Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

MUNAKAHAT (PERNIKAHAN DALAM ISLAM)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu tugas


Pendidkan Agama Islam

Oleh :
- Dini Agita Maulana
- Miranti Ningrum
- Asriyah Imas
- Lindry Andriani
- Ryan Kristiawan
- Marudin
- Nanang

(RUANG B618)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PAMULANG 2015


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Munakahat (Pernikahan dalam Islam)”.

Makalah ini berisikan materi tentang “Munakahat (Pernikahan dalam Islam)”,


pembahasannya mulai dari pengertian nikah, hukum nikah, syarat dan rukun nikah, sampai
kepada membahas tentang talak atau perceraian yang dilihat dari pandangan agama Islam.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan gambaran kepada kita semua khususnya tentang
pernikahan dalam Islam itu sendiri.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Pamulang, 20 Nopember 2015

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………. ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………. 1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………… 2
C. Tujuan Pembahasan.............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………… 3

A. Pengertian Nikah……………………………………………………………………………………………… 3
B. Hukum Nikah……………………………………………………………………………………………………. 6
C. Rukun Nikah…………………………………………………………………………………………………….. 9
D. Talak………………………………………………………………………………………………………………… 11
E. Syarat Talak…………………………………………………………………………………………………….. 16
F. Rukun Talak........................................................................................................... 18
G. Pendapat-Pendapat Tentang Talak Tiga………………………………………………………….. 19
H. Macam-Macam dan Proses Bercerai……………………………………………………………………………... 25
I. Talak, Mengharamkan Berkumpul Dengan Istri………………………………………………. 27
J. Bersumpah Menurut Sumpah Orang Islam……………………………………………………… 28
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………………………………………. 29

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………. 29

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………….. 30
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara garis besar hukum syariat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Hukum I’tiqad, yaitu segala hukum yang berkaitan dengan pembinaan aqidah yang
benar, penanaman keimanan kepada Allah SWT, keimanan kepada hari akhir, dan segala
berita ghaib. Semua itu disampaikan kepada kita melalui wahyu Tuhan dan kitab-kitab
yang diturunkan-Nya kepada para Nabi dan Rasul.
2. Hukum syara’ atau hukum amaliah menurut tradisi ulama fiqh, yaitu hukum yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan segala tindakannya, tidak dalam ibadah
maupun muamalat. Hukum ini dibagi dua macam dan masing-masing mempunyai
karakter khusus, yaitu sebagai berikut:
a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur interaksi antara manusia dan Tuhan
b. Hukum muamalat, adalah hukum yang berlaku antara sesama manusia.
Dari sini tampak bahwa muamalat dalam fiqh Islam dapat dipahami secara umum
menyangkut segala permasalahan yang akan dipelajari seperti pernikahan, talak,
persusunan, nafkah, pemberian/hibah, wasiat, wakaf, dan harta warisan. Semua itu tidak
lepas dari sisi hukum yang mengatur hubungan interaksi hubungan antar individu dan
masyarakat. Bagian ini ditetapkan ulama ahli fiqh ( fuqaha’) dalam Islam.
Pada masa kontemporer ini timbul pembagian baru bahwa hukum-hukum yang
berkaitan dengan pernikahan, talak, nafkah, keturunan, dan lain-lain disebut al-ahwal asy-
syakhshiyah (hukum keluarga, perorangan, dan harta waris) sebagai perbandingan hukum
madaniyah (mengatur hubungan manusia dalam bidang kekayaan dan pembelanjaan) dan
hukum jinayah (kriminal) dengan segala macamnya, diantaranya berkaitan dengan jiwa,
kehormatan, harta, dan agama.
Pembandingan baru ini sebagai produk perkembangan ilmu-ilmu dan bidang-
bidangnya, perkembangan pembahasan, studi fiqh, dan perundang-undangan di era modern
yang disebut dengan era berbagai bidang ilmu dan berbagai jurusan.
Dengan demikian, al-ahwal asy-syakhshiyah dimaksud adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan seseorang sebagai pribadi, seperti pernikahan. Pernikahan ini
sesungguhnya bersifat pribadi, tidak ada hubungan dengan harta, tidak ada hubungan
dengan permusuhan dan tidak ada hubungan dengan Negara, dan seterusnya. Diantaranya
adalah hal yang berkaitan dengan nikah, talak, masa menunggu (‘iddah), kembali nikah
(ruju’), dan sebagainya.
Termasuk pemahaman al-ahwal asy-syakhsyiyah adalah nasab (keturunan) dan ahli
waris. Misalnya, seseorang berstatus sebagai bapak,anak, saudara, dan lain-lain. Seseorang
berstatus sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan atau terhalang (mahjub)
tidak mendapat harta warisan. Adapun pemberian (hibah) dan wasiat tidak tampak banyak
masuk dalam al-ahwal asy-syakhshiyah. Keduanya hanya dipersamakan dengannya karena
keduanya tergolong tindakan mandiri dalam harta.
Atau dapat dikatakan bahwa wasiat dan waris adalah sari satu jenis, karena masing-
masing memiliki tambahan serta kematian. Hibah transaksi kebaikan seperti wasiat
dimaksdukan seperti wasiat dimasukkan ke dalam wilayah al-ahwal asy-syakhshiyah.
Namun yang utama, hibah termasuk kategori muamalat seperti utang piutang dan pinjam-
meminjam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian nikah?
2. Apa syarat, rukun, dan hukum nikah?
3. Bagaimana cara dan bentuk pernikahan?
4. Apa syarat dan rukun talak?
5. Apa macam-macam dan proses perceraian?
6. Apa saja masalah-masalah perkawinan yang berkembang dimasyarakat?

C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dari makalah ini:
1. Untuk mengetahui pengertian dari nikah.
2. Untuk mengetahui apa saja syarat dan rukun dari nikah dan talak.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara dan bentuk dari pernikahan.
4. Untuk mengetahui apa saja macam-macam dan proses perceraian.
5. Untuk mengetahui apa saja masalah-masalah perkawinan yang berkembang di
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah
Nikah diambil dari Bahasa arab yang artinya bisa mengumpulkan, menggabungkan,
menjodohkan, atau bersenggama (wath'i). Sedangkan nikah menurut akad merupakan
pengertian yang bersifat majazy, sementara Imam Safi'i berpendapat nikah hakiki adalah
akad. Ta’rif pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
bukan mahram.
Dan arti nikah menurut terminologi (istilah) didefinisikan sebagai ikatan lahir dan
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Karena nikah merupakan sendi pokok pergaulan manusia.
Firman Allah Swt:

Artinya : ”maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapatberlaku adil, maka (nikahilah)
seorang saja.” (An-Nisa: 3)

Nikah adalah salah satu asa pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna. Penikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat
mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang
sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan
perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
lainnya.
Ghazali menjelaskan beberapa faedah nikah, diantaranya: nikah dapat
menyegarkan jiwa, hati menjadi tenang, dan memperkuat ibadahnya. Jiwa itu bersifat
pembosan dan lari dari kebenaran jika bertentangan dengan karakternya. Bahkan ia menjadi
durhaka dan melawan, jika selalu dibebani secara paksa yang menyalahinya. Akan tetapi,
jika ia disenangkan dengan kenikmatan dan kelezatan disebagian waktu, ia menjadi kuat dan
semangat. Kasih sayang dan bersenang-senang dengan istri akan menghilangkan rasa sedih
dan menghibur hati. Demikian disampaikan bagi orang yang bertakwa, jiwanya dapat
merasakan kesenangan dengan perbuatan mubah ini (nikah) sebagaimana firman Allah:

Artinya : “…agar ia tenang kepadanya” (QS. Ar-Rum 30 : 21)


Demikianlah maksud pernikahan yang sejati dalam islam. Singkatnya, untuk
kemaslahatan dalam rumah tangga dan keturunan, juga untuk kemaslahatan masyarakat.
Oleh sebab itu, syariat islam mengadakan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan
pernikahan ini. Tetapi belum menerangkan syarat-syarat dan rukunnya, begitu juga
kewajiban dan hak masing-masing antara suami istri, terlebih dahulu akan diuraikan tujuan
pernikahan dalam anggapan yang berlaku dalam kehedak manusia. Telah berlaku anggapan
kebanyakan pemuda dari dahulu sampai sekarang, mereka ingin menikah karena beberapa
sebab, di antaranya:
1. Karena mengharapkan harta benda.
2. Karena mengharapkan kebangsawanannya.
3. Karena ingin melihat kecantikannya.
4. Karena agama dan budi pekertinya yang baik.
Yang pertama karena harta. Kehendak ini datang baik dari pihak laki-laki maupun
dari pihak perempuan. Misalnya ingin menikah dengan seorang hartawan, sekalipun dia
tahu bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan kehendak
masyarakat, orang yang mementingkan pernikahan disebabkan harta benda yang diharap-
harapnya atau yang akan dipungutnya. Pandangan ini bukanlah pandangan yang sehat,
lebih-lebih kalau hal ini terjadi dari pihak laki-laki, sebab hal itu sudah tentu akan
menjatuhkan dirinya di bawah pengaruh perempuan dari hartanya. Hal yang demikian
adalah berlawanan dengan sunnah alam dan titah Allah yang menjadikan manusia. Allah
telah menerangkan dalam Al-Quran cara yang sebaik-baiknya bagi aturan kehidupan
manusia, yaitu sebagai berikut:
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34 :

Artinya : “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita”(An-Nisa : 34)
Yang kedua, karena mengharap kebangsawanannya, berarti mengharapkan gelar
atau pangkat. Ini juga tidak akan memberi faedah sebagaimana yang diharapkannya, bahkan
dia akan bertambah hina dan dihinakan, karena kebangsawanan salah seorang di antara
suami istri itu tidak akan berpindah kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : “Barang siapa menikahi perempuan karena kebangsawanannya, niscaya


Allah tidak akan menambah kecuali kehinaan”.
Yang ketiga, karena kecantikannya. Menikah karena hal ini sedikit lebih baik
dibandingkan dengan karena harta dan kebangsawanannya, sebab harta dapat lenyap
dengan cepat, tetapi kecantikan seseorang dapat bertahan sampai tua, asal dia jangan
bersifat bangga dan sombong karena kecantikannya itu. Tapi rasul juga bersabda tentang
bahayanya mencintai karna kecantikan :
Artinya : janganlah kamu menikahi perempuan itu karna kecantikannya, mungkin
kecantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri, dan janganlah
kamu menikahi mereka karna mengharap harta mereka, mungkin karna hartanya
itu akan menyebabkan mereka sombong, tapi nikahilah mereka karna dasar
agama, karna bahwasanya hamba sahaya yang hitam lebih baik , asal ia beragama
(HR. Baihaqi)

Yang keempat, karena agama dan budi pekerti. Inilah yang patut dan baik menjadi
ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar kerukunan dan
kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga
Allah Berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34 :

Artinya : “…Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri sepeninggal suaminya karena Allah telah memelihara (mereka)…”
(An-Nisa : 34)

Jadi jelaslah bahwa hendaknya agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok
yang utama untuk pemilihan dalam pernikahan. Dari keterangan-keterangan di atas,
hendaklah wali-wali anak jangan sembarangan menjodohkan anaknya, sebab kalau tidak
kebetulan di jalan yang benar, sudah tentu dia seolah-olah menghukum atau merusak
akhlak dan jiwa anaknya yang tidak bersalah itu. Pertimbangkanlah lebih dahulu dengan
sedalam-dalamnya antara manfaat dan mudaratnya yang bakal terjadi di hari kemudian,
sebelum mempertalikan suatu pernikahan.

B. Hukum Nikah
Kata hukum memiliki dua makna, yang dimaksud di sini adalah:
Pertama, sifat syara’ pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh dan sunnah, dan
mubbah.
Kedua, buah dan pengaruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’, seperti jual
beli adalah memindahkan pemilikan barang terjual kepada pembeli dan hukum sewa-
menyewa (ijarah) adalah pemilikan penyewa pada manfaat barang yang disewakan.
Demikian juga hukum perkawinan atau pernikahan berarti penghalalan masing-masing dari
sepasang suami istri untuk bersenang-senang kepada yang lain, kewajiban suami terhadap
mahar dan nafkah terhadap istri, kewajiban istri untuk taat terhadap suami dan pergaulan
yang baik.
Dalam tulisan ini dimaksudkan hukum makna yang pertama, yaitu sifat syara’.
Maksudnya hukum yang ditetapkan syara’ apakah dituntut mengerjakan atau tidak, itulah
yang disebut dengan hukum taklifi (hukum pembebanan) menurut ulama ushul fiqh.
Menurut ulama Hanafiyah, hukum nikah itu adakalanya mubah, mandub, wajib, fardu,
makruh, dan haram. Sedangkan ulama mazhab-mazhab lain tidak membedakan antara wajib
dan fardu. Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf,
baik dari segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum
nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf
mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik
persyaratan harta, fisik, dan atau akhlak.
1. Fardu
Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya
nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan
dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin
bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang
dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut. Nabi
bersabda:
Artinya: “Wahai para pemuda barang siapa di antara kalian ada kemampuan biaya
nikah, maka nikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu hendaknya berpuasalah,
sesungguhnya ia sebagai perisai baginya.”
2. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaya nikah,
mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya,
dan ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinahan apabila tidak menikah.
Keadaan seseorang seperti diatas wajib untuk menikah, tetapi tidak sama dengan
kewajiban pada fardu di atas. Karena dalam fardu, dalilnya pasti atau yakin (qath’i) sebab-
sebabnya pun juga pasti. Sedangkan dalam wajib nikah, dalil dan sebab-sebabnya adalah
atas dugaan kuat (zhanni), maka produk hukumnya pun tidak qath’i tetapi zhanni. Dalam
wajib nikah hanya ada unggulan dugaan kuat (zhann) dan dalilnya wajib bersifat syubhat
atau samar. Jadi, kewajiban nikah pada bagian ini adalah khawatir melakukan zina jika
tidak menikah, tetapi tidak sampai ke tingkat yakin.
3. Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah dan yakin
akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat
mencapai yang haram secara pasti. “sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram
secara pasti, maka ia haram juga.” Jika seseorang menikahi wanita pasti akan
terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-
hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikahnya menjadi haram.
4. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran. Seseorang mempunyai
kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi
dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ketingkat yakin.
Terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi yang kontradiktif, yakni antara
tuntutan dan larangan. Seperti seseorang dalam kodisi yakin atau diduga kuat akan
terjadi perzinahan jika tidak menikah, berarti ia antara kondisi fardu dan wajib nikah. Di
sisi lain, ia juga diyakini atau diduga kuat melakukan penganiayaan atau menyakiti
istrinya jika ia menikah. Dalam hal ini, apa yang dilakukan terhadap orang tersebut?
Apakah sisi keharaman nikah yang lebih kuat atau sisi fardu dan wajib nikah?
5. Fardu, Mandub, dan Mubah
Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak khawatir dirinya
melakukan maksiat zina sekalipun membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat
jahat terhadap istri. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang hukum
nikahnya:
Pendapat pertama, fardu menurut kaum Zhahriyah, dengan alasan:
Pertama, zhahirnya teks-teks ayat maupun hadits mengenai perintah nikah seperti
firman Allah SWT.

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hambasahayamu yang lelaki san hamba-hamba
sahayamu yang perempuan” (QS. An-Nur 24 : 32)

Dan hadits nabi SAW yang artinya : “wahai para pemuda, siapa yang mampu diantara
kalian akan biaya nikah, hendaklah menikah…”
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan menikah dan lahirnya perintah menunjukkan wajib.
Pendapat ini diperkuat dengan praktik Nabi SAW dan para sahabat yang melakukannya
tidak ada yang memutuskannya. Andai kata mandub atau Sunnah tentu ada yang
meninggalkannya.
Kedua, Nabi SAW melarang beberapa sahabat yang membujang dan tidak menikah
secara berlebih-lebihan. Sebagaimana dalam hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim.
Bahwa ada tiga golongan datang ke rumah para istri Nabi SAW seraya bertanya tentang
ibadah mereka. Mereka berkata: “Di mana posisi kita dari Nabi SAW padahal beliau
telah diampuni segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang?” Salah satu di
antara mereka berkata: “Adapun aku sungguh akan melaksanakan shalat malam
selamanya.” Berkata yang lain: “Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak
berbuka.” Dan berkata yang lain: “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
selamanya.” Datanglah Rasulullah SAW dan bersabda:
Artinya: “Kalian yang berkata begini dan begini. Demi Allah sesungguhnya aku adalah
orang yang paling takut diantara kalian kepada Allah dan yang paling taqwa kepada-
Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat, tidur dan mengawini beberapa istri.
Barang siapa yang benci sunnahku maka tidak tergolong mengikuti petunjukku.”
Dalam hadis di atas Rasulullah SAW menolak kemauan sebagai sahabat dengan
penolakan yang kuat sampai beliau lepas tenggung jawab. Hal ini menunjukkan bahwa
Nabi SAW melarang membujang. Larangan membujang menunjukkan haram karena
meninggalkan yang wajib (menikah). Dalil inilah yang menunjukkan kewajiban menikah.
Ketiga, seseorang, walaupun dalam keadaan normal atau tidak akan melakukan maksiat
zina. Akan tetapi yang menjadi wajib adalah berhati-hati terhadap dirinya dan
memeliharanya dengan menikah. Nikah ini dituntut dengan tuntutan yang kuat seperti
melihat aurat wanita lain hukumnya haram, karena terkadang mendatangkan perbuatan
zina dan mendorong nafsu untuk mencarinya. Dalam hal ini hukumnya sama, yaitu fardu
atau wajib.

C. Rukun Nikah
Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun termasuk dalam substansinya.
Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya kerena tidak ada rukun.
Rukun Nikah diantaranya :
1. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau gabungan ijab salah
satu dari dua pembicara serta penerimaan yang lain. Ijab dan qabul yang mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lain. Keduanya mempunyai arti membantu maksud
berdua dan menunjukkan tercapainya ridha secara batin. Maksud ijab dalam akad
nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar dari
salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa kata-kata,
tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad, baik
salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan qabul adalah
pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat
yang mengungkapkan persetujuan dan ridhanya. Seperti kata wali, ”Saya nikahkan
engkau dengan anak saya bernama…” Jawab mempelai laki-laki, “saya terima
menikahi…” boleh juga didahului oleh perkataan dari pihak mempelai, seperti:
“Nikahkanlah saya dengan anakmu.” Jawab wali, “Saya nikahkan engkau dengan
anak saya …” karena maksudnya sama. Tidak sah nikah kecuali dengan lafadz nikah,
tazwij, atau terjemahan dari keduanya.
Sabda Rasulullah Saw.:
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu
ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang dimaksud dengan “kalimat Allah” dalam hadits ialah Al-Quran, dan dalam Al-
Quran tidak disebutkan selain dua kalimat itu (nikah dan tazwij), maka harus dituruti
agar tidak salah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah dengan lafadz
tersebut, karena asal lafadz akad tersebut ma’qul makna, tidak semata-mata
ta’abudi.
2. Calon suami, syarat-syaratnya ialah: beragama islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat
memberi persetujuan, dan tidak terdapat halangan perkawinan.
3. Calon istri. Syaratnya ialah: Beragama islam, perempuan, jelas orangnya, dapat
dimintaik persetujuannya, tidak terdapat halangan perkawinan.
4. Wali nikah. Syaratnya ialah: Laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwakilan, dan tidak
terdapat halangan perkawinan.
5. Saksi nikah. Syaratnya ialah: minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab kabul,
dapat mengerti maksud akad, islam dan dewasa.
Sabda Nabi Muhammad Saw:
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan hadirnya wali (pihak wanita) dan dua
saksi serta mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak.” (HR.At Thabrani).

a. Cara dan Bentuk Pernikahan


Menurut hukum Islam, praktik Nikah ada tiga perkara:
1. Nikah yang sah ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar menurut tata cara yang
diatur dalam kitab fiqih penikahan, dan mengetahui ilmunya. Nikahnya seperti ini
mendapat pahal dari Allah SWT.
2. Nikah yang sah tetapi haram ialah: pelaksanaan akad nikah secara benar sesuai tata
cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan tetapi tidak mengetahui ilmunya.
Praktik nikah seperti ini jelas berdosa.
3. Nikah yang tidak sah dan haram ialah: pelaksanaan akad nikah yang tidak sesuai tata
cara yang diatur dalam kitab fiqih pernikahan, karena mengetahui ilmunya dan
praktiknya juga salah. Selain tidak benar praktik nikah seperti ini mengakibatkan
berdosa.
b. Nikahnya Orang Bisu
Orang yang bisu ketika hendak menikahkan putrinya dapat membuat pernyataan
tertulis yang isinya mewakilkan akad nikah (ijab) kepada wali hakim atau wali yang agak jauh
untuk menikahkan putrinya. Apabila orang bisu yang mau menikah maka kabulnya dengan
isyarat yang bisa dipahami secara pasti oleh wali dan saksi serta menandatangani
pernyataan tertulis tentang kabulnya tersebut. Aturannya sama dengan akad jual beli,
bahkan jual-beli orang bisu dianggap sah apabila dapat dimengerti dengan pasti oleh
mitra bisnisnya. Orang bisu juga bisa mewakilkan kabulnya itu kepada pria lain yang dapat
dipercaya dengan cara tertulis.
c. Suami-Istri Non Muslim Masuk Islam
Menurut contoh yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, dimana para sahabat
nabi yang sebelum islam telah bersuami-istri, pada waktu mereka sudah menjadi muslim
tidak ada yang diulangi nikahnya. Artinya, suami-istri non muslim yang bersama-sama
masuk islam tidak perlu dinikahkan lagi. Demikian juga suami-istri muslim yang murtad dan
kemudian masuk islam lagi.
Yang perlu dilakukan oleh mereka adalah tobatan-nasuhah, yaitu bertobat dengan
sungguh-sungguh kembali ke jalan yang hak, berhenti dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar aturan Allah SWT, menyesal atas pebuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan,
berjanji untuk tidak mengulangi lagi dosa-dosa tersebut, serta memperbanyak amal
kebajikan.

D. Talak
Sesuatu yang tidak ada keraguan, bahwa Islam mengatur kehidupan keluarga.
Rumah dipandang sebagai tempat tinggal. Didalamnya di dalam naunagannya segala jiwa
bertemu yang didasari kecintaan, kasih sayang, menutup kekurangan, keindahan,
pemeliharaan, dan kesucian. Dalam pertahanannyalah anak-anak hidup dan berkembang
menjadi remaja dan dewasa. Dari situlah kekal keterpaduan kasih saying dan tanggung
jawab.
Dalam buku lain dikatakan bahwa talak ialah Talak berasal dari kata ithalaq yang
berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak berarti melepaskan
ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
1. Talak merupakan perbuatan makruh
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan
oleh islam. Akad nikah bertujuan untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal
dunia agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat
berlindung, menikmati naungan kasih sayang, dan dapat memelihara anak-anaknya
dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu, dikatakan bahwa ikatan antara suami istri
adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Tidak ada suatu dalil yang lebih jelas
menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu selain dari Allah
sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan mitsaqun
ghalizhun (perjanjian yang kokoh)
Allah SWT Berfirman :

Artinya : “...Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.” (An- Nisa 4 : 21)
Istri yang meminta cerai tanpa sebab dan alasan yang benar,diharamkan baginya
mencium bau surga.

Artinya: “Tsauban berkata bahwa rasulullah SAW bersabda, perempuan mana saja
yang meminta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab maka haram baginya
mencium bau surga.” (HR. Ashhabus Sunan dan di sahkan oleh Tirmidzi)
Islam mengatur keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggungan syariatnya.
Islam juga mengatur hubungan lain jenis yang didasarkan pada perasaan yang tinggi,
yakni pertemuan dua tubuh, dua jiwa, dua hati, dan dua ruh. Dalam bahasa umum,
pertemuan dua insan yang diikat dengan kehidupan bersama dan masa depan
bersama untuk menggapai keturunan yang tinggi dan menyongsong generasi baru.
Tugas ini hanya dapat dilakukan oleh dua orangtua secara bersama yang tidak dapat
dipisahkan.
Akan tetapi, realita kehidupan manusia membuktikan banyak hal yang menjadikan
rumah tngga hancur (broken home) sekalipun banyak pengarahan dan bimbingan,
yakni kepada kondisi yang harus dihadapi secara praktis. Suatu kenyataan yang harus
diakui dan tidak dapat diingkari ketika terjadi kehancuran rumah tangga dan
mempertahankannya pun suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak berdasar. Islam
tidak segera mendamaikan hubungan ini, tidak membiarkannya begitu saja tanpa
ada usaha.
Islam membisikan kepada kaum laki-laki, Allah SWT berfirman :

Artinya: “Dan hendaklah pergauli mereka dengan cara yang baik, jika engkau tidak
menyukai mereka maka boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. An-Nisa (4): 19)
Islam mengarahkan mereka agar tetap bertahan dan sabar sampai dalam keadaan
yang tidak ia sukai dan Allah membukakan bagi mereka jendela yang tidak jelas
tersebut, yang ditegaskan dalam firman-Nya, yakni “Boleh jadi engkau membenci
sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Mereka tidak bahwa pada wanita yang tidak disukai tersebut terdapat kebaikan dan
Allah menyimpan kebaikan ini bagi mereka, maka tidak boleh melalaikannya. Bahkan
lebih dalam daripada ini, yakni dalam menghidupkan perasaan kasih sayang dan
menundukkan perasaan kecil serta mematikan kejahatan.
Jikalau permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada
pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukkan Islam bukan talak.
Akan tetapi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak lain dan pertolongan
yang dilakukan oleh orang baik-baik. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa (4): 35)
Dan dalam surat An-Nisa ayat 128 Allah berfirman yang artinya :
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)” (QS. An-Nisa (4): 128)
Jika jalan penengah ini tidak didapatkan hasil, permasalahannya menjadi sangat
kritis, kehidupan rumah tangga sudah tidak normal, tidak ada ketenangan dan
ketentraman, dan mempertahankan rumah tangga seperti ini sia-sia. Pelajaran yang
diterima adalah mengakhiri kehidupan rumah tangga sekalipun dibenci Islam, yakni
talak; Sesungguhnya halal yang paling dibenci Allah adalah talak.
Jika seseorang menghendaki talak, tidak boleh disembaran gwaktu. Sunnahnya talak
dijatuhkan dalam keadaan suci dan ketika tidak dipergauli dahulu. Dengan
ditangguhkannya, ia dapat melepas kebuntuan sejenak setelah emosi dan marah.
Ditengah-tengah masa ini terkadang terjadi perubahan jiwa serta ketenangan hati
dan Allah mendamaikan antara dua manusia yang berseteru sehingga tidak terjadi
talak.
Setelah itu ada lagi masa Iddah tiga kali suci bagi yang menstruasi, tiga bulan bagi
yang menopause (tidak menstruasi lagi) dan masa kehamilan bagi yang hamil.
Ditengah-tengah masa ini ada kesempatan introspeksi, jika tumbuh cinta dan kasih
sayang dihati, tali pernikahan tidak akan terputus.
Akan tetapi, semua usaha ini tidak berarti melenyapkan bahwa di sana tidak terjadi
pemisahan. Ada kondisi-kondisi yang harus dihadapi syariat secara praktis dan
realistis. Syariat mengatur dan menertibkan posisinya serta memberikan tetapi
pengaruh- pangaruhnya. Hukum fiqh Islam secara terperinci menunjukkan realita
agam Islam dalam memberikan terapi atas problema hidup dan memberikan
motivasi untuk maju dan meninggikan kehidupannya.
Tidak halal bagi laki-laki meminta kembali mahar atau nafkah yang telah diberikan
kepada sang istri di tengah-tengah kehidupan rumah tangga sebagai konsesi
terhadap pelepasan istri yang tidak layak hidup bersama. Kecuali jika sang istri yang
tidak menyukai suami atau tidak mampu bergaul dengan baik karena sebab khusus
yang dirasakannya secara pribadi. Istri tidak suka atau lari dari suami yang
menggiringnya untuk melakukan pelanggara-pelanggaran hukum Allah, istri tidak
dapat bergaul baik dengan suami, tidak dapat memelihara dirinya dan tidak dapat
memelihara etika. Dalam kondisi ini boleh memohon cerai kepadasuami dan
mengganti penghancuran rumah tangga yang tanpasebab, yang disengaja ini dengan
mengembalikan mahar dannafkah secara keseluruhan atau sebagian untuk
memelihara dirinyadari maksiat, pelanggaran hukum-hukum Allah, dan
menganiayadiri sendiri. Demikian Islam memelihara segala kondisi yang terjadi dan
tidak membiarkan istri dalam kehidupan yang merana, satu didi segala yang
dikorbankan suami tidak disia-siakan tanpa sengaja dengan cara khulu’ , di mana
wanita membeli kebebasan dirinya dengan memberikan tebusan.
Ta’rif talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Yang dimaksud di sini
ialah melepaskan atau membebaskan ikatan pernikahan. Misalnya, naqah thaliq
(unta yang terlepas tanpa ikatan). Menurut syara‟, melepas tali nikah dengan lafal
talak atau sesamanya. Menurut Imam Nawawi dalam bukunya Tadzhib, talak adalah
tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian
memutuskan nikah. Definisi pertama lebih baik, karena secara lahir ada relevansi
antara makna secara etimologi dan syar‟i sedangkan definisi kedua relevansinya
jauh.
Lafal talak telah ada sejak zaman Jahiliah. Syara’ datang untuk menguatkannya
bukan secara spesifik atas umat ini. Penduduk Jahiliah menggunakannya ketika
melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Hadits diriwayatkan dari Urwah bin
Zubairra. berkata: “Dulunya menusia menalak istrinya tanpa batas dan bilangan.”
Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali
kemudian menalak lagi begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud
menyakiti wanita, maka turunlah ayat:

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (QS. Al-Baqarah (2): 229)
Dari uraian-uraian yang lalu telah dijelaskan bahwa tujuan pernikah itu ialah:
1. Untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna.
2. Suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan.
3. Sebagai suatu tali yang amat teguh guna memperkokoh tali persaudaraan antara
kaum kerabat laki-laki (suami) dengan kaum kerabat perempuan (istri) sehingga
pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa satu kaum (golongan)
untuk tolong menolong dengan kaum yang lainnya.
Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapaitujuan-tujuan tersebut,
maka hal itu akan mengakibatkan berpiahnya dua keluarga. Karena tidak adanya
kesepakatan suami istri, maka dengan keadilan Allah SWT. dibukakan-Nya suatu
jalan keluar dari segala kesukaran itu, yaitu pintu perceraian.
Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam bibit
kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka, sehingga tidak ada
jalan lain, sedangkan ikhtiyar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka
talak (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka;
sebab menurut asalnya hukum talak itu makruh adanya, berdasarkan hadits Nabi
Muhammad Saw berikut ini:
Artinya: “Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda bahwa
’sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (Riwayat Abu Dawud dan
Ibnu Majah)
Oleh karena itu, itu menilik kemaslahatan atau kemudaratannya, maka hukum talak
ada empat:
1. Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang
mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
2. Sunnat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi
kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
Artinya:” Seorang laki-laki telah datang kepada Nabi Saw Dia berkata,
‘Istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya.” Jawab Rasulullah Saw,
”Hendaklah engkau ceraikan saja perempuan itu.” (Muhazzab, Juz II hlm.78)
3. Haram. (bid’ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak sewaktu si istri
dalam keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak sewaktu talak yang telah
dicampurinya dalam waktu suci itu. Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: ”Suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya
itu, kemudian hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid,
kemudian ia haid kembali, kemudian suci pula dari haid yang kedua itu.
Kemudian jika menghendaki, boleh ia teruskan pernikahan sebagaimana yang
lalu; atau jika menghendaki ceraikan ia sebelum dicampuri. Demikian iddah yang
diperintahkan Allah supaya perempuan ditalak ketika itu.” (Riwayat sepakat ahli
hadits)
4. Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang tersebut di atas.

E. Syarat Talak
Kita mulai pembicaraan rukun pertama, yaitu perceraian (suami yang
menceraikan). Perceraian merupakan tindakan kehendak yang berpengaruh dalam hukum
syara’. Oleh karena itu, penceraian dapat diterima apabila memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu sebagaimana berikut.
1. Mukallaf, Ulama sepakat bahwa suami yang diperbolehkan menceraikan istrinya dan
talaknya diterima apabila ia berakal, baligh (minimal sampai usia belasan tahun), dan
berdasarkan pilihan sendiri. Maksudnya mukallaf adalah berakal dan baligh. Tidak
sah talak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk dan tidur, baik talak
menggunakan kalimat yang tegas maupun bergantung. Ringkasnya, sesungguhya
talak diterima manakaladilakukan oleh ahli talak, yaitu berakal, baligh, dan
pilihansendiri sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ashhab As-Sunnah dari Ali
ra. dari Nabi Saw bersabda:
Artinya: “Terangkat pena dari tiga orang: Orang tidur sehingga bangun, anak kecil
sampai bermimpi keluar air sperma (baligh), dan orang gila sampai berakal. (HR. At-
Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi Saw. bersabda:
Artinya: “Setiap talak itu boleh kecuali talaknya orang yang kurang akalnya.” (HR. At-
Tirmidzi dan Al-Bukhari secara mauquf)
2. Pilihan Sendiri
Tidak sah talaknya orang yang dipaksa tanpa didasarkan kebenaran, dengan alasan
karena sabda Nabi Saw.:
Artinya: ”Terangkat dari umatku kesalahan lupa, dan dipaksa.”
Paksaan adalah ungkapan yang tidak benar, serupadengan ungkapan kufur:Sabda
Nabi Saw:
Artinya: “Tidak ada talak sah pada orang yang tertutup.”
Maksudnya tertutup di sini orang yang terpaksa, nama itu diberikan karena orang
yang terpaksa itu tertutup segala pintu, tidak dapat keluar melainkan harus talak.
seperti kondisi keharusan talak yang dipaksa oleh hakim, hukumnya sah karena
paksaan ini dibenarkan.
3. Talak itu dijatuhkan sesudah menikah
Menurut Syari’at islam seorang suami yang menjatuhkan talak terhadap istrinya, sah
talaknya apabila menurut syarat-syarat sebagai berikut: tidak dipaksa, sehat akal, dan
tidak dalam keadaan mabuk.

F. Rukun Talak
1. Kata-kata talak muthlak Jumhurul fuqoha' telah sepakat bahwa kata talak itu ada dua
macam yaitu:
a. kata sharih (jelas)
kata talak sharih artinya lafadz yang digunakan itu jelas menyatakan perceraian.
Imam malik berpendapat bahwa kata talak hanyalah kalimat ‘thalak’ saja. Imam
syafi'i menyatakan bahwa kata-kata talak sharih itu ada tiga macam:
1. Thalak (Cerai)
2. Firoq (Pisah)
3. Saroh (Lepas)
b. kata kinayah (samaran / sindiran)
Sindiran artinya lafadz yang tidak ditetapkan untuk penceraian tetapi bisa berarti
talak dan lainnya, misalnya: "engkau terpisah" maka, yang selain kata shorih
termasuk sindiran
2. Orang (suami) yang menjatuhkan talak
Syaratnya menurut fuqoha:
a. berakal sehat, maka tidak sah talaknya anak kecil atau orang gila
b. dewasa merdeka
c. tidak dipaksa
d. tidak sedang mabuk
e. tidak mai-main atau bergurau
f. tidak pelupa
g. tidak dalam keadaan bingung
h. masih ada hak untuk mentalak
i. Istri yang dapat dijatuhi talak
Mengenai ini fuqoha sependapat bahwa mereka harus :
1. perempuan yang dinikahi dengan sah
2. peremupuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah
3. belum habis masa iddahnya, pada talak raj'i
4. tidak sedang haid atau suci yang dicampuri

G. Pendapat-Pendapat Tentang Talak Tiga


Talak tiga itu meliputi beberapa cara, seperti tersebut dibawah ini:
a. Menjatuhkan talak tiga kali pada masa berlainan. Misalnya seorang suami menalakan
istrinya talak satu, pada masa iddah ditalak lagi talak satu, pada masa iddah kedua ini
ditalak lagi talak satu.
b. Seorang suami menalak istrinya dengan talak satu, sesudah habis iddahnya dinikahinya
lagi, kemudian ditalak lagi, setelah habis iddahnya dinikahi lagi, kemudian ditalak lagi
ketiga kalinya. Dalam kedua cara tersebut, para ulama sepakat bahwa talak itu jatuh
menjadi talak tiga, dan berlaku hukum talak tiga seperti yang telah dijelaskan diatas.
c. Suami menalak istrinya dengan ucapan, “Saya talak engkau talak tiga‟ atau ‟Saya talak
engkau, saya talak engkau, saya talak engkau,‟ diulang- ulangnya kalimat talak itu tiga
kali berturut-turut
Dalam cara yang ketiga ini ulam berbeda-beda pendapatnya, yaitu sebagaimana dibawah
ini:
Pendapat pertama, jatuh talak tiga, berlaku segala hukum talak tiga seperti diatas.
Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : “Dari Hasan. Ia berkata, “Abdullah bin Umar telah bercerita kepada kami bahwa ia
telah menalak istrinya dengan talak satu ketika istrinya sedang haid, kemudian Abdullah
bermaksud menjatuhkan dua talak lagi pada masa iddah. Ketika perkara Abdullah itu
disampaikan orang pada Rasulullah SAW, beliau bersabda‟ ‟Hai Ibnu Umar, tidaklah begitu
perintah Allah. Sesungguhnya engkau telah menyalahi sunnah, yang sebaiknya ditalak
waktu suci‟ Maka Abdullah berkata, ‟Rasulullah menyuruh saya rujuk kepadanya, maka
saya rujuk istri saya‟ Kemudian Rasulullah bersabda, ‟Apabila ia suci, talaklah diwaktu itu,
atau teruskanlah pernikahanmu dengan baik‟ Abdullah bertanya ‟Bagaimana ya Rasulullah,
kalau saya talak istri saya dengan talak tiga? Apakah boleh saya rujuk kepadanya?‟ Jawab
Rasulullah SAW‟ Tidak boleh, ia sudah bain, dan engkau berbuat maksiat (melanggar
hukum)‟. (Riwayat Daruqutni)
Pendapat kedua, tidak jatuh sama sekali, artinya istrinya itu belum ditalak. Sabda Rasulullah
SAW:

Artinya : ‟Barang siapa mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan perintah
kami, maka pekerjaan itu ditolak.‟ (Riwayat Muslim)
Talak tiga bukan perintah Rasulullah SAW, bahkan dilarang oleh beliau. Talak tiga
ditolak, berarti tidak sah.
Pendapat ketiga, jatuh talak satu. Dalam hal ini berlaku hukum talak satu seperti di
atas, dan suami masih boleh rujuk kembali kepada istrinya. Sabda Rasulullah SAW :

Artinya : Dari Ibnu Abbas, ‟Sesungguhnya Rakanah telah menalak istrinya dengan talak tiga
pada satu waktu, kemudian ia merasa sangat sedih atas perceraian itu. Maka Nabi SAW,
bertanya kepadanya, “Bagaimana caramu menalaknya?” jawab Rakanah, ‟Talak tiga pada
suatu ketika (sekaligus).‟ Rasulullah bersabda, ‟Sesungguhnya talak yang demikian itu talak
satu. Rujuklah engkau kepadanya‟ (Riwayat Ahmad dan Abu Ya’la. Kata Abu Ya’la hadis ini
sahih).
Dan Allah befirman dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 229 :

Artinya : “Talaklah (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara
yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.‟ (Al-Baqarah : 229)
Dalam riwayat tersebut jelaslah bahwa talak itu dua kali, berarti terpisah antara yang
satu dengan yang lain, tidak dapat diucapkan dalam satu perkataan untuk Hikmahnya.
Ibnu Sina berkata dalam kitab asy-Syifa’, ‟Seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan
dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan
beberapa bahaya dan kerusaka. Diantaranya karena tabiat suami istri satu sama lain sudah
tidak Saling berkasih saying lagi. Jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu, justru
akan tambah tidak baik, pecah, dan kehidupannya menjadi kalut. Diantaranya juga ada yang
mendapatkan suami tidak sepadan, pergaulannya tidak baik, atau mempunyai sifat-sifat
yang dibenci. Bisa jadi pula karena istri senang kepada lelaki lain karena sudah menjadi
naluri birahi dalam hal demikian. Barangkali pula ketidak senangan terhadap sifat-
sifat pasangannya menyebabkan macam-macam bahaya. Bisa jadi karena suami istri tidak
beroleh keturunan dan jika masing-masing ganti dengan yang lain, barangkali bisa
mempunyai anak. Karena itu, hendaknya perceraiannya itu diberi jalan, tetapi jalannya
wajib dipersulit.

1. Talak Dalam Agama Yahudi


Talak bagi kaum yahudi adalah boleh walaupun tanpa alasan, seperti suami ingin
menikah dengan wanita lain yang lebih cantik dari istrinya. Akan tetapi talak tanpa
alasan ini dipandang tidak baik. Adapun alasan-alasan talak menurut mereka adalah
sebagai berikut:
a. Cacat badan: rabun, juling, napasnya bau busuk, bungkuk, pincang, dan mandul.
b. Cacat akhlak: kurang rasa malu, banyak bicara, jorok, kikir, bandel, serakah,
rakus, suka jajan di warung, dan bebal.
Menurut mereka zina adalah alasan yang paling kuat, sekalipun baru kabar-kabar
saja dan belum ada buktinya. Akan tetapi, Nabi Isa as tidak mengakui semua
alasan talak tersebut kecuali zina saja. Adapun bagi perempuan, dia tidak berhak
meminta cerai walau bagaimanapun cacat suaminya, bahkan sekalipun terbukti
berzina.
2. Talak di Zaman Jahiliah
Aisyah Ummul Mu’minin berkata:
“Laki-laki sesuka hatinya saja mencerai istrinya. Perempuan tadi masih tetap jadi
istrinya kalau dirujuk di waktu iddahnya, sekali pun sudah diceraikannya seratus kali
atau lebih. Sampai-sampai seorang laki-laki ada yang berkata kepada istrinya, ‟Demi
Allah aku akan menceraikan kamu dengan arti betul-betul engkau lepas dariku dan
akupun tidak akan tidur bersamamu selama-lamanya.‟ Lalu ia bertanya, ‟Bagaimana
bisa begitu ?‟ jawabnya, ‟Aku ceraikan kamu. Kalau iddahmu sudah hampir habis,
aku rujuk lagi.‟ Begitulah seterusnya. Selanjutnya, perempuan itu datang ke rumah
Aisyah lalu masuk. Lalu ia menceritakan kepadanya, tetapi Aisyah diam saja sampai
Rasulullah SAW datang. Hal ini lalu dikabarkan kepada beliau. Nabi diam saja sampai
turunlah ayat, ‟Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengancara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik....‟ (Al-Baqarah
[2]:229)” ‟Aisyah berkata dikemudian hari, orang-orang bersikap hati-hati dalam
urusan talak. Ada diantaranya yang bercerai dan ada yang tidak bercerai.‟
(HR.Tirmidzi).
3. Orang yang Sah Talaknya
Para ulama sepakat bahwa suami yang berakal, baligh, dan bebas memilih, dialah
yang boleh menjatuhkan talak dan talaknya di pandang sah. Jika suaminya gila atau
masih anak-anak atau dalam keadaan terpaksa (force mayoor), talaknya dipandang
sia-sia, sekalipun timbul dari keputusan dirinya. Karena talak tergolong tindakan
yang mempunyai akibat dan pengaruh dalam kehidupan suami istri, mau tidak mau
yang menjatuhkan talak harus sempurna sehingga tindakan-tindakannya dipandang
sah secara hukum.
Sempurnanya kemampuan adalah adanya akal yang sehat, kedewasaan, dan
kebebasan memilih. Abu Hurairah berkata bahwa Nabi saw bersabda :

Artinya : ‟Semua talak boleh kecuali oleh orang yang tidak sehat akalnya.‟
(HR.Tirmidzi dan Bukhori, tetapi hadisnya mauquf)

Artinya : “Ibnu Abbas berkata tentang orang yang dipaksa oleh pencuri untuk
bercerai lalu bercerai, maka cerainya tidak sah.‟ (HR Bukhari)

H. Macam-Macam dan Proses Bercerai


Perceraian dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan berakhirnya
hubungan suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, dengan surat kepada istrinya,
dengan isyarat oleh orang yang bisu, maupun dengan mengirimkan seorang utusan.
1. Talak dengan Kata-Kata
Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan
sindiran. Yang dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami
artinya waktu diucapkan, seperti, ‟Engkau tertalak‟ atau dengan segala kata-kata
yang diambil dari kata dasar talak.
Syafi’i berkata, “Kata-kata talak yang terus terang artinya ada tiga: talak firaq dan
siraah, dan kata-kata inilah yang tercantum dalam Al-Quran.
a. Kata-kata Sindiran
Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh diartikan untuk
perceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami, ‟Pulanglah engkau ke rumah
keluargamu‟, atau ‟Pergilah dari sini”, dan sebagainya.
Kalimat sindiran ini bergantung pada niat, artinya ‟kalau tidak diniatkan untuk
perceraian nikah, tidaklah jatuh talak. Kalau diniatkan untuk menjatuhkan talak
barulah menjadi talak.
b. Sarih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud
adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata si suami, “Engkau tertalak”
atau “saya ceraikan engkau” Kalimat yang sarih ini tidak perlu dengan niat.
Berarti apabila dikatakan oleh suami, berniat atau tidak, keduanya terus bercerai
asal perkataannya itu bukan berupa hikayat.
2. Talak dengan Surat
Dengan surat, talak dapat dijatuhkan, sekalipun yang menulisnya manpu berkata-
kata. Karena suami dapat menalak istrinya dengan lafadz (ucapan), ia pun berhak
menalaknya melalui surat. Dalam hal ini, para ahli fiqih mensyaratkan: hendaknya
suratnya itu jelas dan terang. Yang dimaksud dengan jelas disini ialah dapat dibaca
atau tertulis di atas lembaran kertas dan sebagainya. Yang dimaksudkan terang disini
ialah tertulis kepada alamat istri dengan jelas, misalnya, ‟Wahai, Fulanah! Engkau
tertalak.‟ Jika surat itu tidak tertuju jelas kepadanya, misal di atas kertas tertulis,
Engkau tertalak, atau “Istriku tertalak” yang seperti ini dianggap tidak sah talaknya
kecuali dengan niat. Hal ini karena bisa jadi surat seperti ini ditulis dengan tidak
sengaja dimaksudkan untuk menalak, tetapi sekedar berlatih menulis indah.
3. Talak Isyarat Orang Bisu
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang lain.
Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang
diucapkan dalam menjatuhkan talak, apabila orang bisu memberikan isyarat yang
maksudnya mengakhiri hubungan suami istri. Sebagian ahli fiqih mensyaratkan
bahwa isyarat orang bisu itu dibolehkan apabila ia tidak dapat menulis dan tidak
tahu menulis. Jika dia tahu dan dapat menulis, isyaratnya tidak diperhitungkan sebab
tulisan lebih jelas maksudnya dari pada isyarat tidak boleh digunakan kecuali kalau
benar-benar sudah tidak mampu melakukan cara lain.
4. Mengirimkan Seorang Utusan
Talak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan kepada
istrinya yang berada di tempatlain bahwa ia telah ditalak. Dalam hal ini, utusan tadi
bertindak selaku orang yang menalak. Karena itu, talaknya sah.

I. Talak, Mengharamkan Berkumpul Dengan Istri


Seorang suami yang mengharamkan dirinya berkumpul dengan istrinya maka
haramnya itu bisa jadi ditujukan dengan arti haram biasa ataupun dengan arti bercerai,
tetapi ia tidak mau menggunakan kata-kata cerai dan (talak) dengan terus terang. Dalam hal
yang pertama tidak menunjukkan terjadinya talak, sebagaimana Tirmidzi pernah
meriwayatkan.
Aisyah berkata :

”Rasulullah pernah bersumpah karena sebagian istri-istrinya. Beliau lalu


mengharamkan apa yang tadinya halal kemudian beliau membayar kafarat atas
sumpahnya ini.‟
Dalam riwayat Muslim bahwa Ibnu Abbas, berkata :

“Apabila seseorang mengharamkan berkumpul dengan istrinya berarti merupakan


sumpah yang wajib dibayar kafaratnya…‟ Selanjutnya, ia berkata ‟Sesungguhnya,
pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik”
Adapun dalam keadaan yang kedua (haram dengan arti sebagai kata sindiran yang
berarti talak), jatuhlah talaknya karena lafadz haram disini digunakan sebagai kata sindiran
seperti kata-kata sindiran lainnya.

J. Bersumpah Menurut Sumpah Orang Islam


Barang siapa bersumpah menurut sumpah-sumpah orang islam kemudian ia
menyesalinya (mencabut kembali), menurut golonga Syafi’i, ia wajib membayar kafarat dan
tidak jatuh talak atau lain-lainnya. Tetapi dalam hal ini, Imam Malik diketahui tidak
menyatakan pendapatnya. Hanya golongan Maliki belakangan yang diketahui berbeda-beda
pendapatnya. Di antaranya ada yang berpendapat ia wajib istighfar saja, tetapi pendapat
yang masyhur dikalangan mereka mengatakan ia wajib melakukan tiap-tiap keharusan
menebus sumpah sebagaimana yangdilakukan oleh orang-orang islam.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna.
1. Hukum nikah
a. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya.
b. Sunah, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberinafkah dan lain-lainnya.
c. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan diatakut akan tergoda pada
kejahatan (zina).
d. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.
e. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuanyang dinikahinya.
2. Rukun nikah
a. Sigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.
b. Wali (si wali perempuan).
Talak menurut bahasa Arab adalah “melepaskan ikatan”. Yang disebut di sini adalah
melepaskan ikatan pernikahan.
1. Hukum talak
a. Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri
b. Sunah. Apabila suami tidak sanggup menafkahikeluarganya, atau perempuan yang
tidak menjaga kehormatannya.
c. Haram (bid‟ah).
d. Makruh.
2. Syarat talak
a. Mukallaf
b. Pilihan sendiri
c. Talak dijatuhkan setelah menikah yang sah
3. Rukun talak
a. kata sharih (jelas)
b. kata kinayah ( samaran / sindiran )
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam
http://scarmakalah.blogspot.co.id/2012/03/pengertian-dasar-hukum-dan-hikmah.html
http://khairulmuklis.blogspot.co.id/
http://www.gudangnews.info/2015/03/makalah-pendidikan-agama-islam-tentang_13.html
http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/pengertian-munakahat-pernikahan/

Anda mungkin juga menyukai