Disusun oleh :
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahi robil alamin, dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat ALLAH
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga kami saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Dengan kesempatan ini, kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Akhmad Syahid, M.Kom.I selaku dosen pengampu matakuliah masailul fiqiyah
2. Kedua orang tua kami yang selalu memberikan semangat kepada kami.
3. Semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan-bantuan.
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan. Karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sehingga pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Annisa Nurrohmah
DAFTAR ISI
ii
A. Cover.......................................................................................................................i
B. Kata pengantar......................................................................................................ii
C. Daftar isi.................................................................................................................iii
D. BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
a. Latar belakang...........................................................................................1
b. Rumusan masalah......................................................................................2
c. Tujuan.........................................................................................................2
E. BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
a. Pengertian Pernikahan dan Hukum Islam.............................................
b. Syarat dan Rukun Pernikahan.................................................................
c. Pengertian perkawinan wanita hamil zina..............................................
d. Macam-macam perkawinan wanita hamil..............................................
e. Hukum menikahi wanita hamil akibat zina menurut fiqh Islam.........
F. BAB III PENUTUP...............................................................................................15
a. Kesimpulan.................................................................................................15
b. Saran dan kritik ........................................................................................15
G. DAFTAR PUSTAKA............................................................................................16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Artinya:
“Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap sunnahku, maka
mereka bukan termasuk umatku”(HR. Ibnu Majah).
Artinya:
Artinya:
“Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan,
dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan
berbahagia”. (HR. Bukhari).
Perkawinan jelas telah diatur dengan pengaturan syariat Islam yang telah
dihilangkan dan sumbernya baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah maupun hasil ijtihad para
peneliti. Untuk seorang wanita muda, tentu saja, dia tidak akan hamil tanpa melalui
pernikahan dengan seorang pria. Namun, masalahnya adalah titik di mana kecelakaan
1
terjadi atau seorang wanita hamil terjadi di luar pernikahan yang sah. Ini bisa dianggap
sebagai perselingkuhan yang dalam teks-teks jelas-jelas ilegal. Oleh karena itu, dengan
perenungan yang berbeda, perkumpulan-perkumpulan tersebut berusaha menutupinya
dengan menikahkan orang yang menghamilinya, dan jika dia yang lepas dari tanggung
jawab, dicari laki-laki lain yang mampu menikahi wanita ini.
2
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pernikahan itu?
2. Apa saja syarat dan rukun pernikahan?
3. Bagaimana hukum pernikahan wanita hamil?
4. Apakah macam-macam pernikahan wanita hamil?
5. Apakah hukum menikahi wanita hamil menurut fiqh Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk menjelaskan tentang pernikahan.
2. Untuk menjelaskan syarat dan rukun pernikahan.
3. Untuk menjelaskan hukum pernikahan wanita hamil.
4. Untuk menjelaskan macam-macam pernikahan wanita hamil.
5. Untuk mengetahui hokum menikahi wanita hamil menurut fiqh Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Jam'u artinya menghimpun, menghimpun, menyatukan, mempersatukan,
tambahkan dan buat. Itulah alasannya mengingat persetubuhan atau persetubuhan
dalam istilah fiqh disebut jima' berpikir tentang persetubuhan itu secara lugas
mengisyaratkan gerakan-gerakan dari segala jenis yang terkandung dalam
implikasi tepat dari kata al-Jamu'.
Perkawinan menurut syara' adalah akad yang membolehkan wath'i (seks) dengan
memanfaatkan lafaz inkah atau tazwij.
Sementara itu, menurut Imam Syafi’i pengertian nikah secara syara’ ialah:
Adakalanya suatu akad yang mencakup kepemilikan terhadap wath’i dengan lafaz
inkah atau tazwij atau dengan menggunakan lafaz yang semakna dengan keduanya”
Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal pengertian nikah secara syara’
ialah:
”suatu akad yang dilakukan dengan menggunakan lafaz inkah atau tazwij untuk
mengambil manfaat kenikmatan (kesenangan)“
Karena nikah merupakan akad nikah seperti halnya akad-akad lainnya, maka
diperlukan kesiapan kedua pelaku yaitu qabul ijab qabul, ijab kabul dan kesungguhan
wali. Kontrak perkawinan juga memiliki beberapa pengaturan yang akan menentukan
keabsahan perjanjian.
Di antara pengaturan yang tersirat adalah bahwa harus ada bagian (wakaf),
tempat tinggal dan papan sebagai tempat tinggal, kontrak pernikahan juga memiliki
4
beberapa keadaan, peraturan dan metodologi yang harus dipenuhi tanpa batas. Sejak
saat itu perjanjian menjadi sah.
Jelas, pemenuhan kebutuhan, peraturan dan sistem harus melalui jalan yang
benar karena sejujurnya perjanjian ini adalah masalah yang sangat besar dan sangat
kritis karena mencakup masalah yang berkaitan dengan kehormatan dan kehormatan
seseorang, serta kemurniannya. keturunan. Selanjutnya kita diharapkan untuk
mengumpulkan keadaan, peraturan, sunnah-sunnah dan metodologi untuk akad nikah.
Menurut sebagian besar peneliti, ada lima andalan pernikahan, yang masing-
masing memiliki poin dukungan dan kondisi tertentu, khususnya:
1. Calon suami syarat-syaratnya :
a. BeragamaIslam
b. Laki-laki.
c. Jelas orang nya
d. Dapat memberikan persetujuan.
e. Tidak terdapat halangan, seperti: Tidak dalam keadaan ihram
5
5. Saksi nikah dansyarat-syaratnya :
a. Minimal 2 orang laki-laki
b. Hadir dalam ijabqabul
c. Dapat mengertimaksud akad
d. Islam
e. Dewasa
6
terkutuk, sedangkan anak yang dikandung tetap bersih dari pelanggaran dan tidak
memperoleh kegiatan yang telah dilakukan oleh orang tuanya.
Interpretasi:
1. Seorang wanita hamil tanpa kehadiran ibu dan ayah, dapat dipasangkan
padanya. pria.
7
2. Perkawinan dengan wanita hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa harus menunggu lama untuk pengenalan anaknya.
3. Dengan perkawinan yang terjadi ketika wanita itu hamil, tidak ada
persyaratan untuk menikah lagi setelah anak yang dikandungnya.
Terkait masalah ini, MUI dianggap penting untuk menetapkan fatwa yang sah
tentang perkawinan ibu hamil sehingga cenderung digunakan sebagai pedoman untuk
pelajaran yang tegas.
Ingat:
1. Al-Qur’an
Kebolehan kawin dengan perempuan hamil menurut ketentuan di atas
adalahterbatas bagi laki-laki yang menghamilinya. Hal ini berdasarkan firman Allah
dalam surat An-Nur Ayat 3:
Artinya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini, melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas orang-orang mu’min”(QS. An-Nur Ayat 3).
Sedangkan dalam kitab tafsir jalalain mengenai ayat di atas adalah seperti yang
di tulis dalam kitab Tafsir Jalalain :
Pria yang melakukan perselingkuhan belum menikah dengan wanita yang
melakukan perselingkuhan atau wanita yang musyrik; dan wanita yang melakukan
perselingkuhan tidak dinikahi oleh pria yang melakukan perselingkuhan atau pria yang
musyrik yang merupakan kaki tangan yang wajar untuk masing-masing sebagaimana
dimaksud di atas dan dilarang menikahi wanita yang melakukan perselingkuhan atas
umat pilihan. Pembatasan ini terungkap ketika orang-orang miskin dari kalangan
sahabat Muhajirin berencana untuk menikahi pelacur yang musyrik, karena mereka
adalah orang kaya. Para musafir yang malang merasa bahwa kelimpahan mereka akan
8
memiliki pilihan untuk membantu pekerjaan mereka. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
larangan ini secara eksplisit untuk para sahabat Muhajirin yang malang sebelumnya,
namun seperti yang lainnya, pembatasan ini bersifat umum dan lengkap., kemudian
ayat ini dinasakh oleh firman-Nya yang lain, yaitu, “Dan nikahkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kalian”(Q.S. An-Nur, 32).
Kalimat di atas dapat dipahami bahwa kewajaran pernikahan seorang wanita
hamil untuk seorang pria adalah kasus khusus. Karena orang yang membuatnya hamil
adalah orang yang tepat untuk menjadi pasangan sempurna mereka. ID dengan laki-laki
yang baik haram untuk menikahi mereka (Al-Baqarah, 2:221). Gerak ini diperkuat lagi
dengan kalimat akhir bait wa hurrima dzalika 'ala al-mu'minin. Jadi bagi wanita hamil
Mujahid, 'Ata' dan Ibn Abi Rabah dan Qatadah memperhatikan bahwa 'para Muhajirin
muncul di Madinah, di antara mereka ada yang skeptis, tanpa kekayaan dan pekerjaan,
dan di Madinah ada pelacur (pelacur) yang menyewakan diri, mereka ada di sekitar
dari mereka ada tanda di pintu masuk seperti papan nama dokter hewan (al-baitar),
penting untuk membedakannya sebagai pezina. Tidak ada yang masuk selain dari
filanders dan musyrik laki-laki. Migran orang miskin puas dengan pekerjaannya, lalu
mereka berkata "Kami menikahkan mereka sampai Allah membuat kami kaya dari
mereka". Mereka kemudian, pada saat itu, meminta persetujuan dari Rasulullah dari
hamil karena perselingkuhan karena bukan pria yang menghamilinya, adalah untuk
9
menjaga harga diri dan keluhuran budi pekerti. Selain itu, juga secara hukum
hubungan dengan ibu mereka. Sama seperti anak-anak li'an, khususnya anak-anak yang
perselingkuhan.
ditinggalkan, maka jelaslah bahwa masa iddah mereka adalah sampai dia mengandung
anak. Secara keseluruhan, ketika wanita hamil, menikah dengan pria lain tidak masuk
seorang wanita hamil di luar nikah tidak diizinkan menikahi pria yang tidak
menghamilinya.
2. Al-Hadits
Dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ‘Abdullah bi ‘Amr bin
‘Ash, beliau berkata :
Artinya:
Hadits ini tegas menunjukkan haram nikah dengan perempuan pezina. Namun
10
hukum haram tersebut bila ia bertaubat. Adapun kalau ia telah bertaubat maka
terhapuslah hukum haram nikah dengan perempuan pezina tersebut berdasarkan sabda
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
Artinya:
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak ada dosa baginya”
Secara global para Ulama berbeda pendapat dalam persyaratan dua perkara
untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina antara lain :
2. Tidak disyaratkan taubat. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’i
Para ulama berbeda pendapat apakah lepas ‘iddah, merupakan syarat bolehnya
menikahi perempuan yang berzina atau tidak, Dalam hal ini ada dua pendapat :
1. Wajib ‘Iddah
Ini adalah pendapat Hasan Al-Bashry, An-Nakha’iy, Rabi’ah bin Abdurrahman, Imam
Ini adalah penilaian Imam Syafi'i dan Abu Hanifah, namun ada perbedaan di
antara mereka dalam hal tertentu, khususnya menurut Imam Syafi'i kewajaran untuk
melakukan akad nikah dengan seorang wanita yang melakukan kekafiran dan itu
11
menikahinya maupun yang melakukan perselingkuhan itu sendiri atau orang lain.
Sementara itu, Abu Hanifah menilai masuk akal untuk mempermainkan akad nikah
dengannya dan melakukan hubungan seks dengannya, jika orang yang menikahinya
adalah orang yang melakukan kekafiran. Namun, dalam hal orang yang menikahinya
selain orang yang melakukan perselingkuhan, maka pada saat itu melakukan akad
adalah halal.
menikah tetapi tidak berhubungan seks 'sampai istibro' (rahim tidak terisi dari
tukik) dengan satu siklus bulanan atau sampai mengandung anak dengan asumsi wanita
itu hamil.
Selain itu, dalam hal yang hamil karena perselingkuhan itu menikah dengan
keluarga yang stabil, baik dengan suaminya atau dengan bukan pria yang
Peneliti Syafi'i berpendapat bahwa jika seorang wanita berzina, tidak ada
kewajiban 'iddah bagi dirinya sendiri dan boleh saja menikahi wanita hamil karena
hubungan hubungan, maka tidak ilegal untuk menikahi wanita seolah-olah dia tidak
melakukannya. hamil.
12
akibat perselingkuhan tidak memiliki iddah, bahkan masuk akal untuk menikahinya,
namun dia tidak diizinkan melakukan hubungan seksual sampai dia mengeluarkan
perutnya”.
Namun, melihat penilaian Imam Abu Hanifah, meskipun wanita hamil wajar
menikah dengan laki-laki, namun ia tetap tidak boleh melakukan hubungan seksual
3. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik tentang hukum
Imam Ahmad Wadah Hanbal berpendapat bahwa tidak masuk akal bagi seorang wanita
hamil untuk menikahi seorang wanita hamil karena hubungan di luar nikah dengan
seorang pria, sebelum mereka berdamai terlebih dahulu, secara keseluruhan, ini bisa
diterima namun membatasi. Sedangkan aturan perkawinan adalah usul yang tegas
dalam rangka membina keluarga yang sakinah dan saling menyayangi, sedangkan
menurut hukum perkawinan seorang wanita hamil karena hubungan di luar nikah
dengan seorang laki-laki yang bukan menghamilinya dapat menjadi batasan untuk
mencapai tujuan sakinah. dan memuja pernikahan. kecuali jika seorang wanita yang
hamil karena hubungan di luar nikah telah menebus dan orang yang menikahinya juga
mengetahui keadaan calon pasangannya dan akan mengakuinya. Selain alasan di atas.
Imam Ahmad wadah Hanbal juga berpendapat bahwa wanita yang hamil karena
hubungan di luar nikah sebenarnya memiliki waktu 'iddah, seperti halnya wanita yang
ditinggalkan atau dipisahkan oleh pasangannya. Pengharapan akan adanya masa 'iddah
dengan alasan ia berpendapat bahwa motivasi 'iddah adalah untuk mengetahui kesucian
13
rahim, khususnya apakah mengandung tukik (dari laki-laki yang melakukan hubungan
seksual). dengan dia) atau tidak, bukan hanya untuk menghormati sperma atau embrio
4. Imam Malik berpendapat bahwa tidak boleh menikahi wanita hamil karena
Mereka berpandangan bahwa yang disamakan dengan orang yang terikat adalah
kekafiran atau keragu-raguan atau nikah fasid, sehingga ia harus disucikan serta iddah.
Imam Malik dan Imam Ahmad Hanbal mengatakan bahwa wanita hamil tidak boleh
dinikahi, karena dia sangat menginginkan iddah. Mereka berlaku sebagai aturan umum,
termasuk wanita hamil dari hubungan hukum, serta wanita hamil dari perselingkuhan.
Menurut Ibnu Rusyd, peneliti membahas apakah larangan itu sesat atau haram.
Banyak peneliti akan lebih sering mengartikannya sebagai suatu pelanggaran, bukan
seorang pria yang bertanya kepada Nabi s.a.w. tentang pasangannya yang lebih baik
dalam kekafiran. Nabi berbicara talaklah. Pria itu berkata: "Aku pasti mencintainya."
Nabi s.a.w. menjawab: "Kamu tidak perlu berpisah darinya. “Hadits ini banyak dipegang
oleh para peneliti, Nabi s.a.w menolak permintaannya dengan alasan pria tersebut
mengatakan sangat mencintai pasangannya. Pengaturan Nabi itu alami. Terlepas dari
apakah pria itu benar-benar memuja pasangannya, jelas dia akan menyukainya.
Sesuai Imam Malik dan Imam Ahmad tidak mengizinkan pernikahan. Akibat
dengan alasan bahwa seorang wanita yang hamil karena perselingkuhan dikecualikan
14
dari kelompok wanita yang dilarang menikah seperti yang didefinisikan dalam Al-
Qur'an. 'sebuah. Mengenai masalah 'iddah, Imam Syafi'i berpendapat bahwa wanita yang
hamil karena hubungan di luar nikah tidak memiliki waktu 'iddah.31 Hal ini dengan
alasan bahwa alasan 'iddah adalah untuk menganggap sperma atau tukik yang terdapat
perselingkuhan adalah hubungan yang haram dan haram, oleh karena itu sperma atau
embrio akibat perselingkuhan tidak perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Imam Syafi'i
juga berpendapat bahwa dengan asumsi wanita yang hamil di luar struktur keluarga yang
stabil telah melakukan akad nikah yang substansial, maka pada saat itu, mereka
Apabila dua pendapat di atas dianalisis, maka dapat ditelusuri bahwa pendapat
pertama yang membolehkan pernikahan wanita hamil karena zina dengan laki-laki baik-
baik. Karena mereka berpendapat bahwa wanita hamil karena zina itu tidak mempunyai
‘iddah, sehingga boleh saja menikahi wanita tersebut dengan tidak harus menunggu ia
melahirkan. Sebagaimana diketahui bahwa wanita yang dicerai kemudian hamil, atau
ditinggal mati dalam keadaan hamil, maka iddah wanita tersebut ialah melahirkan
kandungannya.
Karena hamilnya wanita nikah siri tidak melalui perkawinan yang sah, maka
menurut penilaian ini, pengaturan iddah yang ditentukan dalam firman Allah dalam
surat at-Talaq ayat 4 di atas tidak menjadi masalah. Bagaimanapun juga, laki-laki tidak
boleh melakukan hubungan seksual dengan wanita yang dinikahinya sampai dia
15
mengandung. Tidak masuk akal untuk ikut campur di sini karena tidak ada pencampuran
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mengingat akibat pemeriksaan terhadap Hukum Perkawinan Wanita Hamil
Akibat Zina Menurut Fiqh Islam dan KHI, maka para pengamat menduga
demikian:
1. Menurut Fiqh Islam terdapat perbedaan penilaian, Syafi'iyyah
mengatakan sah menikahi wanita hamil karena perselingkuhan, dua pria yang
menghamilinya dan orang yang tidak menghamilinya dan tidak ada 'iddah
komitmen untuknya, Hanafiyah mengatakan boleh menikahi wanita hamil
karena perselingkuhan, semua jenis orang. laki-laki yang menghamilinya atau
yang belum menghamilinya tidak boleh melakukan hubungan seksual sampai ia
mengandung. Madzhab Hanbali dan Maliki tidak mengizinkan pernikahan
wanita hamil karena perselingkuhan, baik orang yang menghamilinya maupun
orang yang tidak menghamilinya karena pernikahan ini adalah pernikahan fasid.
2. Menurut KHI, tidak sah menikahi wanita hamil karena
perselingkuhan jika selesai dengan seorang pria tidak menghamilinya, seorang
wanita hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan suaminya tanpa terikat erat
untuk itu. pengenalan anak dalam perutnya terlebih dahulu, dan Perkawinan
selama kehamilan umumnya tidak diharapkan untuk menikah lagi setelah anak
dikandung.
B. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang diulas dalam
makalah ini. Kami percaya bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.
Karena keterbatasan informasi dan referensi, pencipta memahami bahwa tulisan ini jelas
memiliki kekurangan. Selanjutnya, ide-ide dan analisis yang produktif sangat diharapkan
dengan tujuan agar makalah ini dapat terakumulasi untuk menjadi jauh lebih baik.
17
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, (Tahqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry)
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Bary, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1979)
Muslim bin hajjaj, Shahih Muslim.
Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam; Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid,
(Jakarta; PT.RajaGrafindo Persada, 2002)
M. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada 2004)
Made Heny Urmila Dew, Aborsi: Pro dan Kontra di Kalangan Petugas Kesehatan
(Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM,1997)
Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah At-Tuwaijiri : Mukhtasar Fiqh Islam fiy dhau’ i
Al-Qur’an wa Ssunnah
18