Fiqh
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba gai
mana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Ushul
Fiqh
ISBN 978-623-218-257-8
ISBN (E) 978-623-218-258-5
13.5 x 20.5 cm
viii, 146 hlm
Cetakan ke-1, Oktober 2019
Kencana. 2019.1106
Penulis
Dr. Hj. Darmawati H., S.Ag., M.H.I.
Desain Sampul
Irfan Fahmi
Tata Letak
Suwito & Arshfiri
Penerbit
Prenadamedia group
(Divisi Kencana)
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134
e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
KATA PENGANTAR
Kata Pengantar v
Daftar Isi vii
bab 1 PENDAHULUAN 1
A. Syariat, Fikih, Ushul, Fiqh dan Hukum............................................................ 1
B. Pengertian Fikih....................................................................................................3
C. Perbedaan Syariah, Fikih, dan Hukum............................................................5
D. Pengertian Ushul Fiqh: ....................................................................................... 7
e. Periodisasi Perkembangan Ilmu Fikih............................................................9
bab 3 IJTIHAD 49
A. Definisi Ijtihad.................................................................................................... 49
B. Lapangan Ijtihad................................................................................................50
C. Dasar Hukum Ijtihad: QS. al-Nisā’ [4]: 59...................................................51
ushul fiqh
viii
bab
1
PENDAHULUAN
اجا ِ ِ ِ ِ
ً ل ُك ٍّل َج َع ْلنَا مْن ُك ْم ش ْر َعةً َومنـَْه
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.4
Sejalan dengan pengertian yang terkandung dalam ayat
tersebut. Abbas Husni Muhammad menegaskan bahwa syari-
at adalah identik dengan kandungan Al-Qurʼan dan Sunnah.
Atau dapat ditegaskan bahwa Islam secara keseluruhan yang
disebut al-Din sebagaimana ditegaskan dalam QS. ash-Shuraā
ayat 13 yang berbunyi:
ِ ِِ َّ َشرع لَ ُكم ِمن الدِّي ِن ما و
صيـْنَا
َّ ك َوَما َوَ وحا َوالَّذي أ َْو َحيـْنَا إِلَْي
ً ُصى به ن َ َ َ ْ ََ
ِبِِه إِبـر ِاهيم وموسى و ِعيسى أَ ْن أَقِيموا الدِّين وال تـتـ َفَّرقُوا فِيه
ََ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َْ
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan ke-
padamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
3
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 2010), h. 720.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 154.
2
bab 1 pendahuluan
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah be-
lah tentangnya.5
Namum lama kelamaan syariat diberi arti sempit yaitu
fikih dan identik dengan hukum Islam. Sebagimana Mahmud
Syaltut menulis buku yang secara tegas memisahkan Islam
akidah dari syariah. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa syariah telah diberi arti sempit menyangkut hukum
diluar akidah.
b. PENGERTIAN FIKIH
Fikih secara bahasa (etimologi), berasal dari kata
yang berarti pengetahuan dan pemahaman tentang
sesuatu.6 Makna ini dipertegas oleh Abi Al-Husain Ahmad,
bahwa kata fikih menunjuk pada maksud sesuatu atau ilmu
pengetahuan. Itulah sebabnya setiap ilmu yang berkaitan
dengan sesuatu disebut fikih.7 Umar Shihab mendefinisikan
fikih secara bahasa berarti “kecerdasan dalam memahami,
dan menanggapi secara sempurna.8 Demikian pula Wahbah
al-Zuhaili memberikan makna fikih secara bahasa adalah al-
fahmu, sebagaimana dalam Firman Allah Swt. surah Hud [11]:
91.
5
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 894.
6
Lihat Sya’ban Muhammad Ismail, al-Tasyri’ al-Islamy Mashadiruhu wa Athwaruhu, (Kairo:
al-Nahdah al-Mishriyyah, 1985), h. 10.
7
Abi al-Husain Ahmad, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid IV, (Dar-al-Fikr, 1979), h. 442.
8
Umar Shihab, Al-quran dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama, 1993), h. 28.
9
Depatemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 311.
3
ushul fiqh
4
bab 1 pendahuluan
13
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwair, Kamus Arab Indonesia, Cet. XVII, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2000), h. 286.
5
ushul fiqh
6
bab 1 pendahuluan
14
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqhi Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Cet. IV
(Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2008), h. 14.
15
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1990), h. 68-69.
16
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Cet. I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia,
2008), h. 27.
7
ushul fiqh
2. Secara Istilah
a. Al-Rajih, (yang terkuat atau terunggul), seperti perkataan
orang itu benar, atau valid menurut yang mendengarkan.
b. Al-Mustashab, memberlakukan hukum (keadaan) yang su-
dah ada selama belum ada yang mengubahnya. Seperti
asal (hukum yang berlaku) ucapan antara kreditor dan
debitor yang bersengketa dalam masalah utang adalah
ucapan pihak kreditor.
c. Al-Dalil (alasan), seperti asal (dalil) larangan riba itu fir-
man Allah QS. Ali-Imran ayat 130 . Inilah yang dimaksud
makna idhafi dari dua makna ushul dan fiqh.
Fikih, menurut bahasa: berarti pemahaman. Contoh seba-
gaimana Firman Allah QS. Hud [11]: 91.
ضعِي ًفا َولَ ْوال ِ ُ ب َما نـَْف َقهُ َكثِ ًريا ِمَّا تـَُق
َ ول َوإِنَّا لَنـََر َاك فينَا ُ قَالُوا يَا ُش َعْي
ت َعلَيـْنَا بِ َع ِزي ٍز
َ ْاك َوَما أَن
َ َك لََر َجْن
َ َُرْهط
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, Kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya Kami benar-benar me-
lihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena
keluargamu tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bu-
kanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.”17
Menurut istilah al-fiqh dalam pandangan al-Zuhaili terda-
pat beberapa pendapat tentang definisi fikih.
1. Abu Hanifah: pengetahuan diri seseorang tentang apa
yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain penge-
tahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan
apa yang merugikan.
2. Ibnu Subki: fikih pengetahuan tentang hukum syara’ yang
berhubungan dengan amal perbuatan yang digali dari
satu persatu dalilnya.
17
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 312.
8
bab 1 pendahuluan
18
Al-Hudhari Bek, Ushul al-Fiqh, Maktabah Tija’riyah al-Kubra, (Cet. 6; Mesir: 1969), h. 4.
19
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, h. 139.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 763.
9
ushul fiqh
10
bab 1 pendahuluan
22
Departeman Agama RI. Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 251.
23
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Cet. I; Jakarta: Kencana-PrenadaMedia
2008), h. 44.
11
ushul fiqh
اه ُدوا بِأ َْم َوالِِ ْم ِ ك الَّ ِذين يـ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه والْيـوِم
ِ اآلخ ِر أَ ْن ُي ِ
َ ُال يَ ْستَأْذن
َ َْ َ ُ َ
ِ ِ ِِ
َ يم بِالْ ُمتَّق
ني ٌ َوأَنـُْفسه ْم َواللَّهُ َعل
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak
akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta
dan diri mereka. dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.24
Penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa ijtihad Rasul
saw., itu dilakukan dengan menggunakan rasio (al-ra’yu) nya
sendiri secara teknis terkadang menerapkan qiyas, dan terka-
dang maslahat. Namun demikian tidak semua pendapatnya
merupakan hasil ijtihad yang harus dilakukan umatnya. Ter-
kadang Nabi memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
mengikuti atau tidak terhadap ucapan atau perbuatannya ter-
utama dalam urusan dunia, karena beliau menyadari bahwa
setiap akal manusia memiliki otoritas untuk memikirkan sesu-
atu yang paling baik bagi urusan dunianya, meskipun penye-
rahan otoritas ini tidak mutlak. Nabi saw., bersabda:
ٍ ِ
ال لَ ْو َلْ تـَْف َعلُ ْوا ُ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َمَّربَِق ْوم يـُلَق
َ ِّح ْو َن فـََق َّ ِاَ َّن الن
َ َّب
ت َك َذا ِ ِ ِِ ِ
َ صا فَ َمَّر ب ْم فَقاَ َل َما لنَ ْخل ُك ْم قاَلُْوا قـُْل ً ال فَ َخَر َج شْي َ َصلُ َح قَ َل
25
)ال اَنـْتُ ْم اَ ْعلَ ُم بِاَْم ِرُدنْياَ ُك ْم (صحيح مسلم َ ََوَك َذا ق
“Bahwa Nabi saw., melewati suatu kaum yang sedang mengawin-
kan pohon kurma lalu beliau bersabda: Sekiranya mereka tidak me-
lakukannya, kurma itu tetap akan baik. Tapi setelah itu, ternyata
kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat
Nabi saw., melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau berta-
nya, ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab bu-
kankah Nabi telah mengatakan hal ini dan itu? beliau bersabda:
Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
24
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 261.
25
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz IV, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 1836.
12
bab 1 pendahuluan
26
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Cet. III; Semarang: Dina Utama, 2005), h. 7.
13
ushul fiqh
14
bab 1 pendahuluan
27
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh Edisi IV, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra), h. 53.
15
ushul fiqh
28
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 20.
16
bab 1 pendahuluan
29
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 10.
17
ushul fiqh
18
bab
2
SUMBER HUKUM
1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Cet. IVX;
Surabaya: Pustaka Progresif, 2000), h. 417.
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 13.
ushul fiqh
3
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Cet. VII;
Jakarta: 2009), h. 62.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 114.
20
bab 2 sumber hukum
5
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 355.
6
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh ..., h. 63.
21
ushul fiqh
22
bab 2 sumber hukum
7
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 86-87.
8
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh ..., h. 64.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 35.
23
ushul fiqh
َّاس َوإِْثُُه َماِ الَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ْثٌ َكبِريٌ َوَمنَافِ ُع لِلن
ْ ك َع ِن َ َيَ ْسأَلُون
ِ ِ
ُي اللَّه َ ك َما َذا يـُْنف ُقو َن قُ ِل الْ َع ْف َو َك َذل
ُ َِّك يـُبـ َ َأَ ْكبـَُر ِم ْن نـَْفع ِه َما َويَ ْسأَلُون
ِ
ِ لَ ُكم اآلي
ات لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـََف َّكُرو َن َ ُ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Kata-
kanlah: “yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.11
Tahap kedua: QS. al-Nisā’ [4]: 43.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.165.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 43.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 110.
24
bab 2 sumber hukum
25
ushul fiqh
14
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 190.
15
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Cet. Terakhir, (Bandung: Angkasa, 2000), h. 11.
16
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 704.
26
bab 2 sumber hukum
17
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.p: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 151.
18
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.p: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 128.
27
ushul fiqh
َول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نـََها ُك ْم َعْنهُ فَانـْتـَُهوا َواتـَُّقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّه
ُ الر ُس
َّ َوَما آتَا ُك ُم
ُ َش ِد
ِ يد الْعِ َق
اب
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.20
2. Rasul mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Qur
ʼan, seperti dijelaskan dalam Firman Allah QS. al-Nisā’
[4]: 80.
19
Suparman Usman, Hukum Islam ..., h. 45-56.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.797.
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.118.
22
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 67.
28
bab 2 sumber hukum
23
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 50.
24
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, h. 27.
25
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 36.
29
ushul fiqh
اَ َّن َر ُس ْوَل اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَطَ َع َسا ِرقاً ِف ِمَ ٍّن قِْي َمتُهُ ثَالَثَةُ َدراَ ِه َم
Bahwa Rasulullah memotong tangan seseorang yang mencuri te-
meng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham (muttfaq ‘alaihi).30
Satu dirham sekitar Rp 49.000.
ِ السا ِرِق اَِّل ِف رب ِع ِديـنَا ٍرفَص
)اع ًدا(رواه مسلم َّ َلتـُْقطَ ُع يَ ُد
َ ْ ُُ
26
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 50.
27
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.tp.: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 128.
28
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 111.
29
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 151.
30
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th.), h. 1313.
30
bab 2 sumber hukum
31
ushul fiqh
Tidak halal dara orang Islam yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bersaksi bahwa aku utusan Allah, kecuali dengan salah satu
dari tiga sebab: (1) Orang yang sudah menikah melakukan zina; (2)
Karena membunuh orang; dan (3) Orang yang murtad meninggalkan
agamanya, memisahkan dari jamaah kaum Muslimin.33
5. Nabi berperan sebagai legislator atau bayan al-tasyri ber-
arti Nabi saw., memiliki wewenang menetapkan hukum
baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qurʼan.34 Contoh
tidak boleh seseorang mengumpulkan memadu seorang
wanita dengan ‘ammah’ saudari bapaknya dan seorang
wanita dengan khalah (saudari ibunya). Demikian juga
larangan mengawini seorang wanita yang bersaudara se-
persusuan karena ia dianggap muhrim senasab.
Sebagaimana Hadis Rasulullah saw.:
ِ ايرُم ِمن النَّس
ب َّ َْيُرُم ِم َن
َ َ ُ َْ الرضاَِع َم
Haram lantaran susuan apa yang haram karena keturunan (nasab).35
Sunnah ditinjau dari segi perawi-perawinya dari Rasul
saw., dibagi menjadi tiga macam:
1. Sunnah mutawatirah;
2. Sunnah masyhurah; dan
3. Sunnah ahad.
Ad.1. Sunnah mutawatirah adalah Sunnah yang diriwayat-
kan dari Rasulullah saw., oleh beberapa perawi yang
menurut kebiasaannya, dan tidak mungkin mereka itu
bersepakat berdusta, disebabakan jumlah mereka yang
banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya orien-
tasi dan lingkungan mereka, kemudian dari kelompok
perawi ini, sejumlah perawi yang sepadan dengannya
meriwayatkan Sunnah tersebut, sehingga Sunnah ter-
sebut sampai kepada kita dengan sanad masing-masing
33
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 1302.
34
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 51.
35
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, h. 170.
32
bab 2 sumber hukum
36
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 49.
37
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 50.
38
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, h. 6.
33
ushul fiqh
39
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 114.
40
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, h. 699.
34
bab 2 sumber hukum
ضوا ِم ْنُّ ب النـَْفِ ت فَظًّا َغلِي َظ الْ َق ْلَ ت َلُ ْم َولَ ْو ُكْن
ِِ ٍِ
َ فَبِ َما َر ْحَة م َن اللَّه لْن
ِ حولِك فَاعف عنـهم و
تَ األم ِر فَِإ َذا َعَزْم
ْ استـَ ْغف ْر َلُ ْم َو َشا ِوْرُه ْم ِف ْ َ ْ ُْ َ ُ ْ َ ْ َ
ِ ُّ فـَتـََوَّك ْل َعلَى اللَّ ِه إِ َّن اللَّهَ ُي
ِ
َ ب الْ ُمتـََوِّكل
ني
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maaf-
kanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawa-
rahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguh-
nya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.41
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah
lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya.
Definisi ijma’: mayoritas ulama mujtahid menyepakati,
maka ijma’ bisa saja terjadi. Contoh fatwa ulama Saudi seperti
memakai ihram di King Abdul Azis, berarti disepakati oleh
sebagian besar negara Islam, QS al-Nisā’ [4]: 59).
41
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 90.
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 114.
35
ushul fiqh
43
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 118.
44
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 127.
45
Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, (Yogyakarta: Ida Pustaka,
2009), h. 17.
36
bab 2 sumber hukum
46
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2009), h. 58.
47
Abdul Mughits, Kritk Nalar Fiqh Pesantren, Cet. I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia
37
ushul fiqh
2008), h. 82.
48
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 58.
49
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 58.
38
bab 2 sumber hukum
50
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 59.
51
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 59.
52
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 60.
39
ushul fiqh
53
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 57.
40
bab 2 sumber hukum
54
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 488.
41
ushul fiqh
42
bab 2 sumber hukum
55
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 336.
56
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 336.
57
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.488.
58
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, h. 1587.
43
ushul fiqh
59
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Juz III (Beirut: Maktabah al-Mishriyyah, t.th.), h. 326.
60
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 809.
44
bab 2 sumber hukum
61
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 387.
45
ushul fiqh
ين يَأْ ُكلُو َن أ َْم َو َال الْيَتَ َامى ظُْل ًما إَِّنَا يَأْ ُكلُو َن ِف بُطُونِِ ْم نَ ًارا ِ َّ ِ
َ إ َّن الذ
صلَ ْو َن َسعِ ًرياْ ََو َسي
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan me-
reka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).62
3. Qiyas adna: qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang
lebih rendah bobotnya dibanding dengan illat yang terda-
pat pada ashal. Contoh: khamar.
Contoh lain tentang qiyas, berupa Hadis Nabi saw., yaitu:
ِ ِ عن سع، عن أَِب بِ ْش ٍر،َ ح َّدثـنا أَبو عوانَة،اعيل
يد بْ ِن ِ ِ
َ َْ ْ َ َ َ ُ ََ َ َ َوسى بْ ُن إ ْس َ َح َّدثـَنَا ُم
ِ ِ ِ
َّ أ، َع ِن ابْ ِن َعبَّاس َرضي اللهُ َعنـْ ُه َما،ُجبـٍَْي
َّ ٍ
ِّ ِت إ َل الن
َّب ْ َ َجاء،ََن ْامَرأَةً م ْن ُج َهيـْنَة َ ِ
،ت ْ إِ َّن أ ُِّمي نَ َذ َر:ت
ْ َت أَ ْن َتُ َّج فـَلَ ْم َتُ َّج َح َّت َمات ْ َ فـََقال،صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َمَ
ِ ك دين أَ ُكْن ِ ت لَو َكا َن َعلَى أ ُِّم ِ أَرأَي، «نـعم ح ِّجي عنـها:ال
ت ٌ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ََ َ َق ا؟ َ ُ أَفَأ
هْـ ن ع
َ ج
ُّ َح
ِ
»الوفَاء ِ ضوا اللَّهَ فَاللَّهُ أ ِ َق
َ َح ُّق بَ ُ ْاضيَةً؟ اق
“Menghajikan orangtua yang telah meninggal, sedangkan dia telah
bernazar untuk naik haji. Ketika hal itu ditanyakan oleh seseorang
sahabat kepada Rasul, beliau mengatakan kepada orang yang ber-
tanya: bagaimana pendapatmu jika ibumu berutang, lalu engkau
bayar, apakah utang itu lunas? Laki-laki itu menjawab benar, maka
Rasulullah menyatakan, hajikanlah dia.”63
Dalam Hadis lain:
ٍ ِك ب ِن سع
ِِ ِ
يد َ ْ َع ْن َعْبد الْ َمل، َح َّدثَِن بُ َكيـٌْر،ث
ٌ َح َّدثـَنَا لَْي،اج
ٌ َح َّدثـَنَا َح َّج
ِ عن جابِ ِر ب ِن عب ِد،ي
اهلل َْ ْ َ ْ َ ِّ صا ِر َ ْْالَن
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 101.
63
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, (t.tp.: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 18.
46
bab 2 sumber hukum
،ت ُ ت يـَْوًما فـََقبـَّْل ُ َه َش ْش:ال َ َ أَنَّهُ ق:ُاب َر ِض َي اهللُ َعْنه ِ َّالَطْ َع ْن عُ َمَر بْ ِن
ِ ِ َ فَأَتـيت رس،وأَنَا صائِم
تُ صنـَْع َ :ت ُ فـَُق ْل،صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َ ول اهلل ُ َ ُ َْ ٌ َ َ
ِاهلل صلَّى اهلل علَيه ِ ول ِ ِ
َْ ُ َ ُ ال َر ُس َ فـََق.صائ ٌم َ ت َوأَنَا ُ يما؛ قـَبـَّْل
ً الْيـَْوَم أ َْمًرا َعظ
ِ ضت ِبَ ٍاء وأَنْت
سَ ْ َل بَأ:ت ُ صائ ٌم؟ " فـَُق ْل َ َ َ َ ْ ض َم ْ ََت لَ ْو ت َ ْ " أ ََرأَي:َو َسلَّ َم
ِ َّ ِ ِ ول ِ
" يم؟ َ " فَف:صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم
َّ َ اهلل ُ ال َر ُس
َ فـََق.ك َ بِ َذل
“Hadis lain, ketika Umar bin Khattab yang mencium istrinya keti-
ka sedang melakukan puasa, Nabi saw. Bersabda. Bagaimana pen-
dapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air sedangkan kamu
berpuasa? Umar menjawab. Tidak apa-apa. Lalu Rasul bersabda
maka berpuasalah!”64
Kelompok penggunaan qiyas:
1. Kelompok jumhur, meggunakan qiyas secara penuh;
2. Kelompok mazhab Zahiriyah Syiah Imamiyah; dan
3. Kelompok yang menggunakan secara luas.
64
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz I, h. 285 dan 439.
47
bab
3
IJTIHAD
A. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata yang berarti al-thaqah
(daya, kemampuan, kekuatan). Atau berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu ijtihad menurut pengertian
bahasa bermakna “badzl al-wus’wa al-majhud (pengerahan
daya dan kemampuan) atau pengerahan segala daya dan
kemampuan dalam satu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar.1
Dari pengertian bahasa di atas ada dua unsur pokok da-
lam ijtihad, yaitu: (1) Daya atau kemampuan; (2) Objek yang
sulit dan berat.
Ijtihad, menurut istilah: secara umum memiliki makna
yang luas, mencakup segenap pencurahan daya intelektu-
al dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan
atau permasalahan yang sukar. Dari itu, upaya pengerahan
kemampuan dalam berbagai lapangan ilmu, seperti Ilmu ka-
lam, falsafah, tasawuf, fikih, dan lain sebagainya merupakan
suatu bentuk ijtihad. Namun ijtihad dalam pengertian khusus
dan spesifik, yaitu ijtihad dalam hukum Islam, mengacu ke-
1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 567.
ushul fiqh
B. Lapangan Ijtihad
Lapangan ijtihad: menurut al-Hudary Bek dan didukung
oleh Ibrahim Hosen ijtihad hanya berlaku dalam lapangan
fikih, bidang hukum yang berhubungan dengan amal. Karena-
itu dalam pandangan ulama ushul ijtihad tidak terdapat pada
ilmu kalam yang mempelajari ahkam syariah i’tiqadiyah, juga
tidak pula dalam bidang tasawuf.
Lapangan ijtihad menurut al-Amidi mengatakan sebagai
berikut:
a. Bidang yang dapat dijtihadi adalah hukum-hukum syara’
yang dalilnya bersifat zanni. Ungkapan hukum-hukum
syara’ dimaksudkan untuk membedakannya dari hukum-
hukum akal dan bahasa atau lainnya. Demikian pula un-
tuk membedakannya dari hukum-hukum yang dalilnya
bersifat qath’i (pasti), seperti ibadah yang lima (rukun
Islam), karena ibadah tersebut bukan merupakan bidang
ijtihadi, karena orang yang keliru dalam bidang ini dipan-
dang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu
adalah masalah di mana orang yang keliru dalam ijtihad-
nya tidak berdosa.
Sebagaimana dalam QS. al-Baqarah [2]: 228.
ٍ والْمطَلَّ َقات يـتـربَّصن بِأَنـ ُف ِس ِه َّن ثَالثَةَ قـر
وءُُ ْ َ ْ ََ َ ُ ُ َ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’.2
2
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 45.
50
bab 3 ijtihad
51
ushul fiqh
52
bab 3 ijtihad
6
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 699.
7
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz IX, h. 108.
53
ushul fiqh
8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 574.
54
bab 3 ijtihad
dari segi manfaat atau bahaya dalam satu hal atau bahaya
yang ditimbulkan. Dalam hal ini al-Syatibi mengatakan
“jika seseorang telah mencapai suatu tingkatan tertentu,
maka ia akan mampu memahami tujuan syara’ dalam se-
tiap masalah dan setiap aspek. Dengan itu, ia telah men-
capai sifat yang membuatnya menempati status “Khalifah
Nabi” (pengganti Nabi) untuk menyebarkan ajaran, mem-
beri fatwa dan menetapkan hukum sesuai petunjuk Allah.
2. Kemampuan beristinbat, dengan menguasai alat istinbat,
yaitu menguasai Bahasa Arab, hukum-hukum yang ada
dalam Al-Qurʼan dan Sunnah, ijma’, perbedaan pendapat
di kalangan ahli fikih, serta macam-macam qiyas.9 Jadi
intinya bahwa bagian kedua ini seorang mujtahid harus
mengetahui ilmu alat yang telah menjadi persyaratan se-
orang mujtahid.
Pembagian ijtihad ada dua:
1. Ijtihad istinbat, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha
menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang te-
lah ditentukan.
2. Ijtihad tatbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk
menemukaan dan menghasilkan hukum, tetapi menerap-
kan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepa-
da kejadian yang muncul kemudian.
9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 577.
55
ushul fiqh
56
bab 3 ijtihad
11
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I, (Semarang: Dina Utama,
t.th..), h. 80.
57
ushul fiqh
12
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, h. 80.
58
bab
4
BEBERAPA METODE IJTIHAD
A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar
dari yang berarti menganggap baik sesuatu.1 Atau
mengira sesuatu itu baik.2 Abu Hanifah tetap menggunakan
arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu
(astahsin) berarti saya menganggap baik.3 Arti lain dari istihsan
adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu.4
Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergam
bar adanya seseorang yang telah menghadapi dua hal yang
keduanya baik, akan tetapi ada hal yang mendorongnya un
tuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan un
tuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk
diamalkan.
1
Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II, Cet. IX, (Surabaya Pustaka
Progresif, 1985), h. 187.
2
Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Mu’assasah Syabab al-
Iskandariyah, t.th.), h. 263.
3
Abu Zahrah, Ushul, Ushul fiqh, h. 402.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1999), h. 305.
ushul fiqh
60
bab 4 beberapa metode ijtihad
8
Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I, (Cairo: t.th. ), h. 30.
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1996), h. 105.
61
ushul fiqh
2. Hakikat Istihsan
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan
istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum. Di
antara ulama yang paling santer dalam membela dan meng
amalkan istihsan sebagai hujah adalah ulama Mazhab Hanafi.
Ditambah sebagian ulama-ulama lainnya dari Mazhab Mali-
ki dan Hambali. Hanya saja, ulama Mazhab Syafi’i memiliki
pandangan yang berbeda dalam memposisikan istihsan seba-
gai dalil pokok dalam pengambilan hukum.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pandangan ulama yang membela dan mendukung istihsan de-
ngan ulama yang menentang istihsan. Mereka tidak berselisih
dalam penggunaan lafaz istihsan, karena kata yang mengan-
dung makna hasan (baik) itu terdapat dalam teks Al-Qurʼan
dan Sunnah. Allah Swt berfirman dalam (Qs. al-Zumar [39]:
18):
ِ َّ ِالَّ ِذين يست ِمعو َن الْ َقوَل فـيتَّبِعو َن أَحسنه أُولَئ
ُين َه َد ُاه ُم اللَّه
َ ك الذ َ ُ ََ ْ ُ ََ ْ ُ َْ َ َ
ِك ُهم أُولُو األلْباب ِ
َ ْ َ َوأُولَئ
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petun-
62
bab 4 beberapa metode ijtihad
3. Pembagian Istihsan
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Wajiz fī Ushul
Fiqh, membagi istihsan dari segi sandaran dalilnya dibagi
menjadi berapa macam:13
10
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 661.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 667.
12
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI, (t.tp.: Muassasah al-Risalah,
1421 H), h. 84.
13
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi, (Beirut: Penerbit Mu’assasah Risalah,
63
ushul fiqh
2002), h. 230.
64
bab 4 beberapa metode ijtihad
4. Kehujahan Istihsan
Para ulama yang menggunakan istihsan, adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Ah-
mad bin Hanbal. Alasan-alasan mereka adalah, penelitian ter-
hadap beberapa peristiwa hukum dan ketentuan hukumnya
membuktikan bahwa terus-menerusnya berlaku ketetapan
14
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 474.
65
ushul fiqh
15
Ahmad Hassan, Islamic Reserch Institute, diterjemahkan oleh Aqah Garnadi dengan judul
Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 141.
16
Abi Ishaq al-Syatibi, Juz IV, 206.
17
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-
Wahdat al-‘Arabiyah, t.th.), h. 589.
66
bab 4 beberapa metode ijtihad
18
Al-Taftazani, Syarh al-Talwik ‘ala al-Taudih, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 62.
19
CD. Rom Kutub al-Tis’ah.
67
ushul fiqh
20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 317.
21
Imam Syafi’i, Al-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmadi Toha, Cet. I, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), h. 241.
22
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 415.
68
bab 4 beberapa metode ijtihad
B. Maslahah MURSALAH
Maslahah berasal dari kata yang berarti man-
faat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian masla-
hah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia.” Jadi, maslahah itu mengandung
dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan
menolak atau menghindarkan kemudaratan.
Mursalah artinya terlepas dan bebas, bila dihubung-
kan dengan kata maslahah, maka terlepas atau bebas dari ke-
terangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.
Maslahah mursalah: suatu upaya penetepan hukum dida-
sarkan atas kemaslahatan (maslahah), yang tidak terdapat di
dalam nash maupun ijma’ tidak ada pula penolakan atasnya
23
Abuddin Nata, Masail Fiqhiyah, Cet.I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2003), h. 162.
69
ushul fiqh
24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.
25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.
26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 325.
70
bab 4 beberapa metode ijtihad
71
ushul fiqh
C. ISTISHAB
1. Definisi Istishab
Istishab menurut bahasa berarti “mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah, ulama fikih ialah tetap ber-
pegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum
pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap
berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang be-
lum pernah ditetapkan hukumnya. Adapun menurut Asy-Sya-
tibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.27
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa
istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, di-
nyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali ka-
lau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, ke-
mudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan se-
27
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 456.
72
bab 4 beberapa metode ijtihad
lama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini B, belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada per-
ubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama
berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap
sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab.
3. Macam-macam Istishab
Dari istishab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat
dijadikan dasar untuk mengistinbatkan hukum. Ditinjau dari
segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishab dapat dibagi kepada:
a. Istishab berdasarkan penetapan akal.
73
ushul fiqh
الس َم ِاء
َّ استـََوى إِ َل ِ ِ هو الَّ ِذي خلَق لَ ُكم ما ِف األر
ْ َّض َج ًيعا ُث ْ َ ْ َ َ َُ
يم ِ ٍ ِ ٍ
ٌ فَ َس َّو ُاه َّن َسْب َع َسَ َاوات َوُه َو ب ُك ِّل َش ْيء َعل
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah:
29)28
Berdasarkan ayat 29 surah al-Baqarah di atas, maka dapat
ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang di-
ciptakan Allah Swt. di bumi ini adalah untuk keperluan
dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai
sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah
di muka bumi. Jika demikian halnya, maka segala sesuatu
itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaat-
kan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa
hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’
yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebe-
lum turunnya ayat 90 surah al-Māidah, kaum Muslimin
dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut
diharamkan meminum khamar. Dengan demikian, ayat
tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain
yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah
(boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari
tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishab berdasarkan hukum syara’.
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah ter-
jadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki
dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-
28
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 6.
74
bab 4 beberapa metode ijtihad
75
ushul fiqh
الس َم ِاء
َّ استـََوى إِ َل ِ ِ هو الَّ ِذي خلَق لَ ُكم ما ِف األر
ْ َّض َج ًيعا ُث ْ َ ْ َ َ َُ
يم ِ ٍ ِ ٍ
ٌ فَ َس َّو ُاه َّن َسْب َع َسَ َاوات َوُه َو ب ُك ِّل َش ْيء َعل
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.29
29
Kementerian Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 6.
76
bab 4 beberapa metode ijtihad
77
ushul fiqh
D. ‘URF
1. Definisi
Al-‘Urf menurut bahasa adalah sering diartikan
dengan apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi
tradisi.
‘Urf secara terminologi adalah kebiasaan mayoritas kaum,
baik dalam perkataan atau perbuatan.
Menurut ulama ushul, ‘urf adalah apa yang telah dibia
sakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik
berupa perkataan, maupun perbuatan.
Adat menurut bahasa adalah perulangan atau sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hu
bungan rasional. Contoh: Kebiasaan seseorang mendengkur
ketika tidur.
2. Macam-macam ‘Urf
1. ‘Urf qauli, kata daging yang hanya ditujukan kepada da-
ging sapi, kerbau, dan kambing. Tetapi tidak masuk da-
ging ikan.
2. ‘Urf fi’li, kebiasaan seseorang mengambil rokok temannya
tanpa meminta.
‘Urf dari segi ketentuan hukumnya:
1. ‘Urf yang benar (‘urf shahih) yaitu kebiasan yang dilaku-
kan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, ti-
dak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
kewajiban. Seperti kebiasaan meminta pekerjaan, adat
membagi maskawin menjadi dua.
2. Adat yang rusak yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh
manusia tetapi bertentangan dengan syara’ menghalal-
kan yang haram, atau membatalkan kewajiban. Seperti
kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, di
tempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba
dan perjudian.
78
bab 4 beberapa metode ijtihad
3. Syarat-syarat ‘Urf:
1. Tidak bertentangan dengan nash (Al-Qurʼan dan Sunnah);
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan/kerusakan;
3. Tidak berlaku secara universal pada kaum Muslimin; dan
4. Tidak berlaku pada masalah ibadah mahdah (hanya ma-
salah muamalah).
Kaidah/dasar hukum ‘urf (al-‘adatu syariat al-muhakka-
mat). Ulama berkata: ‘urf adalah syariat yang dikuatkan se-
bagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’.
Imam Malik membentuk banyak hukum berdasarkan per-
buatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para murid-
nya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada
adat mereka. Imam Syafi’i ketika berada di Mesir, meng-
ubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau ber-
ada di Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu, ia
memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara’
yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk memperhatikan
kemaslahatan umum. Yakni, sebagian adat diperhatikan da-
lam penetapan hukum syara’ maka diperhatikan juga dalam
memberikan penafsiran nash, men-takhsis yang umum, dan
membatasi yang mutlak.
E. SADD ZARI’AH
1. Pengertian Sadd al-Żari’ah
Sadd Żarī’ah terdiri dari dua kata dan secara
etimologi, sadd berarti menutup, sedangkan Żarī’ah yang asal
katanya adalah jamak dari yang berarti wasilah atau
“jalan” menuju suatu tujuan, kata ini sebagai penghubung
yang dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat positif maupun
negatif.30
30
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. VII, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group,
79
ushul fiqh
2017), h. 158.
31
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam”, Cet. I, (Jakarta:
Kencana-PrenadaMedia Group, 2017), h. 221 & 222.
32
Firdaus, Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam secara Komprehensif, Cet. I, (Depok: PT
RajaGrafindo, 2017), h. 130
80
bab 4 beberapa metode ijtihad
adalah haram.
Menurut pandangan Ibnu Qayyim yang mengatakan pe-
rihal apa yang dikatakan Nasrun Harun bahwa sadd Żarī’ah
tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang membawa kepada
yang dianjurkan. Ibnu Qayyim membagikan Żarī’ah menjadi
dua yaitu:
a. Sadd Żarī’ah adalah sesuatu yang dilarang, sebagaimana
Imam al-Syaitibi mendefinisikannya.
33
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh , Edisi. I, Cet. IV (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), h. 245.
81
ushul fiqh
34
Abū ‘Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu‘aib bin ‘Alī al-Khurasān, Sunān al-Ṣugrā li al-Nasā‘iy,
juz. VI, Cet. IV; II; (T.tp: Maktabah al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah, 1986), h. 69.
82
bab 4 beberapa metode ijtihad
83
ushul fiqh
ك َزيـَّنَّا لِ ُك ِّل أ َُّم ٍة َع َملَ ُه ْم ُثَّ إِ َل َرِّبِ ْم َم ْرِجعُ ُه ْم فـَيـُنَبِّئـُُه ْم ِبَا َكانُوا ِ
َ َك َذل
يـَْع َملُو َن
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sem-
bah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan me-
lampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap
umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.39
Dalam ayat tersebut terdapat larangan bagi kaum Mus-
limin untuk memaki dan menghina sesembahan orang-
orang musyrik, sebab akan dikhawatirkan mereka akan
membalas dengan memaki pula terhadap Allah. Larangan
memaki di sini menunjukkan adanya sadd al-żarī’ah (me-
nutup jalan), agar mereka tidak memaki atau menghina
Allah.
2. QS. al-Baqarah [2]: 104.
ِ ِ ِ ياأَيـُّها الَّ ِذين آمنُوا َل تـ ُقولُوا ر
َ اسَعُوا َول ْل َكاف ِر
ين ْ اعنَا َوقُولُوا انْظُْرنَا َوَ َ َ َ َ َ
يم ِ
ٌ اب أَل ٌ َع َذ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mu-
hammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.40
Kata rā’inā berarti sudilah kiranya kamu memperhatikan
kami. Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada
Rasulullah saw. Orang Yahudi juga menggunakan kata ini
dengan menggumamkan kata tersebut dengan lafal ru’ūnah
yang berarti kebodohan yang sangat, hal ini sebagai bentuk
ejekan mereka kepada Rasulullah saw. itulah sebabnya Allah
Swt. memerintahkan untuk mengubah kata tersebut dengan
unẒurnā yang memiliki arti yang sama dengan ra’inā. Dengan
kata lain, maka bentuk larangan tersebut sebagai bentuk sadd
39
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemhanya, h. 190.
40
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 20.
84
bab 4 beberapa metode ijtihad
al-zari’ah.41
Banyak pula dalil lain dengan maksud sama mendukung
adanya sadd al-żarī’ah seperti Hadis Nabi saw. yang melarang
seseorang yang mempunyai utang untuk memberikan hadiah
kepada sang piutang karena ditakutkan akan terjerumus da-
lam praktik riba. Begitu pula dengan larangan memberikan
warisan kepada anak yang membunuh bapaknya karena di-
takutkan seorang anak akan tega membunuh bapaknya untuk
mendapatkan warisan (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara di kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah dan
Syiah hanya menerima sadd al-żarī’ah dalam masalah tertentu
dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah
yang lain; misalnya, Imam Syafi’i, membolehkan seseorang
karena adanya uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan
shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur. Na-
mun, orang itu hendaklah melaksanakan shalat zuhur secara
diam-diam dan tersembunyi, agar tidak dituduh sengaja me-
ninggalkan Shalat Jumat, seperti halnya dengan orang yang
tidak berpuasa, apabila ada uzur, maka hendaklah ia tidak
makan dan minum di tempat yang umum untuk menghindari
fitnah terhadapnya. Pendapat-pendapat Imam Syafi’i diru-
muskan atas dasar prinsip sadd al-żarī’ah.
Kalangan Hanafiyah menolak adanya pengakuan orang
yang dalam keadaan marḍ al-maut (sakit membawa kepada
kematian), karena diduga pengakuannya akan mengakibat-
kan pembatalan terhadap hak orang lain dalam menerima
warisan. Umpamannya, pengakuan orang yang dalam keada-
an marḍ al-maut tentang utangnya terhadap orang lain yang
meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Menurut kalangan
Hanafiyah pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli
waris terhadap harta tersebut.42
Adapun Ibnu Hazm sama sekali menolak mengambil sadd
41
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, h. 207.
42
Firdaus. Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam Secara Komprehensif, (Cet. I; Depok: PT
RajaGrafindo, 2017), h. 130-132
85
ushul fiqh
ْ َوَما َلُ ْم بِِه ِم ْن ِع ْل ٍم إِ ْن يـَتَّبِعُو َن إَِّل الظَّ َّن َوإِ َّن الظَّ َّن َل يـُْغ ِن ِم َن
الَ ِّق
َشْيئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang. Sesungguh-
nya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.43
Ada dua cara memandang sadd al-żarī’ah yang dikemuka-
kan oleh para ulama ushul fiqh yakni:
1. Dari sisi motivasi yang mendorong sesorang untuk me-
ngerjakan sesuatu yang baik bertujuan yang halal maupun
haram. Seperti seorang wanita yang telah diceraikan oleh
suaminya sebanyak tiga kali kemudian dinikahi oleh seo-
rang pria dengan tujuan agar dapat kembali kepada suami
pertamanya. Praktik nikah seperti ini dinamakan nikah
tahlil, pada dasarnya menikah dianjurkan oleh Islam na-
mun jika menikah dengan tujuan yang tidak sesuai de-
ngan syariat Islam, maka pernikahan seperti ini dilarang.
2. Dari sisi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut
yang menghasilkan dampak negatif; misalnya, seorang
Muslim yang mencaci maki sesembahan orang musyrik.
Niat orang tersebut memang baik yakni untuk menegak-
kan akidah Islam namun dapat berdampak negatif dengan
adanya balasan dari orang musyrik yang juga akan men-
caci maki atau bahkan lebih parah perbuatannya kepada
Allah Swt.44
43
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 765.
44
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid. I, h. 208.
86
bab 4 beberapa metode ijtihad
45
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 145-146.
87
ushul fiqh
46
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh h. 147.
88
bab 4 beberapa metode ijtihad
ات َح َّت يـُْؤِم َّن َوَل ََمةٌ ُم ْؤِمنَةٌ َخيـٌْر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو ِ وَل تـْن ِكحوا الْم ْش ِرَك
ُ ُ َ َ
ني َح َّت يـُْؤِمنُوا َولَ َعْب ٌد ُم ْؤِم ٌن َخيـٌْر ِم ْن ِأ َْعجبْت ُكم وَل تـْن ِكحوا الْم ْش ِرك
َ ُ ُ ُ َ ْ ََ
ِالنَّة ِ َّ ِ ِ َ ُِم ْش ِرٍك َولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم أُولَئ
َْ ك يَ ْدعُو َن إ َل النَّار َواللهُ يَ ْدعُو إ َل
ِ َوالْ َم ْغ ِفَرِة بِِإ ْذنِِه َويـُبـَيِّ ُ آيَاتِِه لِلن
َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يـَتَ َذ َّك ُرو َن
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mere-
ka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Mereka meng-
ajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-
Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.47
47
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 43.
89
ushul fiqh
48
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 143.
90
bab 4 beberapa metode ijtihad
49
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid. I, h. 209-211.
91
ushul fiqh
F. Mazhab Sahabat
Mazhab Sahabat adalah: pendapat para sahabat Rasul
tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hu-
kum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum tersebut. Da-
lam hal ini terdapat empat pendapat ulama:
1. Mazhab Sahabi tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum,
menurut pendapat jumhur ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah,
Syi‘ah pendapat yang kuat di kalangan ulama Syafi’iyah.
2. Kedua, memandang Mazhab Sahabat dapat dijadikan se-
begai dalil hukum dan didahului oleh qiyas, pendapat ini
50
Nasrun Harun, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Logos, 1999), h. 143-144.
92
bab 4 beberapa metode ijtihad
51
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. I; (Jakarta: Logos, 1999), h. 379-380.
93
ushul fiqh
52
Nasrun Harun, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia, h. 36.
53
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 272.
94
bab 4 beberapa metode ijtihad
95
ushul fiqh
ول ِبَا أُنْ ِزَل إِلَْي ِه ِم ْن َربِِّه َوالْ ُم ْؤِمنُو َن ُكلٌّ َآم َن بِاللَّ ِه َوَمالئِ َكتِ ِه
ُ الر ُس
َّ َآم َن
ِ ٍ وُكتبِ ِه ورسلِ ِه ال نـ َفِّر ُق بـي أ
ك َ ََحد ِم ْن ُر ُسل ِه َوقَالُوا َِس ْعنَا َوأَطَ ْعنَا غُ ْفَران َ َ َْ ُ ُ َُ ُ َ
ِ َ َربـَّنَا َوإِلَْي
ُك الْ َمصري
54
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h.172.
96
bab 4 beberapa metode ijtihad
55
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 198.
97
ushul fiqh
98
bab 4 beberapa metode ijtihad
ين ِم ْن ِ َّ ِ ِ ِ َّ
َ ب َعلَى الذ
َ الصيَ ُام َك َما ُكت
ِّ ب َعلَْي ُك ُم
َ ين َآمنُوا ُكت َ يَا أَيـَُّها الذ
قـَْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـَُّقو َن
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa se-
bagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.
56
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 198.
99
ushul fiqh
57
Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 225.
58
T. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam II, Cet. 6, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), hal. 21.
100
bab 4 beberapa metode ijtihad
59
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah. Prof. Daris. KH. Masdar Helmy, (Ban-
dung: Gema Risalah Press, 1997).
60
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. 3, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2009), h. 239.
61
Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 198-201.
101
ushul fiqh
الَ ْوِل
ْ اعا إِ َل ِ ًوالَّ ِذين يـتـوفـَّو َن ِمْن ُكم وي َذرو َن أَزواجا و ِصيَّة
ً َألزَواج ِه ْم َمت
ْ َ ً َْ ُ ََ ْ ْ ََُ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
اح َعلَْي ُك ْم ف َما فـََع ْل َن ف أَنـُْفسه َّن م ْن ِ ِ
َ ََغيـَْر إ ْخَر ٍاج فَإ ْن َخَر ْج َن فَال ُجن
ِ ٍ
ٌ َم ْع ُروف َواللَّهُ َع ِز ٌيز َحك
يم
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu, dan me-
ninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya, dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada
dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal), membiarkan me-
reka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa,
lagi Maha Bijaksana.
Dengan ayat QS. al-Baqarah [2]: 234:
62
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh. h. 208.
102
bab 4 beberapa metode ijtihad
103
ushul fiqh
63
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet. II, (Beirut: Daria al-Fikr, 2001), h. 961-962.
104
bab 4 beberapa metode ijtihad
64
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet. II, (Beirut: Daria al-Fikr, 2001), h. 962.
105
ushul fiqh
dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis daif), tidak di-
namakan tarjīh. Ulama Mazhab Syafiʼi mendefinisikan tarjīh
sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni un-
tuk kemudian diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjīh
hanya terjadi bila ada dua dalil yang sama-sama zhanni. Maka,
tidak ada tarjīh antara dua dalil yang sama-sama qathʹiy, atau
antara dalil qath’i dan dalil zhanni.65
Pada dasarnya, definisi dari ulama Hanafi dengan Syafi’i
hampir sama. Bedanya, ulama Hanafi menggunakan redaksi
dua dalil yang sama kuat, sementara ulama Syafiʼi mengguna-
kan redaksi zanni dan qathʹiy. Penulis lebih sepakat untuk me-
makai definisi yang digunakan oleh Imam Syaukani, karena
lebih umum dan lebih mencakup. Karena, menurut penulis,
taʼarudh bisa saja terjadi antara dalil yang berbeda kekuatan-
nya, dikarenakan ketidaktahuan akan derajat dalil tersebut.
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode
tarjīh ini ketika terjadi taʼārudh antar beberapa dalil. Sebagian
lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyīr (memilih)
ataupun tawaqquf. Bedanya tarjīh dengan takhyīr adalah, da-
lam amal tarjīh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya
dua kesimpulan; adanya dalil yang rājih dan yang marjuh.
Sementara, dalam takhyīr, seorang mujtahid hanya memilih
tanpa diikuti oleh dua hal di atas.66
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuat-
kan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemah-
kan) tidak perlu diamalkan.67
4. Cara Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w. 631 H) ahli ushul fiqh dari
kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara perinci metode tarjih.
65
http://bicycleclubofjepara.blogspot.com/2011/06/pertentangan-dalil-syari-dan-
kaidah.html. 4/16/2012.
66
http://bicycleclubofjepara.blogspot.com/2011/06/pertentangan-dalil-syari-dan-
kaidah.html. 4/16/2012.
67
Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 243.
106
bab 4 beberapa metode ijtihad
i. Kesimpulan
Kata taʼārudh, secara etimologi berarti pertentangan, se-
dangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang
berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berba-
gai pendapat tentang definisi taʼārudh al-adillah, di antaranya:
a. Menurut Imam Asy-Syaukani, taʼārudh al-adillah adalah
suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap
suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum
yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani: 242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta
ʼārudh al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil
yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara kedua-
nya. (At-Taftazai: 103)
68
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. 2, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2008), h. 242.
107
ushul fiqh
108
bab 4 beberapa metode ijtihad
c. Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah
satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didu-
kung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan
hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat
dukungan.
109
bab
5
HUKUM
A. Definisi Hukum
Definisi hukum secara garis besar adalah sesuatu yang di-
keluarkan oleh hakim dengan kemampuannya atas perbuatan
mukallaf.
Hukum secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“mencegah” atau memutuskan. Secara terminologi ushul fiqh,
hukum berarti khitab (kalam) Allah yang mengatur amal per-
buatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, an-
juran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan,
takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan, dan atau wad’i (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
atau penghalang.
Pembuat hukum syara’ adalah Allah Swt., oleh sebab itu
para ulama ushul sepakat bahwa definisi hukum syara’ ada-
lah kitab (firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
para mukallaf baik dalam bentuk perintah, pilihan, atau pene-
tapan sesuatu.
Ini diperkuat dengan firman Allah dalam QS. al-An’am
[6]: 57:
ushul fiqh
112
bab 5 hukum
C. HUKUM TAKLIFI
Pembagian-pembagian hukum taklif, hukum taklif dibagi
menjadi lima macam yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh,
dan mubah.
1. Wajib
Wajib menurut syara’ adalah suatu perkara yang diperin-
tahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melak-
sanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuat-
an kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan
akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
113
ushul fiqh
114
bab 5 hukum
2. Sunnah/Mandub
Mandub adalah suatu perkara yang perintahkan oleh
syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perin-
tah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pa-
hala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya.
Sighat-nya mandub dapat diketahui dengan lafad-nya se-
perti kata diSunnahkan/dianjurkan atau sighot amar, tapi di-
temui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu
tidak keras.
Contoh dalam QS. al-Baqarah [2]: 282:
ِ ِ ِ ِ َّ
َ ين َآمنُوا إ َذا تَ َدايـَْنتُ ْم ب َديْ ٍن إ َل أ
َُج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه َ يَا أَيـَُّها الذ
Hai orang-orang beriman, apabila kamu utang piutang tidak secara
tunai hendaklah kamu menulisnya.1
Dalam ayat lain diterangkan:
115
ushul fiqh
3. Haram
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk
tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau
dikerjakan mendapat siksa kalau ditinggalkan mendapat pa-
hala. Contoh QS. al-Isrā/17: 32;
ِ َالزنَا إِنَّه َكا َن ف
اح َشةً َو َساءَ َسبِيال ُ ِّ َوال تـَْقَربُوا
Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbu-
atan keji.
Haram dibagi dua yaitu:
1. Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan
dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat meru-
sak/berbahaya. Contoh: zina, mencuri dll.
2. Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu
wajib, Sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya diba-
rengi dengan cara atau perkara haram sehingga hukumya
haram. Contoh: shalat memakai dari baju hasil mengga-
sab dan lain-lain.
116
bab 5 hukum
4. Makruh
Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk me-
ninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain,
perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang
mengerjakan.
Contoh dalam QS. al-Māidah [5]: 101:
5. Mubah
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk me-
milih atau meninggalkannya Contoh QS. al-Māidah [5]: 2:
2
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 165.
3
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 141 .
117
ushul fiqh
a. Sebab
Sebab adalah perkara yang dijadikan syara’ sebagai tan-
da atas adanya musabab, tidak adanya musabab karena tidak
adanya sebab.
Dan semua tanda yang melahirkan hukum apabila hukum
118
bab 5 hukum
b. Syarat
Syarat adalah perkara yang menjadi ketergantungan ada-
nya hukum, karena adanya syarat menjadi sebab adanya hu-
kum dan karena tidak adanya syarat menjadi sebab tidak ada-
nya hukum dan syarat bukan bagian dari perkara itu. Contoh
wudhu sebagai syarat syahnya shalat, shalat bila ada wudhu
maka shalatnya sah, tapi tidak mesti adanya wudhu itu ada-
nya shalat.
Antara syarat dan rukun itu sama menentukan sahnya
sesuatu tapi rukun jadi satu dengan perbuatan atau menjadi
bagian dari perbuatan, kalau syarat tidak menjadi bagian dari
perbuatan. Contoh rukun membaca al-Fatihah dalam sholat,
fatihah menjadi rukun sahnya shalat.
Syarat-syarat dalam perbuatan hukum yang di tetapkan
syara’ dinamakan syarat syar’i dan yang ditetapkan oleh mu-
119
ushul fiqh
c. Mani’
Mani’ adalah perkara yang adanya ini menyebabkan tidak
adanya hukum atau batalnya sebab-sebab hukum walaupun
menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya, tapi ka-
rena adanya mani’ mencegah berlakunya hukum.
Mani’ menurut istilah ushul yaitu perkara yang muncul
bersamaan dengan terpenuhinya sebab atau syarat dan men-
cegah terpenuhinya musabab atas sebab-sebabnya dan ka-
dang-kadang mani’ jadi penghalang dari terpenuhinya sebab
syariat bukan terpenuhinya hukum darinya. Contoh utang
menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, jadi utang menja-
di pencegah terpenuhinya sebab-sebab diwajibkannya zakat.
Harta orang yang berutang sebenarnya bukan miliknya tapi
milik orang yang dihutangi, utang inilah yang menghapus
syarat yang menjadi pelemgkap sebab hukum syara’ sehingga
tidak dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat.
Ulama Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:
1. Mani’ yang menghalangi sah sebab hukum. Seperti men-
jual orang merdeka.
2. Mani’ yang jadi penghalang kesempurnaan sebab. Contoh
orang yang punya utang mencegah wajibnya zakat.
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlakunya hukum. Se-
perti khiyar syarat, penjual menghalangi pembeli meng-
guanakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama
masa khiyar berlaku.
4. Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum seperti khi-
yar ru’yah. Khiyar rukyah ini tidak menghalangi lahirnya
hak milik namun hak milik itu dianggap sempurna sebe-
lum melihat barangnya walau sudah di tangan pembeli.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum, seperti aib.
120
bab 5 hukum
121
ushul fiqh
C. MAHKUM FIHI
Yang dimaksud mahkum fihi adalah perbuatan mukallaf
yang menjadi objek hukum syara’. Maka setiap hukum syara’
harus berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf baik dari
segi tuntutan pilihan atau penetapan. Contoh: membelanja-
kan harta dijalan Allah.
Agar perbuatan mukallaf dapat dijadikan objek hukum
syara’ disyaratkan:
1. Hukum itu telah diketahui dengan jelas sehingga dapat
dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki syara’.
2. Mukallaf harus mengetahui bahwa kewajiban yang dibe-
bakan kepadanya adalah dari Allah.
3. Kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf baik yang
dituntut untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
betul-betul dapat dilaksanakan mukallaf dan berada da-
lam batas kemampuan mukallaf.
Lalu syarat ini menjadi dua cabang yaitu:
1. Tidak sah tuntutan syara’ yang mustahil dari segi zat,
maksudnya mustahil yang masuk akal atau tidak masuk
akal.
2. Tidak syah tuntutan syara’ pada mukallaf dengan menger-
jakan pekerjaan orang lain.
122
bab 5 hukum
D. MAHKUM ‘ALAIHI
Yang dimaksud mahkum alaihi ialah mukallaf yang men-
jadi objek tuntutan hukum syara’. Maka disyaratkan bagi seo-
rang mukallaf yang dikenai hukum sebagai berikut:
1. Seorang mukallaf mampu memahami dalil taklif.
2. Seorang mukallaf itu dapat menanggung beban atau ahli-
yah terhadap taklif perkara yang dituntutkan padanya.
Ahli ushul membagi ahliyah menjadi dua macam:
1. Ahliyatul wujub adalah kecakapan manusia untuk me-
nanggung hak dan kewajiban. Kecakapan ini ada semen-
jak ia dalam kandungan.
2. Ahliyatul ada’ adalah Kecakapan yang dimiliki seseorang
umtuk melakukan perbuatan yang dipandang sah oleh
syara’ baik dalam bidang ibadah, muamalah, jinayah, dan
sebagainya. Dasar Ahliyatul ada’ ini berdasarkan pada ke-
mampuan akal
Keadaan-keadaan manusia dalam ahliyatul wujub berada
dalam dua posisi yaitu:
1. Adakalanya manusia ahliyatul wujub-nya berkurang. Con-
toh anak yang berada dalam kandungan ibu dia punya
hak yaitu hak waris, wasiat, waqof, tetapi dia tidak punya
kewajiban, dia hanya punya hak-hak terbatas.
123
ushul fiqh
124
bab
6
Qawa’idul FIQHIYyAH
5
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 159.
126
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
6
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.
7
Pilihan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya.
8
Penetapan tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu. Misbahuddin, Buku
Daras Ushul Fiqh II, h. 160.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 285.
127
ushul fiqh
10
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 160.
128
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
1. Dasar Formil
Qaidah fiqhiyyah adalah hukum-hukum furu’ yang dikum-
pulkan dalam satu untaian kalimat yang sempurna penger-
tiannya dapat mencakup banyak satuan hukum furu’ yang
sejenis, misalnya soal niat. Dalam ibadah, niat menjadi salah
satu kriteria sah dan tidaknya perbuatan. Dalam jinayat, kri-
teria suatu perbuatan dapat digolongkan dengan sengaja atau
11
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 161.
129
ushul fiqh
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 598.
13
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 162.
130
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
2. Dasar Material
Adapun dasar materiel, atau tegasnya bahan-bahan yang
dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya dari nash
Hadis, seperti kaidah yang berbunyi:
ار ِ ض َر ُر َو َل
َ ض َر َ
َ ال
Janganlah kalian saling membahayakan dan saling merugikan.14
Kaidah ini, berasal dari Hadis yang di-takhrij-kan oleh
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha’, dari Amr bin Yah-
ya dari ayahnya Hadis Malik tersebut walaupun digolongkan
dalam mursal, tetapi Hadis itu juga diriwayatkan oleh Imam
Baihaqy dan Ad-Daruquthny dari Abu Sa’ied Al-Khudry. La-
fadh itu juga di-takhrij-kan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas
dan ‘Ubadah bin Ash-Shamit.
Kaidah yang berasal dari Hadis tersebut berlaku untuk se-
mua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat,
maupun jinayah. Di samping qaidah fiqhiyyah yang dirumus-
kan dari lafadh Hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat
dipastikan bahwa qaidah fiqhiyyah itu hasil dari perumusnya,
kecuali satu dua, seperti kaidah yang berasal dari kitab al-
Kharraj susunan Abu Yusuf yang berbunyi:
14
HR. Ibnu Majah Daruquthni dan lain-lainnya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam
Malik dalam Al-Muwattha’ sebagai Hadis mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi
saw. tanpa menyebut Abu Sa’ad. Hadis ini mempunyai beberapa jalan yang menguatkan.
131
ushul fiqh
132
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
133
ushul fiqh
2. Sulaiman bin Abdul Qaiy bin Abdul Karim bin Said Ath
Thufiy (623-716 H) menyusun kitab Al-Qawa’idul Kubra
dan Qawaidus Shughra.
3. Ta’yyuddin As-Subkiy (756 H) menyusun kitab Al-Asybah
wan Nadhair.
4. Ahmad Ibnu Idris Al-Qarafiy (684 H) menyusun kitab An-
warul Buruq fi Anwail Furuq.
5. Abdurrahman Ibnu Rajab (790 H) menyusun kitab Al-
Qawaid.
6. Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy (911 H) menyusun
kitab Al-Asybah Wan Nadhair.
7. Zainul Abidin, Ibrahim bin Muhammad bin Bakr terkenal
dengan nama Ibnu Nujaim (970 H) menyusun kitab Al-
Asybah wan Nadhair.
8. Muh. Said Al Khadimiy (abad 12 H), menyusun kitab Us-
hul Fiqh dengan nama Maja’iul Baqaia’ pada akhir kitab
ini, disusunlah qaidah fiqhiyyah secara abjad sampai ber-
jumlah 154 kaidah.
9. Pada masa pemerintahan/Khalfah Utsmani, disusun ren-
cana undang-undang yang kemudian menjadi kitab fikih
bernama Majallatul Ahkamil Adliyyah, pada pasal 2 sam-
pai 100 berisi qaidah fiqhiyyah, yang diambil dari kaidah-
kaidah yang tertulis Ibnu Nujaim dan Al Khadimiy; kai-
dah-kaidah ini oleh Dr. Musthofa Ahmad Az Zarqa ditulis
dan diberi komentar dengan tambahan dalam kitabnya
Alfiqhul Islamiy fi Tsaubihil Jadid (1361 H).
10. Pada tahun 1982 H, terbitlah susunan Syekh Mahmud
Hamzah Mufti Damaskus pada masa Sultan Abdul Hamid
dengan nama Al Fraidul Bakiyyah fi Qawaidi wa Fawaidil
Fiqhiyyahs.16
16
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 166.
134
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
a. Kaidah Pertama19
17
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Satu dan Dua), h. 134.
18
Imam al-Zarkasi dalam kitabnya al-Mawahibus Sunniyah memberi batasan kaidah
kulliyah adalah: Hukum (kaidah) umum yang mencakup di dalamnya beberapa ketentuan
yang khusus. Orang pertama yang menyusun kaidah kulliyah adalah Abu Thahir ad-Dabas
(ulama Mazhab Hanafiyah). Dalam Mazhab Hanafi ada seorang fuqaha yang bernama Zainal
bin Ibrahim bin Mujaim (970 H) telah menulis sebuah kitab yang berjudul al-Asybahu wan
Nazir, kemudian Najamuddin (717 H) menulis kitab al-Qawa’idul kubra, dan Qaw’idus Shugra,
serta Ibnu Rajab yang menulis al-Qaw’id.
Dalam Mazhab Syafi’i terkenal seorang ulama Ibnu Abdis Salam yang menulis Qawa’idul
Ahkam, Tadjuddin Subki menulis al-Asybahu wa Nazair. Adapun dalam Mazhab Maliki di
kenal kitab al-Qawa’id karya Ibnu Jazim dan kitab al-Furuq karya Qarafi.
Dalam Al-Qur‘an banyak dijumpai pengertian yang dibawakan secara umum, sebagai-
mana pengertian umum tersebut dituangkan dalam satu rumusan yang dikenakan dengan
kaidah kulliyah. Contohnya dalam QS al-Baqarah [2]: 29 yang artinya: Dia-lah (Allah ) yang
menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kamu ...
Dari penertian ayat di atas, maka lahirlah kaidah-kaidah yang berbunyi:
ال صل يف اال شياء االبا حة حىت يد ل الدليل على التحرمي
Hukum asal sesuatu itu adalah mubah (kebolehan) sampai ada yang menunjukkan haramnya.
19
Misbahuddin, Buku Daras Ilmu Fiqh II, h. 166., H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh (Satu
dan Dua) Ed. Revisi, h. 134.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 68.
135
ushul fiqh
b. Kaidah Kedua
ٍ
َ ي َل يـَُزْو ُل بِا
الشك ُ ْ اْليَق
“Yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan syak”
Contoh: kita telah yakin berwudhu, kemudian kita ragu-
ragu tentang apakah telah batal atau belum. Berdasarkan kai-
dah tersbut, maka kita harus pegang pada keyakinan semula,
bahwa telah berwudhu.
Para ulama mengutip Hadis Nabi sebagai alasan kaidah
tersebut yang berbunyi:
االصل العدم
c. “Hukum asal itu adalah tidak ada.”
136
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
c. Kaidah ketiga
ب التـَْي ِسيـُْر ِ
ُ الْ ُم َش َّقةُ َْتل
“Kesempatan itu menarik kepada kemudahan”
Maksudnya, apabila dalam satu keadaan kita terdesak
untuk melanggar ketentuan agama, sedang jalan keluarnya
tidak ditemukan, maka kita diberi kemudahan atau keringan-
an yakni boleh melanggarnya sekadar mengeluarkan kita dari
kesempitan tersebut.
Dasar atau alasan kaidah tersebut, para ulama mengambil
firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 185 yang berbunyi:
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 28.
137
ushul fiqh
d. Kaidah Keempat
الضََّرُريـَُز ُال
“Yang membawa bahaya dihilangkan.”
Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemuda-
ratan atau bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya.
138
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah
e. Kaidah Kelima
22
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 394.
139
ushul fiqh
23
H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh (Satu dan Dua), h. 139.
140
DAFTAR PUSTAKA
142
daftar pustaka
143
ushul fiqh
144
tentanG penulis
146