ARGUMENTASI HUKUM
ISBN : 978-602-0896-64-9
Penerbit Yoga Pratama
Jl. Puspowarno Selatan No. 53 Semarang 50143 Telp. 024-7625016, 7615670
Fax. 024-7625016
e-mail : yogapratama_014@yahoo.co.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah, Tuhan pencipta semesta dan seisinya
yang maha segalanya, telah senantiasa memberikan rahmat yang tak terhingga,
sehingga di tengah aktivitas Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berbagai
kewajiban publikasi jurnal ilmiah, penulis dapat menyelesaikan penulisan
buku dengan judul Argumentasi Hukum ini untuk hadir di tangan para pembaca
sekalian.
Sebagai akademisi yang berkecimpung dalam ilmu hukum, filsafat
hukum, dan juga mengajar pada mata kuliah Argumentasi Hukum, penulis
merasa perlu untuk menulis buku Argumentasi Hukum ini, karena keterbatasan
literatur buku tentang Argumentasi Hukum di Indonesia yang dapat dijadikan
pegangan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Padahal keberadaan pilihan
literatur tema ini penting bagi mereka untuk menelusuri seluk beluk argumentasi
hukum, berikut cara bagaimana mempelajarinya sebagai keterampilan bagi
mereka sebagai seorang pemikir hukum yang baik. Oleh karena itu, penulis
menyelesaikan buku ini sebagai upaya penulis menghadirkan buku literatur
yang baik di tengah keterbatasan referensi tentang tema ini.
Kehadiran buku ini dalam edisi pertama pasti tidaklah bisa disebut
sempurna dalam penyusunannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan
masukan dari para pemikir hukum dan pembaca sekalian untuk menyempurnakan
substansi buku ini di kemudian hari.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca
sekalian, sekaligus menyampaikan harapan semoga buku ini dapat bermanfaat
bagi kita semua. Lebih khusus, semoga buku ini dapat menjadi pegangan para
mahasiswa fakultas hukum di Indonesia untuk menjadi calon akademisi dan
praktisi hukum yang handal dan memiliki kemampuan argumentasi hukum
yang mumpuni.
Penulis
iv Argumentasi Hukum
Argumentasi Hukum v
DAFTAR ISI
BAB I
HUKUM DALAM POSISI KEILMUAN:
LANDASAN AWAL MEMBANGUN
PEMAHAMAN HUKUM
1 Dani Vardiansyah. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Indeks. (Jakarta). Hlm. 11.
Argumentasi Hukum 3
dan aksiologi ilmu. Perngertian ilmu dibatasi pada cabang natural science
murni (an-sich) dan pengertian epistemologi ilmu juga dipagari sebatas metode
eksperimental belaka, sehingga cabang ilmu yang tidak berobyek benda
alam dan tidak menggunakan metode eksperimental dianggap bukan sains.
Keadaan ini telah mengakibatkan terputusnya sains dari perspektif global dan
aksiologinya. Maka “sains menjadi bidang pengetahuan yang eksklusif dan
tidak memberikan manfaat apapun terhadap lingkungannya” kata Lili Rasjidi.2
Konsekuensi dari keadaan ini digambarkan sebagai:3
“Mengaburnya status saintifik cabang ilmu yang berobyek bukan benda
alam adalah influensi yang paling menonjol dari filfasat Cartes secara
paradoksal: Pertama, timbulnya sikap pengingkaran terhadap status
saintifik ilmu-ilmu non-alamiah di kalangan ahli-ahli ilmu alam. Sikap
ini berjalan seiring dengan sikap kultus – subjektif terhadap ilmu alam
dengan asumsi bahwa ilmu alamlah satu-satunya ilmu yang berhak
menyandang status kesaintifikan karena obyek dan metodenya. Kedua,
timbulnya reaksi yang kuat dari kalangan ilmuwan kemanusiaan
untuk membuktikan sifat saintifik dari cabang ilmu mereka. Reaksi
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu: mereka yang
membuktikan dengan cara menggunakan metode-metode otonom yang
sesuai dengan obyek ilmunya dan mereka yang membuktikan dengan
cara menerapkan metode ilmu alamiah ke dalam ilmu kemanusiaan.
Dari sinilah kemudian terlihat upaya menerapkan cara berlakunya
ilmu alam ke dalam ilmu hukum. Saintifikasi ilmu hukum terjadi dan
membawa pengaruh besar dalam pengembangan keilmuannya. Hingga saat ini,
kelompok yang berpandangan demikian tetap eksis dan memiliki penganutnya.
Demikianlah penempatan ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu alam dalam
kelompok ini dapat dijelaskan.
2. Ilmu Hukum sebagai Bagian dari Ilmu Sosial (?)
Ilmu hukum sebagai bagian dari ilmu sosial menitikberatkan objek
kajiannya pada masyarakat yang kita pahami sebagai suatu sistem sosial,
sehingga memiliki banyak segi. Oleh karenanya, tidak tepat jika hukum hanya
dipahami sebagai satu bentuk peraturan perundang-undangan saja. Lebih dari
itu, hukum musti dilihat dari ilmu sosialnya adalah suatu gejala sosial yang
nyata lahir dari realita dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dilihat sebagai
suatu gejala yang nyata merupakan perwujudan dari kebutuhan masyarakat
2 Lili Rasyidi dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”. diakses
dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id.
3 Ibid.
4 Argumentasi Hukum
Tabel 1.
Perbandingan Ilmu Hukum Empirik dan Ilmu Hukum Normatif
Ilmu Hukum Empirik Ilmu Hukum Normatif
Hubungan Dasar Subjek - objek Subjek - subjek
Sikap Ilmuwan Penonton (toeschouwer) Partisipan (doelnemer)
Perspektif Ekstern Intern
Teori Kebenaran Korespondensi Pragmatik
Proposisi Hanya informatif atau empiris Normatif dan evaluatif
Metode Hanya metode yg bisa diamati Juga metode lain
panca-indra
Moral Non kognitif kognitif
Hubungan antar Pemisahan tegas Tidak ada pemisahan
moral dan hukum
Ilmu Hanya sosiologi hukum empiris Ilmu hukum dalam arti luas
dan teori hukum empiris
Perbedaan antara ilmu hukum empiris dan ilmu hukum normatif menurut
D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat ilmu hukum empiris, antara lain:10
a) secara tegas membedakan fakta dan norma;
b) gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
c) metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris; dan
d) bebas nilai.
Implikasi dari perbedaan mendasar antara ilmu hukum normatif dan ilmu
hukum empirik adalah: Pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam
ilmu hukum empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-
gejala obyeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindra, sedangkan dalam ilmu
hukum normatif, yuris secara aktif menganalisis norma sehingga peranan
subyek sangat menonjol. Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu
hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar
karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya
adalah konsensus sejawat sekeahlian.11
9 J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta. (Bandung:
Citra Aditya Bhakti, 1999). Hlm. 189.
10 Philipus M. Hadjon dalam Titik Triwulan Tutik. “Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum
Ditinjau dari Sudut Filsafat Ilmu dan Teori Ilmu Hukum”. Jurnal MIMBAR HUKUM.Vol 24. No.
3. Oktober 2012. Hlm. 450.
11 Ibid.
10 Argumentasi Hukum
FILSAFAT HUKUM
TEORI HUKUM
DOGMATIK
HUKUM
PRAKTIK HUKUM
15 Bernard Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. (Bandung: Mandar
Maju, 2000). Hlm. 119.
16 Philipus M. Hadjon. “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif)”. Yuridika Jurnal
Hukum. No. 6 Tahun IX. November-Desember 1994. Hlm. 4.
17 Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari
Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”. Undang:
Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020. Hlm. 456.
Argumentasi Hukum 13
sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam
kenyataan masyarakat.18 Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang
sifatnya interdisipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi
analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis
dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif. Sifat interdisipliner
dapat terjadi melalui dua cara: Pertama, menggunakan hasil disiplin lain untuk
eksplanasi hukum; Kedua, dengan metode sendiri meneliti bidang-bidang
seperti: sejarah hukum, sosiologi hukum dan lainnya.19 Pada lapisan teori
[ilmu] hukum ditekankan tentang objek telaah berupa tatanan hukum
positif sebagai sistem.20 Teori [ilmu] hukum ini membahas tentang ajaran
hukum (analisis pengertian hukum; analisis asas-kaidah, figur (pranata), dan
sistem hukum; analisis konsep-konsep yuridis; dan hubungan antar-konsep
yuridis). Juga dibahas tentang hubungan hukum dan logika (analisis teori
argumentasi yuridis dan logika deontik).21
Selanjutnya, dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti
sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. D.H.M. Meuwissen (1979),22
memberikan batasan pengertian dogmatik hukum sebagai memaparkan,
menganalisis, mensistematisasi dan menginterpretasi hukum yang berlaku
atau hukum positif. Berbeda dengan M. van Hoecke (1982)23, mendefinisikan
dogmatik hukum se- bagai cabang ilmu hukum (dalam arti luas) yang
memaparkan dan mensistematisasi hukum positif yang berlaku dalam suatu
masyarakat tertentu dan pada suatu waktu tertentu dari suatu sudut pandang
normatif.
Berdasarkan definisi tersebut, tujuan dogmatik hukum bekerja tidak
hanya secara teoritis, dengan memberikan pemahaman dalam sistem hukum,
tetapi juga secara praktis. Dengan kata lain, ia berkenaan dengan suatu masalah
tertentu, menawarkan alternatif penyelesaian yuridik yang mungkin. Hal itu
menyebabkan bahwa dogmatik hukum bekerja dari sudut perspektif internal,
yaitu menghendaki dan memposisikan diri sebagai partisipan yang ikut
berbicara (peserta aktif secara langsung) dalam diskusi yuridik terhadap hukum
positif.24
Dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum pada akhirnya
harus diarahkan kepada praktik hukum. Praktik hukum menyangkut 2 (dua)
18 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 122.
19 Philipus M. Hadjon. Op. Cit., Hlm. 3.
20 Sidharta. Op. Cit., Hlm. 170-176.
21 Shidarta, Loc. Cit.
22 J.J.H. Bruggink (Terj. Bernard Arief Sidharta). Op. Cit., Hlm. 169.
23 Ibid.
24 Titik Triwulan Tutik. Op.Cit., Hlm. 453.
14 Argumentasi Hukum
aspek utama, yaitu pembentukan hukum dan penerapan hukum. Sementara itu,
menurut Erlyn Indarti, praktik hukum merupakan pelaksanaan atau penerapan
tentang metoda yang dipilih dan bersifat aplikatif/teknis.25
Melalui lapisan-lapisan yang terbaca dalam telaah filsafat hukum
[dalam arti luas] ini, terlihat dengan baik rentang hubungan filsafat, teori,
ilmu, dan praktik hukum yang selama ini tercerai satu sama lain. Publik sering
mendikotomikan hubungan antara teori dan praktik, bahkan memisahkannya
seolah tidak ada relasinya, sementara di sisi lain publik sering juga memisahkan
antara ilmu dan filsafat, seolah ilmu bisa hadir tanpa filsafatnya. Namun melalui
filsafat hukum dalam arti luas (philosophy of law), keempat lapisan ini dapat
duduk dengan baik di posisinya sekaligus menunjukkan relasinya satu sama
lain secara tepat.
25 Erlyn Indarti. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi S1
Hukum Fakultas Hukum Undip Semarang. 2015. Hlm. 10.
Argumentasi Hukum 15
BAB II
ARGUMENTASI HUKUM, LOGIKA, DAN
PENALARAN
mitos yang hidup dan terpelihara merupakan salah satu contoh nyata
cara berpikir non penalaran dalam meyakini kebenaran.
Lebih lanjut menelisik pengertian penalaran sebagai metode dalam
menemukan kebenaran, maka perlu dilihat makna penalaran secara etimologis,
yaitu berasal dari kata “nalar”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan
“nalar” sebagai:26
a. Pertimbangan tentang benar, salah dan sebagainya: akal budi; misalnya:
setiap keputusan harus didasarkan nalar yang sehat.
b. Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir yang logis;
jangkauan pikir dan kekuatan pikir.
Sedangkan “penalaran” diartikan sebagai:27
a. cara (perihal) menggunakan nalar; pemikiran atau cara berpikir logis;
jangkauan pemikiran;
b. hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan
bukan dengan perasaan atau pengalaman;
c. proses mental dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau
prinsip.
2. Pernyataan (proposisi/statement)
Pernyataan atau proposisi merupakan rangkaian beberapa pengertian/
konsep/terma menjadi suatu kalimat. Contoh dari suatu pernyataan
atau proposisi adalah: sebagian anak laki-laki menyukai permainan
sepakbola; semua ibu menyayangi anaknya. Dua kalimat tersebut
adalah contoh pernyataan, dimana setiap pernyataan terdiri dari
beberapa pengertian/konsep yang membentuk makna pemikiran baru.
3. Penalaran (reasoning)
Penalaran merupakan bentuk yang lebih rumit dari pemikiran manusia
yang merupakan gabungan dari semua bentuk pemikiran, baik
pengertian ataupun pernyataan. Bentuk pemikiran ini memerlukan
proses berpikir karena harus diolah-nalarnya oleh akal manusia
untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat diterima. Dengan
demikian, penalaran merupakan hasil kerja akal dalam menemukan
suatu kebenaran pemikiran.
Contoh :
• “Aktivis mahasiswa”
3. Terma Tengah
Terma yang diperoleh sebagai subyek dalam premis mayor dan premis
minor tetapi tidak lagi didapati dalam kalimat konklusi. Terma tengah
memiliki kode terma berupa ‘M’ (Medium).
Contoh :
• “Semua manusia hidup”
Dalam pembahasan selanjutnya, untuk dapat dipahami penulis akan
memakai kode ‘P’ (predikat) untuk terma mayor dan kode ‘S’ (subyek) untuk
terma minor.
1. Penalaran Deduktif (Silogisme)
Penalaran hukum memperlihatkan hubungan yang erat antara logika
dan hukum. Bisa dikatakan bahwa logika menjadi landasan berpikir utama
bagi orang hukum. Dalam penyelesaian sebuah permasalahan hukum, seorang
praktisi hukum sudah seharusnya mampu menarik kesimpulan secara valid
dengan menerapkan pola pikir serta memahami prinsip, aturan, data, fakta dan
proposisi hukum.
Kesimpulan yang diambil berdasarkan proses penalaran oleh seorang
penegak hukum terhadap suatu permasalahan hukum diibaratkan sebagai obat
yang diracik oleh seorang dokter. Apabila dalam mengambil kesimpulan terhadap
suatu penyakit pasien melalui berbagai proses diagnosa tidak tepat, maka obat
yang diberikan pun tidaklah tepat. Hal tersebut tidaklah menyembuhkan pasien
bahkan justru semakin memperparah kondisi pasien. Begitupun dengan orang
hukum, apabila kesimpulan/argumen yang dilakukan tidaklah tepat, hal tersebut
akan berdampak pada tidak selesainya suatu perkara, bahkan akan semakin
mencederai nilai hukum yang seharusnya ditegakkan dalam perkara tersebut.
Syarat Diterimanya Kebenaran Silogisme
Suatu penarikan kesimpulan berdasarkan proses penalaran dapat
diterima kebenarannya apabila memenuhi dua unsur, yaitu absah dan
benar. Keabsahan (valid) diperoleh apabila penarikan kesimpulan dilakukan
berdasarkan prosedur penyimpulan yang sesuai dengan patokan/aturan.
Sedangkan kebenaran berkaitan dengan suatu pernyataan yang didukung
dengan fakta, jika sesuai fakta ia adalah benar, jika tidak ia adalah salah.
Sehingga hanya konklusi dari premis yang benar dan prosedur yang valid itu
yang di akui. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami suatu
keabsahan dan kebenaran dalam suatu penalaran, yaitu:
Argumentasi Hukum 23
Seperti yang telah disinggung diawal bahwa salah satu bentuk dasar
penalaran deduksi adalah silogisme. Dapat dipahamkan bahwa silogisme adalah
proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai
premis untuk sampai pada konklusi berupa proposisi universal, partikular
atau singular. Dalam perkembangannya, dikenal beberapa macam silogisme,
diantaranya:
1.1. Silogisme Kategorik
Silogisme kategorik adalah silogisme yang semua proposisinya
merupakan proposisi kategorik. Suatu konklusi lahir dari sebuah premis mayor
yang merupakan proposisi universal dan premis minor yang tidak selalu
partikular (sebagian) atau singular (tunggal), tetapi yang terpenting harus
menjadi pernyataan yang tercakup kepada premis mayornya.
Contoh:
Premis Mayor : Semua manusia tidak lepas dari kesalahan.
Premis Minor : Semua cendekiawan adalah manusia.
Premis mayor sebagai proposisi universal, ditandai dengan kuantifier
“semua” yang menegaskan sifat berlaku bagi manusia secara menyeluruh.
Premis minor, meskipun merupakan pernyataan universal tetapi berada dibawah
aturan pernyataan pertama atau ruang lingkup lebih sempit dari pernyataan
pertama. Sehingga diperoleh kesimpulan:
Konklusi : Semua cendekiawan tidak lepas dari kesalahan.
a. Hukum-Hukum Silogisme Kategorik
1. Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular
juga.
Contoh:
Premis Mayor : Semua yang halal dimakan menyehatkan
Premis Minor : Sebagian makanan tidak halal
Konklusi : Sebagian makanan tidak menyehatkan
(kata “sebagian” menunjukkan sifat partikular)
2. Apabila satu premis negatif, kesimpulan harus negatif.
Contoh:
Premis Mayor : Semua mahasiswa terdidik
Premis Minor : Sebagian manusia tidak terdidik
Konklusi : Sebagian manusia bukan mahasiswa
3. Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah (valid)
diambil kesimpulan. Contoh:
Premis Mayor : Beberapa orang kaya adalah kikir
Argumentasi Hukum 25
Contoh:
Premis Mayor : Bulan itu bersinar di langit
Premis Minor : Januari adalah bulan
Konklusi : Januari itu bersinar di langit
Konklusi yang dihasilkan salah, karena terma baik di premis
mayor maupun premis minor memiliki makna yang berbeda.
Makna ‘bulan’ dalam premis mayor bermakna benda luar angkasa,
sedangkan makna ‘bulan’ dalam premis minor bermakna atau
berkaitan dengan kalendar.
8. Silogisme harus terdiri dari tiga terna, terma subyek (S), terma
predikat (P) dan terma tengah (M). tidak lebih dan tidak kurang.
Karena jika lebih atau kurang dari tiga terma, perbandingan tidak
dapat dilakukan dan tidak bisa ditarik kesimpulan.
b. Sifat Proposisi
Dalam sebuah proposisi terdapat dua sifat dalam pembentukan
suatu pernyataan itu sendiri. Kedua sifat tersebut adalah Affirmatio dan
Nego. Affirmatio adalah ketika suatu proposisi saling ‘mengiyakan’,
menyetujui dan/atau mendukung proposisi lainnya. Kode Affirmatio
adalah A dan I. Sedangkan, Nego adalah ketika suatu proposisi
‘menidakkan’, mengelakkan dan/atau tidak menyetujui proposisi
lainnya. Kode Nego adalah E dan O.
Kedua kata ini (affirmatio dan nego) digunakan untuk
menyatakan apakah dalam setiap premis suatu terma ‘M’ atau ‘S’ itu
memang benar terbilang ke dalam kelas terma ‘P’.
Pernyataan positif : M = P atau S = P → A
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → E
c. Cara Menentukan Kode Sifat Proposisi
1. Proposisi Universal (semua/tidak semua)
Pernyataan positif : M = P atau S = P → A
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → E
2. Proposisi partikular (sebagian, beberapa atau kata lain yang
menyatakan tidak semua) atau singular (individu atau langsung
menyebut nama/identitas).
Pernyataan positif : M = P atau S = P → I
Pernyataan negatif : M ≠ P atau S ≠ P → O
Dibawah ini penulis akan memberikan beberapa contoh penerapan
dari sifat proposisi baik universal maupun partikular/singular.
Argumentasi Hukum 27
Contoh 1:
Premis Mayor : Tidak semua usulan masyarakat serta merta
menjadi kebijakan pemerintah.
Premis Minor : Semua yang dibahas dalam rapat gerakan anti
korupsi merupakan usulan masyarakat.
Konklusi : Tidak semua dibahas dalam rapat gerakan anti
korupsi serta merta menjadi kebijakan pemerintah.
Sifat Proposisi : EIO
Contoh 2:
Premis Mayor : Semua pejabat negara seharusnya menyerahkan
daftar kekayaan pada KPKPN.
Premis Minor : Beberapa menteri kabinet SBY yang tidak mau
diaudit merupakan pejabat negara.
Konklusi : Maka, beberapa menteri kabinet SBY yang tidak
mau diaudit seharusnya menyerahkan daftar
kekayaan pada KPKPN.
Sifat Proposisi : AOO
Contoh 3:
Premis Mayor : Semua anggota DPR yang tahu kode etik harus
bekerja tanpa mau disuap uang oleh siapapun.
Premis Minor : Marzuki Ali sebagai pimpinan adalah anggota
DPR yang tahu kode etik.
Konklusi : Oleh sebab itu, Marzuki Ali sebagai pimpinan
harus bekerja tanpa mau disuap uang oleh
siapapun.
Sifat proposisi : AII
d. Bentuk-Bentuk Silogisme Kategorik
Bentuk silogisme dibedakan berdasarkan letak terma tengah
“M” dalam premis, baik premis mayor maupun premis minor. Ada
empat macam bentuk silogisme, diantaranya:
1. Figur I : Sub Pre Prima
Premis Mayor : (M) (P)
Premis Minor : (S) (M)
Konklusi : (S) (P)
Terma tengah (M) menjadi subjek pada premis mayor dan menjadi
predikat pada premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk
ini adalah:
- Premis mayor harus universal
- Premis minor harus afirmatif
28 Argumentasi Hukum
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAA, EAE, AII, EIO.
(Barbara, Celarent, Darii, Ferio).
Contoh:
Premis Mayor : Semua yang dilarang Tuhan mengandung
bahaya. (A)
Premis Minor : Mencuri adalah dilarang Tuhan (I)
Konklusi : Mencuri adalah mengandung bahaya (I)
2. Figure II : Pre Pre Secunda
Premis Mayor : (P) (M)
Premis Minor : (S) (M)
Konklusi : (S) (P)
Medium menjadi predikat baik pada premis mayor maupun
premis minor. Ketentuan khusus bagi bentuk-bentuk dalam figure
ini adalah:
- Premis mayor harus universal.
- Premis minor kualitasnya harus berbeda dengan premis
mayornya.
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: EAE, AEE, EIO, AOO.
(Cecare, Camestres, Festino, Baroco).
Contoh:
Premis Mayor : Semua tumbuhan membutuhkan air (A)
Premis Minor : Tidak satu pun benda mati membutuhkan air
(O)
Konklusi : Jadi, tidak satu pun benda mati adalah
tumbuhan (O)
3. Figur III : Sub Sub Tertia
Premis Mayor : (M) (P)
Premis Minor : (M) (S)
Konklusi : (S) (P)
Medium menjadi subjek pada premis mayor maupun premis
minor. Peraturan khususnya adalah:
- Premis minor harus afirmatif.
- Konklusi harus particular.
Bentuk yang sah dari figure ini adalah: AAI, AII, IAI, EAO, OAO,
EIO. (Darapti, Datisi, Disamis, Felapton, Bocardo, Ferison).
Contoh:
Argumentasi Hukum 29
pernyataan/kalimat baru diluar itu. Tergantung oleh bagian yang diakui atau
dipungkiri dari premis minornya.
a. Macam-Macam Silogisme Hipotetik
1. Silogisme yang premis minornya mengakui bagian antecedent.
Contoh:
Premis Mayor : Jika hujan, saya naik becak.
Premis Minor : Sekarang hujan.
Konklusi : Jadi, saya naik becak
2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian
konsekuensinya. Contoh:
Premis Mayor : Bila hujan, bumi akan basah.
Premis Minor : Sekarang bumi telah basah.
Konklusi : Jadi, hujan telah turun.
3. Silogisme yang premis minornya mengingkari antecendent.
Contoh:
Premis Mayor : Jika politik pemerintahan dilaksanakan
dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul.
Premis Minor : Politik pemerintahan tidak dilaksanakan
dengan paksa.
Konklusi : Jadi, kegelisahan tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian
konsekuennya.
Contoh:
Premis Mayor : Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak
penguasa akan gelisah.
Premis Minor : Pihak penguasa tidak gelisah.
Konklusi : Jadi mahasiswa tidak turun ke jalan.
b. Hukum-Hukum Silogisme Hipotetik
Untuk memudahkan pemahaman, penulis akan melambangkan
antecedent dengan A dan Konsekuen dengan B. Kebenaran suatu
silogisme hipotetik harus dijelaskan dengan penyelidikan. Maka,
hukum-hukum silogisme hipotetik diantaranya:
1) Apabila A terlaksana maka B juga terlaksana.
Contoh:
Premis Mayor : Bila terjadi peperangan harga bahan makanan
membumbung tinggi.
Premis Minor : Peperangan terjadi.
Konklusi : Jadi, harga bahan makanan membumbung
tinggi.
Argumentasi Hukum 31
1.4. Dilema
Hampir semua orang pernah merasakan dilema dalam hidupnya.
Mulai dari remaja sampai orangtua pernah merasakannya. Ketika seseorang
telah dewasa, biasanya yang menjadi dilema adalah seputar masalah pasangan
hidup, keluarga, pekerjaan dan lain-lain. Contohnya seorang wanita karir yang
harus memilih antara keluarga dan pekerjaannya. Ia merasa wajib membantu
keuangan keluarga dengan bekerja, akan tetapi konsekuensinya ia harus rela
34 Argumentasi Hukum
34 R.G. Soekadijo. Logika Dasar, Tradisional, Simbolik, dan Induktif. cet. Ke-9, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003). Hlm. 135-138
42 Argumentasi Hukum
BAB III
ARTI PENTING LOGIKA DALAM HUKUM
dan lain sebagainya. Sebagai salah satu contoh, penanganan perkara sejak
penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan perkara di pengadilan selalu
berawal dari proses berpikir induksi berupa generalisasi. Langkah atau proses
pertama adalah merumuskan fakta, kemudian identifikasi hukum, mencari
hubungan sebab-akibat, hingga mereka-reka probabilitas barulah melakukan
penerapan hukum.
Berikut penulis akan sampaikan, beberapa peranan penting penalaran
silogisme dan induksi (hubungan kausalitas dan analogi) dalam penangan
perkara atau penyelesaian masalah hukum, diantaranya:
1. Makna Penting Penalaran Silogisme Dalam Hukum
Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai
pengertian penalaran silogisme, bentuk silogisme hingga berbagai hukum yang
menyertainya. Apabila kita hanya memandang sebelah mata dan mempelajari
silogisme hanya untuk sekedar bacaan dikala luangnya waktu, maka yang kita
pahami hanyalah bahwa silogisme adalah salah satu jenis pertanyaan atau soal
psikotes di berbagai bentuk ujian masuk perguruan tinggi saja. Tidak sedikit
orang yang memahami silogisme hanya berhenti pada suatu soal berupa
suguhan beberapa pernyataan dan tinggal dicari kesimpulannya saja. Pendapat
tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak mutlak akan kebenarannya.
Silogisme harus dipahami secara meluas sebagai uji logika dalam kehidupan
sehari-hari pada akal manusia dalam kehidupannya.
Silogisme secara logis, bisa kita pahami sebagi penarikan kesimpulan
yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis untuk sampai pada
konklusi atau kesimpulan berupa proposisi universal, partikular dan/atau
singular (dari umum ke khusus). Ketika beberapa fenomena dihadapkan satu
sama lain, maka sebagai seorang manusia yang diberkati dengan akal, harus
mampu mengambil suatu kesimpulan dari beberapa fenomena tersebut. Ketika
proses berpikir dilandaskan pada logika dan penalaran, maka akan ditemukan
mengenai hakekat kebenaran suatu hal. Proses berpikir inilah yang harus
dibentuk dan ditanamkan pada setiap mahasiswa hukum, yang nantinya pada
saat menjadi praktisi hukum, mampu menganalisis suatu persoalan hukum
secara kritis dan implementatif berdasarkan prinsip, data, fakta dan proposisi
hukum yang tepat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang sarjana hukum khususnya
hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan perkara yuridis (the
power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yakni :
Merumuskan, masalah hukum (legal problem identification), memecahkannya
Argumentasi Hukum 47
itu, teori ini menganggap bahwa setiap sebab adalah sama nilainya.
Contoh, orang mengisi pelita dengan minyak dan orang yang membuat
korek api adalah dua hal yang memiliki nilai sama. Hal ini disebabkan
keduanya mempunyai syarat yang sama untuk menyalakan pelita tadi.
Dalam teori ini hubungan kausal membentang ke belakang tanpa
akhir, karena setiap “sebab” sebenarnya merupakan akibat dari sebab
yang terjadi sebelumnya. Misalnya, ada seseorang yang mati ditembak
oleh seseorang. Menurut teori ini, kematian orang tersebut bukan hanya
ditembak, melainkan juga oleh orang yang menjual senjata api bahkan
sampai pada perusahaan yang memproduksi senjata api tersebut.
Namun, kemudian oleh Van Hammel, teori ini dilengkapi bahwa
setiap perbuatan adalah sebab dari akibat yang timbul, dengan
keharusan adanya unsur kesalahan (schuld). Hal ini sesuai dengan asas
hukum pidana yaitu Geen Starft Zonder Zshuld (tiada hukuman tanpa
kesalahan). Karena teori ini hubungan kausal membentang tanpa akhir,
sehingga perlu adanya pembatasan dengan adanya unsur kesalahan
yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
2) Theori Adequate (Traiger)
Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan
suatu akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah
yang menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum
oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori,
diantaranya:
- Teori Individualisasi
Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut
pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah
Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling
menentukan untuk timbulnya akibat.
- Teori Generalisasi
Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/
pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab
yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini
adalah Von Kries dengan teori Adequat-nya, mengatakan bahwa
sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul.
2.1.2. Teori Kausalitas Dalam Praktik Peradilan
Dari berbagai macam teori tersebut dalam praktek ternyata teori
yang digunakan oleh hakim (Hoge Raad/Mahkamah Agung Negara Belanda)
Argumentasi Hukum 51
Kekurangan dari teori ini adalah penentuan ukuran paling kuat dari
beberapa faktor yang menimbulkan suatu akibat, jika semua faktor
sama-sama kuat untuk menimbulkan suatu akibat tersebut.
3) Teori Causa Proxima
Hampir sama dengan teori individualisasi, yaitu bahwa menurut teori
ini, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan
dari akibat.
4) Teori Adequato
Menurut teori ini, dari sekian banyak sebab yang menimbulkan suatu
akibat, hanya dicari satu sebab saja, yaitu perbuatan manakah yang
menimbulkan akibat yang dilarang dan diancam dengan hukum
oleh undang-undang. Berkaitan dengan hal ini, dikenal dua teori,
diantaranya:
- Teori Indivdualisasi
Sebab dilihat in concreto, yakni secara konkret diukur menurut
pandangan individual. Salah satu penganut aliran ini adalah
Birckmayer. Menurutnya sebab adalah faktor yang paling
menentukan untuk timbulnya akibat.
- Teori Generalisasi
Sebab dilihat in abstracto. Menurut perhitungan yang layak/
pandangan secara umum, dari sekian sebab, diambil satu sebab
yang kiranya menimbulkan akibat. Salah satu penganut teori ini
adalah Von Kries dengan teori Adequatnya, mengatakan bahwa
sebab harus seimbang dengan akibat yang timbul.
yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata“.
BAB IV
KESESATAN DALAM PENALARAN
(FALLACY)
yang sebenarnya tidak bisa diterima kebenarannya (tidak logis), salah hingga
menyesatkan. Kesesatan dalam penalaran bisa terjadi karena yang sesat itu
karena suatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Penalaran dapat sesat karena
bentuknya tidak sah (tidak valid), hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah logika.
Dalam bab sebelumnya, penulis telah menyampaikan mengenai kaidah
logika termasuk suatu penalaran yang sah atau dapat diterima kebenarannya
hanyalah penalaran yang kesimpulannya ditarik dengan prosedur yang benar
dan premis-premisnya didukung oleh fakta sebenarnya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa penalaran sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis
dan konklusi atau disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa
memperhatikan relevansinya.
Fenomena kesesatan dalam penalaran ini seringkali kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Mulai dari para politikus yang kerap melakukan adu
argumentasi di depan layar televisi atau pada saat proses kampanye, masyarakat
di sekitar kita yang sering berdebat akan suatu hal, hingga aktivis mahasiswa
yang melakukan orasi yang hanya menitikberatkan pada tatanan dialektika
tanpa mengutamakan logika dan kebanaran, secara tidak sadar mereka sedang
melakukan kesesatan berpikir.
B. Model Kesesatan Berpikir
Ada beberapa jenis kesesatan dalam berpikir dan/atau penalaran
sebagai sebuah kesesatan penalaran hukum (khususnya), artinya penalaran
keliru tersebut jika diterapkan dalam bidang hukum bukan merupakan sebuah
kesalahan. Berikut, penulis sampaikan beberapa model kesesatan berpikir dan/
atau penalaran:
1. Argumentum ad Ignorantium
Kesesatan ini terjadi ketika suatu argumentasi seseorang mengenai
suatu proposisi atau pernyataan dianggap benar. Hal ini terjadi karena
suatu proposisi tersebut tidak dapat dibuktikan kesalahannya, begitupun
ketika suatu proposisi atau pernyataan dianggap salah, karena tidak
dapat dibuktikan kebenarannya. Kesesatan ini muncul disebabkan
oleh adanya penyimpangan konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak
terbukti salah atau penyimpulan suatu konklusi yang dianggap salah
karena negasinya tidak terbukti benar.
Contoh Argumentum ad Ignorantium:
1. Suatu pernyataan bahwa “saya pasti betul, karena tidak ada yang
pernah membuktikan salah”.
Argumentasi Hukum 57
BAB V
PENEMUAN HUKUM
44 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis. (Cet. I,
Jakarta: Chandra Pratama, 1996). Hlm. 95
66 Argumentasi Hukum
Dewasa ini, diakui atau tidak banyak sekali penegak hukum yang
hanya berpegangan kepada kepastian hukum. Mereka hanya berangkat dari apa
yang ada dalam bunyi undang-undang secara tekstual saja. Apa yang mereka
lakukan bukanlah suatu kesalahan, namun juga bukan suatu kebenaran yang
mutlak nilainya. Ketika kita hanya berpegang pada tekstual undang-undang,
pada akhirnya suatu putusan hukum hanya akan menimbulkan keresahan
dan tidak menutup kemungkinan menimbulkan rasa ketidakadilan. Terlalu
menitkberatkan kepastian hukum, akan berdampak pada terlalu kakunya suatu
hukum, dan terkadang undang-undang akan terasa kejam apabila dilaksanakan
secara kaku atau ketat (lex dura sed tamen scripta).
Apabila kita berbicara mengenai pelanggaran undang-undang, penegak
hukum khususnya hakim harus mampu melaksanakan dan menegakkan undang-
undang. Hakim tidak diperbolehkan untuk menangguhkan atau menolak suatu
perkara hukum dengan alasan karena hukumnya tidak ada, tidak lengkap dan/
atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih
tidak sempurnanya undang-undang.45 Oleh karena itu, ketika suatu undang-
undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat itulah
hakim harus mencari dan menemukan hukumnya dengan jalan melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Sebelum lebih jauh, dalam telaah filsafat
hukum melalui kajian paradigmatik, sejatinya upaya penemuan hukum
ini hanya bisa dilakukan di luar ranah paradigma Positivisme. Paradigma
Positivisme tidak menghendaki adanya penemuan hukum karena hukum tidak
perlu ditemukan kembali mengingat hukum merupakan realitas yang naif dan
diterima secara sempurna.
1. Istilah Penemuan Hukum
Istilah “Penemuan Hukum” oleh beberapa pakar sering
dipermasalahkan, apakah lebih tepat jika menggunakan istilah “Pelaksanaan
Hukum”, “Penerapan Hukum”, “Pembentukan Hukum” atau “Penciptaan
Hukum”.46 Hal ini khususnya terkait dengan penggunaan ketepatan istilah yang
bisa mencakup keseluruhan makna yang dimaksud dalam definisi tertentu.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya yang berjudul
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar47 apabila kita membedah satu persatu
dari beberapa istilah tersebut, diantaranya:
1) Istilah “Pelaksanaan Hukum” dapat berarti menjalankan hukum tanpa
sengketa atau pelanggaran. Namun, disamping itu pelaksanaan hukum
45 Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
46 Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan 1. (Yogyakarta:
Liberty, 1996). Hlm. 36
47 Ibid
Argumentasi Hukum 67
dapat pula terjadi kalau ada sengketa, yaitu yang dilaksanakan oleh
hakim dan hal ini sekaligus merupakan penegakan hukum.
2) Istilah “Penerapan Hukum” tidak lain berarti menerapkan peraturan
hukum yang sifatnya abstrak kepada suatu peristiwa. Menerapkan
hukum atau peraturan hukum pada peristiwa konkrit secara langsung
tidak mungkin. Peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum
(memenuhi unsur-unsur yang dilukiskan dalam undang-undang)
terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.
3) Istilah “Pembentukan Hukum” adalah merumuskan peraturan-peraturan
yang berlaku umum, bagi setiap orang. Kalau lazimnya pembentukan
hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang, maka hakim
dimungkinkan pula membentuk hukum, yaitu apabila hasil penemuan
hukumnya merupakan yurisprudensi yang dikuti oleh para hakim pada
perkara hukum yang sama dan merupakan pedoman bagi masyarakat
yang mengandung asas-asas hukum yang dirumuskan dalam peristwia
konkrit dan memperoleh kekuatan berlaku umum.
4) Istilah “Penciptaan Hukum” terasa kurang tepat karena memberikan
kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan
(dari tidak ada menjadi ada).
Seperti yang kita pahami, bahwa hukum bukanlah suatu hal yang
selalu berkaitan dengan kaedah baik tertulis maupun tidak tertulis, akan tetapi
dapat juga berupa perilaku dan/atau peristiwa. Dimana, dalam perilaku itulah
terdapat hukumnya yang harus digali serta ditemukan. Dengan demikian, maka
kiranya istilah “Penemuan Hukum” adalah istilah yang rasanya lebih tepat
untuk digunakan.48
2. Dasar Hukum Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
Dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, dijelaskan bahwa seorang hakim dilarang menolak
perkara. Kalimat “dilarang menolak perkara” memberikan konsekuensi bagi
hakim, bahwa ketika dihadapkan pada suatu peristiwa hukum yang tidak
diatur secara jelas dan/atau lengkap dalam undang-undang, olehnya tidak
diperbolehkan menolak atau tidak menerima perkara tersebut. Hakim selalu
dihadapkan pada peristiwa konkret yang harus diselesaikan atau dipecahkan
dan untuk itu perlu dicarikan hukumnya. Keharusan menemukan hukum baru
ketika aturannya tidak jelas, tidak lengkap bahkan bisa saja memang tidak ada,
diperlukan penemuan hukum.
48 Ibid
68 Argumentasi Hukum
BAB VI
PENALARAN DALAM ALIRAN
FILSAFAT HUKUM
egoisme seperti ini. Hukum dikembangkan secara sistematis dan rasional (tidak
sembarang, ada prosedurnya) bisa dikatakan sesuai dengan kebutuhan hidup
bernegara.
Dalam aliran Positivisme Hukum ini ada 3 (tiga) teori terkenal,
diantaranya:
1) Teori dari H.L.A. Hart
Dalam teorinya, Hart mengakui bahwa hukum dan moralitas
memiliki hubungan yang penting. Meskipun hubungan tersebut
bukanlah hubungan yang mutlak. Maksud dari hubungan yang tidak
mutlak ialah definisi hukum tidak harus selalu melibatkan moralitas.
Pemahaman positivisme adalah hukum yang dibuat oleh negara, yang
ada wujudnya sehingga bisa dikatakan hukum adalah legalitas negara.
Terkait dengan legalitas tersebut, Hart berpendapat bahwa
legalitas tidak harus ditentukan oleh moralitas, sehingga hubungan
hukum dan moralitas haruslah dipisahkan. Pemisahan ini menurutnya
diperlukan agar kritik moral terhadap hukum dimungkinkan dan untuk
menghindari konservatisme. Konsekuensi dari hal ini ialah, ketika kita
berbicara hukum dalam wujud yang tertulis, dibelakangnya pasti tetap
ada pengaturan tentang moral atau bermula dari substansi moralitas.
Sehingga, ketika suatu hukum hanya berhenti pada wujud tertulis
berupa teks, maka moralitasnya pun akan berhenti.
Di sisi lain, Hart juga memiliki pandangan bahwa validitas hukum
tidak ditentukan oleh moralitas melainkan oleh aturan pengakuan yang
berlaku dalam sistem hukum. Hal tersebut berarti bahwa aturan-aturan
yang bertentangan dengan moralitas dan rasa keadilan, sepanjang
aturan tersebut dibuat melalui prosedur yang resmi atau terdapat dalam
buku undang-undang, dianggap sebagai aturan yang valid. Jika benar
demikian maka hukum tidak lagi bisa dikritik berdasarkan moralitas.
Dan jika ini yang terjadi maka hukum akan menjadi sewenang-wenang.
Hart dalam teorinya juga memberikan lima esensi atau arti penting
Positivisme Hukum, diantaranya:63
1. Bahwa hukum dan/atau undang-undang adalah perintah-perintah
manusia.
2. Bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan
moral atau hukum sebagaimana adanya dan hukum sebagaimana
mestinya.
63 Romli Atmasasmita. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012). Hlm. 30-31
Argumentasi Hukum 85
tujuan alam. Pandangan yang melihat alam dan tempat manusia yang berada
di dalamnya dalam rangka tujuan, sasaran dan arah tertentu kemudian disebut
sebagai pandangan teleologis (yang berasal dari kata Yunani kuno “telos” yang
berarti tujuan atau sasaran).71
Dalam aliran hukum alam ini, filosof banyak memikirkan tentang
berbagai gejala kehidupan, termasuk persoalan hukum seperti hakikat hukum,
bentuk pemerintahan yang baik dan sebagainya. Mereka mendasarkan pemikiran
terhadap akal budi, nalar (reason) yang hasilnya berupa dikesampingkannya
para dewa sebagai kekuatan pengatur jagad raya dan menerima hukum alam
(natural law) untuk menjelaskan bebagai gejala.72
Di sisi lain aliran ini berpendapat bahwa hukum berlaku universal
(umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena kegagalan manusia dalam
mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang sebagai
hukum yang berlaku secara universal dan abadi. Gagasan mengenai hukum
alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat mahkluk hidup
akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib sosial
serta tertib hukum eksistensi manusia.
Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua
dan nama ini masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para
filosof Yunani Kuno kemudian mengalami perkembangan dan perubahan.
Aliran hukum alam berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
a. Irasional atau Teori Hukum Alam Theologis
Hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan
secara langsung. Pendukung aliran ini antara lain: Thomas Aquinas
(Aquino), John Salisbury, Daante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan
John Wyclife.
Tokoh paling menonjol dari teori hukum alam theologis adalah
Thomas Aquinas (1225-1274). Menurut Aquinas, terdapat kebenaran
akal di samping kebenaran wahyu, namun disisi lain terdapat pengetahuan
yang tidak diketahui oleh akal, sehingga untuk itulah diperlukan iman.
Dalam perkembangannya Aquinas membedakan antara pengetahuan
alamiah (kemampuan pemikiran dengan mendasarkan pada akal) dan
pengetahuan iman (keyakinan yang berpegang teguh pada wilayah rasa
terkait keberadaan suatu kebenaran). Pembedaan tersebut digunakan
ketika kita mampu memahami hukum dalam konteks sosial maka akan
membawa manfaat bagi masyarakat berupa nilai kepuasan hukum bagi
masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kekurangan dari analisis ini yaitu bahwa akan sulit
untuk menentukan ukuran-ukuran apa yang dipakai untuk menentukan
bahwa suatu kaidah hukum benar-benar merupakan hukum yang hidup
(dan dianggap adil). Karena apabila kita mendasarkan pada keadilan,
keadilan adalah suatu hal yang bersifat relatif dan memiliki tolak ukur
yang berbeda bagi setiap individu.
2. Roscoe Pound (1870-1964)
Ajaran aliran Sociological Jurisprudence berkembang dan menjadi
populer di Amerika Serikat terutama atas jasa Roscoe Pound (1870-
1964). Sociological Jurisprudence mencapai puncak perkembangannya
antara tahum 1900an sampai dengan tahun 1920an.
Sebagaimana telah penulis sampaikan diawal, Roscoe Pound
berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial, dan tugas dari ilmu hukum adalah untuk
mengembangkan suatu kerangka dengan mana kebutuhan-kebutuhan
sosial dapat terpenuhi dengan maksimal. Selain itu, dianjurkan
untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang
dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books).
Roscoe Pound dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk
memperbarui (merekayasa) masyarakat (law is a tool of social
engineering). Untuk memenuhi perannya sebagai alat merekayasa
tersebut, Pound membuat penggolongan-penggolongan atas
kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum sebagai
berikut:77
1) Kepentingan Umum (public interest):
a) Kepentingan negara sebagai badan hukum;
b) Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2) Kepentingan Masyarakat (social interest):
a) Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b) Perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c) Pencegahan kemerosotan akhlak;
d) Pencegahan pelanggaran hak;
e) Kesejahteraan sosial.
77 Ibid. Hlm. 41-42.
94 Argumentasi Hukum
79 Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het Nederlandse
Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959)
80 Rasyidi. Op. cit., 47
96 Argumentasi Hukum
4. Realisme Hukum
Realisme hukum (Legal Realism) muncul di awal abad 20. Gerakan ini
diawali oleh sejumlah hakim yang menentang positivism hukum atau analytical
jurisprudence. Sehingga sebenarnya realisme hukum pada hakikatnya bukan
merupakan suatu aliran, melainkan suatu gerakan yang dipelopori terutama
oleh sejumlah hakim.81
Latar belakang munculnya realisme hukum, secara singkat akan penulis
sampaikan diantaranya:82
1. Adanya gerakan-gerakan untuk menguji nilai-nilai tradisional yang
ada pada tahun 1920. Contohnya adalah ketika adanya anggapan yang
mengatakan bahwa raja yang baik itu pastilah adil, dan anggapan yang
dipercayai oleh masyarakat tersebut ternyata adalah salah.
2. Munculnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi sebagai salah satu
contohnya. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini
mengkaji perilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti
hukum yang sebenarnya.
3. Banyaknya disparitas (perbedaan/ketidakseimbangan) putusan-
putusan. Sehingga muncul ketidakpercayaan terhadap hukum tertulis
dan menumbuhkan rasa kepercayaan kepada hukum yang berdasarkan
fakta yang real.
Teori realisme hukum merupakan teori yang lahir dari teori empirisme
yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya
mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris
(real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran
logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah
segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu
perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran
sejati dapat diraih.83
Beberapa tokoh terkenal disebut-disebut sebagai peletak dasar aliran
ini, diantaranya ialah ialah: Karl Llewellyn (1893-1962), Jerome Frank (1889-
1957) dan Justice Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ketiga-tiganya orang
Amerika.
Ahli-ahli pemikir dari aliran ini menaruh perhatian yang sangat besar
terhadap keadilan, walaupun mereka berpendapat bahwa secara ilmiah tidak
dapat ditentukan apa yang dinamakan hukum yg adil. Pokok-pokok pikiran dari
81 Sumbu. Op.cit., Hlm. 37
82 Adji Samekto. Justice for All. Cet 1. (Yogyakarta: Genta Press, 2008). Hlm. 66
83 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum (Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Semarang: Genta Publising, 2003). Hlm. 165.
Argumentasi Hukum 97
aliran ini banyak dikemukakan oleh Justice Holmes di dalam hasil karyanya
yang berjudul The Path of the Law, antara lain mengatakan bahwa kewajiban
hukum hanyalah merupakan suatu dugaan bahwa apabila seseorang berbuat
atau tidak berbuat, maka dia akan menderita sesuai dengan keputusan suatu
pengadilan. Dalam pandangan realisme hukum, hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Pandangan dalam realisme
hukum adalah bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada
putusan hakim terhadap perkara itu.
Pendapat Holmes tersebut di atas, apabila kita kaitkan dengan alasan
dari hakim-hakim yang melakukan gebrakan terhadap positivisme, salah
satunya karena tugas hakim yaitu juga untuk menciptakan hukum. Seorang
penemu hukum yang bebas tugasnya tidak hanya sekedar menerapkan undang-
undang, akan tetapi juga menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa
konkret. Sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut
norma yang telah diciptakan oleh hakim. Hal tersebut merupakan inti dari
realisme hukum, yaitu tidak hanya mengandalkan undang-undang sebagai
sumber hukum utama. Sumber hukum yang paling utama adalah kenyataan-
kenyataan sosial yang kemudian diambil alih oleh hakim ke dalam setiap
putusannya.
Kemudian, di sisi lain Karl Llewellyn juga mengembangkan teori
tentang hubungan antara peraturan-peraturan hukum dengan perubahan-
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di dalam teorinya ini Llewellyn
terutama menekankan pada fungsi hukum. Tugas pokok dari pengadilan adalah
menetapkan fakta dan rekontruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau
yang menyebabkan terjadinya perselisihan.
Apabila kita membahas mengenai tujuan hukum bagi penganut aliran
ini, maka menurut Karl Llewellyn tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan
dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada. Hukum haruslah diterima
sebagai suatu yang terus menerus berubah sehingga hukum bukanlah suatu
hal yang statis. Masyarakat yang selalu berproses secara terus menerus dan
berubah secara berkesinambungan, harus disikapi dengan kemampuan melihat
perubahan hukum sebagai sesuatu yang esensial dan diperlukan penekanan
pada evaluasi hukum terhadap dampaknya pada masyarakat.
Lebih lanjut oleh Llewellyn dikemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:84
1. Realisme merupakan suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara
bekerja tentang hukum;
84 Otje Salman. Filsafat Hukum: Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung :
Reflika Aditama, 2010). Hlm. 30
98 Argumentasi Hukum
sentimental dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat, sedangkan teori
politik digunakan sebagai pembidik (latar belakang) atas lahirnya peraturan
perundang-undangan yang lahir dari lembaga-lembaga politik dan lembaga
hukum yang banyak sekali berbagai pengaruh politik pada saat membuat
peraturan perundang-undangan (legislasi perundangan atau putusan hakim).85
Sehingga hal-hal tersebut menjadikan hukum sangat kental nuansa politiknya.
Berangkat dari kenyataan hukum yang selalu dipengaruhi politik dan
norma-norma hukum lainnya, konsekuensi dasarnya adalah harapan untuk
menjadikan hukum yang netral, objektif dan otonom tidak akan tercapai,
bahkan dalam kenyataannya pun tidak pernah tercapai. Hukum dengan segala
kepentingan-kepentingan yang melatar belakanginya baik dalam realitas hukum
dengan kaitannya politik, ekonomi, modal, kapitalisme dan lain sebagainya,
menjadikan hukum semakin jauh dengan nafas keadilan. Oleh karenanya, para
penganut aliran ini berusaha bersikap kritis terhadap hukum untuk menjadikan
keadilan adalah muara dari segala wujud hukum yang ada.
Latar belakang lahirnya Critical Legal Studies adalah kritik terhadap
Formalisme Hukum pada tahun 1977 di kota Madison, negara bagian
Wisconsin, Amerika Serikat diadakan “Conference on Critical Legal Studies”.
Penyelenggara konferensi ini adalah para akademisi hukum yang terlibat dalam
gerakan hak-hak sipil dan kampanye anti perang Vietnam. Mereka menganggap
formalisme hukum tidak dapat menjawab berbagai bentuk diskriminasi di
masyarakat Amerika dan juga Perang Vietnam. Jadi, konferensi ini mencari
cara baru dalam menafsirkan hukum dan lahirlah Critical Legal Studies.
Tokoh dibalik Critical Legal Studies ini adalah Dunkan Kennedy, Karl
Klare, Mark Kelman, Mark Tushnet, Morton Horwitz, Jack Balkin dan Roberto
M. Unger. Ideologi keilmuan para tokoh hukum ini beragam. Dunkan Kennedy
adalah seorang Marxis, sementara Roberto M. Unger adalah seorang liberal-
radikal. Walau ideologi keilmuan mereka beragam, tapi mereka disatukan oleh
anggapan bahwa hukum tidak terpisahkan dari politik. Sehingga para pemikir
studi hukum kritis (Critical Legal Studies) tetaplah bersatu dalam pokok
pemikiran yang tidak puas dan melancarkan kritik terhadap konsep hukum
liberal.
Roberto M. Unger salah seorang tokoh yang mengembangkan studi
hukum kritis (Critical Legal Studies) melihat sebenarnya para ahli diabad ke 19
telah terlibat dalam usaha yang kuat mencari struktur hukum yang didalamnya
terkandung (built-in) konsep demokrasi dan pasar bebas. Akar tumbuhnya studi
85 Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”. (Solo:
Khafilah Publishing, 2018). Hlm.97-98.
100 Argumentasi Hukum
hukum kritis (Critical Legal Studies) dapat dirunut ke belakang sekitar tahun
1960-an, ketika mereka-mereka yang di kemudian hari menjadi pelopor-pelopor
studi hukum kritis (Critical Legal Studies) melibatkan diri dalam aktivitas sosial
untuk memperjuangkan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Aktivitas mereka
dilandasi oleh keprihatinan melihat kenyataan betapa banyaknya problema
sosial politik dan hukum yang disebabkan oleh pengambilan keputusan yang
berlindung dibalik ketentuan hukum, tetapi sangat sepihak demi kepentingan-
kepentingan politik dalam bidang ekonomi dan militer yang tidak lagi mudah
dikontrol oleh rakyat pencari keadilan yang ada pada saat itu.86
Itu sebabnya Unger mengatakan, bahwa hukum tak terpisahkan dari
politik dan berbagai norma non-hukum lainnya. Hukum dibentuk oleh berbagai
faktor non-hukum seperti kepentingan ekonomi, ras, gender, atau politik.
Pembentukan hukum senantiasa mengandaikan interaksi dan negosiasi antar
berbagai kelompok masyarakat. Akibatnya analisa hukum doktrinal hanya
akan mengisolasi hukum dari konteks sosial politiknya, dan membuat hukum
tidak bisa mengatasi berbagai masalah sosial politik: diskriminasi ras, gender,
agama, atau kelas.
Ciri Hukum menurut aliran CLS antara lain:87
1) Serangkaian struktur, sebagai suatu realitas virtual atau historis, yang
merupakan hasil proses panjang kristalisasi nilai-nilai politik, ekonomi,
sosial, budaya, etnik, gender, dan agama;
2) Sebagai instrumen hegemoni yang cenderung dominan, diskriminatif
dan eksploitatif;
3) Setiap saat terbuka bagi kritik, revisi, dan transformasi, guna menuju
emansipasi.
Pada akhirnya esensi dari Critical Legal Studies ini adalah para ahli
menyatakan bahwa pemikiran studi kritis (Critical Legal Studies) terletak
pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. 88 Berdasarkan pemikiran law is
politics itu, studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berarti sudah langsung
menolak dan menyerang keyakinan para positivistis dalam ilmu hukum yang
mengembangkan pemikiran hukum liberal. Studi hukum kritis (Critical Legal
Studies) mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik
dan sama sekalitidak netral. Studi hukum kritis (Critical Legal Studies) berusaha
86 FX Adji Samekto. Studi Hukum Kritis: Kritik Terhadap Hukum Modern. (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2005). Hlm.10
87 Erlyn Indarti. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan Filsafat
Hukum Prodi S1 Hukum, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 2015). Hlm. 4
88 Nadir. “Filsafat Hukum dan Dekonstruksi Critical Legal Studies: Sebuah Paradigma
Pembaruan Hukum dalam Menggugat Eksistensi Dominasi Asumsi Kemapanan Hukum”. Jurnal
Yustitia. Vol 20. No 2. 2019. Hlm.161.
Argumentasi Hukum 101
untuk membuktikan bahwa dibalik hukum dan tatanan sosial yang muncul ke
permukaan sebagai sesuatu yang netral, sebenarnya di dalamnya penuh dengan
muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan
ekonomi.89
6. Feminisme Hukum (Feminist Jurisprudence)
Aliran ini merupakan arus pemikiran lain yang berkembang dalam
tradisi hukum di Amerika Serikat (1970-1980). Secara singkat, latar belakang
lahirnya aliran ini antara lain:90
a. Tulisan-tulisan tentang perempuan dari berbagai lapangan studi
yang mempengaruhi studi ilmu hukum.
b. Banyaknya perempuan yang masuk sekolah hukum di Amerika
menjelang tahun 1960 an.
c. Akibat dari reaksi para feminis yang berperkara di pengadilan dan
mengadakan tuntutan terhadap masalah hukum yang khas.
Feminis dalam hukum mencoba secara fundamental menentang
beberapa asumsi penting dalam teori hukum konvensional dan juga beberapa
kebijaksanaan konvensional dalam penelitian hukum kritis. Goldfarb
menunjukkan banyak pemikiran kaum feminis telah memperlihatkan patriarki
sebagai suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap kehidupan mereka
daripada ideologi hukum dan telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi
ideologi patriarki bahkan melalui penggunaan ideologi hukum.
Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme dalam filsafat,
psikoanalisis, semiotik, sejarah, antropologi, postmodernisme, kritik sastra
dan teori politik, tetapi lebih jauh dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan
mengambil dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum wanita selama ini.
Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis mencoba melihat bahwa hukum
pada dasarnya memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai
sosial, bahwa hukum (baik pembentukan aturan, maupun substansinya) sangat
bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak kepentingan laki-laki), sehingga
hukum berjalan untuk kepentingan status quo.
Feminisme dalam hukum juga menolak bagaimana posisi wanita
senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian, pekerjaan dan berbagai kehidupan
sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita telah berusaha untuk
memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu dibayang-bayangi
oleh ideologi-ideologi yang lebih maskulin.
89 Peter Fitzpatrick, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma Ketidakberdayaan
Hukum. (Bandung: Tp., 2003). Hlm. 5
90 Aditya Yuli Sulistyawan. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah Argumentasi
Hukum.Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
102 Argumentasi Hukum
Pemikiran dan aliran feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas
ketidak-adilan sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir
feminist jurisprudence percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan
dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum
diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk
melanggengkan posisi subordinasi perempuan di hadapan laki-laki.
Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam hukum, banyak
penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang represif dan ideologi telah
dan terus-menerus dilakukan perombakan. Feminisme Hukum tidak hanya
melakukan pencarian secara komprehensif untuk mengungkap institusi
hukum yang represif dan struktur ideologi yang melegitimasikannya, tetapi
juga mencoba menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam agenda
rekonstruksinya.
Pada intinya, pemikiran dalam aliran ini mendapat pengaruh besar
dari Critical Theory. Aliran ini munul karena keresahan perempuan yang
merasa selalu disubordinasikan sebagai kelas kedua, termasuk dalam bidang
hukum. Para perempuan tersebut kemudian mulai sadar untuk mengenyam
pendidikan dan membuat suatu misi besar berupa memberdayakan sesama
perempuan. Ketika hukum tertalu didominasi oleh laki-laki bahkan dipandang
sebagai produk laki-laki, maka berangkat dari pemikiran seperti ini mereka
mulai melakukan perlawanan. Beberapa bentuk perlawan yang dilakukan salah
satunya adalah pemberian edukasi kepada sesama perempuan (khususnya)
untuk berani menyuarakan segala keresahan yang ada ketika berhadapan
dengan kondisi ketidak-adilan dalam hukum.
N.K. Denzin dan Y.S. Lincoln dalam The Handbook of Qualitative Research
mendefinisikan paradigma sebagai:
“Suatu sistem filosofis utama, induk, atau ‘payung’ yang terbangun
dari ontologi, epistemologi, dan metodologi tertentu, yang masing-
masingnya terdiri dari satu ‘set belief dasar’ atau worldview yang
tidak dapat begitu saja dipertukarkan [dengan belief dasar atau world-
view dari ontologi, epistemologi, dan metodologi paradigma lainnya].
Paradigma mem-presentasi-kan suatu sistem atau set belief ‘dasar’
tertentu yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama atau pertama,
yang mengikatkan penganut/penggunanya pada world-view tertentu,
berikut cara bagaimana ‘dunia’ harus dipahami dan dipelajari, serta
yang senantiasa memandu setiap pikiran, sikap, kata, dan perbuatan
penganutnya.”
Melalui lima paradigma sebagai filsafat utama yang ada, semua aliran-
aliran filsafat hukum akan dapat diorganisasi atau ditempatkan ke dalam
paradigmanya masing-masing. Perbedaan yang selama ini terlihat membentang
diantara aliran-aliran filsafat hukum akan dapat ditelaah melalui set basic belief-
nya (ontologi, epistemologi, dan metodologi-nya) sehingga perbedaan dapat
tersaji lebih ringkas hanya kepada lima kelompok perbedaan besar tersebut,
yaitu lima paradigma yang ada.
Tabel 3.
Paradigma: 5 Worldview Menjelaskan – Memahami Dunia91
Post- Participatory Critical Theory
Pertanyaan Positivisme Konstruktivis-me
Positivisme et. al.
Realisme Naif: Realisme Kritis: Realisme Realisme Relativisme:
Partisipatif: Historis:
91 Lincoln, Lynham, & Guba dalam Erlyn Indarti, Pembaruan Hukum Nasional: Suatu
Telaah Paradigmatik…, Hlm. 7.
104 Argumentasi Hukum
Post- Participatory Critical Theory
Pertanyaan Positivisme Konstruktivis-me
Positivisme et. al.
Dualis / Modifikasi Subjektivitas Transaksional / Transaksional /
Objektivis: Kritis dalam Subjektivis: Subjektivis:
Dualis / Transaksi
Objektivis: Partisipatoris peneliti dan peneliti dan objek
dengan objek investigasi investigasi terkait
peneliti dualisme surut Cosmos: terkait scr secara interaktif;
dan objek dan objektivitas interaktif; temuan di-’cipta’/
investigasi menjadi kriteria Penelaah dan temuan di- di-’konstruksi’
Epistemologi
adalah penentu; realitas terkait ’mediasi’ oleh bersama.
dua entity eksternal dalam sebuah nilai yang
independen; objektivitas. epistemologi dipegang semua
bebas nilai. pengetahuan pihak.
‘eksperensial’,
‘proposisional’,
dan ‘praktis’
yang diperluas.
Eksperimental / Modifikasi Partisipasi Dialogis / Hermeneutikal /
Manipulatif: Eksperimental / Politis: Dialektikal: Dialektikal:
Manipulatif:
Pengutamaan
falsifikasi yang praktis;
uji empiris dengan cara penggunaan ada ‘dialog’ ‘konstruksi’
dan verifikasi critical bahasa yang antara peneliti ditelusuri melalui
research multiplism atau membumi; dengan objek interaksi antara
question dan modifikasi temuan di- investigasi, peneliti dan
Metodologi hipotesa; ‘triangulasi’; ‘upaya’-kan bersifat objek investigasi;
manipulasi dan utilisasi teknik Bersama. dialektikal: dengan teknik
kontrol terhadap kualitatif: men-’transform’ hermeneutikal
kondisi setting lebih kemasa-bodohan dan pertukaran
berlawanan; natural, dan kesalah- dia-lektikal
utamanya informasi lebih pahaman ‘konstruksi’
metoda situasional, dan menjadi di-interpretasi;
kuantitatif. cara pandang kesadaran utntuk tujuan: distilasi
emic. mendobrak. / konsensus /
resultante.
Sumber: Diolah dari Lincoln, Lynham, dan Guba (2011)
BAB VII
ARGUMENTASI HUKUM DAN LEGAL
OPINION
A. Argumentasi Hukum
Seperti yang telah penulis uraikan dalam Bab II mengenai logika,
penalaran dan argumentasi hukum, pada bab ini tentunya perlu kita tekankan
kembali mengenai hakikat argumentasi hukum sampai dengan struktur dan
bentuk dari argumentasi hukum itu sendiri. Hal ini sangatlah penting, karena
perlu diketahui pula apabila kita melihat setiap persidangan tidak jarang
para penegak hukum hanya mengemukakan pendapat hukum, sehingga yang
tercipta bukanlah argumentasi hukum. Menurut penulis, pendapat hukum tentu
berbeda dengan argumentasi hukum. Argumentasi hukum akan melahirkan
sebuah penalaran hukum yang kemudian dituangkan dalam pertimbangan
hukum, misalnya dalam bentuk putusan hukum. Sedangkan, pendapat hukum
belum tentu dapat dijadikan dasar sebagai penalaran hukum. Pendapat hukum
itu sendiri bisa disampaikan kapan dan di mana saja, termasuk pada saat terjadi
debat hukum di acara salah satu stasiun televisi swasta “Indonesia Lawyer
Club” yang digawangi oleh Karni Ilyas sebagai host.
Dalam setiap persidangan perkara, kita dapati bahwa setiap hakim
tentu akan memberikan pendapat dalam bentuk argumentasi hukum dalam
rangka mencapai ‘kesepakatan’ dalam mengambil keputusan. Yang menarik
dari sebuah persidangan adalah masing-masing hakim tersebut, pasti akan
memberikan kontribusi pemikirannya dengan menggunakan pendekatan
pengetahuan yang berbeda, baik dalam memahami penerapan hukum acara
(formal) maupun penerapan hukum materiilnya. Pendapat hakim yang berbeda
tentunya menjadi suatu hal yang lumrah didapati dalam persidangan suatu
perkara, sehingga olehnya sering kita jumpai persidangan harus sampai pada
mekanisme dissenting opinion.
Ketika terjadi dissenting opinion (perbedaan pendapat), maka
hakim tersebut pada kenyataannya telah melakukan penalaran yang dilalui
berdasarkan sebuah argumentasi hukum. Seorang hakim dan/atau praktisi
hukum lainnya harus memiliki keterampilan ilmiah yang dijadikan pijakan
olehnya dalam mendapatkan serta memberikan solusi hukum yaitu melalui
proses argumentasi hukum yang baik. Sehingga pemahaman terhadap setiap
Argumentasi Hukum 107
sehubungan dengan perkara yang akan diselesaikan. Dalam hal ini penyampaian
argumentasi hukum dalam praktik hukum dapat dikategorikan menjadi 2
bidang, yaitu:
a. Preventif (Non-Litigation Area)
Misalnya: Legal Consultation, Legal Negotiation, Legal Opinion.
Praktisi hukum menggunakan argumentasi hukum di ranah ini untuk
menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi klien di luar ranah
peradilan.
b. Represif (Litigation Area)
Berupa argumentasi hukum yang disampaikan dalam berkas-berkas
perkara seperti gugatan, permohonan, pledoi, replik, putusan dan
sebagainya. Argumentasi hukum ini terjadi di ranah peradilan untuk
meneguhkan pendirian atas kebenaran fakta-fakta hukum di muka
persidangan.
Dalam arti luas, argumentasi hukum (Legal Reasoning) merupakan
landasan yang dibangun oleh setiap pemikir hukum dalam menguraikan
permasalahan yang dihadapinya, baik dalam konteks ilmiah maupun dalam
proses penegakan hukum. Hal tersebut diperlukan untuk menjaga agar peristiwa
atau perbuatan hukum berada dalam koridor ketentuan hukum yang berlaku
dalam hal pengkajian suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum. Penyusunan
undang-undang, peraturan pemerintah, maupun dalam penyusunan peraturan
internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini dilakukan dengan
tujuan supaya tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-
undang atau peraturan lainnya, demikian pula untuk menyelesaikan suatu
sengketa hukum yang terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan untuk
mendapatkan esensi dari sengketa agar dapat menyelesaikannya dengan sebaik
mungkin dalam lingkup hukum yang berlaku.
2. Peran Logika dan Bahasa sebagai Dasar Argumentasi Hukum
Dewasa ini, tidak dapat kita sangkal bahwa dalam mempelajari dan
memahami argumentasi hukum sangat dibutuhkan pemahaman mengenai
bahasa dan logika. Dalam hal ini secara khusus adalah bahasa hukum dan
logika hukum. Apakah terdapat kekhususan dalam bahasa hukum bila
dibandingkan dengan ilmu bahasa pada umumnya? Jelas iya, bahasa hukum
selalu mendasarkan kepada konsep hukum dalam merumuskan kalimat-kalimat
termasuk di dalamnya seperti apa dan bagaimana perwujudan norma hukum,
baik dalam bentuk rumusan pasal-pasal maupun rumusan klausul yang ada
dalam undang-undang.
Argumentasi Hukum 109
I. FAKTA HUKUM
Berikut ini adalah kronologi yang menyajikan uraian mengenai polemik
pelaksanaan Pilkada di tengah pandemi:
Memuat fakta hukum dari kasus yang sedang dianalisis berupa data/
fakta yang valid, setelah sebelumnya telah dilakukan penyeleksian
terhadap fakta yang ada sebagai fakta hukum atau bukan fakta hukum.
IV. ANALISIS
Memuat jawaban-jawaban beserta analisis yang harus dijawab
berdasarkan fakta hukum, sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
telah dirumuskan pada bagian isu hukum.
Argumentasi Hukum 121
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Memuat kesimpulan yang berisi jawaban-jawaban langsung dan
bersifat final dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan.
B. Saran
Berdasarkan pendapat hukum ini, beberapa saran yang dapat
diberikan adalah:
Disusun oleh,
Nama Penyusun LO
Kapasitas Penyusun LO (Akademisi/Advokat/dsb)
Contoh tersebut adalah template sederhana dari sebuah Legal Opinion yang
dapat dijadikan panduan bagi yang sedang belajar menyusun Legal Opinion.
Pada praktiknya, format ataupun template LO bersifat fleksibel atau berkembang
sesuai dengan gaya penulisan. Namun demikian, struktur pokok dalam LO
(sebagaimana dibahas sebelumnya) merupakan bagian minimal yang harus
muncul dalam suatu Legal Opinion.
122 Argumentasi Hukum
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan. (Surabaya: Bina Ilmu
Offset, 2008).
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Historis.
(Cet. I, Jakarta: Chandra Pratama, 1996).
Apeldoorn, van. L.J. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding Tot de Studie Van Het
Nederlandse Recht), (Djakarta: Noordhoff-Kolff N.V, 1959)
Asikin, Zainal. Pengantar Ilmu Hukum. (Rajawali Press, 2012).
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekontruksi Terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2012).
Bernard, L. Tanya, Yoan N Simanjuntak dan Markus Y. Hage. Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. (Yogjakarta:
Genta Publishing, 2010).
Darnodihardjo, Dariji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006).
Farkhani. Filsafat Hukum “Paradigma Modernisme Menuju Post Modernisme”.
(Solo: Khafilah Publishing, 2018).
Fitzpatrick, Peter, dalam Munir Fuady. Aliran Hukum Kritis: Paradigma
Ketidakberdayaan Hukum. (Bandung: Tp., 2003).
Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Jakarta: Bhratara, 1996).
Hadjon, Philipus M. Argumentasi Hukum (Legal Argumentation/Legal
Reasoning). (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).
Hamidi, Jazim. Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filsafat dan Metode Tafsir.
(Malang: UB Press, 2011).
Ibrahim, John. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang:
Bayumedia, 2011).
J.J.H. Bruggink. Refleksi tentang Hukum. Terjemahan Bernard Arief Sidharta.
(Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999).
Argumentasi Hukum 123
Priyono, Ery Agus dan Kornelius Benuf. “Kedudukan Legal Opinion Sebagai
Sumber Hukum”. Jurnal Suara Hukum. Vol 2. No. 1. Maret 2020.
Putro, Widodo Dwi & Herlambang P. Wiratraman. “Penelitian Hukum: Antara
yang Normatif dan Empiris”. Digest Epistema Vol. 5. 2015.
Ross, Mary Massaron. “A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal”. 2006.
Shidarta. “Ulasan Tokoh dan Pemikiran Hukum, Bernard Arief Sidharta: Dari
Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 3. No. 2. 2020.
Sinha, Surya Prakash. “Jurisprudence. Legal Philosophy in a Nutshell”. (West
Publishing Co, St. Paul, Minn., 1993).
Suraputra, Sidik. “Pendapat Hukum Dalam Transaksi Komersial”. Jurnal
Hukum dan Pembangunan. Vol 35. No 2, 2005.
Weruin, Urbanus Ura. “Logika, Penalaran dan Argumentasi Hukum (Logic,
Reasoning and Legal Argumentation).” Jurnal Konstitusi. Vol 14. No
2, 2017.
Website:
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.
id/nalar-2.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan. Diakses dari https://kbbi.web.
id/dilema
R. Ruslan H. “Argumentasi Hukum Sebagai Strategi Hakim Dalam
Berpendapat”. Diakses dari http://www.pta-bengkulu.go.id/images/
file_pdf/argumentasi%20hukum%20sebagai%20strategi%20
dalam%20berpendapat.pdf
Rasyidi, Lili dalam Suparto Wijoyo. “Hukum dalam Perspektif Filsafat Ilmu”.
diakses dari http://supartowijoyo-fh.web.unair.ac.id.
Sanusi, M. Arsyad. Legal Reasoning Dlam Penafsiran Konstitusi. Dalam artikel
https://saepudinonline.wordpress.com/2010/12/12/legal-reasoning-
dalam-penafsiran-konstitusi/
Sidharta dan Petrus Lakonawa. Lex Specialis Derogat Legi Generali: Makna
dan Penggunaannya. (Jakarta: Binus University,2018) https://business-
law.binus.ac.id/2018/03/03/lex-specialis-derogat-legi-generali/. 3
Maret 2018. (Diakses 02 Februari 2021).
126 Argumentasi Hukum
Sumber Lainnya:
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. 1999.
Indarti, Erlyn. Aliran Filsafat Hukum dan Paradigma. Paparan Perkuliahan
Filsafat Hukum Prodi S1 Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang. 2015.
Indarti, Erlyn. Memahami Filsafat Hukum, Materi Kuliah Filsafat Hukum Prodi
S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. 2015.
Indarti, Erlyn. Pembaruan Hukum Nasional: Suatu Telaah Paradigmatik
tentang Dinamika Penyusunan RUU KUHP. Disampaikan dalam
Webinar IKA FH Undip, 23 Januari 2021.
Sulistyawan, Aditya Yuli. Penalaran Aliran Filsafat Hukum. Materi Kuliah
Argumentasi Hukum. Prodi S1 Hukum Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro Semarang. 2019.
Sumbu, Telly, dkk. Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas
Sam Ratulangi Manado. 2016
Wignjosoebroto dalam Shidarta, disampaikan dalam Perkuliahan Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. November
2014.
Wirawan, I Ketut. Pengantar Filsafat Hukum. Bahan Ajar Fakultas Hukum
Universitas Udayana. 2016.