Anda di halaman 1dari 133

ARGUMENTASI HUKUM

ADITYA YULI SULISTYAWAN


Aditya Yuli Sulistyawan

ARGUMENTASI HUKUM
ISBN : 978-602-0896-64-9
Penerbit Yoga Pratama
Jl. Puspowarno Selatan No. 53 Semarang 50143 Telp. 024-7625016, 7615670
Fax. 024-7625016
e-mail : yogapratama_014@yahoo.co.id

vi, 126 hal, 160 X 240 mm


Lay-out / Setting : Apriya Heri Setiyawan

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang


Dilarang mengutip, memperbanyak, dan mengedarkan sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Undang undang Nomor 28 Tahun 2014


Pasal 112
Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan pasal 7 ayat (3) dan atau pasal 52 untuk penggunaan
secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 113
(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3). Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
(4). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
Pasal 114
Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui
membiarkan penjualan dan atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta dan atau hak terkait ditempat
perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Argumentasi Hukum iii

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan pencipta semesta dan seisinya
yang maha segalanya, telah senantiasa memberikan rahmat yang tak terhingga,
sehingga di tengah aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berbagai
kewajiban publikasi jurnal ilmiah, penulis dapat menyelesaikan penulisan
buku dengan judul Argumentasi Hukum ini untuk hadir di tangan para pembaca
sekalian.
Sebagai akademisi yang berkecimpung dalam ilmu hukum, filsafat
hukum, dan juga mengajar pada mata kuliah Argumentasi Hukum, penulis
merasa perlu untuk menulis buku Argumentasi Hukum ini, karena keterbatasan
literatur buku tentang Argumentasi Hukum di Indonesia yang dapat dijadikan
pegangan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Padahal keberadaan pilihan
literatur tema ini penting bagi mereka untuk menelusuri seluk beluk argumentasi
hukum, berikut cara bagaimana mempelajarinya sebagai keterampilan bagi
mereka sebagai seorang pemikir hukum yang baik. Oleh karena itu, penulis
menyelesaikan buku ini sebagai upaya penulis menghadirkan buku literatur
yang baik di tengah keterbatasan referensi tentang tema ini.
Kehadiran buku ini dalam edisi pertama pasti tidaklah bisa disebut
sempurna dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan dari para pemikir hukum dan pembaca sekalian untuk menyempurnakan
substansi buku ini di kemudian hari.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca
sekalian, sekaligus menyampaikan harapan semoga buku ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Lebih khusus, semoga buku ini dapat menjadi pegangan para
mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menjadi calon akademisi dan
praktisi hukum yang handal dan memiliki kemampuan argumentasi hukum
yang mumpuni.

Semarang, Februari 2021

Penulis
iv Argumentasi Hukum
Argumentasi Hukum v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii


DAFTAR ISI ............................................................................................... v
BAB I HUKUM DALAM POSISI KEILMUAN: LANDASAN
AWAL MEMBANGUN PEMAHAMAN HUKUM.................... 1
A. Hukum dalam Posisi Keilmuan............................................... 1
1. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Alam (?)............... 2
2. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Sosial (?)............. 3
3. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Humaniora (?)..... 4
4. Ilmu Hukum sebagai Ilmu Sui Generis (?)........................ 5
B. Dikotomi yang Menyederhanakan: Normatif vs Empiris....... 8
C. Lapisan Ilmu Hukum ............................................................. 10
BAB II ARGUMENTASI HUKUM, LOGIKA, DAN PENALARAN.... 15
A. Urgensi Argumentasi Hukum bagi Calon Sarjana Hukum..... 15
B. Logika dan Penalaran.............................................................. 16
C. Bentuk Pemikiran Manusia..................................................... 19
D. Model Proses Penalaran.......................................................... 20
1. Penalaran Deduktif (Silogisme)......................................... 22
2. Penalaran Induktif ............................................................. 37
BAB III ARTI PENTING LOGIKA DALAM HUKUM........................... 42
A. Arti Penting Logika Terhadap Ilmu Hukum ........................... 42
B. Relevansi Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum.......... 43
1. Makna Penting Penalaran Silogisme Dalam Hukum......... 46
2. Makna Penting Kausalitas Dalam Hukum......................... 48
3. Analogi Dalam Hukum...................................................... 53
BAB IV KESESATAN DALAM PENALARAN (FALLACY)................... 55
A. Pemahaman Kesesatan Berpikir.............................................. 55
B. Model Kesesatan Berpikir....................................................... 56
BAB V PENEMUAN HUKUM................................................................ 65
A. Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding)....................... 65
1. Istilah Penemuan Hukum................................................... 66
2. Dasar Hukum Penemuan Hukum (Rechtsvinding)........... 67
B. Metode Penemuan Hukum...................................................... 68
1. Metode Interpretasi............................................................ 69
2. Konstruksi Hukum............................................................. 73
vi Argumentasi Hukum

BAB VI PENALARAN DALAM ALIRAN FILSAFAT HUKUM........... 78


A. Membangun Pemikiran Logis................................................. 78
B. Sedikit Mengenal Filsafat Hukum........................................... 79
C. Aliran-Aliran Filsafat Hukum................................................. 81
1. Positivisme Hukum............................................................ 81
2. Aliran Hukum Alam.......................................................... 88
3. Sociological Jurisprudence................................................ 91
4. Realisme Hukum............................................................... 96
5. Critical Legal Studies (CLS)............................................. 98
6. Feminisme Hukum (Feminist Jurisprudence)................... 101
D. Dari Aliran kepada Filsafatnya (Paradigma)........................... 102
BAB VII ARGUMENTASI HUKUM DAN LEGAL OPINION ................................. 106
A. Argumentasi Hukum............................................................... 106
1. Hakikat Argumentasi Hukum............................................ 107
2. Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Argumentasi
Hukum............................................................................... 108
3. Argumentasi Hukum Dalam Pertimbangan Hukum.......... 109
B. Legal Opinion.......................................................................... 110
1. Pengertian Legal Opinion.................................................. 111
2. Fungsi Legal Opinion........................................................ 112
3. Prinsip-Prinsip dalam Pembuatan Legal Opinion.............. 113
4. Mekanisme Penyusunan Legal opinion............................. 114
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 122
Argumentasi Hukum 1

BAB I
HUKUM DALAM POSISI KEILMUAN:
LANDASAN AWAL MEMBANGUN
PEMAHAMAN HUKUM

A. Hukum dalam Posisi Keilmuan


Sebelum lebih lanjut membahas tentang argumentasi hukum, pada
bagian awal ini penulis ingin menunjukkan terlebih dahulu tentang bagaimana
posisi ilmu hukum dalam peta keilmuannya. Hal ini merupakan suatu hal
yang penting untuk dipahami lebih awal kepada siapapun yang sedang belajar
mengenai argumentasi hukum, karena pemahaman ini akan menentukan
bagaimana argumentasi hukum akan terbangun?
Argumentasi hukum seseorang akan terkait dengan bagaimana ia
melihat hukum. Cara seseorang melihat hukum akan terlihat pada bagaimana
ia memahami hukum dalam peta keilmuannya, karena setiap pemahaman
itu akan menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Itu artinya, cara pandang
seseorang dalam memahami hukum bisa saja berbeda satu sama lain, karena
pemikiran manusia tentang hukum memang tidak pernah selalu sama, terbukti
dari banyaknya aliran pemikiran tentang hukum yang tumbuh dan berkembang
selama ini [bagian ini akan dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya pada buku
ini].
Perbincangan tentang posisi ilmu hukum dalam peta keilmuan
merupakan pembahasan yang tidak pernah “selesai”. Perbedaan [kalau tidak
mau disebut perdebatan] sejak awal mengemuka, tentang pertanyaan dimanakah
ilmu hukum berkedudukan secara ilmu? Apakah ilmu hukum merupakan bagian
dari ilmu alam, atau bagian dari ilmu humaniora, atau bagian dari ilmu sosial,
atau bahkan ilmu yang berdiri sendiri [dalam istilahnya disebut “sui generis”]?
Jawaban dari pertanyaan sederhana ini memang tidak pernah sederhana.
Pilihan menempatkan posisi ilmu hukum sebagaimana opsi dalam pertanyaan
diatas tidak pernah dijawab secara sama oleh pemikir hukum di dunia ini.
Pada setiap opsi tersebut, memiliki penganutnya masing-masing sesuai dengan
pemikiran yang diyakininya. Setiap pilihan memiliki argumentasinya masing-
masing yang dibangun secara meyakinkan.
2 Argumentasi Hukum

Sebagian pemikir hukum mungkin bersetuju bahwa ilmu hukum


merupakan bagian dari ilmu alam, karena memiliki sifat kepastian yang
diinginkan untuk mewujudkan objektivitas dan persamaan dalam hukum.
Namun, tidak sedikit juga yang berkeyakinan bahwa ilmu hukum adalah
bagian dari ilmu sosial karena hukum hidup dalam ruang sosial yang mengatur
hubungan antar manusia dan berkehendak mewujudkan ketertiban sosial.
Sebagian lain meyakini bahwa ilmu hukum adalah bagian dari ilmu
humaniora karena berkenaan dengan human, memiliki sifat kemanusiaan
karena berhubungan dengan manusia. Atau juga mayoritas kelompok lainnya
yang justru menempatkan ilmu hukum bukan sebagai bagian dari ilmu lainnya,
tetapi merupakan ilmu yang berdiri sendiri karena kekhasannya, inilah yang
mereka sebut ilmu sui generis itu.
Faktanya, tempo dulu gelar lulusan bagi mereka yang studi S2 Ilmu
Hukum berbeda-beda. Ada yang bergelar Magister Sains (M.S.), Magister
Humaniora (M.Hum.), ataupun Magister Hukum (M.H.) sesuai kebijakan
perguruan tinggi tempat belajar mahasiswa. Gelar ini kemudian pada
perkembangannya diseragamkan menjadi Magister Hukum (M.H.) seiring
dengan keinginan untuk menampilkan keilmuan hukum secara spesifik dalam
label atau gelar keilmuan.
1. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Alam (?)
llmu alam (bahasa Inggris: natural science) adalah istilah yang
digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu di mana obyeknya adalah benda-
benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun
dan di mana pun.1 Sains (science) diambil dari kata latin scientia yang arti
harfiahnya adalah pengetahuan. Sains sebagai proses merupakan langkah-
langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam
rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut
adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen,
mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini
tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi
artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas. Ilmu alam mempelajari aspek-
aspek fisik & nonmanusia tentang bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam
membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya dibedakan dari ilmu
sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Formulasi sains modern yang dikonstruksi di atas logika murni Rene
Descartes telah membawa akibat buruk terhadap dimensi ontologi, epistemologi

1 Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Indeks. (Jakarta). Hlm. 11.
Argumentasi Hukum 3

dan aksiologi ilmu. Perngertian ilmu dibatasi pada cabang natural science
murni (an-sich) dan pengertian epistemologi ilmu juga dipagari sebatas metode
eksperimental belaka, sehingga cabang ilmu yang tidak berobyek benda
alam dan tidak menggunakan metode eksperimental dianggap bukan sains.
Keadaan ini telah mengakibatkan terputusnya sains dari perspektif global dan
aksiologinya. Maka “sains menjadi bidang pengetahuan yang eksklusif dan
tidak memberikan manfaat apapun terhadap lingkungannya” kata Lili Rasjidi.2
Konsekuensi dari keadaan ini digambarkan sebagai:3
“Mengaburnya status saintifik cabang ilmu yang berobyek bukan benda
alam adalah influensi yang paling menonjol dari filfasat Cartes secara
paradoksal: Pertama, timbulnya sikap pengingkaran terhadap status
saintifik ilmu-ilmu non-alamiah di kalangan ahli-ahli ilmu alam. Sikap
ini berjalan seiring dengan sikap kultus – subjektif terhadap ilmu alam
dengan asumsi bahwa ilmu alamlah satu-satunya ilmu yang berhak
menyandang status kesaintifikan karena obyek dan metodenya. Kedua,
timbulnya reaksi yang kuat dari kalangan ilmuwan kemanusiaan
untuk membuktikan sifat saintifik dari cabang ilmu mereka. Reaksi
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu: mereka yang
membuktikan dengan cara menggunakan metode-metode otonom yang
sesuai dengan obyek ilmunya dan mereka yang membuktikan dengan
cara menerapkan metode ilmu alamiah ke dalam ilmu kemanusiaan.
Dari sinilah kemudian terlihat upaya menerapkan cara berlakunya
ilmu alam ke dalam ilmu hukum. Saintifikasi ilmu hukum terjadi dan
membawa pengaruh besar dalam pengembangan keilmuannya. Hingga saat ini,
kelompok yang berpandangan demikian tetap eksis dan memiliki penganutnya.
Demikianlah penempatan ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu alam dalam
kelompok ini dapat dijelaskan.
2. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Sosial (?)
Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial menitikberatkan objek
kajiannya pada masyarakat yang kita pahami sebagai suatu sistem sosial,
sehingga memiliki banyak segi. Oleh karenanya, tidak tepat jika hukum hanya
dipahami sebagai satu bentuk peraturan perundang-undangan saja. Lebih dari
itu, hukum musti dilihat dari ilmu sosialnya adalah suatu gejala sosial yang
nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dilihat sebagai
suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat
2 Lili Rasyidi dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”. diakses
dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id.
3 Ibid.
4 Argumentasi Hukum

akan suatu ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup masyarakat.


Hukum selain difungsikan sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat
(control social), hukum juga merupakan alat perubahan dan sebagai alat untuk
mencapai keadilan substansial. Hukum sebagai suatu tatanan tertib sosial
memiliki banyak dimensi sehingga hukum juga harus dikaji dalam tataran
empiriknya. Karena ciri hukum tidak dapat dipahami tanpa ada kajian empirik
mengenai hubungan-hubungan ketergantungan antara aspek-aspek ketertiban
hukum yang bervariasi yang mengarahkan kepada kecenderungan ciri hukum
tertentu.
Dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dibutuhkan karena terjadinya
hubungan sosial diantara manusia. Hukum diperlukan karena manusia tidak
hidup sendiri, melainkan hidup bersama dengan manusia lainnya, setidaknya
sejak minimal ada dua orang, mereka membutuhkan hukum. Kalau manusia
hidup sendiri, manusia akan bebas merdeka untuk berperilaku dan menuruti
setiap kehendaknya, namun tidak demikian jika ia hidup dengan orang lain,
diperlukan pengaturan bersama untuk terwujudnya tertib sosial, inilah mulai
dibutuhkan hukum. Faktanya saat ini, manusia banyak jumlahnya dan hidup
bersama-sama di muka bumi dalam bingkai komunitas bernama negara. Masing-
masing negara memiliki tujuan negara dan ingin mewujudkan ketertiban
sosialnya masing-masing, melalui hukum nasionalnya, juga di level pengaturan
antar-bangsa dalam wujud hukum internasional sebagai upaya pencapaian
harmoni antar-negara di dunia. Inilah esensi hukum di tengah kehidupan sosial,
hingga kemudian dalam perkembangan keilmuannya secara alami dipahami
sebagai bagian dari ilmu sosial.
Pendirian hukum sebagai bagian dari ilmu sosial diterima oleh banyak
pemikir hukum melalui banyak literatur yang ada. Pengkajian ilmu hukum
sebagai ilmu sosial juga berkembang dalam berbagai dinamika keilmuan,
seperti aliran law and society, sosiologi hukum, penggunaan pendekatan
sociolegal studies, atau bahkan pengadopsian gagasan paradigma4 dalam ilmu
sosial kepada ilmu hukum, menunjukkan bukti relasi ilmu hukum sebagai
bagian daripada ilmu sosial.
3. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Humaniora (?)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humaniora dimaknai
sebagai: (1) ilmu pengetahuan yang meliputi filsafat, hukum, sejarah, bahasa,
sastra, seni, dan sebagainya; (2) makna intrinsik nilai-nilai humanisme.
4 Paradigma sebagai sistem filsafat payung/induk/utama dalam penelitian sosial diantarkan
dalam buku yang ditulis N.K Denzin dan Y. S. Lincoln (eds). Handbook of Qualitative Research.
(London: Sage Publication, Inc, 1994).
Argumentasi Hukum 5

Berdasarkan makna tersebut, hukum merupakan bagian daripada ilmu humaniora


bersamaan dengan filsafat, sejarah, bahasa, sastra, seni, dan sebagainya.
Humaniora adalah seperangkat ilmu yang ingin agar manusia (humanus)
menjadi bertambah manusiawi (humanior). Ketika ilmu-ilmu humaniora
diadopsi ke dalam lingkup pendidikan tinggi, ilmu-ilmu ini dipandang
penting untuk diajarkan kepada semua mahasiswa dari jurusan manapun.
Itulah sebabnya, pengajaran humaniora lalu diberi predikat studium generalis.
Adopsi atas ilmu-ilmu ini ke dalam pembelajaran di kampus dilatarbelakangi
oleh keprihatinan atas terjadinya alienasi di antara ilmu-ilmu anak (vak) yang
mereduksi hakikat kemanusiaan.
Berikut ini merupakan beberapa pengertian dari pendidikan humaniora:5
a. Pendidikan humaniora lebih mengutamakan pada pendidikan nilai-
nilai. Nilai moral dipandang sebagai nilai yang menjadi dasar bagi
manusia dalam membudayakan diri dan alam lingkungannya;
b. Bidang studi yang merupakan sumber bahan bagi pendidikan
humaniora adalah bidang-bidang studi kebudayaan, sebab pada
hakekatnya kebudayaan merupakan kristalisasi pengembangan nilai-
nilai manusiawi;
c. Pendidikan humaniora dikembangkan dalam rangka pembangunan
manusia seutuhnya.
Berdasarkan uraian ini, ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu humaniora
memiliki karakteristik untuk mengedepankan nilai-nilai humanisme, karena
hukum merupakan bagian dari sistem kebudayaan. E. B Taylor, melihat
kebudayaan sebagai komplek yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-
kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai warga masyarakat.6
4. Ilmu Hukum sebagai Ilmu Sui Generis (?)
Sebelum memahami tentang ilmu hukum sebagai ilmu sui generis
yang diyakini oleh sebagian pemikir hukum, penting untuk terlebih dahulu
mengetahui tentang dua perbedaan besar tentang sifat hukum sebagai norma
dan sifat hukum sebagai nomos. Perbedaan inilah yang menjadi pangkal dalam
mana para pemikir hukum menempatkan hukum dalam kelompok keilmuannya.
Penting untuk memahami perbedaan mendasar ini, bahwa hukum
bisa dimengerti sebagai norma ataupun sebagai nomos. Pengertian ini yang
5 A. Daliman. “Pendidikan Humaniora dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pendidikan
Nasional”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah Pendidikan. Vol. 3, No. 3. Tahun 1983. Hlm. 4.
6 Anak Agung Gede Oka Parwata, dkk. Buku Ajar Memahami Hukum dan Kebudayaan.
(Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2016). Hlm. 9.
6 Argumentasi Hukum

selanjutnya menjadi landasan untuk memahami apakah ilmu hukum merupakan


ilmu yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari ilmu lain, atau juga
meletakkannya dalam pemahaman berbagai aliran filsafat hukum yang ada.
Berikut ini adalah perbedaan antara hukum sebagai norma dan hukum sebagai
nomos sebagaimana pernah disampaikan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yang
disarikan melalui Shidarta:7
a. Sebagai norma, hukum memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Sedangkan jika sebagai nomos tidak mungkin terjadi penyimpangan.
Contoh hukum sebagai norma: Di taman-taman kota ada tulisan
“jangan petik aku”. Sebagai norma yang berisikan larangan memetik
bunga atau tanaman hias, apakah norma itu pasti akan dipatuhi? Tentu
tidak. Artinya, mungkin sekali terjadi penyimpangan, orang-orang
yang membaca itu tetap punya pilihan mematuhi atau menyimpangi
(melanggar). Inilah sifat norma yang paling jelas.
Contoh hukum sebagai nomos: Setiap benda yang dijatuhkan, pasti
akan turun ke bawah karena gaya gravitasi, ini adalah hukum yang
pasti dan tidak memungkinkan adanya penyimpangan.
b. Norma menuntut atau memerlukan adanya kesadaran, sedangkan
nomos tidak menuntut atau memerlukan adanya kesadaran.
Contoh hukum sebagai norma yang memerlukan adanya kesadaran: Saat
berjalan-jalan di sebuah kota di Jepang, ada banyak norma pengaturan
tertib di jalanan yang ada di sepanjang jalan, semua dalam huruf dan
bahasa Jepang. Sebagai orang Indonesia yang sedang berkunjung ke
Jepang dan tidak tahu bahasa dan penulisan huruf Jepang, Budi abai
saja terhadap ketentuan-ketentuan itu. Inilah contoh bahwa norma
memerlukan kesadaran mengenai pengetahuan bahasa norma yang
bersangkutan.
Contoh hukum sebagai nomos yang tidak memerlukan kesadaran:
Sebagai manusia, kita diciptakan dengan hukum semakin menua,
sebagai kepastian alam. Hari ini kita lebih tua dari hari kemarin, begitu
pula tahun depan usia kita juga makin tua daripada hari ini. Perihal
hukum yang seperti ini sama sekali tidak memerlukan kesadaran,
bahkan jika seseorang dalam kondisi koma (dalam kondisi tidak sadar)
di kamar ICU suatu rumah sakit, usianya juga akan tetap bertambah tua
seiring waktu berjalan.

7 Wignjosoebroto dalam Shidarta, disampaikan dalam Perkuliahan Program Doktor Ilmu


Hukum Universitas Diponegoro Semarang. November 2014.
Argumentasi Hukum 7

c. Orang yang melanggar norma akan mendapatkan beban


pertanggungjawaban, sedangkan orang yang melanggar nomos tidak
akan mendapatkan beban pertanggung-jawaban karena tidak akan
mungkin ada penyimpangan.
Beban pertanggungjawaban bagi siapapun yang melanggar norma adalah
adanya sanksi yang akan ditanggung, sementara penyimpangan nomos
tidak dimungkinkan sehingga tidak ada beban pertanggungjawaban
berupa sanksi.
d. Norma hanya dapat diberlakukan bagi manusia, sedangkan nomos
berlaku secara universal tidak hanya kepada manusia.
Contoh bahwa norma hanya dapat ditujukan kepada manusia: Suatu
malam, Anton terbangun dari tidurnya karena banyak nyamuk di
kamarnya. Karena dia seorang mahasiswa Fakultas Hukum, terbersit ide
di kepalanya bahwa ia akan membuat norma untuk mengatur kehadiran
nyamuk-nyamuk tersebut di kamarnya. Diambilnya kertas dan spidol,
ia tuliskan norma “Nyamuk dilarang masuk”. Tulisan itu ditempelnya
di depan pintu kamarnya. Lantas apa yang terjadi selanjutnya, apakah
setelah itu ia aman dari serangan nyamuk-nyamuk itu? Tentu saja
tidak. Norma itu jelas tidak bisa ditujukan kepada nyamuk yang tidak
memiliki kesadaran untuk memahami norma tersebut.
e. Pemahaman hukum sebagai norma melahirkan sifat hukum yang
preskriptif, sedangkan pemahaman hukum sebagai nomos melahirkan
sifat hukum yang deskriptif.
f. Hukum sebagai norma merupakan pattern for behaviour, sementara
hukum sebagai nomos merupakan pattern of behaviour.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum sebagai pattern for
behaviour terdiri dari dari dua konsep yaitu: hukum sebagai ius
constituendum dan hukum sebagai ius constitutum. Sedangkan hukum
sebagai pattern of behaviour melahirkan konsep hukum sebagai pola
perilaku sosial yang terlembagakan dan hukum sebagai makna-makna
simbolik dalam perilaku sosial.
Melalui pemahaman tentang perbandingan dua bentuk sifat hukum
yaitu sebagai norma dan nomos, dikotomi tentang hukum normatif versus
hukum empiris berasal. Hukum sebagai norma melahirkan hukum yang normatif
sedangkan hukum sebagai nomos melahirkan sifat hukum yang empiris.
8 Argumentasi Hukum
B. Dikotomi yang Menyederhanakan: Normatif vs Empiris
Dalam perkembangannya, dikotomi hukum normatif dan hukum
empiris ini yang disebut secara jamak sebagai dua pendekatan berseberangan ini,
semakin meruncing. Dalam dunia pemikiran hukum umumnya, para pemeluk
pendekatan hukum normatif hampir selalu menafikan mereka yang memiliki
pendekatan empiris, atau juga sebaliknya. Mengklaim sebagai lebih unggul,
mereka yang belajar hukum dalam keterjebakan “chauvinisme pendekatan”
(istilah penulis untuk menggambarkan eksklusifitas masing-masing kelompok)
ini tidaklah bijak. Terlebih jika dipahami dalam pemahaman Soetandyo
Wignjosoebroto melalui perbedaan norma dan nomos, maka keterpisahan
diantara kelompok hukum normatif dan hukum empiris tidaklah begitu nyata
jika ditelusuri sampai kepada aliran-aliran pemikiran hukum yang dilahirkannya.
Aliran hukum kodrat (ius constituendum) dan aliran positivisme hukum (ius
constitutum) sebagai dua aliran yang berpijak dari pemahaman hukum sebagai
norma. Di sisi lain, ada aliran realisme hukum, aliran interaksionisme simbolik,
aliran sejarah sebagai buah dari pemahaman hukum sebagai nomos, atau aliran
sociological jurisprudence sebagai aliran yang ada diantara pemahaman hukum
sebagai norma dan hukum sebagai nomos. Lebih lanjut mengenai aliran-aliran
pemikiran ini akan dibahas dalam bab VI dalam buku ini.
Tajamnya perbedaan kubu pemikiran normatif dan empiris mengemuka
dengan mengakibatkan saling tuduh, saling kritik diantara satu dengan yang lain.
Satu kubu merasa lebih baik dari yang lain sehingga merendahkan keberadaan
yang lain. Dwi Putro dan Herlambang P. Wiratraman bahkan menyebut:8
“Tidak bisa disembunyikan, di fakultas hukum-fakultas hukum di
Indonesia terjadi permusuhan permanen antara penganut metodologi
penelitian hukum normatif yang mengklaim bahwa objek studi hukum
itu norma/hukum positif dengan penganut metodologi penelitian hukum
empiris yang lebih melihat kenyataan bekerjanya hukum di masyarakat.
Dikotomi itu menyebabkan dua metodologi selalu saling berlawanan
dan menutup diri untuk selalu bekerjasama. Perselisihan epistemologi
direduksi menjadi hanya mempertahankan dan melemahkan dua
imperium ini. Perdebatan panjang di fakultas hukum hanya tentang
apakah metodologi yang valid sepenuhnya normatif-deduktif atau
sepenuhnya empirik-deduktif. Perdebatan yang kadang berujung pada
saling “mengharamkan” metodologi yang lain, membuat ilmu hukum
menjadi kerdil dan tidak berkembang”
8 Widodo Dwi Putro & Herlambang P. Wiratraman. “Penelitian Hukum: Antara yang
Normatif dan Empiris”. Digest Epistema Vol. 5. 2015. Hlm. 3-4.
Argumentasi Hukum 9

Untuk menunjukkan kedua pemikiran yang meruncing secara dikotomis ini,


berikut ini disajikan perbandingan ilmu hukum empirik dan ilmu hukum
normatif sebagaimana penulis kutip dari J.J.H. Bruggink:9

Tabel 1.
Perbandingan Ilmu Hukum Empirik dan Ilmu Hukum Normatif
Ilmu Hukum Empirik Ilmu Hukum Normatif
Hubungan Dasar Subjek - objek Subjek - subjek
Sikap Ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
Perspektif Ekstern Intern
Teori Kebenaran Korespondensi Pragmatik
Proposisi Hanya informatif atau empiris Normatif dan evaluatif
Metode Hanya metode yg bisa diamati Juga metode lain
panca-indra
Moral Non kognitif kognitif
Hubungan antar Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
moral dan hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas
dan teori hukum empiris

Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut
D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:10
a) secara tegas membedakan fakta dan norma;
b) gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
c) metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris; dan
d) bebas nilai.
Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu
hukum empirik adalah: Pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam
ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-
gejala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu
hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma sehingga peranan
subyek sangat menonjol. Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu
hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar
karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya
adalah konsensus sejawat sekeahlian.11
9 J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta. (Bandung:
Citra Aditya Bhakti, 1999). Hlm. 189.
10 Philipus M. Hadjon dalam Titik Triwulan Tutik. “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum
Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”. Jurnal MIMBAR HUKUM.Vol 24. No.
3. Oktober 2012. Hlm. 450.
11 Ibid.
10 Argumentasi Hukum

Dalam studi filsafat hukum melalui gagasan berpikir barunya yaitu


paradigma, sejatinya silang pendapat diantara pemikiran hukum seperti yang
direngkuh kubu normatif dan kubu empiris, atau bahkan lebih luas lagi dari
hanya kedua perbedaan ini, dapat dijelaskan dan dijembatani dengan telaah
paradigmatik. Perbedaan yang selama ini terbentang di antara aliran-aliran
filsafat hukum, teori-teori hukum, dapat ditinjau kembali melalui filsafat
utamanya, sehingga akan terlihat perbedaan itu dalam nuansa atau gradasi
yang lebih lengkap. Satu sama lain perbedaan akan terpahami secara rinci
sehingga tidak mempertajam pertentangan dan ekslusifitas satu terhadap yang
lain. Semua akan dipahami di ujung pemikirannya mengenai latar belakang
lahirnya pemikiran tersebut sehingga jelas pada tataran ontologi, epistemologi,
dan metodologinya. Semua perbedaan pemikiran itu akan terkelompok hanya
kepada 5 paradigma (sebagai paradigma utama) yang ada sehingga ‘belantara’
dan bentang ragam perbedaan pemikiran yang ada dapat secara ringkas
dipahami dalam lima perbedaan besar bertajuk paradigma tersebut. Lima
paradigma utama tersebut adalah Positivisme, Post-Positivisme, Partisipatory,
Critical Theory et. al., dan Constructivism.12
Pada akhirnya, mengenai pertanyaan dimana ilmu hukum terletak
dalam peta keilmuannya juga akan terjawab melalui telaah paradigma.
Penempatan hukum dalam pemetaan keilmuannya menjadi relatif menurut
pemikiran dari kelompok pemikir yang berbeda (dalam paradigma yang
berbeda). Analisis bahwa hukum sebagai ilmu yang sui generis memahami
hukum secara normatif sebagai teks-teks yang objektif lahir dalam payung
filsafat paradigma positivisme. Demikian pula hukum yang dipahami sebagai
bagian dari ilmu alam, terlahir dalam paradigma yang sama. Sedangkan, hukum
yang dipahami sebagai bagian dari ilmu sosial dan ilmu humaniora berada pada
rentang filsafat paradigma Post-Positivisme hingga Constructivism (tergantung
pada penekanan hakikat hukumnya). Dengan demikian, perbedaan pemetaan
ilmu hukum merupakan suatu keniscayaan karena berbedanya latar pemikiran
manusia dalam filsafatnya, yang dalam hal ini adalah paradigma.
5. Lapisan Ilmu Hukum
J. Gijssels dan Mark van Hoecke, membedakan ilmu hukum berdasarkan
pelapisan ilmu hukum, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik
hukum, ketiga lapisan ilmu hukum tersebut selanjutnya diarahkan kepada
praktik hukum. Selanjutnya ketiga lapisan ilmu hukum ini dapat ditunjukkan
pada gambar berikut ini:13
12 Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. (ed). The Sage Handbook of Qualitative
Research 1 Third Edition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
13 Ibid. Hlm. 453.
hukum, yang meliputi filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatik hukum, ketiga lapisan ilmu
hukum tersebut selanjutnya diarahkan kepada praktik hukum. Selanjutnya ketiga lapisan ilmu
hukum ini dapat ditunjukkan pada gambar berikut ini:13
Argumentasi Hukum 11
Gambar
Gambar 1.1.
Alur Pengembanan Hukum/Lapisan
Alur Pengembanan Ilmu
Hukum/Lapisan Hukum
Ilmu dalam
Hukum Telaah
dalam TelaahFilsafat
FilsafatHukum
Hukum

FILSAFAT HUKUM

TEORI HUKUM

DOGMATIK
HUKUM

PRAKTIK HUKUM

Senada dengan alur lapisan ilmu hukum tersebut, Erlyn Indarti


Senada dengan alur lapisan
juga mengemukakan mengenai ilmutigahukum
lapisan tersebut,
ilmu hukum Erlyn Indarti
tersebut yangjuga mengemukakan
mengarah
mengenai kepada terwujudnya
tiga lapisan praktik
ilmu hukum hukum,yang
tersebut sehingga dapat juga
mengarah kepadadisebut empat lapisan
terwujudnya praktik hukum,
hukum dalam telaah filsafat hukum. Alur ini dapat dilihat dalam telaah filsafat
sehingga dapat juga disebut empat lapisan hukum dalam telaah filsafat hukum. Alur ini dapat
hukum dalam arti luas (philosophy of law) dimana masing-masing lapisan ini
dilihat dalam telaah filsafat
diposisikan sejajarhukum
dengandalam
telaaharti luas (philosophy
filsafati dalam kajianofparadigmatik,
law) dimana yaitu
masing-masing
lapisan ini ontologi,
diposisikanepistemologi, metodologi,
sejajar dengan telaahdan metoda.
filsafati Lapisan
dalam filsafat
kajian hukum [dalam
paradigmatik, yaitu ontologi,
arti sempit/legal philosophy] berdiri sejajar sebagai makna ontologi (hakikat);
epistemologi, metodologi, dan metoda. Lapisan filsafat hukum [dalam arti sempit/legal
teori hukum berdiri sejajar sebagai telaah epistemologi; dogmatika hukum
philosophyatau
] berdiri
ilmusejajar
hukum sebagai maknasebagai
berdiri sejajar ontologi (hakikat);sedangkan
metodologi; teori hukum berdiri
praktik sejajar sebagai
hukum
berdiri sejajar
telaah epistemologi; dengan metoda.
dogmatika hukum Inilah lapisan-lapisan
atau ilmu hukum
hukum berdiri yang selama
sejajar sebagaiinimetodologi;
dibiarkan saling terlepas satu sama lain, sedangkan filsafat hukum mampu
mengorganisasikannya secara terkait, satu sama lain.14
13
Ibid. Hlm. 453.
Secara kronologis, perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat
dan disusul oleh dogmatik hukum (ilmu hukum positif). Dua disiplin ini 10
memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Filsafat Hukum sangat spekulatif,
sedangkan hukum positif sangat teknis. Oleh karenanya perlu disiplin lain yang
menjembatani keduanya di tengah-tengah. Disiplin itu mula-mula berbentuk
ajaran hukum umum (algemene rechtsleer) yg berisi ciri-ciri umum seperti asas-
asas hukum dari berbagai sistem hukum. Disiplin ini kemudian berkembang
menjadi teori hukum. Dogmatik hukum, teori hukum, filsafat hukum pada
akhirnya harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum ini menyangkut
2 aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum.

14 Erlyn Indarti. Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik tentang


Dinamika Penyusunan RUU KUHP. Dalam Webinar IKA FH Undip, 23 Januari 2021.
12 Argumentasi Hukum

Berikut ini adalah perbandingan di antara karakteristik filsafat hukum,


teori hukum, dan dogmatika hukum:
Tabel 2.
Karakteristik Filsafat, Teori, dan Dogmatik Hukum
Lapisan Ilmu
Konsep Eksplanasi Sifat
Hukum
Filsafat Hukum Grondbegrippen Reflektif Spekulatif
Teori Hukum Algemene begrippen Analitis Normatif Empiris
Dogmatik Hukum Technischjuridisch Teknis yuridis Normatif
begrippen

Perkembangan ilmu hukum diawali oleh filsafat hukum dan disusul


dogmatik hukum atau ilmu hukum positif. Hal ini sejalan dengan pendapat
Lili Rasjidi,15 bahwa filsafat hukum adalah refleksi teoritis (intelektual)
tentang hukum yang paling tua, dan dapat dikatakan merupakan induk dari
semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat hukum adalah filsafat atau
bagian dari filsafat yang mengarahkan refleksinya terhadap hukum atau gejala,
sebagaimana dikemukakan J. Gijssels,16 filsafat hukum adalah filsafat umum
yang diterapkan pada hukum dan gejala hukum. Hal yang sama juga dalam
dalil D.H.M. Meuwissen, bahwa rechtfilosofie is filosofie. Filsafat hukum
adalah filsafat karena itu ia merenungkan semua persoalan fundamental dan
masalah-masalah perbatasan yang berkaitan dengan gejala hukum. Filsafat
hukum adalah lapisan paling abstrak. Filsafat hukum merupakan bagian dari
dan dipengaruhi oleh filsafat umum. Filsafat hukum juga meresapi teori ilmu
hukum dan ilmu-ilmu hukum. Objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian
(the law as such). Selanjutnya, filsafat hukum juga membahas pokok kajian
dwitunggal pertanyaan inti, yaitu landasan daya ikat hukum serta landasan
penilaian keadilan dari hukum.17
Sementara itu, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam
perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai
aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan
keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan

15 Bernard Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. (Bandung: Mandar
Maju, 2000). Hlm. 119.
16 Philipus M. Hadjon. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”. Yuridika Jurnal
Hukum. No. 6 Tahun IX. November-Desember 1994. Hlm. 4.
17 Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari
Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”. Undang:
Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020. Hlm. 456.
Argumentasi Hukum 13

sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat.18 Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang
sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi
analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis
dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner
dapat terjadi melalui dua cara: Pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk
eksplanasi hukum; Kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang
seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.19 Pada lapisan teori
[ilmu] hukum ditekankan tentang objek telaah berupa tatanan hukum
positif sebagai sistem.20 Teori [ilmu] hukum ini membahas tentang ajaran
hukum (analisis pengertian hukum; analisis asas-kaidah, figur (pranata), dan
sistem hukum; analisis konsep-konsep yuridis; dan hubungan antar-konsep
yuridis). Juga dibahas tentang hubungan hukum dan logika (analisis teori
argumentasi yuridis dan logika deontik).21
Selanjutnya, dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti
sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen (1979),22
memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai memaparkan,
menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku
atau hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke (1982)23, mendefinisikan
dogmatik hukum se- bagai cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang
memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang
normatif.
Berdasarkan definisi tersebut, tujuan dogmatik hukum bekerja tidak
hanya secara teoritis, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum,
tetapi juga secara praktis. Dengan kata lain, ia berkenaan dengan suatu masalah
tertentu, menawarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu
menyebabkan bahwa dogmatik hukum bekerja dari sudut perspektif internal,
yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut
berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik terhadap hukum
positif.24
Dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya
harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut 2 (dua)
18 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 122.
19 Philipus M. Hadjon. Op. Cit., Hlm. 3.
20 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 170-176.
21 Shidarta, Loc. Cit.
22 J.J.H. Bruggink (Terj. Bernard Arief Sidharta). Op. Cit., Hlm. 169.
23 Ibid.
24 Titik Triwulan Tutik. Op.Cit., Hlm. 453.
14 Argumentasi Hukum

aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Sementara itu,
menurut Erlyn Indarti, praktik hukum merupakan pelaksanaan atau penerapan
tentang metoda yang dipilih dan bersifat aplikatif/teknis.25
Melalui lapisan-lapisan yang terbaca dalam telaah filsafat hukum
[dalam arti luas] ini, terlihat dengan baik rentang hubungan filsafat, teori,
ilmu, dan praktik hukum yang selama ini tercerai satu sama lain. Publik sering
mendikotomikan hubungan antara teori dan praktik, bahkan memisahkannya
seolah tidak ada relasinya, sementara di sisi lain publik sering juga memisahkan
antara ilmu dan filsafat, seolah ilmu bisa hadir tanpa filsafatnya. Namun melalui
filsafat hukum dalam arti luas (philosophy of law), keempat lapisan ini dapat
duduk dengan baik di posisinya sekaligus menunjukkan relasinya satu sama
lain secara tepat.

25 Erlyn Indarti. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi S1
Hukum Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015. Hlm. 10.
Argumentasi Hukum 15

BAB II
ARGUMENTASI HUKUM, LOGIKA, DAN
PENALARAN

A. Urgensi Argumentasi Hukum bagi Calon Sarjana Hukum


Sejak menjadi seorang mahasiswa di Fakultas Hukum, penulis
menyadari bahwa bekal paling utama yang harus dimiliki seorang pembelajar
hukum adalah dua hal, yaitu berbicara dan menulis. Dua hal ini bahkan menjadi
syarat mutlak bagi sarjana hukum untuk dapat sukses di ranah pekerjaannya
masing-masing. Ya, saya bahkan menyebutkan bahwa “seorang sarjana hukum
itu dapat uang dari mulutnya dia sendiri. Berbeda dengan mereka dokter gigi
yang mendapat uang dari mulutnya orang lain”. Mungkin ini terlihat sebagai
kelakar saja, meski senyatanya memang demikian adanya.
Selain berbicara, sarjana hukum juga dituntut mampu untuk menulis.
Dalam berbagai bidang pekerjaan, sarjana hukum diharapkan mampu menyusun
bahasa tulis yang baik, dalam konten hukum tentu saja. Sebutlah itu sebuah
kontrak, legal opinion, dakwaan, eksepsi, tuntutan, pledoi, replik, duplik, atau
bahkan putusan, semuanya adalah hasil produk tulis dari para sarjana hukum di
bidang pekerjaannya masing-masing.
Membaca dan menulis mungkin terlihat sebagai perkara yang mudah.
Iya, semua orang memang bisa membaca dan menulis. Jangankan kita yang
dewasa ini, anak-anak usia 6 tahun saja sudah bisa melakukan dua kemampuan
ini. Nah, bukan ini yang penulis maksud. Bukan ini kemampuan dasar yang
tadi penulis maksudkan itu. Kemampuan berbicara dan menulis dalam konteks
seorang sarjana hukum yang wajib dipunyai, adalah kemampuan berargumentasi
hukum. Bagaimana seorang sarjana hukum mampu menyampaikan analisis
hasil pemikiran atas persoalan hukum secara nalar, runtut, sistematis, baik dalam
bahasa lisan (berbicara) maupun dalam bahasa tulis, inilah inti kemampuan
yang diharapkan.
Belakangan ini, kurikulum pendidikan tinggi hukum merespon baik
perihal ini kebutuhan kemampuan ini. Beberapa kampus hukum di Indonesia
kemudian mengeksekusi mata kuliah-mata kuliah yang dikhususkan untuk
membekali kemampuan berargumentasi hukum secara baik di tingkat S1.
Beberapa kampus menamai itu dalam mata kuliah bertajuk “Argumentasi
Hukum”, “Logika dan Argumentasi Hukum”, atau “Penalaran Hukum” dan
16 Argumentasi Hukum

sejenisnya. Inilah upaya memberi kemampuan bagi calon-calon sarjana hukum


untuk bernalar hukum dalam argumentasi hukum yang dibangunnya.
Lalu, apakah urgensi argumentasi hukum bagi calon sarjana hukum?
Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja luas dan kompleks, menggambarkan
begitu besar urgensi argumentasi hukum bagi seorang calon sarjana hukum.
Secara khusus, urgensi tersebut dapat dinarasikan sebagai berikut:
1. Kemampuan berargumentasi hukum yang baik akan menunjukkan
kemampuan seorang calon sarjana hukum dalam melihat,
mengidentifikasi dan menganalisis suatu peristiwa hukum sehingga
tepat dalam menentukan penyikapan/penyelesaian masalah.
2. Argumentasi hukum merupakan kemampuan dasar yang harus
dimiliki calon sarjana hukum yang menunjukkan tingkat penguasaan
pemahaman terhadap substansi dan diwujudkan dalam bentuk lisan
ataupun tertulis. Semakin baik argumentasi hukum yang dibangun,
menunjukkan tingkat penguasaan pemahaman yang semakin baik.
3. Argumentasi hukum dibangun melalui penalaran hukum yang
menunjukkan organisasi pemikiran yang logis, runut, dan sistematis
dalam memahami peristiwa hukum, sehingga hal ini mutlak dipunyai
oleh calon sarjana hukum yang nantinya terus berhadap-hadapan
dengan peristiwa hukum di masyarakat.
4. Argumentasi hukum diperlukan sebagai proses dalam pengembangan
keilmuan hukum dalam kajian-kajian/penelitian hukum. Seorang
peneliti/pengkaji harus mempunyai kemampuan menganalisis
permasalahan penelitian secara baik dalam konteks pengembangan
keilmuan.

Argumentasi hukum merupakan proses yang senantiasa dilakukan


oleh para pemikir hukum, para calon sarjana hukum itu. Dalam menghadapi
peristiwa hukum, mereka senantiasa diharapkan argumentasi hukumnya untuk
memahami peristiwa itu secara baik. Argumentasi hukum ini dilahirkan melalui
proses penalaran yang dilakukan. Penalaran hukum ini dimaknakan sebagai
cara (hal) berpikir, menggunakan, mengembangkan atau mengendalikan
sesuatu masalah (di bidang) hukum dengan nalar.

B. Logika dan Penalaran


Logika dan penalaran merupakan bagian paling penting dalam
membangun argumentasi hukum yang baik. Dua hal ini juga merupakan hal
Argumentasi Hukum 17

yang sangat terkait, logika manusia menghasilkan sebuah penalaran, penalaran


dibutuhkan dalam membangun argumentasi hukum yang baik.
Sebelum lebih lanjut, definisi mengenai hal ini harus dipahami dengan
baik. Pertama mengenai logika. Logika berasal dari kata dalam bahasa Yunani
Kuno, yaitu “logos” yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang
diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa. Logika juga termasuk
cabang dari filsafat yang membahas mengenai kesimpulan serta juga proses
pemikiran dalam mendapatkan suatu kebenaran. Sebagai cabang ilmu filsafat,
logika fokus menelaah sesuatu dari ukuran benar-salahnya, sementara dua
cabang lainnya dari ilmu filsafat, yakni filsafat etika dan filsafat estetika
menelaah hal lainnya. Etika menelaah sesuatu dalam konteks baik-buruk,
sedangkan estetika melihat sesuatu dari nilai indah-tidaknya.
Dari pemahaman ini, logika sejatinya adalah proses berpikir yang
dihasilkan dari akal manusia, ukurannya adalah apa yang dapat diterima benar
oleh akal manusia, sesuai dengan proses penerimaan akal budi manusia. Untuk
memahami pengertian logika secara luas, berikut ini adalah risalah definisi
logika yang penulis rangkum dari berbagai sumber:
• Logika adalah ilmu berpikir (Solso).
• Logika merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus/
tepat (Maran).
• Logika merupakan suatu pertimbangan akal atau juga pikiran yang diatur
lewat kata serta juga dinyatakan dalam bahasa. (Jan Hendrik Rapar)
• Logika merupakan suatu metode atau juga teknik yang diciptakan
untuk meneliti ketepatan menalar (Soekadijo).
• Logika merupakan suatu ajaran mengenai berpikir yang secara ilmiah
membicarakan bentuk pikiran itu sendiri serta juga hukum-hukum
yang menguasai pikiran (Aristoteles).
• Logika merupakan studi mengenai penyimpulan, dengan secara lebih
cermat usaha untuk menetapkan ukuran-ukuran guna memisahkan
penyimpulan yang sah serta yang tidak sah (William Alston).

Dari logika, kita bisa menemukan parameter benar-salah yang diterima


oleh akal manusia – kita menyebut dalam kategori “logis atau tidak”, atau
dalam diksi lain kita mengenalinya sebagai “rasional atau tidak”. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “logis” artinya “sesuai dengan logika; benar
menurut penalaran; masuk akal”. Senada, arti kata “rasional” dalam KBBI
adalah “menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang
sehat; cocok dengan akal”.
18 Argumentasi Hukum

Dalam kehidupan, logika terus menjadi kontrol bagi manusia untuk


menyelami hidup. Manusia perlu berpikir logis untuk terus menghadapi
masalah dalam hidup, termasuk juga dalam berpikir tentang hukum. Pepatah
mengatakan “banyak orang akan cepat mati daripada berpikir” nyatanya
juga benar adanya. Banyak manusia yang malas menggunakan otaknya
sehingga mereka tenggelam dalam masalah, larut dalam perasaan yang juga
menggelayuti di sepanjang cara pandang mereka menghadapi masalah. Berapa
banyak manusia yang lebih memilih menggunakan emosi dan perasaan semata
untuk menghadapi masalahnya, hasilnya mereka tidak bisa melepaskan diri dari
permasalahan yang dihadapi. Logika yang merupakan hasil olah akal manusia
disini memerankan fungsinya yang penting, dimana emosi perasaan sebagai
hasil olah rasa manusia tidak selalu dapat diandalkan berjalan sendiri.
Dalam konteks hukum, selama ini dominasi cara berpikir hukum
yang logis memang menjadi kenyataan yang terlihat di sepanjang penelaahan
tentang hukum, baik sejak pembuatan hingga penegakan hukum. Namun,
perkembangan ide berhukum dengan hati nurani juga menjadi buah pikir yang
tidak bisa diabaikan dari dinamika perkembangan pemikiran hukum saat ini.
Kedua model penalaran hukum tersebut terakomodir dalam berbagai aliran
pemikiran hukum yang eksis, memiliki penganutnya masing-masing dalam
standpoint pemikirannya masing-masing.
Dalam hal ini, cara penelaahan kita tentang hukum berkaitan dengan
penalaran sebagai metode atau cara untuk mendapatkan kebenaran. Dalam
konteks ini, metode untuk mendapatkan kebenaran sesungguhnya terbagi
menjadi dua, yaitu:
1. Metode Penalaran, yaitu usaha untuk memperoleh kebenaran/proses
berpikir untuk menemukan kebenaran dengan menggunakan nalar
(akal pikiran yang logis). Dalam hal ini manusia memahami setiap
realitas dengan mengedepankan cara bekerjanya akal, melalui cara-
cara berpikir lurus dengan nalarnya, berlandaskan secara umum pada
hubungan sebab-akibat.
2. Non Penalaran, yaitu usaha memperoleh kebenaran dengan tidak
menggunakan nalar atau akal pikiran yang logis. Dalam metode ini,
diyakini bahwa realitas itu eksis diterima dalam keyakinan kebenaran
yang tidak berdasarkan ukuran nalar saja. Dalam konteks ini, kehadiran
keyakinan hati nurani misalnya bisa menjadi pertimbangan dalam
menafsirkan realitas. Selain itu, realitas historis berupa mitos juga
nyatanya eksis dalam sebagian masyarakat hingga saat ini. Mitos-
Argumentasi Hukum 19

mitos yang hidup dan terpelihara merupakan salah satu contoh nyata
cara berpikir non penalaran dalam meyakini kebenaran.
Lebih lanjut menelisik pengertian penalaran sebagai metode dalam
menemukan kebenaran, maka perlu dilihat makna penalaran secara etimologis,
yaitu berasal dari kata “nalar”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
“nalar” sebagai:26
a. Pertimbangan tentang benar, salah dan sebagainya: akal budi; misalnya:
setiap keputusan harus didasarkan nalar yang sehat.
b. Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir yang logis;
jangkauan pikir dan kekuatan pikir.
Sedangkan “penalaran” diartikan sebagai:27
a. cara (perihal) menggunakan nalar; pemikiran atau cara berpikir logis;
jangkauan pemikiran;
b. hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan
bukan dengan perasaan atau pengalaman;
c. proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau
prinsip.

C. Bentuk Pemikiran Manusia


Sebelum memahami bagaimana penalaran logis dilakukan oleh
manusia melalui cara kerja otaknya, kita mesti mengenal dahulu tentang
bentuk-bentuk pemikiran manusia dari yang paling sederhana. Manusia dalam
hidupnya mengenal tiga bentuk pemikiran, yang mulai dikembangkan sejak
manusia hidup, yaitu:
1. Pengertian (concept/terma)
Yaitu bentuk pemikiran manusia yang paling sederhana. Sejak manusia
hidup, mereka belajar tentang hal ini, mengenal berbagai pengertian/
konsep dalam kehidupannya. Sejak bayi, kita mulai dikenalkan dengan
banyak konsep. Bayi belajar tentang konsep ibu, ayah, saudara, cinta,
dan lain sebagainya. Semakin besar ia semakin banyak mengenal
konsep, tentang apa itu sekolah, apa itu teman, apa itu agama, apa itu
Tuhan, dan lain sebagainya. Inilah bentuk pemikiran yang sederhana,
memahami satu demi satu pengertian. Meskipun, sejatinya tidak
pernah mudah memahami hakikat [kebenaran] sesuatu, namun manusia
senantiasa disodori pengertian demi pengertian sehingga makin lama ia
mengenal dan memahami dunia ini.
26 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, diakses dari https://kbbi.web.id/nalar-2.
27 Ibid.
20 Argumentasi Hukum

2. Pernyataan (proposisi/statement)
Pernyataan atau proposisi merupakan rangkaian beberapa pengertian/
konsep/terma menjadi suatu kalimat. Contoh dari suatu pernyataan
atau proposisi adalah: sebagian anak laki-laki menyukai permainan
sepakbola; semua ibu menyayangi anaknya. Dua kalimat tersebut
adalah contoh pernyataan, dimana setiap pernyataan terdiri dari
beberapa pengertian/konsep yang membentuk makna pemikiran baru.
3. Penalaran (reasoning)
Penalaran merupakan bentuk yang lebih rumit dari pemikiran manusia
yang merupakan gabungan dari semua bentuk pemikiran, baik
pengertian ataupun pernyataan. Bentuk pemikiran ini memerlukan
proses berpikir karena harus diolah-nalarnya oleh akal manusia
untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat diterima. Dengan
demikian, penalaran merupakan hasil kerja akal dalam menemukan
suatu kebenaran pemikiran.

D. Model Proses Penalaran


Sebagaimana telah dipahamkan di awal, bahwasannya istilah
‘penalaran hukum’ sejatinya tidak hanya menunjukkan bentuk penalaran lain di
luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang
hukum itu sendiri. Dimana hal ini memiliki arti bahwa tidak ada penalaran
hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid).
Dalam perkembangannya, para logikawan kemudian membagi penalaran ke
dalam dua kategori utama, diantaranya:
1. Penalaran Deduktif
Apabila dalam suatu penalaran, kesimpulan (konklusi) lebih sempit
dari pernyataan (premis), maka penalaran tersebut disebut dengan
deduktif. Metode yang digunakan dalam penalaran deduktif adalah
dengan bertolak dari hal-hal yang umum ke khusus kemudian ditarik
suatu kesimpulan.
2. Penalaran Induktif
Suatu penalaran yang bertolak dari hal-hal khusus ke umum kemudian
ditarik suatu kesimpulan. Dalam penalaran induktif memiliki perbedaan
yang sangat menonjol dari penalaran deduktif, yaitu bahwa hukum
yang disimpulkan di fenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena
sejenis yang belum diteliti.
Argumentasi Hukum 21

Penalaran deduktif memiliki bentuk dasar atau teknik penalaran


yang disebut ‘Silogisme’. Silogisme terdiri dari kalimat-kalimat pernyataan,
yang dalam logika disebut ‘Proposisi’. Dimana unsur setiap proposisi dalam
silogisme disebut sebagai ‘Terma’. Silogisme juga berfungsi sebagai proses
pembuktian terkait kebenaran suatu pendapat, tesis atau juga hipotesis tentang
suatu permasalahan. Sebelum mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana
dan apa saja bentuk maupun contoh-contoh silogisme, perlu dipahami terlebih
dahulu apa itu proposisi, premis, konklusi, terma, jenis-jenis terma, dan lain
sebagainya.
Contoh Silogisme Deduktif:
Proposisi : Semua manusia hidup saatnya nanti akan mati.
Aktivis mahasiswa adalah manusia hidup.
Konklusi : Maka aktivis mahasiswa pada saatnya nanti akan mati.
Proposisi adalah pernyataan yang dijadikan sebagai suatu fenomena
yang dihadapkan. Dua proposisi pertama disebut sebagai ‘Premis’. Proposisi
pertama disebut Premis Mayor, karena menyatakan hal, keadaan dan/atau
prinsip umum (semua manusia pasti akan mati). Proposisi kedua disebut Premis
Minor, karena menyatakan peristiwa atau kenyataan khusus (aktivis mahasiswa
adalah manusia hidup). Konklusi merupakan proposisi yang menutup proses
penalaran deduktif dan merupakan konsekuensi logis akibat adanya hubungan
antara premis mayor dan premis minor.
Setiap premis, tersusun dari beberapa terma. Terma merupakan kata
atau sekumpulan kata yang telah disepakatkan bersama sebagai suatu simbol
yang merepresentasikan suatu subyek atau obyek (obyek benda atau obyek
peristiwa). Sehingga bisa dikatakan bahwa terma merupakan unsur pembentuk
(the building blocks) dari suatu proposisi. Dalam sebuah silogisme, suatu terma
memiliki posisi yang berbeda-beda. Berdasarkan posisinya terma dibedakan
menjadi tiga, diantaranya:
1. Terma Mayor
Serangkaian kata-kata yang umumnya berfungsi sebagai predikat dan
mesti dijumpai dalam premis mayor dan dalam konklusi. Terma mayor
memiliki kode terma berupa ‘T’ (t-besar) atau ‘P’ (predikat).
Contoh :
• “Saatnya nanti akan mati”
2. Terma Minor
Subyek atau pokok kalimat yang terdapat di premis minor dan konklusi.
Terma minor memiliki kode terma berupa ‘t’ (t-kecil) atau S (subyek).
22 Argumentasi Hukum

Contoh :
• “Aktivis mahasiswa”
3. Terma Tengah
Terma yang diperoleh sebagai subyek dalam premis mayor dan premis
minor tetapi tidak lagi didapati dalam kalimat konklusi. Terma tengah
memiliki kode terma berupa ‘M’ (Medium).
Contoh :
• “Semua manusia hidup”
Dalam pembahasan selanjutnya, untuk dapat dipahami penulis akan
memakai kode ‘P’ (predikat) untuk terma mayor dan kode ‘S’ (subyek) untuk
terma minor.
1. Penalaran Deduktif (Silogisme)
Penalaran hukum memperlihatkan hubungan yang erat antara logika
dan hukum. Bisa dikatakan bahwa logika menjadi landasan berpikir utama
bagi orang hukum. Dalam penyelesaian sebuah permasalahan hukum, seorang
praktisi hukum sudah seharusnya mampu menarik kesimpulan secara valid
dengan menerapkan pola pikir serta memahami prinsip, aturan, data, fakta dan
proposisi hukum.
Kesimpulan yang diambil berdasarkan proses penalaran oleh seorang
penegak hukum terhadap suatu permasalahan hukum diibaratkan sebagai obat
yang diracik oleh seorang dokter. Apabila dalam mengambil kesimpulan terhadap
suatu penyakit pasien melalui berbagai proses diagnosa tidak tepat, maka obat
yang diberikan pun tidaklah tepat. Hal tersebut tidaklah menyembuhkan pasien
bahkan justru semakin memperparah kondisi pasien. Begitupun dengan orang
hukum, apabila kesimpulan/argumen yang dilakukan tidaklah tepat, hal tersebut
akan berdampak pada tidak selesainya suatu perkara, bahkan akan semakin
mencederai nilai hukum yang seharusnya ditegakkan dalam perkara tersebut.
Syarat Diterimanya Kebenaran Silogisme
Suatu penarikan kesimpulan berdasarkan proses penalaran dapat
diterima kebenarannya apabila memenuhi dua unsur, yaitu absah dan
benar. Keabsahan (valid) diperoleh apabila penarikan kesimpulan dilakukan
berdasarkan prosedur penyimpulan yang sesuai dengan patokan/aturan.
Sedangkan kebenaran berkaitan dengan suatu pernyataan yang didukung
dengan fakta, jika sesuai fakta ia adalah benar, jika tidak ia adalah salah.
Sehingga hanya konklusi dari premis yang benar dan prosedur yang valid itu
yang di akui. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami suatu
keabsahan dan kebenaran dalam suatu penalaran, yaitu:
Argumentasi Hukum 23

a. Prosedur Valid, Premis Salah dan Konklusi Benar.


Contoh:
Premis Mayor : Semua yang baik itu haram (salah)
Premis Minor : Semua yang memabukkan itu baik (salah)
Konklusi : Semua yang memabukkan itu haram (benar).
Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Sekalipun
prosedur valid dan konklusi benar, namun proposisi baik premis mayor
dan premis minor tidak dapat dibenarkan. Karena pada faktanya hal
yang baik itu tidak haram dan hal yang memabukkan itu tidaklah baik.
Sehingga hal ini tidak memenuhi unsur kebenaran (suatu pernyataan di
dudkung dengan fakta).
b. Prosedur invalid (tidak sah), premis benar dan konklusi salah.
Contoh:
Premis Mayor : Plato adalah filosof (benar)
Premis Minor : Aristoteles bukan Plato (benar)
Konklusi : Aristoteles bukan filosof (salah).
Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Sekalipun
premis benar, namun prosedur penarikan kesimpulan tidak sesuai
aturan (invalid). Hingga konklusi yang diambil salah, karena Aristoteles
adalah seorang filosof.
c. Prosedur invalid (tidak sah), premis salah dan konklusi benar.
Contoh:
Premis Mayor : Sebagian politikus adalah binatang (salah)
Premis Minor : Sebagian manusia adalah binatang (salah)
Konklusi : Jadi, sebagian manusia adalah politikus (benar)
Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Seperti yang
telah diketahui, hanya konklusi dari premis yang benar dan prosedur
yang valid lah yang dapat diakui kebenarannya.
d. Prosedur valid, premis salah dan konklusi salah.
Contoh:
Premis Mayor : Semua yang keras tidak berguna (salah)
Premis Minor : Adonan roti adalah keras (salah)
Konklusi : Adonan roti tidak berguna (salah)
Penalaran seperti ini tidak dapat diakui kebenarannya. Suatu pernyataan
yang tidak sesuai dengan fakta bahkan kesimpulan yang diambil adalah
suatu kesalahan, adalah mutlak bahwa suatu penalaran tersebut tidak
dapat diakui kebenarannya.
24 Argumentasi Hukum

Seperti yang telah disinggung diawal bahwa salah satu bentuk dasar
penalaran deduksi adalah silogisme. Dapat dipahamkan bahwa silogisme adalah
proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai
premis untuk sampai pada konklusi berupa proposisi universal, partikular
atau singular. Dalam perkembangannya, dikenal beberapa macam silogisme,
diantaranya:
1.1. Silogisme Kategorik
Silogisme kategorik adalah silogisme yang semua proposisinya
merupakan proposisi kategorik. Suatu konklusi lahir dari sebuah premis mayor
yang merupakan proposisi universal dan premis minor yang tidak selalu
partikular (sebagian) atau singular (tunggal), tetapi yang terpenting harus
menjadi pernyataan yang tercakup kepada premis mayornya.
Contoh:
Premis Mayor : Semua manusia tidak lepas dari kesalahan.
Premis Minor : Semua cendekiawan adalah manusia.
Premis mayor sebagai proposisi universal, ditandai dengan kuantifier
“semua” yang menegaskan sifat berlaku bagi manusia secara menyeluruh.
Premis minor, meskipun merupakan pernyataan universal tetapi berada dibawah
aturan pernyataan pertama atau ruang lingkup lebih sempit dari pernyataan
pertama. Sehingga diperoleh kesimpulan:
Konklusi : Semua cendekiawan tidak lepas dari kesalahan.
a. Hukum-Hukum Silogisme Kategorik
1. Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular
juga.
Contoh:
Premis Mayor : Semua yang halal dimakan menyehatkan
Premis Minor : Sebagian makanan tidak halal
Konklusi : Sebagian makanan tidak menyehatkan
(kata “sebagian” menunjukkan sifat partikular)
2. Apabila satu premis negatif, kesimpulan harus negatif.
Contoh:
Premis Mayor : Semua mahasiswa terdidik
Premis Minor : Sebagian manusia tidak terdidik
Konklusi : Sebagian manusia bukan mahasiswa
3. Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah (valid)
diambil kesimpulan. Contoh:
Premis Mayor : Beberapa orang kaya adalah kikir
Argumentasi Hukum 25

Premis Minor : Beberapa pedagang adalah kaya


Konklusi : Beberapa pedagang adalah kikir
Kesimpulan yang diturunkan dari premis yang sama-sama
partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti. Apabila
melihat contoh, dalam faktanya, apakah sebagian pedagang adalah
orang yang kikir? tentu jawabannya mungkin iya, mungkin tidak.
Sehingga tidak ada kepastian dalam kesimpulan yang diambil.
4. Dua premis yang sama-sama negatif tidak menghasilkan
kesimpulan apapun, kesimpulan dapat diambil apabila salah
satu premisnya positif. Kesimpulan yang ditarik dari dua premis
negatif tidak sah.
Contoh:
Premis Mayor : Kucing bukan ayam
Premis Minor : Bebek bukan ayam
Konklusi : (tidak ada kesimpulan)
5. Salah satu terma penengah harus tertebar (mencakup) keseluruhan.
Diantaranya proposisi dalam bentuk A = universal positif, E =
universal negative, O = partikular negatif. Jika tidak merupakan
salah satunya, maka kesimpulan yang dihasilkan adalah salah.
Contoh:
Premis Mayor : Semua ikan berdarah dingin
Premis Minor : Binatang ini berdarah dingin
Konklusi : Binatang ini adalah ikan.
Konklusi yang dihasilkan salah, karena bisa saja “binatang ini”
adalah selain ikan, semisal: hewan melata, hewan darat, dan lain-
lain.
6. Terma predikat dalam kesimpulan harus konsisten pada terma
predikat yang ada pada premisnya.
Contoh:
Premis Mayor : Kerbau adalah binatang
Premis Minor : Kambing bukan binatang
Konklusi : Kambing bukan binatang
Konklusi yang dihasilkan salah, karena binatang pada konklusi
merupakan terma negatif, sedangkan pada premis adalah terma
positif.
7. Terma tengah harus bermakna sama, baik dalam premis mayor
maupun premis minor. Jika tidak, maka kesimpulan akan salah.
26 Argumentasi Hukum

Contoh:
Premis Mayor : Bulan itu bersinar di langit
Premis Minor : Januari adalah bulan
Konklusi : Januari itu bersinar di langit
Konklusi yang dihasilkan salah, karena terma baik di premis
mayor maupun premis minor memiliki makna yang berbeda.
Makna ‘bulan’ dalam premis mayor bermakna benda luar angkasa,
sedangkan makna ‘bulan’ dalam premis minor bermakna atau
berkaitan dengan kalendar.
8. Silogisme harus terdiri dari tiga terna, terma subyek (S), terma
predikat (P) dan terma tengah (M). tidak lebih dan tidak kurang.
Karena jika lebih atau kurang dari tiga terma, perbandingan tidak
dapat dilakukan dan tidak bisa ditarik kesimpulan.
b. Sifat Proposisi
Dalam sebuah proposisi terdapat dua sifat dalam pembentukan
suatu pernyataan itu sendiri. Kedua sifat tersebut adalah Affirmatio dan
Nego. Affirmatio adalah ketika suatu proposisi saling ‘mengiyakan’,
menyetujui dan/atau mendukung proposisi lainnya. Kode Affirmatio
adalah A dan I. Sedangkan, Nego adalah ketika suatu proposisi
‘menidakkan’, mengelakkan dan/atau tidak menyetujui proposisi
lainnya. Kode Nego adalah E dan O.
Kedua kata ini (affirmatio dan nego) digunakan untuk
menyatakan apakah dalam setiap premis suatu terma ‘M’ atau ‘S’ itu
memang benar terbilang ke dalam kelas terma ‘P’.
Pernyataan positif : M = P atau S = P → A
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → E
c. Cara Menentukan Kode Sifat Proposisi
1. Proposisi Universal (semua/tidak semua)
Pernyataan positif : M = P atau S = P → A
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → E
2. Proposisi partikular (sebagian, beberapa atau kata lain yang
menyatakan tidak semua) atau singular (individu atau langsung
menyebut nama/identitas).
Pernyataan positif : M = P atau S = P → I
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → O
Dibawah ini penulis akan memberikan beberapa contoh penerapan
dari sifat proposisi baik universal maupun partikular/singular.
Argumentasi Hukum 27

Contoh 1:
Premis Mayor : Tidak semua usulan masyarakat serta merta
menjadi kebijakan pemerintah.
Premis Minor : Semua yang dibahas dalam rapat gerakan anti
korupsi merupakan usulan masyarakat.
Konklusi : Tidak semua dibahas dalam rapat gerakan anti
korupsi serta merta menjadi kebijakan pemerintah.
Sifat Proposisi : EIO
Contoh 2:
Premis Mayor : Semua pejabat negara seharusnya menyerahkan
daftar kekayaan pada KPKPN.
Premis Minor : Beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau
diaudit merupakan pejabat negara.
Konklusi : Maka, beberapa menteri kabinet SBY yang tidak
mau diaudit seharusnya menyerahkan daftar
kekayaan pada KPKPN.
Sifat Proposisi : AOO
Contoh 3:
Premis Mayor : Semua anggota DPR yang tahu kode etik harus
bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun.
Premis Minor : Marzuki Ali sebagai pimpinan adalah anggota
DPR yang tahu kode etik.
Konklusi : Oleh sebab itu, Marzuki Ali sebagai pimpinan
harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh
siapapun.
Sifat proposisi : AII
d. Bentuk-Bentuk Silogisme Kategorik
Bentuk silogisme dibedakan berdasarkan letak terma tengah
“M” dalam premis, baik premis mayor maupun premis minor. Ada
empat macam bentuk silogisme, diantaranya:
1. Figur I : Sub Pre Prima
Premis Mayor : (M) (P)
Premis Minor : (S) (M)
Konklusi : (S) (P)
Terma tengah (M) menjadi subjek pada premis mayor dan menjadi
predikat pada premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk
ini adalah:
- Premis mayor harus universal
- Premis minor harus afirmatif
28 Argumentasi Hukum

Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAA, EAE, AII, EIO.
(Barbara, Celarent, Darii, Ferio).
Contoh:
Premis Mayor : Semua yang dilarang Tuhan mengandung
bahaya. (A)
Premis Minor : Mencuri adalah dilarang Tuhan (I)
Konklusi : Mencuri adalah mengandung bahaya (I)
2. Figure II : Pre Pre Secunda
Premis Mayor : (P) (M)
Premis Minor : (S) (M)
Konklusi : (S) (P)
Medium menjadi predikat baik pada premis mayor maupun
premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk dalam figure
ini adalah:
- Premis mayor harus universal.
- Premis minor kualitasnya harus berbeda dengan premis
mayornya.
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: EAE, AEE, EIO, AOO.
(Cecare, Camestres, Festino, Baroco).
Contoh:
Premis Mayor : Semua tumbuhan membutuhkan air (A)
Premis Minor : Tidak satu pun benda mati membutuhkan air
(O)
Konklusi : Jadi, tidak satu pun benda mati adalah
tumbuhan (O)
3. Figur III : Sub Sub Tertia
Premis Mayor : (M) (P)
Premis Minor : (M) (S)
Konklusi : (S) (P)
Medium menjadi subjek pada premis mayor maupun premis
minor. Peraturan khususnya adalah:
- Premis minor harus afirmatif.
- Konklusi harus particular.
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAI, AII, IAI, EAO, OAO,
EIO. (Darapti, Datisi, Disamis, Felapton, Bocardo, Ferison).
Contoh:
Argumentasi Hukum 29

Premis Mayor : Semua pembawa acara adalah pandai


berbicara (A).
Premis Minor : Beberapa pembawa acara adalah sarjana (I)
Konklusi : Jadi, sebagian sarjana adalah pandai berbicara
(I)
4. Figure IV : Pre Sub Quarta
Premis Mayor : (P) (M)
Premis Minor : (M) (S)
Konklusi : (S) (P)
Medium menjadi predikat pada premis mayor dan menjadi subjek
pada premis minor. Peraturan khususnya adalah:
- Bila premis mayornya afirmatif, premis minor harus universal.
- Apabila premis minor negatif, maka premis mayor harus
universal.
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAI, AEE, IAI, EAO, EIO.
(Bramantip, Camenes, Dimaris, Fesapo, Fresion).
Contoh:
Premis Mayor : Semua pendidik adalah manusia (A)
Premis Minor : Semua manusia akan mati (A)
Konklusi : Sebagian yang akan mati adalah pendidik (I).

1.2. Silogisme Hipotetik


Silogisme hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa
proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi kategorik
yang menetapkan atau mengingkari terma antecedent atau konsekuen premis
mayornya. Pada silogisme ini, terma konklusi semuanya dikandung oleh premis
mayornya, mungkin bagian antecedent mungkin juga bagian konsekuensinya.
Tergantung oleh bagian yang diakui atau di pungkiri dari premis minornya.
Contoh:
Premis Mayor : Jika Ismail menangis, Rico senang
Premis Minor : Ismail menangis
Konklusi : Jadi, Rico senang.
Penjelasan:
Premis minor pada proposisi tersebut menetapkan terma antecedent
premis mayor. Sehingga konklusi yang diambil adalah sepenuhnya dari terma
konsekuensi premis mayor. Sekali lagi, bahwa konklusi dalam silogisme
hipotetik hanyalah diambil dari terma antecedent atau terma konsekuensi
sebagaimana disebutkan dalam premis mayor, sehingga tidak membuat sebuah
30 Argumentasi Hukum

pernyataan/kalimat baru diluar itu. Tergantung oleh bagian yang diakui atau
dipungkiri dari premis minornya.
a. Macam-Macam Silogisme Hipotetik
1. Silogisme yang premis minornya mengakui bagian antecedent.
Contoh:
Premis Mayor : Jika hujan, saya naik becak.
Premis Minor : Sekarang hujan.
Konklusi : Jadi, saya naik becak
2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian
konsekuensinya. Contoh:
Premis Mayor : Bila hujan, bumi akan basah.
Premis Minor : Sekarang bumi telah basah.
Konklusi : Jadi, hujan telah turun.
3. Silogisme yang premis minornya mengingkari antecendent.
Contoh:
Premis Mayor : Jika politik pemerintahan dilaksanakan
dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Premis Minor : Politik pemerintahan tidak dilaksanakan
dengan paksa.
Konklusi : Jadi, kegelisahan tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian
konsekuennya.
Contoh:
Premis Mayor : Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak
penguasa akan gelisah.
Premis Minor : Pihak penguasa tidak gelisah.
Konklusi : Jadi mahasiswa tidak turun ke jalan.
b. Hukum-Hukum Silogisme Hipotetik
Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan melambangkan
antecedent dengan A dan Konsekuen dengan B. Kebenaran suatu
silogisme hipotetik harus dijelaskan dengan penyelidikan. Maka,
hukum-hukum silogisme hipotetik diantaranya:
1) Apabila A terlaksana maka B juga terlaksana.
Contoh:
Premis Mayor : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan
membumbung tinggi.
Premis Minor : Peperangan terjadi.
Konklusi : Jadi, harga bahan makanan membumbung
tinggi.
Argumentasi Hukum 31

Ini adalah penalaran yang sah. Peperangan sebagai salah satu


sebab bahan makanan membumbung tinggi, ketika peperangan
benar-benar terjadi maka salah satu akibatnya adalah harga bahan
makanan membumbung tinggi. Sehingga hal ini adalah sah.
2) Apabila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana (tidak sah =
salah).
Contoh:
Premis Mayor : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan
membumbung tinggi.
Premis Minor : Peperangan tidak terjadi.
Konklusi : Jadi, harga bahan makanan tidak membumbung
tinggi.
Ini adalah penalaran yang tidak sah atau salah. Apabila melandaskan
pada logika, pecahnya peperangan bukan satu-satunya sebab
naiknya harga bahan makanan. Hal ini bisa saja terjadi karena
sebab lain. Sehingga ini tidak sah.
3) Apabila B terlaksana maka A terlaksana (tidak sah = salah).
Contoh:
Premis Mayor : Bila peperangan terjadi maka harga bahan
makanan membumbung tinggi.
Premis Minor : Harga bahan makanan membumbung tinggi.
Konklusi : Jadi, peperangan terjadi.
Ini adalah penalaran yang tidak sah atau salah. Sama dengan hukum
ke dua, apabila melandaskan pada logika, membumbungnya harga
makanan tidak hanya disebabkan oleh terjadinya peperangan. Hal
ini bisa saja terjadi karena sebab lain, seperti bencana alam yang
mengakibatkan sulitnya produksi suatu bahan makanan dan sebab
yang lain. Sehingga hal ini tidak sah.
4) Apabila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.
Contoh:
Premis Mayor : Bila peperangan terjadi maka harga bahan
makanan membumbung tinggi.
Premis Minor : Harga bahan makanan tidak membumbung
tinggi.
Konklusi : Peperangan tidak terjadi.
Ini adalah penalaran yang sah. Apabila harga makanan tidak
membumbung tinggi, berarti tidak ada sebab yang mendahuluinya,
termasuk peperangan yang menjadi salah satu sebabnya. Sehingga
hal ini sah.
32 Argumentasi Hukum
1.3. Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa
keputusan disjungtif dan premis minornya berupa keputusan kategorik yang
mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis
mayor (premis mayor dan premis minor hanya merupakan analog).
a. Macam-Macam Silogisme Disjungtif
1) Silogisme disjungtif dalam arti sempit, yaitu yang premis mayornya
mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:
Premis Mayor : Ia lulus atau tidak lulus.
Premis Minor : Ia lulus.
Konklusi : Ia bukan tidak lulus.
2) Silogisme disjungtif dalam arti luas, yaitu yang premis mayornya
mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Premis Mayor : Hasan di rumah atau di pasar.
Premis Minor : Hasan di rumah.
Konklusi : Hasan tidak di pasar.
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dua macam silogisme diatas
memiliki tipe yang berbeda antara satu dengan yang lain, perbedaannya
yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, maka
konklusinya mengakui alternatif yang lain, seperti:
Premis Mayor : Ia berada di luar atau di dalam.
Premis Minor : Ternyata tidak berada di luar.
Konklusi : Jadi, ia berada di dalam.
2) Premis minornya mengakui salah satu alternatif, maka konklusinya
mengingkari alternatif yang lain, seperti:
Premis Mayor : Budi di masjid atau di sekolah.
Premis Minor : Ia berada di masjid.
Konklusi : Jadi, ia tidak berada di sekolah.
b. Hukum-Hukum Silogisme Disjungtif
1) Silogisme disjungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan
selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid. Ingat, di awal
telah penulis sampaikan bahwa konklusi yang diakui hanyalah
apabila premis didukung dengan fakta dan pengambilan kesimpulan
melalui prosedur yang valid (sesuai aturan dan patokan).
Contoh:
Premis Mayor : Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Premis Minor : Ternyata Hasan berbaju putih.
Argumentasi Hukum 33

Konklusi : Jadi, ia bukan tidak berbaju putih.


Penjelasan:
Yang dimaksud berbaju tidak putih adalah warna selain putih
(merah, kuning, hijau). Ketika ternyata Hasan berbaju putih, berarti
jelas ia tidak memakai baju dengan warna selain putih. Sehingga
konklusi ini sah.
2) Silogisme disjungtif dalam arti luas, kebenaran konklusinya adalah
sebagai berikut:
• Apabila premis minor mengakui salah satu alternatif, maka
konklusinya sah (benar).
Contoh:
Premis Mayor : Budi menjadi guru atau pelaut.
Premis Minor : Budi adalah guru.
Konklusi : Jadi, Budi bukan pelaut.
• Apabila premis minor mengingkari salah satu alternatif,
maka konklusinya tidak sah (salah).
Contoh:
Premis Mayor : Penjahat itu lari ke Yogya atau ke
Solo.
Premis Minor : Ternyata penjahat itu tidak lari ke
Yogya.
Konklusi : Jadi, ia lari ke Solo.
Penjelasan: dalam silogisme disjungtif dalam arti luas, logika pilihan
mengingkari salah satu alternatif dalam premis minor tidak bisa
dimaknakan bahwa pilihan lainnya yang terjadi, karena secara logis
pilihan alternatifnya bukan terbatas antara a dan bukan a (seperti
disjungtif dalam arti sempit), sehingga jika salah satu diingkari
maka pilihan selain a dan b, bisa jadi c, d, e, dan lain sebagainya.
Jadi dalam konteks contoh diatas, jika penjahat itu tidak lari ke
Yogya, tidak berarti bahwa ia lari ke Solo.

1.4. Dilema
Hampir semua orang pernah merasakan dilema dalam hidupnya.
Mulai dari remaja sampai orangtua pernah merasakannya. Ketika seseorang
telah dewasa, biasanya yang menjadi dilema adalah seputar masalah pasangan
hidup, keluarga, pekerjaan dan lain-lain. Contohnya seorang wanita karir yang
harus memilih antara keluarga dan pekerjaannya. Ia merasa wajib membantu
keuangan keluarga dengan bekerja, akan tetapi konsekuensinya ia harus rela
34 Argumentasi Hukum

kehilangan waktu dengan anak-anaknya. Sementara jika ia berhenti bekerja dan


mengurus anak-anaknya maka keuangan keluarga akan mengalami kesulitan.
Sering kita temui orang-orang yang mengalami dilema seperti ini.
Lantas, apakah hubungan antara ilustrasi dilema di atas dengan bidang
hukum bahkan seorang penegak hukum? Dilema adalah situasi sulit dimana
seseorang harus menentukan pilihan antara dua pilihan atau kemungkinan
yang sama-sama tidak menguntungkan atau tidak menyenangkan.28 Dilema
juga diartikan sebagai argumentasi yang bentuknya merupakan campuran
antara silogisme hipotetik dan silogisme disjungtif.29 Hal ini terjadi karena
premis mayornya terdiri dari dua proposisi hipotetik dan premis minornya satu
proposisi disjungtif. Konklusinya berupa proposisi disjungtif, akan tetapi bisa
proposisi kategorik.
Syarat mutlak seorang lawyer, hakim, jaksa, praktisi hukum hingga
mahasiswa hukum dalam menghadapi persoalan hukum harus mampu berpikir
kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip, asumsi, aturan, proposisi
dan praktik hukum. Kemampuan penalaran dan argumentasi yang memadai
di bidang hukum, maka kebenaran dan keadilan hukum dapat ditemukan,
diungkap, diuji dan dijustifikiasi. Namun, tidak jarang dalam pengambilan
asumsi-asumsi atau makna-makna dari suatu persoalan hukum, seorang praktisi
hukum dihadapkan pada kondisi sulit dan sama-sama tidak mengenakkan untuk
dipilih, sehingga harus mampu membuat serta mempertahankan argumentasi
berdasarkan prinsip logika dengan tetap memperhatikan relevansi dari suatu
persoalan yang dihadapi.
Kondisi yang dihadapai tersebut kemudian dinamakan dengan dilema.
Dalam dilema, terkandung konsekuensi yang kedua kemungkinannya sama
berat. Adapun konklusi yang diambil selalu tidak menyenangkan. Dalam debat
khususnya, dilema dipergunakan sebagai alat untuk menyudutkan posisi lawan
bicara melalui argumentasi yang disampaikan, sehingga alternatif apapun yang
dipilih, lawan bicara selalu dalam situasi tidak menyenangkan. Penulis akan
mencoba memberikan contoh melalui beberapa ilustrasi, diantaranya:
1. Ketika seorang ibu yang membujuk anaknya untuk tidak terjun ke
dalam dunia politik mengatakan bahwa “apabila engkau berbuat
adil, manusia akan membencimu. Namun, apabila engkau berbuat
tidak adil, maka Tuhan akan membencimu. Sedangkan, engkau harus
bersikap adil atau tidak adil. Berbuat adil ataupun tidak, engkau akan
tetap dibenci”.
28 Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.id/dilema
29 Mundiri. Logika. (Penerbit Rajawali Pers, 1994).
Argumentasi Hukum 35

2. Seorang paman mengobrol dengan keponakannya dengan berkata


“apabila para mahasiswa suka belajar, maka motivasi menggiatkan
belajar tidak berguna. Sedangkan, apabila mahasiswa malas belajar,
motivasi itu tidak akan membawa hasil. Karena itu motivasi
menggiatakan belajar itu tidak bermanfaat atau tidak membawa hasil.”
Pada kedua contoh tersebut, konklusi berupa proposisi disjungtif.
Contoh pertama adalah dilema bentuk baku sedangkan kedua bentuk non baku.
Sekarang kita akan melihat contoh dilema yang konklusinya merupakan
keputusan kategorik, yaitu:
1. Jika Budi kalah dalam perkara ini, ia harus membayarku berdasarkan
keputusan pengadilan. Bila ia menang ia juga harus membayarku
berdasarkan perjanjian. Ia mungkin kalah dan mungkin pula menang.
Karena itu ia harus tetap harus membayar kepadaku.
2. Setiap orang yang saleh membutuhkan rahmat supaya tekun dalam
kebaikan. Setiap pendusta membutuhkan rahmat supaya dapat
ditobatkan. Dan setiap manusia itu pasti saleh atau pendusta. Sehingga,
setiap manusia membutuhkan rahmat.
Sebagai seorang praktisi hukum nantinya, sudah sepatutnya memahami
bahwa setiap persoalan hukum memiliki arah penyelesaian sendiri, sehingga
membutuhkan pola pemikiran tersendiri pula untuk menyusun kriteria
bagaimana mengevaluasi suatu argument yang benar. Sekalipun dalam dilema
tidak bisa dikatakan bahwa konklusi yang diambil adalah konklusi yang tepat
dan menyenangkan. Dalam buku ini, penulis mencoba untuk meyampaikan
aturan dan cara mengatasi apabila kita menghadapi suatu dilema, diantaranya:
a. Aturan-Aturan Dilema
1) Disjungsi harus utuh. Masing-masing bagian harus benar-benar
selesai, sehingga tidak akan ada lagi kemungkinan lain. Apabila
terdapat kemungkinan lain, hal ini akan menjadi sebuah jalan
keluar baru. Menjadi sebuah tuntutan bagi kita untuk mampu
menutup jalan keluar tersebut. Hal yang harus diwaspadai adalah
untuk tidak tergelincir dalam sofisme, yaitu pemikiran yang terlihat
benar, namun sesungguhnya adalah suatu kesalahan.
2) Konsekuen haruslah sah disimpulkan dari masing-masing
bagian. Ketika kita dihadapkan pada sebuah dilema, harus benar-
benar memahami setiap pernyataan yang ada. konsekuensi dari
penyimpulan yang tidak berdasarkan pada pernyataan yang ada
akan mengakibatkan adanya kesalahan.
36 Argumentasi Hukum

3) Kesimpulan yang ditarik dari masing-masing bagian, haruslah


merupakan satu-satunya kesimpulan yang mungkin diambil.
Apabila hal ini tidak dilakukan, maka lawan kita akan sanggup
mengambil kesimpulan yang berlawanan dengan kesimpulan kita.
b. Cara Mengatasi Dilema
1) Dengan meneliti kausalitas premis mayor.
Sering benar terjadi dalam dilema terdapat hubungan kausalitas
tidak benar yang dinyatakan dalam premis mayornya. Dalam
contoh di atas dikemukakan bahwa motivasi peningkatan belajar
tidak berguna atau tidak membawa hasil. Konklusi yang diambil
tidak benar, karena ditarik dari premis mayor yang mempunyai
hubungan kausalitas tidak benar. Dalam kenyataannya, tidak
semua mahasiswa yang tidak suka belajar mempunyai sebab
yang sama. Dari sekian mahasiswa yang tidak suka belajar, bisa
disebabkan karena kurangnya kesadaran, sehingga motivasi sangat
berguna bagi mereka. Untuk mengatasi dilema model seperti ini,
kita tinggal menyatakan bahwa premis tidak mempunyai dasar
kebenaran yang kuat.
2) Dengan meneliti alternatif yang dikemukakan.
Alasan kenapa kita harus meneliti alternatif yang dikemukakan,
hal ini dikarenakan mungkin sekali alternatif pada permasalahan
yang ada, tidak hanya sekedar dinyatakan, akan tetapi lebih dari
itu. Salah satu contohnya, yaitu di masa lalu seorang pemimpin
sering berkata: “Pilihlah Soekarno atau biarlah negara ini hancur”.
Lantas, apakah benar hanya Soekarno yang bisa menyelamatkan
negara ini? Apakah tidak ada orang lain yang bisa menggantinya?
Tentu saja ada, sehingga alternatifnya lebih dari dua.
3) Dengan Kontra Dilema.
Tidak jarang ditemui bahwasanya dilema yang kita hadapi tidak
mengandung beberapa kemungkinan, maka hal ini bisa kita atasi
dengan mengemukakan dilema tandingan. Banyak sekali dilema
yang dihadapkan seseorang kepada kita hanyalah merupakan alat
pemojok saja, namun sebenarnya dilema tersebut tidak mempunyai
kekuatan. Keadaan tersebut bisa kita hadapi dengan membuat
pernyataan dalam bentuk lain yang mempunyai konklusi berlainan
dengan penampilan semula.
Sebagai contoh adalah pendapat orang yang menyatakan bahwa
hidup ini adalah penderitaan, hendak memaksakan keyakinan itu
Argumentasi Hukum 37

dengan mengajukan dilema kepada kita sebagai berikut:


Premis Mayor : Bila kita bekerja maka kita tidak bisa
menyenangkan diri kita.
Premis Minor : Bila kita tidak bekerja, kita tidak dapat uang.
Konklusi : Jadi bekerja atau tidak bekerja, kita dalam
keadaan tidak menyenangkan.
Dilema tersebut dapat kita jawab dengan kontra dilema,
Premis Mayor : Bila kita bekerja, kita mendapat uang.
Premis Minor :
Bila kita tidak bekerja kita dapat
menyenangkan diri kita.
Konklusi : Jadi bekerja atau tidak, selalu menyenangkan
kita
Bila dilema yang kita hadapi tidak mungkin kita atasi dengan teknik
diatas, maka jalan terakhir adalah memilih alternatif yang paling ringan. Pada
dasarnya tidak ada dilema yang menampilkan alternatif yang benarbenar sama
beratnya. Dalam dilema serupa dibawah ini kita hanya dapat memilih alternatif
yang paling ringan.
Contoh:
Apabila tuan masih tercatat sebagai pegawai negeri, maka tuan tidak bisa
menduduki jabatan tertinggi pada PT “ Buana Jaya“ ini. Untuk menduduki
jabatan tinggi pada PT ini maka anda harus rela melepaskan status tuan sebagai
pegawai negeri. Sementara itu anda berat melepas pekerjaan sebagai pegawai
negeri, sedangkan bila tidak menjabat pimpinan pendapatan anda di PT itu
tetap sedikit.
2. Penalaran Induktif
Para logikawan umumnya membagi penalaran ke dalam dua kategori
utama, yaitu penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran industi
didasarkan pada generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita
miliki. Berdasarkan pengetahuan atau pengalaman kita tersebut, dirumuskan
atau disimpulkan suatu pengetahuan atau pengalaman baru. Dengan kata lain,
induktif adalah proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan pengalaman,
data, fakta atau pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki.
Contoh:
• Kucing berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
• Kelinci berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
• Panda berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan.
38 Argumentasi Hukum

• Kesimpulan: Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak dengan


melahirkan.

Berikut adalah bentuk-bentuk penalaran induktif, diantaranya:


2.1. Generalisasi
Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena
individual menuju kesimpulan umum. Proses penalaran generalisasi induktif
bersumber dari prosedur kerja ilmuwan (sciences).30 Para ilmuwan melakukan
observasi dari berbagai data dan/atau fakta tertentu, kemudian merumuskan
hipotesis tentang hasil observasi atas fakta tersebut. Hipotesis tersebut dilakukan
dengan sebuah bentuk penalaran induktif. Hasil hipotesis yang memberikan
hasil sama (berulang) terhadap setiap observasi yang dilakukan, maka bisa
disimpulkan bahwa hal tersebut adalah benar, sekalipun itu masih dalam tahap
probabilitas.
Contoh:
Dian Sastro adalah bintang film, dan ia berwajah cantik. Chelsea Islan adalah
bintang film, dan ia berwajah cantik.
Generalisasi : Semua bintang film berwajah cantik.
Pernyataan “semua bintang film berwajah cantik” hanya memiliki kebenaran
probabilitas karena belum pernah diselidiki kebenarannya.
Macam-macam generalisasi:
1) Generalisasi Sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena
yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contoh: sensus penduduk.
2) Generalisasi Tidak Sempurna
Generalisasi tidak sempurna adalah generalisasi dimana kesimpulan
diambil dari sebagian fenomena yang diselidiki diterapkan juga untuk
semua fenomena yang belum diseldiki.
Contoh:
• Lionel menyukai film Dinosaurus; Raffael menyukai film
Dinosaurus; Sandra menyukai film Dinosaurus; begitu juga
Tahta dan Syailendra.
• Semua anak-anak menyukai film dunia Dinosaurus.
Dari contoh tersebut kemudian muncul pertanyaan, apakah benar semua
anak-anak menyukai film Dinosaurus? jawabannya tentu tidak. Oleh
30 Urbanus Ura W. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum.” Jurnal Konstitusi. Vol.
14. No. 2. 2017. Hlm. 374-395.
Argumentasi Hukum 39

karena yang diselidiki hanya sebagian namun diterapkan pada semua


yang belum diselidiki, maka hal ini menjadikan suatu generalisasi tidak
sempurna.
2.2. Analogi
Analogi dalam ilmu Bahasa adalah persamaan antar bentuk yang
menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain. Analogi merupakan salah
satu proses morfologi dimana dalam analogi, pembentukan kata baru dari kata
yang telah ada. Analogi dilakukan karena antara sesuatu yang dibandingkan
dengan pembandingnya memiliki kesamaan fungsi atau peran. Melalui analogi,
seseorang dapat menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkrit
dan lebih mudah dicerna.
Contoh :
Untuk menjadi seorang pemain bola yang hebat atau berprestasi dibutuhkan
latihan yang rajin dan ulet. Begitu juga dengan seorang doktor untuk dapat
menjadi doktor yang hebat dibutuhkan pembelajaran atau penelitian yang rajin
yang rajin dan ulet. Oleh karena itu untuk menjadi seorang pemain bola maupun
seorang doktor diperlukan latihan atau pembelajaran.
Macam-Macam Analogi:
1) Analogi Induktif
Bentuk dasar dari penalaran analogi induktif adalah bahwa karena
dua hal yang sama atau serupa dalam banyak hal, maka mereka juga
sama atau serupa dalam hal khusus yang lain. Swisher menulis, “An
analogy is simply a comparison, and an argument from analogy is an
argument from comparison. An argument from analogy begins with a
comparison between two things, X and Y. It then proceeds to argue that
these twothings are alike in certain respects, A, B and C, and concludes
that therefore they are also alike in another respect, D, in which they
have not [previously] been observed to resemble one another ... It
will be apparentat once that an argument from analogy is never
conclusive”.31 Argument analogis dilakukan dengan membandingkan
dua hal atau lebih dari unsur yang sama kemudian menarik kesimpulan
dari kesamaan hal atau unsur yang dibandingkan tersebut.
Contoh :
Tim Thomas Indonesia mampu masuk babak final karena berlatih keras
setiap hari. Maka Tim Uber Indonesia akan masuk babak final jika
berlatih keras setiap hari.
31 Peter Nash Swisher. “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University of
Richmond Experience”. 1981. Hlm. 537.
40 Argumentasi Hukum

2) Analogi Deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau


menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan
sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide
baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan
hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
Contoh:
Untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara
kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk
mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal
dan hati.
2.3. Hubungan Kausal
Adalah penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling
berhubungan. Hubungan kausal (kausalitas) merupakan perinsip sebab-akibat
yang sudah pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh
kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari
sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya. Hubungan kausalitas
merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan.
Keharusan dan keaslian sistem kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu
manusia yang telah dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.
Macam Hubungan Kausal:
1) Sebab – Akibat
Contoh: Penebangan liar di hutan mengakibatkan tanah longsor.
2) Akibat – Sebab
Contoh: Andri juara kelas karena dia rajin belajar.
3) Akibat – Akibat
Contoh: Toni melihat kecelakaan di jalan raya, sehingga Toni
beranggapan adanya korban kecelakaan.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa penalaran induktif bukanlah sesuatu
yang pasti, melainkan hanya sampai pada tingkat kemungkinan atau probabilitas
semata. “A conclusion reached by inductive reasoning is not considered a truth;
rather, it is a proposition that is more probably true than not.”32 Sehingga dalam
argument induktif, berapapun jumlah fenomena atau premis yang ditampilkan,
tidak menjamin kepastian penyimpulan induktif. Karena data, fakta atau
proposisi yang terbatas tidak bisa dipastikan bahwa kebenaran penyimpulan
induktif bersifat universal. Maka kebenaran penyimpulan induktif hanya
sampai pada kemungkinan atau probabilitas semata.33
32 Mary Massaron Ross. “A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal”. 2006. Hlm. 180.
33 Ibid.
Argumentasi Hukum 41

Meskipun kebenaran penyimpulan induktif hanya sampai pada tingkat


kemungkinan semata. Namun, kebenaran penyimpulan induktif tergantung
pada factor-faktor probabilitasnya. Faktor probabilitas adalah faktor-faktor
yang menentukan tinggi atau rendahnya probabilitas konklusi induksi. Faktor-
faktor probabilitas tersebut diantaranya:34
1. Faktor Jumlah Fakta
Faktor jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif. Kaidahnya:
“semakin besar jumlah fakta yang dijadikan sebagai dasar penalaran
induktif, semakin tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya”.
2. Faktor Analogi
Faktor analogi adalah faktor yang sama yang terdapat dalam setiap
premis. Kaidahnya: “semakin besar jumlah faktor analogi di dalam
premis, semakin rendah probabilitas konklusinya dan sebaliknya”.
3. Faktor Disanalogi
Faktor disanalogi adalah faktor yang tidak sama atau beragam yang
ada di dalam premis. Kaidahnya adalah: “semakin besar jumlah
faktor disanaloginya di dalam premis, semakin tinggi probabilitas
konklusinya dan sebaliknya”.
4. Faktor Luas Konklusi
Kaidahnya adalah: “semakin luas konklusinya semakin rendah
probabilitasnya dan sebaliknya”.

34 R.G. Soekadijo. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif. cet. Ke-9, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hlm. 135-138
42 Argumentasi Hukum

BAB III
ARTI PENTING LOGIKA DALAM HUKUM

A. Arti Penting Logika Terhadap Ilmu Hukum


Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan pengertian logika
terkhusus dalam bidang hukum. Kemudian dalam bab ini mari kita bersama-
sama semakin memahami kedudukan hingga arti penting logika terhadap ilmu
hukum. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang
paling sempurna, karena akal yang dimilikinya. Dengan akal, manusia dapat
mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya hingga memahami hakikat
kebenaran dan kesalahan terhadap hal yang diketahuinya tersebut. Manusia
karena akalnya yang dituangkan dalam bahasa menjadi makhluk istimewa
yang senantiasa terdorong untuk berpikir sepanjang hayatnya sesuai dengan
kemampuan berpikir yang dimilikinya. Sehingga bisa dikatakan, logika adalah
pertimbangan hasil pemikiran diungkapkan melalui kata-kata, dinyatakan
dalam bahasa terkhususnya untuk menghadapi masalah dalam hidup, termasuk
berpikir tentang hukum.
Menurut Munir Fuadi, logika berfungsi sebagai suatu metode untuk
meneliti kebenaran atau ketepatan dari suatu penalaran, sedangkan penalaran
adalah suatu bentuk pemikiran.35 Ketika seorang praktisi hukum dihadapkan
kepada suatu persoalan hukum, berdasarkan akal yang dimilikinya, maka
keberadaan akal sebagai alat untuk berpikir logis (penalaran) sangat penting
keberadaannya untuk meneliti kebenaran dan ketepatan dari proses penyelesaian
terhadap persoalan yang dihadapi. Hal-hal tersebut dipengaruhi karena pada
dasarnya, logika menyampaikan pemikiran yang benar, terlepas dari berbagai
prasangka emosi dan keyakinan seseorang. Oleh karena itu, logika mendidik
manusia bersikap obyektif, tegas dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan
dalam segala suasana dan tempat.36
Logika dalam ilmu hukum memiliki karakternya sendiri, sehingga
sangat perlu mengetahui bagaimana berlogika hukum yang benar. Lantas, apa
hubungan logika dengan hukum? Hubungan antara logika dan hukum adalah
dari sifat logisnya, yaitu suatu sifat khusus dari hukum dimana norma-norma
dari hukum sesuai dengan asas-asas logika. Sesuai dengan pengertiannya,
logika hukum adalah penarikan kesimpulan dengan menggunakan nalar yang
35 Surajiyo & Sugeng Astanto & Sri Andini. Dasar-Dasar Logika. (Jakarta: Bumi Aksara,
2012). Hlm. 10.
36 Mundiri. Logika. (Depok: Rajawali Press, 2017). cetakan ke-19. Hlm. 17.
Argumentasi Hukum 43

tepat terhadap persoalan hukum. Dalam berlogika berarti melakukan penalaran.


Penalaran adalah proses berpikir untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
tentang sesuatu dari beberapa fenomena yang dihadapkan. Penalaran hukum
adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami
prinsip, aturan, data, fakta dan proposisi hukum.37
Logika hukum (legal reasoning) dalam perkembangannya,
dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan
hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain) hingga kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata maupun administrasi) dan pada akhirnya
memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. Dari pengertian ini,
dapat dikatakan juga logika hukum (legal reasoning) juga tentang bagaimana
pencarian dasar oleh hakim dalam memutuskan perkara atau kasus hukum,
seorang pengacara mengargumentasikan hukum, bagaimana seorang ahli
hukum menalar hukum hingga bagi para penyusun undang-undang dan
peraturan, logika hukum berguna untuk mencari dasar mengapa suatu undang-
undang atau peraturan tersebut perlu disusun dan dikeluarkan, sehingga tidak
hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan tujuan.

B. Relevansi Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum


Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa logika dan penalaran hukum
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari studi hukum. Hanson
menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang logika,
penalaran hukum dan argumentasi hukum dibutuhkan karena pemahaman
hukum dari perspektif semacam ini berusaha menemukan, mengungkap,
menguji akurasi dan menjustifikasi asumsi-asumsi atau berbagai makna
tersembunyi dalam peraturan atau ketentuan hukum yang ada berdasarkan
kemampuan rasio (akal budi) manusia.38 Hal ini salah satunya didasarkan pada
setiap produk hukum baik tertulis ataupun tidak tertulis adalah berdasarkan
intelektualitas manusia, dimana tingkat intelektualitas setiap manusia terbatas
pun berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga dengan adanya akal
yang dimiliki, manusia dapat menggali serta memahami berdasarkan tingkat
rasio yang dimilikinya. Kemampuan semacam ini tidak hanya dibutuhkan
bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum melainkan juga dalam
seluruh bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar hukum.

37 Urbanus. Loc.cit., Hlm. 381.


38 Sharon Hanson (ed), Legal method, Skills and Reasoning, (Milton Park-Abingdon_Oxon:
Routledge-Cavendish, 2010). Hlm. 5-8.
44 Argumentasi Hukum

Dalam perkembangannya, memang harus diakui bahwa pengambilan


keputusan hukum (decision-making) tidak hanya berbicara mengenai persoalan
penalaran baik penalaran induksi, deduksi hingga analogi. Akan tetapi, tuntutan
terhadap setiap putusan yang dapat dinalar secara akal sehat dan logis, selalu
merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar. ”That a body of rules
exists, even in the form of a written constitution, does not abolish judicial
discretion, since thejudge might not apply them, nor does it prevent the decisive
influence of nonlegal considerations, such as the community’s collective
conscience.”39 Yang pada faktanya, suatu keharusan tersebut bukan hanya
sesuatu yang dituntut setelah menghadirkan fakta-fakta yang ada dalam proses
hukum, namun juga inheren dalam proses hukum itu sendiri.
Dewasa ini, mahasiswa hukum sering dituntut untuk memiliki pola
pikir selayaknya seorang ahli hukum, “to think like a lawyer”. Pola pikir yang
dimiliki haruslah pola pikir yang dapat memahami suatu persoalan hukum
dengan kritis, rasional dan argumentatif berdasarkan rumusan undang-undang,
opini maupun pendapat hukum. Hal ini tidak lain dan tidak bukan, berangkat
dari harapan bahwa kelak mahasiswa hukum harus mampu menganalisis kasus
hukum melalui medium penalaran hukum, baik kasus hukum dalam wilayah
publik, akademik atau pengadilan.
Keterampilan dasar dalam memahami serta menggali kemampuan
dalam penalaran hukum lebih baik diberikan kepada mahasiswa hukum
daripada tidak sama sekali. Apabila senjata seorang koki dalam melakukan
pekerjaannya adalah pisau, maka senjata seorang mahasiswa hukum adalah
kemampuan penalaran hukum yang memadai. Peter Nash Swisher menegaskan
bahwa mahasiswa hukum perlu diajarkan prinsip-prinsip logika dasar dan
penalaran hukum. Ibarat seorang perenang yang perlu mempelajari teknik
dan cara berenang agar tetap survive, demikian juga mahasiswa hukum perlu
dibekali dengan pemahaman dan keterampilan penalaran hukum agar bisa
survive.40 Dengan logika dan penalaran hukum, mahasiswa dan para praktisi
hukum nantinya, akan mampu memahami hukum secara kritis dan rasional
berdasarkan metode berpikir lurus dan tepat tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, logika adalah suatu alat untuk
mengontrol emosi, ego, perasaan bahkan prasangka manusia yang berkecamuk
pada saat menghadapi suatu persoalan, dalam hal ini ialah persoalan hukum.
Pada saat melakukan perumusan, pelaksanaan dan penerapan hukum, seorang
39 Thomas Halper. “Logic in Judicial Reasoning”. Indiana Law Journal. Vol.44, Iss. 1,
article 2. 1968. Hlm. 33.
40 Peter Nash Swisher, “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University of
Richmond Experience”. 1981, Hlm. 537
Argumentasi Hukum 45

praktisi hukum harus mampu melakukan pertimbangan dan penalaran


logis untuk menjamin objektivitas hukum. Ketika seorang praktisi hukum
terlalu bemain di wilayah rasa, maka akan semakin menjauhkan hukum dari
objektivitas dan imparsialitas. Karena dengan penalaran logika, hukum tidak
lagi mendasarkan diri pada kepentingan dan pertimbangan lain di luar nalar
dan akal sehat. Dengan menggunakan logika, kepastian hukum akan bermuara
pada relasi antara logika dan penalaran dalam proposisi logis yang dirumuskan
secara objektif.
Dengan demikian jelas bahwa logika dan penalaran hukum selalu
relevan, karena logika dan penalaran hukum:41
1) Menjamin kesahihan suatu argumentasi dan salah satu jalan untuk
mendekatkan diri pada kebenaran dan keadilan;
2) Membantu para calon praktisi hukum, lawyer, para jaksa dan
hakim, menganalisis, merumuskan, dan mengevaluasi fakta, data,
dan argumentasi hukum; kemampuan dalam bidang ini merupakan
makhkota dan jantung keterampilan para lawyer dan hakim dalam
memutuskan suatu perkara hukum;
3) Pemahaman terhadap prinsip-prinsip penyimpulan logis, baik deduksi,
analogi, maupun generalisasi induksi, tidak hanya berguna dalam
memahami persoalan, praktik, dan putusan hukum, melainkan juga
pengalaman-pengalaman empiris sehari-hari serta observasi ilmiah;
4) Domain utama dan esensi praktik atau putusan hukum tidak lain dari
penalaran praktis dengan logika sebagai basisnya. Praktik hukum
memang lebih dari sekedar logis (logika).
Dengan mempelajari buku ini, penulis sampaikan bahwa mempelajari
logika, penalaran dan argumentasi hukum sangat penting bagi seorang
mahasiswa hukum, khususnya untuk menganalisa isu-isu hukum yang aktual,
sebab suatu penalaran tersebut dilakukan untuk menguji serta mencapai suatu
kebenaran. Kebenaran disini ialah tentunya terkait dengan tujuan hukum itu
sendiri. Isu hukum yang sedang berkembang di masyarakat, dapat di analisa
dengan baik apabila penalaran mahasiswa hukum terarah. Oleh karena itu, alur
pikir mahasiswa diharapkan dapat mencapai kebenaran serta searah dengan
tujuan hukum itu sendiri.
Hal-hal tersebut diatas, dapat kita pahami bahwa setiap penalaran hukum
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, terikat pada kaidah-kaidah penalaran
yang tepat seperti hukum-hukum silogisme hingga ketepatan penalaran induksi
41 Urbanus Ura Weruin. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum (Logic, Reasoning
and Legal Argumentation).” Jurnal Konstitusi. Vol 14. No 2. 2017. Hlm. 381
46 Argumentasi Hukum

dan lain sebagainya. Sebagai salah satu contoh, penanganan perkara sejak
penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan selalu
berawal dari proses berpikir induksi berupa generalisasi. Langkah atau proses
pertama adalah merumuskan fakta, kemudian identifikasi hukum, mencari
hubungan sebab-akibat, hingga mereka-reka probabilitas barulah melakukan
penerapan hukum.
Berikut penulis akan sampaikan, beberapa peranan penting penalaran
silogisme dan induksi (hubungan kausalitas dan analogi) dalam penangan
perkara atau penyelesaian masalah hukum, diantaranya:
1. Makna Penting Penalaran Silogisme Dalam Hukum
Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai
pengertian penalaran silogisme, bentuk silogisme hingga berbagai hukum yang
menyertainya. Apabila kita hanya memandang sebelah mata dan mempelajari
silogisme hanya untuk sekedar bacaan dikala luangnya waktu, maka yang kita
pahami hanyalah bahwa silogisme adalah salah satu jenis pertanyaan atau soal
psikotes di berbagai bentuk ujian masuk perguruan tinggi saja. Tidak sedikit
orang yang memahami silogisme hanya berhenti pada suatu soal berupa
suguhan beberapa pernyataan dan tinggal dicari kesimpulannya saja. Pendapat
tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak mutlak akan kebenarannya.
Silogisme harus dipahami secara meluas sebagai uji logika dalam kehidupan
sehari-hari pada akal manusia dalam kehidupannya.
Silogisme secara logis, bisa kita pahami sebagi penarikan kesimpulan
yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada
konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal, partikular dan/atau
singular (dari umum ke khusus). Ketika beberapa fenomena dihadapkan satu
sama lain, maka sebagai seorang manusia yang diberkati dengan akal, harus
mampu mengambil suatu kesimpulan dari beberapa fenomena tersebut. Ketika
proses berpikir dilandaskan pada logika dan penalaran, maka akan ditemukan
mengenai hakekat kebenaran suatu hal. Proses berpikir inilah yang harus
dibentuk dan ditanamkan pada setiap mahasiswa hukum, yang nantinya pada
saat menjadi praktisi hukum, mampu menganalisis suatu persoalan hukum
secara kritis dan implementatif berdasarkan prinsip, data, fakta dan proposisi
hukum yang tepat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum khususnya
hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the
power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yakni :
Merumuskan, masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya
Argumentasi Hukum 47

(legal problem solving) dan terakhir mengambil keputusan.42 Dengan penalaran


yang tepat, suatu pertimbangan hukum dan/putusan dapat diketahui logika
berpikir yang digunakan hakim untuk membuktikan benar tidaknya suatu
hukuman dijatuhkan kepada seorang terdakwa. Contoh penggunaan penalaran
silogisme yang menuntun hakim berpikir logis hingga menghasilkan suatu
simpulan yang terwujud dalam putusan yang disusunnya adalah dengan
menempatkan logika berpikir umum ke khusus yaitu pasal-pasal hukum sebagai
Premis Mayor, peristiwa atau kasus hukum sebagai Premis Minor, dan hasil
putusannya sebagai Konklusi.
Premis Mayor : Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun (Pasal 362 KUHP)
Premis Minor : Suyanto mengambil HP milik orang lain secara
tidak sah, kemarin. (Peristiwa Hukum)
Konklusi : Maka Suyanto akan dipidana penjara karena
pencurian setinggi-tingginya 5 (lima) tahun.
Dari contoh di atas, dapat diketahui bahwa ketika hakim bertolak dari
aturan hukum yang berlaku pada kasus individual secara umum dan digunakan
untuk mendapatkan kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap kasus
individual secara konkrit (khusus), maka hakim tersebut menggunakan
penalaran silogisme.
Bisa dikatakan pula bahwa penalaran silogisme berfungsi sebagai
suatu proses pembuktian akan kebenaran dan kesalahan suatu pendapat, tesis
dan juga hipotesis tentang suatu permasalahan. Apabila hal ini kita kaitkan
dengan bidang hukum, maka penalaran silogisme sangat erat kaitannya dengan
penyusunan suatu legal reasoning berdasarkan penafsiran undang-undang.
Ketetapan yang diambil dari kata-kata yang ada dalam undang-undang,
sifatnya adalah dari suatu hal yang umum kemudian ditarik ke dalam suatu
kasus tertentu secara khusus.
Dalam menganalisis suatu persoalan hukum, proses legal reasoning
diperlukan untuk menjaga supaya suatu persoalan hukum tersebut tetap dalam
koridor ketentuan hukum yang berlaku. Demikian pula, proses penyelesaian
suatu sengketa hukum, legal reasoning sangat diperlukan untuk mendapatkan

42 Sudikno Mertokusumo.Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan, dalam Sidharta.


Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Kofonteks Keindonesiaan, (Bandung: C.V. Utomo,
2006). Hlm. 196.
48 Argumentasi Hukum

esensi dari sengketa agar dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya dalam


lingkup hukum yang berlaku. Oleh karenanya, berbagai bentuk penalaran
silogisme beserta hukum yang menyertainya adalah salah satu hal yang harus
dipahami sebagai hal yang penting untuk dikuasai oleh seorang praktisi hukum.
2. Makna Penting Kausalitas Dalam Hukum
Sebagai seorang mahasiswa hukum dan/atau praktisi hukum, sudah
seharusnya memiliki kemampuan untuk menganalisis suatu persoalan hukum
mengenai berbagi faktor penyebab hingga akibat yang terjadi dalam persoalan
tersebut. Tepat atau tidaknya suatu penarikan kesimpulan terkait peristiwa
hukum, tergantung kepada daya pikir dalam memahami rangkaian hubungan
sebab akibat yang ada. Dalam hal ini, seorang praktisi hukum dituntut tidak
hanya berpikir maju atau hanya melihat suatu persoalan ketika persoalan telah
terjadi dan muncul akibat dari fakta-fakta yang ditemukan, namun juga harus
mampu berpikir mundur, mencari serta merangkai sebab yang berhubungan
dengan akibat yang ada, sehingga timbullah suatu penarikan kesimpulan atau
putusan hukum yang tepat.
Sebagai contoh, setiap kali terjadi kasus pembunuhan, aparat
penegak hukum dituntut untuk mampu menangkap dan mengungkap motif
tindakan pelaku. Penegak hukum, dalam hal ini polisi, harus mampu bekerja
keras mengolah tempat kejadian perkara, mencari bukti-bukti hingga pada
akhirnya menangkap pelaku. Hal yang tak kalah penting adalah memastikan
sebab meninggalnya korban pembunuhan tersebut. Apakah akibat tindakan
pelaku atau ada sebab lain di luar tindakan pelaku. Penegak hukum harus
mampu menggali rangkaian hubungan sebab akibat perbuatan pelaku dengan
meninggalnya korban.
Dari ilustrasi yang penulis sampaikan di atas, dapat dipahami bahwa
hubungan kausalitas atau sebab akibat memainkan peranan penting dalam
penanganan perkara atau penyelesaian masalah hukum. Sehingga kausalitas
mempunyai makna sangat penting dalam bidang hukum.
Selanjutnya, penulis akan mencoba menyampaikan makna penting
kausalitas dalam setiap bidang hukum, diantaranya:
2.1. Dalam Bidang Hukum Pidana
Dalam bidang hukum pidana, ajaran tentang kausalitas atau sebab
akibat berkaitan dengan tiga hal, yaitu:
a) Delik Materiil
Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, harus ada
keadaan tertentu yang dilarang atau dipenuhi unsur-unsur perbuatan
Argumentasi Hukum 49

yang dilukiskan dalam aturan tersebut. Misalnya, untuk dapat


menunutut seseorang karena disangka membuat meninggalnya
si A, maka harus dibuktikan bahwa karena perbuatan orang itu
lalu menimbulkan akibat berupa meninggalnya si A. Dengan
kata lain, bahwa akibat kelakuan orang itulah menjadi sebab dari
meninggalnya si A. Sehingga harus dipahami dengan betul apakah
orang tersebut melakukan perbuatan yang memberikan akibat
hukum sebagaimana dilukiskan dalam aturan yang mengatur
terhadap perbuatannya.
b) Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat
dari terjadinya perbuatan yang dilarang, maka ia akan diminta
pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum.
Tentunya, apabila dilihat dari kemampuan bertanggungjawab,
maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat
diminta pertanggungjawaban.
c) Delik dengan Pemberatan
Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil,
maka penentuan kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang
dikualifisir oleh akibatnya, yaitu di mana karena timbul suatu
akibat tertentu yang memberatkan, maka ancaman pidana terhadap
delik tersebut juga diberatkan. Contohnya adalah pencurian dengan
membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian,
pembunuhan berencana. Delik dengan pemberatan dapat dijumpai
dalam Pasal 365 KUHP terhadap Pasal 362 KUHP, Pasal 374
KUHP terhadap Pasal 372 KUHP.

2.1.1. Teori Kausalitas Dalam Hukum Pidana


Untuk menentukan hubungan sebab akibat (hubungan kausal) dalam
peristiwa pidana dikenal beberapa teori atau ajaran, yaitu:
1) Teori Conditio Sine Quanon (Teori Mutlak dari Von Buri)
Menurut Von Buri bahwa setiap perbuatan adalah merupakan sebab
daripada akibat yang timbul. Sehingga dalam teori ini menganggap
bahwa perbuatan atau masalah harus dianggap sebagai sebab dari
suatu akibat, apabila perbuatan itu menjadi syarat dari akibat itu. Selain
50 Argumentasi Hukum

itu, teori ini menganggap bahwa setiap sebab adalah sama nilainya.
Contoh, orang mengisi pelita dengan minyak dan orang yang membuat
korek api adalah dua hal yang memiliki nilai sama. Hal ini disebabkan
keduanya mempunyai syarat yang sama untuk menyalakan pelita tadi.
Dalam teori ini hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, karena setiap “sebab” sebenarnya merupakan akibat dari sebab
yang terjadi sebelumnya. Misalnya, ada seseorang yang mati ditembak
oleh seseorang. Menurut teori ini, kematian orang tersebut bukan hanya
ditembak, melainkan juga oleh orang yang menjual senjata api bahkan
sampai pada perusahaan yang memproduksi senjata api tersebut.
Namun, kemudian oleh Van Hammel, teori ini dilengkapi bahwa
setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul, dengan
keharusan adanya unsur kesalahan (schuld). Hal ini sesuai dengan asas
hukum pidana yaitu Geen Starft Zonder Zshuld (tiada hukuman tanpa
kesalahan). Karena teori ini hubungan kausal membentang tanpa akhir,
sehingga perlu adanya pembatasan dengan adanya unsur kesalahan
yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
2) Theori Adequate (Traiger)
Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan
suatu akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah
yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum
oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori,
diantaranya:
- Teori Individualisasi
Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut
pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah
Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling
menentukan untuk timbulnya akibat.
- Teori Generalisasi
Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/
pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab
yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini
adalah Von Kries dengan teori Adequat-nya, mengatakan bahwa
sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul.
2.1.2. Teori Kausalitas Dalam Praktik Peradilan
Dari berbagai macam teori tersebut dalam praktek ternyata teori
yang digunakan oleh hakim (Hoge Raad/Mahkamah Agung Negara Belanda)
Argumentasi Hukum 51

berbeda-beda dari waktu ke waktu. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa


MA menganut satu teori/ajaran saja. Misalnya, pada tahun 1911, HR/MA
menyerahkan kepada kebijaksanaan Hakim, pada tahun 1929, HR/MA
menganut teori Von Buri, sedangkan pada tahun 1935 HR/MA menganut teori
Adequat. Bahkan dalam dalam praktek berikutnya, ternyata yurisprudensi
menganut teori akibat langsung dan teori Adequat (sebab yang secara wajar
dapat diduga menimbulkan suatu akibat).

2.2. Dalam Bidang Hukum Perdata


Teori kausalitas dalam bidang Hukum Perdata mempunyai makna
penting dalam penentuan kerugian akibat wanprestasi (pasal 1243 BW) atau
perbuatan melawan hukum (pasal 1365 BW).
Perlu diketahui, bahwa seseorang dikatakan wanprestasi adalah
ketika ia melanggar suatu perjanjian yang telah disepakati dengan pihak
lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa tidak ada wanprestasi apabila tidak ada
perjanjian sebelumnya. Sedangkan, perbuatan melawan hukum adalah ketika
seseorang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri atau bertentangan dengan
kesusilaan.
Sebab akibat dalam Hukum Perdata, dikenal beberapa teori hubungan
kausalitas, yaitu diantaranya:
1) Teori Conditio Sine Quanon
Sebelumnya telah penulis bahas, bahwasanya menurut teori ini
menganggap bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang
timbul serta setiap sebab adalah sama nilainya. Kekurangan teori ini
terletak pada terlalu luasnya hubungan kausal yang ada. Sehingga dalam
perkembangannya teori ini dibatasi oleh Van Hamel yang menyatakan
bahwa setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul dengan
keharusan adanya unsur kesalahan yang dapat dibuktikan.
2) Teori Individualisasi
Teori ini berusaha mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu
akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat
setelah perbuatan dilakukan. Dengan kata lain peristiwa dan akibatnya
benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori
ini tidak semua faktor merupakan penyebab. Dan faktor penyebab
itu sendiri adalah faktor yang sangat dominan atau memiliki peran
terkuat terhadap timbulnya suatu akibat. Pendukung teori ini adalah
Birkmayer dan Karl Binding.
52 Argumentasi Hukum

Kekurangan dari teori ini adalah penentuan ukuran paling kuat dari
beberapa faktor yang menimbulkan suatu akibat, jika semua faktor
sama-sama kuat untuk menimbulkan suatu akibat tersebut.
3) Teori Causa Proxima
Hampir sama dengan teori individualisasi, yaitu bahwa menurut teori
ini, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan
dari akibat.
4) Teori Adequato
Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan suatu
akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah yang
menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum
oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori,
diantaranya:
- Teori Indivdualisasi
Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut
pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah
Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling
menentukan untuk timbulnya akibat.
- Teori Generalisasi
Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/
pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab
yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini
adalah Von Kries dengan teori Adequatnya, mengatakan bahwa
sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul.

2.3. Dalam Bidang Hukum Administrasi


Teori Kausalitas dalam bidang Hukum Administrasi mempunyai
makna penting dalam menentukan kerugian akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha negara. Teori yang digunakan adalah teori akibat langsung, yaitu
berdasarkan ketetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah,
Instansi, Badan, bahkan hingga Pejabat Tata Usaha Negara yang mengakibatkan
kerugian yang dapat diderita langsung oleh pihak yang disebutkan dalam
ketetapan atau keputusan tersebut.
Contoh: keputusan TUN Kerugian Sebab Akibat
Dalam Pasal 1 ayat (9) Undang Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, disebutkan: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
Argumentasi Hukum 53

yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata“.

3. Analogi Dalam Hukum


Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam praktik, aturan hukum
tertulis tidak pernah lengkap dan selalu tertinggal satu langkah dari kemajuan
zaman. Hukum tertulis adalah bentuk produk hukum hasil dari intelektualitas
manusia, dimana intelektualitas manusia sangatlah terbatas. Dengan
terbatasnya intelektualitas tersebut, suatu produk hukum yang dilahirkan baik
yang berlaku untuk saat ini ataupun untuk masa yang akan datang, tetap tidak
akan bisa mengikuti perubahan yang ada. Roda ekonomi dan arus sosial akan
terus bergerak tanpa menunggu pembentukan hukum tertulis. Oleh karena itu
diperlukan peran “analogi” untuk menutup berbagai celah kekosongan hukum.
Dengan analogi, maka peristiwa yang sejenis, mirip, serupa dengan yang diatur
dalam undang-undang dapat diberlakukan sama dengan yang dimaksud dalam
undang-undang.
Suatu Undang-Undang yang ada, terkadang terlalu sempit ruang
lingkup yang diaturnya, sedangkan suatu peristiwa demikian pesat berkembang
dan beragam. Ketika undang-undang secara eksplisit tidak mengatur suatu
peristiwa khusus yang terjadi, maka boleh jadi hakim akan menggunakan pola
pikir analogi untuk menemukan hukumnya. Hal ini bisa kita pahamkan, bahwa
seorang hakim tidak pernah diperbolehkan mengatakan atau menganggap suatu
peristiwa hukum tidak ada aturannya atau undang-undangnya, sehingga ia
diwajibkan untuk menggali hukum dari berbagai sumber hukum. Oleh karena
itu, analogi bisa dikatakan masuk ke dalam penemuan hukum atau konstruksi
hukum.
Analogi terkadang juga disebut sebagai analogi induktif, yaitu proses
penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian
disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama juga akan
terjadi pada fenomena yang lain. Sehingga, ketika dikaitkan dengan hukum,
maka akan ada perluasan mengenai berlakunya ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, logika seorang hakim (khususnya)
sangatlah dituntut untuk dijadikan pondasi dalam membandingkan kasus yang
sedang dihadapi dengan kasus yang secara eksplisit diatur dalam sebuah aturan
hukum atau undang-undang.
54 Argumentasi Hukum

Oleh karena itu, berdasarkan titik perbedaan atau persamaan antara


kedua kasus yang sedang dihadapi, ditentukan apakah kasus yang tengah
dihadapi termasuk dalam jangkauan keberlakuan atau wilayah penerapan
aturan hukum tersebut atau tidak. Salah satu contohnya ialah:
Menurut Pasal 1576 KUH Perdata bahwa jual beli tidak menghapuskan
sewa menyewa. Bagaimana kalau dalam praktek dijumpai peristiwa hukumnya
bukan jual beli, akan tetapi hibah? Apakah hibah tidak menghapuskan sewa
menyewa? Antara hibah dan jual beli memiliki persamaan esensial, yaitu
peralihan hak. Dengan demikian, secara analogis hibah juga tidak menghapuskan
sewa menyewa.
Argumentasi Hukum 55

BAB IV
KESESATAN DALAM PENALARAN
(FALLACY)

A. Pemahaman Kesesatan Berpikir


Ilmu logika lahir bersamaan dengan lahirnya Filsafat Barat di Yunani.
Dalam usaha untuk penyebarluasan pemikiran para Filsuf, oleh karena itu
banyak Filsuf-Filsuf yang saling menunjukkan teori kesesatan penalaran untuk
mencoba membantah pemikiran satu sama lain. Dalam sejarah filsafat, dikenal
dua pelaku fallacy, yaitu:
1. Paralogisme
Apabila seseorang mengemukakan sebuah penalaran yang sesat dan ia
sendiri tidak melihat kesesatannya, maka penalaran ini disebut paralogis
dan pelaku tersebut masuk ke dalam paralogisme. Dewasa ini, banyak
sekali seseorang yang berpikir sesat akan tetapi tidak menyadarinya.
Mengubah opini publik, memutar balikkan fakta, pembodohan public,
provokasi, memecah belah hingga meraih kekuasaan dengan janji
palsu adalah seseorang yang sebenarnya berpikir seolah mengenai
kebenaran namun sebenarnya sesat, namun ia sendiri tidak memahami
kesesatannya.
2. Sofisme
Penalaran yang sesat dengan sengaja digunakan untuk menyesatkan
orang lain, maka ini disebut sofisme. Kesesatan yang sengaja dilakukan
untuk menyesatkan orang lain, padahal orang yang menyampaikan
pendapat tersebut tidak sesat.
Disebut demikian karena yang pertama-tama mempraktekkannya
adalah kaum sofis, nama suatu kelompok cendekiawan yang mahir
berpidato pada Zaman Yunani Kuno. Mereka selalu berusaha
memengaruhi khalayak ramai dengan argumentasi yang menyesatkan
hanya untuk agar diakui sebagai orator ulung. Umumnya yang sengaja
melakukan kesesatan adalah orang yang menyimpan tendensi pribadi
hingga ingin menolak atau menyaingi penalaran orang lain.

Sejak awal, logika telah menaruh perhatian atas kesesatan penalaran


tersebut. Kesesatan penalaran ini yang kemudian disebut sebagai kesesatan
berpikir (fallacy). Kesesatan berpikir adalah proses penalaran atau argumentasi
56 Argumentasi Hukum

yang sebenarnya tidak bisa diterima kebenarannya (tidak logis), salah hingga
menyesatkan. Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu
karena suatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Penalaran dapat sesat karena
bentuknya tidak sah (tidak valid), hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah logika.
Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai kaidah
logika termasuk suatu penalaran yang sah atau dapat diterima kebenarannya
hanyalah penalaran yang kesimpulannya ditarik dengan prosedur yang benar
dan premis-premisnya didukung oleh fakta sebenarnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penalaran sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis
dan konklusi atau disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa
memperhatikan relevansinya.
Fenomena kesesatan dalam penalaran ini seringkali kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Mulai dari para politikus yang kerap melakukan adu
argumentasi di depan layar televisi atau pada saat proses kampanye, masyarakat
di sekitar kita yang sering berdebat akan suatu hal, hingga aktivis mahasiswa
yang melakukan orasi yang hanya menitikberatkan pada tatanan dialektika
tanpa mengutamakan logika dan kebanaran, secara tidak sadar mereka sedang
melakukan kesesatan berpikir.
B. Model Kesesatan Berpikir
Ada beberapa jenis kesesatan dalam berpikir dan/atau penalaran
sebagai sebuah kesesatan penalaran hukum (khususnya), artinya penalaran
keliru tersebut jika diterapkan dalam bidang hukum bukan merupakan sebuah
kesalahan. Berikut, penulis sampaikan beberapa model kesesatan berpikir dan/
atau penalaran:
1. Argumentum ad Ignorantium
Kesesatan ini terjadi ketika suatu argumentasi seseorang mengenai
suatu proposisi atau pernyataan dianggap benar. Hal ini terjadi karena
suatu proposisi tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahannya, begitupun
ketika suatu proposisi atau pernyataan dianggap salah, karena tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesatan ini muncul disebabkan
oleh adanya penyimpangan konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak
terbukti salah atau penyimpulan suatu konklusi yang dianggap salah
karena negasinya tidak terbukti benar.
Contoh Argumentum ad Ignorantium:
1. Suatu pernyataan bahwa “saya pasti betul, karena tidak ada yang
pernah membuktikan salah”.
Argumentasi Hukum 57

2. Tuduhan konspirasi Covid-19 tidak bisa diterima sepanjang tidak


ada bukti-bukti yang menunjukkan tuduhan tersebut.
Dua pernyataan di atas, merupakan kesesatan berpikir, karena
belum tentu ketika seseorang tidak mengetahui keberadaan adanya
sesuatu, bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada. Sehingga
ketika seseorang tidak bisa membuktikan suatu hal dengan indera yang
dimilikinya, kemudian menganggap hal tersebut tidak ada, maka ia
telah melakukan kesesatan berpikir.
Kesesatan Argumentum ad Ignorantium, terkadang tidak dianggap
sesat termasuk salah satunya di bidang hukum. Untuk bidang hukum
perdata, dalam pasal 1865 BW, penggugat harus membuktikan
kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan
bukti yang cukup kuat, maka gugatan dapat ditolak dengan alasan
bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan kebenaran akan
dalil gugatannya. Namun, dalam kondisi lain mungkin saja beban
pembuktian dialihkan kepada tergugat, salah satunya seperti dalam UU
Perlindungan Konsumen.
Penegak hukum menerima suatu kebenaran atau keyakinan ketika
pihak yang berperkara mampu membuktikan dalil-dalilnya melalui
bukti yang diberikan dalam pembuktian. Kebenaran yang diterima
hakim adalah berdasarkan pembuktian yang dilakukan oleh para
penggugat dan/atau tergugat. Sehingga dalam praktik hukum khususnya
perkara acara perdata, jenis kesesatan ini justru lazim digunakan oleh
praktisi hukum termasuk hakim, ketika hakim memutuskan suatu
perkara, dia hanya akan melihat atas apa yang dibuktikan sepanjang
persidangan, terhadap keterangan saksi dan alat bukti yang dapat
diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, kita memahami bahwa suatu
dalil dianggap benar, apabila dalil tersebut dapat dibuktikan melalui
pembuktian, terlebih lagi dalil yang saling dipertentangkan oleh pihak
yang berperkara, maka pihak yang mampu membuktikan dalilnya
adalah pihak yang dianggap benar dan akan dimenangkan perkaranya.
2. Argumentum ad Hominem
Menolak atau menerima sebuah argumentasi atau usul bukan
karena penalaran yang disampaikan, akan tetapi karena keadaannya
orangnya. Argumen ini diarahkan untuk menyerang manusianya,
misalkan menolak pendapat si A, karena orangnya kecil, negro atau
beragama tertentu.
58 Argumentasi Hukum

Contoh Argumentum ad Hominem:


1. Seorang juri lomba pencarian bakat menyanyi, memilih kandidat
yang cantic sebagai pemenangnya, bukan karena suaranya yang
bagus, melainkan karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan
dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain ada yang
lebih bagus.
2. Pembicara G mengatakan bahwa “saya tidak setuju dengan apa
yang Pembicara S katakan, karena ia bukan orang Islam.”
Contoh di atas menegaskan bahwa Argumentum ad Hominem,
lebih mengacu pada keadaan seseorang dan lebih menyerang
manusianya. Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir
Argumentum ad Hominem pada contoh pertama adalah kondisi
pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik,
sifat dan prikologi. Sedangkan, pada contoh kedua menitikberatkan
pada perhubungan antara keyakinan seseorang dan lingkungan
hidupnya.
Dalam bidang hukum, argumentasi demikian bukanlah suatu
kesesatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang
saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti akan
kejadian yang sebenarnya.43 Hal ini dilakukan jelas karena alasan
bahwa keterangan yang dapat diterima dari seorang saksi adalah
keterangan yang berdasarkan kejadian yang dia lihat, dengar dan
rasakan secara langsung serta kemampuan bertanggungjawab atau
dewasanya seorang saksi juga berpengaruh terhadap diyakini atau
tidaknya kesaksian yang diberikan.
3. Argumentum ad Verecundiam
Menolak atau tidak menerima sebuah argumentasi bukan karena
nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakan
adalah orang yang ahli, berkuasa, berwibawa dan dapat dipercaya. Hal
ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Argumentasi ini bisa dikatakan mirip dengan Argumentasi ad
Hominem. Perbedaannya terletak pada acuan dalam argumentasi,
apabila Argumentum ad Hominem yang menjadi acuan adalah pribadi
orang yang menyampaikan gagasan dilihat dari disenangi atau tidak
disenangi), sedangkan dalam Argumentasi ad Verecundiam ini
dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat atau keahliannya atau
kewibawaannya) yang mengemukakan.
43 Philipus M. Hadjon. Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal Reasoning).
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005). Hlm: 16
Argumentasi Hukum 59

Contoh dari Argumentum ad Verecundiam:


Pidato seorang Kepala Desa, langsung diterima dan dilaksanakan
oleh masyarakat desa tanpa memahami dan menilai akan isi pidato
tersebut. Kemudian, seorang warga masyarakat mengatakan “saya yakin
apa yang di katakan beliau adalah benar, karena beliau adalah seorang
pemimpin yang disegani dan tokoh masyarakat yang di hormati.”
Hal tersebut jelas dilakukan semata-mata karena yang
menyampaikan pidato adalah seorang Kepala Desa yang diterima akan
kewibawaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Dari contoh tersebut,
ditegaskan bahwa kalimat tersebut didasarkan pada kebesaran nama,
kewibawaan dan kekuasaan yang mengajukan argumentasi.
4. Argumentum ad Misericordiam
Suatu argumentasi yang bertujuan menimbulkan belas kasihan.
Misericordiam berasal dari Bahasa latin. Misericordia artinya belas
kasihan. Sehingga argumen ini sesat disebabkan oleh adanya menuntut
belas kasihan.
Contoh Argumentum ad Misericordiam:
1) Terdakwa yang meminta kepada hakim agar dibebaskan dari semua
tuduhan karena dia punya tanggungan keluarga.
2) Pencuri motor yang menyampaikan di muka persidangan bahwa
ia miskin dan tidak bisa membeli makan untuk anak istrinya
sementara ia baru saja dipecat.
Perlu diketahui pula, dalam bidang hukum, argumentasi semacam
ini lazim digunakan misalnya dalam Nota Pembelaan (Pledoi) seorang
terdakwa sebagaimana penulis contohkan di atas. Penggunaan
argumentasi demikian termasuk sebagai kesesatan karena tidak
menggunakan prinsip logika. Dalam logika kita mengenali hubungan
kausalitas, bahwa suatu akibat adalah konsekuensi dari suatu sebab.
Seorang yang melakukan kesalahan atau tindak pidana harus dihukum
menurut ketentuan logika kausalitas. Argumentasi yang condong
kepada upaya untuk mengedepankan subjektifitas merupakan kesesatan
berpikir (dalam konteks kebenaran logis). Manusia memiliki akal dan
hati sebagai dua ‘pondasi hidup’. Keduanya memiliki kecenderungan
kegunaan yang berbeda. Akal dalam hal ini menuntun pada logika
berpikir (rasionalitas), sementara hati menuntun tentang nilai yang dapat
dirasakan oleh manusia (perasaan, empati, simpati, dan sebagainya).
60 Argumentasi Hukum

Sehingga ketika terdapat penyimpangan dimana seharusnya


praktisi hukum melandaskan proses berpikir dengan logika, namun
justru fokus kepada wilayah rasa maka objektivitas dan kebenaran
suatu hal akan semakin bias dan jauh dari kebenaran logika. Karena
kebenaran logika hanya akan diperoleh ketika konklusi berangkat dari
proses yang berdasarkan data, fakta, dan proposisi hukum yang valid,
baik berupa penalaran deduktif (misalnya silogisme), ataupun dengan
penalaran induktif (misalnya kausalitas).
5. Argumentum ad Baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi hanya karena suatu
ancaman. Argumen ancaman dilakukan tidak lain dan tidak bukan
adalah untuk mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu
dengan alasan jika menolak, maka akan membawa akibat yang tidak
diinginkan. Sikap yang wajar, bahwa ketika seseorang dihadapkan
pada kondisi mendesak dan menakutkan, maka ia mau tidak mau akan
memilih opsi yang dapat menyelamatkannya dari kondisi tersebut.
Contoh Argumentum ad Bacalum:
1. Seorang mahasiswa yang belajar bukan karena ingin pintar, tapi
karena mahasiswa itu takut mendapatkan nilai jelek.
2. Pengendara sepeda motor tersebut akan berhenti di lampu merah,
apabila tidak berhenti di lampu merah, akan ditilang oleh polisi
lalu lintas.
3. Seorang majikan mengancam akan memecat bawahannya kalau
tidak menaati perintahnya.
Dari contoh di atas dapat diketahui, bahwa terkadang seseorang
melakukan suatu hal bukan karena “tujuan” dari hal tersebut diciptakan,
namun untuk tujuan lain yang dirasakan adalah suatu ancaman.
Semisal, pada contoh kedua: seorang pengendara motor berhenti di
lampu merah karena takut ditilang oleh polisi lalu lintas. Seharusnya,
ia berhenti di lampu merah karena sadar itu untuk keselamatan diri
sendiri di jalan raya. Ini adalah kesesatan penalaran.
6. Argumentum ad Populum
Argumentasi ini sesat disebabkan oleh adanya tujuan menggugah
emosi massa. Pembuktian sesuatu secara logis tidaklah diperlukan.
Dalam argumen ini, yang diutamakan hanyalah suatu argumen yang
disampaikan dapat menggugah perasaan massa sehingga emosinya
terbakar dan akhirnya akan menerima sesuatu konklusi tertentu.
Argumentasi Hukum 61

Contoh Argumentum ad Populum:


Pidato politik yang sengaja membakar emosi massa, tanpa menghiraukan
kelogisan penalarannya.
Dari contoh di atas, dapat penulis katakan bahwa tidak jarang para
aktivis mahasiswa melakukan kesesatan ini, ketika ia melandaskan
suatu argument atau orasi hanya kepada tatanan dialektika semata tanpa
mendasarkan pada logika. Karena tujuannya hanyalah menggugah
emosi massa, sehingga cenderung bersifat emosional.
Setiap argumentasi yang dibangun secara emosional, maka akan
berpotensi menyimpangi logika berpikir. Hal tersebut terjadi karena,
ketika kita emosi maka yang menguasai kita adalah amarah, ketika
amarah menguasai maka yang mengambil alih kendali apa yang kita
kerjakan masih dalam proses menyusun suatu keputusan (terburu-
buru), sehingga ketika terburu-buru maka kita tidak bisa berpikir dan
mengambil tindakan yang seharusnya bisa lebih baik secara rasional.
Oleh karena itu, lahirlah suatu pepatah “amarah itu tak pernah tanpa
alasan, tetapi jarang yang alasannya benar.”
7. Petitio Principi
Kesesatan yang terjadi dalam mengambil kesimpulan atau
pernyataan pembenaran dimana di dalamnya premis dipakai sebagai
kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga
meskipun rumusan (teks/kalimat) yang digunakan sangat berbeda,
sebenarnya maknanya sama. Jenis kesesatan ini juga dikenal karena
pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.
Contoh Petitio Prinsipi:
Pimpinan : “Anda tahu kantor masuknya jam 8, kenapa baru masuk
jam 9?”
Pegawai : “Ya karena saya telat, pak.”
Dari contoh di atas, apakah pertanyaan pimpinan terjawab?
Tentu tidak, hal tersebut terjadi karena sebenarnya pegawai hanya
mengulang maksud dari perkataan pimpinan dengan kalimat atau
kata yang berbeda, padahal maknanya sama. Hal demikian sering kita
lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Hal mana dikategorikan sebagai
kesesatan penalaran yang disebut Petitio Principi.
8. Kesesatan Ignorantio Elenchi
Kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang
sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Loncatan dari
62 Argumentasi Hukum

premis ke kesimpulan semacam ini umum dilatarbelakangi prasangka,


emosi dan perasaan subyektif.
Contoh Kesesatan Ignorantio Elenchi:
Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur. Padahal faktanya, ia
hanyalah pedagang nasi bungkus.
Kesesatan ini pun sering terjadi di sekitar kita. Tidak sedikit orang
yang langsung menarik kesimpulan terhadap apa yang ia lihat, dengar
dan rasakan, tanpa melakukan pengecekan keadaan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, dalam bidang hukum, seorang hakim tidak bisa
langsung mengatakan bahwa suatu perbuatan itu melanggar hukum
hanya karena mendengarkan keterangan dari seorang terdakwa tanpa
melihat bukti, keterangan saksi-saksi, serta kebenaran yang lainnya.
9. Kesesatan Non Causa Pro Causa
Kesesatan ini muncul jika seseorang menganggap sesuatu sebagai
sebab, padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap.
Orang selalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama
merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua
adalah akibat dari peristiwa pertama. Padahal urutan waktu saja tidak
dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan
ini dikenal pula dengan nama kesesatan “post-hoc ergo propter hoc”
(sesudah maka karenanya).
Contoh Non Causa Pro Causa:
Seorang pemuda diketahui baru putus dengan pacarnya, esoknya sakit.
Tetangganya menyimpulkan bahwa pemuda tersebut sakit karena baru
putus cinta. Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena radang
paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh
tahun yang lalu.
Dari contoh di atas, kita dapat belajar bahwa tidak sulit sebenarnya
membuktikan kesalahan ini. Kita hanya perlu menunjukkan bahwa
hubungan “setelah” tidak sama dengan ”karena”. Hanya saja, banyak
orang yang terjebak berpikir menggampangkan seperti ini. Oleh
karena itu kita lagi-lagi harus berhati-hati dalam menyimpulkan suatu
fenomena. Dalam realitas kehidupan sosial, manusia sering terjebak
dalam kesesatan berpikir seperti ini, terlebih dalam kehidupan bersosial
media saat ini. Warganet sering melakukan kesesatan Non Causa
Pro Causa dengan menghubung-hubungkan postingan status dari
seorang selebritas, yaitu mengaitkan postingan satu dengan postingan
berikutnya, sehingga menghasilkan persepsi-persepsi yang liar.
Argumentasi Hukum 63
10. Kesesatan Aksidensi
Kesesatan yang terjadi jika seseorang menerapkan prinsip umum
kepada peristiwa-peristiwa yang bersifat aksidental (sewaktu-waktu).
Ketika seseorang memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang
bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental,
yaitu situasi yang bersifat kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak
mutlak, maka orang itu telah melakukan kesesatan aksidensi. Sehingga
apabila sautu penalaran sesat secara aksidensi maka yang terjadi adalah
penerapan penalaran tersebut tidak cocok atau bahkan salah.
Contoh Kesesatan Aksidensi:
1) Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik
untuk penderita diabetes.
2) Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat,
karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging
supaya sehat.
11. Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi
Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada
anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa
individu dari suatu kelompok tertentu, pasti juga benar (berlaku) bagi
seluruh kelompok secara kolektif. Sehingga, apabila kita meyimpulkan
bahwa suatu pernyataan itu berlaku juga untuk kelompok kolektif
secara keseluruhan, maka penalaran kita sesat karena komposisi
Sedangkan, ketika kita menyimpulkan suatu pernyataan berlaku
untuk kelompok kolektif juga berlaku untuk setiap anggota dari
kelompok kolektif tersebut, maka kita sesat karena divisi.
Contoh Kesesatan Karena Komposisi Dan Divisi:
1) Si A anggota KPU sekaligus dosen di Universitas X melakukan
korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di Universitas
X pasti koruptor.
2) Banyak anggota dewan yang melakukan korupsi. Si C adalah
anggota DPR, maka si C juga korupsi.
Dari dua contoh di atas, diketahui bahwa contoh pertama adalah
kesesatan karena komposisi, sedangkan contoh kedua adalah kesesatan
karena divisi.
12. Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks
Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan yang sering kali disusun
sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai pertanyaan yang
64 Argumentasi Hukum

sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Biasanya kesesatan


ini terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang menekan lawan bicara,
sehingga seringkali jawabannya yang diberikan tidak bisa dijawab
dengan sederhana.
Kesesatan ini bersumber pada pertanyaan atau perintah yang
bukan merupakan pertanyaan yang tunggal. Oleh karena itu pertanyaan
tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar mengatakan ya atau tidak.
Contoh Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks:
“Apakah kamu mengambil majalahku?”
Pertanyaan tersebut sulit dijawab hanya dengan ya dan tidak, apalagi
bila yang ditanya merasa tidak pernah mengambilnya. Kesesatan ini
sering dilakukan dalam bidang hukum berupa pertanyaan-pertanyaan
yang sering diajukan oleh penyidik kepada calon tersangka atau saksi.
Hal ini dilakukan karena mengajukan pertanyaan kompleks adalah salah
satu cara untuk mendapatkan jawaban terhadap suatu permasalahan
secara jelas dan detail.
Argumentasi Hukum 65

BAB V
PENEMUAN HUKUM

A. Pengertian Penemuan Hukum (Rechtsvinding)


Salah satu fungsi dari hukum adalah sebagai alat untuk melindungi
kepentingan manusia. Salah satu upaya perlindungan tersebut sudah semestinya
harus dilaksanakan secara layak dan sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri.
Dinamika hidup manusia dalam kehidupan sosial di masyarakat dapat
berlangsung secara damai dan normal (sebagaimana mestinya), juga bisa terjadi
suatu penyimpangan atas norma dan terjadinya pelanggaran hukum. Dalam hal
terjadinya keadaan yang kedua, hukum yang dilanggar haruslah ditegakkan
dan dapat mengembalikan tatanan sosial menjadi lebih baik. Harapannya,
penegakan hukum ini dapat bekerja secara ideal untuk memenuhi kepentingan
manusia dan mewujudkan keadilan.
Produk hukum yang digunakan untuk penegakan hukum, adalah hasil
intelektualitas manusia yang diwujudkan dalam bentuk tertulis dan/atau tidak
tertulis. Perwujudan intelektualitas manusia dalam produk hukum yang tertulis
pada khususnya, selalu saja tidak pernah sempurna ketika diimplementasikan
pada peristiwa hukum yang konkrit. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan
intelektualitas yang dimiliki oleh manusia. Konsekuensi dari hal tersebut
adalah segala produk hukum yang ada harus dapat diterapkan dengan tepat,
meskipun di tengah-tengah keterbatasan teks-teks yang ada, yang tadi disebut
tidak sempurna itu.
Perlu kita ingat kembali, bahwa dalam penegakan hukum terdapat
tiga unsur oleh Gustav Radbruch yang dinamakan sebagai tiga nilai dasar
hukum, yang harus selalu diperhatikan dan dijadikan sebagai pegangan
dalam menerapkan hukum guna mewujudkan hakikat, fungsi dan tujuan
hukum itu sendiri, yaitu: Kepastian Hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
(zweckmassaigkeit) dan keadilan (gerechtgkeit).44 Ketika penegakan hukum
tidak berpegangan kepada tiga nilai hukum tersebut, maka yang akan terjadi
adalah ketidakseimbangan hukum yang berakir pada kecacatan hukum yang
mencederai makna hukum itu sendiri. Akan tetapi, dalam prakteknya sangat
sulit untuk mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara
ketiga nilai tersebut.

44 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I,
Jakarta: Chandra Pratama, 1996). Hlm. 95
66 Argumentasi Hukum

Dewasa ini, diakui atau tidak banyak sekali penegak hukum yang
hanya berpegangan kepada kepastian hukum. Mereka hanya berangkat dari apa
yang ada dalam bunyi undang-undang secara tekstual saja. Apa yang mereka
lakukan bukanlah suatu kesalahan, namun juga bukan suatu kebenaran yang
mutlak nilainya. Ketika kita hanya berpegang pada tekstual undang-undang,
pada akhirnya suatu putusan hukum hanya akan menimbulkan keresahan
dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa ketidakadilan. Terlalu
menitkberatkan kepastian hukum, akan berdampak pada terlalu kakunya suatu
hukum, dan terkadang undang-undang akan terasa kejam apabila dilaksanakan
secara kaku atau ketat (lex dura sed tamen scripta).
Apabila kita berbicara mengenai pelanggaran undang-undang, penegak
hukum khususnya hakim harus mampu melaksanakan dan menegakkan undang-
undang. Hakim tidak diperbolehkan untuk menangguhkan atau menolak suatu
perkara hukum dengan alasan karena hukumnya tidak ada, tidak lengkap dan/
atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih
tidak sempurnanya undang-undang.45 Oleh karena itu, ketika suatu undang-
undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah
hakim harus mencari dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Sebelum lebih jauh, dalam telaah filsafat
hukum melalui kajian paradigmatik, sejatinya upaya penemuan hukum
ini hanya bisa dilakukan di luar ranah paradigma Positivisme. Paradigma
Positivisme tidak menghendaki adanya penemuan hukum karena hukum tidak
perlu ditemukan kembali mengingat hukum merupakan realitas yang naif dan
diterima secara sempurna.
1. Istilah Penemuan Hukum
Istilah “Penemuan Hukum” oleh beberapa pakar sering
dipermasalahkan, apakah lebih tepat jika menggunakan istilah “Pelaksanaan
Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan
Hukum”.46 Hal ini khususnya terkait dengan penggunaan ketepatan istilah yang
bisa mencakup keseluruhan makna yang dimaksud dalam definisi tertentu.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar47 apabila kita membedah satu persatu
dari beberapa istilah tersebut, diantaranya:
1) Istilah “Pelaksanaan Hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa
sengketa atau pelanggaran. Namun, disamping itu pelaksanaan hukum
45 Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
46 Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan 1. (Yogyakarta:
Liberty, 1996). Hlm. 36
47 Ibid
Argumentasi Hukum 67

dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh
hakim dan hal ini sekaligus merupakan penegakan hukum.
2) Istilah “Penerapan Hukum” tidak lain berarti menerapkan peraturan
hukum yang sifatnya abstrak kepada suatu peristiwa. Menerapkan
hukum atau peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung
tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum
(memenuhi unsur-unsur yang dilukiskan dalam undang-undang)
terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.
3) Istilah “Pembentukan Hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan
yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan
hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim
dimungkinkan pula membentuk hukum, yaitu apabila hasil penemuan
hukumnya merupakan yurisprudensi yang dikuti oleh para hakim pada
perkara hukum yang sama dan merupakan pedoman bagi masyarakat
yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristwia
konkrit dan memperoleh kekuatan berlaku umum.
4) Istilah “Penciptaan Hukum” terasa kurang tepat karena memberikan
kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan
(dari tidak ada menjadi ada).
Seperti yang kita pahami, bahwa hukum bukanlah suatu hal yang
selalu berkaitan dengan kaedah baik tertulis maupun tidak tertulis, akan tetapi
dapat juga berupa perilaku dan/atau peristiwa. Dimana, dalam perilaku itulah
terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka
kiranya istilah “Penemuan Hukum” adalah istilah yang rasanya lebih tepat
untuk digunakan.48
2. Dasar Hukum Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa seorang hakim dilarang menolak
perkara. Kalimat “dilarang menolak perkara” memberikan konsekuensi bagi
hakim, bahwa ketika dihadapkan pada suatu peristiwa hukum yang tidak
diatur secara jelas dan/atau lengkap dalam undang-undang, olehnya tidak
diperbolehkan menolak atau tidak menerima perkara tersebut. Hakim selalu
dihadapkan pada peristiwa konkret yang harus diselesaikan atau dipecahkan
dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Keharusan menemukan hukum baru
ketika aturannya tidak jelas, tidak lengkap bahkan bisa saja memang tidak ada,
diperlukan penemuan hukum.

48 Ibid
68 Argumentasi Hukum

Penemuan hukum di samping didasarkan pada ketentuan di atas,


menemukan dasar hukumnya dengan jelas dan tegas teradapat pada Pasal 5
Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menegaskan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.” Kata menggali dalam ayat tersebut diasumsikan bahwa hukum
itu ada tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan, maka dia harus
digali, dicari dan diketemukan, barulah kemudian diciptakan. Apabila keadilan
diidentikkan dengan hukum positif, mengandung konsekuensi bahwa pencarian
keadilan dibatasi dan terbatas hanya pada rumusan hukum positif.49 Oleh karena
itu, bisa kita pahami bersama, bahwasannya hukum pun bisa berbentuk dan/
atau bersumber dari nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan hukum kita
pun mengakui demikian.
Hal-hal tersebut di atas sudah menjadi kewajiban bagi seorang hakim
untuk dapat menggali berdasarkan banyak hal, mulai dari menganalogikan
dengan perkara yang (mungkin) sejenis, menetapkan parameter tertentu yang
akan dijadikan sebagai patokan di dalam menjatuhkan putusan dan yang
lebih penting lagi adalah memperhatikan elemen keadilan yang hidup dan
berkembang di masyarakat.50 Kemudian, hasil penemuan hukum itu akan
menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikitnya atau dengan kata lain
menjadi yurisprudensi.
B. Metode Penemuan Hukum
Hakim dalam melakukan penemuan huku, tentunya tidak serta merta
hanya berdasarkan keinginannya semata. Hakim tetap berpedoman pada
metode-metode penemuan hukum yang telah ada. Metode-metode dalam
penemuan hukum meliputi metode interpretasi (interpretation method) dan
metode konstruksi hukum atau penalaran (redeneeruweijizen). Interpretasi
hukum terjadi apabila ketentuan Undang-Undang yang secara langsung dapat
ditetapkan pada peristiwa konkret yang dihadapi51, sedangkan konstruksi
hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang yang secara
langsung dapat diterapkan pada masalah hukum yang dihadapi atau dalam
hal peraturannya tidak ada. Dimana hal tersebut mengakibatkan adanya
kekosongan hukum (recht vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet
49 Nuryanto C. “Penegakan Hukum oleh Hakim dalam Putusannya antara Kepastian
Hukum dan Keadilan”. Jurnal Hukum Khaira Ummah. Vol 13. No. 1. 2018. Hlm. 71-84.
50 Muhammad Helmi. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Berdasarkan Paradigma
Konstruktivisme”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 22, No. 1. (April, 2020). Hlm. 111-132.
51 Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2006). Hlm. 52.
Argumentasi Hukum 69

vacuum). Untuk mengisi kekosongan hukum dan/atau undang-undang inilah,


hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut
suatu teks undang-undang.52
Selanjutnya penulis akan menyampaikan berbagai metode penemuan
hukum yang masih dianut dalam dunia peradilan di Indonesia saat ini. Adapun
metode penemuan hukum akan diuraikan sebagai berikut:
1. Metode Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang
memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar
ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Metode ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang
dengan masih tetap berpegangan terhadap bunyi teks tersebut. Interpretasi juga
dapat dipahami sebagai metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada,
tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Metode interpretasi
hukum meliputi:
1.1. Interpretasi Bahasa atau Gramatikal
Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat
undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat
undang-undang harus memilih kata-kata dengan singkat, jelas, namun yang
terpenting tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-beda. Hal ini tidaklah mudah
dilakukan, sehingga tetap saja memerlukan penafsiran. Titik tolak dalam
penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau kaidah
hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau
bahasa sehari-hari.
Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya
menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini
biasanya digunakan kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa
sebagai narasumber.
Contoh:
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 1590K/Pid/1997 tentang
pencurian. Pada perkara ini, hakim menafsirkan yang dimaksud dengan
“mencuri” dalam bahasa sehari-hari mengandung pengertian mengambil barang
orang lain untuk dimilikinya sendiri “tanpa sepengetahuan pemiliknya”.53
52 Jazim Hamidi. Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir. (Malang: UB
Press, 2011). Hlm. 40.
53 John Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia,
2011). Hlm. 218.
70 Argumentasi Hukum

Dalam Bahasa hukum, “tanpa sepengetahuan pemiliknya” dapat dikatakan


sebagai tindakan melawan hukum.
Dari contoh tersebut dapat kita pahami bahwa, metode interpretasi
gramatikal merupakan cara penafsiran atau penejelasan yang paling sederhana
untuk mengetahui makna undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya. Interpretasi ini juga dapat dikatakan
tidak hanya sekedar membaca undang-undang, namun juga memahami makna
ketentuan undang-undang menurut bahasa sehari-hari yang umum.
1.2. Interpretasi Menurut Sejarah atau Historis
Untuk mengetahui makna suatu kaidah dalam perundang-undangan
sering pula dilakukan dengan meneliti sejarah, atau riwayat peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan. Dengan kata lain, interpretasi historis
meliputi interpretasi menurut sejarah undang-undang (recht historische-
interpretatie) dan sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan (wet
historische-interpretatie).
1.2.1. Interpretasi Menurut Sejarah Hukum (Rechts Historische-
Interpretatie)
Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu
penafsiran yang luas yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu
ketentuan perundang-undangan dan sejarah sistem hukumnya.
Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan perundang-
undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang
tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang
masih berlaku di negara lain. Contoh:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Seperti yang kita
ketahui, bahwa KUHP kita berasal dari KUHP Belanda yang diberlakukan
berdasarkan asas konkordansi. Ditinjau sejarah sistem hukumnya KUHP itu
sendiri sebenarnya adalah berasal dari Code Penal Napoleon, hal ini dikarenakan
Belanda pada waktu itu dijajah oleh Perancis
1.2.2. Interpretasi Menurut Sejarah Penetapan Suatu Ketentuan
Perundang-Undangan (Wet Historische-Interpretatie)
Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu
undang-undang dibuat atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan
interpretasi sejarah perundang-undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan
interpretasi ini adalah surat menyurat, pembicaraan atau pembahasan di dalam
badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi gambaran tentang apa yang di
kehendaki oleh pembentuk undang-undang.
Argumentasi Hukum 71

Sejarah terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan


Undang-Undang (RUU) termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah
sewaktu RUU diajukan ke DPR, rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi
maupun sub komisi atau pleno. Sering juga dalam interpretasi sejarah meneliti
tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang terjadi sebelum RUU diajukan.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan pertimbangan mengapa RUU
tersebut di ajukan.
Hal ini apabila kita pahami lebih mendalam lagi, sangatlah penting
bagi kita sebagai calon penegak hukum nantinya untuk tidak hanya sekedar
mengerti isi suatu aturan perundang-undangan, akan tetapi juga memahami
alasan hingga tujuan undang-undang tersebut dilahirkan.
1.3. Interpretasi Sistematis atau Interpretasi Dogmatis
Setiap peristiwa hukum senantiasa terjadi interdependensi (saling
ketergantungan atau saling berhubungan) dengan peristiwa yang lain. Suatu
peraturan hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan peraturan
hukum yang lain. Interpretasi ini memerlukan pemahaman bahwa peraturan
perundang-undangan itu saling berhubungan dengan peraturan hukum yang
lain atau dengan keseluruhan sistem hukum dengan menerapkan prinsip bahwa
perundang-undangan satu negara merupakan sistem yang utuh.
Berangkat dari pemahaman di atas, menafsirkan undang-undang
yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan
cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang dinamakan
interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak
dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang
dari sistem perundang-undangan. Contoh:
Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat
perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Bunyi lengkapnya Pasal
1330 KUHPerdata ialah: “Tidak cakap membuat perjanjian adalah:
a. Orang yang belum dewasa
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan dalam Undang-
Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-
Undang telah melarang membuat persetujuan tertentu”.
Siapakah yang dimaksud orang yang belum dewasa? Dalam hal ini
dilakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUH Perdata yang
memberikan batas belum berumur 21 tahun.54
54 Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2017). Hlm. 102-103
72 Argumentasi Hukum
1.4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan bahwa
interpretasi teleologis yaitu menafsirkan undang-undang dengan menyelidiki
maksud pembuatan dan tujuan dibuatkannya undang-undang tersebut. Dengan
interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku (tetapi sudah
usang atau sudah tidak sesuai lagi) diterapkan terhadap suatu peristiwa,
hubungan, kebutuhan dan kepentingan pada masa kini. Di sini, peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang
baru.
Interpretasi ini digunakan sebagai suatu penafsiran yang dilakukan
dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam
masyarakat. Dengan demikian penafsiran ini merupakan metode penafsiran
terhadap suatu ketentuan perundang-undangan dengan melihat kondisi atau
situasi sosial yang ada. Contoh:
Dalam ketentuan Pasal 362 KUHP tentang pencurian, hakim harus
memperluas makna kalimat “barang” dalam pasal tersebut dengan berbagai
macam benda yang dapat dimiliki, baik berwujud maupun tidak berwujud.
Misalnya aliran listrik, pulsa dan lain-lain. Sehingga apabila seseorang dengan
sengaja tanpa hak mengambil aliran listrik, atau pulsa telepon untuk dimiliki
harus dihukum.
Berdasarkan contoh di atas, dapat kita pahami bahwa hukum
pada hakikatnya akan selalu tertinggal oleh zaman, hukum selalu ada
dibelakang perubahan itu sendiri. Oleh karena itu hukum disini harus mampu
diinterpretasikan sesuai dengan aturan yang berlaku supaya masih tetap relevan
dalam menjaga kepentingan manusia yang selalu berubah di setiap waktunya.
1.5. Interpretasi Komparatif atau Interpretasi Perbandingan Hukum
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan
dari suatu ketentuan perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan
hukum. Dengan memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara
atau beberapa konvensi internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama,
akan dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan perundang-undangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting
terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional, karena
dengan pelaksanaan yang seragam akan dapat direalisir kesatuan hukum yang
melahirkan perjanjian internasional sebagai hukum obyektif atau kaidah hukum
untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian internasional, kegunaan
metode ini terbatas.
Argumentasi Hukum 73

Contoh: Dalam permasalahan waris, dapat dibandingkan menurut sistem


hukum adat, hukum islam maupun perdata barat.55
Dari contoh di atas, dapat dipahamkan kembali bahwa interpretasi
ini menafsirkan dengan cara memperbandingkan peraturan pada suatu sistem
hukum dengan sistem hukum lainnya. Sistem hukum lain yang dimaksud dapat
saja berupa peraturan hukum negara lain termasuk perjanjian internasioal.
1.6. Interpretasi Futuristis
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat
antisipatif. Metode ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-
undangan dengan berpedoman pada kaidah-kaidah perundang-undangan yang
belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum). Contoh:
1. Pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi
yang pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya
undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik,
menghentikan penuntutan terhadap orang yang disidik berdasarkan
undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
2. Rumusan “wilayah pesisir” Menurut Pasal 1 Butir 3 RUU Pengelolaan
Wilayah Pesisir ditafsirkan sebagai “Kawasan perairan yang
menghubungkan ekosistem darat dan laut, yang sangat rentan terhadap
perubahan akibat aktivitas manusia di darat dan dilaut, secara geografis
ke arah darat sejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai, sedimen,
dan pencemaran dari darat,”. Apabila RUU ini sudah diundangkan,
maka penafsirannnya tidak dapat lagi dikatakan futuristis.
2. Konstruksi Hukum
Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum dikenal pula metode
kontruksi hukum, yang akan digunakan oleh hakim pada saat ia dihadapkan
pada situasi adanya kekosongan hukum (rechts vacuum) dan/atau kekosongan
Undang-Undang (wet vacuum). Hal ini dikarenakan pada prinsipnya hakim
tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak
ada atau belum mengaturnya (asas ius curia novit). Hakim harus terus menggali
dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Konstruksi hukum dapat digunakan oleh hakim sebagai metode
penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang
mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode kontruksi
hukum bertujuan agar hasil putusan hakim dalam peristiwa yang konkret yang
ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan serta memberikan kemanfaatan
bagi para pencari keadilan.
55 Bambang. Op.cit., Hlm. 117.
74 Argumentasi Hukum

Adapun penemuan hukum melalui konstruksi hukum yang dikenal ada


3 (tiga), yaitu sebagai berikut:
2.1. Argumentum per Analogiam
Argumentum per Analogiam dalam perkembangannya sering disebut
juga analogi. Analogi merupakan metode penemuan hukum dimana hakim
mencari esensi yang lebih umum dari suatu peristiwa hukum atau perbuatan
hukum baik yang telah diatur oleh Undang-Undang maupun yang belum ada
peraturanya. Sebagai salah satu jenis kontruksi yang sering digunakan dalam
lapangan hukum perdata, dan hal ini tidak akan menimbulkan persoalan,
sedangkan penggunaanya dalam hukum pidana sering terjadi perdebatan
dikalangan para yuris.
Konstruksi hukum model ini dipergunakan apabila hakim harus
menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya,
tetapi peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam Undang-Undang.56 Dengan
kata lain, pada analogi peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip
yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Contoh:
Pasal 1576 KUH Perdata menyatakan jual beli tidak memutuskan
hubungan sewa menyewa. Bagaimana dengan hibah? Apakah hibah juga
memutuskan hubungan sewa menyewa. Mengingat tidak ada aturan tentang
hibah ini, maka Pasal 1576 KUH Perdata ini dikonstruksikan secara analogi,
sehingga berlaku ketentuan penghibahan pun tidak memutuskan hubungan
sewa menyewa.
Dengan dilakukannya analogi ini, maka sifat keberlakuan atau makna
suatu undang-undang akan semakin meluas. Makna dalam undang-undang
akan dapat dikenakan pula terhadap setiap peristiwa yang unsur-unsurnya
bisa disamakan, serupa dan sejenis dengan peristiwa yang telah diatur dalam
undang-undang tersebut.
2.2. Argumentum a Contrario
Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu
menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang. Menurut Zaenal Asikin, “argumentum a
contrario berarti menggunakan penalaran terhadap Undang-Undang yang
didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi.”57
Penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas
56 Abdul Manan. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama”, Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol 2. No. 2. Juli 2013. Hlm. 8.
57 Zainal Asikin. Pengantar Ilmu Hukum. (Rajawali Press, 2012). Hlm.112.
Argumentasi Hukum 75

pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan


soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.
Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah
perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada
di luar peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya penafsiran a contrario
sama dengan penafsiran analogis hanya saja hasilnya berlawanan. Analogi
membawa hasil positif (memperluas makna hukum dalam fenomena hukum
yang sama, sejenis dan serupa), sedangkan penafsiran a contrario hasilnya
negatif, yaitu mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan.
Tujuannya ialah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga
tidak menimbulkan keraguan.
Contoh: Pada Pasal 34 KUH Perdata disebutkan bahwa “seorang wanita
tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat
perceraian.”
Dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa: “Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90
hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.”
Lalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari?
Jawabannya adalah tidak.
Jadi, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal
yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak
menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada
perempuan.
Penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan
hukum. Penafsiran berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario
yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada
76 Argumentasi Hukum

perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa


yang diatur dalam undang-undang.
Apabila kita hanya membaca sekilas antara Argumentum per Analogiam
dan Argumen a Contrario, maka yang terjadi adalah kebingungan akan makna
dan ruang lingkup keduanya. Oleh karena itu, penulis akan menyampaikan
beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya, yaitu:
a) Perbedaan Penggunaan Undang-Undang Secara Analogi dan
Berdasarkan Argumentum a Contrario:
- Menggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil
yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh
hasil negatif.
- Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas
berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan;
sedangkan secara a contrario akan mempersempit berlakunya
ketentuan undang-undang.
b) Persamaan Analogi dan Argumentum a Contrario:
- Penggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a
contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum.
- Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan
suatu masalah.
- Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan
perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi.
- Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama
untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang.

2.3. Penyempitan Hukum/Penghalusan Hukum (Rechtsservijnings)


Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan
ruang lingkup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah sebabnya perlu
dilakukan penyempitan hukum/penghalusan hukum agar dapat diterapkan
terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam hal ini, dibentuklah pengecualian-
pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan
yang bersifat umum. Dengan kata lain, pada penyempitan hukum, peraturan
yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang
khhusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.
Contoh: Pasal 1365 BW yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar
hukum yang membawa kerugian pada pihak lain, mewajibkan si pelaku yang
karena salahnya menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian itu”.
Argumentasi Hukum 77

Apa yang dimaksud perbuatan melanggar hukum di sini? Bagaimana


kriteria salah? apakah hanya terbatas pada melanggar undang-undang atau
lebih luas? Undang-undang jelas tidak memberikan jawaban. Untuk itu hakim
harus menggunakan metode rechtsvervijning atau penyempitan hukum.
Dari contoh di atas, diketahui bahwa pengkontruksian dengan cara
mengabstraksi prinsip suatu undang-undang dengan “seolah-olah” atau ciri
tertentu, akan mempersempit keberlakuannya pada suatu peristiwa konkret
yang belum ada pengaturannya.
Penegakan hukum berjalan beriringan dengan kewajiban menguraikan
makna dan tujuan hukum itu sendiri. Penegak hukum khususnya hakim,
tidak hanya menerapkan aturan perundang-undangan yang tertulis sebagai
pemenuhan dari tanggung-jawab menjadi “corong undang-undang” saja, namun
hakim wajib menghadirkan tujuan hukum dan/atau nilai hukum yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Sehingga, hakim wajib untuk senantiasa
memutus perkara dengan keyakinannya serta dilandasi pada kebijaksanaannya.
Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan
suatu peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan
nalarnya. Dalam memilih metode penemuan hukum mana yang paling cocok
dan relevan untuk diterapkan dalam suatu perkara, hakim harus jeli dan memiliki
profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum. Apabila
seorang hakim dapat menggunakan metode hukum yang relevan dan sesuai
dengan yang diharapkan dalam kasus yang sedang diperiksanya, maka putusan
yang dilahirkan akan mempunyai nilai keadilan, kemanfaatan serta kepastian
hukum bagi pencari keadilan.
78 Argumentasi Hukum

BAB VI
PENALARAN DALAM ALIRAN
FILSAFAT HUKUM

A. Membangun Pemikiran Logis


Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna, dengan dibekali
oleh akal dan nafsu menjadikan manusia memiliki rasa keingintahuan mengenai
sesuatu. Objek keingintahuan tersebut bisa berupa sesuatu yang konkret atau
nyata seperti meja, kursi, buku, dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak
dan diketahui secara nyata akan menjadi sebuah pengetahuan yang sebelumnya
belum pernah dikenalnya. Dalam mendapatkan pengetahuan itu, tentunya
pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan dalam kemampuan
berpikirnya. Seseorang dapat membuktikan suatu pemikiran adalah suatu
pengetahuan yang benar, apabila dapat membuktikan secara indrawi, secara
konkret dan secara faktual berdasarkan penglihatan, pendengaran hingga
argumen-argumen yang menguatkannya.
Hampir sebagian besar orang memegang teguh apa yang menjadi
pemikirannya adalah suatu hal yang logis dan benar, ketika pemikiran
tersebut berangkat dari pengamatan dan pengalaman pribadinya terhadap
suatu fenomena tertentu. Pengamatan berupa interaksi antara objek dengan
subjek kemudian ditafsirkan dan menjadi sebuah pemahaman yang terarah
serta sistematis sehingga mampu memahami hakikat suatu fenomena tentu
akan semakin meneguhkan kelogisan pemikiran terhadap fenomena tersebut.
Selain itu, pemikiran yang lebih didasarkan pada pengalaman pribadi tentang
sesuatu dan terlebih lagi apabila terjadi berulang kali, juga dapat membentuk
suatu pengetahuan yang logis baginya. Sebagai contoh, Fikri selalu berangkat
ke kampus pukul 07.30 dari rumah (kuliah di mulai pukul 9 pagi). Padahal,
jarak rumah dengan kampusnya cukup jauh dan membutuhkan waktu dua jam
perjalanan. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena berangkat dari
rumah pukul 07.30 pagi. Untuk itu, ia telah berpikir dan memutuskan untuk
berangkat pukul 06.30 di setiap paginya, agar tidak terlambat di kampus.
Contoh tersebut menunjukkan bahwa pengalaman pribadi dapat membentuk
pemikiran yang diyakini akan kelogisan dan/atau kebenarannya.
Berdasarkan uraian di atas, lantas apa sebenarnya berpikir logis itu?
Berpikir logis adalah suatu proses penalaran mengenai suatu objek dengan
Argumentasi Hukum 79

cara menghubungkan serangkaian pendapat untuk sampai pada sebuah


kesimpulan menurut aturan-aturan logika.58 Berpikir logis haruslah memhami
suatu fenomena secara konsisten sesuai dengan prosedur dan/atau tata cara
berpikir yang benar. Pola pikir atau pemikiran yang demikian diyakini dapat
memperoleh suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan (logis).
Sesungguhnya, perdebatan dalam membangun pemikiran logis
khususnya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pengetahuan sudah
berlangsung sejak lama, mulai dari era klasik dan berlanjut pada era modern
bahkan sampai era pasca modern abad dewasa ini. Keingintahuan terhadap
pemahaman akan hakekat realitas selalu ingin dicarikan jawabannya oleh para
filsuf-filsuf di dunia ini. Namun perlu diketahui bersama, bahwa perdebatan
epistimologis antar filsuf tentu berangkat dari latar belakang aliran yang
berbeda dalam pengembangan cara berpikir manusia dalam memahami realitas
itu sendiri.
Apabila kita hanya membaca sekilas berbagai literatur yang
menunjukkan aliran filsafat hukum, maka yang akan kita ketahui adalah
pemahaman mengenai metode penalaran yang logis atau rasional mungkin hanya
akan ditemukan pada “keluarga” aliran positivisme hukum saja, sementara yang
lain tidak ditemukan, karena aliran lain mulai beranjak ke arah subjektifitas dan
tidak bersandar pada logika (rasional). Namun, apakah pemahaman penalaran
dalam positivisme adalah penalaran yang mutlak nilainya, sedangkan penalaran
aliran lain merupakan suatu bentuk penalaran yang salah? Oleh karena itu,
dalam bab ini penulis akan mencoba memberikan suatu pemahaman sederhana
mengenai bagaimana proses penalaran dalam setiap aliran-aliran filsafat hukum
khususnya, serta apa saja aliran-aliran filsafat hukum itu sendiri.
B. Sedikit Mengenal Filsafat Hukum
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan kata majemuk
dari rangkaian istilah: Philein yang berarti “mencintai” dan shopia yang
berarti “kebijaksanaan”. Sehingga menurut asal katanya secara etimologi
filsafat (philo-shopia) berarti “cinta kebijaksanaan” (love of wisdom)59, atau
“mencintai hikmat/pengetahuan”. Cinta dalam hal ini memiliki arti yang luas,
yaitu ingin dan selalu berusaha untuk mencapai keinginan tersebut. Sedangkan
kebijaksanaan lebih lanjut berarti “pandai”, tahu secara mendalam dan seluas-
luasnya, baik secara teoritis sampai dengan keputusan untuk bertindak.60
58 Arif Rohman. Epistemologi dan Logika (Filsafat untuk Pengembangan Pendidikan).
(Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014). Hlm. 127.
59 Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara,
2008). Hlm. 3
60 Paulus Wahan. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hlm. 18.
80 Argumentasi Hukum

Secara sederhana sebenarnya bisa dikatakan bahwa berfilsafat adalah


berpikir. Namun, tidak semua kegiatan berpikir adalah suatu hal yang dapat
dikatakan sebagai berfilsafat. Hanya kegiatan berpikir tentang hakikat segala
sesuatu yang dilakukan secara sunguh-sungguh dan mendalamlah yang bisa
disebut sebagai berfilsafat. Apabila kita mengambil contoh, ketika kita berpikir
mengenai berapa jarak Solo ke Semarang? Pertanyaan tersebut memanglah
proses berpikir, namun bukanlah berfilsafat karena pemikiran tersebut tidak
dilakukan secara mendalam dan hanya didasarkan pada kebutuhan ilmu
pengetahuan semata. Mari kita ambil contoh yang lain, saat hidup mungkin
kita pernah mengalami masa dimana kita ‘galau’ dalam beragama, malas
menjalankan ibadah yang diperintahkan-Nya, hingga mempertanyakan
eksistensi Tuhan itu sendiri. Kegelisahan yang berujung pada proses berpikir
secara keras untuk menjawab, siapakah itu Tuhan merupakan salah satu contoh
mengenai pertanyaan hakikat sesuatu yang dilakukan dalam konteks filsafat.
Disini, berfilsafat adalah berpikir secara sungguh-sungguh dan mendalam
untuk mencari hakikat atau makna kebenaran sesuatu. Dalam kaitannya dengan
penalaran, filsafat logika sangat diandalkan menjadi salah satu ujung tombak
manusia untuk menemukan kebenaran. Rasionalitas juga merupakan salah
satu ciri berpikir filsafat, karena manusia secara dominan berpikir dengan
mengandalkan akalnya yang logis.
Sementara itu, filsafat hukum adalah cabang dari filsafat. Demikianlah
dinyatakan dalam banyak literatur, bahwa dalam taksonomi keilmuannya,
filsafat hukum merupakan bagian bagian dari ilmu filsafat. Sehingga filsafat
hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, karena yang
menjadi objeknya adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam
sampai pada inti atau dasarnya yang kemudian disebut sebagai hakikat.
Pertanyaan tentang “apa hakikat hukum itu?” merupakan pertanyaan
utama dalam filsafat hukum. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak mudah
dijawab oleh siapapun. Para pemikir hukum berpikir keras dan mendalam
untuk menjawab ini. Lalu dalam penelaahan masing-masing, lahirlah banyak
hakikat tentang hukum, seolah menegaskan perbedaan satu cara berpikir yang
satu dengan yang lain. Inilah yang kemudian muncul dan disebut aliran filsafat
hukum. Banyak perbedaan yang dapat terlihat dalam ragam aliran filsafat
hukum yang ada. Pada masing-masingnya juga akan menunjukkan perbedaan
cara melihat hukum, sehingga akan terlihat begitu rupa pemahaman tentang
hukum yang ada.
Mengaitkan studi filsafat hukum dalam konteks argumentasi hukum
sangatlah relevan. Pada bagaimana seseorang berargumentasi hukum sejatinya
Argumentasi Hukum 81

akan tergantung pada bagaimana dia mendefinisikan hukum. Dengan demikian,


pemahaman seseorang dalam melihat hukum (sesuai aliran filsafat hukumnya)
tentu melandasi setiap argumentasi hukum yang dibangunnya.
C. Aliran-Aliran Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakikat
hukum, apa tujuan, mengapa ada hingga mengapa orang harus tunduk kepada
hukum. Filsafat (filsafat hukum) mengajak kita untuk berpikir kritis dan
spekulatif, sehingga selalu ingin mengetahui mengenai kebenaran hukum.
Tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan
pergulatan pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah berhenti dalam
bidang ilmu hukum. Perbedaan dan dinamika pemikiran tersebut melahirkan
banyaknya aliran dalam filsafat hukum. Setiap aliran tersebut terjadi dialektika
yang membahas asal-usul terciptanya hukum dan/atau cara pandang mengenai
hukum yang berbeda-beda sesuai dengan kebenaran yang diyakininya.
Berikut ini akan disajikan beberapa aliran filsafat hukum yang banyak
dipelajari dalam berbagai literatur buku-buku filsafat hukum, termasuk juga
karena pengaruh besarnya dalam pemahaman para pemikir hukum. Dalam
aliran-aliran filsafat hukum berikut ini akan terlihat kekhasan pemikiran
masing-masing yang juga menunjukkan bagaimana penalaran di dalamnya:
1. Positivisme Hukum
Latar belakang dari aliran Positivisme Hukum (Legal Positivism) adalah
filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1978-1857) yang
di dorong oleh perkembangan ilmu-ilmu alam sejak tahun 1600. Auguste Comte
sebagai sosiolog ingin menerapkan metode ilmu alam (Naturwissenscahft) yang
sifat utamanya eksperimental-empiris (experimenteel empirisch), sehingga
ilmu hukum, menurut Comte dalam pengkajiannya melakukan penelitian atau
hasil pengamatan pancaindra. Alasan mengapa Comte berpendapat demikian,
bisa dilihat dari beberapa tesis pokok Positivisme, diantaranya:61
a. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah;
b. Hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan;
c. Metode filsafat tidak berbeda dengan metode ilmu;
d. Tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua
ilmu dan menggunakannya sebagai pedoman bagi perilaku manusia
dan menjadi landasan bagi organisasi sosial.
e. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas
pengalaman (empiris-verifikatif);
f. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam;
61 Bernard, L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogjakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm. 118
82 Argumentasi Hukum

g. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia


fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi
metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.
Bagi Comte hanya hasil pengamatan pancaindra yang berharga sebagai
bahan ilmu pengetahuan. Sebenarnya pandangan tersebut sudah dikenal
sebelumnya sejak abad ke-17 oleh John Locke (1632-1704), yang olehnya
merumuskan secara sistematis mengenai empirisme. Akan tetapi, Auguste
Comte memberikan tambahan dengan menakankan penggunaan metode ilmiah
dalam empirisme.
Menurut Comte, semua ilmu berkembang menurut tiga tahap yang
disebutnya hukum tiga tahap (law of three phases), sebagaimana dalam teori
terkenal yang dikembangkannya yaitu “De drie stadien leer” atau tiga tingkat
(stadium) perkembangan pikiran manusia (de drie phasen van ontwikkeling van
het menselijk denken), diantaranya:62
a. Theologisch Phase
Manusia belum belajar berpikir sendiri, semua kejadian
disandarkan kepada kemauan Tuhan yang tercermin dalam kitab-
kitab suci. Fase ini dikatakan juga sebagai fase kepasrahan kepada
kehendak Tuhan. Untuk tahap ini, Comte menunjuk pada masa
sebelum Revolusi Perancis 1789.
b. Metaphysische Phase
Manusia mulai melihat seusatu yang bersifat metafisik dalam
melihat suatu kebenaran. Dalam fase ini manusia mulai berpikir
sendiri, membuat pengertian dan penjelasan sendiri, abstrak,
spekulatif (trancendent) berdasarkan penalaran (reasoning) tetapi
belum ada pembuktian yang solid karena belum diuji dengan
kenyataan atau belum didasarkan pada pengalaman atau observasi
dengan pancaindra.
Untuk tahap ini, Comte menunjuk pada periode awal dari masa
sesudah Revolusi Perancis, di mana orang-orang percaya pada
konsep-konsep seperti hak-hak manusia (de droit d’homme).
Hak-hak seperti ini tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Bisa
dikatakan pula fase ini melahirkan keyakinan terhadap mitos dan
lain sebagainya.
c. Positieve Phase
Manusia lebih mengedepankan kenyataan. Kenyataan adalah hasil
observasi pancaindra. Aksioma, dalil, hukum, proposisi dan segala
62 Telly Sumbu, dkk. Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Sam
Ratulangi Manado. 2016
Argumentasi Hukum 83

bentuk statement dianggap benar jika sudah teruji secara empiris.


Fase ini telah memasuki fase modernisme. Manusia mulai
mengedepankan logika dengan berbasis kenyataan. Logika
didasarkan pada kenyataan yang dan merupakan hasil observasi
panca indera. Serta dapat dianggap benar apabila dapat diuji
secara empirik. Sehingga pemikiran manusia sangat berkembang
dalam fase ini.
Pandangan dasar Positivisme Hukum, yaitu bahwa hukum adalah
perintah yang mengalir dari sumber tertentu, dalam hal ini ialah pemberi
kekuasaan/perintah atau yang memiliki kewenangan. Ekspektasi pembuat
perintah terhadap perintah yang diberikan adalah pihak yang diperintah dapat
berbuat sesuatu atau menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Terhadap perintah yang diberikan oleh penguasa tersebut, apabila
perintah diabaikan akan memiliki konsekuensi salah satunya berupa sanksi. Ini
erat dengan hubungan sebab akibat atau kausalitas, melanggar peraturan sama
dengan terkena sanksi atau hukuman. Dalam hal ini juga ada pola generalisasi,
bahwa hukum itu dibuat oleh orang yang berkuasa berlaku untuk semua, mulai
dari pembuat perintah sampai yang diperintahkan.
Hukum dibuat oleh negara (mereka yang mempunyai otoritas). Sumber
hukum adalah kemauan yang berdaulat (The source of a law is the will of the
sovereign). Negara adalah pembentuk hukum, sebagai kekuatan dan kekuasaan
moral di belakang hukum, dengan kata lain negara sebagai “Tuhan” dunia
hukum (the god of the world of law). Orang sering melihat hukum sebagai
sesuatu yang sempurna, sehingga apa kemauan hukum harus dilaksanakan.
Bahkan pada faktanya banyak penegak hukum yang selalu mengagungkan
kepastian hukum (terkhusus bagi mereka yang menganut aliran positivisme
hukum).
Bagi positivisme hukum, satu-satunya hukum yang diterima sebagai
hukum adalah tata hukum yang berwujud tertulis dan nyata, karena bentuk
nyatanya hukum itu sangat determinan dan pasti sifatnya. Hukum hanya berlaku
karena bentuk positifnya yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Salah seorang penganut Positivisme Hukum yaitu Rudolf Van Jhering.
Jhering melihat hukum sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan, bersifat
memaksa (semua orang harus tunduk dalam hal ini). Keadilan diwujudkan
dalam bentuk teks-teks seragam. Hak untuk memaksa adalah monopoli mutlak
negara. Baginya, hukum adalah aturan hidup bersama, yang dianggap sesuai
dengan kepentingan negara (bicara hukum dalam makna seperti ini). Hukum
adalah pernyataan egoisme nasional, Indonesia sebagai negara tentu memiliki
84 Argumentasi Hukum

egoisme seperti ini. Hukum dikembangkan secara sistematis dan rasional (tidak
sembarang, ada prosedurnya) bisa dikatakan sesuai dengan kebutuhan hidup
bernegara.
Dalam aliran Positivisme Hukum ini ada 3 (tiga) teori terkenal,
diantaranya:
1) Teori dari H.L.A. Hart
Dalam teorinya, Hart mengakui bahwa hukum dan moralitas
memiliki hubungan yang penting. Meskipun hubungan tersebut
bukanlah hubungan yang mutlak. Maksud dari hubungan yang tidak
mutlak ialah definisi hukum tidak harus selalu melibatkan moralitas.
Pemahaman positivisme adalah hukum yang dibuat oleh negara, yang
ada wujudnya sehingga bisa dikatakan hukum adalah legalitas negara.
Terkait dengan legalitas tersebut, Hart berpendapat bahwa
legalitas tidak harus ditentukan oleh moralitas, sehingga hubungan
hukum dan moralitas haruslah dipisahkan. Pemisahan ini menurutnya
diperlukan agar kritik moral terhadap hukum dimungkinkan dan untuk
menghindari konservatisme. Konsekuensi dari hal ini ialah, ketika kita
berbicara hukum dalam wujud yang tertulis, dibelakangnya pasti tetap
ada pengaturan tentang moral atau bermula dari substansi moralitas.
Sehingga, ketika suatu hukum hanya berhenti pada wujud tertulis
berupa teks, maka moralitasnya pun akan berhenti.
Di sisi lain, Hart juga memiliki pandangan bahwa validitas hukum
tidak ditentukan oleh moralitas melainkan oleh aturan pengakuan yang
berlaku dalam sistem hukum. Hal tersebut berarti bahwa aturan-aturan
yang bertentangan dengan moralitas dan rasa keadilan, sepanjang
aturan tersebut dibuat melalui prosedur yang resmi atau terdapat dalam
buku undang-undang, dianggap sebagai aturan yang valid. Jika benar
demikian maka hukum tidak lagi bisa dikritik berdasarkan moralitas.
Dan jika ini yang terjadi maka hukum akan menjadi sewenang-wenang.
Hart dalam teorinya juga memberikan lima esensi atau arti penting
Positivisme Hukum, diantaranya:63
1. Bahwa hukum dan/atau undang-undang adalah perintah-perintah
manusia.
2. Bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan
moral atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana
mestinya.
63 Romli Atmasasmita. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012). Hlm. 30-31
Argumentasi Hukum 85

3. Bahwa analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum


adalah studi yang penting untuk dibedakan dari (walaupun sama
sekali tidak) penyelidikan historis, penyelidikan sosiologis dan
penilaian kritis hukum dalam hal atau moral, tujuan sosial, fungsi.
4. Bahwa sistem hukum adalah sistem logis tertutup dimana
keputusan yang benar dapat disimpulkan dari aturan hukum
yang telah ditentukan dengan cara logis saja. Dengan kata lain,
putusan-putusan hukum dikatakan tepat apabila dihasilkan dengan
cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan
sosial, kebijaksanaan dan norma-norma moral.
5. Bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau
dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan
tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti
(non kognitivisme dalam etika).

2) Teori Perintah (Command Theory) dari John Austin


Dalam teorinya, Austin berpendapat bahwa hukum positif (positive
law) adalah perintah dari yang berdaulat (command of the sovereignty).
Karenanya teori ini dinamakan teori perintah (command theory).
Berdasarkan teori ini, Austin menyatakan bahwa apa yang disebut
hukum internasional dan hukum kebiasaan (customary law) bukanlah
hukum positif, karena tidak bersumberkan pada perintah dari yang
berdaulat. Hukum internasional dan hukum kebiasaan hanyalah
moralitas positif (positive morality).
Dalam perkembangannya, John Austin membagi hukum dalam arti
luas, yaitu:
1) Hukum ciptaan Tuhan.
2) Hukum yang dibuat manusia, terdiri atas:
a) Hukum dalam arti sebenarnya atau hukum untuk disebut
sebagai hukum. Jenis hukum inilah yang selanjutnya disebut
juga sebagai hukum positif (positive law). Hukum yang
sesungguhnya ini terdiri atas:64
1. Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain-lain.
2. Hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara
individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-
64 Lily Rasyidi. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. (Bandung, 1984). Hlm. 41
86 Argumentasi Hukum

hak yang diberikan kepadanya. Sebagai contoh ialah hak


wali terhadap orang yang berada dibawah perwalian.
b) Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini
tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat
yang berwenang. Contohnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat
oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu
dalam bidang keolahragaan, mahasiswa dan sebagainya.
Penting diperhatikan bahwa John Austin membedakan secara
tajam antara:65
1) Jurisprudence (ilmu hukum) yang mempelajari hukum
sebagaimana adanya saja, dalam hal ini mempelajari hukum positif
(positive law), dan
2) Science of legislation (ilmu perundang-undangan) yang
mempelajari bentuk-bentuk ideal dari hukum yang berdasarkan
pada asas manfaat (utility).
Berdasarkan hal-hal yang telah penulis sampaikan di atas, inti
ajaran John Austin dapat penulis ikhtisarkan dalam beberapa butir
sebagai berikut:
1) Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau dalam bahasa
aslinya Law Was the Command of Sovereign. Bagi Austin “No Law,
No Saver, and no sovereign, no law”.
2) Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan
ketentuan-kententuan lain yang secara tegas dapat disebut
demikian, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
keburukannya. Hal ini dikarenakan John Austin juga menganggap
bahwa hukum positif adalah suatu sistem logis tertutup (closed
logical sistem).
Penerapan hukum positif terhadap kasus-kasus konkrit adalah
menggunakan metode deduksi. Dalam hal ini Austin menekankan
bahwa dalam menjalankan deduksi, hakim tidak boleh menilai isi
peraturan dari segi moralitas, keadilan dan sebagainya. Apabila
hakim tidak melaksanakan suatu hukum positif karena hakim
memandangnya bertentangan dengan hukum alam (natural law)
misalnya, maka menurut Austin akan menyebabkan anarki. 66

65 Sumbu, Op.cit., Hlm. 22.


66 Ibid.
Argumentasi Hukum 87

3) Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of soveireignty)


mewarnai hampir keseluruhan dari ajaran Austin.

3) Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen


Menurut asal-usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk
pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis,
yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat
pemerintahan suatu rezim dari negara-negara totaliter.67 Teori ini hanya
menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-
peraturan yang ada.
Menurut Kelsen teori hukum murni adalah teori hukum positif.
Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan “apakah
hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah hukum yang seharusnya?”.
Karena titik tolak yang demikian itulah maka Kelsen berpendapat,
bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan hendaknya
dikeluarkan dari ilmu hukum. Dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai
berikut:68
1. Tujuan teori tentang hukum, adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehandak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola
yang spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positip
tertentu seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Menurut Kelsen, hukum adalah suatu sistem dari peraturan-
peraturan (a sistem of rules) yang berisi apa yang seharusnya atau
tidak seharusnya dilakukan. Peraturan-peraturan (rules) itu sendiri
merupakan “Wille des Staates” (kehendak negara). Menurutnya,
sebagaimana ahli matematika tidak menghiraukan apakah hasil
pekerjaannya akan digunakan membuat jembatan atau menciptakan
67 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012). Hlm. 278
68 Ibid, Hlm. 279.
88 Argumentasi Hukum

suatu sistem, demikian pula ahli hukum hanya perlu memperhatikan


hukum sebagai norma murni.69 Sehingga metode dalam ilmu hukum,
khususnya pada saat mengkaji atau menerapkan kaidah haruslah
dijauhkan dari unsur-unsur yang tidak relevan seperti politik, sosiologi,
etika, keyakinan agama dan sebagainya.
Metode lain yang diajarkannya yaitu mengenai tata urutan
perundang-undangan (Stufenbau der Rechtsordnung). Teori ini melihat
hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk
piramida. Kelsen menyebut hukum sebagai suatu susunan berjenjang,
menurun dari norma positif tertinggi sampai kepada perwujudannya
yang paling rendah. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya
dari suatu norma yang lebih tinggi. Sehingga norma yang lebih rendah
tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma yang lebih tinggi di
atasnya. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya,
begitupun sebaliknya semakin rendah kedudukannya maka akan
semakin konkret sifat dan/atau wujud norma tersebut. Norma yang
paling tinggi, yang menduduki puncak piramida disebut oleh Kelsen
dengan nama Grundnorm (norma dasar) atau Ursprungnorm.
Dalam perkembangannya, dalam teori ini pula terdapat fungsi
khusus dari norma yang bersifat menyampingkan atau membatalkan
(derogation) terhadap norma lain. Untuk itu, kita mengenal adanya
beberapa asas seperti:70
- Lex superior derogate legi inferiori, yaitu hukum yang
kedudukannya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang
kedudukannya lebih rendah darinya.
- Lex specialist derogate legi generalis, yaitu peraturan perundang-
undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum.
- Lex posteriori derogate legi priori, yaitu perturan perundnag-
undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundnag-undangan yang berlaku terdahulu.
2. Aliran Hukum Alam
Para filosof Yunani Kuno melihat adanya keteraturan alam dan
menyimpulkan bahwa alam memiliki tujuan, sasaran atau arah tertentu. Manusia
sebagai bagian dari alam tentunya juga memiliki tujuan yang sesuai dengan
69 Rasyidi, Op. Cit., Hlm. 24
70 Sidharta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna dan
Penggunaannya. (Jakarta: Binus University,2018) https://business-law.binus.ac.id/2018/03/03/
lex-specialis-derogat-legi-generali/. 3 Maret 2018. (Diakses 02 Februari 2021)..
Argumentasi Hukum 89

tujuan alam. Pandangan yang melihat alam dan tempat manusia yang berada
di dalamnya dalam rangka tujuan, sasaran dan arah tertentu kemudian disebut
sebagai pandangan teleologis (yang berasal dari kata Yunani kuno “telos” yang
berarti tujuan atau sasaran).71
Dalam aliran hukum alam ini, filosof banyak memikirkan tentang
berbagai gejala kehidupan, termasuk persoalan hukum seperti hakikat hukum,
bentuk pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mereka mendasarkan pemikiran
terhadap akal budi, nalar (reason) yang hasilnya berupa dikesampingkannya
para dewa sebagai kekuatan pengatur jagad raya dan menerima hukum alam
(natural law) untuk menjelaskan bebagai gejala.72
Di sisi lain aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal
(umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam
mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai
hukum yang berlaku secara universal dan abadi. Gagasan mengenai hukum
alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup
akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial
serta tertib hukum eksistensi manusia.
Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua
dan nama ini masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para
filosof Yunani Kuno kemudian mengalami perkembangan dan perubahan.
Aliran hukum alam berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Irasional atau Teori Hukum Alam Theologis
Hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan
secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas
(Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan
John Wyclife.
Tokoh paling menonjol dari teori hukum alam theologis adalah
Thomas Aquinas (1225-1274). Menurut Aquinas, terdapat kebenaran
akal di samping kebenaran wahyu, namun disisi lain terdapat pengetahuan
yang tidak diketahui oleh akal, sehingga untuk itulah diperlukan iman.
Dalam perkembangannya Aquinas membedakan antara pengetahuan
alamiah (kemampuan pemikiran dengan mendasarkan pada akal) dan
pengetahuan iman (keyakinan yang berpegang teguh pada wilayah rasa
terkait keberadaan suatu kebenaran). Pembedaan tersebut digunakan

71 Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law. An Introduction to


Jurisprudence. (Westview Press, Inc., 1990). Hlm. 13.
72 Surya Prakash Sinha. Jurisprudence. Legal Philosophy in a Nutshell. (West Publishing
Co, St. Paul, Minn., 1993). Hlm. 10.
90 Argumentasi Hukum

untuk menjelaskan antara filsafat dan teologis. Hukum alam bagian


dari hukum Tuhan yang diungkapkan dalam pikiran alam untuk
membedakan yang baik dan yang buruk.
Dalam bukunya Summa Theologica, Aquinas membedakan empat
macam hukum, yaitu:73
1) Lex Aeterna (Hukum Abadi)
Tatanan ini disebut sebagai hukum abadi, yaitu suatu tatanan
rasional dan memiliki maksud tertentu yang mengatur alam
semesta. Letak pemikiran tatanan ini yaitu bahwa melalui rasio
Ketuhanan diciptakan segala-galanya. Dalam Tuhan terletak
suatu rencana tentang berjalannya semesta alam. Sehingga dapat
dikatakan bahwa hukum adalah rasio Tuhan yang tidak dapat
ditangkap oleh panca indera manusia.
2) Lex Divina (Hukum Sakral)
Hukum dalam hal ini adalah segala hal yang diwahyukan oleh
Tuhan dalam Kitab Suci. Dengan diwujudkannya rasio tersebut
dalam bentuk kitab suci, manusia mulai bisa menangkap apa yang
dimaksudkan dari suatu fenomena di dalamnya. Dengan kata lain,
hukum di sini adalah hukum rasio Tuhan yang dapat ditangkap
oleh pancaindera manusia.
3) Lex Naturalis (Hukum Alam)
Pengertian dari hukum alam disini adalah ketika manusia sebagai
makhluk yang memiliki akal atau nalar (reason) mulai turut serta
ke dalam Lex Aeterna (Hukum Abadi). Manusia, sebagai ciptaan
Tuhan yang memiliki akal atau nalar (reason) membuatnya mampu
sedikit banyak menangkap rasio Tuhan sekalipun tidak seluruhnya.
4) Lex Positivis (Hukum Manusia)
Segala hal yang terdapat dalam hukum alam, sudah menjadi sesuatu
yang bersifat nyata. Sehingga rasio Tuhan dapat ditangkap dengan
rasio manusia dalam bentuk positivistis. Manusia menggunakan
akalnya dalam memproses lebih lanjut setiap fenomena yang ada.
sehingga bisa dikatakan bahwa Lex Positivis adalah penerapan Lex
Naturalis dalam kehidupan manusia di dunia nyata.
b. Rasional atau Teori Hukum Alam Rasionalistis
Tokoh teori hukum alam rasionalistis antara lain: Hugo de Groot
(Grotius), Christian Thomasius, Immanuel Kant, dan Samuel Pufendorf.
73 Dariji Darnodihardjo dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2006). Hlm. 92
Argumentasi Hukum 91

Namun, diantara tokoh tersebut yang paling menonjol adalah Hugo de


Groot atau Grotius (1583-1645).
Grotius menentang teori hukum alam theologis yang diajarkan
oleh Thomas Aquinas. Dasar pertentangan tersebut adalah, menurutnya
sumber hukum adalah rasio manusia. Hukum alam adalah hukum yang
muncul sesuai kodrat manusia. Prinsip hukum menurutnya terlepas
sama sekali dari perintah Tuhan dan Tuhan pun tidak dapat merubahnya,
sebagaimana 2 x 2 = 4. Sehingga tidak mungkin dapat dirubah bahkan
oleh Tuhan sekalipun. Meskipun hukum alam ini diperoleh oleh
manusia melalui akalnya, namun Tuhanlah yang memberikan kekuatan
mengikat.
Berdasarkan uraian di atas, salah satu pemikiran hukum alam yang
khas adalah tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan moral. Berbeda
halnya dengan Kaum Positivisme yang secara tegas membedakan antara moral
dan hukum. Pada umumnya, penganut hukum alam memandang hukum dan
moral sebagai pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal
dari kehidupan manusia serta hubungannya sesama manusia. Kant misalnya,
menekankan bahwa moralitas mengatur kehidupan manusia dan menjadi
penuntun bagi motivasinya. Hukum mengatur kondisi-kondisi manusia dalam
kaitannya dengan standar yang dibutuhkan mereka.
3. Sociological Jurisprudence
Awal abad 20 merupakan masa lahirnya pandangan-pandangan hukum
yang memanfaatkan temuan-temuan dalam Sosiologi. Roscoe Pound (1870-
1964) adalah pelopor lahirnya aliran sosiologis. Pandangannya dikenal sebagai
ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang berpengaruh besar
sampai sekarang.
Roscoe Pound melihat bahwa aliran positivisme hukum abad 18 yang
berakar pada rasionalisme (tesis) dan aliran sejarah dari abad 19 yang berakar
pada empirisme (antitesis), masing-masing berat sebelah, sehingga diperlukan
aliran yang memahami hukum sebagai akal dan juga pengalaman (sintesis).
Selanjutnya Pound mengemukakan pandangan yang dikenal dalam Sociological
Jurisprudence.
Pemahaman di atas dapat dimaknakan bahwa Sociological
Jurisprudence, memandang hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya, bahwa hukum itu
haruslah mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Aliran
ini memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dengan
92 Argumentasi Hukum

hukum yang hidup di masyarakat (the living law). Sociological Jurisprudence


timbul dari hasil dialektika antara Positivisme Hukum (tesis) dan Mazhab
Sejarah (antitesis).74 Positivisme hukum memandang hukum hanya sebagai
perintah penguasa, sedangkan Mazhab Sejarah memandang hukum timbul dan
berkembang bersama masyarakat.
Para tokoh dalam aliran ini, diantaranya:
1. Eugene Ehrlich (1826-1922)
Eugene Ehrlich adalah seorang ahli hukum dari Austria, turut
dianggap sebagai pelopor dari aliran Sociological Jurisprudence
berdasarkan hasil karyanya berjudul “Fundamental Principles of the
Sociology of Law”. Ehrlich melihat adanya pembedaan antara hukum
positif dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law).
Pembedaan tersebut terletak antara kaidah-kaidah hukum dengan
kaidah-kaidah sosial lainnya. Menurutnya hukum positif baru akan
memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.75
Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada badan-
badan legislatif, undang-undang, putusan hakim ataupun ilmu hukum,
akan tetapi justru terletak pada masyarakat itu sendiri. Dengan kata
lain, menurut Ehrlich sumber dan bentuk hukum yang utama adalah
kebiasaan. Tetapi dalam perkembangannya, menurut Friedman,
ia meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber hukum pada
masyarakat modern.76 Ketika tata tertib dalam masyarakat didasarkan
pada peraturan-peraturan yang dipaksakan oleh negara, maka hukum
tidak mungkin akan efektif. Hal tersebut dikarenakan ketertiban dalam
masyarakat didasarkan karena penerapannya secara resmi oleh negara
bukan didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum.
Kebaikan dari analisis Ehrlich adalah dapat mengarahkan
perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, dimana
akan diketemukan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan hukum
dan juga untuk lebih memahami hukum dalam konteks sosial. Hal ini
perlu kita pahami bersama, bahwa pengakuan hak masyarakat (hukum)
tidak hanya terbatas pada bentuk pengakuan dalam hukum negara,
akan tetapi juga harus secara faktual diperoleh melalui hukum yang
hidup dalam masyarakat itu sendiri. Tujuan dari hal tersebut adalah
74 I Ketut Wirawan. Pengantar Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas
Udayana. 2016. Hlm. 40-41.
75 Rasyidi. Op. cit., Hlm. 55.
76 Ketut, Loc.cit.
Argumentasi Hukum 93

ketika kita mampu memahami hukum dalam konteks sosial maka akan
membawa manfaat bagi masyarakat berupa nilai kepuasan hukum bagi
masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kekurangan dari analisis ini yaitu bahwa akan sulit
untuk menentukan ukuran-ukuran apa yang dipakai untuk menentukan
bahwa suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup
(dan dianggap adil). Karena apabila kita mendasarkan pada keadilan,
keadilan adalah suatu hal yang bersifat relatif dan memiliki tolak ukur
yang berbeda bagi setiap individu.
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Ajaran aliran Sociological Jurisprudence berkembang dan menjadi
populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-
1964). Sociological Jurisprudence mencapai puncak perkembangannya
antara tahum 1900an sampai dengan tahun 1920an.
Sebagaimana telah penulis sampaikan diawal, Roscoe Pound
berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum adalah untuk
mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan
sosial dapat terpenuhi dengan maksimal. Selain itu, dianjurkan
untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books).
Roscoe Pound dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk
memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social
engineering). Untuk memenuhi perannya sebagai alat merekayasa
tersebut, Pound membuat penggolongan-penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai
berikut:77
1) Kepentingan Umum (public interest):
a) Kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (social interest):
a) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) Perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) Pencegahan kemerosotan akhlak;
d) Pencegahan pelanggaran hak;
e) Kesejahteraan sosial.
77 Ibid. Hlm. 41-42.
94 Argumentasi Hukum

3) Kepentingan Pribadi (private interest):


a) Kepentingan individu;
b) Kepentingan keluarga;
c) Kepentingan hak milik.
Dalam ajarannya, Roscoe Pound menekankan pada beberapa prinsip,
yaitu:78
1. Mengubah fokus analisis tentang hukum dari semata-mata
memfokuskan diri pada doktrin-doktrin hukum (aturan dan praktik
hukum) ke fokus pada efek hukum dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hal ini, dilakukan dengan menggunakan metode, praktik, dan temuan
dari ilmu sosial;
2. Hakim tidak hanya menerapkan undang- undang untuk semua kasus.
Hakim harus diberikan ruang untuk diskresi (kebebasan) yang luas
dalam menerapkan hukum dan aturan hukum hanya merupakan
pedoman umum bagi hakim;
3. Titik sentral ajaran Roscoe Pound adalah teori tentang kepentingan
(theory of interest) dan “rekayasa sosial” (social engineering). Ada
berbagai kepentingan dalam masyarakat, yaitu kepentingan individu,
sosial, dan publik (kepentingan publik merupakan bagian dari
kepentingan sosial).
Kepentingan-kepentingan tersebut dilegitimasi dan diseimbangkan
oleh hukum, sehingga hukum dalam hal ini akan dipandang sebagai
alat untuk rekayasa masyarakat (social engineering).
1. Prinsip-prinsip etika suatu masyarakat beradab (civilized society).
Bahkan, masyarakat beradab tersebut merupakan tujuan dan
sasaran akhir dari hukum substantif, yaitu adanya suatu pengaturan
bahwa seseorang tidak boleh menyakiti atau merugikan orang lain;
seseorang dapat memiliki dan mengawasi harta bendanya; orang-
orang harus bertindak dengan itikad baik dalam membuat kontrak
satu sama lain; jika seseorang memiliki benda-benda berbahaya,
dia harus menjaganya dengan baik sehingga tidak mengancam
keselamatan harta bendanya, atau kesenangan orang lain; seseorang
harus diberikan upah yang layak atas pekerjaannya dan sebagainya.
2. Mengembangkan teorinya tentang perkembangan hukum dari
bentuk-bentuk primitif ke bentuk-bentuk sosialisasi hukum. Bentuk
sosialisasi hukum mempunyai tujuan akhir untuk memaksimumkan
pemenuhan keinginan dan kehendak manusia dan masyarakat
78 George Gurvitch. Sosiologi Hukum. (Jakarta: Bhratara, 1996). Hlm. 142-143.
Argumentasi Hukum 95

Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa hendaknya dibedakan antara


Sociological Jurisprudence dengan apa yang dikenal dengan sosiologi hukum.
Dalam mencoba menelaah antara sosiologi hukum Eropa dan Sociological
Jurisprudence di Amerika Serikat, terlebih dahulu akan dibedakan antara ilmu
hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence) dengan sosiologi hukum (the
sociology of law).
Apabila dilihat dari sudut sejarahnya, istilah sosiologi hukum untuk
pertama kalinya dipergunakan oleh seorang Italia yang bernama Anzilotti
pada tahun 1882. Tradisi sosiologi hukum di Eropa Kontinental bertolak dan
melakukan penyelidikan di lapangan sosiologi dengan membahas hubungan-
hubungan antara gejala-gejala kehidupan kelompok dengan hukum (sociology
of law).
Menurut Apeldoorn, sosiologi hukum mengambil telaah mengenai hal
berlakunya hukum dalam masyarakat. Dari pandangan Apeldoorn di atas dapat
diidentifikasi bahwa sosiologi hukum mencakup 3 (tiga) hal, antara lain:79
1. Menelaah hal berlakunya hukum di dalam masyarakat;
2. Menelaah hubungan dan pengaruh hukum terhadap gejala-gejala sosial;
3. Mengadakan temu kenal yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara itu, pandangan di Amerika Serikat mempunyai karakteristik
untuk mengarahkan telaah terhadap masalah-masalah praktis dari ketertiban
hukum dan melakukan penyelidikannya di lapangan ilmu hukum serta
pertaliannya dengan cara-cara menyesuaikan hubungan dan penertiban
kelakuan yang menyangkut kehidupan kelompok dikenal dengan ilmu hukum
sosiologis (Sociological Jurisprudence).
Dengan demikian, tampak dengan nyata perbedaan antara keduanya,
yaitu apabila Sociological Jurisprudence merupakan aliran dalam filsafat
hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat,
sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari
pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada
dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut disamping juga
diselidiki sebaliknya pengaruh hukum terhadap masyarakat. Yang terpenting
adalah bahwa Sociological Jurisprudence cara pendekatannya bermula dari
hukum ke masyarakat sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat
ke hukum.801

79 Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse
Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959)
80 Rasyidi. Op. cit., 47
96 Argumentasi Hukum
4. Realisme Hukum
Realisme hukum (Legal Realism) muncul di awal abad 20. Gerakan ini
diawali oleh sejumlah hakim yang menentang positivism hukum atau analytical
jurisprudence. Sehingga sebenarnya realisme hukum pada hakikatnya bukan
merupakan suatu aliran, melainkan suatu gerakan yang dipelopori terutama
oleh sejumlah hakim.81
Latar belakang munculnya realisme hukum, secara singkat akan penulis
sampaikan diantaranya:82
1. Adanya gerakan-gerakan untuk menguji nilai-nilai tradisional yang
ada pada tahun 1920. Contohnya adalah ketika adanya anggapan yang
mengatakan bahwa raja yang baik itu pastilah adil, dan anggapan yang
dipercayai oleh masyarakat tersebut ternyata adalah salah.
2. Munculnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi sebagai salah satu
contohnya. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini
mengkaji perilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti
hukum yang sebenarnya.
3. Banyaknya disparitas (perbedaan/ketidakseimbangan) putusan-
putusan. Sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap hukum tertulis
dan menumbuhkan rasa kepercayaan kepada hukum yang berdasarkan
fakta yang real.
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme
yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya
mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris
(real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran
logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah
segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu
perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran
sejati dapat diraih.83
Beberapa tokoh terkenal disebut-disebut sebagai peletak dasar aliran
ini, diantaranya ialah ialah: Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (1889-
1957) dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga-tiganya orang
Amerika.
Ahli-ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar
terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tidak
dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yg adil. Pokok-pokok pikiran dari
81 Sumbu. Op.cit., Hlm. 37
82 Adji Samekto. Justice for All. Cet 1. (Yogyakarta: Genta Press, 2008). Hlm. 66
83 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003). Hlm. 165.
Argumentasi Hukum 97

aliran ini banyak dikemukakan oleh Justice Holmes di dalam hasil karyanya
yang berjudul The Path of the Law, antara lain mengatakan bahwa kewajiban
hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat
atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu
pengadilan. Dalam pandangan realisme hukum, hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Pandangan dalam realisme
hukum adalah bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada
putusan hakim terhadap perkara itu.
Pendapat Holmes tersebut di atas, apabila kita kaitkan dengan alasan
dari hakim-hakim yang melakukan gebrakan terhadap positivisme, salah
satunya karena tugas hakim yaitu juga untuk menciptakan hukum. Seorang
penemu hukum yang bebas tugasnya tidak hanya sekedar menerapkan undang-
undang, akan tetapi juga menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa
konkret. Sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut
norma yang telah diciptakan oleh hakim. Hal tersebut merupakan inti dari
realisme hukum, yaitu tidak hanya mengandalkan undang-undang sebagai
sumber hukum utama. Sumber hukum yang paling utama adalah kenyataan-
kenyataan sosial yang kemudian diambil alih oleh hakim ke dalam setiap
putusannya.
Kemudian, di sisi lain Karl Llewellyn juga mengembangkan teori
tentang hubungan antara peraturan-peraturan hukum dengan perubahan-
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam teorinya ini Llewellyn
terutama menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah
menetapkan fakta dan rekontruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau
yang menyebabkan terjadinya perselisihan.
Apabila kita membahas mengenai tujuan hukum bagi penganut aliran
ini, maka menurut Karl Llewellyn tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan
dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Hukum haruslah diterima
sebagai suatu yang terus menerus berubah sehingga hukum bukanlah suatu
hal yang statis. Masyarakat yang selalu berproses secara terus menerus dan
berubah secara berkesinambungan, harus disikapi dengan kemampuan melihat
perubahan hukum sebagai sesuatu yang esensial dan diperlukan penekanan
pada evaluasi hukum terhadap dampaknya pada masyarakat.
Lebih lanjut oleh Llewellyn dikemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:84
1. Realisme merupakan suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara
bekerja tentang hukum;
84 Otje Salman. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung :
Reflika Aditama, 2010). Hlm. 30
98 Argumentasi Hukum

2. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah


dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya
harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti
bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada
hukum;
3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara
Sollen dan Sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan
itu mempunyai tujuan, maka hendaknya diperhatikan adanya nilai-
nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin
dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-
tujuan kesusilaan;
4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional
karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya
oleh pengadilan-pengadilan termasuk orang-orang di dalamnya. Untuk
itu dirumuskan definisi dalam peraturan-peraturan yaitu merupakan
ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan.
5. Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap
bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama akibatnya.

5. Critical Legal Studies (CLS)


Sampai dengan pertengahan tahun 1970-an pendidikan dan praktek
hukum di Amerika Serikat didominasi oleh aliran formalisme hukum (legal
formalism). Aliran ini sama dengan positivisme hukum yang muncul di Eropa
Barat pada abad 19 seiring dengan munculnya positivisme ilmu-ilmu sosial.
Seperti halnya positivisme hukum, mazhab formalisme hukum menganggap
hukum sebagai sebuah sistem yang netral, obyektif dan otonom. Hukum adalah
norma yang berbeda dari politik, moral, kebudayaan atau kebiasaan sehari-hari.
Para penganut aliran ini, sudah mulai berani untuk membongkar,
mengkritisi hingga melawan formalisme hukum. Upaya perlawanan terhadap
formalisme hukum, pada saat yang bersamaan muncul di Eropa Barat. Pada
masa itu pengaruh positivisme hukum begitu kuat, semua hukum harus
diselenggarakan secara objektif. Sehingga muncul ketidakadilan sehingga
mendorong para pemikir yang ada untuk mengkritik formalisme hukum yang
bekerja. Bersama-sama untuk melakukan sebuah studi dan membahas suatu
disebut Critical Legal Studies.
Para penganut aliran ini memahami bahwa hukum terdiri dari teori
sosial dan teori politik. Teori sosial digunakan untuk pemetaan, perwajahan,
Argumentasi Hukum 99

sentimental dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat, sedangkan teori
politik digunakan sebagai pembidik (latar belakang) atas lahirnya peraturan
perundang-undangan yang lahir dari lembaga-lembaga politik dan lembaga
hukum yang banyak sekali berbagai pengaruh politik pada saat membuat
peraturan perundang-undangan (legislasi perundangan atau putusan hakim).85
Sehingga hal-hal tersebut menjadikan hukum sangat kental nuansa politiknya.
Berangkat dari kenyataan hukum yang selalu dipengaruhi politik dan
norma-norma hukum lainnya, konsekuensi dasarnya adalah harapan untuk
menjadikan hukum yang netral, objektif dan otonom tidak akan tercapai,
bahkan dalam kenyataannya pun tidak pernah tercapai. Hukum dengan segala
kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya baik dalam realitas hukum
dengan kaitannya politik, ekonomi, modal, kapitalisme dan lain sebagainya,
menjadikan hukum semakin jauh dengan nafas keadilan. Oleh karenanya, para
penganut aliran ini berusaha bersikap kritis terhadap hukum untuk menjadikan
keadilan adalah muara dari segala wujud hukum yang ada.
Latar belakang lahirnya Critical Legal Studies adalah kritik terhadap
Formalisme Hukum pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian
Wisconsin, Amerika Serikat diadakan “Conference on Critical Legal Studies”.
Penyelenggara konferensi ini adalah para akademisi hukum yang terlibat dalam
gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap
formalisme hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di
masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Jadi, konferensi ini mencari
cara baru dalam menafsirkan hukum dan lahirlah Critical Legal Studies.
Tokoh dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl
Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz, Jack Balkin dan Roberto
M. Unger. Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini beragam. Dunkan Kennedy
adalah seorang Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah seorang liberal-
radikal. Walau ideologi keilmuan mereka beragam, tapi mereka disatukan oleh
anggapan bahwa hukum tidak terpisahkan dari politik. Sehingga para pemikir
studi hukum kritis (Critical Legal Studies) tetaplah bersatu dalam pokok
pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap konsep hukum
liberal.
Roberto M. Unger salah seorang tokoh yang mengembangkan studi
hukum kritis (Critical Legal Studies) melihat sebenarnya para ahli diabad ke 19
telah terlibat dalam usaha yang kuat mencari struktur hukum yang didalamnya
terkandung (built-in) konsep demokrasi dan pasar bebas. Akar tumbuhnya studi
85 Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”. (Solo:
Khafilah Publishing, 2018). Hlm.97-98.
100 Argumentasi Hukum

hukum kritis (Critical Legal Studies) dapat dirunut ke belakang sekitar tahun
1960-an, ketika mereka-mereka yang di kemudian hari menjadi pelopor-pelopor
studi hukum kritis (Critical Legal Studies) melibatkan diri dalam aktivitas sosial
untuk memperjuangkan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Aktivitas mereka
dilandasi oleh keprihatinan melihat kenyataan betapa banyaknya problema
sosial politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan keputusan yang
berlindung dibalik ketentuan hukum, tetapi sangat sepihak demi kepentingan-
kepentingan politik dalam bidang ekonomi dan militer yang tidak lagi mudah
dikontrol oleh rakyat pencari keadilan yang ada pada saat itu.86
Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa hukum tak terpisahkan dari
politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai
faktor non-hukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik.
Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi antar
berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya
akan mengisolasi hukum dari konteks sosial politiknya, dan membuat hukum
tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender,
agama, atau kelas.
Ciri Hukum menurut aliran CLS antara lain:87
1) Serangkaian struktur, sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang
merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi,
sosial, budaya, etnik, gender, dan agama;
2) Sebagai instrumen hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif
dan eksploitatif;
3) Setiap saat terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi, guna menuju
emansipasi.
Pada akhirnya esensi dari Critical Legal Studies ini adalah para ahli
menyatakan bahwa pemikiran studi kritis (Critical Legal Studies) terletak
pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. 88 Berdasarkan pemikiran law is
politics itu, studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berarti sudah langsung
menolak dan menyerang keyakinan para positivistis dalam ilmu hukum yang
mengembangkan pemikiran hukum liberal. Studi hukum kritis (Critical Legal
Studies) mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik
dan sama sekalitidak netral. Studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berusaha
86 FX Adji Samekto. Studi Hukum Kritis: Kritik Terhadap Hukum Modern. (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005). Hlm.10
87 Erlyn Indarti. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan Filsafat
Hukum Prodi S1 Hukum, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 2015). Hlm. 4
88 Nadir. “Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies: Sebuah Paradigma
Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal
Yustitia. Vol 20. No 2. 2019. Hlm.161.
Argumentasi Hukum 101

untuk membuktikan bahwa dibalik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke
permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan
muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan
ekonomi.89
6. Feminisme Hukum (Feminist Jurisprudence)
Aliran ini merupakan arus pemikiran lain yang berkembang dalam
tradisi hukum di Amerika Serikat (1970-1980). Secara singkat, latar belakang
lahirnya aliran ini antara lain:90
a. Tulisan-tulisan tentang perempuan dari berbagai lapangan studi
yang mempengaruhi studi ilmu hukum.
b. Banyaknya perempuan yang masuk sekolah hukum di Amerika
menjelang tahun 1960 an.
c. Akibat dari reaksi para feminis yang berperkara di pengadilan dan
mengadakan tuntutan terhadap masalah hukum yang khas.
Feminis dalam hukum mencoba secara fundamental menentang
beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa
kebijaksanaan konvensional dalam penelitian hukum kritis. Goldfarb
menunjukkan banyak pemikiran kaum feminis telah memperlihatkan patriarki
sebagai suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap kehidupan mereka
daripada ideologi hukum dan telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi
ideologi patriarki bahkan melalui penggunaan ideologi hukum.
Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme dalam filsafat,
psikoanalisis, semiotik, sejarah, antropologi, postmodernisme, kritik sastra
dan teori politik, tetapi lebih jauh dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan
mengambil dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum wanita selama ini.
Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis mencoba melihat bahwa hukum
pada dasarnya memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai
sosial, bahwa hukum (baik pembentukan aturan, maupun substansinya) sangat
bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak kepentingan laki-laki), sehingga
hukum berjalan untuk kepentingan status quo.
Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana posisi wanita
senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan
sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha untuk
memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu dibayang-bayangi
oleh ideologi-ideologi yang lebih maskulin.
89 Peter Fitzpatrick, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan
Hukum. (Bandung: Tp., 2003). Hlm. 5
90 Aditya Yuli Sulistyawan. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah Argumentasi
Hukum.Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
102 Argumentasi Hukum

Pemikiran dan aliran feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas
ketidak-adilan sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir
feminist jurisprudence percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan
dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum
diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk
melanggengkan posisi subordinasi perempuan di hadapan laki-laki.
Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam hukum, banyak
penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang represif dan ideologi telah
dan terus-menerus dilakukan perombakan. Feminisme Hukum tidak hanya
melakukan pencarian secara komprehensif untuk mengungkap institusi
hukum yang represif dan struktur ideologi yang melegitimasikannya, tetapi
juga mencoba menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam agenda
rekonstruksinya.
Pada intinya, pemikiran dalam aliran ini mendapat pengaruh besar
dari Critical Theory. Aliran ini munul karena keresahan perempuan yang
merasa selalu disubordinasikan sebagai kelas kedua, termasuk dalam bidang
hukum. Para perempuan tersebut kemudian mulai sadar untuk mengenyam
pendidikan dan membuat suatu misi besar berupa memberdayakan sesama
perempuan. Ketika hukum tertalu didominasi oleh laki-laki bahkan dipandang
sebagai produk laki-laki, maka berangkat dari pemikiran seperti ini mereka
mulai melakukan perlawanan. Beberapa bentuk perlawan yang dilakukan salah
satunya adalah pemberian edukasi kepada sesama perempuan (khususnya)
untuk berani menyuarakan segala keresahan yang ada ketika berhadapan
dengan kondisi ketidak-adilan dalam hukum.

D. Dari Aliran kepada Filsafatnya (Paradigma)


Lebih jauh dari pergulatan pemikiran hukum di level aliran
sebagaimana telah dibahas, sejatinya penalaran dari aliran-aliran filsafat
hukum tersebut dapat diurai lebih ringkas dan tepat dalam telaah filsafat hukum
melalui kajian paradigmatik. Telaah paradigmatik dalam studi filsafat hukum
mulai dikenalkan dan dikembangkan oleh Erlyn Indarti di Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro melalui pijakan pemahaman Egon G. Guba & Yvonna
S. Lincoln dalam buku Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln pada buku
“The Handbook of Qualitative Research” (1994) hingga edisi revisinya pada
tahun 2011 yang menghadirkan 5 (lima) paradigma utama: Positivisme, Post-
Positivisme, Participatory, dan Critical Theory et. al., Constructivism.
Argumentasi Hukum 103

N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln dalam The Handbook of Qualitative Research
mendefinisikan paradigma sebagai:
“Suatu sistem filosofis utama, induk, atau ‘payung’ yang terbangun
dari ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu, yang masing-
masingnya terdiri dari satu ‘set belief dasar’ atau worldview yang
tidak dapat begitu saja dipertukarkan [dengan belief dasar atau world-
view dari ontologi, epistemologi, dan metodologi paradigma lainnya].
Paradigma mem-presentasi-kan suatu sistem atau set belief ‘dasar’
tertentu yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama atau pertama,
yang mengikatkan penganut/penggunanya pada world-view tertentu,
berikut cara bagaimana ‘dunia’ harus dipahami dan dipelajari, serta
yang senantiasa memandu setiap pikiran, sikap, kata, dan perbuatan
penganutnya.”

Melalui lima paradigma sebagai filsafat utama yang ada, semua aliran-
aliran filsafat hukum akan dapat diorganisasi atau ditempatkan ke dalam
paradigmanya masing-masing. Perbedaan yang selama ini terlihat membentang
diantara aliran-aliran filsafat hukum akan dapat ditelaah melalui set basic belief-
nya (ontologi, epistemologi, dan metodologi-nya) sehingga perbedaan dapat
tersaji lebih ringkas hanya kepada lima kelompok perbedaan besar tersebut,
yaitu lima paradigma yang ada.
Tabel 3.
Paradigma: 5 Worldview Menjelaskan – Memahami Dunia91
Post- Participatory Critical Theory
Pertanyaan Positivisme Konstruktivis-me
Positivisme et. al.
Realisme Naif: Realisme Kritis: Realisme Realisme Relativisme:
Partisipatif: Historis:

realitas realitas Realitas realitas majemuk


eksternal, eksternal, subjektif – realitas & be-ragam,
Ontologi objektif, real, objektif, dan objektif yang ‘virtual’ yang berdasarkan
dan dapat real yang diupayakan terbentuk oleh pengalaman
dipahami. dipahami scr bersama [secara faktor sosial, sosial-individual,
tidak sempurna. partisipatif] politik, budaya, lokal, dan spesifik.
oleh pikiran dan ekonomi, etnis,
cosmos yang dan ‘gender’.
ada

91 Lincoln, Lynham, & Guba dalam Erlyn Indarti, Pembaruan Hukum Nasional: Suatu
Telaah Paradigmatik…, Hlm. 7.
104 Argumentasi Hukum
Post- Participatory Critical Theory
Pertanyaan Positivisme Konstruktivis-me
Positivisme et. al.
Dualis / Modifikasi Subjektivitas Transaksional / Transaksional /
Objektivis: Kritis dalam Subjektivis: Subjektivis:
Dualis / Transaksi
Objektivis: Partisipatoris peneliti dan peneliti dan objek
dengan objek investigasi investigasi terkait
peneliti dualisme surut Cosmos: terkait scr secara interaktif;
dan objek dan objektivitas interaktif; temuan di-’cipta’/
investigasi menjadi kriteria Penelaah dan temuan di- di-’konstruksi’
Epistemologi
adalah penentu; realitas terkait ’mediasi’ oleh bersama.
dua entity eksternal dalam sebuah nilai yang
independen; objektivitas. epistemologi dipegang semua
bebas nilai. pengetahuan pihak.
‘eksperensial’,
‘proposisional’,
dan ‘praktis’
yang diperluas.
Eksperimental / Modifikasi Partisipasi Dialogis / Hermeneutikal /
Manipulatif: Eksperimental / Politis: Dialektikal: Dialektikal:
Manipulatif:
Pengutamaan
falsifikasi yang praktis;
uji empiris dengan cara penggunaan ada ‘dialog’ ‘konstruksi’
dan verifikasi critical bahasa yang antara peneliti ditelusuri melalui
research multiplism atau membumi; dengan objek interaksi antara
question dan modifikasi temuan di- investigasi, peneliti dan
Metodologi hipotesa; ‘triangulasi’; ‘upaya’-kan bersifat objek investigasi;
manipulasi dan utilisasi teknik Bersama. dialektikal: dengan teknik
kontrol terhadap kualitatif: men-’transform’ hermeneutikal
kondisi setting lebih kemasa-bodohan dan pertukaran
berlawanan; natural, dan kesalah- dia-lektikal
utamanya informasi lebih pahaman ‘konstruksi’
metoda situasional, dan menjadi di-interpretasi;
kuantitatif. cara pandang kesadaran utntuk tujuan: distilasi
emic. mendobrak. / konsensus /
resultante.
Sumber: Diolah dari Lincoln, Lynham, dan Guba (2011)

Pembahasan aliran-aliran dalam penalaran khasnya [sebagaimana


diuraikan dalam bab ini] dengan demikian juga dapat disederhanakan kepada
penalaran menurut lima paradigma utama yang ada. Melalui telaah ontologi,
epistemologi, dan metodologi dari masing-masing paradigma, dapat disimpulkan
bahwa paradigma positivisme adalah paradigma yang menggunakan penalaran
secara logis (dapat dilihat pada ontologi-nya bahwa realitas dinyatakan dalam
hubungan sebab akibat, generalisasi, dsb.). Selain Positivisme, paradigma
Post-Positivisme dan Participatory juga masih menggunakan penalaran secara
Argumentasi Hukum 105

logis (dalam kadarnya yang terbatas sebagaimana epistemologinya), sedangkan


paradigma Critical Theory et. al. dan Konstruktivisme mulai menggunakan
metode non penalaran, karena penelaahan yang dilakukan secara subjektif
(sebagaimana epistemologinya).
106 Argumentasi Hukum

BAB VII
ARGUMENTASI HUKUM DAN LEGAL
OPINION

A. Argumentasi Hukum
Seperti yang telah penulis uraikan dalam Bab II mengenai logika,
penalaran dan argumentasi hukum, pada bab ini tentunya perlu kita tekankan
kembali mengenai hakikat argumentasi hukum sampai dengan struktur dan
bentuk dari argumentasi hukum itu sendiri. Hal ini sangatlah penting, karena
perlu diketahui pula apabila kita melihat setiap persidangan tidak jarang
para penegak hukum hanya mengemukakan pendapat hukum, sehingga yang
tercipta bukanlah argumentasi hukum. Menurut penulis, pendapat hukum tentu
berbeda dengan argumentasi hukum. Argumentasi hukum akan melahirkan
sebuah penalaran hukum yang kemudian dituangkan dalam pertimbangan
hukum, misalnya dalam bentuk putusan hukum. Sedangkan, pendapat hukum
belum tentu dapat dijadikan dasar sebagai penalaran hukum. Pendapat hukum
itu sendiri bisa disampaikan kapan dan di mana saja, termasuk pada saat terjadi
debat hukum di acara salah satu stasiun televisi swasta “Indonesia Lawyer
Club” yang digawangi oleh Karni Ilyas sebagai host.
Dalam setiap persidangan perkara, kita dapati bahwa setiap hakim
tentu akan memberikan pendapat dalam bentuk argumentasi hukum dalam
rangka mencapai ‘kesepakatan’ dalam mengambil keputusan. Yang menarik
dari sebuah persidangan adalah masing-masing hakim tersebut, pasti akan
memberikan kontribusi pemikirannya dengan menggunakan pendekatan
pengetahuan yang berbeda, baik dalam memahami penerapan hukum acara
(formal) maupun penerapan hukum materiilnya. Pendapat hakim yang berbeda
tentunya menjadi suatu hal yang lumrah didapati dalam persidangan suatu
perkara, sehingga olehnya sering kita jumpai persidangan harus sampai pada
mekanisme dissenting opinion.
Ketika terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat), maka
hakim tersebut pada kenyataannya telah melakukan penalaran yang dilalui
berdasarkan sebuah argumentasi hukum. Seorang hakim dan/atau praktisi
hukum lainnya harus memiliki keterampilan ilmiah yang dijadikan pijakan
olehnya dalam mendapatkan serta memberikan solusi hukum yaitu melalui
proses argumentasi hukum yang baik. Sehingga pemahaman terhadap setiap
Argumentasi Hukum 107

substansi hukum dalam pasal-pasal dapat diselami dengan baik. Di sinilah


tingkat pemahaman terhadap pasal-pasal perundang-undangan bagi seorang
hakim tidak cukup jika hanya selalu melihat pada aspek normatif saja, sehingga
diperlukan kemampuan memahami ruh dari sebuah peraturan perundang-
undangan. Hal ini menunjukkan aktivitas profesi yang menuntut kualitas
dan kedalaman pemahaman terhadap suatu fenomena yang dibangun melalui
sebuah argumentasi hukum yang baik.92
1. Hakikat Argumentasi Hukum
Argumentasi hukum berasal dari istilah argumenteren (Belanda) atau
argumentation (Inggris) yang dalam perkembangannya dimaknakan sebagai
argumentasi hukum atau nalar hukum. Argumentasi adalah suatu proses akal
yang digunakan sebagai landasan untuk menyampaikan suatu keteguhan.
Kemudian argumentasi hukum merupakan keterampilan ilmiah (ars) yang
bermanfaat untuk dijadikan pijakan oleh para ahli hukum dalam mendapatkan
dan memberikan solusi hukum. Argumentasi hukum selain digunakan untuk
berlangsungnya penerapan hukum, juga digunakan untuk membentuk peraturan
yang rasional dan acceptable. Peraturan hukum yang dibentuk dengan ketentuan
yang rasional dan memenuhi rasa keadilanlah yang menumbuhkan kesadaran
hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Berbagai macam ilmu yang digunakan sebagai pengantar untuk
mendapatkan pemahaman yang baik terhadap argumentasi hukum, diantaranya:
1) Ilmu Logika (memberikan landasan tentang logika berpikir atau penalaran);
2) Ilmu Hukum itu sendiri (dogmatika hukum adalah bagian inti yang harus
dikuasai karena ilmu hukum disediakan untuk mengatasi persoalan hukum
dalam praktik hukum); 3) Filsafat Hukum yang memberi pemahaman tentang
ragam pemikiran yang ada, menuntun setiap pemikiran dan perbuatan dari
filsafatnya masing-masing (karena kita mengenal banyaknya ragam aliran
pemikiran dalam filsafat hukum dan juga adanya beberapa paradigma utama
sebagai filsafat utama dalam kehidupan). Kesemuanya ini memberikan
pemahaman awal untuk pengembangan argumentasi hukum. Katakanlah
misalnya, seorang hakim yang tanpa pemahaman terhadap cabang ilmu yang
disebutkan di atas, dapat diduga bahwa hakim yang bersangkutan tidak cukup
alat untuk mengajukan pendapat yang memiliki nilai argumentasi hukum.
Pada dasarnya argumentasi hukum bertujuan untuk “to give a reason”
yang dalam pelaksanaannya digunakan pada saat mengambil pertimbangan
92 Ruslan H.R. “Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim Dalam Berpendapat”.
Diakses dari http://www.pta-bengkulu.go.id/images/file_pdf/argumentasi%20
hukum%20sebagai%20strategi%20dalam%20berpendapat.pdf
108 Argumentasi Hukum

sehubungan dengan perkara yang akan diselesaikan. Dalam hal ini penyampaian
argumentasi hukum dalam praktik hukum dapat dikategorikan menjadi 2
bidang, yaitu:
a. Preventif (Non-Litigation Area)
Misalnya: Legal Consultation, Legal Negotiation, Legal Opinion.
Praktisi hukum menggunakan argumentasi hukum di ranah ini untuk
menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi klien di luar ranah
peradilan.
b. Represif (Litigation Area)
Berupa argumentasi hukum yang disampaikan dalam berkas-berkas
perkara seperti gugatan, permohonan, pledoi, replik, putusan dan
sebagainya. Argumentasi hukum ini terjadi di ranah peradilan untuk
meneguhkan pendirian atas kebenaran fakta-fakta hukum di muka
persidangan.
Dalam arti luas, argumentasi hukum (Legal Reasoning) merupakan
landasan yang dibangun oleh setiap pemikir hukum dalam menguraikan
permasalahan yang dihadapinya, baik dalam konteks ilmiah maupun dalam
proses penegakan hukum. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga agar peristiwa
atau perbuatan hukum berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku
dalam hal pengkajian suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum. Penyusunan
undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan peraturan
internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan dengan
tujuan supaya tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-
undang atau peraturan lainnya, demikian pula untuk menyelesaikan suatu
sengketa hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan untuk
mendapatkan esensi dari sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik
mungkin dalam lingkup hukum yang berlaku.
2. Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Argumentasi Hukum
Dewasa ini, tidak dapat kita sangkal bahwa dalam mempelajari dan
memahami argumentasi hukum sangat dibutuhkan pemahaman mengenai
bahasa dan logika. Dalam hal ini secara khusus adalah bahasa hukum dan
logika hukum. Apakah terdapat kekhususan dalam bahasa hukum bila
dibandingkan dengan ilmu bahasa pada umumnya? Jelas iya, bahasa hukum
selalu mendasarkan kepada konsep hukum dalam merumuskan kalimat-kalimat
termasuk di dalamnya seperti apa dan bagaimana perwujudan norma hukum,
baik dalam bentuk rumusan pasal-pasal maupun rumusan klausul yang ada
dalam undang-undang.
Argumentasi Hukum 109

Argumentasi pada dasarnya merupakan salah satu cara untuk


melakukan komunikasi atau untuk menyampaikan suatu pendapat. Demikian
dengan pemahaman logika, hal ini sangat diperlukan karena untuk menyatakan
suatu pendapat bahwa seseorang sangat membutuhkan dasar berpikir
yang baik, tepat dan benar. Sehingga alur berpikir harus didasarkan pada
argumentasi yang baik, tentunya dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar logika
dan implementasi dalam pernyataan tertulis atau secara lisan dengan tetap
memerhatikan tata bahasa yang baik dan benar. Bisa dibayangkan sebelumnya
dalam hal ini, bagaimana jika suatu rumusan pasal dalam sebuah peraturan
perundang-undangan tidak jelas menyebutkan subjek kalimatnya? Hal ini akan
mengakibatkan ketidakpahaman dan/atau sulit melakukan pemaknaan terhadap
esensi pasal tersebut. Sehingga subjek dan objek hukum harus dapat dimaknai
dengan jelas dalam koridor hukum itu sendiri. Ketepatan dalam merumuskan
norma yang memenuhi prinsip dasar logika maupun ketepatan dari segi bahasa
sangat memengaruhi dasar berpijak praktisi hukum dalam menerapkan hukum
melalui suatu pertimbangan dan/atau putusan hukum.
3. Argumentasi Hukum Dalam Pertimbangan Hukum
Argumentasi hukum merupakan salah satu jenis penalaran yang
melibatkan proses intelektual praktisi hukum dalam melakukan justifikasi
berdasarkan rasionalitas, konsistensi logika dan konsistensi doktrinal untuk
mencapai kesimpulan dalam memutuskan suatu permasalahan hukum.
Argumentasi hukum yang rasional (Drie Niveaus van rationale jurisfische
argumentatie) terdiri dari tiga lapisan, diantaranya:93
a. Lapisan Logika
Lapisan ini merupakan struktur intern dari suatu argumentasi, juga
bagian dari logika tradisional. Isu yang muncul dalam hal ini berkaitan
dengan premis-premis yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan
logis dan langkah dalam menarik kesimpulan, misalnya deduksi dan
analogi.
b. Lapisan Dialektika
Lapisan ini membandingkan argumentasi pro dan argumentasi kontra.
Ada dua pihak yang berdialog atau berdebat, yang bisa saja pada
akhirnya tidak menemukan jawaban karena memiliki kekuatan yang
sama.
c. Lapisan Prosedural
Lapisan ini berkaitan dengan struktur hingga acara penyelesaian
93 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum. (Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005). Hlm: 38-40.
110 Argumentasi Hukum

sengketa. Prosedur dalam hal ini tidak hanya mengatur perdebatan,


namun perdebatan sendiri juga turut mengatur prosedur. Suatu aturan
dialog harus berdasarkan pada aturan main yang sudah ditetapkan
dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan syarat penyelesaian
sengketa yang jelas. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara
lapisan dialektika dan lapisan prosedural.
Dalam menyajikan argumentasi hukum sebagai bentuk dari
pertanggungjawaban, argumentasi harus disusun dengan menggunakan
penalaran hukum, baik secara induktif maupun deduktif. Hal ini didasarkan
karena pada faktanya, sering terjadi kegagalan dalam berargumentasi, antara
lain:94
1. Memuat premis (pernyataan) dari proposisi yang keliru. Jika premis
keliru maka argumen tersebut akan gagal dalam menetapkan
kesimpulan. Salah satu alasan dari salahnya suatu premis yaitu
fenomena yang dijadikan sebagai pernyataan tidak didukung dengan
fakta yang sebenarnya.
2. Kegagalan dapat terjadi karena argumen ternyata memuat premis-
premis yang tidak berhubungan dengan penarikan kesimpulan.
3. Penalaran yang disebabkan karena kecerobohan dan kurangnya
perhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait.
Kemudian, dalam tahap berikutnya seorang praktisi hukum
khususnya hakim akan menggabungkan penalaran deduktif dan induktif
dengan mendasarkan berbagai teori hukum yang relevan dengan perkara
yang sedang dihadapi. Dengan mendasarkan pada teori-teori yang relevan
dan rasional, suatu argumentasi hukum secara metodologis akan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Begitupun dengan pertimbangan
hukum yang dibuat melalui analisis dengan metodologi yang tepat, maka
putusan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis pula. Hal ini dapat
dilakukan dalam kerangka besar penalaran hukum pada kelompok paradigma
positivisme dan post-positivisme sebagai kelompok paradigma yang dominan
dan mengandalkan rasionalitas.
B. Legal Opinion
Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan masyarakat di
bidang jasa hukum semakin meningkat. Salah satu dampak nyata adalah saat
ini tugas seorang pengacara (lawyer) tidak hanya terbatas mennjalankan fungsi
beracara di muka hakim dan/atau pengadilan semata. Secara lebih luas, seorang
94 Abdullah. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan. (Surabaya: Bina Ilmu Offset,
2008). Hlm. 84
Argumentasi Hukum 111

pengacara nantinya akan sering berhubungan dengan banyak orang baik di


dalam maupun di luar pekerjaannya, baik dengan mereka yang mengerti hukum
ataupun tidak mengerti hukum.
Berbagai pertanyaan seputar permasalahan hukum akan menghampiri
diri seorang pengacara dan konsekuensi pasti adalah pengacara harus mampu
menjawab serta menjelaskan kepada seorang klien dengan penjelasan yang
semudah mungkin, sehingga dapat dimengerti oleh mereka khususnya yang
kurang mengerti hukum namun tetap memprioritaskan ketepatan substansi
dalam memberikan penjelasan hukum. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat
diperlukan kemampuan bagi praktisi hukum untuk memberikan pendapat
hukum darinya terhadap suatu permasalahan.
Legal Opinion merupakan jawaban seorang sarjana hukum mengenai
pertanyaan seorang klien yang sedang menghadapi persoalan hukum. Apabila
pendapat hukum seorang sarjana hukum ini dijadikan oleh hakim sebagai
tempat menemukan hukum, maka pendapat hukum tersebut sudah bisa
dikatakan sebagai doktrin.95 Artinya ada hubungan antara Legal Opinion dan
doktrin yang merupakan sumber hukum. Satjipto Rahardjo mengatakan proses
pembuatan hukum salah satunya yaitu sosio-politis yang artinya gagasan
masyarakat yang menginginkan suatu masalah bisa diatur oleh hukum, gagasan
tersebut diolah oleh masyarakat sendiri, dikritik, dibicarakan dan dipertahankan
melalui pertukaran pendapat antar berbagai golongan atau kekuatan dalam
masayarakat.96 Hal ini memiliki makna bahwa pendapat hukum merupakan hal
terpenting dalam pembuatan hukum, tanpa adanya pendapat hukum maka suatu
masalah yang ingin diselesaikan dalam masyarakat tidak akan diketahui cara
penyelesaiannya.
Berdasarkan paparan di atas, apabila kita mengambil kesimpulan bahwa
ketika Legal Opinion sama pentingnya selayaknya doktrin sebagai sumber
hukum, maka dalam bab ini penulis akan mencoba menyampaikan mengenai
pengertian Legal Opinion, tujuan, fungsi hingga sistematika penulisan Legal
Opinion, dengan harapan supaya para pembaca khususnya nanti yang akan
terjun sebagai seorang praktisi hukum, memiliki bekal yang cukup untuk
mampu membuat sebuah Legal Opinion dengan baik dan benar.
1. Pengertian Legal Opinion
Sampai saat ini tidak ada definisi yang baku mengenai Legal Opinion.
Akan tetapi, apabila mengacu pada literatur yang telah ada sebelumnya dan yang

95 Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta: Liberty,


2008). Hlm. 116
96 Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Semarang: Citra Aditya Bakti, 2014). Hlm. 187
112 Argumentasi Hukum

telah berlaku secara internasional, maka menurut Black’s Law Dictionary97,


Legal Opinion diartikan sebagai:
“A written document in which an attorney provides his or her
understanding of the law as applied to assumed facts. The attorney
may be a private attorney or attorney representing the state or other
governmental entity”. A party may entitled to rely on a legal opinion,
depending on factors such as the identity of the parties to whom the
opinion was addressed and the law governing these opinion.”
Pada intinya, diartikan sekumpulan dokumen tertulis yang dibuat oleh
pengacara untuk kliennya dimana pengacara tersebut memberikan pandangan
atau pendapat hukum sebagaimana yang diterapkannya terhadap suatu fakta
hukum tertentu untuk tujuan tertentu.
Istilah Legal Opinion dalam Bahasa Latin disebut dengan Ius Opinion,
dimana Ius artinya Hukum dan Opinion artinya pandangan atau pendapat. Legal
Opinion adalah istilah yang dikenal dalam sistem hukum Common Law (Anglo
Saxon), sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) dikenal
dengan istilah Legal Critics yang dipelopori oleh aliran Kritikus Hukum.
Dalam Bahasa Latin disebut sebagai Ius Opinion, yang berarti: Ius (hukum)
dan Opinion (pandangan atau pendapat). Sehingga singkatnya, pendapat
hukum (Legal Opinion) adalah tulisan yang berupa pendapat hukum yang
dibuat oleh pengacara atau paralegal untuk kepentingan kliennya. Biasanya
pendapat hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan keterangan atas
segala sesuatu yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi.
2. Fungsi Legal Opinion
Sesuai dengan pengertian yang penulis uraikan di atas, maka Legal
Opinion biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan klien
mengenai suatu permasalahan hukum tertentu. Legal Opinion ini memang
dimaksudkan untuk memberikan keterangan kepada klien yang ingin mengetahui
segala hal yang berkenaan dengan permasalahan yang dihadapinya, maka
isinya juga harus dapat memenuhi harapan dari klien tersebut.98 Berdasarkan
hal tersebut, apabila ditarik kesimpulan maka bisa diketahui bahwa fungsi dari
Legal Opinion adalah untuk memberikan pendapat hukum atas suatu persoalan
hukum agar didapati suatu keputusan atau tindakan yang tepat atas persoalan
hukum tersebut.
97 Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. 1999. Hlm.1120
98 Paulus Hadisuprapto. “Pendapat Hukum (Legal Opinion)”. Hlm. 3-4 (Makalah disajikan
sebagai Materi Kuliah “Legal Opinion” pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 11 Maret 2007)
Argumentasi Hukum 113

Pendapat hukum (Legal Opinion) bagi dunia usaha mempunyai


dua fungsi. Pertama, sebagai pendapat tanpa syarat dan menguntungkan
(an unquailed favourable opinion), artinya bahwa pendapat hukum menjadi
pertimbangan pengusaha agar mengambil tindakan yang menguntungkan bagi
bisnisnya. Kedua, dalam hal penasehat hukum tidak dapat memberikan pendapat
hukum tanpa syarat dan menguntungkan, maka pendapat ini dapat merupakan
suatu peringatan bagi pengusaha, mengenai adanya kemungkinan resiko yang
harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan komersial.99
Di sisi lain, perlu diketahui pula bahwa Legal Opinion biasanya dibuat
oleh para praktisi hukum dan/atau intelektual akademis yang pada umumnya
berisikan masukan (input) dari sudut pandang fungsi penerapan hukum dan
manfaatnya bagi masyarakat pengguna. Sehingga dalam implementasinya,
Legal Opinion tidak hanya dibuat kepada klien semata dengan tujuan
rekomendasi berupa berbuat atau tidak berbuat sesuatu, namun juga dapat
digunakan hanya sebagai pertimbangan hukum semata (dari sudut akademisi).
3. Prinsip-Prinsip dalam Pembuatan Legal Opinion
Prinsip yang harus dipegang dalam menyusun Legal Opinion, adalah
sebagai berikut:100
a. Legal Opinion dibuat dengan mendasarkan pada hukum Indonesia.
Pengacara yang bekerja di wilayah Republik Indonesia, tentunya hukum
yang dikuasai adalah hukum Indonesia, sehingga tidak berkompeten
untuk menyampaikan pendapat hukum yang didasarkan pada hukum
selain hukum Indonesia.
b. Legal Opinion disampaikan secara lugas, jelas dan tegas dengan tata
bahasa yang benar dan sistematis.
Legal Opinion yang dibuat haruslah dapat dipahami oleh klien dan/
atau pihak yang membacanya. Hal ini bertujuan agar Legal Opinion
tersebut tidak multitafsir (bias) dan diharapkan melalui Legal Opinion
tersebut tercipta suatu kepastian hukum.
c. Legal Opinion tidak memberikan jaminan terjadinya suatu keadaan.
Dalam Legal Opinion, pengacara tidak boleh membrikan jaminan
atau kepastian akan kondisi suatu penyelesaian persoalan hukum yang
dihadapi. Hal ini tentu juga didasarkan pada ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 4 butir c Kode Etik Advokat yang berbunyi: “Advokat
tidak dibenarkan menjamin kepada klien nya bahwa perkara yang
99 D. Sidik Suraputra. “Pendapat Hukum Dalam Transaksi Komersial”. Jurnal Hukum dan
Pembangunan. Vol 35. No 2, 2005. Hlm. 146
100 Ery Agus Priyono dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai Sumber
Hukum”. Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020. Hlm. 63
114 Argumentasi Hukum

ditanganinya akan menang”. Dilihat dari isi Kode Etik Advokat


tersebut dapat disimpulkan bahwa advokat di dalam Legal Opinionnya
tidak boleh memberikan jaminan kepada klien bahwa perkara yang
ditanganinya akan menang.
d. Legal Opinion harus diberikan secara jujur dan lengkap.
Penjelasan dalam Legal Opinion harus diberikan dengan selengkapnya.
Dalam Legal Opinion advokat tidak memberikan pendapat yang
mengharuskan klien untuk melakukan tindakan tertentu. Legal
Opinion hanya bersifat memberikan pendapat mengenai tindakan-
tindakan apa yang harus dilakukan oleh klien tetapi klien sendiri yang
akan memutuskan apakah akan melakukan tindakan tersebut atau
tidak. Oleh karena itu Legal Opinion harus memberikan penjelasan
yang selengkapnya, sehingga klien memiliki bahan pertimbangan yang
cukup untuk mengambil suatu keputusan.
e. Legal Opinion tidak mengikat bagi pengacara dan bagi klien.
Pengacara bertanggungjawab atas isi dan juga bertanggungjawab atas
kebenaran dari Legal Opinion yang dibuatnya. Namun, perlu dipahami
bahwa seorang pengacara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
atas kerugian yang timbul akibat klien mengambil tindakan berdasarkan
Legal Opinion tersebut. Legal Opinion yang dibuat oleh seorang
pengacara tidak mengikat klien atau pihak lain yang meminta Legal
Opinion untuk wajib melaksanakan sebagian atau seluruh isi dari Legal
Opinion. Keputusan untuk mengambil atau tidak, terhadap tindakan
yang direkomendasikan di dalamnya, sepenuhnya dikembalikan
kepada klien yang bersangkutan serta menjadi tanggung jawab dari
pengambil keputusan.
4. Mekanisme Penyusunan Legal opinion.
4.1. Langkah-Langkah Penyusunan Legal Opinion:
1. Identifikasi Masalah Hukum (Isu Hukum)
- Identifikasi seluruh masalah hukum dan lakukan kualifikasi.
- Rumuskan masalah secara tepat.
2. Identifikasi Fakta Hukum
- Identifikasi fakta hukum dan bukan fakta hukum.
- Fakta hukum dijadikan sebagai acuan utama untuk mendukung
analisis hukum.
3. Inventarisasi Aturan Hukum
- Pengumpulan aturan-aturan hukum untuk menjadi landasan
permasalahan.
- Menentukan aturan hukum yang relevan.
Argumentasi Hukum 115

4. Aplikasi Aturan Terhadap Permasalahan Hukum


- Apakah aturan yang ada dapat menjawab permasalahan hukum.
- Hasil aplikasi harus mendukung analisis.
5. Buat Analisis Hukum
- Semua permasalahan harus dianalisis dengan menggunakan
dan mengacu pada semua aturan yang telah dikumpulkan.
- Pada tiap permasalahan/isu telusuri ketentuan hukum,
yurisprudensi, pendapat akademis yang diberikan dengan isu
tersebut.
- Berikan pendapat dan bagaimana ketentuan hukum tersebut
diterapkan dalam kasus tersebut.
6. Buat Kesimpulan
- Kesimpulan harus menjawab pertanyaan permasalahan hukum.
- Mermuskan rekomendasi strategis yang bisa dijalankan.
4.2. Struktur Legal Opinion
Konsep, formula atau struktur yang sering digunakan dalam
pembentukan Legal Opinion yaitu disebut dengan IRAC (Issue, Rule,
Analysis, Conclusion) yang ditawarkan oleh Prof. Peter Suber, dari
Philosophy Department, Earlham University. IRAC ini merupakan
bentuk-bentuk dasar dari argumentasi hukum, khususnya alur
pembentukan legal opinion dalam mencermati setiap permasalahan
hukum. Formula IRAC, terbentuk dari empat elemen, yaitu:101
1. Issue : Fakta-fakta dan keadaan apa saja yang telah
membawa para pihak ke pengadilan.
Langkah pertama adalah menemukan serta mencermati
isu hukumnya. Satu hal yang harus senantiasa diingat pada saat
mencermati isu hukum ini adalah bahwa “Fakta hukum dari suatu
perkara memberikan petunjuk tentang permasalahan atau isu
hukum yang dihadapi”. Selanjutnya, kunci untuk mencermati isu
hukum adalah kemampuan seorang praktisi hukum salah satunya
hakim untuk mengidentifikasikan fakta hukum apa dan telah
memunculkan isu hukum apa. Karena pada asasnya isu hukum itu
sangat kompleks, maka setiap pembahasan atau penambahan suatu
fakta hukum juga akan mengurangi atau menambah isu hukum
dalam perkara yang bersangkutan, sehingga dapat memunculkan
upaya penegakan hukum yang baru pula.
101 M. Arsyad Sanusi. Legal Reasoning Dlam Penafsiran Konstitusi. Dalam artikel
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/legal-reasoning-dalam-penafsiran-
konstitusi/.
116 Argumentasi Hukum

Dalam studi hukum seringkali dijelaskan bahwa cara termudah


untuk membatasi permasalahan atau isu hukum adalah dengan
mengidentifikasi isu hukum yang relevan dan isu hukum yang
tidak relevan dari perkara yang bersangkutan, misalnya mengenai
masalah pencemaran nama baik dan sebagainya. Sekalipun
demikian, tetap penting bagi praktisi hukum untuk secara mandiri
mengasah dan mengembangkan keterampilan mencermati isu
hukum yang relevan dan tidak relevan agar dapat meningkatkan
kemampuan serta dapat menjadi praktisi hukum yang professional,
efektif dan implementatif.
Salah satu masukan bagi seorang yang ingin mempelajari cara
menyusun legal opinion yang benar adalah, ketika kita dihadapkan
dalam suatu perkara hukum, hendaknya selalu menyusun daftar
pertanyaan terkait dengan permasalahan atau isu hukum yang
sedang dicermati. Dengan demikian, kita akan memiliki semacam
database untuk permasalahan atau isu hukum yang sedang
dicermati tersebut. Database inilah yang akan memudahkan kita
dalam membuat Legal Opinion dengan tetap bertanggungjawab
terhadap seluruh isi secara efektif dan efisien. Sebaliknya, apabila
kita tidak memiliki database yang tertata secara rinci, maka terdapat
kemungkinan akan terjadi kesalahan dalam upaya menemukan
fakta-fakta hukum yang relevan, sehingga dapat berakibat salah
dalam membedah tahapan berikutnya dalam formula IRAC, yaitu
tahapan Rules (menemukan aturan hukumnya).
2. Rule: aturan hukum apakah yang berlaku terhadap isu hukum
tersebut?
Selanjutnya, langkah kedua dalam formula IRAC adalah
menemukan Rule (aturan hukum) mana yang akan diterapkan
terhadap suatu permasalahan hukum. Satu hal yang harus diyakini
terkait dengan elemen Rule ini adalah bahwa “Permasalahan
atau isu hukum tertentu diatur oleh aturan hukum tertentu pula”.
Untuk setiap perkara yang kita hadapi, cobalah untuk membedah
penegakan hukumnya dengan menguraikan perkara tersebut
menjadi beberapa komponen. Dengan kata lain, ajukan pertanyaan
mengenai elemen aturan hukum manakah yang harus dibuktikan
agar penegakan hukum dapat dilaksanakan secara benar? Untuk
itu, pertanyaan-pertanyaan yang dapat dikemukakan, diantaranya:
- Elemen-elemen apa saja yang dapat membuktikan keberlakukan
aturan hukum yang dijadikan sebagai batu uji?
Argumentasi Hukum 117

- Adakah faktor-faktor sosial kemasyarakatan yang dapat


dijadikan sebagai bahan pertimbangan?
- Apa saja pengecualian bagi pemberlakuan aturan hukum
tersebut?
- Keluarga sistem hukum (family of legal sistem) yang manakah
yang akan menjadi sumber dari aturan hukum tersebut? Apakah
bersumber dari yurisprudensi, peraturan perundang-undangan
atau yang lain?
- Adakah kebijakan publik, freiz ermessen dan sebagainya yang
menjadi dasar di balik aturan hukum yang diterapkan tersebut?
Namun, yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah,
jangan terlalu fokus dan terpaku terhadap aspek legal formal atau
aturan hukum saja. Sekalipun aturan hukum harus ditegakkan,
sesungguhnya seni dari Legal Opinion ini dalam praktiknya
terletak pada kemampuan praktisi hukum yang bersangkutan
dalam membuat analisis hukum atu dapat dikatakan sebagai tolak
ukur ketajaman berpikir hukumnya.
3. Analysis: apakah aturan-aturan hukum tersebut dapat diterapkan
terhadap fakta-fakta khusus dari isu hukum tersebut?
Berikutnya, langkah ketiga dalam formula IRAC adalah
Analysis. Perlu dipahami sebelumnya bahwa seni berpraktik hukum
sejatinya terletak pada kemampuan praktisi hukum untuk membuat
analisis hukum. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana dan
apa yang harus dilakukan untuk membentuk analisis hukum itu?
Jawaban sederhana yang dapat penulis berikan untuk menjawab
pertanyaan tersebut adalah “Untuk membentuk analisis hukum,
bandingkan dan cermatilah fakta hukum yang anda temukan
dengan aturan hukum yang anda terapkan”
Kesalahan terbesar yang sering terjadi yaitu terdapat
kecenderungan untuk hanya menyoroti permasalahan atau isu
hukumnya saja kemudian mengutip aturan-aturan hukum yang
hendak diterapkan, tanpa membuat atau melakukan analisis sama
sekali. Padahal, yang terpenting bukanlah sekedar menemukan
hukumnya saja, melainkan juga menerapkan aturan hukum
tersebut terhadap serangkaian fakta atau keadaan yang dijumpai.
Analisis merupakan bagian terpenting dari formula IRAC, karena
di sinilah terjadi proses berpikir atau penalaran (reasoning) yang
sesungguhnya.
118 Argumentasi Hukum

Mengingat begitu pentingnya elemen analisis ini, maka berikut


ini beberapa pertanyaan panduan yang dapat membantu dalam
menganalisis suatu perkara, diantaranya:
- Fakta hukum apakah yang dapat membantu membuktikan
dengan tepat penerapan suatu aturan hukum?
- Mengapa suatu fakta hukum dianggap relevan?
- Bagaimana fakta hukum tersebut dianggap memenuhi unsur-
unsur dari suatu aturan hukum?
- Jenis-jenis fakta hukum apa saja yang dapat diterapkan
terhadap aturan hukum tersebut?
- Adakah argumentasi yang bertolak belakang untuk mendapatka
solusi lain?
Dari pertanyaan-pertanyaan hukum di atas diharapkan dapat
diperoleh jawaban analisis hukum yang tepat.

4. Conclusion: bagaimana simpulan atas pendapat hukum yang


disusun?
Berikutnya, langkah terakhir atau langkah keempat dari
formula IRAC adalah Conclusion atau simpulan. Dengan membuat
simpulan berarti seseorang telah mengambil sikap berdasarkan
hasil analisis yang telah dibuatnya. Dengan kata lain, “berangkat
dari analisis, kita akan sampai pada simpulan, misalnya simpulan
bahwa aturan hukum yang digunakan dapat diterapkan terhadap
fakta-fakta hukum yang ada dalam setiap permohonan”
Simpulan merupakan bagian terpendek dari rangkaian langkah-
langkah dalam formula IRAC. Simpulan dapat berupa kalimat
sederhana “ya” atau “tidak”, atau kalimat yang menyatakan apakah
aturan hukum tertentu dapat diterapkan terhadap serangkaian fakta
hukum tertentu pula (bisa dalam bentuk rekomendasi hukum).
Rekomendasi hukum disini apabila kita mengaitkan suatu legal
opinion yang dibuat oleh seorang pengacara untuk kliennya dapat
berupa rekomendasi untuk tetap mengajukan gugatan atau tidak,
sekalipun mengajukan gugatan, gugatan seperti apa dan bagaimana
untuk melakukannya.
Kesalahan yang sering terjadi adalah membuat simpulan tanpa
memberikan landasan atau dasar yang kuat bagi pendapat yang
dituangkan dalam simpulan tersebut. Dengan kata lain, praktisi
Argumentasi Hukum 119

hukum atau hakim hanya sekedar menyoroti suatu isu hukum,


menyebutkan aturan hukum yang diterapkan sebagai batu uji
hukumnya dan kemudian membuat simpulan tanpa memberikan
analisis yang memadai dan baik. Pastikan bahwa apa pun sikap
yang diambil, seorang praktisi hukum harus selalu menyertakan
landasan atau dasar yang kuat dalam analisisnya.
120 Argumentasi Hukum

Contoh Sistematika Penulisan Legal Opinion:

PENDAPAT HUKUM (LEGAL OPINION)


TENTANG POLEMIK PELAKSANAAN PILKADA DI TENGAH
PANDEMI

I. FAKTA HUKUM
Berikut ini adalah kronologi yang menyajikan uraian mengenai polemik
pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi:

Memuat fakta hukum dari kasus yang sedang dianalisis berupa data/
fakta yang valid, setelah sebelumnya telah dilakukan penyeleksian
terhadap fakta yang ada sebagai fakta hukum atau bukan fakta hukum.

II. ISU HUKUM


Dalam Legal Opinion ini, terdapat dua isu hukum yang akan dibahas,
yaitu:

Memuat pertanyaan-pertanyaan hukum yang harus dijawab


berdasarkan fakta hukum yang ada. Disusun dalam rangka untuk
mengatur pembuatan analisis, sehingga harus memberikan fokus dan
arah analisis hukum.

III. DASAR HUKUM


Dasar hukum yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini
antara lain:

Memuat aturan-aturan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip-prinsip


hukum, dan digunakan sebagai dasar hukum untuk memecahkan
pertanyaan-pertanyaan hukum. Disusun dalam bentuk poin-poin
dengan menggunakan angka.

IV. ANALISIS
Memuat jawaban-jawaban beserta analisis yang harus dijawab
berdasarkan fakta hukum, sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
telah dirumuskan pada bagian isu hukum.
Argumentasi Hukum 121

Memuat setiap kemungkinan peristiwa yang terjadi dan harus


dirumuskan secara terperinci. Analisis dapat dilengkapi dengan sumber-
sumber hukum lain seperti doktrin dan/atau putusan pengadilan.

V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Memuat kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban langsung dan
bersifat final dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan.
B. Saran
Berdasarkan pendapat hukum ini, beberapa saran yang dapat
diberikan adalah:

(Memuat beberapa rekomendasi/saran berdasarkan analisis yang


telah dilakukan)

Disusun oleh,
Nama Penyusun LO
Kapasitas Penyusun LO (Akademisi/Advokat/dsb)

Contoh tersebut adalah template sederhana dari sebuah Legal Opinion yang
dapat dijadikan panduan bagi yang sedang belajar menyusun Legal Opinion.
Pada praktiknya, format ataupun template LO bersifat fleksibel atau berkembang
sesuai dengan gaya penulisan. Namun demikian, struktur pokok dalam LO
(sebagaimana dibahas sebelumnya) merupakan bagian minimal yang harus
muncul dalam suatu Legal Opinion.
122 Argumentasi Hukum

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan. (Surabaya: Bina Ilmu
Offset, 2008).
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis.
(Cet. I, Jakarta: Chandra Pratama, 1996).
Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het
Nederlandse Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959)
Asikin, Zainal. Pengantar Ilmu Hukum. (Rajawali Press, 2012).
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2012).
Bernard, L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage. Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogjakarta:
Genta Publishing, 2010).
Darnodihardjo, Dariji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”.
(Solo: Khafilah Publishing, 2018).
Fitzpatrick, Peter, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum. (Bandung: Tp., 2003).
Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Jakarta: Bhratara, 1996).
Hadjon, Philipus M. Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal
Reasoning). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir.
(Malang: UB Press, 2011).
Ibrahim, John. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang:
Bayumedia, 2011).
J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta.
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999).
Argumentasi Hukum 123

Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law. An Introduction to


Jurisprudence. (Westview Press, Inc., 1990).
Mertokusumo, Sudikno. Pendidikan Hukum di Indonesia Dalam Sorotan,
dalam Sidharta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks
Keindonesiaan, (Bandung: C.V. Utomo, 2006).
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. (Yogyakarta:
Liberty, 2008).
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan 1.
(Yogyakarta: Liberty, 1996).
Mundiri. Logika. Cetakan ke-19. (Depok: Rajawali Press, 2017).
N.K Denzin dan Y. S. Lincoln (eds). Handbook of Qualitative Research.
(London: Sage Publication, Inc, 1994).
Parwata, Anak Agung Gede Oka, dkk. Buku Ajar Memahami Hukum dan
Kebudayaan. (Tabanan: Pustaka Ekspresi, 2016).
R, Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012).
Rasyidi, Lily. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. (Bandung, 1984).
Rohman, Arif. Epistemologi dan Logika (Filsafat untuk Pengembangan
Pendidikan). (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014).
Salman, Otje Salman. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah.
(Bandung: Reflika Aditama, 2010).
Samekto, Adji. Justice for All. Cet 1. (Yogyakarta: Genta Press, 2008).
Samekto, FX Adji. Studi Hukum Kritis: Kritik Terhadap Hukum Modern.
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
Sharon Hanson (ed), Legal method, Skills and Reasoning, (Milton Park-
Abingdon_Oxon: Routledge-Cavendish, 2010).
Soekadijo, R. G. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Cetakan
ke-9, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Surajiyo, Sugeng Astanto, dkk. Dasar-Dasar Logika. (Jakarta: Bumi Aksara,
2012).
124 Argumentasi Hukum

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Bumi


Aksara, 2008).
Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum. (Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2006).
Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Indeks.
(Jakarta).
Wahan, Paulus. Filsafat Pancasila. (Yogyakarta: Kanisius, 1993).
Jurnal:
C, Nuryanto. “Penegakan Hukum oleh Hakim dalam Putusannya antara
Kepastian Hukum dan Keadilan”. Jurnal Hukum Khaira Ummah. Vol
13. No. 1. 2018..
Daliman, A. “Pendidikan Humaniora dalam Rangka Pembaharuan Sistem
Pendidikan Nasional”. Cakrawala Pendidikan: Jurnal Ilmiah
Pendidikan. Vol. 3, No. 3. Tahun 1983.
Hadisuprapto, Paulus. “Pendapat Hukum (Legal Opinion)”. Hlm. 3-4 (Makalah
disajikan sebagai Materi Kuliah “Legal Opinion” pada Pendidikan
Khusus Profesi Advokat, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 11 Maret 2007)
Hadjon, Philipus M. dalam Titik Triwulan Tutik. “Hakikat Keilmuan Ilmu
Hukum Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”.
Jurnal MIMBAR HUKUM. Vol 24. No. 3. Oktober 2012.
Halper, Thomas. “Logic in Judicial Reasoning”, Indiana Law Journal, Vol.44,
Iss. 1, article 2. 1968.
Helmi, Muhammad. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Berdasarkan Paradigma
Konstruktivisme”. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 22, No. 1. (April, 2020).
Manan, Abdul. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara
Di Peradilan Agama”, Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol 2. No. 2. Juli
2013.
Nadir. “Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies: Sebuah
Paradigma Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi
Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal Yustitia. Vol 20. No 2. 2019.
Peter Nash Swisher, “Teaching Legal Reasoning in Law School: the University
of Richmond Experience”. 1981.
Argumentasi Hukum 125

Priyono, Ery Agus dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai
Sumber Hukum”. Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020.
Putro, Widodo Dwi & Herlambang P. Wiratraman. “Penelitian Hukum: Antara
yang Normatif dan Empiris”. Digest Epistema Vol. 5. 2015.
Ross, Mary Massaron. “A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal”. 2006.
Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari
Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020.
Sinha, Surya Prakash. “Jurisprudence. Legal Philosophy in a Nutshell”. (West
Publishing Co, St. Paul, Minn., 1993).
Suraputra, Sidik. “Pendapat Hukum Dalam Transaksi Komersial”. Jurnal
Hukum dan Pembangunan. Vol 35. No 2, 2005.
Weruin, Urbanus Ura. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum (Logic,
Reasoning and Legal Argumentation).” Jurnal Konstitusi. Vol 14. No
2, 2017.
Website:
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.
id/nalar-2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.
id/dilema
R. Ruslan H. “Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim Dalam
Berpendapat”. Diakses dari http://www.pta-bengkulu.go.id/images/
file_pdf/argumentasi%20hukum%20sebagai%20strategi%20
dalam%20berpendapat.pdf
Rasyidi, Lili dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”.
diakses dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id.
Sanusi, M. Arsyad. Legal Reasoning Dlam Penafsiran Konstitusi. Dalam artikel
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/legal-reasoning-
dalam-penafsiran-konstitusi/
Sidharta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna
dan Penggunaannya. (Jakarta: Binus University,2018) https://business-
law.binus.ac.id/2018/03/03/lex-specialis-derogat-legi-generali/. 3
Maret 2018. (Diakses 02 Februari 2021).
126 Argumentasi Hukum
Sumber Lainnya:
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 1999.
Indarti, Erlyn. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan
Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang. 2015.
Indarti, Erlyn. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi
S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 2015.
Indarti, Erlyn. Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik
tentang Dinamika Penyusunan RUU KUHP. Disampaikan dalam
Webinar IKA FH Undip, 23 Januari 2021.
Sulistyawan, Aditya Yuli. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah
Argumentasi Hukum. Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang. 2019.
Sumbu, Telly, dkk. Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratulangi Manado. 2016
Wignjosoebroto dalam Shidarta, disampaikan dalam Perkuliahan Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. November
2014.
Wirawan, I Ketut. Pengantar Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum
Universitas Udayana. 2016.

Anda mungkin juga menyukai