Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENGERTIAN IJTIHAD DAN URGENSI IJTIHAD DALAM AJARAN


ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam dan Moderasi
Beragama

Dosen Pengampu : Firma Andrian, M.Pd.

Disusun Oleh :

Antika Yuli Pangestu (2201071004)


Maya Sari (2201071018)
Rita Oktavia (2201070012)
Sekar Arum Ramadhani (2201071022)

Kelas B
Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri (Iain) Metro 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulilahi robil alamin, dengan mengucapkan puji dan syukur


kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah ini. Dengan kesempatan
ini, kami tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Firman Andrian M.Pd. selaku dosen pengampu Mata kuliah Studi
Islam dan Moderasi Beragama
2. Teman-teman kelompok 2 yang telah bekerja sama untuk menyelesaikan
makalah ini.
3. Kedua orang tua kami yang selalu memberikan semangat kepada kami.
4. Semua pihak yang telah berkenan memberikan bantuan-bantuan.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan. Karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun sehingga pembuatan makalah yang akan datang dapat lebih baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca
umumnya.

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Metro 27 September 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................2
B. Rumusan Masalah.................................................................................2
C. Tujuan Masalah....................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Pengertian Ijtihad..................................................................................3
B. Urgensi Ijtihad Dalam Ajaran Islam.....................................................6

BAB III PENUTUP.........................................................................................8

A. Kesimpulan...........................................................................................8
B. Saran.....................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

 Dewasa ini, kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber
dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh
berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak
bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut
soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai
totalitas perintah Allah yang mengatur umat Islam dalam keseluruhan aspek kehidupan,
baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik, pendidikan, ekonomidan hukum.

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist,
namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk
menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun
Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan
Hadist.
Pada awal diturunkannya Islam, segala bentuk peribadatan sudah diatur dan
ditata bentuk aplikasinya baik dalam alQur’an maupun Sunah Rasulullah saw, yang
tentunya disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu. Seluruh pengejewantahan
aplikasi syari’at pada zaman Nabi Muhammad saw. praktis tidak terdapat perbedaan. Hal
ini karena Nabi Muhammad saw. menjadi rujukan dalam segala permasalahan. Ketika
muncul suatu persoalan, secara otomatis langsung dimintakan penjelasannya kepada
Rasulullah saw.

Syari’at yang berarti jalan dan sesuatu yang telah diatur oleh Allah untuk
hamba-hamba-Nya dengan menunjuk pada suatu hukum yang beragam, dianggap sebagai
tolak ukur aturan dan sistem kehidupan dalam Islam. Diantara sistematisasi syari’at yang
menjadi pedoman hubungan kehidupan, baik itu hubungan sosial kemasyarakatan,
hubungan dengan lingkungan, maupun hubungan transendental manusia dengan Tuhannya,
adalah fikih. Fikih yang mengatur hubungan muamalah menjadi pemahaman manusia
berkenaan dengan garis hubungan horizontal-vertikal. Para ulama terdahulu, bahkan dari
Nabi Muhammad Saw. sendiri, mendasarkan aturan ini pada nas-nas yang sudah
terkodifikasi dalam al-Qur’an maupun Hadis.

Syari’at Islam, salah satu ciri khasnya adalah memiliki ruang lingkup yang
menyeluruh. Oleh karena itu syari’at menempati posisi yang universal dalam kehidupan.
Universalitas syari’at ini menuntut untuk diaplikasikan oleh umat Islam di manapun dan
kapanpun, dengan mendudukkan salah satu prinsip bahwa syari’at memberi aturan yang
sejalan dengan kemaslahatan dan menganulir segala kerusakan yang merugikan dan

1
mengacaukan sirkulasi kehidupan manusia. Seperti halnya yang telah dinyatakan oleh
beberapa ulama bahwasanya syari’at Islam berlandaskan pada prinsip membuka
kemaslahatan dan menutup segala bentuk kerusakan.

.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan pengertian tentang Ijtihad?
2. Bagaimana urgensi Ijtihad dalam ajaran Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad?
2. Agar kita mengetahui Urgensi Ijtihad dalam ajaran Islam?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad"
dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut
istilah hukum Islam ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan
hukum agama (syara’) melalui salah satu dalil syara’, dan tanpa cara-cara tertentu.Usaha
tersebut merupakan pemikiran dengan kemampuan sendiri semata-mata.1

Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani mengatakan bahwa ijtihad adalah
mengerahkan semua pemikiran dalam mengkaji dalil shar’iyyah untuk menentukan
beberapa hukum syari’at.

Berdasarkan defenisi tersebut mengandung beberapa ketentuan, yaitu:

1. Sesungguhnya ijtihad merupakan mengerahkan pemikiran dalam mengkaji dallil-dalil,


dan hal ini lebih umum dari qiyas. Kalau qiyas menyamakan far’ dengan asl, sedangkan
ijtihad mengandung qiyas dan lain sebagainya.

2. Ijtihad dilakukan oleh faqih, yaitu orang yang mengetahui dalil-dalil dan cara istinbat
al-hukm.

3. Ijtihad dilakukan terhadap sesuatu yang belum ada hukumnya atau bersifat zanni serta
menghasilkan hukum yang bersifat zanni.

4. Dengan adanya batasan “istinbat”, maka ijtihad merupakan pemikiran mujtahid dan
ijtihadnya.2
Kata Ijtihad berasal dari kata “Ijtahada-yajtahidu-ijtihādan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad
artinya bersungguh-sungguh dalm mencurahkan pikiran. Menurut istilah, ijtihad
adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk
menetapkan suatu hukum (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu
yang sulit dan memayahkan. Oleh karena itu, tidak disebut ijtihad apabila tidak ada
unsur kesulitan di dalam suatu pekerjaan. Secara terminologis, berijtihad berarti
mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.
Namun dalam Al-Qur’an kata “jahda” sebagaiman dalam Q.S 16:38, 24:53, 35:42.
Semuanyan mengandung arti “Badzlu Al-Wus’I Wa Al-Thoqoti” (pengarahan segala
kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti “Al-Mubalaghah fil al-yamin” (berlebih-
1
A. Hanafi, Pengantar dan sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 162.

2
Muhammad Ibn Husayn Ibn Hasan al-Jizani, Mu’alim usul fiqh ’inda ahl sunnah wa al-jama’ah (Riyad: Dar ibn
al-Jauzy, 1998), h. 470.

3
lebih dalam sumpah). Dengan demikian arti ijtihad adalah pengarahan segal
kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas
puncaknya3.
Ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) ialah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan nash undang-
undang ataupun dengan mengistinbathkan hukum yang wajib diterapkan di waktu tak
ada nash4.
Kemudian di kalangan para ulama perkataan ini khusus digunakan dalam
pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (al-faqih) dalam
mencari tahu tentang hukum-hukum syariat. Jadi dengan demikian, ijtihad itu ialah
perbuatan-perbuatan istimbath hukum syar’iyyah dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syari’at. (Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, h. 529)
Imam Al-Ghozaliy, yang diikuti juga oleh Khudloriy (Dr. Wahbah 591)
mendefinisikan ijtihad itu dengan “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid
dengan sungguh-sungguh didalam rangka mengetahui/ menetapkan tentang hukum-
hukum syari’ah. Adapula yang mengatakan, ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh al-
Ghozaliy di dalam al-mustashfa (II/4 pendapat itu tidak disetujui menurutnya itu
adalah keliru, sebab ijtihad itu lebih umu daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad
itu memandang di dalam keumuan dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua jalan
asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’i sendiri menyebutkan bahwa
dalam arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad5.

Ijtihad adalah suatu alat untuk menggali hukum Islam, dan hukum Islam yang
dihasilkan dengan jalan ijtihad statusnya adalah zanni. Zann artinya pengertian yang
berat kepada benar, dengan arti kata mengandung kemungkinan salah. Ushul fiqh
mendefinisikan ijtihad dengan:

َ ‫ص ْي ِل‬
‫ظنٍّ ِب ُح ْك ٍم ش َْر ِع ٍّي‬ ْ ‫ستِ ْف َرا ُغ ا ْلفَقِ ْي ِه ا ْل ُو‬
ِ ‫س َع لِت َْح‬ ْ ِ‫ا‬
“Pencurahan kemampuan secara maksimal yang dilakukan oleh faqih (mujtahid)
untuk mendapatkan zann (dugaan kuat) tentang hukum syar’i”6
Abdul Wahab Khalaf menerangkan bahwa ijtihad meliputi pengarahan segenap
kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak ada nasnya, disebabkan
dengan (al-ijtihad bi al-ra’yi).
Ijtihad bi al-ra’yi merupakan suatu macam ijtihad dalam arti umum yang meliputi:
1.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum yang dikehendaki nash yang dhanni
dalalahnya. Hukum yang diperoleh berupa penafsiran berkualitas terhadap ungkapan
nash Al-Qur’an dan Hadis.
3
Nadith Syarif al-Umari, al-Ijtihad fi al-islam: Ushuluhu, Ahkamuhu, Afaquhu, ( Beiru: Muassasah Risalah,
1981) hal. 18
4
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999,
hlm. 200
5
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, Ushul Fiqh ( Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad),
Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1986, hlm. 111-112
6
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003, hlm. 15

4
2.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syari’ amali (furu’iyah) dengan cara
menetapkan qaidah syari’iyah kulliyah.
3.      Ijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak
ditunjuki hukumnya oleh suatu nash secara langsung yang disebut dengan “ijtihad bi
al-ra’yi”7.
Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadis. Di antara
ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar ijtihad oleh ahli usul fiqih adalah firman Allah
swt. dalam surat al-Nisa’ ayat 105, yaitu:
‫ق لتَحْ ُكم ب ْينَ النَّاس بم ۤا اَ ٰرٮ َ هّٰللا‬
ِ َ‫ك ُ ۗ َواَل تَ ُك ْن لِّ ْـل َخٓاِئنِ ْينَ خ‬
‫ص ْي ًما‬ َِ ِ َ ‫اِنَّ ۤا اَ ْن َز ْلن َۤا اِلَ ْيكَ ْال ِك ٰت‬
َ َ ِ ِّ ‫ب بِ ْال َحـ‬

Terjemahnya: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. Al-Nisa: 105).8

Menurut Imam al-Bazdawi (ahli usul fiqih mazhab Hanafi), Imam al-Amidi, dan
Imam al Satiby, ayat ini mengandung pengakuan terhadap eksistensi ijtihad melalui qiyas
(analogi). Kemudian dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah berfirman:
‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ۤوْ ا اَ ِطيْـعُوا هّٰللا َ َواَ ِطيْـعُوا ال َّرسُوْ َل َواُولِى ااْل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۚ فَا ِ ْن تَنَا َز ْعتُ ْم فِ ْي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوْ هُ اِلَى هّٰللا ِ َوال َّرسُوْ ِل اِ ْن ُك ْنـتُ ْم‬
َ ِ‫تُْؤ ِمنُوْ نَ بِاهّٰلل ِ َو ْاليَـوْ ِم ااْل ٰ ِخ ِر ۗ ٰذل‬
‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َسنُ تَْأ ِو ْياًل‬
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.6 (QS. An-Nisa’: 59)9

B. Urgensi Ijtihad Dalam Ajaran Islam


Setiap muslim pada dasarnya diharuskan untuk berijtihad dalam semua bidang
hukum syari’ah , asalkan dia sudah memenuhi syarat dan kretiria seseorang mujtahid.
Masalah-masalah yang menjadi lapangan Ijtihad adalah masalah-masalah yang
7
Abdul Wahab Khalaf, Mashadir tasyri’ L-ISLAMI, (Kuwait: Dar Al-Qur’an, 1972) hal.7
8
Al-Qur’an: 4 (Al-Nisa’): 105.
9
Al-qur`an: 4 (Al-Nisa’): 59.

5
bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik dalam Al-Qur’an
maupun Hadist. Para ulama’ membagi hukum melakukan ijtihad menjadi 3 bagian
yaitu:
1.      Wajib ‘ain, bagi orang yang diminta fatwa hukum mengenai suatu
peristiwa yang terjadi, dan dia khawatir peristiwa itu akan lenyap tanpa ada
kepastian hukunya. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin
mengetahui humnya.
2.      Wajib kifayah, bagi orang yang diminta fatwa hukum yang dikhawatirkan
lenyap peristiwa itu, sedangkan selain dia masih terdapat para mujtahid lainya.
Maka apabila kesempatan mujtahid itu tidak ada yang melakukan ijtihad,
maka semua, tetapi bila ada seorang dan mereka memberikan fatwa hukum
maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
3.      Sunnah, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi upaya


ijtihad, karna dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan mengkoreksi
kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu. Lebih lanjut, ijtihad merupakan
upaya pembeharuan hukum islam. Sebagaimana ungkapan Abu Bakar al-Baqilani
bahwa setiap periode memiliki ciri tersendiri sehingga menentukan peubahan hukum.
Sedankan Ibnu Hajib mengatakan bahwa ijtihad harus merujuk pada aspek-aspek
pembeharuan terhadap masalah yang belum pernah disinggung oleh ulama’ terdahulu,
sedangkan masalah yang sudah diijtihadi pada masa lalu tidak perlu dipembaharui.
Sabda Nabi SAW :”Sesungguhnya Allah mengutus pada umat ini disetiap
penghujung periode (seratus tahun) seseorang yang mempebaruhi agamanya”10.

Meskipun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembeharuan bagi


ijtihad yang lama, sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan hasil ijtihad
yang lama, bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru tidak bisa merubah status
ijtihad yang lama, hal itu seiring dengan kaidah faqhiyah “al-ijtihadu ia yanqudlu bi
al-ijtihadi” (ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Selanjutnyaa, urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad itu sendiri
yaitu:
1.      Fungsi al-Ruju’ (kembali), mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-Qur’an
dan Sunnah dari segala interpretasi yang mungkin kurang relevan.
2.      Fungsi al-Ihyl (kehidupan), menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
semangat islam agar mampu menjawab tantangan zaman.
3.      Fungsi al-Inabah (pembenahan), membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah
diijtihad oleh ulama’ terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks
zaman dan kondisi yang dihadapi.

10
R. Nadiyah Syrif Al-Umari, Opict., hal. 199-200

6
Ijtihad sebagai metode penemuan hukum yang bersandar pada hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal ketika diutus sebagi seorang hakim ke
Yaman, yang bunyi hadits tersebut; Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya
Rasululloh SAW, ketika mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu
menetapkan hukum jika diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz
menjawab saya akan memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika
kamu tidak menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus
berdasarkansunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan
dalam sunnah Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku
dan dengan seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam
hal yang diridhoi oleh Rasulullah. Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar
pijakan eksistensi ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan
menggambarkan sumber hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an,
Hadits dan Ijtihad.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk

7
menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan dalam
kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin
kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika
tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
Sejak dulu hingga sekarang ijtihad senantiasa tetap diperlukan, karena
banyaknya kasus yang tidak secara tegas ditetapkan hukumnya oleh Al-qur’an dan as-
sunnah. Ada beberapa tingkatan dalam mujtahid antara lain: Mujtahid fi al-syar’I,
Mujtahid fi al-mazhab, Mujtahid fi al-masa’il , dan Mujtahid muqoyyad. Dr. Ad-
Duwalibi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Wahbah (h. 594) membagi macam ijtihad
kepada tiga macam.
Islam mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat abadi dan universal,
yang harus dipercayai dan diamalkan oleh setiap muslim, di mana dia berada dan
kapan dia hidup. Setelah wafatnya nabi Muh}ammad dan daerah Islam bertambah
luas serta persoalan sosial keagamaan semakin komplek, maka penggalian hukum
(istinbat al-hukm) merupakan sebuah kebutuhan. Di sinilah awalnya ijtihad dilakukan
untuk menyelesaikan persoalan umat.

B. SARAN
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna dalam pembuatan
makalah ini, tentunya banyak kekyrangan dan kelemahan karena terbatasnya ilmu
pengatahuan, kurangnya rujukan atau referansi yang diperoleh hubungannnya dengan
makalah ini. Oleh karena itu, kami banyak berharap kepada para pembaca untuk
memberikan kritik dan sarannya yang dapat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.Sekian makalah dari kami semoga bisa diterima di hati, dan dapat
menambah wawasan serta kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i Drs Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Muniron, Ni’am. 2010. studi islam. STAIN Jember Press.
Yusuf Ali Anwar. 2003. Studi Agama Islam. Bandung: Pustaka Setia.
https://www.jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/download/3175/3003

8
https://journal.uny.ac.id/index.php/jppfa/article/viewFile/2616/2171

https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/download/8775/pdf

Ali, H. Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di
Indonesia. Jakarta: raja Grafindo Persada, 2007.
al-Ansari, Ahmad bin Muhammad Umar, Athar ikhtilafati al-fuqaha fi al-Syari’ah, cet. 1.
Riyad: Maktabah al-Rushd,1996.
Burhanudin, Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Hanafi, A., Pengantar dan sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Anda mungkin juga menyukai