Anda di halaman 1dari 19

Tugas Makalah

METODOLOGI STUDI ISLAM


( Ijitihad Sebagai Sumber Ajaran Islam )

Dosen Pembimbing:
Dra. Sahlia, S.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 10:

Audrey Aisyah Putri Rambe 0204221013

Farhan Tri Wibowo 0204223138

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

MEDAN

2023
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur atas Rahmat dan


Ridha Allah swt. Karena tanpa tanpa Rahmad dan RidhaNya, kami kelompok 10
tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Tidak lupa pula shalawat yang beriringkan salam kepada Nabi besar kita
Muhammad saw semoga kita mendapatkatan syafa’at nya di hari akhir, aamiin.

Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Metodologi Studi Islam, yang telah memberikan kami kesempatan
dan bimbingannya untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Ijtihad Sebagai
Sumber Ajaran Islam”. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
menambah wawasan, baik untuk pembaca maupun penulis. Sehingga kedepannya
dapat menjadi pelajaran yang dapat diamalkan.

Tentunya pemakalah sudah menyadari jika penyusunan makalah


masih banyak kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya
pemakalah akan segera melakukan perbaikan susunan makalah menggunakan
kritik dan saran dari pendengar.

Medan, 8 Desember 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 4


A. Latar Belakang....................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 4
C. Tujuan Masalah...................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................


5
A. Pengertian Ijtihad ...................................................................................
5
B. Dasar – Dasar Ijtihad.............................................................................. 6
C. Syarat – Syarat Mujtahid........................................................................ 6
D. Lapangan
Ijtihad....................................................................................10
F. Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika Pembentukan Kebudayaan
Islam ....................................................................................................
12
BAB III PENUTUP..................................................................................... 14
A. Kesimpulan............................................................................................ 14
B. Saran...................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 15

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu
melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur’an dan Al-hadits dengan jalan istimbat.
Adapun mujtahid ituialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh
kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum
agama. Oleh Karena itu kita harusberterimakasih kepada para mujtahid yang telah
mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiranuntuk menggali hukum tentang masalah-
masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yangsudah lama terjadi di zaman
Rasullullah maupun yang baru terjadi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Diatas, Maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apa itu Ijtihad?
2. Apa saja dasar – dasar Ijtihad?
3. Apa syarat – syarat Ijtihad?
4. Apa saja Lapangan Ijtihad?
5. Bagaimana Ijtihad sebagai sumber dinamika pembentukan kebudayaan islam?

C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui pengertian Ijtihad
2. Agar mengetahui dasar – dasar Ijtihad
3. Agar mengetahui syarat – syarat mujtahid
4. Agar mengetahui lapangan Ijtihad
5. Agar mengetahui sumber dinamika pembentukan
kebudayaan islam

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ijtihad

Secara etimologi, ijtihad


diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti
al-
masyaqat (kesulitan dan
kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan
kemampuan).
Secara etimologi, ijtihad
diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti
al-
masyaqat (kesulitan dan
kesusahan) dan ath-thaqat
5
(kesanggupan dan
kemampuan).
Secara etimologi, ijtihad
diambil dari kata al-jahd
atau al-juhd, yang berarti
al-
masyaqat (kesulitan dan
kesusahan) dan ath-thaqat
(kesanggupan dan
kemampuan).
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang
berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). 1Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan
segenap kesanggupan untukmendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.2

Ijtihad dalam pengertian


yang luas berarti penggunaan
pikirandalam mengartikan,

1
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2015) hal 97
2
Harjan Syuhada, Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2011) hal 57
6
menafsirkan, dan mengambil
kesimpulan dari sesuatu
ayat atau hadits. Sedangkan
dalam
konteks istimbat (penetapan)
hukum, ijtihad adalah
penggunaan pikiran untuk
menentukan
sesuatu hukum yang tidak
ditentukan secaraeksplisit
dalam Al-Quran dan Hadits
Nabawi.
Pengertian-pengertian di
atas jelas memberikan
pandangan yang mendasar
bahwa
7
ijtihad adalah usaha
sungguh-sungguh dan
mendalam yang dilakukan
oleh individu atau
sekelompok untuk mencapai
atau memperoleh sesuatu
hukum syariat melalui
pemikiran yang
sungguh-sungguh
berdasarkan dalil naqli yakni
Al Quran dan Hadits
Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam
mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Sedangkan dalamkonteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah penggunaan pikiran
untuk menentukansesuatu hukum yang tidak ditentukan secaraeksplisit dalam Al-Quran
dan Hadits Nabawi.
Pengertian-pengertian diatas jelas memberikan pandangan yang mendasar
bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh
individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum syariat
melalui pemikiran yangsungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Quran dan
Hadits. 3

3
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996), hal 126
8
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan
jalan inidisebut Mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mengerahkan segala daya dan
upayanya untukhal tersebut.4
Kata ijtihad tidak boleh dipakai kecuali dalam persoalan-persoalan yang
memangberat dan sulit. Kata ijtihad harus dipakai dalam persoalan-persoalan yang sulit
secara hissi(fisik) seperti suatu perjalanan. Atau persoalan-persoalan yang sulit
secara ma nawiʼ(nonfisik) seperti melakukan penelaahan teori ilmiah atau upaya
mengistinbat-kan hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam artian bahasa ijtihad
menunjukkan pada usaha yang sungguh-sungguh. Atas dasar ini, tidaklah tepat apabila
kata ijtihad itu digunakan untuk melakukan sesuatu kegiatan yang ringan.

B. Dasar – Dasar Ijtihad


Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah, Al-Qur’an yang menjadi dasar
ijtihad adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak
bersalah),karena (membela)orang-orang yang khianat.” (Q.S. Al-Nisa(4):105)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir.”(Q.S Al-Rum (30):21).
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antarannya hadis ‘Amr bin
al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda :
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad,kemudian dia
benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum
dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” (Muslim,II,t.th:62)

C. Syarat – Syarat Mujtahid


Pintu ijtihad senantiasa terbuka sepanjang zaman, seiring dengan
perkembangan kehidupan manusia. Oleh karena itu ijtihad tetap selalu dibutuhkan
sebagai solusi atas kejumudan Islam dan ketaqlidan penganutnya. Namun hal
4
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Ushul Fiqih, (Jogjakarta :
Media Hidayah,2008), hal 128
9
yang demikian bukan berarti semua orang boleh secara bebas dan semaunya
melakukan ijtihad. Hal ini sama dengan tidak semuanya memiliki otoritas sebagai
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu penyakit dan memberikan resep kepada
seorang pasien. Memberikan kesempatan atau peluang ijtihad kepada orang yang
tidak mampu melakukannya sama halnya berbuat sesuatu yang membahayakan
umat Islam. Untuk melakukan ijtihad, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk sampai pada derajat mujtahid. Di dalam hal ini al-Syatibi
mensyaratkan seseorang faqih (ahli dalam bidang fiqh dan agama pada umumnya)
harus memiliki dua sifat yaitu: pertama, mampu memahami maksud-maksud
syari’at (maqasid asy-syari’ah), dan kedua, sanggup mengistinbathkan hukum
berdasar pemahamannya sendiri tentang maqashid asy-syari’ah.5

Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara


istiinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq
(penerapan hukum).
Rukun ijtihad:
1. Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
diterangkan nas.
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan
untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (takhlifi)
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih6
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AL-Ghazali syarat-
syarat mujtahid ada dua :
1. Mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya
sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan & mengakhiri
sesuatu yang seharusnya diakhiri.
2. Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.
Sementara itu Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan adanya empat syarat bagi
mujtahid:7
1. Mengetahui bahasa arab, hal ini penting sekali sebab orientasi pertama
seorang mujtahid adalah nash al-Qur’an dan al-Hadist serta berupaya

5
Ibid., hlm. 80.
6
nadiyah syafari al-umari, t.th:199-200
7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul..., hlm. 388.
10
memahaminya. Dengan demikian ia harus mampu menerapkan kaidah pokok
bahasa untuk menyimpulkan arti dan ungkapan bahasa
2. Memiliki kemampuan atau pengetahuan tentang al-Qur’an, maksudnya
adalah mengerti hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an yang berupa
ayat-ayat yang menjadi nash hukum, dan juga menguasai metode menemukan
hukum dari ayat tersebut
3. Mengetahui pengetahuan tentang al-Sunnah, mujtahid harus mengerti
tentang hukum syar’i yang terdapat dalam sunnah serta mengerti tingkatan sanad
dari aspek shahih atau lemahnya suatu riwayat

4. Mengerti segi-segi mengenai qiyas, maksudnya mengerti tentang ‘illat dan


hikmah pembentukan syari’at. Termasuk juga mengerti berbagai peristiwa
kemanusiaan dan mu’amalah sehingga dapat mengenali sesuatu yang menjadi
‘illat hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash di dalamnya.
Sedangkan menurut Wael B. Hallaq, sebagian persyaratan itu berkaitan
dengan akumulasi keahlian dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam hal ini ia
menyebut enam syarat:8
1. Memahami ayat-ayat hukum yang jumlahnya di dalam al-Qur’an ada
sekitar 500 ayat. Meskipun tidak disyaratkan untuk hafal, namun harus
mengetahui bagaimana mengeluarkan atau menemukan hukum dari ayat-ayat
tersebut 2. Mengetahui koleksi hadist-hadist hukum termasuk mengetahui teknik
kritik hadist sehingga dapat menguji hadist yang akan digunakan sebagai sumber
berijtihad 3. Menguasai bahasa arab, sehingga dapat memahami kompleksitas
permasalahan, ungkapan-ungkapan yang digunakan, dan perkataan yang tegas
dan yang samar-samar 4. Menguasai pengetahuan tentang nasakh 5. Menguasai
prosedur penarikan kesimpulan (istinbath al-hukmi) 6. Mengetahui kasus-kasus
yang telah menjadi konsensus. Tentang kebenaran seorang mujtahid dalam
ijtihadnya terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah ia benar
dalam ijtihadnya sehingga memperoleh dua pahala, karena ia memenuhi
kewajibannya berijtihad dan berhasil mencapai kebenaran dalam ijtihadnya. Dan

8
Wael B. Hallaq. Sejarah teori Hukum..., hlm. 173.
11
kemungkinan yang kedua adalah ia salah, maka kepadanya diberikan satu pahala
sebagai pengakuan atas usahanya memenuhi kewajiban berijtihad.9
Syarat-syarat mujtahid adalah:10
1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan
penetapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.

4. Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.


Berbeda degan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin
Muhammad al-Syaukani menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1. Mengetahui Al-Qur’an dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-
masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atu berpendapat yang menyalahi
ijmak ulama.
3. Mengetahui bahasa Arab karena Al-Qur’an dan al-sunnah disusun dalam
bahasa Arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi
mujtahid karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan
ijtihad.
Dengan demikian, syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid
itu cukup banyak. Maka menurut Muhaimin dkk, sesuai dengan syarat-syarat
yang dimilikinya, mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatan-
tingkatan itu adalah mujtahid muthlaq danmujtahid madzhab. Mujtahid
Muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya.
Di samping itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai
landasan ijtihad. Mujtahid mutlaq terbagai menjadi dua tingkatan. Pertama,
mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan
metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada mujtahid
9
Ibid., hlm. 151.
10
Fakkhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain al-Razi (1988:496-7)
12
lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab
tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fiqh
terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali.
Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode sendiri. Mujtahid
kelompok ini tidak taklid kepada imamnya tanpa dalil dan keterangan, ia
menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber
pengambilannya.

Contohnya, Al-Mujani dari mazhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziyad dari
mazhab Hanafi. Mujtahid Fi Al-Mazhab ialah mujtahid yang mampu
mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh
mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah disusun oleh
mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far Al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi.
Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid takhrij.
2. Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.

D. Lapangan Ijtihad
Wilayah ijtihad atau majalul ijtihad adalah masalah-masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Sedangkan lapangan
ijtihad adalah pada setiap hukum syara yang tidak memiliki dalil qath’i. Adapun
hukum yang diketahui dari agama secara dharurah dan bida>hah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal, tidak termasuk lapangan ijtihad)11.
Wahbah Azzuhaili menjelaskan sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil
qath’i atsubut dalalah tidaklah termasuk dari lapangan ijtihad yaitu persoalan
yang tergolong ma’ulima al-din bildho>ruroh, di antaranya kewajiban salat lima
waktu, puasa bulan ramadan, zakat, haji, mencuri dan meminum khomer 12.
Seperti dalam firman Allah dalam kewajiban salat dan zakat QS. An-Nur: 56:
11
Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 390.
12
Ibid., h. 107.
13
Artinya: “Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Dan juga Wahbah
Azzuhaili menegaskan bahwa yang menjadi lapangan ijtihad ada dua: pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw
dalam al-Qur’an dan sunnah (mala> nasha>ha fi ashlain).
Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil dhonnyut stubut wal
`adalah atau salah satunya (dhonnyut stubutataudhonny al- `adalah). Ulama telah
sepakat bahwa ijtihad telah dibenarkan serta akibat yang terjadi atau perbedaan
yang terjadi ditolerir, ketika ijtihad itu membawa kerahmatan dan telah memenuhi
persyaratan dan dilakukan di lapangannya:

1) masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-


Qur’an dan sunnah
2) masalah-masalah baru yang hukmnya belum di-jama’i oleh ulama atau
immatul mujtahid
3) nash-nashdhany dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan, dan
4) hukum Islam yang ma’qulu ‘Ima’na/ta’aqquly (kausalitas hukumnya
dapat diketahui mujtahid).
Sedangkan perbedaan yang ditolerir itu mempunyai tujuan, ijtihad
dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak al-Qur’an dan hadis
nabi yang menyinggung tentang ini bahwa Islam bukan saja memberi legalitas
ijtihad, akan tetapi juga entolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad.
Hal ini antara lain diketahui dari hadis nabi yang artinya, “Apabila seorang hakim
akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihad-nya benar
maka ia memeroleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran). Jika hakim
akan memutuskan perkara dan ia ber-ijtihad, kemudian hasil ijtihad-nya salah
maka ia mendapat satu pahala”. Ijtihad dibutuhkan setelah nabi wafat karena
permasalahan selalu berkembang.
Sejak abad ke II dan ke III Hijriyah permasalahan hukum Islam telah
mulai dirumuskan, di antaranya hasil dari al-madza>hibul– arba’ah baik dalam
ibadah maupun muamalah. Dan telah diletakkan pula kaidah-kaidah ushul fiqh
yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode
saat ini adalah periode pengamalan dalam agama, bukan periode ijtihad.
Walaupun, jika ijtihad itu hanya akan menghasilkan barang yang sudah berhasil.
14
Contohnya, dalam berwudhu, bila ada ijtihad maka tidak akan keluar dari
pendapat mazhab empat atau al-madza>hibul arba’ah. Hal ini bukan berarti
ijtihad ditutup mutlak.13
Tentu tidak. Dalam masalah-masalah baru yang muncul di abad teknologi
seperti:

cangkok mata, bayi tabung dan lain-lain, ijtihad tetap dibuka dengan berpedoman
pada kaidah-kaidah ulama yang terdahulu dalam ilmu ushul fiqh. Sebagaimana dijelaskan
dalam QS. 33: 36: Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah ia telah sesat, sesat
yang nyata.”

F. Ijtihad Sebagai Sumber Dinamika Pembentukan Kebudayaan Islam


Allah telah mengutus nabi Muhammad SAW kepada seluruh manusia.
Beliau merupakan penutup para Nabi. Risalah beliau SAW adalah Dinul Islam yang
sempurna.Nash-nash (al-quran dan sunnah) telah menjelaskan semua permasalahan
kehidupan hinggahari kiamat. Oleh karena itu umat islam diperintahkan agar
perbuatan-perbuatannyaberkalan sesuai dengan hukum syara’.
Ijtihad itu perlu dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk
mencapaisuatu tujuan kebaikan dan kebenaran mengingat pentingnya ijtihad sebagai
sarana mengeloladinamika masyarakat.Berikut ini adalah penjelasan tentang Allah Swt.
menurunkan AL-Qur’an sebagaipetunjuk kehidupan bagi orang-orang yang
bertaqwa (Q.S. Al-Baqarah: 2), kemudian AllahSwt., memfungsikan rasul-Nya
Muhammad Saw.,selain untuk memabca Al-Qur’an juga menuangkan
pengertiannya yang memberikan contoh pengalamannya di dalam kehidupansehari-hari
yang beliau katakana dan contohkan dengan petunjuk Allah itu disebut As-Sunnahdan
Al-Hadits. Dua petunjuk telah diturunkan penjabaran yang lebih rinci dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadits.

13
Ibid, h. 110.
15
Sebenarnya Ijtihad ini dilakukan dalam segala bidang, tetapi kemudian oranglebih
banyak menyoroti ijtihad di bidang fiqih atau hukum Islam.Tradisi ijtihad berkembang
terus, dan mengalami masa keemasannya pada abad ke-2sampai abad ke-4 H yang paling
banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah nama-namamujtahid besar, yang
kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab seperti imam hanafi,imam syafi’I, imam
hambali dan lain-lain.

Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas


danmembuka ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi tetapi di pihak lain
ijtihad itumenimbulkan beda pendapat yang tajam.
Maka sesudah abad ke-4 H muncullah wacana untuk menutup ijtihad
dengananggapan bahwa hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah
cukup untukmenjawab berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu
tidak ada lagimujahid besar selain keempat imam, yang mampu menjadi lokomotif untuk
menggerakkangerbang pembawa gerakan ijtihad.
Ada ulama’ terkemuka yaitu ibnu taimiyah (611-728 H)yang mendobrak
kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihadSeruan ini
kemudian didukung penuh oleh ulama’-ulama’ yang hadir sesudah beliau,seperti
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787 M), Jamaluddin Al-Afghani (1838-1897M),
Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan lain-lain. Pada hakikatnya ijtihad memang
tidakdapat dihambat dan dihalangi. Menutup pintu ijtihad berarti menghentikan
dinamika dankreatifitas yang merupakan ciri kemajuan Salah satu wujud pengaruh
Islam yang secara budaya lebih sistematik adalah pesantren.
Fenomena pesantren sesungguhnya telah berkembang sebelum Islam
masuk.Pesantren pada saat itu menjadi tempat pendidikan dan pengajaran agama Hindu.
SetelahIslam masuk, materi dan proses pendidikan di pesantren diambil alih oleh
Islam.Pesantren pada dasarnya sebuah asrama pendidikan Islam tradisional. Siswa
tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan yang di bawah bimbingan
seorang guru yangdikenal dengan sebutan kyai.

16
Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasikan dengan adanya lima elemen
pokok yaitu: pondok, masjid, santri, kyai dan kitab-kitab klasik. Melaluipesantren ini,
budaya Islam berkembang dan beradaptasi terhadap budaya lokal
yangberkembang disekitarnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian singkat yang telah penulis kemukakan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ijtihad merupakan petunjuk hukum yang sangat penting dalam perumusan
hukum Islam sebagai upaya menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang
konkrit serta penjabaran konsepsi Islam dalam segala aspeknya. Selian itu, ijtihad
adalah juga merupakan salah satu hal yang dalam menyelesaikan permasalahan dalam
hal kejumudan Islam dan ketaqlidan penganutnya
2. Ruang lingkup permasalahan yang boleh dijadikan lapangan ijtihad adalah
mengenai hukum-hukum yang di dalamnya tidak ada nash yang qath’i
3. Dasar penetapan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-
Sunnah. Hal itu karena jika dalam berijtihad dan di dalamnya terjadi perselisihan
diperintahkan kembali merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
4. Seorang faqih yang akan melakukan ijtihad harus memenuhi kriteria tertentu
untuk dapat mencapai derajat mujtahid. Secara umum adalah: memahami ilmu al-
Qur’an dan al-Sunnah serta nash-nash hukum di dalamnya, mengetahui metode
penemuan hukum, menguasai bahasa Arab, dan beberapa syarat lainnya.

B. Saran
17
Tentunya kami sebagai penyusun dan pembuat makalah ini meyadari bahwa
masih jauhnya makalah ini dari kata sempurna. Tentunya masih banyak sekali
kekurangan dalam penulisan ini. Oleh karen itu, kami selaku pembuat makalah ini
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pada audience. Dan
semoga makalah ini bisa bermanfaat dan berguna kedepannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushul Fiqih, 2008. Jogjakarta : Media Hidayah
Ajib Mas’adi, Ghufron.1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib,
Semarang: Dina Utama, 1994.
Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar untuk Ushul Fiqh
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih, 2015. Bandung : Pustaka Setia
Syuhada, Harjan. Fikih Madrasah Aliyah. 2011. Jakarta : PT Bumi Aksara
Sudarsono. Filsafat Islam. 1996. Jakarta : PT Rineka Cipta
Qardawi, Yusuf, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih, 2015. Bandung : Pustaka Setia
Syuhada, Harjan. Fikih Madrasah Aliyah. 2011. Jakarta : PT Bumi Aksara
Sudarsono. Filsafat Islam. 1996. Jakarta : PT Rineka Cipta
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih. Ushul Fiqih, 2008. Jogjakarta : Media Hidayah
Ali, Mukti.2000.Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan

19

Anda mungkin juga menyukai