Anda di halaman 1dari 156

Ushul

Fiqh
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba­ gai­
mana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila­ku­kan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Ushul
Fiqh

Dr. Hj. Darmawati H., S.Ag., M.H.I.


ushul fiqh
Edisi Pertama
Copyright © 2019

ISBN 978-623-218-257-8
ISBN (E) 978-623-218-258-5
13.5 x 20.5 cm
viii, 146 hlm
Cetakan ke-1, Oktober 2019

Kencana. 2019.1106

Penulis
Dr. Hj. Darmawati H., S.Ag., M.H.I.

Desain Sampul
Irfan Fahmi

Tata Letak
Suwito & Arshfiri

Penerbit
Prenadamedia group
(Divisi Kencana)
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134
e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
KATA PENGANTAR

Kajian tentang pengetahuan agama Islam, pada dasarnya


membahas dua hal pokok. Pertama, apa yang harus diyakini
umat Islam dalam kehidupannya, itulah yang disebut iman.
Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat Islam dalam
kehidupannya. Itulah yang berkembang menjadi ilmu syariah.
Ilmu syariah memiliki dua hal pokok, pertama, tentang
materi, perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seo-
rang Muslim dalam usaha mencari kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak. Yang menjadi perangkat dalam materi ter-
sebut disebut “fikih”. Kedua, tentang cara dan usaha dalam
menghasilkan materi fikih tersebut. Hal yang kedua inilah
yang akan dibahas dalam “ushul fiqh”. Maka dengan demikian
ushul fiqh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu
agama Islam. Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan mempela-
jari fikih dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fikih.

Makassar, Desember 2018


Penyusun,
Dr. Hj. Darmawati H., S.Ag., M.HI.
daftar isi

Kata Pengantar v
Daftar Isi vii

bab 1 PENDAHULUAN 1
A. Syariat, Fikih, Ushul, Fiqh dan Hukum............................................................ 1
B. Pengertian Fikih....................................................................................................3
C. Perbedaan Syariah, Fikih, dan Hukum............................................................5
D. Pengertian Ushul Fiqh: ....................................................................................... 7
e. Periodisasi Perkembangan Ilmu Fikih............................................................9

bab 2 SUMBER HUKUM 19


A. Al-Qurʼan sebagai Sumber Hukum...............................................................19
B. Sunnah sebagai Sumber Hukum
C. Ijma’ sebagai Dalil Hukum.............................................................................. 34
D. Qiyas Sebagai Dalil Hukum............................................................................. 43

bab 3 IJTIHAD 49
A. Definisi Ijtihad.................................................................................................... 49
B. Lapangan Ijtihad................................................................................................50
C. Dasar Hukum Ijtihad: QS. al-Nisā’ [4]: 59...................................................51
ushul fiqh

D. Syarat-syarat (Seorang Mujtahid):............................................................... 54


E. Tingkatan Mujtahid Ada Empat...................................................................... 55

bab 4 BEBERAPA METODE IJTIHAD 59


A. Istihsan................................................................................................................. 59
B. Maslahah Mursalah...........................................................................................69
C. Istishab .................................................................................................................72
D. ‘Urf..........................................................................................................................78
E. Sadd Zari’ah ...................................................................................79
F. Mazhab Sahabat................................................................................................. 92
G. Syar’un Man Qablana........................................................................................96
H. Pertentangan Antar-Dalil dan Cara Penyelesaiannya...........................100
I. Kesimpulan........................................................................................................ 107

bab 5 HUKUM 111


A. Definsi Hukum...................................................................................................111
B. Pembagian Hukum Syara’ .............................................................................112
C. Hukum Taklifi.....................................................................................................113
C. Mahkum Fihi...................................................................................................... 122
D. Mahkum ‘Alaihi................................................................................................. 123

bab 6 Qawa’idul FIQHIYyAH 125


A. Definisi Qawa’idul Fiqhiyyah........................................................................ 125
B. Kedudukan Qawa’idul Fiqhiyyah dalam Ushul Fiqh.................................127
C. Sumber Pengambilan Qawa’idul Fiqhiyyah..............................................129

DAFTAR PUSTAKA 141


tentanG penulis 145

viii
bab
1
PENDAHULUAN

A. SYARIAT, FIKIH, USHUL, FIQH DAN HUKUM


Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah dan sya-
riat (syariah). Secara harfiah, kata “syariah” dalam bahasa
Arab berarti jalan yang lurus atau “sumber mata air”. Kata
itu juga berarti jalan menuju ke sumber air dan tempat orang-
orang yang menikmati air minum. Orang-orang Arab terda-
hulu menggunakan kata ini untuk menunjukkan suatu jalan
ke tempat memperoleh air minum yang secara permanen dan
mencolok dapat dipandang jelas oleh mata. Dengan demikian,
kata “syariah” berarti suatu jalan yang jelas untuk diikuti.1
Secara terminologi, syariat berarti “semua yang ditetap-
kan Allah atas hamba-Nya berupa agama dari berbagai atur-
an. Dapat juga didefinisikan “Hukum-hukum yang ditetapkan
oleh Allah Swt., untuk hamba-Nya, baik melalui Al-Qurʼan
ataupun dengan Sunnah Nabi saw., berupa perkataan, perbu-
atan, dan pengakuan.2 Maksudnya syariat mencakup semua
1
Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqhi, (Cet. I; Yayasan Ahkam: Makassar, 2000), h. 6.
2
Abd Karim Zaidan, Al-Madkhal Lidirasat asy-syariat al-Islamiyah, (Dar Umar ibn Al-
Khattab, Cet. IV, 1969), h. 38-39.
ushul fiqh

aturan yang ada dalam Islam, termasuk akidah, hukum, dan


akhlak, jadi syariah adalah Islam itu sendiri. Namun bela-
kangan kata “syariat” diartikan para ahli sebagai hukum.
Dengan demikian, syariah mengandung arti mengesakan
Allah, menaati-Nya, beriman kepada rasul-rasul-Nya, kitab-
kitab-Nya dan hari pembalasan. Pendeknya syariah menca-
kup segala sesuatu yang membawa seseorang menjadi Mus-
lim. Pengertian inilah yang terkandung dalam QS. al-Jaatsiyah
[45]: 18.
ِ َّ ِ ِ ْ ‫اك َعلَى َش ِر َيع ٍة ِمن‬
َ ‫األم ِر فَاتَّب ْع َها َوال تـَتَّب ْع أ َْه َواءَ الذ‬
‫ين ال‬ َ َ َ‫ُثَّ َج َع ْلن‬
‫يـَْعلَ ُمو َن‬
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.3
Ayat lain: QS. al-Maa‘idah [5]: 48

‫اجا‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫ل ُك ٍّل َج َع ْلنَا مْن ُك ْم ش ْر َعةً َومنـَْه‬
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang.4
Sejalan dengan pengertian yang terkandung dalam ayat
tersebut. Abbas Husni Muhammad menegaskan bahwa syari-
at adalah identik dengan kandungan Al-Qurʼan dan Sunnah.
Atau dapat ditegaskan bahwa Islam secara keseluruhan yang
disebut al-Din sebagaimana ditegaskan dalam QS. ash-Shuraā
ayat 13 yang berbunyi:
ِ ِِ َّ ‫َشرع لَ ُكم ِمن الدِّي ِن ما و‬
‫صيـْنَا‬
َّ ‫ك َوَما َو‬َ ‫وحا َوالَّذي أ َْو َحيـْنَا إِلَْي‬
ً ُ‫صى به ن‬ َ َ َ ْ ََ
ِ‫بِِه إِبـر ِاهيم وموسى و ِعيسى أَ ْن أَقِيموا الدِّين وال تـتـ َفَّرقُوا فِيه‬
ََ َ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َْ
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan ke-
padamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa

3
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 2010), h. 720.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 154.

2
bab 1 pendahuluan

dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah be-
lah tentangnya.5
Namum lama kelamaan syariat diberi arti sempit yaitu
fikih dan identik dengan hukum Islam. Sebagimana Mahmud
Syaltut menulis buku yang secara tegas memisahkan Islam
akidah dari syariah. Hal itu dimaksudkan untuk menunjukkan
bahwa syariah telah diberi arti sempit menyangkut hukum
diluar akidah.

b. PENGERTIAN FIKIH
Fikih secara bahasa (etimologi), berasal dari kata
yang berarti pengetahuan dan pemahaman tentang
sesuatu.6 Makna ini dipertegas oleh Abi Al-Husain Ahmad,
bahwa kata fikih menunjuk pada maksud sesuatu atau ilmu
pengetahuan. Itulah sebabnya setiap ilmu yang berkaitan
dengan sesuatu disebut fikih.7 Umar Shihab mendefinisikan
fikih secara bahasa berarti “kecerdasan dalam memahami,
dan menanggapi secara sempurna.8 Demikian pula Wahbah
al-Zuhaili memberikan makna fikih secara bahasa adalah al-
fahmu, sebagaimana dalam Firman Allah Swt. surah Hud [11]:
91.

ُ ‫ب َما نـَْف َقهُ َكثِ ًريا ِمَّا تـَُق‬


‫ول‬ ُ ‫قَالُوا يَا ُش َعْي‬
Mereka berkata: Hai Syu’aib, Kami tidak banyak mengerti tentang apa
yang kamu katakan itu ....9
Di dalam Al-Qurʼan kata fikih disebut sebanyak 20 kali
semuanya berbentuk kata kerja yang tersebar dalam 12 surah
dan 20 ayat. Apabila diamati secara saksama semuanya me-

5
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 894.
6
Lihat Sya’ban Muhammad Ismail, al-Tasyri’ al-Islamy Mashadiruhu wa Athwaruhu, (Kairo:
al-Nahdah al-Mishriyyah, 1985), h. 10.
7
Abi al-Husain Ahmad, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid IV, (Dar-al-Fikr, 1979), h. 442.
8
Umar Shihab, Al-quran dan Kekenyalan Hukum, (Semarang: Dina Utama, 1993), h. 28.
9
Depatemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 311.

3
ushul fiqh

ngandung makna “mengetahui, memahami, dan mengerti.”10


Sebagaimana terdapat dalam QS. al-Taubah [9]: 122:
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka bebera-
pa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.11
Pada awal Islam, kata fikih digunakan sebagai pemaham-
an terhadap hukum-hukum agama secara keseluruhan, yaitu
semua hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk para hamba-
Nya, baik yang berkaitan dengan keimanan, keyakinan, dan
yang berkaitan dengannya, atau berupa hukum-hukum kewa-
jiban, perintah, larangan, atau pilihan. Pada masa itu, kata
“fikih” sinonim dengan kata syariah atau din.
Pengertian fikih secara istilah tidak jauh berbeda dari
pengertian tersebut di atas, hanya saja mempunyai cakupan
yang lebih sempit, sebab fikih tidak mencakup ilmu-ilmu aga-
ma. Oleh ulama fikih diartikan fikih adalah ilmu tentang hu-
kum-hukum syariat yang bersifat amaliyah, yang diambil dari
dalil-dalilnya yang terperinci.
Setelah melalui masa perkembangan fikih pada abad ke-
dua hijriyah, istilah fikih kemudian mengalami pergeseran
dan pembatasan, sehingga terfokus pada masalah-masalah
hukum saja. Sejak saat itulah, berkembang istilah fikih menu-
rut ahli ushul dan ahli fikih (fuqaha). Oleh karena itu, dapat
diringkas bahwa istilah fikih mengandung dua pengertian.
Pertama, fikih adalah memelihara masalah-masalah hukum
syara’ yang praktis (berkaitan dengan perbuatan) yang diam-
bil dari Al-Qurʼan dan Sunnah serta yang disimpulkan dari
keduanya. Kedua, fikih adalah kumpulan hukum syara’ secara
spesifik dengan metode secara spesifik pula.12
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan makna fikih, terutama
setelah menjadi disiplin ilmu tersendiri. Istilah fikih atau se-

10 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Tertutup, (Bandung: Salman, 1994), h. 1.


11 Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 277.
12 Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia, Cet.
I; (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 24.

4
bab 1 pendahuluan

ring disebut dengan “fikih Islami” biasanya diartikan dengan


hukum Islam atau ada yang menyebutnya dengan hukum po-
sitif Islam (Islamic Jurisprudence), ilmu fikih juga berupa ma-
teri hukum, bahkan juga prosedur dalam proses di pengadilan
(hukum acara, fikih murafaat), Sebagaimana tertuang dalam
definisi Majmu’at al-Ahkam. Meskipun pada saat ini, fikih bi-
asa diartikan hukum Islam, hukum di sini tidak selalu identik
dengan law atau rules (peraturan perundang-undangan), fikih
lebih dekat dengan konsep etika agama (religious ethics).

C. PERBEDAAN SYARIAH, FIKIH, DAN HUKUM


Syariah yang berarti semua bentuk hukum yang ditetap-
kan oleh Allah Swt., untuk para hamba-Nya, mempunyai si-
fat sebagai kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh
semua orang. Hukum Tuhan tetap Hukum Tuhan, meskipun
tidak seorang pun yang mau memberlakukannya. Bahkan se-
kalipun orang Islam tinggal di luar wilayah Islam, mereka te-
tap diikat oleh hukum Islam. Hukum Islam diturunkan untuk
mengikat individu-individu di mana pun mereka berada.
Hukum dari segi bahasa berasal dari kata hakama berarti
mencegah atau menolak. Mencegah ketidakadilan, kezalim-
an, dan penganiayaan disebut hukum.13
Hukum menurut ulama ushul fiqh adalah segenap firman
Allah yang berkenaan dengan perbuatan manusia (orang-
orang mukallaf), baik dalam bentuk tuntutan, atau berupa
pilihan maupun dalam bentuk wad’i (hubungan dalam satu
perbuatan dengan perbuatan lainnya) semuanya disebut hu-
kum. Jadi, hukum menurut ulama ushul menitikberatkan per-
hatiannya dalam proses penggalian hukum dari sumber-sum-
bernya yakni Al-Qurʼan dan Sunnah. Adapun hukum dalam
pandangan ulama fikih adalah lebih kepada sifat perbuatan

13
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwair, Kamus Arab Indonesia, Cet. XVII, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 2000), h. 286.

5
ushul fiqh

yang diintroduksi oleh nash, sehingga dengan mengenal si-


fat-sifat perbuatan itu mukallaf mempunyai pegangan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang menjadi objek
hukum. Dengan kata lain jika ulama ushul melihat dari sisi
sumber ketentuan, yakni nash-nash itu sendiri sehingga cara
berpikirnya lebih bersifat metodologis, maka ulama fikih le-
bih cenderung melihat dari sisi hasil yang diperoleh berupa
ketentuan operasional (wajib, sunat, haram, makruh, dan mu-
bah) setelah memahami nash-nash yang membicarakan. Maka
tidak salah jika dikatakan bahwa fikih itu sebenarnya tidak
lain dari hasil produk ushul fiqh.
Satu lagi istilah yang berkembang di Indonesia adalah is-
tilah hukum Islam di samping istilah fikih dan syariah, oleh
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy sebagaimana dalam bukunya yang
berjudul Pengantar Hukum Islam dalam buku tersebut hampir
semua pembahasannya diwarnai dengan ushul fiqh. Maka sa-
lah satu usaha bagi para pakar hukum Islam telah mencoba
untuk salah satu lokakarya yang dilaksanakan di Jakarta, dan
berhasil merumuskan bahwa pengertian hukum Islam adalah
“Hukum Fikih Muamalah” dalam arti yang luas yang mem-
bahas tentang manusia dan kaidah-kaidah (norma-norma)
kemasyarakatan yang bersumber pada Al-Qurʼan kedua pada
Sunnah, dan ketiga pada akal pikiran.
Pengertian hukum Islam tersebut dapat memperluas ma-
teri perkuliahan di Fakultas Hukum yang selama ini hanya
membahas masalah-masalah perkawinan, warisan, wasiat,
dan wakaf. Sebab dengan kata-kata muamalah dalam arti luas
termasuk pula di dalamnya hukum perdata Islam, hukum pi-
dana Islam, hukum acara, hukum ekonomi, dan lain-lain.
Menurut H.A. Djazuli pengertian hukum Islam yang bi-
asa digunakan secara luas di masyarakat adalah pengertian
hukum sebagaimana pengertian fikih yang dikemukakan oleh
al-Gazali, yaitu hukum syara’ yang terkait dengan perbuatan
mukallaf, seperti wajib, sunah, makruh, haram dan mubah,
sah, fasid, batal, qadha, dan lain-lain. T.M. keberatan mema-

6
bab 1 pendahuluan

kai istilah hukum Islam sebagai pengganti fikih Islam karena


dua alasan, yaitu, pertama, kata “hukum” mencakup segala
hukum dan segala bidang. Kedua kata “hukum” di dalam isti-
lah “hukum Islam” tidak langsung menggambarkan daya ijti-
had dan daya akal untuk memperoleh hal tersebut.14 Menurut
Hazairin tidaklah mudah mempersamakan pengertian hukum
dari kedua macam sistem hukum yang berbeda. Yang pertama
menganut paham kemasyarakatan (sistem hukum Romawi
dan sistem hukum adat) sedang yang kedua menganut paham
ketuhanan (hukum Islam).15

D. Pengertian Ushul FiQh


Ushul fiqh mempunyai dua makna, ushul fiqh secara su-
sunan idhofi, dan ushul fiqh sebagai ‘alam yaitu ilmu yang ber-
diri sebagai disiplin ilmu tersendiri atau laqoby.

1. Ushul Fiqh Secara Susunan Idhofi


Dikatakan sebagai susunan idhofi, karena ushul dan fikih
jika dipisahkan memiliki arti masing-masing. Maka penulis
mencoba menguraikan arti ushul dan arti fikih. Ushul fiqh ber-
asal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu ushul,
bentuk jamak dari kata asl dan al-fiqh. Asl secara etimologi
memiliki banyak arti, yaitu pangkal (asl), asal usul atau sum-
ber, pokok, induk, sentral atau lawannya cabang, asas atau
dasar, sebab atau alasan (illah), menurut Ibnu Manzur dalam
Lisan al-A’rab, asl berarti asfal kulli syai’: tempat paling ba-
wah (dasar) dari segala sesuatu. Menurut Abu Zahrah term
asl secara etimologi berarti ma buniya ‘alaihi gairah, fundamen
dibangunnya sesuatu yang lain.16

14
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqhi Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Cet. IV
(Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2008), h. 14.
15
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, (Jakarta: Tintamas, 1990), h. 68-69.
16
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Cet. I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia,
2008), h. 27.

7
ushul fiqh

2. Secara Istilah
a. Al-Rajih, (yang terkuat atau terunggul), seperti perkataan
orang itu benar, atau valid menurut yang mendengarkan.
b. Al-Mustashab, memberlakukan hukum (keadaan) yang su-
dah ada selama belum ada yang mengubahnya. Seperti
asal (hukum yang berlaku) ucapan antara kreditor dan
debitor yang bersengketa dalam masalah utang adalah
ucapan pihak kreditor.
c. Al-Dalil (alasan), seperti asal (dalil) larangan riba itu fir-
man Allah QS. Ali-Imran ayat 130 . Inilah yang dimaksud
makna idhafi dari dua makna ushul dan fiqh.
Fikih, menurut bahasa: berarti pemahaman. Contoh seba-
gaimana Firman Allah QS. Hud [11]: 91.

‫ضعِي ًفا َولَ ْوال‬ ِ ُ ‫ب َما نـَْف َقهُ َكثِ ًريا ِمَّا تـَُق‬
َ ‫ول َوإِنَّا لَنـََر َاك فينَا‬ ُ ‫قَالُوا يَا ُش َعْي‬
‫ت َعلَيـْنَا بِ َع ِزي ٍز‬
َ ْ‫اك َوَما أَن‬
َ َ‫ك لََر َجْن‬
َ ُ‫َرْهط‬
Mereka berkata: “Hai Syu’aib, Kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya Kami benar-benar me-
lihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena
keluargamu tentulah Kami telah merajam kamu, sedang kamupun bu-
kanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.”17
Menurut istilah al-fiqh dalam pandangan al-Zuhaili terda-
pat beberapa pendapat tentang definisi fikih.
1. Abu Hanifah: pengetahuan diri seseorang tentang apa
yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain penge-
tahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan
apa yang merugikan.
2. Ibnu Subki: fikih pengetahuan tentang hukum syara’ yang
berhubungan dengan amal perbuatan yang digali dari
satu persatu dalilnya.

17
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, h. 312.

8
bab 1 pendahuluan

e. PERIODISASI PERKEMBANGAN ILMU FIKIH


Ilmu fikih, merupakan salah satu cabang ilmu yang dise-
but tarikh tasyri’ yang berisikan tentang sejarah serta perkem-
bangan hukum Islam. Dalam buku-buku tarikh tasyri’, biasa
diadakan periodisasi hukum Islam atas dasar ciri-ciri khas dan
hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu; mi-
salnya Syaikh al-Hudhari Bek membaginya menjadi enam pe-
riode yaitu: (1) Masa Rasulullah; (2) Masa sahabat besar; (3)
Masa sahabat kecil; (4) Masa fikih jadi satu ilmu tersendiri;
(5) Masa masalah-masalah fikih dijadikan bahan perdebatan
untuk mempertahankan masalah-masalah fikih yang diambil
dari Imam Mazhab; dan (6) Masa taklid.18
Abdul Wahab Khallaf membaginya menjadi empat peri-
ode yaitu: (1) Masa Rasulullah; (2) Masa sahabat; (3) Masa
pembukuan fikih dan imam-imam mujtahid; (4) Masa taklid.19

1. Fikih Pada Masa Nabi


Sumber hukum pada Rasulullah:
Al-Qurʼan
Al-Qurʼan diturunkan kepada Rasulullah tidaklah seka-
ligus, berbeda dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa.
Al-Qurʼan turun sesuai dengan kejadian/peristiwa dan kasus-
kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap
permintaan fatwa.
Keberadaan fikih pada masa Nabi saw., diperselisihkan
oleh ulama berdasar surah al-Najm [53]: 3-4.
ِ ِ ِ
َ ُ‫) إ ْن ُه َو إال َو ْح ٌي ي‬3(‫َوَما يـَْنط ُق َع ِن ا ْلََوى‬
)4(‫وحى‬
(3) Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa naf-
sunya, (4) Ucapannya tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya”20

18
Al-Hudhari Bek, Ushul al-Fiqh, Maktabah Tija’riyah al-Kubra, (Cet. 6; Mesir: 1969), h. 4.
19
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, h. 139.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 763.

9
ushul fiqh

Perbedaan itu timbul tiga pendapat:


a. Jumhur ahli ushul fiqh, bahwa Nabi mungkin dan boleh
berijtihad. Alasannya QS. al-Hasyr [59]: 2.

‫صا ِر‬ ِ ‫اعتَِبُوا يَا أ‬


َ ْ‫ُول األب‬ ْ َ‫ف‬
Maka ambillah kejadian itu untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang
yang mempunyai pandangan.21
b. Ulama kalam (Asy’ariyah), mayoritas ulama (mu’tazilah)
berpendapat bahwa Nabi saw., tidak boleh berijtihad da-
lam hukum syara’. Alasan mereka:
1. Dalam surah al-Najm (3-4). Alasan mereka karena
tidak ada ucapan Nabi yang muncul dari ijtihadnya
sendiri,
2. Nabi saw., berkemampuan untuk sampai kepada hu-
kum syara’ meyakinkan melalui wahyu.
3. Sering terjadi Nabi tidak dapat memberikan jawaban
atas pertanyaan yang diajukan sahabatnya tentang
sesuatu kasus.
c. Jalan tengah, dari kedua pendapat di atas, menyatakan
bahwa Nabi dapat saja berijtihad dalam masalah pepe-
rangan, tetapi tidak dalam masalah hukum syara’.
Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
fikih sudah mulai ada semenjak Nabi masih hidup dengan pola
yang sangat sederhana sesuai dengan kesederhanaan kondisi
masyarakat Arab yang menjalankan fikih pada waktu itu.
Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, yang bertugas
sebagai penyampai risalah wahyu dan sumber Sunnah, na-
mun terkadang juga sebagai sosok manusia biasa. Sosok ini
tampak ketika melakukan ijtihad, terutama ketika tidak se-
suai dengan maksud Allah Swt., sehingga sering mendapat-
kan teguran dari-Nya. Seperti ijtihad beliau dalam tahanan
perang Badar, yang pada waktu itu Nabi saw.., mengajak para
sahabat senior untuk bermusyawarah. Abu Bakar r.a. menya-
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 796.

10
bab 1 pendahuluan

rankan agar mereka dibiarkan hidup dan ditarik jizyah (pajak-


nya) sebagai jaminan kehidupannya, karena jizyah itu dapat
digunakan untuk memenuhi kehidupan finansial militer. Ada-
pun Umar bin Khattab r.a. menyarankan agar dibunuh saja
supaya tidak menjadi pengkhianat di belakang nanti. Setelah
Nabi menimbang-nimbang kedua pendapat tersebut, maka
Nabi memilih pendapat Abu Bakar r.a. tetapi pilihan tersebut
tidak sesuai dengan maksud Allah Swt. Sehingga mendapat-
kan teguran keras dari-Nya lewat wahyu. Sebagaimana dalam
QS. Al-Anfaal [8]: 67-68.
ِ ِ
‫ض‬َ ‫يدو َن َعَر‬ ُ ‫ض تُِر‬ ْ ‫َسَرى َح َّت يـُثْخ َن ِف‬
ِ ‫األر‬ ٍّ َِ‫َما َكا َن لن‬
ْ ‫ب أَ ْن يَ ُكو َن لَهُ أ‬
‫اب ِم َن اللَّ ِه‬ ِ
ٌ َ‫) لَ ْوال كت‬67(‫يم‬
ِ ِ ُ ‫الدنـيا واللَّه ي ِر‬
ٌ ‫يد اآلخَرَة َواللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬ ُ ُ َ َْ ُّ
)68(‫يم‬ ِ ِ
ٌ ‫اب َعظ‬ ٌ ‫َخ ْذ ُْت َع َذ‬َ ‫يما أ‬
َ ‫َسبَ َق لَ َم َّس ُك ْم ف‬
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia da-
pat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta
benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (un-
tukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya
tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu di-
timpa siksaan yang besar Karena tebusan yang kamu ambil.22
Akibat teguran keras tersebut, maka Nabi sampai me-
nangis dan menyesali kesalahannya, sampai beliau berucap
“kalau ada azab turun dari langit, maka orang yang paling
selamat hanyalah Umar”.23
Demikian juga ijtihad Rasul ketika saw., ketika mengizin-
kan orang-orang untuk tidak mengikuti perang Tabuk, semen-
tara beliau belum mengetahui dengan pasti orang-orang yang
fasik dan yang bukan. Tetapi ternyata keputusan Rasulullah
saw., itu salah sampai beliau menyesal dan berkata: “Kalau saja
akau mengetahui persolan ini telebih dahulu, maka sungguh aku
tidak akan meninggalkan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qurʼan.”

22
Departeman Agama RI. Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 251.
23
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Cet. I; Jakarta: Kencana-PrenadaMedia
2008), h. 44.

11
ushul fiqh

Kemudian turunlah ayat sebagai tanda diterimanya tau-


bat Nabi saw., sebagaimana dalam QS. al-Taubah [9]: 44

‫اه ُدوا بِأ َْم َوالِِ ْم‬ ِ ‫ك الَّ ِذين يـ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه والْيـوِم‬
ِ ‫اآلخ ِر أَ ْن ُي‬ ِ
َ ُ‫ال يَ ْستَأْذن‬
َ َْ َ ُ َ
ِ ِ ِِ
َ ‫يم بِالْ ُمتَّق‬
‫ني‬ ٌ ‫َوأَنـُْفسه ْم َواللَّهُ َعل‬
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak
akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan harta
dan diri mereka. dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.24
Penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa ijtihad Rasul
saw., itu dilakukan dengan menggunakan rasio (al-ra’yu) nya
sendiri secara teknis terkadang menerapkan qiyas, dan terka-
dang maslahat. Namun demikian tidak semua pendapatnya
merupakan hasil ijtihad yang harus dilakukan umatnya. Ter-
kadang Nabi memberikan kebebasan kepada umatnya untuk
mengikuti atau tidak terhadap ucapan atau perbuatannya ter-
utama dalam urusan dunia, karena beliau menyadari bahwa
setiap akal manusia memiliki otoritas untuk memikirkan sesu-
atu yang paling baik bagi urusan dunianya, meskipun penye-
rahan otoritas ini tidak mutlak. Nabi saw., bersabda:
ٍ ِ
‫ال لَ ْو َلْ تـَْف َعلُ ْوا‬ ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َمَّربَِق ْوم يـُلَق‬
َ ‫ِّح ْو َن فـََق‬ َّ ِ‫اَ َّن الن‬
َ ‫َّب‬
‫ت َك َذا‬ ِ ِ ِِ ِ
َ ‫صا فَ َمَّر ب ْم فَقاَ َل َما لنَ ْخل ُك ْم قاَلُْوا قـُْل‬ ً ‫ال فَ َخَر َج شْي‬ َ َ‫صلُ َح ق‬َ َ‫ل‬
25
)‫ال اَنـْتُ ْم اَ ْعلَ ُم بِاَْم ِرُدنْياَ ُك ْم (صحيح مسلم‬ َ َ‫َوَك َذا ق‬
“Bahwa Nabi saw., melewati suatu kaum yang sedang mengawin-
kan pohon kurma lalu beliau bersabda: Sekiranya mereka tidak me-
lakukannya, kurma itu tetap akan baik. Tapi setelah itu, ternyata
kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Hingga suatu saat
Nabi saw., melewati mereka lagi dan melihat hal itu beliau berta-
nya, ada apa dengan pohon kurma kalian? Mereka menjawab bu-
kankah Nabi telah mengatakan hal ini dan itu? beliau bersabda:
Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”

24
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 261.
25
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz IV, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 1836.

12
bab 1 pendahuluan

2. Pada Masa Sahabat


Dengan wafatnya Nabi, maka sempurnahlah turunnya Al-
Qurʼan dan Sunnah. Lalu terjadi perubahan yang besar sekali
karena telah meluasnya negara Islam dan semakin kompleks-
nya kehidupan umat. Hal ini timbul dua masalah pokok:
1. Begitu banyak muncul kejadian yang baru dan membu-
tuhkan jawaban dalam Al-Qurʼan, maupun penjelasan
Sunnah. Contoh memahami maksud yang terkandung da-
lam lahir lafaz. Seperti bagaimana hukum membakar har-
ta anak yatim, padahal terdapat dalam Al-Qurʼan, hanya
larangan memakan harta anak yatim.
2. Timbulnya masalah-masalah yang secara lahir telah diatur
ketentuan hukumnya dalam Al-Qurʼan, maupun Sunnah
Nabi Saw.,dalam keadaan ttu sulit diterapkan dan meng-
hendaki pemahaman baru agar relevan dengan perkem-
bangan dan persoalan yang dihadapi. Contoh Allah me-
wajibkan zakat dan Sunnah Nabi menyebutkan zakat itu
diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang mis-
kin. Namun pada masa Abu bakar beliau melihat bahwa
pemungutan zakat secara lemah lembut tidak efektif lagi.
Pada masa ini telah muncul berbagai hal baru yang tidak
pernah dihadapi kaum Muslimin sebelumnya dan tidak pernah
muncul pada masa Rasulullah saw., maka berijtihadlah orang
yang ahli ijtihad di antara mereka, mereka memberikan pu-
tusan hukum, berfatwa, menetapkan hukum syariah, dan me-
nambahkan sejumlah hukum yang mereka istinbatkan melalui
ijtihad mereka kepada kompilasi hukum pada periode Nabi.
Maka pada periode sahabat kompilasi hukum fikih terbentuk
dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya serta fatwa sahabat
dan putusan mereka, sedangkan sumbernya adalah Al-Qurʼan,
Sunnah dan ijtihad para sahabat.26
Jadi dari penjelasan tersebut, dipahami bahwa kedua

26
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Cet. III; Semarang: Dina Utama, 2005), h. 7.

13
ushul fiqh

periode ini hukum-hukum tersebut belum terkodifikasi dan


belum ada penetapan hukum terhadap berbagai kasus fiktif,
akan tetapi penetapan hukum Islam adalah berkenaan dengan
apa yang benar-benar terjadi dalam kenyataan dan kasus-
kasus yang terjadi saja.

3. Pada Masa Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, dan Pada Masa Imam-imam


Mujtahid
Pada abad ke-II Hijriyah negara Islam meluas dan banyak
orang non-Arab yang memeluk agama Islam. Kaum Muslimin
dihadapkan berbagai kejadian baru, berbagai kesulitan, ber-
macam-macam pengkajian, berbagai macam teori, dan gerak-
an pembangunan fisik dan intelektualitas yang membawa para
mujtahid untuk memperluas dalam ijtihad dan pembentukan
hukum Islam terhadap banyak kasus, dan membukakan pin-
tu pengkajian dan analisis kepada mereka, sehingga semakin
luas pula lapangan pembentukan hukum fikih, dan ditetapkan
pula sejumlah hukum ditambahkan kepada kedua kompilasi
hukum terdahulu, maka himpunan hukum fikih pada periode
ketiga ini terbentuk dari hukum Allah dan Rasul-Nya, fatwa
para sahabat dan putusan hukum mereka, fatwa para mujta-
hid dan istinbat mereka, sedangkan sumber hukumnya adalah
Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para sahabat dan para imam
mujtahid.
Dengan dijadikannya petunjuk Nabi dan ijtihad sebagai
sumber penetapan fikih. Setelah masa sahabat, penetapan
fikih dengan menggunakan Sunnah dan ijtihad ini sudah be-
gitu berkembang dan meluas. Dalam kadar penerimaan kedua
bentuk. Ada dua bentuk dalam periode ini:
1. Dalam penerapan hasil ijtihad lebih banyak mengguna-
kan Sunnah Nabi dibanding dengan menggunakan ijtihad,
meskipun keduanya tetap dijadikan sumber. Kelompok
yang menggunakan cara ini biasa disebut ahl al-Hadis.
Kelompok ini banyak tinggal di wilayah Hijaz, khususnya
di Madinah di mana Imam Malik bermukim.

14
bab 1 pendahuluan

2. Dalam menetapkan fikih lebih banyak mungkin sumber


Ra’yu (akal) atau ijtihad ketimbang Hadis. Kelompok ini
banyak bermukim di Irak, khususnya Kufah dan Basrah.
Di mana Imam Abu Hanifah bermukim.27
Munculnya dua kecenderungan ini dapat dipahami, ter­
utama karena adanya dua latar belakang historis yang berbe-
da. Ahli Hadis muncul karena di Hijaz, khususnya Madinah
tempat Nabi bermukim dalam mengembangkan Islam.
Sebaliknya, Irak atau Kufah, karena jauhnya lokasi dari
wilayah kehidupan Nabi, maka pengetahuan mereka akan
Hadis tidak sebanyak yang diperoleh orang Islam di Hijaz.
Kemudian pada Abad Pertengahan II H. Tampil seorang
mujtahid besar yang pernah menggali pengetahuan dan peng-
alaman dari madrasah Hijaz dan madrasah Irak, yaitu Imam
Abu Abdillah Muhammad ibn Idaris, al-Syafi’i (150-204
H). Beliau mencoba mengambil jalan tengah antara kedua
madrasah tersebut. Metode ini berkembang dengan pesat
dan mempunyai pengikut yang sangat banyak disebutlah
Madrasah Syafi’iyyah. Dengan nama bukunya adalah kitab al-
Risalah (Kitab Ushul Fiqh) dan al-Umm Kitab Fikih): Syafi’i
telah menerangkan tentang Al-Qurʼan dan cara-cara Al-Qurʼan
menjelaskan hukum, Sunnah dan kedudukannya dalam bidang
hukum, tentang nasikh mansukh, tentang Hadis dan illat-illat-
nya, tentang ijma’, tentang ijtihad, qiyas, dan istihsan. Dalam
membahas hal-hal tersebut telah diuraikan secara luas dari
segi teori dan praktik.
Yang memotivasi Syafi’i menyusun kaidah-kaidah ushul
fiqh yang dituangkan dalam kitab al-Risalah antara lain:
1. Karera terjadi perdebatan antara Syafi’i dan mujtahid-
mujtahid lain tentang dasar-dasar atau metode pengam-
bilan hukum.
2. Karena beliau banyak menjumpai Hadis Nabi yang berla-

27
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh Edisi IV, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra), h. 53.

15
ushul fiqh

wanan dengan zahirnya


3. Karena bahasa Arab telah banyak dimasuki bahasa lain
sehingga untuk memahami hukum-hukum syariat dari
­Al-Qurʼan dan Sunnah menjadi lemah.

4. Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i


Setelah terbitnya kitab al-Risalah oleh Imam Syafi’i, ma-
sih pada abad ke-III bermunculan karya-karya ilmiah dalam
bidang ushul fiqh. Kitab yang ditulis pada abad ini antara lain:
buku Khabar al-Wahid karya ‘Isa ibnu Aban ibnu Shadaqah
(w. 220 H) dari kalangan Abu Hanifah, buku Al-Nasikh wa
al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164 H-241 H) pendiri
mazhab Hanbali, dan Ibtal al-Qiyas oleh Daud al-Zahiri (200
H-270 H) pendiri mazhab Zahiri.28
Pertengahan abad ke-IV, menurut Wahab Khallaf ahli us-
hul fiqh dari Mesir dalam bukunya Khulasat Tarikh al-Tasyri
al-Islami, ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad
di bidang fikih, dalam pengertian tidak ada lagi orang yang
mengkhususkan diri untuk membentuk mazhab baru, seba-
gaimana yang dicatat Abd. al-Wahab Abu Sulaiman, pada saat
yang sama kegiatan ijtihad di bidang ushul fiqh berkembang
pesat karena ternyata ushul fiqh tidak kehilangan fungsinya.
Ushul fiqh berperan sebagai alat pengukur kebenaran penda-
pat-pendapat yang telah terbentuk sebelumnya, dan dijadikan
alat untuk ilmiah sering diadakan dalam rangka mengkaji ha-
sil-hasil ijtihad dari mazhab yang mereka anut. Hal itu meng-
hendaki kedalaman pengetahuan tentang ushul fiqh.
Di antara kitab yang disusun pada periode ini, yaitu:
1. Itsbat al-Qiyas oleh Abu Hasan al-As’ary (w. 324 H).
2. Al-Jadal fi Ushul al-Fiqh oleh Abu Mansur al-Maturidi 334
H).
Menurut Abd. Al-Wahab Abu Sulaiman, dengan lebih pe-

28
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 20.

16
bab 1 pendahuluan

satnya kajian-kajian ilmiah di kalangan para pengikut maz-


hab, perkembangan ushul fiqh menjadi lebih pesat dan menca-
pai kematangannya pada abad ke-V dan Ke-VI Hijriah.

5. Aliran-aliran dalam Ushul Fiqh


a. Aliran Mutakallimin:
Setelah berkembangnya Madrasah Syafi’iyah, maka ber-
lomba-lombalah ulama sesudahnya menyusun kitab Ushul
Fiqh dengan mengikuti metode para mutakallimin (deduktif)
kitab-kitab fikih yang ditulis oleh aliran mutakallimin ini ada-
lah:
1. Al-Mustasfa: Abu Hamid al-Gazali;
2. AL-Ahkam: Abu Hasan al-Amidi;
3. Al-Minhaj: al-Baidhawi; dan
4. Kitab Syarah yang terbaik adalah kitab Syarah al-Asnawi.

b. Aliran Fukaha atau Aliran Hanafiyah


Aliran fukaha adalah aliran yang dikembangkan oleh ka-
langan hanafiyah. Disebut aliran fukaha karena metode yang
digunakan adalah meletakkan kaidah-kaidah dan bahasan-
bahasan ushuliyah yang mereka pandang bahwa para imam
mereka berdasarkan ijtihad mereka atas kaidah dan bahas-
an itu. Mereka tidaklah menetapkan kaidah-kaidah amaliyah
yang bercabang dari hukum-hukum ijtihad imam mereka.29
Adapun yang mengarahkan untuk membuktikan kaidah-kai-
dah ini adalah berbagai hukum yang telah diistinbatkan oleh
para imam mereka yang didasarkan atas kaidah-kaidah terse-
but, bukan semata-mata dalil teoritis saja. Oleh karena inilah,
maka dalam kitab-kitabnya mereka banyak menyebutkan ma-
salah-masalah furu’, yang pada waktu mereka membuat ka-
idah-kaidah ushuliyah yang sesuai dengan masalah-masalah
furu’. Jadi orientasi mereka adalah mengembangkan ushul fiqh

29
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 10.

17
ushul fiqh

imam-imam mereka dari furu’ hasil ijtihad mereka.


Kitab yang disusun berdasarkan kaidah-kaidah ushuliyah
(induktif), yaitu:
1. Ushul: Abi Zaid ad-Dabbusi (w. 430 H);
2. Ushul: Fakhrul Islam al-Bazdawi (w. 430 H);
3. Al-Manar: al-Hafis al-Nasafi (w. 790 H); dan
4. Kitab Syarah: Misykatul Anwar.
Selain kedua metode kitab tersebut, terdapat pula kitab
yang menghimpun antara keduanya, yaitu:
1. Badi’u Nizam: Musafaruddin al-Bagdadi (w. 694 H);
2. Al-Taudih: Shadarius Syariah;
3. Tahrir: Kamal bin Hammam; dan
4. Jam’ul Jawami’: Ibnu Subki.

18
bab
2
SUMBER HUKUM

A. Al-Qur’an SEBAGAI SUMBER HUKUM


Sebelum dibahas lebih lanjut tentang Al-Qurʼan sebagai
sumber hukum yang pertama dan utama, maka penulis lebih
dahulu menguraikan tentang apa itu dalil. Dalil menurut ba-
hasa adalah menunjukkan kepada sesuatu, baik bersifat inde-
rawi maupun maknawi, baik ataupun buruk.1
Dalil menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah sesua-
tu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang
berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada
pandangan yang benar mengenainya, baik secara pasti (qath’i)
maupun dugaan kuat (zanni).2
Maka pengertian dalil di kalangkan ulama ushul, sesuatu
daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan pasti
maupun dengan jalan dugaan. Sehingga mereka membagi da-
lil kepada dua macam:

1
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Cet. IVX;
Surabaya: Pustaka Progresif, 2000), h. 417.
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 13.
ushul fiqh

1. Dalil yang dalalahnya qath’i; dan


2. Dalil yang dalalahnya zanni.
Berdasarkan penelitian para ulama ushul, bahwa dalil-dalil
syar’iyah yang menjadi sumber pengambilan hukuk-hukum
yang berkaitan dengan perbutan manusia, akan kembali kepa-
da empat sumber, yaitu:
1. Al-Qurʼan;
2. Al-Sunnah;
3. Ijma’; dan
4. Qiyas.
Keempat dalil tersebut telah disepakati oleh jumhur umat
Islam digunakan sebagai dalil. Selanjutnya dalam menggu-
nakan dalil tersebut mereka juga sependapat sesuai dengan
urutan-urutan hukumnya.
Al-Qurʼan adalah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw., tertulis dalam mushaf berbahasa Arab
yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan mem-
bacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surah al-
Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.3
Dasar hukum Al-Qurʼan sebagai sumber hukum: (surah
al-Nisā’: 59)

‫األم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن‬ ِ ‫ول َوأ‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬ ِ ِ َّ


ْ ‫ُول‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُوا أ‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تـُْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالْيـَْوِم‬
ِ ‫الرس‬ ِ ِ ٍ
ُ َّ ‫تـَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فـَُرُّدوهُ إ َل اللَّه َو‬
ِ ِ
‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬
ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬ َ ‫اآلخ ِر َذل‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepa-
da Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.4

3
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Cet. VII;
Jakarta: 2009), h. 62.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 114.

20
bab 2 sumber hukum

Dalam QS. al-Hijr [15]: 9

‫الذ ْكَر َوإِنَّا لَهُ َلَافِظُو َن‬


ِّ ‫إِنَّا َْنن نـََّزلْنَا‬
ُ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‘an, dan sesungguh-
nya Kami benar-benar memeliharanya.5
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan ke-
murnian Al-Qurʼan selama-lamanya.
Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qurʼan secara ga-
ris besar ada tiga, yaitu:
1. Hukum-hukum i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang ber-
kaitan dengan keimanan kepada Allah, kepada malaikat,
kepada kitab Allah, kepada para rasul dan kepada hari
akhirat.
2. Hukum-hukum khuluqiyah yaitu: hukum-hukum yang
berkaitan dengan akhlak, manusia wajib berakhlak baik
dan menjauhi akhlak yang buruk.
3. Hukum-hukum amaliyah, yaitu hukum-hukum yang ber-
kaitan dengan perbuatan manusia. Hukum-hukum ‘amali­
yah ini ada dua macam yaitu ibadah dan mu’amalah.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu
fikih.6
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-
Qurʼan yang berkaitan dengan masalah ibadah dan bidang
al-akhwal al-syakhsiyah dijelaskan secara perinci dibanding
dengan hukum-hukum lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
manusia memerlukan tuntunan yang lebih banyak dari Allah
Swt., dalam hal ibadah dan pembinaan keluarga. Jadi, hukum
ibadah dan keluarga serta warisan lebih bersifat ta’abbudi dan
tidak ada peluang akal di dalamnya serta tidak berkembang
bersama dengan perkembangan lingkungan.
Hukum-hukum muamalah yang terdapat dalam Al-Qurʼan,
menurut Wahab Khallaf dan jumlah ayatnya sebagai berikut:

5
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 355.
6
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh ..., h. 63.

21
ushul fiqh

1. Hukum kekeluargaan (ahwal al-Syakhsiyah) yaitu hukum


yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentuk-
annya yang mengatur hubungan suami istri serta keluar-
ga yang satu dan lainnya. Ayat-ayat yang mengatur masa-
lah ini sekitar 70 ayat.
2. Hukum perdata, yaitu hukum yang mengatur hubungan
individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya. Se-
perti jual-beli, pegadaian, jaminan, persekutuan, utang
piutang, dan memenuhi janji dengan disiplin. Hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur hubungan harta kekayaan
individu dan memelihara hak masing-masing yang ber-
hak. Ayat-ayat yang mengatur hal ini sekitar 70 ayat.
3. Hukum pidana, yaitu hukum yang berkenaan dengan
tindak kriminal yang timbul dari seorang mukallaf dan
hukuman yang dijatuhkan atas pelakunya. Hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur usaha-usaha untuk mewu-
judkan keadilan di antara manusia. Ayat-ayat yang meng-
atur pidana sekitar 30 ayat.
4. Hukum acara, yaitu hukum yang berkaitan dengan peng-
adilan, kesaksian, dan sumpah. Hukum ini dimaksudkan
untuk mengatur usaha-usaha untuk mewujudkan keadil-
an di antara manusia. Ayat-ayatnya sekitar 13 ayat.
5. Hukum perundang-undangan, yaitu hukum yang berhu-
bungan dengan pengaturan pemerintahan dan pokok-
pokoknya. Hukum ini dimaksudkan untuk menentukan
hubungan penguasa dan rakyat, dan menetapkan hak-hak
individu dan masyarakat, sekitar 10 ayat.
6. Hukum tata negara, yaitu hukum yang bersangkut paut
dengan hubungan antara negara Islam dengan negara
lainnya, hubungan dengan orang-orang non-Islam yang
berada di negara Islam. Hukum ini dimaksudkan untuk
menentukan hubungan negara Islam dengan negara non-
Islam, sekitar 25 ayat.
7. Hukum ekonomi keuangan, yaitu hukum yang berhubung-
an dengan orang miskin, baik yang meminta-minta mau-

22
bab 2 sumber hukum

pun yang tidak meminta-minta, berkenaaan dengan orang


kaya, dan pengaturan berbagai sumber dan perbankan.
Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan keka-
yaan antara orang-orang kaya dan orang-orang fakir, dan
antara negara dan rakyat, sekitar 10 ayat.7
Kebijaksanaan Al-Qurʼan, dalam menetapkan hukum meng­
gunakan empat prinsip:
1. Memberikan kemudahan dan tidak memberatkan;
2. Menyedikitkan tuntutan;
3. Bertahap dalam menetapkan hukum; dan
4. Sejalan dengan kemaslahatan manusia.8
Ad.1. Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan QS. al-
Baqarah [2]: 185.
ِ ِ ِ ِ
َ‫يد بِ ُك ُم الْعُ ْسَر َولتُكْملُوا الْع َّد َة َولتُ َكبـُِّروا اللَّه‬
ُ ‫يد اللَّهُ بِ ُك ُم الْيُ ْسَر َوال يُِر‬
ُ ‫يُِر‬
‫َعلَى َما َه َدا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرو َن‬
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesu-
karan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberi-
kan kepadamu, supaya kamu bersyukur.9
Ad.2. Menyedikitkan tuntutan sebagaimana firman ­Allah­QS.
al-Māidah [5]: 101.

‫ين َآمنُوا ال تَ ْسأَلُوا َع ْن أَ ْشيَاءَ إِ ْن تـُْب َد لَ ُك ْم تَ ُس ْؤُك ْم َوإِ ْن‬ ِ َّ


َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
ِ
ٌ ‫ني يـُنـََّزُل الْ ُق ْرآ ُن تـُْب َد لَ ُك ْم َع َفا اللَّهُ َعنـَْها َواللَّهُ َغ ُف‬
‫ور‬ َ ‫تَ ْسأَلُوا َعنـَْها ح‬
‫يم‬ ِ
ٌ ‫َحل‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan
kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) ten-

7
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 86-87.
8
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqh ..., h. 64.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 35.

23
ushul fiqh

tang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.10

Ad.3. Bertahap dalam menetapkan hukum: QS. al-Baqarah


[2]: 219.

‫َّاس َوإِْثُُه َما‬ِ ‫الَ ْم ِر َوالْ َمْي ِس ِر قُ ْل فِي ِه َما إِ ْثٌ َكبِريٌ َوَمنَافِ ُع لِلن‬
ْ ‫ك َع ِن‬ َ َ‫يَ ْسأَلُون‬
ِ ِ
ُ‫ي اللَّه‬ َ ‫ك َما َذا يـُْنف ُقو َن قُ ِل الْ َع ْف َو َك َذل‬
ُ َِّ‫ك يـُبـ‬ َ َ‫أَ ْكبـَُر ِم ْن نـَْفع ِه َما َويَ ْسأَلُون‬
ِ
ِ ‫لَ ُكم اآلي‬
‫ات لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـََف َّكُرو َن‬ َ ُ
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Kata-
kanlah: “yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.11
Tahap kedua: QS. al-Nisā’ [4]: 43.

‫الصال َة َوأَنـْتُ ْم ُس َك َارى َح َّت تـَْعلَ ُموا َما‬ ِ َّ


َّ ‫ين َآمنُوا ال تـَْقَربُوا‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
ِ
‫ضى أ َْو‬ َ ‫تـَُقولُو َن َوال ُجنُبًا إِال َعابِ ِري َسبِ ٍيل َح َّت تـَ ْغتَسلُوا َوإِ ْن ُكْنتُ ْم َم ْر‬
‫ِّساءَ فـَلَ ْم‬ ِِ ِ ِ ‫علَى س َف ٍر أَو جاء أ‬
َ ‫الم ْستُ ُم الن‬ َ ‫َح ٌد مْن ُك ْم م َن الْغَائط أ َْو‬ َ ََ ْ َ َ
ِ ‫َِتدوا ماء فـتـي َّمموا صعِيدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج‬
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم إِ َّن اللَّ َه‬ ُ ُ ُ َ ْ ً ً َ ُ ََ َ ً َ ُ
‫َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُف ًورا‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucap-
kan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sa-
kit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat
air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapu-
lah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun.12

10
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.165.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 43.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 110.

24
bab 2 sumber hukum

Tahap ketiga: QS. al-Māidah [5]: 90

‫س ِم ْن‬ ِ ُ ‫األز‬ ِ ْ ‫ين َآمنُوا إَِّنَا‬ ِ َّ


ٌ ‫الم ر ْج‬ْ ‫اب َو‬
ُ ‫ص‬َ ْ‫الَ ْم ُر َوالْ َمْيس ُر َواألن‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تـُْفلِ ُحو َن‬ ِ
ْ َ‫َع َم ِل الشَّْيطَان ف‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuat-
an itu agar kamu mendapat keberuntungan.13
Al-Azlam artinya: anak panah yang belum pakai bulu.
Orang Arab Jahiliah menggunakan anak panah yang belum
pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan melaku-
kan suatu perbuatan atau tidak. Caranya ialah: mereka ambil
tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis
masing-masing yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, se-
dang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam se-
buah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. bila mereka hendak
melakukan sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci
ka’bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti
Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesua-
tu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. kalau
yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka
undian diulang sekali lagi.
Dari ketiga ayat tersebut, jelas tahapan-tahapan dalam
mengharamkan khamar dan maisir. Dalam al-Baqarah ayat
219, hanya ditunjukkan bahwa dosa meminum khamar dan
maisir (berjudi) lebih besar dosanya daripada manfaatnya.
Kemudian dikuatkan kembali dalam surah al-Nisā’ ayat 43,
akhirnya diharamkan kembali dalam surah al-Māidah ayat 90.
Ad.4.
Al-Qurʼan, memberikan hukum sejalan dengan ke-
maslahatan manusia. Hal ini dibuktikan seringnya Al-
Qurʼan, menyebutkan sebab atau illat hukum, misalnya
tentang adanya pengaturan harta (fai) disebutkan bah-
wa pengaturan tersebut dimaksudkan agar harta itu ti-
13
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 163.

25
ushul fiqh

dak hanya berputar di antara orang yang kaya saja. QS.


al-Anām [6]: 108.
ِ ‫وال تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن د‬
‫ون اللَّ ِه فـَيَ ُسبُّوا اللَّهَ َع ْد ًوا بِغَ ِْي ِع ْل ٍم‬ ُ ْ ُ َ َ ُ َ
ِ ِ ِ ِ ٍ ِ
‫ك َزيـَّنَّا ل ُك ِّل أ َُّمة َع َملَ ُه ْم ُثَّ إ َل َرِّب ْم َم ْرجعُ ُه ْم فـَيـُنَبِّئـُُه ْم بَا َكانُوا‬ ِ
َ ‫َك َذل‬
‫يـَْع َملُو َن‬
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sem-
bah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan me-
lampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap
umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.14

B. SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM


1. Definisi Sunnah
Sunnah menurut al-Syaukani sebagaimana dikutip oleh
M. Syuhudi Ismail berarti jalan, walaupun tidak diridhai.15
Mustafa as-Siba’iy dalam bukunya dijelaskan bahwa, arti Sun-
nah menurut bahasa adalah jalan, baik terpuji maupun terce-
la. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi saw.:
ِ ‫من س َّن سنّةً حسنةً فـلَه اَجرهاَ واَجر من ع ِمل ِباَ اِىل يـوِم‬
‫القياََم ِة‬ َْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ ََ َ ُ َ ْ َ
)‫(رَواهُ البُ َخا ِرَوُمسلِ ٍم‬
16
َ
Barangsiapa mengadakan sesuatu Sunnah (jalan) yang baik, maka
baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala orang-orang yang
mengerjakannya hingga hari kiamat.
Adapun arti Sunnah menurut istilah para ulama mende-
finisikan:
1. Menurut ahli Hadis Sunnah adalah segala yang dinukilkan
dari Nabi saw., baik berupa perkataan, takrir, pengajaran,

14
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 190.
15
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Cet. Terakhir, (Bandung: Angkasa, 2000), h. 11.
16
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 704.

26
bab 2 sumber hukum

sifat keadaan, maupun perjalanan hidup beliau baik sebe-


lum menjadi Rasul maupun setelah menjadi Rasul.
2. Menurut ahli ushul
Sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi baik be-
rupa perkataan, perbuatan, maupun takrir (pengakuan),
yang mempunyai hubungan dengan hukum.
3. Menurut ahli fikih
Sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan dan tidak diberi siksa apabila ditinggalkan.
Berdasarkan definisi Sunnah yang dikemukakan oleh para
ulama, maka Sunnah dapat dibagai menjadi tiga macam:
a. Sunnah qauliyah, yaitu ucapan Nabi saw., yang didengar
oleh dan disampaikan seorang atau beberapa sahabat ke-
pada orang lain. Contoh sabda Rasulullah saw., yang diri-
wayatkan oleh Abu Hurairah:
ِ ‫َلصالَةَ لِمن َل يـ ْقرأُ بَِف ِات ِة‬
ِ َ‫الكتا‬
)‫ب (رواه البخارى‬ َ ََ ْ َْ َ
Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surah al-Fatihah
(HR. Bukhari dan Muslim)17
b. Sunnah fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi
saw., yang dilihat, atau diketahui dan disampaikan para
sahabat kepada orang lain. Misalnya tata cara shalat yang
ditunjukkan Rasul saw., kemudian disampaikan sahabat
yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain. Se-
abagaimana dalam Hadis Rasul saw.:

َ ُ‫صلُّ ْوا َك َم َاراَيـْتُ ُم ْوِن ا‬


)‫صلِّى (رواه البخارى‬ َ
Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat akau shalat.18
c. Sunnah taqririyah adalah perbuatan atau ucapan saha-
bat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi

17
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.p: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 151.
18
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.p: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 128.

27
ushul fiqh

saw., tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya.


Sikap diam dan tidak mencegah dari Nabi saw. ini, me-
nunjukkan persetujuan Nabi saw., (taqrir), terhadap per-
buatan sahabat tesebut.19
Sunnah menjadi hujah dan dijadikan sebagai sumber hu-
kum, karena beberapa dasar:
1. Allah menyuruh untuk taat kepada Rasul. Taat kepada
Rasul berarti taat juga kepada Allah: QS. al-Hasyr [59]: 7.

َ‫ول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نـََها ُك ْم َعْنهُ فَانـْتـَُهوا َواتـَُّقوا اللَّهَ إِ َّن اللَّه‬
ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫َوَما آتَا ُك ُم‬
ُ ‫َش ِد‬
ِ ‫يد الْعِ َق‬
‫اب‬
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
­Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukuman-Nya.20
2. Rasul mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Qur­
ʼan, seperti dijelaskan dalam Firman Allah QS. al-Nisā’
[4]: 80.

‫اك َعلَْي ِه ْم َح ِفيظًا‬


َ َ‫اع اللَّهَ َوَم ْن تـََوَّل فَ َما أ َْر َس ْلن‬
َ َ‫ول فـََق ْد أَط‬ َّ ‫َم ْن يُ ِط ِع‬
َ ‫الر ُس‬
Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati
Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.21
Rasul tidak bertanggungjawab terhadap perbuatan-per-
buatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak
berbuat kesalahan. QS. Ali-Imran [3]: 32.
ِ ُّ ‫ول فَِإ ْن تـولَّوا فَِإ َّن اللَّه ال ُِي‬ ِ ‫قُل أ‬
َّ ‫َطيعُوا اللَّهَ َو‬
َ ‫ب الْ َكاف ِر‬
‫ين‬ َ ْ ََ َ ‫الر ُس‬ ْ
Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.22
3. Ijma’ (kesepakatan) sahabat dan dibuktikan pula oleh

19
Suparman Usman, Hukum Islam ..., h. 45-56.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.797.
21
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h.118.
22
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 67.

28
bab 2 sumber hukum

Hadis Mu’az bin Jabal yang menerangkan urutan-urutan


sumber hukum.
Sebab Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua:
1. Wurudh Al-Qurʼan qat’i seluruhnya, sedang Sunnah ba-
nyak wurud-nya yang zanny.
2. Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al-Qurʼan, yang
dijelaskan sudah barang tentu menempati tempat yang
pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang ke-
dua.
3. Urutan dasar yang digunakan oleh para sahabat yang me-
nempati Sunnah pada tempat yang kedua.
Fungsi Sunnah terhadap Al-Qurʼan:
1. Bayan al-ta’qid: berarti Nabi berperan untuk memperkuat
dan menggarisbawahi kembali apa yang telah diterang-
kan dalam Al-Qurʼan.23 Artinya fungsi Nabi dalam hal ini
hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qurʼan. Contoh
Sabda Nabi:
ِ ِ ِ ِ ‫اِ َذاراَيـتم ِالال َل فَصومو‬
ُ‫فَا ْن َغ َّم َعلَْي ُك ْم فَاقْد ُرْوالَه‬,‫وا َذ َاراَيـْتُ ُم ْوهُ فَاَل ْفطُرْوا‬,‫ا‬
َ ْ ُ ْ ُ َ ُ ُْ َ
Jika kalian melihat hilal (bulan Ramadhan), maka berpuasalah, jika
kalian melihat hilal (bulan Syawal), maka berbukalah berhari raya-
lah, jika hilal tidak terlihat, maka genapkanlah (bulan Sya’ban men-
jadi 30 hari).24
Sabda Nabi tersebut, memperkuat kembali ayat QS. al-
Baqarah [2]: 185.
ِ
ُ‫ص ْمه‬ ْ ‫فَ َم ْن َش ِه َد مْن ُك ُم الش‬
ُ َ‫َّهَر فـَْلي‬
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bu-
lan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.25
2. Bayan tafsir; berarti Nabi berperan untuk menjelaskan,
dan merinci hal-hal yang belum perinci dalam Alqur’an.

23
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 50.
24
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, h. 27.
25
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 36.

29
ushul fiqh

Yang bersifat mujmal, musytarak, mushkil, dan khafi.26 Se-


bagai contoh perintah ayat-ayat Al-Qur’an, tentang sha-
lat, zakat, disyariatkan jual beli, nikah, hudud dan lain
sebagainya. Sebagaimana dalam Hadis tentang tatac ara
melaksanakan shalat.

َ ُ‫صلُّ ْوا َك َم َاراَيـْتُ ُم ْوِن ا‬


)‫صلِّى (رواه البخارى‬ َ
Shalatlah kamu sebagaimana kamumelihat akau shalat.27
3. Membatasi (taqyid) kemutlakan Al-Qurʼan.28 Allah berfir-
man: “Bagi pencuri lelaki dan wanita, maka potonglah
tangan dari kedua orang itu.” QS. al-Māidah [5]: 38.
ِ ِ ِ ِ
ُ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْديـَُه َما َجَزاءً بَا َك َسبَا نَ َكاال م َن اللَّه َواللَّه‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
ِ
ٌ ‫َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah ta-
ngan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bi-
jaksana.29
Ayat tersebut mengandung pengertian mutlak, mencakup
seluruh pencurian dan seluruh pencuri. Namun demiki-
an Sunnah datang membatasi pencurian tersebut, dengan
sabda Rasul saw.:

‫اَ َّن َر ُس ْوَل اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَطَ َع َسا ِرقاً ِف ِمَ ٍّن قِْي َمتُهُ ثَالَثَةُ َدراَ ِه َم‬
Bahwa Rasulullah memotong tangan seseorang yang mencuri te-
meng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham (muttfaq ‘alaihi).30
Satu dirham sekitar Rp 49.000.
ِ ‫السا ِرِق اَِّل ِف رب ِع ِديـنَا ٍرفَص‬
)‫اع ًدا(رواه مسلم‬ َّ ‫َلتـُْقطَ ُع يَ ُد‬
َ ْ ُُ
26
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 50.
27
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, (t.tp.: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 128.
28
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 111.
29
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 151.
30
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th.), h. 1313.

30
bab 2 sumber hukum

Tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada pencurian senilai


seperempat dinar atau lebih.31
Juga jika pencuri tersebut telah mengeluarkan barang
yang dicurinya dari tempat penyimpanan, yakni tempat
yang biasanya dijadikan tempat penyimpanan harta, dan
serta taqyid-taqyid lainnya yang telah dijelaskan dalam
Sunnah.
4. Mengkhususkan keumuman Al-Qurʼan (takhshish ul ‘amm).
Misalnya firman Allah: “Bagi wanita pezina dan lelaki
pezina maka jilidlah masing-masing dari mereka dengan
100 kali jilidan.” QS. al-Nur [24]: 2.
ِ ِ َ‫ات ُثَّ َل يأْتُوا بِأَربـع ِة شه َداء ف‬ ِ َ‫والَّ ِذين يـرمو َن الْمحصن‬
َ ‫وه ْم َثَان‬
‫ني‬ ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ُ ََ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َْ َ َ
ِ ِ
َ ‫َج ْل َدةً َوال تـَْقبـَلُوا َلُ ْم َش َه َادةً أَبَ ًدا َوأُولَئ‬
‫ك ُه ُم الْ َفاس ُقو َن‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah be-
las kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpul-
an orang-orang yang beriman.32
Ayat tersebut mengandung pengertian umum untuk se-
luruh pezina. Kemudian, perbuatan dan perkataan Rasul
datang mengkhususkan keumuman ayat tersebut, yakni,
bagi pezina yang belum menikah (ghayru mutazawiijiin).
Mengenai orang-orang yang sudah menikah (al-mutaza-
wiijuun), maka bagi mereka dikenai hukum rajam sampai
mati. Rasul sendiri pernah merajam Mā’iz dan Al-Ghami-
diyyah. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw..

‫اهلل اَِّلبِِا ْح َدى‬


ِ ‫َل َِي ُّل دم ام ِر ٍئ مسلِ ٍم ي ْشه ُداَ ْن َلاِلَه اَِّلاللهواَ َّن رسو ُل‬
ُْ َ َُ َ َ َ ْ ُ ْ َُ
ِ‫س والتَّا ِرُك لِ ِدينِهاملفاَ ِر ُق لِْلجماعة‬
ِ ِ
‫س بالنـّْف‬ ٍ َ‫ثَال‬
ِ َّ ‫الثـَّيِّب‬.‫ث‬
َ ََ ُ َْ ُ ‫الزان َوالنـَّْف‬ ُ
)‫(رواه مسلم‬
31
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th.), h. 1312.
32
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 488.

31
ushul fiqh

Tidak halal dara orang Islam yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan bersaksi bahwa aku utusan Allah, kecuali dengan salah satu
dari tiga sebab: (1) Orang yang sudah menikah melakukan zina; (2)
Karena membunuh orang; dan (3) Orang yang murtad meninggalkan
agamanya, memisahkan dari jamaah kaum Muslimin.33
5. Nabi berperan sebagai legislator atau bayan al-tasyri ber-
arti Nabi saw., memiliki wewenang menetapkan hukum
baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qurʼan.34 Contoh
tidak boleh seseorang mengumpulkan memadu seorang
wanita dengan ‘ammah’ saudari bapaknya dan seorang
wanita dengan khalah (saudari ibunya). Demikian juga
larangan mengawini seorang wanita yang bersaudara se-
persusuan karena ia dianggap muhrim senasab.
Sebagaimana Hadis Rasulullah saw.:
ِ ‫ايرُم ِمن النَّس‬
‫ب‬ َّ ‫َْيُرُم ِم َن‬
َ َ ُ َْ ‫الرضاَِع َم‬
Haram lantaran susuan apa yang haram karena keturunan (nasab).35
Sunnah ditinjau dari segi perawi-perawinya dari Rasul
saw., dibagi menjadi tiga macam:
1. Sunnah mutawatirah;
2. Sunnah masyhurah; dan
3. Sunnah ahad.
Ad.1. Sunnah mutawatirah adalah Sunnah yang diriwayat-
kan dari Rasulullah saw., oleh beberapa perawi yang
menurut kebiasaannya, dan tidak mungkin mereka itu
bersepakat berdusta, disebabakan jumlah mereka yang
banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya orien-
tasi dan lingkungan mereka, kemudian dari kelompok
perawi ini, sejumlah perawi yang sepadan dengannya
meriwayatkan Sunnah tersebut, sehingga Sunnah ter-
sebut sampai kepada kita dengan sanad masing-masing

33
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, (Beirut: Dar Ihya Turats al-Arabi, t.th..), h. 1302.
34
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 51.
35
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, h. 170.

32
bab 2 sumber hukum

tingkatan dari para perawinya yang merupakan sekum-


pulan orang yang tidak mungkin mengadakan kesepa-
katan untuk berdusta, mulai dari penerimaan Sunnah
itu dari Rasul sampai datang kepada kita (umat).36
Di antara contoh Sunnah mutawatir ini adalah Sunnah
amaliyah dalam pelaksaan shalat, puasa, haji, azan dan
lain sebagainya.
Ad. 2. Sunnah mashurah adalah Sunnah yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw., oleh seseorang atau dua orang
atau tiga orang sahabatnya yang tidak mencapai jum-
lah mutawatir. Di antara kategori Hadis ini adalah seba-
gian Hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab,
atau Abdullah bin Mas’ud, atau Abu Bakar ash-Shiddiq
dari Rasulullah saw. Kemudian dari salah seorang dari
mereka itu sejumlah perawi yang tidak mungkin in-
vidu-individunya bersepakat untuk berdusta meriwa-
yatkan Sunnah tesebut.37 Misalnya lafaz ­Hadis:

ُ ‫اِّناَ َال ْع َم‬


ِ َ‫ال بِالنِّيا‬
... ‫ت‬
“Amal-amal itu hanyalah sah dengan niat.”38
Ad.3. Sunnah ahad adalah Sunnah yang diriwayatkan dari
Rasulullah saw., oleh seseorang yang tidak mencapai
jumlah mutawatir. Misalnya Hadis tersebut diriwa-
yatkan dari Rasulullah oleh satu orang saja, atau dua
orang saja, demikian seterusnya sehingga sampai pada
kita dengan satu sanad yang seluruh tingkatannya ada-
lah perseorangan, bukan sekelompok yang mutawa-
tir. Sehingga Hadis ahad, jika ingin dijadikan sebagai
dasar hukum harus memenuhi beberapa persyaratan.
Berikut ini syarat-syarat Hadis ahad dijadikan sebagai
sumber hukum:

36
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 49.
37
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h. 50.
38
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz I, h. 6.

33
ushul fiqh

1. Adanya perawi yang adil dan menjaga muru’ah;


2. Adanya akurasi (daya ingatan yang kuat) bagi pe-
rawi;
3. Perawinya mendengarkan Hadis dari orang yang
meriwayatkannnya. Misalnya, keduanya bertemu
langsung (muttasil); dan
4. Matan Hadis itu tidak mengandung syadz, misal-
nya, bertentangan dengan sesuatu yang telah men-
jadi ketentuan ahli Hadis, atau sesuatu yang sudah
pasti menurut agama atau bertentangan dengan
dalil yang qat’i dari Al-Qurʼan.

c. IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM


Ijma’, menurut bahasa adalah kebulatan tekad terhadap
suatu persoalan atau “kesepakatan tentang suatu masalah”.
Menurut istilah ushul fiqh sebagaimana yang dikemukakan
oleh Abdul Karim Zaidan, kesepakatan para mujtahid dari
kalangan umat Islam tentang hukum syara’ pada satu masa
setelah Rasulullah saw., wafat.39
Pandangan para sahabat Nabi saw., juga kesepakatan
yang dicapai dalam berbagai keputusan hukum dan dilakukan
oleh para mufti yang ahli atau para ulama dan fukaha dalam
berbagai persoalan hukum, setelah wafatnya Rasulullah saw..
Dasar Hukum Ijma’ QS. al-Syura [42]: 38).

‫الصالةَ َوأ َْمُرُه ْم ُش َورى بـَيـْنـَُه ْم َوِمَّا‬


َّ ‫استَ َجابُوا لَِرِّبِ ْم َوأَقَ ُاموا‬ ْ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
‫اه ْم يـُْن ِف ُقو َن‬
ُ َ‫َرَزقـْن‬
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.40

39
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h. 114.
40
Departemen Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya, h. 699.

34
bab 2 sumber hukum

(QS. Ali-Imran [3]: 159)

‫ضوا ِم ْن‬ُّ ‫ب النـَْف‬ِ ‫ت فَظًّا َغلِي َظ الْ َق ْل‬َ ‫ت َلُ ْم َولَ ْو ُكْن‬
ِِ ٍِ
َ ‫فَبِ َما َر ْحَة م َن اللَّه لْن‬
ِ ‫حولِك فَاعف عنـهم و‬
‫ت‬َ ‫األم ِر فَِإ َذا َعَزْم‬
ْ ‫استـَ ْغف ْر َلُ ْم َو َشا ِوْرُه ْم ِف‬ ْ َ ْ ُْ َ ُ ْ َ ْ َ
ِ ُّ ‫فـَتـََوَّك ْل َعلَى اللَّ ِه إِ َّن اللَّهَ ُي‬
ِ
َ ‫ب الْ ُمتـََوِّكل‬
‫ني‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maaf-
kanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawa-
rahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguh-
nya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.41
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah
lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya.
Definisi ijma’: mayoritas ulama mujtahid menyepakati,
maka ijma’ bisa saja terjadi. Contoh fatwa ulama Saudi seperti
memakai ihram di King Abdul Azis, berarti disepakati oleh
sebagian besar negara Islam, QS al-Nisā’ [4]: 59).

‫األم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن‬ ِ ‫ول َوأ‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬ ِ ِ َّ


ْ ‫ُول‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُوا أ‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تـُْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالْيـَْوِم‬
ِ ‫الرس‬ ِ ِ ٍ
ُ َّ ‫تـَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فـَُرُّدوهُ إ َل اللَّه َو‬
ِ ِ
‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬
ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬ َ ‫اآلخ ِر َذل‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qurʼan) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepa-
da Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.42
1. Para raja, pemimpin, dan penguasa.
2. Para mujtahid ahli fatwa agama

41
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 90.
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 114.

35
ushul fiqh

3. Ibnu Abbas: berpendapat yang dimaksud adalah (ulama)


4. Ulama tafsir lainnya: Para pemimpin ‘umara, dan pengu-
asa.

‫ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تـُْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه‬


ِ ‫الرس‬ ِ ِ ٍ ِ
ُ َّ ‫فَإ ْن تـَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فـَُرُّدوهُ إ َل اللَّه َو‬
ِ ِ ‫والْيـوِم‬
‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬
ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬َ ‫اآلخ ِر َذل‬ َْ َ
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan
ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentu-
lah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah kare-
na karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).43

‫ي لَهُ ا ْلَُدى َويـَتَّبِ ْع َغيـَْر َسبِ ِيل‬ ِ ِ َ ‫الرس‬ ِ


َ ََّ‫ول م ْن بـَْعد َما تـَبـ‬ ُ َّ ‫َوَم ْن يُ َشاق ِق‬
ِ‫تم‬
‫ص ًريا‬ ِ ِ ُ‫الْم ْؤِمنِني نـولِِّه ما تـوَّل ون‬
َ ْ َ‫َّم َو َساء‬ َ ‫صله َج َهن‬ ْ َ ََ َ َُ َ ُ
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran ba-
ginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-
buruk tempat kembali.44
Kriteria ulil amri menurut Islam:
1. Adil;
2. Mempunyai pengetahuan yang luas;
3. Sehat mental dan fisik;
4. Lengkap anggota badan;
5. Cepat mengambil keputusan;
6. Pemberani; dan
7. Dari keturunan yang baik.45
Ada tiga hal tidak mungkin terjadi ijma’:
1. Letak geografis, kalaupun terjadi hanya bersifat lokal;

43
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 118.
44
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 127.
45
Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, (Yogyakarta: Ida Pustaka,
2009), h. 17.

36
bab 2 sumber hukum

2. Mungkin terjadi dan terjadinya hanya sampai sahabat;


dan
3. Tidak adanya alat tekhnologi yang canggih.

Kemungkinan Terjadinya Ijma’


Ulama telah membahas kemungkinan terjadinya ijma’.
Jumhur ulama menyatakan tidaklah sulit untuk melakukan
ijma’ bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka men-
contohkan hukum-hukum yang telah disepakati itu seperti
kesepakatan tentang pembagian warisan bagi nenek sebesar
seperenam dari harta warisan apabila tidak ada ibu, dan la-
rangan menjual makanan yang belum ada di tangan penjual.
Berbeda dengan ulama lainnya, seperti Imam Ahmad bin
Hanbal mengatakan bahwa siapa yang mengatakan adanya
ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia telah berdus-
ta, karena kemungkinan saja ada mujtahid yang tidak setuju.
Oleh sebab itu, menurutnya untuk terjadinya ijma’ tersebut
sulitdilakukan. Apabila ada orang yang bertanya apakah ijma’
itu ada dan secara faktual terjadi, menurut Imam Ahmad bin
Hanbal, jawaban yang paling tepat adalah: “Kami tidak me-
ngetahui ada mujtahid yang tidak setuju dengan hukum ini”.
Di samping itu Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, keduanya ahli fikih Hanbali, tidak menerima
ijma’ kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat.46
Persyaratan ijma’ menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan
Imam Syafi’i bahwa harus disepakati semua ulama seluruh
dunia, sehingga yang diterima hanyalah ijma’ sahabat dan
menolak ijma’ pasca-sahabat karena mustahil terjadi. Jika ti-
dak menemukan ijma’ sahabat, maka ia mencari fatwa saha-
bat, meskipun perseorangan asalkan tidak bertentangan de-
ngan nash dan ijma’ dan tidak ada yang mengingkarinya atau
ijma’ sukuti.47

46
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2009), h. 58.
47
Abdul Mughits, Kritk Nalar Fiqh Pesantren, Cet. I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia

37
ushul fiqh

Dalam pandangah ulama ushul fiqh modern, seperti Imam


Ahmad Abu Zahrah, Muhammad al-Khudari Bek, Abdul Wa-
hab Khallaf dan Wahbah al-Zuhaili, ijma’ yang mungkin ter-
jadi hanyalah di zaman sahabat, karena para sahabat masih
berada pada satu daerah. Adapun pada sesudahnya melaku-
kan ijma’ tidaklah mungkin, karena luasnya wilayah Islam
dan tidak mungkin mengumpulkan ulama seluruhnya pada
satu tempat.48
Zakiyuddin Sya’ban menyatakan bahwa apabila didapati
dalam kitab-kitab fikih ungkapan ijma’, maka yang mereka
maksudkan kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan
ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefinisikan para ahli
ushul fiqh.49 Berdasarkan pendapat ulama tersebut, baik ulama
mujtahid maupun ulama ushul fiqh modern, sepakat bahwa
ijma’ itu hanya sampai pada masa sahabat, berdasarkan defi-
nisi ijma’.
Muhammad Abduh mendefinisikan ijma’ umat adalah ke-
sepakatan yang bulat, hasil permusyawaratan dari ahlul halli
wal’aqdi atau ulil amri yaitu wakil-wakil rakyat. Menurut Mu-
hammad Abduh yang dimaksud dengan ulil amri.
Adalah wakil-wakil rakyat yang dipercaya dan dipilih
oleh rakyat untuk memperjuangkan dan mengurus kepen-
tingan rakyat (kemaslahatan umum). Mereka adalah orang-
orang pandai dalam bidangnya, yang terdiri dari para ulama,
pemimpin dalam kemiliteran, para ahli hukum, mereka yang
ahli dalam bidang perekonomian, para dokter, dan ahli bi-
dang lainnya yang berkaitan dengan bidang kemaslahatan
umat manusia. Pemilihan mereka sebagai wakil-wakil rakyat
harus dilakukan dengan bebas, jujur dan adil, sesuai dengan
kehendak rakyat, tanpa ada paksaan, tekanan, ancaman atau
bujukan dari pihak mana pun. Mahmud Syaltut, mendefinisi-

2008), h. 82.
48
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 58.
49
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 58.

38
bab 2 sumber hukum

kan ijma’ menurut Muhammad Abduh.50


Muhammad Abduh mengatakan ulil amri yang demikian
mempunyai kekuatan hukum untuk diikuti oleh umat Islam.
Namun sebaliknya apabila ulil amri dipilih oleh rakyat de-
ngan cara tidak bebas, tidak adil dan ada tekanan, bujukan
atau ancaman pihak lain, maka hasil kesepakatan ulil amri
yang demikian itu tidak mempunyai kekuatan untuk diikuti.51
Ijma’ yang mungkin dilaksanakan pada saat ini, adalah
ijma’ dalam bentuk ijma’ tingkat nasional suatu bangsa, an-
tara lain seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh,
yaitu tiap-tiap kelompok menunjuk wakilnya. Mereka duduk
bersama dalam membicarakan berbagai kepentingan rakyat,
sehingga dapat mencapai kesepakatan. Dan apabila telah ter-
jadi kesepakatan, maka kesepakatan tersebut mengikat selu-
ruh umat Islam yang diwakilinya. Adapun bentuk ijma’ umat,
tingkat internasional, maksimal yang dapat ditempuh, seba-
gai berikut:
1. Tiap-tiap negara (bangsa) dapat menetapkan kriteria si-
apa-siapa saja yang termasuk kelompok mujtahid, yang
mewakili mereka ke tingkat internasional.
2. Para mujtahid tiap negara (bangsa) kemudian duduk ber-
sama dalam majelis permusyawaratan untuk merumus-
kan kesepakatan, bagi kepentingan umatnya.
3. Apabila terjadi kesepakatan, maka materi yang telah di-
sepakati itu, mangikat dan wajib ditaati oleh umat Islam
yang mengirimkan mujtahid sebgai wakil-wakil mereka.52
Bentuk-bentuk kesepakatan itu, memang sulit terjadi, te-
tapi sesuatu yang sulit terjadi, tidak berarti mustahil ter-
jadi, hanya terjadinya sangat kecil kemungkinan.

50
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 59.
51
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 59.
52
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 60.

39
ushul fiqh

Ijma’ Ada Dua Macam Ditinjau Dari Jelas Tidaknya


1. Ijma’ Sarih/Bayani
Ijma’ bayani/sarih berarti jelas. Ijma’ sarih adalah ijma’
yang memaparkan pendapat banyak ulama’ secara jelas
dan terbuka, baik dengan ucapan maupun dengan perbu-
atan. Ijma’ sarih menempati peringkat ijma’ tertinggi. Hu-
kum yang ditetapkan ijma’ sarih bersifat qath’i atau pasti.
2. Ijma’ Sukuti (Diam)
Ijma’ sukuti dari segi bahasa sukuti berarti diam. Ijma’ su-
kuti yaitusebagian mujtahid mengeluarkan pendapatnya
dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjuk-
kan apakah mereka setuju atau tidak setuju. Ijma’ sukuti
ini terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menetap-
kan apakah kesepakatan yang seperti itu dikatakan ijma’
dan bisa dijadikan hujah. Jumhur (sebagian besar) ulama
berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan dapat
dijadikan landasan hukum (hujah)53
Contoh ijma’ sarih:
a. Larangan menikahi nenek dan cucu perempuan ber-
dasarkan QS. al-Nisā’ (4): 23. Para ulama sepakat
bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut
berlaku juga bagi nenek, serta cucu.
b. Bagian dua anak perempuan sebagai ahli waris sebe-
sar 2/3 bagian.
c. Bagian nenek sebagai ahli waris, kalau tidak ada ibu
sebesar 1/3 bagian.
d. Kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia
adil adalah boleh.
e. Lemak babi adalah haram, karena di-qiyas-kan de-
ngan haramnya daging babi.

53
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 57.

40
bab 2 sumber hukum

Ijma’ Ditinjau Dari Objek Permasalahan


1. Ijma’ istinbat: hanya mujtahid yang berwenang melaku-
kan bukan orang awam.
2. Ijma’ tatbikh: bisa ikut orang awam. Contoh pengangkatan
Abu Bakar sebagai khalifah.
Ijma’ ditinjau dari ruang lingkup para mujtahid yang ber-
ijma’ dibagi ke beberapa bagian:
1. Ijma’ al-ummat;
2. Ijma’u sahabat: persesuaian paham segala ulama terhadap
suatu urusan;
3. Ijma’ ahl Madinah;
4. Ijma’ ahl Kufah; dan
5. Ijma’ khulafa al-‘Arba’ah.
Contoh ijma’ pada masa sahabat: telah terjadi kesepakatan
para sahabat ketika Ali bin Abi Talib berkata: orang yang me-
minum-minuman keras itu niscaya akan mabuk. Orang yang
mabuk niscaya akan mengaco. Orang yang akan berbicara
sembarangan (menuduh orang sembarangan). Menuduh orang
sembarangan adalah memfitnah. Orang yang memfitnah harus
dicambuk 80 kali cambuk berdasarkan firman Allah dalam su-
rah al-Nūr [24]: 4.
ِ ِ َ‫ات ُثَّ َل يأْتُوا بِأَربـع ِة شه َداء ف‬ ِ َ‫والَّ ِذين يـرمو َن الْمحصن‬
َ ‫وه ْم َثَان‬
‫ني‬ ُ ‫اجل ُد‬
ْ َ َ ُ ََ ْ َ ْ َ ْ ُ ُ َْ َ َ
ِ ِ
َ ‫َج ْل َدةً َوال تـَْقبـَلُوا َلُ ْم َش َه َادةً أَبَ ًدا َوأُولَئ‬
‫ك ُه ُم الْ َفاس ُقو َن‬
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik [1029]
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka Itulah orang-orang yang fasik.54
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik di sini adalah wanita-
[1029]

wanita yang suci, akil balig, dan Muslimah.

54
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 488.

41
ushul fiqh

Contoh lain ijma’ disepakati bahwa nenek berhak menda-


pat seperenam bagian dari warisan yang ditinggalkan.
Dalam masalah hukum kekeluargaan telah disepakati
bahwa karena Al-Qurʼan menjelaskan larangan menikah de-
ngan ibu dan anak perempuan. Maka larangan seperti ini juga
berlaku bagi nenek dan cucu perempuan walaupun jaraknya
lebih jauh dengan keputusan yang sama.
Lamanya masa hamil bagi perempuan paling sedikit enam
bulan berdasarkan kesepakatan semua ahli fikih.
Rukun dan Syarat Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun
ijma’ sebagai:
1. Yang terlibat dalam pembahasan hukum syarat melalui
ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di
antara mereka tidak setuju, walau jumlah kecil, maka hu-
kum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’.
2. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu
adalah seluruh mujtahid dan ada pada masa tersebut,
tanpa memandang kepeda negeri asal, jenis, dan golong-
an mujtahid. Para mujtahid berasal dari berbagai belahan
dunia Islam.
3. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pandangannya sebagai hasil dari ijtihad.
4. Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang bersi-
fat aktual dan tidak ada hukumnya secara perinci dalam
Al-Qurʼan.
5. Sandaran hukum ijma’ haruslah Al-Qurʼan dan Hadis Ra-
sullullah saw.
Di samping kelima rukun yang telah disebutkan, jumhur
ulama ushul fiqh, mengemukakan juga syarat-syarat ijma’:
1. Yang melakukan ijma’ adalah orang-orang yang memenu-
hi persayaratan ijtihad.
2. Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat
adil (berpendirian kuat terhadap agamanya).

42
bab 2 sumber hukum

3. Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha meng-


hindarkan diri dari ucapan dan perbuatan bid’ah.
Ketiga persyaratan di atas telah disepakati oleh seluruh
ulama ushul fiqh.

D. QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM


Qiyas menurut bahasa adalah ukuran. Artinya, perkara
yang satu diukur dengan perkara lain yang memiliki ukuran
dan ukurannya itu adalah nash yang jelas.55
Menurut istilah ahli ushul, qiyas adalah menerangkan hu-
kum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qurʼan, dan
Sunnah dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang
ditetapakan hukumnya berdasarkan nash. Suatu perkara yang
belum ada hukumnya dengan perkara lain yang telah ditetap-
kan oleh nash karena adanya alasan hukum (illat).56
Sebagai contoh: (al-Māidah ayat 90) tentang keharaman
khamar.
‫س ِم ْن‬ ِ ُ ‫األز‬ ِ ْ ‫ين َآمنُوا إَِّنَا‬ ِ َّ
ٌ ‫الم ر ْج‬ْ ‫اب َو‬
ُ ‫ص‬َ ْ‫الَ ْم ُر َوالْ َمْيس ُر َواألن‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تـُْفلِ ُحو َن‬ ِ
ْ َ‫َع َم ِل الشَّْيطَان ف‬
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbu-
atan itu agar kamu mendapat keberuntungan.57
Hadis tentang haramnya khamar. Sebagaimana Nabi
saw., bersabda:

)‫ َوُكلُّ َخ ْم ٍر َحَر ٌام (رواه مسلم‬,‫ُك ُّل ُم ْس ِك ٍر خٌَْر‬


Semua yang memabukkan adalah khamar dan semua khamar ada-
lah haram.58

55
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 336.
56
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 336.
57
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.488.
58
Muslim bin al-Hajjaj, Sahih Muslim, Juz III, h. 1587.

43
ushul fiqh

Dalam Hadis lain, yang artinya seorang yang meminum


khamar dari golonganku, tidak akan diterima shalatnya sela-
ma empat puluh hari (HR. Nasai).
Dari Ibnu Umar Nabi saw., bersabda minuman yang jum-
lah banyak memabukkan, maka sedikit pun juga haram. (HR.
Ahmad, Ibnu Majah, dan Daruqutni)

‫ َع ْن َعْب ِد الْ َع ِزي ِز‬،‫الََّر ِاح‬


ْ ‫يع بْ ُن‬ ِ
ُ ‫ َح َّدثـَنَا َوك‬،َ‫َح َّدثـَنَا عُثْ َما ُن بْ ُن أَِب َشْيبَة‬
،‫الر ْحَ ِن بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِه الْغَافِ ِق ِّي‬
َّ ‫ َم ْوَل ُه ْم َو َعْب ِد‬،َ‫ َع ْن أَِب َع ْل َق َمة‬،‫بْ ِن عُ َمَر‬
:‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ول‬ ُ ‫ يـَُق‬،‫أَنـَُّه َما َِس َعا ابْ َن عُ َمَر‬
ِ ‫ وع‬،‫ ومبتَاعها‬،‫ وبائِعها‬،‫ وساقِيـها‬،‫ و َشا ِربـها‬،‫الَمر‬
،‫اصَرَها‬ َ َ َ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ََ َ َ ََ َ َ ْ ْ ُ‫«لَ َع َن اللَّه‬
59 ِ ِ
»‫ َوالْ َم ْح ُمولَةَ إلَْيه‬،‫ َو َح ِاملَ َها‬،‫صَرَها‬ ِ َ‫ومعت‬
َُْ
Dari Anas ia berkata: Rasulullah saw., melaknat tentang khamar se-
puluh golongan: 1) yang memerasnya; 2) pemiliknya; 3) yang memi-
numnya; 4) yang membawanya (pengedar); 5) yang meminta untuk
diantarkan; 6)yang menuangkannya; 7) yang menjualnya; 8) yang
makan harganya; 9)yang membelinya; dan 10) yang minta dibelikan.
Khamar adalah perkara yang ditetapkan Allah nashnya
yaitu haram. Keharaman ini karena adanya illat yang mema-
bukkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap minuman
yang terdapat padanya illat memabukkan disamakan dengan
khamar mengenai hukumnya yakni haram.
Contoh lain qiyas adalah:

‫اس َع ْوا إِ َل ِذ ْك ِر‬ ِ ْ ‫الة ِمن يـوِم‬ ِ َّ ِ‫ودي ل‬ ِ ِ ِ َّ


ْ َ‫الُ ُم َعة ف‬ َْ ْ ‫لص‬ َ ُ‫ين َآمنُوا إ َذا ن‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫اللَّ ِه َو َذ ُروا الْبـَْي َع َذلِ ُك ْم َخيـٌْر لَ ُك ْم إِ ْن ُكْنتُ ْم تـَْعلَ ُمو َن‬
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggal-
kanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu menge-
tahui.60

59
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud, Juz III (Beirut: Maktabah al-Mishriyyah, t.th.), h. 326.
60
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 809.

44
bab 2 sumber hukum

Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazin


telah azan di hari Jum’at, maka kaum Muslimin wajib ber-
segera memenuhi panggilan muazin itu dan meninggalakan
semua pekerjaannya.
Rukun qiyas ada empat:
1. Ashal: Pokok tempat meng-qiyas-kan sesuatu. Baik dari
Al-Qurʼan maupun Sunnah; contoh, khamar.
2. Hukum ashal: hukum syara’ yang terdapat pada ashal
yang hendak ditetapkan pada far’un dengan jalan qiyas.
Contoh: hukum haramnya khamar yang ditegaskan da-
lam Al-Qurʼan.
3. Cabang (far’un): sesuatu yang tidak ada ketegasan huku-
nya dalam Al-Qurʼan atau Sunnah. Contoh Ballo, Wisky,
dan lain sebagainya.
4. ‘Illat: Suatu sifat yang terdapat pada suatu ashal yang
menjadi dasar daripada hukumnya dengan sifat itulah da-
pat diketahui adanya hukum far’un.
Macam-macam qiyas, jika dilihat dari illat yang terdapat
pada ashal dan yang terdapat pada cabang.
1. Qiyas awla, illat yang terdapat pada cabang lebih utama
daripada yang terdapat pada ashal. Contoh Meng-qiyas-
kan hukum haram memukul kedua orangtua kepada hu-
kum haram mengatakan “ah”.
Surah al-Isrā’ ayat 23.

‫ُف َوال تـَنـَْه ْرُهَا َوقُ ْل َلَُما قـَْوال َك ِرميًا‬


ٍّ ‫فَال تـَُق ْل َلَُما أ‬
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Per-
kataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia [850].61
[850]
Mengucapkan kata “Ah” kepada orangtua tidak dibolehkan oleh
agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan me-
reka dengan lebih kasar daripada itu.

61
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 387.

45
ushul fiqh

2. Qiyas musawi: Qiyas di mana illat yang terdapat pada ca-


bang sama bobotnya dengan yang terdapat pada ashal.
Contoh illat hukum haram membakar harta anak yatim,
sama bobotnya dengan illat haramnya memakan harta
anak yatim. Sebagaimana dalam QS. al-Nisā’ [4]: 10.

‫ين يَأْ ُكلُو َن أ َْم َو َال الْيَتَ َامى ظُْل ًما إَِّنَا يَأْ ُكلُو َن ِف بُطُونِِ ْم نَ ًارا‬ ِ َّ ِ
َ ‫إ َّن الذ‬
‫صلَ ْو َن َسعِ ًريا‬ْ َ‫َو َسي‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan me-
reka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).62
3. Qiyas adna: qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang
lebih rendah bobotnya dibanding dengan illat yang terda-
pat pada ashal. Contoh: khamar.
Contoh lain tentang qiyas, berupa Hadis Nabi saw., yaitu:
ِ ِ‫ عن سع‬،‫ عن أَِب بِ ْش ٍر‬،َ‫ ح َّدثـنا أَبو عوانَة‬،‫اعيل‬
‫يد بْ ِن‬ ِ ِ
َ َْ ْ َ َ َ ُ ََ َ َ َ‫وسى بْ ُن إ ْس‬ َ ‫َح َّدثـَنَا ُم‬
ِ ِ ِ
َّ ‫ أ‬،‫ َع ِن ابْ ِن َعبَّاس َرضي اللهُ َعنـْ ُه َما‬،‫ُجبـٍَْي‬
َّ ٍ
ِّ ِ‫ت إ َل الن‬
‫َّب‬ ْ َ‫ َجاء‬،َ‫َن ْامَرأَةً م ْن ُج َهيـْنَة‬ َ ِ
،‫ت‬ ْ ‫ إِ َّن أ ُِّمي نَ َذ َر‬:‫ت‬
ْ َ‫ت أَ ْن َتُ َّج فـَلَ ْم َتُ َّج َح َّت َمات‬ ْ َ‫ فـََقال‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬َ
ِ ‫ك دين أَ ُكْن‬ ِ ‫ت لَو َكا َن َعلَى أ ُِّم‬ ِ ‫ أَرأَي‬،‫ «نـعم ح ِّجي عنـها‬:‫ال‬
‫ت‬ ٌ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ ُ ْ ََ َ َ‫ق‬ ‫ا؟‬ َ ُ ‫أَفَأ‬
‫ه‬ْ‫ـ‬ ‫ن‬ ‫ع‬
َ ‫ج‬
ُّ ‫َح‬
ِ
»‫الوفَاء‬ ِ ‫ضوا اللَّهَ فَاللَّهُ أ‬ ِ َ‫ق‬
َ ‫َح ُّق ب‬َ ُ ْ‫اضيَةً؟ اق‬
“Menghajikan orangtua yang telah meninggal, sedangkan dia telah
bernazar untuk naik haji. Ketika hal itu ditanyakan oleh seseorang
sahabat kepada Rasul, beliau mengatakan kepada orang yang ber-
tanya: bagaimana pendapatmu jika ibumu berutang, lalu engkau
bayar, apakah utang itu lunas? Laki-laki itu menjawab benar, maka
Rasulullah menyatakan, hajikanlah dia.”63
Dalam Hadis lain:
ٍ ِ‫ك ب ِن سع‬
ِِ ِ
‫يد‬ َ ْ ‫ َع ْن َعْبد الْ َمل‬،‫ َح َّدثَِن بُ َكيـٌْر‬،‫ث‬
ٌ ‫ َح َّدثـَنَا لَْي‬،‫اج‬
ٌ ‫َح َّدثـَنَا َح َّج‬
ِ ‫ عن جابِ ِر ب ِن عب ِد‬،‫ي‬
‫اهلل‬ َْ ْ َ ْ َ ِّ ‫صا ِر‬ َ ْ‫ْالَن‬
62
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 101.
63
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz III, (t.tp.: Dar Tauq
al-Najah, 1422 H), h. 18.

46
bab 2 sumber hukum

،‫ت‬ ُ ‫ت يـَْوًما فـََقبـَّْل‬ ُ ‫ َه َش ْش‬:‫ال‬ َ َ‫ أَنَّهُ ق‬:ُ‫اب َر ِض َي اهللُ َعْنه‬ ِ َّ‫الَط‬ْ ‫َع ْن عُ َمَر بْ ِن‬
ِ ِ َ ‫ فَأَتـيت رس‬،‫وأَنَا صائِم‬
‫ت‬ُ ‫صنـَْع‬ َ :‫ت‬ ُ ‫ فـَُق ْل‬،‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ول اهلل‬ ُ َ ُ َْ ٌ َ َ
ِ‫اهلل صلَّى اهلل علَيه‬ ِ ‫ول‬ ِ ِ
َْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬ َ ‫ فـََق‬.‫صائ ٌم‬ َ ‫ت َوأَنَا‬ ُ ‫يما؛ قـَبـَّْل‬
ً ‫الْيـَْوَم أ َْمًرا َعظ‬
ِ ‫ضت ِبَ ٍاء وأَنْت‬
‫س‬َ ْ‫ َل بَأ‬:‫ت‬ ُ ‫صائ ٌم؟ " فـَُق ْل‬ َ َ َ َ ْ ‫ض َم‬ ْ ََ‫ت لَ ْو ت‬ َ ْ‫ " أ ََرأَي‬:‫َو َسلَّ َم‬
ِ َّ ِ ِ ‫ول‬ ِ
" ‫يم؟‬ َ ‫ " فَف‬:‫صلى اهللُ َعلَْيه َو َسل َم‬
َّ َ ‫اهلل‬ ُ ‫ال َر ُس‬
َ ‫ فـََق‬.‫ك‬ َ ‫بِ َذل‬
“Hadis lain, ketika Umar bin Khattab yang mencium istrinya keti-
ka sedang melakukan puasa, Nabi saw. Bersabda. Bagaimana pen-
dapatmu jika kamu berkumur-kumur dengan air sedangkan kamu
berpuasa? Umar menjawab. Tidak apa-apa. Lalu Rasul bersabda
maka berpuasalah!”64
Kelompok penggunaan qiyas:
1. Kelompok jumhur, meggunakan qiyas secara penuh;
2. Kelompok mazhab Zahiriyah Syiah Imamiyah; dan
3. Kelompok yang menggunakan secara luas.

64
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz I, h. 285 dan 439.

47
bab
3
IJTIHAD

A. Definisi Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata yang berarti al-thaqah
(daya, kemampuan, kekuatan). Atau berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu ijtihad menurut pengertian
bahasa bermakna “badzl al-wus’wa al-majhud (pengerahan
daya dan kemampuan) atau pengerahan segala daya dan
kemampuan dalam satu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang
berat dan sukar.1
Dari pengertian bahasa di atas ada dua unsur pokok da-
lam ijtihad, yaitu: (1) Daya atau kemampuan; (2) Objek yang
sulit dan berat.
Ijtihad, menurut istilah: secara umum memiliki makna
yang luas, mencakup segenap pencurahan daya intelektu-
al dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan
atau permasalahan yang sukar. Dari itu, upaya pengerahan
kemampuan dalam berbagai lapangan ilmu, seperti Ilmu ka-
lam, falsafah, tasawuf, fikih, dan lain sebagainya merupakan
suatu bentuk ijtihad. Namun ijtihad dalam pengertian khusus
dan spesifik, yaitu ijtihad dalam hukum Islam, mengacu ke-

1
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh (Cet. VI; Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 567.
ushul fiqh

pada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan hukum


syara’. Atau mengerahkan segala kemampuan dalam menda-
patkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan me-
tode istinbat. Atau upaya seseorg ahli fikih dalam mengerah-
kan kemampuan secara optimal dalam mendapatkan suatu
hukum syariat yang bersifat zanni.

B. Lapangan Ijtihad
Lapangan ijtihad: menurut al-Hudary Bek dan didukung
oleh Ibrahim Hosen ijtihad hanya berlaku dalam lapangan
fikih, bidang hukum yang berhubungan dengan amal. Karena-
itu dalam pandangan ulama ushul ijtihad tidak terdapat pada
ilmu kalam yang mempelajari ahkam syariah i’tiqadiyah, juga
tidak pula dalam bidang tasawuf.
Lapangan ijtihad menurut al-Amidi mengatakan sebagai
berikut:
a. Bidang yang dapat dijtihadi adalah hukum-hukum syara’
yang dalilnya bersifat zanni. Ungkapan hukum-hukum
syara’ dimaksudkan untuk membedakannya dari hukum-
hukum akal dan bahasa atau lainnya. Demikian pula un-
tuk membedakannya dari hukum-hukum yang dalilnya
bersifat qath’i (pasti), seperti ibadah yang lima (rukun
Islam), karena ibadah tersebut bukan merupakan bidang
ijtihadi, karena orang yang keliru dalam bidang ini dipan-
dang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu
adalah masalah di mana orang yang keliru dalam ijtihad-
nya tidak berdosa.
Sebagaimana dalam QS. al-Baqarah [2]: 228.
ٍ ‫والْمطَلَّ َقات يـتـربَّصن بِأَنـ ُف ِس ِه َّن ثَالثَةَ قـر‬
‫وء‬ُُ ْ َ ْ ََ َ ُ ُ َ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru’.2

2
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 45.

50
bab 3 ijtihad

Seperti kata apakah kata tersebut berarti haid atau


suci? Ini berarti tersedia lapangan untuk untuk berijtihad,
karena di dalam dalalahnya kedua hukum yang dihen-
daki terdapat sifat-sifat ketidakpastian.
b. Peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hu-
kumnya tidak terdapat dalam nash. Dan berdasarkan hal
tersebut, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung
kegiatan penggalian hukum-hukum bagi peristiwa-peris-
tiwa hukum baru pada saat tidak terdapatnya nash. Hal
itu dilakukan sebagai petunjuk bagi hukum, seperti qiyas
dan istislah.3
Dalam setiap masalah yang tumbuh dalam masyarakat ada
hukumnya yang dapat diketahui oleh orang-orang yang beril-
mu ialah para ulama. Pengetahuan tersebut adakalanya lang-
sung diperoleh dari nash, adakalanya diperoleh dari petunjuk-
petunjuk yang menunjukkan kepada maksud nash tersebut.

C. Dasar hukum ijtihad: QS. al-Nisā’ [4]: 59

‫األم ِر ِمْن ُك ْم فَِإ ْن‬ ِ ‫ول َوأ‬ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬ ِ ِ َّ


ْ ‫ُول‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُوا أ‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تـُْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالْيـَْوِم‬
ِ ‫الرس‬ ِ ِ ٍ
ُ َّ ‫تـَنَ َاز ْعتُ ْم ِف َش ْيء فـَُرُّدوهُ إ َل اللَّه َو‬
ِ ِ
‫َح َس ُن تَأْ ِويال‬
ْ ‫ك َخيـٌْر َوأ‬ َ ‫اآلخ ِر َذل‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-
Qur‘an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepa-
da Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.4
Dalam ayat tersebut, di atas ada beberapa hal yang dapat
dipetik:
3
Ibrahim Abbas al-Dzarwy, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam, Cet. I, (Semarang: Toha
Putra, 1993), h. 31-32.
4
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 114.

51
ushul fiqh

1. Taat kepada Allah dan Rasul;


2. Ulil amri (ulama dan umara);
3. Ayat (fain tanaza’tum fi syai’in farudduhu ila llahi warrasul)
hal itu dimaksud perintah untuk melakukan qiyas, artinya
jika terbentur dalam menentukan hukum suatu hal yang
tidak terdapat ketegasan hukumnya dalam Al-Qurʼan ma-
upun Sunnah, maka kembalikanlah dalam arti qiyas-kan-
lah kepada hukum yang terdapat dalam Al-Qurʼan mau-
pun Sunnah.
4. Perintah untuk merujuk dan kembali kepada Al-Qurʼan
maupun Sunnah bilamana terjadi silang pendapat dalam
hasil pemikiran. Dalam pengertian ini maka kata akhir
terletak pada Al-Qurʼan dan Sunnah, itu berarti bahwa
setiap kegiatan intelektual dalam bentuk ijtihad hasilnya
harus tidak bertentangan dengan Al-Qurʼan maupun Sun-
nah. Dengan demikian, Al-Qurʼan dan Sunnah standar ke-
benaran.
a. Dalam QS. al-Nisā’ [4]: 83:

‫ف أَ َذاعُوا بِِه َولَ ْو َرُّدوهُ إِ َل‬ ِ ‫الو‬ ِ


َْْ ‫األم ِن أَ ِو‬ْ ‫َوإِ َذا َجاءَ ُه ْم أ َْمٌر م َن‬
‫ين يَ ْستـَْنبِطُونَهُ ِمنـْ ُه ْم َولَ ْوال‬ ِ َّ ِ ِ ِ ‫ول َوإِ َل أ‬ ِ ‫الرس‬
َ ‫األم ِر منـْ ُه ْم لَ َعل َمهُ الذ‬
ْ ‫ُول‬ ُ َّ
ِ ِ
‫ض ُل اللَّه َعلَْي ُك ْم َوَر ْحَتُهُ التـَّبـَْعتُ ُم الشَّْيطَا َن إِال قَليال‬
ْ َ‫ف‬
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang ke­
amanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul
dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebagian
kecil saja (di antaramu).5

b. Dalam QS. al-Syura [42]: 38:

‫الصال َة َوأ َْمُرُه ْم ُش َورى بـَيـْنـَُه ْم َوِمَّا‬


َّ ‫استَ َجابُوا لَِرِّبِ ْم َوأَقَ ُاموا‬
ْ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫َوالذ‬
5
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 118.

52
bab 3 ijtihad

‫اه ْم يـُْن ِف ُقو َن‬


ُ َ‫َرَزقـْن‬
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tu-
hannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputus-
kan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkah-
kan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka.6

c. Dalam Hadis Nabi, ketika mengutus Mu’az bin Jabal


untuk menjadi qadhi (hakim) di Yaman Nabi bertanya
kepada Mu’az sebagai berikut: yang artinya: Bagai-
mana engkau menetapkan hukum apabila dihadap-
kan kepada engkau satu masalah. Mu’az menjawab:
saya putuskan berdasarkan kitabullah (Al-Qurʼan).
Rasul bertanya: Bila engkau tidak temukan dalam Al-
Qurʼan? Jawab Mu’az saya putuskan dengan Sunnah
Rasulullah. Kemudian Rasul bertanya lagi: Kalau da-
lam Sunnah Rasulullah pun tidak engkau temukan?
Mu’az menjawab saya akan berijtihad dengan pemi-
kiran saya, dan tidak akan saya lambatkan. Kemudian
Rasul mengusap dada Mu’az, sambil berkata: Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada
utusan Rasulullah sebagaimana telah direstui oleh Ra-
sulullah (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi).
d. Hadis Nabi

َّ‫اب فـَلَهُ اَ ْجَر ِان َواِذاَ ْجتـََه َد ُث‬


َ ‫ص‬
ِ
َ َ‫اح َك َم احلَاك ُم فاَ ْجتـََه َد ُثَّ ا‬
ِ
َ ‫ا َذ‬
‫اَ ْخطَاَ فـَلَهُ اَ ْجٌر‬
Apabila hakim memutuskan hukum dan ia berijtihad, kemu-
dian ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan jika
ijtihadnya keliru maka ia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari
dan Muslim)7

6
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 699.
7
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari, Juz IX, h. 108.

53
ushul fiqh

D. Syarat-syarat (seorang mujtahid):


1. Mengetahui Al-Qurʼan dan Sunnah. Cukup mengetahui
ayat-ayat hukum saja.
2. Yang berkaitan dengan Sunnah, harus mengetahui Sun-
nah sebanyak-banyaknya. Al-Gazali mengatakan cukup
mengetahui Hadis-hadis hukum saja.
Ulama lain memberikan syarat yang berkaitan dengan
Sunnah:
a. Menguasai pengetahuan tentang thuruq-nya, yaitu
tentang mutawatir dan ahad;
b. Mengetahui ketentuan mengenai perbuatan dan per-
kataan agar ia dapat mengetahui tuntutan masing-
masing dari keduanya; dan
c. Dapat menentukan mana yang terkuat di antara kha-
bar-khabar yang bertentangan agar ia dapat mengam-
bil mana yang harus diamalkan.
3. Mengetahui ijma’, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa
yang bertentangan dengan ijma’.
4. Mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkan menggali
hukum dari Al-Qurʼan dan Sunnah secara baik dan benar.
5. Mengetahui ilmu ushul fiqh.
6. Mengetahui nasikh mansukh.
7. Mengetahui maksud syari’ dalam menetapkan hukum. Se-
cara umum tujuan syari’ dalam menetapkan hukum ada-
lah untuk kemaslahataan umat manusia. Baik dalam ben-
tuk mewujudkan suatu manfaat untuk manusia maupun
dalam bentuk menghindarkan maudarat dari manusia.8
Menurut al-Syatibi dasar ijtihad ada dua:
1. Memahami maksud syara’, dasar dari hal ini bahwa ke-
maslahatan dalam Islam merupakan hakikat yang inti. Ini
tidak bisa dilihat menurut keinginan dan kecenderungan
pribadi mukallaf, tetapi secara substansial harus dilihat

8
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 574.

54
bab 3 ijtihad

dari segi manfaat atau bahaya dalam satu hal atau bahaya
yang ditimbulkan. Dalam hal ini al-Syatibi mengatakan
“jika seseorang telah mencapai suatu tingkatan tertentu,
maka ia akan mampu memahami tujuan syara’ dalam se-
tiap masalah dan setiap aspek. Dengan itu, ia telah men-
capai sifat yang membuatnya menempati status “Khalifah
Nabi” (pengganti Nabi) untuk menyebarkan ajaran, mem-
beri fatwa dan menetapkan hukum sesuai petunjuk Allah.
2. Kemampuan beristinbat, dengan menguasai alat istinbat,
yaitu menguasai Bahasa Arab, hukum-hukum yang ada
dalam Al-Qurʼan dan Sunnah, ijma’, perbedaan pendapat
di kalangan ahli fikih, serta macam-macam qiyas.9 Jadi
intinya bahwa bagian kedua ini seorang mujtahid harus
mengetahui ilmu alat yang telah menjadi persyaratan se-
orang mujtahid.
Pembagian ijtihad ada dua:
1. Ijtihad istinbat, yaitu kegiatan ijtihad yang berusaha
menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang te-
lah ditentukan.
2. Ijtihad tatbiqi, yaitu kegiatan ijtihad yang bukan untuk
menemukaan dan menghasilkan hukum, tetapi menerap-
kan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepa-
da kejadian yang muncul kemudian.

E. Tingkatan mujtahid ada empat


1. Mujtahid muthlak/independen adalah mujtahid yang
mandiri. Untuk mencapai tingkatan ini, semua persya-
ratan sebagai seorang mujtahid harus dipenuhi. Mujtahid
inilah yang memiliki tingkat otoritas mengkaji ketetapan
hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Mujtahid muntashib adalah mereka yang mengambil atau
memilih pendapat imam-imamnya dalam ushul dan ber-

9
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 577.

55
ushul fiqh

beda pendapat dalam cabang (furu’), meskipun secara


umum menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang ham-
pir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
3. Mujtahid fil mazhab, adalah mujtahid yang mengikuti
imamnya baik dalam ushul maupun dalam furu’-nya. Muj-
tahid mazhab ini menghasilkan al-fikih al-mazhabi (aliran
fikih) dan meletakkan asas-asas bagi perkembangan maz-
hab-mazhab, serta mengeluarkan ketentuan hukum baru
berdasarkan prinsip-prinsip dari mazhab-mazhab terse-
but. Mujtahid-mujtahid inilah yang meletakkan asas-asas
tarjih dan muqayasah (perbandingan) di antara pendapat
ulama guna menilai sahih ata daif-nya suatu pendapat.
4. Mujtahid tarjih, adalah mujtahid yang tidak melakukan
istinbat terhadap hukum-hukum furu’ yang belum sem-
pat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui
hukumnya. Mujtahid murajjih hanya melakukan tarjih
mengunggulkan di antara pendapat-pendapat yang diri-
wayatkan dari imam dengan metodenya, murajjih mela-
kukan tarjih sebagai pendapat atas pendapat lain karena
dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan kon-
teks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena
alasan lain, sepanjang tidak termasuk ke dalam kategori
melakukan kegiatan istinbat baru yang independen atau-
pun mengikuti metode istinbat imamnya.10
Perlu dipahami bahwa pengimplementasian hukum dalam
suatu peristiwa nyata tidak termasuk dalam kategori ijtihad
karena tidak membutuhkan kualifikasi mujtahid. Implemen-
tasi hukum ini dikenal dengan istilah tahqiq almanath. Dalam
tahqiq al-manath yang diperlukan hanyalah pengetahuan yang
menjadi alat untuk mengetahui hukum dari suatu peristiwa.
Ijtihad masa kini:
1. Ijtihad Intiqa’i (tarjih): Apa yang telah ditetapkan oleh
10
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Cet.
I, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2003), h. 155-156.

56
bab 3 ijtihad

ulama terdahulu, bukan berarti bahwa merupakan hasil


yang final untuk sepanjang masa. Akan tetapi, perlu diti-
lik kembali apakah masih sesuai dengan kondisi zaman.
Adapun para mujtahid sekarang dituntut untuk menga-
dakan studi perbandingan di antara pendapat-pendapat
itu dan meneliti dalil-dalil yang dijadikan landasan. Atau
mujtahid dewasa ini harus memilih pendapat yang dipan-
dang kuat dan lebih sesuai dengan kondisinya.
Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para ula-
ma terdahulu, melainkan ditransformasi sesuai dengan
perkembangan zaman. Kita tidak bisa berkomitmen da-
lam suatu mazhab atau pendapat, melainkan harus me-
neliti secara keseluruhan, agar bisa mendapat ketetapan
yang kuat menurut pandangan kita sekarang dan lebih
sesuai dengan realitas masalah umat Islam.11
2. Ijtihad Insya’i (penalaran baru)
Ijtihad ini sangat diperlukan, karena berbagai permasa-
lahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahu-
an dan teknologi sekarang. Yang pernah terbetik dalam
hati para mujtahid terdahulu seperti, pencangkokan or-
gan tubuh manusia, donor mata, inseminasi buatan, dan
lain sebagainya.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globa-
lisasi dunia telah banyak membawa pengaruh perubah-
an pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional
menjadi ciri utama masyarakat modern membuat prak-
tik-praktik dalam ilmu fikih kurang mampu merespons
permasalahan baru tersebut.
Upaya untuk mengantisipasi permasalahan ini tidak akan
tercapai apabila mujtahid sekarang hanya terpaku pada
pendapat ulama terdahulu. Adapun mereka ulama terda-
hulu belum mengalami kasus-kasus itu apalagi ingin ber-

11
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I, (Semarang: Dina Utama,
t.th..), h. 80.

57
ushul fiqh

ijtihad dalam hal tersebut.12


3. Ijtihad Komparatif
Yang dimaksud dengan ijtihad komparatif adalah meng-
gabungkan kedua bentuk ijtihad di atas (intiqa’i dan in-
sya’i), lalu menguatkan atau mengompromikan beberapa
pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru seba-
gai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
Oleh karena itu, pada dasarnya hasil ijtihad yang telah
dihasilkan oleh ulama terdahulu merupakan karya agung
yang tetap utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, me-
lainkan masih memerlukan ijtihad baru, dalam arti di-
perlukan kemampuan untuk mengutak-atik dengan jalan
dapat menggabungkan kedua bentuk ijtihad tersebut di
atas.

12
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, h. 80.

58
bab
4
BEBERAPA METODE IJTIHAD

A. ISTIHSAN
1. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi merupakan bentuk masdar
dari yang berarti menganggap baik sesuatu.1 Atau
mengira sesuatu itu baik.2 Abu Hanifah tetap menggunakan
arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu
(astahsin) berarti saya menganggap baik.3 Arti lain dari istihsan
adalah mengikuti sesuatu yang lebih baik atau mencari yang
lebih baik untuk diikuti karena memang disuruh untuk itu.4
Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergam­
bar adanya seseorang yang telah menghadapi dua hal yang
keduanya baik, akan tetapi ada hal yang mendorongnya un­
tuk meninggalkan satu di antaranya dan menetapkan un­
tuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik untuk
diamalkan.

1
Umar Hubeis dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid II, Cet. IX, (Surabaya Pustaka
Progresif, 1985), h. 187.
2
Badran Abu al-‘Ainaini Badran, Ushul Fiqh al-Islamiy, (Mesir: Mu’assasah Syabab al-
Iskandariyah, t.th.), h. 263.
3
Abu Zahrah, Ushul, Ushul fiqh, h. 402.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1999), h. 305.
ushul fiqh

Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada be­berapa


definisi yang dirumuskan oleh beberapa ahli ushul:
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
5
‫عدول عن قيا س اىل قياس اقوى منه‬1
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain
yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama).

‫عدول عن الد ليل اىل العادة للمصلحة‬2


Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebia-
saan karena suatu kemaslahatan.
Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama ti-
dak terjadi perdebatan karena yang terkuat di antara dua
qiyas harus didahulukan. Adapun definisi kedua ada pi-
hak yang menolaknya. Alasannya, apabila dapat dipas-
tikan bahwa adat istiadat itu baik karena berlaku seperti
pada masa Nabi atau sesudahnya, dan tanpa ada penolak-
an dari Nabi atau dari yang lainnya, tentu ada dalil pen-
dukungnya, baik dalam bentuk nash maupun ijma’. Dalam
bentuk seperti ini adat harus diamalkan secara pasti. Na-
mun bila tidak terbukti kebenarannya, maka cara terse-
but tertolak secara pasti.6
2. Istilah istihsan di kalangan ulama Hanafiyah sebagaima-
na yang dikutip oleh al-Sarkhasi:7

‫ العمل باالجتهاد وغائب الراي ىف تقدير ماجعله الشرع موكوال‬.)‫(ا‬


‫لنص اىل ارائنا‬
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam me-
nentukan sesuatu yang syara’ menyerahkannya kepada
kita.

‫ الد ليل الذى يكون معارضا للقياس الظاهر الذى تسبق‬.)‫(ب‬


5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 305.
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 305.
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h.307.

60
bab 4 beberapa metode ijtihad

‫اليه االوهام قبل انعام التامل ىف حكم العادة واشباهها من االصول‬


‫يظهرهن الدليل الذى عارضه فوقه ىف القوة فان العمل به هو الواجب‬
Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului
prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil
itu namun setelah diadakan penelitian yang mendalam
terhadap dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-
dasar yang sama dengan itu ternyata bahwa dalil yang
menyalahi qiyas itu lebih kuat dan oleh karenanya wajib
diamalkan.
3. Istihsan menurut ulama Malikiyah sebagaimana yang di-
kemukakan oleh al-Syatibi:8
.‫وهو ىف مذهب مالك االخذ مبصلحة جزئية قى مقابلة دليل كلي‬
Istihsan dalam Mazhab Malik adalah menggunakan ke-
maslahatan yang bersifat juz’I sebagai pengganti dalil
yang bersifat kulli.
Dari definisi di atas mengandung arti bahwa seorang
mujtahid semestinya menetapkan hukum dengan berpe-
doman kepada dalil yang ada dan bersifat umum. Namun
karena dalam keadaan tertentu mujtahid melihat adanya
kemaslahatan yang bersifat khusus, maka dalam mene-
tapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum
yang ada, tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepen-
tingan yang bersifat khusus.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh ula-
ma, maka dapat ditemukan esensi istihsan ada dua:9
1. Mentarjih qiyas khafi daripada qiyas jali karena ada dalil
yang mendukungnya.
2. Memberlakukan pengecualian hukum juz’iyah daripada
hukum kulli atau kaidah umum, didasarkan pada dalil
khusus yang mendukungnya.

8
Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I, (Cairo: t.th. ), h. 30.
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Cet. I, (Jakarta: Logos, 1996), h. 105.

61
ushul fiqh

Meskipun definisi di atas cukup beragam, namun ada ke-


samaan-kesamaan yang dapat kita tarik benang merah, bah-
wa istihsan adalah meninggalkan suatu hukum yang telah
ditetapkan oleh syara’ dan menetapkan hukum lain karena
ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat menurut jiwa orang
yang melakukan ijtihad. Baik dengan cara meninggalkan qi-
yas jali dan mengambil qiyas khafi sebagai sandaran hukum,
atau menetapkan suatu hukum dengan cara mengambil per-
masalahan yang sifatnya juz’i dari permasalahan yang sifatnya
kulli. Oleh karena itu, jelaslah bahwa istihsan tetap dibangun
berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bukan berdasarkan hawa
nafsu belaka.

2. Hakikat Istihsan
Para ulama fikih berbeda pendapat mengenai keabsahan
istihsan sebagai dalil pokok dalam pengambilan hukum. Di
antara ulama yang paling santer dalam membela dan meng­
amalkan istihsan sebagai hujah adalah ulama Mazhab Hanafi.
Ditambah sebagian ulama-ulama lainnya dari Mazhab Mali-
ki dan Hambali. Hanya saja, ulama Mazhab Syafi’i memiliki
pandangan yang berbeda dalam memposisikan istihsan seba-
gai dalil pokok dalam pengambilan hukum.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara
pandangan ulama yang membela dan mendukung istihsan de-
ngan ulama yang menentang istihsan. Mereka tidak berselisih
dalam penggunaan lafaz istihsan, karena kata yang mengan-
dung makna hasan (baik) itu terdapat dalam teks Al-Qurʼan
dan Sunnah. Allah Swt berfirman dalam (Qs. al-Zumar [39]:
18):
ِ َّ ِ‫الَّ ِذين يست ِمعو َن الْ َقوَل فـيتَّبِعو َن أَحسنه أُولَئ‬
ُ‫ين َه َد ُاه ُم اللَّه‬
َ ‫ك الذ‬ َ ُ ََ ْ ُ ََ ْ ُ َْ َ َ
ِ‫ك ُهم أُولُو األلْباب‬ ِ
َ ْ َ ‫َوأُولَئ‬
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petun-

62
bab 4 beberapa metode ijtihad

juk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.10


Ayat lain al-Zumar [39]: 55
ِ ِ ِ
ُ ‫َح َس َن َما أُنْ ِزَل إِلَْي ُك ْم م ْن َربِّ ُك ْم م ْن قـَْب ِل أَ ْن يَأْتيَ ُك ُم الْ َع َذ‬
‫اب‬ ْ ‫َواتَّبِعُوا أ‬
‫بـَ ْغتَةً َوأَنـْتُ ْم ال تَ ْشعُُرو َن‬
Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang
kamu tidak menyadarinya.11
Selain itu juga, Rasulullah saw., bersabda:
ِ ‫ماَ راَه املسلِمو َن حسناً فـهو ِعْن َد‬
)‫اهلل َح َس ٌن (رواه أمحد‬ َ َُ َ َ ْ ُ ْ ُ َ
Sesuatu yang dipandang oleh kaum Muslimin itu baik, maka menu-
rut Allah pun adalah baik. (HR. Ahmad).12
Dari sini, ulama Mazhab Hanafi tetap berpegang kepada
istihsan. Akan tetapi mereka menggunakannya tetap berda-
sarkan kepada dalil-dalil yang kuat. Bukan kepada hawa naf-
su sebagaimana yang dituduhkan para ulama yang menen-
tang istihsan. Mereka berpendapat dalam posisi istihsan ini,
melakukan istihsan lebih utama daripada melakukan qiyas.
Karena pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari-
pada dalil yang lemah. Pada dasarnya dalam praktik istihsan
ini, tidak mesti ada dalil yang bertentangan, tetapi istihsan itu
cukup dilakukan ketika ada dalil yang lebih kuat, sekaligus
menggugurkan dalil yang lemah.

3. Pembagian Istihsan
Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Al-Wajiz fī Ushul
Fiqh, membagi istihsan dari segi sandaran dalilnya dibagi
menjadi berapa macam:13

10
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 661.
11
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 667.
12
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI, (t.tp.: Muassasah al-Risalah,
1421 H), h. 84.
13
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi, (Beirut: Penerbit Mu’assasah Risalah,

63
ushul fiqh

1. Istihsan yang disandarkan kepada teks Al-Qurʼan atau Ha-


dis yang lebih kuat. Seperti jual beli salam (pesanan). Dan
makan ketika dalam keadaan puasa karena lupa.
2. Istihsan yang disandarkan kepada ijma’. Contoh, boleh-
nya mengambil upah dari orang yang masuk WC. Menu-
rut kaidah umum, tidak boleh seseorang mengambil upah
tersebut, karena tidak bisa diketahui dan dipastikan be-
rapa lama si pengguna berada di dalam WC, juga tidak
bisa diketahui seberapa banyak dia menggunakan air di
dalam WC. Tetapi berdasarkan istihsan, dibolehkan si pe-
tugas mengambil upah dari pengguna WC tersebut, kare-
na sudah membantu menghilangkan kesulitan orang, juga
sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada penolakan dari
seorang pun sehingga menjadi ijma’.
3. Istihsan yang disandarkan kepada adat kebiasaan (‘urf).
Seperti pendapat sebagian ulama yang membolehkan wa-
kaf dengan barang-barang yang bergerak, seperti mewa-
kafkan buku, mobil, dan barang-barang lainnya. Menurut
kaidah umum, wakaf itu harus pada barang-barang yang
tidak bergerak, seperti tanah, atau bangunan. Kemudian
ulama membolehkan wakaf dengan barang-barang yang
bergerak tadi karena sudah menjadi adat (‘urf) di ling-
kungan tersebut.
4. Istihsan yang disandarkan kepada urusan yang sangat da-
rurat. Seperti membersihkan sumur yang terkena najis,
hanya dengan mengambil sebagian air dari sumur itu.
Menurut qiyas, air sumur tersebut tidak bisa dibersihkan
lagi, karena alat untuk membersihkan air itu sudah terke-
na najis, dan tidak mungkin dibersihkan. Tetapi menurut
istihsan, air itu bersih lagi hanya dengan mengeluarkan
sebagian airnya saja. Karena mengeluarkan sebagian air
itu tidak memengaruhi kesucian sisanya. Inilah yang di-
namakan dengan darurat, yang bertujuan untuk memu-

2002), h. 230.

64
bab 4 beberapa metode ijtihad

dahkan urusan manusia. Selain itu juga dalam ayat Al-


Qurʼan sudah disebutkan bahwa agama itu bukan untuk
menyusahkan manusia. Allah Swt. berfiman (QS. al-Hajj
[22]: 78).

‫اجتَبَا ُك ْم َوَما َج َع َل َعلَْي ُك ْم ِف الدِّي ِن‬ ِِ ِ ِ ِ


ْ ‫َو َجاه ُدوا ِف اللَّه َح َّق ج َهاده ُه َو‬
‫ني ِم ْن قـَْب ُل َوِف َه َذا‬ ِِ ِ ِ ِ َّ ِ ِ
َ ‫يم ُه َو َسَّا ُك ُم الْ ُم ْسلم‬ َ ‫م ْن َحَرٍج ملةَ أَبي ُك ْم إبـَْراه‬
‫يموا‬ ِ ِ ‫يدا علَي ُكم وتَ ُكونُوا شه َداء علَى الن‬ ِ ُ ‫الر ُس‬ َّ ‫لِيَ ُكو َن‬
ُ ‫َّاس فَأَق‬ َ َ َُ َ ْ ْ َ ً ‫ول َشه‬
‫ص ُموا بِاللَّ ِه ُه َو َم ْوال ُك ْم فَنِ ْع َم الْ َم ْوَل َونِ ْع َم‬
ِ َ‫الزَكاةَ و ْاعت‬
َ َّ ‫الصالةَ َوآتُوا‬ َّ
ِ
ُ‫النَّصري‬
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-
benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang-
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam Al-Qur‘an ini, supaya Ra-
sul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi
atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah za-
kat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.14
Dalam Hadis dijelaskan pula yang artinya: Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesem-
pitan.
5. Istihsan yang disandarkan kepada qiyas khafi. Seperti bo-
lehnya minum air sisa minum burung buas seperti elang
dan gagak.

4. Kehujahan Istihsan
Para ulama yang menggunakan istihsan, adalah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik dan sebagian pengikut Imam Ah-
mad bin Hanbal. Alasan-alasan mereka adalah, penelitian ter-
hadap beberapa peristiwa hukum dan ketentuan hukumnya
membuktikan bahwa terus-menerusnya berlaku ketetapan

14
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 474.

65
ushul fiqh

qiyas, berkelanjutannya ketetapan umum dan meyeluruhnya


ketetapan kulli, kadang-kadang membawa hilangnya maslahat
dan akan membawa mafsadat.15 Oleh karenanya merupakan
suatu rahmat Allah, karena telah dibuka peluang bagi muj-
tahid untuk memindahkan peristiwa hukum dari ketentuan
qiyas kepada ketentuan hukum lain yang dapat mewujudkan
maslahat dan menolak mafsadat.
Menurut al-Syatibi, istihsan yang telah dipakai oleh imam
mazhab bukanlah semata-mata didasarkan pada logika murni
dan mengikuti hawa nafsu, tetapi sebenarnya semuanya di-
kembalikan kepada maksud syara’ yang umum dalam peris-
tiwa-peristiwa yang dikemukakan yang sifatnya kontekstual
demi terwujudnya maqasid syari’ah.16 Sebagai contoh, diboleh-
kannya memeriksa aurat tubuh untuk kesehatan. Ini merupa-
kan pengecualian dari kaidah umum yang mengharamkannya.
Husain Hamid Hassan menjelaskan, bahwa dasar pema-
kaian istihsan menurut Imam Malik, kembali kepada nash dari
dua segi:17 Pertama, kaidah istihsan merupakan kaidah yang
diambil dari dalil syara’ dengan cara induksi yang membe-
ri faedah qath’i, bukan mengemukakan pendapat akal atau
mengikuti hawa nafsu semata. Kedua kaidah istihsan, muj-
tahid kembali kepada dalil syara’ yang diambil dari induksi
nash-nash syariat. Ijma’ dan ‘urf’ telah diakui kehujahannya
oleh nash syariat. Adapun maslahah mursalah bila dihadapkan
dengan dengan qiyas berarti beramal dengan nash-nash yang
mendukung maslahat daripada qiyas.
Demikian pula Mazhab Hanafi memberi penjelasan ten-
tang istihsan tidak berbeda dengan Mazhab Malik. Al-Taftaza-
ni mengemukakan bahwa istihsan merupakan suatu dalil-dalil
yang disepakati oleh para ulama karena istihsan didasarkan

15
Ahmad Hassan, Islamic Reserch Institute, diterjemahkan oleh Aqah Garnadi dengan judul
Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Cet. I, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 141.
16
Abi Ishaq al-Syatibi, Juz IV, 206.
17
Husain Hamid Hassan, Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-Islamiyah, (Mesir: Dar al-
Wahdat al-‘Arabiyah, t.th.), h. 589.

66
bab 4 beberapa metode ijtihad

kepada nash, ijma’darurat atau kepada qiyas khafi.18


Apabila diperhatikan dari sandaran-sandaran istihsan,
maka tampak jelas bahwa istihsan yang sandarannya qiyas
khafi sesungguhnya termasuk juga turuk istinbath dengan qi-
yas. Oleh karena itu, di sini hanya mentarjih satu qiyas atas
qiyas yang lain. Dalam hal ini qiyas khafi memang diperlu-
kan untuk menghindarkan diri dari kejanggalan-kejanggal-
an hukum yang timbul akibat menerapkan qiyas jali secara
mutlak. Adapun qiyas yang sandarannya darurat dan raf’ul
kharaj pada hakikatnya aturan-aturan tersebut berkaitan erat
dengan kemaslahatan. Oleh karena itu, hanya tinggal dua san-
daran istihsan.
a. Istihsan yang sandarannya al-‘adah al-sahihah.
b. Istihsan yang sandarannya kemaslahatan.
Jadi, jelas bahwa istihsan ini sangat penting adalah ruhul
hukum/semangat hukum Islam yang tersirat dalam hukum-
hukum kulli, maqasid syari’ah dan kaidah-kaidah kulliyah fiq-
hiyah. Dengan kata lain istihsan adalah cara berijtihad dengan
menerapkan semangat hukum Islam terhadap kasus-kasus ter-
tentu.
Adapun dalil-dalil yang digunakan Mazhab Hanafi dalam
pemakaian istihsan, sebagaimana yang terdapat dalam Al-
Qurʼan (QS. az-Zumar [39]: 18 dan 55).
Hadis Nabi saw., yang berbunyi:
19
‫ماراه املسلمون حسنا فهو عند اهلل حسن‬
Apa yang dianggap baik oleh kaum Muslimin, maka baik juga disisi
Allah.
Ayat pertama menurut mereka adalah memuji orang-
orang yang mengikuti pendapat yang paling baik, sedangkan

18
Al-Taftazani, Syarh al-Talwik ‘ala al-Taudih, Juz II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th.), h. 62.
19
CD. Rom Kutub al-Tis’ah.

67
ushul fiqh

ayat kedua memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik


apa yang diturunkan oleh Allah.20 Seandainya mengikuti cara
yang terbaik namun tidak mempunyai kekuatan dalil, tentu
Allah tidak mengisyaratkan seperti itu. Hal ini menunjukkan
bahwa istihsan tidak lain adalah upaya untuk membuat yang
terbaik itu diakui kekuatannya dalam agama.
Selain ayat tersebut, para ulama juga menggunakan ijma’
sebagai dasar kehujahan istihsan. Sebagai contoh, bolehnya
masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga
tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu
pemakaiannya.

5. Pandangan Imam Syafi’i terhadap Istihsan


Imam Syafi’i beserta pengikutnya memiliki pandangan
yang berbeda mengenai istihsan. Mereka menolak dan meng-
kritik habis orang-orang yang menggunakan istihsan sebagai
dalil pokok dalam pengambilan hukum setelah empat dalil
pokok yang telah disepakati yaitu Al-Qurʼan, Hadis, ijma’, dan
qiyas. Bahkan mengenai istihsan ini, Imam Syafi’i berkata:

‫ع‬ ْ ‫َم ِن‬


َ ‫استَ ْح َس َن فـََق ْد َشَّر‬
21

“Barangsiapa yang berhujah dengan istihsan berarti ia telah mene-


tapkan sendiri hukum syara’”.
Imam Syafi’i berkeyakinan bahwa berhujah dengan istih-
san, berarti ia telah mengikuti hawa nafsunya, karena telah
menentukan syariat baru. Adapun yang berhak membuat sya-
riat itu hanyalah Allah Swt. Dari sinilah terlihat, bahwa Imam
Syafi’I beserta pengikutnya cukup keras dalam menolak ma-
salah istihsan.22
Dilihat dari paradigma yang dipakai oleh Imam Syafi’i

20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 317.
21
Imam Syafi’i, Al-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmadi Toha, Cet. I, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1986), h. 241.
22
Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 415.

68
bab 4 beberapa metode ijtihad

berserta pengikutnya, ternyata berbeda dengan paradigma


yang dipakai oleh Ulama Hanafiyah. Imam Syafi’i berpegang
bahwa yang berhujah dengan istihsan berarti ia telah mengi-
kuti hawa nafsunya. Adapun istihsan yang dimaksud oleh ula-
ma Hanafiyah adalah berhujah berdasarkan dalil yang lebih
kuat.
Oleh karena itu, penolakan Imam Syafi’i bukan pada la-
faz istihsannya, karena Imam Syafi’i pun sering menggunakan
kata-kata istihsan. Seperti pada kasus pemberian mut’ah kepa-
da wanita yang ditalak. Imam Syafi’i berkata aku menganggap
baik pemberian nilai mut’ah itu sebanyak 30 dirham. Padahal
di dalam teks Al-Qurʼan tidak ada penentuan nilai yang harus
diberikan. Tetapi beliau melakukan itu sebagai ijtihad beliau
atas makna pemberian yang ma’ruf. Jadi, cara seperti ini se-
benarnya menurut Hanafiyah merupakan cara pengambilan
hukum dengan istihsan, tetapi menurut Syafi’i, ini bukan de-
ngan cara istihsan tetapi dengan membatasi sesuatu dengan
melihat kondisi waktu itu (takhshishul illah).23

B. Maslahah MURSALAH
Maslahah berasal dari kata yang berarti man-
faat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian masla-
hah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan yang mendorong
kepada kebaikan manusia.” Jadi, maslahah itu mengandung
dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan
menolak atau menghindarkan kemudaratan.
Mursalah artinya terlepas dan bebas, bila dihubung-
kan dengan kata maslahah, maka terlepas atau bebas dari ke-
terangan yang menunjukkan boleh atau tidaknya dilakukan.
Maslahah mursalah: suatu upaya penetepan hukum dida-
sarkan atas kemaslahatan (maslahah), yang tidak terdapat di
dalam nash maupun ijma’ tidak ada pula penolakan atasnya

23
Abuddin Nata, Masail Fiqhiyah, Cet.I, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2003), h. 162.

69
ushul fiqh

secara tegas tetapi kemaslahataan itu didukung oleh syariat


yang bersifat umum dan pastisesuai dengan maksud syara’.24
Al-Gazali menjelaskan bahwa menurut asalnya maslahah
itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan)
dan menjauhkan mudarat (kerusakan), namun hakikat dari
maslahah adalah:

‫ص ْوِد الش َّْرِع‬


ُ ‫لى َم ْق‬
َ ‫اَحملُاَفَظَةُ َع‬
Memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.25
Al-Tufi mendefinisikan maslahah adalah:

‫ص ْوِد الشَّا ِرِع ِعبَ َاد ِة اَْو َعا َد ِة‬ ِ


َّ ‫ِعبَ َارةٌ َع ِن‬
ِ َ‫السب‬
ُ ‫ب املَُؤ ِّدى ا َل َم ْق‬
Ungkapan dari sebab yang membawa kepada tujuan syara’ dalam
bentuk ibadah dan adat.26
Dari kedua definisi tersebut, memandang bahwa masla-
hah dalam arti syara’ sebagai sesuatu yang dapat membawa
kepada tujuan syara’
Hakikat maslahah mursalah:
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertim-
bangan dapat mewujudkan kebaikan dan menghindarkan
keburukan bagi manusia.
2. Apa yang baik menurut akal, juga selaras dan sejalan de-
ngan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tu-
juan syara’ tersebut, tidak ada petunjuk syara’ secara khu-
sus yang menolaknya juga tidak ada petunjuk syara’ yang
mengakuinya.
Syarat-syarat maslahah dijadikan sebagai dalil hukum me-
nurut al-Gazali:
1. Sesuai dengan maksud syara’ dan tidak bertentangan de-

24
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.
25
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 324.
26
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 325.

70
bab 4 beberapa metode ijtihad

ngan dalil yang qat’i.


2. Maslahah tersebut dapat diterima oleh akal sehat.
3. Maslahah besifat dharuri, yaitu untuk memelihara salah
satu hal berikut ini:
Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-dharuratul
hamzah).
Terdapat tiga tingkatan maslahah:
1. Dharuriyah: yaitu kemaslahatan yang keberadaannya sa-
ngat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehi-
dupan manusia tidak ada artinya jika prinsip yang lima
itu tidak ada.
2. Maslahah hajiyah: kemaslahatan yang tingkat kebutuhan
hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dha-
ruri. Akan tetapi, secara tidak langsung menuju ke arah
sana seperti memberi kemudahan bagi pemenuhan kebu-
tuhan hidup manusia. Contoh menuntut ilmu agama un-
tuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup,
mengasah otak untuk sempurna akal, melakukan jual beli
mendapatkan harta (kebutuhan primer: sandang, pangan,
dan papan).
3. Maslahah tahsiniyah. Kebutuhan ini perlu dipenuhi untuk
memberi kesempurnaan dan keindahan bagi manusia.
Contoh: tv, lemari, mobil, atau alat-alat rumah tangga.
Macam-macam maslahah ada tiga:
1. Maslahah mu’tabarah: maslahah yang diperhitungkan
oleh syari’ maksudnya ada petunjuk syari’ baik langsung-
maupun tidak langsung yang memberikan petunjuk pada
adanya maslahah yang menjadi alasan dalam menetap-
kan hukum.
2. Maslahah mulghah: maslahah yang dianggap baik, akal
tetapi tidak diperhitungkan oleh syara’ dan ada petunjuk
syara’ yang menolaknya. Contoh seorang raja atau orang
kaya yang mencampuri istrinya di siang hari pada bulan
puasa, untuk sanksinya yaitu disuruh berpuasa dua bu-

71
ushul fiqh

lan berturut-turut. Karena dengan cara inilah yang akan


membuatnya jera.
3. Maslahah mursalah: yaitu apa yang dipandang baik oleh
akal sejalan dengan tujuan syariat dalam menetapkan hu-
kum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang menolaknya.

C. ISTISHAB
1. Definisi Istishab
Istishab menurut bahasa berarti “mencari sesuatu yang ada
hubungannya”. Menurut istilah, ulama fikih ialah tetap ber-
pegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut.
Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum
pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan
hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap
berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau
menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang be-
lum pernah ditetapkan hukumnya. Adapun menurut Asy-Sya-
tibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada
masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa
sekarang.27
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa
istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, di-
nyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali ka-
lau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh istishab:
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, ke-
mudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan se-

27
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, h. 456.

72
bab 4 beberapa metode ijtihad

lama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini B, belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada per-
ubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama
berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap
sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab.

2. Dasar Hukum Istishab


Dari keterangan dan contoh di atas dapat diambil kesim-
pulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlah cara menetap-
kan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya ada-
lah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum
yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah
atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan
untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang
berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipa-
hami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan
si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau ter-
jadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan
yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebe-
narnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahan-
kan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum
yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil un-
tuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah
menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan
belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab
dapat dijadikan dasar hujah.

3. Macam-macam Istishab
Dari istishab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat
dijadikan dasar untuk mengistinbatkan hukum. Ditinjau dari
segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishab dapat dibagi kepada:
a. Istishab berdasarkan penetapan akal.

73
ushul fiqh

‫الس َم ِاء‬
َّ ‫استـََوى إِ َل‬ ِ ِ ‫هو الَّ ِذي خلَق لَ ُكم ما ِف األر‬
ْ َّ‫ض َج ًيعا ُث‬ ْ َ ْ َ َ َُ
‫يم‬ ِ ٍ ِ ٍ
ٌ ‫فَ َس َّو ُاه َّن َسْب َع َسَ َاوات َوُه َو ب ُك ِّل َش ْيء َعل‬
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah:
29)28
Berdasarkan ayat 29 surah al-Baqarah di atas, maka dapat
ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang di-
ciptakan Allah Swt. di bumi ini adalah untuk keperluan
dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai
sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah
di muka bumi. Jika demikian halnya, maka segala sesuatu
itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaat-
kan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa
hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’
yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebe-
lum turunnya ayat 90 surah al-Māidah, kaum Muslimin
dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut
diharamkan meminum khamar. Dengan demikian, ayat
tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain
yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah
(boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari
tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishab berdasarkan hukum syara’.
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah ter-
jadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki
dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-

28
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 6.

74
bab 4 beberapa metode ijtihad

rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami istri itu


halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubung-
an sebagai suami-istri. Ketetapan mubah ini telah berlaku
selama mereka tidak pernah bercerai walaupun mereka
telah lama berpisah dan selama itu pula si istri dilarang
kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum
syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-istri itu, pada
hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah di-
tetapkan.
Dari istishab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hi-
lang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-
ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah
ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetap-
an yang mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah
ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang
mengubahnya.”
Kaidah-kaidah istishab dan penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:

‫االصل بقاء ماكان على ماكان حىت يثبت ما يغريه‬


”Pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan
ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang mengubahnya.”

‫االصل يف االشياء اال باحة‬


“Pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”

‫االصل يف االنسان الرباءة‬


“Manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”

‫اليقني اليزول باالشك‬


“Keyakinan tidaklah bisa dihilangkan dengan keraguan.”

75
ushul fiqh

Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wud-


hu dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum
masih mempunyai wudhu, dan shalatnya sah. Hal demikian
berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah
yang berpendapat wajib berwudhu lagi. Sebab, menurut me-
reka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat
dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut ti-
dak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar
dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan
wudhu agar tidak diragukan kebatalannya.
Pendapat ulama mengenai istishab: jumhur ulama Maliki-
yah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zahiriyah, dan Syi’ah memandang
istishab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak. Maka bagi
jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya
yang telah ada pada masa lalu yang muncul setelah hilang-
nya. Adapun ulama muta’akhirin Hanafiyah berpendapat bah-
wa istishab hanya dapat diberlakukan pada hukum baru yang
belum ada sebelumnya; misalnya, orang hilang hanya dapat
menerima haknya pada masa lalu tetapi tidak dapat meneri-
manya setelah dia hilang.
Ada empat macam istishab menurut Abu Zahrah:
1. Istishab al-ibahah al-ashliyah. Istishab yang didasarkan atas
hukum ashal dari sesuatu yang mubah; misalnya, hukum
dasar segala sesuatu adalah boleh dilakukan dalam kehi-
dupan manusia. Selama tidak ada dalil yang melarang-
nya; misalnya, makanan, minuman, hewan, tumbuhan,
dan lain sebagainya. QS. al-Baqarah (2): 29:

‫الس َم ِاء‬
َّ ‫استـََوى إِ َل‬ ِ ِ ‫هو الَّ ِذي خلَق لَ ُكم ما ِف األر‬
ْ َّ‫ض َج ًيعا ُث‬ ْ َ ْ َ َ َُ
‫يم‬ ِ ٍ ِ ٍ
ٌ ‫فَ َس َّو ُاه َّن َسْب َع َسَ َاوات َوُه َو ب ُك ِّل َش ْيء َعل‬
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.29

29
Kementerian Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 6.

76
bab 4 beberapa metode ijtihad

2. Istishab al-bara’ah al-ashliyah. Istishab yang didasarkan


atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari
tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah-
nya status tersebut, dan bebas dari utang atau kesalahan
sampai ada bukti yang mengubah statusnya. Contoh, ti-
dak ada hak kewajiban antara antara seorang lelaki dan
perempuan, sehingga terwujud tali perkawinan antara
keduanya yang mengandung konsekuensi adanya hak
dan kewajiban.
3. Istishab al-Hukm.
Yaitu istishab yang berdasarkan pada tetapnya status hu-
kum yang telah ada selama tidak ada sesuatu yang meng-
ubahnya; misalnya, seseorang memiliki sebidang tanah
atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya
itu dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa
yang mengubah status hukum tersebut. Contoh lain, sese-
orang yang telah melakukan akad nikah akan selamanya
terikat dalam jalinan suami istri sampai ada bukti yang
menyatakan bahwa mereka telah bercerai.
4. Istishab Wasaf.
Istishabal-wasf adalah istishab yang didasarkaan atas ang-
gapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelum-
nya sampai ada bukti yang mengubahnya; misalnya, sifat
hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap
masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Setiap
fukaha menggunakan istishab dari a sampai c sedang me-
reka berbeda pendapat. Ulama Syafi’iyah dan Hanbaliyah
menggunakan istishab ini secara mutlak. Dalam arti bisa
menetapkan hak-hak yang telah ada pada waktu tertentu
dan seterusnya serta bisa pula menetapkan hak-hak yang
baru. Tetapi untuk Malikiyah hanya menggunakan yang
wasaf ini untuk hak-hak dan kewajiban yang telah ada.

77
ushul fiqh

D. ‘URF
1. Definisi
Al-‘Urf  menurut bahasa adalah sering diartikan
dengan apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi
tradisi.
‘Urf secara terminologi adalah kebiasaan mayoritas kaum,
baik dalam perkataan atau perbuatan.
Menurut ulama ushul, ‘urf adalah apa yang telah dibia­
sakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik
berupa perkataan, maupun perbuatan.
Adat menurut bahasa adalah perulangan atau sesuatu
yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hu­
bungan rasional. Contoh: Kebiasaan seseorang mendengkur
ketika tidur.

2. Macam-macam ‘Urf
1. ‘Urf qauli, kata daging yang hanya ditujukan kepada da-
ging sapi, kerbau, dan kambing. Tetapi tidak masuk da-
ging ikan.
2. ‘Urf fi’li, kebiasaan seseorang mengambil rokok temannya
tanpa meminta.
‘Urf dari segi ketentuan hukumnya:
1.  ‘Urf yang benar (‘urf shahih) yaitu kebiasan yang dilaku-
kan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, ti-
dak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
kewajiban. Seperti kebiasaan meminta pekerjaan, adat
membagi maskawin menjadi dua.
2.   Adat yang rusak yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh
manusia tetapi bertentangan dengan syara’ menghalal-
kan yang haram, atau membatalkan kewajiban. Seperti
kebiasaan mungkar pada saat menghadapi kelahiran, di
tempat kematian, serta kebiasaan memakan barang riba
dan perjudian. 

78
bab 4 beberapa metode ijtihad

3. Syarat-syarat ‘Urf:
1. Tidak bertentangan dengan nash (Al-Qurʼan dan Sunnah);
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan/kerusakan;
3. Tidak berlaku secara universal pada kaum Muslimin; dan
4. Tidak berlaku pada masalah ibadah mahdah (hanya ma-
salah muamalah).
Kaidah/dasar hukum ‘urf (al-‘adatu syariat al-muhakka-
mat). Ulama berkata: ‘urf adalah syariat yang dikuatkan se-
bagai hukum, sedangkan adat juga dianggap oleh syara’.
Imam Malik membentuk banyak hukum berdasarkan per-
buatan penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para murid-
nya berbeda dalam menetapkan hukum, tergantung pada
adat mereka. Imam Syafi’i ketika berada di Mesir, meng-
ubah sebagian hukum yang ditetapkan ketika beliau ber-
ada di Baghdad karena perbedaan adat. Oleh karena itu, ia
memiliki dua pendapat, pendapat baru dan pendapat lama.
Kebiasaan secara hakiki bukanlah merupakan dalil syara’
yang tersendiri. Pada umumnya ia termasuk memperhatikan
kemaslahatan umum. Yakni, sebagian adat diperhatikan da-
lam penetapan hukum syara’ maka diperhatikan juga dalam
memberikan penafsiran nash, men-takhsis yang umum, dan
membatasi yang mutlak.

E. SADD ZARI’AH
1. Pengertian Sadd al-Żari’ah
Sadd Żarī’ah terdiri dari dua kata dan secara
etimologi, sadd berarti menutup, sedangkan Żarī’ah yang asal
katanya adalah jamak dari yang berarti wasilah atau
“jalan” menuju suatu tujuan, kata ini sebagai penghubung
yang dikaitkan dengan sesuatu yang bersifat positif maupun
negatif.30

30
Satria Efendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. VII, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group,

79
ushul fiqh

Secara terminologi, kata sadd al-Żarī’ah ialah menutup


jalan atau mencegah terjadinya hal-hal yang menimbulkan
kerusakan baik dalam bentuk fasilitas, keadaan perilaku yang
dapat membuat kemudaratan bagi orang lain, sehingga kemu-
daratan dapat diubah dalam bentuk yang dilarang.
Apa yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, bahwa-
sanya perbuatan-perbuatan yang bisa menimbulkan kerusak-
an, maka hal itu hukumnya haram. Sebaliknya bila perbuatan
tersebut terkait dengan mubah, maka hukumnya boleh.31
Menurut yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan da-
lam ilmu usul fikih, sadd Żarī’ah adalah menutup jalan yang
membawa pada kejahatan atau kebinasaan. Kesimpulannya,
sadd Żarī’ah merupakan menutup jalan yang sampai pada su-
atu tujuan.32
Metode ini disebut metode preventif mencegah sebelum
terjadinya sesuatu yang tidak diingini. Mengandung konotasi
netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan.
Żarī’ah diterima sebagai sumber hukum pokok Islam
didasarkan pada tinjauan atas akibat dari suatu perbuatan.
Perbuatan yang menjadi perantara mendapatkan ketetapan
hukum sama hukumnya dengan perbuatan yang menjadi aki-
batnya daripada niat dari orang yang berbuat. Contoh me-
nyantuni seorang anak miskin di jalanan memiliki niat yang
mulia, namun jika pemberi santunan tahu dengan pasti bah-
wa santunan tersebut digunakan untuk membeli narkoba dan
mengonsumsinya maka santunan tersebut adalah haram kare-
na akibat dari santunan itu adalah haram.
Żarī’ah adalah jalan, contoh hukumnya wasilah sama de-
ngan hukumnya tujuan. Contoh: zina itu adalah haram, maka
melihat aurat perempuan yang membawa kepada perzinahan

2017), h. 158.
31
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam”, Cet. I, (Jakarta:
Kencana-PrenadaMedia Group, 2017), h. 221 & 222.
32
Firdaus, Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam secara Komprehensif, Cet. I, (Depok: PT
RajaGrafindo, 2017), h. 130

80
bab 4 beberapa metode ijtihad

adalah haram.
Menurut pandangan Ibnu Qayyim yang mengatakan pe-
rihal apa yang dikatakan Nasrun Harun bahwa sadd Żarī’ah
tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang membawa kepada
yang dianjurkan. Ibnu Qayyim membagikan Żarī’ah menjadi
dua yaitu:
a. Sadd Żarī’ah adalah sesuatu yang dilarang, sebagaimana
Imam al-Syaitibi mendefinisikannya.

‫صلَ َحةٌ إِ َل َم ْف َس َد ٍة‬


ْ ‫التـََّو ُّس ُل ُه َو َم‬
Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahat­
an untuk menuju suatu kemafsadatan.
Maksudnya, pada dasarnya seseorang yang melakukan
suatu pekerjaan yang dibolehkan karena mengandung unsur
kemaslahatan, tetapi tujuan yang ia capai berakhir pada ke-
mafsadatan dan kemudaratan. Contohnya, seseorang dikenai
wajib zakat jika sudah sampai satu nisab atau haulnya. Untuk
menghindari zakat tersebut maka ia menghibahkan sebagian
perhiasannya kepada anaknya sehingga kewajibannya untuk
membayar zakat gugur. Yang menjadi larangan di sini yaitu
tujuan menghibahkan perhiasan hanya untuk menghindari
kewajiban zakat.33
b. Fath al-Żari’ah
Imam Ibn Qayyim mendefinisikan fath al-Żari’ah dengan
sesuatu perbuatan yang dapat membawa pada suatu yang
dianjurkan bahkan diwajibkan oleh syara’. Pernyataan yang
dikemukakan merupakan makna yang familiar dari zari’ah,
akan tetapi artinya dari mālat al-aḥkām, bukan berarti me-
larang hal-hal yang sebenarnya dilarang karena membawa
kepada kemudaratan, akan tetapi pemaknaannya lebih di-
perluas lagi, bahwa dalam mālat al-aḥkam dibolehkan kepada

33
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh , Edisi. I, Cet. IV (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003), h. 245.

81
ushul fiqh

hal-hal yang dilarang jika diprediksikan bahwa hal tersebut


membawa pada kemaslahatan. Salah satu dalil yang membo-
lehkan fath al-Żari’ah dalam sebuah Hadis Nabi saw.
ٍ ‫ال ح َّدثـنَا ح ْفص بن ِغي‬ ِ
‫اث‬ َ ُ ْ ُ َ َ َ َ َ‫َخبـََرنَا ُمَ َّم ُد بْ ُن َعْبد الْ َع ِزي ِز بْ ِن أَِب ِرْزَمةَ ق‬ ْ‫أ‬
َ‫اص ٌم َع ْن بَ ْك ِر بْ ِن َعْب ِد اللَّ ِه الْ ُمَزِنِّ َع ْن الْ ُمغِ َريِة بْ ِن ُش ْعبَة‬ ِ ‫ال ح َّدثـنَا ع‬
َ َ َ َ َ‫ق‬
َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم فـََق‬ ِ ِ ِ
‫ال‬ َ ‫ت ْامَرأَةً َعلَى َع ْهد َر ُسول اللَّه‬ ُ ‫ال َخطَْب‬ َ َ‫ق‬
ِ
ُ‫ال فَانْظُْر إِلَيـَْها فَِإنَّه‬
َ َ‫ت َل ق‬ ُ ‫ت إِلَيـَْها قـُْل‬ َ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَنَظَْر‬ َ ‫َّب‬ ُّ ِ‫الن‬
.‫َج َد ُر أَ ْن يـُْؤَد َم بـَيـْنَ ُك َما‬ْ‫أ‬
“Telah mengkabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul Aziz bin
Abi Rizmah, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Hafsh bin
Ghiyats, ia berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Ashim dari
Bakr bin Abdullah Al Muzani dari Al Mughirah bin Syu’bah, ia berka-
ta; saya melamar seorang wanita pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, kemudian Nabi saw., bersabda: “Apakah engkau
sudah melihatnya? Saya mengatakan; tidak. Beliau bersabda: “Li-
hatlah kepadanya, karena hal itu lebih melanggengkan di antara
kalian berdua.”34
Dari Hadis tersebut dapat dipahami bahwa, sebenarnya
hukum asal dari ajaran agama adalah menahan mata untuk
tidak melihat kepada perempuan. Akan tetapi, tujuan yang
paling mulia disyariatkannya pernikahan adalah untuk meng-
gapai sebuah kebahagiaan dan kasih sayang. Oleh karenanya,
syariat agama membuka jalan untuk membolehkan melihat
pinangan bagi orang yang meminang seorang perempuan.
Dari sini dapat dipahami adanya korelasi yang sangat erat an-
tara fath al-Żarī’ah dengan i’tibar al-ma’alat oleh karena syariat
itu sangat hati-hati dalam mempertimbangkan kemafsadatan
yang bakal terjadi dan memperhatikan kemaslahatan yang se-
ring dilupakan oleh para mujtahid. Caranya yaitu memboleh-
kan sarana-sarana yang bekerja dalam kerangka memelihara

34
Abū ‘Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu‘aib bin ‘Alī al-Khurasān, Sunān al-Ṣugrā li al-Nasā‘iy,
juz. VI, Cet. IV; II; (T.tp: Maktabah al-Maṭbū‘āt al-Islāmiyyah, 1986), h. 69.

82
bab 4 beberapa metode ijtihad

tujuan dengan maksud syariat sambil mempertimbangkan de-


ngan matang dan cermat yang akan terjadi di masa yang akan
datang.35
Sebagai contoh fath al-Żarī’ah:
Shalat Jumat adalah wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu
shalat Jumat. Demi untuk melaksanakan shalat Jumat adalah wajib
pula. Haji adalah wajib, maka usaha yang menuju kepada terlaksa-
nanya ibadah haji adalah wajib pula.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan sadd al-żarī’ah ja-
nganlah berlebihan karena dapat menimbulkan pelarangan
kepada yang mubah dan berlebihan dalam fath al-Żarī‘ah me-
nimbulkan pembolehan kepada yang haram. Contohnya, ka-
rena takut berbuat zalim maka orang-orang dilarang mengu-
rus harta anak yatim/harta wakaf.36

2. Kedudukan Sadd al-Żarī’ah sebagai Hujah


Pada umumnya jumhur Ulama berpendapat bahwa sadd
al-żarī’ah dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hukum.
Ulama dari kalangan Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa
sadd al-żarī’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Demikian pula dengan ulama ka-
langan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah menyatakan bahwa
sadd al-zar’iah dapat dijadikan dalil hukum dalam masalah
tertentu saja dan menolak untuk kasus lainnya.37
Alasan kalangan Malikiyyah dan Hanabilah menjadikan
sadd al-żarī’ah, sebagai sumber kehujahan atau dalil penetap-
an hukum:38
1. QS. al-An’am [6]: 108.
ِ ‫وَل تَسبُّوا الَّ ِذين ي ْدعو َن ِمن د‬
‫ون اللَّ ِه فـَيَ ُسبُّوا اللَّهَ َع ْد ًوا بِغَ ِْي ِع ْل ٍم‬ ُ ْ ُ َ َ ُ َ
35
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, Cet. I, (Makassar: Alauddin University Press, 2013),
h. 204-206.
36
Andi Djazuli, Ilmu Fiqh, Cet. VII, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia, 2010), h. 101.
37
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh “Metode Penetapan Hukum Islam”, Cet. I, (Jakarta:
Kencana-PrenadaMedia, 2010, 2017), h. 223.
38
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Cet. IV, (Jakarta: AMZAH, 2016), h. 239-240.

83
ushul fiqh

‫ك َزيـَّنَّا لِ ُك ِّل أ َُّم ٍة َع َملَ ُه ْم ُثَّ إِ َل َرِّبِ ْم َم ْرِجعُ ُه ْم فـَيـُنَبِّئـُُه ْم ِبَا َكانُوا‬ ِ
َ ‫َك َذل‬
‫يـَْع َملُو َن‬
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sem-
bah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan me-
lampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap
umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan
merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan.39
Dalam ayat tersebut terdapat larangan bagi kaum Mus-
limin untuk memaki dan menghina sesembahan orang-
orang musyrik, sebab akan dikhawatirkan mereka akan
membalas dengan memaki pula terhadap Allah. Larangan
memaki di sini menunjukkan adanya sadd al-żarī’ah (me-
nutup jalan), agar mereka tidak memaki atau menghina
Allah.
2. QS. al-Baqarah [2]: 104.
ِ ِ ِ ‫ياأَيـُّها الَّ ِذين آمنُوا َل تـ ُقولُوا ر‬
َ ‫اسَعُوا َول ْل َكاف ِر‬
‫ين‬ ْ ‫اعنَا َوقُولُوا انْظُْرنَا َو‬َ َ َ َ َ َ
‫يم‬ ِ
ٌ ‫اب أَل‬ ٌ ‫َع َذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mu-
hammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.40
Kata rā’inā berarti sudilah kiranya kamu memperhatikan
kami. Ketika para sahabat menghadapkan kata ini kepada
Rasulullah saw. Orang Yahudi juga menggunakan kata ini
dengan menggumamkan kata tersebut dengan lafal ru’ūnah
yang berarti kebodohan yang sangat, hal ini sebagai bentuk
ejekan mereka kepada Rasulullah saw. itulah sebabnya Allah
Swt. memerintahkan untuk mengubah kata tersebut dengan
unẒurnā yang memiliki arti yang sama dengan ra’inā. Dengan
kata lain, maka bentuk larangan tersebut sebagai bentuk sadd

39
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemhanya, h. 190.
40
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 20.

84
bab 4 beberapa metode ijtihad

al-zari’ah.41
Banyak pula dalil lain dengan maksud sama mendukung
adanya sadd al-żarī’ah seperti Hadis Nabi saw. yang melarang
seseorang yang mempunyai utang untuk memberikan hadiah
kepada sang piutang karena ditakutkan akan terjerumus da-
lam praktik riba. Begitu pula dengan larangan memberikan
warisan kepada anak yang membunuh bapaknya karena di-
takutkan seorang anak akan tega membunuh bapaknya untuk
mendapatkan warisan (HR. Bukhari dan Muslim).
Sementara di kalangan Hanafiyah dan Syafi’iyyah dan
Syiah hanya menerima sadd al-żarī’ah dalam masalah tertentu
dan mereka tidak menjadikannya sebagai dalil dalam masalah
yang lain; misalnya, Imam Syafi’i, membolehkan seseorang
karena adanya uzur, seperti sakit dan musafir meninggalkan
shalat Jumat dan menggantikannya dengan shalat zuhur. Na-
mun, orang itu hendaklah melaksanakan shalat zuhur secara
diam-diam dan tersembunyi, agar tidak dituduh sengaja me-
ninggalkan Shalat Jumat, seperti halnya dengan orang yang
tidak berpuasa, apabila ada uzur, maka hendaklah ia tidak
makan dan minum di tempat yang umum untuk menghindari
fitnah terhadapnya. Pendapat-pendapat Imam Syafi’i diru-
muskan atas dasar prinsip sadd al-żarī’ah.
Kalangan Hanafiyah menolak adanya pengakuan orang
yang dalam keadaan marḍ al-maut (sakit membawa kepada
kematian), karena diduga pengakuannya akan mengakibat-
kan pembatalan terhadap hak orang lain dalam menerima
warisan. Umpamannya, pengakuan orang yang dalam keada-
an marḍ al-maut tentang utangnya terhadap orang lain yang
meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Menurut kalangan
Hanafiyah pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli
waris terhadap harta tersebut.42
Adapun Ibnu Hazm sama sekali menolak mengambil sadd

41
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid I, h. 207.
42
Firdaus. Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam Secara Komprehensif, (Cet. I; Depok: PT
RajaGrafindo, 2017), h. 130-132

85
ushul fiqh

al-żarī’ah sebagai dalil syara’ karena berpegang kuat dengan


ẓahir nasṣ dan menolak menggunakan ijtihad dalam bentuk
qiyas dan perluasan hukum atas naṣ yang dinilainya bersifat
ẓanni. Ia berpendapat bahwa menetapkan kehalalan dan ke-
haraman sesuatu tidak boleh berpegangan dengan berdasar-
kan dalil ẓanni namun pada dalil qaṭ’i. Dalam hal ini Ibn Hazm
berpegang teguh pada QS. al-Najm [53]: 28.

ْ ‫َوَما َلُ ْم بِِه ِم ْن ِع ْل ٍم إِ ْن يـَتَّبِعُو َن إَِّل الظَّ َّن َوإِ َّن الظَّ َّن َل يـُْغ ِن ِم َن‬
‫الَ ِّق‬
‫َشْيئًا‬
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu.
mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang. Sesungguh-
nya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.43
Ada dua cara memandang sadd al-żarī’ah yang dikemuka-
kan oleh para ulama ushul fiqh yakni:
1. Dari sisi motivasi yang mendorong sesorang untuk me-
ngerjakan sesuatu yang baik bertujuan yang halal maupun
haram. Seperti seorang wanita yang telah diceraikan oleh
suaminya sebanyak tiga kali kemudian dinikahi oleh seo-
rang pria dengan tujuan agar dapat kembali kepada suami
pertamanya. Praktik nikah seperti ini dinamakan nikah
tahlil, pada dasarnya menikah dianjurkan oleh Islam na-
mun jika menikah dengan tujuan yang tidak sesuai de-
ngan syariat Islam, maka pernikahan seperti ini dilarang.
2. Dari sisi akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut
yang menghasilkan dampak negatif; misalnya, seorang
Muslim yang mencaci maki sesembahan orang musyrik.
Niat orang tersebut memang baik yakni untuk menegak-
kan akidah Islam namun dapat berdampak negatif dengan
adanya balasan dari orang musyrik yang juga akan men-
caci maki atau bahkan lebih parah perbuatannya kepada
Allah Swt.44

43
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 765.
44
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid. I, h. 208.

86
bab 4 beberapa metode ijtihad

Sejumlah larangan yang mengisyaratkan adanya urgensi


sadd al-żarī’ah bagi penetapan hukum yakni:45
1. Larangan melamar perempuan yang sedang dalam proses
masa iddah karena perbuatan tersebut akan membawa
mudarat yaitu menikahi wanita yang sedang dalam masa
iddah.
2. Larangan jual beli secara tunai dan tempo secara bersa-
maan karena dikhawatirkan akan menjadi transaksi riba.
3. Larangan terhadap kreditur untuk menerima hadiah dari
debitur ketika meminta penundaan waktu pembayaran
karena dikhawatirkan menjadi riba. Penetapan hukum
terhadap ahli waris yang membunuh pewaris harta de-
ngan tidak menerima harta warisan karena dikhawatir-
kan akan menjadikan harta sebagai alasan untuk membu-
nuh pewaris.
4. Pidana kisas bagi pelaku pembunuhan kolektif terhadap
satu korban agar menghindari terjadinya model kejahat-
an tersebut untuk menghindari kisas.
5. Larangan kepada umat Islam (sebelum hijrah) untuk
membaca ayat suci Al-Qurʼan dengan suara yang nyaring
untuk menghindari adanya ejekan/celaan dari kaum Qu-
raisy kepada Al-Qurʼan, Nabi Muhammad saw. dan Allah
Swt.

3. Implikasi dan Perbedaan Pandangan terhadap Kasus Sadd


al-Żarī’ah

a. Orang Meninggal Dunia dalam Keadaan Menanggung Kewajiban


Zakat
Para ulama berbeda pendapat perihal kasus ini, kalang-
an ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa jika
orang tersebut telah mewasiatkan kepada ahli waris untuk
membayarkan zakatnya, maka wajib bagi ahli waris untuk

45
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Cet. II, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 145-146.

87
ushul fiqh

menyisihkan harta warisannya untuk melunasi zakat. Seba-


liknya, jika ia tidak mewasiatkan kepada ahli warisnya maka
tidak ada kewajiban untuk menunaikan zakat pewaris. Hal
ini dikarenakan ulama berargumen menggunakan dalil sadd
al-żarī’ah bahwa sekiranya penunaian zakat akan ditanggung
oleh ahli waris maka orang-orang tidak akan menunaikan za-
katnya dengan pemikiran bahwa ahli waris yang akan menu-
naikannya setelah mereka wafat.
Kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa ahli waris wajib menyisihkan sebagian harta warisan
untuk melunasi zakat pewaris dengan menggunakan dalil qi-
yas yakni utang zakat disamakan dengan utang harta kepada
sesama manusia dan utang kewajiban haji.46

b. Akad Jual Beli Salam yang Objeknya Tidak Dapat Diserahkan


Ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa
akad jual beli salam itu menjadi batal demi hukum dan ti-
dak boleh melakukan penundaan penyerahan objek. Mereka
berargumen dengan menggunakan dalil sadd al-żarī’ah yakni
penundaan penyerahan objek jual beli salam itu dapat menje-
rumuskan akad menjadi jual beli utang-piutang.
Ulama kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa si pembeli mempunyai hak untuk memilih antara me-
narik kembali uang pembeliannya atau menunggu hingga ba-
rangnya datang. Mereka berargumen bahwa objek jual beli
salam pada dasarnya merupakan utang-piutang yang dapat
dilunasi menurut kehendak pemberi utang/pemilik utang.

3. Pernikahan Beda Agama


Pernikahan orang Islam dengan non-Islam baik itu anta-
ra laki-laki Islam dengan perempuan non-Islam (ahli kitab/
musyrik) dan perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam
(ahli kitab/musyrik).

46
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh h. 147.

88
bab 4 beberapa metode ijtihad

Untuk menentukan hukum dari pernikahan tersebut maka


dapat diperincikan dengan: pertama, apabila pernikahan beda
agama terjadi antara perempuan Islam dengan laki-laki non-
Islam baik itu beragama Kristen, Yahudi, Nasrani, Hindu,
Buddha, dan lain-lain. Ulama sepakat bahwa hukumnya ha-
ram dengan landasan hukum QS. al-Baqarah [2]: 221.

‫ات َح َّت يـُْؤِم َّن َوَل ََمةٌ ُم ْؤِمنَةٌ َخيـٌْر ِم ْن ُم ْش ِرَك ٍة َولَ ْو‬ ِ ‫وَل تـْن ِكحوا الْم ْش ِرَك‬
ُ ُ َ َ
‫ني َح َّت يـُْؤِمنُوا َولَ َعْب ٌد ُم ْؤِم ٌن َخيـٌْر ِم ْن‬ ِ‫أ َْعجبْت ُكم وَل تـْن ِكحوا الْم ْش ِرك‬
َ ُ ُ ُ َ ْ ََ
ِ‫النَّة‬ ِ َّ ِ ِ َ ِ‫ُم ْش ِرٍك َولَ ْو أ َْع َجبَ ُك ْم أُولَئ‬
َْ ‫ك يَ ْدعُو َن إ َل النَّار َواللهُ يَ ْدعُو إ َل‬
ِ ‫َوالْ َم ْغ ِفَرِة بِِإ ْذنِِه َويـُبـَيِّ ُ آيَاتِِه لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يـَتَ َذ َّك ُرو َن‬
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mere-
ka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih
baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Mereka meng-
ajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-
Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.47

Hal ini karena dikhawatirkan istri yang beragama Islam


akan kehilangan kebebasan dalam beragama dan karena le-
mah pendiriannya sehingga mudah terseret untuk murtad
mengikuti agama suaminya. Di sisi lain, anak keturunannya
dikhawatirkan akan mengikuti agama sang ayah karena posisi
dominan dan otoritas yang dimiliki sebagai kepala keluarga
terhadap anak melebihi ibunya.
Kedua, apabila pernikahan terjadi antara laki-laki Islam
dengan perempuan musyrik, maka para ulama sepakat bahwa
hukumnya haram dengan berlandaskan dalil yang sama yakni
QS. al-Baqarah [2]: 221.
Ketiga, apabila pernikahan terjadi antara laki-laki Islam

47
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 43.

89
ushul fiqh

dengan perempuan yang tergolong ahli kitab maka terdapat


perbedaan pendapat. Jumhur ulama memperbolehkan perni-
kahan beda agama dengan dalil QS. al-Ma’idah [5]: 5

‫اب ِحلٌّ لَ ُك ْم‬ ِ ِ َّ ِ


َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬ َ ‫ات َوطَ َع ُام الذ‬ ُ َ‫الْيـَْوَم أُح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
‫ات ِم َن‬ ِ ِ ِ َ‫وطَعام ُكم ِحلٌّ َلم والْمحصن‬
ُ َ‫صن‬ َ ‫ات م َن الْ ُم ْؤمنَات َوالْ ُم ْح‬ ُ َ ْ ُ َ ُْ ْ َُ َ
‫ني َغيـَْر‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ُج َورُه َّن ُْمصن‬ُ ‫وه َّن أ‬
ُ ‫اب م ْن قـَْبل ُك ْم إ َذا آتـَْيتُ ُم‬ َ َ‫ين أُوتُوا الْكت‬َ ‫الذ‬
ِ ِْ ِ‫َّخ ِذي أَخ َد ٍان ومن ي ْك ُفر ب‬ ِ ‫مسافِ ِحني وَل مت‬
ُ‫الميَان فـََق ْد َحبِ َط َع َملُه‬ ْ َ ْ ََ ْ ُ َ َ َُ
ِ ِ ‫ال‬ ِ ِِ ِ
َ َْ َ ‫َوُه َو ف ْالخَرة‬
‫ين‬ ‫ر‬ ‫اس‬ ‫ن‬ ‫م‬
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelih-
an) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan
kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita
yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud ber-
zina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang me-
rugi.48
Ayat di atas mengizinkan laki-laki Islam menikahi perem-
puan Yahudi atau Nasrani (ahli kitab). Izin tersebut mengan-
dung maslahat bagi Islam dengan menjadi sarana dakwah
yakni menunjukkan sisi toleransi beragama. Dari sisi lain,
keturunan yang dihasilkan akan memeluk agama Islam meng-
ikuti agama sang ayah. Menjadi sarana dakwah bagi suami
kepada istrinya agar memeluk agama Islam sehingga mem-
perluas hubungan kekeluargaan dan menambah jumlah pe-
meluk agama Islam.
Pada masa Umar bin Khaṭṭab, ketika beliau mendengar
bahwa Gubernur Huzaifah bin al-Yaman yang bertugas di Ma-
dain (Persia) akan menikahi perempuan ahli kitab, khalifah

48
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 143.

90
bab 4 beberapa metode ijtihad

Umar langsung mengirim surat agar pernikahan tersebut di-


batalkan. Sang gubernur kemudian mengirimkan pesan ba-
lasan yang mempertanyakan bahwa apakah pernikahan yang
telah diizinkan oleh Al-Qurʼan telah haram hukumnya? Khali-
fah Umar membalas bahwa adanya perintah untuk membatal-
kan pernikahan beda agama tersebut agar perbuatan itu tidak
ditiru oleh laki-laki Muslim yang lain sehingga menimbulkan
fitnah bagi perempuan Muslim.
Dari kasus tersebut menunjukkan bahwa maslahat yang
menjadi tujuan dibolehkannya laki-laki Muslim menikahi wa-
nita ahli kitab telah berubah menjadi mudarat. Oleh karena
itu, khalifah Umar melarang pernikahan tersebut. Jika cara
berpikir ini diikuti, maka pernikahan laki-laki Islam dengan
perempuan ahli kitab di Indonesia lebih mendatangkan mu-
darat daripada maslahat. Banyak laki-laki Islam yang tidak
memenuhi syarat untuk diizinkan menikahi perempuan ahli
kitab sebab mereka tidak akan dapat menjamin anak-anak
mereka akan beragama Islam dan tidak sanggup menghidup-
kan nilai-nilai Islam dalam keluarga mereka.49
Ibnu al-Rif’ah dapat menerima sadd al-żarī’ah, tergantung
dari bentuk żarī’ah-nya. Ia membagi menjadi tiga bentuk: (1),
sesuatu yang secara pasti akan membawa kepada yang haram
(terlarang), maka hukumnya haram pula, dan di sini berlaku
sadd al-żarī’ah; (2) sesutau yang secara pasti tidak membawa
kepada yang haram, tetapi bercampur dengan sesuatu yang
dapat membawa kepada yang haram, di sini diperlukan ke-
hati-hatian dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan me-
nyangkut hal tersebut, kalau biasanya akan membawa kepada
yang haram, maka perlu diterapkan sadd al-żarī’ah, tetapi jika
hal tersebut jarang membawa kepada yang haram, tidak perlu
diterapkan, maka sudah dipandang berlebih-lebihan; dan (3)
sesuatu yang mengandung kemungkinan membawa kepada
yang haram, dan dalam żarī’ah, dalam hal ini terdapat bebe-

49
Misbahuddin, Ushul Fiqh, Jilid. I, h. 209-211.

91
ushul fiqh

rapa peringkat, jika berat kepada yang haram, maka harus


diberlakukan sadd al-żarī’ah, tetapi jika berat kepada yang
mubah, maka sadd al-żarī’ah tidak perlu diterapkan, karena
dianggap berlebih-lebihan.50
Oleh karena yang menjadi dasar diterimanya zariah se-
bagai sumber hukum adalah tinjauan terhadap akibat suatu
perbuatan.
Sebagai kesimpulan dari materi ini ada dua:
1. Sadd al-żarī’ah ialah menutup jalan atau mencegah terja-
dinya hal-hal yang menimbulkan kerusakan baik dalam
bentuk fasilitas, keadaan perilaku yang dapat membuat
kemudaratan bagi orang lain, sehingga kemudaratan da-
pat diubah dalam bentuk yang dilarang.
2. Pada umumnya jumhur ulama berpendapat bahwa sadd
al-żarī’ah dapat dijadikan hujah dalam menetapkan hu-
kum. Ulama dari kalangan Maliki, Hanbali, menyatakan
sadd al-żarī’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil da-
lam menetapkan hukum syara’. Demikian pula dengan
ulama kalangan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syiah bahwa
sadd al-żarī’ah dapat dijadikan dalil hukum dalam masa-
lah tertentu saja dan menolak untuk kasus lainnya.

F. Mazhab Sahabat
Mazhab Sahabat adalah: pendapat para sahabat Rasul
tentang suatu kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hu-
kum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum tersebut. Da-
lam hal ini terdapat empat pendapat ulama:
1. Mazhab Sahabi tidak bisa dijadikan sebagai dalil hukum,
menurut pendapat jumhur ulama Asy’ariyah, Mu’tazilah,
Syi‘ah pendapat yang kuat di kalangan ulama Syafi’iyah.
2. Kedua, memandang Mazhab Sahabat dapat dijadikan se-
begai dalil hukum dan didahului oleh qiyas, pendapat ini
50
Nasrun Harun, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia, Cet. I; (Jakarta: Logos, 1999), h. 143-144.

92
bab 4 beberapa metode ijtihad

dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, Malik, Qaul Qadim


Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
3. Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebagai alasan hukum
bila dikuatkan oleh qiyas. Pendapat Syafi’i dalam qaul ja-
did-nya.
4. Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebagai dalil hukum bila
kontroversi dengan qiyas karena dengan kontroversi de-
mikian berarti ia bukan bersumber dari qiyas. Tetapi dari
Sunnah. Pendapat ini bersumber dari kalangan Hanafi-
yah.
Abu Zahrah menguraikan beberapa kemungkinan bentuk
Mazhab Sahabat ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut:
1. Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia de-
ngar dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi,
namun ia tidak menjelaskan bahwa berita itu sebagai
Sunnah Nabi.
2. Apa yang disampaikan sahabat itu sesuatu yang dia de-
ngar dari orang yang pernah mendengarnya dari Nabi, te-
tapi tidak ada penjelasan dari orang tersebut bahwa yang
didengarnya itu berasal dari Nabi.
3. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pema-
hamannya terhadap ayat-ayat Al-Qurʼan yang orang lain
tidak memahaminya.
4. Apa yang disampaikan itu sesuatu yang sudah disepakati
oleh lingkungannya, namun yang menyampaikannya ha-
nya sahabat tersebut seorang diri.
5. Apa yang disampaikan sahabat itu adalah hasil pema-
hamannya atas dalil-dalil, karena kemampuannya dalam
bahasa dan dalam penggunaan dalil lafaz.51
Kehujahan Mazhab Sahabat menurut para ulama:
1. Mazhab Sahabat tidak dapat dijadikan sebagai dalil hu-
kum, sebagaimana pendapat jumhur ulama As’ariyah,

51
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Cet. I; (Jakarta: Logos, 1999), h. 379-380.

93
ushul fiqh

Mu’tazilah, Syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ula-


ma Syafi’iyah, salah satu riwayat dari Ahmad ulama
muta’akhirin Hanafiyyah dan Malikiyah.
2. Memandang Mazhab Sahabat dapat dijadikan sebagai da-
lil hukum dan didahulukan dari qiyas. Pendapat ini di-
kemukakan oleh beberapa ulama Hanafiyah, Malik, qaul
qadim al-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad.
3. Mazhab Sahabat dapat dijadikan alasan hukum bila diku-
atkan dengan qiyas. Inilah pandangan al-Syafi’i di dalam
qaul jadid-nya.
4. Mazhab Sahabat dapat dijadikan dalil hukum, bila kon-
troversi dengan qiyas, karena dengan kontroversi demiki-
an berarti ia bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari Sun-
nah. Pendapat ini bersumber dari kalangan Hanafiyah.52
Dasar hukum penggunaan Mazhab Sahabat sebagai dalil
hukum sebagaimana dalam QS. al-Taubah [9]: 100:
ٍ ‫اج ِرين واألنْصا ِر والَّ ِذين اتـَّبـعوهم بِِإحس‬
‫ان‬ ِ ِ َّ ‫السابِ ُقو َن‬
َ ْ ْ ُ َُ َ َ َ َ َ ‫األولُو َن م َن الْ ُم َه‬ َّ ‫َو‬
ٍ ‫ر ِضي اللَّه عنـهم ورضوا عْنه وأَع َّد َلم جن‬
‫َّات َْت ِري َْتتـََها األنـَْه ُار‬ َ ْ ُ َ َ ُ َ ُ َ َ ْ ُْ َ ُ َ َ
‫يم‬ ِ ِ ِ ‫خالِ ِد‬
ُ ‫ك الْ َف ْوُز الْ َعظ‬
َ ‫ين ف َيها أَبَ ًدا َذل‬
َ َ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.53
Sabda Rasulullah saw., yang artinya:
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) sahabatku, se-
dangkan sahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman

52
Nasrun Harun, Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia, h. 36.
53
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 272.

94
bab 4 beberapa metode ijtihad

­ llah­ dalam surah al-Taubah [91]: 100), sungguh Allah Swt.


A
Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para
sahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita
diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka,
dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dija-
dikan hujah.
Adapun pada dalil naqli yang kedua (Hadis Nabi), keper-
cayaan umat kepada sahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa
sahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan sahabat
kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk
Nabi Muhammad saw..
Adapun argumentasi yang bersifat akal atau rasional (da-
lil aqli) ialah:
a. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepa-
da Rasulullah saw. dibanding orang lain. Dengan demi-
kian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lan-
taran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu
turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan pena-
laran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petun-
juk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-
nash Al-Qurʼan diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa
mereka lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para sahabat sa-
ngat mungkin sebagai bagian dari Sunnah Nabi dengan
alasan mereka sering menyebutkan hukum-hukum yang
dijelaskan oleh Rasulullah saw. tanpa menyebabkan bah-
wa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumber-
nya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat
mereka selalu didasarkan pada qiyas atau penalaran maka
pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena
pandangan tersebut kemungkinan besar berasal dari nash
(Hadis) serta sesuai dengan daya nalar rasional.
c. Jika pendapat para sahabat didasarakan pada qiyas, se-
dang para ulama yang hidup sesudah mereka juga mene-
tapkan hukum berdasarakan qiyas yang berbeda dengan

95
ushul fiqh

pendapat sahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang


kita ikuti adalah pendapat para sahabat karena Rasulul-
lah saw. bersabda:
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh
Allah dalam generasi tersebut”.
Contoh Mazhab Sahabat:
1. Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan seorang pe-
rempuan adalah 2 tahun, dengan mengatakan “Anak ti-
dak berada dalam perut ibunya lebih dari 2 tahun.”
2. Menurut Anas bin Malik, batas minimal waktu haid se­
orang wanita adalah tiga hari.
3. Menurut Umar bin Khattab, lelaki menikahi seorang wa-
nita yang sedang dalam iddah harus dipisahkan dan diha-
ramkan baginya menikahinya untuk selamanya.54

G. SYAR’UN MAN QABLANA


Terdapat enam rukun iman, salah satu di antaranya ada-
lah percaya kepada para nabi dan rasul yang telah menerima
wahyu dari Allah Swt., dan menyampaikan wahyu tersebut
kepada umatnya. Keimanan ini mengandung arti percaya
akan risalah yang dibawa Rasul dan melaksanakan pesan-
pesan Allah yang disampaikannya. Konsekuensi dari keiman-
an itu kita harus memandang para rasul itu dalam kedudukan
yang sama, tanpa membedakannya antarseorang Rasul yang
satu dengan lainnya. Tuntutan untuk tidak membedakan an-
tara seorang Rasul ini ditegaskan Allah dalam QS. al-Baqarah
[2]: 285:

‫ول ِبَا أُنْ ِزَل إِلَْي ِه ِم ْن َربِِّه َوالْ ُم ْؤِمنُو َن ُكلٌّ َآم َن بِاللَّ ِه َوَمالئِ َكتِ ِه‬
ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫َآم َن‬
ِ ٍ ‫وُكتبِ ِه ورسلِ ِه ال نـ َفِّر ُق بـي أ‬
‫ك‬ َ َ‫َحد ِم ْن ُر ُسل ِه َوقَالُوا َِس ْعنَا َوأَطَ ْعنَا غُ ْفَران‬ َ َ َْ ُ ُ َُ ُ َ
ِ َ ‫َربـَّنَا َوإِلَْي‬
ُ‫ك الْ َمصري‬
54
Satria Effendi, Ushul Fiqh, h.172.

96
bab 4 beberapa metode ijtihad

Rasul Telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya


dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-beda-
kan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”,
dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka ber-
doa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali.”
Syar’un manqablana: adalah hukum-hukum yangtelah
disyariatkan untuk umat sebelum Islam yang dibawah oleh
para Nabi dan Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum un-
tuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muham-
mad saw. dasar hukum syariat umat terdahulu: QS. al-An’am:
[6]: 146.
‫ادوا َحَّرْمنَا ُك َّل ِذي ظُُف ٍر َوِم َن الْبـََق ِر َوالْغَنَ ِم َحَّرْمنَا َعلَْي ِه ْم‬ ِ َّ
ُ ‫ين َه‬ َ ‫َو َعلَى الذ‬
ِ
‫ك‬َ ‫اختـَلَ َط بِ َعظْ ٍم َذل‬ ْ ‫الََوايَا أ َْو َما‬ ْ ‫ورُهَا أَ ِو‬
ُ ‫ت ظُ ُه‬ ْ َ‫وم ُه َما إِال َما َحَل‬ َ ‫ُش ُح‬
‫ص ِادقُو َن‬
َ َ‫اه ْم بِبـَ ْغيِ ِه ْم َوإِنَّا ل‬
ُ َ‫َجَزيـْن‬
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang
yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka
lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung
keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur de-
ngan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhaka-
an mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Mahabenar.55
Yang dimaksud dengan binatang berkuku di sini ialah bi-
natang-binatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu
dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa, dan lain-lain. Se-
bagian ahli tafsir mengartikan dengan hewan yang berkuku
satu seperti kuda, keledai, dan lain-lain.
Ada tiga pendapat ulama mengenai kehujahan syar’un
man qablana:
1. Mayoritas Ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian Ulama
Syafi’iyah dalam salah satu riwayat dari Ahmad yang me-

55
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 198.

97
ushul fiqh

mandang bahwa syariat umat terdahulu dapat diaplikasi-


kan dalam Islam.
2. Aliran Asy’ariyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah pendapat yang
kuat di kalangan ulama Syafi’iyah, dan salah satu riwayat
dari Ahmad, bahwa syariat umat terdahulu tidak dapat
diaplikasikan dalam Islam. Pendapat ini dipilih oleh al-
Gazali, al-Amidi, al-Razi, Ibnu Hazm, dan mayoritas ula-
ma.
3. Pendapat ini bersumber dari al-Qusairi dan Ibnu Burhan,
bahwa menyangkut hal demikian hendaklah didiamkan
saja, sehingga diperoleh dalil yang sah untuk membenar-
kan atau menafikannya.
Al-Syaukani cenderung menempatkan syar’un man qabla-
na sebagai bagian dari kandungan Al-Qurʼan, bukan sebagai
dalil tersendiri.
Contoh syar’un manqablana yang lestari bagi umatnya
Nabi Muhammad:
1. Puasa;
2. Hukum setimpal atau qisash;
3. Qurban; dan
4. Khitanan.
Syariat umat terdahulu dapat dibagai menjadi tiga kelom-
pok:
1. Syariat umat terdahulu yang terdapat dalam Al-Qurʼan
atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat se-
belum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Al-
Qurʼan atau Hadis bahwa yang demikian itu telah di-
nasakh dan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad.
Contohnya sebagaimana dalam QS. al-anam [6]: 146.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk
orang Yahudi dahulu. Kemudian dijelaskan pula dalam
Al-Qurʼan bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat
Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam QS. al-
An’am [6]: 145.

98
bab 4 beberapa metode ijtihad

‫اع ٍم يَطْ َع ُمهُ إِال أَ ْن يَ ُكو َن‬ ِ َ‫ل ُمَّرما علَى ط‬ ِ ِ


َ ً َ ََّ ِ‫قُ ْل ال أَج ُد ِف َما أُوح َي إ‬
‫س أ َْو فِ ْس ًقا أ ُِه َّل لِغَ ِْي اللَّ ِه‬ ِ ِ ٍِ ِ
ٌ ‫وحا أ َْو َلْ َم خْنزير فَإنَّهُ ر ْج‬
ً ‫َمْيتَةً أ َْو َد ًما َم ْس ُف‬
ِ ‫ك َغ ُف‬ ِ ٍ ْ ‫بِِه فَ َم ِن‬
‫يم‬
ٌ ‫ور َرح‬ ٌ َ َّ‫اضطَُّر َغيـَْر بَ ٍاغ َوال َعاد فَإ َّن َرب‬
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak mema-
kannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau bina-
tang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”56
Hadis Nabi yang artinya:
“Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan
untuk orang sebelumku.”
Hadis tersebut menjelaskan bahwa ghanimah (harta ram-
pasan perang) itu tidak halal untuk umat terdahulu, na-
mun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qurʼan maupun Ha-
dis Nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya dan di-
nyatakan pula berlaku unyuk umat Nabi Muhammad
dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Dalam QS. al-
Baqarah [2]: 183:

‫ين ِم ْن‬ ِ َّ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ب َعلَى الذ‬
َ ‫الصيَ ُام َك َما ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬
َ ‫ين َآمنُوا ُكت‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
‫قـَْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تـَتـَُّقو َن‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa se-
bagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa.

56
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, h. 198.

99
ushul fiqh

H. PERTENTANGAN ANTAR-DALIL DAN CARA


PENYELESAIANNYA

1. Definisi Ta’arrudl al-Adillah


Kata ta’arud, secara etimologi berarti pertentangan, se-
dangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata “dalil”, yang
berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berba-
gai pendapat tentang definisi ta’arud al-adillah, di antaranya:
a.    Menurut Imam Asy-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah
suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap
suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum
yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani: 242)
b.   Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta’arud
al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil yang tidak
mungkin untuk dikompromikan antara keduanya. (At-
Taftazai: 103)
c.   Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah ada-
lah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu
dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya
dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. (Ali
Hasaballah: 334)57
Ta’arudl ialah masing-masing daripada dua dalil meng-
hendaki apa yang tidak dikehendaki oleh selainnya.
Dengan ibarat yang lain, ialah:

‫اقتضـأ كل واحد من الد ليــلني ىف وقـت واحد حــكما ىف الووا وقعـة‬


.‫خيا لف ما يقـتضـيه الد ليـل اال خـر فيـها‬
Masing-masing dalil mengkehendaki hukum di waktu yang sama,
terdapat sesuatu kejadian, yang menyalahi hukum yang dikehen-
daki oleh dalil yang lain.58

57
Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 225.
58
T. Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam II, Cet. 6, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), hal. 21.

100
bab 4 beberapa metode ijtihad

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ta’ārudh secara sing-


kat, yaitu perbedaan antara dua nash atau dalil yang sama
kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik
penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa
ta’arud itu merupakan pembahasan dua dalil yang saling ber-
tentangan.59
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara kalam ­Allah­
dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, adanya anggapan ta’arud an-
tara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini,
maka ta’arud mungkin terjadi baik pada dalil-dalil yang qath’i
maupun dalil zhanni.60

2.  Cara Penyelesaian Ta’ārudh


Apabila ditemukan dua dalil yang bertentangan secara la-
hirnya, maka harus diadakan pembahasan untuk memadukan
keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur da-
lam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan
perpaduannya, namun tetap tidak menemukan jalan keluar,
maka pelaksanaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain.
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penye-
lesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu
prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:61
“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada me-
ninggalkan keduanya.”
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyele-
saian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai
berikut:

59
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemah. Prof. Daris. KH. Masdar Helmy, (Ban-
dung: Gema Risalah Press, 1997).
60
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. 3, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia 2009), h. 239.
61
Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 198-201.

101
ushul fiqh

a. Mengamalkan Dua Dalil yang Kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq)


Dapat ditempuh dengan cara:
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan
dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan
atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh ke-
dua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontra-
diksi:62
Contoh dalam QS. al-Baqarah [2]: 240:

‫الَ ْوِل‬
ْ ‫اعا إِ َل‬ ِ ً‫والَّ ِذين يـتـوفـَّو َن ِمْن ُكم وي َذرو َن أَزواجا و ِصيَّة‬
ً َ‫ألزَواج ِه ْم َمت‬
ْ َ ً َْ ُ ََ ْ ْ ََُ َ َ
ِ ِ ِ ِ ِ
‫اح َعلَْي ُك ْم ف َما فـََع ْل َن ف أَنـُْفسه َّن م ْن‬ ِ ِ
َ َ‫َغيـَْر إ ْخَر ٍاج فَإ ْن َخَر ْج َن فَال ُجن‬
ِ ٍ
ٌ ‫َم ْع ُروف َواللَّهُ َع ِز ٌيز َحك‬
‫يم‬
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu, dan me-
ninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya, dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada
dosa bagimu, (wali atau waris dari yang meninggal), membiarkan me-
reka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa,
lagi Maha Bijaksana.
Dengan ayat QS. al-Baqarah [2]: 234:

‫ص َن بِأَنـُْف ِس ِه َّن أ َْربـََعةَ أَ ْش ُه ٍر‬ ِ ِ َّ


ْ َّ‫اجا يـَتـََرب‬
ً ‫ين يـُتـََوفـَّْو َن مْن ُك ْم َويَ َذ ُرو َن أ َْزَو‬
َ ‫َوالذ‬
‫يما فـََع ْل َن ِف أَنـُْف ِس ِه َّن‬ ِ ِ
َ ‫اح َعلَْي ُك ْم ف‬ َ َ‫َجلَ ُه َّن فَال ُجن‬ َ ‫َو َع ْشًرا فَإ َذا بـَلَ ْغ َن أ‬
ِ ِ ِ ِ
ٌ‫بالْ َم ْع ُروف َواللَّهُ بَا تـَْع َملُو َن َخبري‬
Orang-orang yang meninggal di antaramu dan meninggalkan istri-istri
hendaklah istri-istri itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.
Kedua ayat di atas secara lahir memang berbenturan ka-
rena ayat yang pertama menetapkan iddah selama satu tahun,
sedangkan ayat yang kedua menetapkan iddah selama empat
bulan sepuluh hari.
Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menje-

62
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh. h. 208.

102
bab 4 beberapa metode ijtihad

laskan bahwa yang dimaksud bersenang-senang selama satu


tahun pada ayat pertama adalah hak mantan istri untuk ting-
gal di rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika tidak
menikah lagi). Adapun masa iddah selama empat bulan sepu-
luh hari dalam ayat yang kedua maksudnya adalah sebagai
batas minimal untuk tidak menikah lagi selama masa itu.
Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zahir berbenturan
dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu
di antara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat
khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk
mengatur hal yang khusus. Adapun dalil yang umum diamal-
kan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan keten-
tuan yang khusus.
Contoh firman Allah QS. al-Baqarah: 228 yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tiga
kali sesuci.” (QS. al-Baqarah [2]: 22)
Dan pada ayat lain sebagai berikut:
“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah me-
reka adalah sampai melahirkan kandungannya.”
Perbenturan secara zahir kedua ayat di atas bahwa iddah
istri yang ditalak suami adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri
yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka iddah-
nya adalah sampai melahirkan anaknya.
Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas
yaitu memberlakukan batas melahirkan anak, khusus bagi is-
tri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usa-
ha takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari
keumumannya.

b.   Mengamalkan Satu Dalil di Antara Dua Dalil yang Berbenturan


Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompro-
mikan atau di-takhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat
diamalkan keduanya. Dengan demikian, hanya satu dalil yang
dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat

103
ushul fiqh

ditempuh dengan tiga cara:


Nasakh maksudnya apabila dapat diketahui secara pas-
ti bahwa satu di antara dua dalil yang kontradiksi itu lebih
dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil
yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang
belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedang-
kan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak
berlaku lagi.63
Contoh:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka se-
karang berziarahlah.”
Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash
yang berbeda adalah apabila dua dalil hukum berbenturan
dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apa pun, tetapi
dapat diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya da-
ripada yang satunya, maka yang terakhir ini me-nasakh yang
lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada Hadis di
atas, dan juga Hadis di bawah ini yang berbunyi:
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban
lebih dari keperluan tiga hari, maka sekarang makanlah dan sim-
panlah.”
Tarjih. Maksudnya adalah apabila di antara dua dalil yang
diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan
turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan de-
ngan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang me-
nyatakan bahwa salah satu di antaranya lebih kuat daripada
yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk
yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
Contoh: Seperti mendahulukan kabar dari Aisyah r.a.
tentang wajibnya mandi bila terjadi persetubuhan daripada
khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila
keluar mani.

63
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet. II, (Beirut: Daria al-Fikr, 2001), h. 961-962.

104
bab 4 beberapa metode ijtihad

Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak


dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil
itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya
ditempuh dengan cara memilih salah satu di antara dua dalil
itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.

c.   Meninggalkan Dua Dalil yang Berbenturan


Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan
itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka
ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan
dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil
yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan
dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petun-
juk lain untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya.
Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil
tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.64

3.   Ma’na Tarjīh


Secara bahasa (etimologi), tarjīh adalah masdār dari raj-
jaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan
dan melihat sesuatu yang memberatkannya. Bila ada kalimat
yang berbunyi; arjahul mizān, itu artinya yang paling berat
dalam timbangan. Kata tarjīh sendiri sebenarnya bermakna
al-mail (kecenderungan) dan al-tsaql (bobot). Secara istilah
(terminologi), ada perbedaan pendapat para ulama. Imam
Syaukani mendefinisikan tarjīh sebagai menetapkan satu pi-
lihan dari dua opsi yang tersedia dan taʼārudh (saling bertolak
belakang) satu sama lainnya.
Adapun ulama mazhab Hanafi mendefinisikan tarjīh se-
bagai usaha melebihkan satu dari dua dalil yang sama kuat.
Jadi, menurut mereka, tarjīh hanya terjadi bila dua dalilnya
sama kuat. Bila dalilnya tidak sama kuat (contohya Al-Qurʼan

64
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet. II, (Beirut: Daria al-Fikr, 2001), h. 962.

105
ushul fiqh

dengan Hadis, atau Hadis sahih dengan Hadis daif), tidak di-
namakan tarjīh. Ulama Mazhab Syafiʼi mendefinisikan tarjīh
sebagai menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni un-
tuk kemudian diamalkan. Dalam perspektif mazhab ini, tarjīh
hanya terjadi bila ada dua dalil yang sama-sama zhanni. Maka,
tidak ada tarjīh antara dua dalil yang sama-sama qathʹiy, atau
antara dalil qath’i dan dalil zhanni.65
Pada dasarnya, definisi dari ulama Hanafi dengan Syafi’i
hampir sama. Bedanya, ulama Hanafi menggunakan redaksi
dua dalil yang sama kuat, sementara ulama Syafiʼi mengguna-
kan redaksi zanni dan qathʹiy. Penulis lebih sepakat untuk me-
makai definisi yang digunakan oleh Imam Syaukani, karena
lebih umum dan lebih mencakup. Karena, menurut penulis,
taʼarudh bisa saja terjadi antara dalil yang berbeda kekuatan-
nya, dikarenakan ketidaktahuan akan derajat dalil tersebut.
Sebagian besar ulama bersepakat untuk menggunakan metode
tarjīh ini ketika terjadi taʼārudh antar beberapa dalil. Sebagian
lain menolaknya dan lebih mendahulukan takhyīr (memilih)
ataupun tawaqquf. Bedanya tarjīh dengan takhyīr adalah, da-
lam amal tarjīh, seorang mujtahid akan sampai pada lahirnya
dua kesimpulan; adanya dalil yang rājih dan yang marjuh.
Sementara, dalam takhyīr, seorang mujtahid hanya memilih
tanpa diikuti oleh dua hal di atas.66
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuat-
kan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemah-
kan) tidak perlu diamalkan.67

4.   Cara Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w. 631 H) ahli ushul fiqh dari
kalangan Syafi’iyah menjelaskan secara perinci metode tarjih.

65
http://bicycleclubofjepara.blogspot.com/2011/06/pertentangan-dalil-syari-dan-
kaidah.html. 4/16/2012.
66
http://bicycleclubofjepara.blogspot.com/2011/06/pertentangan-dalil-syari-dan-
kaidah.html. 4/16/2012.
67
Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 243.

106
bab 4 beberapa metode ijtihad

Metode tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara


dua nash atau lebih antara lain secara global, yaitu:
1)    Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dila-
kukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut
jumhur ulama ushul fiqh, Hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas
Hadis yang lebih sedikit;
2) Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan
beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi per-
tentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah,
maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang
membolehkan;
3)    Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah
satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didu-
kung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan
hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat
dukungan.68

i. Kesimpulan
Kata taʼārudh, secara etimologi berarti pertentangan, se-
dangkan al-adillah adalah bentuk jamak dari kata dalil, yang
berarti alasan, argumen, dan dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berba-
gai pendapat tentang definisi taʼārudh al-adillah, di antaranya:
a. Menurut Imam Asy-Syaukani, taʼārudh al-adillah adalah
suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap
suatu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum
yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani: 242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta­
ʼārudh al-adillah adalah pertentangan antara dua dalil
yang tidak mungkin untuk dikompromikan antara kedua-
nya. (At-Taftazai: 103)

68
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Cet. 2, (Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group, 2008), h. 242.

107
ushul fiqh

c.   Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta’arud al-adillah ada-


lah terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu
dalil dengan hukum yang dikandung dalam dalil lainnya
dan kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. (Ali
Hasaballah: 334)
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyele-
saian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai
berikut:
a. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-
Taufiq).
b. Mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang berben-
turan.
c. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan.
Secara bahasa (etimologi), tarjīh adalah masdār dari raj-
jaha-yurrajihu, yang artinya mengukur sesuatu dengan tangan
dan melihat sesuatu yang memberatkannya. Kata tarjīh sendi-
ri sebenarnya bermakna al-mail (kecenderungan) dan al-tsaql
(bobot). Secara istilah (terminologi), ada perbedaan pendapat
para ulama. Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih
(dikuatkan) harus diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (di-
lemahkan) tidak perlu diamalkan.
Menurut ‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w. 631 H) meto-
de tarjih yang berhubungan dengan pertentangan antara dua
nash atau lebih antara lain secara global adalah:
a.    Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dila-
kukan antara lain dengan meneliti rawi yang menurut
jumhur ulama ushul fiqh, Hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas
Hadis yang lebih sedikit;
b.    Tarjih dari segi matan yang mungkin dilakukan dengan
beberapa bentuk antara lain, bahwa bilamana terjadi per-
tentangan antara dua dalil tentang hukum suatu masalah,
maka dalil yang melarang didahulukan atas dalil yang
membolehkan;

108
bab 4 beberapa metode ijtihad

c.   Tarjih dari segi adanya faktor luar yang mendukung salah
satu dari dua dalil yang bertentangan. Dalil yang didu-
kung oleh dalil yang lain termasuk dalil yang merupakan
hasil ijtihad, didahulukan atas dalil yang tidak mendapat
dukungan.

109
bab
5
HUKUM

A. Definisi Hukum
Definisi hukum secara garis besar adalah sesuatu yang di-
keluarkan oleh hakim dengan kemampuannya atas perbuatan
mukallaf.
Hukum secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti
“mencegah” atau memutuskan. Secara terminologi ushul fiqh,
hukum berarti khitab (kalam) Allah yang mengatur amal per-
buatan orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, an-
juran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan,
takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara
melakukan dan tidak melakukan, dan atau wad’i (ketentuan
yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
atau penghalang.
Pembuat hukum syara’ adalah Allah Swt., oleh sebab itu
para ulama ushul sepakat bahwa definisi hukum syara’ ada-
lah kitab (firman) Allah yang berhubungan dengan perbuatan
para mukallaf baik dalam bentuk perintah, pilihan, atau pene-
tapan sesuatu.
Ini diperkuat dengan firman Allah dalam QS. al-An’am
[6]: 57:
ushul fiqh

‫ني‬ِِ ُّ ‫ْم إِال لِلَّ ِه يـَُق‬ ْ ‫إِ ِن‬


َ ‫الَ َّق َوُه َو َخيـُْر الْ َفاصل‬
ْ ‫ص‬ ُ ‫الُك‬
Menetapkan hukum itu hak Allah Dia menerangkan yang sebenarnya
dan pemberi keputusan yang paling baik.
Adapun menurut istilah fuqaha’ hukum syara’ adalah dam-
pak atau akibat dari khitab Allah pada setiap perbuatan mu-
kallaf seperti wajib, haram, dan mubah.
Mengetahui hukum syara’ merupakan inti daripada ilmu
fikih dan ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu fikih memang
mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbu-
atan mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul
fiqh meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sum-
ber-sumbernya. Sementara Ilmu Fikih meninjau dari segi hasil
penggalian hukum

B. Pembagian Hukum Syara’ 


Para ulama usul menetapkan bahwa hukum syara’ dibagi
dua yaitu:
1. Hukum taklifi yaitu perkara yang menuntut untuk me-
lakukan, meninggalkan atau kebebasan untuk memilih
antara melakukan atau tidak melakukan.
Contoh yang mengandung tuntutan.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-
akad itu.
Mengandung tuntutan untuk tidak melakukan.
Artinya: Janganlah kamu semua mendekati zina.
Yang menunjuk pada pilihan. Artinya: Bila telah ditunaikan
shalat bertebarlah dimuka bumi.
2. Hukum wad’i: adalah suatu perkara yang menjadi syarat,
sebab, atau mani’.
Contoh yang menunjukkan sebab 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman bila hendak mela-
kukan shalat maka basuhlah sampai siku.

112
bab 5 hukum

Yang menunjukkan syarat.


Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia ter-
hadap Allah, yaitu bagi yang sanggup melakukan perja-
lanan ke Baitullah.
Dari uraian di atas dapat dibedakan antara hukum taklifi
dan hukum wad’i dari dua segi:
1. Hukum taklifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan
sesuatu ataupun meninggalkannya atau memberi kebe-
basan untuk memilih antara mengerjakan atau mening-
galkanya. Adapun hukum wad’i menjelaskan sesuatu yang
menjadi sebab, syarat, atau mani’ dari suatu perbuatan.
Contoh hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib
dilaksanakan umat Islam, dan hukum wad’i menjelaskan
bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat
Zuhur.
2. Hukum taklifi hanya perkara yang berada dalam batas
kemampuan mukallaf yang mampu dikerjakan seorang
mukallaf, sedang wad’i perkara yang menjadi sebab, sya-
rat, ataupun mani’ adakalanya suatu perkara itu dalam
batas kemampuan mukallaf dan adakalanya di luar batas
kemampuan mukallaf. 

C. HUKUM TAKLIFI
 Pembagian-pembagian hukum taklif, hukum taklif dibagi
menjadi lima macam yaitu wajib, Sunnah, haram, makruh,
dan mubah.

1. Wajib
 Wajib menurut syara’ adalah suatu perkara yang diperin-
tahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melak-
sanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuat-
an kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan
akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.

113
ushul fiqh

Contoh melalui lafad:


Artinya: Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana di-
wajibkan atas orang-orang sebelum kamu. 
Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
1. Wajib Dari Segi Waktu
a. Wajib Muaqqot
Yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk me-
ngerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Con-
toh: shalat, puasa ramadhan dan lain-lain.
b. Wajib Mutlak
Yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang wak-
tunya belum ditentukan. Contoh: haji yang diwajib-
kan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
2. Wajib Dari Segi Orang yang Mengerjakan
a. Wajib ‘aini
Yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-
Tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada
orang lain. Contoh: shalat, dan puasa.
b . Wajib kifai
Yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang
dan kalau salah seorang ada yang mengerjakan gu-
gur kewajiban yang lain. Contoh shalat mayit , amar
ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
3. Wajib Dari Segi Kadar Tuntutan
a. Wajib Mukhaddat
Yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk
perbuatan yang diwajibkan dan mukallaf dianggap
belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksana-
kan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh sha-
lat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
Yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pe-
laksanaannya dan waktunya, dan diwajibkan atas

114
bab 5 hukum

mukallaf tanpa paksaan. Contoh: infaq di jalan Allah,


menolong orang kelaparan, dan lainnya.
Wajib juga dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Mua’yan
Yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu
seperti shalat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum
gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
b. Mukhoyar
Yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa ma-
cam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari
yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka ka-
farot-nya ialah memberi makan sepuluh orang miskin
atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak. 

2. Sunnah/Mandub
  Mandub adalah suatu perkara yang perintahkan oleh
syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perin-
tah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pa-
hala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya.
Sighat-nya mandub dapat diketahui dengan lafad-nya se-
perti kata diSunnahkan/dianjurkan atau sighot amar, tapi di-
temui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu
tidak keras.
Contoh dalam QS. al-Baqarah [2]: 282:
ِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ين َآمنُوا إ َذا تَ َدايـَْنتُ ْم ب َديْ ٍن إ َل أ‬
ُ‫َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
Hai orang-orang beriman, apabila kamu utang piutang tidak secara
tunai hendaklah kamu menulisnya.1
Dalam ayat lain diterangkan:

‫فليس عليكم جناح االتكتبوها‬


Maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu menulisnya.
1
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahan, h. 282.

115
ushul fiqh

Dari lafad yang kedua diketahui menulis utang itu hanya


mandub.
Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
1. Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang diSunnahkan
sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang me-
ninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh
adzan, shalat berjamah dan lain-lain.
2. Sunnah Zaidah yaitu perkara yang diSunnahkan untuk
mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, kare-
na mengikuti Nabi sebagai manusia biasa. seperti makan,
minum, tidur,dan lain-lain.
3. Sunnah Nafal yaitu perkara yang diSunnahkan karena se-
bagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakan-
nya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak
disiksa/dicela. Contoh: shalat sunnat

3. Haram  
Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk
tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau
dikerjakan mendapat siksa kalau ditinggalkan mendapat pa-
hala. Contoh QS. al-Isrā/17: 32;
ِ َ‫الزنَا إِنَّه َكا َن ف‬
‫اح َشةً َو َساءَ َسبِيال‬ ُ ِّ ‫َوال تـَْقَربُوا‬
Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbu-
atan keji.
Haram dibagi dua yaitu:
1. Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan
dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat meru-
sak/berbahaya. Contoh: zina, mencuri dll.
2. Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu
wajib, Sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya diba-
rengi dengan cara atau perkara haram sehingga hukumya
haram. Contoh: shalat memakai dari baju hasil mengga-
sab dan lain-lain. 

116
bab 5 hukum

4. Makruh
  Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk me-
ninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain,
perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang
mengerjakan.
Contoh dalam QS. al-Māidah [5]: 101:

‫ين َآمنُوا ال تَ ْسأَلُوا َع ْن أَ ْشيَاءَ إِ ْن تـُْب َد لَ ُك ْم‬ ِ َّ


َ ‫يَا أَيـَُّها الذ‬
Hai orang-orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika
diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.2
Makruh menurut Hanafiyah dibagi dua:
1. Makruh tahriman yaitu perkara yang ditetapkan mening-
galkannya dengan bersumberkan dalil dhanni. Seperti Ha-
dis ahad dan qiyas. Contoh: memakai perhiasan emas dan
sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan dalam Hadis
ahad dan hukumnya mendapatkan hukuman bagi yang
meninggalkannya.
2. Makruh tanzih yaitu perkara yang dituntut untuk mening-
galkannya dengan tuntutan yang tidak keras. Seperti me-
makan daging keledai ahli/jinak dan meminum susunya
hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi yang melaku-
kannya.

5. Mubah
Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk me-
milih atau meninggalkannya Contoh QS. al-Māidah [5]: 2:

‫ادوا‬ ْ َ‫َوإِ َذا َحلَْلتُ ْم ف‬


ُ َ‫اصط‬
Dan apabila kamu telah menunaikan ibadah haji maka bolehlah ber-
buru.3
Pembagian mubah dibagi menjadi tiga macam:

2
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 165.
3
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 141 .

117
ushul fiqh

1. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih


antara memperbuat atau tidak.
2. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ membe-
ritahukan bahwa syara’ memberikan kelonggaran bagi
yang melakukannya.
3. Tidak diterangkan sama sekali baik boleh mengerjakan
atau meninggalkan yang seperti ini kembali ke baroitul
asliyah. 
Lima macam hukum taklifi yang diterangkan di atas ada-
lah pembagian menurut jumhur ulama, namun menurut ulama
Hanafiyah dibagi menjadi tujuh. Tiga perkara yang dituntut
ialah: fardu, wajib, mandub, dan tiga perkara yang dilarang
yaitu: haram, makruh tanzih, makruh tahrim, dan bagian yang
ketujuh adalah mubah.
Perkara dikatakan fardu bila dalil yang menunjukkannya
dari Al-Qurʼan dan Sunnah yang mutawatir, seperti shalat.
Tapi kalau diterangkan dari nash dhonni seperti Hadis ahad
qiyas dinamakan wajib seperti bacaan Fatihah dalam shalat.
Kalau tuntutan tidak keras di namakan mandzub kalau larang-
annya keras dan dalilnya khot’I seperti Al-Qurʼan dan Sunnah
Mutawatir dinamakan haram, contoh zina. Kalau dalilnya
zhanni dinamakan karohiatuttahrim, kalau tidak keras dina-
makan karohiatuttahrim tamzih, dan kalau tidak diterangkan
hukumnya dinamakan mubah.

Pembagian Hukum Wad’i


 Hukum wad’i di bagi menjadi lima macam ialah: sebab,
syarat, mani’, rukhsah, azimah, sah, dan batal.

a. Sebab
Sebab adalah perkara yang dijadikan syara’ sebagai tan-
da atas adanya musabab, tidak adanya musabab karena tidak
adanya sebab.
Dan semua tanda yang melahirkan hukum apabila hukum

118
bab 5 hukum

antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas dan tanda


itu cocok untuk dijadikan sebab lahirnya hukum dinamakan
‘illat setiap ‘illat itu pasti sebab dan setiap sebab tidak bisa di
sebut ‘illat.
Macam-macam sebab:
a. Adanya sebab menjadi sebab hukum taklifi. Contoh ma-
suknya waktu shalat menjadi sebab wajibnya mengerja-
kan shalat.
b. Adanya sebab menjadi sebab ditetapkannya milik halal
gugur atau hilang keduanya. Contoh membeli menjadi se-
bab di tetapkannya milik, hibah dan wakaf menjadi sebab
hilangnya kepemilikan dan nikah menjadi sebab di tetap-
kannya halal.
c. Sebab itu adalah perbuatan seorang mukallaf yang mam-
pu baginya untuk melakukannya. Contoh membunuh se-
cara sengaja menjadi sebab adanya qishos.
d. Adanya sebab itu adalah perkara yang bukan dari peker-
jaan mukallaf dan di luar kemampuan manusia. Contoh
masuknya waktu jadi sebab wajibnya shalat.

b. Syarat
 Syarat adalah perkara yang menjadi ketergantungan ada-
nya hukum, karena adanya syarat menjadi sebab adanya hu-
kum dan karena tidak adanya syarat menjadi sebab tidak ada-
nya hukum dan syarat bukan bagian dari perkara itu. Contoh
wudhu sebagai syarat syahnya shalat, shalat bila ada wudhu
maka shalatnya sah, tapi tidak mesti adanya wudhu itu ada-
nya shalat.
Antara syarat dan rukun itu sama menentukan sahnya
sesuatu tapi rukun jadi satu dengan perbuatan atau menjadi
bagian dari perbuatan, kalau syarat tidak menjadi bagian dari
perbuatan. Contoh rukun membaca al-Fatihah dalam sholat,
fatihah menjadi rukun sahnya shalat.
Syarat-syarat dalam perbuatan hukum yang di tetapkan
syara’ dinamakan syarat syar’i dan yang ditetapkan oleh mu-

119
ushul fiqh

kallaf dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat ja’li yaitu jatuhnya


talak, apabila kedua belah pihak punya ikatan perkawinan.

c. Mani’
Mani’ adalah perkara yang adanya ini menyebabkan tidak
adanya hukum atau batalnya sebab-sebab hukum walaupun
menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya, tapi ka-
rena adanya mani’ mencegah berlakunya hukum.
Mani’ menurut istilah ushul yaitu perkara yang muncul
bersamaan dengan terpenuhinya sebab atau syarat dan men-
cegah terpenuhinya musabab atas sebab-sebabnya dan ka-
dang-kadang mani’ jadi penghalang dari terpenuhinya sebab
syariat bukan terpenuhinya hukum darinya. Contoh utang
menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat, jadi utang menja-
di pencegah terpenuhinya sebab-sebab diwajibkannya zakat.
Harta orang yang berutang sebenarnya bukan miliknya tapi
milik orang yang dihutangi, utang inilah yang menghapus
syarat yang menjadi pelemgkap sebab hukum syara’ sehingga
tidak dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat.
Ulama Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:
1. Mani’ yang menghalangi sah sebab hukum. Seperti men-
jual orang merdeka.
2. Mani’ yang jadi penghalang kesempurnaan sebab. Contoh
orang yang punya utang mencegah wajibnya zakat.
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlakunya hukum. Se-
perti khiyar syarat, penjual menghalangi pembeli meng-
guanakan haknya terhadap barang yang dibelinya selama
masa khiyar berlaku.
4. Mani’ yang menghalangi sempurnanya hukum seperti khi-
yar ru’yah. Khiyar rukyah ini tidak menghalangi lahirnya
hak milik namun hak milik itu dianggap sempurna sebe-
lum melihat barangnya walau sudah di tangan pembeli.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum, seperti aib.

120
bab 5 hukum

d. Rukhsah dan Azimah


Definisi azimah adalah hukum yang disyariatkan Allah se-
menjak aslinya, bersifat umum yang tidak dikhususkan pada
satu keadaan atau kasus tertentu, dan bukan pula belaku pada
mukallaf tertentu. Contohnya shalat diwajibkan pada setiap
orang dan juga diwajibkan.
Dan yang dimaksud rukhsah adalah hukum yang telah di-
tetapkan oleh Allah untuk memberikan kemudahan pada mu-
kallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.
Rukhsah dibagi menjadi empat macam:
1. Dibolehkannya perkara yang dilarang ketika darurat atau
hajat. Contoh ketika orang yang dalam keadan yang sa-
ngat lapar
2. Dibolehkan meninggalkan wajib jika ada udhur. Contoh
barangsiapa yang sakit di Bulan Ramadhan atau dalam
perjalanan maka dibolehkan berbuka.
3. Dibolehkannya akad yang dibutuhkan manusia yang yang
bersamaan bedanya dengan akad yang ditetapkan. Con-
toh akad menjual barang yang tidak diketahui barangnya,
karena kebutuhan manusia maka dibolehkan.
4. Menasah hukum-hukum yang berlaku pada masa Nabi-
nabi sebelum kita, seperti memotong bagian yang terkena
najis.
Para ulama kalangan Syafi’i membagi rukhsah menjadi
dua yaitu:
1. Rukhsah tarfiyah yaitu hukum azimah tetap berlaku dan
dalilnya tetap berlaku namun mukallaf diberi keringanan
untuk tidak tidak melakukannya. Contoh berbuka pada
siang hari di Bulan Ramadhan itu haram namun nash
memberi keringanan dan tidak menghapus hukum ha-
ramnya.
2. Rukhsah irqath hukum azimahnya berubah dan rukhsah
merubah hukum azimah, hukum yang berlaku hukum

121
ushul fiqh

rukhsah. Contoh kebolehan memakan bangkai dan lain-


lain.

e. Sah dan Batal


Sah adalah suatu perkara yang telah memenuhi rukun
dan syarat serta dilakukan sesuai ketentuan syara’. Contoh
shalat, zakat, haji, dan jual beli.
Batal adalah Perkara yang belum terpenuhi rukun dan
syaratnya. Contoh shalat, zakat, jika belum terpenuhi syarat
dan rukunnya maka menjadi batal. 

C. MAHKUM FIHI
Yang dimaksud mahkum fihi adalah perbuatan mukallaf
yang menjadi objek hukum syara’. Maka setiap hukum syara’
harus berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf baik dari
segi tuntutan pilihan atau penetapan. Contoh: membelanja-
kan harta dijalan Allah.
  Agar perbuatan mukallaf dapat dijadikan objek hukum
syara’ disyaratkan:
1. Hukum itu telah diketahui dengan jelas sehingga dapat
dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki syara’.
2. Mukallaf harus mengetahui bahwa kewajiban yang dibe-
bakan kepadanya adalah dari Allah.
3. Kewajiban yang dibebankan kepada mukallaf baik yang
dituntut untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan
betul-betul dapat dilaksanakan mukallaf dan berada da-
lam batas kemampuan mukallaf.
Lalu syarat ini menjadi dua cabang yaitu:
1. Tidak sah tuntutan syara’ yang mustahil dari segi zat,
maksudnya mustahil yang masuk akal atau tidak masuk
akal.
2. Tidak syah tuntutan syara’ pada mukallaf dengan menger-
jakan pekerjaan orang lain.

122
bab 5 hukum

  Dari uraian di atas tergambar bahwa taklif itu hanya


berlaku terhadap apa yang dapat dikerjakan manusia, namun
perbuatan yang dibebankan syara’ itu menimbulkan kesulitan
dan kesulitan itu ada duayaitu:
1. Kesulitan yang mungkin dapat diatasi seperti kesulitan
dalam mencari rezeki.
2. Kesulitan yang tidak mampu dikerjakan manusia baik ke-
sulitan yang menimpa jiwa maupun harta, dan bila dipe-
nuhi dapat menimbulkan sesuatu yang dapat membaha-
yakan dirinya.

D. MAHKUM ‘ALAIHI
Yang dimaksud mahkum alaihi ialah mukallaf yang men-
jadi objek tuntutan hukum syara’. Maka disyaratkan bagi seo-
rang mukallaf yang dikenai hukum sebagai berikut:
1. Seorang mukallaf mampu memahami dalil taklif.
2. Seorang mukallaf itu dapat menanggung beban atau ahli-
yah terhadap taklif perkara yang dituntutkan padanya.
Ahli ushul membagi ahliyah menjadi dua macam:
1. Ahliyatul wujub adalah kecakapan manusia untuk me-
nanggung hak dan kewajiban. Kecakapan ini ada semen-
jak ia dalam kandungan.
2. Ahliyatul ada’ adalah Kecakapan yang dimiliki seseorang
umtuk melakukan perbuatan yang dipandang sah oleh
syara’ baik dalam bidang ibadah, muamalah, jinayah, dan
sebagainya. Dasar Ahliyatul ada’ ini berdasarkan pada ke-
mampuan akal
Keadaan-keadaan manusia dalam ahliyatul wujub berada
dalam dua posisi yaitu:
1. Adakalanya manusia ahliyatul wujub-nya berkurang. Con-
toh anak yang berada dalam kandungan ibu dia punya
hak yaitu hak waris, wasiat, waqof, tetapi dia tidak punya
kewajiban, dia hanya punya hak-hak terbatas.

123
ushul fiqh

2. Adakalanya manusia ahliyatul wujub-nya sempurna ini di-


miliki semenjak dilahirkan dalam keadaan hidup sampai
meninggal.
Keadaan manusia dalam ahliyatul ada berada dalam tiga
keadaan:
1. Adakalanya manusia secara asli tidak punya kecakapan
untuk melakukan. Contoh: orang gila dan anak kecil.
2. Adakalanya manusia belum sempurna kecakapannya.
Contoh anak yang masih dalam masa pertumbuhan me-
nuju tamyiz sebelum baligh.
3. Adakalanya manusia sempurna kecakapannya. Contoh
seorang yang sudah baligh dan berakal.
Hal-hal yang mengurangi atau menghilangkan kecakapan
yang disebut awaridul ahliyah dan dibagi dua yaitu:
1. Awaridussamawiayah yaitu hal yang dapat mengurangi
atau menghilangkan kecakapan yang berasal dari keten-
tuan syara’ contoh gila, tidur, dan lupa.
2. Awaridulmuktasabah yaitu hal yang dapat mengurangi
atau menghilangkan kecakapan yang berasal dari perbu-
atan mukallaf. Contoh boros, mabuk, dan kekeliruan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa setiap per-
kataan atau perbuatan manusia yang menyangkut hubungan
dengan Allah atau sesama manusia semua diatur oleh syara’
dan peraturan syara’ itu sendiri berasal dari Allah yang di-
turunkan melalui Rasul-Nya dalam bentuk wahyu Al-Qurʼan
atau Sunnah. Dari situ diambil istinbatnya oleh para mujtahid.
Dan orang yang menetapkan hukum disebut hakim lalu
yang dijadikan objek hukum syara’ itu adalah mukallaf atau
mahkum alaih, lalu perbuatan mukallaf yang berhubungan de-
ngan hukum disebut mahkum fih.
 

124
bab
6
Qawa’idul FIQHIYyAH

A. Definisi Qawa’idul Fiqhiyyah


Kata qaidah fiqhiyyah, terdiri dari dua kata yakni qaidah
dan fiqhiyyah. Qa’idah kata mufrad yang jamaknya, qawa’id
yang menurut bahasa berarti dasar atau asas,1 seperti dalam
Al-Qurʼan surah al-Baqarah [2]: 127:
ِ ِ
َ ‫يل َربـَّنَا تـََقبَّ ْل ِمنَّا إِن‬
َ ْ‫َّك أَن‬
‫ت‬ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫يم الْ َق َواع َد م َن الْبـَْيت َوإ ْسَاع‬
ِ
ُ ‫َوإ ْذ يـَْرفَ ُع إبـَْراه‬
‫يم‬ ِ ‫الس ِم‬
ُ ‫يع الْ َعل‬
ُ َّ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama
Ismail seraya berdoa “Ya Tuhan kami terimalah (amal) kami. Sungguh,
Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”2
Menurut pengertian ahli nahwu (gramatika bahasa Arab),
qaidah berarti sesuatu yang tepat (dlabith),3 maksudnya ialah:4

‫ْم اْل ُكلِّ ِي الْ َمْن ِطْي ِق َعلَى َجَزِءيَّا تِِه‬


ُ ‫الُك‬
ْ
1
H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., Ilmu Ushul fiqh (Satu dan Dua), Edisi Revisi, Cet. I, (Jakarta;
Kencana-PrenadaMedia Group, 2010), h. 133. Lihat juga Misbahuddin, Buku Daras Ushul
Fiqh II, Cet. I, (Makassar: Alauddin Universty Pess, 2014), h. 158.
2
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 20.
3
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Jakarta: C.V Mulia, t.th.), h. 157.
4
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 158.
ushul fiqh

Aturan umum yang mencakup (bersesuaian) dengan semua bagian-


bagiannya.
Berarti ketentuan aturan itu tetap dan tetap; seperti pada
kedudukan fa’il (subjek) itu marfu’ dan seperti maf’ul (objek)
itu mansub.
Lain halnya pengertian qaidah menurut ahli ushul fiqh,
kaidah berarti sesuatu yang biasa atau ghalib-nya begitu. Mak-
sudnya, ketentuan peraturan itu biasanya atau ghalib-nya be-
gitu, sehingga menurut mereka ungkapan kaidah ialah:

‫ْم اَ ْغلَبَِ ْت يـَْن ِطْب ُق َعلَى معظم َجزءيتاته‬


ُ ‫ُحك‬
Hukum (aturan) yang kebanyakannya bersesuaian dengan sebagian
besar bagian-bagiannya.
Adapun kata fiqhiyyah, berasal dari kata fiqh, yang be-
rati paham. Menurut istilah berarti kumpulan hukum-hukum
syara’ yang bertalian dengan perbuatan mukallaf, yang dike-
luarkan dari dalilnya yang terperinci.5
Pengertian kaidah fiqhiyyah dalam susunan kata sifat
dan yang disifati, berarti ketentuan aturan yang berkenaan
dengan hukum-hukum fiqh yang diambilkan dari dalil yang
terperinci.
Qa’idah fiqhiyyah sebagaimana dari suatu cabang ilmu pe-
ngetahuan, oleh Dr. Musthafa Ahmad az-Zarqa di-ta’rif-kan:
‫اصول فقهية كلية يف نصوص موجزة دستورية تضمن أحكما ما‬
‫تشريعية عامة ىف احلوادث اليتد خل حتت موضوعها‬
Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat
mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-
teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang me-
ngandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-
peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
Menurut Prof. Hasbi Ash-Shiddeqy kaidah fiqhiyyah itu
ialah:

5
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 159.

126
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

Kaidah-kaidah yang bersifat kulliy yang diambil dari dalil-dalil kulliy


dan dari maksud syara’ menetapkan hukum (maqashidusy syar’iy)
pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri’ dan hikmah-hik-
mahnya.
Kedua pengertian di atas saling melengkapi, karena pe­
ngertian pertama melihat bentuk dan isi sedang pengertian
kedua melihat isi dan sumber pengambilan serta perumusan-
nya.

B. Kedudukan Qawa’idul Fiqhiyyah dalam Ushul Fiqh


Sebagaimana dimaklumi bahwa hukum islam terbagi da-
lam berbagai bidang, seperti ibadah, jinayah, muamalah, ah-
walusy syahsiyyah dan lain-lain. Dalam bidang ini terdiri dari
satuan-satuan hukum furu’ yang terbagi dalam tiga macam
hukum yakni takhlify,6 takhyiri,7 dan wadl’iy.8
Pada hukum furu’ dari berbagai bidang tersebut kita da-
pati adanya hukum yang berlaku umum seperti hukum mem-
bunuh orang lain tanpa sebab yang dibenarkan syara’ dengan
dalil QS. al-Isrā [17]: 33:

ْ ِ‫س الَِّت َحَّرَم اللَّهُ إِال ب‬


... ‫الَ ِّق‬ َ ‫َوال تـَْقتـُلُوا النـَّْف‬
Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (mem-
bunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar...9
Bukan saja membunuh, tetapi melukai dan membuat
orang cedera, bahkan membuat orang susah, semuanya diha-
ramkan oleh hukum Islam.
Berdasarkan pengamatan terhadap satuan hukum yang
sejenis illah-nya dalam hal ini ketentuan hukum itu melarang
melakukan sesuatu yang membawa kerusakan, maka dilaku-

6
Tuntutan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu.
7
Pilihan untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkannya.
8
Penetapan tentang berlakunya atau tidak berlakunya sesuatu. Misbahuddin, Buku
Daras Ushul Fiqh II, h. 160.
9
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 285.

127
ushul fiqh

kan ijtihad oleh para ulama untuk merumuskan dalam peru-


musan umum yang sangat mencakup satuan-satuan hukum
furu’ dimaksud, yang disebut qaidah fiqhiyyah.
Dari uraian itu nyata bahwa qaidah fiqhiyyah ialah peru-
musan secara umum dari hukum-hukum furu’ yang banyak
jumlahnya dan serupa, sehingga perumusan itu dapat meng-
ganti furu’-furu’ yang ada dan sejenis dalam cakupan qaidah
itu. Dengan kata lain, qaidah fiqhiyyah merupakan untaian
dari hukum-hukum furu’ sejenis, seperti hukum niat dan hu-
bungannya dengan perbuatan. Dalam masalah ibadah, niat
menjadi rukun sahnya perbuatan ataupun rukun kesempurna-
annya. Dalam hal jinayat, niat menjadi kriteria untuk membe-
dakan antara perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan
yang terjadi karena kealfaan. Dalam aqad, niat merupakan
kriteria bentuk apakah yang sesungguhnya dimaksud dengan
persetujuan itu, seperti pada kata-kata “aku bayar utangku”
yang diucapkan seseorang yang kebetulan mempunyai utang
dan berjanji akan memberi sesuatu hidayah. Kalau orang yang
mengucapkan itu maksudnya hadiah, sekalipun dengan kata
yang membayar utangnya, maka masuklah pada pengertian
pemberian hadiah. Dalam permasalahan ini kita dapat kaidah
yang berbunyi:10

‫العربة ىف العقود للمقاصد واملعنىل أللأللفاظ واملبين‬


“Yang dianggap berlaku dalam akad-akad transaksi adalah mak-
sud-maksud dan makna-makna transaksi itu, bukan lafadh dan
bentuk-bentuknya.”
Melihat dari objek yang diteliti untuk menjadi dasar peru-
musan qaidah fiqhiyyah, maka itu tidak lain adalah termasuk
kumpulan hukum fiqh, tetapi melihat dengan namanya kai-
dah akan lebih dekat pada ilmu ushul fiqh, karena Ilmu ushul
fiqh itu juga bernama qaidah ushuliyyah yang wujudnya ialah
kaidah-kaidah yang merupakan rumusan cara-cara mengelu-

10
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 160.

128
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

arkan hukum dari dalil. Dari kaidah seseorang dapat mene-


rapkan hukum furu’ sehingga menyerupai dalil, sekalipun bu-
kan dalil. Qaidah fiqhiyyah merupakan indikator pada adanya
furu’ yang tercakup di dalamnya.
Penyusunan qaidah fiqhiyyah ini tidak semasa dengan pe-
nyusunan kitab ushul fiqh yakni abad kedua Hijriah, tetapi
barulah pada abad keempat atau kelima Hijriah kitab-kitab
qaidah fiqhiyyah ini disusun tersendiri terpisah dari kitab ushul
fiqh.

C. Sumber Pengambilan Qawa’idul Fiqhiyyah


Yang dimaksud dengan sumber pengambilan dalam urai-
an ini ialah dasar-dasar perumusan qaidah fiqhiyyah, meliputi
dasar formil dan materielnya.11 Dasar formil maksudnya apa-
kah yang dijadikan dasar ulama perumusan qaidah fiqhiyyah
itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ula-
ma yang menjadi sumber motivasi penyusunan qaidah fiqhiy-
yah. Adakah ayat Al-Qurʼan atau Hadis Nabi atau bahkan ke-
duanya yang mengandung ketentuan untuk dirumuskannya
qaidah fiqhiyyah itu. Adapun dasar materiel maksudnya dari
mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan. Apa semata-
mata hasil pemikiran ulama atau mengambil dari ayat atau
Sunnah kemudian disampulkan atau diinformasikan dengan
kata-kata yang berbeda.

1. Dasar Formil
Qaidah fiqhiyyah adalah hukum-hukum furu’ yang dikum-
pulkan dalam satu untaian kalimat yang sempurna penger-
tiannya dapat mencakup banyak satuan hukum furu’ yang
sejenis, misalnya soal niat. Dalam ibadah, niat menjadi salah
satu kriteria sah dan tidaknya perbuatan. Dalam jinayat, kri-
teria suatu perbuatan dapat digolongkan dengan sengaja atau

11
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 161.

129
ushul fiqh

tidak, dilihat dari niat pembuatnya. Suatu perbuatan dapat


dipidana atau tidak antara lain dilihat ada atau tidaknya niat
yang melatarbelakangi perbuatan itu. Dalam masalah aqad
mu’amalah kebendaan (maddiyah) niat juga mempunyai pe-
ranan penting, baik di hadapan Allah maupun di hadapan se-
sama. Seseorang mengatakan pinjaman, padahal maksudnya
utang yang disetujui kedua belah pihak, hukumnya berutang.
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam satu qaidah yang
memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash,
baik dari Al-Qurʼan maupun as-Sunnah. Seperti dalam firman
Allah QS. al-Bayyinah [98]: 5.
ِ ِِ ِ ِ
َ‫الصالة‬
َّ ‫يموا‬
ُ ‫ِّين ُحنـََفاءَ َويُق‬ َ ‫َوَما أُم ُروا إِال ليـَْعبُ ُدوا اللَّهَ مُْلص‬
َ ‫ني لَهُ الد‬
‫ين الْ َقيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫الزَكاةَ و َذل‬
ُ ‫كد‬َ َ َّ ‫َويـُْؤتُوا‬
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas
nmetaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama dan juga
agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, dan dan yang de-
mikian itulah agama yang lurus (benar).12
Dan Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat
Umar bin Khattab: “Innamal a’malu binniyat” diistinbathkan
hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Ka-
rena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-
soal lain, maka dirumuskannya qaidah fiqhiyyah: “Al-Umuru
bimaqaashidiha”.13
Mahmoud Sjaltout dalam penjelasannya mengenai dalil
ar-Ra’yu, bahwa dalil itu merupakan metode berpikir dalam
memahami Al-Qurʼan dan as-Sunnah dan metode dalam me-
netapkan sesuatu masalah yang tidak ada nashnya, juga me-
tode untuk menetapkan qaidah kulliyah yang diambilkan dari
berbagai ayat untuk dasar menetapkan hukum bagi maslah-
masalah yang akan datang.
Jadi, perumusan qaidah fiqhiyyah itu berdasar Al-Qurʼan

12
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 598.
13
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 162.

130
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

dan as-Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksa-


naan istinbath ijtihad yang dirumuskan dalam sub sistem ilmu
ushul fiqh, yang masuk pada sistem ushul fiqh.
Dengan kata lain, dasar formil penyusunannya qaidah fiq-
hiyyah ialah dasar-dasar ulama yang digunakan dalam mela-
kukan istinbath dan ijtihad. Kalau dalam melakukan istinbat
dan ijtihad memerlukan sarana atau alat, maka qaidah fiqhiy-
yah juga dapat digolongkan pada sarana untuk mempermu-
dah melacak hukum furu’ sesuatu masalah.

2. Dasar Material
Adapun dasar materiel, atau tegasnya bahan-bahan yang
dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya dari nash
Hadis, seperti kaidah yang berbunyi:

‫ار‬ ِ ‫ض َر ُر َو َل‬
َ ‫ض َر‬ َ
َ ‫ال‬
Janganlah kalian saling membahayakan dan saling merugikan.14
Kaidah ini, berasal dari Hadis yang di-takhrij-kan oleh
Imam Malik dalam kitabnya al-Muwatha’, dari Amr bin Yah-
ya dari ayahnya Hadis Malik tersebut walaupun digolongkan
dalam mursal, tetapi Hadis itu juga diriwayatkan oleh Imam
Baihaqy dan Ad-Daruquthny dari Abu Sa’ied Al-Khudry. La-
fadh itu juga di-takhrij-kan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas
dan ‘Ubadah bin Ash-Shamit.
Kaidah yang berasal dari Hadis tersebut berlaku untuk se-
mua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat,
maupun jinayah. Di samping qaidah fiqhiyyah yang dirumus-
kan dari lafadh Hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat
dipastikan bahwa qaidah fiqhiyyah itu hasil dari perumusnya,
kecuali satu dua, seperti kaidah yang berasal dari kitab al-
Kharraj susunan Abu Yusuf yang berbunyi:

14
HR. Ibnu Majah Daruquthni dan lain-lainnya. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam
Malik dalam Al-Muwattha’ sebagai Hadis mursal dari Amr bin Yahya dari bapaknya dari Nabi
saw. tanpa menyebut Abu Sa’ad. Hadis ini mempunyai beberapa jalan yang menguatkan.

131
ushul fiqh

Dan kaidah-kaidah yang disusun oleh Abu Thahir Ad Dabbas, se-


perti yang akan diterangkan dalam sejarah perkembangan qaidah
fiqhiyyah pada uraian berikut.

3. Sejarah Perkembangan Qawa’idul Fiqhiyyah


Perkembangan penyusunan qaidah fiqhiyyah, berbeda
dengan penyusunan ilmu ushul fiqh dan pekembangannya.
Qaidah fiqhiyyah disusun berangsur-angsur oleh ulama muj-
tahidin. Kemungkinan sejak abad kedua hijriyyah, terbukti
ditemukannya satu kaidah yang berasal dari kitab Al-Kharraj
susunan Abu Yusuf (113-182 H).15
Adapun siapa penyusun pertama dan siapa pencetusnya
qaidah fiqhiyyah sampai saat ini belum jelas. Karena kalau
materi kaidah seperti di atas dijadikan dasar penetapan masa
awal penyusunan, maka bagaimana dengan Hadis “la dhoror
wa laa dhiror” seperti telah diuraikan sebelum ini.
Dalam penamaan itu beberapa kitab qawaid fiqhiyyah ada
yang diambilkan dari redaksi surat Khalifah Umar bin Khattab
kepada Abdullah bin Qais. Yang lebih dikenal dengan gelar
Abu Musa Al-Asy’ari yaitu pada tahun 12 H sewaktu yang
bersangkutan diangkat sebagai walikota Bashrah.
Surat Khalifah Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-
Asy’ari antara lain berbunyi:

‫اعرف األمثال وألشباه وفس األمور بنظ ءرها‬


Redaksi tersebut mengilhami beberapa pengarang un-
tuk digunakan nama kitab qawaid dengan nama “Al-Asybah
wan Nadhair”, yakni bahwa enggan menggunakan pemikiran
analogis atau qiyas dapat diterangkan hukum salah satu yang
sejenis. Penanaman dari sumber tersebut itu memberi kesan
bahwa pemikiran penggunaan qaidah fiqhiyyah kitab qawaid
menggunakan nama-nama Al-Asybah wan Nadhair, yaitu As-
Subkily, Al-Suyuthiy, dan Ibnu Nujaim.
15
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 161.

132
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

Yang dikemukakan itu hanyalah kesan, bukan data yang


kuat, karena untuk menetapkan masa permulaan penyusunan
atau pencetus dan perumus utama qaidah fiqhiyyah tidaklah
mudah karena tidak atau belum didapat yang pasti.
Namun demikian, salah seorang pengikut Hanafiyah,
yakni Zainul Abidin Ibrahim bin Muhammad bin Bakar yang
terkenal dengan gelar Ibnu Nujai (wafat 970 H), berpendapat
bahwa penyusun pertama qaidah fiqhiyyah ialah Abu Tahir
Dabbas yang hidup sekitar abad 3 H.
Nama lengkap Ibnu Tahir, adalah Muhammad bin Mul-
raq, dan yang pernah menjabat sebagai ulama dan pemikir
(ahli Ro’yi) di Iraq, dan yang pernah menjabat sebagai hakim
di Syam, beliau menyusun 17 qaidah fiqhiyyah. Beliau selalu
membaca kaidah itu, bahkan seorang ulama Shafiyyah per-
nah datang kepadanya dan menukil beberapa kaidahnya yang
dipandang penting dan dianggap sebagai kaidah induk yang
terdiri dari 5 qaidah qauliyyah. Kaidah-kaidah yang berjumlah
17 susunan Ad-Dabbas tadi, oleh Imam Abul Hasan Abdullah
bin Al Hasan (260-340 H) yang terkenal dengan sebutan Al-
Karkhiy ditambah sehingga menjadi 37 kaidah, ditulis dalam
satu kitab yang kemudian kitab ini dikomentari dengan con-
toh-contoh Imam Najmuddin Abu Hafs Umar An Nasafi (537
H).
Sesudah Imam ad-Dabbas dan al-Karkhiy, tampillah Imam
Abdullah bin Umar bin Isa al-Qadhiy yang digelari dengan
Abu Zaid Ad Dabusiy (430 H) menyusun kitab “Ta’sisun Nad-
har” yang berisikan kaidah-kaidah kulliyah disertai dengan
hukum perinciannya. Kemudian mulai abad ke-7 H barulah
bermunculan kitab-kitab qawaid yang disusun, baik oleh ka-
langan mazhab Hanafi maupun lainnya.
Berikut ini dapat diikuti nama-nama penyusun kitab Qa-
waid Fiqhiyyah setelah abad ke-7 beserta karya-karya mereka.
1. Sulthanul Ulama, Izzuddin Ibnu Abdis Salam (wafat – 660
H) menyusun kitab qawaid bernama Qawa’idul Ahkam fi
Mashalikil Ana.

133
ushul fiqh

2. Sulaiman bin Abdul Qaiy bin Abdul Karim bin Said Ath
Thufiy (623-716 H) menyusun kitab Al-Qawa’idul Kubra
dan Qawaidus Shughra.
3. Ta’yyuddin As-Subkiy (756 H) menyusun kitab Al-Asybah
wan Nadhair.
4. Ahmad Ibnu Idris Al-Qarafiy (684 H) menyusun kitab An-
warul Buruq fi Anwail Furuq.
5. Abdurrahman Ibnu Rajab (790 H) menyusun kitab Al-
Qawaid.
6. Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthiy (911 H) menyusun
kitab Al-Asybah Wan Nadhair.
7. Zainul Abidin, Ibrahim bin Muhammad bin Bakr terkenal
dengan nama Ibnu Nujaim (970 H) menyusun kitab Al-
Asybah wan Nadhair.
8. Muh. Said Al Khadimiy (abad 12 H), menyusun kitab Us-
hul Fiqh dengan nama Maja’iul Baqaia’ pada akhir kitab
ini, disusunlah qaidah fiqhiyyah secara abjad sampai ber-
jumlah 154 kaidah.
9. Pada masa pemerintahan/Khalfah Utsmani, disusun ren-
cana undang-undang yang kemudian menjadi kitab fikih
bernama Majallatul Ahkamil Adliyyah, pada pasal 2 sam-
pai 100 berisi qaidah fiqhiyyah, yang diambil dari kaidah-
kaidah yang tertulis Ibnu Nujaim dan Al Khadimiy; kai-
dah-kaidah ini oleh Dr. Musthofa Ahmad Az Zarqa ditulis
dan diberi komentar dengan tambahan dalam kitabnya
Alfiqhul Islamiy fi Tsaubihil Jadid (1361 H).
10. Pada tahun 1982 H, terbitlah susunan Syekh Mahmud
Hamzah Mufti Damaskus pada masa Sultan Abdul Hamid
dengan nama Al Fraidul Bakiyyah fi Qawaidi wa Fawaidil
Fiqhiyyahs.16

16
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, h. 166.

134
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

4. Beberapa Qawa’idul Fiqhiyyah


Sebagian ulama berpendapat bahwa semua kaidah-kai-
dah fiqhiyah dapat dikembalikan kepada lima kaidah atau se-
mua masalah-masalah fiqh mencakup dalam lima kaidah yang
akan datang17 yang biasa disebut dengan kaidah kulliyah.18

a. Kaidah Pertama19

‫اْالُ ُم ْوُر ِبََقا ِص ِد َها‬


“Setiap perkara (atau urusan) dilihat menurut maksudnya”
Dasar atau alasan kaidah tersebut QS. Ali-Imran [3]: 145
ِ ِ ِ ِ
َ ‫ضَّر اللَّهَ َشْيئًا َو َسيَ ْج ِزي اللَّهُ الشَّاك ِر‬
‫ين‬ ُ َ‫ب َعلَى َعقبـَْيه فـَلَ ْن ي‬
ْ ‫َوَم ْن يـَنـَْقل‬
... Barangsiapa menghendaki pahala dunia niscaya Kami akan berikan
kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat ) itu ...20
Di samping ayat tersebut Hadis Nabi juga menyatakan:

17
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Satu dan Dua), h. 134.
18
Imam al-Zarkasi dalam kitabnya al-Mawahibus Sunniyah memberi batasan kaidah
kulliyah adalah: Hukum (kaidah) umum yang mencakup di dalamnya beberapa ketentuan
yang khusus. Orang pertama yang menyusun kaidah kulliyah adalah Abu Thahir ad-Dabas
(ulama Mazhab Hanafiyah). Dalam Mazhab Hanafi ada seorang fuqaha yang bernama Zainal
bin Ibrahim bin Mujaim (970 H) telah menulis sebuah kitab yang berjudul al-Asybahu wan
Nazir, kemudian Najamuddin (717 H) menulis kitab al-Qawa’idul kubra, dan Qaw’idus Shugra,
serta Ibnu Rajab yang menulis al-Qaw’id.
Dalam Mazhab Syafi’i terkenal seorang ulama Ibnu Abdis Salam yang menulis Qawa’idul
Ahkam, Tadjuddin Subki menulis al-Asybahu wa Nazair. Adapun dalam Mazhab Maliki di
kenal kitab al-Qawa’id karya Ibnu Jazim dan kitab al-Furuq karya Qarafi.
Dalam Al-Qur‘an banyak dijumpai pengertian yang dibawakan secara umum, sebagai-
mana pengertian umum tersebut dituangkan dalam satu rumusan yang dikenakan dengan
kaidah kulliyah. Contohnya dalam QS al-Baqarah [2]: 29 yang artinya: Dia-lah (Allah ) yang
menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kamu ...
Dari penertian ayat di atas, maka lahirlah kaidah-kaidah yang berbunyi:
‫ال صل يف اال شياء االبا حة حىت يد ل الدليل على التحرمي‬
Hukum asal sesuatu itu adalah mubah (kebolehan) sampai ada yang menunjukkan haramnya.
19
Misbahuddin, Buku Daras Ilmu Fiqh II, h. 166., H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh (Satu
dan Dua) Ed. Revisi, h. 134.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 68.

135
ushul fiqh

Sesungguhnya amal itu menurut niatnya dan sesungguhnya bagi


tiap-tiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya. (muttafaqq
a’laih)

b. Kaidah Kedua

ٍ
َ ‫ي َل يـَُزْو ُل بِا‬
‫الشك‬ ُ ْ ‫اْليَق‬
“Yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan syak”
Contoh: kita telah yakin berwudhu, kemudian kita ragu-
ragu tentang apakah telah batal atau belum. Berdasarkan kai-
dah tersbut, maka kita harus pegang pada keyakinan semula,
bahwa telah berwudhu.
Para ulama mengutip Hadis Nabi sebagai alasan kaidah
tersebut yang berbunyi:

‫اذاشك احدكم ىف الصال ته فلم يدر كم صلى ثال ثا ام اربعا فليطر‬


.)‫ح الشك و لبني على ما استيقن (رواه مسلم‬
Apabila ragu-ragu salah seorang di antara kamu dalam mengerja-
kan shalatnya, tidak mengetahui berapa rakaat shalat telah dilaku-
kan apakah tiga atau empat, maka hendaklah ia singkirkan keragu-
raguannya itu. Berpeganglah pada yang teguh. (H.R. Muslim)
Di samping itu terdapat pula beberapa kaidah yang se-
makna dengan kaidah di atas, yakni:

‫اال صل بقا ء ما كان على ما كان‬


a. “Hukum asal itu tetap apa yang ada menurut yang ada.”

‫االصل براءة الذمة‬


b. “Hukum asal itu terlepas dari tanggungan.”

‫االصل العدم‬
c. “Hukum asal itu adalah tidak ada.”

‫االصل يف االشياء اال با حة‬

136
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

d. “Hukum asal pada sesuatu itu adalah mubah”

‫من شك افعل شيءا ام ال فاال صل انه مل يفعله‬


e. “Siapa yang ragu-ragu apakah telah mengerjakan sesautu
atau belum, maka asalnya adalah tidak atau belum me-
ngerjakan”

‫ان ما ثبت بيقني ال يرتفع اال بيقني‬


f. “Sesungguhnya yang telah tetap dengan yakin tidak bo-
leh dihilangkan kecuali dengan yakin pula.”

‫االصل يف لكلم احلقيقة‬


g. “Asal dalam satu perkataan adalah yang hakikat”
Sebagai contoh misalnya, bila seseorang mengatakan
“saya jatuh”, perkataan tersebut hakikatnya adalah jatuh
dari atas ke bawah, bukan jatuh pailit atau jatuh lainnya.

c. Kaidah ketiga

‫ب التـَْي ِسيـُْر‬ ِ
ُ ‫الْ ُم َش َّقةُ َْتل‬
“Kesempatan itu menarik kepada kemudahan”
Maksudnya, apabila dalam satu keadaan kita terdesak
untuk melanggar ketentuan agama, sedang jalan keluarnya
tidak ditemukan, maka kita diberi kemudahan atau keringan-
an yakni boleh melanggarnya sekadar mengeluarkan kita dari
kesempitan tersebut.
Dasar atau alasan kaidah tersebut, para ulama mengambil
firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 185 yang berbunyi:

)581( ... ‫ يريداهلل بكم اليسرى و ال يريد بكم العسر‬...


Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesu-
karan bagimu .21
Sehubungan dengan kaidah dan ayat tersebut di atas, per-

21
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 28.

137
ushul fiqh

lu diketahui bahwa, ada beberapa sebab untuk adanya keri-


nganan:
a. Orang yang sedang dalam perjalanan ( ).
Orang yang sedang dalam perjalanan diberi keringanan
atau kemudahan antara lain adalah untuk mengqashar
shalat, (shalat 4 rakaat menjadi 2 rakaat), menjamak sha-
lat (shalat zhuhur disatukan dengan ashar atau sebalik-
nya).
b. Orang sakit ( ).
Orang sakit diberi kemudahan atau keringanan dengan
boleh bertayammum walaupun ada air, boleh melakukan
sambil duduk.
c. Orang yang dipaksa ( ).
Yang dimaksudkan di sini adalah seperti orang yang di-
paksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Dalam hal
ini diberi keringanan yakni “tidak berdosa” mengucap-
kannya, asalkan hatinya tetap beriman (lihat QS. An-
Nahl/16:106), atau dipaksa memakan sesuatu yang ha-
ram.
d. Orang yang terlupa ( ).
Orang yang terlupa, misalnya orang yang makan atau mi-
num tanpa sengaja, padahal ia sednag berpuasa. Dalam
hal demikian maka puasanya tidak batal.
e. Karena satu kesulitan ( ).
Seperti, seorang yang sedang dalam kesulitan air, maka
dibolehkan ia beristinja dengan batu dan terpaksa mela-
kukan shalat dalam keadaan terkena najis.

d. Kaidah Keempat

‫الضََّرُريـَُز ُال‬
“Yang membawa bahaya dihilangkan.”
Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemuda-
ratan atau bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya.

138
bab 6 qawa’idul fiqhiyyah

Dasar atau alasan kaidah dia atas, para ulama mengambil


firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 11 yang berbunyi:

)11( ...‫ال تفسدواىف االرض‬...


Janganlah engkau membuat kerusakan di bumi.
Dan firman Allah dalam QS. al-Qashash [28]: 77.

)77( ‫ين‬ ِِ ُّ ‫ إِ َّن اللَّهَ ال ُِي‬...


َ ‫ب الْ ُم ْفسد‬
Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.22
Di dalam kaidah tersebut sebenarnya telah tercakup be-
berapa kaidah, antara lain adalah:

‫الضرورات تبيح اخلظو رات‬


Kedaruratan itu membolehkan yang terlarang.
Maksudnya dalam keadaan darurat diberi keringan yakni
sekalipun melanggar beberapa ketentuan yang telah ada.

e. Kaidah Kelima

‫لض ُرْوَرةُ يـَْق ِد ُر بَِق ْد ِرَها‬ِ


َ ‫َوَما اَبِْي ُح ل‬
“Dan apa-apa yang dibolehkan karena darurat di ukur menurut ukur-
an kedaruratannya.”
Maksudnya adalah terpaksanya seseorang melanggar satu
ketentuan karena darurat, ukurannya hanya sekadar terlepas
dari bahaya tersebut.

‫العرف هو ما تعارفه لناسوساروا عليه من قول او فعل او ترك و‬


‫يسمى العادة‬
“Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik
berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu yang
demikian dinamakan adat”.
Dari definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa, se-

22
Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, h. 394.

139
ushul fiqh

gala kejadian yang terjadi terus-menerus dalam masyarakat


setempat, oleh para ulama dijadikan sebagai sumber hukum,
dengan syarat selama tidak bertentangan dengan Al-Qurʼan
dan Hadis.23

23
H. A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul fiqh (Satu dan Dua), h. 139.

140
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indo-


nesia Terlengkap, Cet. IVX; Surabaya: Pustaka Progresif,
2000.
Ahmad, Abi al-Husain. Mu’jam Maqayis al-Lughah, Jilid IV,
Dar-al-Fikr, 1979.
Anam, Khoirul. Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer,
Yogyakarta: Ida Pustaka, 2009.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Islam Dinamika dan Perkem-
bangannya di Indonesia Cet. I; Yogyakarta: Kreasi Total
Media, 2003.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqh, Edisi
IV Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Cet. II; Jakarta: Amzah,
2013.
Badran, Badran Abu al-‘Ainaini. Ushul Fiqh al-Islamiy Mesir:
Mu’assasah Syabab al-Iskandariyah, t.th..
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh , Edisi. I Cet. IV; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah. Sahih Bukha-
ri, Juz I, t.p: Dar Tauq al-Najah, 1422 H.
ushul fiqh

Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh, Cet. IV; Jakarta: AMZAH,


2016.
Departemen Agama RI, Al-Qurʼan dan Terjemahnya, Semarang:
Toha Putra, 2010.
Djalil, H. A. Basiq. S. H., M.A., Ilmu Ushul fiqh (Satu dan Dua),
Edisi Revisi, Cet; I. Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Gro-
up, 2010.
H.A. Djazuli, Ilmu Fiqhi Penggalian, Perkembangan, dan Pene-
rapan Hukum Islam, Cet. IV. Jakarta: Kencana-Prenada-
Media 2009.
Al-Dzarwy, Ibrahim Abbas. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam
Cet. I; Semarang: Toha Putra, 1993.
Efendi, Satria. M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. VII. Jakarta: Kencana-
PrenadaMedia Group, 2017.
Firdaus, Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam Secara Kompre-
hensif, Cet. I. Depok: PT Raja Grafindo, 2017.
Firdaus. Ushul Fiqh, “Metode Mengkaji Islam Secara Kompre-
hensif, Cet. I. Depok: PT RajaGrafindo, 2017.
Hajjaj, Muslim. Sahih Muslim, Juz IV Beirut: Dar Ihya Turats
al-Arabi, t.th..
Hanbal, bin Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz VI t.p:
Muassasah al-Risalah, 1421 H.
Haq, Hamka. Falsafat Ushul Fiqhi, Cet. I. Yayasan Ahkam: Ma-
kassar, 2000.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh I Cet. I. Jakarta: Logos, 1996.
Hasan, Ahmad. Pintu Ijtihad Tertutup. Bandung: Salman, 1994.
Hassan, Ahmad. Islamic Reserch Institute, diterjemahkan oleh
Aqah Garnadi dengan judul Pintu Ijtihad sebelum Tertutup,
Cet. I. Bandung: Pustaka, 1984.
Hassan, Husain Hamid. Nazariyat al-Maslahat fi al-Fiqh al-
Islamiyah. Mesir: Dar al-Wahdat al-‘Arabiyah, t.th..
Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum. Jakarta: Tintamas,
1990.
http://bicycleclubofjepara.blogspot.com/2011/06/perten-
tangan-dalil-syari-dan-kaidah.html. 4/16/2012.

142
daftar pustaka

Hubeis Umar. dan A. Yazid, Fiqh al-Lughah al-‘Arabiyah, Jilid


II Cet. IX. Surabaya Pustaka Progresif, 1985.
Al-Hudhari Bek. Ushul al-Fiqh, Maktabah Tija’riyah al-Kubra,
Cet. 6. Mesir: 1969.
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadits, Cet. Terakhir. Ang-
kasa: Bandung, 2000.
Ismail, Sya’ban Muhammad. al-Tasyri’ al-Islamy Mashadiruhu
wa Athwaruhu. Kairo: al-Nahdah al-Mishriyyah, 1985.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh, Cet. III. Semarang:
Dina Utama, 2005.
Al-Khallaf, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Cet. II. Beirut: Dar
al-Fikr, 2001.
Al-Khurasān, Abū ’Abd al-Raḥmān Aḥmad bin Syu’aib bin
’Alī. Sunān al-Ṣugrā li al-Nasā’iy, Juz. VI Cet. IV, II. t.t:
Maktabah al-Maṭbū’āt al-Islāmiyyah, 1986.
Misbahuddin, Buku Daras Ushul Fiqh II, Cet. I. Makassar:
Alauddin Universty Pess, 2014.
Mughsit, Abdul. Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Cet. I; Jakar-
ta:Kencana, 2008.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Kamus Arab
Indonesia, Cet. XVII. Surabaya: Pustaka Progressif, 2000.
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, Juz II. Beirut: Dar Ihya Tu-
rats al-Arabi, t.th..
Nata, Abuddin. Masail Fiqhiyah, Cet. I. Jakarta: Kencana-Pre-
nadaMedia 2003.
Romli, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh “Metode Penetapan Hukum
Islam”, Cet. I. Jakarta: Kencana-PrenadaMedia Group,
2017.
Shihab, Umar. Al-Qurʼan dan Kekenyalan Hukum. Semarang:
Dina Utama, 1993.
Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abi Daud, Juz III. Beirut: Makta-
bah al-Mishriyyah, t.th..
Supriyadi, Dedi. Sejarah Hukum Islam dari Kawasan Jazirah
Arab sampai Indonesia, Cet. I. Bandung: Pustaka Setia,
2007.

143
ushul fiqh

Syafe’i, Rachmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia,


1999.
Syafi’i, Imam. Al-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmadi Toha,
Cet. I. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II Cet. I. Jakarta: Logos,
1999.
Al-Syatibi, Abi Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz I.
Cairo: t.th..
Syihab, Umar. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Cet.
I.Semarang: Dina Utama, t.th..
Al-Taftazani, Syarh al-Talwik ‘ala al-Taudih, Juz II. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.th..
Usman, Suparman. Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Stu-
di Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Cet. II; Ja-
karta: Gaya Media Pratama, 2009.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul fiqh, Cet. VI. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Zaidan, Abd Karim. Al-Madkhal Lidirasat asy-syariat al-Islami-
yah. Dar Umar ibn al-Khattab, Cet. IV, 1969.
Zaidan, Abdul Karim. Al-Wajiz fi Ushul Fiqhi. Beirut: Penerbit
Mu’assasah Risalah, 2002.

144
tentanG penulis

Dr. Hj. Darmawati H., S.Ag., M.H.I., la-


hir di Welado-Bone pada tanggal 3 Juni
tahun 1971, menyelesaikan S-1, pada
tahun 1995. Di Fakultas Ushuluddin
Jurusan Akidah Filsafat IAIN Alauddin
Ujungpandang. Pada perguruan tinggi
yang sama menyelesaikan program S-2
mengambil dua konsentrasi yaitu Syariah
dan Hadis, pada 2003. Pada tahun 2015, telah menyelesaikan
studi S-3 dengan konsentrasi Syariah dan Hukum Islam, UIN
Alauddin Makassar.
Sejak 1998, sebagai dosen tetap pada Fakultas Ushulu-
ddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar. Menjabat sebagai
Sekretaris Jurusan Akidah dan Filsafat pada 2012 sampai
pada 2015. Sekarang menjabat sebagai Ketua Prodi/Jurusan
Akidah dan Filsafat Islam sejak 2015 sampai sekarang. Meng-
ampuh matakuliah ushul fiqh.
Karya-karya ilmiah yang pernah dipublikasikan anta-
ra lain: “Istihsan”; “Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam”;
“Faktor Penyebab Menurunnya Minat Masuk Prodi Filsafat Aga-
ushul fiqh

ma”; “Teori-teori Epistemologi”; “Hedonisme dalam Perspektif


Al-Qur’an (Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i)”; “Peranan Keluarga
dalam Lingkungan Sosial dan Hukum”; Konsep Wilayah Faqih
Menurut Pandangan Imam Khomeini”; “Aspek Hukum Perspek-
tif Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”; “Faktor Sosial Budaya dan
Fatwa ‘Ulama”; “Pluralitas Makhluk dan Keesaan Khalik, Man-
haj Bahsul Masail Menurut NU”; “Demokrasi dalam Islam sua-
tu tinjauan Fikih Siyasah”; “Respons Siswa Madrasah Terhadap
Paham Radikalisme”; “Dampak Psikologi keluarga terhadap Per-
ceraian”; “Perceraian dan Otonomi Perempuan”; “Nusyuz suami
istri sebagai bentuk Perceraian”; “Optimalisasi Mediasi terhadap
Perceraian Faktor Ekonomi Studi Kasus di Pengadilan Agama Ke-
las 1 A Makassar (2017)”; “Paham dan Sikap Keagamaan Siswi
terhadap Kewajiban Hijab/Jilbab: Studi perbandingan SMA dan
MAN di Kota Makassar tahun (2017); “Gender dan Perempuan
(2018); “Persepsi Komunitas Pesantren terhadap Prodi Aqidah
dan Filsafat (2018); Akad dalam Transaksi Ekonomi Syariah
(2018).

146

Anda mungkin juga menyukai