Anda di halaman 1dari 36

FIQH MUNAKAHAT

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah Fiqh dan
Ushul Fiqh

Dosen Pengampu :

Dr. Andewi Suhartini,M.Ag

Hj. Nina Nurmila,MA,PhD

Disusun oleh kelompok


Elsa Yunisa ( NIM:1152080020)
Cindy Phangestu (NIM:1162080014)
Ega Hidayani(NIM:1162080023)
Hanifah Muthmainnah (NIM: 1162080031)

PRODI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2017

1
Kata pengantar

Alhamdulillah puji dan syukur ke hadirat Allah swt yang telah


memberikan rahmat dan kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan
melengkapi makalah ini dengan tepat waktu.

Sholawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjunan Nabi


Besar Muhammad saw. Yang telah menyampaikan risalah-Nya dan membawa
manusia ke jalan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat, juga bagi
seluruh keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Tujuan
penulis menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh serta diharapkan melalui makah ini penulis dapat
memperluas wawasan terkait mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh khususnya
mengenai “FIQH MUNAKAHAT”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah


berpartisipasi dalam penusunan makalah ini, terutama kepada ibu Dr. Andewi
Suhartini, M.Ag. dan ibu Hj. Nina Nurmila,MA, Ph.D. yang telah membimbing
dan mengarahkan kami, bagaimana cara menyusun makalah dengan baik dan
benar. Kami menyadari banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan kami
ini. Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran dalam penulisan karya ilmiah
kami ini, agar kami dapat memperbaiki dan menyempurnakannya dalam penulisan
karya ilmiah selanjutnya

Harapan penulis, makalah ini dapat diterima dan memberikan manfaat


yang besar bagi para pembaca dan khalayak umum, dan khususnya bagi penulis
sendiri. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.

2
Daftar isi

Contents
Kata pengantar ........................................................................................................ 2

Daftar isi .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5

1.1 Latar belakang .......................................................................................... 5

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 6

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 6

1.4 Metode penelitian ..................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 7

2.1 Definisi Nikah .......................................................................................... 7

2.2 Hukum Pelaksanaan dan Pencatatan Pernikahan ..................................... 8

2.3 Perempuan dan Laki-laki Yang diharamkan Saling Menikahi............... 11

2.4 Khitbah ................................................................................................... 19

2.5 Rukun Nikah dan Syaratnya ................................................................... 26

Pengertian rukun,syarat,dan sah ........................................................................ 26

B. Syarat sahnya perkawinan .......................................................................... 28

C. Syarat-syarat rukun nikah .......................................................................... 28

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 35

3.1 Simpulan ................................................................................................. 35

3.2 Saran ....................................................................................................... 35

Daftar pustaka ....................................................................................................... 36

3
Kata pengantar ........................................................................................................ 2

Daftar isi .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5

1.1 Latar belakang .......................................................................................... 5

1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 6

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 6

1.4 Metode penelitian ..................................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 7

2.1 Definisi Nikah .......................................................................................... 7

2.2 Hukum Pelaksanaan dan Pencatatan Pernikahan ..................................... 8

2.3 Perempuan dan Laki-laki Yang diharamkan Saling Menikahi............... 11

2.4 Khitbah ................................................................................................... 19

2.5 Rukun Nikah dan Syaratnya ................................................................... 26

Pengertian rukun,syarat,dan sah ........................................................................ 26

B. Syarat sahnya perkawinan .......................................................................... 28

C. Syarat-syarat rukun nikah .......................................................................... 28

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 35

3.1 Simpulan ................................................................................................. 35

3.2 Saran ....................................................................................................... 35

Daftar pustaka ....................................................................................................... 36

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah
nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau
bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam
agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan
laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dlan
mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan
pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah
untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta
bahagia di dunia dan akhirat.

Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam
Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep
hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian
menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat perkawinan yang akan
coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.

Terpenuhinya syarat dan rukun suatu perkawinan, mengakibatkan diakuinya


keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahatatau
pemerintah (Kompilasi Hukum Islam).Bila salah satu syarat atau rukun tersebut
tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih
munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah
ditentukan salah satunya.

Berawal dari garis perbandingan antara kedua produk hukum tersebut,


pemakalah mencoba membahas perbandingan antara keduanya sehingga dapat
diketahui lebih dalam hubungan antara keduanya.

5
1.2 Rumusan masalah
a. Apa definisi dari nikah?
b. Bagaimana hukum pelaksanaan dan pencatatan pernikahan?
c. Apa kriteria perempuan dan laki-laki yang diharamkan saling
menikahi?
d. Apa fungsi dan akibat hukum khitbah?
e. Apa rukun nikah dan syaratnya ?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui definisi dari nikah
b. Untuk mengetahui hukum pelaksanaan dan pencatatan pernikahan.
c. Untuk mengetahui kriteria perempuan dan laki-laki yang diharamkan
saling menikahi.
d. Untuk mengetahui fungsi dan akibat hukum khitbah.
e. Untuk mengetahui rukun nikah dan syaratnya.

1.4 Metode penelitian


Metode yang kami gunakan dalam pembuatan karya ilmiah ini adalah
deskriptif analisis yaitu dengan kepustakaan dan searching via internet. Adapun
deskriptif analisis yaitu suatu metode yang menggambarkan dan menjelaskan
suatu permasalahan. Kepustakaan adalah mencari informasi dari referensi yang
telah tersedia di perpustakaan yaitu dengan cara menelaah. Sedangkan searching
via internet adalah mencari informasi dari media sosial.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Nikah


Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan berasal dari kata an-nikh dan
azziwaj yang memiliki makna melalui, menginjak, berjalan di atas, menaiki, dan
bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-
dhammu yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta
sikap yang ramah, serta berasal dari kata aljam’u yang berarti menghimpun atau
mengumpulkan. Nikah dalam bahasa arab adalah al-wath’I yang mempunyai dua
arti yaitu menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan yaitu perjanjian atau
bersetubuh.

Menurut Imam Syafi’I nikah adalah adanya suatu akad yang mencakup
kepemilikan terhadap wath’I dengan lafaz inkah atau tazwij atau dengan
menggunakan lafaz yang satu makna dengan keduanya. Sedangkan menurut Imam
Hanbali nikah adalah suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz inkah
atau tazwij untuk mengambil manfaat kenikmatan (kesenangan). Berdasarkan
pengertian tersebut jelas bahwa nikah ini dirujuk pada satu konteks yaitu akad
yang menghalalkan hubungan biologis. Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam),
pernikahan ini didefinisikan sebagai satu akad yang sangat quat atau mitsqan
ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan suatu
ibadah. Kemudian pernikahan ini memiliki tujuan yang sangat mulia yakni untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah,mawaddah, dan rahmah.

Menurut istilah syara’ nikah adalah suatu ‘aqad yang menghalalkan seorang
laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrim untuk bersatu menjadi suami istri
dengan ucapan ijab dan qabul yang disaksikan oleh beberapa orang saksi dan
wali dengan syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh hukum
syara’.1

1
Fazil Azmi.2013.Pengertian Nikah Menurut Imam Madzhab.(http://fazilazmi.blogspot.co.id)
Diakses pada tanggal 19 November 2017

7
2.2 Hukum Pelaksanaan dan Pencatatan Pernikahan
1. Dasar Hukum Pernikahan

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan


kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S.
An-Nisaa’ : 1).

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang


yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha
mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-


isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan
untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum
mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan
peredam (syahwat)nya”.

2. Hukum Pernikahan

 Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika
tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina.
 Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menikah namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan
zina.
 Makruh, jika ia tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan tidak
akanakan tergelincir pada perbuatan zina.
 Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan
untuk menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya
menikah untuk kesenangan semata.

8
 Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan
dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak
dapat memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak
dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suaminya. Pernikahan juga
haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.

3. Hukum Pencatatan Pernikahan

Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak dasar atau hajjiyah


dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap isteri maupun
anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Pencatatan perkawinan tidak diatur di dalam nash, baik Al Quràn maupun sunnah.
Hal ini berbeda dengan transaksi muamalat yang di dalam Al Quràn diperintahkan
untuk mencatatnya. Atas dasar inilah, fiqh tidak menganggap penting terhadap
eksistensi pencatatan perkawinan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman,
keberadaan alat bukti otentik terhadap sebuah perkawinan menjadi suatu
kebutuhan. Pencatatan perkawinan dianggap sebagai salah satu solusi terhadap
kondisi demikian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka pencatatan perkawinan
dianggap sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum (reformasi hukum)
keluarga yang dilakukan oleh negara-negara Islam di dunia.

Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin
salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya
sebagai suami-istri. Pencatatan perkawinan merupakan suatu bentuk pembaruan
hukum yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam dalam bentuk Lex
Humana atau (hukum manusia, human law) yang mengatur hubungan antar
manusia dalam suatu masyarakat (tertentu dalam kerangka tuntutan-tuntutan
khusus dalam masyarakat.
Hukum-hukum pencatatan pernikahan diantaranya:

a) Manhaj
Manhaj yang digunakan dalam pengambilan hukum pencatatan nikah ini
adalah qiyas.
b) Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak dianjurkan oleh
syari’at dan juga tidak dilarang oleh syariat, semata mata hadir atas dasar
kebutuhan masyarakat. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan
merupakan salah satu prinsip dalam penetapan huhkum islam. dalam hal

9
ini pencatatan perkawinan di pandang sebagai suatu kemaslahatan yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
c) Tatbiqiyyah dan natijah al hukm
 Al Ashal
َ
‫س ًّمى فاك‬ َ ‫تُبُوهُْْيَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَي ٍْن إِلَى أَ َج ٍل ُّم‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ...
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat,
seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-Nisa' ayat 21:
ً ‫ض َوأَ َخذْنَ ِمن ُكم ِ ِّميثَاقا ً َغ ِليظا‬ ٍ ‫ض ُك ْم ِإلَى َب ْع‬ُ ‫ضى َب ْع‬ َ ‫ْف ت َأ ْ ُخذُونَهُ َوقَدْ أ َ ْف‬
َ ‫َو َكي‬
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.Apabila akad
hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad
nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus
dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama
lagi untuk dicatatkan. Hukum yang terdapat pada Al Ashal adalah sunnah karena
Al Qur’an yang menganjurkan untuk mencatat segala bentuk transaksi muamlah.
Seperti pada surat Al-Baqarah ayat 282. Yang menunjukan perintah mencatat
utang piutang kalimat faktubuhu adalah kalimat anjuran yang menekan, dan setiap
anjuran dalam kaidah fiqih adalah sunnah. Kesimpulannya hukum yang terdapat
pada Al-Ashl adalah sunnah muaqad.
 Al Far’u
Hukum pencatatan perkawinan tidak ditemukan pada Al-Qur’an dan hadist
bahkan bahasan ini kurang mendapat perhatian seirus dari ulama fiqh walaupun
ada ayat Al-Qur’an yang menghendaki untuk mencatat segala transaksi
mu’amalah.
 Al-Illat
Illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal, dipakai sebagai dasar
hukum yang dengan illat itu dapat diketahui hukum cabang (furu’). Illat dari
pencatatan hutang-piutang adalah bukti keabsahan perjanjian/transaksi muamalah
(bayyinah syar’iyah).
Kesimpulannya hukum pencatatan perkawinan adalah sunnah muaqad
sebagaimana hukum pencatatan dalam akad hutang-piutang. Dalam kaidah
fiqhiyah: “suatu yeng telah ditetapkan berdasarkan bukti (keterangan) sepadan
dengan yang telah di tetapkan berdasarkan kenyataan.”2

2
Aris Muzzayyin.2016.Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Perbandingan di
Negara Kontemporer. (http://Arismuzayyin.blogspot.co.id)
Diakses pada tanggal 19 November 2017

10
2.3 Perempuan dan Laki-laki Yang diharamkan Saling Menikahi
Perempuan dan Laki-laki yang Diharamkan Saling Menikahi
Perempuan dan laki-laki yang diharamkan saling menikahi adalah orang-
orang yang tidak boleh diboleh dikawini oleh seseorang dalam arti perempuan-
perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki sebaliknya.
Keseluruhannya diatur dalam Al-Quran. Diantaranya haram untuk selamanya
untuk selamanya yang disebut mahram muabbad dan diantaranya haram untuk
sementara waktu dalam arti suatu ketika ia sudah tidak lagi menjadi haram, yang
disebut mahram muaqqat.
a. Mahram Muabbad
Mahram muabbad yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan
untuk selamanya ada tiga kelompok:
1. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan
Perempuan-perempuan yang haram dikawini oleh seorang laki-laki
untuk selamanya disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau nasab
adalah sebagai berikut:
 Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas; ibunya ayah dan
seterusnya ke atas
 Anak, anak dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah; anak
dari anak perempuan seterusnya ke bawah
 Saudara-saudara kandung seayah atau seibu
 Saudara-saudara ayah
 Saudara-saudara ibu
 Anak-anak dari saudara laki-laki, anak-anaknya dan seterusnya
ke bawah
 Anak-anak dari saudara perempuan, anak-anaknya dan
seterusnya ke bawah
Keharaman perempuan-perempuan disebutkan di atas sesuai
dengan bunyi surat An-Nisa ayat 23:

11
َّ ‫ت َوأُ َّم َهاتُ ُك ُم‬
‫الَّل ِتي‬ ِ ‫َاَلت ُ ُك ْم َو َبنَاتُ ْاْلَخِ َو َبنَاتُ ا ْْل ُ ْخ‬َ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم أ ُ َّم َهات ُ ُك ْم َو َبنَات ُ ُك ْم َوأَخ ََوات ُ ُك ْم َو َع َّمات ُ ُك ْم َوخ‬
ْ ‫ُح ِ ِّر َم‬
ْ َّ
‫سائِ ُك ُم الَّلتِي دَخَلت ُ ْم‬ َ ِ‫ور ُك ْم ِم ْن ن‬ َّ
ِ ‫سا ِئ ُك ْم َو َربَا ِئبُ ُك ُم الَّلتِي فِي ُح ُج‬ ُ
َ ِ‫ع ِة َوأ َّم َهاتُ ن‬ َ ‫ضا‬ َ ‫لر‬ َ
َّ ‫ض ْعنَ ُك ْم َوأخ ََوات ُ ُك ْم ِمنَ ا‬ َ ‫أ َ ْر‬
‫ص ََّل ِب ُك ْم َوأَ ْن تَجْ َمعُوا َبيْنَ ْاْل ُ ْختَي ِْن‬ْ َ ‫ِب ِه َّن فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ُكونُوا دَخ َْلت ُ ْم ِب ِه َّن فَ ََّل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم َو َح ََّل ِئ ُل أَ ْبنَا ِئ ُك ُم الَّذِينَ ِم ْن أ‬
ً ُ‫َّللاَ َكانَ َغف‬
‫ورا َر ِحي ًما‬ َّ ‫ف ۗ إِ َّن‬ َ َ‫سل‬ َ ْ‫إِ ََّل َما قَد‬

Artinya: “Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu, anak-


anakmu, saudara-saudaramu, saudara-saudara ayahmu, saudara-
saudara ibumu, anak-anak saudara laki-lakimu, anak-anak saudara-
saudara perempuanmu anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-
anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada
masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Sebaliknya seseorang perempuan tidak boleh kawin untuk


selama-lamanya karena hubungan kekerabatan dengan laki-laki
tersebut di bawah ini.

 Ayah, ayahnya ayah dan ayahnya ibu dan seterusnya ke atas


 Anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki atau
perempuan dan seterusnya ke bawah
 Saudara-saudara laki-laki kandung, seayah atau seibu
 Saudara-saudara laki-laki ayah
 Saudara-saudara laki-laki ibu
 Anak laki-laki saudara laki-laki
 Anak laki-laki dari saudara perempuan
2. Haram perkawinan karena adanya hubungan karena adanya hubungan
perkawinan (mushaharah)

12
Bila seseorang laki-laki melakukan perkawinan dengan seseorang
perempuan, maka terjadilah hubungan antara si laki-laki dengan
kerabat si perempuan; demikian pula sebaliknya terjadi pula hubungan
antara si perempuan dengan kerabat laki-laki itu. Hubungan-hubungan
tersebut dinamai hubungan mushaharah. Dengan terjadinya hubungan
mushaharah timbul pula larangan perkawinan.
Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seseorang
laki-laki untuk selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah
sebagai berikut:
 Perempuan yang telah dikawini oleh ayah, baik perempuan
tersebut telah digauli oleh ayah atau belum
 Perempuan yang dikawini oleh anak laki-laki, baik perempuan
itu telah digauli oleh anak atau belum
 Ibu atau ibunya ibu dari istri, baik istri itu telah digauli atau
belum
 Anak-anak perempuan dari istri dengan ketentuan istri itu telah
digauli

Sebaliknya seorang perempuan tidak boleh kawin dengan


laki-laki untuk selamanya disebabkan hubungan mushaharah
sebagai berikut:
 Laki-laki yang telah mengawini ibunya
 Ayah-ayah dari suami
 Anak-anak dari suaminya
 Laki-laki yang telah pernah mengawini anak perempuannya

3. Karena hubungan persususan


Bila seorang laki-laki menyusu kepada seseorang perempuan maka
air susu perempuan itu menjadi darah dan oertumbuhan si anak
sehingga perempuan yang menyusukan itu telah seperti ibunya. Ibu
tersebut menghasilkan susu karena kehamilan yang disebabkan

13
hubungannya dengan suamninya: sehingga suami perempuan itu sudah
seperti ayahnya.
Adanaya hubungan persusuan itu muncul dengan dua syarat, yaitu:
a. Anak yang menyusu masih berumur dua tahun, karena dalam masa
tersebut susu si ibu akan menjadi pertumbuhannya
b. Si anak menyusu sebanyak lima kali susuan, karena bila kurang
dari itu belum akan menyebabkan pertumbuhan

Adapun perempuan yang haram dikawini untuk selamanya karena


hubungan susuan ini adalah ibu yang menyusukan dan perempuan-
perempuan yang menyusu kepada ibu itu. Hal ini dijelaskan didalam
Al-Quran surah An-Nisa ayat 23. Perempuan yang haram dikawini
karena susuan ini diperluas oleh Nbi dalam ucapannya yang berasal
dari Ibnu Abbas yang muttafaq ‘alaih yang artinya “Perempuan itu
tidak boleh saya nikahi karena dia adalah saudaraku sepersusuan.
Diharamkan karena hubungan susuan mana-mana yang diharamkan
karena hubungan nasah

Berdasarkan hadits Nabi tersebut bila ia menyusu kepada


seseorang perempuan maka ia sudah seperti ibunya dan dengan
sendirinya perempuan lain yang berhubungan nasah dengan
perempuan itu juga haram dikawininya, seperti ibunya, neneknya,
saudaranya dan anak-anaknya. Selanjutnya suami dari perempuan yang
menyusukan itu sudah menjadi ayahnya:maka perempuan yang
berhubungan nasab dengan laki-laki itu telah haram dikawininya.
Demikian pula haram menikahi istri-istri dan anak-anak dari laki-laki
tersebut.

Hubungan susuan ini disamping berkembang kepada hubungan


nasab, juga berkembang, kepada hubungan mushaharah. Bila
seseorang tidak boleh mengawini ibu tiri, maka keharaman ini juga
meluas kepada perempuan yang menyusukan ibu tiri itu. Bila seorang
laki-laki tidak boleh mengawini anak tiri, keharaman ini meluas
kepada perempuan yang disusukan oleh anak tiri itu. Bila haram
mengawini istri dari anak, maka haram pada mengawini perempuan

14
yang disusukan oleh anak itu. Bila haram mengawini ibu dari istri,
haram juga mengawini orang yang menyusukannya.

b. Mahram ghairu muabbad

Mahram ghairu muabbad ialah larangan kawin yang berlaku untuk


sementara berarti tidak boleh kawin dalam waktu tertentu karena sesuatu
hal: bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi.
Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal-hal tersebut di bawah ini:

1. Memadu dua orang yang bersaudara


Bila seorang laki-laki telah mengawini seorang perempuan, dalam
waktu yang sama dia tidak boleh mengawini saudara dari perempuan
itu. Dengan demikian bila dua perempuan itu dikawininya sekaligus
maka perkawinan dengan kedua perempuan itu batal. Bila dikawininya
dalam waktu yang berurutan, maka kawin yang kedua menjadi batal.
Hal ini dijelaskan Allah dalam surah An-Nisa ayat 23.
Pengertian dua orang bersaudara dalam ayat ini diperjelas oleh
Nabi dengan memperluiasnya kepada saudara perempuan ayahnya atau
saudara perempuan ibunya. Hal ini dijelaskan Nabi dalam haditsnya
dari Abu Hurairah menurut riwayat yang muttafaq ‘alaih: “Tidak boleh
dikumpulkan (dimadu) antara seorang perempuan dengan saudara
ayahnya dan tidak boleh dikumpulkan antara seorang perempuan
dengan saudara ibunya.”
Bila istri itu telah diceraikannya, boleh dia kawin dengan saudara
perempuannya atau dengan saudara ayahnya atau saudara ibunya.
2. Perkawinan yang kelima
Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak
mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila
salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya
dan habis pada masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima
itu haram dikawininya dalam masa tertentu, yaitu selama salah
seorang dari istrinya yang empat itu belum diceraikannya.
Pembatasan pada emat orang ini berdasarkkan pada firman Allah
dalam surah An-Nisa ayat 3 yang artinya : ” Dan jika kamu takut

15
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” .
Dari ayat tersebut jelas bahwa Islam membolehkan adanya
kawin poligami, yaitu seseoerang memiliki istri lebih dari satu
orang, namun kebolehan itu tidaklah secara mutlak, tetapi dengan
suatu syarat yaitu kemampuan berlaku adil diantara istri-istrinya
itu.
3. Perempuan yang bersuami atau dalam iddah
Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan
begitu pula yang telah dicerai oleh suami atau kematian suami
tetapi masih berada dalam iddah haram dikawini. Keharaman itu
berlaku selama perempuan itu belum dicerai oleh suaminya dan
yang menjalani iddah belum habis iddahnya. Setelah itu ia boelh
dikawini oleh siapa saja.
4. Mantan istri yang telah ditalak tiga bagi mantan suaminya
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan tiga
talak, baik sekaligus atau bertahap, mantan suaminya haram
mengawininya sampai mantan istri itu kawin dengan laki-laki lain
dan habis pula pada iddahnya. Hal ini dinyatakan Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 230 :

‫ظنَّا أَ ْن‬
َ ‫طلَّقَ َها فَ ََّل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما أ َ ْن يَت ََرا َجعَا إِ ْن‬
َ ‫طلَّقَ َها فَ ََّل ت َِح ُّل لَهُ ِم ْن بَ ْعد ُ َحت َّ ٰى ت َ ْن ِك َح زَ ْو ًجا َغي َْرهُ ۗ فَإ ِ ْن‬
َ ‫فَإ ِ ْن‬
َّ ُ ‫َّللاِ ۗ َوتِ ْلكَ ُحد ُود‬
َ‫َّللاِ يُبَ ِِّينُ َها ِلقَ ْو ٍم َي ْعلَ ُمون‬ َّ َ‫يُ ِقي َما ُحد ُود‬

Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah


talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika

16
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.”
5. Perempuan yang sedang ihram
Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji atau ihram umrah,
tidak boleh dikawini oleh laki-laki mana pun kecuali sudah lepas masa
ihramnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam haditsnya dari
Usman ibn Affan menurut riwayat Muslim yang mengatakan: “Orang-
orang sedang ihram tidak boleh kawin dan tidak boleh dikawinkan.”
6. Perempuan pezina sebelum tobat
Perempuan pezina haram dikawini oleh laki-laki baik
(bukanpezina), sampai ia taubat. Keharaman mengawini pezina ini
didasarkan kepada firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 3:

‫الزانِيَةُ ََل يَ ْن ِك ُح َها‬ َّ َ‫ان أ َ ْو ُم ْش ِركٌ ۚ َو ُح ِ ِّر َم ٰذَلِكَ َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين‬
َّ ‫الزانِي ََل يَ ْن ِك ُح إِ ََّل زَ انِيَةً أ َ ْو ُم ْش ِر َكةً َو‬ ٍ َ‫إِ ََّل ز‬

Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan


yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina
tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin.”
Bila perempuan pezina itu telah taubat, boleh dikawini karena dengan
taubatnya itu sudah menjadi perempuan baik.
7. Perempuan musyrik
Perempuan musyrik yaitu yang percaya kepada banyak tuhan atau
tidak percaya sama sekali kepada Allah, haram dinikahi oleh seorang
muslim. Begitu pula sebaliknya laki-laki musyrik haram kawin dengan
perempuan muslimah kecuali bila ia telah masuk Islam. Keharaman
kawin laki-laki muslim dengan perempuan musyrik atau perempuan
muslimah dengan laki-laki musyrik dinyatakan Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 221 yang artinya ; “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang

17
musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.”

Mengawini perempuan ahli kitab bagi laki-laki muslim sebenarnya


dibolehkan, oleh karena ada petunjuk yang jelas terdapat dalam Al-
Quran, sebagaimana diantaranya terdapat dalam surah Al-Maidah ayat
5 yang artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik.
Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”

Yang dimaksud ahli kitab dalam ayat ini adalah orang Yahudi dan
Nasrani yang hidup di masa Nabi Muhammad, yang mana waktu iyu
agama mereka masih diterima oleh Nabi. Dalam hal apakah hukum
mengawini perempuan ahli kitab dalam ayat tersebut juga berlaku
untuk orang Yahudi dan Kristen sekarang (Katholik atau Protestan
dengan segala sectenya), terdapat perbedaan diantara ulama fiqh.
Mayoritas ulama mengatakan mereka tidak lagi termasuk pada
pengertian ahli kitab yang boleh dikawini. Mereka dikelompokkan ke
dalam pengertian musyrik yang terdapat dalam ayat tersebut di atas.
Adapun perkawinan muslimah dengan laki=laki ahli kitab disepakati

18
oleh ulama tentang keharamannya, karena tidak ada petunjuk sama
sekali yang membolehkannya. 3

2.4 Khitbah
Pengertian khitbah

Secara etimologi khitbah dalam bahasa Indonesia adalah pinangan


atau lamaran yang berasal dari kata pinang, meminang. Meminang
dimaknai sebagai thalabah al mar’ah li al-zawaj permintaan kepada
wanita untuk dijadikan istri. Secara terminologi khitbah adalah pernyataan
permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan atau sebaliknya dengan perantaran seseorang yang dipercayai
maupun secara langsung tanpa perantara. Adapun salah satu tujuan
disyariatkannya khitbah adalah agar masing-masing pihak dapat
mengetahui calon pendamping hidupnya.
Sedangkan menurut Mahmud Al Mashri menjelaskan yang
dimaksud dengan khitbah adalah meminta seorang wanita untuk menikah
dengan cara dan media yang biasa dikenal di tengah masyarakat. Hal
senada diungkapkan Sayyid Sabiq bahwa meminang adalah seorang laki-
laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan
cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian khitbah dapat dimaknai sebagai ungkapan
seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk dijadikan istri yang
menemani dalam kehidupannya sampai tibanya ajal kelak, dengan cara
yang telah berlaku di masyarakat secara umum di tempat tinggalnya dan
tidak melanggar aturan agamanya. Meminang hanya merupakan
mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar menuju ke
perkawinan. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita
untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap
wanita untuk dijadikan bakal/ calon istri atau sebaliknya.
Wanita yang telah khitbah atau dipinang tetap merupakan orang
asing (bukan mahram). Tidak boleh wanita yang dikhitbahnya diajak

3
Amir Syarifuddin.2003.Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta Timur: Renada Media hl.106-117

19
hidup serumah layaknya berumah tangga, karena hal itu baru boleh
setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syariat agama dengan
rukun dan syarat tertentu. Karena kehalalan belum didapat maka tidak
diperkenan bagi seorang laki-laki atau sebaliknya untuk berduaan tanpa
adanya orang ketiga, khitbah bukanlah pintu pembuka kehalalan dalam
setiap perbuatan kepada yang di-khitbah, khitbah hanyalah pintu pembuka
menuju persetujuan diterimanya permintaan sebagai calon suami atau istri.

A. Hukum Khitbah
Meng-khitbah di dalam islam bukan tanpa alasan atau dasar
melainkan dilakukan atas dasar firman Allah dan sunnah Nabi saw,
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235:

‫ستَذْ ُك ُرو َن ُه َّن َو ٰلَ ِك ْن ََل‬


َ ‫َّللاُ أَنَّ ُك ْم‬
َّ ‫اء أ َ ْو أ َ ْكنَ ْنت ُ ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم ۚ َع ِل َم‬
ِ ‫س‬َ ِِّ‫طبَ ِة الن‬ْ ‫ضت ُ ْم ِب ِه ِم ْن ِخ‬
ْ ‫َو ََل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َما َع َّر‬
ََّ‫ع ْقدَة َ ال ِنِّكَاحِ َحت َّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْال ِكتَابُ أَ َجلَهُ ۚ َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن َّللا‬ ُ ‫ت ُ َوا ِعد ُوه َُّن ِس ًّرا إِ ََّل أ َ ْن تَقُولُوا ق ْوَل َم ْع ُروفا ۚ َوَل ت ْع ِز ُموا‬
َ َ ً ً َ
‫ور َح ِلي ٌم‬ ٌ ُ‫َّللاَ َغف‬َّ ‫يَ ْعلَ ُم َما فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم فَاحْ ذَ ُروهُ ۚ َوا ْعلَ ُموا أَ َّن‬

Dan tidaklah ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka)
dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk
menikah) dengan mereka secara rahasia kecuali sekedar mengucapkan
kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah
sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah Allah
Maha Pengampun, Maha Penyantun.
Di dalam hadist disebutkan:

Dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah bersabda: jika


seseorang meminang perempuan, maka jika ia menginginkan untuk
melihatnya, maka lakukanlah sehingga engkau melihatnya sesuatu
yang menarik untuk menikahinya (HR. Ahmad).

20
Namun demikian khitbah bukanlah syarat sah nikah, dengan atau
tanpa khitbah nikah tetap sah, dalam pandangan jumhur ulama khitbah
bukanlah sebuah kewajiban sekalipun ada ulama yang lain yang
menjadikannya wajib.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa khitbah ini hukumnya
mustahab (dianjurkan) karena hal ini dilakukan oleh Rasulullah S.A.W
terhadap Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar r.a.
Berdasar kepada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 235
dan hadist Nabi saw di atas maka para ulama menjadikan khitbah ini
hukumnya mubah.

B. Akibat Hukum Khitbah


Ketika masih berada dalam masa khitbah, antara laki-laki dan
perempuan itu masih merupakan orang asing sehingga masih belum berlaku
kewajiban dan hak antara keduanya.
Dalam pasal 3 KHI ini menyebutkan secara jelas mengenai akibat
hukum dari suatu khitbah, yakni :

1. Pinangan atau khitbah tersebut belum menimbulkan akibat


hukum dan kedua belah pihak bebas untuk memutuskan
hubungan khitbah
2. Kebebasan untuk memutuskan hubungan khitbah dilakukan
dengan cara yang baik yang sesuai dengan tuntunan agama
dan juga kebiasaan di daerah setempat, sehingga dapat tetap
terjalin kerukunan dan saling menghargai.

C. Fungsi Khitbah

Khitbah atau meminang sebagai proses pendahuluan menuju jenjang


pernikahan mempunyai fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai cara untuk saling mengenal antara si peminang dan


yang dipinang.
2. Supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.

21
Diterapkanya kedua fungsi khitbah di atas,maka ada dua hal yang
berdampak positif untuk yang dipinang ataupun peminang.

1. Memberi dorongan untuk segera melaksanakan pernikahan.


2. Kedua belah pihak akanmenjadi lebih yakin untuk hidup
bersama dengan damai,bahagia, dan sejahtera serta saling
mencintai dan menyayangi.

D. Wanita yang Boleh di-khitbah


Pada dasarnya semua wanita yang memenuhi dua syarat boleh
dipinang, syarat tersebut yaitu:
1. Hendaklah wanita itu tidak memiliki halangan dan larangan untuk
menikah.
2. Belum dipinang oleh laki-laki lain.

Menurut Sayyid Sabiq wanita yang boleh dipinang jika memenuhi


dua syarat, pertama, pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan
hukum yang melarang dilangsungkannya pernikahan. Kedua, belum
dipinang orang lain secara sah.
Larangan mengkhitbah ini berdasarkan hadist Nabi saw:

Dan Abdur Rahman bin Syimamah bahwasanya ia mendengar


Uqbah bin ‘amir di atas mimbar berkata, sesungguhnya Rasulullah
saw bersabda Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain.
Tidak halal seorang mukmin menawar di atas tawaran saudaranya dan
meminang (seorang wanita) di atas pinangan saudaranya hingga nyata
(bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda:


Dan tidak diperkenan seorang laki-laki meminang pinangan
saudaranya, sebelum dia pasti menikahinya atau meninggalkannya (HR.
Bukhari nomor 5143).

22
Imam An-Nawawi berkata: “Hadist ini mengharamkan secara tegas
pinangan atas pinangan. Para ulama juga sepakat bahwa jika jawaban telah
diberikan kepada si peminang, sementara si peminang belum memastikan
menikah atau meninggalkan pinangannya, orang lain tak boleh maju
meminang wanita yang sama. Jika bersikukuh melakukannya, berarti ia
telah bermaksiat, kendati akad nikahnya sah dan tak perlu di-fasakh, ini
adalah pendapat kami dan ulama Jumhur’. Hal senada diungkapkan Ibnu
Qudadamah bahwa pinangan seorang laki-laki atas pinangan saudaranya
dilarang dan diharamkan.
Jelaslah bahwa pinangan yang dilakukan di atas pinangan laki-laki
lain menjadi haram hukumnya dan ini menjadi haram hukumnya dan ini
menjadi pendapat jumhur ulama, meskipun ada sebagian ulama yang
menjadikan makruh sebagai landasan hukumnya.
Larangan ini berlaku manakala khitbah itu baik secara terang-
terangan maupun dengan sindiran. Jika khitbah itu ditolak, atau khitbah
pertama belum diterima dan juga belum ditolak, atau laki-laki pertama
mengizinkan laki-laki kedua meminangnya, maka laki-laki kedua boleh
meminangnya.

E. Jenis Khitbah
Dari kejadian proses khitbah yang terjadi di zaman Nabi maupun
dalam perkembangannya di saat sekarang ini, dapat dilihat bahwa khitbah
terdiri dari dua jenis, yaitu:
1. Secara langsung: pinangan dilakukan dengan permintaan yang
lugas dan tanpa perantara
2. Secara tak langsung: pinangan dilakukan dengan permintaan
dengan bahasa kiasan atau sindiran, baik diucapkan sendirimaupun
dengan perantaraan orang lain.

23
F. Proses Khitbah
Khitbah bukanlah hal baru dalam Islam, pelaksanaan khitbah ini
jauh semudah terjadi di zaman Rasulullah, kala itu sahabat beliau,
Abdurrahman bin ‘Auf yang meng-khitbah Ummu Hakim Binti Qarizh.
Kisah sahabat Nabi ini diabadikan dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari:
Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim binti Qarizh:
“Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab
“Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu,
baiklah kamu saya nikahi.” (HR. Bukhari).
Menurut Muhammad Thalib kejadian ini menunjukkan seorang
laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi
oleh orangtua atau walinya dan Rasulullah saw tidak menegur atau
menyalahkan Abdurrahman bin ‘Auf atas kejadian ini. Selain itu, seorang
wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi
suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh ber-khalwat atau melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah saw,
seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku
kepada Engkau’. Rasulullah saw lalu melihatnya dengan menaikkan dan
menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak
memberikan keputusannya, maka wanita itu pun tertunduk (HR. Bukhari).

G. Pembatalan Khitbah
Pembatalan khitbah di masyarakat kita memang masih tabu, hina,
bahkan menyakitkan yang kadang menimbulkan gejolak kebencian di
antara yang meng-khitbah dan yang di-khitbah, tak jarang kadang malah
melibatkan orang-orang yang ada di sekitar khitbah itu sendiri. Hal ini
sesungguhnya karena khitbah belum dipahami secara mendasar tentang
fungsi dan tujuannya. Pembatalan khitbah merupakan hal yang wajar,
bukanlah hal yang berlebihan. Kelirunya adalah ketika menganggap

24
pembatalan khitbah ini sebagai sesuatu yang berlebihan, sehingga
terkadang menyebabkan keterlibatan orang lain, hal ini disebabkan ada
anggapan bahwa pembatalan khitbah terjadi karena terlalu banyaknya
kekurangan yang dimiliki oleh salah satu calon terhadap calon yang lain.
Pada akhirnya yang dibatalkan akan merasa sebagai pihak yang tidak akan
pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya, karena saat ini pun
kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan
khitbah nya dengan seseorang. Pembatalan khitbah harus dilakukan
sebagaimana mengawali khitbah dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan
tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khitbah, hal yang
perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan
pembatalan tersebut terjadi, di antaranya ditemukannya kekurangan dari
salah satu calon yang bersifat fatal dan sulit untuk diperbaiki, seperti
memiliki penyakit yang menular dan membahayakan, tidak mau diajak
berubah dari akhlak dan perilaku yang buruk dan melanggar syariat, atau
memiliki kelainan seksual, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila
berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Berdasar alasan-alasan yang tidak syar’i, maka pembatalan khitbah tidak
boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan
merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi
janji untuk menikahi pihak yang dikhitbahnya.
Dengan adanya pembatalan khitbah tidak menyebabkan apa yang
telah diberikan mutlak harus dikembalikan, karena sesungguhnya apa yang
telah diberikan di saat melangsungkan khitbah merupakan hadiah, maka
hadiah menjadi mutlak menjadi milik penerima dan tidak ada alasan untuk
mengambil hadiah yang telah diberikan sekalipun atas dasar putusnya
khitbah. Karena umumnya yang terjadi di masyarakat ketika
melangsungkan khitbah selalu aja ada yang diberikan kepada pihak yang
di-khitbah, pemberian itu sesungguhnya sebagai bukti nyata dari
keseriusan khitbahnya dan sebagai tanda bahwa wanita tersebut sedang
dalam khitbah laki-laki. Namun dalam syariat ajaran agama pemberian

25
apapun yang diberikan saat khitbah baik berupa pemberian cincin maupun
sejenisnya merupakan atas dasar kesukaan, dan hadiah yang diberikan
maka menjadi hak milik dari yang menerima pemberian tersebut. Dan
tidak boleh diminta kembali di saat khitbah dibatalkan. Di saat pembatalan
khitbah terjadi maka kedua belah pihak harus memasrahkan segala
urusannya kepada Allah semata dan memohon kebaikan dari apa yang
telah terjadi dan yang telah Allah persiapkan di kesempatan yang lain. 4

2.5 Rukun Nikah dan Syaratnya


Pengertian rukun,syarat,dan sah
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus
dipenuhi. Menurut bahasa rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan,sedangkan syarat adalah ketentuan (perbuatan petunjuk) yang harus
diindahkan dan dilakukan.
Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya
suatu perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. sedangkan syarta
adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada
diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya menyebabkan hukum itupun tidak
ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat sama-sama menentuan sah atau tidaknya
suatu transaksi.perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqh,bahwa
rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum,tetapi ia
berada di luar hukum itu sendiri.Sah yaitu suatu pekerjaan (ibadah) yang
memenuhi rukun dan syarat.
A. Rukun nikah
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan
2) Adanya wali dari pihak wanita
3) Adanya dua orang saksi
4) Sighat akad nikah
Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat:

4
Dahlan. 2012. Fikih Munakahat. Yogyakarta: CV. Budi Utama. hl 10-27

26
a) Imam maliki mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:
- Wali dari pihak perempuan
- Mahar(mas kawin)
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Sighat aqad nikah
b) Imam Stafi’I mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam:
- Calon pengantin laki-laki
- Calon pengantin perempuan
- Wali
- dua orang saksi
- Sighat akad nikah
c) Menurut Ulama Hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan qabul.
d) Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat karena calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung satu rukun.
e) Rukun nikah ada tiga yaitu:
-Sighat
yaitu perkataan dari pihak wali perempuan,seperti kata wali, “ saya
nikahkan engkau dengan anak saya yang bernama…” jawab mempelai
laki-laki,”saya terima menikahi…” boleh juga didahului oleh perkataan
dari pihak mempelai,seperti “Nikahkanlah saya dengan anakmu.” jawab
wali “saya nikahkan engkau dengan anak saya….” karena maksudnya
sama.
tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah,tazwij,atau
terjemah dari keduanya.
Sabda Rasulullah Saw:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan.Sesungguhnya kamu
ambil mereka dengan kepercayaan Allah,dan kamu halalkan kehormatan
mereka dengan kalimat Allah.” (Riwayat Muslim)
Yang dimaksud “kalimat Allah” dalam hadits ialah Al-Qur’an,dan dalam
Al-Qur’an tidak disebutkan selain dua kalimat itu(nikah dan tazwij),maka
harus dituruti agar sah.Pendapat yang lain mengatakan bahwa akad sah

27
dengan lafadz yang lain,asal maknanya sama dengan kedua lafadz
tersebut,karena asal lafadz akad tersebut ma’qul makna,tidak semata-
mata ta’abbudi.
-Wali(wali si perempuan).Keterangannya adalah sabda Nabi Saw:
“Barang siapa diantara perempuan yang menikah tidak dengan izin
walinya, maka pernikahannya batal.” (Riwayat empat orang ahli
hadits,kecuali Nasai).
- Dua orang saksi.
Sabda junjungan kita Saw:
“tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksiyang adil.”(Riwayat
Ahmad).

B. Syarat sahnya perkawinan


Syarat-Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan,apabila
syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak
dan kewajiban sebagai suami istri.

Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua:

Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-lakiyang ingin


menjadikannya istri(UU RI No.1 Tahun 1974 pasal 8)

Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.

C. Syarat-syarat rukun nikah


Sebagai rinci rukun-rukun nikah diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya
sebagai berikut:

Syarat-syarat kedua mempelai

a. Calon mempelai laki-laki


Syariat islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang
suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu:
- Calon suami beragama islam
- Terang (jelas)bahwa calon suami itu betul laki-laki

28
- Orangnya diketahui dan tertentu
- Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri
- Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri
halal baginya
- Calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1
Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
- Tidak sedang melakukan ihram
- Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
- Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal
3 Ayat 1 )
b. Calon mempelai perempuan
Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :
- Beragama Islam.
- Terang bahwa ia wanita
- Wanita itu tentu orangnya
- Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)
- Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
- Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
2.) Syarat-syarat ijab Kabul
- Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali
oleh wali. Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan
sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki
sebagai suami sah. Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon
penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan. Bentuk
pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas
yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas
ijab perempuan Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan
lisan, inilah yang dinamakan akad nikah. Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami.
- Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya
sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.

29
Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh pihak mempelai
laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau
wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh
sebaliknya.
- Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang
lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan
kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar
dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi. Khanafi
membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu
majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan
salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.

Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij,
yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu
terdapat didalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I
dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan kalimat yang lain yang
tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah,
pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan
3.) Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil.
Perkawinan tanpa wali tidaklah sah Berdasarkan sabda Nabi SAW :
ِّ ِ ‫)الخمسى رواه( اْ َلو ِلي‬
ِ ‫ى ا ََِّل‬
‫ب ِنكَا َح ََل‬
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
‫اام َرأ َ ٍة‬
ْ ‫ت اَيِّ َم‬ْ ‫اط ٌل ِن بِ َغي ِْرإِ ِد نَ َك َح‬ ِ َ‫اط ٌل ُْح فَنِكَا َو ِليِِّ َهافَ ِنكَا ُح َهاب‬ ِ َ‫فَلَ َهااْال َم ْه ُر بِ َها دَ َخ َل فَإ ِ ْن ُح َهاب‬
ِ َ‫اط ُل فَنِكَا هَاب‬
‫فر ِج َهافَإ ِ ِن ِم ْن بِ َما ْستَ َح َّل‬
ْ ُ‫طان‬ َ ‫)ئى النسا اَل الخمسة رواه( لَهُ َو ِلى َلَ َم ْن َو ِلى ا ْستَ َج ُر ْوافَالس ُّْل‬
“perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin
walinya perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal, perkawinannya
itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual,
siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia
buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan,

30
sultanlah yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah
kecuali An-Nasaiy)
Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang
telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri
tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan malik berpendapat,
wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan bukan
untuk mengawinkan perempuan awam.
Anak kecil, orang gila, dan budak tidak mendapat wali. Bagaimana
mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka
sendiri tidak mampu.
Abu khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan
yang berakal dan sudah dewasa sebagai berikut :
“sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak
mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,…
akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad
perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang
merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad
nikahnya.
Akan tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak
menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri
itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak sepadan) atau apabila
maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil
Bahkan apabila ia mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak
kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang
diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah ketidak sahan
perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan
pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan
dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan
yang demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.
Menurut riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi perkawinan
yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar
memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri

31
itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab
apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta
perceraiannya dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk
menjaga kandungan.
Dan apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar
mitsil, apabila wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila
wali tidak dapat menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim
memfasakhkan perkawinan tersebut.
Akan tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia
tidak mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali
‘ashib siapapun tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut
untuk melakukan akadnya, baik itu ia kawin dengan seorang laki-laki yang
kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar mitsil ataupun bahkan dengan
mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab dengan keadaan yang
demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada tanggung
jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan
tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu
tersebut, dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari
kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz
VII cet. 1968/1388)
Wali hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan
hadits berikut ini :
ْ ‫س ْو ُل ا َ َّن َعب‬
‫َّاس اِ ْبنُ َع ْن‬ ُ ‫ قا َ َل وسلم عليه هللا صلى هللا َر‬: ٌ‫نُ ت ُ ْست َأْدَ َو ِل ِيِّ َه َاواْل ِب ْك ُر ِم ْن ِبنَ ْف ِس َها ا َ َح ُّق اَلثَ ِيِّب‬
‫ص َمات ُ َها َوإِدْنُ َها نَ ْف ِس َها فِ ْي‬
ُ (‫)ئى والنسا داود وابى َلاحمد رواية البخاروفي اَل الجماعة رواه‬
‫اْلبِ ْك ٌريَ ْست َأ ْ ِم ُرهَا‬
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa : janda itu
lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta
izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah
kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud
dan An Nasaiy dikemukakan :
‫َواْلبِ ْك ُريَسْتأ ْ ِم ُرهَاأَب ُْوهَا‬
“dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”

32
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu :
a. Bapak
b. Kakek dan seterusnya keatas
c. Saudara laki-laki sekandung/seayah
d. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah
f. Paman sekandung/seayah
g. Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah
h. Saudara kakek
i. Anak laki-laki saudara kakak
Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :
a.) Wali mujbir yaitu wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu
keridhoan yang dikawinkan itu.
b.) Wali nasab yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga
dengan calon pengantin perempuan. wali nasab ialah saudara laki-laki
sekandung, bapak, paman beserta keturunnnya menurut garis patrilineal.
c.) Wali hakim.
4.) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,
baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan
maksud akad nikah
Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang
lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut khanafi boleh dua orang
buta atau dua orang fasik. Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak
boleh menjadi saksi.
Sebagian besar ulama berpendapat saksi merpakan syarat (rukun)
perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi
tidak sah. Inilah pendapat syafi’I, khanafi, hanbali.
Bagaimana kalau saksi seorang, lalu datang seorang saksi lagi?Menurut
kebanyakan ulama dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian

33
pendirian ulama khuffah. Sedang menurut ulama madinah , termasuk
imam malik, akad nikah sah apabila didatangi oleh seorang saksi,
kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu diumumkan.

34
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama
Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki
dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan mendapatkan keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah yang
berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.

Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,


mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah
pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Meskipun demikian, hukum, nikah dapat berubah menjadi sunah,
wajib,makruh,atau haram.

Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia


(prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

3.2 Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki
dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia
dalam mendapatkan keturunan yang sah.

Maka dari itu, kita harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari hukum
nikah, rukun nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah menikah, agar
kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman di dalam keluarga jangan terus
membuat keputusan untuk bercerai, karena bercerai itu tidak disukai oleh Allah
SWT.

35
Daftar pustaka
Sumber Buku

Amir Syarifuddin.2003.Garis-garis Besar Fiqh.Jakarta Timur: Kencana

Dahlan. 2012. Fikih Munakahat. Yogyakarta: CV. Budi Utama.

Dewantoro Sulaiman. 2002. Agenda Pengantin. Solo:Hidayatul Insan

Rasjid Sulaiman. 1996. Fikh Islam. Bandung: Baru Algesindo

Sumber Internet

Fazil Azmi.2013.Pengertian Nikah Menurut Imam


Madzhab.(http://fazilazmi.blogspot.co.id) Diakses pada tanggal 19 November 2017
Aris Muzzayyin.2016.Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan
Perbandingan di Negara Kontemporer. (http://Arismuzayyin.blogspot.co.id)
Diakses pada tanggal 19 November 2017

36

Anda mungkin juga menyukai