OLEH :
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah naskah buku yang diberi judul HUKUM
(PIDANA) ADAT, Gagasan Pluralisme Dalam Hukum Pidana dan Penerapan
Hukum Menurut Keyakinan Hukum) ini akhirnya dapat juga diselesaikan. Buku
ini adalah hasil pemikiran penulis yang bertolak dari proses interaksi sebagai pengajar
mata kuliah Hukum Pidana dan Filsafat Hukum di Program Studi S1 Fakultas Hukum
Universitas Riau, dan pengajar mata kuliah Penemuan Hukum dan Hukum dan
Budaya Melayu di Program Studi S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Riau serta
sebagai pengajar mata kuliah Teori Hukum pada Program Studi S2 Magister Ilmu
Hukum Universitas Islam Riau. Gagasan tersebut telah muncul sejak awal tahun 2014
yang terus berproses, namun baru dapat mulai dituangkan dalam bentuk draf buku
sejak awal Agustus 2017.
Ide dasar dalam buku ini adalah kegelisahan penulis tentang perbedaan yang
mencolok antara hukum yang berlaku menurut sistem hukum negara dengan hukum
yang diakui dan diyakini oleh masyarakat. Benturan tersebut di ranah empirik
menyebabkan banyak orang yang diproses pidana padahal menurut keyakinannya ia
tidak bersalah. Banyak orang yang membela tokoh yang di depan hukum bersalah
menurut persepktif hukum negara.
Buku kecil ini hadir di tengah minimnya kepustakaan tentang Hukum Adat lebih
khusus lagi Hukum Pidana Adat sekaligus dapat menggabungkan pemikiran buku
penulis sebelumnya yaitu Hukum Pidana Indonesia dengan kepustakaan di bidang
hukum adat. Tentu saja buku ini belum sempurna karena keterbatasan literatur dan
waktu penulis di tengah kesibukan yang padat, sehingga menyelakan hari Minggu
untuk tetap menulis buku ini.
Atas terbitnya buku ini, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada PT Refika Aditama Bandung yang telah berkenan menerbitkan
buku ini. Semoga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
penegakan hukum Indonesia.
Ungkapan sujud bakti penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis khususnya
Ayahanda Effendi Bakar (Alm) yang dengan segala keterbatasan telah bersusah
payah membesarkan penulis dengan segala kasih sayangnya, dan Ibunda Hj Nurdiah
yang sepeninggal Ayahanda tetap teguh mengantarkan penulis kepada jenjang
pendidian setinggi-tingginya.
Terkhusus ucapaan terimakasih kepada istri penulis, Adinda Islamiyah, S.Ag,, M.Pd,
yang selalu mendorong dan memotivasi penulis untuk menjadi yang
terbaik,menghibur di kala duka, mengingatkan di kala bahagia, serta kedua buah hati
tercinta Ahdina Adisyabila Rizkika dan M Adib Abdan Syakur, pelipur segala lara,
pelepas letih yang menekan di tengah zaman yang makin tidak mudah.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para guru yang telah mengajar
penulis sejak di bangku Sekolah Dasar Negeri No.9/V di Pelabuhan Dagang, SMP
Negeri Pelabuhan Dagang, SMA Negeri 5 Jambi, S1 di FH UNJA, S2 di UNSRI dan
S3 baik di Undip maupun di Unpad, terkhusus kepada Ayahanda Prof. H. Rozali
Abdulah, SH, dan Bapak Fauzi Syam, SH, MH, Almarhum Prof. Dr. H. Loebby
Loqman, SH, MH, Prof. H. Romli Atmasasmita, SH, LL.M, Bunda Prof. Dr.
Komariah E Sapadjaja, SH, dan Prof. Dr. H, Rukmana Amanwinata, SH, MH.,
para guru yang telah berkenan membimbing saya, serta kepada semua ahli hukum
yang telah terlebih dahulu ada dan melahirkan karya dan pemikiran dalam bentuk
buku dan karya ilmiah lainnya baik yang masih hidup maupun yang sudah tiada, baik
yang karyanya dikutip maupun tidak. Karena mereka lah buku ini pun ada.
Ungkapan terimakasih juga saya sampaikan kepada kolega Dosen FH UNRI sahabat
saya Dr. Firdaus, SH, MH, yang hari ini diamanahkan menjadi Dekan Fakultas
Hukum Universitas Riau, sahabat saya Dr. Mexsasai Indra, SH, MH, yang hari ini
diamanahkan menjadi Wakil Dekan I FH UNRI, meminta penulis mengajar mata
kuliah Penemuan Hukum di Pascasarjana Universitas Riau, Sdr Erdiansyah, SH, MH,
yang meminta penulis mengajar mata kuliah Filsafat Hukum, Bapak Dr Effendi Ibnu
Susilo, SH, MH, Ketua Prodi S2 Ilmu Hukum UIR yang memberi kesempatan saya
mengajar mata kuliah Teori Hukum, yang karena itu gagasan dalam buku ini muncul.
Terimaksih pula untuk Sdri. Ferawati, SH,MH, kolega dosen Hukum Pidana FH
UNRI atas pinjaman bukunya.
Sebagai sebuah karya ilmiah yang mungkin belum sempurna sangat diharapkan
kesediaan para pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran demi perbaikan di
masa mendatang.
Halaman
Mengemuka ................................................................................ 15
CURICULUM VITAE
1
BAB I
tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana. Simons menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hukum pidana adalah semua tindakan keharusan (gebod)
dan larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya yang
Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan
dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut, kapan dan dalam hal apa kepada
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang melanggar
larangan tersebut. 1
1
SR Sianturi sebagaimana dikutip Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu
Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 6.
2
SR Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia di Indonesia dan Penerapannya,
Penerbit Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986, hlm. 12-14
2
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak
sehari-hari dilimpahkan.
2. WLG. Lemaire, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh
pembentuk UU) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman
yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat
juga dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat
suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-
keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.
(pengertian ini nampaknya dalam arti hukum pidana materil).
3. WFC. Hattum, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari
asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu
masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya
tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah
mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan
suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
4. WPJ. Pompe, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya
dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari
hukum, biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-
peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang abstrahir dari
keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
5. Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
3
Selain pendapat tersebut, Teguh Prasetyo membagi pengertian hukum
pidana menurut para ahli berdasarkan asalnya yaitu ahli hukum pidana dari Barat
3
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm. 4-9.
3
bagian objektif dan bagian subjektif. Dan Hukum pidana formal yang
mengatur cara bagaimana hukum pidana materil ditegakkan.
3. Hazewinkel Suringa membagi hukum pidana dalam arti objektif (ius
poenali) yang meliputi perintah dan larangan yang pelanggarannya
diancam dengan sanksi pidana oleh badan yan berhak, ketentuan-
ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma
itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Penitensier dan subjektif (ius
puniende) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut
pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
hukum pidana dan ada kalanya saling bertentangan, pada pokoknya dapatlah
dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana itu adalah hukum yang
dihukum dengan pidana yang ditentukan undang-undang, dan terhadap siapa saja
Jadi kata kunci untuk menentukan suaru perbuatan sebagai hukum pidana
atau tidak adalah manakala sanksi yang dapat dijatuhkan adalah berupa sanksi
pidana. Tanpa sanksi berupa pidana maka suatu perbuatan pelanggaran hukum
hanyalah pelanggaran hukum tata negara, hukum administrasi negara atau hukum
perdata.
bermasyarakat, tidak ada pemisahan antara adat istiadat dengan hukum adat.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adat adalah hukum adat dan sebaliknya
hukum adat juga adalah adat istiadat. Namun demikian, Roelof van Dijk
adat. Adat diartikan sebagai segala kebiasaan yang menjadi tingkah laku rakyat
Indonesia, disebut hukum adat jika atas kebiasaan tersebut menimbulkan akibat
daripada kesadaran hukum, khususnya pada masyarkat dengan struktur sosial dan
kebudayaan sederhana. Masyarakat patuh pada hukum adat disebabkan oleh tiga
hal yaitu :
4
Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1978, hlm.1.
5
Ibid, hlm.11.
5
Hukum Islam dikenal misalnya "Hukum Syari'ah" yang berisi adanya lima
macam suruhan atau perintah yang disebut "al-ahkam al-khamsah" yaitu fardh
(wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh (celaan) dan
jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam bahasa Arab disebut
dengan arli "kebiasaan" yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi
6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
(cetakan pertama 1981), hlm.338-339.
7
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2014, hlm1-5
8
Cornelis van Vollenhoen, sebagaiaman dikutip Dewi Wulansari, Ibid.
9
Hilman Hadikusuma, dalam Dewi Wulansari, Ibid
6
teradat, adat nan diadakan dan adat nan sebena adat. Keempat pohon adat inilah
Hukum Nasional pada tahun 1976 yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
pengakuan hukum seperti ini harusya menjadi suatu hal yang konsisten ditegakan
bahwa, “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any
person for any act or omission which, at the time when it was committed, was
dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara
(terutama yang berasal/diimpor dari hukum asing semasa zaman kolonial), pada
umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta
“outmoded and unreal” (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan
pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada ―diskrepansi‖ dengan aspirasi masyarakat,
serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Kondisi demikian oleh
Terminologi hukum pidana adat, delik adat, hukum pelanggaran adat atau
hukum pidana adat cikal bakal sebenarnya berasal dari hukum adat. Apabila dikaji
dari perspektif sumbernya, hukum pidana adat juga bersumber baik sumber
tertulis dan tidak tertulis. Tegasnya, sumber tertulis dapat merupakan kebiasaan-
16
Edy Sanjaya, Hukum dan Putusan Adat dalam Praktik Peradilan Negara, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2011, hlm.1
17
Ibid, hlm.2.
8
kebiasaan yang timbul, diikuti serta ditaati secara terus menerus dan turun
dapat dilihat dalam Kitab Ciwasasana atau Kitab Purwadhigama pada masa Raja
Sulawesi Selatan, Kitab Adi Agama dan Awig-Awig di Bali, dan lain sebagainya.
Kemudian sumber tidak tertulis dari hukum pidana adat adalah semua peraturan
yang dituliskan seperti di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya. 18
18
Ibid, hlm.3.
9
BAB II
batasan perbuatan hukum pidana atau bidang hukum lain makin tipis dan tidak
pelanggaran hukum perdata dengan hukum administrasi negara terletak dari berat
ditetapkannya suatu perbuatan sebagai tindak pidana yang jika diterapkan akan
19
Muladi, Op.Cit. hal.30-31.
10
pidana ketika pelanggaran perbuatan itu diberi sanksi pidana dan untuk penetapan
itu ada pada otoritas negara dalam hal ini Presiden dan DPR. Secara ideal, jika
tersebut yang jika dilanggar dapat diberi sanksi berupa pidana. Namun dalam
praktiknya, banyak sekali perbuatan yang oleh negara ditetapkan sebagai tindak
Ini terjadi sebagai akibat perbedaan sistem hukum yang berlaku di level
negara dengan hukum yang diakui di tengah masyarakat. Negara merasa berhak
menetapkan hukum atas dasar konstitusi hukum mana yang kemudian disebut
sebagai hukum positif. Secara teoritis dan normatif, seharusnya hukum yang
dibuat oleh negara tidak bertentangan dan sejalan dengan keyakinan hukum
20
Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana, Makalah
dalam Jurnal Hukum FH UII, No. 11 Vol.6 tahun 1999, Yogyakarta, 1999, hal. 12,
11
negara, hukum tersebut digali dari nilai-nilai yang hidup. Hukum hanya berperan
menegakkan tertib sosial yang diakui masyarakat, hukum bersifat pasif sebagai
sarana control social, walaupu untuk hal-hal tertentu hukum juga harus berperan
tengah masyarakat.
positif yang menjadi ruh sistem hukum civil law walaupun sesungguhnya jika
sistem hukum common law. Kalaupun didasarkan pada kaedah hukum positif
yang tertulis, maka hukum tertulis yang diakui selama berabad-abad di tengah
masyarakat Indonesia, maka hukum itu adalah hukum Islam yang tertulis
kongkret dan tegas dalam Alquran dan Assunnah. Ini tampak dari filosofi hukum
hukum‖ yang lain yang kemudian dinamankan Teori Hukum Pembangunan yang
pada intinya mengakui bahwa hukum yang berlaku tetap lah hukum positif yang
sedang disusun oleh negara, tetapi nilai-nilai yang diadopsi adalah nilai-nilai adat
dan agama. Hukum dibentuk dengan memperhatikan nilai yang hidup di tengah
masyarakat.21
Sekilas ini mirip dengan karakter mazhab sejarah hukum dan kebudayaan.
Hukum negara linear dengan agama dan adat masyarakat. Hukum hanya
21
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan
Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2006, hlm.88.
12
manakah yang menjadi rujukan, karena Indonesia adalah negara yang teramat luas
dengan tingkat heterogenitas yang sangat tinggi. Dalam lapangan hukum perdata,
membentuk hukum, tetapi di dalam hukum negara diakui dan diberi tempat
hidupnya hukum masyarakat. Pemikiran serupa pada gilirannya juga dianut oleh
hukum pidana.
Dalam Rancangan KUHP yang sudah disusun sejak tahun 1963, kaedah
hukum pidana adat juga sudah diakomodir mengikuti pola regulasi dalam
depan hukum. Tiap orang tunduk dan berada dalam yurisdiksi hukum yang sama.
Rancangan KUHP, di beberapa daerah telah muncul gagasan mendirikan apa yang
disebut sebagai ―desa adat‖. Para pemikir hukum, pengambil kebijakan daerah
masyarakat Nusantara di masa lalu. Orang-orang tua dan anak-anak muda begitu
Jika negara dalam hal ini hanya berperan sebagai regulator yang ―sekedar‖
tentu lah tidak akan ada lagi pertentangan antara masyarakat dengan negara dalam
memandang hukum. Sesuatu yang tercela bagi masyarakat, juga akan tercela di
negara juga akan tercela di hadapan masyarakat. Negara tidak perlu sibuk
kecuali dalam hal-hal tertentu yang tidak ada padanannya di tengah masyarakat.
Juga tidak ada lagi perdebatan tentang siapa yang berhak atas tanah, tidak ada
pula perdebatan tentang apakah seseorang korupsi atau tidak, karena hukum
negara tiada lain adalah hukum masyarakat, hukum masyarakat adalah hukum
negara
masyarakat hidup dengan sistem nomanya sendiri di satu sisi, dan negara hidup
sama lain. Tercela menurut hukum belum tentu tercela menurut hukum adat, atau
sebaliknya tercela menurut adat belum tentu tercela menurut hukum. Kalangan
di tengah masyarakat, jika ia tidak berlaku dalam sistem hukum negara, maka itu
bukanlah hukum. Hukum Pidana menuut sistem hukum Eropa Kontinental atau
Civil law menjadi anak kandung positivisme hukum yang menegasikan ada
tentang larangan, perintah dan kebolehan yang diatur oleh hukum. Para pejabat
dapat terjadi di kalangan para pejabat negara yang mengetahui dan memahami
hukum, tentu lah potensi ketidaktahuan itu menjadi lebih besar di kalangan
masyarakat awam.
dua sisi yang dilematis. Di satu sisi, hukum Indonesia menganut asas fictie hukum
dimana setiap orang dianggap mengetahui hukum. Di sisi lain dalam hukum
pidana berlaku asas gen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan),
dimana hanya orang yang willen dan witten (mengetahui dan menyadari
Kondisi ini lah yang disebut oleh Anton F Susanto sebagai simulacra
hukum yang semu, yang nyata namun tidak nyata. Kehidupan yang dibuat-buat,
dan memandang bahwa realitas hkum yang ditransplantasikan dari Barat, lebih
membentuk fomat hukum menurut defenisi Barat, dan menempatkan hukum asli
dan lokal tak lebih sekedar tontonan dan objek budaya, sehingga jika
15
dipertentangkan antara hukum Barat dengan hukum lokal, hukum lokal akan
terpinggirkan. Padahal di sisi yang lain, proses transpalantasi hukum Barat dalam
masyarakat Indonesia adalah proses yang belum selesai atau bahkan mungkin
tidak akan pernah selesai karena tidak cocok dengan karakter hukum Indonesia. 22
adat di sisi yang lain, jika konstruksi berpikirnya seperti itu, maka tidak ada lah
apa yang kita sebut sebagai hukum pidana adat. Untuk menilai apa yang dimaksud
dengan hukum pidana harus dilihat tiga masalah sentral dalam hukum pidana
yaitu perbuatan apa saja yang dilarang, pertanggungjawaban pidana dan pidana.
Dilihat dari aspek pidana, untuk disebut sebagai hukum pidana syarat
utamanya adalah apabila pelanggaran hukum itu diberi sanksi berupa pidana. Apa
pidana itu, KUHP menegaskan bahwa pidana yaitu penderitaan yang sengaja
diberikan oleh negara kepada mereka yang memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana
melalui putusan pengadilan. Pidana itu sebagaimana diatur dalam KUHP adalah
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok itu antara lain pidana mati,
pidana penjara, pidana denda, pidana kurungan. Pidana tambahan meliputi pidana
hakim. Adapun pidana bentuk lain yang secara teoritis dikenal seperti cap bakar
misalnya, tidak dapat disebut sebagai pidana karena secara yuridis tidak dikenal
22
Anton F Susanto, Simulacra Hukum : Bangsa yang Resah, dalam Buku Penelitian
Hukum Transformatif – Partisipatif, Logos Publishing, Bandung, 2011.
16
bahwa perbuatan itu harus dapat diberi sanksi berupa pidana, larangan atas
tercelanya suatu perbuatan, perbuatan tersebut tidak bisa dianggap sebagai tindak
pidana jika tidak ditentukan dalam hukum tertulis, lebih khusus lagi Undang-
undang.
pidana adat tidak dilihat dari perspektif hukum pidana tetapi melihatnya dari
perspektif hukum adat. Melihat hukum pidana adat dari perspektif hukum pidana
terjemahan dari istilah ―adat delicten recht‖. Defenisi hukum pidana adat lebih
adat seperti ―salah‖ atau ―sumbang‖ dalam masyarakat Lampung dan Sumatera
Selatan. 23 Hilman mendefinisikan bahwa hukum pidana adat adalah hukum yang
masyarakat. Jadi berbeda dari hukum pidana barat yang menekankan peristiwa
apa yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumannya,
Jika hukum pidana barat menitikberatkan pada adanya sebab sehingga seseorang
23
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984, hlm.17.
17
dapat diancam dengan hukuman, maka hukum pidana adat menitikberatkan pada
adanya ―akibat‖ sehingga seseorang dan kerabatnya harus bertanggung jawab atas
akibat itu. Jadi walaupun sebab yang merupakan peristiwa aneh itu tidak ada
bertentangan dengan pihak yang terkena akibat itu maka pihak yang menyebabkan
akibat itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya dalam hukum pidana barat
walaupun akibat yang bertentangan dengan pihak yang terkena akibat, jika
merugikan tidak dapat menuntut kerugian atau pihak penguasa tidak dapat
peristiwa atau perbuatan itu hanya merupakan Sumbang yang kecil saja. Jadi yang
dimaksud dengan delik adat itu adalah semua perbuatan atau kejadian yang
dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan baik hal itu akibat perbuatan
Sedangkan terjadinya delik adat adalah apabila tata tertib adat dilanggar dan
24
Ibid, hlm.18.
25
Ibid, hlm.20.
18
pengartian hukum pidana adat tidak bertumpu pada cara pandang positivistik yang
cara pandang itu yang diterapkan maka tidak mungkin ada hukum pidana adat itu.
Tetapi jika hukum dimaknai lebih luas, tidak sebatas Undang-undang, maka dapat
klasik antara mazhab positivisme dengan mazhab sejarah hukum dan kebudayaan.
Hukum memainkan peranan dalam masyarakat dalam dua hal yaitu sebagai sarana
social control dan sebagai sarana social enginering. Penggunaan hukum sebagai
sebagai sarana rekayasa sosial dalam masyarakat yang lebih luas akan
menimbulkan perubahan sosial yang lebih luas pula. Perubahan sosial yang
diakibatkan oleh perubahan hukum. Perubahan sosial dalam masyarakat kota tentu
lah akan lebih kompleks daripada perubahan sosial pada masyarakat pedesaan.
oleh Karl Von Savigny yang mengemukakan bahwa semakin kompleks suatu
suatu masyarakat maka makin sederhana pula hukumnya 26 Sebagai sarana social
26
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
hal. 167.
19
masyarakat. Namun demikian, perlu disadari bahwa tidak semua tatanan sosial
masyarakat selamanya baik. Ada pula tatanan sosial masyarakat tertentu yang
dianggap tidak baik yang jika dikaitkan dengan pembangunan sosial ekonomi
kebiasaan masyarakat setempat, tetapi jika dilihat akibat dari kebiasaan membawa
melanggar HAM, tetapi jika dilihat lebih jauh akibat yang ditimbulkan dengan
Terlepas dari pro dan kontra dalam RUU Pornografi dan Pornoaksi, dalam
pakaian terbuka menjadi berpakaian tertutup. Contoh lain adalah dalam hal
tunjangan anak bagi pegawai negeri sipil sampai dua anak saja, dengan sendirinya
hukum telah mengarahkan masyarakat dalam hal ini pegawai negeri sipil ke arah
perilaku tertentu yang dikehendaki oleh politik hukum pemerintah waktu itu.
20
mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang melarang PNS beristri lebih dari satu
dan pelanggaran atas itu akan diberi sanksi berupa pemecatan sebagai PNS.
sekelompok orang meyakini sistem hukum sendiri yang berlainan dengan sistem
hukum yang berlaku sebagai hukum positif negara. Dalam sistem hukum yang
mereka yakini sebagai kebenaran dan keadilan, suatu perbuatan dianggap sebagai
perbuatan yang tidak tercela, tidak melanggar hukum dan bahkan kadangkala
hutan dimana dalam sistem sosial masyarakat Melayu tempo dulu dianggap
sebagai bukti kerajinan bekerja sehingga patut dipuji dan diapresasi. Makin
banyak hutan yang ditebang, makin baik status sosial seseorang di tengah
kepemilikan atas tanah tebas dan tebang seseorang. Menurut hukum positif yan
berlaku saat ini, menebang kayu adalah perbuatan terlarang yang atas
mendulang emas yang hari ini dalam perspektif hukum negara adalah pelanggaran
hukum yang serius. Demikian juga dengan budaya memberi hadiah yang dalam
masyarakat dianggap sebagai keharusan kepada orang yang sudah berbuat baik.
yang sudah berbuat baik. Dalam sistem hukum negara, perbuatan tersebut justru
masyarakat dengan apa yang dinilai baik oleh negara melalui hukum positif yang
berlaku diduga menjadi salah satu sebab banyaknya pelanggaran atas hukum yang
berlaku. Bukan saja karena masyarakat tidak mengetahui akan hukumnya tentang
sesuatu, tetapi bahkan juga disebabkan oleh perbedaan dalam memahami nilai
yang dianggap baik antara nilai yang hidup di tengah masayarakat dengan apa
hukum (pidana) adat akan tampak nyata beberapa kontradiksi antara lain :
yang dapat dipidana adalah manusia badan hukum, dalam hukum adat
27
Sidharta, ―Hukum Adat dalam Sistem Hukum Nasional, Perspektif Filsafat,‖ makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Riau, 7
Nopember 2017
22
tolak dari dua fungsi hukum di atas, maka dalam hubungannya dengan perubahan
sosial terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi yaitu : Pertama, hukum akan
perubahan sosial.
dengan hukum pidana positif yang diberlakukan negara dapat dilakukan dengan
dalam hukum adat. Fungsi hukum dalam hal ini kecuali terhadap peranan
tindak pidana. Jadi tercela menurut masyarakat tercela pula lah ia dalam
hukum yang hidup dengan hukum yang berlaku. Untuk itu diperlukan
Kedua, melalui cara penemuan hukum. Meskipun nilai hukum yang hidup
tidak sejalan dengan hukum yang berlaku, hal itu dapat diatasi dengan
nilai-nilai yang hidup, tugas penemuan hukum oleh hakim dapat diambil
alih oleh para ahli hukum melalui pemberian keterangan ahli di proses
dihadapi adalah hukum adat manakah yang dapat diberlakukan? Keadaan sosial
masyarakat kita dewasa ini berbeda dengan masyarakat pada masa Hindia
Belanda. Masyarakat sekarang tidak lagi homogen, tetapi terdiri dari berbagai
etnik dan agama sehingga akan mendapati kesulitan hukum adat manakah yang
dapat diberlakukan?
hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, tokoh masyarakat adat yang ada di
daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait. Dengan
kriteria tersebut, dewasa ini makin sulit ditemukan masyararakat adat yang
dimaksud.
Sumatera Barat, Aceh, Bali dan daerah-daerah lain, penerapan hukum adat
sebagai alternatif penggunaan hukum pidana tentu saja tidak sulit. Akan tetapi di
daerah dimana masyarakat tempatan tidak lagi dominan seperti di Provinsi Riau,
Lampung, Jakarta dan lain-lain penerapan hukum adat tidak lah mudah. Ketika
kesulitan empirik yang dihadapi tim pembentuk Perda adalah apakah hukum adat
Melayu Riau dapat diberlakukan dengan prinsip adat dimana bumi dipijak di situ
langit dijunjung terhadap komunitas non Melayu karena faktanya banyak desa di
25
Kabupaten Siak didominasi etnik non Melayu seperti Jawa atau Batak. Jika
dewasa ini di kalangan akademisi hukum pidana telah muncul kembali gagasan
kembali. Berbagai upaya untuk menemukan hukum yang hidup sebagai bagian
besar pemikiran tentang hukum yaitu Mazhab Hukum Alam yang meyakini
hukum berasal dari Tuhan, tugas manusia dalam hal ini negara hanya menjalankan
hukum Tuhan tersebut. Mazhab kedua yaitu mazhab positifisme hukum yang
meyakini bahwa hukum yang berlaku di tengah masyarakat harus dibentuk oleh
26
negara. Dan mazhab yang ketiga adalah mazhab hukum masyarakat yang
meyakini bahwa hukum tidak perlu dibentuk karena di tengah masyarakat sudah
ada memiliki sistem sosial dan sistem norma sendiri yang telah cukup buat
mengatur diri mereka sendiri, negara tidak perlu mencampuri dengan membentuk
hukum sendiri yang belum tentu bersesuaian dengan hukum yang dianggap benar
Jika dilihat dari pembedaan sistem hukum, mazhab hukum sosial banyak
dipraktikkan dalam sistem hukum common law atau Anglo Saxon. Sedangkan
mazhab hukum positif banyak diadopsi oleh negara-negara dengan sistem hukum
civil law (Eropa Kontinental). Mazhab hukum alam dipraktikkan pada negara-
masyarakatnya.
Islam yang pada abad 18 dikuasai Belanda yang bercorak sistem hukum Eropa
bahwa adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, penerapan hukum Islam
hukum pidana.
Jika dalam sistem hukum pidana Islam diterapkan sistem diyath dalam
hukum yang berbeda terkait kasus pembunuhan. Jika dalam hukum pidana Islam
berlaku hukum qisosh, dalam masyarakat adat di tiga kerajaan tersebut berlaku
sistem diyath yang berbeda yaitu dengan memberikan kompensasi berupa denda
kerbau. Sistem kompensasi tersebut agak mirip dengan masyarakat asli yang
belum terpengaruh oleh sistem hukum Islam umpamanya pada masyarakat suku
Anak Dalam (Kubu) di Jambi, dimana kompensasi yang diberikan oleh keluarga
pelaku kepada keluarga korban adalah berupa kain. Makin berat pelanggaran
hukum yang terjadi, maka makin banyak kain yang wajib diserahkan. Hal itu
hampir serupa dengan jumlah kerbau atau kambing yang wajib diserahkan oleh
dalam sistem norma masyarakat Indonesia berlaku tiga sistem hukum yang
berbeda bahkan adakalanya bertolak belakang yaitu sistem hukum Islam yang
bercorak hukum alam, sistem hukum adat yang bercorak hukum sosial dan hukum
Berlakunya tiga sistem hukum tersebut tidak menjadi masalah jika ada
pola pembagian terstruktur. Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini, ketiga
sistem hukum tersebut mengatur hal yang sama. Dalam hukum Islam terdapat
tiga tingkatan kaedah hukum yaitu qishosh, hudud dan ta‘zir. Struktur hukum
tersebut sejalan dengan struktur hukum menurut mazhab hukum alam dimana ada
28
lex divina, lex eterna. Dalam masyarakat Indonesia, struktur hukum tersebut tidak
demikian adanya.
Pada masa kolonial Belanda, hal tersebut sebenarnya juga sudah terjadi.
hukum Pemerintah seolah-olah tidak lagi menghendaki hukum adat dan hukum
hukum yang berlaku hanyalah Hukum Nasional yang berlandaskan pada nilai-
nilai internasional, nilai agama dan nilai adat. Hukum adat dan Hukum Islam
bukan lah hukum tetapi hanya lah sumber hukum. Jika demikian konsepnya,
seharusnya tidak terjadi pertentangan antara hukum nasional dengan hukum adat
antara hukum yang berlaku yaitu hukum positif dengan hukum yang hidup yaitu
hukum adat dan hukum Islam. Disharmonisasi hukum bahkan terjadi antara
Dasar, antara Undang-undang yang satu dengan Undang-undang yang lain, dan
saja faktor petugas, masyarakat dan sarana prasarana yang menjadi kendala, tetapi
Penegakan hukum jauh akan lebih mudah jika masyarakat mentaati hukum
meyakini bahwa hukum yang berlaku baginya itu baik baginya dan bagi orang di
membayar zakat, sudah lah tentu penegak hukum tidak mengalami kesulitan
serius manakala ada warga negara yang tidak membayar zakat. Penegak hukum
bukan saja menjalankan aturan yang ditetapkan oleh negara tetapi sekaligus
sebagai sesuatu yang tercela, sehingga akan terjadi pertentangan batin dalam
dirinya, penegakan hukum terhadap sesuatu yang bertolak dari keyakinan warga
bagaimanapun hati nuraninya tidak bisa dibohongi bahwa apa yang ia lakukan
adalah kesalahan. Akan beda hasilnya jika yang ia lakukan diyakini sebagai
sebagai kebaikan, tentu saja tanpa adanya penegak hukum sekalipun yang
Pluralisme hukum sesungguhnya bukan lah hal baru dalam sistem hukum
Indonesia merdeka. Di lapangan privat atau hukum perdata, sejauh ini telah
pidana juga telah terjadi pluralisme hukum walaupun bersifat terbatas. Di Aceh,
berlaku sistem hukum pidana sendiri di samping masih tetap berlakunya sistem
kakao, semangka dan sejenisnya di depan pengadilan dianggap tetap lah sebagai
suatu perbuatan yang dihukum. Hal ini benar secara normatif karena tidak ada
istilah perdamaian dalam hukum pidana. Lebih-lebih lagi dalam banyak kasus
kecelakaan lalu lintas, dimana para pengemudi tetap dihukum meskipun telah ada
contoh di atas, terbukti dan dapat dirasakan bahwa penegakan hukum bukannya
penegakan hukum pidana yang berkisar pada setidaknya dua hal yaitu banyaknya
tumpukan perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh sub sistem peradilan pidana
Indonesia dan telah menjadi hasil penelitian dan kajian banyak ahli dan peneliti
sering disebut sebagai local-wisdom. Para ahli juga sering menamakan local-
29
knowledge. Dalam buku berjudul The turning point of civilization, Fritjof
Dalam United Nations Office for Drug Control and Crime Prevention,
28
Angkasa, ―Over Capacity Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan, Faktor Penyebab,
Implikasi Negatif, Serta Solusi Dalam Upaya Optimalisasi Pembinaan Narapidana." Jurnal
Dinamika Hukum, Vol 10 No.3 tahun 2010, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto.
29
Marcus J. Pattinama, ―Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal‖, Jurnal
Makara, Sosial Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009: 1-12, hl.3-4.
30
Fritjof Capra sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo, ―Hukum Progresif,
Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun‖, Jurnal Hukum Progresif Vol 2 Nomor 1 April
2006, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.6.
31
Sahuri Lasmadi, "Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia." Jurnal
Ilmu Hukum Vol 4 No.5 tahun 2011, Fakultas Hukum Universitas Jambi, hlm.2
32
KUHP. Beberapa konsep restoratif justice telah diakomodir dalam RUU KUHP
antara lain :
Pada bab selanjutnya, akan diuraikan beberapa nilai hasil hukum adat
sebagai tindak pidana melalui penyajian data hasil penelitian empirik dan
normatif.
33
BAB III
PENGAKUAN ATAS HUKUM ADAT MELALUI PUTUSAN
PENGADILAN DALAM PERKARA PIDANA
Salah satu daerah dimana hukum adat mendapat pengakuan oleh sistem
peradilan pidana modern adalah di Bali. Meskipun Bali adalah daerah yang
menjadi objek tujuan wisata internasional, populasi penduduk Bali sendiri lebih
menafikan keberlakuan hukum pidana positif, hukum adat juga berlaku dengan
sebaik-baiknya di Bali. Salah satu sumber hukum Adat Bali adalah Lokika
32
Sangraha. Dalam disertasi yang ditulis Pontang Moerad, dapat diketahui
Adat terhadap kasus yang ditangani oleh pengadilan antara lain sebagai berikut :
32
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pidana, Alumni, Bandung, 2005,hlm.272
34
Sulawesi Selatan, terdapat salah satu putusan yang lebih kurang serupa yaitu :
Bahwa tidak terang terungkap dalam persidangan bahwa ada laki-laki lain
yang pernah tinggal di rumah Daeng Perani kecuali terdakwa seorang diri.
hal tersebut tidak mengurangi diakuinya hukum yang hidup dalam masyarakat
Serikat Putra Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya
pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda
hukum pidana adat memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap
adat mendapat tempat lewat UU Darurat No. 1 Drt 1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b
Undang-Undang ini menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya
dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat.
Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam
33
Ibid, hlm.281.
36
memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap
Sarikat, adalah putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam
putusan ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah
dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat,
dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa
Putusan lain yang dikutip Guru Besar Undip Semarang itu adalah putusan
MA No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis
hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan
yang melanggar hukum adat, yaitu „delik adat‟. Kepala dan para pemuka adat
memberikan reaksi reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi
adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah
dijatuhi „reaksi adat‟ oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi
negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat,
Darurat No. 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian itu, maka pelimpahan
34
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Hukum Pidana dalam Pembahruan Hukum Pidana
Nasional, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukm Pidana dan Krimonologi III, Kerjasama
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat dengan MAHUPIKI, tanggal 16 – 19 Mei 2016.
35
Ibid
37
―mengakui eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup
dalam masyarakat Indonesia‖. Pijakan hukum pengakuan pidana adat tak hanya
yurisprudensi. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang.37
Dalam sebuah perkara yang diputus Pengadilan Negeri Palu pada 2010,
adalah dalam KUHP, tetapi juga ‗makna menurut hukum adat‘. Pertimbangan
menyebutkan delik adat zina adalah perbuatan terlarang lepas dari apakah
perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas dari apakah salah satu
pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal 284 KUHP. Overspeladalah
perbuatan tercela yang beberapa kali disidangkan di pengadilan, dan hakim tak
semata merujuk pada rumusan Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar
juga pernah menghukum seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat
Hakim memutus demikian karena perbuatan itu tidak ada bandingannya dalam
36
Ibid, tulisan ini juga dishare dalam http://www.hukumonline.com, terakhir diakses
tanggal 24 September 2017 jam 11.45.
37
Ibid
38
KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP, maka hakim mencari ke
hukum adat. 38
Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
Perkawinan serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 yang telah
menghapus pemberlakuan hukum Adat Sangihe Talaud itu tidak memuat delik
khusus yang justru sangat prinsip dalam Aturan Adat masyarakat Sangihe Talaud
tahun 1917 dan Aturan adat 1932 yang menggantinya yakni isi Bab IV pasal 25
poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 yang menyangkut perkara-perkara
Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA). Padahal, pasal yang mengatur perkara
sumbang ini justru sudah dikuatkan oleh suatu deklarasi keputusan Dewan Adat
deklaratif oleh dewan adat tersebut pada hakikatnya sangat penting dan sudah
38
Ibid
39
Ibid
40
Mercy M. M. Setlight, ―Penerapan Hukum Pidana Adat Dalam Putusan Pengadilan Di
Wilayah Pengadilan Negeri Tahuna‖, dalam Jurnal Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015
39
berikut :
41
Ibid
40
Putusan Kasasi No. 739 K/PID/2013 dalam kasus Terdakwa I (Laki-Laki) dan
Tahuna karena didakwa mereka sejak tahun 2010 sampai tahun 2012 atau setidak-
tidaknya dalam tahun 2010 atau dalam tahun 2011 atau dalam tahun 2012 yang
hari dan tanggalnya sudah tidak diingat lagi bertempat di Kampung Bowongkali,
tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Tahuna yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini,
menyatakan Para Terdakwa telah berbuat zinah, menurut hukum yang berlaku
yakni Aturan Adat Sangihe tahun 1932 tentang perbuatan zinah. Perbuatan
mereka Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
89 ayat - (1) dan ayat (2) tahun 1932 tentang Aturan Adat untuk orang-orang
Umum pada Kejaksaan Negeri Tahuna tanggal 9 Agustus 2012 sebagai berikut
Umum dalam Dakwaan Pasal 89 ayat (1) dan ayat (2) Aturan Adat tahun 1932
Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan
Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.
oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan
menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada
Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan
seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui
tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa.
Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris
sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh
akan membuat hukum pidana bergeser dari sifatnya yang legalistik. Pengakuan
atas nilai-nilai hukum yang hidup sesungguhnya telah diterima dalam pandangan
penegak hukum walaupun jarang diterapkan. Dalam arti sempit memang hukum
sedangkan dalam arti luas dimaksudkan termasuk hukum yang tidak tertulis,
termasuk hukum tidak tertulis untuk membuktikan ada atau tidaknya sifat
melawan hukum secara materiel dari perbuatannya. Dengan pandangan ini, hakim
melawan hukum materiel oleh para ahli dibedakan lagi ke dalam dua bentuk yaitu
sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif dan sifat melawan hukum
materil dalam fungsi positif. Dalam arti negatif diartikan bahwa meskpiun
hukum secara formil), namun apabila dilihat dari isinya ternyata bukan perbuatan
yang tercela (tidak melawan hukum secara materiel), maka terhadapnya tidaklah
dikenakan suatu hukuman. Dengan demikian harus ada kaitan antara kesalahan
meskipun suatu perbuatan tidak memenuhi unsur delik, namun menurut penilaian
masyarakat perbuatan itu dianggap tercela, maka secara positif perbuatan itu
42
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia, 1985, hal. 132.
43
Ibid
44
sifat melawan hukum materil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun
masih banyak hakim dan penegak hukum lain yang mengabaikan adanya putusan
tersebut.
Jika dalam tindak pidana korupsi sifat melawan hukum materil sudah
perbuatan lain yang tidak ada padanannya dalam hukum pidana tertulis, namun
ketercelaan yang sangat tinggi di tengah masyarakat, sulit diterapkan. Para polisi,
jaksa, dan hakim kita telah terlanjur berpikir bahwa hukum adalah hukum tertulis.
Cara pandang yang positivistik dan legalistik adalah buah pendidikan hukum yang
nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Mereka tidak punya banyak waktu
untuk meneliti dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup yang masih diakui di
jalan keluarnya. Melalui Pasal 184 KUHAP ada alat bukti bernama keterangan
ahli.
yang hidup di tengah masyarakat Indonesia yang berbeda satu sama lain, beratus
suku dan etnik. Para penegak hukum tinggal menggali hukum yang hidup dari
hasil penelitian yang dihasilkan para ahli di perguruan tinggi. Para pengajar di
brsifat empirik yang menggali nilai-nilai hukum yang hidup di tengah masyarakat.
44
Muladi, Evaluasi terhadap Substansi dan Pelaksanaan UU No. 11/PNPS/1963,‖
makalah dalam Jurnal HAM, Bingkai Pembangunan dan Demokrasi, CIDES, Jakarta: 1997
46
BAB IV
Dengan beralihnya hukum pidana menjadi hukum publik, maka negara lah
yang mengambil alih urusan jika ada seseorang warga negara menjadi korban
bukan karena takut atas kekuatan orang yang akan jadi korban, tetapi ketakutan
akan sanksi hukum yang akan diberikan oleh negara. Jika seseorang menyakiti
seorang warga negara, maka yang akan berhadapan dengan pelaku bukanlah orang
yang jadi korban atau keluarga dan kerabatnya tetapi akan berhadapan dengan
negaranya dari segala bentuk kejahatan, tetapi semakin lemah suatu negara maka
orang perorangan;
tersebut
melakukan suatu tindak pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa
dalam hal ini bertindak mewakili kepentingan umum dan atas nama negara.
korban merasa tidak puas dengan tuntutan jaksa penuntut umum karena mereka
mereka. Terhadap masalah ini, sesungguhnya tidak ada tempat bagi kata ―tidak
tidak akan ada puasnya perasaan keluarga korban yang telah menderita akibat
bersifat publik, tidak ada salahnya jaksa penuntut umum memberikan pemahaman
pembunuhan memegang andil atas tuntutan penuntut umum dimana, jika keluarga
45
SR Siantutri, Op.Cit, hlm ,23
48
korban memaafkan, maka tuntutan dapat dibatalkan. Inilah hakikat keadilan yang
termuat dalam sistem hukum pidana Islam, karena tujuan pemidanaan dilakukan
untuk kemaslahatan.
Dalam sistem hukum adat pun, dikenal pola pemidanaan dan penuntutan
yang lebih kurang mirip dengan sistem hukum Islam, dimana peranan keluarga
korban sangat menentukan jadi atau tidaknya penuntutan dan pemidanaan atas
menyelesaikan perkara tindak pidana lalu lintas bertentangan dengan sifat hukum
dua ironis dengan sifat hukum pidana sebagai hukum publik. Pertama, metode
berfikir yang yuridis formal. Bagi penganut metode ini akan berkata, bahwa
hukum pidana adalah hukum publik. Konsekuensi dari sifat hukum pidana sebagai
hukum publik adalah bahwa pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana harus
diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik, maka tidak
diperkenankan untuk diselesaikan oleh kedua belah pihak saja yaitu pihak korban
dan pihak pelaku. Dengan demikian, para penganut metode berfikir yang yuridis
49
formal ini, akan menolak kebenaran lembaga perdamaian dalam hukum pidana
karena menurut aliran ini, seluruh kasus pidana harus diajukan ke sidang
Kedua, metode berfikir yang yuridis materil. Para penganut aliran ini
bagi penganut aliran ini adalah baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Al Qur‘an dan Hadist, menurut aliran ini merupakan sumber hukum yang valid
Bagi penganut aliran pertama, bahwa yang penting adalah dalam penegakan
penganut aliran kedua, yang akan dicapai melalui proses penegakan hukum adalah
keadilan. 46
Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengakui dan memberi nilai
tinggi terhadap penyelesaian hukum pidana adat, maka hakim pun bisa
Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP,
46
Website Rgs artikel hukum; http://www.rgs-artikelhukum.blogspot.com/2008/12/sifat-
hukum-acara-pidana.html. (terakhir kali dikunjungi tanggal 5 April 2009 jam 10:56 Wib)
50
terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini
terdapat pula dua kemungkinan, yaitu Pertama, penyelesaian hukum adat yang
pengadilan. Kedua, perkara diangggap selesai dan hukum negara tidak menyentuh
perkara tersebut.
perzinahan antara seorang pemuda bernama Tawi terhadap seorang ibu bernama
Siti. Kepala adat menyatakan bahwa Tawi melanggar norma adat kesusilaan
sehingga oleh Kepala adat Tolaki ditetapkan suatu reaksi adat berupa hukuman
membayar seekor kerbau dan 1 kain Kaci. Tawi telah menjalani hukuman sanksi
adat yang ditetapkan oleh kepala adat tersebut. Namun perkara tersebut diproses
lagi menurut sistem peradilan pidana. Hakim pertama pada pengadilan negeri di
Kendari yang mengadili perkara dakwaan jaksa penuntut umum tersebut dalam
Contoh lain adaah dalam Kasus Asman Husin Alias Asman sebagaimana
Husin Alias Asman, tertanggal 09 Agustus 2011 dan Putusan Nomor: 1998
― Asman Husin Alias Asman (Terdakwa) Dan Maryam Karim Alias Lisa
(Korban) Telah Berpacaran Sejak Tahun 2007 Sampai Dengan Tahun
2010 (± 3 Tahun) Dan Diketahui Oleh Kedua Orang Tua Baik Orang Tua
Terdakwa Maupun Orang Tua Korban Yang Dalam Hal Ini Hanya Tinggal
Ibunya Saja. Pada Tahun 2010, Asman Husin Alias Asman (Terdakwa),
Orang Tua Asman Dan Maryam Karim Alias Lisa (korban), datang ke
kantor desa untuk berkonsultasi kepada Kepala Desa dan aparat desa
52
tentang lamaran orang tua ASMAN yang ditolak oleh ibu dari LISA
sementara LISA ingin sekali menikah. Kemudian Kepala Desa memanggil
orang tua/ibu dari LISA (korban) dan melakukan musyawarah atas niat
baik dari ASMAN (Terdakwa) dan orang tua Limboto utusan Nomor:
67/Pid/2011/PT.GTLO atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman,
tertanggal 09 Agustus 2011 dan Putusan Nomor: 1998 K/PID.SUS/2011
atas nama Terdakwa Asman Husin Alias Asman, tertanggal 15 November
2011), Tesis Universitas Indonesia, 2013. Terdakwa tersebut.Pada saat itu
hadir juga tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat, namun hasilnya
orang tua/ibu dari LISA (korban) malah marah-marah dan menghina
ASMAN (Terdakwa) didepan Kepala Desa dan masyarakat yang hadir
pada saat itu. Kemudian orang tua/ibu dari LISA (korban) pulang
meninggalkan kantor desa. LISA (korban) pada saat itu yang lebih aktif
meminta jalan keluar kepada Kepala Desa beserta tokoh-tokoh yang hadir
pada saat itu dan kemudian Kepala Desa memberikan jalan keluar agar
LISA (korban) meminta ijin kepada Pengadilan Agama untuk
mendapatkan ijin menikah dengan Wali Hakim. Setelah pertemuan di
Kantor Desa tersebut, LISA (korban) pergi meminta ijin ke Pengadilan
Agama namun permohonannya ditolak, akhirnya korbanpun mengajak
kawin lari dan melakukan hubungan suami isteri dengan harapan apabila
korban hamil maka akan mendapatkan persetujuan dari orang tua korban.
Setelah korban hamil, merekapun pergi ke rumah orang tua korban untuk
menyampaikan hal tersebut namun orang tua korban tetap marah-marah
dan menghina Terdakwa. Kemudian atas usul dari korban, akhirnya
Terdakwa dan korbanpun berangkat ke Manado ke tempat adik kandung
almarhum ayah korban. Di Manado, Terdakwa dan korban menceritakan
peristiwa yang mereka alami kepada adik kandung almarhum ayah korban,
akhirnya adik kandung almarhum ayah korban menikahkan mereka secara
sah di KUA pada tanggal 6 Juni 2010, saat itu usia suami 21 tahun dan
korban 17 tahun. Sekembali dari Manado, Terdakwa ditangkap polisi
karena orang tua korban telah melaporkan perbuatan terdakwa membawa
lari dan menghamili korban kepada kepolisian.Atas kejadian tersebut,
korban melaporkannya kepada Kepala Desa dan aparat desa lainnya untuk
meminta jalan keluar yang baik. Selanjutnya kepala Desa memanggil
kembali orang tua/ibu korban namun hasilnya orang tua/ibu korban tetap
menolak Terdakwa menikahi anaknya sehingga masalah tersebut menjadi
pembicaraan masyarakat di desa karena sikap orang tua korban, walaupun
anaknya sedang dalam keadaan hamil besar dan sudah dinikahkan secara
sah oleh adik kandung almarhum suaminya. Memang pada akhirnya orang
tua korban tidak keberatan atas pernikahan terdakwa dan anaknya itu,
namun terdakwa sudah menjalani hukuman yang telah dijatuhkan
kepadanya. Aparat desa dan warga desa sangat prihatin dengan
permasalahan yang menimpa terdakwa dan korban. Terhadap perkara
terdakwa sendiri selanjutnya diproses hukum dan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Limboto menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan, dengan pertimbangan bahwa benar terdakwa
53
peradilan, yaitu dengan cara perdamaian antara kedua belah pihak, sama halnya
seperti kasus perdata. Lembaga perdamaian ini secara yuridis formal tidak diakui
dianggap liar atau illegal karena tidak mempunyai landasan hukum pidana positif.
54
memperkenalkan teori hukum progresif. Salah satu pendekatan non hukum atau
non penal dapat juga dilakukan dengan pendekatan non formal. Satjipto
Indonesia alternatif. Kini, dalam suasana krisis, tampilan dan kinerja Indonesia
alternatif di luar negara itu terasa kian meluas karena kedodoran dalam mengelola
kehidupan bangsa. Tesis weak state, strong sociey jadi kenyataan. Saat suatu
negara lemah, masih ada kekuatan sosial, ekonomi, dan hukum di masyarakat
negara. Di tengah citra buruk pengadilan, muncul dan digelar pengadilan versi
rakyat di Desa Keboromo, Jawa Tengah. Saat rakyat desa itu mengetahui
sejumlah pamong desa korupsi dengan menilep hasil penjualan tanah desa untuk
pelebaran jalan, rakyat membawa mereka ke meja hijau kreasi rakyat. Sidang
berlangsung tanpa hukum acara, tanpa hukum pidana, tanpa jaksa penuntut
hukum, tanpa hakim negara, di luar gedung pengadilan, tetapi berhasil baik. Yang
47
Satjipto Rahardjo, Indonesia di Luar Negara, Kompas, 24 Maret 2008
55
hukum negara.
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
Nilai ini menempatkan bahwa yang menjadi titik sentral dari hukum bukanlah
hukum itu sendiri, melainkan manusia. Bila manusia berpegang pada keyakinan
bahwa manusia ada untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,
mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah
adalah untuk manusia senada dengan pandangan antroposentris yang humanis dan
membebaskan.
dan hukum adalah tolok ukur untuk semuanya. Pandangan status quo itu sejalan
menyatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak bisa berbuat banyak, kecuali
hukumnya dirubah terlebih dahulu. Status quo yang dipertahankan lewat asas
48
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan
Manusia dan Hukum,Penerbit Buku KOMPAS, Cetakan I, Jakarta, 2007, hal 147.
56
kepastian hukum tidak hanya membekukan hukum, tetapi juga berpotensi besar
membekukan masyarakat.
berhukum juga terkait dengan profesi pengemban hukum seperti hakim, jaksa,
polisi, pengacara dan profesi hukum lainnya. Peranan para pengemban hukum
penyelesaian yang sudah disediakan, seperti the criminal justice system dan lain-
lain.
keadaan yang tidak selalu normal, hukum sudah menyediakan pintu-pintu untuk
keluar dari keadaan hukum yang seharusnya dilakukan atas dasar pertimbangan
istimewa untuk tidak menerapkan keadaan. Ini banyak terjadi dalam pengaturan
lalu lintas. Contoh lain adalah hal untuk menyampingkan proses hukum yang
sedang berjalan (deponeering). Hak itu hanya diberikan kepada Jaksa Agung
besar.51
Peradilan adat dalam kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia, lazim dikenal
“rapat adat”, serta ungkapan beragam sesuai kekhasan bahasa lokal setempat.
dikenal dengan peusijuek; di Bali, melalui desa adat pakraman diterapkan adanya
51
Ibid
58
negeri Melayu secara restoratif juga berlaku di sejumlah daerah lain walaupun
52
dengan nama yang berbeda. Di Maluku namanya ―Hukum Sasi Laut‖. Sasi
adalah salah satu bentuk tradisi adat yang hidup di dalam masyarakat Kabupaten
53
Maluku tengah. Di masyarakat Banjar namanya ―badamai‖, masyarakat Aceh
tersebut diakui oleh sistem hukum nasional seperti di Papua dan Aceh. Dalam UU
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Penjelasan
pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati”.
52
Reny H Nendissa, ― Eksistensi Lembaga Adat dalam Pelaksanaan Hukum Sasi Laut di
Maluku Tengah‖, Jurnal Sasi Volume 16 No. 4 Oktober Desember 2010, Fakultas Hukum
Universitas Pattimura, Ambon, hlm.1.
53
Reimon Supusesa, "Eksistensi Hukum Delik Adat dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana Di Maluku Tengah." Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24 No. 1 (2012), Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 41-54.
54
Trisno Raharjo, ―Mediasi Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‖, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, Fakultas Hukum UII Yogyakarta.
59
Gampong atau Peradilan Damai. Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat
adat dan adat istiadat diselesaikan secara bertahap,” kemudian disebutkan pula,
semua pihak, dan tidak terkungkung pada mekanisme hukum yang kaku dan
pidana- pidana tertentu bisa diselesaikan dengan semacam mediasi antara korban
dengan pelaku atau dengan masyarakatnya sendiri. Menurut Bagir Manan, arti
keadilan restoratif itu pertama, bagaimana menghindarkan pelaku itu dari masuk
penjara, karena ternyata penjara itu bukan tempat yang sangat berhasil
jawab atas perbuatannya. Dalam restorative jusctice itu, posisinya akan diubah
bahwa perkara itu tidak semata- mata kepentingan ketertiban, tetapi kepentingan
bagi si korban, bagaimana pemulihan korban, yang bukan hanya dari segi materiil,
60
tapi psikisnya juga. Istilah lain yang sering dipakai untuk adalah restorative
mediation penale (Perancis). Semua istilah ini pada dasarnya merupakan salah
korban dan masyarakat luas pada posisi yang sama dalam satu bangunan sosial.
mengabaikan apa yang telah terjadi (to forgive in not to ignore). Dalam hal ini,
Circle sentencing adalah sanksi dan pemulihan akibat kejahatan pada masyarakat
Indian. Pola ini diadopsi oleh para hakim dan komunitas hukum di wilayah Yukon
55
Ali Abubakar, ―Urgensi Penyelesaian Kasus Pidana Dengan Hukum Adat, ― Jurnal
Madania Vol. Xviii, No. 1, Juni 2014
61
dan komunitas lainnya di bagian utama Kanada pada tahun 1991. Setel ah itu,
Amerika Serikat pada 1996 dengan pilot project di Minnesota. Circle sentencing
yang beranggotakan polisi, ahli hukum (lawyers), hakim, korban, pelaku, dan
yakni Undang-undang Nan Duopuluah. UU Nan Duopuluah ini terbagi atas dua
1. dago-dagi;
2. sumbang-salah;
3. samun-sakal;
4. maling-curi;
5. tikam-bunuh;
6. kicuh-kecong dan tipu-tepok;
7. upas-racun; dan
8. siar-bakar.57
Dari kedelapan bentuk delik adat dalam UU Nan Salapan itu, yang
―sumbang salah‖ dan ―dago dagi‖. Sementara perilaku yang lain adalah perilaku-
perilaku yang sudah ada bandingannya dalam KUHP, sehingga perbuatan tersebut
56
Ibid
57
Elwi Daniel, ―Konstitusionaltitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara
Pidana:, dalam Jurnal Konstitusi Volume 9 No. 3 September 2012.
62
diadili atas dasar ketentuan KUHP. Banyak kasus yang diadili oleh Kerapatan
bahwa hukum pidana adat itu masih eksis. Pada tahun 1998, KAN Talago Gunung
perempuan yang bukan muhrimnya. Kemudian pada 22 Maret 2004, KAN Air
Di Pasaman ada seorang janda yang diberi sanksi dibuang sepanjang adat,
karena terbukti ada laki-laki setiap pagi turun dari rumah janda tersebut. Setelah
akhirnya lembaga adat melaksanakan rapat dan memberi sanksi adat kepada janda
tersebut.
dalam peraturan daerah, mulai dari Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983
sampai terakhir pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-
dari ninik mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang
perselisihan sako dan pusako. Dengan rumusan seperti itu dapat diartikan, bahwa
63
sengketa adat.58
Sumatera Selatan dan Jambi, tepung tawar digunakan juga untuk menyelesaikan
masyarakat Sumatera Selatan dengan istilah Tepung Tawar. Tepung tawar adalah
Dengan niat ber angkan-angkanan (menjadi keluarga) kedua belah pihak saling
dalam berbagai persoalan, dari yang sifatnya kecil hingga yang besar.60
Selatan dalam hal seseorang berbuat salah terhadap orang lain, seperti membunuh,
58
Ibid
59
Erdianto, ―Procession Of "Tepung Tawar" As An Alternative Solution For Criminal
Case In Malay Custom Law Of Riau,‖ Jurnal Dinamika Hukum Vol. 15 No. 1, January 2015
60
Pendapat H. Albar Sentosa Subari SH. SU, anggota Dewan Pakar Sekretariat Nasional
untuk Perlindungan Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, dalam M Budiono, Tepung Tawar,
makalah dalam website resmi MPR RI, terakhir kali dikunjungi tangggal 15 Nopember 2012 jam
11.00 WIB.
64
Perdamaian ini diketahui dan disaksikan oleh pejabat setempat (Ketua RT dan
Lurah), dalam upacara ini kadang-kadang si pelaku diangkat menjadi anak oleh
Dalam masyarakat Melayu Kota Jambi prosesi tepung tawar juga masih
kasus tertentu dan sudah semakin jarang diterapkan apalagi di perkotaan. Salah
satu kasus yang baru-baru ini dipraktikkan adalah Keputusan sidang Lembaga
berupa dua ekor kambing. Selain itu, kedua belah pihak yang bersengketa
dinyatakan sebagai saudara dunia dan akhirat.62 Adapun prosesinya adalah setelah
61
Anonim, 1984, Masalah-masalah Hukum Perdata Adat Di Kecamatan Ilir Timur II
Kota Madya Palembang Daerah Hukum Pengadilan Negeri Palembang Wilayah Hukum
Pengadilan Tinggi Palembang, Jakarta : Departemen Kehakiman
62
http://jambi.tribunnews.com/2012/01/26/, terakhir diakses 15 Nopember 2012, jam.
13.00
65
Sumatera Selatan dan Jambi, terlihat bahwa hampir tidak ada perbedaan dalam
prosesi tepuk tepung tawar di kedua provinsi dimana dilibatkan para pihak yang
pandangan kedua belah pihak dan pada akhirnya menjatuhkan sanksi adat serta
prosesi tepung tawar untuk saling mengangkat saudara adalah sudah sejalan
Achjani Zulfa misalnya, dikutip sebuah fakta yang terjadi di Jambi dimana dua
orang Suku Anak Dalam yaitu Celitai dan Mata Gunung, terpaksa berurusan
63
Eva Achjani Zulfa, ―Keadilan Restoratif dan Revitalisasi Lembaga Adat di Indonesia,
Jurnal Kriminologi Indonesia‖, Vol.6 No. II Agustus 2010, Jurusan Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta, hlm.182.
66
Provinsi Jambi yang diakui sebagai turunan hukum Adat Minangkabau yang
demikian mungkin juga berlaku di daerah lain yang mengakui dan menerapkan
yang paling dicela dalam adat setelah perbuatan makar terhadap negara. Dalam
2) Sumbang Sareh :
ibu/bibi kandung/adiknya;
istri orang.64
memiliki unsur paksaan atau tidak atau dengan atau tanpa pengaduan. Begitu
masyarakat mengetahui adanya kejadian semacam itu, maka sanksi pidana adat
dapat ditegakkan.
ketentuan khusus pula tentang tata pergaulan antara bujang dan gadis maupun
- Tebus talak, yaitu sanksi hukum yang dijatuhkan kepada seorang laik-
laki yang berbuat serong denga istri orang lain baik sama-sama setuju
kedua belah pihak, dan laki-laki dan perempuan itu dikawinkan. Jika
- Gawal, yaitu sanksi berupa kawin secara adat oleh pemuka adat dan
bukan dari keluarga perempuan melainkan orang lain yang tidak ada
64
Rajo Bujang, et.all. Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003, hal. 80.
68
Perihal Hukum Gawal, tadi merupakan salah satu bentuk hukum adat yang
pranata hukum adat gawal mampu menjadi kontrol sosial yang efektif untuk
mencegah terjadinya pergaulan bebas apalagi sampai terjadi hamil di luar nikah.
diikuti oleh ritual budaya yang bersifat religius, antara lain; berakikah, khatam
Alquran, khitan, akad nikah, naik haji maupun pulang haji serta perayaan hari-hari
besar Islam lainnya. Dalam kegiatan tersebut masyarakat Melayu Riau selalu
Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa raja-
65
Ibid, hal.85-86.
66
Rachmawati, Loc.Cit.
67
Yusmar Yusuf, ―Kearifan dan Kepiawaian Lokal : Sumbu Hukum Komunal (Kosmologi
Melayu, Masyarakat Adat dan Persepsi Kekinian)‖, Jurnal Respublica, Vol. 8 No. 1 Nov.2008,
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru, hlm.120.
69
semangat bagi orang yang baru luput dari mara bahaya, dan sebagainya.
dilaksanakan tidak saja di Provinsi Riau atau Kepulauan Riau tetapi di negeri-
lingkungan hukum adat Melayu meliputi Riau, Jambi Sumatera Timur. 70 Selain
itu Masyarakat Melayu dapat dibedakan ke dalam Melayu pra tradisional, Melayu
atau lebih bersifat adat istiadat dalam hubungan keperdataan dan tidak digunakan
dalam penyelesaian perkara pidana. Ini artinya berbeda dengan praktek tepung
68
Said Sirajuddin, ―Upacara Tepuk Tepung Tawar‖, tersedia dalam http://wa-
iki.blogspot.com/2010/10/upacara-tepuk-tepung-tawar.html, terakhir diakses tanggal 6 Nopmeber
2013
69
Said Sirajudin, Ibid
70
Toto Tohir, ―Rekonstruksi Budaya Hukum Nasional yang Berbasais Nilai-nilai Budaya
Hukum Bangsa Indonesia‖, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Hukum, Vol. XIII No. 2 Juli 2011, Fakultas
Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, hlm.3.
71
Musri Nauli, ―Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari‖, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.4 No. 2 Februari-Juli 2014, Fakultas Hukum Universitas Riau, Pekanbaru, hlm.106.
72
Wawancara dengan Suwardy, tokoh masyarakat dan pemerhati masalah adat dan
budaya Melayu tanggal 12 Juni 2014
70
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa
praktek atau penerapan prosesi tepung tawar yang terjadi di dalam masyarakat
Melayu di Jambi dan Sumatera Selatan, jauh lebih luas kegunaannya daripada apa
Mekipun secara normatif dalam hukum adat Melayu Riau tidak dikenal
melibatkan pemuka adat atau aparat pemerintah setempat, tetapi hanya dilakukan
kesusilaan dilakukan oleh ninik mamak atau tetua adat setempat, namun tidak
73
dalam prosesi tepuk tepung tawar. Di Kota Pekanbaru, salah seorang informan
74
yang penulis wawancarai yaitu sdr Alwi diketahui bahwa di beberapa tempat
Damai dan kawasan sekitar kampus Universitas Riau di Simpang Baru, Tampan.
warga seperti posyandu, fasilitas olahraga dan lain sebagainya. Besarnya bisa
hingga mencapai 5 juta rupiah. Pemberian sanksi tersebut dilakukan atas dasar
73
Wawancara dengan Amrinto, pemuda Pelalawan, tanggal 27 Februari 2015.
74
Wawancara dengan Alwi, wartawan media on line di Pekanbaru, tanggal 10 Februari
2015
71
demikian, penerapan sanksi pidana adat bagi warga hanya dapat dilakukan atas
beberapa daerah di Riau pada masa lalu juga dilakukan dengan model yang
restoratif melalui kerapatan ninik mamak, namun seiring waktu, proses dan model
seorang pemuda dan pemudi yang melampaui batas agama dan adat dalam
pergaulan disebut salah ‖bujang gadis‖. Sanksi terhadap perbuatan salah bujang
gadis sangat berat yaitu pertama jika masih ada baiknya cukup dihukum
tatahan (menanggung aib yang amat berat), dan kedua, pasangan itu dimasukkan
ke dalam lukah dan dibuang ke sungai. Hukuman kedua ini disebut doso nan
mambao mati.76
prosesi tepuk tepung tawar dalam masyarakat Melayu Riau jauh lebih sempit dan
75
Wawancara dengan Ujang Azmi, mantan Ketua RW 03 Kelurahan Simpang Baru,
Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru, tanggal 1 Maret 2015.
76
UU Hamidy, Masyarakat Adat Kuantan Singingi, UIR Press, Pekanbaru, 2000,
hal.124.
72
juga terjadi di Riau, namun dengan nama yang berbeda, yaitu kerapatan adat ninik
mamak untuk wilayah Riau bagian barat atau kerapatan Penghulu untuk Riau
bagian pesisir. Dewasa ini, seiring perkembangan waktu dan modernisasi yang
kehidupan yang khas, syarat dengan nilai-nilai, norma-norma dan adat istiadat
merupakan satu rangkaian dengan prosesi tepung tawar atau tidak, kenyataan
sejalan dengan hukum yang diyakini sebagai hukum yang baik di tengah
yang mayoritas Islam lebih khusus lagi dalam masyarakat Melayu dimana Islam
77
Wandi, ― Eksistensi Pengakuan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum
Pemerintahan Daerah di Indonesia,‖ Jurnal Mahkamah Vol 5 No. 1 2013, Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau, Pekanbaru, hlm.48
78
Umar al Tamimi, ―Lembaga Pemaafan sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana
Perspektif Hukum Islam‖, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, IAIN
Alaudin, Makassar, hlm.449.
73
sebagaimana dikutip Umar al Tamimi dari beberapa faktor utama yang menjadi
daya kritis masyarakat, dan sebagai langkah antisipasi membendung derasnya arus
pemukiman mereka sekarang ini. Mereka menjadi kawula Kerajaan Kampar yang
Pelalawan mereka mendapat pengakuan hak atas wilayah hutan mereka (Hutan
Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh kepala adat yang
dikenal dengan sebutan batin. Hak perlindungan hukum atas hukum adat dan
tanah adat pada masyarakat Petalangan telah mendapat legitimasi . Hak ini
terbukti dengan diterbitkan Surat Keterangan Hutan Tanah ( Grand Sultan) bagi
Masyarakat Petalangan adalah salah satu puak "suku asli" di' Riau yang
buluh "Talang" dan lazim pula mengambil air dengan mempergunakan buluh
"Orang Petalangan". Secara historis disebutkan bahwa masyarakat ini datang dari
79
Ibid
80
Lembaga Penelitian Universitas Islam Riau, Masyarakat Hukum Adat Petalangan Dan
Hak-Hak Tanah Adat Tradisionalnya Di Propinsi Riau , Lembaga Peneliti Universitas Islam Riau
bekerjasama dengan DPD RI, 2009
74
mereka (Hutan Tanah Perbatinan Kurang Satu Tiga Puluh), yang dipimpin oleh
kepala adat yang dikenal dengan sebutan batin. Pada Masyarakat ini memiliki 29
Pebatinan.
Dalam wawancara dengan Arifin SIP, Batin Bunut, dijelaskan tata cara
dan prosedur penyelesaian perkara pidana yang tidak terlalu besar melalui
kerapatan adat Batin. Prosesi tersebut yaitu dengan memanggil kedua belah pihak.
dialami. Misalnya kalau luka, maka cukup diganti dengan denda kambing, kalau
75
mati didenda dengan kerbau. Jika kerigian berupa harta benda cukup diganti
oleh pihak Kejari Rohul yang berbuntut panjang sehingga mahasiswa melaporkan
petugas Kejari Rohull kep Polda Riau. Penyelesaian laporan ini dilakukansecara
adat yang ditandai dengan upah-upah nasi kunyit panggang ayam yang
dilaksanakan di kantor lembaga adat Melayu Riau Rokan Hulu Rabu pagi tanggal
23 Agustus 2017. Dalam upaya perdamaian yang dilakukan oleh kedua pihak
yang ditengahi oleh LAM Riau Rokan Hulu melalui ORMAS hulubalang berjalan
lancar dan aman. Terlihat hadir dalam upaya perdamaian keduanya, ketua LAM
Riau Rohul, H. Zulyadaini, Ketua LKA Lima Luhak, Ninik mamak, unsur
oleh Natangsa Surbakti dalam disertasinya, dikenal lembaga adat bernama Purpur
Sage. Purpur sage dilaksanakan apabila ada perselisihan dalam masyarakat Karo.
Adapun tata caranya adalah yaitu dimulai dengan adanya pernyataan keprihatinan
dari anak beru kepada kalimbubu yang sedang dalam masalah perselisihan
tertentu. Pernyataan ini disertai dengan permintaan kedua pihak kalimbubu yang
sedang berselisih untuk bersedia berkumpul bersama pada hari dan tanggal
81
Wawancara dengan Arifin, SIP, Batin Bunut, tanggal 9 Nopember 2016
82
www.utusanriau.co
83
Natangsa Surbakti, Peradilan Restoratif Dalam Bingkai Empiri, Teori dan Kebijakan,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2002, hlm.58-59.
76
Pada hari dan tanggal yang telah disepakati pihak pihak kalimbubu yang
sedang bersengketa hadir dengan difasilitasi oleh pihak anak Beru yang dituakan.
Biasanya sebelum sampai pada puncak acara perdamaian, ya anak baru yang
hakikat kehidupan yang utama dalam kehidupan manusia Batak Karo serta
keharmonisan keluarga besar itu. Uraian ini pada umumnya disampaikan dengan
penuh perasaan sehingga disertai linangan air mata. Pada momentum demikian
para pihak yang pernah berselisih biasanya sampai pada puncak kesadaran atas
juga ikut menangis dan menyesal terjadinya perselisihan serta kesediaan untuk
berdamai saling memaafkan dan berjanji untuk perbaikan kembali seperti sedia
kala.
kesediaan dari pihak kedua belah pihak untuk berdamai Dan saling memaafkan
serta berjanji untuk berbaikan kembali. Hal ini menandakan sampailah pada
puncak upacara yang ditandai dengan rangkaian ritual purper Usage dilanjutkan
perkara perselisihan dalam lingkungan sebuah keluarga besar Batak Karo. Tiga
pihak kalimbubu yang berselisih sehingga dapat berbaikan kembali seperti sedia
sistem hukum nasional baik pada tahap proses penyidikan maupun di pengadilan.
Jadi dapatlah dilihat perbedaan yang spesifik antara apa yang menjadi topik buku
ini dengan disertasi yang ditulis Natangsa. Natangsa lebih menekankan proses
Berbagai tulisan tentang mediasi penal seperti tulisan Faisal pada Jurnal
Pranata Huukum Volume 6 No. 1 Januari 2011 yang berjudul Mediasi Penal
Sahuri Lasmadi berjudul Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana yang
mengedepankan arti penting mediasi penal, yang hampir senada dengan apa yang
BAB VI
GAGASAN PLURALISME HUKUM PIDANA DALAM PRAKTIK
MEDIASI PENAL
Menjawab tiga model penyelesaian perkara pidana yang telah diulas dalam
masyarakat dalam sistem hukum modern, (ii) penerapan mediasi penal yang
kemudian dilegalisasi oleh sistem peradilan negara dan (iii) menerapkan mediasi
sekali, jika dihadapkan pada fakta empiris kekinian, para penegak hukum akan
maka akan sulit untuk menerapkan gagasan ktiga yaitu menghidupkan kembali
meskipun itu sesungguhnya keluar dari konsep harmonisasi yang menjadi ciri
perlahan telah berubah sedemikian jauh. Hal ini tampak pula dari sulitnya
penemuan bagaimana praktik mediasi penal yang masih ada di tengah masyarakat.
mediasi penal yang sejalan dengan prinsip restoratife justice pada masa lalu.
Kalaupun masih ada yang diterapkan di saat sekarang, jumlahnya pun sangat
sedikit.
79
Tinggal lah yang kini paling memungkinkan adalah dengan menerapkan model
pertama yaitu dengan pengakuan atas nilai yang hidup oleh lembaga peradilan.
Pasal 2 RUU KUHP Tahun 2012 yang saat ini diusulkan di DPR RI,
menentukan bahwa :
sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai
tindak pidana atau bukan. Konsep KUHP tetap bertolak dari asas legalitas formal
sekaligus konsep juga bertolak hukum yang hidup/hukum yang tidak tertulis
Dalam hal ini Deni Setyo Bagus Yuherawan mengkritik gagasan ini
pengertian asas legalitas itu sendiri yang menunjuka aspek formal dalam hukum .
Konsep asas legalitas berkaitan dengan hukum tertulis. Meskipun demikian, Deni
memuji kosnep asas dalam RUU KUHP telah memuat gagasan besar yang
84
Barda Nawawi Arief dalam Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekonstruksi Asas
Legalitas Hukum Pidana, Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum
Pidana, Setara Press, Malang, 2014, hlm. 259.
80
bahkan melemahkan asas legalitas dan memunculkan asas baru yaitu asas legalitas
materil. 85
Kesulitan itu meliputi dua hal yaitu Pertama, kesulitan menemukan bagaimana
hukum yang dianggap masih hidup mengingat struktur sosial masyarakat saat ini
tidak lagi homogen. Kedua, jika model ini yang diterapkan, maka penerapannya
Beban kerja sistem peradilan pidana akan semakin berat karena hukum yang
menjadi sumber penerapan hukum akan sangat luas dan lentur sehingga
Kelemahan lain dari sistem ini adalah kesulitan bagi hakim dan penegak
hukum lainnya untuk menemukan bagaimana hukum yang hidup itu. Para hakim,
jaksa dan polisi adalah para penegak hukum yang tempat tugasnya berpindah dari
satu tempat ke tempat yang lain dimana antara satu tempat yang satu dengan
tempat yang lain memiliki perbedaan dalam menilai suatu perbuatan tercela dalam
seorang gadis berpakaian sedikit terbuka. Jika itu dilakukan dalam masyarakat
Jambi berjalan berduaan antara seorang gadis dan perempuan adalah tercela.
85
Ibid, hlm. 261.
81
Mandi di sungai se ―jamban‖86 dengan orang yang secara kekerabatan lebih tua
didengarkkan keteranganya sebagai ahli tentang adat. Jika konsep pidana menurut
pidana penjara atau pidana denda yang selama ini dikenal dalam hukum pidana
modern, masalah besar yang berkaitan dengan over kapasitas dapat diatasi.
yang hidup tetap diselesaikan oleh sistem peradilan pidana modern, bentuk
penerapan sanksinya tidak lagi pidana penjara. Sayangnya Rancangan KUHP juga
relatif tidak variatif menyediakan bentuk pidana alternatif tersebut. Hanya pidana
kerja sosial dan pemenuhan kewajiban adat yang baru diperkenalkan dalam
pidana tambahan. Idealnya, Rancangan KUHP tidak saja mengakui nilai yang
hidup yang tidak ada padanannya dalam KUHP tetapi juga mengakui sistem
pidana dalam masyarakat adat baik yang masih berlaku maupun mengacu kepada
hukum adat di masa lalu. Misalnya, jika di masa lalu pernah diterapkan kewajiban
86
Dalam masyarakat Melayu Jambi, jamban adalah tempat mandi sekaligus buang air
yang dibuat dari kayu yang dialasi papan yang mengapung di atas sungai.
82
potong kerbau bagi pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, maka putusan
Dalam sistem hukum pidana Indonesia dewasa ini, masih terdapat model
lain lagi yaitu model keempat dalam penerapan diversi pada sistem peradilan anak
dimana terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari 7 tahun wajib
Model keempat ini mungkin dapat juga dilakukan terhadap semua tindak
pidana mulai dari penyidik hingga hakim berusaha mendamaikan para pihak yang
tidak lagi tabu dalam hukum pidana. Sedapat mungkin aparat penegak hukum
dalam semua tindak pidana khususnya tindak pidana terhadap harta benda.
untuk memanggil para pihak yang terlibat dalam satu kasus tindak pidana. Jika
dalam tahap pemanggilan, pihak pelaku telah bersedia mematuhi hukum dengan
jalan memulihkan kerugian yang dialami pihak korban, maka perkara dianggap
selesai dan tidak perlu dilanjutkan ke proses berikutnya. Adapun yang me jadi
sesuai dengan Perkap tersebut, karena dalam Perkap yang dimaksud Pengaduan
Instansi Pemerintah atau pihak lain secara lisan atau tertulis mengandung
yang memerlukan penanganan dan penyelesaian lebih lanjut. Terlepas dari adanya
tengah masyarakat yang merasa terganggu oleh adanya suatu perbuatan tercela
Oleh karena itu, perlu pula diusulkan model kelima dengan cara
negara. Terhadap tindak pidana yang diatur dalam KUHP, maka penyelesaiannya
adalah tetap melalui sistem peradilan pidana dengan catatan mulai dari penyidik
Peranan korban dan atau keluarganya tetap dipertimbangkan .Di sisi lain, terhadap
melalui sistem peradilan yang mereka bentuk sendiri atas dasar legitimasi dari
negara. Dalam hal suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan tercela dalam
84
kedua sistem baik sistem sosial maupun sistem hukum modern, maka para pihak
peradilan negara. Jika tidak ada kata sepakat, maka pengadilan negara lah yang
masyarakat, maka perkara dianggap sudah selesai dan peradilan negara tidak lagi
Dengan demikian, terjadi lah pula pergeseran arti hukum pidana. Hukum
pidana tidak lagi diartikan sekedar hukum yang mengatur perbuatan apa saja yang
undang, tetapi juga meliputi perbuatan apa saja yang dapat dipidana menurut
hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis menurut masyarakat
setempat. Ink lah yang disebut sebagai Asas legalitas material yang
Tinggal lah lagi persoalan terakhir yang harus dipecahkan yaitu tentang
nilai ketercelaan yang mana kah yang menjadi yurisdiksi peradilan adat tersebut
ketercelaan yang manakah yang patut dipidana. Dalam semua KUHP modern
dalam pasal-pasal pertamanya. Sedangkan dalam hukum adat atau hukum yang
hubungan pribadi dengan pribadi, hukum adat masyarakat Indonesia telah jauh
serius. Di sini lah makin terlihat bahwa hukum adat meletakkan perasaan keadilan
komunal bukan rasa keadilan individual. Bagi masyarakat adat, masyarakat lebih
hukum Barat yang di satu sisi menghargai hak-hak individu tetapi di saat
dipaksa mengalah untuk kepentingan orang banyak sebagai apa yang lazim
disebut sebagai harmoni. Dengan konsep keadilan seperti itu, maka dalam hukum
adat, dalam hal ini dalam masyarakat Jambi, Sumatera Barat dan Riau, empat
sendiri.
Oleh karena itu, harus lah diperjelas, kepentingan apa yang sebenarnya
kepentingan tersebut tidak akan ada habisnya, salah satu buktinya adalah proses
tindak pidana tidak mesti menjadi tindak pidana yang diatur dalam Undang-
undang. Hukum harus mengakui bahwa tindak pidana secara bertingkat mulai dari
tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang, tindak pidana menurut adat
istiadat dan tindak pidana menurut agama. Cara pandang hukum yang selama ini
menjadi masyarakat ada di atas, negara lah yang mengikuti keyakinan hukum
eksistensi negara, maka di situ lah baru negara harus memenangkan pertarungan
tersebut. Negara hanya hanya menjadi pengatur atau penjaga hubungan antara
masyarakat yang satu dengan yang laian atau agama yang satu dengan agama
yang lain. Negara harus berdiri di atas segalanya bukan malah seperti saat ini
negara bersaing dengan warga negara atau masyarakat dalam menentukan apa
lebih dahulu ada dan memiliki sstem sosial sendiri. Sudah sepatutnya, negara
87
tidak mengilangkan eksistensi sistem sosial yang telah ada jauh sebelum
Karena itu, yang menjadi yurisdiksi peradilan adat adalah tetap nilai yang
dianut menurut masyarakat setempat. Hal tersebut sejalan dengan prinsip adat
setempat sangat perlu dilakukan, mengingat kondisi sosial masyarakat dewasa ini
untuk hidup bersama di daerah rantau, para perantau diminta untuk menghormati
nilai-nilai masyarakat setempat yang jika dilanggar dapat diberi pidana menurut
mayoritas, mereka tetap dapat menerapkan hukum adat daerah asalnya dan
berlaku adalah hukum adat asli Provinsi atau kabupaten yang bersangkutan karena
ibukota provinsi atau ibukota kabupaten adalah simbol budaya daerah tersebut.
Melayu karena Pekanbaru adalah simbol Provinsi Riau yang hukum adat aslinya
penjelasan terhadap kenyataan adanya keteraturan atau tertib sosial (social order)
yang sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order)
tergantikan;
- eksistensi hukum adat yang pada beberapa wilayah masih sangat kuat
diingat bahwa pengendali dari semua sistem itu tetap lah negara. Masyarakat tidak
berlaku dan bermanfaat bagi mereka. Keberlakuan hukum pada satu kelompok
masyarakat lainnya atau eksistensi negara. Kepentingan negara tidak boleh kalah,
karena itu pluralisme yang ada adalah pluralisme dalam kesatuan, sebagaimana
87
Rikardo Simarmata, ―Mencari Karakter Aksional dalam Pluralisme Hukum, dalam
buku Pluralisme HukumSebuah Pendekatan Interdisiplin,‖ Editor Tim HUMA, Penerbit
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Jakarta, 2005,
hlm.3.
88
Sidharta, Op,cit.
89
konsepsi bhinneka tunggal ika. Keberagaman yang dimaksud tetap harus diikat
BAB VII
GAGASAN PENERAPAN HUKUM MENURUT KEYAKINAN HUKUM
kepercayaan subjek hukum. Jika dalam kondisi Indonesia saat ini terdapat
pertentangan yang tajam antara hukum yang hidup yang bisa jadi bersumber dari
keyakinan masyarakat tentang apa yang tercela atau apa yang tidak tercela dengan
hukum tertulis yang berlaku yang dirancang dan disusun menurut kaedah negara
orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga bagi pemeluk agama lain. Teori
Carel Frederik Winter (1799-1859) seorang ahli tertua mengenai soal-soal Jawa,
Salomon Keyzer (1823-1868) seorang ahli bahasa dan ilmu kebudayaan Hindia
Belanda. Teori Receptio in Compelexu, ini dikemukakan dan diberi nama oleh
Lodewijk Willem Chrstian van den Berg (1845-1925) seorang ahli hukum Islam,
politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur dan hukum
Islam.89
89
Sayuti Thalib,S.H, M.H, Receptio A Contrario, (Cet. III; Jakarta: Bina Aksara, 1982),
h.15. sebagaimana dikutip oleh Hj.A.Sukmawati Assaad, “Teori Pemberlakuan Hukum Islam Di
Indonesia, ― dalam Jurnal Al Ahkam, STAIN Palopo Volume IV No 2 Agustus 2014
91
yaitu teori Receptie (Resepsi). Menurut teori Resepsi, hukum Islam tidak otomatis
berlaku bagi orang Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang Islam, kalau ia sudah
diterima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat mereka, Jadi yang berlaku
bagi mereka bukan hukum Islam, tapi hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh
Volenhoven (1874-1933) adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang diberi
pantang atau pamali atau tabu yang dipercaya secara turun temurun.
90
Ibid
92
hujan lebat
tidak jelas darimana atau apakah akibat dari jika larang pantang tersebut dilanggar
akan berdampak seperti akibat yang diperkirakan tanpa ada penegak hukum yang
saat berada luar negeri. Saat berada di luar negeri di Singapura misalnya, warga
negara Indonesia yang saat ada di Indonesia tidak patuh pada hukum, pada saat
berada di Sungapura tiba-tiba menjadi taat dan patuh pada hukum. Mengapa
menjadi sangat patuh karena tahu hukum di Singapura sangat tegas, hampir tidak
mitos dengan kepatuhan atas tegasnya hukum Singapura merupakan dua hal yang
bertolak belakang. Contoh kepatuhan yang ketiga adalah saat warga negara
atau sedang berada di Mekah dan Madinah yang dipercaya sebagai tempat suci
dimana balasan atas kebaikan dan keburukan perilaku langsung mendapat balasan
94
seketika, maka umat Islam Indonesia mendadak menjadi sangat baik hati, penuh
sopan santun, dan berubah drastis dari kelakuan dan kebiasaannya saat di tanah
air.
otomatis akan dijatuhkan tanpa peduli apakah hukum itu baik atau tidak,
hukum adat, di masa yang akan datang perlu juga dipikirkan untuk membuat
hukum menurut kepercayaan atau keyakinan masyarakat yang salah satunya dapat
melalui keyakinan atas agamanya. Sejak seseorang memeluk agama tertentu maka
otomatis ia menjadi orang yang ingin menjalankan ajaran agamanya dengan baik
dan benar. Bertolak dari keyakinan bahwa apa yang dilarang atau disuruh oleh
agamanya sebagai suatu kebenaran yang bermanfaat bagi Tuhan, masyarakat dan
agamanya masing-masing.
berbeda, namun dalam hal tertentu semua agama akan cenderung mengatur hal
semua agama melarangnya. Sanksinya lah yang berbeda, maka dengan demikian
maka sebaiknya hukum ditegakkan atas apa yang diyakini umat beragam sebagai
95
sesuatu yang dilarang atau diperintahkan oleh agamanya dengan sanksi menurut
agamanya. Dilihat dari aspek kepastian hukum, semua kaedah larangan dan
suruhan dalam tiap agama sudah pasti menjamin kepastian hukum karena diatur
agama, maka penegakan hukum atas hukum agama sebaiknya dilakukan terhadap
dalam hukumnya. Terhadap sesuatu hal yang masih terdapat perbedaan seperti
keharaman merokok dalam Agama Islam, hukum Islam tidak dapat diterapkan.
Namun terhadap pembunuhan yang sudah jelas hukumnya dimana para ulama
tidak berdebat tentang sanksi bagi pelaku pembunuhan, maka sanksi menurut
keberatan atas gagasan ini dengan alasan penafsiran dan pemahaman atas agama
tidak lah sama. Mengatasi kritik ini penulis menggariskan bahwa memang benar
dalam setiap agama terdapat berbagai aliran pemikiran yang mungkin satu sama
lain berbeda. Mengatasi hal ini, dapat diselesaikan dengan pemberlakuan nilai
ketercelaan yang tidak ada perdebatan. Terhadap kaedah yang ada perdebatan
atas kebenaran suatu persoalan masih menjadi perdebatan. Hanya dalam soal-soal
96
yang para pemuka agama sudah sepakat saja lah hukum agama dapat ditegakkan
oleh negara.
atas dasar apa yang dianggap pemeluk agama sebagai perbuatan tercela menjadi
jauh lebih mudah. Akan halnya terhadap kaedah hukum yang tidak ada
yang diatur oleh negara. Dalam hukum Islam sendiri diatur tiga tingkatan hukum
yaitu hukum jarimah, hudud dan takzir. Hukum takzir ini lah yang menjadi residu
dari apa yang diatur dalam hukum hudud dan hukum jarimah, dimana negara
berwenang mengatur dan membuat kaedah hukum di luar yang telah diatur oleh
Dengan konsepsi ini, maka negara tidak berdiri dengan pongahnya sebagai
tersebut jika diterapkan akan berhadapan dengan kelompok agama lain atau
dan rasa cinta justru membuatnya mudah terlaksana. Bayangkan seorang pelacur
yang rela melayani tamunya hanya dengan modal cinta. Seorang pecinta sejati rela
menempuh ribuan kilometer, menempuh segala rintangan untuk sang pujaan hati.
97
Ini lah dahsyatkanya kekuatan hati dan keyakinan. Jika untuk hal tercela seperti
itu seorang pelacur berani tidak menerima bayaran apalagi untuk hal yang
seharusnya merupakan kebaikan bagi diri si pelaku, orang lain, agamanya serta
bangsa dan negara. Seorang muslim berani menempuh jalan jihad yang
satu kekuatan saja yaitu kekuatan hati berdasarkan keyakinan atas apa yang
dasar keyakinan yang timbul dari dalam hati bahwa apa yang dilakukan adalah
untuk kebaikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, agama, bangsa dan negara
akan membuat orang mudah diarahkan pada perilaku tertentu. Kebanyakan orang
yang tidak patuh pada hukum disebabkan karena merasa hukum tersebut tidak
hukum yang mengaturnya tersebut. Jika ia merasa hukum itu bermanfaat maka ia
kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang
seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini
berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain.
Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul
98
Scholten menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu
kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara
hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak
dilakukan.91
91
Soejono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Edisi Pertama,(Jakarta :
Rajawali, 1982), hlm. 182 dan Sudikno Mertokusumo, Meningkatkan Kesadaran Hukum
Masyarakat, Edisi Pertama, (Yokyakatra : Liberti, 1981), hlm. 3 sebagamana diktip Ellya Rosana,
―Kepatuhan Hukum Sebagai Wujud Kesadaran Hukum Masyarakat‖, dalam Jurnal TAPIs Vol.10
No.1 Januari-Juni 2014, IAIN Raden Inten, Bandar Lampung
92
Ibid
99
orang-orang Indonesia saat berada di luar negeri menjadi taat sepenuhnya pada
hukum yang berlaku di negara tersebut walaupun sangat mungkin ia tidak sepakat
dikutip R Otje Salman menyatakan alasan mengapa orang patuh pada hukum
mengapa orang-orang Indonesia saat berada di tanah suci Mekah dan Madinah
atau pada bulan Ramadhan menjadi orang yang berperilaku sangat baik yang
didorong keyakinan bahwa Tuhan Maha Melihat dan Maha Mencatat segala
perbuatan manusia, ditambah keyakinan bahwa sanksi atas segala perbuatan akan
93
Saut Parulian Panjaitan, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Asas, Pengertian, dan Sistematika,
Unsri Press, Palembang, 1998, hlm.100.
94
R Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika
Aditama, Bandung, 2010, hlm.8.
100
orang sangat patuh pada sistem keyakinan yang hanya berdasarkan mitos belaka
tanpa ada dasar hukum atau sanksi secara nyata yang akan ditegakkan oleh
penguasa.
Dalam delik politik mereka yang menolak mengakui hukum yang berlaku
sedangkan penjahat umum tidak menyangsikan sahnya tertib hukum yang berlaku
95
Lobby Loqman, Delik Politik Di Indonesia, Jakarta : Ind-Hill, Co, 1993, hlm.46.
101
DAFTAR PUSTAKA
Anton F Susanto, Simulacra Hukum : Bangsa yang Resah, dalam Buku Penelitian
Hukum Transformatif – Partisipatif, Logos Publishing, Bandung, 2011.
Edy Sanjaya, Hukum dan Putusan Adat dalam Praktik Peradilan Negara,
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
M Budiono, Tepung Tawar, makalah dalam website resmi MPR RI, terakhir kali
dikunjungi tangggal 15 Nopember 2012 jam 11.00 WIB.
Musri Nauli, ―Pengaruh Hindu dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari‖, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol.4 No. 2 Februari-Juli 2014, Fakultas Hukum Universitas
Riau, Pekanbaru, hlm.106.
103
Nyoman Sarikat Putra Jaya, Hukum Pidana dalam Pembahruan Hukum Pidana
Nasional, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukm Pidana dan
Krimonologi III, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat dengan MAHUPIKI, tanggal 16 – 19 Mei 2016.
Rajo Bujang dkk, Dinamika Adat Masyarakat Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
Lembaga Adat Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kuala Tungkal, 2003
Satjipto Rahardjo, Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa, Opini Kompas, Edisi
Kamis, 19 November 2009
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
(cetakan pertama 1981)
Trisno Raharjo, ―Mediasi Pidana dalam Ketentuan Hukum Pidana Adat‖, Jurnal
Hukum No. 3 Vol. 17 Juli 2010, Fakultas Hukum UII Yogyakarta.