarakat Indonesia‖. Pijakan hukum pengakuan pidana adat tak hanya

yurisprudensi. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang.37

Dalam sebuah perkara yang diputus Pengadilan Negeri Palu pada 2010,

majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak semata-mata yang

adalah dalam KUHP, tetapi juga ‗makna menurut hukum adat‘. Pertimbangan

hakim merujuk pada yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya

menyebutkan delik adat zina adalah perbuatan terlarang lepas dari apakah

perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas dari apakah salah satu

pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal 284 KUHP. Overspeladalah

perbuatan tercela yang beberapa kali disidangkan di pengadilan, dan hakim tak

semata merujuk pada rumusan Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar

juga pernah menghukum seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat

yaitu persetubuhan di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa.

Hakim memutus demikian karena perbuatan itu tidak ada bandingannya dalam
36
Ibid, tulisan ini juga dishare dalam http://www.hukumonline.com, terakhir diakses
tanggal 24 September 2017 jam 11.45.
37
Ibid
38

KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP, maka hakim mencari ke

hukum adat. 38

Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan

pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal

tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum tak

tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.39

Kasus lain berikutnya adalah sebagaimana hasil penelitian Mercy M. M.


40
Setlight terhadap Perkara Sumbang atau ―Pencemaran Darah‖ (Delik Nedosa)

menurut pidana adat Sangihe. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 yang telah

menghapus pemberlakuan hukum Adat Sangihe Talaud itu tidak memuat delik

khusus yang justru sangat prinsip dalam Aturan Adat masyarakat Sangihe Talaud

tahun 1917 dan Aturan adat 1932 yang menggantinya yakni isi Bab IV pasal 25

poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 yang menyangkut perkara-perkara

Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA). Padahal, pasal yang mengatur perkara

sumbang ini justru sudah dikuatkan oleh suatu deklarasi keputusan Dewan Adat

Sangihe Talaud tanggal 6 September 1951, yang berisi klasifikasi perkara

Sumbang beserta tata cara penerapan hukuman. Penegasan yang sifatnya

deklaratif oleh dewan adat tersebut pada hakikatnya sangat penting dan sudah

38
Ibid
39
Ibid
40
Mercy M. M. Setlight, ―Penerapan Hukum Pidana Adat Dalam Putusan Pengadilan Di
Wilayah Pengadilan Negeri Tahuna‖, dalam Jurnal Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015
39

merumuskan suatu delik yang disebut Delik Nedosa, yang penerapannya

kemudian telah diberlakukan dalam mendakwa dan memutuskan berbagai kasus

Sumbang (Nedosa) oleh Lembaga Peradilan di Sangihe Talaud di kurun sebelum

Indonesia merdeka, sampai tahun 1975, dan di atas tahun 1975.41

Dalam penelitiannya, Mercy M.M Setlight mengemukakan sebagai

berikut :

― Perkara Sumbang ini dikatakan sangat prinsip sebagai delik pidana


dalam aturan adat masyarakat Sangihe Talaud karena menyangkut
keyakinan masyarakat akan adanya sosial efek berupa bencana alam yang
menimbulkan malapetaka bagi masyarakat dan menyangkut kehormatan
garis keluarga yang menanggung rasa malu yang tak terperih yang akan
ditimbul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan sumbang tersebut.
Perkara Sumbang atau ―Pencemaran Darah‖ (Delik Nedosa) memang
merupakan tindak pidana yang sangat unik yang cuma ada dalam Aturan
Adat Sangihe Talaud. Baik dalam aturan adat 1917 dan 1932 serta
deklarasi 1951 dinyatakan bahwa; nikah itu terlarang diantara orang-
orang yang berkeluarga dalam garis lurus ke atas dan yang ke bawah,
yang bersepupu, anak bersaudara. Penerapan hukumannya setinggi-
tingginya 5 tahun penjara. Karenanya, peranan Delik Nedosa sangat
penting dalam kaidah-kaidah hukum Adat yang masih di hormati dan
ditaati hingga kini oleh masyarakat Sangihe Talaud. Pada bagian lain,
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, sudah mencakup ketentuan-ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek
(BW) yang juga memiliki persamaannya dengan Aturan Adat Perkawinan
Sangihe Talaud (1917) dan (1932). Perkawinan anak bersaudara, cucu
bersaudara, dan juga perbuatan zinah kakak beradik, perbuatan zinah ayah-
anak, Perbuatan Zinah kakek dan cucu, pula perkawinan se marga (vam).
Bagi masyarakat di suku lain, perkawinan sedarah dan semarga (vam) itu
dapat dilakukan, namun di masyarakat Sangihe Talaud hal tersebut sangat
tabuh dan dikategorikann tindak kejahatan dan pelanggaran yang perlu
diberikan sanksi hukum. Perkawinan kakak beradik atau sepupuh adalah
kesalahan tanpa ampun dengan hukuman ditenggelamkan ke laut. Diatas
perkawinan sepupuh hingga pada keturunan ke tujuh hukumannya diusir
dan dibuang keluar dari lingkungan masyarakat. Aturan yang tidak tertulis
lainnya di Sangihe Talaud juga melarang perkawinan semarga meski
sudah dalam ratusan keturunan. Perkawinan bisa dilakukan kecuali pihak
pengantin lelaki mengganti marganya, sebab jika tidak, perkawinan itu
menjadi aib besar bagi marga tersebut. Melanggar aturan ini adalah

41
Ibid
40

merusak keseimbangan dan diyakini sebagai penyebab bencana. Tak


pelak, keyakinan terhadap hukum dalam Delik Nedosa macam ini sudah
barang tentu tak mungkin serta merta digantikan dengan delik pidana
KUHP atau produk hukum lain yang sifatnya generalis dan universal. ―

Pengadilan Negeri Tahuna sebagaimana dikutip Mercy yang dikuatkan

Putusan Kasasi No. 739 K/PID/2013 dalam kasus Terdakwa I (Laki-Laki) dan

terdakwa II (Perempuan) diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri

Tahuna karena didakwa mereka sejak tahun 2010 sampai tahun 2012 atau setidak-

tidaknya dalam tahun 2010 atau dalam tahun 2011 atau dalam tahun 2012 yang

hari dan tanggalnya sudah tidak diingat lagi bertempat di Kampung Bowongkali,

Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe atau setidak-

tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Tahuna yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,

menyatakan Para Terdakwa telah berbuat zinah, menurut hukum yang berlaku

yakni Aturan Adat Sangihe tahun 1932 tentang perbuatan zinah. Perbuatan

mereka Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

89 ayat - (1) dan ayat (2) tahun 1932 tentang Aturan Adat untuk orang-orang

Masehi Bumi Putera di Pulau-Pulau Sangihe.

Mahkamah Agung tersebut ; Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut

Umum pada Kejaksaan Negeri Tahuna tanggal 9 Agustus 2012 sebagai berikut

Menyatakan Terdakwa 1 dan Terdakwa 2 terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Perzinahan sebagaimana didakwakan Penuntut

Umum dalam Dakwaan Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2) Aturan Adat tahun 1932

tentang Aturan Adat untuk orang-orang Masehi Bumi Putera di Pulau-pulau


41

Sangihe ; Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa tersebut dengan pidana

penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan selama 8

(delapan) bulan ; Menetapkan supaya masing-masing Terdakwa dibebani untuk

membayar biaya perkara sebesar Rp.1.000,-(seribu rupiah) ;

Contoh berikutnya adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666

K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari

Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan

Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan

Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin di luar

perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa

telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi

Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.

Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983

menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan oleh seorang

laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang

mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang

hidup dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang

melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik

oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan

bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang

menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada

bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil. Kemudian Putusan Pengadilan

Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi


42

Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan

penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi rasa keadilan

masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka

hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan

seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985

maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang

dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat. Pada dasarnya

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985

tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa.

Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris

(Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui

sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh

hakim bukan merupakan hukuman pengganti.

Dalam praktik dewasa ini, pengambilan putusan hakim dengan

mendasarkan pada ketercelaan menurut nilai yang hidup di tengah masyarakat

akan membuat hukum pidana bergeser dari sifatnya yang legalistik. Pengakuan

atas nilai-nilai hukum yang hidup sesungguhnya telah diterima dalam pandangan

penegak hukum walaupun jarang diterapkan. Dalam arti sempit memang hukum

di sini hanyalah hukum yang tertulis atau terkodifikasi seperti undang-undang;

sedangkan dalam arti luas dimaksudkan termasuk hukum yang tidak tertulis,

seperti kebiasaan, kesopanan, kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.


43

Dalam pandangan materiel, perbuatan melawan hukum itu tidak harus

sebatas pelanggaran terhadap undang-undang, akan tetapi juga perlu dilihat

apakah perbuatan itu merupakan pelanggaran asas-asas umum di masyarakat

termasuk hukum tidak tertulis untuk membuktikan ada atau tidaknya sifat

melawan hukum secara materiel dari perbuatannya. Dengan pandangan ini, hakim

diberikan kebebasan untuk menafsirkan atau melakukan interpretasi suatu

perbuatan melawan hukum dikaitkan dengan hukum yang berlaku.

Bambang Poernomo membagi perbuatan melawan hukum ke dalam dua

bentuk yaitu Formele Wederechttelijke dan Materile Wederechttelijke.42 Sifat

melawan hukum materiel oleh para ahli dibedakan lagi ke dalam dua bentuk yaitu

sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif dan sifat melawan hukum

materil dalam fungsi positif. Dalam arti negatif diartikan bahwa meskpiun

perbuatan seseorang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang (melawan

hukum secara formil), namun apabila dilihat dari isinya ternyata bukan perbuatan

yang tercela (tidak melawan hukum secara materiel), maka terhadapnya tidaklah

dikenakan suatu hukuman. Dengan demikian harus ada kaitan antara kesalahan

dan sifat melawan hukum dari tindakan si pelakunya. 43

Sedangkan sifat melawan hukum materiel dalam fungsi positif diartikan

meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi unsur delik, namun menurut penilaian

masyarakat perbuatan itu dianggap tercela, maka secara positif perbuatan itu

dianggap sebagai melawan hukum.

42
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, 1985, hal. 132.
43
Ibid
44

Perdebatan tersebut sesungguhnya telah berakhir dengan adanya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang membatalkan keberlakuan

sifat melawan hukum materil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun

demikian, di dalam praktiknya sebagaimana hasil penelitian Juniver Girsang,

masih banyak hakim dan penegak hukum lain yang mengabaikan adanya putusan

tersebut.

Jika dalam tindak pidana korupsi sifat melawan hukum materil sudah

dhapuskan, idealnya perbuatan melawan hukum materil terhadap perbuatan-

perbuatan lain yang tidak ada padanannya dalam hukum pidana tertulis, namun

dalam masyarakat memiliki ketercelaan yang tinggi, seharusnya doktrin perbuatan

melawan hukum materil harus tetap diterapkan.

Penggunaan hukum pidana harus senantiasa menjunjung tingggi prinsip HAM

• Pertama, jangan menegakkan hukum pidana untuk pembalasan semata-


mata. Dalam hal ini ada kepentingan lain yakni kepentingan pribadi si
pelaku juga harus dijamin agar tidak muncul istilah crime by the
government dan the victim of abuse of power. Kedua, jangan
menggunakan hukum pidana apabila korbannya tidak jelas.....
• Ketiga, jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai tujuan
tertentu, selagi masih dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya,
dan dengan kerugian yang lebih kecil (asas subsidaritas)..., Keempat,
jangan menggunakan hukum pidana bilamana kerugian akibat pemidanaan
lebih besar daripada kerugian akibat tindak pidana itu sendiri,,
• Kelima, jangan menggunakan hukum pidana bilamana hasil sampingan
yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang
dikriminalisasikan,
• Keenam, jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak mendapatkan
dukungan masyarakat
• Ketujuh, jangan menggunakan hukum pidana apabila diperkirakan tidak
efektif,
• Kedelapan, hukum pidana harus dapat menjaga keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan masyarakat,
dan kepentingan individu,
• Kesembilan, penggunaan hukum pidana harus selaras dengan tindakan
pencegahan lain yang bersifat non penal,
45

• Kesepuluh, penggunaan hukum pidana harus dapat meredam faktor utama


yang bersifat kriminogen,
• Kesebelas, perumusan tindak pidana harus tepat dan teliti dala
menggambarkan perbuatan yang dilarang,
• Keduabelas, perbuatan yang dikriminalisasi harus digambar secara jelas,
dan
• Ketigabelas, prinsip diferensiasi kepentingan yang dirusak, perbuatan yang
dilakukan, status pelaku dalam kerangka asas kulpabilitas. 44

Dalam praktik pengakuan hukum yang hidup walaupun memiliki

ketercelaan yang sangat tinggi di tengah masyarakat, sulit diterapkan. Para polisi,

jaksa, dan hakim kita telah terlanjur berpikir bahwa hukum adalah hukum tertulis.

Cara pandang yang positivistik dan legalistik adalah buah pendidikan hukum yang

juga cenderung mengabaikan hukum yang hidup.

Kesulitan penting yang dihadapi para penegak hukum adalah menggali

nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Mereka tidak punya banyak waktu

untuk meneliti dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup yang masih diakui di

tengah masyarakat. Mengatasi hal itu sesungguhnya KUHAP sudah memberikan

jalan keluarnya. Melalui Pasal 184 KUHAP ada alat bukti bernama keterangan

ahli.

Penegak hukum tidak perlu langsung meneliti sendiri bagaimana hukum

yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang berbeda satu sama lain, beratus

suku dan etnik. Para penegak hukum tinggal menggali hukum yang hidup dari

hasil penelitian yang dihasilkan para ahli di perguruan tinggi. Para pengajar di

Fakultas Hukum di perguruan tinggi diarahkan agar melakukan penelitian yang

brsifat empirik yang menggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah masyarakat.

44
Muladi, Evaluasi terhadap Substansi dan Pelaksanaan UU No. 11/PNPS/1963,‖
makalah dalam Jurnal HAM, Bingkai Pembangunan dan Demokrasi, CIDES, Jakarta: 1997
46

BAB IV

PENYELESAIAN KASUS PIDANA MELALUI HUKUM ADAT

(PLURALISME DALAM HUKUM PIDANA)

Dengan beralihnya hukum pidana menjadi hukum publik, maka negara lah

yang mengambil alih urusan jika ada seseorang warga negara menjadi korban

suatu kejahatan. Ketakutan seseorang melakukan kejahatan kepada orang lain,

bukan karena takut atas kekuatan orang yang akan jadi korban, tetapi ketakutan

akan sanksi hukum yang akan diberikan oleh negara. Jika seseorang menyakiti

seorang warga negara, maka yang akan berhadapan dengan pelaku bukanlah orang

yang jadi korban atau keluarga dan kerabatnya tetapi akan berhadapan dengan

negara. Di sinilah tampak bahwa negara melindungi warga negaranya melalui

sarana hukum yaitu hukum pidana.

Makin hebat suatu negara, maka akan makin terlindungilah warga

negaranya dari segala bentuk kejahatan, tetapi semakin lemah suatu negara maka

makin rapuh lah perlindungan hukum atas warga negaranya.

Berdasarkan ciri hukum publik tersebut, maka dapat dicirikan bahwa

hukum pidana adalah hukum publik yaitu :

1. Mengatur hubungan antara kepentingan negaraatau masyarakat dengan

orang perorangan;

2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi daripada orang

perorangan. Dengan perkataan lain orang perseorangan

disubordinasikan kepada penguasa;


47

3. Penuntutan seseorang (yang telah melakukan suatu tindakan yang

terlarang) tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan),

melainkan pada umumnya, negara/penguasa wajib menuntut seseorang

tersebut

4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum

pidana objektif atau hukum pidana positif.45

Di dalam praktiknya, maka penuntutan atas seseorang yang telah

melakukan suatu tindak pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa

dalam hal ini bertindak mewakili kepentingan umum dan atas nama negara.

Namun demikian, seringkali di dalam persidangan korban atau keluarga

korban merasa tidak puas dengan tuntutan jaksa penuntut umum karena mereka

merasakan tuntutan jaksa tidak seimbang dengan penderitaan atau pengorbanan

mereka. Terhadap masalah ini, sesungguhnya tidak ada tempat bagi kata ―tidak

puas‖ karena jaksa penuntut umum mempunyai ukuran-ukuran tertentu

berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan.

Kalaulah ukuran keadilan dikembalikan kepada para korban, niscaya lah

tidak akan ada puasnya perasaan keluarga korban yang telah menderita akibat

dilakukannya perbuatan si tertuduh. Namun demikian, meskipun hukum pidana

bersifat publik, tidak ada salahnya jaksa penuntut umum memberikan pemahaman

dan mengkonsultasikan tuntutan dengan pihak keluarga korban.

Di dalam sistem hukum pidana Islam, keluarga korban dalam kasus

pembunuhan memegang andil atas tuntutan penuntut umum dimana, jika keluarga

45
SR Siantutri, Op.Cit, hlm ,23
48

korban memaafkan, maka tuntutan dapat dibatalkan. Inilah hakikat keadilan yang

termuat dalam sistem hukum pidana Islam, karena tujuan pemidanaan dilakukan

untuk kemaslahatan.

Dalam sistem hukum adat pun, dikenal pola pemidanaan dan penuntutan

yang lebih kurang mirip dengan sistem hukum Islam, dimana peranan keluarga

korban sangat menentukan jadi atau tidaknya penuntutan dan pemidanaan atas

pelaku. Kalau dalam Hukum Islam, persoalan hukum dilihat berdasarkan

kemaslahatan, dalam hukum adat penyelesaian hukum dilakukan dengan

menitikberatkan pada kebersamaan atau harmoni.

Yang paling sering dilakukan penyelesaian di luar pengadilan adalah

dalam perkara lalu lintas yaitu dengan perdamaian. Perdamaian dalam

menyelesaikan perkara tindak pidana lalu lintas bertentangan dengan sifat hukum

pidana sebagai hukum publik. Namun dalam praktik, masyarakat menganggap

terjadinya kecelakaan bukanlah suatu perbuatan yang benar-benar tecela

malainkan musibah baik bagi pelaku maupun bagi korban.

Penyelesaian di luar pengadilan dengan cara damai tersebut melahirkan

dua ironis dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik. Pertama, metode

berfikir yang yuridis formal. Bagi penganut metode ini akan berkata, bahwa

hukum pidana adalah hukum publik. Konsekuensi dari sifat hukum pidana sebagai

hukum publik adalah bahwa pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana harus

diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik, maka tidak

diperkenankan untuk diselesaikan oleh kedua belah pihak saja yaitu pihak korban

dan pihak pelaku. Dengan demikian, para penganut metode berfikir yang yuridis
49

formal ini, akan menolak kebenaran lembaga perdamaian dalam hukum pidana

karena menurut aliran ini, seluruh kasus pidana harus diajukan ke sidang

pengadilan, tanpa kecuali. Penganut metode berfikir yuridis formil ini

memandang bahwa hukum sama dengan Undang-Undang sehingga di luar

Undang-Undang tidak ada hukum.

Kedua, metode berfikir yang yuridis materil. Para penganut aliran ini

memandang, bahwa hukum tidak identik dengan hanya sebatas Undang-Undang

saja. Di luar peraturan perundang-undangan masih banyak hukum. Makna hukum

bagi penganut aliran ini adalah baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

Al Qur‘an dan Hadist, menurut aliran ini merupakan sumber hukum yang valid

dan shahih di samping peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara.

Bagi penganut aliran pertama, bahwa yang penting adalah dalam penegakan

hukum adalah dalam rangka tercapainya kepastian hukum, sedangkan sebaliknya,

penganut aliran kedua, yang akan dicapai melalui proses penegakan hukum adalah

keadilan. 46

Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengakui dan memberi nilai

tinggi terhadap penyelesaian hukum pidana adat, maka hakim pun bisa

menjadikan perdamaian dalam kasus pidana bernilai tinggi, Putusan yang

mempertimbangkan restorative justice bisa dilihat dari Putusan MA No. 1600

K/Pid/2009. Dalam putusan MA berargumen salah satu tujuan hukum pidana

adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana.

Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP,
46
Website Rgs artikel hukum; http://www.rgs-artikelhukum.blogspot.com/2008/12/sifat-
hukum-acara-pidana.html. (terakhir kali dikunjungi tanggal 5 April 2009 jam 10:56 Wib)
50

MA menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang

terganggu. MA mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan

terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini

dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

Dalam banyak perkara yang diselesaikan menurut sistem hukum adat,

terdapat pula dua kemungkinan, yaitu Pertama, penyelesaian hukum adat yang

dilakukan masyarakat diakui dan dilegalisasi oleh hukum negara melalui

pengadilan. Kedua, perkara diangggap selesai dan hukum negara tidak menyentuh

perkara tersebut.

Salah satu bentuk penyelesaian menurut model kedua adalah sebagaimana

dalam Putusan Pengadilan Negeri Kendari tertanggal 16 Juni 1987 dugaan

perzinahan antara seorang pemuda bernama Tawi terhadap seorang ibu bernama

Siti. Kepala adat menyatakan bahwa Tawi melanggar norma adat kesusilaan

sehingga oleh Kepala adat Tolaki ditetapkan suatu reaksi adat berupa hukuman

membayar seekor kerbau dan 1 kain Kaci. Tawi telah menjalani hukuman sanksi

adat yang ditetapkan oleh kepala adat tersebut. Namun perkara tersebut diproses

lagi menurut sistem peradilan pidana. Hakim pertama pada pengadilan negeri di

Kendari yang mengadili perkara dakwaan jaksa penuntut umum tersebut dalam

putusannya telah memberikan pertimbangan sebagai berikut :

― Bahwa Hakim menolak alasan terdakwa dalam pledoinya yang


mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat oleh Kepala
adat dan pemuka adat tengah-tengahnya lagi terdakwa berdasarkan KUHP
pidana di pengadilan negeri ini berarti terdakwa diadili dua kali dalam
masalah yang sama di sininya. Penolakan Hakim pertama tersebut
didasarkan atas bahwa menurut undang-undang pokok kekuasaan
kehakiman RI nomor 14 tahun 1970 ditetapkan bahwa badan peradilan
sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili perkara
51

tindak pidana adalah pengadilan. Pengadilan pertama menilai bahwa


unsur pasal 285 KUHP pidana dan pasal 281 KUHP pidana tidak terbukti
karena itu terdakwa tapi harus dibebaskan dari dakwaan primair dan
dakwaan subsidair menurut keterangan para saksi dan pengakuan terdakwa
sendiri dalam persidangan menurut hukum yang merupakan suatu
pelanggaran hukum pasal 285 KUHP karena itu terdakwa harus dijatuhi
pidana.
Terhadap putusan pengadilan tinggi tersebut Tawi tidak menerima ajaran
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung dengan menggunakan
keberatan dan pada pokoknya telah salah menerapkan hukum karena
menjatuhkan hukum pidana ganda terhadap terdakwa dalam persoalan
perbuatan yang sama.
Mahkamah Agung dalam putusan yang menyatakan bahwa keberatan
kasasi yang dikemukakan oleh pemohon kasasi dapat dibenarkan oleh
Mahkamah Agung oleh karena Pengadilan Tinggi Pengadilan Negeri telah
salah menerapkan hukum bahwa terdakwa yang oleh Kepala adat harus
membayar seekor kerbau dan 1 lembar kain Kaci telah melakukan
pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman ada hukuman yang
mana telah diikuti oleh terdakwa ketahui bahwa pembayaran yang berupa
seekor kerbau dan Selembar kain Kaci adalah merupakan hukuman adat
yang dijatuhkan yang telah diikuti oleh terhukum dan hukuman tersebut
telah sepadan dengan besar kesalahan yang dilakukan oleh terhukum
sehingga menurut pasal 5 ayat 3 undang-undang nomor 1 tahun 1951
terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana lagi oleh pengadilan dengan dasar
pertimbangan seperti tersebut di atas airnya Mahkamah Agung RI
memberikan putusan yaitu membatalkan putusan pengadilan tinggi
Sulawesi Tenggara dan pengadilan negeri Kendari menyatakan tuntutan
jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri tidak dapat diterima.

Contoh lain adaah dalam Kasus Asman Husin Alias Asman sebagaimana

dalam Putusan Nomor: 67/Pid/2011/PT.GTLO atas nama Terdakwa Asman

Husin Alias Asman, tertanggal 09 Agustus 2011 dan Putusan Nomor: 1998

K/PID.SUS/2011 atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman, tertanggal 15

November 2011 yaitu sebagai berikut :

― Asman Husin Alias Asman (Terdakwa) Dan Maryam Karim Alias Lisa
(Korban) Telah Berpacaran Sejak Tahun 2007 Sampai Dengan Tahun
2010 (± 3 Tahun) Dan Diketahui Oleh Kedua Orang Tua Baik Orang Tua
Terdakwa Maupun Orang Tua Korban Yang Dalam Hal Ini Hanya Tinggal
Ibunya Saja. Pada Tahun 2010, Asman Husin Alias Asman (Terdakwa),
Orang Tua Asman Dan Maryam Karim Alias Lisa (korban), datang ke
kantor desa untuk berkonsultasi kepada Kepala Desa dan aparat desa
52

tentang lamaran orang tua ASMAN yang ditolak oleh ibu dari LISA
sementara LISA ingin sekali menikah. Kemudian Kepala Desa memanggil
orang tua/ibu dari LISA (korban) dan melakukan musyawarah atas niat
baik dari ASMAN (Terdakwa) dan orang tua Limboto utusan Nomor:
67/Pid/2011/PT.GTLO atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman,
tertanggal 09 Agustus 2011 dan Putusan Nomor: 1998 K/PID.SUS/2011
atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman, tertanggal 15 November
2011), Tesis Universitas Indonesia, 2013. Terdakwa tersebut.Pada saat itu
hadir juga tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, namun hasilnya
orang tua/ibu dari LISA (korban) malah marah-marah dan menghina
ASMAN (Terdakwa) didepan Kepala Desa dan masyarakat yang hadir
pada saat itu. Kemudian orang tua/ibu dari LISA (korban) pulang
meninggalkan kantor desa. LISA (korban) pada saat itu yang lebih aktif
meminta jalan keluar kepada Kepala Desa beserta tokoh-tokoh yang hadir
pada saat itu dan kemudian Kepala Desa memberikan jalan keluar agar
LISA (korban) meminta ijin kepada Pengadilan Agama untuk
mendapatkan ijin menikah dengan Wali Hakim. Setelah pertemuan di
Kantor Desa tersebut, LISA (korban) pergi meminta ijin ke Pengadilan
Agama namun permohonannya ditolak, akhirnya korbanpun mengajak
kawin lari dan melakukan hubungan suami isteri dengan harapan apabila
korban hamil maka akan mendapatkan persetujuan dari orang tua korban.
Setelah korban hamil, merekapun pergi ke rumah orang tua korban untuk
menyampaikan hal tersebut namun orang tua korban tetap marah-marah
dan menghina Terdakwa. Kemudian atas usul dari korban, akhirnya
Terdakwa dan korbanpun berangkat ke Manado ke tempat adik kandung
almarhum ayah korban. Di Manado, Terdakwa dan korban menceritakan
peristiwa yang mereka alami kepada adik kandung almarhum ayah korban,
akhirnya adik kandung almarhum ayah korban menikahkan mereka secara
sah di KUA pada tanggal 6 Juni 2010, saat itu usia suami 21 tahun dan
korban 17 tahun. Sekembali dari Manado, Terdakwa ditangkap polisi
karena orang tua korban telah melaporkan perbuatan terdakwa membawa
lari dan menghamili korban kepada kepolisian.Atas kejadian tersebut,
korban melaporkannya kepada Kepala Desa dan aparat desa lainnya untuk
meminta jalan keluar yang baik. Selanjutnya kepala Desa memanggil
kembali orang tua/ibu korban namun hasilnya orang tua/ibu korban tetap
menolak Terdakwa menikahi anaknya sehingga masalah tersebut menjadi
pembicaraan masyarakat di desa karena sikap orang tua korban, walaupun
anaknya sedang dalam keadaan hamil besar dan sudah dinikahkan secara
sah oleh adik kandung almarhum suaminya. Memang pada akhirnya orang
tua korban tidak keberatan atas pernikahan terdakwa dan anaknya itu,
namun terdakwa sudah menjalani hukuman yang telah dijatuhkan
kepadanya. Aparat desa dan warga desa sangat prihatin dengan
permasalahan yang menimpa terdakwa dan korban. Terhadap perkara
terdakwa sendiri selanjutnya diproses hukum dan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Limboto menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan, dengan pertimbangan bahwa benar terdakwa
53

tersebut telah terbukti melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap


anak sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum namun pelaku
sudah menunjukkan tanggungjawabnya dengan menikahi saksi korban
serta memperhatikan pula masa depan dan kepentingan anak yang telah
dilahirkan. Selanjutnya dalam tingkat banding, terhadap Terdakwa Asman
Husin Alias Asman oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi
Gorontalo menjatuhkan putusan berupa menguatkan Putusan Pengadilan
Negeri Limboto dan mengambil alih pertimbangan hukumnya dan
menyatakan benar terdakwa tersebut telah terbukti melakukan perbuatan
kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum namun pelaku sudah menunjukkan tanggungjawabnya
dengan menikahi saksi korban serta memperhatikan pula masa depan dan
kepentingan anak yang telah dilahirkan. Di tingkat kasasi Majelis Hakim
tingkat kasasi sependapat dengan Putusan Nomor: 67/Pid/2011/PT.GTLO
atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman, tertanggal 09 Agustus
2011. Putusan Nomor: 1998 K/PID.SUS/2011 atas nama Terdakwa Asman
Husin Alias Asman, tertanggal 15 November 2011. Pertimbangan hukum
judex factie dan khusus mengenai lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan, judex jurist berpendapat lain. Karena itu judex jurist telah
memperbaiki amar putusan khususnya mengenai lamanya pidana penjara
menjadi 3 (tiga) tahun penjara dengan pertimbangan bahwa Judex Factie
telah menyimpangi ketentuan Undang-undang. Sesuai ancaman pidana
Pasal 81 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, telah ditentukan ancaman pidana penjara minimal jika
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal tersebut
adalah 3 (tiga) tahun penjara.‖

Model berikutnya atau bisa disebut sebagai model ketiga yaitu

pemberlakuan hukum adat setempat tanpa campur tangan negara sedikitpun.

Model tersebut identik dengan perdamaian. Perdamaian dalam hukum

pidana adalah bahwa penyelesaian kasus kejahatan dilakukan di luar acara

peradilan, yaitu dengan cara perdamaian antara kedua belah pihak, sama halnya

seperti kasus perdata. Lembaga perdamaian ini secara yuridis formal tidak diakui

dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana sehingga pelaksanaanya

dianggap liar atau illegal karena tidak mempunyai landasan hukum pidana positif.
54

Model perdamaian ini mengatasi kesenjangan yang nyata antara hukum

yang berlaku dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia, Satjipto Rahardjo

memperkenalkan teori hukum progresif. Salah satu pendekatan non hukum atau

non penal dapat juga dilakukan dengan pendekatan non formal. Satjipto

Rahardjo47 menyebutnya dengan istilah ‖Negara di luar negara‖. Di seluruh dunia,

dalam kadar berbeda-beda, fenomena itu terjadi dan Indonesia ikut

menampilkannya. Di Indonesia juga ada Indonesia lain di luar negara Indonesia.

Indonesia alternatif. Kini, dalam suasana krisis, tampilan dan kinerja Indonesia

alternatif di luar negara itu terasa kian meluas karena kedodoran dalam mengelola

kehidupan bangsa. Tesis weak state, strong sociey jadi kenyataan. Saat suatu

negara lemah, masih ada kekuatan sosial, ekonomi, dan hukum di masyarakat

yang mampu menopang negara bersangkutan sehingga tidak betul-betul ambruk.

Menurut Satjipto Rahardjo, di Indonesia juga ada banyak kekuatan di luar

negara. Di tengah citra buruk pengadilan, muncul dan digelar pengadilan versi

rakyat di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyat desa itu mengetahui

sejumlah pamong desa korupsi dengan menilep hasil penjualan tanah desa untuk

pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau kreasi rakyat. Sidang

berlangsung sembilan jam, menunjukkan serius pengadilan. Para pamong pun

menyerah dan bersedia mengembalikan uang korupsi ke kas desa. Sidang

berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut

hukum, tanpa hakim negara, di luar gedung pengadilan, tetapi berhasil baik. Yang

47
Satjipto Rahardjo, Indonesia di Luar Negara, Kompas, 24 Maret 2008
55

cantik adalah rakyat menyerahkan para ‖terdakwa‖ untuk diproses menurut

hukum negara.

Dalam kaitan inilah perlu diperkenalkan apa yang dimaksud dengan

hukum progresif yang secara ringkas dapat dikatakan yaitu melakukan

pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga

mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya

mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan.48

Adapun paradigma yang menopangnya, yaitu:


Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah

hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan

bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,

mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah

dibuat oleh hukum. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa hukum

adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan

membebaskan.

Kedua, Hukum Progresif menolak untuk mempertahankan status quo

dalam berhukum. Mempertahankan status quo berarti mempertahankan segalanya,

dan hukum adalah tolok ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan

dengan cara positivistik, normatif dan legalistik. Sehingga sekali undang-undang

menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali

hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas

48
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum,Penerbit Buku KOMPAS, Cetakan I, Jakarta, 2007, hal 147.
56

kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar

membekukan masyarakat.

Ketiga, Hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan

perilaku manusia dalam berhukum. Perilaku di sini dipengaruhi oleh

pengembangan pendidikan hukum. Selama ini pendidikan hukum lebih

menekankan penguasaan terhadap perundang-undangan yang berakibat

terpinggirnya manusia dari perbuatannya di dalam hukum. Sembilan puluh persen

lebih kurikulum pendidikan hukum kini mengajarkan tentang teks-teks hukum

formal dan bagaimana mengoperasionalisasikannya. Secara agak ekstrem, Gerry

Spence mengkritik pendidikan hukum dengan mengatakan, ―sejak mahasiswa

memasuki pintu fakultas hukum, maka rasa kemanusiaannya dirampas dan

direnggut.‖ Disamping pada ranah pendidikan, peranan perilaku manusia dalam

berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa,

polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum

memiliki signifikansi cerminan hukum bagi masyarakat.49

Secara praktis, dalam menghadapi polemik kasus Cicak Buaya yang


50
menyita prahtian publik dalam kurun waktu tahun2009/2010, Satjipto Rahardjo

dalam artikelnya di Kompas menyatakan bahwa hukum dibuat dan bekerja

berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah keadaan normal. Apabila

keadaan berubah menjadi tidak normal, hukum dihadapkan kepada kesulitan.

Kasus Bibit-Chandra yang rumit dan melibatkan banyak institut hukum

menyebabkan penyelesaiannya secara tradisional kurang berhasil. Fakta yang


49
Ibid, hal. 145.
50
Satjipto Rahardjo, Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa, Opini Kompas, Edisi
Kamis, 19 November 2009
57

terjadi sulit untuk dimasuk-masukkan begitu saja ke dalam berbagai skema

penyelesaian yang sudah disediakan, seperti the criminal justice system dan lain-

lain.

Karena itu menurut Satjipto dibutuhkan semacam terobosan, karena

sebenarnya sejak awal, pembuat hukum sendiri menyadari, ia membuat hukum

berdasarkan asumsi situasi yang normal. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya

keadaan yang tidak selalu normal, hukum sudah menyediakan pintu-pintu untuk

keluar dari keadaan hukum yang seharusnya dilakukan atas dasar pertimbangan

menyelamatkan darurat itu.

Contoh, diskresi dalam kepolisian. Di sini seorang polisi diberikan hak

istimewa untuk tidak menerapkan keadaan. Ini banyak terjadi dalam pengaturan

lalu lintas. Contoh lain adalah hal untuk menyampingkan proses hukum yang

sedang berjalan (deponeering). Hak itu hanya diberikan kepada Jaksa Agung

berdasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan kepentingan bersama yang lebih

besar.51

Di tengah masyarakat, perdamaian menjadi simbol yang diterapkan dalam

Peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, lazim dikenal

dengannterminologi “sidang adat”, “para-para adat”, “pokara adat”, atau

“rapat adat”, serta ungkapan beragam sesuai kekhasan bahasa lokal setempat.

Pada masyarakat Papua dikenal istilah ―budaya bakar batu‖; di Aceh

dikenal dengan peusijuek; di Bali, melalui desa adat pakraman diterapkan adanya

awig-awig; pada masyarakat suku Sasak di Nusa Tenggara Barat (Lombok),

51
Ibid
58

dikenal begundem; pada Suku Baduy dikenal silih ngahampura; dan di

masyarakat Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur, dikenal mela sareka.

Penyelesaian perkara pidana di luar sistem peradilan pidana di negeri-

negeri Melayu secara restoratif juga berlaku di sejumlah daerah lain walaupun
52
dengan nama yang berbeda. Di Maluku namanya ―Hukum Sasi Laut‖. Sasi

adalah salah satu bentuk tradisi adat yang hidup di dalam masyarakat Kabupaten
53
Maluku tengah. Di masyarakat Banjar namanya ―badamai‖, masyarakat Aceh

namanya ―di‟iet”, “sayam”, “suloeh”” dan “peumat jaroe‖, serta pada

masyarakat Flores namanya ―mela sareka‖.54

Dalam sistem hukum nasional, beberapa di antara model perdamaian adat

tersebut diakui oleh sistem hukum nasional seperti di Papua dan Aceh. Dalam UU

Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Penjelasan

Pasal 9 ayat (2) huruf d UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

menyebutkan, “ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat

yang masih ditaati”, dan UU Nomor 1/drt/1951 Tentang Tindakan—Tindakan

Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil. Penjelasan Pasal 67 ayat (1) angka 4 UU Nomor 41

Tahun 1999 jo UU 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan menyebutkan, “ada

pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”.

52
Reny H Nendissa, ― Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum Sasi Laut di
Maluku Tengah‖, Jurnal Sasi Volume 16 No. 4 Oktober Desember 2010, Fakultas Hukum
Universitas Pattimura, Ambon, hlm.1.
53
Reimon Supusesa, "Eksistensi Hukum Delik Adat dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Di Maluku Tengah." Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No. 1 (2012), Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 41-54.
54
Trisno Raharjo, ―Mediasi Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‖, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
59

UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diterapkan dan

dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan

Gampong atau Peradilan Damai. Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun

2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat

Istiadat khususnya Pasal 13 menentukan, “penyelesaian sengketa/perselisihan

adat dan adat istiadat diselesaikan secara bertahap,” kemudian disebutkan pula,

bahwa “aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar

sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat atau nama lain”.

Penyelesaian perkara menurut hukum adat lazim dikenal sebagai

pendekatan restoratif (restorative justice), yakni keadilan yang berupaya

mengembalikan keadaan pada kondisi semula, menguntungkan dan memenangkan

semua pihak, dan tidak terkungkung pada mekanisme hukum yang kaku dan

prosedural. Dengan keadilan restoratif (restorative justice), memungkinkan

pidana- pidana tertentu bisa diselesaikan dengan semacam mediasi antara korban

dengan pelaku atau dengan masyarakatnya sendiri. Menurut Bagir Manan, arti

keadilan restoratif itu pertama, bagaimana menghindarkan pelaku itu dari masuk

penjara, karena ternyata penjara itu bukan tempat yang sangat berhasil

menyelesaikan masalah mereka. Bahkan, banyak di antara narapidana itu, begitu

ke luar berbuat kembali tindak kriminal. Kedua, bagai manapun caranya,

walaupun dapat menghindar dari penjara, namun pelakunya tetap bertanggung

jawab atas perbuatannya. Dalam restorative jusctice itu, posisinya akan diubah

bahwa perkara itu tidak semata- mata kepentingan ketertiban, tetapi kepentingan

bagi si korban, bagaimana pemulihan korban, yang bukan hanya dari segi materiil,
60

tapi psikisnya juga. Istilah lain yang sering dipakai untuk adalah restorative

jusctice adalah mediasi penal, mediation in criminal cases, mediation in penal

matters, victim offenders mediation, offender victim arrangement (Inggris),

strafbemiddeling (Belanda), der AuBergeri chtli che Tatausgl ei ch (Jerman), de

mediation penale (Perancis). Semua istilah ini pada dasarnya merupakan salah

satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Alternative

Dispute Resolution/ADR)yang lazim diterapkan terhadap perkara perdata.55

Fokus primer bergeser dari pelaku (perpetrator)kepada si korban (victim).

Proses penyelesaian perkara ti dak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau

mempermalukan seseorang, tetapi lebih pada usaha untuk memperoleh kebenaran

yang bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis

antara pelaku, korban, dan masyarakat. Perlindungan dan pemulihan hak-hak

korban dan masyarakat luas pada posisi yang sama dalam satu bangunan sosial.

Karena itu, yang dikembangkan adalah pemahaman sebagai ganti

pembalasan, reparasi sebagai ganti retaliasi, dan rekonsiliasi sebagai ganti

viktimisasi. Prinsip yang dipegang teguh adalah bahwa memaafkan bukanlah

mengabaikan apa yang telah terjadi (to forgive in not to ignore). Dalam hal ini,

pengakuan masyarakat sama manfaatnya dengan pengakuan melalui lembaga-

lembaga penegak hukum.

Di Kanada, keadilan restoratif ini dikemas dalam istilah circle sentencing.

Circle sentencing adalah sanksi dan pemulihan akibat kejahatan pada masyarakat

Indian. Pola ini diadopsi oleh para hakim dan komunitas hukum di wilayah Yukon

55
Ali Abubakar, ―Urgensi Penyelesaian Kasus Pidana Dengan Hukum Adat, ― Jurnal
Madania Vol. Xviii, No. 1, Juni 2014
61

dan komunitas lainnya di bagian utama Kanada pada tahun 1991. Setel ah itu,

circle sentencing menyebar ke Saskatchewan dan Manitoba, lalu menyebar ke

Amerika Serikat pada 1996 dengan pilot project di Minnesota. Circle sentencing

yang beranggotakan polisi, ahli hukum (lawyers), hakim, korban, pelaku, dan

perwakilan masyarakat ini bertujuan untuk mencapai konsensus penyelesaian

perkara secara damai. 56

A. Penerapan Hukum Adat dalam Kasus Pidana di Sumatera Barat

Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum pidana adat,

yakni Undang-undang Nan Duopuluah. UU Nan Duopuluah ini terbagi atas dua

bagian, yaitu UU Nan Salapan dan UU Nan Duobaleh. UU Nan Salapan

menentukan perbuatan kejahatan, dan UU Nan Duobaleh menjelaskan tanda bukti

yang melanggar UU Nan Salapan. Terdapat 8 bentuk perilaku yang disebut

sebagai delik adat dalam UU Nan Salapan, yakni:

1. dago-dagi;
2. sumbang-salah;
3. samun-sakal;
4. maling-curi;
5. tikam-bunuh;
6. kicuh-kecong dan tipu-tepok;
7. upas-racun; dan
8. siar-bakar.57

Dari kedelapan bentuk delik adat dalam UU Nan Salapan itu, yang

cenderung masih mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah

―sumbang salah‖ dan ―dago dagi‖. Sementara perilaku yang lain adalah perilaku-

perilaku yang sudah ada bandingannya dalam KUHP, sehingga perbuatan tersebut

56
Ibid
57
Elwi Daniel, ―Konstitusionaltitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara
Pidana:, dalam Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 3 September 2012.
62

diadili atas dasar ketentuan KUHP. Banyak kasus yang diadili oleh Kerapatan

Adat Nagari (KAN) di Minangkabau yang dapat digunakan untuk membuktikan

bahwa hukum pidana adat itu masih eksis. Pada tahun 1998, KAN Talago Gunung

Kecamatan Baringin memutuskan seorang warga bernama Jamalis bersalah

melakukan perbuatan ―sumbang-salah‖ karena memasuki rumah seorang

perempuan yang bukan muhrimnya. Kemudian pada 22 Maret 2004, KAN Air

Tabit Kecamatan Payakumbuh Timur mengeluarkan keputusan tentang pemberian

sanksi adat kepada A M Dt Panduko Sati karena dianggap telah melakukan

perbuatan ―dago-dagi‖ dalam kasus pembongkaran rumah adat.

Di Pasaman ada seorang janda yang diberi sanksi dibuang sepanjang adat,

karena terbukti ada laki-laki setiap pagi turun dari rumah janda tersebut. Setelah

ditegur beberapa kali, perilaku ―sumbang-salah‖ itu tetap berlangsung, sehingga

akhirnya lembaga adat melaksanakan rapat dan memberi sanksi adat kepada janda

tersebut.

Secara khusus bagi masyarakat Minangkabau, keberadaan KAN masih

dapat ditempatkan dalam kerangka perundang-undangan karena terakomodasi

dalam peraturan daerah, mulai dari Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983

sampai terakhir pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Nagari. Keberadaan KAN diakui sebagai lembaga kerapatan

dari ninik mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang

adat. KAN berfungsi memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan

perselisihan sako dan pusako. Dengan rumusan seperti itu dapat diartikan, bahwa
63

KAN masih diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikan masalah

sengketa adat.58

B. Penyelesaian Melalui Hukum Adat melalui Kasus Pidana di Provinsi


Jambi dan Sumatera Selatan
Selain sebagai pelengkap tradisi perkawinan, menyambut tamu, melepas

keberangkatan, khitanan, menyambut bayi baru lahir, di beberapa negeri di

Sumatera Selatan dan Jambi, tepung tawar digunakan juga untuk menyelesaikan

sengketa di tengah masyarakat termasuk penyelesaian perkara pidana atau

kejahatan di tengah masyarakat. 59

Dalam masyarakat Melayu Palembang bisa diselesaikan secara

kekeluargaan. Salah satunya seperti penyelesaian sengketa yang dikenal

masyarakat Sumatera Selatan dengan istilah Tepung Tawar. Tepung tawar adalah

cara damai atau kekeluargaan dalam penyelesaian sengketa di masyarakat.

Dengan niat ber angkan-angkanan (menjadi keluarga) kedua belah pihak saling

memaafkan, setelah melakukan persedekahan (pengajian). Metode ini bisa dipakai

dalam berbagai persoalan, dari yang sifatnya kecil hingga yang besar.60

Di Kecamatan Ilir Timur II Kota Madya Palembang Propinsi Sumatera

Selatan dalam hal seseorang berbuat salah terhadap orang lain, seperti membunuh,

menganiaya, merusak kehormatan, merusak harta orang lain dan sebagainya,

apabila masih dimungkinkan penyelesaiannya secara damai maka antara kedua

58
Ibid
59
Erdianto, ―Procession Of "Tepung Tawar" As An Alternative Solution For Criminal
Case In Malay Custom Law Of Riau,‖ Jurnal Dinamika Hukum Vol. 15 No. 1, January 2015
60
Pendapat H. Albar Sentosa Subari SH. SU, anggota Dewan Pakar Sekretariat Nasional
untuk Perlindungan Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, dalam M Budiono, Tepung Tawar,
makalah dalam website resmi MPR RI, terakhir kali dikunjungi tangggal 15 Nopember 2012 jam
11.00 WIB.
64

keluarga besar mengadakan upacara ―tepung tawar‖ dengan memberikan nasi

kunyit, panggang ayam, dan dibebankan biaya-biaya tertentu kepada si pelaku.

Perdamaian ini diketahui dan disaksikan oleh pejabat setempat (Ketua RT dan

Lurah), dalam upacara ini kadang-kadang si pelaku diangkat menjadi anak oleh

keluarga pihak korban. 61

Dalam masyarakat Melayu Kota Jambi prosesi tepung tawar juga masih

dipraktekkan dalam menyelesaikan perkara pidana walaupun hanya dalam kasus-

kasus tertentu dan sudah semakin jarang diterapkan apalagi di perkotaan. Salah

satu kasus yang baru-baru ini dipraktikkan adalah Keputusan sidang Lembaga

Adat Kota Jambi, mewajibkan DP dan kawan-kawan membayar denda adat

berupa dua ekor kambing. Selain itu, kedua belah pihak yang bersengketa

dinyatakan sebagai saudara dunia dan akhirat.62 Adapun prosesinya adalah setelah

dinyatakan berdamai di tingkat polisi, mereka kemudian disidangkan di lembaga

adat. Adapun prosesinya adalah :

― Pada sidang tersebut, DP dianggap telah melakukan pelanggaran


terhadap hukum yang dinamakan cimo. Dalam undang-undang, cimo
merupakan perbuatan berencana yang dilakukan bersama-sama untuk
melaksanakan perbuatan menganiaya orang lain. Untuk pekerjaannya
dinamakan cabuk yang merupakan perbuatan yang dilarang oleh nadir dan
pantang pada rajo. DP selaku pihak kedua didenda membayar dua ekor
kambing, beras 40 gantang, kelapa 20 buah, selemak semanis, delapan
tabung kain dan 3,5 tail emas, Acara adat dilakukan di Balai Adat Kota
Jambi, Rabu (25/1). Sidang pembacaan keputusan perdamaian adat
tersebut dilakukan sekitar pukul 12.00. Dalam pengambilan keputusan,
pihak lembaga adat terlebih dahulu memanggil kedua pihak untuk
dipertemukan. Masing-masing dimintai keterangan sebagaimana tentang
perkara yang terjadi. Begitu juga dengan saksi-saksi terkait kasus itu.

61
Anonim, 1984, Masalah-masalah Hukum Perdata Adat Di Kecamatan Ilir Timur II
Kota Madya Palembang Daerah Hukum Pengadilan Negeri Palembang Wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Palembang, Jakarta : Departemen Kehakiman
62
http://jambi.tribunnews.com/2012/01/26/, terakhir diakses 15 Nopember 2012, jam.
13.00
65

Setelah ditetapkan membayar denda adat, maka kedua belah pihak


dilarang bersengketa kembali. Keputusan adat dinyatakan sebagai
penyelesaian persengketaan yang ada. Berikutnya secara adat juga mereka
dinyatakan bersaudara dunia dan akhirat agar tidak kembali berseteru. AL
dan DP serta tiga temannya kemudian memandatangani perjanjian damai
tersebut di atas materai Rp 6000. Pernyataan itu diketahui oleh Ketua Adat
Kota Jambi Asnawi AB dan Wali Kota Jambi Bambang Priyanto. Usai
penandatanganan perjanjian damai, semua pihak yang berperkara dibasuh
tangannya menggunakan air tepung tawar. Pencucian dilakukan Asnawi,
Bambang Priyanto, Pihak Polresta, Perwakilan Kodim dan Lembaga Adat
Provinsi Jambi.

Dari model penyelesaian perkara pidana di dua provinsi di atas yaitu

Sumatera Selatan dan Jambi, terlihat bahwa hampir tidak ada perbedaan dalam

prosesi tepuk tepung tawar di kedua provinsi dimana dilibatkan para pihak yang

berperkara beserta keluarga keduanya.

Dalam beberapa contoh kasus di atas, cara penyelesaian adalah dimana

para tetua adat mengumpulkan para pihak yang berperkara, mendengarkankan

pandangan kedua belah pihak dan pada akhirnya menjatuhkan sanksi adat serta

prosesi tepung tawar untuk saling mengangkat saudara adalah sudah sejalan

dengan apa yang didefenisikan sebagai pendekatan restoratif justice.

Namun tidak selamanya pula penyelesaian tersebut benar-benar selesai

sebagaimana yang diinginkan model restoratife justice. Dalam artikel Eva

Achjani Zulfa misalnya, dikutip sebuah fakta yang terjadi di Jambi dimana dua

orang Suku Anak Dalam yaitu Celitai dan Mata Gunung, terpaksa berurusan

dengan pihak Polres Sarolangun (Jambi) karena tersangkut perkara bentrokan,

padahal sebelumnya telah ditempuh penyelesaian secara adat.63

63
Eva Achjani Zulfa, ―Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
Jurnal Kriminologi Indonesia‖, Vol.6 No. II Agustus 2010, Jurusan Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm.182.
66

Di Kecamatan Tungkal Ulu, masyarakat hukum Adat Tungkal Ulu

Provinsi Jambi yang diakui sebagai turunan hukum Adat Minangkabau yang

demikian mungkin juga berlaku di daerah lain yang mengakui dan menerapkan

hukum Adat Minangkabau, perbuatan semacam itu merupakan bentuk perbuatan

yang paling dicela dalam adat setelah perbuatan makar terhadap negara. Dalam

Pucuk Undang-undang nan Delapan macam-macam kejahatan yang serius adalah :

a. Dago-dagi, yaitu kesalahan terhadap pemerintah yang sah, membuat

fitnah, kekacauan dalam negeri.

b. Sumbang salah yang terdiri dari dua yaitu :

1) Sumbang salah yaitu hal-hal yang menurut pendapat umum

dipandang salah dan tidak layak seperti tinggal

serumah/sebiliki/sekamar anak yang telah berumur dengan

saudaranya sendiri atau sepakaian dan sebagainya.

2) Sumbang Sareh :

- Menikam bumi, yaitu seorang anak yang telah menzinahi

ibu/bibi kandung/adiknya;

- Mencarak telur, yaitu seorang bapak yang menzinahi anak

kandung atau anak tiirnya;

- Memetik bunga setangkai yaitu seorang berzinah dengan adik

ipar/kakak iparnya sendiri;


67

- Mandi di pancuran gading, yaitu seseorang yan telah menzinahi

istri orang.64

Dalam hukum adat tidak dipersoalkan apakah dalam hubungan itu

memiliki unsur paksaan atau tidak atau dengan atau tanpa pengaduan. Begitu

masyarakat mengetahui adanya kejadian semacam itu, maka sanksi pidana adat

dapat ditegakkan.

Dalam masyarakat hukum Adat Tungkal Ulu tersebut, bahkan terdapat

ketentuan khusus pula tentang tata pergaulan antara bujang dan gadis maupun

antara laki-laki dan perempuan yang sudah kawin antara lain :

- Tebus talak, yaitu sanksi hukum yang dijatuhkan kepada seorang laik-

laki yang berbuat serong denga istri orang lain baik sama-sama setuju

maupun perkosaan. Jika suka sama suka sanksinya dibebankan kepada

kedua belah pihak, dan laki-laki dan perempuan itu dikawinkan. Jika

diperkosa sanksi dibebankan kepada si laki-laki saja. Adapun

sanksinya adalah memberi ganti rugi kepada suami si perempuan.

- Gawal, yaitu sanksi berupa kawin secara adat oleh pemuka adat dan

membayar biaya cuci kampung apabila ditemukan oleh oleh waris

perempuan (saudara laki-lakinya, atau pamannya) keadaan dimana

seorang bujang dan gadis melakukan pergaulan bebas.

- Tehiruk tegempar, sama saja denga gawal, tetapi yang menemukan

bukan dari keluarga perempuan melainkan orang lain yang tidak ada

hubungan dengan si laki-laki dan perempuan.65

64
Rajo Bujang, et.all. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal. 80.
68

Perihal Hukum Gawal, tadi merupakan salah satu bentuk hukum adat yang

paling ditakuti, karena alasan digawalkannya seorang laki-laki dan perempuan

tidaklah mesti ditemukannya bukti sedang berzinah atau tertangkap basah.

Ditemukannya sandal atau baju seorang laki-laki yang tertinggal di rumah si

perempuan saja sudah cukup untuk diterapkannya hukum Gawal. Karenanya

pranata hukum adat gawal mampu menjadi kontrol sosial yang efektif untuk

mencegah terjadinya pergaulan bebas apalagi sampai terjadi hamil di luar nikah.

C. Penyelesaian kasus Pidana dalam masyarakat Riau

Menurut Rachmawati, tradisi adat-istiadat Masyarakat Melayu Riau pada

umumnya, Pekanbaru khususnya, setiap kegiatan upacara hukum syarak selalu

diikuti oleh ritual budaya yang bersifat religius, antara lain; berakikah, khatam

Alquran, khitan, akad nikah, naik haji maupun pulang haji serta perayaan hari-hari

besar Islam lainnya. Dalam kegiatan tersebut masyarakat Melayu Riau selalu

menyertakan dengan berbagai pergelaran tata cara adat-istiadat budaya yang

bersifat religius seperti; berkesenian berzanji, marhaban, tepuk tepung tawar,

berzikir, berkompang, berebana, bebano, gendang ogung dan lain-lainnya. 66

Orang Melayu mengatur hidup mereka dengan adat, demi memperoleh

keteraturan, kerukunan dan kesejahteraan bersama di dalam masyarakat. 67 Tepuk

Tepung Tawar adalah suatu adat di negeri-negeri Melayu, khususnya di

Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa raja-

65
Ibid, hal.85-86.
66
Rachmawati, Loc.Cit.
67
Yusmar Yusuf, ―Kearifan dan Kepiawaian Lokal : Sumbu Hukum Komunal (Kosmologi
Melayu, Masyarakat Adat dan Persepsi Kekinian)‖, Jurnal Respublica, Vol. 8 No. 1 Nov.2008,
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, hlm.120.
69

raja dahulu hingga saat ini.68 Selanjutnya Said Sirajudin 69


menjelaskan bahwa

upacara ini menyertai berbagai peristiwa penting dalam masyarakat, seperti

kelahiran, khitanan, perkawinan, pintu rumah, pembukaan lahan baru, jemput

semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya, dan sebagainya.

Sebagai tradisi masyarakat Melayu, maka tradisi tepuk tepung tawar

dilaksanakan tidak saja di Provinsi Riau atau Kepulauan Riau tetapi di negeri-

negeri Melayu yang lainnya seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,

Jambi, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Pengelompokan Melayu ke dalam

provinsi-provinsi tersebut seperti tampak dalam pandangan Toto Tohir tentang 19

lingkungan hukum adat Melayu meliputi Riau, Jambi Sumatera Timur. 70 Selain

itu Masyarakat Melayu dapat dibedakan ke dalam Melayu pra tradisional, Melayu

tradisional dan Melayu modern.71

Menurut Suwardy prosesi tepung tawar di Provinsi Riau memang hanya

meliputi kegiatan pernikahan, khitanan, menyambut bayi, dan menyambut tamu

atau lebih bersifat adat istiadat dalam hubungan keperdataan dan tidak digunakan

dalam penyelesaian perkara pidana. Ini artinya berbeda dengan praktek tepung

tawar yang diterapkan di Jambi dan Sumatera Selatan. 72

68
Said Sirajuddin, ―Upacara Tepuk Tepung Tawar‖, tersedia dalam http://wa-
iki.blogspot.com/2010/10/upacara-tepuk-tepung-tawar.html, terakhir diakses tanggal 6 Nopmeber
2013
69
Said Sirajudin, Ibid
70
Toto Tohir, ―Rekonstruksi Budaya Hukum Nasional yang Berbasais Nilai-nilai Budaya
Hukum Bangsa Indonesia‖, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIII No. 2 Juli 2011, Fakultas
Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, hlm.3.
71
Musri Nauli, ―Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari‖, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.4 No. 2 Februari-Juli 2014, Fakultas Hukum Universitas Riau, Pekanbaru, hlm.106.
72
Wawancara dengan Suwardy, tokoh masyarakat dan pemerhati masalah adat dan
budaya Melayu tanggal 12 Juni 2014
70

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa

praktek atau penerapan prosesi tepung tawar yang terjadi di dalam masyarakat

Melayu di Jambi dan Sumatera Selatan, jauh lebih luas kegunaannya daripada apa

yang diterapkan pada masyarakat Melayu di Provinsi Riau.

Mekipun secara normatif dalam hukum adat Melayu Riau tidak dikenal

penggunaan prosesi tepung tawar sebagai sarana restoratif dalam menyelesaikan

perkara pidana, dalam praktik di tengah masyarakat, khususnya di Kota

Pekanbaru dan Kabupaten Pelalawan, praktik restoratif oleh masyarakat juga

diterapkan dalam sejumlah perkara, khususnya perkara kesusilaan, kecelakaan

lalu lintas dan perkelahaian antar warga.

Dalam penyelesaian kecelakaan lalu lintas secara restoratif tersebut tidak

melibatkan pemuka adat atau aparat pemerintah setempat, tetapi hanya dilakukan

atas inisiatif penyidik. Sedangkan penyelesaian pelanggaran tindak pidana

kesusilaan dilakukan oleh ninik mamak atau tetua adat setempat, namun tidak
73
dalam prosesi tepuk tepung tawar. Di Kota Pekanbaru, salah seorang informan
74
yang penulis wawancarai yaitu sdr Alwi diketahui bahwa di beberapa tempat

khususnya di lokasi sekitar kampus Universitas Islam Riau di kawasan Marpoyan

Damai dan kawasan sekitar kampus Universitas Riau di Simpang Baru, Tampan.

Terhadap pelaku kesusilaan yang tertangkap tangan oleh masyarakat

dikenakan sanksi berupa membayar denda untuk membangun fasilitas milik

warga seperti posyandu, fasilitas olahraga dan lain sebagainya. Besarnya bisa

hingga mencapai 5 juta rupiah. Pemberian sanksi tersebut dilakukan atas dasar
73
Wawancara dengan Amrinto, pemuda Pelalawan, tanggal 27 Februari 2015.
74
Wawancara dengan Alwi, wartawan media on line di Pekanbaru, tanggal 10 Februari
2015
71

kesepakatan warga dan pimpinan RT atau RW setempat dan pelaku.75 Namun

demikian, penerapan sanksi pidana adat bagi warga hanya dapat dilakukan atas

kasus pelanggaran kesusilaan. Terhadap kasus-kasus tindak pidana lainnnya,

masyarakat lebih suka menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib.

Di luar Kota Pekanbaru, penyelesaian perkara-perkara pidana ringan di

beberapa daerah di Riau pada masa lalu juga dilakukan dengan model yang

restoratif melalui kerapatan ninik mamak, namun seiring waktu, proses dan model

restoratif tersebut hari ini makin ditinggalkan. Model penyelesaian restoratif

tersebut hanya dinamakan ―Kerapatan ninik mamak/penghulu‖ dan tidak

merupakan satu rangkaian kesatuan dengan prosesi tepuk tepung tawar.

Dalam masyarakat Melayu di Kuantan Singingi misalnya, perbuatan

seorang pemuda dan pemudi yang melampaui batas agama dan adat dalam

pergaulan disebut salah ‖bujang gadis‖. Sanksi terhadap perbuatan salah bujang

gadis sangat berat yaitu pertama jika masih ada baiknya cukup dihukum

dinikahkan tetapi diharuskan pergi merantau karena menangguang hoik nandak

tatahan (menanggung aib yang amat berat), dan kedua, pasangan itu dimasukkan

ke dalam lukah dan dibuang ke sungai. Hukuman kedua ini disebut doso nan

mambao mati.76

Jika dibandingkan dengan di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, maka

prosesi tepuk tepung tawar dalam masyarakat Melayu Riau jauh lebih sempit dan

hanya terbatas pada perbuatan hukum keperdataan. Namun, secara substantif

75
Wawancara dengan Ujang Azmi, mantan Ketua RW 03 Kelurahan Simpang Baru,
Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru, tanggal 1 Maret 2015.
76
UU Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, UIR Press, Pekanbaru, 2000,
hal.124.
72

penyelesaian dengan model restoratif sebagaimana terjadi di daerah-daerah lain

juga terjadi di Riau, namun dengan nama yang berbeda, yaitu kerapatan adat ninik

mamak untuk wilayah Riau bagian barat atau kerapatan Penghulu untuk Riau

bagian pesisir. Dewasa ini, seiring perkembangan waktu dan modernisasi yang

mengedepankan pendekatan hukum yang legalistik formal dan ditambah

kebijakan dihapuskkannya peradilan adat, proses penyelesaian melalui secara adat

semakin jarang diterapkan.

Pengakuan dan penghargaan terhadap masyarakat adat menunjukkan

adanya kesadaran bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang menjalani

kehidupan yang khas, syarat dengan nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat

yang positif tetapi dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.77

Terlepas dari apakah proses penyelesaian secara adat di Provinsi Riau

merupakan satu rangkaian dengan prosesi tepung tawar atau tidak, kenyataan

sosiologis menunjukkan bahwa model restoratif adalah model penyelesaian yang

sejalan dengan hukum yang diyakini sebagai hukum yang baik di tengah

masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan termasuk di Provinsi Riau.

Hal tersebut sejalan pula dengan karakter berhukum masyarakat Indonesia

yang mayoritas Islam lebih khusus lagi dalam masyarakat Melayu dimana Islam

hampir selalu diidentikkan dengan kemelayuan. Dalam Islam, dikenal adanya


78
―lembaga pemaafan‖ atau islah (perdamaian). Menurut Mas Achmad Sentosa

77
Wandi, ― Eksistensi Pengakuan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum
Pemerintahan Daerah di Indonesia,‖ Jurnal Mahkamah Vol 5 No. 1 2013, Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau, Pekanbaru, hlm.48
78
Umar al Tamimi, ―Lembaga Pemaafan sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana
Perspektif Hukum Islam‖, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, IAIN
Alaudin, Makassar, hlm.449.
73

sebagaimana dikutip Umar al Tamimi dari beberapa faktor utama yang menjadi

dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian alternatif seperti model

restoratif atau pemaafan adalah lain upaya untuk mengimbangi meningkatnya

daya kritis masyarakat, dan sebagai langkah antisipasi membendung derasnya arus

perkara mengalir ke pengadilan.79

Pada masyarakat Pelalawan, menurut Tombo Masyarakat Pelalawan,

mereka berasal dari Johor menggunakan perahu, dan membuka hutan di

pemukiman mereka sekarang ini. Mereka menjadi kawula Kerajaan Kampar yang

sekarang lebih dikenal dengan Pelalawan. Di bawah pemerintahan Kesultanan

Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan

Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala adat yang

dikenal dengan sebutan batin. Hak perlindungan hukum atas hukum adat dan

tanah adat pada masyarakat Petalangan telah mendapat legitimasi . Hak ini

terbukti dengan diterbitkan Surat Keterangan Hutan Tanah ( Grand Sultan) bagi

masyarakat adat yang memiliki Tombo atau Terombo. 80

Masyarakat Petalangan adalah salah satu puak "suku asli" di' Riau yang

bermukim di wilayah Kecamatan Langgam, Pengkalan Kuras, Bunut dan Kuala

Kampar, Kabupaten Pelalawan. Dahulu mereka memagari kampungnya dengan

buluh "Talang" dan lazim pula mengambil air dengan mempergunakan buluh

tersebut, maka mereka disebut "Orang Talang", dan keseluruhan`puaknya disebut

"Orang Petalangan". Secara historis disebutkan bahwa masyarakat ini datang dari

79
Ibid
80
Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau, Masyarakat Hukum Adat Petalangan Dan
Hak-Hak Tanah Adat Tradisionalnya Di Propinsi Riau , Lembaga Peneliti Universitas Islam Riau
bekerjasama dengan DPD RI, 2009
74

Johor menggunakan perahu, dan membuka hutan di pemukiman mereka sekarang

ini. Mereka kemudian menjadi kawula Kerajaan Kampar. Di bawah pemerintahan

Kesultanan Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan

mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh

kepala adat yang dikenal dengan sebutan batin. Pada Masyarakat ini memiliki 29

Pebatinan.

Nama-Nama Batin di Masyarakat 16 Batin Panduk.


Petalangan 1. Batin Monti Raja. 17. Batin Tanah Air.
2. Batin Muncak Rantau. 18 Batin Tuk Ajo Bilang Bungsu.
3. Batin Putih. 19 Batin Pelabi.
4. Batin Hitam. 20.Batin Mudo Langkat.
5. Batin Pematan. 21.Batin Antan-antan Diajo.
6. Batin Tuan Apuh. 22 Batin Genggeng.
7. Batin Mudo Genduang. 23 Batin Gasip.
8. Batin Sengiri Komang. 24 Batin Rantau Baru.
9. Batin Bunut. 25.Batin Mudo.
26. Batin Baru (Bau).
10.Batin Telayap. 27. Batin Panghulu Besar.
11.Batin Sungai Buluh. 28. Batin Delik.
12.Batin Tomo Payung. 29. Batin Kerinci
13.Batin Badu Ondo.
14.Batin Penghulu Setia DiRaja.
15 Batin Sulo Dilaut.

Dalam wawancara dengan Arifin SIP, Batin Bunut, dijelaskan tata cara

dan prosedur penyelesaian perkara pidana yang tidak terlalu besar melalui

kerapatan adat Batin. Prosesi tersebut yaitu dengan memanggil kedua belah pihak.

Sedapat mungkin diusahakan adanya musyawarah antara mereka yang bertikai.

Adapun bentk kompensasinya adalah tergantung berapa banyak kerugian yang

dialami. Misalnya kalau luka, maka cukup diganti dengan denda kambing, kalau
75

mati didenda dengan kerbau. Jika kerigian berupa harta benda cukup diganti

kerugian yang timbul ditambah denda berupa ayam. 81

Dalam kasus perampasan kemerdekaan terhadap mahasiswa Rokan Hulu

oleh pihak Kejari Rohul yang berbuntut panjang sehingga mahasiswa melaporkan

petugas Kejari Rohull kep Polda Riau. Penyelesaian laporan ini dilakukansecara

adat yang ditandai dengan upah-upah nasi kunyit panggang ayam yang

dilaksanakan di kantor lembaga adat Melayu Riau Rokan Hulu Rabu pagi tanggal

23 Agustus 2017. Dalam upaya perdamaian yang dilakukan oleh kedua pihak

yang ditengahi oleh LAM Riau Rokan Hulu melalui ORMAS hulubalang berjalan

lancar dan aman. Terlihat hadir dalam upaya perdamaian keduanya, ketua LAM

Riau Rohul, H. Zulyadaini, Ketua LKA Lima Luhak, Ninik mamak, unsur

pemerintahan, Ketua Hulubalang, Pejabat Kejari Rohul dan para mahasiswa.82

D. Penyelesaian kasus Pidana dalam masyarakat Batak Karo

Dalam masyarakat Batak Karo, Sumatera Utara sebagaimana diungkapkan

oleh Natangsa Surbakti dalam disertasinya, dikenal lembaga adat bernama Purpur

Sage. Purpur sage dilaksanakan apabila ada perselisihan dalam masyarakat Karo.

Adapun tata caranya adalah yaitu dimulai dengan adanya pernyataan keprihatinan

dari anak beru kepada kalimbubu yang sedang dalam masalah perselisihan

tertentu. Pernyataan ini disertai dengan permintaan kedua pihak kalimbubu yang

sedang berselisih untuk bersedia berkumpul bersama pada hari dan tanggal

tertentu di salah satu keluarga di lingkungan kalimbubu yang dituakan. 83

81
Wawancara dengan Arifin, SIP, Batin Bunut, tanggal 9 Nopember 2016
82
www.utusanriau.co
83
Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif Dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2002, hlm.58-59.
76

Pada hari dan tanggal yang telah disepakati pihak pihak kalimbubu yang

sedang bersengketa hadir dengan difasilitasi oleh pihak anak Beru yang dituakan.

Biasanya sebelum sampai pada puncak acara perdamaian, ya anak baru yang

paling dituakan akan menyampaikan uraian lengkap, panjang lebar tentang

hakikat kehidupan yang utama dalam kehidupan manusia Batak Karo serta

pengaruh atau dampak terjadinya perselisihan itu bagi keutuhan dan

keharmonisan keluarga besar itu. Uraian ini pada umumnya disampaikan dengan

penuh perasaan sehingga disertai linangan air mata. Pada momentum demikian

para pihak yang pernah berselisih biasanya sampai pada puncak kesadaran atas

akibat dari terjadinya persengketaan diantara mereka sehingga pada gilirannya

juga ikut menangis dan menyesal terjadinya perselisihan serta kesediaan untuk

berdamai saling memaafkan dan berjanji untuk perbaikan kembali seperti sedia

kala.

Proses perdamaian ini akan sampai pada pengakuan bersalah dan

kesediaan dari pihak kedua belah pihak untuk berdamai Dan saling memaafkan

serta berjanji untuk berbaikan kembali. Hal ini menandakan sampailah pada

puncak upacara yang ditandai dengan rangkaian ritual purper Usage dilanjutkan

dengan makan bersama. Keadaan ini menandakan telah terselesaikannya satu

perkara perselisihan dalam lingkungan sebuah keluarga besar Batak Karo. Tiga

anak beruang telah berhasil memfasilitasi proses tercapainya perdamaian di antara

pihak kalimbubu yang berselisih sehingga dapat berbaikan kembali seperti sedia

kala, rasakan sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh membahagiakan dan merasa

terhormat di hadapan seluruh kerabat besar.


77

Selanjutnya, hasil penelitian Natangsa Surbakti tidak menggambarkan

bagaimana cara penyelesaian dalam masyarakat atas kasus-kasus yang dalam

perspektif hukum pidana nasional sebagai tindak pidana. Adapun yang

digambarkan oleh Natangsa adalah bagaimana proses pemaafan diakui dalam

sistem hukum nasional baik pada tahap proses penyidikan maupun di pengadilan.

Jadi dapatlah dilihat perbedaan yang spesifik antara apa yang menjadi topik buku

ini dengan disertasi yang ditulis Natangsa. Natangsa lebih menekankan proses

pemaaafan, sedangkan buku ini lebih mengedepankan bagaimana praktik

penyelesaian sengketa menurut hukum adat masyarakat Indonesia atau praktik

yang hingga kini masih hidup dan diterapkan di tengah masyarakat.

Berbagai tulisan tentang mediasi penal seperti tulisan Faisal pada Jurnal

Pranata Huukum Volume 6 No. 1 Januari 2011 yang berjudul Mediasi Penal

Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana di luar Pengadilan atau tulisan

Sahuri Lasmadi berjudul Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana yang

dimuat Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi, tidak menggambarkan bagaimana

praktik empirik masyarakat dalam mediasi penal. Kedua tulisan lebih

mengedepankan arti penting mediasi penal, yang hampir senada dengan apa yang

ditulis dalam disertasi Natangsa Surbakti.


78

BAB VI
GAGASAN PLURALISME HUKUM PIDANA DALAM PRAKTIK
MEDIASI PENAL

Menjawab tiga model penyelesaian perkara pidana yang telah diulas dalam

bab-bab sebelumnya yaitu (i) pengakuan nilai-nilai yang hidup di tengah

masyarakat dalam sistem hukum modern, (ii) penerapan mediasi penal yang

kemudian dilegalisasi oleh sistem peradilan negara dan (iii) menerapkan mediasi

penal (penyelesaian) menurut masyarakat tanpa campur tangan negara sama

sekali, jika dihadapkan pada fakta empiris kekinian, para penegak hukum akan

dihadapkan pada kesulitan menemukan bagaimana model penyelesaian perkara

pidana di tengah masyarakat. Dengan telah berubahnya tatanan sosial masyarakat,

maka akan sulit untuk menerapkan gagasan ktiga yaitu menghidupkan kembali

sistem mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana di tengah masyarakat.

Menguatnya individualisasi seiring dengan menguatnya perlindungan Hak Asasi

Manusia dewasa ini, menyebabkan masyarakat cenderung berpikir positivistik,

meskipun itu sesungguhnya keluar dari konsep harmonisasi yang menjadi ciri

sistem sosial masyarakat Indonesia. Perilaku berhukum masyarakat secara

perlahan telah berubah sedemikian jauh. Hal ini tampak pula dari sulitnya

penemuan bagaimana praktik mediasi penal yang masih ada di tengah masyarakat.

Hasil-hasil penelitian para peneliti hukum hanya mampu mengungkapkan praktik

mediasi penal yang sejalan dengan prinsip restoratife justice pada masa lalu.

Kalaupun masih ada yang diterapkan di saat sekarang, jumlahnya pun sangat

sedikit.
79

Tinggal lah yang kini paling memungkinkan adalah dengan menerapkan model

pertama yaitu dengan pengakuan atas nilai yang hidup oleh lembaga peradilan.

Pasal 2 RUU KUHP Tahun 2012 yang saat ini diusulkan di DPR RI,

menentukan bahwa :

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak

mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang

menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip

hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa

Rasionalisasi munculnya pasal tersebut berkaitan erat dengan masalah

sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai

tindak pidana atau bukan. Konsep KUHP tetap bertolak dari asas legalitas formal

sekaligus konsep juga bertolak hukum yang hidup/hukum yang tidak tertulis

sebagai sumber hukum (asas legalitas materil).84

Dalam hal ini Deni Setyo Bagus Yuherawan mengkritik gagasan ini

dengan pertimbangan penggunaan istilah legalitas materil kontradiktif dengan

pengertian asas legalitas itu sendiri yang menunjuka aspek formal dalam hukum .

Konsep asas legalitas berkaitan dengan hukum tertulis. Meskipun demikian, Deni

memuji kosnep asas dalam RUU KUHP telah memuat gagasan besar yang
84
Barda Nawawi Arief dalam Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas
Legalitas Hukum Pidana, Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum
Pidana, Setara Press, Malang, 2014, hlm. 259.
80

menempatkan asas legalitas bukan lagi sebagai kebenara absolut, menerobos

bahkan melemahkan asas legalitas dan memunculkan asas baru yaitu asas legalitas

materil. 85

Model pertama ini pun akan mengalami kesulitan di ranah praktik.

Kesulitan itu meliputi dua hal yaitu Pertama, kesulitan menemukan bagaimana

hukum yang dianggap masih hidup mengingat struktur sosial masyarakat saat ini

tidak lagi homogen. Kedua, jika model ini yang diterapkan, maka penerapannya

tidak banyak membantu untuk mengatasi menumpuknya perkara di pengadilan.

Beban kerja sistem peradilan pidana akan semakin berat karena hukum yang

menjadi sumber penerapan hukum akan sangat luas dan lentur sehingga

terabaikan kepastian hukum.

Kelemahan lain dari sistem ini adalah kesulitan bagi hakim dan penegak

hukum lainnya untuk menemukan bagaimana hukum yang hidup itu. Para hakim,

jaksa dan polisi adalah para penegak hukum yang tempat tugasnya berpindah dari

satu tempat ke tempat yang lain dimana antara satu tempat yang satu dengan

tempat yang lain memiliki perbedaan dalam menilai suatu perbuatan tercela dalam

masyarakat. Di daerah tertentu, bukan merupakan perbuatan tercela manaka

seorang gadis berpakaian sedikit terbuka. Jika itu dilakukan dalam masyarakat

Melayu di Riau, berpakaian agak terbuka dipandang sebagai perbuatan yang

tercela. Di masyarakat lainnya umpamanya di daerah Kabupaten Bungo, Provinsi

Jambi berjalan berduaan antara seorang gadis dan perempuan adalah tercela.

85
Ibid, hlm. 261.
81

Mandi di sungai se ―jamban‖86 dengan orang yang secara kekerabatan lebih tua

adalah merupakan perbuatan tercela. Kira-kira layak kah perbuatan-perbuatan

yang sesungguhnya berhubungan dengan etika pergaulan dalam masyarakat

sehari-hari tersebut diberi sanksi berupa pidana?

Untuk mengatasi kesulitan menentukan bagaimana hukum yang hidup

tersebut, mungkin pengadilan dapat memanggil para tetua adat untuk

didengarkkan keteranganya sebagai ahli tentang adat. Jika konsep pidana menurut

Rancangan KUHP disahkan dimana diperkenalkan model pidana lain di luar

pidana penjara atau pidana denda yang selama ini dikenal dalam hukum pidana

modern, masalah besar yang berkaitan dengan over kapasitas dapat diatasi.

Walaupun terhadap perilaku tercela dalam masyarakat menurut hukum

yang hidup tetap diselesaikan oleh sistem peradilan pidana modern, bentuk

penerapan sanksinya tidak lagi pidana penjara. Sayangnya Rancangan KUHP juga

relatif tidak variatif menyediakan bentuk pidana alternatif tersebut. Hanya pidana

kerja sosial dan pemenuhan kewajiban adat yang baru diperkenalkan dalam

Rancangan KUHP. Pidana pemenuhan kewajiban adat pun hanya merupakan

pidana tambahan. Idealnya, Rancangan KUHP tidak saja mengakui nilai yang

hidup yang tidak ada padanannya dalam KUHP tetapi juga mengakui sistem

sanksi yang diterapkan di tengah masyarakat. Hakim seharusnya juga dapat

menjatuhkan putusan sebagai pidana pokok dengan mengacu kepada bentuk

pidana dalam masyarakat adat baik yang masih berlaku maupun mengacu kepada

hukum adat di masa lalu. Misalnya, jika di masa lalu pernah diterapkan kewajiban

86
Dalam masyarakat Melayu Jambi, jamban adalah tempat mandi sekaligus buang air
yang dibuat dari kayu yang dialasi papan yang mengapung di atas sungai.
82

potong kerbau bagi pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, maka putusan

hakim bisa mengacu kepada sistem sanksi demikian.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia dewasa ini, masih terdapat model

lain lagi yaitu model keempat dalam penerapan diversi pada sistem peradilan anak

dimana terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari 7 tahun wajib

diadakan diversi yaitu penyelesaian dengan model restoratife justice.

Model keempat ini mungkin dapat juga dilakukan terhadap semua tindak

pidana. Meskipun penyelesaian suatu perkara tindak pidana tetap dengan

pendekatan legalistik melalui sistem peradilan pidana, aparat sistem peradilan

pidana mulai dari penyidik hingga hakim berusaha mendamaikan para pihak yang

bersengketa selayaknya dalam hukum perdata. Dengan demikian, perdamaian

tidak lagi tabu dalam hukum pidana. Sedapat mungkin aparat penegak hukum

mengusahakan para pihak untuk berdamai.

Kepolisian dewasa ini telah berusaha menerapkan model keempat ini

dalam semua tindak pidana khususnya tindak pidana terhadap harta benda.

Melalui lembaga baru bernama ―pengaduan masyarakat‖, polisi diberi kesempatan

untuk memanggil para pihak yang terlibat dalam satu kasus tindak pidana. Jika

dalam tahap pemanggilan, pihak pelaku telah bersedia mematuhi hukum dengan

jalan memulihkan kerugian yang dialami pihak korban, maka perkara dianggap

selesai dan tidak perlu dilanjutkan ke proses berikutnya. Adapun yang me jadi

dasar dumas adalah Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat Di

Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini sebenarnya tidak


83

sesuai dengan Perkap tersebut, karena dalam Perkap yang dimaksud Pengaduan

masyarakat yang selanjutnya disingkat Dumas adalah pengaduan dari masyarakat,

Instansi Pemerintah atau pihak lain secara lisan atau tertulis mengandung

informasi, keluhan, ketidakpuasan atau adanya penyimpangan atas kinerja Polri

yang memerlukan penanganan dan penyelesaian lebih lanjut. Terlepas dari adanya

kekeliruan dalam penerapan Perkap tersebut, gagasan dan terobosan yang

dilakukan oleh penyidik POLRI patut diapresiasi.

Model keempat ini tidak luput juga masih mengandung kelemahan

meskipun akan mungkin berhasil dalam hal mengatasi menumpukknya perkara di

pengadilan, model ini masih lemah dalam menghadapi perasaan ketidakadilan di

tengah masyarakat yang merasa terganggu oleh adanya suatu perbuatan tercela

yang tidak ada padanannya dalam hukum pidana tertulis.

Oleh karena itu, perlu pula diusulkan model kelima dengan cara

pembentukan sistem peradilan masyarakat. Walaupun hal ini merupakan model

masyarakat setempat keberadannya mendapat pengakuan secara formal oleh

negara. Terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP, maka penyelesaiannya

adalah tetap melalui sistem peradilan pidana dengan catatan mulai dari penyidik

hingga hakim di pengadilan diberi kesempatan untuk mendamaikan para pihak.

Peranan korban dan atau keluarganya tetap dipertimbangkan .Di sisi lain, terhadap

tindakan-tindakan yang tidak ada padanannya dalam KUHP namun dianggap

sebagai perbuatan tercela oleh masyarakat diselesaikan sendiri oleh masyarakat

melalui sistem peradilan yang mereka bentuk sendiri atas dasar legitimasi dari

negara. Dalam hal suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan tercela dalam
84

kedua sistem baik sistem sosial maupun sistem hukum modern, maka para pihak

diberi kesempatan untuk memilih, menyelesaikan dengan peradilan adat atau

peradilan negara. Jika tidak ada kata sepakat, maka pengadilan negara lah yang

mengambil alih penyelesaian kasus. Jika sudah diselesaikan melalui peradilan

masyarakat, maka perkara dianggap sudah selesai dan peradilan negara tidak lagi

berwenang untuk mengadili. Peradilan masyarakat harus lah merupakan peradilan

pertama dan terakhir karena di dalamnya harus dicapai kata sepakat.

Dengan demikian, terjadi lah pula pergeseran arti hukum pidana. Hukum

pidana tidak lagi diartikan sekedar hukum yang mengatur perbuatan apa saja yang

dilarang yang pelanggarannynya diancam dengan pidana menurut Undang-

undang, tetapi juga meliputi perbuatan apa saja yang dapat dipidana menurut

hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis menurut masyarakat

setempat. Ink lah yang disebut sebagai Asas legalitas material yang

diperkenalkan akan diberlakukan di KUHP.

Tinggal lah lagi persoalan terakhir yang harus dipecahkan yaitu tentang

nilai ketercelaan yang mana kah yang menjadi yurisdiksi peradilan adat tersebut

mengingat masyarakat Indonesia dewasa ini tidak lagi homogen. Nilai

ketercelaan yang manakah yang patut dipidana. Dalam semua KUHP modern

kejahatan terhadap Negara merupakan kejahatan paling dicela yang ditempatkan

dalam pasal-pasal pertamanya. Sedangkan dalam hukum adat atau hukum yang

hidup, kejahatan yang dianggap paling tercela biasanya adalah kejahatan

kesusilaan. Saat Barat sering masih memperdebatkan segala sesuatu yang

berhubungan dengan kesusilaan sebagai delik atau tidak karena menyangkut


85

hubungan pribadi dengan pribadi, hukum adat masyarakat Indonesia telah jauh

hari menyepakati bahwa pelanggaran kesusilaan adalah kejahatan yang sangat

serius. Di sini lah makin terlihat bahwa hukum adat meletakkan perasaan keadilan

komunal bukan rasa keadilan individual. Bagi masyarakat adat, masyarakat lebih

penting daripada individu. Sekaligus ini menunjukkan inkonsistensi cara pandang

hukum Barat yang di satu sisi menghargai hak-hak individu tetapi di saat

bersamaan justru mengedepankan hak dan kepentingan negara. Dalam masyarakat

adat jelas timbangannya dimana ketika kepentingan individu harus dihadapkan

pada kepentingan negara, maka kepentingan individu boleh dikalahkan. Individu

dipaksa mengalah untuk kepentingan orang banyak sebagai apa yang lazim

disebut sebagai harmoni. Dengan konsep keadilan seperti itu, maka dalam hukum

adat, dalam hal ini dalam masyarakat Jambi, Sumatera Barat dan Riau, empat

kejahatan yang dianggap paling dicela adalah yaitu :

- Menikam bumi, yaitu anak yang berzinah dengan ibunya.

- Mencarak telur, yaitu ayah yang berzinah dengan anaknya

- Menyunting bunga sekuntum, saudara berzina dengan saudaranya

sendiri.

- Mandi di pancuran gading, seseorang yang berzinah dengan istri orang

lain khususnya para pembesar negeri.

Oleh karena itu, harus lah diperjelas, kepentingan apa yang sebenarnya

ingin dikedepankan dalam sistem hukum pidana Indonesia. Konsepsi KUHP

menegaskan bahwa hukum pidana Indonesia berlandaskan nilai-nilai

kemasyarakatan, negara dan individu secara berimbang. Perdebatan antara tiga


86

kepentingan tersebut tidak akan ada habisnya, salah satu buktinya adalah proses

penyusunan RUU KUHP yang berlarut-larut.

Penulis mengusulkan bahwa nilai-nilai tercela yang dianggap sebagai

tindak pidana tidak mesti menjadi tindak pidana yang diatur dalam Undang-

undang. Hukum harus mengakui bahwa tindak pidana secara bertingkat mulai dari

tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang, tindak pidana menurut adat

istiadat dan tindak pidana menurut agama. Cara pandang hukum yang selama ini

menempatkan negara di atas dan masyarakat berada di bawah harus dirubah

menjadi masyarakat ada di atas, negara lah yang mengikuti keyakinan hukum

masyarakat. Negara tidak lagi boleh memaksakan kebenaran menurut pandangan

negara tetapi justru mengakui dan mengakomodir kebenaran masyarakat

sepanjang tidak bertentangan dengan kelompok masyarakat yang lainnya dan

mengganggu eksistensi negara. Ketika nilai-nilai masyarakat justru mengancam

eksistensi negara, maka di situ lah baru negara harus memenangkan pertarungan

tersebut. Negara hanya hanya menjadi pengatur atau penjaga hubungan antara

masyarakat yang satu dengan yang laian atau agama yang satu dengan agama

yang lain. Negara harus berdiri di atas segalanya bukan malah seperti saat ini

negara bersaing dengan warga negara atau masyarakat dalam menentukan apa

yang disebut sebagai kebenaran. Bukankah negara kesatuan Republik Indonesia

yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan ―negara baru‖

yang berdiri di atas bekas-bekas kerajaan-kerajaan lokal Nusantara yang jauh

lebih dahulu ada dan memiliki sstem sosial sendiri. Sudah sepatutnya, negara
87

tidak mengilangkan eksistensi sistem sosial yang telah ada jauh sebelum

berdirinya negara Republik ini.

Karena itu, yang menjadi yurisdiksi peradilan adat adalah tetap nilai yang

dianut menurut masyarakat setempat. Hal tersebut sejalan dengan prinsip adat

―dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung‖. Penghormatan terhadap nilai-nilai

setempat sangat perlu dilakukan, mengingat kondisi sosial masyarakat dewasa ini

semakin mengabaikan nilai-nilai tempatan. Meskipun pendatang tidak dilarang

untuk hidup bersama di daerah rantau, para perantau diminta untuk menghormati

nilai-nilai masyarakat setempat yang jika dilanggar dapat diberi pidana menurut

hukum adat setempat.

Perlakuan yang berbeda dapat diterapkan jika di suatu daerah, masyarakat

perantau yang satu entitas budaya merupakan mayoritas. Dalam keadaan

mayoritas, mereka tetap dapat menerapkan hukum adat daerah asalnya dan

sekaligus membentuk lembaga peradilan adat.

Untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, maka hukum adat yang

berlaku adalah hukum adat asli Provinsi atau kabupaten yang bersangkutan karena

ibukota provinsi atau ibukota kabupaten adalah simbol budaya daerah tersebut.

Misalnya Kota Pekanbaru yang merupakan ibukota Provinsi Riau, meskipun

penduduknya suku Melayunya adalah minoritas, tetap diberlakukan hukum adat

Melayu karena Pekanbaru adalah simbol Provinsi Riau yang hukum adat aslinya

adalah hukum adat Melayu.

Dengan sistem ini, maka terjadilah pluralisme dalam hukum pidana.

Menurut Rikardo Simarmata pluralisme hukum sangat membantu memberi


88

penjelasan terhadap kenyataan adanya keteraturan atau tertib sosial (social order)

yang sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order)

yang diproduksi oleh negara. 87

Menurut Sidharta, pluralisme hukum makin menjadi isu penting karena:

- Peninggalan produk hukum era Hindia Belandayang belum

tergantikan;

- eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat

(dan mungkin makin menguat di tengah isu otonomi daerah);

- penerapan hukum syariah pada beberapa wilayah;

- dampak arus transnasional, khusus di lapangan hukum ekonomi;

- tidak adanya desain sistem hukum nasional Indonesia.88

Meskipun demikian, kendati negara mengakui pluralisme atau

keberagaman hukum di masing-masing daerah dan masyarakat adat, tetap perlu

diingat bahwa pengendali dari semua sistem itu tetap lah negara. Masyarakat tidak

sebebas-bebasnya menerapkan apa ang mereka yakini sebagai hukum yang

berlaku dan bermanfaat bagi mereka. Keberlakuan hukum pada satu kelompok

masyarakat harus dibatasi manakala berhadapan dengan keyakinan hukum

masyarakat lainnya atau eksistensi negara. Kepentingan negara tidak boleh kalah,

karena itu pluralisme yang ada adalah pluralisme dalam kesatuan, sebagaimana

87
Rikardo Simarmata, ―Mencari Karakter Aksional dalam Pluralisme Hukum, dalam
buku Pluralisme HukumSebuah Pendekatan Interdisiplin,‖ Editor Tim HUMA, Penerbit
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Jakarta, 2005,
hlm.3.
88
Sidharta, Op,cit.
89

konsepsi bhinneka tunggal ika. Keberagaman yang dimaksud tetap harus diikat

dengan konsep persatuan Indonesia.


90

BAB VII
GAGASAN PENERAPAN HUKUM MENURUT KEYAKINAN HUKUM

Gagasan akhir dari keseluruhan pembahasan buku ini adalah dengan

menawarkan konsep penerapan hukum menurut keyakinan agama dan

kepercayaan subjek hukum. Jika dalam kondisi Indonesia saat ini terdapat

pertentangan yang tajam antara hukum yang hidup yang bisa jadi bersumber dari

keyakinan masyarakat tentang apa yang tercela atau apa yang tidak tercela dengan

hukum tertulis yang berlaku yang dirancang dan disusun menurut kaedah negara

modern ala Barat.

Gagasan ini sebenarnya bukanlah hal baru karena sudah pernah

mengemuka dalam teori Receptio in complexu. Menurut teori Receptio in

Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Bagi

orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Teori

ini semula berkembang dari pemikiran-pemikiran para sarjana Belanda seperti

Carel Frederik Winter (1799-1859) seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa,

Salomon Keyzer (1823-1868) seorang ahli bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia

Belanda. Teori Receptio in Compelexu, ini dikemukakan dan diberi nama oleh

Lodewijk Willem Chrstian van den Berg (1845-1925) seorang ahli hukum Islam,

politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur dan hukum

Islam.89

89
Sayuti Thalib,S.H, M.H, Receptio A Contrario, (Cet. III; Jakarta: Bina Aksara, 1982),
h.15. sebagaimana dikutip oleh Hj.A.Sukmawati Assaad, “Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di
Indonesia, ― dalam Jurnal Al Ahkam, STAIN Palopo Volume IV No 2 Agustus 2014
91

Selanjutnya muncul teori yang menentang teori Receptio in Complexu,

yaitu teori Receptie (Resepsi). Menurut teori Resepsi, hukum Islam tidak otomatis

berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau ia sudah

diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat mereka, Jadi yang berlaku

bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh

Cornelis van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje. Cornelis van

Volenhoven (1874-1933) adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang diberi

gelar sebagai pendasar (grondlegger) dan pencipta, pembuat sistem (systeem

bouwer) ilmu hukum adat. 90

Sebagai ilustrasi untuk menjelaskan gagasan ini perlu penulis kemukakan

salah satu contoh tentang kepercayaan dan keyakinan di tengah masyarakat.

Dalam berbagai tradisi masyarakat Indonesia dikenali berbagai macam larang

pantang atau pamali atau tabu yang dipercaya secara turun temurun.

Beberapa di antaranya seperti :

- larangan berdiri di depan pintu yang dipercaya memperlambat jodoh,

- larangan menginjak daun pisang yang dipercaya nanti akan buang

angin saat menyalami mertua,

- larangan berpoto bertiga yang diyakini akan menyebabkan orang yang

ada dalam poto akan terpisah satu sama lain,

- larangan menabrak kucing yang dipercaya dapat menyebabkan sial,

- larangan memotong kuku di malam hari,

- larangan minum atau makan dari piring yang retak,

90
Ibid
92

- larangan membunuh binatang atau memancing saat istri sedang hamil,

- larangan tidur tengkurap

- larangan ada nasi yang tersisa di tempat tidur

- larangan menyiram kucing, yang dipercaya menyebabkan turunnya

hujan lebat

- larangan makan di depan pintu

- larangan tidur pakai baju

- larangan bicara kotor saat dalam hutan

- larangan menyebut harimau dalam perjalanan atau saat sedang makan

- memasukkan potongan kayu dalam lubang di hutan jika kaki kita

termasuk dalam lubang

- larangan makan bertndih piring

- larangan makan langsung dari alat masak

- larangan makan dari mangkok

- larangan makan di piring retak atau minum di gelas retak

- laranag berpergian saat mau nikah

- larangan berpergian pada hari Selasa

- larangan duduk di bantal

- larangan menunjuk kuburan

- larangan menunjuk pelangi

- larangan berpayung daun pisang

- larangan buka jendela saat maghrib

- larangan bersiul di malam hari


93

- larangan membawa bayi saat usia belum satu bulan

- larangan memegang kepala tangga saat khitanan

- dan lain sebagainya yang jika didata menuruut daerah di Indonesia

akan menjadi semakin banyak.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempercayai atau mennganalisis

berbagai bentuk tabu, pamali atau larang pantang tersebut. Disebutkannya

beberapa bentuk larang pantang tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat

percaya dan mematuhi larang pantang tersebut walaupun sumber pengaturannya

tidak jelas darimana atau apakah akibat dari jika larang pantang tersebut dilanggar

akan berdampak seperti akibat yang diperkirakan tanpa ada penegak hukum yang

bertugas menegakkan pelanggaran atas larang pantang tersebut.

Fenomena yang lain adalah tentang kepatuhan masyarakat Indonesia di

saat berada luar negeri. Saat berada di luar negeri di Singapura misalnya, warga

negara Indonesia yang saat ada di Indonesia tidak patuh pada hukum, pada saat

berada di Sungapura tiba-tiba menjadi taat dan patuh pada hukum. Mengapa

menjadi sangat patuh karena tahu hukum di Singapura sangat tegas, hampir tidak

ada pelanggaran hukum yang tidak mendapat sanksi.

Kepatuhan masyarakat atas apa yang bersumber dari kepercayaan akan

mitos dengan kepatuhan atas tegasnya hukum Singapura merupakan dua hal yang

bertolak belakang. Contoh kepatuhan yang ketiga adalah saat warga negara

Indonesia yang beragama Islam sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan

atau sedang berada di Mekah dan Madinah yang dipercaya sebagai tempat suci

dimana balasan atas kebaikan dan keburukan perilaku langsung mendapat balasan
94

seketika, maka umat Islam Indonesia mendadak menjadi sangat baik hati, penuh

sopan santun, dan berubah drastis dari kelakuan dan kebiasaannya saat di tanah

air.

Jika Soerjono Soekanto membagi derajat kepatuhan masyarakat dan

Sudikno Mertoksukumo membagi kesadaran hukum masyarakat berdasarkan

pengetahuan, pemahaman, dan prilaku, maka dalam ketiga contoh di atas,

kepatuhan masyarakat terhadap hukum disebabkan akan percayanya sanksi yang

otomatis akan dijatuhkan tanpa peduli apakah hukum itu baik atau tidak,

bermanfaat atau tidak bagi dirinya.

Berangkat dari kenyataan tersebut, maka selain pluralisme hukum menurut

hukum adat, di masa yang akan datang perlu juga dipikirkan untuk membuat

hukum menurut kepercayaan atau keyakinan masyarakat yang salah satunya dapat

melalui keyakinan atas agamanya. Sejak seseorang memeluk agama tertentu maka

otomatis ia menjadi orang yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan baik

dan benar. Bertolak dari keyakinan bahwa apa yang dilarang atau disuruh oleh

agamanya sebagai suatu kebenaran yang bermanfaat bagi Tuhan, masyarakat dan

dirinya sendiri, akan mendorong seseorang menjadi berperilaku sesuai tuntutan

agamanya masing-masing.

Tiap-tiap agama memiliki sistem hukum sendiri yang sangat mungkin

berbeda, namun dalam hal tertentu semua agama akan cenderung mengatur hal

yang sama, seperti pembunuhan, pencurian dan berbagai kejahatan konvensional,

semua agama melarangnya. Sanksinya lah yang berbeda, maka dengan demikian

maka sebaiknya hukum ditegakkan atas apa yang diyakini umat beragam sebagai
95

sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh agamanya dengan sanksi menurut

agamanya. Dilihat dari aspek kepastian hukum, semua kaedah larangan dan

suruhan dalam tiap agama sudah pasti menjamin kepastian hukum karena diatur

dalam kitab suci masing-masing agama.

Terkait dengan adanya perbedaan antar umat beragama dalam memahami

agama, maka penegakan hukum atas hukum agama sebaiknya dilakukan terhadap

pebruatan-perbuatan yang terang dan jelas ketercelaannya, tidak ada perdebatan

dalam hukumnya. Terhadap sesuatu hal yang masih terdapat perbedaan seperti

keharaman merokok dalam Agama Islam, hukum Islam tidak dapat diterapkan.

Namun terhadap pembunuhan yang sudah jelas hukumnya dimana para ulama

tidak berdebat tentang sanksi bagi pelaku pembunuhan, maka sanksi menurut

hukum Islam dapat diterapkan.

Dalam seminar Nasional tentang Hukum Adat yang diselenggarakan

Fakultas Hukum Universitas Riau pada tanggal 7 Nopember 2017 mengemuka

keberatan atas gagasan ini dengan alasan penafsiran dan pemahaman atas agama

tidak lah sama. Mengatasi kritik ini penulis menggariskan bahwa memang benar

dalam setiap agama terdapat berbagai aliran pemikiran yang mungkin satu sama

lain berbeda. Mengatasi hal ini, dapat diselesaikan dengan pemberlakuan nilai

ketercelaan yang tidak ada perdebatan. Terhadap kaedah yang ada perdebatan

penafsirannya, negara tidak perlu masuk untuk menjadi penegak hukum.

Bagaimana mungkin negara menegakkan hukum atas sesuatu yang pandangan

atas kebenaran suatu persoalan masih menjadi perdebatan. Hanya dalam soal-soal
96

yang para pemuka agama sudah sepakat saja lah hukum agama dapat ditegakkan

oleh negara.

Meskipun penegak hukum tetap lah mewakili negara, menegakkan hukum

atas dasar apa yang dianggap pemeluk agama sebagai perbuatan tercela menjadi

jauh lebih mudah. Akan halnya terhadap kaedah hukum yang tidak ada

padanannya dalam agama, maka penegakan hukum dilakukan menurut hukum

yang diatur oleh negara. Dalam hukum Islam sendiri diatur tiga tingkatan hukum

yaitu hukum jarimah, hudud dan takzir. Hukum takzir ini lah yang menjadi residu

dari apa yang diatur dalam hukum hudud dan hukum jarimah, dimana negara

berwenang mengatur dan membuat kaedah hukum di luar yang telah diatur oleh

hukum jarimah dan hukum hudud,

Dengan konsepsi ini, maka negara tidak berdiri dengan pongahnya sebagai

pemilik kebenaran menurut persepsi negara. Penentu kebenaran adalah keyakinan

menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Negara hanya melegalisasi dan

menegakkan apa yang diyakini sebagai perbuatan tercela dan terlarang.

Keyakinan akan perbuatan tercela menurut agama masing-masing tidak dapat

diberlakukan, atau sanksi tidak dapat ditegakkan manakala keyakinan agama

tersebut jika diterapkan akan berhadapan dengan kelompok agama lain atau

mengganggu eksistensi negara.

Menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu karena didorong keyakinan

dan rasa cinta justru membuatnya mudah terlaksana. Bayangkan seorang pelacur

yang rela melayani tamunya hanya dengan modal cinta. Seorang pecinta sejati rela

menempuh ribuan kilometer, menempuh segala rintangan untuk sang pujaan hati.
97

Ini lah dahsyatkanya kekuatan hati dan keyakinan. Jika untuk hal tercela seperti

itu seorang pelacur berani tidak menerima bayaran apalagi untuk hal yang

seharusnya merupakan kebaikan bagi diri si pelaku, orang lain, agamanya serta

bangsa dan negara. Seorang muslim berani menempuh jalan jihad yang

mengorbankan jiwa raganya, menginfakkan seluruh harta bendanya atas dasar

satu kekuatan saja yaitu kekuatan hati berdasarkan keyakinan atas apa yang

diperintah Allah, Tuhan yang diyakini umat Islam.

Kembali ke soal penegakan hukum, maka hukum yang ditegakkan atas

dasar keyakinan yang timbul dari dalam hati bahwa apa yang dilakukan adalah

untuk kebaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, agama, bangsa dan negara

akan membuat orang mudah diarahkan pada perilaku tertentu. Kebanyakan orang

yang tidak patuh pada hukum disebabkan karena merasa hukum tersebut tidak

bermanfaat baginya atau bagi masyarakatnya. Ia merasa tidak peduli dengan

hukum yang mengaturnya tersebut. Jika ia merasa hukum itu bermanfaat maka ia

akan dengan sukarela melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hukum.

Selain dengan pendekatan teori receptio in complexu, gagasan penerapan

hukum berdasarkan keyakinan juga dapat didekati dengan teori-teori psikologi

hukum dan kesadaran hukum.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kesadaran hukum berarti

kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang

seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini

berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain.

Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul
98

Scholten menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada

setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu

kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara

hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak

dilakukan.91

Rangkaian kesadaran hukum masyarakat akan terdiri dari :


a. Tahap pengetahuan hukum. Dalam hal ini, merupakan pengetahuan
seseorang berkenaan dengan perilaku tertentu yang diatur oleh hukum
tertuluis, yakni tentang apa yang dilarang atau apa yang dibolehkan
b. Tahap pemahaman hukum. Yang dimaksud adalah bahwa sejumlah
informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi dari aturan hukum
(tertulis), yakni mengenai isi, tujuan, dan manfaat dari peraturan
tersebut.
c. Tahap sikap hukum (legal attitude). Merupakan suatu kecenderungan
untuk menerima atau menolak hukum karena adanya penghargaan atau
keinsyafan bahwa hukum tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Dalam hal ini sudah ada elemen apresiasi
terhadap aturan hukum.
d. Tahap Pola Perilaku Hukum. Yang dimaksud adalah tentang berlaku
atau tidaknya suatu aturan hukum dalam masyarakat. Jika berlaku
suatu aturan hukum, sejauh mana berlakunya dan sejauh mana
masyarakat mematuhinya. 92
Menurut teori psikologi hukum, kesadaran hukum berkaitan erat dengan

kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum. Masalah kepatuhan hukum merupakan

proses psikologis yang secara kaulitatif dapat dikembalikan kepada beberapa

proses dasar, sebagai berikut :

a. Compliance, yaitu kepatuhan terhadap hukum didasarkan pada harapan


akan imbalan tertentu untuk menghindarkan dri dari hukuman.
Kepatuhan hukum ini sama sekali tidak dilandasi keyakinan akan
tujuan hukum, melainkan ditekankan kepada sistem dan mekanisme

91
Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama,(Jakarta :
Rajawali, 1982), hlm. 182 dan Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum
Masyarakat, Edisi Pertama, (Yokyakatra : Liberti, 1981), hlm. 3 sebagamana diktip Ellya Rosana,
―Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat‖, dalam Jurnal TAPIs Vol.10
No.1 Januari-Juni 2014, IAIN Raden Inten, Bandar Lampung
92
Ibid
99

pengendalian dari pemegang kekuasaan. Akibatnya, orang akan patuh


terhadap hukum apabila ada pengawasan yang ketat dari penguasa.
b. Identification, yaitu kepatuhan terhadap hukum bukan karena nilai
alamiahnya, melainkan untuk menjaga keutuhan kelompok serta unuk
menjaga hubungan baik dengan penguasa. Akibatnya kepatuhan
terhadap hukum akan sangat tergantung kepada baik buruknya
hubungan dengan penguasa tersebut.
c. Internalization, yaitu kepatuhan hukum terhadap hukum karena adanya
kesadaran bahwa nilai-nilai dalam hukum dianggap sesuai dengan nilai
naluriah warga masyarakat.
d. Kepentingan-kepentingan yang terjamin, kepatuhan terhadap hukum
apabila kepentingan-kepentingannya terjamin.93
Alasan-alasan kepatuhan hukum di atas, menjawab pertanyaan mengapa

orang-orang Indonesia saat berada di luar negeri menjadi taat sepenuhnya pada

hukum yang berlaku di negara tersebut walaupun sangat mungkin ia tidak sepakat

dengan atran yang berlaku tersebut.

Dilihat dari pendekatan filsafat hukum Demouteneous sebagaimana

dikutip R Otje Salman menyatakan alasan mengapa orang patuh pada hukum

antara lain dikarenakan :

- Karena hukum berasal dari Tuhan;


- Berasal dari kebiasaan orang yang bijaksana,
- Berasal dari kesusilaan dan
- Berasal dari persetujuan.94

Pendekatan filsafat Demouteneous di atas dapat menjelaskan fenomena

mengapa orang-orang Indonesia saat berada di tanah suci Mekah dan Madinah

atau pada bulan Ramadhan menjadi orang yang berperilaku sangat baik yang

didorong keyakinan bahwa Tuhan Maha Melihat dan Maha Mencatat segala

perbuatan manusia, ditambah keyakinan bahwa sanksi atas segala perbuatan akan

93
Saut Parulian Panjaitan, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Asas, Pengertian, dan Sistematika,
Unsri Press, Palembang, 1998, hlm.100.
94
R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm.8.
100

langsung dibalas. Pandangan Demouteneous juga dapat menjelaskan mengapa

orang sangat patuh pada sistem keyakinan yang hanya berdasarkan mitos belaka

tanpa ada dasar hukum atau sanksi secara nyata yang akan ditegakkan oleh

penguasa.

Dalam delik politik mereka yang menolak mengakui hukum yang berlaku

di suatu negara lalu melakukan tindakan yang membahayakan keamanan negara

diperlakukan secara terhormat yang lazim disebut sebagai penjahat politik.

Hazewinkel Suringa sebagaimana dikutip oleh Loebby Loqman menyatakan

bahwa bahwa penjahat politik tergolong pelaku yang mempunyai keyakinan

(overtuigings daders), karena mereka berpendapat pandangannya tentang hukum

dan kenegaraan lebih tepat daripada pandangan pemerintah negara tersebut

sedangkan penjahat umum tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku

meskipun ia melanggar peraturan yang ada pada negara tersebut.95 Sampai

seberap jauh keyakinan mereka layak dihormati, belum jelas ukurannya.

95
Lobby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, Jakarta : Ind-Hill, Co, 1993, hlm.46.
101

DAFTAR PUSTAKA

Ali Abubakar, ―Urgensi Penyelesaian Kasus Pidana Dengan Hukum Adat, ―


Jurnal Madania Vol. Xviii, No. 1, Juni 2014

Angkasa, ―Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor


Penyebab, Implikasi Negatif, Serta Solusi Dalam Upaya Optimalisasi
Pembinaan Narapidana." Jurnal Dinamika Hukum, Vol 10 No.3 tahun
2010, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Anonim, 1984, Masalah-masalah Hukum Perdata Adat Di Kecamatan Ilir Timur


II Kota Madya Palembang Daerah Hukum Pengadilan Negeri Palembang
Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Palembang, Jakarta : Departemen
Kehakiman

Anton F Susanto, Simulacra Hukum : Bangsa yang Resah, dalam Buku Penelitian
Hukum Transformatif – Partisipatif, Logos Publishing, Bandung, 2011.

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, 1985

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana,


Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum
Pidana, Setara Press, Malang, 2014

Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama,


Bandung, 2014

Edy Sanjaya, Hukum dan Putusan Adat dalam Praktik Peradilan Negara,
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang

Ellya Rosana, ―Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum


Masyarakat‖, dalam Jurnal TAPIs Vol.10 No.1 Januari-Juni 2014, IAIN
Raden Inten, Bandar Lampung

Elwi Daniel, ―Konstitusionaltitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian


Perkara Pidana:, dalam Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 3 September 2012

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama,


Bandung, 2011,

Erdianto, ―Procession Of "Tepung Tawar" As An Alternative Solution For


Criminal Case In Malay Custom Law Of Riau,‖ Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 15 No. 1, January 2015
102

Eva Achjani Zulfa, ―Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di


Indonesia, Jurnal Kriminologi Indonesia‖, Vol.6 No. II Agustus 2010,
Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta

Fritjof Capra sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, ―Hukum Progresif,


Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun‖, Jurnal Hukum Progresif
Vol 2 Nomor 1 April 2006, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang

Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984

Hj.A.Sukmawati Assaad, “Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di Indonesia, ―


dalam Jurnal Al Ahkam, STAIN Palopo Volume IV No 2 Agustus 2014

http://jambi.tribunnews.com/2012/01/26/, terakhir diakses 15 Nopember 2012,


jam. 13.00

Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1978

Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau, Masyarakat Hukum Adat Petalangan


Dan Hak-Hak Tanah Adat Tradisionalnya Di Propinsi Riau , Lembaga
Peneliti Universitas Islam Riau bekerjasama dengan DPD RI, 2009

Loebby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, Jakarta : Ind-Hill, Co, 1993

M Budiono, Tepung Tawar, makalah dalam website resmi MPR RI, terakhir kali
dikunjungi tangggal 15 Nopember 2012 jam 11.00 WIB.

Marcus J. Pattinama, ―Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal‖, Jurnal


Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009: 1-12

Mercy M. M. Setlight, ―Penerapan Hukum Pidana Adat Dalam Putusan


Pengadilan Di Wilayah Pengadilan Negeri Tahuna‖, dalam Jurnal Lex et
Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan,


Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006

Muladi, Evaluasi terhadap Substansi dan Pelaksanaan UU No. 11/PNPS/1963,‖


makalah dalam Jurnal HAM, Bingkai Pembangunan dan Demokrasi,
CIDES, Jakarta: 1997

Musri Nauli, ―Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari‖, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol.4 No. 2 Februari-Juli 2014, Fakultas Hukum Universitas
Riau, Pekanbaru, hlm.106.
103

Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif Dalam Bingkai Empiri, Teori dan


Kebijakan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2002

Nyoman Sarikat Putra Jaya, Hukum Pidana dalam Pembahruan Hukum Pidana
Nasional, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukm Pidana dan
Krimonologi III, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat dengan MAHUPIKI, tanggal 16 – 19 Mei 2016.

Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam


Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005

R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika


Aditama, Bandung, 2010

Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003

Reimon Supusesa, "Eksistensi Hukum Delik Adat dalam Perspektif Pembaharuan


Hukum Pidana Di Maluku Tengah." Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No. 1
(2012), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Reny H Nendissa, ― Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum Sasi


Laut di Maluku Tengah‖, Jurnal Sasi Volume 16 No. 4 Oktober Desember
2010, Fakultas Hukum Universitas Pattimura, Ambon

Rikardo Simarmata, ―Mencari Karakter Aksional dalam Pluralisme Hukum,


dalam buku Pluralisme HukumSebuah Pendekatan Interdisiplin,‖ Editor
Tim HUMA, Penerbit Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologis, Jakarta, 2005

Sahuri Lasmadi, "Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia."


Jurnal Ilmu Hukum Vol 4 No.5 tahun 2011, Fakultas Hukum Universitas
Jambi

Said Sirajuddin, ―Upacara Tepuk Tepung Tawar‖, tersedia dalam http://wa-


iki.blogspot.com/2010/10/upacara-tepuk-tepung-tawar.html, terakhir
diakses tanggal 6 Nopmeber 2013
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana,
Makalah dalam Jurnal Hukum FH UII, No. 11 Vol.6 tahun 1999,
Yogyakarta, 1999

Satjipto Rahardjo, Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa, Opini Kompas, Edisi
Kamis, 19 November 2009

----------------------, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan


Manusia dan Hukum,Penerbit Buku KOMPAS, Cetakan I, Jakarta, 2007
104

-----------------------, Indonesia di Luar Negara, Kompas, 24 Maret 2008

Saut Parulian Panjaitan, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Asas, Pengertian, dan


Sistematika, Unsri Press, Palembang, 1998

Sidharta, ―Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional, Perspektif Filsafat,‖


makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Adat di Fakultas
Hukum Universitas Riau, 7 Nopember 2017

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
(cetakan pertama 1981)

----------------------, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta,


1999

SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia di Indonesia dan


Penerapannya, Penerbit Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010

Toto Tohir, ―Rekonstruksi Budaya Hukum Nasional yang Berbasais Nilai-nilai


Budaya Hukum Bangsa Indonesia‖, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum,
Vol. XIII No. 2 Juli 2011, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung,
Bandung

Trisno Raharjo, ―Mediasi Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‖, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, Fakultas Hukum UII Yogyakarta.

Umar al Tamimi, ―Lembaga Pemaafan sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara


Pidana Perspektif Hukum Islam‖, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1
Nomor 3, Desember 2013, IAIN Alaudin, Makassar

UU Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, UIR Press, Pekanbaru, 2000

Wandi, ― Eksistensi Pengakuan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum


Pemerintahan Daerah di Indonesia,‖ Jurnal Mahkamah Vol 5 No. 1 2013,
Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru

Yusmar Yusuf, ―Kearifan dan Kepiawaian Lokal : Sumbu Hukum Komunal


(Kosmologi Melayu, Masyarakat Adat dan Persepsi Kekinian)‖, Jurnal
Respublica, Vol. 8 No. 1 Nov.2008, Fakultas Hukum Universitas Lancang
Kuning, Pekanbaru

Anda mungkin juga menyukai