Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Perkawinan Wanita Hamil Dan Asal Usul Anak


Perspektif Fiqih dan KHI
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Dosen Pengampu : Ibnu Radwan Siddiq T.,M.Ag

Disusun Oleh : Kelompok 9


Juleha (0204212164)
Mutya Fradilla Budiman (0204212081)
Riki Alamsyah Hasibuan (0204212086)
Eva Yunijar Harahap (0204212101)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb Alhamdulillah puji dan syukur kita panjatkan


kehadirat Allah swt. Atas rahmat dan hidayah- nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia"Perkawinan
Wanita Hamil Dan Asal Usul Anak Perspektif Fiqih dan KHI"dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
Islam Di Indonesia .Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Hukum Perdata Islam Di Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak dosen pengajar selaku
dosen mata kuliah . Hukum Perdata Islam Di Indonesia Ucapan terimakasih juga
disampaian kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah
ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah
ini.

Medan, Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3


2.1 Hukum Menikahkan Wanita Hamil Menurut Perspektif ...................... 3
2.2 Hukum Menikahkan Wanita Hamil Menurut KHI…………………… 6
2.3 Perkawinan Wanita Hamil Menurut UU No. 1 Tahun 1974………………... 6
2.4 Analisis perbedaan dan persamaan pendapat tentang status hukum
perkawinan wanita hamil di luar nikah menurut Imam Mazhab dan Kompilasi
Hukum Islam……………………………………………………………….. 8
2.5 Nasab dan Waris Anak yang Lahir dari Perkawinan di Luar Nikah………… 10

BAB III PENUTUP ...................................................................................... 14


3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 14
3.2 Saran ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak
yang setara laki-laki dan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan
berdasarkan hukum atas kerelaan dan kesukaan untuk hidup Bersama Hubungan
laki-laki dan perempuan yang dipenuhi dengan cinta kini dikenal dengan sebutan
pacaran bukanlah hal yang tabuh bagi masyarakat zaman sekarang bahkan tingkat
sekolah dasar pun telah mengenal pacaran. Pacaran zaman sekarang banyak yang
telah mengarah pada hubungan intim pra nikah atau seks bebas. Hubungan seperti
ini berdampak pada lembaga perkawinan dan pergaulan yang telah melenceng
jauh dari kaidah-kaidah agama.

Seks bebas dalam hukum Islam merupakan perbuatan tercela dan dilaknat
oleh Allah, karena perbuatan zina dapat berakibat buruk terhadap pelakunya, dari
mulai penyakit yang menular hingga terjadinya hamil diluar nikah. Padahal Allah
telah menegaskan dalam firman-Nya dalam surah Al-Isra’ ayat 32 yaitu:
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang kej i . dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al - I s r a ’ : 3 2 ) .

Perkawinan telah diatur secara jelas oleh ketentuan-ketentuan hukum


Islam yang digali dan sumber-sumbernya baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan
hasil Ijtihad. Oleh karena itu bagi umat Islam adalah suatu kemestian untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan yang diatur oleh dalil-dalil
yang jelas dan benar dalam persoalan yang kecil sekalipun.Bagi seorang gadis
tentu dia tidak pernah hamil, karena belum pernah kawin, yang menjadi persoalan
ialah ternyata dia hamil, maka dapat dipastikan bahwa kehamilannya itu adalah
hasil dari hubungan seksual di luar perkawinan. Akibatnya dengan berbagai
pertimbangan dicoba untuk menutup-nutupinya, antara lain dengan
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki, baik dengan orang yang
menghamilinya, ataupun dengan laki-laki lain yang bersedia mengawininya.

Dalam ketentuan hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual


di luar perkawinan dihukumkan zina, jika wanita yang berbuat zina itu hamil,
maka para Imam Mazhab fiqh berpendapat, apakah wanita yang hamil itu boleh
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki ataukah tidak boleh. Ada diantara
pendapat Imam Mazhab yang membolehkan wanita yang hamil itu
melangsungkan perkawinan denga laki-laki yang menghamilinya atau dengan
laki-laki lain. Tetapi ada pula pendapat Imam Mazhab yang tidak membolehkan
Wanita yang hamil itu melangsungkan perkawinannya.

1
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan wanita hamil telah
mendapat
tempat pada Bab VIII Pasal 53 ayat 1, 2, dan 3 dan membolehkannya wanita
hamil
melangsungkan perkawinannya dengan laki-laki yang menghamilinya.
Pembolehan kawin hamil dalam KHI pasal 53 yaitu yang berbunyi:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.(UU RI No. 1 tahun, 2009:
245) .

Hukum menikah dengan wanita yang sedang hamil zina, oleh para ulama
amat diperselisihkan. Imam Al-Qurthubi seorang pakar hukum Islam
menguraikan perkawinan seorang dengan penzina, beliau mengemukakan bahwa:
“sahabat Nabi Ibn’ Abbas berpendapat bahwa seseorang yang menikahi wanita
yang telah dizinahinya, perkawinannya dinilai sah. Memang awalnya adalah
penzinaan sebelum dia kawin, tetapi akhirnaya adalah nikah yang sah
setelah akad nikah dilaksanakan”. Pendapat ini dianut oleh Imam Syafi’i dan Abu
Hanifah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah menurut


perspektif Fiqih ?
2. Bagaimana hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah menurut
perspektif KHI ?

1.3Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hukum pernikahan wanita hamil di luar nikah


menurut perspektif Fiqih.
2. Untuk mengetahui pernikahan wanita hamil di luar nikah menurut
perspektif KHI.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Menikahkan Wanita Hamil Menurut Perspektif Fiqih

Perbuatan zina dianggap perbuatan atau penyakit masyarakat yang merusak


dan merugikan banyak pihak. Dalam Islam perbuatan tersebut merupakan dosa besar
yang harus dijauhkan atau dihilangkan dari semua kalangan baik itu anak-anak,
remaja, dewasa yang belum berkeluarga dan yang sudah berkeluarga. Islam
mengharamkan semua bentuk zina, maka dari itu Islam selalu berusah mengatur
batas pergaulan yang dibolehkan dalam syariat. Islam juga memberikan al-hudud
bagi pelaku zina dengan tujuan memberikan titik jera pada pelakunya dan untuk
menghentikan atau mencegah perbuatan zina tersebut. Islam menganjurkan untuk
seluruh ummat muslim tau akan kewajibannya selalu mengingat Allah di mana
pun berada, baik itu lagi sendiri maupun di tempat keramaian.

Sesungguhnya islam telah mengharamkan zina dan hal-hal yang


membangkitkannya, seperti pergaulan yang diaharamkan dan pertemuan tertutup
(khalwat) yang berdampak pada tindakan negatif.1Untuk itu, ada banyak ayat al-
Qur'an yang mendidik dan membimbing masyarakat muslim. Kepada nilai-nilai
yang luhur, diantaranya dalam QS. An-Nur :30

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka


menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka
perbuat"2

Ayat itu memerintahkan agar memelihara furuj (kehormatan) dari korban


syahwat yang tidak halal, menjaga hati dari berpikir hal-hal yang tidak halal, dan
menjaga komunitas masyarakat dari mengikuti keinginan syahwat dan
kesenangannya dengan tanpa batas.3Tentang boleh atau tidaknya seseorang
menikah dalam keadaan hamil itu ada dan dibicarakan di dalam kitab-kitab fiqh,
apakah hamil akibat hubungan diluar nikah atau karena suaminya sendiri. Ketika
hamil diluar pernikahan maka akan tergolong dalam kategori perzinahan.Hal
tersebut juga terjadi perbedaan pendapat oleh ulama tentang menikahi orang yang
telah berzina4

Menurut istilah, zina adalah melakukan jima antara pria dan wanita yang
belum melakukan akad nikah atau belum sah menurut agama dan Negara, atau

1
Yahya Abdurrahman Al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil (Ibadah, Perdata dan Pidana),
Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2003, h. 81
2
Kementrian AgamaRI,Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Mufid, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Cet. I, 2013,h. 353
3
Yahya Abdurrahman al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil (Ibadah, Perdata dan Pidana),
Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2003, h. 82
4
M. Yonus, Qomus ‘Arobiyyun-Indunisiyyun,Jakarta: PT. Hidaya Karya Agung, Cet. VIII, 1989,
h. 158

3
suatu prilaku jima antara seorang perempuan yang tidak ada hubungan ikatan
pernikahan (perkawinan) dengan seorang pria yang bukan mahramnya.5Mazhab
Syafi’I berpendapat bahwa perempuan yang mengandung yang disebabkan oleh
perbuatan zina maka dibolehkan menikah dengan pria lain. Sebagaimana dalam
kitab suci Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 24

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali


budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.6
Ayat tersebut diatas memiliki arti bahwa perempuan yang telah melakukan
zina boleh di nikahi atau tidak termasuk ke dalam golongan wanita yang haram
untuk dinikahi. Sebagaimana juga di dalam kitab suci Al-Qur’an dalam surah An-
Nur ayat 32

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui.7

Ayat tersebut diatas mengandung arti bahwa seorang pria dan seorang
perempuan yang tidak memiliki pasangan, agar ditolong supaya mereka bisa
menikah. Pendapat imam mazhab hanafi mengatakan bahwa perempuan yang
sedang mengandung siapapun boleh menikahinya, baik pria yang bukan
menghamilinya maupun pria yang telah menghamilinya. Alasannya sama dengan
pendapat dari mazhab imam Syafi’I tapi terdapat syarat-syarat yang dikatakan
oleh imam Syafi’I adalah ketika yang menikahi perempuan yang mengandung
tersebut merupakan pria yang bukan melakukan perperbuatan zina terhadapnya,
maka diperbolehkan untuk menikahinya namun tidak boleh bersetubuh sebelum
perempuan tersebut melahirkan.

Pendapat mazhab imam Hanbali wanita yang telah melakukan zina, baik
perempuan tersebut hamil, maupun perempuan tersebut tidak hamil maka
perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk di nikahi, namun terdapat syarat-
syarat yang membolehkannya yaitu :

5
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. I, 1988, h. 1018
6
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Mufid, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Cet. I, 2013,h. 82
7
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Mufid, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Cet. I, 2013, h. 354

4
1. Wanita tersebut masa iddahnya telah habis (tiga kali suci), tapi ketika wanita
tersebut hamil, maka iddahnya setelah anak tersebut lahir dan tidak diperbolehkan
menikahinya tanpa masa iddahnya tersebut selesai.
2. Perempuan tersebut telah bertaubat atas perbuatan maksiat yang dilakukannya,
apabila belum bertaubat maka perempuan tersebut tidak diperbolehkan untuk di
nikahi8

Ketika kedua syarat-syarat tersebut telah sempurna, dimana masa


iddahnya telah selesai dan telah melakukan taubat atas perbuatannya (dosa-dosa),
maka diperbolehkan menikahi perempuan tersebut terhadap pria yang melakukan
zina terhadapnya atau pria lain.

Menurut pendapat mazhab Imam Maliki, perempuan yang mengandung


tidak diperbolehkan untuk dinikahi oleh siapa saja. Baik pria yang melakukan zina
terhadapnya meskipun pria lain. Sebagaimana di dalam kitab suci Al-Qur’an
surah At-Talaq ayat 4

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara


perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.15

Perempuan yang mengandung akibat dari perzinahan, maka haram


hukumnya untuk dinikahi baik itu yang menzinahinya ataupun bukan yang
menzinahinya sampai perempuan tersebut melahirkan anaknya. Sama halnya
wanita hamil yang diceraikan suaminya ataupun ditinggal mati, maka tidak boleh
dinikahi sampai dia melahirkan. Batas waktu boleh nikahi disaat wanita tersebut
telah menyelesaikan masa nifasnya.

Terdapat pandangan yang berbeda di kalangan para ulama tentang laki-


laki yang menikahi perempuan yang mengandung hasil dari perbuatan zina, di
antaranya : abu Yusuf mengemukakan bahwasanya laki-laki dan perempuan
tersebut tidak boleh dinikahkan, dikarenakan pernikahan tersebut tidak sah.
Ungkapan ini memiliki landasan di dalam kitab suci Al-Qur’an dalam surah An-
Nur ayat 3, Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.9

8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2006, h. 48
9
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Mufid, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Cet. I, 2013,h. 558

5
2.2 Hukum Menikahkan Wanita Hamil Menurut KHI

Pendefinisian kebolehan kawin hamil yang diatur dalam Kompilasi


Hukum Islam beranjak dari pendekatan kompromi dengan hukum adat.
Pengkompromian itu ditinjau dari segi kenyataan terjadi ikhtilaf dalam fikih
dihubungkan pula dengan faktor sosilogis dan psikologis. Dari berbagai faktor
yang dikemukakan ditarik kesimpulan berdasarkan istilah.Sehingga dari
penggabungan faktor ikhtilaf dan urf perumusan KHI berpendapat, lebih besar
maslahat membolehkan kawin hamil daripada melarangnya.Tujuan utama asas
kebolehan kawin hamil bermaksud untuk memberi perlindungan hukum yang
pasti kepada anak yang ada dalam kandungan dalam KHI sengaja dirumuskan
dengan singkat dan agak bersifat umum. Maksudnya untuk memberi keluasan
bagi pengadilan untuk mencari dan menemukan asas – asas baru melalui
terobosan dan konstruksi yang lebih aktual dan rasional.

Setelah memperhatikan semua ikhtilaf tentang ini dan setelah


mempertimbangkan segala aspek hukum, sosial dan kemasyarakatan serta
berdasarkan asas maslahah mursalah (kepentingan umum), dimana diharapkan:
Ada orang tua yang nantinya akan bertanggung jawab atas segala pengasuhan dan
pendidikan anak-anaknya sampai ia dewasa. Si pelaku perzinahan
mendapatkan kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki segala perilaku
buruknya denngan membina keluarga yang sah, terhormat dan dilindungi hukum.
Mengandung suatu kemaslahatan yang besar utama pada anak yang
dikandungnya lahir dengan memiliki ayah yang bertanggungjawab terhadap
kelangsungan hidupnya,kehormatan dan masa depannya. Karena dalam hukum
Islam, anak yang dikandung itu bersih dari dosa dan yang memiliki dosa hanya
ayah dan ibu yang melakukan perbuatan.

Namun dengan adanya perbolehan kawin hamil selain untuk menciptakan


kemaslahatan, disisi lain juga dapat memancing hal – hal yang dilarang oleh agama
(kemafsadatan) yang dimaksud diantaranya ialah keinginan untuk melakukan zina
sebelum menikah. Pendorong terjadinya perbuatan yang menyeleweng dari norma –
norma yang ada dalam masyarakat, tidak bisa dilepaskan dan semakin menyebarluasnya
multimedia yang telah merambah kepelosok desa, dengan begitu mudahnya pengaksesan
fitur – fitur porno aksi dan pornografi menimbulkan perbuatan perilaku yang sangat
signifikan bagi para remaja yang notabene mengontrol emosi dan hawa nafsunya
sehingga terjadi pergaulan bebas yang terdampak dengan terjadinya kehamilan diluar
nikah.

2.3 Perkawinan Wanita Hamil Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka segala peraturan yang mengatur tentang
perkawinan menjadi tidak berlaku.(soemiyati, 1986: 2). Hal ini dijelaskan dalam Pasal 66
undang-undang perkawinan, Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan undang-undang ini maka dengan berlakunya undang-
undang hukum perdata (Burgerlijk wetbook), ordonasi perkawinan Indonesia Kristren
(Humerlijk ordonantie Christen indonesiers S.1993 No. 74), peraturan perkawinan
campuran (Regellingn op de Gemengde Huwenlijken S. 1898 N0. 158) dan peraturan-

6
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-
undang ini. Dinyatakan tidak berlaku.(UU RI No. 1 Tahun 1974: 25).

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pembolehan kawin hamil tidak
ada dijelaskan secara jelas, dalam format tersendiri. Kesimpulan seperti iini diambil
setelah memperhatikan UU No. 1 Tahun 1974. UU No. 1 Tahun 1974 hanya membahas
tentang status anak dari hasil perkawinan diluar nikah. Menurut UU No. 1 Tahun 1974,
status anak dibedakan menjadi dua: Pertama, anak sah. Kedua, anak luar nikah. Anak sah
sebagimana yang dinyatakan UU No. 1 Tahun 1974Pasal 42: adalah dalam anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. (UU RI No. 1 Tahun 1974:
18).

Bila dicermati secara analisis seperti bunyi Pasal tentang anak sah ini
menimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkawinan yang sah”
tidak ada masalah, namun “anak yang lahir dalam masa perkawinan yang tidak sah” ini
akan menimbulkan suatu kecurigaan, anak yang tidak sah adalah anak yang lahir diluar
nikah atau yang disebut dengan anak zina.

Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuai dan dilahirkan
diluar pernikahan yang sah, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya10.

Anak Luar Nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,
sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria
yang menghamilinya. Sedangkan pengertian di luar nikah nikah adalah hubungan seorang
pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak
dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya

Dapat dipahami dari UU No. 1 Tahun 1974, seorang anak dapat dikategorikan
sah, bila memenuhi salah satu dari 3 syarat:
a. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dengan dua kemungkinan. Pertama,
Setelah terjadi akad nikah yang sah istri hamil, dan kemudian melahirkan. Kedua,
Sebelum akad nikah istri telah hamil terlebih dahulu, dan kemudian melahirkan setelah
akad nikah, inilah yang dapat ditangkap dari pasal tersebut.
b. Anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Contoh, istri hamil dan
kemudian suami meninggal. Anak yang dikandung istri adalah anak sah sebagai akibat
dari adanya perkawinan yang sah.

Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya
anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”(UU No.1 Tahun
1974: 19). Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang
dimaksudkan dengan anak zina dalam pemahasan ini adalah anak yang janin atau
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan
diluar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.

10
Aulia Firdaus Mustikasari, Perkawinan Perempuan Hamil dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Surabaya:Jurnal Hukum Islam, vol. 1,
No. 1 Tahun 2019, h. 10

7
2.4 Analisis perbedaan dan persamaan pendapat tentang status hukum
perkawinan wanita hamil di luar nikah menurut Imam Mazhab dan
Kompilasi Hukum Islam

Terdapat beberapa pendapat di kalangan para ulama ahli fiqh tentang


hukum menikahi wanita pelaku zina, yaitu:

1. Mazhab imam Syafi’I menjelaskan bahwa halalnya menikahi wanita


pelaku zina baik wanita tersebut hamil atau tidak, dengan kata lain tidak
ada kata iddah bagi wanita tersebut. Jika wanita itu memiliki suami maka
suaminya tetap boleh menggaulinya. Kalaupun wanita tersebut belum
menikah maka laki-laki yang menzinahinya atau bukan yang
menzinahinya tetap boleh menikahinya baik wanita tersebut dalam
keadaan hamil atau tidak. Akan tetapi apabila wanita bersuami hamil dari
hasil perzinahan maka suaminya makruh menggauli istrinya sampai
istrinya melahirkan anak tersebut11
2. Mazhab imam Hanafi menjelaskan bolehnya menikahi wanita pelaku zina
apabila tidak dalam keadaan hamil, baik itu yang menikahinya laki-laki
yang menzinahinya ataupun bukan, dan tidak ada iddah bagi wanita
tersebut. Laki-laki yang menzinahinya boleh menggauli wanita tersebut
setelah pernikahan. Apabila wanita tersebut hamil dan dinikahi oleh laki-
laki bukan yang menzinahinya maka laki-laki tersebut tidak boleh
menggaulinya sampai Wanita tersebut melahirkan anaknya. Status anak
yang dilahirkannya tidak boleh dinasabkan kepada suaminya, terkecuali
suaminya mengatakan kalau anak tersebut bukan dari hasil perbutan zina.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanafiah dan Muhammad An-
Nakhai. Adapun Abu Yusuf dan Zufar dari Mazhab Hanafi berpendapat
bahwa jika wanita yang dizinahi itu dalam keadaan hamil maka tidak
boleh langsung menikahinya12
3. Mazhab imam Maliki dan Mazhab imam Hambali menjelaskan bahwa
pernikahan wanita pelaku zina itu sah apabila yang menikahinya adalah
laki-laki yang menzinahinya dengan syarat setelah keduanya bertaubat dari
perbuatan zina. Menurut imam Malik wanita pelaku zina harus menjalani
masa iddah jika dia orang yang sudah bersuami. Masa iddah tersebut
adalah tiga kali masa suci, ini menurut imam Malik. Adapun menurut Ibnu
Qudamah mengatakan bahwa untuk mensucikan rahim seorang wanita
maka cukup dengan satu kali haid. Pendukung dari pendapat ini salah
satunya adalah Ibnu Taimiyah. Wanita pelaku zina yang hamil dan
memiliki seorang suami, maka makruh baginya digauli oleh suaminya
sampai dia melahirkan13

Mayoritas pendapat ulama di atas mengemukakan bahwa pernikahan pelaku


zina itu dianggap sah, meskipun tetap ada yang menganggapnya tidak sah. Ibnu

11
Yahya Abdurrahman al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil (Ibadah, Perdata dan Pidana),
Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2003, h. 40
12
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 89-90
13
Ali Mustafa Yaqub, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Abu Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang
Wanita, Jakarta: Darul Haq, Jilid. II, 2001, h. 140-141

8
Abbas selaku sahabat Nabi Muhammad SAW mengemukakan pendapat bahwa
persetubuhan antara laki-laki dan wanita yang belum menikah kemudian
melakukan pernikahan maka pernikahan tersebut dianggap sah karna perkara yang
haram bisa menjadi halal jika melalui proses yang halal yaitu sebuah pernikahan,
meskipun dosa zina yang sebelumnya tetap akan mendapatkan ganjarannya.

Pernikahan pelaku zina dapat diqiyaskan dengan pencuri buah di sebuah


kebun dari sebatang pohon milik orang lain. Kemudian pencuri itu membeli
pohon tersebut dengan semua buahnya, maka buah yang dicuri sebelumnya tetap
haram dan pohon beserta semua buahnya halal baginya setelah dia membelinya.
Perumpamaan ini adalah pendapat dari imam Syafi’I dan imam Abu Hanifah.
Pendapat imam Malik berbeda dengan pendapat imam Syafi’I yaitu, pernikahan
pelaku zina yang sementara hamil dianggap tidak sah, oleh karenanya perilaku
atau perbuatan ji’mak di antara keduanaya dianggap haram. Pernikahan boleh
dilakukan setelah anak tersebut dilahirkan.14

Pada bab VIII pasal 53 Kompilasi hukum Islam (KHI) mencatat aturan
tentang pernikahan wanita hamil yang dihasilkan dari perbuatan zina, seperti
berikut:
1. Pembolehan wanita hamil pelaku zina dinikahi oleh laki-laki yang
menghamilinya,
2. Pernikahan pada nomer 1 ayat 1 boleh dilaksanakan pada saat
kehamilan,
3. Setalah pernikahan dan anak tersebut dilahirkan maka tidak perlunya
ada pernikahan untuk kedua kalinya.27

Terdapat persamaan pendapat antara Hukum Islam, Undang-undang


nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tentang status pernikahan
wanita hamil di luar nikah yaitu sahnya pernikahan antara wanita dan laki-laki
yang telah melakukan perzinahan, disebabkan karena perbuatan zina tidak
dianggap menjadi penghambat atau penghalang dari sebuah pernikahan yang sah.

14
M. Quraish Shihab, Perempuan Dari Cinta Sampai Seks Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah
Sunnah Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, Cet. III, 2006, h. 229

9
2.5 Nasab dan Waris Anak yang Lahir dari Perkawinan di Luar Nikah

Menurut Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, anak yang


sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, meskipun anak
tersebut lahir dari perkawinan wanita hamil yang usia kandungannya kurang dari enam
bulan lamanya sejak ia menikah resmi. Masalah anak diatur di dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dalam Bab IX tentang kedudukan anak pada pasal 42, 43 dan 44.

Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.

Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 44 :
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana
ia
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan
tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Undang-Undang Perkawinan di


dalam pasal 55 menegaskan: Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang; Bila akta
kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat; Atas dasar ketentuan
Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan

Di dalam pasal – pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak sah
adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada dua bentuk
kemungkinan:
(1) Anak sah lahir akibat perkawinan yang sah dan (2) Anak yang lahir dalam perkawinan
yang sah. Anak yang lahir di luar nikah dihubungka perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.Sedangkan suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada
perzinaan tersebut. Pembuktian asal usul anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran
yang otentik dan atas dasar penetapan pengadilan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam asal-usul anak diatur dalam Pasal 99, Pasal 100, Pasal
101, Pasal 102 dan Pasal 103.
Pasal 99
Anak sah adalah:
(1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
(2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut

10
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya.( UU RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam:263).

Pasal 101 dan 102 menyangkut keadaan suami yang mengingkari sahnya anak
dan proses yang harus ditempuhnya jika ia menyangkal anak yang dikandung atau
dilahirkan oleh isterinya.

Pasal 101
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat
meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Pasal 102
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya
atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa
isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan
perkaranya
kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, diatur dalam Kompilasi Hukum


Islam Pasal 103 yang berbunyi:
Pasal 103
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya.
(2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya tersbut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2) maka instansi pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut yang mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dari pasal – pasal tersebut dapat diketahui bahwa anak yang lahir diluar
pernikahan tidak dinyatakan sebagai anak yang sah menurut hukum, sehingga pada
gilirannya ketentuan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Sebagaimana ditegaskan
dalam KHI pasal 186 sebagai berikut:
“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan
ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”. Dan dalam penjelasan pasal 186 tentang anak
yang lahir diluar perkawinan dinyatakan: yang dimaksud dengan anak yang lahir diluar
perkawinan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau akibat
hubungan yang tidak sah.

Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa status nasab anak diluar
nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya.
Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbunya hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak.

11
Implementasinya adalah bahwa anak diluar nikah hanya memiliki hubungan yang
menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan keluarga ibunya. Agaknya dapat
dinyatakan mafhum mukhalafah dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak
mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk nasab, hak
dan kewajiban secara timbal balik.

Secara implisit dapat ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara UU
No. 1 Tahun 1974 dengan Kompilasi Hukum Islam walaupun tidak dinyatakan secara
tegas hubungannya dengan bapak biologis, dalam pasal tertentu.

Dalam hukum Islam seseorang suami dapat menolak untuk mengakui bahwa
anak yang dilahirkan istrinya bukanlah anaknya, selama suami dapat membuktikannya,
untuk menguatkan penolakannya suami harus dapat membuktikan bahwa:
a. Suami belum pernah menjima’ istrinya, akan tetapi istri tiba-tiba melahirkan.
b. Lahirnya anak itu kurang dari enam bukan sejak menjima’ istrinya, sedangkan bayinya
lahir seperti bayi yang cukup umur.

Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala
keperluannya, baik materil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya.
Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. 15

Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan
anak zina dan anak li’an, oleh karenaitu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
a. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun
secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah sacara manusiawi,
bukan secara hukum.
b. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah
satu penyebab kewarisan.
c. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu
kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak
dinikahkan oleh bapak bilogisnya.

Anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
tidak mendapat warisan. Sebagaimana dalam hadits nabi sebagai berikut:
Artinya: Dan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dan datuknya: Sesungguhnya Nabi
Saw bersabda: “siapa saja laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan merdeka
atau seorang hamba sahaya, maka anaknya itu adalah anak zina, dia tidak dapat mewarisi
dan di warisi”16

Menurut Imam Syafi’i seorang laki – laki boleh mengawini anak perempuannya,
cucu perempuannya, saudara perempuannya atau keponakan perempuan hasil perbuatan
zina. Sebab wanita – wanita tersebut tidak mempunyai kaitan nasab secara syar’i
dengannya.

15
(Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V: 357)
16
(Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-Hadits Hukum,2001:2068)

12
Dengan demikian, terdapat perbedaan yang terjadi antara Kompilasi Hukum
Islam, UU No. 1 Tahun 1974 dan Imam Syafi’i. Di dalam Kompilasi Hukum Islam dan
UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa selama perkawinan itu terjadi maka nasab anak
tersebut dihubungkan dengan nasab ibunya, tidak ada pembatasan palin cepat kelahiran
anak dan hanya memperoleh warisan hanya dari pihak ibu. Sedangkan menurut Imam
Syafi’i memberi pembatasan paling cepat terhadap kelahiran anak yaitu 6 bulan. Jika
kurang dari 6 bulan anak itu lahir maka nasab anak itu digolongkan kepada nasab ibunya
dan hanya memperoleh warisan dari ibunya.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari pemaparan yang telah diuraikan di atas, sebagai berikut:


1. Menurut mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan KHI tentang sahnya pernikahan wanita
hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa melalui proses iddah
atau tidak adanya Iddah bagi wanita hamil tersebut. Perilaku zina tersebut tidak
menghalangi sahnya akad nikah.

Menurut Mazhab imam Hambali dan imam Malik tentang tidak bolehnya menikahi
wanita hamil di luar nikah meskipun dengan laki-laki yang telah menghamilinya,
terkecuali jika wanita tersebut telah melahirkan dan menyelesaikan masa iddahnya
dan benar-benar telah bertaubat dari perbuatan zinanya.

2. Menurut kompilasi hukum Islam pasal 53 menjelaskan bahwa:


(a) seorang wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan laki-laki yang telah
menghamilinya.
(b) pernikahan dengan wanita hamil tersebut pada point a dapat dilaksankan tanpa
menunggunya sampai melahirkan.
(c) dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil tidak diperlukan
pernikahan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir. Kebolehan menikahi wanita
yang sedang hamil menurut ketentuan di atas adalah terbatas bagi laki-laki yang
menghamilinya.

3.2Saran

Demikianlah makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan


manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umum nya. Penyusun
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk makalah kami.

14
DAFTAR PUSTAKA

Yahya Abdurrahman Al-Khatib, Hukum-Hukum Wanita Hamil (Ibadah, Perdata dan Pidana),
Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2003

Kementrian AgamaRI,Al-Qur’an dan Terjemahan Al-Mufid, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, Cet. I, 2013

M. Yonus, Qomus ‘Arobiyyun-Indunisiyyun,Jakarta: PT. Hidaya Karya Agung, Cet. VIII, 1989

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. I, 2006

Aulia Firdaus Mustikasari, Perkawinan Perempuan Hamil dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Surabaya:Jurnal Hukum Islam, vol. 1,
No. 1 Tahun 2019

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat

Ali Mustafa Yaqub, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Abu Syaikh, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita,
Jakarta: Darul Haq, Jilid. II, 2001

15

Anda mungkin juga menyukai