Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

AL-IJTIHAD
“Makalah ini dibuat guna memenuhi nilai pada mata kuliah Ushul Fiqh II”
DOSEN PENGAMPU :Drs. H. Saefullah, M.A.

Disusun Oleh :

1. Anggriyani Tri Lestari 211110004


2. Rizqi Muhammad Arsy 211110016
3. Mila Syifa 211110021

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN


BANTEN

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas berkat rahmat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “AL-IJTIHAD”
Mata Kuliah Ushul Fiqh II dengan Dosen Pengampu Drs. Saefullah, M.A. Shalawat serta
salam tak lupa kami ucapkan kepada baginda besar Muhammad SAW yang telah
membimbing kami keluar dari gelapnya masa jahiliyyah hingga ke masa modern seperti
sekarang ini.
Sebelumnya kami ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang
telah sukarela membantu dalam penyusunan makalah ini. Baik bantuan berupa tenaga,
pikiran, kritik serta saran. Sehingga makalah ini dapat kami selesaikan dengan baik sesuai
dengan tenggat waktu yang telah ditentukan.
Kami sadar bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna baik
itu dari segi bahasa ataupun penulisan, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan
kami. Untuk itu kami dengan tangan terbuka mengharapkan adanya masukan berupa kritik
ataupun saran dari para pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah kami di lain
kesempatan. Sebagai penutup, semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna bagi
rekan-rekan pembaca ataupun masyarakat umum dengan sebagaimana mestinya.

Serang, 9 Mei 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
3. Tujuan ............................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian .................................................................................................................... 3
1. Ijtihad .................................................................................................................... 3
2. Mujtahid ................................................................................................................ 4
3. Landasan Hukum Ijtihad ....................................................................................... 5
B. Syarat-syarat Ijtihad ..................................................................................................... 7
C. Syarat-syarat Mujtahid ................................................................................................. 8
D. Tingkatan-tingkatan Mujtahid ..................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................

ii
BAB I
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Pada awal diturunkannya Islam, segala bentuk peribadatan sudah diatur dan ditata
bentuk aplikasinya baik dalam al-Qur’an maupun Sunah Rasulullah saw., yang tentunya
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat saat itu. Seluruh pengejewantahan aplikasi
syari’at pada zaman Nabi Muhammad saw. praktis tidak terdapat perbedaan. Hal ini karena
Nabi Muhammad saw. menjadi rujukan dalam segala permasalahan. Ketika muncul suatu
persoalan, secara otomatis langsung dimintakan penjelasannya kepada Rasulullah saw.
Syari’at yang berarti jalan dan sesuatu yang telah diatur oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya
dengan menunjuk pada suatu hukum yang beragam, dianggap sebagai tolak ukur aturan dan
sistem kehidupan dalam Islam.
Diantara sistematisasi syari’at yang menjadi pedoman hubungan kehidupan, baik itu
hubungan sosial kemasyarakatan, hubungan dengan lingkungan, maupun hubungan
transendental manusia dengan Tuhannya, adalah fikih. Fikih yang mengatur hubungan
muamalah menjadi pemahaman manusia berkenaan dengan garis hubungan horizontal-
vertikal. Para ulama terdahulu, bahkan dari Nabi Muh}ammad Saw. sendiri, mendasarkan
aturan ini pada nas- nas yang sudah terkodifikasi dalam al-Qur’an maupun Hadis.
Aktifitas ijtihad menjadi bahan penting bagi kebutuhan umat Islam seiring dengan
berbagai perkembangan yang terjadi di belahan dunia saat ini. Oleh karenanya, banyak
usaha-usaha yang kemudian digagas demi menstabilkan gerak aplikatif masyarakat Islam
demi satu arah kemajuan. Kebutuhan akan Ijtihad ini terus berkembang. Hal ini dikarenakan:
a. Setelah Rasul wafat, beliau meninggalkan Al-Qur’a>n dan Sunnah. Nas} Al-Qur’a>n
dan Sunnah tersebut jelas tidak akan bertambah, sementara persoalan dan masalah yang
dihadapi kaum muslimin dari zaman ke zaman terus berkembang, karena itu kebutuhan
akan ijtihad menjadi sebuah yang niscaya.
b. Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara
bahkan sampai ke spanyol, Turki dan India, permasalahan yang dihadapi ulama semakin
kompeks, maka ijtihad semakin berperan dalam mengistinbat hukum.

1
Maka dari itu, persoalan ini masih penting untuk dikaji sebagaimana yang akan
menjadi pokok kajian tulisan ini. Untuk mempermudah kajian, tulisan ini difokuskan
pada ijtihad secara teori dan aplikasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ijtihad?
2. Apa saja syarat-syarat Ijtihad dan Mujtahid?
3. Apa saja tingkatan-tingkatan Mujtahid?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ijtihad
2. Untuk mengetahui syarat-syarat Ijtihad
3. Untuk mengetahui apa saja tingkatan-tingkatan Ijtihad

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Ijtihad
Ijtihad dan Mujtahid adalah dua kategori ilmiah yang tidak dapat dipisahkan. Ijtihad
muncul karena adanya metode pemikiran secara akal, dengan menggali suatu peristiwa
hukum yang sedang terjadi agar dapat menghasilkan hukum yang baru. Sedangkan
mujtahid merupakan seseorang yang mampu dalam melakukan ijtihad. Seorang
mujtahid juga harus memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang cukup untuk bisa menjadi
seorang mujtahid, karena dalam berijtihad hanya boleh dilakukan oleh para ahli agama
islam yang sudah memenuhi syarat mujtahid.
Secara etimologis (bahasa) kata ijtihad berasal dari kata ‫جهدًا‬- ُ‫يَجْ َهد‬- َ‫ َج َهد‬yang
memiliki arti “kerja keras atau bersungguh-sungguh”.1 Kata ijtihad secara bahasa juga
dapat didefiniskan sebagai (badzl al-wus’i wa al-thāqah) yang berati mengarahkan
segala kemampuan dan kekuatan untuk menemukan dan memecahkan kasus hukum
syari’at yang sedang terjadi. Sedangkan secara terminologi (istilah) kata ijtihad
memiliki beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama fiqh. Pengertian-
pengertian tersebut saling berhubungan dan menunjukan kepada makna yang hampir
sama. Adapun pendapat-pendapat tersebut, sebagaimana berikut ini :
1. Menurut Ibnu As-Subkti :2
‫إستغراغ الفاتيه الوسع لتحصيل الظني بحكم شرعي‬

“Ia berpendapat bahwa ijtihad ialah, Pengerahan kemampuan oleh seorang fiqh
untuk menemukan hukum syara’ yang bersifat zhanni.”

2. Menurut Asy-Syaukani :3
‫بذل الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطريق اإلستنباط‬

1 Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 51; Warson Munawwir, Al
Munawwir Kamu Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal 217.
2 Tajuddin Abdul Wahab bin as-Subki, Jam’ al –Jawami, (Semarang: Toha Putra, t.t), hal. 379.
3 Muhammad bin Ali bin Muhammd asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul ila Tahqiq al-Haqq min Ilmi al- Ushul, (Beirut:

Dar al-Fikri, t.t), hal. 250.

3
“Ia berpendapat bahwa ijtihad merupakan, Pengerahan kemampuan di dalam
menemukan hukum syara’ yang bersifat amaliyah dengan menempuh jalan istibath
(menggali dalil).”
3. Menurut Muhammad Abu Zahrah :4
‫بذل الفقيه فب استنباط األحكم العملية من أدلتها التفصيلية‬

“Ia berpendapat bahwa ijtihad adalah, Pengerahan kemampuan seseorang ahli


dalam beristinbath (menggali dalil) hukum syara’ yang bersifat amaliyah dari dalil-
dalil yang terperinci.”
4. Menurut Abdul Wahab Khalaf :5
‫بذل الجهد للوصول إلى الحكم الشرعي من دليل تفصيلي من الشرعية‬
“Ia berpendapat bahwa ijtihad ialah, Mengarahkan kesungguhan untuk
menggali dasar hukum syara’ dari dalil-dalil yang terperinci yang bersifat syara’.”
Dari beberapa definisi pendapat ulama diatas pengertian ijtihad dapat kita
artikan sebagai sebuah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang
mujtahid dalam menggali hukum-hukum syara’ yang sifatnya amaliyah, dengan
menggunakan metode istinbath melalui dali-dalil yang sudah rinci dengan memakai
lafadzh zhanni.
2. Pengertian Mujtahid
Mujtahid berasal dari bentuk kata fa'il (pelaku) yang berarti orang yang
bersunguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuannya secara rasional,
dalam menggali (mempelajari) ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan Hadits,
dengan penelitiannya yang tepat dan memberikan pertimbangan tentang hukum-
hukum Islam. Selain itu, mujtahid dijadikan sebagai orang dianggap mampu dalam
menggali hukum syara’. Seorang mujtahid juga sudah seharusnya mengusai bahasa
Arab dari berbagai aspeknya, baik itu ilmu nahwu, sharaf, mutlak muqayyad, lafadz
‘am dan khash, serta ilmu-ilmu Arab lainnya6.

4Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Qahiroh: Dar al-Fikri al-Arabi, t.t), hal. 357.
5AbdulWahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dar al-Kutub,2010), hal. 188.
6Abdur Raheem, Menela’ah Kembali Ijtihad Di Era Modern, Journal: Islamuna Vol. 2 no. 2, Desember 2015,

hal. 184.

4
Alasan perlunya mujtahid menguasa bahasa Arab menurut para ulama,
dikarenakan Al-Qur'an dan Hadits merupakan kitab syari'ah yang disampaikan dengan
bahasa Arab. Bahkan, menurut mereka/beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits sendiri
telah menunjukkan bahwa ayat-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab.
3. Landasan Hukum Ijtihad
Dasar hukum mengenai ijtihad diperoleh dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw.
Karena pada dasarnya Al-Qur’an dan Hadits memiliki ayat-ayat dan hadits yang
menerangkan tentang hukum secara global. Walaupun Al-Qur’an dan Hadits ini hanya
menerangkan hukum-hukumnya secara global dan tidak terperinci, tapi kedua sumber
tersebut telah memberikan hikmah kepada manusia untuk menggunakan akal dan
pikirannya dalam melakukan penelitian, dan memecahkan suatu persoalan yang
membutuhkan penyelesaian secara hukum.
Maka dari itu dalam islam di perintahkan secara keras kepada umatnya untuk dapat
melakukan penalaran secara khusus terhadap kandungan Al-Qur’an dan Hadits.
Penalaran terhadap kedua sumber tersebut merupakan suatu upaya dalam
menyelesaikan kasus-kasus hukum yang ketentuannya belum tegas dalam nash Al-
Qur’an dan Hadits. Upaya menyelesaikan kasus-kasus ini dalam islam dikenal dengan
ijtihad sedangkan yang melakukannya disebut dengan para mujtahid.
1. Adapun dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain :7
Qs An-Nisa ayat 59 :
ْ ‫ٱلرسُو َل َوأ ُ ۟ولِى ْٱأل َ ْم ِر مِ نكُ ْم ۖ فَإِن تَ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى َش‬
َّ ‫ىءٍ ف َُردُّوهُ إِلَى‬
ِ‫ٱَّلل‬ َّ ‫وا‬۟ ُ‫ٱَّلل َوأَطِ يع‬ ۟ ُ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن َُٰٓو ۟ا أَطِ يع‬
َ َّ ‫وا‬
‫ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم ٱلْ َءاخِ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوي ًل‬
ِ َّ ِ‫ٱلرسُو ِل ِإن كُنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ ب‬ َّ ‫َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam ayat diatas menerangkan, bahwa Allah Swt memerintahkan setiap
masalah yang menjadi objek perbedaan pendapat untuk mengembalikan kembali
kepada dali dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Cara mengembalikan permasalahan

7Fauzul Iman, Ijtihad dan Mujtahid, Journal: Al-Qolam Vol. 21 No. 100, Januari-April 2004, hal. 5

5
tersebut ke pada sumbernya melalui sebuah jalan yang disebut dengan ijtihad.
Dalam ayat yang lain Allah Swt juga telah berfirman mengenai ketegasan Al-
Qur’an sebagai sumber utama untuk dijadikan ijtihad bagi para mujthid.
Qs An-Nisa ayat 105 :
ِ ‫ّٰللا َۗو ََل تَكُ ْن ِل ْلخ َۤا ِٕىنِيْنَ خ‬
‫َص ْي ًما‬ ِ ‫ب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق ِلتَحْ كُ َم بَيْنَ الن‬
ُ ‫اس بِ َما َٰٓ اَ َٰرىكَ ه‬ َ ‫اِنَّا َٰٓ اَ ْنزَ ْلنَا َٰٓ اِلَيْكَ ْال ِك َٰت‬
Artinya: “Sungguh kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi
penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berkhianat.”
Dalam ayat diatas menerangkan, agar para manusia atau bagi para mujtahid
untuk menggunakan akal dan pikirannya dalam meneliti Al-qur’an dan
mendorong melakukan ijtihad. Dari kedua ayat Al-qur’an diatas telah memberikan
ketegasan kepada kita, bahwa ijtihad dapat dilakukan dengan mengambil sumber-
sumber hukum yang ada dalam al-qur’an dan hadits, dengan cara menggali atau
mengistinbathkan kembali sumber hukum tersebut.
2. Sedangkan landasan hukum ijtihad yang berasal dari hadits, sebagaimana dalam
haditsnya Nabi Muhammad Saw bersabda dari Amr bin ‘Ash :
‫{ ِإذَا َحك ََم ْال َحا ِك ُم‬:ُ‫هللا صلى هللا عليه وسلم َيقُول‬ ِ ‫اص رضي هللا عنه أَنَّهُ َسمِ َع َرسُو َل‬ ِ ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫َو‬
َ ٌ‫طأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر } ُمتَّفَق‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ان َوإِذَا َحكَم فَاجْ تَ َهدَ ث ُ َّم أَ ْخ‬
ِ ‫ فَلَهُ أَجْ َر‬.‫اب‬
َ ‫ص‬ َ َ‫فَاجْ تَ َهدَ ث ُ َّم أ‬
Artinya: “Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “apabila sesorang hakim
menghukum dan dengan kesungguhannya ia memperoleh kebenaran, maka
baginya dua pahala dan apabila ia menghukum dengan kesungguhannya ia salah,
maka baginya satu pahala.”
Hadits diatas dapat memeiliki kandungan, sebagaimana berikut :
a. Hukum pada setiap peristiwa hanya satu menurut Allah, dan hukum tersebut
terkadang ditemukan oleh orang-orang yang mencurahkan kemampuannya dan
mengarahkan seluruh kekuatannya. Dan semua itu bisa dilakukan dengan melalui
ijtihad.

6
b. Wajib mengarahkan kemampuan dan mencurahkan akal pikiran bagi hakim untuk
mencari hukum. Jika hakim mengambil keputusan tanpa berfikir dan mencari
kebenaran, maka hakim tersebut akan berdosa.
c. Firman Allah dan sabda Rasul lebih mudah difahami dan lebih kuat kebenarannya
dari pada ijtihad para ulama mazhab. Sebaiknya dalam mempelajari al-Qur’an
dan Hadist untuk memutuskan kasus yang terjadi tidak perlu untuk memusingkan
perselisihan ulama fikih yang taklid dan ikut ikutan.
B. Syarat-syarat
1. Syarat-syarat Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti
semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al
Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan
kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan
beragama sehari-hari
Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu
tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid”dan Mujtahid itu adalah orang
yang melakukan ijtihad
Ijtihad merupakan aktivitas berpikir yang tidak dapat dilakukan oleh orang biasa,
karena merupakan keluar biasaan, sehingga membutuhkan tingkat keilmuan yang tinggi
dalam mendapatkan satu buah hasil pemikiran yang tidak bertentangan dengan nash dan
berguna bagi kemaslahatan umum
Sementara itu Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan adanya empat syarat bagi
mujtahid:8
1. Mengetahui bahasa arab, hal ini penting sekali sebab orientasi pertama Seorang
mujtahid adalah nash al-Qur’an dan al-Hadist serta berupaya Memahaminya. Dengan
demikian ia harus mampu menerapkan kaidah Pokok bahasa untuk menyimpulkan arti
dan ungkapan bahasa
2. Memiliki kemampuan atau pengetahuan tentang al-Qur’an, maksudnya Adalah
mengerti hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an yang berupa ayat-ayat yang
menjadi nash hukum, dan juga menguasai metode menemukan hukum dari ayat
tersebut. sehingga apabila tersjadi suatu peristawa ia dapat menunjuk ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadis yang berbahasa syarat itu pun sangat diperlukan untuk mengetahui sebabsebab turunnya
suatu ayat serta riwayat-riwayat yang berhubungan dengan permintaan. Ayat-ayat Al-Qur’a>n
yang bertalian dengan hukum tidaklah banyak. Di samping itu ada juga khitab tafsir yang
khusus menafsirkan ayat-ayat tersebut. Bahkan ayat-ayat tersebut dapat dikumpulkan satu

8 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushulul..., hlm. 388.

7
3. Mengetahui pengetahuan tentang al-Sunnah, mujtahid harus mengerti Tentang
hukum syar’i yang terdapat dalam sunnah serta mengerti Tingkatan sanad dari aspek
shahih atau lemahnya suatu riwayat
4. Mengerti segi-segi mengenai qiyas, maksudnya mengerti tentang ‘illat dan
hikmah pembentukan syari’at. Termasuk juga mengerti berbagai Peristiwa kemanusiaan
5. dan mu’amalah sehingga dapat mengenali Sesuatu yang menjadi ‘illat hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nash Di dalamnya
2. Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama berselisih paham tentang istilah mujtahid, secara umum mujtahid itu
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam mengistinbath hukum
dari dalil-dalil syara’. Ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi.
Kedua pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan bahwa yang dimaksud
dengan mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan
mampu.
mengistinbath hukum dari dalilnya. Dengan demikian, kesepakatan orang awam
(bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’,
Begitu pula penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum
syara’.9 Berbicara tentang syarat-syarat ijtihad tidak lain dari berbicara tentang syarat-
syarat mujtahid. Demikian pula sebaliknya, yaitu berbicara syarat-syarat mujtahid tidak
lain berbicara tentang syarat-syarat ijtihad. Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-
Mustasyfa10 (II/102) menyatakan mujtahid mempunyai beberapa syarat :
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’, mampu melihat yang dzan di dalam hal-
hal yang syar’i, mendahulukan apa yang wajib didahulikan dan membelakangkan
apa yang mesti dikemudiankan.
2. Ia hendaknya seorang yang adil. Menjauhi segala maksiat mencemarkan sifat dan
sikap keadilan (‘adalah). Ini yang penting karena syarat ini menjadi landasan
apakah fatwanya dapat dijadikan pegangan atau tidak. Orang yang tidak
mempunyai sifat yang demikian , fatwanya tidak boleh dijadikan pegangan.
Adapun sifat yang tidak adil untuk dirinya sendiri, artinya fatwa atau ijtihadnya
itu untuk dirinya sendiri, sifat tidak adil itu tidaklah menjadi halangan. Artinya di

9 Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 70.
10 A mu’i, Ushul Fiqh, Departemen Agama, jilid II, (Jakarta,1986), hlm. 118.

8
dalam ia bersifat tidak adil itu boleh saja boleh saja berijtihad untuk dirinya
sendiri, dan fatwanya menjadi pegangan untuk dirinya sendiri.
3. A’lam (lebih menonjol keilmuannya). 11
4. Pelaku perubahan hukum Islam itu adalah mereka yang memenuhi kualifikasi
sebagai faqih.12
5. Menguasai bahasa Arab. Al-Quran dan sunnah selaku dalil pokok hukum Islam
ditulis dengan bahasa Arab. Untuk itu seorang yang melakukan ijtihad harus
mengusai bahasa Arab, agar ia mampu memahami nash demi nash atau dalil
demi dalil yang dianalisis secara baik dan benar.13
6. Menguasai hukum-hukum Allah yang ada dalam al-Quran. Maksudnya ia harus
menguasai ayat-ayat ahkam. Ia mampu menghadirkannya setiap diperlukan,
mampu menganalisisnya, untuk kemudian melakukan istinbath dari ayat tersebut
sesuai dengan masalah yang dihadapi dan perlu didudukkan hukumnya. 14 Dalam
halini berarti ia harus memahami nasikh-mansukh dan asbab an-nuzul.
7. Mengetahui hukum-hukum Allah yang ada dalam sunnah/hadis . Artinya ia harus
mengusai hadis ahkam, sehingga mudah baginya setiap diperlukan untuk
menghadirkannya, melakukan analisis, kemudian mengambil kesimpulan hukum
sehubungan dengan kasus yang tengah dihadapinya. 15
8. Menguasai hukum-hukum Islam yang di-ijma’-kan oleh fuqaha’. Sehingga ia
tidak berijtihad yang hasilnya kontra dengan ijma’.16
9. Menguasai kaidah-kaidah ushul al-fiqh, berupa kaidah-kaidah istinbat yang dapat
dijadikan alat untuk melakukan istinbath hukum baik dalam kondisi ditemukan
nash maupun dalam kondisi tidak ada nash (tidak ditemukan dalil di dalam al-
Quran dan hadis.17 Imam Fakhr ar-Razi menyatakan ilmu yang paling penting
yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ushul al-fiqh.18

11 Imam Khomeini, Taudhih Al-Masail, jilid 1, tnp., t.t. t.th. hlm. 15.
12 Abd Wahbah Khallaf, Mashadir, ..., hlm. 471-476.
13 Al-Asnawi. hlm. 551-552
14 Asy-Syafi’i, ar-Risalah, Cet 1 (Kairo: Mathba’ah al-Thalabi, t.t.), hlm. 510.
15 Al-Ghazali, Juz II, hlm. 103.
16 Asy-Syaukani, Irsyad al-Fukhul (Surabaya: Salim bin Sa’id, t.th.), hlm. 251
17 Zaki ad-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh, (t.t.: Mathba’ah Dar at-Ta’lif, t.th.), Cet Ke1, hlm. 326
18 Fakhr ad-Din ar-Razi, al-Mahshul, hlm. 499

9
10. Memahami maqasyid asy-Syari’ah.19 Ini merupakan hal yang amat penting.
Sebab kemampuan mujtahid memahami nash dan menerapkannya pada kasus
yang dihadapi sangat tergantung pada kemampuan mujtahid tersebut memahami
maqasyid asy-Syari’ah (tujuan umum pensyariatan hukum Islam), yang
dimaksud untuk mewujudkan kemaslahatan dengan memelihara lima hal pokok
kehidupan manusia, yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan/kehormatan.
Disinilah metode qiyas, istislahi, istihsan, dan saddudz dzara’i akan memainkan
perannya.
Itulah persyaratan pokok yang harus dimiliki mujtahid agar ia mampu melakukan
pembaruan hukum Islam. Dengan demikian pembaruan hukum Islam yang dilakukan
oleh mereka yang tidak memenuhi kriteria tesebut tidaklah dapat dinamakan sebagai
pembaruan. Ia lebih tepat dikatakan sebagai penghancuran hukum Islam.
C. Tingkatan-tingkatan Mujtahid
Ulama ahli ushul membagi kepada tujuh tingkatan mujtahid. Empat tingkatan pertama
tergolong mujtahid, dan tiga berikutnya masuk kedalam kategori muqallid.
1. Mujtahid Mustaqil (mandiri); untuk mencapai derajat ini harus dipenuhi seluruh
persyaratan ijtihad. Ulama pada tingkatan ini mempunyai otoritas mengkaji ketetapan
hukum langsung dari Alquran dan sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa, dan
berwenang menggunakan seluruh metode istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman,
tidak mengekor pada mujtahid lain. Termasuk kategori ini adalah seluruh fuqaha
sahabat, tabiin dan fuqaha mujtahid.
2. Mujtahid Muntasid; mereka adalah mujtahid yang mengarnbil/memilih
pendapatpendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam
cabang furu’, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan- kesimpulan
yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
3. Mujtahid Mazhab; mereka yang mengikuti imamnya baik dalam ushul maupun furu’
yang lelah jadi. Peranan mereka terbatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-
masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Menurut Maliki, tidak pernah kosong
suatu masa dari mujtahid mazhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan illat-
iliat fiqh yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalahmasalah yang

19 Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, Juz IV (t.t.: Dar al-Fikr, t.th.), hlm. 105-106.

10
belum dijumpai di masa lampau. Dengan melakukan istinbath hukum didasarkan
pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan kondisi masyarakat dan
ulama mutaakhirin.
4. Mujtahid Murajjih, Mereka tidak melakukan istinbath hukum furu’, melainkan
mentarjih (mengunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan imam
dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya.
Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya
atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena
alasan lain, sepanjang tidak melakukan istinbath baru yang independen ataupun
mengikuti metode istinbath imamnya.
5. Mujtahid Muwazin; Mereka membanding-bandingkan beberapa pendapat dan riwayat.
Misalnya, mereka menetapkan bahwa qiyas yang dipakai dalam pendapat ini lebih
mengena dibanding penggunaan qiyas pada pendapat lain. Atau pendapat ini lebih
shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya.
6. Tingkatan Muhafizh‫ ؛‬Mereka adalah yang mampu membedakan antara pendapat yang
terkuat, dhaif. Mereka tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka mempunyai
hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu. Bisa mengeluarkan fatwa, tetapi
dalam lingkup terbatas.
7. Tingkatan Muqallid\ Tingkatan ini berada di bawah semua tingkatan yang telah
diuraikan di atas. Mereka adalah ulama yang mampu memahami kitab-kitab, tetapi tidak
mampu melakukan tarjih terhadap pendapat atau riwayat. Tingkat keilmuannya belum
cukup mendukung untuk bisa mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan
tingkatan tarjih. Golongan muqallid, cukup besar jumlahnya pada masamasa
belakangan. Mereka menerima ibarat yang terdapat dalam kitab-kitab sebagaimana
adanya dan tidakniampu mengklasifikasi dalil- dalil, pendapat-pendapat maupun
riwayat-riwayat.20

20Sarmiji Asri, “Apakah Mungkin Pada Masa Yang Akan Datang Lahirnya Seorang Mujtahid” Journal Of Islamkic And
Law Studies, Universitas Negeri Antasari Banjarmasin, Vol. 5, No. 1, 2021, hal. 88

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa) kata ijtihad berasal dari kata ‫جهدًا‬- ُ‫يَجْ َهد‬- َ‫ َج َهد‬yang
memiliki arti “kerja keras atau bersungguh-sungguh”.21 Kata ijtihad secara bahasa juga
dapat didefiniskan sebagai (badzl al-wus’i wa al-thāqah) yang berati mengarahkan segala
kemampuan dan kekuatan untuk menemukan dan memecahkan kasus hukum syari’at
yang sedang terjadi. Sedangkan secara terminologi (istilah) kata ijtihad memiliki
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama fiqh. Pengertian-pengertian
tersebut saling berhubungan dan menunjukan kepada makna yang hampir sama.

1. Mujtahid berasal dari bentuk kata fa'il (pelaku) yang berarti orang yang bersunguh-
sungguh dengan mengerahkan segala kemampuannya secara rasional, dalam
menggali (mempelajari) ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan Hadits,
Adapun dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain :22
Qs An-Nisa ayat 59 :
ْ ‫ٱلرسُو َل َوأ ُ ۟ولِى ْٱأل َ ْم ِر مِ نكُ ْم ۖ فَإِن تَ َٰنَزَ ْعت ُ ْم فِى َش‬
َّ ‫ىءٍ ف َُردُّوهُ إِلَى‬
ِ‫ٱَّلل‬ َّ ‫وا‬۟ ُ‫ٱَّلل َوأَطِ يع‬ ۟ ُ‫َٰيََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمن َُٰٓو ۟ا أَطِ يع‬
َ َّ ‫وا‬
‫ٱَّلل َو ْٱليَ ْو ِم ٱلْ َءاخِ ِر ۚ َٰذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوي ًل‬
ِ َّ ِ‫ٱلرسُو ِل إِن كُنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ ب‬ َّ ‫َو‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
2. Sedangkan landasan hukum ijtihad yang berasal dari hadits, sebagaimana dalam
haditsnya Nabi Muhammad Saw bersabda dari Amr bin ‘Ash :
‫{ ِإذَا َحك ََم ْال َحا ِك ُم‬:ُ‫هللا صلى هللا عليه وسلم َيقُول‬ ِ ‫ع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
ِ ‫اص رضي هللا عنه أَنَّهُ َسمِ َع َرسُو َل‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫َو‬
َ ٌ‫طأ َ فَلَهُ أَجْ ٌر } ُمتَّفَق‬
‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ان َو ِإذَا َحكَم فَاجْ تَ َه َد ث ُ َّم أَ ْخ‬
ِ ‫ فَلَهُ أَجْ َر‬.‫اب‬
َ ‫ص‬َ َ‫فَاجْ تَ َه َد ث ُ َّم أ‬
Artinya: “Bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: “apabila sesorang hakim
menghukum dan dengan kesungguhannya ia memperoleh kebenaran, maka
baginya dua pahala dan apabila ia menghukum dengan kesungguhannya ia salah,
maka baginya satu pahala.”
21
Akbar Syamsul Arifin, Hafal 3000+ Kata Bahasa Arab, (Yogyakarta: Diva Press, 2016), 51; Warson Munawwir, Al
Munawwir Kamu Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal 217.
22Fauzul Iman, Ijtihad dan Mujtahid, Journal: Al-Qolam Vol. 21 No. 100, Januari-April 2004, hal. 5

12

Anda mungkin juga menyukai