Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MBA (Married by Accident)


Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Pembelajaran Masailul Fiqiyah
Dosen Pengampu : Akhmad Syahid, M.Kom.I

Disusun oleh :

Annisa Nurrohmah (19040120003)

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) METRO

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillahi robil alamin, dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Dengan kesempatan ini, kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Akhmad Syahid, M.Kom.I selaku dosen pengampu matakuliah masailul fiqiyah
2. Kedua orang tua kami yang selalu memberikan semangat kepada kami.
3. Semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan-bantuan.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan. Karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sehingga pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Metro, Mei 2022

Annisa Nurrohmah

DAFTAR ISI

ii
A. Cover.......................................................................................................................i
B. Kata pengantar......................................................................................................ii
C. Daftar isi.................................................................................................................iii
D. BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
a. Latar belakang...........................................................................................1
b. Rumusan masalah......................................................................................2
c. Tujuan.........................................................................................................2
E. BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
a. Pengertian Pernikahan dan Hukum Islam.............................................
b. Syarat dan Rukun Pernikahan.................................................................
c. Pengertian perkawinan wanita hamil zina..............................................
d. Macam-macam perkawinan wanita hamil..............................................
e. Hukum menikahi wanita hamil akibat zina menurut fiqh Islam.........
F. BAB III PENUTUP...............................................................................................15
a. Kesimpulan.................................................................................................15
b. Saran dan kritik ........................................................................................15
G. DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan sebagai tipe pasangan yang disucikan dalam keberadaan keluarga


untuk mewujudkan kehidupan sehari-hari yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Selanjutnya, mendorong keluarga atau kehidupan sehari-hari adalah perintah yang
ketat untuk setiap Muslim dan wanita Muslim. Eksistensi dan peradaban manusia tidak
akan berjalan tanpa koherensi pernikahan dari segala usia. Itulah alasan Rasulullah
saw. Anjurkan kerabatnya yang memiliki opsi untuk menikah:

Artinya:

“Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap sunnahku, maka
mereka bukan termasuk umatku”(HR. Ibnu Majah).

Artinya:

“Wahai generasi muda, barangsiapa diantarakalian telah mampu


berkeluargahendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan, dan
memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab
ia dapat mengendalikanmu.” (HR. Bukhari).

Artinya:

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan,
dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia”. (HR. Bukhari).

Perkawinan jelas telah diatur dengan pengaturan syariat Islam yang telah
dihilangkan dan sumbernya baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah maupun hasil ijtihad para
peneliti. Untuk seorang wanita muda, tentu saja, dia tidak akan hamil tanpa melalui
pernikahan dengan seorang pria. Namun, masalahnya adalah titik di mana kecelakaan

1
terjadi atau seorang wanita hamil terjadi di luar pernikahan yang sah. Ini bisa dianggap
sebagai perselingkuhan yang dalam teks-teks jelas-jelas ilegal. Oleh karena itu, dengan
perenungan yang berbeda, perkumpulan-perkumpulan tersebut berusaha menutupinya
dengan menikahkan orang yang menghamilinya, dan jika dia yang lepas dari tanggung
jawab, dicari laki-laki lain yang mampu menikahi wanita ini.

Pernikahan ibu hamil karena perselingkuhan. Dipengaruhi oleh elemen yang


sangat kompleks, termasuk: keadaan keuangan, landasan instruktif, hubungan sosial,
dan pemahaman tentang standar yang ketat. Karena ketidakberdayaan ini, banyak anak
muda yang mencoba melakukan hubungan intim sebelum menikah. Jumlahnya terus
bertambah dari satu tahun ke tahun lainnya.

Haryono Suedignarto, Kepala Poliklinik Kandungan RSU dr. Suetomo,


mendapat informasi: dari 547 ibu hamil yang berkunjung ke poliklinik, 234 orang
(44,4%) adalah remaja berusia 18-19 tahun, dari jumlah itu 164 orang (67,5%) adalah
mahasiswi atau mahasiswi. Tidak diragukan lagi mereka hamil karena tidak pandang
bulu.

Tjitarsa dalam pemeriksaannya pada tahun 1994 menilai, sebagaimana dikutip


Made Heny Urmila Dewi, ada sekitar 1.000.000 aborsi dini dalam setahun,
setengahnya dilakukan oleh wanita lajang. Dari jumlah tersebut, sekitar 10 sampai 25%
adalah anak-anak.
Kesiapan laki-laki untuk menikahi wanita yang sedang hamil tanpa kehadiran
ibu dan ayah membuat persoalan dalam perspektif hukum Islam karena berkaitan
dengan masalah iddah bagi ibu hamil karena perselingkuhan. Sejauh kebenaran di mata
publik adalah kebalikannya, di mana seorang wanita hamil tanpa kehadiran ibu dan
ayah telah menikah dengan seseorang yang bukan kaki tangannya. Hubungan seperti
ini biasanya dilakukan karena orang yang membuatnya hamil tidak dapat diandalkan,
dan untuk menutupi rasa malu orang yang dicintai wanita hamil.
Para peneliti memiliki berbagai kesimpulan terkait hubungan yang terjadi pada
wanita hamil karena perselingkuhan. Jelas, pertanyaan tentang masalah ini menyangkut
kewajaran atau larangan pernikahan bagi wanita yang hamil di luar struktur keluarga
yang stabil menurut peraturan Islam.

2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pernikahan itu?
2. Apa saja syarat dan rukun pernikahan?
3. Bagaimana hukum pernikahan wanita hamil?
4. Apakah macam-macam pernikahan wanita hamil?
5. Apakah hukum menikahi wanita hamil menurut fiqh Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk menjelaskan tentang pernikahan.
2. Untuk menjelaskan syarat dan rukun pernikahan.
3. Untuk menjelaskan hukum pernikahan wanita hamil.
4. Untuk menjelaskan macam-macam pernikahan wanita hamil.
5. Untuk mengetahui hokum menikahi wanita hamil menurut fiqh Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan dalam Hokum Islam

Secara fonetis, kita dapat menemukan dalam Kamus Besar Bahasa


Indonesia kata perkawinan dicirikan sebagai 1) kawin, 2) bersetubuh, 3)
mengadakan hubungan seksual (untuk makhluk). Sedangkan perkawinan adalah 1)
Perkawinan: 2) Pengalaman seksual makhluk laki-laki dan perempuan.

Dalam Al-Qur'an dan Hadist, pernikahan disebut an-Nikah, az-Ziwaj/az-


Zawj atau az-Zijah. Dalam arti sebenarnya an-Nikah mengandung arti al-Wath'u,
adh-Dhammu dan al-Jam'u, al-Wath'u berasal dari kata yang berarti berjalan,
melalui, menginjak, menginjak, masuk, mendaki, persetubuhan, dan persetubuhan.
atau sebaliknya melakukan hubungan badan. Adh-Dhammu berasal dari kata yang
artinya menghimpun, menahan, menangani, menyatukan, menyatukan,
menyandarkan, merangkul, merangkul, dan menjumlahkan, sedangkan kata Al-

3
Jam'u artinya menghimpun, menghimpun, menyatukan, mempersatukan,
tambahkan dan buat. Itulah alasannya mengingat persetubuhan atau persetubuhan
dalam istilah fiqh disebut jima' berpikir tentang persetubuhan itu secara lugas
mengisyaratkan gerakan-gerakan dari segala jenis yang terkandung dalam
implikasi tepat dari kata al-Jamu'.

Sedangkan kata az-Ziwaj/atau az-Zawaj atau az-Zijah diambil dari kata


yang dalam arti sebenarnya mengandung pengertian mendorong, menanam benih,
perselisihan, dan pertentangan satu sama lain. Bagaimanapun, yang tersirat di sini
adalah at-Tazwij yang diambil dari kata timbangan yang dalam arti sebenarnya
mengandung arti pernikahan, campur tangan, pergi bersama, pasangan, pergi
bersama, dan pernikahan.

Perkawinan menurut syara' adalah akad yang membolehkan wath'i (seks) dengan
memanfaatkan lafaz inkah atau tazwij.

Sementara itu, menurut Imam Syafi’i pengertian nikah secara syara’ ialah:

Adakalanya suatu akad yang mencakup kepemilikan terhadap wath’i dengan lafaz
inkah atau tazwij atau dengan menggunakan lafaz yang semakna dengan keduanya”

Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal pengertian nikah secara syara’
ialah:

”suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij untuk
mengambil manfaat kenikmatan (kesenangan)“

B. Syarat dan Rukun Pernikahan

Karena nikah merupakan akad nikah seperti halnya akad-akad lainnya, maka
diperlukan kesiapan kedua pelaku yaitu qabul ijab qabul, ijab kabul dan kesungguhan
wali. Kontrak perkawinan juga memiliki beberapa pengaturan yang akan menentukan
keabsahan perjanjian.

Di antara pengaturan yang tersirat adalah bahwa harus ada bagian (wakaf),
tempat tinggal dan papan sebagai tempat tinggal, kontrak pernikahan juga memiliki

4
beberapa keadaan, peraturan dan metodologi yang harus dipenuhi tanpa batas. Sejak
saat itu perjanjian menjadi sah.

Jelas, pemenuhan kebutuhan, peraturan dan sistem harus melalui jalan yang
benar karena sejujurnya perjanjian ini adalah masalah yang sangat besar dan sangat
kritis karena mencakup masalah yang berkaitan dengan kehormatan dan kehormatan
seseorang, serta kemurniannya. keturunan. Selanjutnya kita diharapkan untuk
mengumpulkan keadaan, peraturan, sunnah-sunnah dan metodologi untuk akad nikah.

Menurut sebagian besar peneliti, ada lima andalan pernikahan, yang masing-
masing memiliki poin dukungan dan kondisi tertentu, khususnya:
1. Calon suami syarat-syaratnya :
a. BeragamaIslam
b. Laki-laki.
c. Jelas orang nya
d. Dapat memberikan persetujuan.
e. Tidak terdapat halangan, seperti: Tidak dalam keadaan ihram

2. Calon istri syarat-syaratnya :


a. Beragama meskipun yahudi atau nasrani.
b. Perempuan.
c. Jelas orangnya.
d. Dapat dimintaipersetujuan.
e. Tidak terdapat halangan perkawinan, seperti:(tidak dalam keadaan ihram,
tidak bersuami, tidak dalammasa iddah / masa penantian dari orang lain).

4. Wali nikah syarat-syaratnya :


a. Laki-laki
b. Dewasa
c. Mempunyai hakperwalian
d. Tidak terdapat halangan perwaliannya

5
5. Saksi nikah dansyarat-syaratnya :
a. Minimal 2 orang laki-laki
b. Hadir dalam ijabqabul
c. Dapat mengertimaksud akad
d. Islam
e. Dewasa

6. Ijab Qabul syarat-syaratnya :


a. Adanya pernyataanmengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaandari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah, tazwijatau terjemahan dari kata-kata tersebut
d. Antara ijab dan qabul bersambung
e. Antara ijab dan qabul jelas maksdnya
f. Orang yang berkaitdengan ijab dan qabul tidak sedng dalam ihram atau haji
g. Majelis ijab dan qabul itu minimum empat orang : calon mempelai pria, wali
dari mempelaiwanita, dan duaorang saksi.

C. Pengertian Perkawinan Wanita Hamil Zina


Perkawinan wanita hamil adalah wanita yang hamil sebelum akad nikah diadakan,
kemudian pada saat itu dikawinkan dengan orang yang menghamilinya atau selain orang
yang menghamilinya. Oleh karena itu, persoalan perkawinan dengan ibu hamil
memerlukan pertimbangan yang matang dan cerdas, khususnya oleh Pencatat Nikah. Hal
ini sebenarnya bermaksud bahwa ada keganjilan sosial dalam hal tidak adanya kesadaran
kelompok umat Islam terhadap standar moral, ketat, dan moral sehingga tanpa upaya
yang wajar pada pernikahan wanita hamil adalah layak bagi seorang pria untuk tidak
menikah. menghamilinya bagaimanapun menikahinya.
Bayi yang dibawa ke dunia untuk wanita yang hamil tanpa disusui terlebih dahulu,
disinggung oleh para ahli hukum Islam sebagai istilah anak durhaka atau keturunan orang
yang menjijikan. Jadi istilah itu bukanlah nama bayi, tetapi istilah yang diberikan kepada
dua wali yang telah melakukan perselingkuhan, atau telah melakukan demonstrasi

6
terkutuk, sedangkan anak yang dikandung tetap bersih dari pelanggaran dan tidak
memperoleh kegiatan yang telah dilakukan oleh orang tuanya.

D. Macam-macam Perkawinan Wanita Hamil Zina


Ada dua jenis wanita yang menikah saat hamil:

1. 1. Seorang wanita yang dipisahkan atau ditinggalkan oleh pasangannya saat


hamil.
2. Wanita yang hamil karena melakukan perselingkuhan, atau dianiaya.

E. Hukum Menikahi Wanita Hamil menurut Fiqh Islam

Para peneliti memiliki berbagai penilaian tentang pernikahan berganda wanita.


Pembedaan ini karena adanya perbedaan pandangan tentang pemahaman terhadap
kalimat larangan nikah siri, sebagaimana diungkapkan dalam (Q.S. An-Nur (24): 3

Interpretasi:

“Laki-laki yang melakukan perselingkuhan tidak menikahi wanita yang


melakukan perselingkuhan, atau wanita yang berlebihan; dan orang yang melakukan
perselingkuhan tidak menikah selain dengan pria yang melakukan perselingkuhan atau
pria yang menyembah, dan itu dilarang. bagi para penyembah" (Q.S. An-Nur (24): 3).

Masalah pernikahan ibu hamil melibatkan pertimbangan yang matang dan


cerdas, khususnya bagi Pencatat Nikah. Ini karena terlepasnya standar moral dan moral
dari sebagian masyarakat kita, khususnya individu yang masih muda dan yang
kesadarannya kurang sehat. Apalagi akhir-akhir ini orang sudah memikirkan
keuntungan dan kerugian terkait kewajaran pernikahan ibu hamil. Padahal akumulasi
regulasi negara yang mengatur soal pernikahan ibu hamil, khususnya dalam pasal 53:

1. Seorang wanita hamil tanpa kehadiran ibu dan ayah, dapat dipasangkan
padanya. pria.

7
2. Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa harus menunggu lama untuk pengenalan anaknya.
3. Dengan perkawinan yang terjadi ketika wanita itu hamil, tidak ada
persyaratan untuk menikah lagi setelah anak yang dikandungnya.

Terkait masalah ini, MUI dianggap penting untuk menetapkan fatwa yang sah
tentang perkawinan ibu hamil sehingga cenderung digunakan sebagai pedoman untuk
pelajaran yang tegas.
Ingat:

Dasar hukumnya antara lain :

1. Al-Qur’an
Kebolehan kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan di atas
adalahterbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Hal ini berdasarkan firman Allah
dalam surat An-Nur Ayat 3:
Artinya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang mu’min”(QS. An-Nur Ayat 3).
Sedangkan dalam kitab tafsir jalalain mengenai ayat di atas adalah seperti yang
di tulis dalam kitab Tafsir Jalalain :
Pria yang melakukan perselingkuhan belum menikah dengan wanita yang
melakukan perselingkuhan atau wanita yang musyrik; dan wanita yang melakukan
perselingkuhan tidak dinikahi oleh pria yang melakukan perselingkuhan atau pria yang
musyrik yang merupakan kaki tangan yang wajar untuk masing-masing sebagaimana
dimaksud di atas dan dilarang menikahi wanita yang melakukan perselingkuhan atas
umat pilihan. Pembatasan ini terungkap ketika orang-orang miskin dari kalangan
sahabat Muhajirin berencana untuk menikahi pelacur yang musyrik, karena mereka
adalah orang kaya. Para musafir yang malang merasa bahwa kelimpahan mereka akan

8
memiliki pilihan untuk membantu pekerjaan mereka. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
larangan ini secara eksplisit untuk para sahabat Muhajirin yang malang sebelumnya,
namun seperti yang lainnya, pembatasan ini bersifat umum dan lengkap., kemudian
ayat ini dinasakh oleh firman-Nya yang lain, yaitu, “Dan nikahkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kalian”(Q.S. An-Nur, 32).
Kalimat di atas dapat dipahami bahwa kewajaran pernikahan seorang wanita

hamil untuk seorang pria adalah kasus khusus. Karena orang yang membuatnya hamil

adalah orang yang tepat untuk menjadi pasangan sempurna mereka. ID dengan laki-laki

musyrik menunjukkan pengingkaran wanita hamil, merupakan indikasi bahwa laki-laki

yang baik haram untuk menikahi mereka (Al-Baqarah, 2:221). Gerak ini diperkuat lagi

dengan kalimat akhir bait wa hurrima dzalika 'ala al-mu'minin. Jadi bagi wanita hamil

selain pria, menikahinya adalah hal yang tabu.

Adapun alasan pengungkapan bait tersebut, sesuai dengan penggambaran

Mujahid, 'Ata' dan Ibn Abi Rabah dan Qatadah memperhatikan bahwa 'para Muhajirin

muncul di Madinah, di antara mereka ada yang skeptis, tanpa kekayaan dan pekerjaan,

dan di Madinah ada pelacur (pelacur) yang menyewakan diri, mereka ada di sekitar

kemudian dikenang karena usia produktif penduduk Madinah. Pada masing-masing

dari mereka ada tanda di pintu masuk seperti papan nama dokter hewan (al-baitar),

penting untuk membedakannya sebagai pezina. Tidak ada yang masuk selain dari

filanders dan musyrik laki-laki. Migran orang miskin puas dengan pekerjaannya, lalu

mereka berkata "Kami menikahkan mereka sampai Allah membuat kami kaya dari

mereka". Mereka kemudian, pada saat itu, meminta persetujuan dari Rasulullah dari

Allah, maka bagian 3 dari Surah An-Nur dibuka.

Jelasnya pengaturan pengungkapan bait di atas, larangan menikahkan wanita

hamil karena perselingkuhan karena bukan pria yang menghamilinya, adalah untuk

9
menjaga harga diri dan keluhuran budi pekerti. Selain itu, juga secara hukum

mengekang, sehubungan dengan situasi dengan anak-anak yang dilahirkan ke dunia

karena perselingkuhan. Secara hukum, anak-anak bermuka dua hanya memiliki

hubungan dengan ibu mereka. Sama seperti anak-anak li'an, khususnya anak-anak yang

diberhentikan oleh "ayah" mereka dengan menyalahkan ibu mereka karena

perselingkuhan.

Dengan mengambil persamaan (qiyas) wanita hamil yang dipisahkan atau

ditinggalkan, maka jelaslah bahwa masa iddah mereka adalah sampai dia mengandung

anak. Secara keseluruhan, ketika wanita hamil, menikah dengan pria lain tidak masuk

akal. Selanjutnya, pembenaran untuk kehamilan cukup substansial sehingga bahkan

seorang wanita hamil di luar nikah tidak diizinkan menikahi pria yang tidak

menghamilinya.

2. Al-Hadits

Dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bi ‘Amr bin
‘Ash, beliau berkata :

Artinya:

“Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy membawa tawanan perang


dari Makkah dan di Makkah ada seorang perempuan disebut dengan (nama) ‘Anaq dan ia
adalah teman (Martsad). (Martsad) berkata: “Maka saya datang kepada Nabi shollallau
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu saya berkata: “Ya Rasulullah, Saya nikahi ‘anaq?”
Martsad berkata: “Maka beliau diam, maka turunlah (ayat): “Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yag berzina atau laki-laki musyrik”.
Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau berkata: “Jangan
kamu nikai dia”.

Hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun

10
hukum haram tersebut bila ia bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
Artinya:

“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”
Secara global para Ulama berbeda pendapat dalam persyaratan dua perkara
untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina antara lain :

A. Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista

Dalam persyaratan taubat ada dua pendapat dikalangan para Ulama :

1. Disyaratkan bertaubat. Dan ini merupakan madzhab Imam Ahmad dan

pendapat Qatadah , Ishaq dan Abu ‘Ubaid

2. Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’i

dan Abu Hanifah.

B. Telah lepas ‘Iddah

Para ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, merupakan syarat bolehnya

menikahi perempuan yang berzina atau tidak, Dalam hal ini ada dua pendapat :

1. Wajib ‘Iddah

Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin Abdurrahman, Imam

Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih.

2. Tidak Wajib ‘Iddah

Ini adalah penilaian Imam Syafi'i dan Abu Hanifah, namun ada perbedaan di

antara mereka dalam hal tertentu, khususnya menurut Imam Syafi'i kewajaran untuk

melakukan akad nikah dengan seorang wanita yang melakukan kekafiran dan itu

Dibolehkan melakukan persetubuhan dengannya setelah perjanjian, baik yang

11
menikahinya maupun yang melakukan perselingkuhan itu sendiri atau orang lain.

Sementara itu, Abu Hanifah menilai masuk akal untuk mempermainkan akad nikah

dengannya dan melakukan hubungan seks dengannya, jika orang yang menikahinya

adalah orang yang melakukan kekafiran. Namun, dalam hal orang yang menikahinya

selain orang yang melakukan perselingkuhan, maka pada saat itu melakukan akad

adalah halal.

menikah tetapi tidak berhubungan seks 'sampai istibro' (rahim tidak terisi dari

tukik) dengan satu siklus bulanan atau sampai mengandung anak dengan asumsi wanita

itu hamil.

Selain itu, dalam hal yang hamil karena perselingkuhan itu menikah dengan

pria yang layak, ada penilaian di antara para peneliti.

1. Pendapat Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah tentang hukum

pernikahanwanita akibat hamil di luar nikah.

Imam Syafi'i mengizinkan pernikahan seorang wanita hamil di luar struktur

keluarga yang stabil, baik dengan suaminya atau dengan bukan pria yang

menghamilinya. Kelayakan ini merupakan penerimaan yang tegas, maksudnya bahwa

tidak ada alasan sama sekali untuk kewajaran perkawinan ini.

Peneliti Syafi'i berpendapat bahwa jika seorang wanita berzina, tidak ada

kewajiban 'iddah bagi dirinya sendiri dan boleh saja menikahi wanita hamil karena

perselingkuhan dan menghalanginya, dengan alasan bahwa memperlambat

Menjatuhkan seorang wanita hamil karena perselingkuhan tidak menyebabkan

hubungan hubungan, maka tidak ilegal untuk menikahi wanita seolah-olah dia tidak

melakukannya. hamil.

2. Sebagaimana ditunjukkan oleh Imam Abu Hanifah “Seorang wanita hamil

12
akibat perselingkuhan tidak memiliki iddah, bahkan masuk akal untuk menikahinya,

namun dia tidak diizinkan melakukan hubungan seksual sampai dia mengeluarkan

perutnya”.

Namun, melihat penilaian Imam Abu Hanifah, meskipun wanita hamil wajar

menikah dengan laki-laki, namun ia tetap tidak boleh melakukan hubungan seksual

dengan laki-laki yang tidak hamil. Menyiratkan bahwa kehamilannya mempengaruhi

keselarasan kehidupan keluarga.

3. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik tentang hukum

pernikahan wanita akibat hamil di luar nikah.

Imam Ahmad Wadah Hanbal berpendapat bahwa tidak masuk akal bagi seorang wanita

hamil untuk menikahi seorang wanita hamil karena hubungan di luar nikah dengan

seorang pria, sebelum mereka berdamai terlebih dahulu, secara keseluruhan, ini bisa

diterima namun membatasi. Sedangkan aturan perkawinan adalah usul yang tegas

dalam rangka membina keluarga yang sakinah dan saling menyayangi, sedangkan

menurut hukum perkawinan seorang wanita hamil karena hubungan di luar nikah

dengan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya dapat menjadi batasan untuk

mencapai tujuan sakinah. dan memuja pernikahan. kecuali jika seorang wanita yang

hamil karena hubungan di luar nikah telah menebus dan orang yang menikahinya juga

mengetahui keadaan calon pasangannya dan akan mengakuinya. Selain alasan di atas.

Imam Ahmad wadah Hanbal juga berpendapat bahwa wanita yang hamil karena

hubungan di luar nikah sebenarnya memiliki waktu 'iddah, seperti halnya wanita yang

ditinggalkan atau dipisahkan oleh pasangannya. Pengharapan akan adanya masa 'iddah

dengan alasan ia berpendapat bahwa motivasi 'iddah adalah untuk mengetahui kesucian

13
rahim, khususnya apakah mengandung tukik (dari laki-laki yang melakukan hubungan

seksual). dengan dia) atau tidak, bukan hanya untuk menghormati sperma atau embrio

yang dikirim melalui perkawinan yang sah.

4. Imam Malik berpendapat bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil karena

berselingkuh dengan pria lain sampai dia mengeluarkan perutnya.

Mereka berpandangan bahwa yang disamakan dengan orang yang terikat adalah

kekafiran atau keragu-raguan atau nikah fasid, sehingga ia harus disucikan serta iddah.

Imam Malik dan Imam Ahmad Hanbal mengatakan bahwa wanita hamil tidak boleh

dinikahi, karena dia sangat menginginkan iddah. Mereka berlaku sebagai aturan umum,

termasuk wanita hamil dari hubungan hukum, serta wanita hamil dari perselingkuhan.

Menurut Ibnu Rusyd, peneliti membahas apakah larangan itu sesat atau haram.

Banyak peneliti akan lebih sering mengartikannya sebagai suatu pelanggaran, bukan

haram, sehingga mereka diperbolehkan untuk menikahinya, mengingat hadits: “Ada

seorang pria yang bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang pasangannya yang lebih baik

dalam kekafiran. Nabi berbicara talaklah. Pria itu berkata: "Aku pasti mencintainya."

Nabi s.a.w. menjawab: "Kamu tidak perlu berpisah darinya. “Hadits ini banyak dipegang

oleh para peneliti, Nabi s.a.w menolak permintaannya dengan alasan pria tersebut

mengatakan sangat mencintai pasangannya. Pengaturan Nabi itu alami. Terlepas dari

apakah pria itu benar-benar memuja pasangannya, jelas dia akan menyukainya.

mencegahnya melakukan perzinahan di kemudian hari.

Sesuai Imam Malik dan Imam Ahmad tidak mengizinkan pernikahan. Akibat

perselingkuhan dengan laki-laki atau dengan non-laki-laki menghamilinya adalah

dengan alasan bahwa seorang wanita yang hamil karena perselingkuhan dikecualikan

14
dari kelompok wanita yang dilarang menikah seperti yang didefinisikan dalam Al-

Qur'an. 'sebuah. Mengenai masalah 'iddah, Imam Syafi'i berpendapat bahwa wanita yang

hamil karena hubungan di luar nikah tidak memiliki waktu 'iddah.31 Hal ini dengan

alasan bahwa alasan 'iddah adalah untuk menganggap sperma atau tukik yang terdapat

pada wanita (yang dipindahkan melalui hubungan yang sah). ). Sedangkan

perselingkuhan adalah hubungan yang haram dan haram, oleh karena itu sperma atau

embrio akibat perselingkuhan tidak perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Imam Syafi'i

juga berpendapat bahwa dengan asumsi wanita yang hamil di luar struktur keluarga yang

stabil telah melakukan akad nikah yang substansial, maka pada saat itu, mereka

diperbolehkan untuk melakukan hubungan seksual secara alami tanpa menunggu

kelahiran anak. mereka memberikan.

Apabila dua pendapat di atas dianalisis, maka dapat ditelusuri bahwa pendapat

pertama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina dengan laki-laki baik-

baik. Karena mereka berpendapat bahwa wanita hamil karena zina itu tidak mempunyai

‘iddah, sehingga boleh saja menikahi wanita tersebut dengan tidak harus menunggu ia

melahirkan. Sebagaimana diketahui bahwa wanita yang dicerai kemudian hamil, atau

ditinggal mati dalam keadaan hamil, maka iddah wanita tersebut ialah melahirkan

kandungannya.

Karena hamilnya wanita nikah siri tidak melalui perkawinan yang sah, maka

menurut penilaian ini, pengaturan iddah yang ditentukan dalam firman Allah dalam

surat at-Talaq ayat 4 di atas tidak menjadi masalah. Bagaimanapun juga, laki-laki tidak

boleh melakukan hubungan seksual dengan wanita yang dinikahinya sampai dia

15
mengandung. Tidak masuk akal untuk ikut campur di sini karena tidak ada pencampuran

benihnya dengan benih saat ini karena perselingkuhan.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mengingat akibat pemeriksaan terhadap Hukum Perkawinan Wanita Hamil
Akibat Zina Menurut Fiqh Islam dan KHI, maka para pengamat menduga
demikian:
1. Menurut Fiqh Islam terdapat perbedaan penilaian, Syafi'iyyah
mengatakan sah menikahi wanita hamil karena perselingkuhan, dua pria yang
menghamilinya dan orang yang tidak menghamilinya dan tidak ada 'iddah
komitmen untuknya, Hanafiyah mengatakan boleh menikahi wanita hamil
karena perselingkuhan, semua jenis orang. laki-laki yang menghamilinya atau
yang belum menghamilinya tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai ia
mengandung. Madzhab Hanbali dan Maliki tidak mengizinkan pernikahan
wanita hamil karena perselingkuhan, baik orang yang menghamilinya maupun
orang yang tidak menghamilinya karena pernikahan ini adalah pernikahan fasid.
2. Menurut KHI, tidak sah menikahi wanita hamil karena
perselingkuhan jika selesai dengan seorang pria tidak menghamilinya, seorang
wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan suaminya tanpa terikat erat
untuk itu. pengenalan anak dalam perutnya terlebih dahulu, dan Perkawinan
selama kehamilan umumnya tidak diharapkan untuk menikah lagi setelah anak
dikandung.
B. Kritik dan Saran

Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang diulas dalam
makalah ini. Kami percaya bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.
Karena keterbatasan informasi dan referensi, pencipta memahami bahwa tulisan ini jelas
memiliki kekurangan. Selanjutnya, ide-ide dan analisis yang produktif sangat diharapkan
dengan tujuan agar makalah ini dapat terakumulasi untuk menjadi jauh lebih baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Tahqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry)
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979)
Muslim bin hajjaj, Shahih Muslim.

Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid,
(Jakarta; PT.RajaGrafindo Persada, 2002)

Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-nadzair,


(Semarang: Toha Putra)

Laporan Utama “ Masalah Hamil Sebelum Nikah dan Perwaliannya”, Nasehat


Perkawinan, BP 4 Pusat, September 1998.

M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada 2004)

Made Heny Urmila Dew, Aborsi: Pro dan Kontra di Kalangan Petugas Kesehatan
(Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM,1997)

Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah At-Tuwaijiri : Mukhtasar Fiqh Islam fiy dhau’ i
Al-Qur’an wa Ssunnah

Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud,


Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 1989)

Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahalli,Tafsir Jalalain, cet. Darul Hadits,


Kairo
Yusuf al-Qhardawi, Al-Halal wa alHaram fi al-Islam, Maktabah al-Islami,
Beirut,1978,
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2005)

18

Anda mungkin juga menyukai