Anda di halaman 1dari 25

TUGAS

HUKUM KEWARISAN

“Kedudukan Ahli Waris Pengganti Berdasarkan Kompilasi


Hukum Islam”

OLEH:
1. Adinda Annisa Argaputri (I2L018001)
2. Dian Ramadhani (I2L018010)
3. Intan Syuhadaa Zain (I2L018022)
` 4. Lale Alifa Wining Sari (I2L018025)
5. Larissa Putri Alhayani (I2L018026)
6. Selma Achwania (I2L018039)
7. Wahyu Nur Febriani (I2L018042)

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji syukur kehadirat Allah SWT seru sekalian alam atas ridho, rahmat,
karunia dan kesehatan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini,
dengan judul “Kedudukan Ahli Waris Pengganti Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam”.
Salawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dengan
segala kelebihannya telah menuntun manusia meninggalkan zaman kebodohan.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan pahala yang berlipat kepada
semuanya, kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, dan
masih banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
kami harapkan untuk penyempurnakan makalah ini. Akhir kata, kami harap makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi penyusun sendiri, dan bagi kita semua, agama, nusa dan bangsa.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Penyusun

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 6
1.4 Landasan Teori. .......................................................................................... 6
A. Teori Kontrak .................................................................................. 6
B. Teori Legal System ........................................................................... 7
C. Teori Perlindungan Hukum .............................................................. 8
D. Teori Tanggung Jawab ..................................................................... 10
E. Teori Kepastian Hukum ................................................................... 11
1.5 Konsep Teoritik Tanggung Jawab Notaris Terkait Akta Perjanjian Kawin
Yang Mengandung Unsur Penyelundupan Hukum .................................... 12
A. Perkawinan Campuran ..................................................................... 12
B. Prosedur Pembuatan Perjanjian Kawin ............................................ 13
C. Perjanjian Pinjam Nama/Nominee ................................................... 17
D. Penyelundupan Hukum .................................................................... 18
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................................ 19
3.1 Konsekuensi Yuridis Terhadap Perjanjian Kawin Yang Klausulanya
Memuat Penyelundupan Hukum ................................................................... 20
3.2 Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Perjanjian Kawin Yang Memuat
Penyelundupan Hukum .................................................................................. 23
A. Tanggung jawab secara Perdata terhadap akta yang dibuatnya ........... 23
B. Tanggung jawab secara Pidana terhadap akta yang dibuatnya ............. 24
C. Tanggung jawab Notaris Secara Administrasi Terhadap Akta yang
Dibuatnya ............................................................................................. 24
D. Tanggung jawab Notaris Secara Kode Etik Terhadap Akta yang
Dibuatnya ............................................................................................. 24
E. Batas Waktu Tanggung Jawab Notaris Atas Akta Yang Dibuatnya .... 25
BAB III : PENUTUP ................................................................................................. 26
4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 26
ii
4.2 Saran ........................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hukum kewarisan Islam, adalah sebagai salah satu sistem hukum yang norma
dasarnya dibentuk sesuai sumbernya al-Qur’an dan al-Hadis, kedua sumber hokum
tersebut, yang secara khusus menunjuk ketentuan-ketentuan hukum kewarisan, oleh
cendekiawan muslim terdahulu diolah dan diramu serta dikontruksikan secara
sitematika melalui ijtihad dengan manhaj tertentu dan terbentuklah Fiqh al-Mawarits
yang berlaku bagi orang-orang muslim di dunia Arab pada khususnya dan di dunia
Islam pada umumnya.
Ahli waris pengganti disebutkan dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, merupakan hasil ijtihad para
mujtahid Indonesia yaitu Keputusan bersama tanggal 21 Maret 1985 Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Agama Republik Indonesia yang membentuk panitia
untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi hukum Islam
menyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan untuk selanjutnya akan
dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya.1
Hakikat Inpres tersebut merupakan aplikasi dari surat (QS:4:59)2 menyatakan
mengenai sumber hukum Islam terdiri dari kitabullah, As-Sunnah, dan Ijtihad.
Ayat inipun merupakan dasar hukum Islam lahirnya teori penaatan hukum3, bagi
umat Islam wajib taat kepada Allah SWT dan Rasulullah Saw, serta mengikuti
peraturan yang dibuat negara. Menurut Ichtijanto, bahwa taat kepada Allah SWT dan
taat kepada Rasul-Nya menggambarkan taat kepada syari’at Islam dan mengikuti ulil
amri adalah menggambarkan ketaatan seoarang muslim kepada ijtihad yang
dilakukan ulil amri untuk menjawab tantangan kebutuhan Karena perubahan dan
perkembangan.4

1
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 18.
2
Al-Qur’an surat An-Nisa: 59.
3
Teori penaatan hukum ini dikemukakan Ichtiyanto dalam Juhaya, Hukum Islam di Indonesia, PT.
Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 102. Lihat juga tulisan Sofyan mengenai “Pengembangan Hukum
Waris Islam di Indonesia”, dalam Jurnal “Wawasan Hukum” Volume 25 No. 2 September 2011.
4
Ichtijanto dalam Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, PT.
Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 103.

1
Asal kata”Waris” asal kata perkataan waris berasal dari kata bahasa Arab yaitu
“waris” secara gramatikal berarti “yang tinggal” maka dengan demikian apabila
dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan waris tersebut berarti orang-
orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati,
dan populer diistilahkan dengan ”ahli waris.”5 Dan dasar pokok hukum waris Islam
terdapat di dalam (Q:4 : 7) disebutkan sebagai berikut:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan
kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan”.
Ayat di atas merupakan aturan yang mengatur tentang adanya hak bagi para ahli
waris baik pria dan wanita atas pembagian harta peninggalan pewaris yang wafat,
berdasarkan ketetapan Allah SWT.6 Mengenai masalah peninggalan si pewaris yang
berupa harta bendanya atau miliknya maka, dapat diwariskan kepada ahli warisnya
sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku.7
Terjadinya waris mewaris dalam hukum kewarisan Islam, ada tiga sebab mewaris,
yaitu (a) karena perkawinan; (b) hubungan kekerabatan; (c) karena wala atau
“perwalian” kekerabatan yang timbul membebaskan perbudakan, 8 Karena
perkawinan yang sah menimbulkan hubungan kewarisan, jika seorang suami
meninggal dunia, maka istrinya atau jandanya mewarisi harta suaminya, demikian
juga jika seorang istri meninggal dunia, maka suaminya mewarisi harta istrinya.
Yang dimaksud dengan hubungan kekerabatan di sini adalah hubungan famili,
hubungan kekerabatan ini menimbulkan hak waris jika salah satu meninggal dunia.
Misalnya, antara anak dengan orang tuanya.
“Wala” yaitu hubungan hukmiah, suatu hubungan yang ditetapkan oleh hukum
Islam,9 karena majikan/tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidup merdeka
dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya, tegasnya jika seorang
tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang disebut
wala’ul ‘itqi, dengan adanya hubungan tersebut seorang menjadi ahli waris dari

5
Suhrawardi dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 52.
6
M. Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 32.
7
Ibid., hlm. 35.
8
Toto Suryana, dkk, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Tiga Mutiara, Bandung, hlm.
144.
9
Muhammad Ali as-Shabana, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, CV. Dipenegoro, Bandung, 1988,
hlm. 47.

2
budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan tidak
mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun
perkawinan, akan tetapi masa kini “wala” di Indonesia tidak ada.10 Menyangkut
kedudukan ahli waris pengganti mengandung sifat prinsip keadilan dalam hukum
Islam, yang diantaranya meliputi berbagai aspek kehidupan,11 termasuk dalam
hukum keluarga dan waris, Allah SWT memerintahkan manusia untuk berlaku adil
dalam segala hal, perintah adil berlaku bagi setiap orang tanpa pandang bulu,
termasuk dalam pembagian waris. Dalam warisan Islam mengalami perkembangan
pembentukan hukum waris sebagaimana dikemukakan Munawir Sjadzali, makin
meningkatnya semangat kembali kepada agama di kalangan masyarakat Islam di
Indonesia, tetapi harus diakui masih cukup banyaknya sikap “mendua” dalam
penaatan hukum Islam, artinya belum konsekuen.12
Dari segi prinsip keadilan dapat dilihat pendapat Munawir yang menyebutkan bahwa,
banyak keluarga yang mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan pre-empitiv,
(mendahului) pada masa hidup membagi-bagikan sebagian besar dari kekayaan
kepada anak-anaknya dengan bagian sama besarnya tanpa membedakan jenis
kelamin, sebagai hibah, atau di Kalimantan Selatan lebih dikenal dengan “wasiat
wajib” dengan demikian pada waktu pewaris meninggal, kekayaan tinggal sedikit
atau hampir habis, dalam kasus tersebut memang tidak terjadi penyimpangan, namun
apakah penaatan hukum Islam atau melaksanakan ajaran agama dengan semangat
seperti itu sudah betul?13
Terjadinya penyimpangan dari faraaid tersebut tidak selalu disebabkan oleh tipisnya
keyakinan terhadap agama tetapi dapat juga disebabkan oleh pertimbangan untuk
kebaikan dikemudian hari, tetapi diharapkan dapat memenuhi prinsip keadilan dalam
hukum Islam, yang membawa kebaikan dunia akhirat. Dari uraian tersebut terdapat

10
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 Bab 1 Maksud hukum kewarisan adalah, hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
yang menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing, kemudian, pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ahli waris, orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
11
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, PT. Lathifah Press, Fakultas Syari’ah IAILM Suryalaya,
Tasikmalaya, 2004, hlm. 72.
12
Munawir Sjadzali, Mantan Menteri Agama Republik Indonesia, dalam Kabinet pembangunan Tahun
1983-1988, 1988-1993, Reaktulisasi Ajaran Islam, artikel, hlm. 83.
13
Ibid.

3
beberapa permasalahan untuk dapat diteliti seperti adanya ahli waris pengganti dalam
hukum waris Islam, apakah ada hubungan kedudukan ahli waris dengan prinsip
keadilan dalam hukum Islam, baik dari segi prinsip keadilannya maupun dari
hukumnya.
Adapun identifikasi masalahnya adalah: Apa yang melandasi kedudukan ahli waris
pengganti dalam hukum Islam dan bagaimana hubungannya dengan teori Maslahah
Mursalah dalam hukum Islam.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagimanakah konsep ahli waris pengganti dalam system hukum kewarisan
islam?
2. Bagaimanakah pembagian warisan untuk ahli waris pengganti dalam kompilasi
hokum islam?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Sejalan dengan perumusan latar belakang yang telah diuraikan diatas, makalah
ini bertujuan untuk memahami Kedudukan Ahli Waris Pengganti Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam.

1.4 METODE PENELITIAN


1. Jenis penelitian
Dari masalah yang diangkat dalam penelitian ini, maka penelitian ini
dikategorikan sebagai penelitian hukum Normatif, yaitu mengkaji ketentuan
perundang-undangan (inabstracto) yang mengatur tentang Ahli Waris Pengganti
dalam hukum islam.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, ada tiga pendekatan yang digunakan antara lain sebagai
berikut :
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang
terkait dengan isu hukum yang penulis bahas dalam penyusunan penelitian

4
ilmiah ini. Hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan
perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis.14
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan permasalahan yang
diteliti.15

14
Mukti Fajar ND dan Yulianti Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 185.
15
Ibid., hlm. 186.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SYSTEM HUKUM KEWARISAN


ISLAM
1. Ahli Waris Pengganti atau penggantian tempat ahli waris
2. Ahli Waris Pengganti dalam Konsep Fikih Klasik
Konsep Fikih Klasik seperti as-Sarakhsiy dalam al-Mabsut, Imam Malik dalam al-
Muwatto, Imam Syafi’i dalam al-Umm, dan Ibn Qudamah dalam al-Mugni, tidak dikenal
istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. Tetapi Syamsuddin
Muhammad ar-Ramli dalam karyanya,16 mencatat :
a. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dapat menggantikan ayahnya, sedangkan cucu dari
anak perempuan tidak mungkin.
b. Cucu tersebut baru dapat menggantikan orang tuanya apabila pewaris tidak
meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup.
c. Hak yang diperoleh pengganti belum tentu sama dengan hak orang yang digantikan
tetapi mungkin berkurang.
Istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sesungguhnya telah dikenal
dalam hukum Islam, jadi kurang tepat apa yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro,
bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal ahli waris pengganti.17
Muhammad Amin al-Asyi 18mencatat : “cucu dari anak laki-laki adalah seperti anak laki-
laki, hanya ia tidak mendapat dua kali bahagian bersama anak perempuan. Cucu
perempuan dari anak laki-laki adalah seperti anak perempuan, kecuali ia dapat
terhalang dengan adanya anak laki-laki. Nenek perempuan adalah seperti ibu, hanya ia
tidak dapat menerima 1/3 atau 1/3 sisa. Kakek adalah seperti ayah, kecuali ia tidak dapat
menghalangi saudara seibu-sebapak dan saudara sebapak. Saudara laki-laki sebapak
adalah seperti saudara laki-laki seibu-sebapak, kecuali ia tidak menerima dua kali

16
Al-Ramli dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Fikih Kontemporer di Indonesia (studi tentang Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2010). hal. 351
17
Wirjono Prodjodikoro selengkapnya menyatakan “ menurut tafsiran yang sampai sekarang hampir merata
dianut, maka hukum Islam tidak kenal penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini, maka
didaerah-daerah yang pengaruh hukum Islam ada agak kuat, mungkin masih menajadi persoalan, apakah
penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ini diakui oleh masyarakat. Lihat Wirjono Prodjodikoro,
Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1976), Cetakan ke 5, hal. 43
18
Muhammad Amin al-Asyi dalam A. Wasit Aulawi, Sistem Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris,
(Jakarta : UI Depok, 1992), hal. 12

6
banyaknya, bersama saudara perempuan sebapak. Saudara perempuan sebapak adalah
seperti saudara perempuan seibu-sebapak, kecuali ia dapat terhalang dengan adanya
saudara laki-laki seibu-sebapak.19 Berdasarkan pendapat diatas, dapat dipahami bahwa
istilah penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti telah lama dikenal dalam
konsep fikih klasik, hanya saja bentuk penggantiannya yang.
Konsep ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam, yang termasuk ahli waris pengganti adalah
semua keturunan, ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris.
Maksudnya, ahli waris pengganti berlaku tidak hanya untuk keturunan ke
bawah saja, akan tetapi ahli waris keturunan ke samping (saudara).
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam jumlah bagian yang diterima waris
pengganti tidak boleh melebihi (maksimal sama) dari bagian yang seharusnya
yang diganti. Hal tersebutsejalan dengan pendapat Hazairin bahwasannya
dalam persoalan keutamaan yang telah dirumuskan dalam persoalan
keutamaan yang telah dirumuskan dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
kedudukan ayah dan anak beserta keturunannya harus lebih diutamakan.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam kedudukan cucu baik keturunan laki-laki
maupun keturunan perempuan sama-sama berhak menggantikan kedudukan
ayahnya. Jadi, dari rumusan ini dapat diketahui sistem kewarisan yang
digunakan dalam KHI sudah mengalami pergeseran dari sistem kewarisan
Sunni.
3. Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud
Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang meninggal
lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya sebagai ahli waris dapat digantikan
oleh anaknya.
Jadi anak dari yang seharusnya menjadi ahli waris yang meninggal lebih dahulu
dari pewaris, itulah ahli waris pengganti. Anak dari ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pewaris dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris
dengan syarat anak itu tidak terhalang menjadi ahli waris, seperti yang disebut dalam
pasal 173.

19
Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 352

7
Disebutkan juga dalam KHI, bahwa bagian bagi ahli waris pengganti belum tentu
sama jumlahnya dengan ahli waris yang digantikan sekiranya ia masih hidup, karena ada
disyaratkan bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Memperhatikan Pasal 185 KHI, A. Sukris Sarmadi menyebutkan : “Ahli waris
pengganti/penggantian tempat ahli waris adalah ahli waris yang menggantikan
kedudukan ahli waris, yang didalam situasi tertentu sama pengertiannya Hazairin dan
sistem pewarisan mawali, tetapi bersyarat, yakni tidak boleh melebihi bahagian orang
yang sederajat dengan orang yang diganti, dan ada kemungkinan semakna dengan
Syi’ah dalam hal menggantikan kedudukan orang tua mereka, tetapi tidak terhijab
dengan orang yang sederajat dengan orang yang diganti. 20
Berdasarkan pengertian diatas, yang dimaksud dengan ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris itu adalah ahli waris dari ahli waris yang diganti (orang
yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pada si pewaris). Itu berarti tidak hanya anak
dari ahli waris yang telah meninggal terlebih dahulu, seperti yang tertera di dalam Pasal
185 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
Hal ini dapat dilihat dari penyamaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat
ahli waris itu dengan ahli waris mawali menurut pendapat Hazairin, yaitu mawali (ahli
waris pengganti) adalah berupa nama yang umum dari mereka yang menjadi ahli waris
karena penggantian, yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena tidak ada lagi
penghubung antara mereka dengan si pewaris. 21
Istilah penghubung antara mawali dengan sipewaris ini bisa diartikan dengan ahli
warisnya, bila demikian halnya, maka dimungkinkan terjadi pada tiga arah hubungan
kekerabatan, yaitu hubungan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Dengan demikian ahli
waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam KHI itu disimpulkan mencakup
tiga arah hubungan kekerabatan tersebut.
Imran AM. Menyatakan bahwa sistem kewarisan yang dianut Kompilasi Hukum
Islam adalah sistem kewarisan bilateral sesuai dengan Q.S. An-Nisa (4): 7 dan 11, yaitu
baik anak laki-laki maupun anak perempuan, demikian juga cucu dari anak laki-laki
maupun cucu dari anak perempuan adalah sama-sama dinyatakan sebagai ahli waris.
Berbeda halnya dengan sistem kewarisan yang dianut fikih Sunni yang menyatakan

20
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1970), Cetakan ke I, hal. 165-166
21
Hazairin 1. Op.Cit. hal. 32

8
bahwa cucu dari anak perempuan dinyatakan tidak sebagai ahli waris (zawil arham),
sedangkan cucu dari anak laki-laki tetap sebagai ahli waris.22
Departemen Agama RI telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Analisis
Hukum Islam Bidang Kewarisan”. Didalam buku tersebut dinyatakan : “Walaupun tidak
bersifat memaksa, pencatuman ketentuan ini (ahli waris pengganti) di dalam Kompilasi
Hukum Islam secara tidak langsung akan bersinggungan dan mengubah banyak aturan
didalam faraid (fikih kewarisan Islam).” Bila bahagian ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris sama besarnya dengan bahagian ahli waris yang diganti (mawali),
dimana kedudukan ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris sama dengan
ahli waris yang diganti dalam menerima bahagian harta warisan pewaris, maka demikian
juga halnya kedudukan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam
masalah hijab mahjub (mendiding dan didinding).
Ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris itu akan menghijab setiap
orang yang semestinya dihijab oleh orang yang digantikannya. Hal ini berlaku umum,
tanpa membedakan jenis kelamin ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris
itu, apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya kedudukan cucu sebagai ahli waris
pengganti, tanpa membedakan jenis kelamin mereka ( laki-laki atau perempuan) dapat
menghijab saudara. Dalam Pasal 185 KHI, kata anak disebut secara mutlak, tanpa
keterangan “laki-laki atau perempuan”. Ini berarti, kalau ada anak, tanpa membedakan
laki-laki dan perempuan, maka anak tersebut dapat menghijab hirman (menutup total)
terhadap saudara-saudara kandung ataupun paman pewaris. Sedangkan menurut fikih
klasik (sunni) yang berlaku di Indonesia selama ini, kalau anak tersebut perempuan
hanya dapat menghijab nuqsan (mengurangi bagian ahli waris asabah).23
Kata anak secara mutlak, tanpa membedakan laki-laki dengan perempuan, seperti
dalam KHI, nampaknya didasarkan kepada kajian kata walad yang tercantum dalam
Q.S.An-Nisa (4): 176 : Menurut riwayat dari Umar ibn Khattab. Dari Ibn Jarir dan juga Ibn
‘Abbas dan Ibn Zubair; dalam riwayat Ibn Jarir, mereka berpendapat bahwa makna kata
walad yang ada dalam ayat tersebut meliputi anak laki-laki dan anak perempuan.
Bahkan kata walad dalam ayat tersebut, bukan hanya dipergunakan dalam pengertian
anak tapi juga mencakup bapak. Hal ini didasarkan atas putusan Abu Bakar RA,
kemudian dianut oleh Jumhur Ulama. Berdasarkan penafsiran ini, ayat diatas bisa berarti

22
Imran, A.M, “Hukum Kewarisan dan Hibah dalam Kompilasi Hukum Islam” dalam AlHikmah dan
DITBINBAPERA Islam, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII – 1996, (Jakarta: Al-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam, 1996), hal. 45
23
Asawi Ahmad Aswi dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 358

9
: Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak, bapak juga, dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya.” Jika dalam satu kasus, seseorang meninggal dan
meninggalkan ayah dan saudari perempuan, maka saudari perempuan itu tidak
mewarisi sama sekali, karena mahjub (terdinding) oleh bapak. Hal ini disepakati ulama.
Penggunakan kata walad untuk pengertian anak sudah dijelaskan berdasarkan nas,
sedang penggunaan kata walad untuk pengertian bapak adalah bersifat ijtihadi
(taammuli). 24
Rachmad Budiono menyatakan, bahwa Kompilasi Hukum Islam merumuskan
ketentuan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris didasarkan pada
pendapat Hazairin, yang dipandang sebagai pencetus gagasan tentang ahli waris
pengganti/ penggantian tempat ahli waris dalam hukum waris Islam. 25Menurut Ismuha,
Hazairin adalah orang yang pertama kali mengeluarkan pendapat bahwa cucu dapat
menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris,
meskipun pewaris memiliki anak laki-laki lain yang masih hidup.26 Pendapat Hazairin itu
didasarkan atas analisanya terhadap Q.S.An-Nisa (4): 33, dimana kata-kata mawali
diartikan sebagai ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris, yaitu ahli waris
yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan
diperoleh oleh orang yang digantikan itu seandainya masih hidup. 27
Sayuti Thalib, sebagai murid Hazairin, menjelaskan tentang mawali sebagai ahli
waris pengganti, menarik 4 (empat) garis hukum, yaitu :
a. Dan bagi setiap orang, kami (allah SWT) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti/ penggantian tempat ahli waris) untuk mewarisi harta peninggalan ibu
bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
b. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali untuk mewarisi
harta peninggalan aqrabun-nya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu).
c. Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peninggalan dalam seperjanjiannya.
d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.28

24
Ibn Kalir dalam Ramlan Yusuf Rangkuti, Op. Cit, hal. 356
25
A.Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditiya
Bakti, 1999), hal. 22
26
Ismuha, Penggantian Tempat dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata, Hukum Adat dan Hukum Islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1978), hal. 81
27
Hazairin 1, Op.Cit. hal. 29-31
28
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1982), hal. 27

10
Amrullah Ahmad memberikan pendapat atas Teori Hazairin yang menyatakan
bahwa dalam sistem kewarisan bilateral ahli waris dibagi kepada 3 (tiga) golongan,
golongan Zawi al-Faraid, Zawi al-qarabah dan mawali (ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris) :
a. Mawali adalah sebagai ahli waris pengganti.
b. Mawali menerima bagian sebanyak yang diterima oleh orang tuanya seandainya
mereka masih hidup.
c. Mawali yang berkedudukannya sama dalam satu jurai akan berbagi diantara
mereka menurut prinsip bagian seorang anak laki-laki memperoleh dua bagian dari
anak perempuan.
b. Penggantian ini merupakan prinsip yang bersifat umum dan terbuka sampai
keturunan yang terbawah.
c. Hijab mahjub hanya berlaku dalam satu jurai.
d. Yang digantikan maupun yang menggantikan tidak dibedakan antara laki-laki dan
perempuan.29
Muhammad Daud Ali menyatakan bahwa yang menjadi dasar memasukkan ahli
waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris ke dalam Kompilasi Hukum Islam adalah
memberlakukan asas keadilan yang berimbang, karena keadilan merupakan salah satu
tujuan hukum disamping kepastian hukum dan perikemanusiaan.30
Menurut Aristoteles keadilan adalah kebaikan yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia. Adil berarti menurut hukum ada apa yang dibanding, taitu yang
semestinya atau keadilan berimbang. 31
Adanya keseimbangan antara berbagai kepentingan sehingga tidak terjadi
benturan-benturan dan untuk itu perlu ada aturan-aturan. Oleh sebab itu perlu ada
suatu rumusan hukum yang dapat bertindak sebagai wasit jika terjadi
perbedaanperbedaan diantara pemilik kepentingan tersebut.
Prinsip Hukum Islam dalam menerapkan suatu hukum adalah berupaya
mewujudkan keadilan, sebab sistem hukum yang tidak punya akar subtansial pada
keadilan dan moralitas akhirnya akan ditinggalkan oleh masyarakat.32

29
Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dan Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Gema Insani Press, 1996),
hal. 65-66
30
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Huku Islam di Indonesia, (Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 292
31
Dardji Darmonodiharjo dan sidharto, Pokok-pokok Filasafat Hukum, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1999), hal. 154
32
Fatthurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos WacanaIslam, 1999), hal. 75

11
Nampaknya pada prinsip inilhah diletakkan rumusan ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris seperti tersebut pada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam
yang menjadi motivasi pelembagaan waris pengganti berdasarkan atas rasa keadilan
dan perikemanusiaan dimana cucu menerima warisan dengan jalan penggantian. Selain
didasarkan atas tujuan hukum Islam tersebut, menurut Daud Ali, Ulama Indonesia
menerima rumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam itu, karena dalam fikih mawaris
selama ini telah diterapkan lembaga wasiat wajibah yang diperuntukkan bagi cucu yang
orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.33
Berbeda dengan pandangan Daud Ali diatas, M. Yahya Harahap berpendapat
bahwa sumber utama yang digunakan dalam perumusan Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, seperti ditafsirkan oleh Hazairin. Bahkan dalam
pelembagaan Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tersebut, ia mencatat :
a. Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum adat atau nila-
nilai hukum Eropa.
b. Cara perkembangannya tidak mengikuti pendekatan berbelit melalui bentuk wasiat
wajibah seperti yang dilakukan beberapa negera seperti Mesir, tapi langsung secara
tegas menerima konsepsi yuridis waris pengganti (plaatsvervulling) baik dalam
bentuk dan perumusan.
c. Penerimaan lembaga ini tidak secara bulat, tetapi dalam bentuk modifikasi, dalam
acuan penerapan : - Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti. - Jika kalau waris pengganti seorang saja,
dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan, agar bagiannya
sebagai ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian saudara perempuan
ayahnya, harta warisan dibagi dua diantara ahli waris pengganti dengan bibinya.
34
Berbicara masalah motif pelembagaan ahli waris pengganti/ penggantian tempat
ahli waris yang didasarkan atas rasa keadilan dan perikemanusiaan, M. Yahya
Harahap mempertanyakan : patutkah melenyapkan hak seorang cucu oleh karena
ditinggal yatim, melarat dan miskin untuk memperoleh apa yang semestinya
menjadi bagian bapaknya. Tentu tidak layak dan tidak adil dan tidak manusiawi
menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus
diperoleh ayahnya hanya karena faktor takdir dari Allah SWT ayahnya lebih dahulu

33
M. Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada, 1993), hal. 297
34
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Memfositifkan Abstraksi Hukum Islam
dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 24 Tahun VII, (Jakarta : AlHikmah dan Ditbinbapera
Islam, 1996), hal. 55

12
meningga dari kakeknya. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fakta, pada saat kakek
meninggal, anak-anaknya semua sudah kaya dan mapan.35
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, bahwa pemberlakuan Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam tersebut bersifat tentatif, bukan imperatif. Oleh karena itu
sangat besar peran dari Para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dalam
menentukan atau menetapkan ahli waris pengganti atau penggantian tempat ahli waris.

2.2 PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI MENURUT KOMPILASI


HUKUM ISLAM

Al-Qur’an Surah Annisa’ ayat 33 diatas, mengandung 4 garis hokum, yaitu :


1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk
mewaris) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewaris harta
peninggalan itu); 2) bagi seriap orang Allah telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) dari (untuk mewaris) harta peninggalan aqrobunnya (yang tadinya akan
mewarisi harta peninggalan itu); 3) bagi setiap orang Allah telah menjadikan mawali
(ahli waris pengganti untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang
tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); 4) atas alasan dimaksud dalam garis
hokum nomer 1 2 dan 3 diatas, maka berikanlah kepada mereka (mawali) bagiannya
masing-masing.36
Dalam Kompilasi Hukum Islam adanya asas-asas kewarisan islam yaitu asas
ijbari (pemaksaan), dalam kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta
dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya
menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atau
permintaan dari ahli warisnya, asas bilateral mengandung arti bahwa harta warisan
beralih kepada atau melalui dua arah yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan
pihak kerabat garis keturunan perempuan, asas individual mengandung arti bahwa

35
Ibid, hal. 56
36
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 37-38.

13
harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan, asas keadilan
berimbang diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaaan.37
Adapun asas keadilan berimbang dimasukkan dalam pasal 185 Kompilasi
Hukum Islam tentang ahli waris pengganti yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam pasal 173.
2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
Dari ketentuan Kompilasi Hukum Islam di atas, jelas bahwa Kompilasi Hukum
Islam mengikuti faham Hazairin dengan catatn bahwa bagian ahli waris pengganti
tersebut tidak boleh melebihi bagian dari ahli waris yang digantikannya. Perlu
diperjelas dalam pasal tersebut adalah ahli waris. Melihat ketentuan umum Pasal 171
huruf (c) Kompilasi Hukum Islam adanya sebab kewarisan adalah garis dan
perkawinan. maka pertanyaannya ahli waris dalam pasal ini berlaku untuk kedua jalur
tersebut atau hanya dari garis keturunan saja. Jika berlaku ahli waris dari jaulur
perkawinan, maka suami atau isteri yang meninggal terlebih dahulu dapat pula
digantikan kedudukannya sebagai ahli waris oleh anak bawaannya yang tidak ada
hubungan darah dengan pewaris. Dilihat dari penerapannya, ahli waris pengganti
hanya berlaku pada garis keturunan saja.38
Adapun analisis mengenai cucu oleh Profesor Hazairin dalam sistem
penggantian tempat (ahli waris pengganti) merupakan jalan yang sangat tepat untuk
mengatasi masalah hukum kewarisan Islam yang condong kepada keturunan laki-laki.
Dalam buku beliau tersebut dikatakan bahwa garis pokok penggantian itu tidak ada
sangkut pautnya dengan ganti mengganti. Dia hanyalah cara untuk menunjukkan
siapa-siapa ahli waris. Tiap-tiap ahli waris itu berdiri sendiri sebagai ahli waris. Dia
bukan menggantikan ahli waris lain sebab penghubung tidak ada lagi bukan ahli waris,
sehingga soal representasi ataupun substitusi tidak ada.39

37
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm. 26
38
Mukhsin Asyrof, Memahami Lembaga Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan KHI
(Yogyakarta: Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, 2011), hlm. 26
39
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.
136

14
Menurut ketentuan dalam pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, ahli waris yang
meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya dengan ketentuan bagian ahli waris pengganti tersebut tidak melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dari ketentuan tersebut, jelaslah
pada prinsipnya kedudukan setiap ahli waris yang meninggal lebih dulu dari pewaris
dapat digantikan oleh anaknya, dan dapat dikatakan jelas dan pasti akan mendapat
warisan dari pewaris yang bagiannya sama atau tidak boleh melebihi bagian ahli waris
yang sederajat dengan yang digantinya.
Penerimaan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam termasuk
hukum adat yang telah diterima oleh hukum Islam seperti konsep teori receptive a
contrario40 Sajuti Thalib tersebut. Dalam sejarah disahkannya pasal ahli waris
pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam KH. Azhar Basyir yang memimpin rapat
penyusunan KHI tersebut dan pasal ahli waris pengganti disahkan melalui kesepakatan
para ulama dan perguruan tinggi.41 Hak waris dalam pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam ditafsirkan hanya sebatas cucu, tetapi dalam praktiknya cucu dialihkan
kedudukannya sebagai ahli waris sebagai anak dari si pewaris.42
Mengenai alasan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam Kompilasi
Hukum Islam tidak ada kejelasan yang pasti dalam hal ini, adanya pro dan kontra
terhadap penetapan tersebut. Terkait dengan adanya pencantuman ketentuan ahli waris
pengganti, maka dalam pendapat lain diketahui bahwa adanya bantahan dari Prof.
wasit Aulawo, MA dan Prof. Dr. Daud Ali di hadapan peserta pendidikan Hakim
Senior Angkatan II Tahun 1992/1993 di Tugu Bogor juga bantahan dari K.H. Azhar
Basyir, MA di hadapan Majelis Ta’limnya di Yogyakarta dan pengecekan langsung
dari beberapa ulama yang duduk dalam Tim perumus tentang ahli waris pengganti.
Diyakini bahwa pasal ahli waris pengganti bukan atas hasil kesepakatan Ulama.43
Mawali atau ahli waris pengganti sebagai pemikiran hukum adat diatur dalam
surat an Nisa ayat 33 adalah ahli waris yang mengganntikan kedudukan orangtuanya
yang sudah meninggal itu adalah meninggal lebih dahulu dari walidannya atau

40
Teori Receptie a Contrario adalah hubungan hukum adat dengan hukum Islam, Sayuti Thalib
menemukan kesimpulan bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam, hukum adat berlaku jika tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, Habiburrahman, op. cit, hlm. 16.
41
m.kompasiana.com/post/read/457734/1/ahli-waris-pengganti-dalam-khi.html. (diakses 12 Maret 2015).
42
Habiburrahman, “Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”, (Disertasi Pascasarjana UIN
Sunan Gunung Jati Bandung, 2011), hlm. 31
43
Mmadalvisyahrin.blogspot.com/2014/11/problematika-pasal-185-kompilasihukum.html?m=1 (diakses
13 Maret 2015)

15
aqrobunnya, karena ahli waris biasa sudah diatur oleh ayat lain. Dengan demikian tidak
ada pelanggaran terhadap asas ijbari karena ahli waris pengganti pada hakikatnya juga
ahli waris. Asas ijbari dalam arti ahli waris tidak perlu dimintai persetujuannya lebih
dahulu.44 Jadi, konsep ahli waris pengganti di dalam Kompilasi Hukum Islam dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1) Dalam Kompilasi Hukum Islam yang termasuk ahli waris pengganti adalah dalam
garis keturunan saja dan tidak berlaku untuk garis perkawinan, seperti dalam
setiap kasus ditetapkannya ahli waris pengganti dikhususkan untuk cucu.
2) Dalam Kompilasi Hukum Islam bagian yang diterima ahli waris pengganti tidak
boleh melebihi atau boleh sama dari bagian ahli waris sederajatnya. Hal tersebut
sejalan dengan telah diterapkan dalam Penetapan Pengadilan Agama Makassar
Nomor 3/Pdt.P/2011/PA.Mks, yang ditetapkan sebagai ahli waris St. Hawang
adalah anak-anaknya dan 2 (dua) orang cucunya yang menggantikan tempat
ibunya.
3) Dalam Kompilasi Hukum Islam kedudukan cucu baik cucu dari garis keturunan
laki-laki maupun garis keturunan perempuan berhak menjadi ahli waris pengganti.
Dari pernyataan tersebut sistem kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam
menganut asas keadilan seimbang,45 tanpa membedakan lakilaki dan perempuan
atau tidak mengenal dzawil arham.
4) Dalam Kompilasi Hukum Islam cucu dijadikan posisinya sebagai anak dari si
pewaris bukan cucu. Jadi, rumusan ini dapat diketahui adanya penggantian tempat
dalam kewarisan Kompilasi Hukum Islam.
Untuk lebih jelasnya, dapat melihat bagan di bawah ini :

44
Mukhsin Asyrof, Memahami Lembaga Ahli Waris Pengganti dalam Hukum Kewarisan KHI
(Yogyakarta: Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, 2011), hlm. 29
45
Asas keadilan seimbang adalah keseimbangan antara hak hak dan kewajiban dan
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Amir Syarifuddin, op.
cit, hlm. 26.
16
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Bahwa sebagai Pejabat Umum, Notaris harus lebih menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam menangani para penghadap yang hendak dimintakan membuat akta,
Notaris juga seharusnya lebih dapat bersikap tegas untuk dapat memillah dan
menolak membuat akta apabila akta tersebut berindikasi perbuatan melawan hukum
atau melanggar ketentuan Undang-undang yang dapat merugikan para pihak, negara
bahkan Notaris itu sendiri.

18
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Bandung : PT Refika Aditama.

Adjie, Habi , 2008, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Bandung : PT
Refika Aditama.

Adjie, Habib, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung : PT Refika
Aditama.

Adjie, Habib, 2013, Sanksi Perdata dan Adminitratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Bandung : PT Refika Aditama.

Adjie, Habib , 2015, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara,
Bandung : PT Refika Aditama.

Adjie, Habib , 2015, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Bandung : PT


Refika Aditama.
Anshori, Abdul Ghofur, 2013, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan
Etika), Yogyakarta : UII Press.
Dewi, Santia dan Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Darus, Luthfan Hadi, 2017, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris,
Yogyakarta: UII Press.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, 2007, Bandung: Mandar Maju.
Harris, Freddy dan Leny Helena, 2017, Notaris Indonesia, Jakarta: PT Lintas Cetak
Djaja.
HS, Salim, 2016, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris,
Bentuk, dan Minuta Akta), Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
_________, 2017,Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penusunan Kontrak, Jakarta:
Sinar Grafika.
HS, Salim, dkk, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandun of Understanding (MoU),
Jakarta : Sinar Grafika.

19
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, 2014, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Kementerian Hukum dan HAM RI, 2014, Undang-Undang Jabatan Notaris, Bandung:
Fokusindo Mandiri.
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Bandung: Mandar Maju.
Subekti, R, 1980, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa.
Prawirohamidjojo, Soetojo, dan Martalena Pohan. 2000. Hukum Orang dan Keluarga.
Surabaya: Airlangga University Press.
Prawirohamidjojo, Soetojo, 2002, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, 2000, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Supriadi, 2010, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.
Thamrin, Husni, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, Yogyakarta :
LaksBang PressIndo.
Tobing, G,H,S, Lumban, 1993, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga.
B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. TLN No. 4432
Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. TLN No. 5491
Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. TLN No. 3019
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
C. Skripsi
Wahyu Nur Febriani, 2017, Tanggung Jawab Notaris Pengganti Terhadap akta yang
dibuatnya, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Mataram, Mataram.
Sonia Carolline Batubara, 2017, Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk Perlidungan Hukum
Bagi Para Pihak Dalam Perkawinan Menurut Hukum Positif, Program Studi
Ilmu Hukum, Universitas Mataram, Mataram.
D. Internet

20
Andina Damayanti Saputri, www.google.com, Perjanjian Nominee Dalam Kepemilikan
Tanah Bagi Warga Negara Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia, 2015.
Chandra Lesmana, www.google.com, Tanggung Jawab Hukum Notaris Terhadap
Pembuatan Akta Perjanjian Nominee Saham, 2018.
Endah Pertiwi, www.google.com, Tanggung Jawab Notaris Akibat Pembuatan Akta
Nominee Yang Mengandung Perbuatan Melawan Hukum Oleh Para Pihak,
2018.
Issak Laurens, www.google.com, Tugas dan Tanggung Jawab Notaris Menurut UUJN,
2009.
Nurzakia, www.google.com, Praktek Perkawinan Campuran di Kota Sabang, 2017.

21

Anda mungkin juga menyukai