AGUS SURONO
Agus Surono
Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013
viii + 162 hlm. B5
ISBN 978-602-17732-3-9
Untuk yang tercinta
Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah
Istriku Sonyendah R.
Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga
akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini
merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam terhadap Teori Fiksi
Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia. Semoga
lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan
ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Perundang-Undangan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian buku ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada
Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis
dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah
yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan
pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan
doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalam-
dalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak
dan Ibu upayakan dan ihtiarkan.
Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H.
Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa
hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa
kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya.
Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa
penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH.,
MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi
Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan
semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya
sebagai dosen dan praktisi hukum ini.
Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat
bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun
kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Perundang-Undangan di
Indonesia khususnya.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta
masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala
kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan.
Agus Surono
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah . ............................................................ 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
D. Kegunaan Penelitian ............................................................. 9
E. Kerangka Pemikiran ............................................................. 10
F. Metode Penelitian . ................................................................ 25
G. Sistematika Penulisan ........................................................... 29
BAB 6 PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 157
B. Saran . ...................................................................................... 159
DAFTAR PUSTAKA
Bab 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 45 berbunyi:
“Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan
harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Berita Negara Republik Indonesia;
1 Jimly Asshidiqqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum, Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI
Masa Bakti 2007-2012”. Bandung, 19 Januari 2008, hlm 2-3.
2 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan 2, Penerbit Kanisius, Jakarta, 2007, hlm 152.
3 Dworkin, Ronald, Justice in Robes, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, London, 1st edition, 2006, hlm 223.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 1
c. Lembaran Daerah; atau
d. Berita Daerah.
Penjelasannya berbunyi:
“Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam
lembaran resmi sebagimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap
orang dianggap telah mengetahuinya.”
Dalam kenyataannya di Indonesia, sebagai akibat
pengimplementasian tentang Teori Fiksi Hukum ini, disadari atau
tidak telah membentuk suatu pemahaman hukum, dimana masyarakat
dianggap tahu hukum. Kondisi ini sebenarnya cukup memprihatinkan
manakala banyak timbul kasus-kasus hukum yang berpangkal justeru
dari ketidakpahaman masyarakat tentang hukum yang berlaku, bahkan
lebih jauh lagi ketidaktahuan masyarakat akan adanya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang apa yang disangkakan
atau dituduhkan kepada anggota masyarakat yang terjerat aturan
hukum dimaksud.
Mengutip sebagian isi dalam Pidato Sambutan pada pembukaan
Konvensi Hukum Nasional, yang berlangsung di Istana Negara pada
tanggal 15 April 2008, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono menyatakan sebagai berikut:
“Kalau ada warga negara kita yang berbuat kesalahan, melakukan
pelanggaran dan kejahatan secara hukum, karena mereka tidak tahu
itu dilarang, kalau itu tidak boleh oleh hukum dan peraturan, maka
sesungguhnya kita ikut bersalah,”
Berbagai upaya yang telah dilakukan guna memastikan seluruh
proses pembuatan peraturan perundang-undangan senantiasa
memenuhi standar dan tata cara yang dibakukan dan dapat
dipertanggung-jawabkan akuntabilitasnya sepertinya belum cukup
untuk mewujudkan masyarakat yang memahami hukum melalui proses
pengundangan dan penyebarluasan yang lebih terencana, terprogram
dan terimplementasikan dengan baik. Adapun peraturan yang telah ada
terkait proses pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
sebagai berikut:
4 Pasal 29-34 Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan
Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 5
Negara Republik Indonesia (dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia).
Dengan demikian, kekhawatiran dan keprihatinan Presiden
Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya bukan tidak
beralasan tentang banyaknya kasus-kasus yang mencuat di masyarakat
yang menarik perhatian media massa. Dalam kasus-kasus yang
terungkap pada saat proses penegakan hukumnya melalui pengadilan,
terlihat bahwa akar permasalahan ataupun dasar pembelaan yang
dikemukakan adalah akibat ketidakpahaman/ketidaktahuan akan
peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
Lebih lanjut, masih banyak kasus-kasus yang terjadi dan
masyarakat yang terlibat atau menjadi korban adalah bukan karena
kekurangpahamannya atau ketidaktahuannya akan hukum yang
berlaku, melainkan secara alami (fitrahnya) manusia mempunyai
keterbatasan pengetahuan, sehingga tidak mungkin memahami
semua peraturan yang berlaku. Hal ini diungkapkan pula oleh Ketua
Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, yang menilai bahwa adagium yang
menyatakan hakim harus tahu semuanya (adagium ius coria novit)
merupakan paradigma lama, karena pada kenyataannya, tidak ada
hakim yang tahu semua bidang hukum.5
Di sisi lain, pengacara atau konsultan hukum juga tidak luput
5 Sebagaimana dimuat dalam Hukum Online, dalam artikel berjudul “Hakim Tak Lagi Dianggap Tahu Seluruh
Hukum”, Minggu, 6 Juli 2008. Disebutkan bahwa “Dalam praktek, hal ini memang acapkali dipermasalahkan.
Salah satunya, dalam kasus dugaan korupsi Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) dengan terdakwa Nurdin
Halid di PN Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Majelis hakim I Wayan Rena, Ahmad Sobari dan Mahmud
Rachimi, menyatakan dalam kasus ini tak ditemukan unsur melawan hukum baik dari segi formil maupun
materil. Ketua Umum PSSI itu pun divonis bebas.
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tak terima. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) telah menggelar eksaminasi publik terhadap putusan
tersebut. Salah satu yang dijadikan landasan untuk mengeksaminasi putusan tersebut adalah adagium
ius curia novit. Majelis hakim PN Jakarta Selatan yang memeriksa perkara ini dianggap melanggar asas
tersebut.
“Adanya keterangan beberapa orang ahli hukum pidana dalam persidangan perkara pidana korupsi ini
adalah suatu kekeliruan. Karena segala sesuatu yang menyangkut penerapan hukum adalah tugas hakim.
Hal tersebut sebenarnya tidak diperbolehkan dengan adanya asas ius curia novit, karena hakim dianggap
mengetahui hukum, kecuali ahli di bidang lain dan sistem hukum asing yang tidak dikenal,” demikian bunyi
salah satu kesimpulan eksaminasi publik itu. Dalam praktek, lanjut Busyro, di MA memang sering ada
masalah ketika seorang hakim dianggap mengetahui semua bidang. Ia mencontohkan seorang hakim agung
berlatar belakang agama mengadili kasus Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) yang syarat dengan isu Hukum
Tata Negara (HTN). Hakim agama mengadili Tommy Soeharto atau Hakim TUN mengadili Akbar Tanjung.
“Semua itu bermasalah,” ujarnya.
Karenanya, Busyro menilai kehadiran seorang ahli dalam persidangan bukan hal yang tabu. Bahkan,
untuk seorang ahli yang memiliki keahlian sama dengan si hakim. Namun, hal tersebut masih ada rambu-
rambunya. Hakim tak boleh membabi buta mengikuti pendapat ahli.
6 Houlgate, Laurence D. , Ignorantia Juris: A Plea For Justice, The University of Chicago Press, 1967, hlm 32.
7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 37,
yang berbunyi:
“Pasal 37
Rancangan undang undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden,
disampaikan oleh pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-
undang,.
Penyampaian rancangan undang undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
8 Ibid, Pasal 45.
9 Ibid, Pasal 51-Pasal 52.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 7
peraturan perundang-undangan yang diundangkan resmi berlaku, dan
dengan sendirinya masyarakat dianggap mengetahuinya.
Teori Fiksi Hukum yang semula mengasumsikan bahwa
pengundangan peraturan mempunyai kekuatan mengikat, telah
menjadi ketentuan yuridis yang mengikat setiap orang untuk mengakui
eksistensi peraturan tersebut. Dengan Pasal 45 Undang-undang Nomor
10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan
tersebut, pengundangan peraturan seolah-olah tidak memperdulikan
apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau
tidak, apakah masyarakat menerima peraturan itu atau tidak.
Penelitian ini diyakini belum pernah dilakukan sebelumnya,
terutama dari aspek penelitian yang dilakukan dibawah bimbingan
perguruan tinggi di Indonesia, dengan demikian dapat dikemukakan
mengenai orisinalitas dari penelitian. Adapun keyakinan atas orisinalitas
diperoleh dengan mempertimbangkan belum adanya penelitian yang
sama dalam hal-hal sebagai berikut: (1) secara tematik berupa variabel
dalam tema judul; (2) subjek dan objek yang dikaji; (3) penggunaan
kerangka teoretik (pemikiran) dengan tiga tingkatan teori (Grand Theory,
Middle Range Theory dan Applied Theory); (4) data atau informasi yang
akan menjadi sumber-sumber referensi, dan (5) lokasi penelitian yang
spesifik.
B. Identifikasi Masalah
D. Kegunaan Penelitian
E. Kerangka Pemikiran
10 Pasal 1 ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945. Sebelum Amandemen, konsep negara hukum tersebut
dicantumkan dalam Penjelesan UUD 1945, dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan atas hukum (rechstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat).
11 Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 adalah “... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
12 Friedman, Lawrence M., Legal Culture and The Welfare State” tulisan dalam Gunther Teubner, ed. Dilemmas
of Law in the Welfare State,” Walter de Gruyter, Firence, 1986, hlm 13.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 11
Pemikiran tentang negara hukum secara historis dapat dikatakan
mulai sejak Plato menyampaikan pemikirannya dalam konsep yang
disebutkan bahwa “penyelenggara negara yang baik adalah yang
didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya
dengan istilah Nomoi”13. Dalam perkembangannya, negara hukum
juga merupakan terjemahan atau makna dari istilah the rule of law dan
rechtstaat.
Dalam konsep Negara Hukum, doktrin mengenai the rule of law
merupakan bagian penting dan menjadi alat yang efektif dan efisien
untuk menegakkan konsep negara hukum, dimana berdasarkan
perumusan yang dihasilkan oleh Kongres International Commission
of Jurists pada tahun 1959 di New York, terdapat beberapa aspek yang
perlu diperhatikan yaitu:
a. Ketaatan dari warga negara atau masyarakat terhadap seluruh
kaedah hukum yang dibuat dan diberlakukan.
b. Kaedah-kaedah hukum yang ada harus selaras dengan hak asasi
manusia.
c. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-
kondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-aspirasi
dari manusia dan memberikan penghargaan yang wajar terhadap
martabat manusia.
d. Adanya tata-cara yang jelas dalam proses memperoleh keadilan,
termasuk dari perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa.
e. Adanya badan yudikatif yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain,
dan dapat melakukan pemeriksaan atau pengoreksian terhadap
setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif
maupun legislatif.
13 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, Cetakan
Kedua, September 2004, hlm 88-91.
14 Dicey, A.V, Introduction on the Study of the Law on the Constitution, 8th Edition, 1915, diakses dari internet
di http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm, pada tanggal 24 April 2011.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 13
3. adanya kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap rakyat (badab peradilan yang bebas);
4. adanya pembagian kekuasaan.15
15 Bagir Manan, Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, menurut UUD 1945, Bandung:
makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada mahasiswa pascasarjana angkatan 1994/1995 tanggal 3
September 1994, hlm 19.
16 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1981, hlm 38.
17 Padmo Wahjono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, makalah, hlm 2, September 1998 sebagimana
dikutip dalam Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari
Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta,
Cetakan Kedua, September 2004, hlm 89.
18 Ibid.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 15
unsur saja dari keseluruhan sistem hukum, yang terdiri dari 7 (tujuh)
unsur sebagai berikut :
a. asas-asas hukum (filsafat hukum);
b. peraturan atau norma hukum;
c. sumber daya manusia yang profesional, bertanggung jawab dan
sadar hukum;
d. pranata-pranata hukum;
e. lembaga-lembaga hukum;
f. sarana dan prasarana hukum;
g. budaya hukum, yang tercermin oleh perilaku para pejabat (eksekutif,
legislatif maupun yudikatif), dan juga perilaku masyarakat.19
19 Disarikan dari C.F.G Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2000,
Makalah Disampaikan Pada: Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm 3-4.
20 Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama,
Jakarta, 1992, hlm 13-15.
21 Natabaya, HAS , Sistem Peraturam Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Konstitusi Press dan
Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm 23-32.
22 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Bahan P.T.H.I: Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm 16.
23 Ibid, hlm 17.
24 Ibid.
25 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Cetakan I,
Bandung 1998, hlm 53.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 17
seyogianya tidak akan terdapat kesamaan hal yang diatur (tumpang
tindih), namun juga harus memperhatikan kesesuaian (harmonisasi)
drai setiap materi muatan yang terkandung dalam masing-masing
undang-undang.
Secara umum, materi muatan yang dapat diatur dalam peraturan
perundang-undangan (dalam hal ini khusus menyangkut materi undang-
undang) pada hakekatnya mengatur keseluruhan aspek kehidupan
masyarakat, baik dari aspek kehidupan bernegara, yaitu hubungan
negara dengan rakyat dan hubungan antar lembaga negara, maupun
kehidupan sosial bermasyarakat pada umumnya.26 Dengan luasnya
hal-hal yang dapat diatur dengan undang-undang karena menyangkut
seluruh aspek kehidupan manusia, maka sulit menentukan batasannya
namun dapat dikelompokkan sebagimana menurut Soehino27, yaitu:
1. materi yang menurut UUD 1945 harus diatur dengan undang-
undang;
2. materi yang menurut Ketetapan MPR yang memuat garis-garis
besar dalam bidang legislatif harus dilaksanakan dengan undang-
undang;
3. materi yang menurut ketentuan Undang-undang Pokok harus
dilaksanakan dengan undang-undang;
4. materi lain yang mengikat umum seperti yang membebankan
kewajiban kepada penduduk, yang mengurangi kebebasan warga
negara, yang memuat keharusan dan atau larangan.
34 Disarikan dari Claude Hermann Walter Johns, BABYLONIAN LAW--The Code of Hammurabi. from the
Eleventh Edition of the Encyclopedia Britannica, 1910-1911, diakses melalui internet situs http://www.
fordham.edu/halsall/ancient/hamcode.html, pada tanggal 10-04-2011.
35 Ibid.
36 Supra n. 19, hlm 31.
37 Lihat Pasal Pasal 27 ayat (1)
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
38 Supra n. 6.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 23
Pembeda kedua adalah Identifikasi Sosial masyarakat yang beragam
berdasarkan suku dan penerimaannya terhadap hukum negara.
Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah bagaimana proses legal
making di ruang legislator. Misalnya, apakah pembuatan UU yang
berkaitan dengan pertambangan melibatkan masyarakat adat atau
aspirasi masyarakat yang jauh dari pusat kekuasaan, seperti Papua dst.
Soal akses masyarakat terhadap pembentukan UU itu satu hal saja. hal
lain yaitu bagaimana sosialisasi pemerintah terhadap UU yang telah
diundangkan. Apakah dengan hanya perintah untuk ditempatkan
dalam Lembaran Negara, Tambahan Berita Negara, Lembaran Daerah,
dll, dapat menjamin masyarakat mengetahui adanya peraturan yang
diundangkan tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang penelitian, bahwa
dalam prakteknya, banyak masyarakat yang tidak mengerti bahkan
tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang baru.
Fakta yang menunjukkan bahwa banyak warga masyarakat melakukan
pelanggaran terhadap aturan, yang disebabkan karena ketidak
tahuannya bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang oleh
peraturan perundang-undangan.
Pada gilirannya, dari hasil penelitian dengan menggunakan
kerangka teori dengan penerapan Teori Negara Hukum (Grand
Theory), Teori Perundang-undangan (Middle Range Theory) dan Teori
Fiksi Hukum (Applied Theory) sebagai pisau analisis, diharapkan dapat
menemukan formulasi yang tepat dalam mengimplementasikan Teori
Fiksi Hukum dalam proses pembentukan peraturan perundangan-
undangan. Selanjutnya diharapkan juga dapat mengetahui pengaruhnya
bagi pemahaman hukum masyarakat guna merumuskan proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang tepat guna untuk
mewujudkan masyarakat yang mempunyai pemahaman hukum yang
baik.
Untuk itu, secara singkat penggunaan kerangka teori dalam
penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan dibawah ini.
F. Metode Penelitian
39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Cetakan ke-3, Jakarta, 2005, hlm 93-136.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 25
Adapun metode penelitian yang akan dilakukan adalah metode
penelitian yuridis normatif,40 yang bersifat deskriptif analitis dan
komparatif. Titik berat penelitian ini adalah melakukan penelitian
terhadap aspek-aspek hukum, norma hukum, yang dikaitkan dengan
pengelolaan pemasyarakatan, dan pendidikan hukum serta yang
berkaitan dengan pengelolaan informasi hukum dalam kerangka sistem
hukum Indonesia. Penggunaan metode yuridis komparatif dilakukan
dengan menggambarkan proses pembentukan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di beberapa negara lain, khususnya pada bagian
pengundangan dan penyebarluasannya, lalu diperbandingkan dengan
yang berlaku di Indonesia
Penelitian difokuskan dengan meneliti data-data yang dapat
menunjukkan tingkat pemahaman masyarakat terhadap peraturan
perundang-undangan. Data-data yang dimaksud termasuk data
penunjang berupa hasil riset dari Badan Pusat Statistik yang
menunjukkan mengenai tingkat pendidikan, jumlah pengangguran,
dan lain sebagainya, yang berupa data kuantitatif.
Di samping itu, penilitian fokus juga kepada data-data yang
menunjukkan peran negara (melalui 3 pilar kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif) dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dan penyebarluasan atau pemasyarakatannya,
termasuk melalui pendidikan hukum dan pengelolaan informasi
hukum. Penelitian ini akan dipusatkan pada penelitian kepustakaan
baik di bidang hukum yang berarti mengkaji data primer, sekunder dan
tertier, maupun menggunakan data dari bidang ekonomi maupun ilmu
sosial sebagai bahan penunjang. Penelitian juga akan dilakukan dengan
sedikit memperoleh data primer dari para nara sumber dan responden,
meskipun bukan yang utama, tapi sebagai memperkuat saja. Dengan
demikian, teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah dokumen kepustakaan dan wawancara.
Selanjutnya, dari data yang telah dikumpulkan, maka analisis
dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif terhadap semua data
40 Soeryono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Cetakan Keenam, 2003, Hlm. 83.
G. Sistematika Penulisan
TINJAUAN UMUM
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
INDONESIA
7 Ibid.,
8 Ibid.,
9 Ibid.,
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 33
kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai
merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan
perbedaan antara sistem hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila
melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat
dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law
System)10.
Hukum Belanda berakar dari tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan
Romawi dan lewat berbagai Revolusi, mulai dari “Papal Revolution”
sampai Revolusi Kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad ke
19-an. Dalam tata hukum Belanda, kodifikasi dan hukum kodifikasi
dikenal pada masa ekspansi kekuasaan Napoleon yang menyebabkan
negeri Belanda bagian dan Empinium Perancis. Pada tahun 1810 Kitab
hukum yang terkenal dengan nama Codes Napoleon dalam hukum
perdata (Code Civil), hukum dagang (Code Commerce), hukum pidana
(Code Penal) diundangkan di negeri tersebut. Ketika Napoleon jatuh,
Kodifikasi tetap dinyatakan berlaku11.
Namun demikian Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum
Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara
yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam
Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No.
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Sistem hukum Anglo Saxon menawarkan
perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal
standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan
arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi12.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada
pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law -
Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan
13 Perkembangan Kompilasi Hukum Islam seiring perkembangan reformasi sangat terasa perkembangannya,
dimana sudah diberlakukannya UU Zakat, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Nasional dan
pembaharuan atas UU Peradilan Agama itu sendiri yang antara lain memasukkan kewenangan penyelesaian
sengketa sebagai kewenangan Pengadilan Agama.
14 Keberadaan Hukum Adat tidak akan pernah dipisahkan dalam pembentukan hukum nasional, mengingat
keberadaan hukum adat sebagai cikal bakal hukum nasional keberadaannya dikatakan justru lebih melekat
dan terasa kehadirannya dalam pergaulan hidup sehari-hari dalam masyarakat, misalnya saja dalam
transaksi jual beli yang terjadi di masyarakat dimana terjadi proses jual beli secara terang dan tunai dan
dianggap sebagai bentuk perikatan tidak tertulis yang diakui keberadaannya dalam ranah hukum perdata.
15 Lihat lebih lanjut dalam UUD 1945 beserta naskah amandemen yang menjadi satu kesatuan yang tak
terpisahkan sebagai bagian dari sistem konstitusi Indonesia.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 35
Undangan. Dalam tata urutan tersebut secara berturut- turut
terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pcngganti
Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; dan
Peraturan Daerah.
Ketentuan tersebut secara teoritis melahirkan sedikitnya dua
persoalan. Pertama, tata urutan tersebut ialah menyangkut peraturan
perundang-undangan (peraturan yang mengikat publik). Menurut
teori hierarki norma Peraturan Perundang-Undangan tersebut meliputi
kategori Undang-Undang, Peraturan Pelaksana dan Peraturan Otonom.
Dalam sistem norma hukum Negara Rcpublik Indonesia, UUD 1945
adalah aturan dasar negara (staatsgrundgesetz). Itu berarti UUD 1945
seharusnya tidak ditetapkan dalam tata urutan tersebut, karena tingkat
normanya Iebih tinggi16.
Singkatnya, UUD 1945 pada dasarnya bukanlah suatu
peraturan pcrundang-undangan. Pcrsoalan kedua terkait dcngan
tidak ditetapkannya Keputusan Menteri. Tidak adanya pengaturan
tersebut diartikan oleh banyak pemerintah daerah bahwa Keputusan
tersebut mcnjadi tidak mengikat pemerintah daerah. Dengan kala lain,
para pemerintah daerah tersebut memandang bahwa tingkat norma
dari peraturan daerah tidak di bawah Keputusan Menteri. Kondisi
ini mernbuat peraturan nasional banyak yang tidak selaras dengan
peraturan daerah, misalnya dalam hal-hal yang terkait retribusi,
prosedur perizinan bisnis, dan sebagainya.
Penyusunan peraturan-peraturan tersebut dilakukan oleh lembaga
yang berbeda-beda. UUD atau konstitusi hanya dapat diubah oleh MPR.
UU dibuat secara bersama-sama oleh Presiden dan DPR. Peraturan
Pemerintah dibuat oleh Presiden. Peraturan Daerah dibuat seeara
bersama-sama oleh Pernerintah Daerah dan DPRD17.
Untuk mernahami sistem peraturan perundang-undangan
di Indonesia penekanan harus dibuat dalam mengkaji peraturan
perundang-undangan atau peraturan yang mengikat publik. Undang-
16 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta:Penerbit Kanisius, 2007), hal. 225.
17 Lihat selanjutnya dalam Pasal 5, pasal 20 dan pasal 21 UUD 1945 (Amandemen).
18 Hal ini memberikan ketegasan, bahwa ketentuan pidana diharapkan hanya terdapat dalam Undang-Undang
saja, dimana keberlakuannya dapat diterapkan secara umum dan meluas dan mempunyai kekuatan
mengikat yang lebih kuat dibandingkan dengan peraturan di bawahnya.
19 Rosjidi Ranggawidjaja, {edoman Teknik Oerancangan Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung:Penerbit
Cita Bhakti Akademika, 1996), hal 35-42.
20 Ibid.,
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 37
dasarnya memiliki tingkatan yang sama21.
PERPU adalah peraturan yang mernpunyai hierarkhi setingkat
dengan Undang-Undang. PERPU ini ditetapkan oIeh Presiden dalarn
keadaan kegentingan yang mernaksa yang pada saat itu harus segera
diatasi, sedangkan pada saat itu Presiden tidak dapat mengatumya
dengan Undang-Undang sebab untuk membentuk Undang-Undang
memerlukan waktu yang relatif lebih lama dan melalui prosedur yang
bermacam-rnacarn. PERPU ini jangka waktunya terbatas, sebab secepat
mungkin harus dimintakan persetujuan pada Dewan Perwakilan Rakyat,
yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila disetujui akan rnenjadi
Undang- Undang dan apabila tidak disetujui akan dicabut22.
Peraturan Pemerintah bcrisi aturan-aturan untuk menjalankan
Undang-Undang. Suatu PP dapat dibentuk apabila sudah ada UU-
nya. Namun, suatu PP dapat dibcntuk meskipun dalam UU-nya tidak
dinyatakan secara cksplisit perintah pcmbcntukannya. PP hanya dapat
memuat sanksi pidana dan sanksi pemaksa lain, jika UUnya tclah
mcnentukannya. Apabila UUnya tidak memuat sanksi-sanksi tcrscbut.
maka PP tidak bolch mcmuat sanksi pidana atau sanksi pemaksa23.
Peraturan Presidcn adalah istilah baru. Sebelumnya disebut scbagai
Kcputusan Prcsidcn. Pcraturan Prcsidcn bcrsifat rncngatur dan bcrlaku
torus mcncrus. Sedangkan, Keputusan Presidcn bersifat penetapan dan
berlaku sckali selesai. Olch karcna itulah, maka Peraturan Presidcn
masuk dalarn katcgori pcraturan pcrundang- undangan. Dalam
rangka rncrnbantu Presiden, Mcntcri juga dapat membuat peraturan
yang disebut Keputusan Mentcri dan hanya keputusan yang bersifat
pengaturan yang teknis sebagai pcraturan perundang-undangan. Hanya
Menteri yang memimpin suatu departemen yang dapat membentuk
Keputusan Menteri yang bersifat pengaturan. Sedangkan Menteri
Koordinator dan Menteri Negara hanya dapat mernbentuk peraturan
yang bersifat intern dalam arti keputusan yang tidak mengikat umum24.
21 HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Ciputat: Penerbit PT Tatanusa, 2008),
hal.
22 Maria Farida Indrati, op.cit., hal 191.
23 Ibid., hal. 194.
24 Ibid., hal. 198.
26 Reformasi menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan berdasarkan pada kekuasaan
semata. Reformasi merupakan fase yang sangat penting dalam perkembangan peraturan perundang-
undangan di Indonesia, terutama berkaitan dengan reformasik hukum itu sendiri. Dengan berbagai macam
gejolak di dalamnya perubahan yang signifikan pada masa reformasi adalah dengan diamandemennya UUD
1945 yang merupakan perkembangan tersendiir dari filsafat hukum di Indonesia.
27 Jumly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, (Jakarta: Penerbit PT
Bhuana Ilmu Populer, 2007), hal 55
28 Ibid., Dapat dikatakan bahwa konstitusi tidak tertulis merupakan perkembangan dari adanya hukum adat di
nusantara Indonesia.
29 Dapat dianggap perkembangan perdagangan internasional yang dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah
hasil perkembangan perdagangan yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pada masa ini, dimana selat
Malaka dapat dikatakan sebagai tempat berkumpulnya dan terjadinya pertukaran barang dan jasa, termasuk
pertukaran hukum di dalamnya.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 41
utusan dari dan ke negara-negara lain di luar negeri juga telah lama
dikenal. Karena itu, hubungan antar negara di kawasan nusantara
juga dapat dianggap sebagai tradisi yang cukup bervariasi di
lapangan hubungan internasional, baik berkaitan dengan masalah-
masalah politik, militer, maupun perdagangan30.
Perkembangan berikutnya pada masa ini adalah setelah orang
Eropa datang ke bumi nusantara, terutama orang Belanda menjajah
Indonesia, mereka memperkenalkan sistem hukum mereka di sini
tahun 1848, kerajaan Belanda mengadakan kodifikasi peraturan
mengenai daerah Hindia Belanda dengan mengadopsikan ketentuan
Pasal 6 sampai dengan Pasal 10 Aigemene Bepalingen van We(geving yang
biasa dikenal dengan singkatannya AB31.
Pada pokoknya peraturan ini membedakan golongan penduduk
Hindia Belanda dalam dua golongan, yaitu orang Eropa dan
bumiputra. Karena itu, dapat dikatakan AB inilah peraturan
tertulis yang pertama kali ditetapkan untuk mengatur kehidupari
hukum tertulis yang diberlakukan di Indonesia. Kemudian pada
tahun 1854, Ratu Belanda menetapkan Regerings Reglement (RR) yang
diberlakukan di seluruh wilayah jajahan nusantara. Ketentuan pasal-
pasal mengenai penggolongan penduduk dalam AB yang diuraikan
di atas diubah menjadi Pasal 109 RR. Bedanya di dalam RR ini
ditambah satu golongan lagi, yaitu golongan yang tidak termasuk
golongan Eropa ataupun bumiputra, disamakan dengan salah satu
dari keduanya. Dalam RR ini pembedaan antara golongan tidak lagi
berdasarkan agama sebagai satu satunya ukuran. Atas dasar itu,
orang Indonesia Kristen, sesuai ketentuan Pasal 109 ayat (4) RR, tetap
dikategorikan sebagai bumiputra. Demikian pula orang Arab, India,
dan Tionghoa disamakan dengan bumiputra. Akan tetapi, orang-
orang yang beragama Kristen yang bukan Tionghoa, Arab, atau India
disamakan dengan golongan Eropa. Demikian pula orang Amerika,
Australia, dan Jepang disamakan dengan golongan Eropa dengan
tidak memerhatikan faktor agama. Namun, untuk orang Tionghoa,
32 Ibid., hal. 65
33 Ibid., hal. 66
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 43
I dijabat oleh orang Jepang, yaitu Residen (Syutyokan) Cirebon, dan
Ketua Muda II (Fuku Kaico II) clijabat oleh Raden Pandji Soeroso,
Residen Kedu. Di samping sebagai Fuku Kaico II, R. PandjiSoeroso juga
diangkat sebagai kepala sekretariat BPUPKI dengan dibantu oleh
Toyohiko Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo. BPUPKI inilah yang
mempersiapkan naskah undang-undang dasar sebelum proklamasi
kemerdekaan pada tang gal 17 Agustus. Sidang- sidang PIeno I
BPUKI diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan 1 Juni 1945,
dan Sidang Pleno II diadakan dari tanggal 10 Juli 1945-17 Juli 194534.
Di masa pendudukan Jepang ini tidak banyak inovasi
ketatanegaraan yang terbentuk. Bahkan, beberapa lembaga
peninggalan zaman Hindia Belanda seperti lembaga perwakilan
rakyat (Volksraad), badan pemeriksa keuangan Algemene Rekenkamer,
dewan penasihat Raad van Nederlansche Indie atau yang biasa disingkat
Raad van Indie, dan lain-lain tidak berfungsi lagi seperti sebelumnya.
Hanya beberapa cli antaranya yang secara terbatas dapat dikatakan
masih terus berfungsi, seperti lembaga pengadilan agama atau
Priesterraad dan Kantor Urusan Agama. Pada tanggal 1 Oktober 1943,
untuk pertama kalinya orang Indonesia sendiri yang diangkat sebagai
kepala kantor urusan agama ini, yaitu Prof. Dr. H. Djajacliningrat.
Tanggal 3 Oktober 1943, Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air
(PETA).I09 Lalu, menjelang kemerdekaan dibentuk “Dokuritsu
Zyumbi Tjoozakai” atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI)35.
2. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, semua lembaga-Iembaga di zaman
Hindia Belanda tersebut menjadi sumber inspirasi pembentukan
kelembagaan negara dan dalam rangka penyusunan undang-
undang dasar. Lembaga-Iembaga tersebut diadopsikan idenya
dengan mengubah namanya ke dalam sistem ketatanegaraan yang
47 Ibid.,
48 Ibid., hal 88.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 49
tercapai kuorum 2/3 seperti yang diharuskan. Ketidakberhasilan
tersebut menyebabkan agenda penyelesaian undang-undang dasar
itu menjadi berlarut-larut dan tidak menentu arah penyelesaiannya49.
Untuk mengatasi hal itulah, maka pada tanggal 22 April
1959 atas nama Pemerintah, Presiden memberikan amanatnya
di depan sidang pleno Konstituante yang berisi anjuran agar
Konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
undang-undang dasar yang bersifat tetap bagi negara Republik
Indonesia. Ternyata setelah diadakan beberapa kali sidang dan
diadakan pemungutan suara sebanyak tiga kali, kuorum yang
diharuskan oleh Pasal 137 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1950
juga tidak tercapai. Mengingat keadaan dan situasi tanah air
yang dihadapi pada waktu itu, kenyataan tersebut di atas jelas
tidak menguntungkan bagi perkembangan ketatanegaraan.
Oleh karena itu, pada tanggal 5 juli 1959, Presiden mengucapkan
dekritnya yang dituangkan dalam baju hukum Keputusan
Presiden yang biasa dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5
Juli 195950.
49 Ibid.,
50 Ibid.,
51 Ibid., hal. 89.
2. Lembaga Legislatif
Suatu lembaga yang tidak kalah pentingnya dalam suatu negara
demokrasi adalah lembaga legislatif atau lazim dikenal sebagai
lembaga pembuat undang-undang69.
Dalam praktek ketatanegaraan, lembaga legislatif ini bervariasi
baik dalam sebutan, bentuk maupun kewenangannya. Ada negara
yang menggunakan sistem Unicameral (Monocameral) dan adapula
negara yang menganut sistem Bicameral. Di Inggris misalnya,
lembaga legislatifnya (parlemen) terdiri dari dua kamar (Bicameral),
yaitu House of Commons (Majelis Rendah) atau Lower House dan
House of Lords (Majelis Tinggi) atau Upper House, di Belanda
lembaga legislatifnya (parlemen) terdiri dari dua kamar (Bicameral),
yaitu Eerste kamer dan Twede kamer dan di Amerika Serikat lembaga
Legislatifnya bernama Conggres terdiri dari dua kamar (Bicameral)
yaitu House of Representatives dan senate.
Ada beberapa argumentasi tentang perlunya kamar kedua
(majelis tinggi) ini sebagaimana dikemukakan oleh C.F. Strong
dalam bukunya yang berjudul Konstitusi-konstitusi Politik Modern,
bahwa keberadaan kamar kedua dapat mencegah pengesahan
undang-undang secara tergesah-gesah dan tidak direncanakan
dengan matang oleh satu majelis, perasaan sebagai kekuasaan
68 Ibid.,
69 Ibid., hal 332.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 57
yang tak terbatas pada pihak satu majelis. Kesadaran sebagai satu-
satunya kekuasaan untuk dimintai nasehat dapat menyebabkan
penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, sebaiknya setiap saat harus
ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu
negara, apakah itu dilakukan oleh rakyat sebagai suatu keseluruhan
atau partai politik yang didukung oleh mayoritas pemilih. Pada
negara federal, ada argumen khusus yang mendukung kamar kedua.
Kamar kedua dibuat sedemikian rupa untuk mewujudkan prinsip
federal atau untuk melindungi kehendak rakyat dari setiap negara
bagian, yang berbeda artinya dengan kehendak Federal sebagai
suatu keseluruhan”.70
Dari argumentasi ini jelas bahwa alasan diadakannya kamar
kedua dalam parlemen ini adalah:
1. agar pengesahan suatu undang-undang itu tidak dilakukan
dengan tergesah-gesah tanpa direncanakan dengan matang.
2. agar tidak terjadinya kekuasaan yang absolut dalam parlemen,
karena dengan adanya kamar kedua ini terjadi checks and
balances di dalam parlemen itu sendiri (antara kamar satu
dengan kamar yang lain terjadi saling mengawasi).
3. khusus untuk negara Federal, agar kamar kedua dapat membawa
aspirasi dari negara-negara bagian pada pengambilan keputusan
ditingkat nasional (ditingkat federal).
70 C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern, Penerbit Nuansa dengan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm.
273.
71 Ginandjar Kartasasmita, Makalah DPD dan Penguatan Demokrasi, Jakarta 2006, hlm. 6.
3. Lembaga Yudikatif
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa Lembaga Yudikatif
ini dikenal dengan suatu Lembaga yang mempunyai kebebasan
72 Ibid, hlm. 7.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 59
secara penuh dalam menjalankan tugasnya, yaitu bebas dari pengaruh
Lembaga-lembaga Negara yang lainnya dalam Pemerintahan
Negara.
Di beberapa Negara mengenai kebebasan Lembaga Yudikatif ini
bervariasi, seperti di Amerika Serikat misalnya Lembaga Yudikatif
diserahi kekuasaan pengawasan atau pengadilan. Meskipun terlihat
bahwa adanya pemisahan Kekuasaan Pemerintahan Negara ini,
namun dalam pelaksanaannya antara ketiga Lembaga Negara
tersebut dapat saling mengawasi satu dengan yang lainnya, yang
dalam praktek di sebut dengan sistem check and balances, yaitu agar
diantara ketiga cabang kekuasaan tersebut terdapat keseimbangan,
seperti yang diuraikan pada bab sebelum ini, bahwa dalam hal
misalnya kongres sebagai bahan Legislatif di Amerika Serikat
membuat suatu rancangan undang-undang di mana ternyata
menurut Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bahwa
rancangan undang-undang tersebut akan berakibat mengurangi
kekuasaannya, maka Presiden mempunyai hak untuk memveto
rancangan undang-undang dimaksud. Dan hak veto ini hanya akan
tidak berhasil bila 2/3 dari anggota kongres tidak mendukungnya.
Dan kepada Supreme Court sebagai pemegang kekuasaan yudikatif
di berikan hak uji materiil (Yudicial Review) dan supreme Court
juga dapat membatalkan kebijakan yang diambil/tindakan
dijalankan oleh pihak eksekutif tersebut, yaitu bila tindakan tersebut
bertentangan dengan konstitusi atau berada di luar kewenangan
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Di beberapa negara
juga dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat
mengendalikan kekuasaan yudikatif, misalnya terdapatnya hak
prerogatif Presiden dalam memberikan grasi atau abolisi.
Mengenai hak uji materiil (yudicial Review) oleh Yudikatif
ini juga bervariasi, yaitu “pengujian Hukum” dapat diserahkan
kepada Lembaga khusus untuk keperluan itu atau dapat juga hak
uji materiil tersebut diserahkan kepada pengadilan biasa, terutama
diserahkan kepada pengadilan tertinggi seperti Supreme Court
(Mahkamah Agung), sebagaimana di kemukakan oleh Hans Kelsen
73 Hans Helsen, General Theory of Law and State, Alih Bahasa oleh Somardi, Toeri Umum Hukum dan Negara,
Penerbit Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 295.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 61
Selanjutnya dikatakan bahwa “menetapkan hak dan kewajiban bagi
para pihak merupakan fungsi yang kedua dari pengadilan. 74
Dari uraian tersebut jelas bahwa fungsi yudikatif ini adalah
memutuskan penyelesaian perselisihan diantara pihak-pihak
yang bersengketa tentang sesuatu dan juga menetapkan hak dan
kewajiban bagi para pihak.
Di Indonesia berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 kekuasaan Kehakiman diatur dalam Bab IX pasal 24,
24A, 24B, 24C dan pasal 25. Pasal-pasal tersebut selanjutnya berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
(1) kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan;
(2) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi;
(3) badan-badan lain yang fungsinya, berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Pasal 24A
(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
(2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum;
(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
Pasal 24B
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim;
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undang-undang.
Pasal 24C
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum;
(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang
Dasar;
(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 63
masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang Presiden;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan
oleh hakim konstitusi;
(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi
dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara;
(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi
diatur dengan undang-undang.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Lebih lanjut ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu Undang-undang No.
5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, dan Undang-undang No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial.
Bila dilihat dari ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945 dan
beberapa undang-undang sebagai turunannya, maka terlihat
dengan jelas bahwa ada tiga instansi yang terkait dengan kekuasaan
kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam UUD Negara RI
Tahun 1945, yaitu:
A. Mahkamah Agung
Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang di ajukan langsung oleh
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
(2) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama dan alamat pemohon;
b. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
1) Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2) Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 65
atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan
menyatakan permohonan tidak diterima;
(4) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan di kabulkan;
(5) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(6) Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan
di tolak;
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang di atur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 35
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum kepada
Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.
Pasal 45 A
(1) Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang
memenuhi syarat untuk di ajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
undang-undang di batasi pengajuannya.
(2) Perkara yang di kecualikan sebagaimana yang di maksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. Putusan tentang praperadilan;
b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
c. Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa
keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku
di wilayah daerah yang bersangkutan;
66 Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan
(3) Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada
ayat (20 atau permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat
formal, dinyatakan tidak dapat diterima dengan penetapan ketua
pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya tidak dikirimkan
ke Mahkamah Agung;
(4) Penetapan ketua pengadilan sebagaimana di maksud pada ayat (3)
tidak dapat diajukan upaya hukum;
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Dari ketentuan-ketentuan ini jelas bahwa kewenangan Mahkamah
Agung adalah:
1. Mengadili perkara dalam tingkat kasasi;
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhdap undang-undang;
3. Memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi;
4. Dan wewenang lainnya yang di berikan oleh undang-undang.
B. Mahkamah Konstitusi
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. Menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Pasal 15
(1) Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima
pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial
mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung
selama 15 (lima belas) hari berturut-turut.
(2) Mahkamah Agung, Pemerintah, dan msyarakat dapat mengajukan
calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial.
(3) Pengajuan calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari,
sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus
memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim
Agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan
calon Hakim Agung harus memenuhi persyaratan administrasi
dengan menyerahkan sekurang-kurangnya:
a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan;
b. Ijazah asli yang telah dilegalisir;
c. Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah
sakit pemerintah;
d. Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon; dan
e. Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 18
(1) Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan
kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan
administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan;
(2) Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya
ilmiah dengan topik yang telah ditentukan;
(3) Karya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi
Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum
seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan;
(4) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari;
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi
Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon
Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Pasal 19
(1) DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 71
Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(5).
(2) Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung
ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.
(3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat
Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
Pasal 20
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi yudisial bertugas mengajukan
usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
Dari ketentuan di atas jelas bahwa cara rekrutmen hakim di Indonesia
(khususnya) Hakim Agung dilakukan melalui usul dari Komisi Yudisial
kepada DPR dan usul yang diajukan oleh Komisi Yudisial ini untuk
satu lowongan Hakim Agung harus diajukan tiga calon hakim kepada
DPR, kemudian DPR melakukan seleksi, setelah dilakukan seleksi oleh
DPR, kemudian calon yang telah dipilih oleh DPR tersebut diajukan
kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung. Sedangkan
terkait dengan usia pensiun bagi Hakim Agung adalah 65 Tahun, dapat
diperpanjang hingga usia 67 tahun, dengan syarat mempunyai prestasi
kerja luar biasa serta sehat jasmani dan rohani berdasarkan keterangan
dokter.
Bagi hakim Mahkamah Konstitusi cara rekrutmennya ditentukan
dalam pasal 24C ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945, bahwa:
C. Komisi Yudisial
PEMANFAATAN ASAS-ASAS
DAN TEORI HUKUM DALAM
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
1 Otje Salman dan Anthon F.Susanto, Teori Hukum:Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Banudng: PT
Refika Aditama, 2008), hal. 1-2.
2 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006), hal. 86.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 77
dari perkembangan ilmu hukum itu sendiri, yaitu dalam mencari format
ideal dari suatu sistem hukum terbaik bagi masyarakatnya3.
Teori-teori hukum yang ada dan jumlahnya telah mencapai ratusan
dan bahkan ribuan, dapat dianggap menjadi tolak ukur atau landasan
pacu atas terbentuknya sistem hukum yang ideal bagi suatu masyarakat
pada suatu masa4. Teori hukum menjadi landasan berpijak para pembuat
undang-undang dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang pro
pada keadilan5.
Sedangkan keberadaan asas-asas hukum yang merupakan
pengejewantahan konkrit dari adanya teori hukum, menjadi definisi
operasional pelaksanaan teori hukum. Asas-asas hukum menjadi
teori hukum dapat lebih diterima keberadaannya oleh masyarakat
awam sekalipun dengan bahasa sederhana yang disajikannya.
Sehingga diharapkan, keberadaan teori dalam hukum tidaklah hanya
seonggok teori yang tak berfungsi, tetapi dapat diterima dan dirasakan
kebermanfaatannya oleh masyarakat. Asas hukum bukanlah sebuah
aturan hukum, karena asas hukum adalah terlalu umum sehingga ia atau
bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak. Penerapan asas hukum
secara langsung melalui jalan subsumsi atau pengelompokkan sebagai
aturan tidaklah mungkin, karena itu terlebih dahulu perlu dibentuk isi
yang lebih konkrit6.
Dalam kaitannya dengan perumusan materi muatan perundang-
undangan, teori dan asas hukum memiliki kedudukan yang spesial dan
khusus dalam mekanisme maupun substansi peraturan perundang-
undangan. Teori dan asas hukum dapat dikatakan sebagai landasan
berpijak dan tolak ukur apakah suatu materi muatan peraturan
perundang-undangan telah mampu membawa tujuan keadilan
didalamnya. Sehingga dengan demikian, pembahasan mengenai teori
dan asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
menjadi sangat penting dibahas.
1. Teori Utilitarianisme7,
Teori ini dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang mengatakan
bahwa manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran
baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada apakah
perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan ataukah tidak. lebih lanjut
Jeremy Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-undang
hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang mencerminkan
keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip
ini perundang-undangan itu hendaknya dapat memberikan
kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat8.
Dalam teori ini diajarkan hanya dalam ketertibanlah setiap orang
akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang
terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak seorang
pun bernilai lebih (everybody to count for one, no bady for more than one).
Teori hukum ini bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah
atau yang sesuai dengan daya guna (efektif)9.
Menurut ajaran Bentham hubungan hukum yang sehat adalah
hubungan hukum yang memiliki legitimitas atau keabsahan yang
logis, etis, dan estetis dalam bidang hukum secara yuridis. Secara
logis yuridis artinya menurut akal sehat dalam bidang hukum,
hubungan hukum itu dimulai dari sebab atau latar belakang sampai
dengan keberadaannya yang telah melalui prosedur hukum yang
sebenarnya. Secara etis yuridis artinya bila diukur dari sudut moral
yang melandasi hubungan itu, maka hubungan hukum tersebut
7 W. Freidmann, Legal Theory, (London: Stevens & Sons Limited, 1960), hal. 267.
8 Bentham termasuk dalam aliran hukum positif, sehingga tetap menekan aspek hukum tertulis dalam setiap peraturan
yang ada.
9 W. Friedmann, op.cit., hal. 271. Dapat juga disebut sebagai Theory of Legislation.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 79
beresensi dan bereksistensi secara wajar dan pantas. Ukuran moral
ini mutlak mesti dipakai berhubung moral itu tidak dapat dipisahkan
dari hukum, karena hukum itu sendiri senantiasa mengatur
kehidupan manusia yang dalam keadaan wajar sudah pasti harus
bermoral10.
Secara estetis yuris artinya apabila diukur dari unsur seni atau
keindahan hukum, keberadaan hukum itu tidak melanggar norma-
norma hukum ataupun norma-norma so sial lainnya seperti norma
kesusilaan dan norma sopan santun. Keberadaan hubungan hukum
yang sehat adalah tidak mengganggu dan merusak tatanan dan
iklim kemasyarakatan yang teratur dan sudah dibina sebelumnya.
Lebih lanjut Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum dan
moral itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum
mesti bermuatan moral dan moral mesti bermuatan hokum
mengingat moral itu merupakan salah satu sendi utama kehidupan
manusia yang berakar pada kehendaknya. Hukum yang efisien dan
efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu
untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga yang
terbanyak. Semboyan visi dan misi teori utilitarian ini yang sangat
termasyhur adalah the greates happiness for the greates number11.
10 Ibid.,
11 Ibid., konsep inilah yang menarik dan menjadi perdebatan tiada henti, dimana tolak ukur greates number
yang tidak pernah dapat didefinisikan oleh hukum itu sendiri.
12 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, 2007), hal. 66-67.
13 Ibid.,
14 Ibid.,
15 Ibid.,
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 81
Indikator perilaku hukum merupakan petunjuk akan adanya
tingkat kesadaran hukum yang tinggi. Buktinya adalah bahwa
yang bersangkutan patuh dan taat pada hukum. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum
akan dapat dilihat dari derajat kepatuhan yang terwujud di dalam
pola perilaku manusia yang nyata. Kalau hukum ditaati, maka hal
itu merupakan suatu petunjuk penting bahwa hukum tersebut
adalah efektif. Namun pernyataan selanjutnya adalah apakah
hukum berhasil mengubah perilaku warga masyarakat sampai ke
akar-akarnya. Seorang yang mematuhi hukum belum merasa puas
terhadap hukum itu, ia akan patuh kepada hukum kalau hukum itu
memenuhi suatu kesebandingan hukum, mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam sistem hukum. Kalau hal ini terjadi maka ada
kecenderungan hukum baru tersebut mempunyai tujuan untuk
mencapai kedamaian masyarakat
18 Mukhtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2006), hal.
13.
19 Ibid., hal. 6-7.
20 Ibid., hal 14.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 83
hukum tidak mungkin lepas secara mutlak dari masyarakat. Salah
satu hal yang harus dihadapi adalah kenyataan sosial dalam arti
yang luas. Sehubungan dengan hal ini maka perubahan yang
direncanakan hendaknya dilakukan secara menyeluruh, dengan
inisiatif yang menjadi pihak-pihak adalah orang-orang yang
menjadi panutan masyarakat. Dengan demikian, maka perubahan
di bidang hukum akan menjalin kepada bidang-bidang kehidupan
yang lain dan sebagai sarana untuk perubahan masyarakat
yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang
telah terjadi di masa lalu. Maka ada faktor-faktor lain yang
mungkin memengaruhinya. Di satu pihak mungkin dapat terjadi
faktor pendukung akan tetapi di pihak lain mungkin menjadi
penghalang bagi berprosesnya hukum secara fungsional dan
efektif21.
5. TEORI PENGAYOMAN
Teori ini dikemukakan oleh Suhardjo (mantan Menteri
Kehakiman) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara
aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung
secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah
mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang
dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Usaha mewujudkan
pengayoman ini termasuk di dalamnya adalah pertama: mewujudkan
ketertiban dan keteraturan, kedua: mewujudkan kedamaian sejati,
ketiga: mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, keempat:
mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kedamaian sejati
dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan baik lahir
maupun batin. Begitu juga dengan ketenteraman dianggap sudah
ada apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan
hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik
maupun non-fisik belaka22.
21 Ibid.,
22 Tentang Teori Dalam Suatu Hukum
1. Asas Pancasila
Bangsa Indonesia telah menetapkan falsafah/asas dasar Negara
adalah Pancasila yang artinya setiap tindakan/perbuatan baik
tindakan pemerintah maupun perbuatan rakyat harus sesuai dengan
ajaran Pancasila. Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber
hukum materiil, sehingga setiap isi peraturan perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan
Konstitusional daripada Negara Republik Indonesia. Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 mengandung empat pokok-pokok
pikiran yang merupakan cita-cita hukum Bangsa Indonesia yang
mendasari hukum dasar Negara baik hukum yang tertulis dan
hukum tidak tertulis29.
29 G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas, 1960), hal.
9-10. Ditegaskan dalam buku ini bahwa norma –norma hukum lah yang mengatur bentuk negara, organisasi
pemerintahannya, susunan dan hak serta kewajiban organ-organ pemerintahan dan cara-cara menjalankan
hak dan kewajibannya tersebut.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 89
b. Pokok pikiran kedua adalah : “ Negara hendak mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Istilah Keadilan Sosial
merupakan masalah yang selalu dibicarakan dan tidak pernah
selesai, namun dalam bernegara semua manusia Indonesia
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang
terutama yang menyangkut hukum positif. Penciptaan keadilan
sosial pada dasarnya bukan semata-mata tanggung jawab
Negara akan tetapi juga masyarakat, kelompok masyarakat
bahkan perseorangan.
c. Pokok pikiran ketiga adalah : “ Negara yang berkedaulatan
rakyat “ Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam Negara
Indonesia yang berdaulat adalah rakyat atau Kedaultan ada
ditangan rakyat. Dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat ini
melallui musyawarah oleh wakil-wakil rakyat.
d. Pokok pikiran keempat “ Negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa yang adil dan beradab”. Negara menjamin adanya
kebebasan beragama dan tetap memelihara kemanusian yang
adail dan beradab.
31
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 95
stufenbautheorie yang dikemukakan Hans Kelsen.
3. Asas lex posteriore derogate lex priori
4. Asas hukum lex specialis derogate legi gereralis
32 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), hal. 252.
33 Ibid., hal. 253.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 97
Asas-asas material meliputi34:
1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel
van duiddelijke terminologi en duiddelijke systematiek).
2. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid).
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtgelijkheids
beginsel).
4. Asas kepastian hukum (het rechtzerheidsbeginsel).
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel
van de individuele rechtsbedeling).
34 Ibid.,
35 Ibid., hal 254.
36 Ibid.,
Sehingga dengan demikian, dalam hal ini salah satu tolak ukur
suatu hukum dapat berlaku secara efektif adalah ketika telah memenuhi
asas publisitas. Asas publisitas menjadi sangat penting dibahas
dikaitkan dengan pembahasan penerapan teori fiksi hukum, yaitu teori
yang menjelaskan bahwa dalam rangka memenuhi aspek publisitas,
suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi kriteria dan
prosedur tertentu sehingga dapat dianggap semua masyarakat dapat
mengetahui. Hal ini dilakukan agar tidak ada satupun masyarakat yang
berargumentasi bahwa mereka tidak mengetahui akan suatu perundang-
undangan tertentu yang telah ada dan telah ditetapkan dan juga telah
diundangkan.
Pembahasan mengenai teori fiksi hukum untuk selanjutnya akan
dibahas pada baba empat dari pembahasan disertasi ini.
PEMANFAATAN TEORI
FIKSI HUKUM DALAM
PEMBENTUKAN UNDANG-
UNDANG, KEPUTUSAN
PRESIDEN DAN PERATURAN
DAERAH
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori fiksi hukum, penerapannya
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia serta
analisisnya dalam kaitan fungsi hukum dalam pembangunan masyarakat.
Hukum yang terimplementasikan dalam suatu peraturan perundanga-
undangan dibuat dalam rangka mencapai tujuan ideal dari keberadaan
hukum itu sendiri, yaitu menciptakan keadilan. Namun demikian, seperti
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa makna keadilan
adalah relatif, tergantung pada perspektif, cara pandang dan kondisi
masyarakat setempat. Keberadaan suatu peraturan perundang-undangan,
bagaimanapun proses yang dilaluinya, ketika telah disahkan menjadi suatu
undang-undang hendaknya tetap mengedepankan kepentingan masyarakat
secara luas, tidak bersifat eksklusif.
Tujuan keadilan dari hukum yang menjadi harapan dari adanya suatu
peraturan, hendaknya dikemas dalam suatu mekanisme yang mendukung
hakekat keadilan itu sendiri. Hukum harus memastikan bahwa suatu
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 107
peraturan perundang-undangan tidak hanya seonggok kertas tak
bernyali, akan tetapi hukum harus memastikan bahwa suatu peraturan
dapat diimplementasikan, tanpa terkecuali. Disinilah peran eksekutif dan
legislatif tidak hanya sekedar pada mekanisme perumusan suatu peraturan
saja, tetapi juga memastikan bahwa peraturan tersebut dapat diketahui oleh
masyarakat, tanpa terkecuali. Mekanisme inilah yang biasa di sebut dengan
mekanisme pengundangan, suatu mekanisme agar aspek publisitas dari
suatu peraturan dapat terpenuhi. Mekanisme pengundangan inilah yang
menjadi perkembangan dari suatu teori penting dalam ilmu hukum yaitu
teori fiksi hukum yang pertama kali dikenalkan oleh Van Apeldoorn.
1 Andrea Ata Ujan, “Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2009, hlm. 29
2 R.Arry Mth. Soekowathy, “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum bagi Rasa Keadilan dalam Hukum Positif”, di akses
dari http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/16/13 pada tanggal 17 Februari 2012
6 Rahmat Setiobudi Sokonagoro, Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek
7 Ibid.,
12 Ibid.,
13 Ibid.,
14 Ibid.,
15 Rahmat Setiabudi Sokonagoro, dkk, Menggali Peristilahan Hukum Dalam Bahasa Hukum Indonesia
16 E-dukasi.net, Makna dan Pentingnya Perundang – Undangan Nasional, diakses dari http://www.e-dukasi.net/
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 113
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya harus
sesuai dengan beberapa aspek, antara lain aspek sosiologis, aspek filosofis
dan aspek yuridis. Aspek filosofis merupakan tujuan dan pandangan
yang menjadi dasar cita-cita dibuatnya suatu peraturan perundang-
undangan.17 Perundang – undangan dikatakan mempunyai landasan
hukum filosofis (filisofische grondslag) apabila rumusannya atau norma-
normanya mendapatkan pembenaran (rechtvaardiging) dikaji secara
filosofis.18 Aspek filosofis sangat penting untuk menghindari terjadinya
pertentangan antara peraturan perundang-undangan dengan nilai-nilai
yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya etika, adat, agama dan lain
sebagainya.
Aspek yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi
pembuatan peraturan perundang-undangan. Aspek ini penting untuk
memberikan pijakan terhadap suatu peraturan perundang-undangan
agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan
peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya.19 Aspek yuridis
ini dapat pula dibedakan menjadi 2 macam, yaitu20 :
1. Landasan yuridis yang beraspek formal yaitu, ketentuan – ketentuan
hukum yang memberi kewenangan kepada badan pembenuknya.
2. Landasan yuridis yang beraspek material adalah ketentuan-
ketentuan hukum tentang masalah atau persoalan apa yang harus
diatur.
index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20Pokok/view&id=106&uniq=853
pada tanggal 19 Februari 2012 pukul 14.08 WIB.
17 “Urgensi Penyusunan Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan”, di akses dari http://ekorial.staff.uii.ac.id/2009/08/27/urgensi-penyusunan-naskah-
akademik-dalam-pembentukan/ pada tanggal 20 Februari 2012 pukul 18:16 WIB
18 Amiroeddin Syarif, Op.Cit. hal.91
19 Ekorial.staff.uii. Op.Cit
20 Amiroeddin Syarif. Op.Cit. hal.94
21 Ibid.hal.92
22 Ekorial.staff.uii, Op.Cit.
23 Rahmat Setiobudi Sokonagoro, op.cit.,
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 115
di pedalaman. Dalam bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia
jurist non excusat, ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang
tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau
tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan
tertentu.
Fiksi hukum sejatinya membawa konsekwensi bagi Pemerintah.
Setiap aparat pemerintah berkewajiban menyampaikan adanya hukum
atau peraturan tertentu kepada masyarakat. Kalau warga yang tak
melek hukum lantas diseret ke pengadilan padahal ia benar-benar tak
tahu hukum, aparat penyelenggara negara juga mestinya ikut merasa
bersalah.24
Teori fiksi hukum menurut UU No.10 Tahun 2004 lebih dikenal
dengan istilah pengundangan, yaitu ” sebagai penempatan suatu
peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran
resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan
mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.
Istilah “pengundangan” atau Afkondiging (Belanda) atau
Promulgation(Inggris) dapat berarti pemberitahuan kepada umum,
ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian
dengan sanksi pidana. Sedangkan yang dimaksud dengan publikasi
adalah pengumuman, membuat sesuatu terbuka untuk umum atau
diketahui oleh umum25.
Sehingga dengan demikian, berdasarkan pengertian di atas maka
istilah pengundangan berbeda dengan pengumuman. Jika dikaitkan
dengan teori fiksi hukum, maka istilah pengundangan dapat dikatakan
sebagai implementasi teori fiksi hukum.
Dr. A.Hamid Attamini,SH mengatakan bahwa kata ‘perundang
– undangan’ dapat berarti kegiatan atau fungsi; yaitu perbuatan
membentuk peraturan negara, baik pusat maupun daerah, dan dapat
pula berarti hasil atau produk dari kegiatan atau fungsi tersebut.26
Sedangkan pengertian menurut Pasal 1 angka (11) Undang - Undang
29 Yustisia Rahman, Publisitas, Fiksi Hukum dan Keadilan, diakses dari http://masterpidana.blogspot.
com/2010/01/publisitas-fiksi-hukum-dan-keadilan.html pada tanggal 20 Februari 2012.
30 Ibid.
31 Amiroeddin Syarief, Op.Cit. hal.75
32 Luthfi Eddyono, Setiap Orang Dianggap Tahu Hukum, diakses dari http://luthfiwe.blogspot.com/2011/11/
setiap-orang-dianggap-tahu-hukum.html pada tanggal 19 Februari 2012
33 Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986).
34 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Ke-29, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001). hal.407
1
2
3
Jadi ada 2 (dua) bal yang penting dari definisi di atas, yakni:
1. Asas praduga tak bersalah hanya berlaku dalam hukum pidana dan
tidak berlaku untuk bidang hukum lain, seperti hukum perdata atau
hukum tata usaha negara
2. Segara diwakili olch Jaksa Pcnuntut Umum yang dibebani untuk
membuktikan unsur-unsur pidana yang didakwakan dan bukan
scbaliknya tcrdakwa yang harus membuktikan dirinya tak bersalah.
4 Antonius Sujata “Reformasi dan Penegakan Hukum” Jambatan, Jakarta, 2000: 164).
5 Ibid.,
6 Ibid.,
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 137
Selanjutnya Penyelewengan Terhadap Keputusan Presiden. Dalam
hal ini sebagai contoh Keppres No. 86 tahun 1994 yang memberi hak
monopoli distribusi bahan peledak kepada 2 (dua) perusahaan. Untuk
kepentingan militer dipegang BUMN Pt. Dahana, sedangkan distribusi
komersial diberikan kepada Pt. Multi Nitrotama Kimia (MNK).
kemudian, Keppres No. 1 tahun 1997 yang mengatur koordinasi
pengembangan kawasan jonggol sebagai kota mandiri. Yang menarik
pada pasal 8 aturan ini tercantum: “ ... segala biaya yang diperlukan bagi
penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri
dilakukan sepenuhnya oleh usaha swasta”. Swasta yang mendapat
durian runtuh di Jonggol namanya Pt. Bukit Jonggol Asri yang sahamnya
dimiliki Bambang Trihatmojo.
Berikutnya Keppres No. 31 tahun 1997 yang menyatakan bahwa
swasta harus mendapat izin presiden untuk membangun kilang minyak.
Faktor Bob Hasan agaknya menjadi penyebab munculnya beleid ini. Pada
waktu keppres ini dikeluarkan, satu-satunya swasta yang mengajukan
izin adalah Pt. Nusamba milik Bob Hasan.
Contoh lain yang menarik adalah Keppres No. 20 tahun 1992 tentang
Tata Niaga Cengkeh harus melalui kendali BPPC. Dan Keppres No. 42
tahun 1996 yang mengatur tentang proyek nasional.
Adapun contoh penyimpangan terhadap undang-undang dan
pelaksanannya adalah sebagai berikut Dalam tahun 1957 Republik
Indonesia dan seluruh perairan teritorial dinyatakan dalam keadaan
perang berdasarkan keppres No. 225 tahun 1957 yang disahkan oleh
DPR R1 dengan undang-undang No. 79 tahun 1957. Atas dasar itu maka
penguasa-penguasa perang mempunyai kekuasaan untuk membuat
peraturan berdasarkan pasal 7 ayat (2) UU No. 74 tahun 1957. Diantara
peraturan-peraturan tersebut adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat
Kepala StafAngkatan Darat, tanggal 16 April 1958 No. PrtlPeperpu/O
13/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf’Angkatan
Laut, tanggal17 April 1958 o. Prt/Z.I1 I17. Kedua peraturan tcrsebut
dimaksudkan untuk dalam waktu yang sesingkat-singkatnya perbuatan-
perbuatan korupsi yang banyak terjadi dapat diberantas.
7 Rahmat Setiabudi Sokonagoro, “Peristilahan Fiksi Hukum (Fictie Hukum) Dalam Teori dan dalam Praktek”,
di akses dari http://www.sokonagoro.com/13-peristilahan-fiksi-hukum-fictie-hukum-dalam-teori-dan-dalam-
praktek.html pada tanggal 17 Februari 2012 pukul 19:05 WIB
8 Hukum Online, Ketidaktahuan Undang – Undang Tidak Dapat Dibenarkan, diakses dari http://hukumonline.
com/berita/baca/lt4dc100992a35a/ketidaktahuan-undangundang-tak-dapat-dibenarkan pada tanggal 14
Februari 2012
9 Ibid.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 155
pendidikan hukum mutlak dilakukan. Budaya hukum masyarakat
tidak dapat dipisahkan dari intensitas diseminasi dan penyuluhan
yang dilakukan para penyelenggara negara kepada masyarakat. Setiap
penyelenggara negara berkewajiban memberikan penyuluhan hukum
sebagai bagian dari proses edukasi dan pembudayaan hukum10. Proses
edukasi dan pembudayaan hukum harus dilakukan terhadap semua
lapisan baik penyelenggara negara, aparatur penegak hukum maupun
masyarakat pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan pengarahan
Presiden Republik Indonesia, bahwa seluruh aparatur negara memiliki
tanggung jawab terhadap dilaksanakannya diseminasi dan penyuluhan
hukum kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat
memahami hukum secara utuh yang secara langsung merupakan
langkah preventif agar tidak terjadi pelanggaran hukum11.
Diseminasi dan penyuluhan hukum yang dilakukan merupakan hal
yang tidak dapat dipisahkan guna menjamin bahwa tidak ada alasan
bagi siapapun untuk melanggar peraturan yang ada, dengan dalih tidak
mengetahuinya. Jika hal tersebut tidak dilaksanakan, maka masyarakat
dapat terjebak dalam pelanggaran yang mungkin dia tidak ketahui dan
kehendaki. Sosialisasi hukum merupakan hal yang harus ditingkatkan
melalui sistem yang terencana dengan baik, dengan memanfaatkan
seluruh infrastruktur pendukung seperti partisipasi aktif masyarakat,
media elektronik maupun non elektronik serta saluran-saluran lainnya
seperti pemanfaatan teknologi informasi dan lain-lain. Sosialisasi
dalam bentuk diseminasi dan penyuluhan hukum dalam rangka
menciptakan budaya hukum masyarakat merupakan tugas pemerintah.
Dengan demikian penegak hukum dapat melaksanakan fungsi law
enforcement sekaligus pengayoman, sesuai dengan tujuan hukum,
yaitu keadilan dan ketertiban, karena fungsi hukum itu sendiri selain
sebagai pencipta keteraturan (order), juga harus dapat memberikan
perlindungan bagi rakyat untuk memperoleh keadilan dan bukan untuk
menyengsarakan12.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, teori fiksi hukum menjadi salah satu teori yang mendasari
dalam proses pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dengan
mengamanahkannya dalam UU No.10 Tahun 2004. Dalam undang-
undang ini, teori fiksi hukum diterjemahkan dengan kewajiban untuk
melakukan pengundangan atas setiap peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh lembaga yang berwenang membuatnya. Adapun yang
menjadi tujuan pengundangan ini adalah agar terpenuhinya aspek
publisitas dari suatu peraturan agar memiliki kekuatan mengikat di
tengah-tengah masyarakat.
Teori fiksi hukum memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses
pembuatan peraturan perundang-undangan dengan mengamanahkan
proses pengundangan sebagai proses akhir dari suatu pembuatan
peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pelaksanaan
teori fiksi hukum ini seringkali hanyalah formalitas procedural
dalam pemenuhan aspek publisitas dari suatu peraturan perundang-
undangan. Belum adanya mekanisme bagaimana jika suatu peraturan
belum diketahui lebih dari lima puluh persen warga masyarakat maka
dianggap peraturan tersebut belum berlaku.
Fiksi Hukum Dalam Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan 157
Hal inilah yang menjadi perhatian dari para sarjana hukum,
mengingat teori fiksi hukum sepertinya belum menyentuh aspek
pemahaman masyarakat sebagai objek dari peraturan tersebut.
Masyarakat diharapkan lebih pro aktif dalam mencari tahu
peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa dan disisi lain proses
pengumuman dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah
sekedar formalitas prosedural atas suatu proses pembuatan peraturan
perundang-undangan tanpa melihat aspek evaluasinya.
Sehingga dengan demikian, aspek pemahaman atas suatu peraturan
perundang-undangan sepertinya tidak menjadi tolak ukur keberhasilan
suatu peraturan perundang-undangan berlaku secara sosiologis.
Kedua, implementasi teori fiksi hukum sebenarnya telah diadopsi
baik dalam UU No.10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No.1 tahun
2007 tentang amanat pengundangan, penyebarluasan dan pengumuman
atas suatu peraturan perundang-undangan melalui berbagai media
yang ada. Hendaknya para pemikir hukum tidak hanya berfikir
bahwa pengundangan berhenti sampai pada proses meletakkan suatu
peraturan dalam lembaran Negara dan berita Negara saja, tetapi sampai
pada proses pengumuman dan penyebarluasan sebagai pemenuhan
asas publisitas dari suatu peraturan perundang-undangan.
Sehingga dengan demikian, implementasi teori fiksi hukum tidak
hanya selesai pada tahapan pengundangan tetapi lebih pada procedural
teknis yaitu aspek pengumuman dan penyebarluasan kepada masyarakat
sebagai objek dari peraturan itu sendiri. Dengan terpenuhinya proses
ini diharapkan suatu peraturan benar-benar dapat berlaku secara efektif
ditinjau dari aspek sosiologis. Selain itu, pencerdasan hukum melalui
pendidikan hukum kepada masyarakat dapat dimulai dengan proses
ini sehingga dapat meminimalisir permasalahan yang ditemui selama
ini dari proses penegakan hukum yaitu ketidaktahuan masyarakat atas
suatu peraturan perundang-undangan.
Friedman, Lawrence M., 1986, Legal Culture and The Welfare State” tulisan
dalam Gunther Teubner, ed. Dilemmas of Law in the Welfare State,” Walter
de Gruyter, Firence.
Friedmann, W.. Legal Theory, 4th Edition, London, Steven & sons Limited,
1960.
Houlgate, Laurence D., Ignorantia Juris: A Plea For Justice, The University of
Chicago Press, 1967.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Penerbit PT. Eresco,
Bandung, 1981.
Internet